Blog
-
Menuju Pemilu Modern 2014
Menuju Pemilu Modern 2014Sulistyo, MASTER DIBIDANG KOMUNIKIASI, KINI DIREKTUR EKSEKUTIF STUDY KLUB DEMOKRASISumber : SUARA KARYA, 4 Januari 2012Pemilihan umum (pemilu) semestinya dimaknai bukan semata-mata sebuah kontestasi politik melainkan juga sebuah mekanisme untuk menemukan putera-puteri anak negeri terbaik yang memiliki kompetensi menduduki jabatan-jabatan publik yang dikontestasikan. Karenanya, keberhasilan sebuah pemilu tidak semata-mata dilihat dari suksesnya penyelenggaraan pemilu secara prosedural tetapi juga perlu dilihat sejauh mana para pemegang jabatan publik hasil pemilu, pemegang otoritas terpilih itu mampu menjalankan fungsi dan perannya secara maksimal. Itu, kemudian berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kebermartabatan dalam berbangsa dan negara.Dari pemikiran tersebut, sepantasnya kita berusaha agar Pemilu 2014 mendatang bisa menjadi sebuah pemilu yang demokratis dan modern. Yakni, pemilu yang mengedepankan substansi dan rasionalitas. Kesuksesan pemilu menuntut kepedulian semua pihak untuk mengambil tanggung jawab dalam menyukseskan pemilu. Tidak hanya lembaga formal penyelenggaran pemilu (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu) serta para peserta pemilihan umum, tetapi juga para warga negara pemilih yang perlu bersungguh-sungguh menggunakan hak pilihnya secara sadar dan rasional, bukan semata-mata pertimbangan emosional apalagi atas dasar saweran, yakni menentukan pilihan hanya karena imbalan uang.Pemilu memang merupakan pilar utama dalam demokrasi, dia merupakan proses akumulasi kehendak warga negara sekaligus prosedur memilih pemimpin atau mekanisme suksesi dan sirkulasi elit politik yang paling tertib dan aman. Pemilu juga berfungsi sebagai legitimasi politik dan pendidikan politik. Dengan Pemilu, ruang politik publik demikian terbuka.Perbaikan sistem terus dilakukan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beserta Pemerintah, sebagai penyedia sistem pun kini tengah bekerja menyelesaikan sejumlah undang-undang. Nampaknya, sistem perwakilan proporsional, dengan membentuk daerah pemilihan yang kecil provinsi atau bagian provinsi (semacam distrik) tetap dipertahankan. Sistem ini memang semakin mendekatkan kontestan dengan pemilih. Apalagi dengan tidak perwakilan tunggal, sesungguhnya dapat mempermudah garis-garis komunikasi antara otoritas terpilih dengan rakyat pemberi suara. Fungsi keterwakilan dan akuntabilitas dapat lebih dimaksimalkan. Perwakilan banyak dalam sebuah daerah pemilihan juga lebih memastikan bahwa semua kelompok dalam masyarakat yang sangat bhineka, plural, merasa disertakan dalam proses politik atau lebih merefleksikan keberagaman.Sebaliknya, karena kedekatan calon dengan pemilih, ditambah semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi sebagai akibat semakin bebasnya media massa menyampaikan informasi, maka menjadi tantangan bagi pejabat terpilih dan partai politik, karena sepak terjangnya teramati terus. Ini menuntut keharusan bagi pejabat publik untuk menjalankan tugasnya sebagaimana yang dikehendaki rakyat pemilihnya. Dia harus bekerja dibawah kontrol terus-menerus dari publik. Di era keterbukaan informasi ini, jika pejabat terpilih mengabaikan kehendak publik, maka hampir dipastikan dia akan ditinggalkan oleh pemilihnya.Standar kompetensiKarena itulah, tantangan bagi partai-politik untuk terus mengembangkan dirinya agar tetap diterima rakyat pemilihnya. Sebagai penyedia bahan baku untuk anggota DPR, DPRD bahkan pasangan presiden dan wakil presiden, partai politik dituntut keikhlasan dan kesediannya menggunakan pendekatan standar kompetensi. Partai haruslah menjadi seleksi awal dengan memilih anggota-anggota terbaiknya untuk menduduki jabatan-jabatan sebagaimana kompetensinya. Pertimbangan elektabilitas calon juga harus disertai pertimbangan kapasitas dan kompetensi. Dengan demikian, partai menjalankan fungsi kaderisasi dan pendidikan politik bagi rakyat.Belajar dari pengalaman, banyaknya anggota partai politik yang menduduki jabatan publik dan tersandung kasus suap, gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang serta narkoba, memberi gambaran bahwa partai bersangkutan belum memaksimalkan pendekatan kompetensi dalam rekrutmen kepemimpinannya. Jika ini terus berlangsung, maka tingkat kepercayaan rakyat kepada partai akan terus menurun. Bagaimana pun, kinerja politik dari anggota partai yang menduduki jabatan publik adalah instrumen kampanye paling efektif bagi partai politik. Standar kompetensi juga harus diterapkan pada para penyelenggaran pemilu, KPU dan Bawaslu, mengingat dua lembaga itu memiliki peran strategis dalam penyuksesan pemilu. Kasus kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), kisruh penetapan calon terpilih dan munculnya surat palsu MK serta mundurnya anggota KPU sebelum habis masa tugasnya hanya karena tertarik pada jabatan lain, juga memberi gambaran betapa mereka kurang memiliki kompetensi. Selayaknya, ke depan kasus-kasus seperti itu tidak terulang lagi.Yang juga perlu menjadi catatan penting dari KPU yang sekarang adalah adanya berita pemusnahan dokumen pemilu sebagaimana santer diberitakan sejumlah media beberapa waktu lalu. Dokumen pemilu yang dimusnahkan itu, antara lain menyangkut Berita Acara dan Sertifikat Hasil Pemilu di tingkat TPS (Formulir C-1) yang terjadi di sebagian besar daerah (KPU Kabupaten/Kota) di wilayah NKRI.Dokumen-dokumen tesebut, tentu harus dipahami bukanlah semata-mata dokumen yang terkait dengan keperluan sengketa pemilu, sehingga perlu dimusnahkan ketika masa gugatan sengketa pemilu telah berakhir. Semestinya, dokumen pemilu itu harus dimaknai sebagai dokumen sejarah milik negara yang bisa bercerita banyak dikemudian hari. ● -
Menggugat Macetnya Reformasi Birokrasi
Menggugat Macetnya Reformasi BirokrasiAbdul Salam, PNS, HUMAS DAN PROTOKOL PEMKAB PROBOLINGGO, JAWA TIMURSumber : SUARA KARYA, 4 Januari 2012Meski reformasi sudah berjalan selama 13 tahun, penataan birokrasi seakan berada di dunia tersendiri dalam tata kelola pemerintahan Indonesia. Perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan pola spoil system, jual-beli jabatan, mutasi buta, pungutan liar, dan lain sebagainya seakan paradoks dengan cita-cita good governance.Dalam sebuah seminar nasional mengenai reformasi birokrasi diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) di Bandar Lampung, beberapa waktu lalu yang menghadirkan Sekjen Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Siti Nurbaya, seakan ingin menjelaskan kepada masyarakat, betapa pemerintah di bawah rezim SBY berusaha ingin memperbaiki kualitas pelayanan aparatur negara melalui reformasi birokrasi. Namun, sejatinya masyarakat mulai apatis dengan upaya pemerintah dalam menata aparatnya karena reformasi birokrasi hanya sebatas “mengutak-atik” sesuatu yang normatif dan idealis. Pijakannya bukan pada data faktual atau empirik, melainkan atas dasar normatif atau tata aturan yang bisa diterjemahkan sendiri-sendiri, mulai dari kepala daerah sampai kepala negara.Silang sengkarut tata pemerintahan yang dikelola birokrat berwatak korup ternyata menjadi epidemi dan turun-temurun secara genetik. Aparatur pemerintah yang seharusnya melayani rakyat justru minta kompensasi melalui pungutan dalam setiap jasa pelayanan. Tetapi uniknya, ketika ada upaya penertiban dan pembenahan, hanya surut sesaat yang kemudian marak lagi bahkan cenderung merajalela.Kenapa birokrasi begitu sulit ditata?Tegas saja, karena kesalahan sudah dilakukan sejak awal proses rekrutmen. Mindset para pemegang kebijakan dalam rekrutmen CPNS, baik di daerah maupun pusat, menganggap penerimaan pegawai merupakan komoditas yang memiliki nilai profit yang tinggi. Proses kapitalisasi kedua pihak ini kemudian menjadi siklus yang selalu berulang setiap tahun secara berjenjang hingga menjadi lingkaran setan yang sulit diurai.Selain itu, rekrutmen CPNS melalui pola spoil system diyakini memperburuk kinerja birokrat, baik lokal maupun internasional, karena seleksi bukan didasarkan pada kualitas atau kompetensi, melainkan atas kedekatan dengan kekuasaan.Praktek ini biasanya marak sebagai kompensasi (rent seeking) usai pemilu atau pemilukada. Rekrutmen yang seharusnya melalui pola merrit system, sebagaimana yang diharapkan peneliti utama LIPI Siti Zuhro, ternyata hanya utopis belaka.Reformasi birokrasi makin termehek-mehek manakala kepala daerah melakukan mutasi pegawai. Cara ini sekaligus menjadi justifikasi atas nama penyegaran dengan memperjualbelikan jabatan dan sudah tentu tanpa mempertimbangkan kompetensi. Oleh sebab itu, tidak heran jika ada kebijakan kepala daerah yang menempatkan dokter hewan menjadi direktur utama rumah sakit (manusia), guru menjadi camat, dan lain sebagainya.Lembah KKNUndang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberi ruang bagi kepala daerah untuk mengatur sendiri pola dan teknis pelayanan publik dan pemerintahan tanpa harus menunggu instruksi dari Pemerintah Pusat. Dengan begitu, daerah diberi keleluasaan mengatur sumber-sumber daya, potensi daerah, mengembangkan SDM aparatur daerah yang responsif, adaptatif, dan memahami kebutuhan serta karakteristik daerah.Kepala daerah diberi ruang kreasi, inovasi, dan alternatif solusi untuk mempercepat kemakmuran rakyat, kedekatan pelayanan publik, dan pemerintahan. Singkatnya, otonomi daerah benar-benar memberi ruang luas bagi kepala daerah untuk mengembangkan diri dalam mengelola daerahnya.Apa hasilnya? Alih-alih dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, pengangguran justru terus meningkat. Meskipun telah lebih 11 tahun pelaksanaan otonomi daerah, hanya terbilang puluhan daerah dari 497 kabupaten dan kota, yang berhasil menerobos kebekuan tata cara pemerintahan yang konvensional kepada pemerintahan yang inovatif dan kreatif.Sisanya masih berkutat di lembah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Banyaknya kepala daerah yang berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana memperkuat argumentasi kepala daerah lebih berorientasi pada kekuasaan, bukan kewenangan.Staf pengajar FISIP Unila Ari Darmastuti mengatakan, birokrasi masih mengalami politisasi yang sangat kuat, khususnya berkenaan dengan kepentingan pemilukada. Birokrasi yang seharusnya netral dalam pemilukada justru sibuk dengan urusan “menentukan arah angin yang benar” agar tidak tersingkir karena kesalahan memilih calon kepala daerah.Reformasi seakan menjadi obat penenang manakala rakyat menuntut perbaikan birokrasi sebagaimana juga di bidang penegakan hukum, pendidikan, perpajakan, dan lain sebagainya. Tetapi pertanyaannya, adakah pihak yang belum terkontaminasi oleh virus KKN untuk melakukan reformasi? Karena jika tidak ada, reformasi birokrasi yang ditawarkan tidak lebih dari sekadar reformasi semu, yang hanya mempersoalkan efektivitas tata aturan dan kemudian muncul regulasi baru.Banyaknya “penumpang gelap” reformasi yang masih bercokol di lembaga pemerintah diduga menjadi penyebab reformasi birokrasi tidak berjalan sesuai harapan. Mereka sangat nyaman berada pada posisi “basah”, sehingga berusaha mempertahankan status quo birokrasi. ● -
Prospek Penegakan Hukum 2012
Prospek Penegakan Hukum 2012Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANGSumber : KORAN TEMPO, 4 Januari 2012Bagaimana prospek penegakan hukum tahun 2012? Melihat potret penegakan hukum selama 2011, pertanyaan tersebut menjadi tak sederhana untuk dijawab. Sejauh yang bisa ditelusuri, tahun yang baru saja berpisah dengan kita meninggalkan banyak catatan kegagalan dan duka dalam penegakan hukum. Bahkan kenaikan indeks persepsi korupsi (IPK) dari 2,8 (2010) menjadi 3,0 (2011) masih amat jauh dari cukup guna menutup kusut-masai wajah penegakan hukum. Bahkan, dalam banyak kasus, penegakan hukum selama 2011 seperti sedang bergerak memasuki jalur lambat.Dari catatan yang ada, sejumlah kasus, terutama yang terkategori skandal, sepertinya masih sulit dijamah hingga tuntas dalam proses penegakan hukum. Kesulitan itu tidak hanya dapat dilacak dari luncuran kasus yang tersisa di sepanjang 2010, tetapi juga dari sejumlah kasus yang terkuak sepanjang 2011. Di antara luncuran kasus pada 2010 yang masih menggantung adalah penyelesaian skandal mafia pajak dengan tokoh sentral Gayus H.P. Tambunan. Banyak pihak berharap semua jejaring, termasuk perusahaan besar yang menikmati jasa Gayus, bisa diungkap. Namun, jauh panggang dari api, proses hukum kehilangan energi bekerja lebih jauh dan sepertinya akan macet total sampai di Gayus.Selain luncuran 2010, skandal yang terungkap sepanjang 2011 pun tidak menunjukkan penyelesaian yang menggembirakan. Kesulitan proses hukum menjamah mereka yang memiliki posisi politik kuat setidaknya dapat ditelusuri dari penyelesaian skandal yang menempatkan M. Nazaruddin sebagai tokoh sentral. Sebagaimana diketahui, sejak skandal ini terkuak, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat ini telah menyebutkan sejumlah nama penting. Tidak hanya dalam pelarian, Nazaruddin juga menyebutnya ketika memberikan keterangan dalam proses hukum. Aneh, sampai akhir 2011, proses hukum kehilangan kemampuan bergerak lebih jauh.Catatan sepanjang 2011 masih bisa ditambah dengan skandal yang terjadi pada Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sejauh ini, proses hukum kedua skandal ini masih bergerak pada level ketiga dan keempat. Padahal, melihat pola umum di lingkungan pemerintah, kasus suap dalam skala besar sulit untuk tidak melibatkan pejabat di level yang lebih tinggi. Sama dengan skandal Nazaruddin, pengalaman proses hukum di kedua kementerian tersebut menunjukkan betapa sulitnya penegakan hukum bekerja bagi mereka yang berada pada posisi politik lebih tinggi.Kembali ke pertanyaan awal, di tengah potret buram wajah penegakan hukum 2011, prospek penegakan hukum 2012 dapat saja bergerak menuju arah yang lebih baik sekiranya beberapa kondisi yang ada dapat dioptimalkan. Misalnya, motivasi guna meningkatkan IPK Indonesia sehingga mampu berada melewati Thailand, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Meskipun niat melewati ketiga negara tetangga itu ditargetkan dalam dua-tiga tahun ke depan, langkah konkret harus dimulai dari sekarang. Salah satu langkah tersebut, segera dilakukan evaluasi terhadap upaya reformasi internal lembaga penegak hukum khususnya kepolisian dan kejaksaan.Dalam konteks penegakan hukum, evaluasi terhadap reformasi internal kepolisian dan kejaksaan tidak hanya dimaksudkan sebatas untuk memenuhi target kenaikan IPK, tetapi juga untuk tetap memelihara asa dalam penegakan hukum. Sekiranya mau berkata jujur, selama ini langkah reformasi internal kepolisian dan kejaksaan dapat dikatakan jalan di tempat. Salah satu bukti yang dapat dikemukakan adalah sulitnya menghentikan praktek suap. Setidaknya hal ini dikemukakan oleh Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen bahwa kejaksaan masih terbelit penyakit lama (Suara Pembaruan, 2 Januari).Begitu pula dengan kepolisian, sejumlah kasus menunjukkan betapa polisi cenderung berpihak kepada pemilik dan sumber-sumber ekonomi kuat. Karena kecenderungan tersebut, polisi acap kali “berhadapan” dengan masyarakat yang seharusnya mereka lindungi. Bukan tidak mungkin kasus Mesuji dan Bima merupakan puncak gunung es potret kecenderungan itu. Dari berbagai perspektif, kasus itu tidak hanya merusak citra polisi tetapi juga menampar wajah kita semua. Bahkan, dalam konteks penegakan hukum, pengalaman tersebut potensial meluruhkan kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi polisi sebagai penegak hukum.Banyak kalangan percaya, sekiranya terjadi perubahan mendasar bagi kepolisian dan kejaksaan, harapan terjadi perubahan bermakna dalam penegakan hukum kian terbuka lebar. Fokus khusus bagi kedua institusi ini diperlukan, karena tidak mungkin bicara perbaikan dalam penegakan hukum jika institusi kepolisian dan kejaksaan tidak beringsut jauh dari sekarang. Dalam konteks itu, Presiden Yudhoyono via Satgas Pemberantasan Mafia Hukum seharusnya mampu mendorong percepatan perubahan di tubuh kepolisian dan kejaksaan.Selain itu, kehadiran pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru juga menjadi harapan dalam penegakan hukum. Meski sama-sama penegak hukum dengan polisi dan jaksa, KPK memiliki beban khusus dalam penegakan hukum. Beban khusus itu karena KPK memiliki wewenang pemberantasan korupsi dengan karakter extraordinary. Harapan atas penegakan hukum akan tumbuh seiring dengan kemampuan KPK menuntaskan beberapa skandal besar yang masih menggantung.Berdasarkan catatan yang ada, keberanian ekstra KPK diperlukan dalam membongkar hingga tuntas megaskandal yang melibatkan Nazaruddin. Keberanian serupa diperlukan pula dalam mengurai skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana KPK mengambil manfaat dari “pengembalian” Nunun Nurbaetie ke Tanah Air. Jika KPK mau dan mampu melakukan langkah besar, gairah penegakan hukum akan tumbuh kembali.Meskipun intervensi politik masih menjadi ancaman, selama penegak hukum mampu menjaga kemandirian, upaya tersebut tidak merupakan masalah serius. Karena itu, prospek penegakan hukum sangat bergantung pada perubahan mendasar di lembaga penegak hukum. Tanpa itu, potret penegakan hukum tahun 2012 tidak akan banyak berubah. ● -
