Blog

  • Kembali ke Konstitusi

    Kembali ke Konstitusi
    Hajriyanto Y Thohari, WAKIL KETUA MPR RI     
    Sumber : SINDO, 4 Januari 2012
    Tahun 2012 adalah tahun pancaroba di bidang politik dan ekonomi. Pancaroba politik karena pada tahun ini pergumulan politik akan terus berlangsung dan memanas antarpemain utama perpolitikan nasional yang membentuk konfigurasi kekuatan politik sekarang ini:

    Presiden SBY dengan pendukung- pendukungnya, partaipartai politik,dan kaum oposisi ekstraparlementer. Dialektika dan interplayantara ketiga sumbu kekuatan itulah yang akan menjadikan perpolitikan Indonesia pada 2012 memanas dan saling mengancam yang diduga akan diwarnai suasana yang nyaris kaotis secara politik.Jika demikian yang terjadi,dinamika politik yang mencapai titik didih itu akan memiliki resonansi dan reperkusi politik yang besar yang berupa guncanganguncangan politik yang kuat.

    Pancaroba ekonomi akan terjadi akibat krisis ekonomi global terutama di Eropa dan Amerika Serikat.Tetapi bukan ini yang mengakibatkan terjadinya pancaroba secara langsung, melainkan problem pemerataan atas hasil pertumbuhan ekonomi selama ini yang secara makro memang sangat fenomenal.Ketidakmerataan ini akan membawa problem ikutannya, yaitu memuncaknya kecemburuan sosial ekonomi akibat kesenjangan yang semakin lebar antara sekelompok kecil orang kaya dan selautan rakyat yang miskin dan papa!

    Dalam kaitan ini MPR menyampaikan appeal kepada penyelenggara negara,baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, komisi-komisi negara, dan pemerintah daerah untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi kita bernegara. Konstitusi haruslah dibaca secara utuh dan luas,bukan hanya secara tekstual pasal per pasal, melainkan ruhnya konstitusi yaitu dasar-dasar kenegaraan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: Pancasila dan tujuan dibentuknya negara ini.

    Seruan ini relevan dan urgent karena kita sudah terlalu jauh mengembara meninggalkan konstitusi dan konstitusionalisme. Atas nama masa transisi politik dan demokrasi kita mengabaikan konstitusi dan atau empat pilar negara.Kini pada 2012 kita tidak boleh lagi menyebut era ini sebagai masa transisi, tapi masa konsolidasi sistem politik dan kehidupan demokrasi berdasarkan konstitusi.

    Politik kita sudah terlalu jauh meninggalkan kearifan lokal (local wisdom) sebagai budaya bangsa yang kemudian dirumuskan dalam Pancasila. Apalagi pembangunan perekonomian kita.Asas ekonomi kekeluargaan dan kebersamaan dalam semangat kerakyatan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 karena teperdaya oleh tekanan globalisasi telah digantikan dengan ekonomi pasar yang mendewa- dewakan pertumbuhan tanpa peduli pada kualitas pertumbuhan (the quality of growth) yang berbasiskan asas pemerataan.

    Ideologi pertumbuhan di mana yang penting ekonomi tumbuh tak peduli pertumbuhan itu karena apa dan menguntungkan siapa saja sungguh telah mencederai nilai- nilai keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa sekaligus Sila Kelima Pancasila.Sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi kita dewasa ini propoor. Pertumbuhan ekonomi memang tinggi, bahkan termasuk salah satu yang tertinggi di dunia,

    tetapi pertumbuhan itu 49% disumbangkan oleh penjualan hasil tambang yang eksplorasinya berpotensi merusak lingkungan.Belum lagi menjadi faktor penyebab terbesar sengketa lahan pertambangan dengan rakyat penduduk tradisional tanah-tanah tersebut. Yang terakhir ini tampak dalam kasus Mesuji,Sumatera Selatan, dan Bima NTB. Sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi kita dewasa ini propeople dan proenvironment.

    Dalam konteks dan perspektif ini saya mengusulkan segera dilakukannya dua langkah strategis: (1) konsolidasi politik dengan menekankan langkah pribumisasi demokrasi; dan (2) konsolidasi perekonomian nasional dengan melakukan kontekstualisasi perekonomian pasar bebas. Keduanya (pribumisasi demokrasi dan kontekstualisasi pasar bebas) harus berakar dan sekaligus merupakan perkembangan dari demokrasi asli Indonesia dan semangat kekeluargaan berdasarkan ekonomi kerakyatan! Marilah kembali ke konstitusi, back to the constitution!

  • Kemunduran Kerangka Berpikir (86)

    Kemunduran Kerangka Berpikir
    Satryo Soemantri Brodjonegoro, DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 1999-2007
    Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012
    Kisruh yang saat ini terjadi di Universitas Indonesia sebenarnya dapat diselesaikan dengan sangat elegan. Seandainya saya dalam posisi rektor UI, saya akan segera mengundurkan diri dengan menyerahkan kembali mandat yang pernah diamanatkan oleh Majelis Wali Amanat UI.
    Dengan cara itu, keberadaan Universitas Indonesia (UI) sebagai perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (PT BHMN) semakin kokoh dan menunjukkan telah terjadi kematangan tata kelola UI sebagai lembaga yang otonom dan akuntabel. Momentum ini sebenarnya kesempatan emas bagi UI untuk meyakinkan pemerintah dan juga Mahkamah Konstitusi—yang pernah membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)—bahwa perguruan tinggi seharusnya dikelola secara otonom dengan akuntabilitas publik.
    Pada saat ini, pengelolaan pendidikan tinggi mengalami masa transisi akibat dibatalkannya UU BHP. Masa transisi yang ditawarkan oleh pemerintah adalah selama tiga tahun. Tujuh PT BHMN yang ada pada saat ini—UI, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Sumatera Utara (USU)—dipersilakan memilih bentuk yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing: apakah akan menjadi otonom, semi-otonom (pola Badan Layanan Umum), atau menjadi perguruan tinggi negeri.
    Logikanya ketujuh PT BHMN tersebut tetap bertahan dengan memilih menjadi perguruan tinggi yang otonom. Hal ini mengingat sejak 1999 mereka sudah mempersiapkan diri dan sudah mengalami transformasi bertahap menjadi lembaga yang otonom, disertai perubahan kerangka pikir kemandirian.
    Waktu 10 tahun transformasi tersebut bukanlah waktu yang singkat. Selain itu, juga telah banyak capaian yang diraih oleh tujuh PT BHMN tersebut dalam meningkatkan kinerja mereka sebagai perguruan tinggi yang kredibel. Apabila kemudian PT BHMN memilih berubah menjadi semi-otonom atau perguruan tinggi negeri, sebenarnya PT BHMN tersebut dapat dikatakan mengalami kemunduran yang luar biasa, dan secara nasional akan terjadi kerugian.
    Digagas oleh UI
    Gagasan mengenai BHMN sebenarnya lahir sekitar tahun 1998 oleh sejumlah dosen senior UI. Waktu itu, mereka sangat peduli dengan bagaimana upaya meningkatkan prestasi perguruan tinggi di Indonesia agar dapat mengantisipasi tantangan global dan mampu bersaing internasional, bahkan diharapkan menjadi perguruan tinggi kelas dunia.
    Gagasan tersebut kemudian disambut oleh pemerintah dan dirancang menjadi suatu konsep untuk melahirkan suatu acuan mengenai perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel. Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kemudian melibatkan juga ITB, UGM, dan IPB dalam proses rancangan peraturan pemerintah mengenai badan hukum milik negara. Keempat perguruan tinggi tersebut kemudian menjadi model percontohan PT BHMN. Legalitas kelembagaan didukung oleh adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 mengenai Badan Hukum Milik Negara.
    Dengan adanya PP No 61/1999 tersebut, keempat PT BHMN itu masing-masing mempunyai peraturan pemerintah untuk penetapannya. Sementara masa peralihan dari bentuk lama sebagai perguruan tinggi negeri menjadi bentuk baru yang otonom berlangsung selama 10 tahun. Penekanannya pada perubahan tata kelola dari semula berbentuk instansi pemerintah menjadi bentuk yang otonom.
    Pada tahun 2009 yang lalu seharusnya proses peralihan tersebut selesai. Inti perubahan sudah terlaksana dengan baik meskipun masih ada sejumlah isu yang belum tuntas. Misalnya, perihal kepegawaian, aset, keuangan, dan pajak.
    Sejalan dengan proses peralihan tersebut di atas, adanya PP No 61/1999 telah menginspirasi pemerintah dan DPR untuk melahirkan UU BHP. Tujuan utamanya agar keberadaan PT BHMN tidak hanya diakui oleh PP, tetapi juga aturan yang lebih kuat lagi, yaitu UU.
    Proses pembuatan RUU BHP berjalan cukup alot dan panjang karena ternyata tidak mudah memperkenalkan sesuatu yang baru dalam masyarakat kita. Sesuatu yang belum pernah ada dianggap tidak boleh ada. Para kolega ahli hukum selalu mengatakan harus ada landasan hukumnya dan harus ada yurisprudensinya. Padahal, konsep BHP adalah baru sama sekali di Indonesia sehingga belum ada landasan hukumnya (baru akan dibuat) dan belum ada yurisprudensinya.
    Akhirnya, berkat segala jerih payah semua pihak dan pemangku kepentingan—dan tentu saja dengan niat tulus semua pihak—UU BHP lahir pada Januari 2009. Dengan demikian, sebenarnya pendidikan tinggi kita mulai menampakkan geliatnya, apalagi didukung oleh UU yang mendukung otonomi dan akuntabilitas.
    Hikmah Pembatalan UU BHP
    Namun, ternyata cobaan terhadap pendidikan tinggi kita belum berakhir. Pada Maret 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan seluruh UU BHP: bukan hanya pasalnya, melainkan juga seluruh isi UU karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
    Tentang hal ini penulis tidak ingin membahasnya di sini karena dapat mengganggu alur bahasan kali ini. Intinya adalah bahwa celah ketidaksempurnaan tata kelola di sejumlah PT BHMN digunakan oleh mereka yang tidak senang dengan UU BHP dengan menggugat ke MK. MK membuat putusan tanpa terlebih dahulu mengklarifikasi isu-isunya, apalagi tidak ada peluang banding di MK. Pendek kata, pembatalan UU BHP oleh MK terjadi karena belum sempurnanya tata kelola di tujuh PT BHMN.
    Sebetulnya pembatalan oleh MK tersebut dapat diambil hikmahnya, yaitu dengan memperbaiki tata kelola tujuh PT BHMN sehingga dapat meyakinkan pemerintah, DPR, dan masyarakat, serta MK bahwa BHMN adalah keniscayaan pilihan bentuk tata kelola perguruan tinggi yang terbaik. Kita yakin pemerintah akan menetapkan format yang terbaik, yaitu BHMN, kepada perguruan tinggi di Indonesia setelah kuat keyakinannya akan tata kelola yang mumpuni.
    Adanya kisruh di UI yang berkepanjangan, dan akhirnya harus diintervensi oleh pemerintah, menunjukkan bahwa tata kelola UI sebagai BHMN belum beres. Hal ini akan semakin melemahkan posisi tawar BHMN untuk bisa bertahan dengan pilihan opsi sebagai lembaga yang otonom. Pemerintah akan terpaksa membatalkan BHMN karena adanya contoh kurang baik oleh kisruh UI.
    Ironisnya, UI sebagai penggagas BHMN terpaksa harus menggagalkan sendiri gagasannya. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi. Dan, sekali lagi, seandainya saya dalam posisi rektor UI, saya akan mengembalikan mandat saya demi keselamatan sivitas akademika UI dan mengukuhkan keberadaan BHMN.
  • Kisruh UI akibat Problem Perundang-undangan

