Blog
-
Memulai Pemerintahan Beretika
Memulai Pemerintahan BeretikaInco Harry Perdana, PRAKTISI KOMUNIKASI PEMASARAN, MAHASISWA PASCASARJANA FISIP UISumber : SINAR HARAPAN, 7 Januari 2012Pilkada DKI Jakarta baru akan dilaksanakan 11 Juli 2012. Namun, belum juga masuk masa resmi kampanye, di berbagai papan reklame di Jakarta telah terpampang foto mereka yang berminat menjadi calon gubernur dan siap berlaga di Pilkada DKI 2012 ini.Sejak pertengahan 2011, di berbagai pelosok Jakarta muncul foto orang-orang yang sebelumnya tidak terlalu dikenal warga Jakarta, mulai dari Nachrowi Ramli, Triwisaksana, sampai Nono Sampono, yang semuanya memakai panggilan ”bang” dengan maksud mengakrabkan diri.Tak tanggung-tanggung, papan reklame berukuran besar di jalan-jalan protokol memasang foto dan slogan mereka dengan latar belakang partai politik pendukungnya. Beberapa nama bahkan telah membuat laman khusus yang berisikan profil dan aktivitas para bakal calon tersebut.Beberapa nama telah dikenal secara luas oleh warga Jakarta karena latar belakang keartisan mereka, seperti Tantowi Yahya, Deddy Mizwar, atau Wanda Hamidah. Harapannya tentu dengan popularitas itu elektabilitas mereka tinggi.Sementara para bakal calon lainnya walaupun bukan populer sebagai artis, dikenal sebagai politikus dan pejabat, baik masih aktif maupun sudah pensiun, atau tokoh organisasi masyarakat. Misalnya Aziz Syamsuddin (anggota DPR Fraksi Golkar), Priya Ramadhani (Ketua DPD Golkar DKI), maupun gubernur incumbent yang akan mencalonkan diri kembali, Fauzi Bowo.Elektabilitas dan KualitasNama-nama di atas memang belumlah pasti maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang pendaftarannya baru akan berlangsung pada 13–19 Maret 2012. Masa kampanye resmi dijadwalkan pada 24 Juni–7 Juli 2012.Selain tidak ada yang salah dengan ramai-ramai mengajukan diri menjadi bakal calon, setiap warga negara Indonesia berhak memilih dan juga dipilih. Namun yang perlu dicermati: apakah popularitas dan elektabilitas berbanding lurus dengan kualitas?Untuk beberapa nama yang memang belum cukup akrab di telinga warga Jakarta maka pilihan untuk kampanye dini adalah keharusan, lain hal jika memang popularitas sudah dimiliki terlebih dulu, seperti bakal calon dari latar belakang artis.Dalam pemasaran politik, di mana waktu singkat dan aktivitas-aktivitas fisik tidak dimungkinkan, maka kampanye melalui iklan menjadi “jalan pintas” yang dianjurkan banyak para konsultan politik untuk meningkatkan popularitas juga elektabilitas.Pemerintahan Provinsi DKI saat ini menunjukkan Jakarta dengan segala kompleksitas masalahnya tidaklah terselesaikan dengan baik hanya dengan melalui popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Gubernur saat ini, Fauzi Bowo, lima tahun lalu memenangi 57,87 persen suara dan didukung 21 partai politik.Namun ternyata popularitas dan elektabilitas yang tinggi tidak membuatnya memiliki kualitas yang cukup untuk menangani masalah Jakarta yang sangat kompleks. Padahal pada masa kampanye Foke memakai jargon “Serahkan pada Ahlinya”.Namun jargon tinggal jargon, masalah utama di Jakarta terutama kemacetan dan banjir tidak juga dapat terselesaikan. Padahal pada periode sebelumnya, 2002–2007, Foke juga bagian dari Pemerintah Provinsi DKI sebagai wakil gubernur.Jaga Etika KampanyeSetiap pemerintahan yang bersih seharusnya juga diawali dengan niat dan langkah yang bersih pula. Ada dua hal yang menjadi ganjalan untuk kampanye dini pada bakal calon gubernur tersebut.Pertama, secara pasti kampanye dini tersebut melanggar peraturan tentang kampanye resmi yang telah ditentukan KPU Provinsi DKI. Kedua, sumber dana kampanye tersebut harus dapat dipantau dengan baik oleh masyarakat. Jika ternyata terdapat penyelewengan asalnya tidak jelas, bakal calon tersebut bisa dilaporkan ke KPK dan didiskualifikasi.Berangkat dari masalah etika komunikasi politik, kesempatan berkampanye dalam media massa memanglah hak dari para bakal calon gubernur tersebut. Namun, hak tersebut telah mempunyai aturan main tersendiri di mana para kandidat nantinya akan diberi kesempatan untuk dapat berkampanye pada masa yang telah ditentukan.Jika para bakal calon tersebut melancarkan kampanye dini, hal tersebut bukan hanya melanggar etika namun juga melanggar peraturan yang telah ditentukan. Apa yang dapat kita harapkan dari seorang calon pemimpin yang dari awal telah melanggar peraturan?Bukan tidak mungkin praduga negatif melanggar hal-hal lain akan terjadi apabila nantinya mereka berkuasa. Belum lagi tidak setiap dari bakal calon mempunyai kesempatan yang sama untuk membeli akses informasi kepada pemilih melalui iklan.Bakal calon yang mempunyai kemampuan finansial besar tentunya akan mendapatkan akses yang lebih besar, dengan harapan popularitasnya juga meningkat.Hal tersebut juga seharusnya dapat dibarengi dengan akuntabilitas dan transparansi sumber pendanaan kampanye. Seperti disebutkan sebelumnya, pemerintahan yang bersih haruslah dimulai dari awal yang bersih pula. ● -
Merosotnya Dunia Pendidikan
Merosotnya Dunia PendidikanRaihan Iskandar, ANGGOTA KOMISI X DPR RI FRAKSI PKSSumber : REPUBLIKA, 7 Januari 2012Kualitas pendidikan Indonesia tahun ini mengalami kemerosotan. Hal ini berdasarkan laporan The United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2011 yang mengumumkan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat ke-108 pada 2010 menjadi peringkat ke-124 pada tahun ini.Walaupun angka IPM Indonesia dinyatakan naik dari 0,600 (2010) menjadi 0,617 (2011), namun peringkat IPM Indonesia menurun drastis 16 (enam belas) peringkat. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan negara lain lebih maju dari Indonesia.
Turunnya peringkat IPM Indonesia sangat ironis dan patut dievaluasi total karena APBN sebesar 20 persen sebagaimana ditetapkan Mahkamah Konstitusi belum mampu memajukan dunia pendidikan. Data Kemendikbud menyebutkan pada 2011 ini anggaran pendidikan dalam APBN mengalami kenaikan dari sekitar Rp 191 triliun (2010) menjadi Rp 249 triliun. Logikanya, dengan naiknya anggaran pendidikan, seharusnya peringkat IPM Indonesia berbanding lurus dengan kenaikan tersebut.
Faktor Kebijakan
IPM adalah pencapaian rata-rata sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia yang direpresentasikan oleh umur panjang dan sehat (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup yang layak (standard of living). Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi umur panjang dan sehat adalah angka harapan hidup. Sedangkan untuk mengukur dimensi pengetahuan adalah angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah atau angka partisipasi kasar (APK) pendidikan. Dimensi kehidupan yang layak diukur dengan indeks daya beli.Selama ini, IPM digunakan untuk mengklasifikasi apakah suatu negara berkategori negara maju, berkembang, atau terbelakang, dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi suatu negara terhadap kualitas hidup warga masyarakatnya. Pengukuran ini digunakan PBB sejak 1990 dan mengalami beberapa perubahan metode penghitungan.
Terkait penurunan peringkat IPM Indonesia, menurut Resident Representative UNDP, El-Mostafa Benlamlih, hal itu bukan karena terjadinya penurunan IPM, namun karena pada tahun ini ada penyesuaian metode penghitungan IPM dan juga masuknya 18 negara baru dalam laporan IPM UNDP. Meskipun demikian, dimensi yang mengalami penurunan adalah IPM bidang pendidikan karena APK pendidikan Indonesia pada 2011 ini mengalami penurunan. Hal ini membuktikan merosotnya pendidikan kita akibat dari rendahnya koordinasi antarlembaga yang ada di pemerintah.
