Blog

  • Merenungi Banyaknya Kematian Ibu Melahirkan

    Merenungi Banyaknya Kematian Ibu Melahirkan
    Agus Widjanarko, KEPALA BIDANG KESEHATAN KELUARGA DAN PROMOSI KESEHATAN
    DI DINAS KESEHATAN KOTA PASURUAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 7 Januari 2012
    Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2010 ditegaskan, penurunan angka kematian ibu melahirkan (AKI) merupakan sasaran MDGs yang telah menunjukkan kecenderungan kemajuan yang baik, tapi masih memerlukan kerja keras untuk mencapai sasaran yang ditetapkan pada 2015. Memang AKI menurun dari 390 pada 1991 menjadi 228 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2007. Tapi, bila mengingat target sasaran pada 2015 sebesar 102 per 100 ribu kelahiran hidup, tampaknya bukan pekerjaan mudah untuk mencapainya.
    Bila disimak definisi yang banyak disepakati (ICD X), kematian ibu adalah kematian perempuan yang terjadi selama masa kehamilan atau 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa melihat usia dan lokasi kehamilan, oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tapi bukan oleh kecelakaan insidental (faktor kebetulan).
    Dari definisi ini, tampak adanya hubungan temporal dan kausal antara kehamilan dan kematian. Sejatinya, pada titik-titik temporal ataupun kausal tersebut telah banyak dilakukan intervensi program sebagai daya ungkit untuk menurunkan AKI. Namun pengalaman bertahun-tahun menunjukkan kenyataan yang sungguh tidak mudah. Berbagai program telah diupayakan, tapi tingkat penurunannya belum mengisyaratkan tanda yang menggembirakan.
    Data empiris memperlihatkan 90 persen kematian ibu terjadi pada saat persalinan. Hal ini terjadi karena masih banyak ibu tidak mampu yang persalinannya tidak dilayani oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang baik lantaran terhambat masalah biaya. Maka, untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan pelayanan selama masa nifas inilah kebijakan jaminan persalinan (Jampersal) digulirkan.
    Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, yang melakukan survei terhadap perempuan usia 10-59 tahun berstatus kawin, diperoleh gambaran mengenai pelayanan kesehatan yang mereka peroleh dari kejadian kehamilan, kelahiran, dan nifas lima tahun terakhir serta anak terakhir yang dilahirkan. Pemeriksaan kehamilan kepada tenaga kesehatan dilaporkan 83,8 persen, masih ada 6 persen yang tidak pernah memeriksakan kehamilan, dan 3,2 persen yang pergi ke dukun. Tenaga yang memeriksa kehamilan adalah bidan (71,4 persen), dokter kandungan (19,7 persen), dan dokter umum (1,7 persen).
    Belum lagi bila mencermati fakta persalinan. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan pada ibu melahirkan sebesar 82,2 persen. Angka ini terus membaik jika dibandingkan dengan Susenas 1990, yaitu 40,7 persen, dan pada 2007, yaitu 75,4 persen. Pada 2010, kesenjangan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan tempat tinggal cukup lebar, yaitu 91,4 persen di perkotaan dan 72,5 persen di pedesaan. Demikian juga menurut status sosial-ekonomi, keluarga dengan tingkat pengeluaran terendah (sangat miskin) memperoleh penolong persalinan dari tenaga kesehatan hanya 69,3 persen dibanding keluarga dengan tingkat pengeluaran tertinggi, yaitu 94,5 persen.
    Jampersal
    Sambil menunggu dilaksanakannya Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang direncanakan efektif 1 Januari 2014 untuk BPJS Kesehatan, ada baiknya mencermati salah satu praktek jaminan pelayanan kesehatan di lapangan yang sudah dilakukan. Perspektif jaminan kesehatan yang cakupan kepesertaannya sudah bersifat semesta (universal coverage 100 persen) adalah Jampersal yang dikelola pemerintah–walaupun sumber pendanaannya masih berwujud bantuan sosial, belum mengikuti kaidah asuransi sosial.
    Jampersal adalah suatu bantuan sosial yang disediakan untuk semua ibu di Indonesia–yang belum memiliki jaminan apa pun–yang memerlukan pemeriksaan saat kehamilan, membutuhkan pertolongan persalinan hingga pelayanan kesehatan pascapersalinan, tanpa memandang jumlah anak yang telah dilahirkan. Jampersal sesungguhnya merupakan muara dari kegelisahan panjang akan sulitnya upaya menurunkan angka kematian ibu di Indonesia. AKI negeri ini masih berada di atas AKI negara-negara Asia Tenggara.
    Ledakan Jumlah Penduduk?
    Terlepas dari mekanisme penjaminan yang masih banyak diperdebatkan–merujuk pada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional ataukah sebaliknya–Jampersal memang bisa jadi sangat dibutuhkan oleh hampir 20 persen ibu bersalin yang belum mampu mengakses pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan. Pada titik ini, peluang menekan AKI diharapkan dapat dicapai bila penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dapat lebih dimaksimalkan. Rujukan secara berjenjang memang wajib diterapkan sehingga, ketika para bidan atau puskesmas mengalami kendala dalam menolong persalinan karena terdapat indikasi penyulit, keterlambatan merujuk ke rumah sakit harus dihindari demi keselamatan ibu dan bayinya.
    Jika kemudian muncul tengara bahwa Jampersal yang bersifat semesta ini akan memicu ledakan jumlah penduduk karena kemudahan pelayanan dan pembebasan biaya yang diberikan bagi ibu hamil dan melahirkan, hal itu bisa dimaklumi. Persepsi yang berkembang selama ini adalah keluarga enggan merencanakan banyak anak karena kesulitan dalam pembiayaan persalinan. Dengan dibebaskannya biaya tersebut, dikhawatirkan keluarga tidak lagi berupaya mengendalikan kehamilan. Begitu sederhanakah nilai seorang anak?
    Riskesdas 2010 menemukan penggunaan kontrasepsi pada perempuan usia 10-49 tahun yang berstatus kawin hanya 55,85 persen. Penggunaan alat kontrasepsi pada 2010 ini sebenarnya mengalami penurunan jika dibandingkan dengan 2007 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI) pada kelompok perempuan yang sama (berstatus kawin) usia 15-49 tahun, yaitu dari 61,4 persen menjadi 55,86 persen. Begitu juga penggunaan alat kontrasepsi pada perempuan 15-49 tahun berstatus pernah kawin, yaitu dari 57,9 persen (SDKI 2007) menjadi 53,73 persen (Riskesdas 2010).
    Menilik fakta ini, kecenderungan penurunan penggunaan kontrasepsi sebenarnya telah terjadi pada tahun-tahun belakangan. Tidak mustahil penurunan ini akan terus berlanjut pada masa mendatang bila daya ungkit program untuk meningkatkannya tidak berubah secara bermakna. Akses yang semakin mudah bagi ibu hamil dan bersalin pada sarana pelayanan kesehatan seturut diberlakukannya Jampersal justru dimungkinkan dapat menjadi media penyampaian pesan-pesan promotif-preventif dalam mencegah kehamilan setelah mereka bersalin, sehingga mampu meningkatkan penggunaan kontrasepsi yang dapat berimplikasi pada pengendalian jumlah penduduk.
    Bagaimanapun, kematian ibu bukan hanya refleksi suatu peristiwa dalam satu tahap kehidupan dari masa kehamilan sampai nifas. Kondisi ini jelas menggambarkan serangkaian alur kehidupan perempuan sejak masa kanak-kanak. Karena itu, selain intervensi pada kondisi penyebab kematiannya, diperlukan penanganan yang komprehensif sesuai dengan fitrahnya sebagai perempuan dari usia anak-anak hingga berakhirnya masa reproduktif. Tentu salah satunya dengan mengupayakan kelahiran yang terencana, dan di sisi lain tidak pernah lelah untuk mendorong diwujudkannya jaminan sosial yang paripurna.
  • Seni Tradisi: Tangisan Pocong

    Seni Tradisi: Tangisan Pocong
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 7 Januari 2012
    Pemeran hantu pocong dari Sandiwara Sunda Miss Tjitjih, dalam lakon klasik Hantu Pocong Waru Doyong, mengeluhkan nasibnya: selama 30 tahun berperan sebagai hantu pocong, nasibnya tetap “gini-gini saja.”
    Lalu setengah bertanya: saya harus berperan sebagai apa lagi? Pertanyaan yang menakutkan— lebih menakutkan dibandingkan keberadaan hantu itu sendiri— bagi berbagai bentuk seni tradisi. Di negeri yang mempunyai ratusan,atau ribuan bentuk seni tradisi yang bukan hanya seni panggung, ternyata mengidap gizi buruk, dan tak teperhatikan. Pemain ketoprak yang biasa memainkan peran raja di Balekambang Solo, siang hari bekerja sebagai penarik becak, dan kini kediaman di bawah panggung harus pindah.

