Blog
-
Syiah Sampang Versus Syiar Kebencian (129)
Syiah Sampang Versus Syiar KebencianAchmad Fauzi, AKTIVIS MULTIKULTURALISME, KELAHIRAN MADURASumber : KORAN TEMPO, 6 Januari 2012Sejarah panjang penghakiman terhadap perbedaan agama dan keyakinan yang kerap diwarnai pertumpahan darah seakan tak mengenal kata tamat. Estafet kekerasan dan invasi iman terus direproduksi dan didukung kelompok di setiap era sebagai pilihan pragmatis meneguhkan dominasi. Jika demikian, pandangan Karl Marx tidak keliru. Manusia dipersepsikan sosok yang ambisius memperebutkan wilayah dominasi, termasuk dominasi keagamaan.Contoh paling menarik adalah, sebagaimana ditulis Goenawan Mohamad (2003), ihwal Syekh Siti Jenar yang dipenggal mati seusai salat Jumat di hadapan para wali dan pembesar istana lantaran dianggap melawan kekuasaan para ulama yang mengunggulkan ortodoksi. Cerita dari Bagdad pada abad X mengatakan bahwa darah Jenar muncrat membentuk 84 tetes dan menulis kata “Allah”. Sepotong kepala yang lepas dari tubuhnya itu lantas tertawa sembari berseru agar darahnya segera kembali ke tubuh sehingga bercak darah tidak tampak lagi. Peristiwa itu menjadi pertanda bahwa barang siapa yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang tertawa.Peristiwa mutakhir terkait dengan invasi iman dan pemberangusan atas nama agama datang dari Kabupaten Sampang, Madura. Sebagai masyarakat yang dikenal santri, tentu penyerangan dan pembakaran rumah ataupun pondok pesantren milik kelompok Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Madura, menjadi ironi dan tanda tanya banyak orang. Pasalnya, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, Madura menjadi basis Nahdlatul Ulama dengan tingkat penghargaan dan toleransi yang tinggi terhadap isu keragaman. Gus Dur tidak hanya berhasil menanamkan kultur damai terhadap sesama dan inklusif dalam berteologi, tapi juga tegas melindungi kaum minoritas dengan mengerahkan pengikutnya melakukan penghadangan bagi kelompok radikal yang akan melakukan penyerangan.Tapi kultur itu kini telah mengalami degradasi. Secara struktural aparat keamanan tidak mampu melakukan deteksi dini dan melakukan langkah persuasif terhadap potensi konflik masyarakat di sana. Penanganan kasus Sampang sama sekali tidak berpihak kepada kelompok Syiah yang rentan diserang. Polisi lebih memilih menangkap dan mengevakuasi korban daripada mencegah dan menindak para pelaku kekerasan. Pemerintah Kabupaten Sampang juga gagal melaksanakan tanggung jawabnya dalam melindungi jemaah Syiah sebagai kelompok minoritas dari serangan dan pemberangusan hak kebebasan beragama serta berkeyakinan yang dilakukan oleh kelompok pro-kekerasan terhadap Syiah. Ini berarti pemerintah mengingkari kewajibannya menghormati, melindungi, memajukan, dan menegakkan hak asasi warga negara yang diamanatkan Pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Begitu pula secara kultural, peran dan pesan keagamaan Gus Dur sebagai kiai karismatik bagi masyarakat Madura kini tergerus oleh arogansi kelompok tak bertanggung jawab. Hasutan dan syiar kebencian terhadap kelompok Syiah ditanamkan di benak masyarakat, sehingga mereka teracuni serta gampang terprovokasi dalam memandang Syiah berikut ajarannya. Lihat saja bentuk serangan kepada kelompok Syiah yang berlangsung secara sistematis dan masif. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan itu terencana, yang diawali dengan kolektivikasi rasa kebencian di antara masyarakat. Pokok penting inilah yang luput dari perhatian pemerintah, sehingga memandang pemberangusan terhadap kelompok Syiah sebagai peristiwa insidental yang terjadi secara tiba-tiba.Menyelesaikan perbedaan keyakinan dengan cara biadab dan melanggar hukum menimbulkan permusuhan yang sangat keras, ribuan kali lebih keras. Betapa berbahaya apabila masing-masing umat beragama hendak menyelesaikan ketegangan teologis dengan sikap ingin berlomba cepat masuk surga. Atas nama sebuah iman atau Tuhan, seseorang berani menjadi algojo bagi yang lain. Seakan-akan untuk memperoleh taman firdaus, kedamaian di bumi Indonesia diabaikan.Dua PilarMeledaknya kekerasan bernuansa agama di Sampang, Madura, lekat dengan lemahnya dua pilar utama, yakni tokoh agama yang salah haluan dan peran negara yang mandul. Selama ini materi khotbah keagamaan yang dikumandangkan tokoh agama cenderung provokatif dan menyinggung keyakinan lain, sehingga rentan memicu permusuhan, yang dapat memecah belah kehidupan umat beragama.Mimbar-mimbar masjid yang sejatinya menjadi momentum terbaik untuk mendiseminasikan ajaran agama yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi kepelbagaian dibajak sebagai ajang menanamkan kebencian serta eksklusivisme. Simak pandangan eksklusif Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang yang meminta agar aliran Syiah segera dibekukan. Semestinya MUI menyadari bahwa manusia dalam menjalankan iman tidak bisa diseragamkan. Kelompok radikal yang mengoyak kebatinan bangsa yang seharusnya dibekukan, bukan kelompok Syiah.Karena itu, di masa mendatang lembaga-lembaga keagamaan harus proaktif merumuskan kembali strategi dakwah bernapaskan toleransi, inklusivisme, kebangsaan, dan kemanusiaan, sehingga Islam menjadi jalan spiritual yang sejuk serta mengayomi umat manusia. Gus Dur pernah mengajarkan kepada kita perihal makna sejati toleransi. Toleransi, menurut dia, adalah perbuatan, bukan ikrar lisan yang indah diucapkan di podium orasi.Betapa seringnya kita menyaksikan penerapan konsep toleransi di masyarakat yang cenderung artifisial. Kita dituntut untuk bertoleransi antara yang satu dan yang lain tanpa dibarengi kesadaran untuk mengerti serta mempelajari agama lain. Menurut almarhum Gus Dur, kondisi semacam ini masih rawan konflik, karena tuntutannya hanyalah toleransi, bukan saling mengerti. Maka, ketika unsur yang mendamaikan hilang, konflik yang lebih besar tidak dapat dihindarkan.Faktor lain meledaknya kekerasan bernuansa agama adalah negara mengalami kegagalan dalam mengelola secara demokratis pluralisme agama, globalisasi, dan modernisasi. Dengan demikian, ruang kebebasan bagi kelompok marginal sangat sempit. Bangunan keharmonisan umat beragama berjalan rumit karena tereduksi oleh pengaturan formal negara. Negara sebagai yang menguasai dominasi politik terlalu gegabah melakukan kebijakan kontrol yang sangat ketat pada wilayah privat, sehingga kelompok minoritas suka atau tidak suka harus tunduk pada kepentingan penguasa. Tidak ada pendewasaan (maturation) dan pemberdayaan (empowerment) individu dalam beragama, karena politik surveillanceoleh negara telah melumpuhkan peluang agama mengembangkan landasan etik bagi dirinya. Dampak bekerjanya kendali politik rezim tersebut menyebabkan keberdayaan komunitas warga dalam mewujudkan kehidupan demokratis dan setara dalam bingkai keragaman semakin jauh dari harapan. ● -
Keadilan Sosial Kasus Sandal (42)
