Blog

  • Ancaman Lain Kemandirian KPU

    Ancaman Lain Kemandirian KPU
    Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
    Sumber : KOMPAS, 9 Januari 2012
    Putusan Mahkamah Konstitusi No 81/PUU-IX/2011, Rabu (4/1), menutup kesempatan bagi anggota partai politik menjadi calon anggota Komisi Pemilihan Umum atau calon anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum. Jika hendak berkarier sebagai penyelenggara pemilu, kesempatan diberikan bagi mereka yang mundur dari partai politik sekurang-kurangnya lima tahun pada saat pendaftaran.
    Dengan putusan itu, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dikembalikan pada semangat Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang mandiri. Keberanian menganulir anggota parpol membuktikan kemampuan MK menjaga konstitusi dan demokrasi. Memberi ruang bagi parpol potensial mengancam kemandirian penyelenggaraan pemilu.
    Masalahnya, apakah pasca-putusan MK No 81/PUU-IX/2011 proses mendapatkan calon anggota penyelenggara pemilu lebih aman dari kemungkinan ”gangguan” kekuatan politik di DPR? Pertanyaan ini menjadi penting karena putusan MK lebih mengantisipasi kemungkinan ancaman setelah anggota penyelenggara pemilu terpilih. Padahal, potensi serupa dapat pula muncul pada tahapan seleksi.
    Ancaman di Hilir
    Membaca secara cermat permohonan yang diajukan Aliansi Masyarakat Amankan Pemilu (terdiri dari 23 organisasi dan 113 individu yang prihatin atas penyelenggaraan pemilu), muatan yang diuji ke MK hanya mengantisipasi potensi ancaman setelah penyelenggara pemilu terbentuk, terutama Pasal 11 Huruf i dan Pasal 85 Huruf i UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara substantif, pengujian hanya terkait dengan masalah yang mungkin terjadi di tingkat hilir.
    Kedua ketentuan ini memberikan ruang bagi anggota parpol mencalonkan diri sebagai anggota KPU/Bawaslu sepanjang ia mengundurkan diri saat mendaftar. Sesuai dalil pemohon, strategi mengundurkan diri dari keanggotaan parpol saat mendaftar memiliki tujuan jelas, yaitu menempatkan kader partai menjadi anggota penyelenggara pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Tak hanya itu, keterlibatan partai sebagai penyelenggara juga berakibat pada tak adanya kepercayaan (distrust) atas penyelenggaraan pemilu.
    Argumentasi yang dibangun oleh para pemohon mendapat dukungan MK. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, untuk memutus hubungan antara anggota yang mencalonkan dan partainya, perlu ditetapkan tenggang yang patut dan layak sesuai prinsip kemandirian institusi penyelenggara pemilu. Karena basis argumentasi itu, MK mengembalikan batas waktu UU No 22/2007: telah mengundurkan diri sekurang-kurangnya lima tahun pada saat mendaftar sebagai calon.
    Ancaman di Hulu
    Masalah hilir lain yang juga dikabulkan MK adalah Pasal 109 Ayat (4) Huruf c, Huruf d, dan Ayat (5) UU No 15/2011. Substansi permohonan terkait dengan komposisi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Persoalan yang diuji, kehadiran satu orang utusan setiap partai yang ada di DPR dan satu orang utusan pemerintah yang menjadi anggota DKPP. Sama dengan orang partai di KPU/Bawaslu, unsur partai dan pemerintah di DKPP potensial menyandera kemandirian penyelenggaraan pemilu.
    Terkait hal itu, MK mempertimbangkan, jika anggota DKPP diisi peserta pemilu jelas berpotensi menyandera kemandirian penyelenggara pemilu. Karena itu, MK menyatakan anggota DKPP dari partai dan pemerintah bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945. Tak berhenti sampai di situ, MK juga mengubah komposisi keanggotaan DKPP ”hanya” diisi satu orang wakil KPU, satu orang wakil Bawaslu, dan lima tokoh masyarakat.
    Banyak kalangan menyambut gembira putusan MK itu. Namun, dengan membaca lebih jauh UU No 15/2011, ancaman terhadap kemandirian KPU masih belum sepenuhnya lenyap. Ancaman lain yang tak pernah dibicarakan dengan serius, tersedianya ruang bagi partai di DPR ”mengganggu” proses seleksi calon anggota KPU/Bawaslu. Dalam batas tertentu, ancaman di hulu tak kalah serius dibandingkan dengan potensi ancaman di hilir.
    Ancaman ini dapat dibaca dalam Pasal 15 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (5) UU No 15/2011 yang memberi peluang bagi DPR menolak sebagian dan/atau semua calon yang dipilih Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan Calon Anggota Bawaslu (Tim Seleksi). Apabila DPR menolak sebagian dan/atau semua calon yang dihasilkan Tim Seleksi, presiden harus mengajukan kembali dua kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan. Apalagi, secara eksplisit dinyatakan, pengajuan ulang calon anggota KPU/Bawaslu tak boleh berasal dari nama yang telah diajukan ke DPR sebelumnya.
    Beranjak dari pengalaman hasil Panitia Seleksi Pimpinan KPK, secara jelas dapat dibaca bahwa sebagian besar kekuatan partai DPR memiliki keinginan kuat menolak hasil pansel. Jika saat itu ada aturan yang memungkinkan DPR menolak, hampir dapat dipastikan hasil pansel akan ditolak oleh partai di DPR. Untungnya, tekanan publik mampu menahan keinginan DPR menolak calon anggota KPK sehingga tak perlu dilakukan seleksi ulang.
    Apabila diletakkan dalam mekanisme kenegaraan, substansi Pasal 15 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (5) UU No 15/2011 sangat tak menghargai posisi pemerintah. Karena calon anggota KPU/Bawaslu didapatkan dari proses seleksi yang dilakukan sebuah tim independen, tak ada alasan bagi DPR menolak nama yang diajukan presiden. Penolakan DPR hanya dimungkinkan jika pemerintah mengajukan nama ke DPR tanpa proses seleksi.
    Secara teoretis, dengan posisi KPU/Bawaslu sebagai lembaga negara independen, proses pengisian tidak boleh dilakukan hanya oleh satu lembaga. Untuk ini, presiden dan DPR terlibat dalam proses yang saling membatasi. Karena itu, presiden hanya memiliki wewenang sebatas menemukan calon dua kali dari yang dibutuhkan. Sementara itu, DPR dibatasi hanya memilih calon yang diajukan presiden. Pengisian yang saling membatasi itu menunjukkan bekerjanya mekanisme checks and balances dalam pengisian lembaga negara independen.
    Dengan adanya ancaman di tingkat hulu tersebut, seharusnya Aliansi Masyarakat Amankan Pemilu membawa persoalan ini ke MK. Sulit bagi kita membayangkan jika DPR benar-benar nekat menggunakan Pasal 15 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (5) UU No 15/2011 untuk menolak hasil Tim Seleksi. Selain tidak mudah menemukan calon yang memenuhi semua kriteria untuk penyelenggaraan pemilu yang demokratis, ketentuan tersebut jelas menjadi ancaman serius untuk kemandirian KPU/Bawaslu.
  • Pimpinan Daerah Pecah Kongsi