    Dalang kandha—dalang yang merangkap ilustrasi gamelan dengan suara mulut di daerah Banyumas, Jawa Tengah, yang biasa ngamen di pasar, kini menjadi penjual burung merpati yang dipasarkan melalui sepeda tua. Perkumpulan pencak silat di Madiun yang pernah tenar, kini berlatih diam-diam, tanpa promosi,karena dituduh melatih remaja yang nantinya akan tawuran.

    Seorang penggiat seni di daerah Borobudur Magelang sudah lama berganti profesi menyewakan kain bagi pengunjung yang masuk candi kesohor.Wayang orang RRI Solo, setiap kali pentas, menyediakan kotak sumbangan suka rela yang pastilah tidak mencukupi untuk 80 pemain dan musisi— penabuh gamelan.

    Grup lenong di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta memilih kerja lain yang sama sulitnya: mencari rumput untuk makanan kuda delman. Semua daerah budaya mempunyai kisah sedih,walau tak membuat senimannya patah hati. Diperlukan pendekatan strategis agar kekayaan budaya— yang di dalamnya ada tata nilai dan tata krama,ajaran, dan petuah—tidak makin tersingkir dan hilang.

    Dua Kreativitas

    Keterpinggiran seni tradisi menurut saya karena gagap dan gugup menerima perubahan media yang dihadapi. Baik dari unsur tokoh, pemahaman lokasi—baik lokasi tempat maupun lokasi waktu, serta konflik yang disajikan.Terutama sekali jika dikaitkan dengan generasi muda yang mempunyai pilihan lain begitu banyak, begitu mudah, dan begitu instan. Persoalan ini adalah wilayah seniman tradisi untuk menga k – tualkan kembali. Pergulatan kreativitas adalah bagiannya yang mutlak untuk tetap hadir.

    Dalang wayang kulit Ki Nartosabdho yang kampiun itu membawa drum—dan bukan hanya satu,di antara alat musik kendang.Almarhum menciptakan gending atau partitur baru yang lagunya sampai sekarang masih dinyanyikan seperti Prau Layar, misalnya.Atau para dalang yang memainkan wayang kulit dengan pakeliran padhet, pertunjukan padat, hanya selama empat jam dan bukan semalam suntuk.

    Atau jenis banjaran,penuturan secara biografis tokoh wayang,yang tak dijumpai sebelumnya. Atau beberapa sanggit—nama lain dari kreativitas unggul, yang membuat masyarakat tetap mengikuti dan terpesona. Dan sesungguhnya para empu, bahkan yang masih muda usia, mempunyai kemampuan untuk ini, karena bergelut setiap harinya. Kreativitas kedua adalah bagaimana proses kreativitas pertama bisa dipersembahkan ke masyarakat.

    Apakah tempat pertunjukkan yang tetap, apakah kemudahan mendapatkan informasi kegiatan dan kontinuitasnya, dan atau sarana lain yang mendukung. Peran ini bisa diambil pemerintah yang mengetahui proses kreatif yang ada—dan bukan mengemas untuk kepentingan pariwisata semata,atau juga yang dikenal sebagai Maecenas, atau pelindung dan sekaligus penyandang dana. Peran ini yang dulu dimainkan oleh raja dan para bangsawan dan atau j u g a k e l a s m e n e – ngah.Tak akan lahir balet, orkes simfoni, pertunjukan teater, di negeri mana pun tanpa adanya pem e r a n kedua setelah proses kreatif berlangsung.

    Duet Sanggar

    Dalam bahasa kerja, perwujudannya bisa dimulai dengan adanya sanggar seni— bisa sanggar tari, sanggar keroncong, sanggar sastra, sanggar pencak silat, sanggar ukir, sanggar kriya—pada komunitas tertentu. Menghidupkan sanggar-sanggar sebagai pusat kegiatan kesenian menjadi tak terhindarkan. Karena di sinilah lokasi kegiatan, juga informasi, yang memetakan kegiatan yang ada.

    Sekaligus mengundang dan menawarkan alternatif pilihan bagi para pemula.Dari sini diandaikan akan muncul seniman-seniman tradisi. Kalaupun tidak menjadi pemain aktif, paling tidak apresiasi budaya tradisi terkomunikasikan. Dan kalau saja sanggarsanggar ini bisa hidup dan saling duet atau kerja sama,yang terhimpun di dalamnya bukan hanya mereka yang tertarik dengan seni tradisi belaka, melainkan suatu komunitas budaya yang bisa berinteraksi dengan sendirinya.

    Bukan tidak mungkin, atau ini sasaran lain, komunitas budaya ini juga mampu mencegah terjadinya konflik-konflik yang bisa mengganas. Rasa-rasanya komunitas budaya ini mampu mencegah terjadi salah paham, salah pengertian, salah perbedaan, dan jalan budaya adalah jalan pencegahan dini akan bentuk-bentuk anarki. Karena jalan budaya selalu mengedepankan dialog dibandingkan kekerasan, mendahulukan berkarya dan bukan hanya berwacana, serta tidak menganggap seninya yang paling benar dengan meniadakan yang lain.

    Dengan bahasa yang lebih besar, kita bukan prihatin dan menangisi nasib pemeran pocong, juga bukan sekadar iba dan ingin menolong bentuk seni tradisi semata, melainkan dan yang terutama adalah bagaimana mengembangkan proses budaya yang sesungguhnya. Bagaimana kebersamaan itu menemukan bentuknya yang dinamis. Bagaimana menanamkan karakter, menanamkan pemahaman berkeluarga, bertetangga, bernegara, berbangsa, bahkan beriman.

    Bagaimana mengembangkan sikap moral, bagaimana membedakan perbuatan jahat dengan baik.Kesenian, terlebih seni tradisi, bukan tidak mungkin justru lahir dari keinginan luhur ini. Saya bahkan kadang terpikir kegagalan berbangsa dan bernegara dengan maraknya tawuran antarkampung, antarmahasiswa,karena kita mengabaikan pendekatan budaya. Juga terjadinya kekerasan di Mesuji, Bima, Papua— untuk menyebut beberapa nama panas, karena budaya kekerasan dinomorsatukan, karena kuasa dan pendekatan materi menjadi tolok ukur keberhasilan.

    Jalan budaya tidak meniadakan kuasa atau harta, tetapi memberi makna lebih manusiawi atas kekuasaan dan materi. Dengan cara kreatif, bukan pemaksaan dan peniadaan. Jalan budaya adalah jalan atau pendekatan manusia,dan barang kali itu yang membedakan dengan binatang yang hanya mengenal memangsa makhluk lain.