Keadilan Sosial Kasus SandalSudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGMSumber : KOMPAS, 6 Januari 2012Duduk perkara dan sidang pengadilan atas kasus ”pencurian” sandal sudah dibuka lebar-lebar oleh berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.AAL (15 tahun), pelajar SMK di Palu itu, dinyatakan terbukti mencuri sandal jepit polisi Polda Sulteng. Walau bersalah, dia tidak dihukum, tetapi dikembalikan ke orangtuanya. Publik tergagap-gagap dan bertanya, beginikah penegakan hukum di Indonesia? Pro dan kontra atas kasus itu pun berlangsung dalam perdebatan yang tak jelas juntrungnya. Perdebatan bukan hanya pada lapisan masyarakat yang ”awam” hukum, melainkan juga mereka yang ”ahli” hukum. Publik menafsirkan dan memaknai kasus sandal itu sesuai tingkat kepahaman masing-masing tentang hukum dan pengadilan.Tak bisa dimungkiri, kekuatan publik dan media sangat berpengaruh pada penanganan kasus ini. Aksi pengumpulan ribuan sandal jepit ke Kapolri pun tak luput dari perhatian presiden meski tanpa diikuti tanggapan apa pun. Secara sosiologis, aksi tersebut pasti berpengaruh terhadap sikap hakim ataupun kualitas vonis yang dijatuhkannya.Kasus yang tergolong ”kecil” dan dialami orang awam, anak-anak, remaja, atau orang miskin/lemah seperti ini memberi pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat esoterik, hanya dapat dipahami oleh profesional di bidang hukum. Langkah ibu AAL yang mendorong agar kasusnya dibuka di pengadilan untuk membuktikan bahwa anaknya tak mencuri tanpa disadari sudah menceburkan dirinya ke dalam dunia lain dan asing bagi dirinya, yaitu pengadilan.Logika awam tak mencukupi untuk memahami bahasa, istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan. Wajar ada pertanyaan, kok, putusannya seperti itu? Seto Mulyadi, Ketua Komisi Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Indonesia, kecewa atas vonis hakim ini. Terbayangkan, betapa berat beban psikologis AAL harus menanggung stigma sebagai ”pencuri” yang melekat sepanjang hidupnya.Logika Awam vs HukumKasus ini membuktikan, logika awam dan logika hukum positif memang berbeda. Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah, kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan kekerasan. Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut.Pada hemat saya, pelajaran terbaik dari kasus ini adalah perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana. Profesional hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) bekerja berdasarkan sistem itu, padahal kewenangan masing-masing berpotensi besar berbenturan dengan keinginan publik. Indonesia perlu mengubah sistem itu menjadi social juctice system. Apabila sistem ini terbangun, semua kekuatan publik dan profesional hukum dapat berangkulan dalam satu panggung penegakan hukum sehingga logika publik dan logika hukum positif dapat dipertemukan. Bukankah penegakan hukum itu wajib berdasarkan Pancasila, yang sila kelima berbunyi: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”? ● -
Memberantas Impunitas Korporasi
Memberantas Impunitas KorporasiM Ridha Saleh, ANGGOTA KOMNAS HAMSumber : KOMPAS, 6 Januari 2012Topik kejahatan korporasi dan HAM memang penting dibicarakan lebih mendalam. Mengacu pada fakta-fakta pelanggaran HAM pada 10 tahun terakhir, posisi korporasi sebagai part of contributor pelanggaran HAM perlu dapat perhatian serius.Aktor non-negara yang disebut dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah individu, organisasi atau institusi, kelompok. Sementara hukum HAM internasional juga menegaskan hal sama, bahkan sejak 2000, PBB mengeluarkan satu norma HAM yang khusus ditujukan kepada perusahaan-perusahaan korporasi transnasional sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap HAM.Maka, penting sekali untuk meletakkan HAM lebih jauh dari sekadar paradigma negara-sentrisme di mana aspek yuridiksi dalam perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM tidak hanya bersubyek pada negara sebagai subyek hukum, tetapi juga mencakup semua subyek hukum aktor non-negara, khususnya pada korporasi.DominasiRevolusi struktur ekonomi dan politik ternyata telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar sehingga negara sangat bergantung pada korporasi, bahkan dapat didikte sesuai kepentingan korporasi. Semangat liberalisasi dan privatisasi dalam berbagai kebijakan ekonomi politik atas sumber daya alam (SDA) Indonesia adalah bukti kuatnya intervensi korporasi.Pelanggaran HAM yang dipicu dominasi korporasi di satu sisi menunjukkan lemahnya negara dalam melindungi rakyat. Di sisi lain, karena tidak berdayanya negara dalam mengontrol aktivitas korporasi. Padahal, peran strategis negara dalam perlindungan, pemajuan, dan penegakan HAM justru berada di dua sisi lemah tersebut.Akibat lemahnya peran negara dalam melindungi rakyat, masyarakat di sekitar wilayah konflik tanah dan SDA terdesak dan memilih jalannya sendiri untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya, yang berujung konflik kekerasan.Sisi lemah peran negara terbukti bahwa pada 2007-20011, korporasi berada di urutan kedua terbanyak yang diadukan sebagai pihak yang ikut serta atau berkontribusi dalam pelanggaran HAM. Angkanya cukup spektakuler: mencapai 748 kasus! Bahkan, hingga Juni 2011 saja sudah 24 petani yang meninggal, 42 orang dikriminalisasi, 68 orang tertembak, serta masih banyak lagi yang mengalami kekerasan dan intimidasi akibat konflik tanah dan SDA yang diduga kuat melibatkan peran korporasi.Konflik-konflik yang terjadi di sejumlah sektor strategis dan industri-industri ekstraktif di bidang SDA selalu memperlihatkan pelanggaran hak sipil politik seperti kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, penembakan, perampasan hak hidup. Selain itu, juga pelanggaran hak ekonomi sosial budaya, seperti perampasan atas tanah dan hak ulayat, pencemaran lingkungan, perusakan terhadap hak milik. Langsung maupun tidak langsung, banyak sekali data dan fakta yang menunjukkan keterlibatan korporasi dalam negeri dan luar negeri.ImpunitasBeberapa tahun lalu, The Centre for Economic and Social Rights (CESR) menginvestigasi dampak pencemaran pengembangan minyak oleh Texaco atas manusia di Ecuadorian Amazon. Selama berpuluh tahun, sebagian besar komunitas Amazon yang terkena dampak, dan yang sudah menderita karena pelanggaran Texaco, dibuat tak berkutik.Berulang kali diberitahukan bahwa mereka tak punya hak melawan perusahaan minyak tersebut. Bahwa kerusakan adalah peristiwa alami dan harga pasti yang harus dibayarkan bagi kemajuan sebuah negara.Konsep HAM telah memberi jaminan sebuah alternatif di luar wacana dominan kepada komunitas tersebut, yakni melindungi hak mereka atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Hak ini dilanggar oleh Texaco yang membuang limbah beracun ke dalam persediaan air mereka.Sementara perusahaan swasta tersebut secara teknis kebal terhadap tuntutan HAM. Mereka juga tidak menandatangani kovenan-kovenan yang menjamin HAM, dan hanya negaralah yang bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak tersebut.Di bawah situasi ini, pendekatan yang dimaksud CESR mengandung risiko. Menekankan hanya pada kewajiban pemerintah akan menutupi asal muasal pelanggaran yang sesungguhnya, menguatkan impunitas korporasi, dan—yang terpenting—semakin menjauhkan perasaan ketidakadilan komunitas yang sudah lama dipendam.Sempitnya perhatian hukum HAM hanya pada tanggung jawab negara bukan saja tak bersesuaian dengan hubungan kekuasaan saat ini, melainkan juga cenderung mengaburkan tanggung jawab atas pemenuhan hak-hak korban. Demikian pula perhatian yang hanya tertuju kepada pemerintah tak hanya mendistorsi realitas makin melemahnya otoritas di tingkat nasional, tetapi juga melindungi aktor-aktor lain dari tanggung jawabnya yang lebih besar.Perspektif state-centric dalam dinamika penegakan HAM di Indonesia masih cukup dominan. Padahal, praktik-praktik serupa sejak lama juga telah terjadi di sejumlah daerah, tetapi sejauh ini belum ada langkah-langkah yang memperlakukan aktor-aktor non-negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM.Semua pihak harus berpegang pada tingkat kewajiban paling mendasar, yakni ”penghormatan terhadap HAM” dan melindungi semua pihak dari semua praktik yang mengancam harkat dan martabat serta kelangsungan hidup manusia. ● -
Privatisasi Demokrasi