Persoalannya, jika penggunaan metode penghitungan baru dan masuknya 18 negara baru yang menjadi alasan, lantas mengapa beberapa negara yang situasi ekonomi, sosial, dan politiknya tidak lebih baik dari kita, tetapi penurunannya tidak terlalu jauh seperti Indonesia, misalnya, Palestina. Laporan UNDP menyebutkan, pada 2010 peringkat IPM Indonesia setingkat di bawah Palestina. Sedangkan 2011 ini, IPM Palestina hanya turun dari 107 menjadi -114.
Salah satu upaya untuk menaikkan peringkat IPM adalah dengan memperbaiki Angka Partisipasi Kasar (APK). APK pendidikan dapat dievaluasi terkait dengan tiga hal. Pertama, bagaimana struktur anggaran pendidikan di APBN/APBD serta dampaknya pada pembiayaan program pendidikan di luar gaji guru/pegawai. Kedua, sejauh mana realisasi dan implikasi dari kebijakan pendidikan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun bebas biaya yang selalu didengung-dengung pemerintah. Ketiga, sejauh mana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dunia pendidikan yang masih melakukan diskriminasi dan komersialisasi pendidikan atas nama peningkatan mutu pendidikan.
Ada banyak contoh upaya suatu negara dalam peningkatan APK. Di Amerika misalnya, meskipun berhaluan politik liberal, namun tren penurunan kualitas pendidikan siswa di Amerika dan angka putus sekolah hampir mencapai 50 persen. Pada 2001, pemerintahnya melakukan intervensi melalui gerakan reformasi bidang pendidikan berupa kebijakan “No Child Left Behind (NCLB)” atau “Jangan ada satu pun anak Amerika yang ketinggalan pendidikannya”.
SBY sendiri pernah menyatakan hal yang sama dalam nota keuangan 2012, “Tidak ada lagi anak Indonesia yang miskin yang tidak sekolah.” Namun, sayangnya tidak diikuti dengan pelaksanaan kebijakan pendidikan yang nyata.
Beberapa Teladan
Kita juga bisa belajar dari Jepang. Setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, Jepang harus berada dalam keterpurukan dan segala keterbatasan. Terobosan yang dilakukan Pemerintah Jepang adalah dengan memberikan fokus kebangkitan negaranya pada sektor pendidikan dengan cara membebaskan semua biaya pendidikan, termasuk di dalamnya penerjemahan serta penerbitan buku-buku utama yang diperlukan.Fase berikutnya, pada 2001 Kementerian Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana reformasi pendidikan Jepang modern yang disebut dengan “Rainbow Plan”. Pokok-pokok dari modernisasi pendidikan Jepang yang kiranya dapat bermanfaat dalam upaya peningkatan APK pendidikan Indonesia adalah pengembangan model dan lingkungan belajar di sekolah yang menyenangkan dan jauh dari tekanan.
Metode itu, antara lain, bisa dijalankan dengan pemberlakuan kelas kecil, mengoptimalkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar (PBM), mengoptimalkan fungsi ekstrakurikuler, juga melibatkan siswa pada program-program kegiatan bermasyarakat. Upaya lainnya bisa dijalankan dengan merangkul orang tua siswa dan masyarakat untuk meningkatkan program pendidikan agar mereka merasa lebih dekat dan merasa memiliki sekolah (sense of belonging).
Pembelajaran penting juga kita dapati di dalam negeri, yakni Kabupaten Jembrana Bali. Dengan keterbatasan anggaran, dalam waktu tiga tahun (1999-2002), Pemerintah Kabupaten Jembrana dapat meningkatkan APK sekaligus IPM-nya secara signifikan, bahkan di atas rata-rata APK Provinsi Bali. Termasuk ketika dibandingkan dengan capaian IPM pada periode yang sama dengan salah satu kabupaten terkaya di Indonesia, yaitu Kutai Kertanegara.
Jika pada 2001 APK Pendidikan di Kabupaten Jembrana berada pada angka 82,45 persen (SD), 86,96 persen (SMP), dan 48.73 persen (SMA), maka pada 2002 APK pendidikannya menjadi 104,50 persen (SD), 93,46 persen (SMP), dan 46,15 persen (SMA). Dengan APK pendidikan seperti demikian, maka capaian IPM Jembrana pada 2002 adalah 68,9, sementara IPM Provinsi Bali pada tahun yang sama adalah 67,5 dan IPM Kutai Kertanegara adalah 67,8 (HAR Tilaar dan Riant Nugroho, 2009:412).
Pelajaran di atas jelas telah membuka mata kita semua bahwa kemajuan pembangunan pendidikan terbukti tidaklah ditentukan oleh faktor kaya atau miskinnya suatu negara dan daerah. Kemajuan itu sangat tergantung pada visi, orientasi, dan keberanian serta sikap tegas pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah. ●
-
Indonesia dan Hak Asasi Manusia
Indonesia dan Hak Asasi ManusiaJames Luhulima, WARTAWAN KOMPASSumber : KOMPAS, 7 Januari 2012Dalam pernyataan tahunan di Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, Rabu (4/1), Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengungkapkan, Indonesia telah berhasil terus meningkatkan profilnya dalam diplomasi multilateral di bidang hak asasi manusia.Selama tahun 2011, kata Marty, Indonesia terus meningkatkan sumbangannya dalam upaya global bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia serta merefleksikan secara lebih memadai dan lebih bernuansa sejumlah perkembangan hak asasi manusia di Tanah Air.Marty menambahkan, pengakuan masyarakat internasional atas peran Indonesia di forum global mengenai hak asasi manusia tecermin sangat nyata pada saat pemungutan suara untuk keanggotaan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM periode 2011-2014. Indonesia telah memperoleh suara dukungan tertinggi di antara calon-calon terpilih lain, yakni 184 suara.Pernyataan itu terasa mengentak. Apalagi ketika Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengemukakan, dalam konteks ini, Indonesia merupakan salah satu negara kunci dalam memajukan sejumlah isu, antara lain kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat secara damai, dan isu hak asasi manusia yang terkait dengan perkembangan media massa sosial/internet.Mengapa pernyataan itu terasa mengentak? Sebab, keberhasilan Indonesia meningkatkan profilnya dalam diplomasi multilateral di bidang hak asasi manusia itu tidak ditopang oleh keberhasilan Indonesia melindungi hak asasi manusia dari warga negaranya di dalam negeri.Padahal, pemahaman umum adalah politik luar negeri suatu bangsa merupakan cerminan dari politik atau kondisi di dalam negeri dari negara itu. Secara teoretis, seharusnya jika kiprah Indonesia dalam bidang hak asasi manusia di panggung internasional cukup baik, kiprah Indonesia di dalam negeri pun harus baik.Kenyataannya, di dalam negeri, kiprah Indonesia dalam bidang hak asasi manusia sangat tidak memadai, terutama dalam melindungi dan menjaga kebebasan berserikat secara damai. Hampir setiap bulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima pengaduan dari masyarakat tentang hal-hal yang mengancam kebebasan beragama, seperti kesulitan membangun gereja di daerah-daerah tertentu serta penggerebekan kelompok-kelompok agama dan kepercayaan.Pemerintah bahkan tidak hanya melakukan pembiaran, tetapi juga terlibat dalam konflik dan kekerasan. Ini membuat hak-hak dasar warga negara dan tegasnya hak atas rasa aman terancam. Kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah dan kasus Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Kota Bogor adalah dua kasus di antara banyak kasus lain. Wali Kota Bogor Diani Budiarto mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) gereja itu. Padahal, Mahkamah Agung memerintahkan pencabutan atas pembekuan IMB tersebut.Dan, ketika Wali Kota Bogor menolak untuk melaksanakan perintah Mahkamah Agung, tampak seolah-olah tidak ada yang memedulikannya. Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin tetap dilarang memasuki lokasi gereja.Kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada seorang wali kota berani menentang perintah Mahkamah Agung yang merupakan lembaga hukum tertinggi dan pejabat di atasnya tidak mengambil tindakan apa pun atas pembangkangan itu. Jika seorang wali kota saja mengabaikan perintah Mahkamah Agung, tanpa ada tindakan apa pun, lalu bagaimana orang-orang lain mau menghormati lembaga hukum tertinggi itu.Daftar pelanggaran hak asasi manusia di dalam negeri dapat diperpanjang dengan deretan peristiwa kekerasan lain, misalnya penembakan di Mesuji (Lampung) dan Bima (Nusa Tenggara Barat) atau serbuan dan pembakaran terhadap pesantren, mushala, dan rumah warga Islam mazhab Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Jawa Timur.StrategiMelihat masih buruknya kiprah pemerintah dalam melindungi hak asasi manusia di dalam negeri, kita bertanya-tanya, apakah dunia internasional tidak melihat hal tersebut?Muncul pemikiran, jangan-jangan pengakuan masyarakat atas peran Indonesia di forum global mengenai hak asasi manusia itu merupakan strategi untuk mendorong agar Indonesia melindungi hak asasi manusia di dalam negeri.Ada baiknya memang pemerintah segera membenahi masih buruknya kiprah pemerintah dalam melindungi hak asasi manusia di dalam negeri sehingga Indonesia dapat tetap berkiprah di dunia internasional dalam bidang hak asasi manusia dengan kepala tegak.Dengan demikian, di masa depan, kita tidak perlu khawatir dengan munculnya berita dan foto seperti protes sandal atas tidak adanya rasa keadilan terhadap AAL yang masih di bawah umur, yang pada hari-hari ini menghiasi surat kabar-surat kabar besar dunia. ● -
Tegakkan HAM “Aja” Kok Repot!