    Pimpinan Daerah Pecah Kongsi
    Ramlan Surbakti, GURU BESAR PERBANDINGAN POLITIK PADA FISIP UNAIR
    Sumber : KOMPAS, 9 Januari 2012
    Pada 2010, hanya 6,15 persen dari 244 pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang kembali mencalonkan diri bersama-sama untuk masa jabatan berikutnya. Sementara 93,85 persen lainnya tidak berlanjut (Kompas, 28 Desember 2011).
    Tidak dijelaskan berapa dari 93,85 persen pasangan itu maju lagi dengan pasangan berbeda, berapa persen salah satunya tak mencalonkan, dan berapa persen keduanya tidak mencalonkan diri. Meski demikian, memang dapat disimpulkan, pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto hanya dua contoh dari fenomena umum pecah kongsi (mengutip judul berita Kompas tersebut).
    Faktor Penyebab
    Setidaknya ada dua penyebab pecah kongsi tersebut. Pertama, proses pencalonan kepala dan wakil kepala daerah tidak sejalan dengan sifat hierarkis kepemimpinan pemerintahan daerah.
    Suatu partai atau gabungan parpol dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah jika memiliki sekurang-kurangnya 15 persen kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya 15 persen suara sah dari pemilu anggota DPRD daerah tersebut. Hanya sedikit partai di daerah yang memiliki kursi sekurang-kurangnya 15 persen dari kursi DPRD.
    Karena itu, untuk memenuhi persyaratan tersebut, tidak hanya parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD saja yang harus bergabung, tetapi juga partai yang memiliki sedikit kursi di DPRD. Suatu parpol bersedia bergabung dalam pengajuan calon hanya apabila calon kepala dan wakil kepala daerah ditentukan sebagai satu paket. Hal ini tidak lain karena partai itu telah menerima ”sewa perahu” atau ”uang mahar” dari pasangan calon tersebut.
    Proses penentuan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sebagai satu paket ini tidak saja menempatkan calon wakil kepala daerah dalam ”kedudukan setara” dengan calon kepala daerah. Dalam banyak hal, calon wakil kepala daerahlah yang menyebabkan mereka maju sebagai pasangan calon dan terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
    Sebaliknya, kepemimpinan pemerintahan daerah dalam bidang eksekutif secara normatif, di mana pun, memang hierarkis: kepala daerah menempati posisi puncak (nomor satu), sedangkan wakil kepala daerah posisi nomor dua. Kalau wakil kepala daerah yang berperan besar dalam pengajuan sebagai pasangan calon dan keterpilihan, lalu sang wakil menuntut peran lebih besar dari sekadar peran wakil kepala daerah, kepala daerah memandang tuntutan seperti ini tidak saja bertentangan dengan undang- undang, tetapi juga ancaman bagi kekuasaan dan peluangnya maju untuk periode berikut.
    Penyebab kedua, baik kepala daerah maupun wakilnya kurang memiliki kepemimpinan politik yang memadai. Kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan visi, misi, dan program pengembangan daerah yang sudah dijanjikan kepada para pemilih.
    Kebanyakan kepala daerah di Indonesia cenderung memahami dan mempraktikkan kepemimpinan sebagai konsentrasi dan akumulasi kekuasaan pada dirinya. Berbagi tugas dan kewenangan dipandang sebagai kehilangan wibawa. Padahal, dengan pendelegasian tugas dan kewenangan kepada wakil kepala daerah dan bawahan yang lain tidak saja akan meningkatkan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah, juga meningkatkan kewibawaan kepala daerah.
    Sebaliknya, wakil kepala daerah memahami dan mempraktikkan kepemimpinan daerah bukan dalam rangka melaksanakan peran sebagai orang kedua dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan sebagai pihak yang paling ”berkeringat” dalam pencalonan dan keterpilihan. Karena itu, dia menuntut agar diberi kekuasaan penuh atas sejumlah urusan. Kalau tuntutan ini dipenuhi, niscaya akan terjadi ”matahari kembar” dalam mengurus daerah. Konon, kekuasaan itu diperlukan sebagai sarana memperoleh pengganti uang yang telah dikeluarkan dalam jumlah besar pada masa pencalonan.
    Solusi
    Guna mencegah pecah kongsi tersebut, setidak-tidaknya tiga alternatif solusi ditawarkan oleh berbagai pihak. Pertama, mengusulkan agar jabatan wakil kepala daerah ditiadakan. Tidak saja karena UUD 1945 tidak menyebut jabatan wakil kepala daerah, juga jabatan itu lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
    Dua catatan perlu diajukan terhadap usul ini. Pertama, kalau tidak disebutkan dalam UUD tak berarti melanggar konstitusi jika UU menetapkan keberadaan jabatan wakil kepala daerah. Kedua, apakah fungsi wakil kepala daerah ikut menciptakan pemerintahan daerah yang efektif?
    Pasal 26 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan dua peran spesifik kepada wakil kepala daerah, yaitu Ayat (1) Huruf b dan c untuk wakil gubernur dan Huruf b dan d untuk wakil bupati/wali kota. Pasal itu menugasi wakil kepala daerah memberikan saran dan pertimbangan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada kepala daerah {Ayat (1) Huruf e}; melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah jika kepala daerah berhalangan {Ayat (1) Huruf g}; dan menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya jika kepala daerah meninggal, berhenti, diberhentikan, atau tak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya (Ayat 3).
    Dan, akhirnya, dua peran yang tidak spesifik diberikan kepada wakil kepala daerah, yaitu Ayat (1) Huruf a dan f. Kedua peran yang tidak disebutkan secara spesifik tersebut sehingga sangat bergantung pada kepemimpinan kepala daerah adalah membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dan melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lain yang diberikan oleh kepala daerah.
    Solusi kedua, pemerintah mengusulkan agar calon wakil kepala daerah tidak dipilih melalui pemilihan umum, tetapi ditetapkan oleh kepala daerah terpilih dari kalangan PNS yang memenuhi persyaratan.
    Tiga keberatan dapat diajukan terhadap usul ini. Pertama, fungsi yang dilaksanakan oleh wakil kepala daerah, sebagaimana dikemukakan di atas, termasuk kategori fungsi politik. Jabatan wakil kepala daerah bukan jabatan karier berdasarkan keahlian dan pengalaman kerja, melainkan jabatan politik atas dasar kepercayaan partai dan rakyat. Karena jabatan wakil kepala daerah adalah jabatan politik, pencalonan dan pemilihan wakil kepala daerah juga harus mengikuti proses politik yang demokratis.
    Kedua, dewasa ini hanya tersedia dua jabatan politik pada jajaran eksekutif daerah, yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain kedua jabatan ini, diperlukan jenis jabatan politik lain berupa political appointees, yaitu penjabat yang ditunjuk oleh kepala daerah (setelah mendengarkan pendapat wakil kepala daerah). Penunjukan berdasarkan dua kriteria: keahlian dalam salah satu atau lebih bidang pemerintahan daerah serta secara politik mendukung visi, misi, dan program pengembangan daerah yang ditawarkan pasangan tersebut kepada warga daerah pada masa kampanye.
    Peran yang harus dilaksanakan oleh pemegang jabatan politik ini adalah: (a) menjabarkan visi, misi, dan program pengembangan daerah tersebut menjadi rancangan perda APBD dan nonAPBD untuk diperjuangkan jadi perda; (b) menjabarkan perda yang disepakati dengan DPRD jadi peraturan kepala daerah dan kebijakan kepala daerah lain; serta (c) mengarahkan dan mengendalikan birokrasi daerah dalam melaksanakan perda, peraturan kepala daerah, dan kebijakan daerah lain.
    Ketiga, seorang pegawai negeri yang diangkat sebagai wakil kepala daerah tak dapat menggantikan kepala daerah jika kepala daerah berhalangan tetap. Pengisian jabatan politik oleh PNS bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat.
    Mekanisme Baru
    Penulis sendiri mengusulkan solusi ketiga, yakni agar calon wakil kepala daerah ditentukan oleh calon kepala daerah terlepas dari pengaruh parpol. Parpol atau gabungan parpol hanya dapat mengajukan seorang calon kepala daerah kepada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
    Dua ketentuan perlu diberlakukan pada pengajuan calon ini. Pertama, hanya partai yang memenuhi ambang batas masuk DPRD yang dapat mengajukan calon kepala daerah. Ambang batas masuk DPRD provinsi diusulkan 2,5 persen dan ambang batas masuk DPRD kabupaten/kota 3,5 persen karena jumlah partai di DPRD kabupaten/kota dengan beberapa perkecualian sebesar 13-22 partai. Partai yang tidak memenuhi ambang batas masuk (apalagi tak memiliki kursi di DPRD) tidak dapat mengajukan calon kepala daerah.
    Kedua, proses penentuan calon kepala daerah dari setiap partai atau gabungan partai harus bersifat terbuka, kompetitif, dan demokratis. Konkretnya, pengurus partai mempersiapkan sejumlah calon yang dipandang tepat dari segi kepemimpinan dan keterpilihan. Para calon tersebut dipersilakan berkompetisi untuk meyakinkan anggota partai agar memilihnya sebagai calon dari partai tersebut.
    Setelah ditetapkan secara resmi oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota, calon kepala daerah kemudian menentukan dan mengajukan calon wakil kepala daerah kepada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota untuk maju bersama melalui pemilu.
    Mekanisme pencalonan seperti itu tak saja mencegah ”perasaan lebih berjasa” pada diri wakil kepala daerah, tetapi juga jelas menempatkan calon wakil kepala daerah pada posisi nomor dua. Mekanisme pencalonan wakil kepala daerah seperti ini sejalan dan sesuai pola kepemimpinan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
    Namun, penentuan calon wakil kepala daerah oleh calon kepala daerah saja tak cukup untuk mencegah pecah kongsi. Seorang kepala daerah wajib memiliki kepemimpinan politik bukan sebagai konsentrasi dan akumulasi kekuasaan, melainkan sebagai pendelegasian tugas dan kewenangan kepada wakil kepala daerah dan jabatan lain demi efektivitas pemerintahan daerah.
  • Menelisik Akar Konflik Agraria