    Kisruh UI akibat Problem Perundang-undangan
    Agus Sardjono, GURU BESAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012
    Terlepas adanya tarik-menarik kepentingan pihak-pihak tertentu, kisruh (di) Universitas Indonesia adalah buah dari ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi akibat dari pelaksanaan suatu peraturan. Pemerintah hanya bisa membuat regulasi tanpa memikirkan bagaimana suatu regulasi itu akan dilaksanakan. Hal itu tampak dengan jelas dalam kisruh UI.
    Dalam Pasal 220A Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 dengan tegas disebutkan, ”Pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI, dan Unair masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan peraturan pemerintah ini”. Kemudian dalam PP ini ditegaskan lagi bahwa ”Penetapan lebih lanjut masing-masing perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sebagai perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan peraturan presiden”.
    Asumsinya, pelaksanaan kedua ayat tersebut baru akan berjalan dengan mulus jika peraturan presiden yang dimaksud itu sudah ada. Inilah yang mungkin belum dipikirkan oleh pembuat regulasi. Akibatnya, dalam kasus UI, masing-masing pihak—dengan kepentingan yang ada di belakangnya—mencoba menyiasati pelaksanaan PP No 66/2010 itu sesuai dengan kepentingan atau sekurang-kurangnya berdasarkan tafsirnya sendiri-sendiri.
    Multi-Interpretasi
    Dalam teori ilmu hukum dijelaskan bahwa efektivitas suatu peraturan bergantung pada beberapa syarat. Salah satunya berkenaan dengan norma hukum yang tertulis di dalam pasal-pasalnya. Hanya norma hukum yang jelas, konsisten, dan tidak multi-interpretasi yang dapat melahirkan kepastian hukum.
    Memperhatikan tulisan Seidman dan Abeysektre (2001), kita dapat menggunakan suatu tes untuk mengukur apakah suatu norma hukum akan efektif atau tidak dalam pelaksanaannya. Tes pertama, berkenaan aturan (rule) yang dituangkan dalam pasal-pasalnya. Apakah pasal-pasal suatu peraturan itu cukup jelas, dalam arti tidak bersifat multi-interpretasi?
    Suatu aturan yang penafsirannya dapat ditarik ke sana kemari menunjukkan buruknya penyusunan aturan tersebut. Aturan semacam ini tidak dapat menjamin hadirnya kepastian hukum. Pihak yang paling bertanggung jawab tentu saja adalah para drafternya, sesudah itu adalah pejabat yang menetapkannya sebagai peraturan yang berlaku.
    Tes kedua, berkenaan dengan kemampuan (capacity) dari pihak-pihak yang akan mengimplementasikannya. Apakah orang-orang yang akan terkena dampak peraturan itu mempunyai kapasitas untuk menjalankan aturan itu dengan benar?
    Dalam konteks PP No 66/2010, apakah perguruan tinggi yang disebutkan di dalam PP itu dapat menjalankan mandatnya apabila peraturan presiden yang dimaksudkan belum ada? Ketiadaan peraturan presiden itu sudah terbukti berakibat pada munculnya tarik-menarik kepentingan dari pihak-pihak yang bertugas mengimplementasikan PP yang bersangkutan.
    Tes ketiga, berkenaan dengan komunikasi antara pembuat peraturan dan pihak-pihak yang akan terkena dampak peraturan itu. Apakah pemerintah yang menetapkan PP No 66/2010 itu sudah melakukan langkah-langkah untuk mengomunikasikan peraturan itu kepada para pemangku kepentingan, khususnya perguruan tinggi yang disebutkan di dalamnya?
    Komunikasi di sini tentu saja tidak sekadar pemberitahuan, tetapi juga termasuk bagaimana menjalankan aturan itu dalam pelaksanaannya. Artinya, ada proses memberi penjelasan, meminta penjelasan, dan menjelaskannya. Juga ada proses bertanya dan menjawab di antara pemerintah yang akan mengawal pelaksanaan peraturan itu di satu pihak dan perguruan tinggi yang akan melaksanakan peraturan itu. Bagaimana caranya melaksanakan peralihan status jika peraturan presiden yang jadi landasan hukumnya belum ada?
    Hal itu harus sudah diantisipasi dan dikomunikasikan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi bersangkutan. Dalam kaitannya dengan kisruh UI, adalah tidak adil menuntut UI menjalankan peraturan dengan benar jika peraturannya belum ada atau belum pernah dikomunikasikan.
    Tes keempat, berkenaan dengan proses dalam penyusunan suatu peraturan yang bersangkutan. Apakah proses penyusunan peraturan itu sudah melibatkan pemangku kepentingan atau calon pemangku kepentingan dari peraturan yang bersangkutan?
    Proses pelibatan ini jadi penting karena, bagaimanapun, para pemangku kepentingan itulah yang akan terkena dampak dari peraturan yang bersangkutan. Dalam merumuskan aturan peralihan dari PP No 66/2010, misalnya, apakah sudah dilakukan proses persiapan untuk melaksanakan peralihan dari status perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) menjadi perguruan tinggi negeri (PTN)? Atau apakah jangka waktu yang ditetapkan untuk melakukan peralihan itu sudah memadai sehingga pada gilirannya perguruan tinggi yang terkena dampak akan dapat melakukan peralihan yang benar dengan aturan hukum yang benar pula? Bagaimana perguruan tinggi itu melakukan langkah-langkah peralihan yang benar jika peraturan presiden yang menjadi landasan hukumnya belum ada?
    Masalah Kepegawaian
    Problem lain dari PP No 66/2010 yang berpotensi memicu konflik atau bahkan sudah menimbulkan masalah adalah berkenaan dengan masalah alih status kepegawaian. Pasal 220A ayat (3) menegaskan, ”Pengalihan status kepegawaian dosen dan tenaga kependidikan pada UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI, dan Unair yang sebelumnya berstatus sebagai pegawai perguruan tinggi badan hukum milik negara diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
    Peraturan perundang-undangan mana yang akan digunakan dalam rangka pengalihan status kepegawaian itu? Bagaimana caranya melakukan alih status tersebut?
    Ketentuan ini juga menimbulkan multitafsir. Di satu pihak ada yang menafsirkan bahwa semua pegawai PT BHMN dengan sendirinya atau secara otomatis harus dialihkan statusnya menjadi PNS, sebagaimana peralihan status PT BHMN menjadi PTN yang juga dilakukan secara otomatis berdasarkan PP tersebut. Namun, ada pula yang menafsirkan secara berbeda.
    Akan tetapi, yang pasti adalah bahwa jika status para pegawai PT BHMN itu tak dialihkan menjadi PNS, hal itu akan menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi pegawai PT BHMN yang bersangkutan. Mereka tentu saja akan sangat dirugikan jika prosedur peralihannya dilakukan dengan menggunakan sistem perekrutan pegawai baru karena itu berarti mereka akan menjalani status PNS dari awal. Padahal, di antara mereka ada yang sudah belasan tahun menjadi pegawai BHMN tersebut. Ada pula di antara mereka yang usianya sudah melewati usia yang dipersyaratkan berdasarkan sistem perekrutan.
    Bagaimana mengalihkan status pegawai BHMN tersebut? Hal itu sepenuhnya jadi tangggung jawab pemerintah. Tidak adil jika pengalihan status dibebankan dan jadi tugas perguruan tinggi masing-masing karena mereka hanyalah pelaksana regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Presiden sebagai pejabat yang menandatangani dan memberlakukan PP No 66/2010 harus turun tangan menyelesaikan kasus yang timbul akibat ketidakjelasan peraturan yang bersifat multi-interpretasi tersebut.
    Statuta Perguruan Tinggi
    Selain peraturan presiden yang dimaksud, sesungguhnya masih ada lagi potensi konflik yang menunggu giliran, yaitu berkaitan dengan penyusunan statuta perguruan tinggi. Jika penyusunan statuta ini tidak dilakukan berdasarkan standar penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, bukan tidak mungkin akan muncul persoalan-persoalan baru yang tidak kalah melelahkan.
    Statuta adalah aturan main internal masing-masing perguruan tinggi. Di dalamnya berisi aturan tentang wewenang masing-masing organ perguruan tinggi yang nomenklaturnya sudah ditetapkan di dalam PP No 66/2010.
    Bukan hanya itu, statuta juga berfungsi sebagai acuan dalam tata kelola perguruan tinggi yang bersangkutan. Jika perumusan norma statuta juga dilakukan secara sepihak, tanpa melibatkan pemangku kepentingan di lingkungan internal perguruan tinggi bersangkutan, bukan tak mungkin implementasinya akan menimbulkan masalah sebagaimana implementasi PP No 66/2010.
    Belajar dari kisruh UI, ada baiknya jika proses penyusunan peraturan presiden dan statuta tiap-tiap perguruan tinggi dilakukan secara benar dan menjadi skala prioritas. Ini agar persoalan UI dapat segera diatasi dan tidak menjadi preseden buruk bagi perguruan tinggi lain.
  • Masa Depan dan Harapan