Privatisasi DemokrasiDonny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK KONTEMPORER UISumber : KOMPAS, 6 Januari 2012Musim semi Arab sedang penuh sesak jargon demokrasi. Otoritarianisme akhirnya runtuh digodam naluri kebebasan dan kesetaraan. Kita seperti tengah merayakan sesuatu yang sejatinya masih memendam misteri pandora.Misteri ini sedikit banyak mulai tersingkap ketika ribuan warga AS menduduki Wall Street. Misteri yang dibuka di sana adalah inkoherensi antara kapitalisme dan demokrasi. Joseph Stiglitz menyebut demokrasi AS sebagai sistem yang melayani 1 persen orang berpunya yang notabene menguasai seperempat pendapatan nasional. Sejumlah warga AS mulai menyadari betapa demokrasi dan kapitalisme tak dapat berjalan di satu gang.Logika demokrasi adalah kebaikan umum, sementara kapitalisme, keuntungan pribadi. Demokrasi bersandar pada kolektivitas demos, sementara kapitalisme, urusan pribadi para pemilik.”Homo Democraticus”Kapitalisme tak mengenal warga negara. Satu-satunya kosakata yang dikenalinya adalah konsumen. Konsumen adalah dia yang membeli komoditas untuk memuaskan hasrat pribadinya. Padahal, warga demokratis bukan pembeli. Warga demokratis adalah dia yang mentransendensi hasrat pribadi demi bonum commune.Kapitalisme, sayangnya, memahat satu sosok yang berdiri secara diametral dengan demokrasi. Kapitalisme memahat homo economicus yang mengejar kepentingan pribadi dan dengan demikian terpisahkan dari segenap transendensi. Seorang dosen, misalnya, hanya pencari nafkah yang egois dan terlepas sama sekali dari transendensi, semisal ”pendidikan yang memerdekakan kaum papa”. Warga tanpa transendensi adalah homo economicus yang berkedok demokratis. Ini mengulang kritik purba yang dilontarkan Plato terhadap demokrasi. Plato melontarkan dua kritik terhadap demokrasi.Pertama, demokrasi melenyapkan dunia bersama. Glorifikasi individu membuat dunia bersama kehilangan makna. Orang berlomba-lomba memuaskan hasrat pribadi dan menafikan dunia bersama dan makna-makna kolektif. Orang, misalnya, atas nama hak individu membangun rumah bertingkat tiga tanpa peduli rumah tetangga tak mendapat sinar matahari.Kedua, satu-satunya hal yang membentuk warga demokratis adalah kenikmatan dan perilaku pengejar kenikmatan. Warga demokratis menjadi abai terhadap perbedaan kualitatif. Segala sesuatu dapat digantikan oleh segala sesuatu lainnya. ”Bersenang-senang!” menjadi maksim universal dari sebuah imperatif sosial.Warga demokratis adalah dia yang memilih-milih calon anggota legislatif seperti memilih kemeja. Segala sesuatu adalah soal apa yang menjadi tren dan menyenangkan. Setiap momen senantiasa dapat digantikan oleh momen lain. Ketika tren pemimpin adalah kesantunan, orang berlomba-lomba memilih pemimpin santun. Ketika tren bergeser jadi pemimpin yang berani memutuskan, orang berpindah kepada pemimpin demikian. Demokrasi pun tak lebih dari sirkulasi hasrat, perpindahan hasrat tanpa jeda alias berketerusan.Demokrasi berbasis hasrat pribadi akan terjerembab pada rezim opini. Privatisasi demokrasi membuat kita menoleransi segalanya. Segala sesuatu yang merupakan urusan pribadi individu lain harus ditoleransi. Demokrasi pun diramaikan ragam opini tentang yang pribadi, dari tentang homoseksualitas, sekte sempalan, pelarangan jilbab di sekolah, sampai cara berhubungan seksual. Gejala ini disebut Badiou ”materialisme demokratis” (Badiou, 2006 : 9). Materialisme demokratis adalah kondisi saat demokrasi kehilangan transendentalitas dan tereduksi menjadi tubuh dan bahasa. Artinya, demokrasi menjadi sekadar perang opini antarindividu dengan beragam keinginan. Etika toleransi yang dikembangkan demokrasi semacam itu menghasilkan kemajemukan radikal di mana tak ada tempat bagi kebenaran.Privatisasi demokrasi membuat debat menjadi esensi politik. Ini membuat politik menjadi komentar pasif terhadap peristiwa atau gejala tanpa intervensi aktif untuk mengubahnya. Kita, misalnya, sibuk berdebat tentang hak berserikat tanpa mampu berbuat apa-apa terhadap rezim yang memberangus serikat pekerja.Badiou mengatakan, kemajemukan opini adalah bentuk politik yang khusus, yakni politik parlementarian. Politik parlementarian adalah asumsi epistemologis bahwa kebenaran bukan peristiwa melainkan konsensus. Politik bukan perkara konsensus melainkan intervensi, deklarasi, dan organisasi. Privatisasi demokrasi membuat politik dilepaskan dari keputusan. Dia direduksi jadi arena para homo democraticus beropini tentang segala sesuatu. Politik adalah komentar para pengamat dan debat antaropini tanpa kebenaran. Segalanya direduksi jadi opini: ”apakah gejala ini menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi saya”.Demokrasi SungguhanPrivatisasi demokrasi membuat kita perlu memikirkan kembali apa sebenarnya watak asli demokrasi. Marx jauh hari sudah memikirkan apa itu demokrasi sungguhan (wahre democratie). Ia memulai refleksinya dengan membalik pendapat Hegel tentang negara dan masa rakyat. Hegel memandang masa rakyat sebagai abstraksi yang hanya memperoleh bentuk konkret di dalam negara. Negara, bagi Hegel, aktualitas tertinggi yang mentransendensi keluarga dan masyarakat sipil. Marx, sebaliknya, mengatakan negara adalah abstraksi yang harus dideformasi oleh masa rakyat yang konkret. Demokrasi diartikan sebagai deformasi organisme negara atas nama swadeterminasi masa rakyat (Marx, 1975: 188). Dalam teks-teks Marx 1843-1844, gagasan swadeterminasi kolektif itu disebut sebagai ”komunisme”.Demokrasi sungguhan, bagi Marx, tak bersemayam di negara, tetapi pada-suatu-jarak dari negara. Demokrasi adalah gerak disinkarnasi yang bekerja secara konkret di bawah abstraksi negara. Pekerja rumah tangga, misalnya, melakukan disinkarnasi terhadap kategorisasi negara terhadap buruh sebagai yang bekerja di ruang publik. Demokrasi sejati adalah pembangunan aliansi kooperatif, agregasi afinitas pada level masyarakat yang secara material mendeformasi kuasa negara yang berusaha mematikannya.Dengan demikian, demokrasi berbeda jalan dengan logika privat kapitalisme. Di hadapan kapitalisme yang melakukan atomisasi sosial secara brutal, Marx memahami organisasi politik sebagai apa yang disebutnya ”asosiasi manusia bebas” (einen Verein freier Menschen). Asosiasi di sini sejatinya perlawanan terhadap privatisasi sosial dengan berjuang pada-suatu-jarak dari negara. Asosiasi demokratis tidak bersandar pada esensi tertentu. Solidaritas untuk buruh migran yang diancam hukuman mati di Arab Saudi, misalnya. Asosiasi demokratis tersebut tidak bersandar pada satu kelas atau kelompok sosial tertentu. Asosiasi tersebut adalah solidaritas transkelas dan kelompok yang terpicu oleh peristiwa anti-kemanusiaan.Demokrasi perlu melepaskan diri dari privatisasi brutal kapitalisme. Badiou menegaskan, jika demokrasi disamakan abstraksi monetaris kapitalistik (satu orang satu suara), lawannya bukan despotisme (Badiou, 2011: 14). Lawan demokrasi kapitalistik adalah hasrat membangun eksistensi kolektif yang terbebas dari cengkeraman kapitalisme. ”Kredit tanggung renteng” yang dijalankan sebagian ibu di Malang adalah eksperimen demokrasi demikian. Demokrasi adalah kendali rakyat terhadap eksistensi mereka sendiri. Itu adalah politik yang bersemayam imanen dalam rakyat dan meluruhnya, dalam proses terbuka, negara. Bagi Badiou, kita hanya jadi demokrat sejati jika mampu membangun kembali kolektivitas dan mengenyahkan individualitas. Momen ketika kita jadi ”einen Verein freier Menschen” kembali. Ini hardikan keras terhadap kaum (yang mengaku) demokrat, tetapi berjuang jadi bagian dari negara. ● -
Pluralisme sebagai Benteng Republik (104)