  • Sistem Campuran Paling Ideal

    WAWANCARA
    Sistem Campuran Paling Ideal
    Hadar Gumay, DIREKTUR EKSEKUTIF CENTRAL FOR ELECTORAL REFORM (CETRO)
    Sumber : SUARA KARYA, 7 Januari 2012
    Pemilu 2014 masih dua tahun lagi, tapi perangkat untuk penyelenggaraan pesta akbar lima tahunan rakyat Indonesia ini sudah mulai dipersiapkan. Antara lain via penyusunan UU Pemilu.
    Undang-undang yang sangat krusial ini, kini tengah memasuki pembahasan serius, utamanya berkaitan dengan sistem pemilu. Ada fraksi yang menginginkan sistem proporsional terbuka, ada yang minta sistem proporsional tertutup. Dan, Partai Golkar mengambil jalan tengah, mengusulkan agar pada Pemilu 2014 nanti digunakan sistem kombinasi.
    Lantas, apa kata Direktur Eksekutif Central for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay menanggapi usulan-usulan sejumlah fraksi di DPR itu? Kepada wartawan Suara Karya Kartoyo DS, Hadar memaparkan panjang lebar seputar seluk-beluk sistem pemilu yang tengah dibahas DPR.
    Menurut Anda, pemilu 2014 lebih ideal menggunakan sistem apa, proporsional terbuka atau tertutup?
    Yang ideal menggunakan sistem campuran, proporsional terbuka dan tertutup, yang sistem induknya tetap pada sistem proporsional. Sistem ini dikenal dengan sistem MMP (Mixed Member Proportional). Pembagian kursi perolehan parpol menggunakan sistem proporsional. Namun, pengisian kursi atau penetapan calon terpilihnya menggunakan dua jalur, yaitu sebagian dengan suara terbanyak di dapil-dapil berwakil tunggal (Single Member District), dan sebagian lagi atau sisanya berdasarkan nomor urut.
    Kenapa?
    Dengan sistem ini, proporsionalitas dan keterwakilan akan lebih baik karena perhitungan perolehan kursi atas wilayah yang lebih besar, provinsi bukan dapil. Kemudian, akuntabilitas wakil rakyat akan lebih mungkin tercipta karena suatu dapil akan diwakili oleh seorang wakil rakyat. Masyarakat akan mudah mengenali wakil rakyatnya dan sebaliknya mereka tidak bisa menghindar dari konstituennya. Komunikasi diantara mereka akan lebih mudah tercipta.
    Dengan satu dapil satu kursi, maka kompetisi antar calon dari satu parpol tidak akan terjadi. Bahkan sebaliknya hubungan baik parpol dan calonnya akan lebih baik. Persaingan kotor dengan penggunaan uang dan perilaku curang akan lebih sedikit terjadi.
    Dalam sistem ini, sebagian calon akan ditetapkan terpilih berdasarkan nomor urut dari daftar calon yang disiapkan oleh parpol bagi setiap provinsi. Dengan demikian parpol juga bisa menyiapkan calon berkualitas mereka yang mungkin tidak populer, melalui mekanisme pencalonan ini.
    Partai Golkar juga mengusulkan sistem kombinasi, apa bedanya?
    Jelas berbeda. Kalau sistem yang dimaksudkan oleh FPG di DPR, yaitu sistem proporsional di mana pembagian kursinya dibagi dalam dua blok: sebagian (70% kursi DPR) dipilih dengan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti sekarang; dan sebagian sisanya (30% kursi DPR) ditetapkan terpilih berdasarkan suara nomor urut (nasional) dengan menggunakan dasar pembagian proporsional berdasarkan total sisa suara masing-masing parpol dari seluruh dapil.
    Sistem ini akan membuat proporsionalitas lebih baik dari sistem yang ada. Namun, tidak bisa mengambil keuntungan dari sistem campuran yang umumnya ada, yaitu keuntungan dari dua sistem yang berbeda yang diterapkan bersamaan.
    Apa positif dan negatifnya jika kita menggunakan sistem ini?
    Positifnya telah saya sampaikan di atas. Namun, negatifnya, seperti sistem yang kita gunakan sekarang (proporsional dengan daftar calon terbuka), masih akan menyulitkan pemilih karena pilihan calon masih teralu banyak dalam kertas suara yang besar. 
    Persaingan yang sering kali tidak sehat antarcalon dari satu parpol dalam satu dapil masih akan banyak terjadi. Konsekuensinya sengketa akan tetap banyak terjadi. Dengan dapil yang masih ber-magnitudo besar (banyak kursi), daerah yang luas, akan dibutuhkan banyak dana bagi calon untuk berkampanye dan kerja serta membangun komunikasi pada pasca pemilu dengan konstituennya.
    Banyak partai menginginkan sistem proporsional terbuka, apa sebenarnya kelebihan dan kekurangannya?
    Kelebihan sistem proporsional terbuka, masyarakat betul-betul dapat menggunakan haknya untuk menentukan sendiri, yang mereka yakini sebagai wakil rakyat yang pas. Mereka tidak perlu menggantungkan kepercayaan penuh pada parpolnya. Masyarakat pemilih akan dapat berusaha lebih mengenal calon yang akan dipilihnya. Akuntabilitas lebih mungkin terjadi, karena wakil rakyat merasa mendapatkan kepercayaan langsung dari konsituennya.
    Kekurangannya, persaingan antar-calon dari satu parpol akan sangat ketat. Dalam situasi parpol tidak dapat mengontrol dan mengkoordinasikan mereka, serta para calon yang tidak berintegritas, maka ‘sikut-sikutan’ antar-calon, permainan uang dan praktik curang akan banyak terjadi. Sengketa banyak terjadi. Sangat mungkin parpol tidak berlaku adil terhadap calon-calonnya.
    Apakah sistem terbuka hanya menguntungkan calon populer?
    Tidak ada masalah dengan calon populer terpilih. Yang menjadi masalah, orang populer tersebut tidak punya cukup kualitas untuk menjadi wakil rakyat yang mampu menjalankan tugasnya seperti seharusnya.
    Kesalahan ada pada parpol yang memasang calon-calon populer ini. Semua calon yang ada dalam daftar calon setiap dapil hasil proses pencalonan parpol. Nama mereka ada dalam surat suara adalah dari parpol. Banyak parpol menaruh mereka dalam list lebih diharapkan karena hanya sebagai vote getter sehingga parpol dapat memperoleh kursi sebanyak mungkin tanpa peduli bagaimana kerja mereka setelah terpilih nanti. Jadi, permasalahan ini lebih merupakan kekeliruan parpol daripada masyarakat pemilih.
    Tapi, PDIP minta sistem proporsional tertutup seperti Pemilu 2004. Kenapa seperti itu?
    Banyak pemilih PDIP adalah kalangan wong cilik yang tidak ingin terlalu pusing atau bahkan tidak cukup mampu memilih-milih yang terbaik di antara banyak calon. Banyak pemilih tradisional mereka yang diyakini mempercayai sepenuhnya pada parpol. Jadi, dipilih karena memang sistem ini memudahkan pemilih. Hanya memberi tanda pada tanda gambar parpol saja.
    Baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup tampaknya tetap memberikan peluang money politics. Benarkah?
    Tidak tepat kesimpulan itu. Money politic bukan karena sistemnya tetapi karena kita belum punya pengaturan sistem keuangan kampanye yang memadai. Demikian pula dengan sistem pengawasan dan penegakannya. Permainan uang akan terjadi di mana saja, kalau mentalitas bangsa ini masih rendah. Bahkan permainan uang terjadi banyak dalam parpol sendiri dalam menempatkan nomor urut daftar calon. Bukankah salah satunya karena alasan ini kita berubah ke sistem proporsional terbuka walaupun masih sangat terbatas terbukanya saat itu.
  • Seribu Sandal Tampar Polri

    Seribu Sandal Tampar Polri
    Andi Suryadi, DOSEN JURUSAN SEJARAH FIS UNNES, ANAK ANGGOTA POLRI
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Januari 2012
    PROSES hukum atas pelajar AAL (15), siswa kelas X SMK Negeri 3 Palu Sulteng yang diadili atas tuduhan mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap menggugah simpati masyarakat. Salah satunya lewat gerakan pengumpulan seribu sandal yang dikoordinasi Komisi Perlindungan Anak  Indonesia (KPAI).

    Di Cibubur misalnya, ada jenderal bintang dua mantan Kapuspen TNI AU, artis, dan cendekiawan muslim menyumbang sandal ungkapan keprihatinan atas kasus ini. Pembentukan posko seribu sandal menyebar di ber­bagai daerah.

    ”Sandal ini untuk Kapolri” de­mikian tulisan di salah satu sandal sumbangan masyarakat. Ada pula yang bertuliskan ”sandal untuk para centeng”, seperti hendak menyindir sikap Polri selama ini yang cenderung propemodal dalam beberapa kasus sengketa di Tanah Air. Gerakan moral seribu sandal seolah makin menampar wajah Polri yang terus disorot, terkait dengan kinerjanya, juga pelanggaran dalam tragedi di Mesuji Lampung dan Sumsel, serta Pelabuh­an Sape Bima NTB.