Sunni, Syiah, dan Ruang Kosong Budaya
Sunni, Syiah, dan Ruang Kosong BudayaMuhammad Ja’far, PENELITI INDOPOL RESEARCH CENTRESumber : KORAN TEMPO, 4 Januari 2012“Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan NU. Terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Ini substansi pernyataan Gus Dur di atas.Namun sangat memprihatinkan, baru-baru ini terjadi tindak kekerasan terhadap muslim Syiah di Sampang, Madura, salah satu basis NU. Sebuah pesantren Syiah dibakar massa karena aliran itu dinilai sebagai ajaran sesat. Tindak serupa ini bukan yang pertama, baik di Madura maupun di daerah lain di provinsi yang sama, Jawa Timur. Sebelumnya, di Bondowoso, Pasuruan, Malang, dan Bangil pernah terjadi penyerangan terhadap muslim Syiah.Eskalasi ini terjadi kira-kira dalam tempo empat tahun terakhir. Seharusnya ini menjadi catatan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur beserta jajaran keamanannya untuk mengantisipasi dan mencari solusi. Sebelum eskalasi konflik terjadi, horizon keislaman di Jawa Timur sangat kondusif. Aroma Islam toleran sangat kuat di provinsi ini. Kekhasan corak keislaman seperti ini tak lepas dari akar budaya Nahdlatul Ulama (NU) yang tertanam kuat.Said Agil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar NU, menegaskan bahwa selama ini Madura memiliki preseden positif soal hubungan antara muslim Sunni dan Syiah. Said mensinyalir kejadian ini diletupkan pihak ketiga yang ingin merusak keharmonisan tersebut.Sunni-Syiah SaudaraSecara substansial, hubungan antar muslim Sunni dan Syiah tidak memiliki rintangan signifikan bagi terjalinnya keharmonisan. Karena dua mazhab dalam Islam ini justru memiliki banyak titik kesamaan ketimbang perbedaan. Teologi Syiah dan Sunni tidak memiliki perbedaan mendasar. Baik dalam hal konsep ketuhanan (tauhid), kenabian, kitab suci Al-Quran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan persoalan teologis lainnya. Ini bisa dirujuk pada literatur teologi dan juga filsafat dari keduanya. Bahkan keduanya sering dipertemukan pada tokoh yang sama dengan pemikiran yang sepaham.Kajian tentang dialog Sunni-Syiah semakin intensif menemukan banyak kesamaan di satu sisi, dan menyadari bahwa perbedaan yang selama ini digaungkan sebenarnya tidak menyangkut aspek yang fundamental dari ajaran masing-masing. Namun, sayangnya, semakin dekatnya persaudaraan antara pemikiran Syiah dan Sunni ini hanya berhenti pada tataran elite. Umat secara mayoritas belum diberi asupan dakwah yang memadai tentang persaudaraan Sunni-Syiah. Ibarat piramida, di pucuk sebenarnya bertemu, namun di bawah terpisah jauh. Karena itu, yang berkembang di tingkat massa justru kesalahpahaman satu dengan yang lain. Mulai soal teologi hingga syariah. Di antaranya, kesalahpahaman bahwa Al-Quran Syiah dan Sunni berbeda, soal nikah mut’ah, penghormatan kepada sahabat, tata cara ibadah salat, dan lain sebagainya.Pada tingkat “elite”, kesalahpahaman ini dianggap tidak berdasar secara akademis, bahkan sekadar asumsi belaka. Namun, faktanya, kesalahpahaman ini fundamental, signifikan, dan berefek besar. Walhasil, ada jurang pemisah yang lebar antara proses dialog akademis pada tingkat intelektual dan pemahaman umat mayoritas. Ini terjadi karena belum dilakukan strategi dakwah yang secara serius berupaya untuk “membumikan” proses dialog yang terjadi pada tingkat “langit” tersebut. Kalaupun ada, hanya berupa produk buku dan produk akademis elitis lainnya. Padahal massa pada tingkat bawah memiliki “bahasa” tersendiri. Metode dakwahnya seharusnya dilakukan secara lebih sederhana.Pendekatan KulturalSangat menarik bahwa ternyata, secara kultural, banyak tradisi keislaman yang dipraktekkan di Indonesia memiliki akar pada ajaran dan tradisi Syiah. Tradisi Tabok dan peringatan bulan Muharam adalah salah satu contohnya. Tradisi ini sudah berkolaborasi dalam berbagai budaya: Jawa, Sulawesi, maupun Sumatera. Pada tanggal 10 Muharam, kita bisa melihat gelaran tradisi tersebut dalam berbagai wajah budaya, namun satu substansi. Artinya, secara kultural masyarakat Indonesia memiliki ikatan sosiologis dan historis yang kuat dengan ajaran Syiah.Tradisi-tradisi tersebut menunjukkan: pertama, bahwa di Indonesia pada dasarnya sudah terjalin harmoni yang kuat dan berlangsung berabad-abad antara Sunni dan Syiah. Demikian kuatnya hingga menyatu dalam sebuah tradisi bersama. Kedua, budaya adalah medium yang paling efektif sebagai pintu dialog dan harmoni. Sejauh ini, jalinan dialog dan harmoni Syiah-Sunni kurang memaksimalkan perangkat budaya sebagai mediumnya. Padahal dalam budayalah kita menemukan jejak-jejak harmoni antara muslim Sunni dan Syiah Indonesia.Budaya sangat efektif untuk menerjemahkan hasil dialog akademis pada tingkat intelektual ke dalam bahasa-bahasa yang sederhana yang mudah dicerna oleh umat secara keseluruhan. Dan berbagai kesalahpahaman yang terjadi antara umat Islam Sunni dan Syiah Indonesia, salah satunya, disebabkan oleh absennya budaya sebagai perangkat dakwah dan dialog. Perangkat hardware (teologi, syariah, fiqh) lebih dikedepankan ketimbang software (budaya, akhlak, moral). Padahal yang kedua justru lebih efektif untuk membangun harmoni. Absennya budaya ini menciptakan sebuah “ruang kosong” yang menjadi jurang pemisah antara dialog akademis (elite agama) dan umat.“Ruang kosong budaya” inilah yang kemudian diisi dan dimanipulasi oleh pihak atau kelompok tertentu, dengan kepentingan tertentu pula, untuk menciptakan kesalahpahaman-kesalahpahaman antara muslim Syiah dan muslim Sunni. Sebagaimana ditegaskan Said Agil Siradj. Dengan memanfaatkan “ruang kosong budaya” tersebut, pihak ketiga tersebut merekonstruksi sebuah pemahaman yang saling menyesatkan antara Sunni dan Syiah, sehingga muncul kecurigaan, kebencian, dan motif untuk berkonflik di antara keduanya.Ke depan, agenda yang sangat penting untuk dilakukan adalah penelitian komprehensif, baik kualitatif maupun kuantitatif, tentang peta kesalahpahaman tersebut. Bagaimana proses terbangunnya kesalahpahaman itu, seperti apa pola dan modusnya, seberapa jauh efek sosial-kulturalnya?Sebab, menurut saya, di tiap daerah, kesalahpahaman yang berkembang tidak sama karakteristiknya. Di beberapa provinsi, kesalahpahaman yang berkembang lebih kuat pada isu teologis, seperti kecurigaan bahwa Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda. Sedangkan di provinsi lainnya, kesalahpahaman lebih mengarah pada aspek ibadah dan fiqh. Ini menunjukkan bahwa ada karakteristik yang berbeda, yang menimbulkan efek kesalahpahaman yang juga berbeda.Dengan bekal pemetaan, kita bisa mendiagnosis “penyakit” kesalahpahaman ini. Setelah semua diketahui, akan lebih mudah untuk memberikan “obatnya”. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan budaya. Peta kesalahpahaman dapat dijadikan sebagai blueprint proses dialog Sunni-Syiah. Jadi, harus ada sebuah kajian dan penelitian yang komprehensif terhadap persoalan ini, sebagai bagian dari upaya dialog Syiah-Sunni. Walhasil, konflik yang terjadi di Sampang bisa dilihat dari sudut pandang ini. Konflik ini sengaja dilecutkan oleh pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan “kosongnya budaya”. ● -
“Biar Negara Hangus Terbakar….”
