Blog
-
“Kita” dan “Kami” pada 2012
“Kita” dan “Kami” pada 2012Sarlito Wirawan Sarwono, PSIKOLOG SOSIALSumber : KOMPAS, 5 Januari 2012Beberapa tahun belakangan saya cemas melihat, mendengar, dan membaca media massa—elektronik atau cetak, juga media sosial—serta percakapan sehari-hari yang mencampuradukkan saja pengertian dan penggunaan kata ”kita” dan ”kami”.Sekarang semua cenderung memakai kata ”kita”, padahal yang dimaksudkan adalah ”kami”. Sepasang selebriti yang sedang pacaran ketika ditanya media infotainment menjawab, ”Yah, kita jalani saja, sekarang kita belum serius.” Menteri menjelaskan kepada wartawan, ”Masalah itu sedang kita proses”; dan presenter stasiun televisi berkata, ”Kita menyiapkan sebuah acara menarik untuk Anda.” Padahal, semua ”kita” itu, dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, seharusnya ”kami”.Lebih kaget lagi ketika saya bertanya kepada mahasiswa saya (Psikologi, semester I): apa bedanya ”kita” dan ”kami”? Satu kelas, sekitar 50 mahasiswa, bingung. Salah satu mencoba menjawab, ”Kita itu kalau sedang berdua atau kelompok kecil. Kalau kelompoknya besar: kami.” Yang lain diam seribu bahasa. Gubrak! (bahasa gaul). Hampir pingsan saya. Orang Indonesia sudah tidak bisa lagi membedakan antara ”kita” dan ”kami”.Fuad Hassan, dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku, Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, 1974 (dalam versi bahasa Inggris: Kita and Kami: The Basic Modes of Togetherness, Winoka, 2005), menyatakan bahwa ”kita” dan ”kami” bukan hanya merupakan ciri khas bahasa Indonesia, melainkan punya makna budaya dan cara berpikir bangsa ini. Bahkan, Fuad Hassan membuktikan tesisnya bahwa orang Indonesia menjadi neurosis (stres, depresi, cemas, dan sebagainya) karena kehilangan kemampuannya ber- ”kita” dan hanya bisa ber-”kami” saja.Dalam bahasa Inggris (dan Belanda yang saya pahami sedikit selain Inggris), tidak ada pengertian ”kita”. Yang ada hanya ”kami” (Inggris: we) sebagai jamak dari ”aku” (Inggris: I), sebagai lawan kata dari ”kamu” atau ”kalian” (you). Adapun tentang pihak ketiga, bahasa Indonesia ataupun Inggris sama-sama memilikinya: dia (he/she) untuk tunggal dan mereka (they) untuk jamak.”Kami” yang MeleburAkan tetapi, bahasa Indonesia memiliki ”kita” yang berarti ”aku/kami dan kamu/kalian sebagai bagian dari satu kebersamaan”. Berbeda dari ”kami” yang berarti ”aku bersama teman-temanku atau kelompokku atau kerabatku, sedangkan kamu/kalian bukan bersama aku”.Ketika seseorang ber-”kita”, dia meleburkan dirinya kepada diri-diri orang lain, tanpa harus kehilangan identitas dirinya (ke-”kami”-annya). Kami orang Ambon-Kristen dan kami orang Ambon-Muslim bisa saling berseteru, tetapi bisa saling bersatu, sebagai sesama orang Ambon. Kami orang Ambon, kami orang Jawa, kami orang Sulawesi, bersama menjadi kita bangsa Indonesia. Terjadilah Sumpah Pemuda (1928) yang berujung kemerdekaan Indonesia (1945).Namun sekarang, ketika bangsa ini kembali ke ke-”kami”-an masing-masing (dengan salah sebut sebagai ”kita”), bisa diramalkan akan berkeping-kepinglah jadinya bangsa ini. Kita LSM (kamu pemerintah), kita rakyat (kamu polisi), kita Muslim (kamu Kristen, Syiah, Ahmadiyah), kita Madura (kamu Dayak, Melayu), kita STM anu (kamu SMA itu), dan seterusnya. Ujung-ujungnya bukan NKRI yang jaya dan rakyat sejahtera, melainkan jahit mulut, rakyat ditembak polisi, polisi dibacok rakyat, bom, dan sebagainya. Itulah keadaan bangsa ini pada tahun 2011.Bagaimana 2012? Kita (bukan kami) harus kembali ke semangat ke-”kita”-an untuk mencapai Indonesia bersatu, bersama, damai, sejahtera, dan makin maju. Semua eksponen bangsa harus ber-”kita” bangsa Indonesia untuk selesaikan semua masalah. Dari kasus Mesuji sampai Bank Century, dari pilkada sampai pemilu, dari agama sampai etnik dan politik. Pokoknya semua.Semangat ke-”kita”-an itu ada pada saat seluruh bangsa Indonesia bersorak ketika timnas sepak bola Indonesia mencetak gol ke gawang lawan. Yang Muslim, yang Kristen, yang Papua, yang teroris, yang Golkar, PDI-P, atau Demokrat, semua bersorak: ”Goool…!!!” Tak peduli apakah yang mencetak gol Christian Gonzales, Irfan Bachdim, Titus Bonai, Andik Vermansyah, atau mungkin juga Markus Haris sekalipun. ● -
Negara Predator
Negara PredatorSyamsuddin Haris, KEPALA PUSAT PENELITIAN POLITIK LIPISumber : KOMPAS, 5 Januari 2012Ketika tragedi dugaan pembantaian rakyat di Mesuji, Lampung, belum terungkap, aparat kepolisian kembali melakukan tindakan brutal dengan menembaki pengunjuk rasa di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Lalu, kapan mimpi kita akan hadirnya negara yang melindungi rakyat benar-benar terwujud?Sangat mencengangkan ketika layar kaca mempertontonkan perilaku brutal aparat kepolisian; yang seharusnya melindungi rakyat justru begitu bernafsu hendak ”menghabisinya”. Sebagai representasi negara, aparat kepolisian jelas bertindak melampaui batas karena menembaki massa yang tidak melawan dan bahkan tengah beristirahat karena kelelahan menduduki kawasan Pelabuhan Sape sejak empat hari sebelumnya.Tampak jelas, rakyat yang menolak wilayah mereka sebagai area pertambangan diperlakukan sebagai musuh negara, suatu cara pandang yang dianut oleh rezim otoriter Orde Baru.Sulit dimungkiri tindakan brutal dan sangat memalukan aparat negara yang digaji dari pajak rakyat ini berakar dari tak adanya keberpihakan negara, baik di tingkat nasional maupun lokal, terhadap kepentingan rakyat. Komitmen penyelenggara negara berhenti sebagai pidato dan retorika serta dokumen visi dan misi yang dipersyaratkan secara administratif dalam pemilu dan pemilu kepala daerah.Seusai pemilu dan pilkada, para pejabat publik terpilih yang memperoleh mandat rakyat, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota, justru ”berbisnis” izin usaha dengan pemodal yang sebagian besar mengorbankan hidup rakyat yang telah memilih mereka.Ideologi PertumbuhanBarangkali inilah risiko ketika orientasi dan tolok ukur keberhasilan negara semata-mata hanya bertumpu pada pencapaian stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, cara pandang yang telah kita tolak pada Orde Baru. Atas nama pertumbuhan ekonomi, juga atas nama otonomi daerah dan daya saing lokal, kawasan konservasi dan lahan pertanian yang merupakan sumber kehidupan rakyat diperjualbelikan kepada investor pertambangan. Para kepala daerah, termasuk di Lampung dan Bima, hanya memikirkan keuntungan jangka pendek bagi diri pribadi mereka tanpa memedulikan nasib rakyat dan kerusakan lingkungan alam serta ekosistem sebagai akibatnya.Orientasi pertumbuhan ekonomi adalah produk dari penghambaan berlebihan terhadap rezim pasar bebas yang diusung oleh neoliberalisme dalam era globalisasi dewasa ini. Tatkala sistem-sistem ekonomi kapitalis-liberal di Amerika Serikat dan Eropa tengah mengalami krisis dan bahkan menjemput kematian, para penyelenggara negara di negeri kita justru memilih berselingkuh dengan para kapitalis ketimbang mencari kiat cerdas mengelola sumber daya ekonomi lokal tanpa mengorbankan kepentingan rakyat. Konstitusi kita tak hanya mengamanatkan kewajiban negara melindungi rakyat, tetapi juga keniscayaan pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat.Karena itu, kasus Mesuji di Lampung serta Lambu dan Sape di Bima sebenarnya hanyalah dua contoh dari ratusan atau bahkan ribuan bara api konflik agraria yang berpotensi muncul di Tanah Air jika tidak ada upaya serius negara, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah untuk mengantisipasinya. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad mencatat, sepanjang 2011 saja terjadi 163 konflik agraria yang menelan korban jiwa. Konflik yang sama dengan perilaku brutal serupa dari polisi ataupun tentara juga terus akan mewarnai kehidupan negeri ini jika aparat negara lebih cenderung jadi ”centeng” investor ketimbang pelindung rakyat.KecewaSistem demokrasi yang diraih pascarezim otoriter Orde Baru semestinya menjadi arena bagi setiap warga negara untuk mewujudkan kedaulatan mereka dalam kehidupan politik dan ekonomi. Namun, alih-alih berdaulat, seusai pemilu, proses politik dan ekonomi sepenuhnya dikendalikan oleh berbagai kekuatan oligarkis berselubung partai, etnik, daerah, agama, dan golongan. Berbagai kekuatan oligarkis inilah yang akhirnya membajak dan akhirnya menikmati demokrasi.Ironisnya, para penyelenggara negara di pusat dan daerah lebih memilih bersekutu dengan para oligarkis yang dibiayai oleh kapitalis-investor ketimbang mengawal bangsa, memuliakan konstitusi, dan menjaga hati nurani rakyat kita.Berbagai konflik agraria seperti terjadi di Mesuji, Lampung, dan Lambu-Sape, Bima, semestinya tidak perlu terjadi jika para penyelenggara memiliki komitmen serius mengelola sumber daya ekonomi lokal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kasus Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape, sangat wajar masyarakat menolak wilayah mereka jadi areal pertambangan emas karena lokasinya merupakan sumber mata air yang menghidupi warga setempat sepanjang hayat.Bagi umumnya masyarakat kita, hutan, tanah, dan lahan pertanian adalah soal hidup-mati seluruh generasi pada setiap komunitas lokal. Oleh karena itu, yang justru tidak wajar adalah penerbitan izin pertambangan yang potensial merampas hak hidup masyarakat setempat di atas nyawa ekonomi mereka sendiri. Dalam kasus Bima, masyarakat Kecamatan Lambu yang memblokade Pelabuhan Sape tampaknya kecewa berat terhadap Bupati Bima Ferry Zulkarnain yang menerbitkan izin pertambangan tanpa berkonsultasi dengan warga setempat. Apalagi, Lambu (dan juga Sape) adalah basis utama Bupati Ferry ketika memenangi Pilkada Bima, baik pada 2005 maupun untuk kedua kali pada 2010. Pada Pilkada 2005, Ferry Zulkarnain-Usman AK meraih 52,3 persen suara di Lambu, sedangkan pada Pilkada 2010 Ferry yang berganti pasangan dengan Syafrudin M Nur merebut 66,4 persen suara di kecamatan yang sama.Kasus Bima (dan Mesuji) sekali lagi memperlihatkan betapa berisikonya kehidupan bangsa kita ketika para elite penyelenggara negara, di pusat dan daerah, lebih memilih bersekutu dengan para pemodal daripada rakyatnya sendiri. Pada tingkat ekstrem, kita tentu patut prihatin jika pada akhirnya negara menjadi monster dan predator bagi rakyatnya sendiri. Semoga tindak brutal aparat kepolisian menembaki pengunjuk rasa di Sape, Bima, bukan pertanda awal hadirnya negara yang berlaku sebagai predator bagi rakyatnya. ● -
Monster Pertambangan
Monster PertambanganFerdy Hasiman, PENELITI DI INDONESIA TODAYSumber : KOMPAS, 5 Januari 2012Korporasi berwajah tambang mendapat penolakan masif warga lingkar tambang. Penolakan masif itu terjadi di NTT, Papua, dan Kalimantan. Terakhir adalah penolakan warga Bima, NTB, terhadap tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara.Dengan demikian, gerakan antitambang sebenarnya hampir terjadi di seluruh Indonesia. Pemicu penolakan tersebut adalah konflik pengelolaan sumber daya alam yang diberikan secara serampangan pemerintah daerah.Lebih dari itu, resistensi terjadi lantaran warga tidak pernah mendapat pemahaman sempurna berupa sosialisasi seputar baik buruknya sektor pertambangan. Protes warga muncul ketika mesin-mesin raksasa menggerus hak ulayat masyarakat adat, alam dirusak, tanah pertanian dan hutan lindung disabotase hanya untuk pertambangan.Kematian warga sekitar tambang (seperti di Bima) semakin mendaulatkan korporasi bak monster raksasa menakutkan. Korporasi-korporasi itu ingin mengamputasi individu dari tubuh organis, membiarkan warga hidup di luar kandungan ibu, dan melemparkan mereka ke dunia penuh bahaya.Warga tak layak lagi bangga atas tanah mereka. Budaya dan kearifan lokal tidak pernah diperhitungkan dalam kontrak pertambangan, kecuali soal laba eksploitasi tambang.Dalam konteks ini, penolakan investasi pertambangan merupakan renungan yang menyentuh eksistensi hidup manusia. Hidup bukan untuk hari ini saja, melainkan merentang ke masa depan. Hidup tidak hanya berlangsung di atas gelimang kemewahan bahan tambang yang hanya dinikmati segelintir manusia, tetapi terkait keberlanjutan generasi.Sayangnya, gerakan warga lokal selalu lumpuh berhadapan dengan korporasi yang sejauh ini selalu keluar sebagai pemenang karena memiliki akses terhadap kekuasaan.Ironis, memang! Aparat yang sejatinya menjadi pelindung warga berubah menjadi pemangsa. Warga lokal yang ingin dilindungi hak sipil, politik, dan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penerapan otonomi daerah mulai tergusur dari pembangunan.Padahal, otonomi daerah didesain agar kearifan lokal bisa digarap. Untuk itu pulalah pemda diberi wewenang mengurus administrasi dan keuangan daerah secara mandiri. Namun, otonomi daerah sudah diserahkan kepada pemimpin-pemimpin yang kerdil, miskin visi pemberdayaan, tidak memiliki kebijakan politik, dan tidak punya keterampilan manajerial untuk mengelola keuangan daerah.Dengan dalih menambah penerimaan daerah dan lapangan kerja, pemda bagaikan mabuk tambang dan menyerahkan aset daerah kepada investor tambang. Apalagi pasca-pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang pemberian izin pertambangan ada di tangan pemda.Tak heran banyak pengusaha raksasa membuat ”kesepakatan gelap” dengan pemda.Menyembunyikan ideologiIronisnya, para penguasa di daerah dan investor tambang datang dengan janji-janji kesejahteraan. Ideologi kekuasaan yang bercokol di baliknya disembunyikan.Di hadapan rakyat, mereka mengatakan, tanpa kehadiran perusahaan-perusahaan tambang, kekayaan alam yang ada dibiarkan tidak berguna. Padahal, pemberian izin konsesi menabrak semua rambu-rambu dan aturan hukum yang berlaku.Di tengah sistem politik uang sekarang ini, politisi harus memberi karpet merah kepada pemodal. Politisi ingin mempertahankan kekuasaan, sementara korporasi ingin mengakumulasi modal. Pemda yang lapar investasi dengan mudah menyerahkan kedaulatan ekonomi daerahnya ke tangan pemodal.Di tangan pemodal, kehormatan bangsa tergerus. Pancasila dan UUD 1945 tak lagi dijadikan pijakan untuk mengangkat kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat tidak lagi menjadi urusan pemerintah, tetapi sudah diserahkan ke tangan sistem pasar.Liberalisasi pasar membawa ekses negatif secara ekonomi, sosial, dan politik. Dari segi upah, misalnya, perusahaan tambang kerap mengeksploitasi pekerjanya dengan gaji subsisten.Ambil contoh kasus pertambangan di NTT. Upah buruh tambang di daerah itu hanya Rp 25.000 (pekerja wanita ) dan Rp 30.000 (pekerja pria ) per hari.Mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Dengan kondisi kerja buruh pertambangan yang begitu keras, bukan tak mungkin membuat mereka jatuh sakit dan harus menanggung biaya pengobatan rumah sakit yang melambung tinggi.Selain itu, kegiatan pertambangan menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran sungai dan air tanah, mendangkalnya sungai dan penampungan air. Itu sebabnya mengapa kehadiran korporasi pertambangan ditolak warga. Meskipun demikian, mengapa gairah mengejar keuntungan korporasi pertambangan tak pernah surut?Jawabannya adalah karena korporasi pertambangan kerap mengirimkan uang suap agar pemda memberi izin konsesi dengan mudah. Buktinya, ada 4.504 dari total 8.475 izin usaha tambang yang diterbitkan pemda dinyatakan ilegal.Mata rantai korupsi pun sangat panjang, mulai dari mulut tambang, aktivitas eksplorasi dan pelabuhan, sampai pada negara pengekspor. Dari mata rantai tersebut, sudah bisa ditebak berapa institusi publik yang terkena dampak korupsi korporasi pertambangan.Akibatnya, demokrasi di tingkat lokal memang kelihatan berjalan, tetapi demokrasi yang mengabdi pada kepentingan pebisnis. Demokrasi akhirnya bukan lagi rakyat yang berdaulat, melainkan para pemodal. Demokrasi bukan lagi terkait penegakan