    Menelisik Akar Konflik Agraria
    Sukirno, DOSEN HUKUM ADAT DAN ANTROPOLOGI HUKUM FH UNDIP
    Sumber : KOMPAS, 9 Januari 2012
    Konflik lahan di Mesuji, baik di Kabupaten Mesuji, Lampung, maupun di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan terakhir di Bima, NTB, baru puncak gunung es. Masih banyak kasus konflik lahan di Tanah Air yang tak terekam media.
    Komnas HAM melalui komisionernya, Nur Kholis, menyebutkan telah menerima 700-800 kasus konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat lokal. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), setidaknya pernah terjadi 530 konflik lahan di wilayah masyarakat adat. Sementara Norman Jiwan dari Sawit Watch menyebutkan bahwa pihaknya telah menangani 663 kasus sengketa antara perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat.
    Konflik yang muncul ke permukaan itu sebagian besar karena perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin merajalela tanpa memperhatikan lingkungan, ketahanan pangan, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Selain itu, ekstensifikasi sawit juga sudah merambah kawasan konservasi alam.
    Berbagai konflik yang ada dapat diidentifikasi dan diklasifikasi menjadi tiga macam konflik. Pertama, konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan ataupun pengusahaan hutan. Umumnya akibat ketidakjelasan status hukum tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat dalam kacamata hukum agraria nasional. Kedua, konflik lahan berkaitan perambahan oleh masyarakat lokal ataupun pendatang. Ketiga, konflik yang berkaitan dengan lingkungan hidup, berkaitan dengan penambangan yang dikhawatirkan mematikan sumber air untuk pertanian.
    Bertolak dari klasifikasi konflik tersebut, akar konflik yang harus dibenahi setidaknya ada tiga. Pertama, ketegasan pemerintah untuk mengakui tanah hak ulayat dalam peraturan perundangan tanpa syarat tertentu. Kedua, pemerintah segera melaksanakan land-reform berupa redistribusi tanah untuk petani gurem dan petani tanpa lahan. Ketiga, membangun visi penambangan berwawasan lingkungan.
    Perlindungan Tanah Ulayat
    Secara yuridis, tanah ulayat diakui dengan syarat dalam Pasal 3 UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pemerintah mengakui setengah hati terhadap tanah hak ulayat karena dilakukan dengan empat syarat, yaitu (1) sepanjang menurut kenyataannya masih ada, (2) sesuai dengan kepentingan nasional, (3) berdasarkan atas persatuan bangsa, (4) tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
    Pengakuan secara kondisional terhadap masyarakat hukum adat (MHA) dan hak-hak tradisionalnya juga terdapat dalam UUD 1945, khususnya Pasal 18 B Ayat (2). Pasal itu juga mengakui hak ulayat sebagai bagian dari hak-hak tradisional MHA dengan empat syarat, yaitu (1) sepanjang masih hidup, (2) sesuai perkembangan masyarakat, (3) sesuai prinsip NKRI, dan (4) diatur dalam UU.
    Pasal 3 UUPA kemudian dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5/1999 (Permeneg Agraria No 5/1999) tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam peraturan itu pengakuan terhadap tanah ulayat juga tak mudah. Hanya sedikit daerah yang sudah melaksanakan Permeneg tersebut dan mengakui keberadaan tanah hak ulayat.
    Selain Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan juga punya kriteria tersendiri mengenai MHA sebagai subyek tanah hak ulayat. Kementerian Pertanian melalui UU No 18/2004, khususnya dalam penjelasan Pasal 9 Ayat (2), juga punya kriteria yang berbeda. Demikian pula penjelasan Pasal 6 Ayat (3) UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air serta Pasal 1 angka 31 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
    Melihat pengakuan dengan syarat dan setiap instansi membuat peraturan sendiri-sendiri akan menimbulkan kebingungan dan tabrakan kepentingan pada aras pelaksanaannya. Bukan hanya pada pemerintah daerah, melainkan juga tabrakan antarinstansi pemerintah. Misalnya, banyak pengusaha perkebunan kelapa sawit yang belum memiliki izin HGU sudah mengoperasikan kebunnya hanya berbekal izin lokasi dan izin usaha dari kabupaten (Kompas, 2 November 2009). Lebih parah lagi, banyak pemerintah daerah tidak lagi mengakui keberadaan tanah hak ulayat.
    Untuk menghindari klaim sepihak dari investor, beberapa MHA dengan bantuan LSM mengadakan pemetaan partisipatif. Inisiatif ini patut didukung karena hingga saat ini belum ada data dan peta luasan penguasaan tanah yang akurat dan lengkap yang bisa dipakai sebagai acuan tunggal. Setiap instansi pemerintah mempunyai peta sendiri-sendiri.
    Redistribusi Tanah
    Penyerobotan lahan perkebunan oleh masyarakat lokal dan perambahan hutan sebenarnya dipicu oleh ketiadaan lahan garapan bagi petani gurem ataupun buruh tani. Solusi mengenai masalah ini sebenarnya sudah digulirkan sejak adanya UUPA dengan land-reform dengan redistribusi tanah bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan pertanian.
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam beberapa pidato juga mengatakan hal yang sama. Kenyataannya hingga kini program itu tak jalan sehingga rakyat mencari jalannya sendiri dengan cara penyerobotan dan perambahan hutan.
    Para penyelenggara negara sepertinya sudah lupa pada tujuan negara dan haluan negara yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Tujuan negara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, antara lain, bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan melaksanakan keadilan sosial berdasar Pancasila.
    Realitas di lapangan menunjukkan semangat materialisme dan kapitalisme semakin menghegemoni para pejabat negara. Mereka tidak lagi melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan rakyat, tetapi justru mengingkari tugasnya. Rakyat dibiarkan berjuang hidup sendirian.
    Wawasan Lingkungan
    Era otonomi daerah telah melahirkan salah persepsi yang kebablasan. Sumber daya alam dan mineral dieksploitasi serampangan. Kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan operasi pertambangan di sejumlah daerah tak lagi peduli pada kelestarian lingkungan. Aktivitas pertambangan yang tidak peduli restorasi, reklamasi, dan rehabilitasi ini justru tidak dilarang oleh pemerintah daerah.
    Peraturan perundang-undangan pun sudah dibuat serapi-rapinya, baik dalam UU Mineral dan Batubara maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, lemah di tingkat implementasi dan penegakan hukum. Tidak hanya di ranah eksekutif, di ranah yudikatif juga tidak ada dukungan terhadap kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Lengkap sudah rentetan masalah lingkungan hidup. Jika sudah begini, kepada siapa rakyat mengadu?
  • Salah Makna Subsidi BBM