    Masa Depan dan Harapan
    Fadly Rahman, SEJARAWAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 3 Januari 2012
    Menjelang pergantian tahun ke 2012, beberapa siaran televisi asing menayangkan film-film fiksi ilmiah dan dokumenter tentang ramalan akhir zaman. Apa ini tanda pupusnya iman manusia atas sains yang dirasa mampu membakakan hidup?
    Simaklah stasiun-stasiun TV itu menayangkan berbagai bencana hingga kemungkinan alien menginvasi bumi. Mulai dari film Close Encounters of the Third Kind-nya Steven Spielberg hingga wawancara dengan Stephen Hawking seputar mempertanyakan peran Tuhan dalam penciptaan dan penghancuran alam semesta.
    Kadang fiksi dan sains memengaruhi cara pandang manusia terhadap hakikat: masa lalu dan masa depan. Yang berlalu kurang dihayati dan lebih mencemaskan kelangsungan masa depan.
    Padahal masa lalu yang dilalui berbagai bencana adalah pesan. Sebagaimana dalam syairnya, Paradise Lost, John Milton (1608–1674) berkias bahwa bencana adalah perasaan bumi yang luka. Alam pun membalaskan luka bumi dengan mengirimkan kesengsaraan bagi hidup semesta.
    Syair klasik Milton membangunkan kembali kesadaran akan jejak-jejak bencana dalam perjalanan hidup bumi ini. Bencana tak ubahnya sebagai pembuka lembaran baru kehidupan demi kehidupan. Terus bergulir begitu, sejak awal hingga akhir masa, kelak.
    Jika yang ditakutkan adalah hari pembalasan, bukankah penciptaan semesta ini juga tak kalah menakutkannya? Mengurai riwayatnya, bukankah penciptaan bumi dan alam semesta dihasilkan oleh–sebagaimana dikemukakan fisikawan Fred Hoyle lalu Stephen Hawking–“dentuman besar” (big bang) miliaran tahun lalu? Juga meteor besar yang menghujam bumi dan memupus periode makhluk-makhluk gigantis puluhan juta tahun lalu.
    Hingga masa-masa makin jelasnya peran dan kuasa Tuhan meruntuh-bangunkan kehidupan, sebagaimana termaktub dalam kitab suci, terwarta begitu banyak kisah bencana ditimpakan bagi umat manusia semasa kenabian.
    Umat-umat yang mendustakan para rasul utusan-Nya didera berbagai bencana, mulai dari bah, erupsi gunung api, hingga masa paceklik merundung begitu lamanya. Karena bencana besarlah surga-surga peradaban ribuan tahun lampau habis dari muka bumi.
    Dalam kitab suci dan literatur klasik, diwartakan tamadun-tamadun awal itu dipupuskan Tuhan sebagai hukuman atas kegelimangan moral yang rusak di tengah-tengah kegemilangan peradaban. Kegemilangan yang dinodai dosa telah mengkhilafkan muara hidup insan-insan yang sejatinya mengarah pada kefanaan.
    Manusia terlenakan pada hasrat menggapai kebakaan yang sepatutnya hanya dimiliki-Nya. Bagai kisah Gilgamesh, syair Babilonia Kuno, yang mengisahkan petualangan Gilgamesh mencari Utnapishtim, seorang bijak yang dapat memberikan petunjuk keabadian hidup baginya.
    Hanya sebuah tumbuhan di dasar lautlah yang mampu membuat ia abadi, begitu syarat Utnapishtim. Diselaminya lautan, hingga diperolehnya tumbuhan itu. Namun, seekor ular besar merampasnya. Keabadian tak didapatnya. Ia pun putus asa, hingga akhir hayatnya.
    Tamak
    Ketamakan Gilgamesh tak ubahnya sebuah kias atas hidup insaniah yang menghamba pada ketamakan melalui jalannya dalam menggapai kebahagian hidup. Yang digapainya membuatnya lupa akan hakikat hidupnya yang tidak abadi, hingga akhirnya bencana, sakit, dan kematian menyadarkannya. Kebahagiaannya pun direnggut tak tersisa. Yang ada, hanya duka nestapa.
    Tersampaikan juga pada kita yang mendiami bumi ini, ternyata bukan semata faktor alam dan Kuasa Tangan Tuhan. Bencana juga berelasi, baik secara langsung maupun tidak, dan baik disadari maupun tidak–jika boleh mengutip sebuah ayat Alquran–oleh “perbuatan tangan manusia sendiri”.
    Kini bukanlah masa-masa kenabian. Tak ada lagi para utusan-Nya yang mengingatkan pada jalan-Nya yang lurus. Yang ada hanya kehanifan yang secara moral terwaris kini pada segelintir insan dalam menjalani nilai-nilai kearifan.
    Kearifanlah yang hanya mampu mendudukkan relasi harmonis manusia dengan alam semesta, sebagaimana bunyi filosofi klasik Jawa “memayu hayuning buwana”, melestarikan keindahan dunia dan jagad raya yang menaungi hidup manusia. Filosofi itu didapati dalam sosok seperti (mendiang) Maridjan dengan segala kearifan lokalnya, meski ada yang menilainya irasional.
    Termaknai dalam hidup pemberian-Nya yang ia jalani secara soliter dengan penuh kesederhanaan untuk menata kehidupan duniawi yang baik demi mewujudkan keharmonisan itu.
    Hanya, Tuhan memang akan selalu menjadikan yang arif sebagai objek derita, dicemooh, dihinakan, dan dikorbankan. Jika tidak Dia gariskan begitu, kearifan tampaknya tidak akan menjadi buah renungan dan pelajaran bagi insan yang disisakan oleh-Nya untuk tetap hidup.
    Yang hidup sedianya merenungi kearifan jiwa-jiwa hanif dalam berharmonisasi dengan alam. Tapi, renungan atas nilai-nilai kehanifan dan kearifan dalam ukuran hidup zaman sekarang yang dikelindani nafsu modernisme, seakan hanya memusim. Setelah derita berlalu, dosa pun kembali berlaku; terus begitu.
    Sejak modernitas pada akhir abad ke-18 mengusung gelora Revolusi Industri yang masa-masa kemudian gaungnya begitu diagung-agungkan, yang ada memang tak lebih dari tabiat-tabiat ketamakan. Tabiat itu agaknya kini menjadi bermasalah bagi kehidupan modern yang ber(bi)adab ini.
    Bukan hanya bencana alam yang patut ditakuti, semestinya. Bagaimana dengan teknologi pencemar bumi hingga pemakaian dan pemamahan bahan-bahan kimia dalam pangan yang meneror hayat? Manusia merasa aman dalam dekapan modernitas, padahal semua tak lebih–meminjam perkataan ekolog Lester R Brown–“rasa aman yang palsu”.
    Modernisme yang dipuja-puja manusia juga semakin diinsafi mengakumulasi menjadi “bencana” yang kini mengelindani kita dan bumi yang didiami ini. Bencana sungguh adalah sebentuk jalinan kausalitas kehidupan.
    Itulah mengapa, setiap kali bencana mendera, saat-saat asap erupsi gunung-gunung membumbung, tsunami menggulung-gulung ratusan ribu nyawa, gempa mengguncang, kita–banyak yang mengatakan–kembali dihadapkan pada ujian Tuhan.
    Ya, Tuhan. Dia yang acap kali diingat kala kesusahan menimpa. Dia yang dilupa kala susah pun berlalu. Sudah jamak begitu Tuhan didudukkan dalam saat-saat penuh susah.
    Teringat kisah penyaliban Yesus tatkala memanggil-manggil: “Eli, Eli, Lama Sabakhtani”, “Tuhan, Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan aku?”, tapi panggilan macam itu bagi seorang rasul tentu jauh lebih mulia derajatnya ketimbang kita, “gembala-gembala” dengan segala kealpaan dan ketamakan hawa nafsu yang menggiring pada dosa-dosa.
    Berbagai kesusahan yang telah dan akan dilalui adalah sewujud prediksi atas kelangsungan hidup di bumi ini. Kesusahan jugalah yang deritanya mampu menginsafkan manusia, seperti yang dikatakan Gede Prama, “derita bukan kutukan, ia cara sang jiwa mengetuk hati manusia.”
    Ada yang berdebar dan cemas. Tapi, anggaplah 2012 hanya angka cantik. Ingat, setiap masa depan mengandung harapan baik.
  • “Quo Vadis” RUU Redenominasi