    Kisah AAL bermula November 2010 ketika ia bersama temannya lewat Jalan Zebra Palu di depan rumah kos Briptu Ahmad Rusdi. Melihat ada sandal, ia mengambilnya. Mei 2011 polisi itu memanggil dia dan temannya. Selain menginterogasi, polisi itu memukulnya dengan tangan kosong dan benda tumpul hingga korban melapor ke provos.

    Arogan dan Berlebihan

    Atas laporan itu Polda Sulteng menjatuhkan sanksi tahanan 7 hari kepada Ahmad Rusdi, dan rekannya yang ikut menganiaya, Briptu Simson J Sipayung ditahan 21 hari. Diduga dendam, polisi itu memejahijaukan AAL. Dalam persidangan siswa SMK itu divonis bersalah. Namun hakim Romel Tampubolon tidak menjatuhkan hukuman kurungan penjara tapi mengembalikan AAL kepada orang tuanya untuk dibina.

    Dalam persidangan hakim itu menyatakan barang bukti sandal jepit bukan milik Briptu Ahmad Rusdi. Sandal itu selanjutnya dirampas untuk negara dan dimusnahkan karena tidak diketahui siapa pemiliknya (SM, 05/01/12).

    Penulis sebagai anak anggota Polri, yang mengikuti perkembangan kinerja Polri merasa prihatin. Aktivis Forum Umat Islam Munarman SH bahkan menilai pemidanaan terhadap AAL merupakan sikap atau tindakan yang lebay (berlebihan). Istilah lebay dan arogan sepertinya tepat untuk menggambarkan kasus ini.

    Arogansi aparat Polri terlihat dalam penganiayaan yang dilakukan Briptu Ahmad ketika menginterogasi. Adapun penilaian bahwa pemidanaan itu lebay, cukup beralasan. Pertama; AAL anak di bawah umur yang mestinya cukup diberi pembinaan. Kedua; kasusnya tergolong sepele, pencurian sandal jepit senilai Rp 30 ribu.

    Terasa kontradiktif dibandingkan dengan pembiaran atas kasus besar misalnya rekening gendut perwira Polri, keterlibatan polisi dalam kasus Gayus Tambunan yang dilokalisasi hanya sampai Kompol Arafat Enanie hingga berbagai tindak pelanggaran HAM yang hingga kini belum jelas penanganannya.

    Ketiga; AAL sudah mendapatkan ”hadiah setimpal” saat dianiaya dua anggota Polri tersebut, dan yang lebih berat adalah stigma sebagai pencuri. Keempat; saat ini Polri melalui SK Kapolri Nomor 737 Tahun 2005 menggalakkan program Polmas, yang mewajibkan tiap anggota polisi memperlakukan anggota masyarakat sebagai mitra setara untuk memecahkan persoalan di masyarakat.

    Jika untuk kasus sandal jepit saja ada penganiayaan dan pemidanaan, publik pantas bertanya apa manfaat program Polmas? Kelima; tuntutan hukuman 5 tahun penjara bagi AAL kian terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan tuntutan terhadap koruptor yang banyak dituntut dengan hukuman di bawah 5 tahun penjara.

    Sangat pantas jika masyarakat melakukan perlawanan secara moral terhadap diskriminasi hukum yang terus terjadi, melalui pengumpulan seribu sandal. Gerakan itu mencerminkan sikap kritis atas terus terjadinya ketidakadilan. Bukan berarti hendak menjustifikasi pencurian sandal melainkan lebih sebagai tuntutan agar polisi bertindak adil dan proporsional tiap menangani perkara.

  • Kontroversi Baru Produk Tembakau

    Kontroversi Baru Produk Tembakau
    FS Swantoro, PENELITI DARI SOEGENG SARJADI SYNDICATE JAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Januari 2012
    “Kontroversi produk tembakau kini sudah memasuki babak baru, terkait dengan pembahasan RUU Pengendalian Produk Tembakau”

    SEJAK DPR bersama pemerintah mengesahkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif dan berbahaya bagi kesehatan, sejak itu pula kontroversi produk tembakau menjadi perdebatan panas. Begitu pula ketika petani tembakau dari Temanggung mengajukan judicial review UU Kesehatan dalam pertimbangan amar putusannya Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan tembakau. Akibatnya, putusan itu bisa menimbulkan konsekuensi besar, yakni hancurnya produk tembakau.

    Padahal tembakau bukan zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan seperti ditekankan kalangan farmasi dan ahli kesehatan. Begitu pula peringatan dalam bungkus rokok, ”merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin” lebih bersifat potensial, bukan faktual. Faktanya ada jutaan perokok dalam waktu lama, mereka tetap sehat.

    Saya tidak berpihak pada pabrik rokok dan tidak ada kaitannya. Tetapi saya melihat bahwa sulit menghindari isu produk tembakau telah masuk menjadi bagian dari isu ekonomi, politik, sosial budaya, kesehatan, dan hubungan antarnegara. Banyaknya kepentingan yang berperan, menjadikan produk tembakau menimbulkan kontroversial.

    Lihat UU Nomor 36 Tahun 2009, Pasal 113, Ayat (1); Ayat (2); dan Ayat (3) secara eksplisit menyebutkan tembakau mengandung zat adiktif, yang dapat mengganggu kesehatan sehingga peredarannya harus menurut standar yang ditetapkan. Adapun zat adiktif lain seperti kopi, teh, anggur, dan alkohol tidak disebutkan. Sulit dihindari kesan terjadi perang dagang antara pabrik rokok dan pabrik farmasi/ obat-obatan.

    Juga terlihat kasat mata upaya pihak asing mematikan industri rokok dalam negeri me­lalui berbagai regulasi hingga UU yang mengatur produk tembakau. Saat ini pemerintah pu­sat atau daerah me­nyu­sun rancangan peraturan pemerintah (RPP) atau perda yang mengatur ketat peredaran rokok, iklan rokok, dan larangan merokok di ruang publik. Jika itu tidak disikapi hati-hati nasib produk tembakau bisa sama seperti minuman limun Saparela, yang bangkrut dan gu­lung tikar, setelah Coca-Cola masuk Indonesia.

    Selain debat panas itu, kini muncul hal lain yang menimbulkan multiefek, hingga perlu dibahas seluruh komponen terkait. Rokok kretek sebagai produk warisan asli bangsa Indonesia punya arti penting bagi jutaan petani tembakau, petani cengkeh, buruh rokok, pedagang rokok, industri rokok, dunia olah raga dan hiburan, hingga iklan media.

    Jangan Gegabah

    Karena itu, jangan gegabah membuat kebijakan soal tembakau ini. Belum lagi bicara cukai tembakau Rp 63 triliun setahun, yang pasti bermanfaat untuk menambah pundi-pundi keuangan negara.

    Selain itu, secara ekonomis rokok juga terkait erat dengan buruh pabrik kertas, lem, saus, filter, pekerja restoran, hotel, dan pariwisata. Sebagai warisan asli bangsa, rokok kretek dapat menjadi  kebanggaan nasional, seperti halnya cerutu dari Kuba, vodka dari Rusia, sake dari Jepang, wine dari Prancis/ Italia. Apalagi rokok kretek sudah menjadi aroma jiwa bangsa kita seperti; batik, keris, angklung, gamelan, dan wayang kulit.

    Terlebih lagi, bangsa ini dalam sejarahnya, memandang produk tembakau sebagai konteks kultural. Meminjam ungkapan Sobary (2010), rokok dan tembakau telah menjadi tali peneguh silahturahmi dan solidaritas sosial. Dengan begitu produk tembakau telah menjadi bagian ritus kolektif budaya masyarakat.

  • Agama dan Kekerasan

    Agama dan Kekerasan
    Jalaluddin Rakhmat, KETUA DEWAN SYURA IKATAN JAMAAH AHLULBAIT INDONESIA
    Sumber : DETIKNEWS, 4 Januari 2012
    “Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama,” tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism.

    “Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi -masih kata Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason – “karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu”.

    Romo Magnis pernah mengatakan kepadaku bahwa orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan.