hukum, melainkan hukum pasar yang praktis mendikte praktik demokrasi.Bangun komunitas lokalTambang tak bisa mengangkat kesejahteraan rakyat. Kematian warga di Bima perlu dibaca sebagai sikap kemartiran melawan keangkuhan korporasi yang memarjinalkan.Darah korban sebagai tuntutan untuk memanggil kembali pemerintah, menegakkan hukum, reformasi pertanahan, dan mendesain kembali otonomi daerah. Otonomi daerah harus dikembalikan pada raison d’etre-nya, membangun dan memberdayakan komunitas lokal.Komposisi terbesar penduduk Indonesia berada di komunitas desa. Untuk itu, pemerintah perlu membangun komunitas desa, mulai dari penyediaan prasarana penunjang, seperti transportasi agar rakyat mudah ke pasar. Setelah itu, pemerintah perlu menggerakkan sektor mikro agar mampu menampung pekerja dalam spektrum amat luas dan mengurangi eksodus masyarakat desa ke kota atau menjadi buruh kasar di negeri tetangga.Kesempatan kerja akan berfokus pada sektor pertanian, industri pengelolaan manufaktur, dan industri kerajinan rakyat lainnya.Agar industri kecil tumbuh, pemerintah perlu bekerja sama dengan sektor perbankan agar rakyat memiliki akses ke bank. Mekarnya industri kecil akan membantu pemerintah menutup defisit karena dari industri-industri itu pemerintah dapat memungut pajak menurut skala besar-kecilnya usaha. Pajak pendapatan rakyat dapat membantu pemerintah mengurangi utang luar negeri yang bertumpuk itu. ● -
Bagi Hasil Migas
Bagi Hasil MigasMudrajad Kuncoro, GURU BESAR FEB UGMSumber : KOMPAS, 5 Januari 2012Gugatan uji materi Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu atas bagi hasil migas di sidang Mahkamah Konstitusi perlu mendapat perhatian serius.Kaltim dan daerah penghasil minyak dan gas alam (migas) lain hanya mendapatkan porsi bagi hasil minyak 15,5 persen dan gas 30,5 persen, padahal Aceh dan Papua menikmati bagi hasil migas 70 persen. Sistem desentralisasi yang asimetrik dalam bingkai NKRI mulai dipertanyakan.Daerah Kaya, Tetapi MiskinKaltim adalah contoh provinsi yang mengalami growth without development: pertumbuhan ekonomi daerah memang terjadi, tetapi pembangunan tak dinikmati sebagian besar rakyat. Setidaknya ini tecermin dalam indeks eksploitasi ekonomi, yakni indeks yang menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat atau investor asing, diestimasi dengan membandingkan PDRB per kapita dengan pengeluaran konsumsi per kapita (Mubyarto, 2005: 174).Kaltim termasuk 11 provinsi yang indeks eksploitasi ekonominya meningkat selama 1996-2008, bersama daerah kaya sumber daya alam (SDA) lain, seperti Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Tingkat eksploitasi ekonomi Kaltim meningkat dari 89 pada 1996 menjadi 90 pada 2002 dan menjadi 93 pada 2008. Artinya, setiap PDRB naik 100, proporsi yang dinikmati rakyat Kaltim hanya 11 persen (1996), 10 persen (2002), dan 7 persen (2008).Dibandingkan dengan provinsi lain, indeks eksploitasi ekonomi Kaltim paling tinggi selama 2004-2008. Indeks ini menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat, investor asing, dan kesenjangan pendapatan antara kaya dan miskin di Kaltim sangat tinggi.Produksi minyak yang disedot dari Kaltim mencapai 21 juta barrel per tahun. Kaltim juga penghasil tidak kurang dari 120 juta ton batubara, 14 juta ton gas, dan 3 juta meter kubik kayu, sementara kerusakan hutan mencapai 65 persen dibandingkan kondisi tahun 1972. Eksploitasi SDA telah mengakibatkan penyusutan dan gangguan lahan untuk pertanian (12,4 juta ha HPH, 4,2 juta ha tambang, 670.000 ha migas).Menurut Bernaulus Saragih (2011), Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman, transfer benefit dari SDA Kaltim lebih banyak disedot keluar karena Kaltim hanya menerima rata-rata Rp 7 triliun dari Rp 100 triliun-Rp 120 triliun yang ditransfer ke pusat dari SDA Kaltim.Pemerintah pusat tak memperhatikan komponen biaya eksternalitas akibat eksploitasi SDA yang mencapai Rp 9,23 triliun per tahun, yang mesti menjadi faktor pembagi dalam perimbangan keuangan. Total nilai kerugian per tahun yang timbul karena deplesi sumber daya hutan, degradasi sumber daya hutan, pengeruhan sumber air minum, kerusakan lahan/disfungsi, emisi karbon/pencemaran udara dari industri minyak dan gas, tambang batubara, serta kehutanan diestimasi mencapai Rp 9,23 triliun.Total pembiayaan 15 tahun ke depan, jika tak ada perbaikan dan jika kerusakan tidak meningkat, diperkirakan Rp 138,5 triliun.Dana Bagi Hasil MigasProtes atas ketidakadilan pusat dalam hal alokasi anggaran pembangunan Kaltim melalui upaya tuntutan uji materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang digagas Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) adalah wajar.Masyarakat Kaltim jauh lebih dewasa menyikapi perbedaan dengan menempuh jalur-jalur konstitusional untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan lewat uji materi ketimbang melakukan tuntutan dengan cara-cara keras, anarkis, bahkan mengancam memisahkan diri dari NKRI.MRKTB berpendapat, frase ”84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah atas bagi hasil minyak” dan frase ”69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah atas bagi hasil gas” dalam ketentuan Pasal 14 huruf e dan f UU No 33/2004 bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 Ayat (1); Pasal 33 Ayat (1), (3), dan (4); Pasal 18A Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28I Ayat (2).Pembagian bagi hasil migas untuk Papua berdasarkan pada Pasal 34 UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengatur pembagian hasil migas, di mana bagi hasil SDA pertambangan minyak bumi sebesar 70 persen dan gas alam 70 persen. Dana bagi hasil migas untuk Aceh berdasarkan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga sama dengan Papua.Masalahnya, formula bagi hasil migas 70 persen untuk Aceh dan Papua serta 30 persen untuk pemerintah pusat tak memiliki dasar empiris-akademis yang kuat. Pertimbangan politis amat kental dalam penentuan bagi hasil migas untuk Aceh dan Papua.Sejak dikeluarkannya UU No 33/2004, muncul berbagai protes ketidaksetujuan atas isi UU tersebut. Protes terutama diajukan oleh daerah yang kaya SDA. Karena tidak mendapat otonomi khusus seperti Aceh dan Papua, sekitar 17 daerah penghasil migas hanya menerima dana bagi hasil minyak 15,5 persen dan gas 30,5 persen. Ironisnya, daerah yang kaya SDA mengalami kekurangan dana pembiayaan daerah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan menurunkan tingkat kemiskinan.Tidak mengherankan, daerah yang kaya SDA tak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana perimbangan (DAU, DAK, dana bagi hasil) dan menghendaki adanya revisi terhadap UU tersebut.Dana bagi hasil yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal pusat-daerah tak tercapai. Ternyata, daerah-daerah penghasil migas memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada daerah yang tak punya SDA. Rakyat di daerah kaya SDA hanya mendapatkan sampah, kerusakan lingkungan, dan sedih tak berkesudahan akibat eksploitasi ekonomi.Dana bagi hasil minyak dan gas bagi Kaltim yang ada selama ini ternyata tak cukup membantu pemerintah daerah untuk membiayai program-program pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Baik terkait rendahnya tingkat kesejahteraan, sulitnya pendidikan dan lapangan kerja, buruknya kesehatan, maupun lingkungan hidup masyarakat. Sudah saatnya pemerintah pusat meninjau ulang pola bagi hasil migas yang dinilai tak adil, bersifat diskriminatif antara daerah otonomi khusus dan penghasil migas di luar Aceh dan Papua.Akhirnya, rakyat Indonesia mengingat ucapan seorang tokoh penting di negeri ini yang disampaikan di depan masyarakat Muslim di Makassar pada saat salat Idul Adha tahun 2010. Dia mengatakan, ”Indonesia akan karam, bukan karena bencana. Indonesia akan karam karena bencana yang lebih dahsyat. Bukan bencana alam, tetapi bencana ketidakadilan. Bencana ketidakadilan itulah yang akan mengakibatkan Indonesia karam.”Semoga ketidakadilan ini dapat segera diakhiri dengan uji materi di MK ataupun perubahan UU No 33/2004 yang dipersiapkan Kementerian Keuangan. ● -