“Biar Negara Hangus Terbakar….”Ahmad Syafii Maarif, MANTAN KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAHSumber : KOMPAS, 4 Januari 2012Revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949 sungguh kritikal, melelahkan, tetapi sarat dengan harapan untuk menang. Ia menyisakan berjuta pengalaman suka duka, heroisme, dan idealisme dengan kualitas hampir tanpa cacat.Sebagai anak kampung yang tersuruk di lembah Bukit Barisan dalam usia di bawah 14 tahun, saya tidak menyumbang apa pun untuk kepentingan revolusi itu. Sekiranya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara tidak menjadikan kampung saya, Sumpur Kudus, sebagai salah satu pusat pemerintahan gerilya selama beberapa minggu pada 1949, kampung ini—seperti ribuan desa lain di seluruh Nusantara—tidak akan pernah dicatat dalam peta perjuangan kemerdekaan.Semboyan PerjuanganSebagai anak kampung yang lugu dengan pendidikan sekolah rakyat (SR) pada 1942-1947, tidak banyak yang singgah dalam memori saya tentang percikan api revolusi di lingkungan pedesaan yang terisolasi itu. Namun, bait lagu atau semboyan yang rasanya berbunyi: ”Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi”, masih bertahan di otak saya sampai hari ini.Saya tidak tahu siapa pencipta lagu atau semboyan yang sangat nasionalistis itu, yang getarannya dirasakan jauh sampai ke pelosok yang tak dikenal. Rakyat udik pun telah lama menjatuhkan talak tiga terhadap apa yang bernama penjajahan. Semboyan ini pun bergema pada saat-saat yang menentukan itu: merdeka atau mati!Maka, tidak mengherankan apabila rakyat desa menyambut para pejuang kemerdekaan dengan semangat pengorbanan yang teramat tulus. Segalanya diberikan: harta dan jiwa tanpa mengharap imbalan apa pun. Inilah pengorbanan yang paling otentik yang dikenal dalam masa revolusi. Pemimpin dan rakyat hidup berdampingan tanpa jarak. Kesederhanaan adalah fenomena keseharian saat itu.”Biar negara hangus terbakar” melambangkan sebuah tekad yang teramat kuat untuk menjadi bangsa merdeka. Sistem penjajahan yang pada masa lampau itu asing sifatnya harus segera dihalau, sekali dan untuk selama-lamanya.Karena bercorak serba asing, apakah penjajah itu berhidung mancung atau bermata sipit, kita dengan sangat mudah mengenalinya. Kelakuannya serupa: zalim, diskriminatif, eksploitatif, opresif, dan represif. Rakyat terjajah tak dianggap manusia penuh. Semua kelakuan buruk dan busuk ini menyatu dengan sistem penjajahan itu.Namun, setelah merdeka muncul kesulitan karena yang berkuasa telah digantikan oleh anak bangsa sendiri, sekalipun kelakuan buruk bisa saja berlanjut. Penguasa baru itu, yang saya kategorikan sebagai londo ireng, tidak jarang pula meneruskan sifat-sifat penjajahan yang tidak hirau dengan masalah keadilan dan nasib rakyat banyak.Akibatnya, sila kelima Pancasila berupa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih tetap menggantung di awan tinggi, belum membumi untuk dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.Zaman Bergerak, Sikap BerubahPada era 1950-an, beberapa tahun pascarevolusi, kesederhanaan gaya hidup para elite kita masih sangat terlihat. Bahkan, pernah seorang perdana menteri hanya memakai baju hem lengan pendek saat dilantik presiden. Kesenjangan sosial-ekonomi belum dirasakan benar. Maklumlah, negara dalam kondisi miskin.Ada, memang, pertentangan ideologi politik antarpartai yang cukup tajam, tetapi tak pernah berdarah-darah. Jika ada darah yang tertumpah, itu semata-mata untuk melumpuhkan pemberontakan, seperti kasus DI/TII, dan sebelumnya terjadi pula pemberontakan PKI Madiun yang memang harus ditumpas.Pada akhir 1950-an, dipicu oleh kesenjangan antara daerah dan pusat serta semakin dominannya pengaruh komunisme, pergolakan daerah sulit untuk dihindari dan penyelesaiannya pun berdarah-darah. Sesuatu yang sangat disayangkan.Akan tetapi, gaya hidup para elite masih dalam batas normal. Kesederhanaan belum lagi meninggalkan panggung politik nasional. Pesta pora perkawinan yang ekstra mewah, seperti yang terlihat belakangan, jarang sekali terjadi. Roh proklamasi dengan pesan kesederhanaan dan egalitariannya masih belum pupus dari kehidupan para elite. APBN dan APBD ketika itu tak dijadikan sapi perahan oleh perselingkuhan penguasa/politisi dan pengusaha.Dengan bergeraknya zaman, berlaku pulalah pergeseran kelakuan. Batas-batas moral telah dilanggar semau gue. Sebagian pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa rasa malu telah sama berkubang dalam dosa dan dusta. Pernyataan-pernyataan politik dan hukum telah kehilangan otentisitasnya karena pada umumnya adalah untuk melestarikan kekuasaan dan berebut tulang. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan akan sia-sia berharap perbaikan kehidupan rakyat banyak secara menyeluruh. Kekuasaan telah dijadikan tujuan.Ironisnya, ia sering dibungkus dalam bahasa lembut, tetapi culas, demi kekuasaan dan uang. Teramat kecil jumlah anak bangsa ini yang masih berpikir tentang masa depan bangsa dan negara. Kepentingan kekinian yang serba pragmatis telah menjadi ”agama”, mengalahkan tujuan jangka jauh bagi kelangsungan negara kepulauan yang cantik tetapi merana ini.To have more and to use more (semakin banyak memiliki dan semakin banyak pula menggunakan), tulis Erich Fromm, adalah sifat masyarakat konsumeristik. Dikatakan bahwa masyarakat ini telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama telah melahirkan pula manusia tak berguna. Namun, sudah demikian burukkah masyarakat Indonesia sekarang? Saya rasa belum, tetapi gejala ke arah itu telah semakin terang benderang. Jika tidak dibendung dengan saksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu makin terbuka.Akhirnya…Semboyan masa revolusi yang berbunyi ”Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi” telah digeser oleh filosofi pragmatis para elite: ”Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”. Lagi-lagi, kekuasaan telah dijadikan tujuan tertinggi.Inilah penguasa londo ireng yang berlagak santun, tetapi hati nuraninya telah lama lumpuh. Dan, kelumpuhan nurani ini pulalah yang menjadi sumber utama dari segala macam ketidakberesan yang sedang menerpa Indonesia sekarang. ● -
Bangsa Terdidik atau Tersekolah?