    Salah Makna Subsidi BBM
    Ichsanuddin Noorsy, EKONOM, 
    DEKLARATOR ASOSIASI EKONOMI-POLITIK INDONESIA (AEPI)
    Sumber : SINDO, 9 Januari 2012
    Tidak enak rasanya melihat prediksi menjadi kenyataan.
    Sejak bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan pada Mei 2005 disertai dengan suap politik melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT)— yang sekarang menjadi Program Keluarga Harapan (PKH)—hingga diskusi di Universitas Trisakti dengan mitra pembicara lain Emil Salim, KetuaWantimpres,Indonesian Mining Association, pejabat Kementerian ESDM) pada Desember 2011, saya tetap menyatakan, pencabutan subsidi BBM bukan sekadar Indonesia menjadi net importer.

    Yang terpenting dari rencana itu adalah bagian dari desakan IMF, USAID, Bank Dunia,ADB, dan OECD agar Indonesia segera mencabut subsidi BBM. Prediksi saya adalah, harga BBM pasti sesuai dengan harga pasar dan itu berarti hapus subsidinya. Soal pencabutan subsidi ini, berkat penelitian Bank Dunia, pejabat Indonesia, politisi DPR, teknokrat, dan akademisi sepakat bahwa subsidi BBM salah sasaran, yakni dinikmati oleh orang kaya.

    Siapa orang kaya? Mereka yang punya mobil,tidak peduli apakah mobil murahan dengan membeli secara kredit atau mobil mewah yang diimpor secara utuh (completely build up).Lalu siapa orang miskin? Mereka yang mobilitasnya menggunakan angkutan umum. Uraian di atas membuktikan adanya empat masalah dalam soal BBM,yaitu pengertian subsidi dalam pengelolaan energi, industri automotif dan keuangan, serta moda transportasi. Sejak dulu saya memahami bahwa pengertian subsidi yang disampaikan “orang-orang hebat” itu adalah harga pasar dikurangi dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

    Pengertian ini bersumber dari manajemen produksi dan akuntansi. Kata kuncinya pada harga yang dibentuk dari biaya-biaya yang dikeluarkan.Di mana kita bisa menemukan kata harga pasar dalam regulasi di Indonesia? Kita tidak akan menemukannya karena para pejabat tinggi, birokrat, dan teknokrat itu mengganti harga pasar dengan istilah harga keekonomian.

    Pragmatisme

    Dalam diskusi saya dengan berbagai kalangan birokrat eselon II atau I,bahkan dengan Menteri ESDM yang waktu itu dijabat Purnomo Yusgiantoro, saya bertanya, apa yang mereka maksud dengan harga dan harga keekonomian dalam masalah energi? Dalam kesempatan yang beda, dengan waktu dan tempat yang juga berbeda, mereka memahami harga dalam pengertian teknis belaka. Kalau menyangkut barang yang umum diperdagangkan, pengertian teknis itu, sepanjang tidak bermuatan serakah, bisa diterima. Tapi soalnya adalah BBM bukanlah barang komersial biasa.

    Departemen Energi AS pernah menegaskan bahwa energi adalah daya dan darah kehidupan dan karenanya mereka sangat risau dengan ketergantungan pasokan asing. Di Indonesia, soal energi adalah soal hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur Pasal 33 UUD 1945. Nah, begitu bicara Pasal 33 UUD 1945,nyaris semua pejabat, teknokrat, dan birokrat bersikap sama: lebih baik kita bicara yang praktis- praktis saja.Saya sangat heran mendengar jawaban mereka. Kenapa? Karena rupanya sumpah jabatan sesuai dengan Pasal 9 UUD 1945 cuma diucapkan saja tanpa berkewajiban menjalankannya.