Mendemokratiskan Myanmar
Mendemokratiskan MyanmarJuanda Djamal, SEKJEN KONSORSIUM ACEH BARUSumber : KOMPAS, 5 Januari 2012Myanmar kini memasuki peradaban yang lebih terbuka. Mereka menyadari bahwa kekuasaan militer tak dapat menempatkan diri mereka untuk bersanding dan bersaing secara global. Atas dasar itulah, Myanmar pelan- pelan membangun paradigma baru pemerintahan yang demokratis.Keterbukaan politik Myanmar kian diperjelas saat penanganan bantuan darurat bagi korban badai Nargis, Mei 2008. Lebih menarik lagi, Pemerintah Myanmar menghendaki ASEAN berperan dalam penanganan tersebut. Indonesia jadi pilihan mereka.Partisipasi Myanmar semakin kuat di tingkat regional, bahkan Myanmar akan menjadi tuan rumah KTT ASEAN pada 2014. Tentunya Pemerintah Myanmar mempersiapkan langkah-langkah strategis dalam memperkuat negaranya menjadi negara yang demokratis.Fase transisi demokrasi telah dilakukan. Langkah awal adalah menggelar Pemilu 2010. Pemilu tersebut diyakini awal bagi komitmen Pemerintah Myanmar di bawah pengaruh pemerintahan sipil. Walaupun Aung San Suu Kyi belum sepenuhnya dibebaskan dan partainya tak diperkenankan mengikuti pemilu, serta masih terjadi beberapa peristiwa perbatasan, mesti diakui bahwa kondisi politik Myanmar saat ini semakin menuju pada suasana yang lebih terbuka.Keterbukaan itu kian melebar dengan adanya keinginan Myanmar menjadi ketua ASEAN pada 2014. Bahkan, untuk memperoleh kepercayaan internasional, Pemerintah Myanmar merencanakan mengadakan pemilu ulang. Keadaan politik yang seperti ini membuat Amerika Serikat cepat mengambil inisiatif dengan mengirimkan menteri luar negeri ke Myanmar. Inisiatif tersebut bakal diikuti kunjungan Menteri Luar Negeri Jepang dan Inggris dalam waktu dekat. Agenda tersebut kian membangkitkan perhatian internasional atas Myanmar, apalagi Presiden AS Barack Obama menunjukkan keseriusan untuk melihat perubahan di Myanmar.AS mengambil langkah cepat untuk menebarkan kepentingan politik luar negerinya. Myanmar menjadi salah satu negara strategis untuk memperkuat pengaruh AS di Asia Tenggara, terlebih Myanmar memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Tentu harapan tersebut agak berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh China. Apalagi, jika Myanmar menjadi demokratis, China menghadapi tantangan baru di tingkat Asia Tenggara.Di tengah kian intensifnya upaya internasional untuk mendemokratiskan Myanmar, semestinya Menlu Indonesia dapat berperan lebih besar atas upaya internasional tersebut.Diplomasi IndonesiaPemerintah Indonesia memiliki modal besar untuk terlibat dalam proses mendemokratiskan Myanmar. Keterlibatan Indonesia sudah dimulai sejak rekonstruksi bencana badai Nargis di mana beberapa ahli rekonstruksi Indonesia terlibat. Indonesia juga mendukung Pemilu 2010 dan terakhir mendukung kepentingan politik luar negeri Myanmar sebagai ketua ASEAN 2014.Saat ini Indonesia memiliki kapital yang sangat tinggi untuk bisa menancapkan pengaruh politik luar negerinya. Misalnya, pembelajaran dari reformasi dan demokratisasi nasional, desentralisasi dan mekanisme otonomi khusus, rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, hingga proses perdamaian dan demokrasi di Aceh.Modal di atas semestinya diformulasikan secara baik dan dijadikan senjata diplomasi di tingkat regional dan internasional. Modal tersebut bisa jadi pemicu atas kerja sama yang lebih besar di bidang lain, seperti perdagangan, pendidikan, investasi dan bisnis, pertambangan, serta energi.Politik luar negeri Indonesia rasanya semakin tumpul. Hal tersebut dapat dilihat atas prestasi Kementerian Luar Negeri saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN 2011. Myanmar sebagai satu isu strategis di tingkat internasional semestinya dapat dimanfaatkan oleh Kemlu RI untuk memulai beberapa kerja sama penting dalam memperkuat hubungan bilateral kedua negara atau regional. Misalnya, kerja sama peningkatan kapasitas pemimpin politik melalui beberapa program kunjungan, pertukaran pengalaman, dan pendidikan singkat dalam bidang legislatif. Begitu pula di bidang penguatan masyarakat madani, bisnis dan perdagangan, dan sebagainya.Indonesia merupakan negara besar. Sudah saatnya kita menunjukkan kekuatan politik luar negeri dalam memengaruhi berbagai pergerakan politik internasional. Semestinya peluang mendemokratiskan Myanmar menjadi program strategis Indonesia pada 2012/2013. Sebab, jika demokrasi Myanmar dapat terwujud, kepemimpinan ASEAN 2014 oleh Myanmar sekaligus juga merupakan prestasi politik luar negeri Indonesia.Artinya, kebijakan politik luar negeri thousand friends and zero enemy (seribu sahabat dan nol musuh) menjadi kebijakan yang punya landasan kokoh sebagai bukti atas posisi tawar Indonesia yang semakin kuat. Jika tidak, pengaruh politik internasional selalu didominasi oleh negara-negara adidaya yang memiliki senjata dan kapital keuangan yang kuat. ● -
Memperkecil Ruang Gerak Mafia Anggaran
Memperkecil Ruang Gerak Mafia AnggaranMakmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGANSumber : SUARA KARYA, 5 Januari 2012Meski pemberantasan korupsi terus digalakkan, korupsi bukannya semakin surut, sebaliknya semakin menjadi-jadi di negeri ini. Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disibukkan dengan berbagai temuan kosupsi. Di antara berbagai temuan tersebut yang cukup menarik adalah kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kasus ini dianggap menarik karena diduga melibatkan berbagai pihak seperti kementerian keuangan (kemenkeu), bahkan KPK pun telah memeriksa Menteri Keuangan (Menkeu) karena turut menandatangani pengesahan anggaran senilai Rp 500 miliar untuk program percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi.Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan menduga bahwa mafia anggaran bukan hanya diduga berada di Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi juga di lingkungan Kemenkeu. Hal senada ditegaskan Ketua Koalisi Antiutang, Dany Setiawan, bahwa perumusan dan kebijakan anggaran bukan hanya wewenang DPR, namun juga Kemenkeu. Bahkan, Kemenkeu yang memiliki otoritas besar mengalokasikan penggunaan anggaran kementerian dan lembaga negara. Dany juga menilai bahwa mafia anggaran di Banggar DPR bermain untuk partainya dan kepentingan pribadinya sebagai seorang politikus. Sementara itu, mafia anggaran di kementerian bekerja untuk menteri yang membawahinya.Pandangan Fitra dan Koalisi Antiutang yang cenderung tendinsius di atas sangat menarik. Mungkin saja sebagian pandangan tersebut ada benarnya, meski belum tentu secara keseluruhan benar. Pandangan ini seolah membuktikan tesis yang diajukan oleh Lord Acton, bahwa kekuasan berkorelasi positif dengan korupsi.Tentu perlu pembuktian, apakah benar mafia anggaran selalu bekerja untuk atasannya atau jangan-jangan sebaliknya yang terjadi, mereka bekerja untuk memperkaya diri sendiri dan melempar tanggung jawabnya kepada atasannya. Jawaban atas pertanyaan di atas dapat dirunut dari tahapan dalam penyusunan anggaran.Secara singkat, tahapan dalam proses penyusunan Anggaran Pendaptan dan Belanja Negara (APBN) diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-KL). Tahap pertama, siklus penyusunan APBN dimulai dari Kementerian Keuangan dan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang melakukan penyusunan dan perencanaan besaran pagu indikatif baik anggaran K/L maupun non-K/L. Proses perencanaan penganggaran APBN dimulai dengan melakukan monitoring kegiatan tahun berjalan yang digunakan sebagai angka dasar bagi perencanaan tahun selanjutnya, dan perencanaan jangka menengah.Dalam tahap ini kemungkinan mafia anggaran mulai beroperasi kecil, karena proyek-proyek APBN belum dibahas. Tahap kedua, setelah pagu indikatif ditetapkan, K/L menyusun rencana kerja. Penyusunan rancangan rencana kerja ini berpedoman pada rencana kerja pemerintah, rencana strategis K/L, dan pagu indikatif. Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia, K/L harus menyusun program dan kegiatan berdasarkan prioritas. K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada tingkat satuan kerja, sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja atas keluaran yang akan dihasilkan.Tahap ketiga, pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah bersama-sama DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran. Dengan hasil pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran serta mempertimbangkan indikator kerangka ekonomi makro, Menteri Keuangan menetapkan Surat Edaran tentang pagu sementara yang kemudian digunakan K/L untuk menyusun Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL).Dalam tahapan kedua dan ketiga ini ada kemungkinan mafia anggaran mulai bekerja dengan cara menawarkan kegiatan yang menjadi prioritas kepada para pengusaha dengan mengharapkan sejumlah imbalan.Tahap keempat, RKA yang disusun K/L disampaikan dan dibahas dengan DPR. Hasilnya disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas. Setelah dilakukan telaah oleh PPN/Bappenas dan Kemenkeu, pemerintah mengajukan nota keuangan dan RAPBN beserta RUU APBN dan himpunan RKA-K/L kepada DPR untuk dibahas bersama guna memperoleh persetujuan. Pada tahap inilah kemungkinan besar para mafia anggaran kembali bekerja keras mendekati Banggar DPR untuk menggolkan kegiatan yang sudah dirancang dengan para pengusaha.Berdasarkan inilah kemungkinan ada benarnya, bahwa mafia anggaran bukan hanya diduga berada di Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi juga di lingkungan Kemenkeu. Namun, dugaan bahwa Menkeu mengetahui praktik mafia anggaran sangat kecil, mengingat peran DPR dalam menentukan penggunaan pos anggaran dalam proses pembahasan anggaran, jauh lebih besar. Dengan kekuasaanya yang semakin besar ini, DPR kemungkinan besar bisa menyalahgunakan wewenangnya.Pandangan di atas dapat dibuktikan dengan respon negatif ketika KPK memanggil para pimpinan Banggar untuk mendapatkan informasi dan klarifikasi terkait dugaan korupsi yang dilakukan jaringan pengusaha, birokrasi pemerintahan (khususnya di Kemenpora dan Kemenakertrans), serta oknum di Banggar DPR yang secara mengejutkan menghentikan pembahasan RAP BN 2012 bersama pemerintah. Bila DPR memang telah bekerja dengan benar, kenapa harus takut dengan KPK?Berdasarkan proses penyusunan anggaran dan kemungkinan terjadinya penyelewengan, mafia anggaran dapat diperkecil ruang geraknya melalui pengawasan yang ketat pada saat penentuan kegiatan K/L. Sedangkan untuk memperkecil kolusi dengan DPR, sebaiknya kewenangan DPR diperkecil, karena kewenangan yang terlalu besar berpotensi membuka peluang korupsi. ● -
Memantapkan Konsolidasi Demokrasi
Memantapkan Konsolidasi DemokrasiIrman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)Sumber : SINDO, 5 Januari 2012Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari, Kembali ke Konstitusi, yang terbit kemarin (4 Januari 2012) di koran ini menarik untuk didiskusikan. Dalam tulisan itu,Hajriyanto membangun argumen bahwa salah satu sumber dari berbagai persoalan bangsa ini adalah kurangnya pendekatan konstitusi dalam praktik penyelenggaraan negara.Tentu saja hal ini sejalan dengan pemikiran DPD RI.Konstitusi harus senantiasa menjadi ruh dari semua aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, salah satu agenda yang cukup penting yang akan didorong oleh DPD RI pada 2012 ini adalah amendemen UUD 1945. Pada refleksi akhir 2011 DPD RI telah mewacanakan agenda ini sebagai salah satu agenda penting.Pada akhir 2011 melalui kelompok DPD di MPR RI, DPD RI menyelenggarakan Sarasehan Nasional dengan tema “Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa” di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan. Tujuannya untuk mendiskusikan signifikansi amendemen kelima UUD 1945 terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi dan jati diri bangsa yang juga menghadirkan pimpinan MPR RI.
Sebagai bangsa yang memiliki jati diri Pancasila, kita memerlukan suatu landasan konstitusi yang kuat, terbuka pada perubahan dan kepentingan masyarakat yang berkembang. Tahun 2012 harus menjadi tahun konsolidasi demokrasi. Demokrasi harus diperkuat untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, bukan sekadar hal-ikhwal prosedural.
Secara generik,demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Alat ukurnya sederhana: kedaulatan ada di tangan rakyat.Sejak empat kali amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR RI pada 1999, 2000, 2001, dan 2002, format sistem ketatanegaraan telah mengalami perubahan. Supremasi MPR berubah menjadi supremasi konstitusi. Kedaulatan sudah dikembalikan ke tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU. Begitulah penegasan UUD 1945.
Hubungan antarlembaga negara juga berada dalam posisi yang sejajar dan seimbang. Tidak ada lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga negara yang lain. Presiden, MPR,DPR,DPD,MK,MA,KY, dan BPK merupakan lembagalembaga negara yang memiliki kewenangan yang berbeda, namun berada pada posisi yang sama-sama sejajar. Mekanisme check and balances antara cabang-cabang kekuasaan lembaga negara sudah semakin jelas meskipun pembagian kewenangan belum berimbang antara DPR dan DPD.
Meskipun begitu,sejak DPD RI hadir pada 2004 hasil amendemen ketiga UUD 1945 pada November 2001, banyak pertimbangan, pengawasan, dan kebijakan legislatif yang menggunakan pertimbangan kepentingan daerah. Artinya, proses demokratisasi sejak 1998 telah turut mendorong proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti persamaan kedudukan di depan hukum, pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan demokratis,
pengakuan atas hak-hak sipil (kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan pers), terbukanya partisipasi politik, adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara, serta pengawasan legislatif atas kekuasaan eksekutif. Pertanyaannya: apakah proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi tersebut telah memperkuat sistem demokrasi yang kita anut?
Sebuah majalah ekonomi yang cukup bergengsi, Economist, merilis Global Democracy Index 2011 untuk mengukur derajat kualitas kehidupan demokrasi di 167 negara. Dari indeks itu, Indonesia menempati peringkat ke- 60 dengan skor 6,53 dengan kategori flawed democracy.Indeks ini lebih rendah dari Afrika Selatan di posisi ke-30, Slovenia di posisi ke-32,Estonia di rankingke-33,Taiwan di urutan ke-36, India di urutan ke-40,
Thailand posisi ke-57, Papua Nugini posisi ke-59, dan bahkan dari sebuah negara baru Timor Leste di urutan ke-42. Kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari indeks tersebut? Tentu indeks ini mengindikasikan bahwa terdapat kelemahan implementasi nilai-nilai demokrasi jika diukur dari lima variabel yang digunakan Economist yakni pluralisme dan proses pemilihan umum,fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, partisipasi politik, dan budaya politik.Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pada aspek implementasi nilai-nilai demokrasi kita masih dinilai cukup lemah.
Amendemen Kelima UUD 1945
Berkaca dari indeks di atas, kita memerlukan upaya untuk memantapkan konsolidasi demokrasi. Menurut seorang ahli demokrasi, Larry Diamond, esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap,baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup dan bertolak pada metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Konsolidasi demokrasi terlihat pula dari proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi di tingkat institusi negara.