    Alkisah, ada seorang Inggris yang sangat religius. Kalau bukan orang yang tekun ibadat, ia orang yang rajin ‘mencoba’ berbagai agama. Ia dibesarkan sebagai Anglikan, dididik sebagai Methodist, berpindah kepada Greek Orthodoxy karena perkawinan, dan dikawinkan kembali oleh seorang rabbi Yahudi.

    Sebagai wartawan, ia mengembara secara geografis dan intelektual. Ia mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan semua agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Hasil pengembaraan ‘spiritualnya’ membuahkan buku: god (dengan huruf kecil) is not Great. Ia menuliskan namanya dengan setiap huruf pertamanya huruf besar: Christopher Hitchens. Ia membagi bab-bab dalam bukunya berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman. Seumur hidupnya, ia menjadi pendakwah ateis yang efektif, terutama terhadap orang-orang yang menjadi korban kekejaman agama.

    Setelah Hitchens, Dan Baker menulis buku dengan judul yang ditulis dengan huruf kecil dan subjudul dengan huruf besar semua: godless, How an Evangelical Preacher Became One of America’s Leading Atheists. Jawab: Karena tindakan kekerasan umat beragama.

    Ayaan Hirsi Ali untuk Islam sama dengan Hitch dan Dan Baker untuk Kristen. Ia lahir di Somalia, dari keluarga bangsawan Muslim. Waktu remaja, ia masuk sekolah muslimah yang berbahasa Inggris dan didanai Saudi. Guru-gurunya keluaran Saudi. Dengan semangat ia berpindah dari mazhab Syafii yang toleran kepada mazhab baru yang sangat keras. Hidup dengan aliran keras ini tidak membahagiakannya. Ia menyaksikan berbagai tindakan kekerasan, terutama kepada perempuan, atas nama agama.

    Ia mengungsi ke negeri Belanda. Di sini, ia mendapat perlakuan yang tidak enak dari sesama Muslim. Setelah kecewa dengan peristiwa 11 September, setelah membaca Manifesto Atheis dari Herman Philipse, secara resmi ia meninggalkan Islam dan menyatakan diri Atheis.

    Pada 2004, Ayaan, yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda, menulis naskah dan menyediakan suara untuk film pendek Submission. Seorang aktris, berpakaian chador yang tembus pandang, mengisahkan penderitaan empat tokoh perempuan yang ditindas atas nama Islam.

    Melalui chador yang transparan, penonton melihat tubuh telanjang yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran. Film ini tentu saja menimbulkan kemarahan hatta di negeri Belanda sekalipun. Produsernya, Theo van Gogh, dibunuh di jalan di Amsterdam. Di atas jenazahnya diselipkan surat dan pisau yang berisi ancaman kepada Ayaan. Ia ditunjuk Time sebagai 100 most influential people in the world. “This woman is a major hero of our time,” kata Richard Dawkins, anggota trinitas Atheis. Hirsi Ali menjadi dewi ateis sedunia.

    Walhasil, kenapa orang menjadi atheis? Karena mereka menyaksikan atau mengalami sendiri tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agamanya sendiri sebetulnya hanya menjadi kambing hitam. Bisa saja orang menyulut konflik karena motif-motif sekular –misalnya, ekonomi, politik, rasialisme – tetapi mereka menyelimuti nya dengan jubah agama.

    Jika kita belajar sejarah, kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22,9 persen ateis, 21 persen sekular dan sisanya menganut agama Yahudi dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen); bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609; bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci; bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak).

    Bagaimana dengan konflik Sunnah dan Syiah di berbagai tempat di Jawa Timur, termasuk Sampang? “Bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena perbedaan pendapatan,” kata petinggi NU masih dari daerah yang sama. Rois dan Tajul, kakak-beradik, dilantik sebagai pengurus Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlil Bait Indonesia) pada 2007. Pada 2009, mereka terlibat konflik keluarga, antara lain karena masalah santri perempuan di pesantren Tajul.

    Karena persoalan pendapatan, Rois meninggalkan paham Syiah dan beralih pendapat. Katanya, “Saya kembali ke Nahdhiyin, karena banyaknya penyimpangan dalam ajaran Syiah”. Pada pengujung 2011, Rois –menurut pengakuannya sendiri- membiarkan orang-orang yang sependapat dengan dia menghancurkan teritori dan massa pengikut saudaranya. Media melaporkan, “Roisul Hukama memimpin massa Ahli Sunnah untuk menyerang perkampungan dan pesantren Tajul Muluk, yang berpaham Syiah”. Para tokoh Islam, dengan pendapatan yang lebih besar, kemudian menabuh genderang perang. Atas nama agama!

    Siapakah yang beruntung? Tidak satu pihak pun. Tidak Rois dan tidak Tajul. Siapakah yang menang? Kaum ateis. Mereka punya amunisi baru. Mereka akan menisbahkan tindakan kekerasan dan kekejian kepada agama. Tidak jadi soal apakah penyebab yang sebenarnya itu berasal dari masalah ekonomis, politis, ideologis, ethnis, atau sekedar pertikaian di antara keluarga miskin di kampung yang miskin!  

  • Mempersiapkan Politik yang Lebih Bermakna

    Mempersiapkan Politik yang Lebih Bermakna
    Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK,
    DEKAN FISIP UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 
    Sumber : SINDO, 6 Januari 2012
    Mengamati kecenderungan perkembangan politik sepanjang tahun 2011, tampaknya tidak akan ada kejutan yang cukup berarti pada 2012 ini. Bisa saja pandangan ini salah—siapa tahu pada 2012 ini muncul keajaiban politik yang tak pernah terbayangkan.
    Akan tetapi, jika politik berjalan normal, mengalir seperti biasanya, termasuk adanya perdebatan panjang di DPR mengenai undangundang partai politik,ambang batas parlemen,pemilu,dan sebagainya, rasanya pandangan di atas benar adanya.Politik bakal berjalan seperti biasanya. Bahkan,meskipunsoalskandal Bank Century dihidupkan lagi sepanjang 2012, juga soal pajak, tetap saja politik akan berkembang seperti yang terjadi pada 2011.

    Ini tentu saja dalam arti bahwa tidak akan ada perkembangan politik yang cukup bermakna yang bergulir untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan publik. Jika kewenangan membuat undang-undang, menjalankan pemerintahan,atau menentukan siapa-siapa yang layak menduduki jabatan-jabatan publik sekarang ini pada dasarnya berada di tangan praktisi dan elite partai politik, bukankah tanggung jawab utama mereka (partai politik) adalah memperjuangkan apa yang dikehendaki atau diperlukan masyarakat?

    Dalam konteks inilah pandangan mengenai tidak adanya perkembangan politik baru, resolusi politik baru, sesuatu yang lebih bermakna bagi masyarakat dimaksudkan. Tentu akan ada perkembangan atau isu politik lain, yang berbeda jenis dan bentuknya dari yang pernah ada pada tahun sebelumnya. Tapi hal itu bukan dalam konteks yang lebih bermakna— politik agregasi dan artikulasi kepentingan publik.

    Bahkan mungkin juga bukan dalam kaitannya dengan menjalankan tugas dan fungsi yang paling utama dari cabang-cabang pemerintahan yang ada—legislatif, yudikatif,dan eksekutif. Meskipun pada dasarnya lembaga-lembaga tersebut bersifat kenegaraan—beyond partisan politics––, siapa pun tahu bahwa yang paling menentukan dalam penempatan personel-personel pada lembaga- lembaga tersebut adalah proses-proses politik. Dan kita semua tahu, proses-proses politik, sejak Reformasi 1998, berada di tangan aktivis atau pengelola partai politik.

    Dalam kerangka itulah perkembangan politik pada 2012 akan berlangsung. Seperti biasa, politik akan dipenuhi dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan mikropolitik. Hanya partai politik yang memiliki panggilan menjalankan fungsi yang semestinyalah yang akan bergerak melampaui politik kekuasaan atau politik partisan. Malangnya, sampai kini kita belum memiliki kekuatan politik jenis ini.