    Sementara, menurut Stiglitz saat berdiskusi dengan Boediono dan para ekonom dari ISEI di Jakarta tiga tahun lalu, sikap praktis itu juga menunjukkan filosofi yang mereka anut dan laksanakan, yakni pragmatisme. Padahal, upaya menerapkan, bahkan menegakkan,ekonomi konstitusi, termasuk menjalankan Pasal 33 UUD 1945, bukan melulu soal praktis, tapi bagaimana mengelola sumber daya energi yang Indonesia kuasai bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Perintah konstitusi ini justru melahirkan pertanyaan, apakah dengan menerapkan harga keekonomian pada BBM lantas berdampak pada kemakmuran rakyat Indonesia menjadi meningkat? Bukankah melepas harga BBM menurut harga pasar sama dengan memberi kemakmuran pada industri kartel perminyakan?

    Akar Masalah

    Di sini muncul masalah apakah sumber daya BBM memenuhi kebutuhan domestik sebesar 1,2 juta barel per hari? Jika tidak, bagaimana memadu harga antara BBM yang kita hasilkan sendiri dengan BBM impor? Pertanyaan ini harus dijawab dengan struktur produksi BBM dan struktur konsumsi disertai biaya masingmasing. Untuk menjawab pertanyaan ini, pemerintah hanya menegaskan bahwa pada 2011 konsumsi BBM bersubsidi mencapai 40,49 juta kiloliter. Jumlah ini pasti bertambah pada 2012 karena penjualan mobil tahun 2012 diduga mendekati 1 juta unit.

    Hubungan produksi, termasuk impor BBM ini,dengan konsumsinya menunjukkan tidak mungkin membahas subsidi BBM tanpa mengkaji sistem kontrak produksi di hulu, industri hilir energi, sistem moda transportasi publik, industri keuangan dan industri automotif. Saya tidak bermaksud menyulitkan pembahasan. Tapi hanya dengan mengatakan kita net importer energi sebenarnya tidak menunjukkan good governance. Itu juga menunjukkan tidak patuh atas perintah konstitusi.

    Lalu semuanya berteriak, subsidi BBM di APBN membengkak. Daripada dibakar percuma,lebih baik diberikan kepada yang berhak, yakni orang miskin.Kenapa mereka tidak berteriak bahwa pinjaman program dan proyek lebih menggerus APBN dibandingkan dengan subsidi energi dan pangan? Sudah lebih dari jari tangan saya menyampaikan perbandingan subsidi itu di hadapan orang-orang cerdas dan hebat. Mereka hanya diam, tidak membantah.Tapi tetap saja berteriak, subsidi BBM salah sasaran. Ini bukti kekerasan simbolik sudah terjadi.

    Jika mereka bilang akan terjadi penghematan belanja sekitar Rp50 triliun,mereka lupa bahwa penghematan itu berarti biaya bagi masyarakat dan belanja itu berarti keuntungan bagi asing serta inflasi. Lalu apakah uraian di atas menunjukkan lingkaran setan kebijakan publik? Jawabannya, tidak! Suatu kebijakan publik pasti bermakna sebagai hukum besi, terlepas apakah kebijakan itu baik, benar atau tepat waktu atau tidak. Suatu kebijakan ekonomi selalu bermakna, siapa yang sesungguhnya lebih diuntungkan. Dalam perspektif ini sejak 4 September 2008 saya mengusulkan renegosiasi kontrak.

    Bahkan sejak 2006 saya mengusulkan dibangunnya kilang minyak 300.000 ribu barel dan 1 juta kiloliter tangki penyimpanan. Usul saya akan meningkatkan ketahanan energi dari 21 hari menjadi 29 hari. Sisi lain, saya mengusulkan pembangunan infrastruktur kereta api dan industri pelayaran dan pelabuhan, bukan pembangunan jalan tol, termasuk bagaimana pengaturan industri automotif.

    Tapi mereka lebih berkuasa ketimbang saya yang hanya mantan anggota DPR atau mantan staf khusus menteri atau sekadar narasumber kementerian dan lembaga pemerintahan. Mereka lupa, kebijakan ini justru merupakan sumber kegaduhan utama.Maka salah makna subsidi BBM adalah salah langkah penegakan konstitusi.

  • Evolusi Intensionalitas Politik

    Evolusi Intensionalitas Politik
    Nova Riyanti Yusuf, ANGGOTA KOMISI IX DPR RI DARI FRAKSI PARTAI DEMOKRAT
    Sumber : SINDO, 9 Januari 2012
    Sebuah program intensif yang sangat menarik bertajuk“Enhancing Legislative Constituent Relations and Outreach” pernah diselenggarakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS).

    Program ini dibiayai Pemerintah AS sebagai salah bentuk kerja sama hubungan bilateral kedua negara. Peserta pun terbatas,sesuai dengan selera Washington DC untuk memilih siapa yang akan menjadi saksi sistem politik AS di 5 kota besar dan kecil AS, yaitu dari pantai timur, pegunungan, hingga pantai barat. Di AS telah diberlakukan upaya integratif yang profesional dan transparan untuk menyediakan rumah aspirasi (district offices/DO) dengan postur anggaran cukup besar.

    Misalnya, satu DO terletak di Washington DC dan 4 DO tersebar di daerah pemilihannya.Sementara di Indonesia, ide untuk mendirikan rumah aspirasi sudah almarhum setelah menjalani terapi berupa penolakan keras oleh berbagai elemen masyarakat (yang tersampaikan deras melalui media massa) sehingga upaya ini pun diurungkan. Namun dengan diurungkannya penganggaran khusus untuk rumah aspirasi, tidak sedikit anggota DPR RI yang mendirikan rumah aspirasi dengan mengorganisasi sendiri tanpa harus menengadahkan tangan untuk mendapatkan “subsidi tambahan” dalam upaya melakukan pendekatan (outreach).

    Dengan langkah itu ia dapat menjalankan fungsi representatif secara sistematis dan responsif terhadap berbagai aspirasi yang disampaikan melalui rumah aspirasi tersebut. Pola berpikir gotong-royong juga dapat dirasakan pada saat seorang anggota parlemen di AS memperjuangkan undangundang tertentu.Kalangan masyarakat yang berkepentingan atas undang-undang tersebut melaksanakan fundraising atau penggalangan dana melalui asosiasi-asosiasi terkait untuk amunisi perjuangan.

    Ada rasa memiliki di sana dan ada sebuah “sekutu” dalam kebaikan yang sifatnya juga tergambarkan di gedung parlemen negara lain, yaitu di Brasil. Oscar Niemeyer selaku arsitek mendesain gedung parlemen yang diapit oleh satu kubah menengadah dan satu kubah telungkup yang artinya memberi dan menerima.