Dalam pengertian itulah, kami mencoba meletakkan wacana amendemen UUD 1945 sebagai bagian penting dari upaya penguatan konsolidasi demokrasi.Konsolidasi demokrasi tentu saja membutuhkan konstitusi yang kuat, demokratis, dan terbuka pada ideide perubahan. Bukankah selama era otoritarian Orde Lama dan Orde Baru terjadi sakralisasi terhadap UUD 1945? Konstitusi seolah-olah barang keramat yang tidak bisa dibicarakan apalagi disentuh untuk diubah.
Konstitusi dimistiskan. Saat itu konstitusi sebelum amendemen sangat terbuka pada praktik-praktik otoritarian. Kini setelah diamendemen empat kali, muncul gagasan agar UUD 1945 disempurnakan. Tentu salah satu isu yang penting adalah penguatan peran DPD RI sebagai kamar kedua dalam rumpun lembaga legislatif, selain penguatan sistem presidensial, otonomi daerah, pemilahan pemilu nasional dan pemilu lokal, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal tentang HAM,
lima komisi negara independen, penajaman bab pendidikan dan perekonomian. Dari hasil survei, masyarakat mendukung penguatan peran DPD RI. Survei terbaru yang dilakukan Reform Institute pada November 2011 di 33 provinsi menyatakan, mayoritas responden 60,9% setuju RUU yang terkait dengan daerah harus mendapat persetujuan DPD RI sebagai lembaga perwakilan masyarakat daerah.
Begitu juga 69,6% responden juga setuju apabila DPD turut serta dalam mengawasi jalannya pemerintah pusat di daerah. Nah, untuk memperkuat kedua peran itu, peran DPD RI harus dimaksimalkan sebagai penyeimbang DPR untuk checks and balances sebagai bagian dari penguatan fungsi representasi politik.
Lalu kenapa kita mesti ragu untuk mengamendemen UUD 1945? Bukankah itu sama artinya kita membiarkan proses konsolidasi demokrasi menjadi lambat? Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari,seperti yang dikutip di awal tulisan ini,menjadi sangat relevan. Kita harus kembali ke konstitusi dan tentu saja konstitusi juga harus disempurnakan agar senantiasa sesuai spirit zaman.
● -
Pilkada dan Demokrasi
Pilkada dan DemokrasiJanedjri M. Gaffar, SEKRETARIS JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI RISumber : SINDO, 5 Januari 2012Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung. Selain sebagai sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah, pilkada juga memiliki fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.Pertama,memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah sehingga diharapkan dapatmemahamidanmewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada misi, visi,program,serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.Ketiga, pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang menopang. Karena itu, pilkada sebagai bagian dari pemilu harus dilaksanakan secara demokratis sehingga betul-betul dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut. Pelanggaran dan kelemahan yang dapat menyesatkan atau membiaskan esensi demokrasi dalam pilkada harus diperbaiki dan dicegah.
Sengketa Pilkada
Sejak menerima pengalihan wewenang memutus perselisihan hasil pilkada dari MA pada Oktober 2008 hingga saat ini, tercatat 392 perkara diregistrasi di MK. Putusan MK terhadap perkara perselisihan hasil pilkada terdiri atas 45 dikabulkan, 256 ditolak, 78 tidak dapat diterima, 6 perkara ditarik kembali, dan 7 perkara sedang dalam proses persidangan.
Putusan-putusan tersebut diambil berdasarkan persidangan yang bersifat terbuka untuk umum yang tidak hanya membuktikan penghitungan hasil mana yang benar, tetapi juga selalu ada dalil dan pembuktian pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada. Semua persidangan perkara perselisihan hasil pilkada menunjukkan ada pelanggaran dan kelemahan dalam penyelenggaraan pilkada dalam derajat yang berbeda-beda.
Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pilkada tentu memengaruhi kualitas demokrasi dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas calon terpilih dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal yang terjadi dalam persidangan di MK telah mendorong perkembangan ruang lingkup wewenang dan putusan MK. Dihadapkan pada perkara- perkara yang di dalamnya menyuguhkan berbagai bentuk pelanggaran, MK sebagai pengawal konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pelaksanaan pilkada tidak melanggar asas konstitusional pemilu yaitu ‘luber’ dan ‘jurdil’.
Karena itu,MK tidak hanya memeriksa perbedaan penghitungan hasil pilkada, tapi juga memeriksa dan mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Pada saat pelanggaran sudah diyakini merusak asas luber dan jurdil, MK memiliki kewajiban konstitusional untuk meluruskannya. Hal inilah yang mendasari perkembangan putusan MK untuk perkara perselisihan hasil pilkada.
MK tidak lagi hanya memutuskan penghitungan siapa yang benar, tetapi juga melahirkan amar putusan penyelenggaraan pemungutan suara ulang, memasukkan bakal calon tertentu yang semula dinyatakan tidak lolos, mendiskualifikasi calon tertentu, melakukan penghitungan suara ulang, bahkan menetapkan pemohon sebagai pemenang pilkada.
Bentuk Pelanggaran
Setidaknya terdapat tujuh bentuk pelanggaran dan kecurangan yang pada umumnya terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pilkada. Pertama, pada tahap pendaftaran pemilih acapkali terjadi data pemilih tetap tidak valid karena ada sebagian warga yang memiliki hak pilih tidak terdaftar, ada nama yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak ada orangnya, serta ada pemilih yang terdaftar lebih dari satu.
Hal ini dapat terjadi, baik karena kelemahan sistem administrasi kependudukan dan sistem pendaftaran pemilih maupun karena unsur kesengajaan. Kedua,pada tahap awal juga terjadi pelanggaran dalam tahap verifikasi pasangan bakal calon yang menentukan pasangan mana yang lolos menjadi pasangan calon peserta pilkada. Ketiga,politik uang merupakan bentuk pelanggaran paling banyak didalilkan dan menjadi materi pemeriksaan persidangan di MK.
Pelanggaran ini dapat terjadi di semua tahap,bahkan sebelum dimulai tahap pendaftaran pasangan bakal calon.Politik uang terjadi setidaknyadengan memanfaatkan programprogram, hibah, atau bentuk lainnya yang dibiayai anggaran negara (APBD) untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa keberhasilan program itu adalah atas jasa orang tertentu yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Keempat, pelanggaran berupa pengerahan atau mobilisasi organisasi pemerintahan untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Mobilisasi dalam hal ini dapat terjadi terhadap pegawai pemerintahan, baik mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah di kelurahan atau desa maupun mobilisasi sarana dan prasarana untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu. Kelima, pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi untuk memaksa warga masyarakat memilih pasangan calon tertentu.
Intimidasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan dilakukan oleh berbagai pihak. Intimidasi dapat dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah dalam bentuk ancaman tidak akan mendapatkan layanan pemerintahan. Intimidasi juga dapat dilakukan oleh kelompok tertentu berupa ancaman kekerasan. Keenam, pelanggaran berupa pemberian hak suara oleh orang yang tidak berhak, baik di tempat pemungutan suara maupun di luar tempat pemungutan suara.
Ketujuh, pelanggaran berupa manipulasi penghitungan hasil perolehan suara. Penghitungan suara secara bertingkat memungkinkan terjadinya manipulasi dengan mengurangi atau menambah perolehan suara calon tertentu. Model pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai model klasik yang saat ini sudah jarang terjadi karena tuntutan keterbukaan dan saling kontrol antarpasangan calon.
Perbaikan Sistem
Berbagai bentuk pelanggaran tersebut pasti memengaruhi kualitas demokrasi di daerah. Akibatnya,kepala daerah yang terpilih sesungguhnya bukan merupakan kehendak rakyat. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, yang diperoleh justru kepala daerah yang hanya haus kekuasaan dan akan menyalahgunakan kekuasaan.Hal ini pasti berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Orientasi pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bukan untuk rakyat di daerah, melainkan untuk kekuasaan belaka. Namun,fakta tersebut tentu tidak perlu menjadi alasan untuk bersurut langkah, meninggalkan demokrasi dan otonomi kembali kepada otokrasi dan sentralisasi.
Yang perlu dilakukan adalah perbaikan di masa mendatang, baik dari sisi electoral system maupun electoral process. Selain itu juga diperlukan penataan kelembagaan penyelenggara serta peningkatan kesadaran peserta pilkada dan warga negara agar tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme kekuasaan yang merugikan bangsa.