Tegakkan HAM “Aja” Kok Repot!Usman Hamid, AKTIVIS KONTRASSumber : KOMPAS, 7 Januari 2012Andai Gus Dur belum wafat. Umat beragama se-Tanah Air yang kini kesusahan tengah begitu membutuhkannya. Ilmu pengetahuan, agama, dan politiknya adalah untuk menolong sesama. Melindungi manusia dari segala penindasan dan sektarianisme serta berjuang melawan keterbelakangan dan kemiskinan.KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) atau Gus Dur adalah edisi istimewa Indonesia dan terpandang di dunia. Memperjuangkan nilai kemanusiaan dan membangun spirit kebangsaan dengan menjaga hak kaum lemah dan tertindas, baik oleh kekuasaan maupun oleh massa beringas berkedok agama. Saat menjadi presiden, sikapnya tak berubah.Apa sumbangsih pemerintahannya terhadap HAM? Berkembangkah penegakan HAM sesudahnya, misalnya pemerintahan sekarang? Masalah-masalah yang diperhatikan Gus Dur kini justru mengalami kemerosotan.Yang terbaru, rumah dan pesantren warga Syiah di Sampang, Jawa Timur, dibakar massa, menyusul serangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, penusukan umat Kristiani di Cikeuting, pembakaran masjid di Medan, penyerangan gereja di Temanggung, peledakan bom di Gereja Kepunton, Solo, serta pelarangan terhadap Gereja Yasmin (meski MA membolehkan).Penindakan terhadap terorisme begitu represif didukung dana masif, tetapi intoleransi kian marak. Belum lagi penembakan dan penyiksaan di Papua, ditambah adanya 66 tahanan politik terkait insiden tarian cakalele Maluku dan pengibaran bendera Papua, yang dihukum 15 tahun.Pemenjaraan politik dihapuskan di era Gus Dur dan Habibie. Mulai dari yang dituding ekstrem kiri hingga ekstrem kanan, kasus Talangsari 1989, Priok 1984, 1965/1966, PRD, hingga pro-kemerdekaan Timor Timur.Pemerintahan sekarang mengklaim demokratis, tetapi memenjarakan orang karena politik nonkriminal. Aneh sekali!Juga aneh mengklaim tak ada pelanggaran HAM berat selama pemerintahannya, tetapi enggan mendayagunakan jaksa agung dan hakim Pengadilan HAM untuk memeriksa laporan-laporan Komnas HAM. Bagaimana bisa memperoleh kesimpulan pelanggaran HAM berat jika penyelesaiannya di pengadilan militer? Sekejam apa pun penyiksaan oknum militer, termasuk menyulut api ke alat kelamin saat menginterogasi, mustahil disimpulkan pelanggaran HAM berat oleh Hukum Pidana Militer yang tak mengaturnya. Amandemen UU ini ditelantarkan.Kelembagaan HAMKepresidenan Wahid mendukung kelembagaan HAM. Penyelidikan-penyelidikan Komnas HAM ditindaklanjuti, termasuk dengan mencopot pejabat atau jenderal yang terlibat pelanggaran HAM. Jaksa agung pilihannya memproses koruptor kakap dan pelanggar HAM. Keputusan diterbitkannya untuk memfungsikan Pengadilan HAM. Reformasi kelembagaan militer, intelijen, dan kepolisian jelas. Agus Wirahadikusuma, Baharuddin Lopa, Mahfud MD, dan lain-lain diangkat karena profesionalitas, bukan karena kedekatan, balas jasa, apalagi karena saudara ipar.Konflik diselesaikan dengan bermartabat. Dari Jayapura, 30 Desember 1999, Presiden Wahid menyetujui perubahan Irian Jaya menjadi Papua, membolehkan pengibaran bendera bintang kejora sepanjang tak lebih tinggi dari Merah Putih. Ia menyumbang Rp 1 miliar untuk Kongres Rakyat Papua I (2000). Penguasa sekarang mengirimkan pasukan bersenjata yang merepresi peserta-peserta Kongres Rakyat Papua III (2011). Langkah Gus Dur tak memicu disintegrasi. Justru mendekatkan Papua dengan Jakarta yang kini menegang.Dialognya melahirkan jalan tengah otonomi khusus dan tinggal dilaksanakan presiden sesudahnya, tanpa perlu khawatir Papua lepas dari Indonesia. Kenyataan sekarang ini memprihatinkan. Otonomi khusus dikembalikan. Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KRR) Papua tak juga dibentuk. Papua dimekarkan sebelum pendirian Majelis Rakyat Papua yang sekarang dikebiri wewenangnya. Buruh Freeport mogok tiga bulan. Banyak warga sipil, termasuk tiga anggota TNI, tewas sia-sia.Penumpukan KasusKita melihat saat ini kasus HAM kian menumpuk. Setahun terakhir dalam laporan di Komnas HAM tercatat setidaknya ada 819 sengketa lahan, 451 sengketa industrial perburuhan, 300 kasus kepegawaian, 193 penggusuran paksa, 120 kasus lingkungan, 84 kasus kebebasan beragama, 79 kasus masyarakat adat, 75 kasus buruh migran, dan 50 kasus kesehatan.Yang banyak dikeluhkan adalah menyangkut pihak kepolisian (1.503), perusahaan (1.119), pemda (779), pengadilan (544), BUMN (273), kejaksaan (264), dan TNI (223). Masalah utama adalah hak memperoleh keadilan (2.466), kesejahteraan (2.317), rasa aman (948), hak hidup (191), perempuan (126), anak (74), dan hak turut serta berpemerintahan (61). Kasusnya tersebar di Jakarta (1.211), Jawa Timur (758), Sumatera Utara (640), Jawa Barat (586), Sumatera Barat (364), Sumatera Selatan (204), Riau (282), dan Lampung (72).Sengketa lahan tertinggi akibat strategi pembangunan neoliberal, memberi kepastian hukum tanah kepada segelintir pemodal daripada kepada sebagian terbesar penduduk. Demi ambisi pertumbuhan ekonomi, regulasi/kebijakan sektor migas, mineral, batubara, hingga yang terbaru pengadaan tanah dipercepat untuk kepentingan investasi dan modal asing. Menjauhi sumber hukum pertanahan nasional (UU Agraria) yang merombak stelsel hukum pertanahan kolonial. Ekonomi masyarakat yang hidup subsisten secara agraris hancur dan kerusakan ekologis kian menyengsarakan rakyat.Upaya mewujudkan stabilitas melalui represi dominan dalam mengamankan bisnis tambang di Papua dan Bima hingga bisnis sawit di Mesuji. Pelanggaran HAM kian bertumpuk. Belum lagi kasus pembunuhan Munir.Suatu hari, saya bercerita kepada Gus Dur betapa tidak jelasnya sikap pemerintah terhadap pelaku pembunuhan Munir. ”Apanya yang tak jelas?” Gus Dur bertanya balik dan menjawab, ”Itu Al Quran jelas mengatakan, ’Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya, serta menyediakan azab yang besar baginya’.””Ya, Gus, itu kan hukuman nanti. Supaya hukumannya di dunia, bagaimana?” ”Oh kalau itu, harus ganti pemerintahan,” kata Gus Dur. ”Kalau ganti, siapa presidennya Gus?” ”Ya saya, siapa lagi kalau bukan saya,” jawabnya enteng. Cerita Gus Dur selalu memberikan semangat. Politiknya, agamanya, sepak bola, sastra, sampai humornya begitu membekas. Lebih dari itu, kita akan selalu mengenang kebaikannya, pikiran serta tindakannya yang cerdas, berani dan bersahaja, tak khawatir kehilangan harta, citra, atau jabatan. Tegakkanlah HAM, gitu aja kok repot! ● -
Korupsi Politik