    “Quo Vadis” RUU Redenominasi
    Rusmin Effendy, STAF AHLI DPR RI
    Sumber : SINAR HARAPAN, 3 Januari 2012
    Kebijakan Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU Penyederhanaan Mata Uang Rupiah (Redenominasi) yang masuk prolegnas 2012 bukan saja membuktikan sikap ambigu pemerintah.
    Pasalnya, belum seminggu setelah terpilih sebagai Gubernur BI, Darmin Nasution langsung melontarkan akan menerapkan kebijakan redenominasi rupiah yang akhirnya batal setelah mendapat kecaman berbagai kalangan.
    Akhirnya, BI berdalih kebijakan itu masih sebatas wacana dan belum akan diterapkan karena butuh sosialisasi paling lama sekitar 10 tahun. Pertanyaannya, apa yang menjadi alasan BI yang terkesan bernafsu ingin menerapkan redenominasi tahun depan?
    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan definisi yang pas tentang kata redenominasi, namun dari literatur yang ada, kata redenominasi diterjemahkan sebagai pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.
    Artinya, mata uang rupiah bakal terjadi pemotongan nilai nol sebanyak tiga digit di belakang, misalnya uang Rp 100.000 akan menjadi Rp 100 atau harga beras Rp 6.000 per liter akan menjadi Rp 6 per liter.
    Persoalannya, apakah redenominasi sama dengan sanering atau devaluasi mata uang seperti yang terjadi di masa rezim Bung Karno, karena kondisi ekonomi nasional pada 1959 begitu terpuruk dan diwarnai dengan tingginya laju inflasi?
    Barangkali, keinginan pemerintah mengajukan RUU Penyederhanaan Mata Uang Rupiah (Redenominasi) perlu dikaji kembali, karena hingga saat ini kondisi perekonomian nasional sangat mengkhawatirkan.
    Sejak Indonesia terjebak tsunami krisis ekonomi pada 1997, hingga kini belum ada parameter dan pembuktian Indonesia sudah mampu keluar dari krisis ekonomi, bahkan kondisi yang ada begitu mengkhawatirkan.
    Karena itu, ada beberapa faktor yang patut diantisipasi di balik wacana redenominasi rupiah. Pertama, kebijakan redenominasi rupiah bukan meminimalkan nilai mata uang, tapi megaproyek yang dilakukan BI untuk memuluskan proyek pencetakan uang karena terpilihnya Darmin sebagai Gubernur BI tak lepas dari transaksional politik dan beraroma 
    suap.
    Kedua, ada empat tahapan menyosialisasikan kebijakan redenominasi selama 10 tahun (2011-2020). Mulai dari masa sosialisasi (2011-2012), transisi (2013-2015), penarikan uang lama (2016-2018), sampai pelaksanaan redenominasi (2018-2020).
    Yang patut diwaspadai, jangan sampai kebijakan itu diberlakukan menjelang pemilu dan pilpres untuk memuluskan salah satu pasangan tertentu.
    Sanering
    Secara umum, kebijakan redenominasi memang tak ada bedanya dengan sanering, meski kebijakan yang dilakukan tidak mengurangi nilai nominal dari mata uang yang ada. Namun, praktik redenominasi di berbagai negara terjadi akibat kebangkrutan ekonomi serta tingginya angka inflasi.
    Bila bicara soal inflasi, yang tergambar di benak kita adalah melambungnya harga-harga di pasaran, serta menurunnya daya beli masyarakat. Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab terjadinya inflasi, yakni ekspor-impor; tabungan dan investasi; serta penerimaan dan pengeluaran negara.
    Inflasi tidak mungkin terjadi bila ketiga faktor tersebut dapat berjalan seimbang karena yang menjadi subjek penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya.
    Sementara pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila bank-bank mengucurkan kredit besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta untuk membiayai berbagai kegiatan, baik lapangan investasi maupun non-investasi.
    Salah satu cash program yang dapat dilakukan pemerintah untuk menekan terjadinya inflasi adalah melakukan operasi pasar terbuka yang populer disebut kebijakan uang ketat, dilakukan dengan menjual surat-surat berharga, seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank.
    Akibatnya, jumlah uang yang beredar di masyarakat dan pemberian kredit oleh badan-badan kredit (bank) berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi tekanan inflasi. Akibatnya, kebijakan redenominasi bukanlah jaminan tidak terjadi perubahan nilai tukar rupiah seperti sanering.
    Salah satu rujukan dari pelaksanaan redenominasi adalah terpuruknya kondisi ekonomi di Zimbabwe di bawah rezim Presiden Robert Mugabe. Nilai tukar mata uang di negara itu merosot tajam, angka inflasi meroket sehingga menimbulkan kerusuhan SARA.
    Untuk mengatasi kesulitan krisis ekonomi, Mugabe menyusun rencana aksi dengan cara menetapkan kebijakan devaluasi besar-besaran, bahkan mencatat rekor tertinggi di dunia, yaitu menghapuskan 10 angka nol dari setiap lembar mata uang yang kemudian dikenal sebagai uang baru, yaitu Zimbabwe Dollar (ZWD) yang dikenal dengan slogan Advocates of devaluation are saboteurs and enemies of the state.
    Di Eropa, kebijakan redenominasi terjadi saat negara-negara anggota Uni Eropa (UE) menerapkan nilai mata uang tunggal euro, meski kebijakan itu tidak berjalan mulus. Ini karena beberapa negara yang menjadi anggota UE cenderung menggunakan nilai mata uang Inggris pound sterling sebagai mata uang nasional, sekalipun mereka adalah anggota utama UE.
    Karena itu, dapat dipahami kebijakan redenominasi mata uang negara-negara anggota UE ke euro menjadi catatan sejarah karena merupakan aktivitas redenomiasi yang terbesar, termasuk di Korea Utara yang populer dengan istilah “Pyongyang’s Redenomination”, yaitu menghapuskan dua angka nol dalam lembar mata uang mereka.
    Uang 100 won menjadi 1 won, namun karena rezim pemerintahan yang bergaya diktator, redenominasi ini juga berbau devaluasi. Kebijakan tukar uang won lama ke won baru terjadi pembatasan secara ketat. Tidak semua uang won lama dapat ditukarkan menjadi won baru.
    Berdasarkan pengalaman tersebut, dapat dipahami kebijakan redenominasi bisa memberi banyak keuntungan, namun bisa juga membuat negara bangkrut.
    Setiap negara pasti mempunyai cita-cita dan harapan untuk mempercantik diri (face-lift, plastic surgery) melalui redenominasi, tapi bukan sekadar mencetak uang baru, namun sistem keuangan dan perangkat pendukung akan memerlukan perombakan secara radikal dengan hight cost yang tinggi.
    Apalagi bila kebijakan redenominasi dijadikan “Kuda Troya” atau akal bulus pemerintah untuk tidak mengatakan sudah terjadi sanering dan devaluasi.
    Dengan demikian, dapatlah dipahami kondisi perekonomian nasional sekarang ini memang sedang mengalami krisis berat dan masyarakat harus mengantisipasi kondisi yang bakal terjadi.
    Paling tidak, bagaimana mengantisipasi seandainya redenominasi benar-benar terjadi, apakah kita sudah siap menghadapinya? Lalu apa kata dunia kalau hal itu terjadi? Wallahu a’lam bish-shawab.
  • Personalisasi Kepemimpinan