Pluralisme sebagai Benteng RepublikAirlangga Pribadi, PENGAJAR ILMU POLITIK FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGASumber : KOMPAS, 6 Januari 2012Di tengah kekhidmatan malam dua tahun haul wafatnya KH Abdurrahman Wahid lalu, Yudi Latif memberikan sambutan tentang sumbangan Gus Dur—sapaan akrab Abdurrahman Wahid—untuk Islam Indonesia. Kebesaran Abdurrahman Wahid—menurut Yudi—terletak pada paradoksal intelektualitasnya.Adapun keistimewaan Gus Dur terletak pada kemampuan menghubungkan kosmopolitanisme pengetahuan yang menembus batas sekat-sekat kultural bertemu dengan kesadaran akan pentingnya pijakan tradisi dan kearifan lokal dalam merajut jalinan kebaikan bersama.Bagi Gus Dur, yang bertahun-tahun menimba ilmu di Timur Tengah, universalitas Islam tidaklah dibangun melalui tegaknya satu model kebenaran tentang Islam yang hanya mengacu pada praktik beragama di tanah Arab untuk dipaksakan di Indonesia. Pembumiannya justru pada kesadaran kultural Nusantara dan pertemuan dengan kebinekaan yang lainlah yang membuat Islam menyatu dengan keindonesiaan kita yang plural.Dua tahun setelah Gus Dur wafat, seiring dengan pelupaan secara perlahan semangat pluralisme dalam Islam Nusantara yang diusungnya, kita berkali-kali disodorkan oleh tontonan kekerasan untuk memaksakan satu model kebenaran agama terhadap mereka yang berbeda. Belum lama kita mendengar kisah memilukan tragedi pembantaian jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan konflik pembangunan Gereja GKI Bogor di pengujung 2011. Kita pun menyaksikan pengusiran dan pembakaran pesantren jemaah Syiah di Sampang, Madura.Patriotisme IndonesiaBagi negeri kita, memudarnya semangat pluralisme dan ikatan solidaritas hidup bersama di dalam keragaman ini merupakan hal yang fatal. Ini mengingat dalam konteks keindonesiaan, pluralisme bukan semata-mata jadi alat bagi sebuah tujuan politik lainnya. Pluralisme pun bukanlah hidup demi tujuan pluralisme itu sendiri. Melampaui itu semua, pluralisme dalam konteks keindonesiaan menjadi alasan mengada bagi berdirinya Indonesia.Di atas fondasi pluralisme-lah Indonesia sebagai negara-bangsa tegak berdiri. Tanpa kehadirannya, Indonesia sebagai sebuah cita-cita akan hancur berkeping-keping.Untuk mengelaborasi gagasan ini, ada baiknya kita menelusuri bagaimana perbedaan antara pembentukan bangsa di negara-negara Eropa dan di Indonesia secara singkat.Filsuf republikanisme Italia, Maurizio Virolli (1995)—dalam karyanya For Love of Country: an Essay on Patriotism and Nationalism—menjelaskan, dalam sejarah negara-bangsa di Eropa haruslah dibedakan antara nasionalisme dan patriotisme. Sebagai konsep kultural, nasionalisme sebagai spirit kultural di banyak negeri Eropa dibangun berdasarkan ikatan homogenitas kultural sebagai suatu bangsa. Sementara kesadaran keadaban (civicness) tiap-tiap orang tumbuh dalam komitmen dan pembelaannya terhadap komunitas politik negara.Hak dan tanggung jawab sebagai warga negaralah yang membentuk kesadaran demokrasi, HAM, dan penghormatan terhadap pluralitas.Berbeda dengan perjalanan banyak negara Eropa, sejak awal nasionalisme Indonesia dibangun atas rantai keterkaitan gugus entitas kultural yang plural dalam etnis, ras, agama, dan golongan. Sejak awal, pluralisme telah disadari oleh para pendiri republik tidak saja sebagai hak dari tiap-tiap orang yang mengaku menjadi bangsa Indonesia. Lebih dari itu, dalam sejarahnya tiap-tiap bagian bangsa ini telah berkorban, memberi, dan berperan dalam perjuangan membentuk Indonesia.Dalam narasi sejarah demikian, nasionalisme sebagai ikatan kultural yang berbineka sejak awal telah menubuh dalam kesadaran patriotisme sebagai komitmen politik untuk membentuk negara-bangsa dengan segenap spirit kewargaannya. Konstruksi kebangsaan inilah yang ditekankan Soekarno dalam Lahirnja Pantjasila: ”Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!”Seruan Bung Karno bahwa Indonesia milik semua sejalan dengan ajakan Abdurrahman Wahid. Bahwa, dalam ikatan keindonesiaan tidak boleh ada kelompok yang diistimewakan satu di atas yang lain. Sebab, tiap-tiap bagian dari bangsa Indonesia memiliki kontribusi penting dalam pembentukannya.Batang TubuhKalau kita hubungkan komitmen kebangsaan dengan mulai munculnya sikap eksklusivisme di kalangan Islam terhadap kelompok minoritas Syiah dan Ahmadiyah, ada baiknya kita membahas sekelumit sumbangan mereka bagi terciptanya Indonesia.Bagi kaum Syiah yang dipandang sebagai kaum minoritas Muslim Indonesia, sumbangan mereka dalam keislaman Nusantara amatlah penting. Sejak awal masuknya Islam di Nusantara, jejak sumbangan kultural mereka tampak dari tradisi keagamaan pada saat hari Asyura, melalui tradisi upacara bubur merah (lambang keberanian Imam Hussein) dan putih (lambang kesucian Imam Hassan) dari Aceh sampai Maluku. Tradisi kultural inilah yang mengilhami lambang bendera kita: Merah Putih.Demikian pula halnya dengan Ahmadiyah, yang ketidaksepakatan beberapa kelompok terhadapnya sampai tak membolehkan hak mereka untuk hidup sebagai warga negara. Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, salah satu kelompok pergerakan modernisme Islam di Indonesia, yaitu Studenten Islam Studieclub—embrio dari kemunculan aktivis Islam politik seperti Masyumi—dalam publikasi majalahnya sering kali menggunakan tafsir Al Quran dari jemaah Ahmadiyah yang terkenal karena rasionalitas dan saintifiknya (Yudi Latif, 2005; Soekarno, 1964).Dalam terang sekelumit fakta-fakta sejarah di ataslah sebenarnya ide pluralisme dan toleransi bukanlah ide yang berangkat jauh dari luar dan ditanamkan tanpa penyesuaian di Indonesia. Pluralisme adalah batang tubuh dari keindonesiaan kita. Setelah ide-ide ini digemakan oleh Soekarno dan Abdurrahman Wahid, kita membutuhkan lahirnya generasi baru yang membela pluralisme Indonesia sebagai benteng republik. ● -
Membangkitkan Spirit Nasionalisme
Membangkitkan Spirit NasionalismeEko Sulistyo ZA, PRESIDEN ASSOCIATION OF SABER UNFOLD
PADA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SUNAN KALIJAGASumber : SUARA KARYA, 6 Januari 2012Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak dimenangkan. Begitulah jargon yang dogembar-gemborkan para pahlawan terdahulu. Mereka berani mempertaruhkan segalanya demi menebus arti sebuah kemerdekaan. Bahkan tidak sebatas finansial yang mereka pertaruhkan, melainkan jiwa dan raga juga disumbangkan dalam rangka melepas belenggu yang dijeratkan kolonial. Karena, “kemerdekaan” merupakan hak setiap individu yang tidak seorang pun berhak ikut campur atasnya. Maka, siapa pun yang berani memegang, mengidealkan dan mengimplementasikan slogan di atas, dialah pahlawan.Jika pahlawan merupakan individu yang memiliki jiwa patriotis atau bersedia membela kepentingan bersama, maka sudah layakkah para pemimpin disebut sebagai pahlawan?Untuk menjawabnya, cukuplah dengan mengejawantahkan kata “pertaruhan” dan “kemerdekaan”. Pertaruhan yang dimaksud di sini bukanlah pertaruhan untuk dimenangkan sendiri, melainkan pertaruhan untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Artinya, pahlawan adalah mereka yang secara tulus mempertaruhkan segalanya demi tercapainya masyarakat yang bebas dari penindasan, baik fisik maupun mental.Namun, keikhlasan dalam berbuat tidak mungkin terealita jika masih menafikan keberadaan “cinta”. Karena, cinta merupakan alat paling ampuh untuk menempa suatu proses, sehingga segala pertaruhan atau pengorbanan tidak akan terasa berat jika atas dasar cinta, namun mampu mempertajam verbal sehingga segala pagar penghadang dapat ditebas tanpa merasa berat. Namun, cinta di sini bukanlah “cinta setengah hati”. Karena, perjuangan yang berpondasikan cinta seperti itu tidak akan mampu melewati duri-duri penghalang, bahkan justru akan melahirkan tindakan pragmatis yang cenderung melukai kepribadiaan, sebagaimana teroris.Begitu juga dengan makna kemerdekaan, yang tidak sebatas bebas dari jerat fisik. Namun, yang jauh lebih penting adalah melepaskan belenggu mental. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara memaknai arti sebuah kemerdekaan menjadi dua dimensi. Pertama, merdeka dari aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Dalam konteks Indonesia, kemerdekaan lahiriah ini sebenarnya sudah dicapai berpuluh-puluh tahun silam, meskipun tidak seutuhnya. Karena, kemiskinan dan kebodohan masih menjadi isu setia diberbagai media.Kedua, merdeka dari sudut mental (otonomi berfikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Kemerdekaan inilah yang sebenarnya menduduki posisi tertinggi dalam memaknai sebuah kemerdekaan, karena mental merupakan karakter atau sumber dari segala perbuatan. Jika karakter petinggi negara ini adalah penjilat, maka segala bentuk tindakan yang meskipun terlihat manis dan simpatik, maka sebenarnya tidak lebih dari tipu daya mereka untuk mengelabuhi masyarakat semata. Begitu juga sebaliknya.Terkait dengan penganaktirian pendidikan, dapat dilihat dari sikap pemerintah terhadap para ilmuwan. Di mana, penelitian mereka sekarang tidak menemakan kejelasan arah karena fasilitas yang tidak memungkinkan. Lebih tragis lagi, jika dilihat dari sudut kementerian. Jika seorang profesor atau guru besar di perguruan tinggi negeri golongan pangkat IV/E memperoleh gaji hingga Rp 14 juta lebih per bulan, maka seorang profesor dengan goongan pangkat sama, namun berada di lembaga non-kementerian hanya dihargai sebesar Rp 5,2 juta beserta tunjangan. (Kompas, 26 Oktober 2011)Tidak jauh berbeda dengan kemiskinan. Semisal, korban erupsi Merapi yang sampai sekarang masih berteduh di hunian sementara (huntara). Padahal, keadaan huntara jauh dari standar kelayakan pemukiman, karena pencemaran sudah tampak jelas. Misal, sering membludaknya penampungan limbah septic tank yang bercampur limbah cucian. Hal ini akibat minimnya penampungan limbah, sehingga satu penampungan digunakan beberapa kepala keluarga. Maka, jika penampungan penuh, sering kali airnya kembali dan keluar dari dalam dapur. (Harian Jogja, 27 Oktober 2011) Data di atas merupakan cerminan bahwa jalan yang harus ditempuh Indonesia untuk mencapai kemerdekaan fisik masih terbentang jauh.Jika kemerdekaan lahiriah masih belum dapat digapai, maka msutahil kemerdekaan fisik dapat terealita, mengingat usia Indonesia yang sudah lebih dari 66 tahun. Batin baru dapat dikatakan merdeka jika jerat fisik sudah terlampaui. Karena, bagaimanapun juga, kemerdekaan fisik merupakan dasar atau batu pijakan untuk merengkuh kemerdekaan batin.Lantas di manakah ruh pemberani para pahlawan sekarang berlabuh? Jelas di dalam pribadi rakyat. Merekalah yang patut mendapat gelar manusia super. Karena, dengan keringat berceceran mereka tetap mendendangkan lagu perjuangan demi menghapus tetesan air mata Ibu Pertiwi. Meski subsidi dan harga pupuk masih menjadi perdebatan panjang di meja pembantu rakyat, mereka tetap gigih mengelola sawah dan kebun. Sehingga mayoritas kuota pangan di Indonesia berada di bawah kerja keras para petani. Begitu juga dengan sumber protein, yang tidak lepas dari rasa lelah para nelayan, meski dengan perabot penangkapan ikan ala kadarnya. Itu semua merupakan wujud dari cinta Tanah Air.Memang, mereka tidak butuh sanjungan dan gelar manusia super, apalagi pahlawan revolusioner. Karena, mereka benar-benar ikhlas dalam melakukan apa yang telah menjadi kewajibannya. Namun, di sinilah sebenarnya letak “kepahlawanan” mereka. Di mana, sanjungan dan penghormatan tidak lagi dihiraukan. Tanpa ditagih juga tanpa berjanji, mereka telah menyelesaikan pekerjaan. Secara tidak langsung, mereka juga meneruskan perjuangan pahlawan di gelanggang pertempuran. Para rakyat pinggiran telah benar-benar mampu mempertaruhkan hidupnya demi kemenangan Nusantara tercinta.Hidup rakyat! ● -
Masa Depan Demokrasi Indonesia
Masa Depan Demokrasi IndonesiaDeny Humaedi dan Achmad El-Ghazali, PENELITI LINGKAR DEMOKRASI INSTITUTE (LIDI) DAN INDONESIAN CULTURE ACADEMY (INCA) JAKARTASumber : SUARA KARYA, 6 Januari 2012Membincang demokrasi berarti membincang rakyat. Ini ditegaskan dalam prinsip umum demokrasi; pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Maka, untuk mengejawantahkan prinsip ini, diselenggarakanlah apa yang dinamai dengan pemilihan umum secara langsung. Di Indonesia sendiri dari pemilihan kepala desa, bupati, walikota, gubernur hingga presiden dipilih langsung oleh rakyat.Dampak positif terkait keberhasilan menyelenggarakan proses pemilihan yang melibatkan partisipasi rakyat ini adalah banyak kalangan bahkan dari luar yang menilai bahwa Indonesia adalah negara paling demokratis. Ini mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dibandingkan dengan negara yang sama-sama berpenduduk Muslim lainnya yang rata-rata masih menganut sistem monarki.Benarkah demikian?Di satu sisi memang benar mengklaim bahwa indonesia adalah negara yang paling demokratis jika ini didasarkan atas partisipasi publik dalam sistem pemilihan. Namun, di lain sisi, kita harus mengajukan pertanyaan apakah dalam proses pemilihan ini benar-benar berlangsung demokratis. Pada praktiknya, model pemilihan langsung ini banyak meninggalkan jejak-jejak kotor yang bisa mengoyak makna dan ruh demokrasi. Manipulasi suara, politik uang, suap pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan praktik-praktik kekerasan terhadap lawan politik adalah imbas yang mengoyak makna demokrasi itu sendiriFakta empirik ini beriring sejalan dengan pernyataan Sarjana Australia, ED Aspinall terkait optimisme demokrasi Indonesia. Aspinall mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia diklaim sebagai demokrasi karena dalam praktiknya demokrasi memusuhi dirinya sendiri. Demokrasi ditunggangi oleh kekerasan atas nama agama, kelompok ber-kapital banyak yang menyandera pemilu, reposisi kaum birokrat lama, dan masih kuatnya peran militer untuk mengukuhkan kekuasaan pemimpin dengan melenyapkan asas-asas hak asasi manusia (HAM).Dengan demikian secara perlahan-lahan demokrasi akan dimaknai sebagai proses legal-formal. Dengan kata lain, Indonesia dinilai sebagai negara demokratis dengan ukuran keberhasilan lembaga-lembaga institusional dalam menyelenggarakan proses demokrasi.Pergeseran makna demokrasi ini kemudian akan memunculkan anggapan seperti yang ditegaskan oleh Robertus Robert bahwa demokrasi Indonesia dideterminasi oleh dua arus ganjil.Pertama, dinamisasi demokrasi diiringi oleh kekerasan, bos lokal (pemilik modal), diskriminasi. Kedua, pemapanan demokrasi melalui formalisasi seluruh praktik politik, termasuk gaya kepemimpinannya.Jika demokrasi dipahami dengan praktik-praktik yang menodai demokrasi sendiri, maka logika demokrasi demikianlah yang dijadikan model di Indonesia. Pada akhirnya demokrasi Indonesia tidak menyentuh persoalan fundamental; pemilu yang bersih, pengakuan HAM kelompok minoritas, terbentuknya good governance, dan memahami prinsip-prinsip keberagaman.Ini artinya bahwa klaim Indonesia adalah negara paling demokratis akan runtuh jika didasarkan pada praktik-praktik pemilu yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip demokratis. Karena, praktik-praktik politik undemocratize inilah ada sebagian kelompok yang mengharamkan demokrasi untuk diterapkan di Indonesia. Hizbut Tahrir dan kelompok Islam fundamentalis, misalnya. Bahkan, mereka disebut-sebut ingin mengganti demokrasi dengan Khilafah Islamiyah.Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana masa depan demokrasi Indonesia?Terkait persoalan ini setidaknya ada dua faktor yang mesti digarisbawahi. Pertama, perlunya memikir ulang standarisasi demokratis atau tidaknya sebuah negara. Dalam kasus pemilihan umum di Indonesia memang banyak kalangan baik pengamat maupun praktisi politik menilai Indonesia sudah berada pada jalur negara demokratis mengingat Indonesia masih dalam level transisi demokrasi.Kedua, perlunya reorientasi akan makna demokrasi. Reorientasi ini dimaknai sebagai penggalian makna demokrasi, yang diwariskan pada masa Yunani kuno dan abad ke-20, dengan mengkontekstualkan terhadap kondisi kekinian. Demokrasi perlu menyesuaikan dengan nilai, budaya, dan kekhasan yang dimiliki Indonesia.Elaborasi dua faktor di atas dipertegas oleh perspektif Robert Dahl terkait demokrasi. Robert Dahl mengajukan lima kriteria untuk mencapai praktik demokratis yang akhirnya akan membawa pemahaman kita mengenai makna esensial demokrasi.Pertama, partisipasi efektif. Warga negara harus mempunyai kesempatan setara dalammembuat pilihan mereka.Kedua, warga Negara harus menikmati kesempatan yang luas dan adil untuk menemukan dan mempertahankan pilihan yang mana pilihan itu akan melayani kepentingan mereka.Ketiga, kesetaraan dalam pemilihan. Setiap penilaian warga Negara akan dihitung sama besarnya seperti penilain warga lain.Keempat, rakyat harus diikut sertakan dalam setiap keputusan penting mengenai agenda negara.Kelima, ada payung hukum atau pengawasan hukum dalam kekuasaan negara.Menurut hemat penulis, jika kelima kriteria ini diaksentuasikan dalam sistem politik kita, kita tak perlu mencemaskan masa depan demokrasi Indonesia. Namun, persoalannya adalah adakah kehendak dari elite-elite politik untuk merenungi secara mendalam terkait lima kriteria yang diajukan Robert Dahl?Harapan kita semoga saja mereka merenungkannya. Kita tunggu saja. ● -
Merespon Keragaman dalam Bingkai Mazhab
Merespon Keragaman dalam Bingkai MazhabHusein Ja’far Al Hadar, DIREKTUR LEMBAGA STUDY OF PHILOSOPHY (SOPHY) JAKARTASumber : JIL, 5 Januari 2012“…sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne, Prancis) bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu sejatinya juga pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun harus juga menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu sejatinya juga pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah).”Ironi! Di penghujung 2011, kita harus menutupnya dengan satu kasus kekerasan bermotif agama. Bahkan, yang ini, bukan lagi isu satu agama vis a vis agama lain, tapi dalam internal Islam, yakni antara madzhab Sunni dan Syiah. Sekelompok oknum yang mengklaim Sunni (ahlussunnah wal jammaah) melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap pondok pesantren beraliran Islam-Syiah di Sampang, Madura. Akhirnya, kita pun harus menambah satu lagi daftar catatan kekerasan atas nama agama di negeri ini yang oleh Setara Institute baru-baru ini dilaporkan statistiknya mencapai 244 kasus selama 2011.Menurut penulis, sebenarnya pada tingkat keyakinan dan ajaran (keislaman), apa yang terjadi di Madura seharusnya tak terjadi. Sebab, masalah perbedaan antara Sunni dan Syiah dalam Islam sudah diklarifikasi dan dituntaskan dengan utuh dan tepat oleh tokoh-tokoh Islam di negeri ini. Salah satu yang tepat untuk disebutkan di sini, misalnya, M. Quraish Shihab (pakar tafsir di Indonesia) dengan karyanya yang berjudul Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (2007). Dalam karyanya itu, Quraish Shihab yang memang memiliki kredibilitas dan otoritas dalam membicarakan isu ini, mengawali pembicaraannya tentang keniscayaan sebuah perbedaan yang diakui secara langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 48) sekaligus kepatutan dirajutnya persatuan (ukhuwah) karena pada dasarnya manusia adalah umat yang satu (QS. Al-Baqarah: 213). Pembacaan, pemahaman dan penafsiran atas realitas dan ayat tentang keniscayaan perbedaan dan kepatutan persatuan menjadi sangat signifikan guna membangun paradigma dan sikap yang bijak menanggapi isu-isu seputar keberagaman. Kesalahan memahami realitas atau ayat (dan juga hadis) yang terkesan paradoks seperti di atas akan berdampak negatif berupa timbulnya konflik horisontal di antara umat yang keduanya sama-sama membawa nama Islam.Umat Islam kerap memposisikan perbedaan dan persatuan sebagai dua hal yang paradoks. Sehingga, berpegang pada salah satunya otomatis berarti menafikan yang lainnya; berbeda berarti berselisih-pecah dan bersatu berarti tak mentoleransi –apalagi menerima- perbedaan. Sehingga, perbedaan dan persatuan pun menjadi ‘buah simalakama’ bagi umat Islam; pilihan atas salah satunya akan menimbulkan bencana berupa perselisihan dan konflik. Padahal, pada dasarnya, perbedaan dalam Islam justru patut dipahami sebagai rahmat Allah sebagai bentuk kekayaan khazanah intelektual sekaligus pilihan dan alternatif bagi kesulitan yang dihadapi umat. Sedangkan persatuan sebenarnya berarti kepatutan untuk saling berbagi, mengisi dan menyempurnakan di tengah perbedaan, bukan berarti menyamakan sesuatu yang berbeda dan mustahil untuk disatukan. Pada titik ini, maka peran keterbukaan, dialog dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan menjadi sangat mendasar. Ketiga komponen guna membentuk perbedaan menjadi rahmat itulah yang seringkali hilang dari paradigma umat Islam, khususnya di Indonesia.Dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Milal wa an-Nihal, Al-Syahrastani bukan lagi mendokumentasikan perbedaan pada tingkat furu’ al-din (cabang agama) dalam internal ulama Islam. Namun, ia mendokumentasikan beragam perbedaan pendapat pada tingkat ushul al-din (dasar agama) di internal ulama Islam yang sudah ada bahkan sejak Nabi Muhammad sedang sakit. Quraish Shihab mencatat setidaknya sepuluh perbedaan teologis itu. Namun, patut dipahami dan disadari bahwa perbedaan itu adalah perbedaan sudut pandang yang dibenarkan dalam Islam yang dilatarbelakangi oleh keterbukaan, keikhlasan dan kedewasaan dalam ber-Islam sebagai upaya bersama untuk berlomba-lomba dalam mendekati (bukan mencapai) kebenaran, dan sama sekali bukan bertendensikan egoisme atau ambisi pribadi atau golongan untuk mengklaim –apalagi memonopoli- kebenaran. Sehingga, perbedaan pun menjadi rahmat bagi persatuan umat.Filosofi dan pemahaman akan hakikat perbedaan dan persatuan seperti di zaman ulama klasik itulah yang belum ada dan perlu ditumbuhkan di zaman ini. Oleh karena itu, sampai di sini penulis mengapresiasi sikap petinggi (ulama) Majelis Ulama Indonesia (MUI)Pusat, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah yang sangat terbuka dan dewasa menyikapi kasus Sampang dengan menegaskan bahwa kasus Sampang terjadi akibat provokasi atas perbedaan di antara Sunni-Syiah yang sesungguhnya tak berarti dan sudah disepakati bahwa itu bagian dari rahmat dalam Islam. Pernyataan ini sejalan dengan kesepakatan ulama besar dunia –dari berbagai madzhab Islam, termasuk Sunni dan Syiah- di berbagai konferensi dan kesepakatan dalam dialog dan pendekatan antar madzhab. Misalnya Konferensi Doha 2002, Draft ISESCO yang dibentuk di pertemuan puncak OKI 2003 di Malaysia hingga Kesepakatan Ulama Sunni-Syiah di Makkah pada 2006 hingga Muktamar Doha yang diselenggarakan oleh Universitas Qatar bersama Universitas Al-Azhar-Mesir dan Lembaga Internasional untuk Pendekatan Madzhab-madzhab Islam pada 2007. Secara umum, disepakati bahwa pertama, Muslim adalah siapa saja yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya.Kedua, darah, harta dan kehormatan Muslim haram (diganggu). Ketiga, tempat