Korupsi PolitikSunny Tanuwidjaja, PENELITI DEPARTEMEN POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL CSIS; KANDIDAT DOKTOR ILMU POLITIK NORTHERN ILLINOIS UNIVERSITYSumber : KOMPAS, 7 Januari 2012Persoalan korupsi politik terus mengemuka. Setelah rentetan kasus korupsi yang melibatkan politisi dari sejumlah parpol, Badan Pemeriksa Keuangan beberapa waktu lalu mengungkapkan dana bantuan sosial periode 2007-2010 yang mencapai Rp 300 triliun banyak diselewengkan untuk kepentingan politik dan pribadi penguasa.Ini menunjukkan korupsi politik sudah mengakar dan bukan gejala baru. Sayangnya, sampai hari ini solusi yang ditawarkan cenderung superfisial dan salah logika. Parpol dan politisi menawarkan agar pembiayaan parpol ditambah dari anggaran negara, bahkan ada yang mengusulkan agar partai diberi keleluasaan membangun badan usaha sendiri. Solusi lain, bagaimana pembiayaan politik yang kian hari kian mahal bisa ditekan.Logika yang dibangun dari solusi-solusi di atas adalah jika saja partai cukup didanai, baik dengan meningkatkan pembiayaan maupun menekan pengeluaran, ia tidak lagi akan mengeruk uang yang bersumber dari rakyat dan dari kekayaan negara. Logika ini terkesan sangat janggal karena mengasumsikan korupsi politik terjadi hanya karena adanya tuntutan kebutuhan untuk berpolitik dan bukan semata karena kerakusan individu.Di sinilah duduk masalahnya. Faktanya hari ini korupsi politik di Indonesia tidak serta-merta marak karena kebutuhan politik (corruption by need), tetapi juga karena kerakusan (corruption by greed). Oleh karena itu, berbagai solusi yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan menekan biaya politik memiliki risiko tersendiri, yaitu bergesernya pemanfaatan uang hasil korupsi politik dari untuk pembiayaan politik menjadi untuk membangun kekayaan individual.Pembiayaan PolitikJika kita menelusuri sumber keuangan partai dalam 10 tahun periode reformasi, terjadi penurunan pembiayaan publik atau subsidi negara terhadap parpol. Di tahun 2001, almarhum Gus Dur mengeluarkan peraturan pemerintah, di mana parpol memperoleh subsidi dari anggaran negara Rp 1.000 per suara yang diperoleh parpol di Pemilu 1999.Tahun 2005, terjadi perubahan peraturan, di mana penghitungan jumlah subdisi diatur berdasarkan jumlah kursi dan bukan jumlah suara, dengan subsidi per kursi Rp 21 juta. Pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten-kota secara umum mengikuti tingkat nasional meski tak selalu demikian karena dalam beberapa kasus kapasitas keuangan pemda tidak mampu mengikuti rumus subsidi di pusat. Perubahan aturan di tahun 2009 tidak menambah atau mengurangi secara signifikan jumlah total subsidi negara terhadap partai dibandingkan dengan tahun 2005.Menurunnya subsidi negara untuk partai ini dibarengi kian besarnya pembiayaan politik. Pembiayaan politik meningkat karena maraknya tren profesionalisme kampanye dan kian apatisnya pemilih yang menyebabkan makin merebaknya politik uang. Jangan lupa, partai juga perlu biaya untuk menjalankan roda organisasi dalam keseharian mereka. Jika kita berharap roda organisasi dijalankan secara profesional, perlu dana cukup untuk menjalankannya.Ini membuat tekanan keuangan terhadap partai kian besar dan ujung-ujungnya, partai dituntut mencari alternatif pembiayaan di luar sumber pembiayaan resmi, yaitu subsidi negara, iuran anggota, dan sumbangan dari perusahaan atau individu tertentu.Alternatif yang sering dijadikan celah partai memperoleh dana tambahan selain dari pemilik modal besar, di antaranya, dari anggota partai di parlemen, kader di kabinet atau ”simpatisan” di posisi penting di pemerintahan, kandidat di pilkada ataupun caleg yang membutuhkan kendaraan politik, calon yang butuh dukungan politik di DPR untuk menduduki posisi penting di pemerintahan, serta lewat proses legislasi di parlemen.Dengan kata lain, berkurangnya subsidi negara terhadap partai yang diikuti kian tingginya biaya politik mendorong partai mengoptimalkan jalan memperoleh dana tambahan yang sering kali dilakukan dengan cara yang rentan terhadap praktik korupsi.Melihat fakta di atas, tampaknya solusi konvensional, seperti menambah pembiayaan partai dari anggaran negara ataupun sekadar menekan biaya politik/kampanye, jadi masuk akal. Namun, ada fakta lain yang patut jadi acuan. Ketika seorang kepala daerah atau politisi terlibat tindak korupsi, sudah pasti kekayaan pribadi mereka meningkat berlipat ganda. Ini menunjukkan korupsi politik tak serta-merta hanya untuk membiayai keperluan politik atau memenuhi tuntutan setoran ke partai, tetapi juga untuk memperkaya diri. Artinya, meski kebutuhan dan pembiayaan politik ditekan, korupsi politik tak serta-merta hilang.Apakah dengan demikian korupsi politik akan berkurang? Patut diragukan. Kemungkinan korupsi politik justru akan tetap marak, sementara uang hasil korupsi disalurkan bukan untuk pembiayaan politik, melainkan masuk ke kocek pribadi. Kemungkinan ini membuat solusi konvensional menekan korupsi politik terlihat sekadar parsial dan bahkan tidak menyentuh akar masalah.Solusi HukumKorupsi politik adalah permasalahan politik yang membutuhkan solusi hukum. Yang harus dijadikan perdebatan hari ini bukan permasalahan kebutuhan dan pembiayaan politik, melainkan bagaimana melakukan pengawasan penggunaan uang dalam politik, kelengkapan aturan terkait sanksi yang berat, dan bagaimana optimalisasi penegakan hukum terkait kasus korupsi politik. Jika ini bisa dioptimalkan, seberapa besar pun kebutuhan dan pembiayaan politik yang muncul di era demokrasi yang kompetitif ini, partai dan politisi akan berpikir dua-tiga kali untuk mencari dan menggunakan sumber-sumber dana ilegal dan ikut dalam tindak korupsi. Solusi hukum inilah yang harus jadi perhatian bersama dan perdebatan publik, bukannya memperdebatkan di mana sumber dana yang tepat untuk partai atau bagaimana menurunkan pembiayaan politik. ● -
Sejarah Masa Depan
Sejarah Masa DepanYonky Karman, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTASumber : KOMPAS, 7 Januari 2012Sejarah biasanya tentang masa lalu yang sudah pasti. Sejarah tidak berurusan dengan masa depan. Seolah-olah sukses tahun lalu berlanjut dan kegagalan tahun lalu diputihkan. Orang memasuki tahun baru tanpa waswas. Namun, awas! Satu hal yang pasti dari masa depan adalah ketidakpastian.Ketidakpastian itu memberi ruang bagi cemas dan selalu ada upaya mengontrol masa depan. Ramalan selalu menarik karena masa depan ditarik jadi bagian masa kini. Awan prospek negatif menyelimuti kawasan Eropa dan masih bergelayut di Amerika Serikat. Pesimisme ekonomi lebih nyata daripada ramalan kiamat semesta 2012.Meski dibelit krisis ekonomi, prospek negara maju tetap kokoh karena kemajuan mereka disertai pendalaman peradaban. Mereka tidak hanya berhasil di arus atas yang serba fisik dan terukur, tetapi juga kuat di arus bawah peradaban.Di negara maju, hukum tegak melindungi kemanusiaan. Penegak hukum berwibawa. Korupsi diharamkan meski masyarakatnya sekuler. Negara tak disandera elite politik dan pengusaha. Rakyat mendapat perlindungan dan jaminan minimal untuk hidup layak. Berbeda dengan negara berkembang yang masih dibelit kemiskinan. Bayi ketujuh miliar lahir di India, Banglades, Filipina, dan Kamboja. Dunia semakin sesak. Kesenjangan sosial semakin lebar.Ambiguitas Masa DepanBerdasarkan data Badan Pusat Statistik per Oktober 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret memang turun satu juta jiwa dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, jumlah penduduk hampir miskin bertambah lima juta jiwa. Satu juta jiwa naik status dari miskin ke hampir miskin. Empat juta jiwa turun status dari tidak miskin ke hampir miskin. Standar garis kemiskinan jauh dari kebutuhan hidup layak.Memang kini ada sekitar 100 juta jiwa kelas menengah di Indonesia. Namun, sebagian besar berpenghasilan 2 dollar AS-4 dollar AS per kapita per hari, masih di bawah upah buruh kasar. Dari 109,7 juta pekerja, sebanyak 70 persen berada di sektor informal. Ketersediaan lapangan pekerjaan dan kelayakan upah buruh masih menjadi soal besar bagi pemerintah.Namun, elite politik terbuai dengan pujian internasional. Tahun baru dimaknai sebagai jalan menghapus jejak kegagalan pemerintah