    Personalisasi Kepemimpinan
    Yasmi Adriansyah, DIREKTUR EKSEKUTIF PROJECTING INDONESIA,
    MAHASISWA PHD AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY
    Sumber : REPUBLIKA, 3 Januari 2012
    Relasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa belakangan sempat menjadi headline di media massa. Tulisan reportase-analitis di salah satu harian berbahasa Inggris (Signs point to Marty’s isolation in the Palace, 26/12/11) menyiratkan adanya fenomena pengasingan menlu dari lingkar kekuasaan presiden.

    Menlu Marty digambarkan semakin kehilangan pengaruh dalam beberapa kegiatan kenegaraan yang berdimensi luar negeri yang notabene portofolio utama jabatannya. Bahkan, sempat pula muncul rumor pinggiran soal penggantian Menlu Marty.

    Asumsi artikel ini diambil dari, pertama, sikap presiden yang lebih memilih bertanya kepada Dino Patti Djalal, Dubes RI untuk Amerika Serikat, tatkala melakukan konferensi pers KTT ASEAN di Bali, November 2011. Padahal, saat itu Menlu Marty dan Juru Bicara Presiden Teuku Faizasyah sudah ‘siap di tempat’. Asumsi kedua adalah ‘insiden’ di saat pelantikan duta besar RI untuk negara-negara sahabat, Desember 2011. Menlu Marty tidak diletakkan di barisan depan para menteri melainkan di barisan lain. Padahal, momen tersebut ‘seharusnya’ menjadi ‘pertunjukan’ Menlu Marty.

    Isu-isu seperti ini sejatinya tidak terlalu luar biasa dalam konteks kebijakan publik. Ia terlalu personal. Sehingga, observasi dari artikel tersebut tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan, khususnya oleh jajaran pemerintahan SBY sendiri. Namun, ketika Sekretaris Kabinet Dipo Alam merasa perlu memberikan klarifikasi bahwa “hubungan SBY dan Marty tidak retak” (Republika, 29  Desember 2011),  publik justru menjadi bertanya-tanya. Ada apa gerangan?

    Unsur Kedekatan
    Tulisan ini tidak berkehendak meramaikan perdebatan retak-tidaknya hubungan Presiden SBY dengan Menlu Marty. Fenomena tersebut, menurut hemat penulis, lebih merupakan masalah dari gaya kepemimpinan, khususnya kepemimpinan Presiden SBY. Karena, faktor kepemimpinan presiden jelas lebih determinan dibanding menlu yang merupakan bawahan.

    Dalam hal ini, gaya kepemimpinan Presiden SBY dapat dihipotesiskan lebih bersifat personal dibanding mengedepankan sistem. Berangkat dari fenomena konferensi pers KTT ASEAN di Bali, SBY lebih memilih Dubes Dino Djalal yang notabene mantan jubir presiden periode 2004-2009. Terlepas dari substansi pertanyaan atau suasana kebatinan presiden saat itu, sudah menjadi rahasia publik bahwa Presiden SBY dan Dubes Dino memiliki kedekatan personal melebihi hubungan atasan-bawahan.

    Semasa menjadi Jubir Presiden SBY, Dino memang terlihat bersinar. Ia sangat aktif tampil di hadapan publik guna menyampaikan pandangan presiden untuk isu-isu luar negeri. Jubir Dino bahkan menerbitkan dua buku yang spektakuler tentang SBY. Yang pertama, Harus Bisa, berisikan catatan personal Dino atas kepemimpinan SBY. Buku ini menggambarkan betapa luar biasanya SBY sebagai pemimpin. Buku kedua, Energi Positif, mendeskripsikan kesan-kesan positif sejumlah tokoh terhadap sang presiden.

    Tentu saja adalah hak Dubes Dino untuk menggambarkan kesan positifnya atas Presiden SBY. Selaras dengan itu, adalah juga hak Presiden SBY jika memiliki kesan yang sangat positif terhadap Dino. Permasalahannya adalah ketika kesan-kesan yang bersifat personal itu terbawa ke dalam sistem pemerintahan. Karena bagaimanapun, ‘insiden’ konferensi pers KTT ASEAN di Bali adalah refleksi dari gaya kepemimpinan yang lebih mengarah kepada personalisasi dibanding penerapan sistem formal pemerintahan.

    Amanah Kepemimpinan
    Gaya personalisasi kepemimpinan ini sebenarnya telah terdeteksi dengan ramainya perdebatan publik atas berbagai ‘keluhan’ Presiden SBY. Ketika presiden mengeluhkan sejumlah masalah, seperti gaji, uang negara yang dirampok, atau birokrasi yang dianggap sebagai penghambat pembangunan, publik menganggap presiden terlalu sering melakukan ‘curhat’ pribadi.

    Walaupun dapat dipahami bahwa presiden sebenarnya ingin berkata betapa tidak mudahnya mengurus negara ini, publik menafsirkan lain. Presiden dianggap terlalu mempersonalisasi, ‘curhat’, berbagai tanggung jawab jabatan publiknya.

    Gaya personalisasi kepemimpinan ini juga terasa ketika jajaran pemerintahan tampak sibuk dalam masa-masa menjelang perhelatan pernikahan putra presiden, Edhie Baskoro. Tidak saja Jubir Presiden Julian Pasha yang merasa perlu meluruskan berbagai kritikan publik atas isu-isu seperti biaya perhelatan, para menteri pun juga urun suara dalam melakukan pelurusan.

    Padahal, jika urusan pernikahan ini sepenuhnya dibiayai secara pribadi dan tidak sedikitpun menggunakan uang negara, sejatinya berbagai perangkat negara tidak perlu terlalu sibuk memberikan pembelaan. Biarlah persoalan pernikahan menjadi urusan keluarga dan bukan problem negara.

    Selaku warga yang merasa miris ketika kepala negaranya terus-menerus dikecam publiknya sendiri, saya berharap Presiden SBY akan menuntaskan masa pemerintahannya dalam situasi Indonesia yang lebih baik lagi. Masalah gaya kepemimpinan seyogianya diarahkan kepada sistemasi dibanding personalisasi.

    Klise memang. Namun, bagi demokrasi Indonesia yang relatif belia dan belum memiliki sistem check-and-balance ketatanegaraan yang baik, minimal perbaikan bangunan sistem melalui pilar eksekutif dapat memberikan kontribusi signifikan bagi negeri ini.

    Indonesia bisa, Pak Presiden, harus bisa malah. Satu hal yang pasti, amanah kepresidenan sungguh sangat besar pengaruhnya bagi jati diri suatu bangsa seperti Indonesia. Jadikan berbagai kritik sebagai pacuan agar amanah kepemimpinan dapat dituntaskan dalam kebaikan. Karena di akhir zaman nanti, amanah seperti ini akan melewati peradilan besar di mimbar utama para penghuni langit. Wallahu a’lam.