    Karenanya, di sepanjang 2012 ini politik Indonesia masih akan dipenuhi hal-hal yang hanya berkaitan dengan kepentingan partai politik. Termasuk dalam hal ini adalah perdebatan dan transaksi antarpemegang kekuasaan mengenai undang-undang pemilu, partai politik, dan ambang batas parlemen. Kasus Bank Century masih akan dimainkan jika hal itu akan memengaruhi perimbangan kekuasaan—langsung maupun tidak. Demikian pula soal korupsi Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat.

    Kasus-kasus hukum yang lain akan diperlakukan sama,lebihlebih jika hal itu berkaitan dengan pemangku kekuasaan, baik di parlemen ataupun lembaga- lembaga negara lainnya. Pendeknya, politik Indonesia pada 2012 masih akan kental warna politik kekuasaannya. Dan di atas itu semua, hal tersebut dimaksudkan sebagai persiapan menuju Pemilu 2014. Menjengkelkan memang, tetapi itulah kenyataan politik Indonesia. Realitas politik seperti itu sebenarnya tidak otomatis jelek.

    Konsentrasi politik menuju Pemilu 2014 tidak serta-merta bersifat negatif. Hal yang terakhir ini bisa menjadi kenyataan jika persiapan itu tidak hanya menjadi perhatian atau monopoli partai politik.Sebagai pemberi suara, masyarakat luas sebaiknya juga terlibat di dalam persiapan menuju 2014.Yang paling utama dalam hal ini adalah mempersiapkan calon penguasa lembaga-lembaga negara yang memiliki kemampuan politik,intelektual,dan moral.

    Di sepanjang sejarahnya, Indonesia belum memiliki negarawan yang dalam proses kepemimpinannya menghasilkan sesuatu yang benar-benar baik. Pertimbangkan nasib para mantan presiden kita yang seakan tidak memiliki kompetensi politik, intelektual, dan moral kepemimpinan. Sampai tingkat tertentu,mereka semua dihadapkan pada masalah politik, hukum, dan sosial yang sebenarnya tidak perlu. Hanya dengan cara mempersiapkan secara sungguhsungguh calon-calon pemimpin republik, kita bisa memutus siklus mistis mengenai nasib buruk hampir semua kepala negara dan pemerintahan kita.

  • Menyederhanakan Jumlah Parpol

    Menyederhanakan Jumlah Parpol
    Sabam Leo Batubara, WARTAWAN SENIOR
    Sumber : SINDO, 6 Januari 2012
    Dalam polemik pembahasan RUU Pemilu tercatat pendapat bahwa penyelenggaraan pemerintahan sulit untuk efektif memajukan dan menyejahterakan rakyat jika jumlah partai politik (parpol) masih terlalu banyak. 
    Untuk memperkecil jumlah parpol,PDIP dan Partai Golkar belum mundur dari usulnya agar ambang batas parlemen dinaikkan dari 2,5% menjadi 5%. Pemerhati politik lain mengusulkan jalan keluar, untuk efektifnya sistem presidensial di Indonesia, jumlah parpol semestinya disederhanakan menjadi cukup tiga.

    Caranya ialah dengan meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 10%. Sebelum DPR mengambil keputusan penyederhanaan jumlah parpol lewat peningkatan ambang batas parlemen, para penguasa politik dalam pembahasan RUU Pemilu perlu terlebih dahulu memahami kenapa setiap pemilu di era reformasi ini selalu menghasilkan banyak parpol yang kecilkecil?

    Kenapa rakyat pemilik kedaulatan tidak memilih hanya tiga parpol misalnya? Penyebabnya berakar pada dua kelemahan utama parpol, yakni berperilaku mengutamakan kepentingan sendiri serta tidak memiliki kematangan dan sportivitas dalam berpolitik.

    Berkualitas Buruk

    Fakta-fakta berikut ini menunjukkan ketidakmatangan dan ketidaksportifan penguasa politik kita. Dalam penyelenggaraan pilpres dan pilkada di era reformasi ini,nyaris tidak ada parpol yang kalah rela mengaku kalah dan menyampaikan kesiapan parpolnya membantu pemenang pemilihan, tetapi mereka justru siap untuk menggoyang.

    Ketidakmatangan dan ketidaksportifan parpol juga tampak dari perilaku parpol yang sudah tidak mendapat dukungan rakyat masih juga ngotot untuk ikut pemilu berikutnya.Tidak mengherankan, rakyat mengharapkan penyederhanaan jumlah parpol, tapi parpol ingin lebih banyak.Pada 2004, peserta pemilu 24 parpol,pada 2009 meningkat menjadi 38.

    Pemimpin tertinggi pun tidak memberi keteladanan tentang kematangan dan sportivitas— kualitas yang menjadi syarat keberhasilan demokrasi substantif.Ketika mantan Presiden Soeharto meninggal dan berbaring di RS Pertamina Jakarta, mantan Presiden Habibie ditolak untuk menjenguk. Sampai sekarang,rakyat masih menunggu kapan mantan Presiden Megawati dan Presiden SBY berbaikan berkomunikasi secara akrab,paling tidak di layar kaca TV.

    Bagaimana tingkat kepedulian parpol terhadap kepentingan rakyat? Adagium bernegara menurut John F Kennedy: “Jangan tanya apa yang dapat negerimu berikan kepadamu, tetapi tanya apa yang dapat kau berikan kepada negerimu.”Sikap parpol kita justru sebaliknya: “Apa yang parpol dan oknum- oknumnya bisa ambil dari negeri ini.” Kualitas buruk parpol telah menjadi sorotan media massa selama ini.

    Mencermati masalah buruknya kualitas itu, penyederhanaan jumlah parpol lewat perbaikan kualitas sangat mendesak. Membiarkan pemilu hanya menghasilkan banyak parpol kecil berakibat presiden—meskipun telah memperoleh legitimasi dari rakyat lewat pilpres—hanya mungkin mendapat legitimasi dari DPR dengan dukungan koalisi parpol.Namun, karena performa parpol berkualitas buruk, koalisi yang dapat dibentuk hanyalah koalisi parpol sontoloyo.

    Syamsir Siregar,mantan Kepala Badan Intelijen Negara/- BIN, mengatakan (26/6/2008): “Di rapat kabinet semua menteri mengiyakan kebijakan Presiden, di luar ngomongnya lain. Sontoloyo. Kalau saya presiden sudah saya ciao(pecat) menteri begitu.”Biaya yang harus dibayar dengan model koalisi parpol sontoloyo,penyelenggaraan pemerintahan tidak mungkin efektif.

    Langkah Penyederhanaan

    Bagaimana caranya menyederhanakan jumlah parpol? Cara pertama, dengan pendekatan top down yang berorientasi kekuasaan. Penguasa rezim Orde Baru membuat UU yang hanya membolehkan tiga parpol, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Seperti yang berlaku dengan negara-negara otoriter, penyelenggaraan negara diawali dengan sepertinya efektif, tetapi kemudian berakhir gagal.Tiga puluh dua tahun kemudian, rezim Orde Baru dengan sistem tiga parpol yang dipaksakan akhirnya gagal total.

    Sekarang ini, parpol yang merasa diri besar seperti Partai Golkar,PDIP,dan Partai Demokrat bisa saja memutuskan ambang batas parlemen 5% atau 10%.Namun, putusan seperti itu dinilai sebagai hasil pendekatan top down yang berorientasi kekuasaan. Sikap politik seperti itu akan menambah jumlah kelompok minoritas yang dizalimi oleh kelompok mayoritas.

    Dampaknya penyelenggaraan negara tidak dapat dijamin akan sukses. Cara kedua, berorientasi kepentingan rakyat.Dalam hal ini parpol tidak salah berguru ke industri media cetak nasional.Di industri surat kabar,persaingan bisnis adalah persaingan merebut kepercayaan masyarakat. Pemenangnya adalah yang terunggul dalam penyampaian informasi yang faktual dan benar, pemberitaan yang mencerahkan dan mencerdaskan, liputan fungsi kontrol yang berpihak kepada kemaslahatan rakyat banyak, dan ketaatan pada kode etik jurnalistik.