menuntaskan akar masalah bangsa. Seorang aktivis hak asasi manusia, Sondang Hutagalung, tak membiarkan sejarah Indonesia ditulis menurut versi pemerintah. Mahasiswa dengan prestasi akademis itu merasakan kuatnya arus bawah peradaban Indonesia yang berjalan mundur: arus dehumanisasi.Kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia membebani perjalanan bangsa ke depan. Menurut hasil riset Setara Institute, kualitas penegakan HAM 2011 sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya dengan skor berkisar 1,4 hingga 3,1 (skala 0 untuk paling lemah dan 7 untuk paling kuat).Negeri ini sarat tragedi kemanusiaan justru ketika ekonomi sedang baik. Hak warga ditindas. Pelakunya adalah sesama bangsa. Pelakunya adalah alat negara. Belum selesai dengan kasus Freeport, mencuat tragedi Mesuji, lalu insiden Bima, masih menyusul lagi kasus serupa dengan pola yang sama. Capaian ekonomi dalam jangka pendek bukan indikator sukses bangsa, apalagi jika Indonesia hanya menjadi pasar empuk bagi produk impor.Sejarah mencatat bangsa yang pernah besar kemudian tenggelam dari panggung dunia. Sukses bangsa harus dilihat dalam jangka panjang dalam mengikuti arus bawah peradaban. Penguasa di Indonesia menghamba kepada kekuasaan dan tak serius memikirkan masa depan bangsa. Pemerintah tidak memihak petani dan nelayan tradisional. Mereka dibiarkan miskin dan usahanya mati perlahan-lahan oleh kebijakan impor yang dikeluarkan pemerintah.Apa yang dilakukan Sondang di depan Istana bukanlah aksi teatrikal dengan efek sesaat, tetapi memaku Indonesia pada satu titik. Gerak maju optimisme Indonesia tertahan. Pemerintah tidak bisa main-main dengan hak asasi warga. Bangsa tidak mengalami regenerasi yang sehat. Daripada regenerasi kepemimpinan politik, yang terjadi adalah regenerasi koruptor. Korupsi di Indonesia juga korupsi kemanusiaan. Rusaknya kemanusiaan yang adil dan beradab.Membangun Masa DepanMasa depan tidak disongsong, tetapi harus dibangun. Masa depan tak datang sendiri sebagai sesuatu yang sudah jadi dan juga bukan hasil proses hukum alam. Manusia harus mentransformasi masa depan. Daripada mengantisipasi bencana, manusia harus berubah tidak menjadi faktor bencana.Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengantisipasi banjir sebagai siklus lima tahunan, memasang spanduk di lokasi tertentu sebagai lokasi penampungan, dan menyiapkan perangkat evakuasi. Seharusnya perang melawan banjir terwujud dengan warga meninggalkan kebiasaan menyampah. Pemerintah tak membiarkan kota tumbuh menjadi hutan beton. Halaman gedung dan rumah baru tak boleh kedap air karena dibeton atau diaspal.Namun, birokrasi kita lemah dan tidak transparan. Banjir pun dianggap rutinitas dan penanggulangannya diproyekkan. Daripada menegakkan hukum secara konsisten, pemerintah memanfaatkan utang luar negeri untuk mengeruk sungai. Masa depan memang sebuah proyek. Bukan takdir, melainkan sebuah kemungkinan.Seberapa kokoh bangunan masa depan? Betapa kagumnya kita melihat bangunan tua yang berhasil melintasi zaman. Betapa mirisnya kita mendengar laporan banyak gedung sekolah negeri di Tanah Air ambruk. Di antaranya ada sekolah yang baru selesai dibangun, direnovasi total, atau direhabilitasi berat. Bahkan, seorang siswa tewas di Kabupaten Tapanuli Utara.Tragis sekali runtuhnya Jembatan Kartanegara yang dibangun selama enam tahun dengan biaya Rp 150 miliar dan hanya bertahan 10 tahun. Rupanya sejak awal sudah ada kegagalan struktur. Ada pergeseran pada ujung atas tiang tinggi yang berfungsi menopang kabel utama. Ditambah kegagalan sistem sambungan kabel utama dengan kabel penggantung dan ketidakpatuhan terhadap prosedur perawatan. Itu pun dianggap musibah biasa.Jalan sejarah tidak linier, tetapi garis patah-patah. Patahannya bisa dalam. Namun, variabel tetapnya adalah hukum tabur tuai. Menabur korupsi menuai keruntuhan. Yang runtuh awalnya bangunan fisik, akhirnya peradaban. Dusta, kekacauan, dan kekerasan merajalela. Proyeksi masa depan Indonesia mengambil pijakan masa kini dengan keberanian menuntaskan utang persoalan masa lalu. Hanya kebenaranlah yang meninggikan derajat bangsa. ● -
Sekolah Seni Idealnya Bagaimana?
Sekolah Seni Idealnya Bagaimana?Agus Priyatno, DOSEN PENDIDIKAN SENI RUPA DI FBS UNIVERSITAS NEGERI MEDANSumber : KOMPAS, 7 Januari 2012Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengonversi Institut Seni Indonesia menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia menunjukkan kebingungan dalam menerapkan istilah seni dan budaya.Kebingungan seperti ini tampak juga pada pemakaian istilah pada mata pelajaran seni yang diberikan di tingkat sekolah menengah, dengan menjadikan pelajaran seni dan budaya sebagai satu mata pelajaran.Idealnya seni adalah mata pelajaran yang berdiri sendiri dan tak digabung dengan budaya. Dalam satu kata seni saja di dalamnya ada banyak cabang seni, yang tak mungkin semuanya dikuasai seorang guru. Bisa dibayangkan, alangkah tersiksanya seorang guru seni jika harus mengajarkan seni rupa (lukis, patung, arsitektur), seni tari, seni suara, seni drama, dan sebagainya sekaligus. Apalagi jika harus ditambahkan budaya. Praktiknya, pelajaran seni dan budaya di sekolah-sekolah diampu oleh seorang guru seni. Idealnya minimal ada tiga guru seni, yaitu guru seni rupa, seni musik, dan seni tari. Pelaksanaan pendidikan seni di sekolah menengah selama ini masih jauh dari ideal.Jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ingin memberikan wawasan budaya, mestinya tambahkan saja mata pelajaran budaya yang diberikan terpisah, dengan guru pengajar khusus ahli kebudayaan. Jika seni dan budaya digabung, materinya akan jadi sangat luas dan tak mungkin disampaikan dalam satu mata pelajaran saja, apalagi jam pelajaran seni selama ini sangat terbatas diberikan di sekolah-sekolah. Ibaratnya seperti memasukkan air laut ke dalam ember.Kebingungan pemakaian istilah seni dan budaya ternyata tak hanya di tingkat sekolah menengah. Di tingkat perguruan tinggi sama saja. Konversi ISI menjadi ISBI menunjukkan itu.Seni di IndonesiaIndonesia merupakan bangsa yang sedang bertransisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Seni tradisional dan seni modern yang ada sekarang merupakan produk kreatif masyarakat yang mengalami masa transisi ini. Logikanya, seni yang diajarkan di sekolah menengah dan di perguruan tinggi seni adalah seni tradisional dan seni modern. Kebudayaan merupakan pelajaran yang berdiri sendiri dan diberikan terpisah.Di tingkat sekolah menengah, pelajaran seni semestinya dipisahkan dengan pelajaran budaya. Di tingkat perguruan tinggi, pemerintah lebih baik mendirikan dua macam sekolah tinggi seni, yaitu institut seni untuk mewadahi seni tradisional dan institut seni untuk mewadahi seni modern. Kebudayaan jadi satu mata kuliah di dalam sekolah seni ini.Indonesia bangsa multietnis. Banyak suku dan corak seni tradisional di dalamnya. Jika seni setiap daerah ingin dipertahankan dan dikembangkan, sebaiknya setiap provinsi mendirikan institut seni di daerahnya masing-masing sehingga di Indonesia banyak sekolah seni tradisi, seperti Institut Seni Bali, Institut Seni Batak, Institut Seni Bugis, demikian pula dengan Dayak, Jawa, Papua, dan sebagainya.Kurikulumnya dirancang untuk pengembangan seni daerah. Ulos batak berbeda dengan batik jawa, tari saman berbeda dengan