Bangsa Terdidik atau Tersekolah?Winarno Surakhmad, KOMUNITAS STUDI PENDIDIKANSumber : KOMPAS, 4 Januari 2012Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang kedua dan terakhir (2003) sudah lama menyimpang dari kondisi dan aspirasi berbangsa dewasa ini. Oleh karena itu, disarankan agar filosofi yang melahirkan UU tersebut ditinjau kembali secara menyeluruh dan secepatnya.Pemikiran yang ramai disuarakan oleh berbagai kalangan umumnya menggambarkan keresahan dan kebingungan. Selain itu, juga mengganggu keikhlasan nurani para pendidik mengenai esensi, arah, dan peran pendidikan dalam kaitannya dengan masa depan yang manusiawi.Sebagian besar dari kerisauan mereka terjebak dalam pandangan peran sekolah yang membuat bangsa ini sebagai bangsa yang hanya tersekolah, tetapi luput dari pemikiran membangun bangsa yang terdidik. UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) lebih banyak berbicara tentang jenis, jenjang, dan jalur sekolah sehingga UU tersebut lebih tepat disebut UU Persekolahan. UU tersebut memang lebih banyak bicara tentang jenis, jenjang, dan jalur sekolah berstandar arbitrer yang dipertaruhkan sebagai isu utama pendidikan bangsa. Sebagai UU Sisdiknas, pendekatan ini sudah tidak relevan.Abaikan Hak Guru-MuridUjian nasional sampai kini masih tidak memedulikan hak asasi guru untuk menentukan kelulusan. Mewajibkan anak bangsa untuk belajar di sekolah selama 9 atau 12 tahun (wajib belajar atau wajib sekolah?) lebih banyak dikelola secara administratif dan tidak berpeluang memaknai perkembangan kepribadian anak sepanjang hayat, dari lahir sampai ajal tiba.Perbaikan mutu guru dan tambahan honorarium terutama hanya ditentukan oleh sejenis sertifikasi dan referensi pengalaman guru yang sebenarnya tidak langsung bersangkut-paut dengan kebermaknaan hidup bangsa masa depan.Profesionalisasi guru memang mulai dibicarakan di tingkat pemerintah, tetapi sedikit pun tidak ada konsep lebih dalam yang memasalahkan profesionalisasi pendidikan secara menyeluruh. Apakah perbaikan mutu guru sudah sama dengan perbaikan mutu pendidikan? Tentu belum dan tentu tidak!Diingatkan juga, sekarang ada kebijakan pemerintah membuat masyarakat yang agak berduit berselera, bahkan bisa sampai meneteskan air liur karena percaya seakan-akan sekolah bertaraf internasional jadi jaminan perbaikan mutu pendidikan nasional. Akan tetapi, mereka gagal memperhitungkan realitas yang pahit bahwa sekolah semacam itu sekarang hanya bertarif (bukan bertaraf!) internasional.Sekadar mengingatkan, di negeri ini tidak akan pernah ada orang yang disebut Menteri Pendidikan Internasional, dan diramalkan bahwa tidak bakalan pernah ada Universitas Internasional. UU yang kita butuhkan adalah UU pendidikan untuk kepentingan satu bangsa besar dengan masalah yang sangat unik.Lebih lanjut, janganlah kita lupa, sekitar 500 daerah otonom yang sudah lahir sekarang, sebagai akibat ”pemekaran”, tak satu pun yang secara eksplisit dimekarkan dan mengutamakan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi. Yang jelas, ada orang berduit yang mati-matian ingin jadi kepala daerah. Tak peduli apa pun alasannya. Ribuan guru daerah (mereka semua adalah guru nasional), yang kebetulan bukan bagian integral dari tim sukses kepala daerah, kini merasa sangat kecewa dan ingin kembali jadi bagian dari kekuatan sentral, lepas dari kelola kepala daerah.Bagaimana seharusnya kita merumuskan kebijakan pendidikan tentang penerapan konsep Bhinneka Tunggal Ika? Bisakah kita membenarkan bahwa adalah hak asasi suku Dayak, misalnya, untuk 100 persen menjadi suku Dayak, dan pada saat yang sama, adalah kewajiban asasi suku Dayak tersebut untuk 100 persen pula menjadi bangsa Indonesia?Bagaimana pula kita kembangkan nilai Pancasila sebagai inti untuk mempertahankan NKRI? Bagaimana secara pedagogis kita harus menghadapi jiwa Sumpah Pemuda yang di satu pihak mulai retak, di lain pihak secara pedagogis bertahan pada filosofi bahwa NKRI adalah harga mati. Kalau sudah sampai pada inti ideologi, kita seperti sering lupa sejarah bahwa sejelek-jelek sebuah ideologi, lebih jelek lagi apabila kita harus hidup tanpa ideologi sama sekali.Lalu? Merujuk UU Sisdiknas, apakah arti dan peran sekolah dalam konteks berbangsa? Mari kita simpulkan dengan tujuan apa anak bangsa disekolahkan. Apakah agar ditemukan dan kemudian ditentukan oleh sekolah bahwa ia tergolong murid yang pada dasarnya memang anak bodoh atau pada dasarnya anak pintar; tergolong anak berketurunan malas atau rajin; tergolong anak yang bisa diharapkan atau tidak; ataukah agar anak bangsa, dengan kerja sama guru, mampu menemukan potensi dirinya?Apakah dia, bersama orangtua, guru, dan teman-temannya—di sekolah atau tidak—belajar menjadi pembelajar seumur hidup. Ataukah lebih baik apabila anak bangsa menyerahkan diri secara pasif pada apa yang menjadi stipulasi kurikulum yang tersedia? Apakah di sekolah dia diajar untuk menghafal, ataukah dia belajar untuk bebas berpikir kreatif, sebagai khalifah dan sebagai bagian dari kesatuan bangsa?Dulu, anak bangsa yang ”dididik” di sekolah disebut murid, kemudian murid berubah menjadi anak didik, lalu sekarang menjadi peserta didik. Di sekolah sekarang, peserta didik itu disuguhi aturan serba berstandar. Ada berbagai jenis standar yang ditetapkan secara arbitrer, tetapi yang masa berlakunya tidak bisa ditentukan. Macam-macam saja republik ini; tidak jelas apa maunya! Quo vadis pendidikan nasional Indonesia?Takut BerinisiatifSingkat kata, untuk menghadapi perjuangan ke masa depan, bangsa tersekolah ini sama sekali tidak dapat diperhitungkan. Bangsa yang karena UU pendidikannya sudah kedaluwarsa tetapi karena alasan politis tetap digiring hidup sebagai anak bangsa yang tersekolah umumnya—apalagi kalau dipaksa-paksakan—untuk sementara mungkin masih dapat ”berhasil” menurut standar yang sudah ditentukan. Dalam waktu singkat mungkin masih akan bergaya dalam soal hafal-menghafal, tetapi tak pernah dapat diperhitungkan dalam soal-soal yang memerlukan inovasi dan kreativitas.Bangsa yang semata-mata tersekolah adalah bangsa yang bukan saja tidak pernah bisa, tetapi juga selalu takut berinisiatif dan berkreasi! Bangsa ini secara pasif hanya mengikuti satu garis sejarah kehancuran, kepunahan, dan kematian yang sangat menyedihkan. Mereka, cepat atau lambat, akan musnah sebelum menyadarinya.UU ketersekolahan yang mengutamakan peran dan potensi anak bangsa, terutama sebagai juru hafal melalui latihan- latihan yang ditangani guru-guru pelaksana program kurikuler yang usang, hanya mempercepat proses kepunahan bangsa ini. Kita tidak mungkin memercayakan anak bangsa kepada siapa pun juga yang tidak punya keberanian untuk berpikir.Hanya guru dan lingkungannya yang mampu dan menghargai berpikir kreatif yang berhak untuk mengajak bangsa ini berpikir sebagai satu bangsa. Dan, ini sebuah perjuangan. ● -
Kemandirian “Rumah” Ilmu Pengetahuan