peribadatan umat Muslim suci, yang artinya haram untuk diserang, dibakar, apalagi diambil alih.Penyatuan madzhab-madzhab menjadi satu madzhab dalam Islam merupakan sesuatu yang mustahil, sebab keberagaman dalam memahami dan menafsirkan teks dan ajaran merupakan keniscayaan. Bahkan dalam internal Sunni dan Syiah pun terdapat keragaman: ada Sunni-Syafi’i, Sunni Hanafi, Sunni Maliki, Sunni Hambali; Syi’ah-Ja’fari, Syiah-Ismailiyah, Syiah-Zaidiyah, dll. Karenanya, yang patut diagendakan dan diupayakan saat ini dan ke depan dalam Islam yakni persatuan umat dalam arti membiarkan madzhab-madzhab dalam Islam yang ada tumbuh-berkembang sembari bergandengan tangan, berjalan seiring, bekerja sama untuk menghadapi musuh bersama Islam serta mengembalikan kejayaan Islam masa lalu sebagai salah satu penopang peradaban dunia.Terkait upaya itu, maka upaya membersihkan dan menjauhkan umat dari fanatisme dalam beragama –apalagi bermadzhab- harus juga menjadi agenda utama. Sebab, agama dengan sederet ajaran, ritual dan simbolnya merupakan isu yang sangat sensitif. Jika fanatisme telah menjadi bagian dari corak keberagamaan umat, maka provokasi sedikit saja (seperti yang terjadi di Sampang) niscaya akan menyulut ketegangan dan bahkan konflik yang membahayakan umat. Apalagi jika isu agama telah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh karena itu, corak masyarakat beragama yang harus dibentuk adalah masyarakat yang terbuka, damai dan dialogis. Sebab, ketegangan dan konflik sering kali terjadi hanya karena ke-jumud-an dan ketidaktahuan (ke-jahiliyah-an) kita akan keyakinan dan ajaran umat lain. Oleh karena itu, mengutip penyataan Quraish Shihab, semakin tinggi pengetahuan (keagamaan) seseorang, maka semakin tinggi pula semangat toleransinya.Akhirnya, sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne, Prancis) bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu sejatinya juga pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun harus juga menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu sejatinya juga pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah). ● -
Konflik Lahan dan Transformasi Struktural
Konflik Lahan dan Transformasi StrukturalKhudori, ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSATSumber : REPUBLIKA, 5 Januari 2012Tragedi Mesuji mengoyak nurani. Korban jiwa berjatuhan. Kita sepertinya tidak pernah belajar dari masa lalu. Pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik agraria hanya akan memperumit masalah. Kalaupun konflik selesai, karena daya tawarnya rendah, rakyat selalu menjadi pihak yang kalah.Rakyat yang tidak mendapatkan keadilan akan menempuh cara sendiri dalam mencapai keadilan, apa pun bentuknya. Itu artinya, konflik agraria hanya selesai dalam tataran hukum, secara formal, tetapi tidak tuntas secara sosial.
Setidaknya, ada tiga pelajaran penting dari kasus ini. Pertama, kian masifnya konflik kepentingan penguasaan tanah, antara rakyat dan pemilik modal serta antara rakyat dan negara (yang direpresentasikan institusi militer). Kedua, pendekatan keamanan dalam penanganan konflik agraria masih jadi pilihan utama. Ketiga, berlanjutnya kekeliruan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya agraria. Ujung dari ketiganya membuat konflik penguasaan atas alat produksi (tanah) jadi wajah sehari-hari di lapangan agraria. Konflik sesuatu yang niscaya.
Pemicu Konflik
Tragedi Mesuji hanyalah pucuk dari gunung es. Data-data berikut menguatkan hal itu. Komnas HAM mencatat, kasus sengketa lahan adalah pelanggaran HAM tertinggi dibanding kasus lainnya. Selama Januari-Oktober 2011 tercatat 603 kasus, meningkat 20,56 persen dari periode yang sama pada 2010 (479 kasus).Sepanjang Orde Baru, terjadi ribuan kasus tanah berskala luas. BPN mencatat, lebih 2.810 kasus sengketa tanah antara rakyat dan negara, serta Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753 konflik agraria struktural. Kasus tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah. Luas tanah yang disengketakan 10.892.203 hektare dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 kepala keluarga.
Konflik biasanya muncul seiring kelangkaan. Jadi, konflik lahan terjadi karena lahan kian langka. Lahan kian langka jika struktur ekonomi hanya menyediakan tambahan lapangan pekerjaan baru hanya di sektor pertanian. Pertambahan tenaga kerja baru hanya mengalir ke sektor pertanian.
Lahan kian langka jika struktur ekonomi yang ada hanya mengambil uang dari sektor pertanian seperti ditunjukkan oleh menurunnya produk domestik bruto (PDB) pertanian, sedangkan tambahan tenaga kerja tetap mengalir ke sektor pertanian (Pakpahan, 2011). Involusi pertanian yang tercermin pada kelangkaan lahan akan diiringi konflik.
Di negara-negara maju, keberhasilan pembangunan ekonomi biasanya diikuti meningkatnya kepemilikan lahan petani. Di Jepang, kepemilikan lahan petani kini menjadi sekitar 20 hektare. Perkembangan ‘ekstrem’ luas lahan pertanian per petani terjadi di Amerika Serikat. Pada akhir 1800-an, saat jumlah petani masih lebih 50 persen, luas lahan per petani sekitar 50 hektare.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi Amerika Serikat, pada tahun 2000 jumlah petani tinggal dua persen dengan penguasaan lahan per petani 200 hektare (Pakpahan, 2004). Kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia: penguasaan lahan per petani tinggal 0,3 hektare. Lebih ironis lagi, kini 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tunatanah (tak berlahan).
Perkembangan luas lahan pertanian per petani tidak hanya memberikan gambaran tentang kondisi usaha tani, tetapi juga melukiskan apakah model pembangunan nasional berada pada jalan yang benar atau tidak. Teori ekonomi bisa dipakai untuk membantu menjelaskan hal itu.
Pembangunan ekonomi dinilai berhasil apabila terjadi perubahan struktural atau lebih tepatnya terjadi transformasi struktural dalam perekonomian nasional. Transformasi bukan hanya terjadi pada perubahan struktur PDB, tetapi juga struktur ketenagakerjaan dan transformasi dari sumber daya alam sebagai penghasil pendapatan ke sumber daya otak manusia (baca: industri dan jasa) sebagai sumber kesejahteraan.
Catatan Kegagalan
Apa yang terjadi di Indonesia? Menurut kalkulasi Pakpahan (2004), dalam periode 1960-2000-an setiap penurunan satu persen PDB pertanian di dalam PDB nasional hanya diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5 persen. Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan: setiap penurunan pangsa PDB pertanian satu persen di dalam PDB nasional, pangsa tenaga kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kalinya.Hal serupa juga dicapai Malaysia. Karena itu, kita tidak banyak mendengar konflik lahan terjadi di Malaysia meskipun memacu pembangunan perkebunan jauh lebih cepat dari kita. Demikian pula kondisi di negara-negara maju, termasuk di Korea Selatan. Walaupun pembangunan ekonomi di negara maju berjalan sangat cepat, konflik lahan seperti di Indonesia tidak terjadi.
Berpijak dari hal itu, konflik lahan sejatinya tidak bisa diselesaikan hanya lewat jalur hukum. Selain jalur hukum, penyelesaian konflik lahan bisa dilakukan dengan menjawab pertanyaan: sudahkah pembangunan ekonomi Indonesia ada di jalur yang benar? Sudahkah model pembangunan ekonomi Indonesia menghasilkan transformasi struktural?
Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural. Hal ini ditandai masih besarnya tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian: 43 persen. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional terus menurun. Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru ternyata jauh panggang dari api.