    Isu Distortif dan Volatile

    Jika pemberitaan terkait rumah aspirasi termasuk substantif, tetapi tidak sedikit isu volatile yang mudah menguap lantas menghilang turut beredar. Tidak jarang sifatnya cukup distortif dan menyebabkan antiklimaks sehingga ada kalanya anggota DPR yang sedang menangani kasus serius harus tiba-tiba terhenyak dengan pertanyaan di luar domainnya yang justru mementahkan perjuangannya seperti pertanyaan seputar toilet.Apalagi notabene toilet dikatakan untuk-“nya”, padahal beredarnya angka renovasi toilet memang belum terverifikasi dan tidak pada tempatnya karena“ nyelonong” pada masa reses di mana semua anggota DPR turun ke daerah pemilihannya.

    Media massa tidak punya pilihanlainkecualikreatifmenyajikan berita dari berbagai sudut pandang, termasuk dengan gaya serius, kritis konstruktif sehingga satire dan juga bernuansa komedi hitam. Media massa perlu berbangga hati karena peran mereka begitu besar untuk mendidik bangsa Indonesia sehingga tentunya ingin memberikan yang terbaik untuk masa depan generasi penerus bangsa Indonesia. Mengingat peran messianic media massa, jadi teringat pidato Franklin D Roosevelt pada saat mendeklarasikan perang dengan Jepang tanggal 9 Desember 1941.Roosevelt sukses menggiring AS untuk merasa antusias karena pidatonya.

    Roosevelt pun sukses menarik pemilihnya untuk berangkat ke bilik pemilihan. Berita karismatik yang mampu memancing emosi positif—seperti upaya penyampaian Roosevelt dalam pidatonya—tentu akan menumbuhkan perasaan yang positif seperti semangat dan harapan. Sebab emosi sifatnya “menular” dan ini dibuktikan melalui penelitian yang disebut dengan sistem saraf “kaca” sehingga keresahan jiwa juga bisa muncul karena salah asupan.

    Mindset dan Intensionalitas Politik

    Dalam kesempatan kunjungan ke AS,saya berkunjung ke SMA Rio Americano di Sacramento,AS,dan berdialog dengan sekitar 50 murid SMA yang tergabung dalam program ekstrakurikuler pendidikan politik.

    Sang guru menjelaskan bahwa sejak duduk di bangku SMP, tidak sedikit murid yang ikut dalam program ekstrakurikuler tersebut. Mereka digembleng setiap hari dengan pendidikan dasar tentang ilmu politik, public-speaking,melakukan kerja komunitas, dan menjalankan program magang untuk melihat langsung kerja politisi sehingga tidak bergantung murni pada pemberitaan media massa atau doktrin orang tua saja. Program komprehensif melalui jalur pendidikan formal sekolah mempertegas peran penting dari politisi sebagai ujung tombak pembuatan kebijakan di setiap negara.

    Atas kesadaran ini, sedini mungkin diberikan medium pembinaan kepada generasi penerus bangsa agar terbentuk mindset yang tepat sehingga intensionalitas politik pun akan perlahan mengalami evolusi. Jalur politik jelas bukan jalur untuk menuju hedonisme duniawi. Harus ada dekonstruksi intensionalitas sehingga kelak saat memutuskan terjun ke dalam dunia politik, para pemuda/i memiliki intensionalitas politik yang tepat. Dan bahwa partai politik yang senantiasa menjamur seperti mal bukanlah semata “klub” untuk hang out atau berkumpul.

    Titik berat jangan melulu pada partai politik sebagai mesin yang tidak punya roh dan nyawa dari para individu yang berada di dalamnya.Drew Westen dalam bukunya The Political Brain:The Role of Emotion In Deciding The Fate of The Nation menjelaskan tentang political intelligence yang merupakan konstelasi dari kualitas multidimensional.

    Kesemuanya adalah kemampuan memanfaatkan emosi dengan tepat, empati, merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan inteligensia. Kualitas-kualitas tersebut tidak terlahir instan,tetapi membutuhkan penggemblengan berupa pendidikan partisipasi politik sedini mungkin.

  • Industri yang Peduli Membangun Kebudayaan

    Industri yang Peduli Membangun Kebudayaan
    M. Sobary, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 9 Januari 2012
    Sejak kita mengalami krisis ekonomi yang begitu parah pada 1997/1998, yang menghancurkan nama baik negara dan bangsa kita di dunia internasional karena problem-problem yang menyertainya, perlahan-lahan,seperti merasa memperoleh temuan cemerlang, orang berkata, krisis kita pada hakikatnya krisis di bidang kebudayaan.
    Lalu orang pun seperti berebut menyatakan, yang terpenting dalam hidup suatu bangsa bukan ekonomi dan bukan politik yang pernah menjadi “panglima”, melainkan kebudayaan. Kutipan muncul di forumforum yang meneguhkan perlunya membangun kebudayaan. Tak sedikit yang kembali mengingat ucapan Bung Karno tentang nation building dan character building. Juga tak sedikit yang meneriakkan perlunya kebudayaan dijadikan “panglima”.Yang lain menyebut culture matters, bahwa segala— setidaknya sangat banyak hal—bersumbu pada kebudayaan.

    Maka, sewajarnya sebuah bangsa mengalami krisis begitu mendalam dan parah karena memiliki apa yang disebut far reaching effectsdi banyak segi kehidupan yang lain. Ada pula yang setiap saat bicara tentang membangun peradaban dan merujuk kembali pada apa yang pernah tampil di dalam peradaban terdahulu di seluruh Nusantara ini. Dan yang mulia Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, yang bingung memahami kebudayaan, juga bicara ngalor ngidul mengenai kebudayaan, yang dalam masa kerjanya tak pernah disentuh.Bahkan program kerja yang menunjukkan pentingnya kebudayaan diberi prioritas dalam kebijakan sama sekali tak tampak.

    Presiden yang menugasinya pun tak menganggap hal itu sebagai persoalan serius. Tokoh-tokoh kebudayaan sibuk menyimpulkan bahwa jika demikian halnya,akan menjadi sebuah solusi yang bagus bila tiap-tiap kampanye calon presiden dan calon wakil presiden, mereka diminta menjelaskan program kebudayaan mereka. Para budayawan itu hendak mengukur, setidaknya ingin tahu,dan ingin ada pemihakan mereka terhadap kebudayaan agar kelak, ketika menjabat, kebudayaan akan mendapat perhatian penting sekali.

    Jangan lupa, di antara mereka ada juga yang mengusulkan agar kebudayaan menjadi sebuah departemen tersendiri. Kemudian, di antara penjelasannya, muncul kritik tajam kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata,yang dianggap menjual kebudayaan dengan harga receh,lewat pariwisata itu. Para pejabat negara sendiri pun mengakui pentingnya kebudayaan di dalam kehidupan suatu bangsa. Jika mereka diminta memberikan sambutan dalam suatu seminar yang ada hubungannya dengan kebudayaan, misalnya seminar kebudayaan, atau sambutan untuk pameran lukisan, pameran foto, pameran patung, dan sejenisnya, puja dan puji berhamburan dari mulut mereka mengenai keunggulan keb u d aya a n dibandingkan unsurunsur lain dalam kehidupan.