Kemandirian “Rumah” Ilmu PengetahuanSulistyowati Irianto, GURU BESAR ANTROPOLOGI HUKUM UNIVERSITAS INDONESIASumber : KOMPAS, 4 Januari 2012Sejak putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009 mengakhiri status universitas sebagai badan hukum mandiri, terjadi debat yang tidak berkesudahan tentang apakah universitas harus otonom atau tidak.Di sinilah awal kekacauan tentang apakah artinya ”otonomi” dalam perspektif kepentingan universitas sebagai lembaga produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan.Otonomi sebagai suatu terminologi dalam ilmu pengetahuan dikacaukan dengan pengertian awam sehingga timbul salah pengertian, bahkan konflik, yang tak menguntungkan bagi kelangsungan pendidikan tinggi Indonesia. Otonomi seperti apa yang dibutuhkan oleh universitas bagi keberlangsungannya? Ada baiknya kita belajar dari Magna Charta Universitatum.Para rektor universitas di Eropa berkumpul dalam perayaan 800 tahun universitas tertua Bologna, tahun 1988, dan menetapkan Magna Charta Universitatum. Mereka mempertimbangkan masa depan umat manusia yang akan sangat bergantung pada perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.Penelitian yang dihasilkan universitas dianggap sangat penting. Tanggung jawab universitas adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan di kalangan generasi muda yang akan mengabdikan dirinya kepada masyarakat dan bangsa.Dalam konteks ini, universitas wajib mendidik generasi muda dan mengajar mereka untuk menajamkan suara hati serta menghormati prinsip dan nilai dasar tentang kebenaran dan kejujuran. Suara hati adalah kepekaan untuk menimbang baik dan buruk, benar dan salah.Prinsip DasarPertama, universitas adalah institusi sendi dalam masyarakat yang harus dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan berdasarkan riset dan pengajaran. Oleh karena itu, universitas harus otonom secara moral dan intelektual, terbebas dari otoritas politik dan kekuasaan ekonomi.Kedua, pengajaran dan riset universitas tak dapat dipisahkan dari perkembangan kebutuhan dan panggilan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan.Ketiga, kebebasan dalam riset dan pengajaran adalah prinsip dasar kehidupan universitas yang harus dihormati. Universitas harus menjamin penolakan terhadap intoleransi, selalu terbuka terhadap dialog, tempat ideal bertemunya para pengajar yang mampu mengomunikasikan ilmu pengetahuan, serta sangat difasilitasi untuk mengembangkannya melalui riset dan inovasi.Universitas adalah tempat bagi mahasiswa yang berhak, berkemampuan, dan berkeinginan memperkaya pemikirannya dengan ilmu pengetahuan.Keempat, universitas berada di garis depan dalam pengembangan tradisi memuliakan kemanusiaan. Kepeduliannya secara konstan ditujukan untuk mencapai ilmu pengetahuan universal dan memenuhi panggilannya melampaui batas geografi, politik, dan mendukung kebutuhan vital untuk memahami keberagaman budaya.Untuk dapat mewujudkan prinsip dasar itu dibutuhkan cara yang efektif, seperti menyediakan instrumen yang memadai untuk menjamin kebebasan riset dan pengajaran; membuat regulasi dalam mengangkat pengajar dan memperhatikan status kepegawaian mereka serta melindungi hak-hak mahasiswa untuk bertukar informasi, bekerja sama dengan para pengajar dalam kerja akademik.Kasus UIPenyelesaian kasus Universitas Indonesia dikhawatirkan akan berakhir dengan menjadikan UI sebagai satuan kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika hal ini terjadi, runtuhlah simbol kejayaan dan prinsip dasar kemandirian universitas. Kaum cerdik pandai universitas hanya akan menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik pemerintah, kemungkinan juga partai politik. Lebih buruk lagi, preseden ini bisa diikuti oleh perguruan tinggi negeri terkemuka lain di Indonesia.Universitas adalah kekuatan moral. Oleh karena itu, otonomi universitas haruslah dipertahankan demi kelangsungan pendidikan tinggi untuk menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter.Otonomi dalam pengertian ini adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihannya sendiri. Otonomi butuh kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. Jika hal itu tidak terjadi, otonomi telah disalahgunakan.Otonomi universitas jangan sekali-kali dikaitkan dengan komersialisasi pendidikan, tak menentunya nasib pegawai, dan tata kelola universitas yang tidak terkontrol. Justru kemandirian universitas harus menjamin kesejahteraan lahir batin setiap pengajarnya, tata kelola yang baik dan intoleran terhadap korupsi dan penyimpangan.Otonomi dan akuntabilitas adalah dua sisi dari koin yang sama. Akuntabilitas memampukan institusi untuk meregulasi kebebasan yang ada padanya dengan cara otonom. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, perlu perubahan tata kelola yang mendasar dari tingkat universitas, fakultas, sampai program studi secara menyeluruh.Jika hal ini tak dilakukan, kita berutang kepada generasi muda mahasiswa yang kelak akan menentukan arah bangsa dan peradaban manusia secara global. ● -
BI, Suku Bunga, dan Efisiensi Perbankan
BI, Suku Bunga, dan Efisiensi PerbankanWijayanto, CO-FOUNDER DAN MANAGING DIRECTOR PARAMADINA PUBLIC POLICY INSTITUTESumber : SINDO, 4 Januari 2012Di tengah krisis ekonomi global yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan, perekonomian Indonesia tetap tumbuh meyakinkan dalam beberapa tahun terakhir.Prestasi ini tak lepas dari peran industri perbankan sebagai sumber pendanaan utama aktivitas perekonomian. Lima tahun terakhir kredit perbankan naik rata-rata 23 persen per tahun. Pada saat bersamaan nilai aset, rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR), kredit bermasalah (NPL), dan rasio kecukupan modal (CAR) juga menunjukkan tren menggembirakan. Hal ini menggambarkan kesiapan perbankan untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun mendatang.Kendati tumbuh cukup meyakinkan, mesin ekonomi kita diyakini masih bekerja jauh di bawah potensi yang dimiliki. Akibatnya, kita terancam gagal memanfaatkan krisis global sebagai momentum mempersempit kesenjangan PDB per kapita dengan negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Banyak faktor penyebab, dan tingginya suku bunga kredit salah satu faktor penting, sehingga upaya menurunkan suku bunga kredit merupakan wacana yang mendominasi diskusi para pengambil kebijakan.Berbagai teori ekonomi dan pengalaman di lapangan menunjukkan rendahnya suku bunga kredit stimulus yang andal bagi peningkatan kegiatan ekonomi. Fakta bahwa suku bunga kredit dan net interest margin (NIM) perbankan kita masih jauh lebih tinggi dari negara tetangga merupakan alasan kuat untuk menurunkan suku bunga kredit.Keterbatasan Otoritas BIIsu utama yang kita hadapi, bagaimana mendesain mekanisme penurunan suku bunga sehingga di satu sisi mampu memberikan stimulus bagi perekonomian dan pada saat bersamaan tidak mengganggu harmonisasi industri perbankan yang beberapa tahun terakhir terjaga dan mampu memperkuat peran perbankan sebagai motor ekonomi.BI aktor utama dalam upaya mengatur industri perbankan meski dalam arsitektur perekonomian modern saat ini, otoritas tersebut sebenarnya sangat terbatas. Ibarat pengendara sepeda, BI sedang mengendarai sepeda dengan kedua tangan terlepas dari kemudi. Dalam upaya menurunkan suku bunga kredit, BI punya berbagai alat, di antaranya giro wajib minimum, BI Rate, dan CAR. Namun, alat itu lebih berfungsi sebagai pemberi stimulus atau sinyal, sedangkan kebijakan terkait suku bunga kredit ada di tangan manajemen bank di mana keputusan sangat dipengaruhi kondisi masing-masing, keadaan pasar keuangan, dan struktur industri perbankan.Wacana mengatur bunga kredit ataupun NIM, apalagi jika dilakukan secara mendadak, berpotensi mengganggu industri perbankan mengingat kondisi bank di Indonesia sangat beragam, baik nilai aset, bisnis model, maupun struktur keuangan. Terlepas dari tingginya rata-rata NIM, tak sedikit bank beroperasi dengan margin sangat tipis sehingga penurunan bunga kredit akan berdampak negatif bagi kegiatan operasional mereka.Ada beberapa penyebab tingginya suku bunga kredit. Salah satunya informasi asimetris akibat rendahnya transparansi dan kualitas data keuangan perusahaan di Indonesia. Apalagi menerapkan kesepakatan bisnis bukanlah hal mudah akibat masih lemahnya kepastian hukum. Dorongan meningkatkan LDR membuat bank dihadapkan pada pilihan memasuki area baru dan berhubungan dengan klien di luar klien tradisional. Prinsip kehati-hatian yang diterapkan secara tak langsung mendorong peningkatan alokasi untuk provisi.Faktor yang lebih penting, struktur industri keuangan kita yang tak sejalan dengan upaya mewujudkan kompetisi sehat yang mengarah ke efisiensi. Perbankan, dengan aset sekitar Rp 3.400 triliun seolah tampil sebagai pemeran utama, sedangkan pasar obligasi korporat dan saham pemeran pengganti atau figuran. Bank pemain dominan tanpa pesaing setara sehingga pasar kredit di Indonesia adalah pasar yang bias pada pemberi jasa (seller market) di mana peningkatan efisiensi sering dilupakan.Nilai pasar obligasi korporat di Indonesia kini sekitar Rp 115 triliun, setara 1,8 persen PDB. Selain masih kecil, pasar ini juga relatif stagnan beberapa tahun terakhir, padahal pasar obligasi menjanjikan sumber pendanaan efisien bagi perusahaan. Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki outstanding obligasi korporat 34 persen, 43 persen, dan 13 persen PDB. Ini mengindikasikan besarnya potensi pasar Indonesia belum tergarap.Pasar saham di Indonesia juga relatif stagnan, terlihat dari tak banyaknya perusahaan yang melakukan penerbitan saham perdana beberapa tahun terakhir. Kenaikan kapitalisasi pasar lebih diakibatkan peningkatan harga saham. Kapitalisasi saham di BEI kini setara 49 persen PDB, jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand yang 171 persen, 106 persen, dan 86 persen PDB. Ini menjelaskan potensi pasar saham sebagai sumber pendanaan belum dimanfaatkan optimal.Memanfaatkan MomentumIndonesia dipandang dunia sebagai mesin penggerak ekonomi global di masa mendatang. Untuk mewujudkannya, perlu sektor riil yang andal dan didukung sektor keuangan kuat dan efisien. Dalam konteks ini, perbankan tak bisa bermain sendiri, harus bersinergi dengan dua komponen lain: pasar obligasi dan saham.Kerja sama BI dan institusi lain, termasuk BEI, LPS, Dirjen Pajak, dan Bapepam-LK, sangat perlu karena upaya mewujudkan peran sektor keuangan sebagai intermediari yang efisien tak terbatas pada ruang lingkup BI semata. Perlu berbagai stimulus fiskal dan kebijakan lintas institusi untuk mendorong pertumbuhan pasar obligasi dan saham. Kabar gembira peningkatan peringkat kredit Indonesia harus dikapitalisasi dengan baik. Perlu disiapkan berbagai alternatif instrumen investasi untuk menampung potensi aliran dana masuk. Ketika industri keuangan sudah terbangun dengan baik dan efisien, penurunan suku bunga kredit akan terjadi secara alami. ● -
Muslihat Liberalisasi RUU Pangan
Muslihat Liberalisasi RUU PanganKhudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI), ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT, PENULIS BUKU “IRONI NEGERI BERAS”Sumber : SINDO, 4 Januari 2012Bahaya tersembunyi krisis pangan mendorong DPR mempercepat revisi UU No 7/1996 tentang Pangan. Revisi juga didorong oleh isi UU Pangan yang dinilai out of date: hanya mengatur soalsoal ”teknis pangan”,sanksi ringan, dan tidak sesuai otonomi daerah.
Dibandingkan dengan UU No 7/1996, RUU Pangan inisiatif DPR lebih kental nuansa politik.Tiga paradigma politik pangan yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan masuk dalam RUU Pangan.Kedaulatan pangan bahkan ditempatkan paling depan. Sayangnya, paradigma ini hanya aksesori.Jiwa RUU Pangan justru kental aroma liberalisasi.Liberalisasi
“Jiwa” liberalisasi setidaknya bisa ditemukan dalam dua hal: liberalisasi dan desentralisasi. Berbeda dengan UU No 7/1996, RUU Pangan tergolong liberal. Di UU lama cadangan pangan terdiri atas cadangan pangan nasional dan cadangan pangan masyarakat. Pengelolaan sepenuhnya ada di pemerintah pusat. Peran swasta bahkan sama sekali tidak dibuka. Di RUU Pangan peran swasta dalam pengelolaan cadangan pangan pemerintah dibuka lebar.
Dalam Pasal 33 RUU Pangan disebutkan: “Pemerintah dan/atau pemda dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan dan distribusi pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan pangan tertentu yang bersifat pokok”. Tanpa aturan ketat membuka peran swasta berpotensi menciptakan spekulan dan mematikan petani kecil.
Membuka peran swasta dalam pengelolaan stok pangan nasional bertentangan dengan kewajiban negara (baca: pemerintah) untuk menjaga stabilitas harga pangan agar tetap terjangkau rakyat.Sejarah mengajarkan, instabilitas harga pangan selalu berulang tiap tahun. Kegagalan menstabilkan harga pangan membuat negara menjadi terdakwa.
Membuka peran swasta dalam pengelolaan cadangan pangan bisa dianggap muslihat negara berkelit dari tanggung jawab.Karena itu,peran swasta seharusnya tidak berdiri bebas seperti dalam pasar bersaing sempurna. Akan tetapi berada dalam kendali negara untuk tujuan ketersediaan pangan yang terjangkau dan kesejahteraan petani. Sayangnya, pengaturan itu tidak ada.
“Jiwa” liberal semakin terasa ketika sumber penyediaan pangan menyetarakan antara produksi dalam negeri dan pangan dari impor (Pasal 15). Meskipun ada klausul yang harus mengutamakan produksi dan cadangan dalam negeri, penyetaraan itu membuat posisi produksi dalam negeri jadi sekunder.Apalagi, dari 146 pasal RUU Pangan tidak satu pun yang mengharuskan pembelian pangan produksi dalam negeri saat panen raya untuk memperkuat cadangan pangan.
Kealpaan ini akan menciptakan instabilitas harga. Seharusnya sistem produksi dan cadangan diatur dalam pasal berbeda.Terkait impor, semestinya itu langkah terakhir seperti fungsi bank sentral sebagai benteng pertahanan terakhir (the lender of the last resort) sistem perbankan. Impor pun hanya bisa dilakukan dengan syarat yang superketat.
Desentralisasi Salah Arah
Dari keseluruhan pasal-pasal RUU Pangan,“jiwa”desentralisasi atau penyerahan kewenangan ke daerah (provinsi/ kabupaten/kota) amat terasa. Seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam perencanaan produksi,konsumsi,ekspor-impor, distribusi hingga cadangan, dan riset.Jiwa RUU Pangan yang ingin menyelaraskan dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah patut diapresiasi.
Semangat desentralisasi itu dilandasi oleh alasan mulia. Pertanyaannya, tepatkah menyerahkan kewenangan pangan itu sepenuhnya kepada daerah? Apakah kebijakan pangan nasional merupakan penjumlahan kebijakan masingmasing daerah otonom? Atau sebaliknya, kebijakan pangan dirancang secara agregat dan pelaksanaannya diserasikan dengan kepentingan daerah? Bagaimana nasib orang miskin yang kini masih dominan, baik di desa maupun di kota?
Apakah nanti tidak akan muncul egoisme wilayah yang surplus pangan terhadap daerah minus pangan? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat mendesak untuk dijawab jika insiden rawan pangan di daerah tak ingin terjadi. Kebijakan pangan seharusnya merupakan prioritas kebijakan nasional seperti yang dilakukan di semua negara, termasuk negara-negara maju.Di saat negara-negara di dunia memperkuat peran negara (baca: pemerintah pusat) dalam kebijakan pangan,
RUU Pangan justru menceraiberaikannya dengan dalih desentralisasi dan otonomi. Ada tiga alasan mengapa kebijakan ketahanan pangan harus menjadi otoritas pemerintah pusat. Pertama, pemerintah daerah merasa bagian dana yang diterima dari pusat masih kurang untuk belanja pemda dan membiayai pembangunan.Tidak heran jika pemda kini lebih banyak memberi perhatian kepada upaya meningkatkan PAD dan memberi prioritas rendah untuk memberdayakan masyarakat miskin,
mengentaskan kemiskinan, dan memperkokoh ketahanan pangan daerah. Kedua, untuk melaksanakan otonomi daerah,hampir semua daerah di luar Jawa menghadapi problem lemahnya SDM dan ketersediaan infrastruktur dasar. Ketiga, sungai, sistem pengairan, dan fasilitas irigasi selalu bersifat lintas wilayah.Keberhasilan penelitian pertanian juga bersifat lintas geografis, lintas peneliti dan penyuluh pertanian. Jika karena otonomi harus dipilah-pilah per kabupaten/ kota, bisa dipastikan biayanya tinggi.
Terakhir, RUU Pangan ini sepertinya terjangkiti kecenderungan bahwa UU baru harus melahirkan badan/lembaga/ komisi baru.Ada banyak badan/ lembaga/komisi yang dibentuk dari mandat sebuah UU. Sejauh mana efektivitas dan kinerja badan/lembaga/ komisi baru itu masih menjadi tanda tanya besar? Pertanyaan serupa bisa diajukan pada rencana pembentukan Badan Otoritas Pangan berikut kewenangannya (Pasal 113-117).