● -
Korupsi dan Kekerasan Negara
Korupsi dan Kekerasan NegaraRoby Arya Brata, ANALIS ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKANSumber : KORAN TEMPO, 5 Januari 2012Kekerasan demi kekerasan negara terhadap warga negaranya sendiri terus terjadi. Kekerasan terakhir adalah insiden Mesuji dan Bima, di mana diduga telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum terhadap warga negara sipil yang seharusnya diayomi dan dilindungi.Negara telah gagal menjalankan fungsinya untuk melindungi warga negara. Dalam Teori Kontrak Sosial (Social Contract) Thomas Hobbes (1651) dan John Locke (1689)—yang kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945—tujuan negara didirikan adalah untuk melindungi warga negara. Kewajiban mendasar negara adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kekerasan, to protect its people from violence and other kinds of harm.Kekerasan NegaraPertanyaan mendasar untuk mengungkap kekerasan negara (state violence) yang terus berlangsung di Indonesia adalah apakah kekerasan itu dilakukan secara sistematis dan didukung oleh rezim yang berkuasa ataukah terjadi secara sporadis karena kegagalan institusional proses penegakan hukum.Apabila kekerasan itu dilakukan secara sistematis dan didukung oleh rezim yang berkuasa untuk mengintimidasi atau menyebar teror dan ketakutan terhadap masyarakat sipil, sesungguhnya negara dalam tingkatan tertentu telah melakukan apa yang disebut terorisme negara atau setidaknya terorisme yang didukung oleh negara (state-sponsored terrorism). Secara umum, Encyclopedia Britannica mendefinisikan terorisme sebagai “penggunaan kekerasan secara sistematis untuk menciptakan iklim ketakutan di masyarakat demi mencapai tujuan politik tertentu”.Selanjutnya, Noam Chomsky (2002) mengartikan terorisme negara sebagai “terorisme yang dilakukan oleh negara atau pemerintah dan aparaturnya”. Gus Martin (2006) menambahkan, teror itu dilakukan oleh rezim yang berkuasa untuk melibas kekuatan politik yang mengancam kekuasaannya. Salah satu bentuk terorisme negara, misalnya, terjadi pada masa The Reign of Terror Revolusi Prancis (1789 – 1794) ketika rezim pemerintah Jacobin menggunakan aparat penegak hukum untuk mengancam dan mengeksekusi lawan-lawan politiknya.Apakah kekerasan negara yang selama ini terjadi di Indonesia memang sengaja dilakukan, didukung, atau dibiarkan oleh rezim yang berkuasa untuk mengancam atau memberi sinyal kepada kekuatan oposisi sipil untuk tidak melakukan kegiatan atau menggalang kekuatan politik yang dapat mengancam kekuasaannya? Sebagaimana kita ketahui, akhir-akhir ini sebagian gerakan masyarakat sipil mulai menggulirkan ide pemilihan umum dipercepat atau bahkan revolusi sosial—suatu gerakan yang dapat mengancam rezim yang berkuasa.Apabila kemudian kekerasan negara terus-menerus berlangsung di Indonesia, bahkan dalam skala yang meluas, dan ternyata didukung atau sengaja dibiarkan oleh rezim yang berkuasa, maka kita harus segera menghentikan kekerasan ini. Kita harus menghentikan rezim berkuasa yang gagal melakukan kewajiban esensialnya untuk melindungi warga negara.Tetapi, untuk memastikan apakah rezim yang berkuasa telah melakukan state-sponsored terrorism atau kekerasan negara secara sengaja dan sistematis, kita perlu membentuk tim pencari fakta independen. Bila hasil temuan tim ini ternyata membuktikan rezim itu memang sengaja dan sistematis melakukan kekerasan negara, kebrutalan rezim yang berkuasa dapat dikonstruksikan sebagai “pengkhianatan terhadap negara” berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945—suatu alasan konstitusional yang kuat untuk melakukan impeachment.Kegagalan InstitusionalMeskipun demikian, kita juga harus mempertanyakan bahwa kemungkinan terjadinya kekerasan negara tersebut sebenarnya lebih disebabkan oleh kegagalan institusional (institutional failure) pemerintahan secara umum, khususnya institusi penegak hukum. Dengan kata lain, kekerasan negara itu bukanlah bentuk terorisme negara atau state-sponsored terrorism yang sengaja secara sistematis dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Kekerasan itu lebih disebabkan oleh kegagalan pimpinan nasional, khususnya pimpinan institusi penegak hukum, melakukan reformasi substansial di tubuh institusi penegak hukum.Dari hasil penelitian doktoral saya dan banyak penelitian antikorupsi lainnya, penyebab utama kegagalan institusional demikian adalah korupsi yang kronis dan sistemik di birokrasi pemerintahan, khususnya institusi penegak hukum. Dengan segala dampaknya yang luas, merusak, dan melumpuhkan, korupsi telah menyebabkan birokrasi pemerintahan, khususnya institusi penegak hukum, gagal menjalankan fungsi untuk mensejahterakan dan melindungi masyarakat.Korupsi telah mendistorsi proses penegakan hukum. Korupsi mensubordinasikan kedaulatan hukum (the rule of law) di bawah nafsu syahwat kekuasaan (the rule by the ruler) dan ekonomi. Perlu diselidiki apakah kekerasan negara di Freeport Papua, Mesuji, dan Bima disebabkan oleh transaksi koruptif antara oknum pimpinan penegak hukum dan korporasi yang diduga terlibat dalam kekerasan itu.Misalnya, kekerasan di Bima terjadi setelah aparat penegak hukum membubarkan secara paksa blokade Pelabuhan Sape yang dilakukan oleh mahasiswa dan warga. Blokade tersebut merupakan ekspresi kemarahan mereka terhadap Bupati Bima yang tidak segera mencabut Surat Keputusan Bupati Nomor 188/45/357/004 Tahun 2010 tentang izin eksplorasi pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (Koran Tempo, 26 Desember 2011). Di sinilah Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki apakah ada transaksi koruptif antara bupati, oknum penegak hukum, dan PT Sumber Mineral Nusantara, juga dalam kasus Freeport dan Mesuji.Pemerintah, khususnya penegak hukum, tidak bisa (semata-mata) menyalahkan blokade pelabuhan yang dilakukan pengunjuk rasa. “Anarkisme” massa yang dilakukan di Bima, Papua, Mesuji, dan berbagai daerah lainnya adalah wujud keputusasaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya institusi penegak hukum. Akibatnya, untuk mengekspresikan serta membela kepentingan dan hak-haknya, masyarakat melakukan parlemen dan peradilan jalanan atau “anarkisme” itu.Namun, apa pun bentuk kekerasannya, rezim yang berkuasa harus segera menghentikan kekerasan negara itu. Tindakan minimal adalah dengan memecat dan menghukum oknum pimpinan dan aparat penegak hukum yang diduga terlibat transaksi koruptif, memerintahkan atau membiarkan terjadinya tindak kekerasan itu. Apabila kekerasan terus terjadi, Kapolri harus mengundurkan diri sebagai pertanggungjawaban moral atau ia dipecat dari jabatannya.Kita memberi waktu enam bulan sampai 1 Juli 2012 kepada rezim yang berkuasa untuk melakukan bukan hanya reformasi, tapi juga revolusi radikal di bidang penegakan hukum. Sebab, kelumpuhan akibat korupsi di institusi penegak hukum adalah penyebab utama kemerosotan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tiga belas tahun sudah—waktu yang lebih dari cukup—usia reformasi kita. Tetapi, karena ketiadaan kedaulatan hukum, keberpemerintahan dan demokrasi yang sesungguhnya belum juga terwujud. Kemiskinan, pengangguran, korupsi, kejahatan, dan rasa tidak aman semakin meluas.Apabila berdasarkan indikator-indikator yang terukur rezim yang berkuasa, baik eksekutif maupun legislatif, gagal melakukan tindakan yang substansial dan signifikan untuk menyelamatkan negara, tokoh-tokoh nasional dan masyarakat sipil pada 1 Juli 2012 harus menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat dan mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melakukan tindakan penyelamatan negara yang konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. ● -