  • Menelisik Syiah

    Menelisik Syiah
    Syafiq Basri Assegaff, PENGGAGAS GERAKAN ANTI-RADIKALISME ISLAM (GARIS); PENELITI DI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN UNIVERSITAS PARAMADINA
    Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012
    Memasuki tahun baru 2012, kekerasan atas nama agama meletus lagi.
    Ratusan orang membakar pesantren, mushala, dan rumah warga di Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Dosa mereka: karena pesantren yang dipimpin Ustaz Tajul Muluk itu mengajarkan Islam mazhab Syiah yang dianggap sesat.
    Reaksi pun datang dari berbagai pihak. Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab menyusul menegaskan bahwa Syiah tidak sesat.
    Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengingatkan ada desain besar di balik itu karena sejak dulu tak pernah ada perselisihan Sunni dan Syiah di Madura. Said Aqil menduga ada pihak yang ingin merusak suasana damai di Indonesia. ”Salah satunya lewat kasus pembakaran pesantren Syiah di Sampang,” katanya.
    Dugaan yang logis. Sebab, Syiah Dua Belas Imam (Itsna’asyariyah) memiliki banyak kesamaan dengan mazhab Syafi’i, salah satu mazhab Ahlus-Sunnah (Sunni) yang menjadi panutan mayoritas nahdliyin di Indonesia. Kultur NU juga sangat mencintai Ahlul Bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW dan keturunannya.
    Peringatan haul, acara tahlil orang meninggal tiga hari, 40 hari, dan sebagainya—yang banyak dilakukan warga NU—sesungguhnya serupa dengan upacara-upacara Syiah. Nahdliyin juga pantang menikahkan anak atau berpesta pada hari Asyura, yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya cucu Nabi, Al-Husain (Imam Syiah ketiga). Di kalangan NU juga sering dibacakan Salawat Dibb, di mana di dalamnya disebutkan nama-nama Imam Syiah dan keistimewaan Ahlul Bait.
    Banyak studi menunjukkan bahwa versi Islam yang pertama datang ke Indonesia sesungguhnya adalah Islam Syiah, sebagaimana dibuktikan hadirnya tradisi Syiah di Aceh. Menurut Syafiq Hasyim (mengutip Marcinkowski dalam Irasec’s Discussion Papers, 2011) muslimin di Indonesia berutang kepada para ulama dan pedagang Syiah yang membawa Islam ke Indonesia.
    Dari Pedang ke Pena
    Studi lain menyebutkan, pada sekitar 320 H, Ahmad bin Isa ”Al-Muhajir” bin Muhammad bin Ali bin Ja’far As-Shadiq—keturunan kesembilan dari Nabi SAW—hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman bagian selatan. Pedagang kaya itu menghindari teror penguasa Bani Abbasiyah, saat keturunan Nabi SAW, yang notabene Syiah, dikejar-kejar kaki tangan khalifah di Irak (Walter Dostal dalam The Saints of Hadramawt, 2005).
    Cucu Imam Syiah keenam (Ja’far As-Shadiq) itu kemudian mematahkan pedangnya. Sebagai gantinya, Al-Muhajir mengajak para pengikutnya memproklamasikan dakwah secara damai dengan pena. Di Hadramaut itu ia mengajarkan tarekat Al-Alawiy yang sufi. Sebagian sejarawan mengatakan ia bermazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia Syiah, tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa.
    Pada sekitar tahun 1600-an, anak cucu Al-Muhajir—yang menyandang gelar sayid, syed, sharif, atau habib—melakukan diaspora ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di berbagai belahan dunia itu, anak cucu Al-Muhajir selalu memilih dakwah secara damai dan anti-fundamentalisme. Para habib muda yang sekarang pun berdakwah secara damai meski kadang dikritik memacetkan jalanan Jakarta.
    Kita tak tahu berapa juta umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syiah. Yang kita tahu, dua pokok ajaran kelompok minoritas (sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia) ini adalah keharusan mengikuti Ahlul Bait (keluarga) Nabi SAW—mulai dari khalifah keempat Ali bin Abithalib hingga ke-11 anak cucunya—dan berdasarkan Al Quran dan hadis serta mengakui kepemimpinan Ali sebagai penerus Nabi SAW.
    Ali itulah salah seorang Ahlul Bait Nabi SAW yang utama. Anggota yang lain adalah putri Nabi (yang juga istri Ali), Siti Fatimah Az-Zahra, serta kedua anak mereka, Hasan dan Husain. Sebagai dalil naqli, Syiah merujuk beberapa ayat Al Quran; juga pada hadis Nabi SAW mengenai kata ”Ahlul Bait”’ dalam Surat Asyu’ara 23, yang menyatakan kewajiban mencintai keluarganya. Yang menarik adalah bahwa tidak kurang dari 45 ulama Sunni terdahulu juga meriwayatkan hadis itu, di antaranya Ahmad bin Hanbal, Al-Thabrani, Al-Hakim, Jalaluddin Al-Suyuti, dan Ibnu Katsir.
    Itu sebabnya, kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi SAW bukan hanya monopoli kaum Syiah, melainkan seluruh muslimin. Berderet nama ulama Sunni tersohor menegaskan hal ini. Imam Syafi’i, misalnya, secara gamblang menunjukkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. ”Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syiah, maka saksikanlah wahai seluruh jin dan manusia bahwa aku ini Syiah,” kata Syafi’i.
    Toleransi dan Persatuan
    Walhasil, kini kita bisa membayangkan: apabila Syiah yang secara kultural dekat dengan NU saja diserang, apatah lagi yang akan terjadi pada pengikut ajaran lain yang punya lebih banyak perbedaan? Selayaknya semua pihak menyadari bahwa berbagai mazhab dalam Islam sendiri baru muncul setelah masa tabi’in, sekitar abad kedua Hijriah. Di kalangan Sunni sendiri terdapat belasan mazhab, termasuk empat yang besar: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
    Melihat beragamnya mazhab itu, sejak lama banyak ulama Sunni dan Syiah menekankan perlunya persatuan ukhuwah Islamiyah. Pada era 2000-an upaya persatuan itu diperkuat dengan hadirnya lembaga Pendekatan Antar-Mazhab Dunia (Al-Majma’ al-Alamy lit-Taqrib baina al-Madzahib), yang banyak sidangnya juga dihadiri ulama-ulama dari Indonesia.
    Maka, dalam konteks persatuan, tokoh Sunni, seperti Quraish Shihab, mengingatkan umat Islam tidak boleh main tuduh. Mengutip mantan Guru Besar Universitas Al-Azhar Syaikh Muhammad Abul Azhim az-Zarqany yang mengecam kesalahan kelompok yang saling memaki, Quraisy mengatakan, ”Jangan sampai menuduh seorang Muslim dengan kekufuran, bidah, atau hawa nafsu hanya disebabkan dia berbeda dengan kita dalam pandangan Islam yang bersifat teoritis…” (Shihab, 2007).
    Memang orang Syiah, sebagaimana saudaranya yang Sunni, percaya pada hadis tentang pentingnya Al Quran dan Sunnah. Namun, berbeda dengan Sunni, mereka lebih kuat berpegang pada hadis lain (juga diriwayatkan banyak sumber Sunni) yang mengharuskan berpegang kepada Al Quran dan Ahlul Bait—yang mana keduanya tidak akan berpisah hingga akhir zaman sehingga tidak akan tersesat siapa pun yang berpegang pada keduanya.
    Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan itu hanya soal cabang agama (furu’), dan bukan masalah pokok ajaran Islam (ushuluddin). Tak aneh jika tokoh sekaliber Abdurrahman Wahid mengakui bahwa Syiah adalah mazhab kelima dalam Islam (Daniel Dhakidae, 2003).
  • Tinggalkan Pendekatan Instan dan Pencitraan