Badan Otoritas Pangan berada di bawah presiden dan diskenariokan menggantikan fungsi-fungsi yang melekat di pemerintahan seperti di sejumlah kementerian dan Bulog. Pertanyaannya, setelah badan ini dibentuk, apa tugas lembaga yang digantikan? Bagaimana SDM badan ini? Akankah badan ini efektif? Saya pesimistis.
Jika bentuknya badan, jangankan mengoordinasikan menteri, menggerakkan eselon I saja amat sulit.Akhirnya, badan ini pun lumpuh.Karena itu, akan lebih baik mengoptimalkan lembaga-lembaga yang sudah ada. Mudah-mudahan catatan kecil ini bisa memberi inspirasi untuk memformulasikan kembali RUU Pangan yang lebih baik.
● -
Membalik Metode Wacana Capres-Cawapres
Membalik Metode Wacana Capres-CawapresIndra J Piliang, KETUA DEWAN PELAKSANA BALITBANG DPP PARTAI GOLKARSumber : SINDO, 4 Januari 2012Terlalu banyak kata dan kalimat yang tertumpang untuk satu masalah penting dan mendasar di negara ini. Satu masalah yang semestinya membutuhkan investigasi berbulan-bulan, seperti pembunuhan dan konflik, diurai hanya berdasarkan isu.Masalah sejarah yang membutuhkan detil dokumen diperbincangkan di layar televisi dengan beragam penilaian.Informasi yang masih perlu pembuktian disampaikan sebagai “temuan” seperti “piramida” di Garut. Penulis bukan tidak setuju dengan diskursus seperti itu. Tetapi, akan jauh lebih berguna bila bangsa ini sepakat untuk melakukan “penataan” dalam menyampaikan informasi publik.Tidak mengeluarkan informasi secara sembarangan. Kebebasan menyatakan pendapat bukanlah hal yang tabu,melainkan perayaan sebebas-bebasnya bisa menghilangkan nilai edukasi dan tanggung jawab dalam setiap informasi. Tidak terkecuali dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang tahapannya akan berlangsung mulai Mei 2014. Sebelum tahapan resmi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan undang-undang, segala sesuatu masih berupa informasi awal.
Masalahnya, sampai sekarang KPU belum terbentuk, begitu juga dengan paket undang- undang politik belum selesai. Kita masih menerkanerka warna ikan di laut, dari pinggir pantai, tanpa menyelam. Yang paling banyak didiskusikan sekarang adalah nama- nama calon presiden. Ketika kita bicara soal nama, rekam jejak yang di-utamakan. Seluruh aspek dikaji, terutama yang buruk, jarang yang baik.
Kita—sebagai publik— menempatkan diri sebagai sejarawan, dokter, psikolog, tetapi kebanyakan hanya tukang ramal dan tukang gosip yang tak memiliki akurasi atas data dan fakta. Informasi membelukar, sementara kebenarannya entah di mana. Kebenaran yang diterima publik lahir dari publik sendiri dengan logika masing- masing.
Profesional
Bagaimana kalau metodenya dibalik? Pertama,dan yang terutama adalah program-program apa yang idealnya dijalankan seorang presiden dan wakil presiden masa depan.Kedua, berapa lama program itu bisa terlaksana dalam 5 (lima) tahun usia pemerintahan. Ketiga, anggaran yang dibutuhkan berapa banyaknya dalam menjalankan program itu. Keempat,pada belahan Indonesia yang mana program itu ditempatkan, apabila berupa proyek pembangunan.
Kelima, tim kepresidenan seperti apa yang dibutuhkan untuk menjalankan program itu, terutama yang akan duduk di kabinet. Dan seterusnya. Jadi, ada satu skema yang terukur yang bisa dijalankan secara bersama-sama, sehingga energi bangsa ini fokus ke beberapa persoalan.Sinergi yang perlu tercipta atau paling tidak dialektika bukan kontroversi dan—apalagi—konflik di tingkatan pendapat, sebagaimana selama ini terjadi.
Pelan-pelan,ketika metode itu dilaksanakan, siapa pun yang merasa punya pendapat, informasi, kepentingan, sampai ideologi dan paham akademis, akan mudah ikut serta.Yang akan didapatkan adalah kekayaan dialektika,bukan keriuhrendahan asumsi. Dengan metode ini, berarti semua kelompok berhak ikut. Termasuk partai politik. Jaket masing-masing dilepas.Kerja sama yang selama ini jarang ada, dilakukan lewat metode ini. Untuk mengindependenkan hasil, sebuah komite bisa saja dibentuk.
Anggotanya dipilih dari beragam pakar yang memiliki keahlian, kalangan mahasiswa yang mau bekerja keras menyiapkan kegiatan, sampai kelompok masyarakat sipil yang dianggap tidak terbebani dengan ambisi-ambisi sesaat. Dananya? Saweran lewat malam dana.Tidak boleh ada yang menyumbang dalam jumlah besar.Dana boleh dari siapa pun, termasuk kandidat presiden dan wakil presiden yang mau maju bersaing.
Yang paling penting,dana diumumkan secara terbuka,tidak boleh pakai dana-dana anonim. Dana ini diaudit oleh akuntan publik serta dikelola secara profesional oleh ahli-ahli (manajemen) keuangan.Dengan cara seperti ini, tidak ada lagi kecurigaan soal dari mana dana penyelenggaraan metode ini. Belakangan terlalu banyak kalangan kelas menengah yang antipati pada politik.Antipati semacam itu kurang memiliki nilai strategis,apabila tidak diarahkan kepada hal-hal yang positif.
Dunia politik perlu dibuat semakin profesional dan transparan, sama halnya juga dengan dunia birokrasi, hukum, sampai olahraga. Karena konstitusi sudah menempatkan partai politik—dengan sendirinya juga politisi—pada posisi penting dalam penyelenggaraan negara, baik dan tidaknya negara akan bergantung pada kualitas (proses dan produk) politik.Bahwa politik semakin mekanis dan terinstitusionalisasi adalah (akibat) dari menggunungnya regulasi yang diproduksi sejak 1998.
Program
Kalaupun nanti calon presiden dan wakil presiden mendapatkan “keuntungan” dari proses yang di balik itu yakni mendapatkan dokumen- dokumen yang berisikan banyak hal untuk dijalankan, bukankah itu baik? Tidak perlu lagi banyak pertengkaran kurang penting, ketika para calon memublikasikan diri. Program-program sudah ada, lengkap dengan jadwal, anggaran, wilayah, dan lainlainnya.
Sosialisasi program juga terjadi dengan sendirinya, apabila kelompok yang terlibat berjumlah banyak. Visi-misi yang diadu dalam debat-debat pra dan saat kampanye lebih bersifat penguatan, sekaligus bagaimana mencapainya. Apabila diperlukan, di dalam komite nanti dibentuk juga kelompok yang melakukan penelusuran terhadap jejak rekam masing-masing kandidat. Dengan begitu,gambaran yang lebih objektif didapatkan, ketimbang persepsi dari kejauhan.
Presiden dan wakil presiden, pada saat dicalonkan, barangkali hanyalah “milik” partai politik. Lalu ketika dipilih, presiden dan wakil presiden itu “milik sekelompok pemilih”. Namun jangan lupa, pada saat terpilih dan dilantik, presiden dan wakil presiden itu adalah “milik seluruh rakyat Indonesia, termasuk yang tidak memilihnya”. Maka itu, penulis tidak terlalu suka dengan upaya menjatuhkan seorang presiden dan wakil presiden yang sedang berkuasa.Risikonya terlalu besar bagi perjalanan negara ini.
Kejatuhan Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur sampai kini masih menyimpan luka di dalam diri masing-masing pendukungnya. Apalagi, kekuasaan presiden sudah dibatasi,hanya boleh dua periode. Karena “hukum besi” berupa waktu yang tetap (lima tahunan) itulah, kontribusi selama proses pencalonan menjadi penting. Penulis yakin,dengan metode terbalik ini, tidak ada lagi agenda-agenda presiden dan wakil presiden yang sedang menjabat yang bisa masuk.
Kalaupun masuk, sudah bisa diantisipasi sejak dini.Pola suka dan tidak suka,pro dan kontra, ataupun yang secara umum disebut sebagai kontroversi yang selama ini terjadi dengan sendirinya bisa dikurangi sedini mungkin. Soal pilihan politik, pada prinsipnya semua individu hanya memiliki satu hak suara dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, bukan? Tidak ada yang diberikan hak konstitusional untuk memilih lebih dari satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
●