    Para politikus dengan mudah dapat mengenali surat kabar terunggul di setiap provinsi. Di AS, Inggris, Jerman, dan India, mendirikan parpol bebas. Namun, rakyat AS hanya memberi kepercayaan kepada dua partai, Partai Demokrat dan Partai Republik. Inggris, Jerman, dan India memiliki multipartai.Tapi selalu hanya dua parpol peraih suara terbesar, masing-masing sekitar 35%––di Inggris Partai Buruh dan Partai Konservatif, di Jerman Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Sosialis Demokrat (SPD), di India Partai Kongres dan Partai Janata.

    Di tiga negara tersebut,koalisi parpol cukup pemenang pertama dengan pemenang kedua atau ketiga,tidak seperti di Indonesia,“Koalisi 6 Parpol”. Kenapa di AS hanya ada dua parpol? Kenapa di Inggris,Jerman, dan India selalu kedua parpol itu peraih suara terbanyak sehingga koalisi peringkat satu dengan parpol ketiga dapat membentuk a strong government? Jawabannya, selain tingkat maturity dan fairnessnya sudah tinggi, parpol tersebut di ketiga negara terunggul dalam upaya memajukan, menyejahterakan, dan memakmurkan rakyat banyak.

    Tantangan

    Pilihan sekarang ini, melakukan pembiaran atau perubahan yang menantang? Apakah keadaan sekarang ini korupsi dibiarkan menggerogoti nurani manusia Indonesia sehingga terjadi “bestialisasi korupsi” (pembinatangan manusia oleh korupsi—Romo Sindhunata SJ)? Atau parpol tertantang untuk menyederhanakan jumlah parpol, bukan dengan meningkatkan ambang batas parlemen untuk memenuhi berahi parpol yang merasa besar, tapi dengan memperbaiki kualitasnya.

    Hanya dengan cara itu dapat dihasilkan dua parpol yang mampu meraih kepercayaan publik dengan perolehan suara masingmasing sekitar 35–40%. Dengan posisi seperti itu terbuka peluang membentuk a strong government cukup dengan koalisi parpol pemenang pertama dengan kedua atau ketiga. Capaian seperti itu hanya mungkin terwujud jika parpol selain mampu meningkatkan sportivitas dan kematangan berpolitik, juga mau mengubah laku buruknya.

    Mengadopsi demokrasi yang berkedaulatan rakyat, bersih dari tindak korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak lagi memperdagangkan wewenang politiknya, siap menerbitkan UU Antikorupsi dengan Pembuktian Terbalik, berorientasi sistem dengan menaati konstitusi, serta memaknai DPR sebagai dewan perwakilan yang mendahulukan kepentingan rakyat. Karena penerimaan anggota DPR yang juga merangkap anggota MPR sudah sekitar Rp100 juta per bulan, mestinya tidak ada alasan lagi untuk malas menghadiri sidang-sidang DPR.

  • Makna Penarikan AS dari Irak

    Makna Penarikan AS dari Irak
    Tom Saptaatmaja, PEGIAT LINTAS AGAMA,
    ALUMNUS STFT WIDYA SASANA MALANG DAN SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
    Sumber : SINAR HARAPAN, 6 Januari 2012
    Setelah sembilan tahun menduduki Irak, pasukan AS akhirnya ditarik total. Presiden Obama menyambut rombongan terakhir di pangkalan Fort Bragg di North Carolina, Kamis (15/12).
    Dalam sambutannya, Obama di antaranya mengungkapkan: “Selamat datang ke rumah. Memulai perang memang gampang, tapi mengakhirinya susah.” Nah, apa maknanya penarikan itu dari perspektif lintas agama, khususnya relasi antara Islam dan Kristen? Mengapa perspektif ini yang dipakai?
    Seperti kita tahu invasi pasukan AS ke Irak merupakan kebijakan yang diambil George W Bush, presiden AS sebelum Obama. Sebelum invasi ke Irak dilancarkan, sudah banyak sekali peringatan dan protes disampaikan, khususnya dari para tokoh agama, karena banyaknya sentimen keagamaan yang muncul bila AS jadi menyerang Irak. 
    Beberapa tokoh lintas agama kita seperti KH Syafii Ma’arif, almarhum Nurcholish Madjid, KH Hasyim Muzadi dan Kardinal Julius Darmaatmadja bahkan juga beraudiensi khusus dengan almarhum Paus Yohanes Paulus II, guna membahas rencana agresi AS ke Irak.
    Gereja Anglikan Inggris yang dipimpin Uskup Agung Canteburry, Rowan William, juga gigih menentang perang dan berani mengkritik kebijakan mantan PM Tony Blair, sekutu dekat Bush. Itulah sebabnya perspektif lintas agama diutamakan dalam tulisan ini.
    Dapat dikatakan mayoritas warga dunia berusaha mencegah agresi itu. Dalam Khotbah Natal 2002, mendiang Paus juga menyebut akan ada preseden buruk di masa depan, jika AS jadi menyerang Irak, khususnya menyangkut hubungan antara Kristen dan Islam.
    Paus bahkan mengaku  pernah dibujuk Bush yang mencoba meyakinkan bahwa serangan ke Irak merupakan perang kristiani yang sah. (Koran Tempo, 11/2/2003). 
    Tapi toh pada Maret 2003, pasukan AS menyerbu ke negeri yang dipimpin Saddam Hussein yang dianggap oleh Bush menyimpan senjata kimia pemusnah massal dan rezim pelindung terorisme.
    Tidak heran jika tesis Huntington soal benturan peradaban seperti tertulis dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of Worl Order (1996) seperti menemukan pembenarannya.
    Tesis  yang pertama kali ditulis di majalah Foreign Affais 1993 itu, di antaranya mengungkapkan bahwa “peradaban Islam” akan bersekutu dengan “peradaban Konfusian” untuk mengadang “peradaban Barat”.
    Jadi, orang Barat harus bersatu—tentu di bawah Amerika Serikat—untuk melindungi nilai-nilai budaya Barat. Teori ini memang amat terkenal dan banyak dipelajari di Indonesia, meski oleh mayoritas pemikir dunia dicibir sebagai teori yang rasialis.
    Simbol Toleransi
    Benturan Islam-Barat memang seolah terjadi dalam Perang di Irak, khususnya antara pasukan AS dan sekutunya versus Saddam Hussein. Akibatnya skisma antara Barat dan muslim yang sudah memanas seiring dengan tragedi WTC 11 September 2001, yang disusul kampanye global Amerika terhadap terorisme, makin meruncing akibat perang itu.
    Harus diakui bahwa krisis Irak memang mengandung kompleksitas sehingga tidak gampang dipisahkan dari nuansa atau sentimen keagamaan. Dalam percaturan politik, sentimen keagamaan selalu menjadi permainan menarik bagi para politikus.
    Bush contohnya jelas punya agenda tersendiri menyebut perang dengan Irak merupakan perang kristiani yang sah. Saddam Hussein juga setali tiga uang dengan Bush dalam memainkan sentimen ini. Osama bin Laden juga yakin perang di Irak merupakan perang salib baru. Kaum radikal atau fundamentalis juga punya persepsi seperti Osama.
    Padahal, jika melihat pada rakyat Irak yang terdiri dari Islam dan Kristen, jelas tidak tepat jika menyebut perang itu sebagai perang agama, khususnya antara Islam versus Kristen.
    Apalagi, ketika itu Saddam punya pembantu dekat seorang Katolik Kaldean, yakni Deputi Perdana Menteri  Tareq Azis yang loyalitasnya bagi bangsa Irak tidak perlu diragukan lagi. Relasi Islam-Kristen di Irak pun harmonis.
    Partai Baath al-Thawra yang berideologi nasionalis-sekuler di bawah pimpinan Saddam misalnya tidak bisa dilepaskan dari Partai Baath, sebuah partai yang didirikan oleh Michel Afflaq, seorang Kristen berkebangsaan Syria dan pernah belajar sosialisme di Prancis. Di bawah Saddam, gereja-gereja di Irak bebas menggelar misa dan kebaktian. Pendirian tempat ibadah juga dijamin.
    Di Bagdad misalnya terdapat tujuh masjid agung dan lima gereja simbol dari kebebasan dan toleransi beragama yang bukan basa-basi. Tidak pernah terdengar di Irak ada perusakan tempat ibadah. Pokoknya, seperti ditulis Dr Naima S Panow dalam “Christianiy in Iraq”, 2,3 juta umat Kristen Irak yang minoritas bisa hidup harmonis dengan 22 juta muslim Irak.
    Dalam perang di Irak, umat Kristen juga ikut merasakan dampaknya yang pahit. Jika 4.500 tentara AS meninggal dalam sembilan tahun terakhir, ada asumsi sekitar 200.000 warga Irak tewas.
    Setelah rezim Saddam ditumbangkan dan Saddam dihukum mati 30 Desember 2006, umat Kristen, sebagaimana umat Islam, baik yang Syiah atau Sunni, juga amat terpukul  akibat sikon yang sulit.
    Bayangkan, teror dan kekerasan, khususnya bom bunuh diri, seolah menjadi pemandangan sehari-hari, sementara kehidupan ekonomi kacau balau. Padahal, dulu Irak adalah negeri yang kaya berkat minyaknya.
    Kini pasukan AS sudah ditarik dari Irak. Perang yang terjadi di Irak ternyata hanya menyisakan kekalahan bagi kemanusiaan dan justru memunculkan masalah dalam relasi antaragama. Kita berharap segala penderitaan dan masalah yang membelit negeri itu juga bisa diakhiri.
  • Sandal Jepit di Muka Hukum