    Presiden sibuk membuat lagu dan menyany i — d i saat Ibu Pertiwi dan anak-anaknya sedang menangis—, mungkin niatnya hendak menunjukkan bahwa dia juga seorang budayawan. Bahkan mungkin ingin disebut orang serbabisa, orang dengan multitalenta, atau apa. Tapi bukankah ini salah prioritas? Bukankah lebih mulia, karena lebih tepat, bila beliau merumuskan suatu kebijakan besar yang menyangkut kebudayaan, bersedia membiayai program- program kebudayaan, dan menjamin kelangsungan hidup kebudayaan kita dengan jiwa orang besar yang memiliki cita rasa kebudayaan.

    Komitmen pribadi bisa penting, tapi bisa juga sama sekali tak berarti. Dari beliau kita meminta komitmen sosialnya sebagai seorang presiden untuk menata kebudayaan sebagai orientasi kehidupan dan energi bangsa yang tak tampak, yang bisa menggerakkan kita semua untuk bangkit dan menata diri kembali setelah krisis parah yang berkepanjangan itu. Penyair sudah banyak. Musikus sudah banyak. Penyanyi juga sudah banyak dan semua jauh lebih hebat lagi dibandingkan sekadar “tembang-tembang kelelahan” seorang birokrat tak tahu apa yang harus dilakukannya. Jadi, untuk “prioritas” hidup bangsa ini harus diperlihatkan, dengan cara memperlihatkan kemampuannya memilih prioritas untuk menata kembali kehidupan seluruh bangsa.

    Pelajaran

    Kita belajar sesuatu. Biarpun seribu kali calon presiden dan calon wakil presiden bersumpah menganggap kebudayaan itu penting dan dalam kampanye mereka sudah menyusun program, kita sudah belajar: kelihatannya mereka tak punya kepedulian serius. Pusat-pusat kebudayaan di daerah, dewan-dewan kesenian, kelompok-kelompok teater “wafat” satu per satu tanpa pernah ada pejabat yang melayat.

    Berbagai jenis kesenian daerah mati,tapi tak ada yang menangis. Ada banyak yang masih hidup dengan energi yang meluap dan memiliki segalanya kecuali dana, tapi pemerintah bisu. Dana pembangunan lebih baik dikorup untuk partai dan untuk memenangi sebuah pencalonan. Dewan Kesenian Jakarta jelas tempatnya di Jakarta dan cuma 10 menit dari depan hidup Gubernur,tapi lembaga itu juga diabaikan. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, di halaman yang sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, merana di tengah orang kaya.Warisan kebudayaanHBJassinyangtakternilai itu menjadi ibarat tempat buangan sampah.

    DPRD DKI dari fraksi dan partai apa pun bisa.DPR Senayan,yang mandi duit dan mengatur belanja negara itu,tak ada yang peduli. Gubernur,DPRD,Presiden, wakilnya,para menteri,dan bawahan mereka semua, siapa yang peduli akan kebudayaan? Kita belum pernah mendengar pemerintah mengalokasikan anggaran untuk kepentingan ini. Padahal, sekali lagi, kebudayaan dianggap kata kunci. Tapi apa buktinya? Ada industri rokok,Djarum, yang besar sekali perhatiannya terhadap kebudayaan.

    Dan Djarum bukan hanya berpidato bahwa kebudayaan itu penting, tetapi dengan jelas menganggarkan sejumlah besar dana untuk mendukung programprogram kebudayaan. Pementasan- pementasan penting di Jakarta dan di kota-kota lain didukung dengan semangat ikut memiliki dan bersedia membangun kebudayaan. Ada apresiasi pemerintah kepadanya? Ada ucapan terima kasih bahwa sektor bisnis, swasta ternyata lebih punya komitmen daripada para pejabat tinggi yang hanya omong kosong?

    Mereka bukan hanya tak berterima kasih. Sebaliknya, lewat peraturan pemerintah yang didukung dengan sikap tutup mata oleh Mahkamah Konstitusi,dicekikiklah semua usaha—sampai ke petani tembakau— yang ada hubungannya dengan rokok keretek. Lewat Departemen kesehatan, pergub, perda-perda, pemerintah dengan sengit hendak membunuh industri rokok. Jika dicermati,semua aturan itu hanya kopian mentahmentah dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang sangat jelas memihak kepentingan asing.

    Industri keretek dibunuh dengan berbagai cara, demi membela kepentingan orang asing dan negara asing. Jika kita cermati sebagai kesimpulan, kita semua bicara tentang kebudayaan sebagai kata kunci dalam kehidupan bangsa, tapi tak ada pejabat negara yang punya kepedulian nyata. Tak ada program yang dibiayai negara. Dan berbagai pusat kesenian dan kebudayaan merasa tanpa ada yang peduli. Namun ketika sebuah industri keretek dengan gigih turut membangun kebudayaan, pemerintah tak peduli. Industri keretek bahkan wajib dibunuh.

    Selama ini saya membela petani tembakau yang tertindas. Sekarang, saya kira, sama mulianya membela petani tembakau dan sekaligus industri keretek. Saya tahu bahwa Djarum membela kebudayaan sejak lama karena memiliki kepedulian yang jauh lebih serius daripada pemerintah.

  • Opera Hukum Moratorium Remisi

    Opera Hukum Moratorium Remisi
    Ridwan Widyadharma, ADVOKAT DI SEMARANG, DOSEN MATA KULIAH PROFESSIONAL RESPONSIBILITY FAKULTAS HUKUM UNDIP DAN FAKULTAS HUKUM UNIKA SOEGIJAPRANATA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 9 Januari 2012
    DALAM rapat kerja Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) membahas seputar remisi bagi koruptor, terjadilah opera hukum yang tidak berkesudahan. Wakil Ketua Komisi Bidang Hukum itu, Azis Syamsudin menghardik Wamenkumham Denny Indrayana yang lagi berbisik dengan Amir Syamsuddin (Tempo, 12-18/12/11). Moratorium versi Denny itu banyak menuai kritik, termasuk pandangan dari peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi UGM Hifdzil Alim yang menyatakan moratorium itu secara formal keliru lantaran melanggar UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (SM, 11/12/11).

    Ada pula yang berpendapat bahwa moratorium itu bertentangan dengan hukum positif dan konvensi internasional. Bahkan permasalahan tersebut akan memasuki babak baru, terkait dengan kehadiran interpelasi mengenai kebijakan tersebut oleh DPR.