Kerentanan dan Keberagamaan
Kerentanan dan KeberagamaanNovriantoni Kahar, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL, PENGAMAT SOSIAL-KEAGAMAANSumber : KORAN TEMPO, 5 Januari 2012Ada sebuah hadis yang sangat popular sekaligus problematik yang sering kali dikutip para dai, baik di Indonesia maupun di dunia muslim umumnya. Hadis itu berbunyi: kaada al-faqru an yakuuna kufran. Hadis ini secara harfiah berarti: kemiskinan itu nyaris saja identik dengan kekufuran. Di tangan para dai kita, hadis ini sering dikutip sebagai cara untuk mewanti-wanti masyarakat akan pentingnya mengeluarkan diri dari jerat kemiskinan dan penderitaan. Alasannya, ya, itu: jerat kemiskinan itu bisa membawa kita kepada kekufuran.Contoh-contoh kadang disertakan untuk meyakinkan betapa orang fakir-miskin itu bisa menjadi kafir atau minimal tidak religius. Karena sibuk membanting tulang dan memeras keringat, orang miskin lupa salat, tak sanggup puasa, jadi penadah zakat, tak mampu berhaji ke Baitullah. Karena miskin, orang terpaksa mencuri sandal, ayam tetangga, atau barang remeh-temeh lainnya. Contoh yang lebih bombastis adalah ini: karena miskin, orang terkadang terpaksa menjual diri.Intinya, selain hadis ini dipandang valid secara sosiologis, ia juga dianggap bersifat sugestif: agar orang miskin berupaya keras untuk mengangkat taraf hidupnya menjadi lebih kaya. Bukankah Quran juga mewanti-wanti umat Islam agar tidak meninggalkan generasi yang lemah (dzurriyyatan dhiaf) sehingga membuat kita khawatir akan masa depannya (Surat An-Nisa ayat 36)?Terus terang saya sudah lama terganggu oleh hadis ini dan justru berpikir sebaliknya. Meski begitu, saya kok tidak tertarik untuk melakukan kritik sanad guna memastikan apakah mata rantai hadis ini betul-betul tersambung ke Nabi Muhammad dan isinya dipastikan benar-benar perkataan Rasulullah. Namun secara matan(isi hadisnya), saya kok merasa agak bermasalah.Pertama, secara historis pun terbukti bahwa para pengikut awal nabi Muhammad adalah orang-orang mustad’afin atau mereka yang tergolong kaum terpinggirkan secara sosial-ekonomi. Orang-orang beradanya (saadatuhum) justru emoh untuk percaya akan kenabian Muhammad dan, kalaupun kemudian memeluk Islam secara berbondong-bondong di belakang hari, itu tiada lain karena posisi sosial-politik-ekonomi Islam yang sudah menguat dan mantap sebagaimana disinyalir ayat Kemenangan (Surat an-Nasr). Kedua, hadis ini pun bisa pula diartikan bahwa Islam tidak berpihak kepada orang miskin (bukan kemiskinan) kalau bukan anti-orang-miskin. Padahal, dalam ayat lain di Quran (QS at-Takasur), orang yang suka lalai menyebut nama Tuhan itu justru mereka yang suka berlimpah-ruah.Karena itu, saya justru berpandangan bahwa, dibanding orang miskin, justru orang kayalah yang lebih dekat kepada kekufuran. Alasannya bisa dicarikan lebih banyak lagi dari alasan untuk orang miskin. Dengan memakai teori-teori mutakhir tentang sekularisasi, sembari meminta maaf kepada mereka yang kaya, saya mantap mengatakan bahwa orang miskin itu jauh lebih religius dibanding orang kaya. Klaim ini setidaknya cocok dengan penelitian-penelitian ilmu sosial tentang tingkat religiositas orang miskin dibanding orang kaya. “The poor are almost twice as religious as the rich,” kata Pippa Norris dan Ronalad Inglehart dalam kitab After Secularization halaman 90, maupun kitabnya lainnya, Sacred and Secular. Orang miskin itu hampir dua kali lipat lebih religius daripada orang kaya.Kerentanan = ReligiositasTesis Cak Norris dan Mas Inglehart di atas merupakan elaborasi lebih lanjut tentang teori umum sekularisasi yang intinya mengatakan, semakin maju suatu masyarakat, akan semakin kurang penting peran agama. Teori ini sekarang ditinjau ulang karena kok sekilas dunia makin atau tetap religius, dan masyarakat yang maju, makmur, damai-sentosa seperti Amerika juga masih tetap religius. Lahirlah kemudian teori tentang Perkecualian Amerika (American Exceptionalism). Para teoretisi sekularisasi lama sempat bertobat akan teorinya dan mengatakan bahwa agama punya sembilan nyawa yang membuatnya susah mati. Sekarat bisa, mati tak mau.Tapi, dengan bukti-bukti survei yang meyakinkan (tentu sampai ada survei yang lebih hakulyakin lagi), Norris dan Inglehart melahirkan teori baru untuk menjelaskan mengapa masyarakat Amerika umumnya lebih religius dibanding masyarakat Eropa Barat yang lebih emoh atau kapok pada agama. Teori itu mereka sebut “Teori Pasar Agama” (Religious Market Theory) yang cenderung berlaku di Amerika. Inti teori ini mengatakan: walaupun permintaan masyarakat akan agama tetap belaka, tapi supply-side factors atau kreativitas pemasoknya (pendeta, aktivis gereja, dan lain-lain), yang berkompetisi keras dalam pasar bebas agama yang meriah, berusaha sedemikian rupa untuk menyerap permintaan konsumen (demand side) agar tetap stabil. Jadi, sebagian orang Amerika lebih religius karena dai-dainya makin kreatif memasok produk agama yang mampu menyerap pasar yang sebetulnya tidak bertambah.Meski begitu, tak semua orang Amerika makin religius. Tetap saja ada teori lain dari Norris dan Inglehart yang masih solid keabsahannya. Teori itu bisa disederhanakan menjadi Teori Kerentanan. Menurut Norris dan Inglehart, semakin banyak kerentanan (feeling vulnerable) dan rasa terancam yang kita hadapi dalam hidup ini, baik secara individual, sosial, maupun nasional, maka semakin beragamalah suatu masyarakat. Sebaliknya, sekularisasi atau erosi yang terjadi pada praktek, nilai, dan keyakinan agama akan lebih cenderung terjadi pada masyarakat yang lebih sejahtera dan merasa kurang terancam secara sosial, politik, dan ekonomi. Orang lalu bertanya lagi: kok orang Amerika yang aman damai sejahtera masih religius-religius saja?Norris dan Inglehart tetap menjawabnya dengan Teori Kerentanan Hidup itu. Teorinya tetap: makin rentan hidup seseorang karena berbagai ancaman, semakin religiuslah mereka. Dan di antara orang Amerika yang paling religius itu, ternyata adalah mereka yang paling rentan dan paling miskin juga. Di sini Norris dan Inglehart menambahkan sedikit soal ketimpangan ekonomi. Semakin timpang sistem ekonomi suatu negara, semakin besar kemungkinan masyarakat itu menjadi lebih religius. Negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia, yang kaya raya dan menerapkan sistem kesejahteraan (welfare state) yang memberi banyak tunjangan dan jaminan sosial bagi warganya, tetap cenderung kurang religius dibanding rakyat Amerika yang lebih timpang.Berkaca dari penelitian-penelitian seperti ini, kesimpulan saya ada tiga. Pertama, bertolak belakang dengan hadis di atas, orang miskin dan mereka yang menghadapi kerentanan hidup lebih tinggi cenderung lebih religius daripada orang kaya. Karena itu, hadis di atas mestinya berbunyi: kaadal ghinaa an yakuuna kufran. Kekayaan itu nyaris saja membawa kekufuran.Kedua, maraknya fenomena keagamaan yang bersifat masif di masyarakat kita belakangan ini boleh jadi menunjukkan tingginya tingkat kerentanan hidup yang sedang kita hadapi. Ketiga, menyangkut kebijakan soal kesejahteraan masyarakat, pemerintahan Indonesia menghadapi simalakama. Jika rakyat makin sejahtera, kurang terancam oleh bencana, kecelakaan, dan salah urus oleh negara, maka masyarakat lama-lama akan semakin kurang religius. Agar masyarakat tetap religius, sebaiknya kemiskinan tetap terjaga, kerentanan hidup dipertinggi, ketimpangan sosial-ekonomi diperparah.Itu kalau pemerintah percaya kepada temuan-temuan ilmu sosial. Kalau lebih percaya kepada hadis, ya seyogianya meningkatkan performa, karena memelihara kemiskinan berarti memelihara kekufuran. Nah lo, pilih yang mana?! ●