    Tinggalkan Pendekatan Instan dan Pencitraan
    Siti Maimunah, BADAN PENGURUS JARINGAN ADVOKASI TAMBANG (JATAM)
    Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012
    Langkah investigasi dan pembentukan tim pencari fakta seolah menjadi jurus sakti Presiden SBY menghadapi kasus-kasus konflik agraria dan sumber daya alam, yang meningkat dari tahun ke tahun.
    Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Mesuji (Kompas, 15/12/2011), dan menjawab kasus Bima dengan perintah investigasi mengusut penyebabnya (Kompas, 26/12). Jawaban instan dan berbau pencitraan itu dijamin tak akan menyelesaikan masalah, apalagi mengurangi konflik serupa.
    Konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam berpangkal paradigma memandang tanah dan sumber daya alam sebagai komoditas dagang, penghasil devisa. Akibatnya, kawasan-kawasan kaya sumber daya alam, baik kaya bahan tambang, migas, perikanan, maupun kayu, dibuka seluas-luasnya untuk dieksploitasi. Setiap periode pemerintahan seolah berlomba melakukan ”keruk habis, jual cepat” sumber daya alam. Dari sinilah akar ketimpangan struktur agraria terjadi.
    Kebijakan yang dikeluarkan menjadi pintu masuk perlombaan itu. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), misalnya, menggantikan UU lama yang berlaku 42 tahun sebelumnya, tak banyak memberi harapan. Pesan utama UU Minerba adalah keluarkan izin pertambangan sebanyak-banyaknya, jika perlu dengan mengkriminalisasi warga. Padahal, kawasan-kawasan berizin itu juga ruang hidup dan sumber mata pencarian warga.
    Salah Urus
    Segala cara digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, di antaranya mengundang investasi asing, kemudahan mengeluarkan izin konsesi, dan menjadikan perusahaan tambang sebagai obyek vital nasional. Tindakan ini tak hanya menghasilkan karut-marut perizinan, juga konflik, pemiskinan, dan pelanggaran HAM.
    Di sektor pertambangan saja, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, hingga 2011 setidaknya ada 8.263 izin pertambangan mineral dan batubara. Sebagian besar keluar pada masa Kabinet Indonesia Bersatu. Pemerintah mengumumkan 6.000 izin itu tumpang tindih dengan peruntukan lainnya (Kompas, 26/5). Kementerian Kehutanan dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bahkan mengungkap 1.236 unit perusahaan tambang di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat beroperasi tanpa izin. Melihat karut-marut ini, langkah moratorium seluruh perizinan eksploitasi sumber daya alam untuk penataan yang lebih adil dan bermartabat tak bisa lagi menunggu.
    Bagaimana dengan konflik? Konflik jadi keniscayaan di kawasan kaya sumber daya alam Tahun ini, Jatam mencatat sedikitnya terjadi 153 konflik pertambangan. Sementara Sawit Watch mengumumkan setidaknya 663 konflik terjadi dalam lima tahun terakhir di perkebunan besar sawit. Jenis konflik beragam, mulai dari kriminalisasi, penggusuran, pemecatan buruh, pencemaran lingkungan, kekerasan, hingga penembakan seperti di Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan), Tiaka (Sulawesi Tengah), Bima (Nusa Tenggara Barat), dan kasus Freeport di Timika, Papua.
    Celakanya, di banyak konflik, polisi dan tentara bukannya jadi penengah, apalagi melindungi rakyat, justru pelindung perusahaan. Nyawa warga justru melayang di tangan polisi, setidaknya pada kasus Freeport, Tiaka, Mesuji, dan Bima.
    Salah satu penyebabnya adalah pemerintah mengistimewakan perusahaan tambang sebagai obyek vital nasional sehingga perlu diamankan. Pengamanan tentu tak gratis. Siapa yang mau bayar, dia yang aman.
    Pada November 2011, sekitar 176 perusahaan tambang telah menandatangani nota kesepakatan (MOU) dengan polisi untuk pendanaan pengamanan obyek vital nasional. Dana itu digunakan untuk pembelian pengamanan Polri guna mengamankan obyek vital nasional di sektor pertambangan. Jika ini terus berlangsung, reformasi di tubuh kepolisian yang digagas sejak 1999 jelas akan sia-sia.
    Pelembagaan Penyelesaian
    Kasus Mesuji dan Bima hanya kepingan puncak gunung es dari salah urus agraria dan sumber daya alam sejak masa Soeharto. Sepanjang 1970 hingga 2001, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sengketa agraria 1.753 kasus, tersebar di 2.834 desa dan kelurahan. Tanah yang disengketakan mencapai 10,9 juta hektar dan hampir 1,2 juta keluarga menjadi korban.
    Konflik-konflik itu tak pernah diselesaikan dengan adil dan memadai. Korbannya bahkan bertambah setiap tahun, bersama naiknya jumlah kegiatan industri ekstraktif di masa Presiden SBY.
    Kini, lebih dari 79 juta hektar tanah dikuasai perusahaan kayu, perkebunan besar sawit, dan pertambangan, belum termasuk tambang migas. Sementara lebih dari 32 juta rumah tangga petani kita tak bertanah dan berlahan sempit (BPS, 2003). Salah urus dan pembiaran terhadap ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pengelolaan tanah dan sumber daya alam ini akan terus menyuburkan konflik.
    Pembentukan panitia nasional penyelesaian konflik yang saat ini dituntut masyarakat sipil sebenarnya disuarakan sejak 10 tahun lalu. Sayangnya, gagasan pembentukan Komisi Penyelesaian Konflik Agraria yang dimandatkan Tap MPR-RI No IX Tahun 2001 kandas di tangan Presiden Megawati, juga SBY. Keduanya menolak gagasan itu. Sejak itu, upaya-upaya pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM dalam pengelolaan sumber daya alam, apalagi pemulihan korban, seolah jalan di tempat.
    Presiden SBY harus menyudahi pendekatan instan dan pencitraan di ujung tahun ini. Mari membuat 2012 sebagai tahun harapan dengan menyegerakan tindakan sistematis memperbaiki salah urus agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Jika tidak, Mesuji dan Bima yang lain menunggu di depan pintu.
  • Mengamankan RUU Keamanan Nasional

    Mengamankan RUU Keamanan Nasional
    J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
    Sumber : KOMPAS, 3 Januari 2012
    Pergantian tahun kali ini disikapi publik dengan perasaan mendua. Di satu sisi masyarakat mendambakan tahun depan kehidupan lebih aman dan sejahtera, tetapi di sisi lain masyarakat dihadapkan realitas berupa gangguan rasa aman karena terjadinya kekerasan, baik vertikal (antara aparat dan warga) maupun horizontal (sesama warga). 
    Rentang wilayah mulai dari Aceh sampai Papua; puluhan korban tewas. Bahkan, akhir 2011, kekerasan dirasakan semakin meningkat dan membuat miris, antara lain di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan; Kabupaten Mesuji, Lampung; Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat; dan Kabupaten Sampang, Jawa Timur (antara penganut Syiah dan Sunni). Spektrum penyebabnya beragam dan bertali-temali: konflik pilkada, perebutan lahan, toleransi masyarakat yang merosot, tekanan ekonomi, rasa ketidakadilan, dan lain sebagainya.
    Angan-angan masyarakat dapat menikmati kehidupan bebas dari rasa cemas, takut, dan sejenisnya bukan tanpa harapan. Peluang muncul karena draf regulasi yang menjamin rasa aman dan hidup sejahtera— setelah lebih kurang satu dekade diperdebatkan—yaitu Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas), akhirnya diselesaikan pemerintah. RUU ini sangat penting. Pertama, mengatur secara komprehensif regulasi yang dapat menjadi sarana mewujudkan Indonesia yang aman dan sejahtera di tengah persaingan global yang intensitasnya semakin sengit. Kedua, garda perangkat lunak yang diharapkan dapat mengamankan kepentingan nasional (national interest) bangsa Indonesia dari berbagai ancaman yang spektrumnya amat luas, kompleks, dan multidimensi, mulai dari ancaman keamanan dan ketertiban dalam negeri sampai dengan ancaman militer asing. Eksistensi dan survivalitas bangsa sangat tergantung dari komitmen seluruh komponen bangsa menyusun RUU Kamnas yang berkualitas.
    Harapan juga semakin besar karena beberapa hal. Pertama, keterlibatan publik tidak hanya menghasilkan beberapa gagasan cemerlang, tetapi juga melakukan pendidikan publik mengenai isu-isu sekitar keamanan nasional pada rezim sebelumnya yang dianggap tabu. Lainnya adalah prinsip-prinsip RUU Kamnas, selain menjaga keutuhan NKRI dan negara hukum, dilengkapi pula dengan asas-asas hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup, keutuhan NKRI, demokrasi, serta hukum internasional. Cakupan keamanan nasional juga meliputi keamanan insani (human security) dengan segala hak kodrati yang melekat kepadanya.
    Kedua, tercapainya kesepakatan judul RUU adalah Keamanan Nasional. Sebelumnya terjadi perdebatan panjang untuk menentukan pilihan antara terminologi Keamanan Negara dan Keamanan Nasional. Perdebatan menjadi lebih kompleks karena berkaitan dengan tataran kewenangan TNI dan Polri. Sumbernya adalah ”kecelakaan sejarah” karena UUD 1945 dan Tap MPR secara simplistis memisahkan secara kategoris pertahanan adalah wilayah TNI, sementara keamanan dan ketertiban umum wewenang Polri. Sejumlah kalangan Polri sejak awal khawatir dengan istilah Keamanan Nasional akan mereduksi kedudukan dan kewenangan Polri dalam melaksanakan tugas keamanan dan ketertiban umum. Rasa khawatir mungkin trauma masa lalu Polri sebagai anak bungsu keluarga ABRI, sebagai konsekuensi Polri bagian dari ABRI. Sejalan dengan kesepakatan di atas, pembentukan Dewan Keamanan Nasional juga bukan lagi isu yang krusial. Semula pembentukan Dewan Keamanan Nasional menjadi isu krusial karena berkaitan dengan keberadaan Dewan Pertahanan Nasional dan Sekretaris Jenderal Ketahanan Nasional.
    Namun, harapan tersebut masih harus diperjuangkan dengan gigih, mengingat ancaman yang paling besar terhadap RUU Kamnas adalah nafsu self interest (kepentingan pribadi/kelompok) elite politik jauh melampaui komitmen mereka untuk lebih mengedepankan national interest. Tidak terlalu berlebihan kalau bangsa Indonesia saat ini dikepung berbagai ancaman yang disebabkan oleh korupsi dan transaksi politik yang sistemis dalam proses politik, jaringan mafia bertebaran di setiap sektor kehidupan bernegara sehingga negara menjadi amat lemah, kredibilitas negara di mata publik terus merosot. Tingkat efikasi politik, kepercayaan publik terhadap kemampuan dirinya memengaruhi kebijakan publik, amat rendah. Demikian pula kelas menengah menjadi semakin apatis. Modal sosial, rasa saling percaya di antara penyelenggara negara dan antarwarga, juga merosot.
    Oleh sebab itu, keberhasilan menyusun RUU Kamnas tergantung dari beberapa hal. Pertama, para pembuat regulasi harus benar-benar sadar dan meyakini bahwa UU Kamnas adalah regulasi yang sangat penting untuk mengamankan kepentingan nasional. Ini harga mati. Maka, mereka harus mewujudkan komitmen dengan sungguh-sungguh, tekad, serta niat yang sangat kuat dan luhur. Selain itu, regulator juga harus meningkatkan paradigma dari reformasi sektor keamanan nasional menjadi transformasi sektor keamanan nasional, mengingat tantangan dan kompleksitas ancaman yang semakin rumit. Pertaruhan kegagalan menyusun UU Kamnas adalah keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
    Kedua, kesediaan elite politik memanfaatkan gagasan dan kajian masyarakat mengenai reformasi sektor keamanan nasional. Hal itu perlu dilakukan karena draf yang disampaikan pemerintah belum sepenuhnya menyerap aspirasi publik.
    Ketiga, dibentuk semacam tim pendamping yang terdiri atas berbagai unsur, terutama yang selama ini mendalami kajian tentang reformasi keamanan nasional.
  • Proporsional Terbuka vs Tertutup