tari kecak. Maka, idealnya pengembangannya berada di daerahnya masing-masing.Sebagai bangsa yang sedang menuju bangsa modern, Indonesia perlu memiliki kajian terhadap perkembangan seni modern. Oleh karena itu, Institut Seni Indonesia (ISI) yang kurikulumnya mengajarkan seni modern perlu didirikan di setiap daerah karena setiap daerah di Indonesia juga mengalami modernisasi. Jika di setiap daerah terdapat perguruan tinggi seni tradisional dan modern, kedua aspek seni yang berkembang di Indonesia dapat dipelajari. Dengan demikian, persoalan pendidikan seni di Indonesia dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.Kerancuan IstilahPemakaian istilah seni dan budaya untuk mata pelajaran ataupun untuk nama perguruan tinggi seni merupakan kerancuan. Seni tak setara dengan budaya. Seni ada dalam budaya. Orang belajar budaya suatu bangsa. Maka, seni ada di dalamnya.Jika kita bicara kebudayaan Indonesia, di dalamnya ada produk seni dan bukan seni. Ada produk yang nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). Produk budaya bersifat fisik, baik tindakan maupun konseptual (pemikiran). Seni tari dari Aceh hingga Papua, lukisan tradisional Bali hingga lukisan ekspresionis Affandi, sandal jepit buatan Yogyakarta hingga pesawat terbang buatan Bandung adalah hasil kebudayaan bangsa Indonesia. Selama ini istilah kebudayaan sering tereduksi sehingga pengertiannya jadi sempit. Seolah kebudayaan semacam seni tradisional saja. Hanya berupa tarian, baju tradisional, dan rumah adat.Di sekolah menengah, tujuan siswa belajar seni untuk mengembangkan bakat, kreativitas, dan memperluas apresiasi seni. Siswa belajar seni tak dimaksudkan untuk jadi seniman profesional. Di perguruan tinggi seni, mahasiswa belajar seni untuk jadi ahli (teori) atau seniman profesional (praktik). Dalam mempelajari seni, baik siswa maupun mahasiswa perlu juga wawasan kebudayaan. Untuk memperluas wawasan kebudayaan, cukup mempelajari satu mata pelajaran kebudayaan supaya wawasan seni jadi luas. Lalu untuk apa perubahan ISI menjadi ISBI? ● -
B(D)erita TKI Belum Berakhir
B(D)erita TKI Belum BerakhirFaisal Ismail, DUBES RI UNTUK KUWAIT MERANGKAP KERAJAAN BAHRAIN 2006–2010.
GURU BESAR UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTASumber : SINDO, 7 Januari 2012Baru-baru ini dalam running text di sebuah televisi di Jakarta, Migrant Care menyatakan terdapat 117 TKI di beberapa negara di luar negeri yang terancam hukuman mati dan 32 orang di antaranya telah divonis mati.
Migrant Care sebagai lembaga swadaya masyarakat tentunya mempunyai data yang valid dan akurat tentang kasus-kasus TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati dan telah divonis mati. Jumlah sebanyak 117 TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati adalah jumlah yang sangat besar. Kita sangat prihatin dengan banyaknya kasus TKI yang terancam hukuman mati itu karena masalahnya menyangkut nyawa manusia yang tak dapat dianggap remeh.Juga,jumlah sebanyak 32 TKI di luar negeri yang telah divonis mati adalah jumlah yang sangat besar. Sebagaimana kita ketahui, TKI yang telah dieksekusi mati terjadi di Arab Saudi, Singapura, dan negara lain. Berapa banyak lagikah nyawa TKI yang harus melayang? Kapankah berita dan derita TKI ini berakhir?
Tuti, Ruyati, dan Darsem
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pengungkapan data oleh Migrant Care tentang TKI yang terancam hukuman mati dan telah divonis mati itu,muncul pula kasus Tuti Tursilawati (TKI yang bekerja di Arab Saudi). Dia terancam hukuman mati di negara itu.Sebagaimana diketahui, Arab Saudi memberlakukan hukum kisas (qishash),yakni pemberian hukuman setimpal kepada seseorang yang oleh pengadilan dinyatakan bersalah telah membunuh orang lain.
Eksekusi mati terhadap terpidana ini dilaksanakan dengan cara memancung yang bersangkutan. Merasa sangat peduli terhadap nasib Tuti yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, mantan Presiden BJ Habibie melakukan pendekatan dan upaya kemanusiaan. Habibie langsung menemui dan meminta kepada Pangeran Walid agar Tuti dibebaskan dari hukuman mati. Kita berharap upaya Habibie ini membuahkan hasil. Sayangnya isu ini seperti tenggelam begitu saja dalam gelombang berita yang terus berganti.
Hanya sedikit yang ingat nasib Tuti. Kasus Tuti yang terancam hukuman mati sekarang ini mengingatkan kita kepada kasus TKI Ruyati dan Darsem.Beberapa bulan lalu,Ruyati dihukum pancung karena pengadilan di negara setempat menyatakan bersalah telah membunuh sang majikan. Kasus ini menjadi isu kemanusiaan yang sangat sensitif di negara kita. Para simpatisan Ruyati dan pengunjuk rasa melakukan demonstrasi di muka Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, mengecam hukuman pancung atas Ruyati itu.
Darsem sebenarnya juga dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Kerajaan Arab Saudi.Akan tetapi, karena pemerintah RI membayar diyat sebesar Rp4 miliar lebih,akhirnya Darsem dibebaskan dari hukuman pancung. Darsem kembali ke desa kelahirannya, merasa senang dan bersyukur karena terbebas dari hukuman pancung itu.Sebenarnya,sebelum pemerintah RI membayar diyat,banyak kalangan masyarakat di Tanah Air yang menggalang dana untuk membayar diyat agar Darsem dapat dibebaskan dari hukuman mati.
Penuturan kasus tragis yang menimpa TKI di atas sebenarnya merupakan sebagian kecil dari kasus tragis yang lebih besar dan berkepanjangan sejak dimulainya pengiriman TKI ke luar negeri pada 1970- an. Selain dihukum mati, para TKI (TKW) mengalami kasus lain yang juga sangat memprihatinkan. Di negara-negara Timur Tengah, kasus yang dialami oleh para TKW antara lain pelecehan seksual, penyiksaan, perlakuan yang tidak manusiawi, diberi beban kerja yang berlebihan (terutama saat Ramadan) sehingga kurang istirahat, dan gaji tidak dibayar.
Di Kuwait, misalnya, seorang TKW disiksa sehingga kondisinya sangat memprihatinkan dan “dibuang” dekat tong sampah.Dia ditolong oleh pekerja migran lain dan langsung dibawa ke rumah sakit.Di Bahrain, seorang TKW ditusuk lehernya dengan obeng dan nyawanya melayang seketika. Akibat pelecehan seksual, sejumlah TKW yang hamil melarikan diri ke KBRI di Kuwait.
Atase Tenaga Kerja dan petugas KBRI Kuwait membawa mereka ke rumah sakit saat mereka melahirkan bayi mereka. Bayi mereka menjadi masalah keimigrasian. KBRI menghendaki agar para bayi itu dapat dipulangkan ke Indonesia bersama ibu-ibu mereka. Di pihak lain,Kemlu Kuwait tidak membolehkan para bayi itu dipulangkan ke Indonesia karena nama-nama bayi itu tidak tercantum dalam paspor ibu mereka.
Derita Belum Berakhir
Benar,para TKI yang bekerja di luar negeri memperoleh gaji atau upah yang dapat menopang ekonomi keluarga di Tanah Air. Pemerintah juga mendapatkan pemasukan dana dari program pengiriman TKI ke luar negeri ini. PJTKI dan PJTKA juga meraup keuntungan besar dari sektorini.Namun,masihbanyak masalah yang harus dibenahi untuk menata pengiriman TKI ke luar ne-geri.
Pertama,cek kesehatan TKI yang benar-benar akurat karena terdapat sejumlah TKI yang meninggal dunia di negara penempatan. Kedua, pelatihan kerja yang baik dan berkualitas di Tanah Air agar mereka siap bekerja secara mental dan fisikal.Ketiga, pelatihan bahasa agar para TKI dapat berkomunikasi dengan majikan asing (pengguna jasa) dengan baik sehingga tidak terjadi salah pemahaman.