Transformasi struktural pembangunan ekonomi Indonesia hanya akan terjadi apabila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Model pembangunan Indonesia saat ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marjinalisasi ekonomi perdesaan dan pertanian. Ujung dari semua itu adalah kian masifnya konflik lahan. ●
-
Akankah “Budaya” Korupsi Surut
Akankah “Budaya” Korupsi SurutHamka Haq, GURU BESAR DAN PENGAJAR PASCASARJANAUIN AKAUDDIN MAKASSAR BIDANG FILSAFAT HUKUM ISLAMSumber : REPUBLIKA, 5 Januari 2012Pertanyaan pada judul di atas menyebut korupsi sebagai ‘budaya’. Apakah benar korupsi itu sudah membudaya di negeri ini, dan bagaimana mewujudkan tahun 2012 sebagai tahun bebas ‘budaya’ korupsi, atau setidaknya menurunkannya?Suatu budaya tumbuh dari kebiasaan di tengah masyarakat. Hal-hal yang tadinya tabu akan jadi tidak tabu lagi setelah dibiasakan terus-menerus, atau dibiarkan mentradisi tanpa upaya menghentikannya. Belajar selintas dari pengalaman seorang vegetarian, yang baginya sangat tabu membunuh seekor binatang, ia tidak tega bahkan bulu romanya merinding jika menyaksikan seekor kerbau dijagal di tempat pemotongan hewan. Baginya hal itu merupakan kebiadaban, kezaliman terhadap sesama makhluk yang juga ingin menikmati hidup bersama kita.
Tapi, bagi kita yang nonvegetarian, memotong hewan bukan kebiadaban, melainkan hal yang wajar-wajar saja, sebab hal itu sudah merupakan tradisi lingkungan sejak kecil. Bahkan, kadang menjadi kebanggaan tersendiri memotong banyak hewan untuk perjamuan pernikahan, atau sebagai korban di hari Lebaran. Maka itu, sesuatu yang sifatnya tabu bagi sebagian orang dapat berubah jadi ‘budaya’ kebanggaan setelah melalui proses pembiasaan.
Mungkin analoginya tidak pas, tetapi perumpamaan tersebut sedikit banyak membantu kita memahami mengapa perilaku koruptor semakin menjadi-jadi di negara kita. Pernah di beberapa tahun silam, seorang koruptor baru saja bebas dari penjara di Jakarta, kemudian para keluarga dan sahabat-sahabatnya di pemerintahan daerah, melakukan penjemputan meriah di Bandara Hasanuddin Makassar. Dia diantar masuk ke ruang VIP milik pemda setempat di atas lapisan karpet merah, bak seorang menteri atau pahlawan yang dinanti-nantikan pengagumnya. Peristiwa ini terjadi sebagai bentuk pembiaran.
‘Mental Miskin’
Untuk memberantas korupsi agar tidak menjadi salah satu jenis keragaman ‘budaya’ yang dibanggakan, banyak hal yang harus dilakukan terutama dilihat dari aspek moralitas bangsa kita sendiri. Sebut saja faktor kemiskinan atau mental kemiskinan. Seorang miskin, yang tidak tahu berbuat apa lagi untuk dapat makan di hari itu, rela atau tidak rela, terpaksa melanggar aturan, mencuri sebiji kakao, atau sebuah kapuk, ataukah sebuah semangka, yang menurut hukum, perbuatan itu kriminal. Jaksa pun menuntut di pengadilan agar yang bersangkutan dijatuhi hukuman penjara sekitar lima tahun.Kedengarannya amat berat dan sangat tidak adil, tapi begitulah tuntutan jaksa harus sesuai aturan, dan hakim pun jika memutus perkara harus sesuai aturan. Prosedur hukumnya sesuai aturan karena saat jaksa mengajukan tuntutan, begitupun ketika hakim menjatuhkan putusannya, mereka tidak terpengaruh oleh situasi apa pun, atau mereka tidak bermental miskin. Saat itu, polisi, jaksa, dan hakim tidak memosisikan dirinya sebagai orang miskin yang mengharapkan imbalan agar hukumannya berkurang. Jadi, karena menghadapi orang miskin, biasanya aparat penegak hukum tidak ‘bermental miskin’.
Berbeda pada kasus lain, yang di dalamnya ‘mental kemiskinan’ biasanya melanda sebagian orang yang sudah kaya-raya, termasuk aparat penegak hukum itu sendiri. Pejabat yang bertugas di tempat basah, yang sehari-harinya bergelimang dengan uang, atau disibukkan membuat kebijakan tentang keuangan, biasanya digoda oleh mental kemiskinan sehingga atas kesadaran sendiri, melakukan manipulasi dan korupsi.
Mental kemiskinan yang dapat melanda pejabat dalam posisi itu, antara lain, menggunakan kewenangannya membuat kebijakan yang menyimpang, untuk mengemis imbalan miliaran rupiah dari orang yang diuntungkannya. Atau membuat kalkulasi anggaran yang menyimpang dari harga sebenarnya di lapangan. Hal ini terjadi dalam hubungan pimpinan proyek dengan rekanannya dari kalangan kontraktor atau leveransir.
Semua bentuk korupsi dan pelanggaran hukum itu terjadi, yang melibatkan oknum aparat penegak hukum sendiri adalah karena, sekali lagi, adanya pembiaran sampai korupsi menjadi kebiasaan. Tahun 2011, Gayus yang sudah jelas-jelas terdakwa korupsi pajak, sempat pergi ke Bali, Makau, dan Singapura, misalnya, tidak lain karena adanya pembiaran itu.
Maka Gayus pun diberi keistimewaan, apalagi aparat yang bermental miskin di sekitarnya itu menerima ‘sedekah’ dari Gayus. Ibaratnya, mereka gembira diberi hadiah oleh sang ‘majikan’ yang bernama Gayus. Kita berharap pada 2012, para penegak hukum membuang ‘mental miskin’-nya , agar korupsi yang memalukan itu tidak dibiarkan terjadi lagi.
Sejalan dengan itu, pokok persoalan yang kedua ialah belum maksimalnya negara menyejahterakan rakyat. Akibatnya, bukan hanya orang miskin yang tergoda mencuri demi sesuap nasi, melainkan aparat negara yang gajinya pun masih rendah tergoda melakukan korupsi.
Negara belum manjalankan sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara baru memberi kesejahteraan kepada segelintir konglomerat dalam negeri dan mancanegara. Maka itu, jangan heran jika aparat negara bahkan aparat penegak hukum pun berlomba mencari sumber nafkah baru yang bernama korupsi, terutama mereka yang sudah ketularan ‘mental miskin’.
Hal tersebut akan terus berlangsung menggerogoti kekayaan negara, apalagi masyarakat melihat bahwa hukuman koruptor di Indonesia relatif ringan dibandingkan negara lain. Di sini, koruptor tidak merasa jera, ruang tahanannya bisa dilengkapi AC, kulkas, televisi dan seluler, bisa berwisata ke Bali, Makau, dan Singapura, bisa lepas dari penjara dalam waktu yang singkat karena alasan sakit, belum lagi setiap momen nasional mereka dapat remisi.
Berbeda dengan di mancanegara, misalnya, Cina yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor sehingga pejabat-pejabatnya berpikir seribu kali untuk korupsi. Dengan demikian, uang negara bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat, ibarat air yang mengalir tanpa kebocoran di mana-mana, mampu membasahi seluruh permukaan tanah Cina. Tak heran jika pertumbuhan ekonomi Cina semakin mantap, dan tak akan terkena dampak krisis ekonomi Amerika dan Eropa.
Langkah Pencegahan
Jadi, untuk membendung laju terjadinya korupsi tahun 2012, minimal ada empat langkah yang harus ditempuh, yakni pertama: menjatuhkan hukuman berat bagi koruptor. Tidak cukup dengan hukuman sekian tahun, apalagi diselingi remisi, tetapi harus dengan penjara seumur hidup, kalau bukan hukuman mati seperti di Cina.Langkah yang kedua ialah KPK dengan kepemimpinan yang baru, bersama semua lembaga negara dan pemerintahan yang terkait, harus secara adil dan komprehensif, tidak tebang pilih dalam upaya menjerat para koruptor di negeri ini. Ketiga, para institusi penegakan hukum: KPK, polisi, kejaksaan, dan pengadilan, secara simultan bersama masyarakat menciptakan budaya malu melakukan korupsi, menghentikan pembiaran terjadinya korupsi berulang-ulang sehingga korupsi benar-benar tidak menjadi kebiasaan dan jenis budaya baru bangsa Indonesia.
Dan, yang keempat ialah memaksimalkan fungsi negara mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia. Meskipun tidak ada jaminan bahwa dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat, serta pendapatan pegawai negara yang memadai, korupsi akan berhenti, setidaknya dorongan melakukan korupsi akan berkurang. ●