    Proporsional Terbuka vs Tertutup
    Rusmin Effendy, TENAGA AHLI DPR RI
    Sumber : SUARA KARYA, 3 Januari 2012
    Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) No.10/2008 tentang Pemilihan Umum Angota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) yang ditargetkan selesai Maret 2012, tampaknya bakal menemukan banyak persoalan. Hingga saat ini, fraksi-fraksi di DPR belum mencapai kesepakatan mengenai beberapa poin yang dianggap krusial, antara lain besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) antara 4-5 persen, alokasi kursi per daerah pemilihan antara 3-8 kursi, penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup, mekanisme penghitungan suara dan konversi alokasi kursi per dapil atau provinsi serta penggunaan sistem contreng atau pencoblosan.Salah satu yang menarik dikaji adalah wacana PDIP untuk kembali pada sistem proporsional tertutup (closed list system) atau yang lebih populer disebut sistem nomor urut dari daftar calon anggota legislatif (caleg).
    Logika politik kembali ke sistem nomor urut ini dianggap lebih demokratis ketimbang pelaksanaan sistem proporsional terbuka (open list system) akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, mengubah sistem Pemilu legislatif dari sistem proporsional terbuka (Pasal 5 ayat 1 UU No 10 Tahun 2008) dengan suara terbanyak. Sayangnya, putusan MK tersebut bukan merupakan terobosan politik yang pantas diapresiasi sebagai wujud keterwakilan rakyat, karena putusan itu tidak serta merta diikuti dengan pelaksanaan teknis bahkan menimbulkan kekosongan hukum pada proses penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak. Karena MK juga tidak menjelaskan secara rinci apakah suara terbanyak dalam arti mayoritas atau pluralitas.
    Jika suara terbanyak, dalam arti mayoritas menetapkan caleg terpilih berdasarkan jumlah perolehan suara pemenang yang melebihi kombinasi jumlah perolehan suara calon lain. Sedangkan pluralitas menetapkan caleg terpilih berdasarkan jumlah perolehan suara pemenang melebihi jumlah suara tiap calon. Akibatnya, putusan MK yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai wujud keterwakilan rakyat justru menghasilkan Pemilu 2009 menjadi pemilu yang terburuk dalam sepanjang sejarah karena banyak menyisakan persoalan penghitungan kursi seperti sehingga melahirkan “kursi haram” para wakil rakyat yang sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya. Terbuka Vs Tertutup. Salah satu terobosan dari reformasi politik adalah pelaksanaan Pemilu 2004-2009, karena parpol telah menyaratkan pencalonan wakil rakyat yang dianggap paling representatif melalui sistem proporsional terbuka (open list system) dengan cara memberikan keleluasaan pada pemilih untuk memilih secara langsung nama calon, sehingga dengan cara seperti itu diharapkan pemilih (rakyat) dapat menentukan sendiri pilihannya sesuai yang diinginkan.
    Oleh sebagian kalangan sistim proporsional terbuka dianggap paling ideal sebagai wujud keterwakilan rakyat, menciptakan kompetisi antar sesama caleg partai untuk bersaing, bahkan dianggap lebih demokratis di internal partai, mengkikis sistem oligarki partai, dan mendapatkan calon terpilih yang lebih akuntabel kepada konstituennya. Karena, melalui sistem ini hanya caleg yang meraih dukungan rakyat penuh yang bisa duduk di kursi legislatif.
    Kelemahan dari sistem proporsional terbuka justru tidak mendidik masyarakat karena terbuka peluang praktik money politics, biaya kampanye yang semakin mahal, menjadikan kader partai yang tidak memiliki idiologi serta kepedulian terhadap partai. Juga, terjadinya persaingan antar caleg dan berpotensi memicu konflik, baik antar caleg satu partai maupun caleg beda partai serta kesulitan dalam rekapitulasi hasil pemilu. Sedangkan pada sistem proporsional tertutup (closed list system) terjadi penguatan institusi partai, proses rekrutmen caleg lebih terfokus bahkan bisa mengurangi persaingan yang tidak fair antar caleg di satu partai maupun persaingan antar caleg dengan partai lain.
    Pengalaman Pemilu 2009, persaingan antar caleg cenderung liberal (bebas) dan disinyalir menggunakan segala cara termasuk politik uang untuk memperoleh suara terbanyak. Selain itu, sistem proporsional tertutup dikhawatirkan memicu sikap apatis rakyat untuk ikut pemilu, karena sistem nomor urut menyuburkan kolusi kader dengan pengurus partai. Peluang bagi orang baru di partai untuk menjadi caleg tertutup.
    Dengan demikian dapat dipahami, setiap sistem memiliki kelebihan dan kelemahan. Sistem pemilu proporsional tertutup dengan mencontreng tanda gambar partai atau sistem pemilu proporsional terbuka dengan mencoblos nama caleg sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan. Namun, pengalaman membuktikan sistem proporsional tertutup jauh lebih baik, jauh lebih demokratis. Ini bukan hanya karena pertimbangan pragmatis, tapi juga idealisme, yakni nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai. Sistem nomor urut memperkuat kepartaian, memperkuat kaderisasi, mencegah korupsi dan kolusi yang lebih masif yang langsung merugikan rakyat, dan membuat demokrasi lebih berkualitas. Yang paling penting bagi rakyat adalah dalam penyusunan nomor urut caleg, faktor kapabilitas dan integritas caleg benar-benar menjadi pertimbangan utama.
    Perlu dicatat, di negara-negara yang dianggap paling demokratis pun, tidak ada sistem pemilu yang sempurna mewujudkan keterwakilan rakyat. Akhirnya, sistem apa yang hendak diadopsi sepenuhnya tergantung pada tujuan akhir yang ingin dicapai dari pengambil kebijakan. Paling tidak, pelaksanaan sistem pemilu dengan repsetentasi proporsional dianggap lebih adil dibandingkan representasi mayoritarian karena perimbangan kursi yang diperoleh dalam pemilu.