Keempat, khusus untuk pengiriman TKI ke negara-negara Timteng, harus dibuat memorandum of understanding (MoU) bagi TKI nonformal agar terlindungi. Sampai saat ini,MoU antara pemerintah RI dan negara-negara Timteng (seperti Arab Saudi dan Kuwait) tentang pengiriman TKI nonformal belum terealisasikan.Pemerintah RI sudah sering melakukan inisiatif, tapi respons dari negara- negara Timteng belum seperti yang diharapkan.
Sangat aneh, walaupun belum ada MoU tentang pengaturan pengiriman TKI nonformal, pengiriman TKI oleh para PJTKI (tentunya setelah mendapat izin dari Kemenakertrans dan BNP2TKI) terus berjalan selama bertahun-tahun. Sudah dapat diprediksi, tanpa adanya MoU dimaksud, pengiriman TKI ke negara-negara penempatan di Timteng akan terus bermasalah.Walaupun sudah ada moratorium, hal itu belum menyelesaikan akar masalahnya. Yang terus menanggung penderitaan berkepanjangan adalah para TKI.Berita dan derita TKI belum berakhir.
● -
Cari Muka atau Coreng Muka?
Cari Muka atau Coreng Muka?Triyono Lukmantoro, DOSEN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI, FISIP, UNDIP SEMARANGSumber : SINDO, 7 Januari 2012Banyak pujian ditujukan pada Wali Kota Solo Joko Widodo yang mengganti mobil dinasnya dengan mobil rakitan “Kiat Esemka”. Setidaknya, tindakan Jokowi itu merupakan sebentuk apresiasi terhadap prestasi anakanak negeri sendiri.
Namun,tidak demikian halnya dengan Gubernur Jateng Bibit Waluyo. Menurut penilaian Bibit, apa yang dijalankan Jokowi merupakan kesembronoan dan mencari popularitas belaka. Pernyataan lengkap Bibit, sebagaimana banyak dikutip media massa, seperti berikut ini: “Bangga sih boleh karena anak-anak kita bisa berkarya luar biasa.Tapi kebanggaan itu, ya harus terukur.Lhaini belum apa-apa, belum teruji kok sudah berani pasang pelat nomor kendaraan dinas.Kalau nanti sampai nabrak kerbau gimana. Tidak usah cari mukalah. Itu sembrono namanya.” Tentu saja, kata-kata yang diucapkan Bibit itu dianggap terlalu kasar karena merendahkan martabat Jokowi.Ungkapan “cari muka” bukan hanya dapat dimaknai mencari popularitas,sehingga sanjungan dari banyak orang mampu bergulir secara bertubi-tubi.
“Cari muka”adalah frasa yang memiliki arti “menjilat” dan memberikan kesenangan tertentu kepada seseorang yang lebih tinggi derajatnya, agar memperoleh sanjungan, pujian, dan ganjaran. Tepatkah ungkapan “cari muka” ditujukan kepada seseorang yang berupaya memberikan penghargaan kepada anak-anak bangsa sendiri?
Menunjukkan Kemarahan
Ungkapan berbahasa yang serbakeras (dan bahkan menjurus pada kekasaran) yang dilakukan Bibit terhadap Jokowi, bukan hanya sekali ini terjadi. Ketika muncul polemik pembangunan mal di bekas Pabrik Es Saripetojo, Purwosari, Laweyan,Solo,akhir Juni 2011, Bibit menyatakan: ”Wali Kota Solo itu bodoh, kebijakan gubernur kok ditentang.Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana? Siapa yang mau membangun?”
Pernyataan dari seorang atasan (gubernur) kepada bawahannya (wali kota) itu pantas disebut “mencoreng muka”. Sebabnya adalah kata-kata itu,selain terkesan vulgar,juga menunjukkan kemarahan, arogansi,dan bermaksud mempermalukan orang lain.Dalam situasi komunikasi yang dijejali kekesalan itu, Jokowi merespons dingin. ”Ya, memang kenyataannya saya itu bodoh. Saya masih harus belajar banyak,” katanya. Jokowi juga berkata: ”Saya memang bodoh.
Dan heran saya, kenapa orang Solo memilih orang bodoh macam saya untuk jadi wali kota dua periode.” Berkomunikasi melalui perantaraan media massa tidak hanya harus berbekal keberanian untuk melontarkan sejumlah kata. Ketika seorang pemimpin berkomentar tentang tindakan bawahannya,bekal atau kemampuan lain yang tetap harus dipegang adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan kata.
Hal ini tidak berarti bahwa gaya bahasa yang eufemistis (penghalusan kata) terusmenerus bisa digunakan. Eufemisme yang berlebihan pun pada akhirnya menjadikan kata-kata mampu menyelubungi, dan malahan mendistorsi,fakta yang dimaksudkannya. Dalam persoalan ini, seorang pemimpin dapat menyimak pemikiran Jurgen Habermas tentang empat klaim kesahihan dalam berkomunikasi. Pertama, kebenaran.
Apa yang dikatakan memang kenyataan yang sesungguhnya. Kedua, ketepatan. Apa yang dikemukakan memakai kata-kata yang cermat.Ketiga, ketulusan.Apa yang disampaikan merupakan ungkapan keikhlasan. Keempat, kebermaknaan.Apa yang dituturkan bisa dimengerti artinya. Hal itu menunjukkan kata-kata berperan penting.
Penghadiran Kembali
Kata-kata sebagai komponen bahasa memang bukan seperti cermin yang bisa memantulkan fakta atau realitas secara sempurna. Kata-kata merupakan suatu sistem representasi (penghadiran kembali) kenyataan yang bersifat konstruktif. Kata-kata itu membentuk kembali kenyataan secara dinamis dan selektif.Namun, dari sifat kata-kata yang bercorak representatif itulah kita jadi paham betapa penting aturan budaya yang melingkupi sistem penggunaan kata-kata itu.
Artinya adalah pemakaian kata-kata tertentu selalu terikat dengan nilai rasa berbudaya masyarakatnya. Ketika seorang pejabat memilih frasa “cari muka”, yang juga digunakan untuk menjalankan aksi “coreng muka”, terhadap pihak lain yang tidak sejalan dengan cara berpikirnya, maka ada dorongan kesombongan yang mencuat di sana. Dalam kajian etika, aksi berbahasa itu disebut sebagai hubris, yakni terlalu percaya diri, tidak tahu ukuran, dan memerosotkan wibawa pihak lainnya.
Sebab, muka dalam pengertian itu, tidak sekadar wajah, bagian tubuh paling penting ketika seseorang terlibat dalam aksi komunikasi yang bersifat dua arah. Muka, demikian Erving Goffman (1922–1982) menyatakan, adalah nilai sosial positif yang diklaim oleh seseorang ketika menjalankan kontak tertentu dengan pihak lainnya. Muka adalah gambaran tentang diri dalam pengertian atribut- atribut yang disetujui secara sosial.
Ketika menjalin kontak dengan pihak lain, bagian muka itulah yang memberikan reaksi secara segera.Perasaan senang atau benci dapat dilihat pada bagian muka atau wajah seseorang. Dalam pengertian komunikasi yang lebih luas,muka dapat pula berarti harga diri,martabat, atau prestise. Sebagai contoh, kita bisa menyimak sejumlah frasa yang melibatkan kata muka, seperti “cari muka”,“ coreng muka”,dan “kehilangan muka”.
Semua frasa itu menunjukkan muka memiliki relevansi dengan jalinan yang memuat masalah gengsi individual, kehormatan sosial, dan keberadaban masyarakat. Bermain- main kata secara ceroboh pasti mengakibatkan “menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”. Siapa yang sebenarnya senang cari muka ataupun bertindak bodoh? Bahasa menunjukkan bangsa. Katakata memperlihatkan harga diri penuturnya.