    Sandal Jepit di Muka Hukum
    Yudhistira ANM Massardi, SASTRAWAN, WARTAWAN,
    PENGELOLA SEKOLAH GRATIS UNTUK KAUM DUAFA, TK-SD BATUTIS AL-ILMI, BEKASI
    Sumber : KORAN TEMPO, 6 Januari 2012
    Dunia peradilan kita tampak begitu tak bermoral. Para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) seolah tidak punya rasa malu. Lembaga yudikatif, yang diagungkan sebagai salah satu pilar demokrasi, lebih menunjukkan diri sebagai hamba dari para pemilik uang dan kuasa. Keluhan dan kritik masyarakat yang bertubi-tubi dan terus dipekikkan hingga hari ini tak juga digubris. Dunia hukum pun menjadi tak ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani rakyat.
    Fakta bahwa, sejak Orde Baru, hukum kita lumpuh di hadapan kasus-kasus yang melibatkan jumlah uang sangat besar, para juragan besar, dan para petinggi negara adalah kenyataan pahit yang hingga kini menggelapkan langit keadilan. Harapan masyarakat, khususnya kaum muslimin, yang mendambakan proses penegakan hukum seperti pada zaman Khalifah Abubakar, Umar bin Khattab, atau Umar bin Abdul Aziz, masih terbenam jauh di alam mimpi. Sebab, jangankan ayat-ayat dalam kitab suci Al-Quran, ayat-ayat dalam kitab-kitab hukum pidana dan perdata pun mereka telikung maknanya dan mereka manipulasikan penggunaannya.
    Alih-alih memberi rasa keadilan kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan yang berlangsung justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta membunuh harapan terakhir mereka. Berkali-kali kita menyaksikan betapa supremasi hukum ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus remeh-temeh yang melibatkan wong cilik melarat tanpa daya.
    Pada Oktober 2009, kita dikejutkan oleh tragedi Nenek Minah, 55 tahun, yang diseret ke depan meja hijau di Banyumas, hanya karena mengambil tiga buah kakao seberat 3 kilogram seharga Rp 30 ribu. Ia diancam hukuman 6 bulan penjara, dan divonis hukuman 3 bulan percobaan. Pada November 2009, empat bersaudara ditahan polisi di Purwokerto karena dituduh mencuri 1,5 kg kapuk seharga Rp 6.000. Mereka diancam hukuman penjara maksimal 7 tahun. Pada Oktober 2010, Nenek Rasminah diadili gara-gara dituduh oleh majikannya mencuri enam buah piring dan bahan sup buntut. Ia sempat meringkuk di dalam bui, dan divonis bebas oleh pengadilan di Tangerang.
    Pada hari-hari terakhir ini, kita pun terenyak menyaksikan anak di bawah umur, AAL, 15 tahun, diinterogasi dan dipukul polisi serta diseret ke pengadilan di Palu gara-gara dituduh mencuri sandal jepit milik dua anggota Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. AAL diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara. Masyarakat pun bereaksi dengan menggalang pengumpulan ribuan pasang sandal jepit untuk dikirim kepada Kepala Kepolisian RI, sebagai ungkapan solidaritas dan rasa marah. Aksi ini mengingatkan kita pada gerakan pengumpulan sejuta koin bagi Prita yang diadili di Tangerang dan sempat dipenjarakan secara keji dalam kasus pencemaran nama baik, Juni 2011.
    Kasus pencurian sandal jepit oleh AAL itu juga mengingatkan kita pada tragedi yang menimpa Hamdani, 25 tahun, mantan buruh pabrik sandal yang harus mendekam di balik terali besi Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang, hanya gara-gara pinjam-pakai sandal jepit bolong apkiran di gudang pabrik untuk berwudu dan salat. Oleh perusahaannya, buruh aktivis itu dikenai tuduhan pencurian. Pengadilan menghukumnya 3 bulan kurungan pada Januari 2002. Kisah tentang Hamdani ini telah disinetronkan oleh Dedi Setiadi, Sandal Bolong untuk Hamdani, dan menjadi film televisi terbaik dalam Festival Film Indonesia 2004, yang mengukuhkan Dedi Setiadi sebagai sutradara terbaik, serta pemeran Hamdani, Epi Kusnandar, sebagai aktor terbaik.
    Semangat para penegak hukum dalam mengadili kasus-kasus kelas “sandal jepit” tersebut sungguh mencengangkan sekaligus melengkapi tragedi dunia hukum di republik ini. Sebab, pada saat yang sama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Agung ramai-ramai membebaskan puluhan tersangka koruptor dengan dalih tidak terbukti menimbulkan kerugian negara. Sementara itu, beberapa kasus korupsi yang tengah diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berputar-putar atau jalan di tempat.
    Maka, tidaklah aneh jika masyarakat tak lagi percaya bahwa lembaga yudikatif di sini bertujuan menegakkan keadilan, serta memperlakukan setiap orang sama di depan hukum, tanpa pandang bulu. Sebab, fakta-fakta yang muncul membuktikan hal-hal yang sebaliknya.
    Dunia hukum kita bagaikan sebuah gua panjang menuju lembah kegelapan. Siapa pun, terutama rakyat jelata, yang memasukinya akan kehabisan oksigen dan energi hidupnya tanpa punya harapan bisa melihat setitik cahaya di ujung terowongan. Puncak dari ironi ini adalah para manusia pencari keadilan itu justru dikalahkan oleh sandal jepit dan tetek-bengek yang tak penting!
    Dunia hukum kita tetap absurd, tanpa ada pintu masuk bagi setiap orang yang hendak mencari keadilan di dunia, seperti yang digambarkan secara tragis dalam cerita mini Nobelis Franz Kafka (1883-1924), Before the Law (1914). Itu adalah cerita singkat yang paling menohok dunia hukum, dengan satu pertanyaan pesimistis: mungkinkah manusia bisa menegakkan keadilan di muka bumi?
    Dalam Islam, agama yang merupakan rahmat bagi alam semesta, sesungguhnya tidak ada lagi yang patut dipertanyakan. Sejumlah ayat dalam Al-Quran, misalnya, Al-Baqarah 143, menegaskan: “Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Juga An-Nissa 135: “Wahai, orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu, bapak, dan kaum kerabatmu.”
    Dalam kalimat filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626), “Demi keadilan, manusia adalah Tuhan bagi manusia, dan bukan serigala.” Artinya, pintu hukum bagi tokoh lelaki dalam cerita Kafka tersebut seharusnya selalu terbuka dan bisa dimasuki oleh siapa saja, kapan saja, selamanya, demi Allah yang Maha Adil, bukan demi sandal jepit yang remeh-temeh!
    Ribuan pasang sandal jepit yang terkumpul dalam aksi solidaritas bagi AAL seharusnya menjadi penampar terakhir muka para petugas hukum di sini. Jika tidak, itulah gambaran paling tepat bagi harkat dan derajat mereka: kasut-kasut butut yang dibuang para pemiliknya dengan penuh amarah.