● -
Derita Sekolah Australia Berbahasa Indonesia
Derita Sekolah Australia Berbahasa IndonesiaMaryanto, PEMERHATI POLITIK BAHASASumber : KORAN TEMPO, 7 Januari 2012Sangat menggembirakan cerita bahasa (kebangsaan) Indonesia mulai dikenalkan dengan sistem pendidikan sekolah Australia pada 1955. Lewat jendela bahasa, Australia tampak ingin akrab bertetangga dengan Indonesia. Namun ada saja gangguan terhadap hubungan akrab dua bangsa ini. Dampak gangguan pun terlihat di sekolah Australia yang sekarang menderita kemerosotan jumlah anak yang tertarik belajar bahasa Indonesia. Ini tentu cerita duka bagi bangsa Indonesia.Bangsa Indonesia patut prihatin kalau membaca laporan penelitian Michelle Kohler dan Phillip Mahnken (2010) mengenai situasi terbaru pendidikan bahasa Indonesia di sekolah Australia. Laporan yang berjudul “The Current State of Indonesian Language Education in Australian Schools” ini memuat informasi perkembangan mutakhir bahasa Indonesia di Negeri Kanguru. Bahasa Indonesia dilaporkan sudah kehilangan rata-rata 10 ribu siswa per tahun selama empat tahun terakhir. Dari keseluruhan populasi siswa sekolah Australia, hanya 5,6 persen atau sekitar 191 ribu siswa yang masih memilih belajar bahasa Indonesia.Menurut laporan Kohler dan Mahnken, bahasa Indonesia mulai menderita di sekolah Australia, setelah terjadi guncangan bom Bali pada 2002. Bahasa Indonesia makin menderita kehilangan siswa karena beberapa tahun setelah tragedi bom Bali tersebut, pemerintah Australia berhenti mengucurkan dana pendidikan sekolah bagi bahasa-bahasa Asia, yang di dalamnya hanya terdapat bahasa Indonesia, di samping bahasa Korea, Jepang, dan Cina. Derita sekolah Australia yang hendak berbahasa Indonesia ini perlu segera diatasi oleh bangsa Indonesia, terutama pemerintah Indonesia.Bukan MelayuPemerintah Indonesia–dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009–berkewajiban menyelenggarakan program internasionalisasi bahasa Indonesia. Program internasionalisasi ini sudah dimulai oleh pemerintah Australia lebih dari 50 tahun lalu dengan memasukkan bahasa Indonesia ke dalam sistem sekolah Australia. Program bahasa Indonesia ini terselenggara tentu bukan karena keinginan membangkitkan kembali bahasa Melayu yang pernah berjaya di kawasan Asia.Di tengah krisis kehadiran siswa sekolah Australia pada program bahasa Indonesia, telah terjadi promosi pendidikan bahasa Melayu. Seorang diplomat yang bekerja di Australia menuturkan cerita terjadinya promosi bahasa Melayu untuk menggantikan bahasa Indonesia. Menurut penuturan diplomat Indonesia itu, di era pasca-tragedi bom Bali, anak-anak Australia ditarik keluar dari Australia untuk melanjutkan program pendidikan bahasa Indonesia yang berisi pengajaran bahasa Melayu. Program pendidikan yang bernilai bisnis itu tidak dilaksanakan di Indonesia.Tragedi bom Bali–yang dilaporkan Kohler dan Mahnken sebagai perusak citra bahasa Indonesia di sekolah Australia–ternyata berdampak menggoyahkan konstruksi bahasa kebangsaan Indonesia. Setidaknya di kalangan anak Australia, sudah tidak ada kepercayaan yang kuat terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia makin ditinggalkan para pelajar Australia. Sementara itu, anak-anak Australia yang masih tertarik belajar bahasa Indonesia sudah mulai dikonstruksi alam pikirannya dengan berbahasa Melayu.Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu dalam pengertian sejarah purba. Ini sama halnya dengan bahasa Cina dan Jepang. Bahasa Jepang yang tertulis dalam bentuk kanji (pada abad ke-5) pernah disebut sebagai kanbun, yang berarti “tulisan bahasa Cina”. Sekarang bahasa Cina dan Jepang–karena penuturnya masing-masing merupakan entitas kebangsaan yang mandiri–berkembang tanpa saling mengikat. Cina dan Jepang keduanya eksis di dunia internasional sebagai dua bangsa dan–sekaligus–dua bahasa yang terpisah.Bahasa Indonesia memang pernah bertulisan bahasa Melayu (termasuk Melayu Arab), tapi sekarang berkembang secara mandiri. Sudah saatnya tidak ada intervensi bahasa Melayu. Ini merupakan tugas segenap bangsa Indonesia, terutama pemerintah Indonesia, melepaskan bahasa Indonesia dari ikatan belenggu bahasa Melayu. Untuk itu, program internasionalisasi bahasa Indonesia yang akan segera dijalankan pemerintah tidak perlu mengikut-ikutkan pertimbangan bahasa Melayu yang masih dipakai di luar Indonesia, karena bahasa Indonesia sekarang bukan Melayu.Citra BangsaKerusakan citra bahasa Indonesia yang terjadi di sekolah Australia bisa disebut sebagai cermin kerusakan citra bangsa Indonesia. Hilangnya popularitas bahasa Indonesia dalam mata pelajaran language other than English (LOTE) di Australia disebabkan oleh hancurnya citra bangsa Indonesia sebagai akibat bom Bali 2002 dan tragedi berikutnya, seperti peristiwa bom Marriott di Jakarta pada 2009. Di mata anak sekolah Australia, akibat tragedi itu, wajah bahasa Indonesia tidak menarik lagi.Fakta bangsa Indonesia sebagai konsumen terbesar daging sapi Australia tidak cukup meningkatkan daya tarik pelajaran bahasa Indonesia. Padahal, dari segi keuntungan ekonomi nasional, pasti sangat besar hasil yang diraup dengan memperdagangkan 70 persen sapi peternak Australia ke Indonesia. Selain hubungan perdagangan seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam laporan Kohler dan Mahnken, bahasa Indonesia sangat penting dipelajari di Australia dengan alasan kedekatan geografis serta keamanan kawasan.Di mata masyarakat Australia, citra bangsa Indonesia perlu dipulihkan. Sekitar 600 ribu pelajar Indonesia di Australia harus berani berkata sebenarnya bangsa Indonesia juga korban (bukan otak pelaku) bom Bali. Di sana, untuk pemulihan citra itu, para pelajar Indonesia perlu difungsikan sebagai duta bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Khusus mereka yang belajar pada tingkat magister dan doktor, perlu diberi tugas promosi bahasa serta budaya Indonesia. Sebelum mereka berangkat belajar, wawasan kebahasaan dan kebudayaan Indonesia mereka perlu diuji terlebih dulu. Jika tidak memiliki wawasan itu, mereka tidak perlu dikirim ke luar negeri.Di dalam negeri juga perlu ditempuh langkah-langkah penguatan citra bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Citra bahasa persatuan ini sekarang mulai pudar, dan gejalanya tentu sudah dilihat oleh masyarakat internasional, termasuk Australia. Dalam kaitan itu, menurut Sugiyono dan kawan-kawan (2011), sangat kuat kecenderungan bahasa Indonesia dipandang rendah atau-tepatnya–lebih rendah daripada bahasa daerah. Bahasa daerah sekarang dinilai oleh masyarakat Indonesia sendiri lebih penting daripada bahasa Indonesia.Sikap kedaerahan yang amat berlebihan pada masyarakat Indonesia terlihat baru-baru ini dari Kongres Bahasa Jawa Ke-5 yang berlangsung di Surabaya pada akhir November 2011. Pada kongres bahasa daerah itu, bahasa Indonesia tidak memperoleh kedudukan dan fungsi. Bahkan pembicara yang dianggap berbahasa Indonesia dipermalukan oleh peserta kongres. Peristiwa kongres yang serupa dengan bahasa (daerah) Jawa akan terus bermunculan. Sudah saatnya kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia ditata kembali oleh pemerintah Indonesia.Langkah yang perlu ditempuh pemerintah ialah reorientasi perencanaan bahasa nasional dengan mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam wadah bahasa persatuan Indonesia. Perbedaan bahasa lokal (daerah) dan nasional perlu dirancang berbentuk sebuah kontinum, bukan dikotomi seperti sekarang ini. Jika konstruksi kebudayaan bangsa ini tidak kuat dari sisi bahasa persatuan, Indonesia akan punya citra sebagai bangsa yang tercabik-cabik dan bahasa Indonesia akan terus kehilangan prospek jangka panjang ke depan. Untuk belajar bahasa Indonesia, orang pun bakal malas.Anak-anak sekolah Australia sudah terlihat mulai malas memilih mata pelajaran bahasa Indonesia. Tragedi bom Bali memang menyisakan derita bagi keberadaan bahasa Indonesia di Australia, tapi tragedi kemanusiaan itu tentu tidak menjadi satu-satunya faktor pemicu kemerosotan jumlah pembelajar bahasa Indonesia. Daya tarik bahasa Indonesia sudah merosot di dalam negeri sendiri.Jangankan anak sekolah Australia, anak sekolah Indonesia saja sudah enggan menerima mata pelajaran bahasa Indonesia. Ketika disuruh giat belajar bahasa Indonesia, tak jarang mereka menjawab, “Males, ah!” ●