    Opera tentang moratorium remisi bagi koruptor, yang termasuk opera hukum itu pasti akan terjadi lewat hadirnya keangkuhan petinggi Kemenkumham yang tidak menggalang pendapat melalui musyawarah untuk memecahkan masalah tetapi justru melalui uraian kontraproduktif. Simak saja, Denny malah menyilakan DPR. ’’Interpelasi itu hak DPR. Namun saya yakin (DPR) sebagai wakil rakyat juga memahami bahwa aspirasi rakyat sangat besar pada kebijakan ini.’’ (SM, 11/12/11).

    Permasalahan bakal lebih kompleks jika dukungan yang digalang atas interpelasi itu mengecambah dan membuncah, membuka arena baru pandangan pemikiran apakah DPR itu betul-betul wakil rakyat atau suara rakyat? Atau pandangan Denny memiliki kemampuan dengan mengetengahkan secara sosiologi bahwa kebijakan itu didukung seluruh rakyat?

    Sah-sah saja timbul spekulasi pendapat bahwa benarkah ucapan Denny dapat dan bisa   mengatasnamakan suara rakyat. Padahal wakil rakyat di DPR yang menjadi suara rakyat resmi hasil pilihan rakyat pula, berseberangan pendapat dengan Denny. Ancaman interpelasi DPR versi Ahmad Yani dan kawan-kawan di Komisi III, akhirnya membuahkan hasil. Dicecar interpelasi DPR, Menkumham pun menyerah, dan bersedia merevisi kebijakan moratorium remisi itu. (JP, 15/12/2011).

    Kita harus memperhatikan esensi Pasal 14 Huruf I UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan secara jelas bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana. Tidak ada satu pun teks dalam regulasi itu yang bisa ditafsirkan ada pengecualian.

    Regulasi itu cukup lugas menyebutkan bahwa narapidana berhak atas remisi, sebagaimana bisa kita lihat pada derivat-derivatnya. Misalnya Pasal 14 Ayat i: berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); Ayat j: mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi  keluarga; Ayat k:mendapatkan pembebasan bersyarat; Ayat l: mendapatkan cuti menjelang bebas; dan Ayat m: mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Terkait dengan revisi kebijakan itu, kita perlu memahami bahwa lingkup persoalannya ada pada  korelasi narapidana dengan pemasyarakatan, yang berarti dalam lingkup hukum pemasyarakatan, bukan berat ringannya hukuman. Terlebih lagi negara kita tidak lagi mengenal penjara tetapi pemasyarakatan.

    Hakikat utama pembinaan pemasyarakatan bertumpu pada doktrin bahwa napi itu menyadari kesalahan, mau memperbaiki diri, tidak mengulangi perbuatan, dan dapat kembali diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Jadi, pemidanaan sejatinya adalah proses menyadarkan napi agar menyesali perbuatannya, dan (lembaga) pemasyarakatan memiliki peran mengembalikan dia supaya menjadi warga negara yang baik.

    Persoalan narapidana jangan menjadi komoditas politik dan kekuasaan mengingat pemidanaan adalah upaya menyadarkan napi kembali menjadi orang baik dan santun, bukan ajang balas dendam.
  • Ban Serep dan Korupsi

    Ban Serep dan Korupsi
    Gunarto, WAKIL REKTOR II UNISSULA SE-MARANG, DOSEN MAGISTER ILMU HUKUM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 9 Januari 2012
    HUKUM dan politik: barangkali dua entitas itu yang paling banyak berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia. Politik menyangkut sistem penataan kekuasaan dan kebijakan terhadap kehidupan sosial, sedangkan hukum terkait dengan aturan dan landasan yang mengaturnya. Tidak berlebihan jika kemudian muncul adagium negara demokrasi akan kuat manakala didukung sistem hukum yang juga kuat. Adagium ini seolah ingin menegaskan bahwa sistem kekuasaan dengan segala otoritas yang melekat sangat berisiko bagi terjadinya penyimpangan (tend to corrups) jika tidak dipagari penataan mekanisme hukum yang mengatur secara pasti dan berkeadilan.

    Dalam panggung sejarah, pertautan antara hukum dan politik yang terbangun secara dialektis mampu melahirkan sebuah tatanan kemajuan. Sebaliknya, jika keduanya diperselingkuhkan maka memunculkan tirani yang berakibat rusaknya tatanan kehidupan sosial; ketidakadilan, kesewenang-wenangan, makar, dan pertarungan kekuasaan yang tidak berujung.

    Ada baiknya, adagium ini kita kontekstualisasikan dalam kenyataan praktis pada dimensi historis bangsa kita yang sedang menata sistem demokrasi. Di satu sisi, ada kehendak penataan demokrasi berbasis landasan hukum. Tetapi di pihak lain, muncul kecenderungan menjadikan instrumen hukum sebagai alat pertarungan kekuasaan.

    Sejak konsensus demokrasi mengharuskan kepala daerah atau kepala pemerintahan dipilih secara langsung sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, komposisi kekuasaan secara yuridis menempatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai dwitunggal pemerintahan di daerah.

    Sayang, undang-undang tidak mengatur secara sistematis soal distribusi dan pendelegasian kewenangan sehingga memberi kesan dwitunggal itu tak ubahnya terminologi kosong karena nyatanya tidak ada pembagian otoritas dan pendistribusian kewenangan di antara keduanya. Otoritas dan kewe-nangan sepenuhnya bersifat bulat dan melekat pada kepala daerah, bukan wakil kepala daerah, sehingga secara peran sang wakil laksana ban serep.

    Pembagian Kewenangan

    Sebagai ban serep, wakil kepala daerah bisa berfungsi manakala diberi kewenangan atau kepala daerah berhalangan tetap sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 itu. Baik berhalangan tetap karena meninggal dunia, sakit permanen, mengundurkan diri atau karena melanggar hukum yang dituntut hukuman 5 tahun penjara atau lebih. Ketika itu terjadi maka potensi sang wakil menggantikan posisi dan peran kepala daerah menjadi terbuka.

    Di sinilah yang kemudian membuka ruang disharmonitas dan tak jarang menjadi senjata untuk menggantikan posisi kepala daerah. Faktanya, banyak kepala daerah yang berkesan dijerumuskan dalam kasus hukum dan berakhir dengan hilangnya jabatan. Dalam konteks Jawa Tengah saja, kasus itu muncul di beberapa kabupaten, seperti Brebes (2007-2012), Tegal (2008-2013), Cilacap (2007-2012), Purworejo (2006-2011), Semarang (2005-2010), dan Kendal (2005-2010). Periode itu adalah masa ’’sukses’’ peralihan kekuasaan setelah kepala daerah tergiring dalam problem hukum menjadi terpidana kasus korupsi.

    Karena itu, mengacu pada semangat demokrasi dan roh yang terbangun dalam spirit UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sangat penting kiranya memikirkan distribusi dan pembagian kewenangan antara kepala dan wakil kepala daerah, dengan prinsip keadilan tugas dan otoritas, sekaligus untuk meminimalisasi kemungkinan perpecahan dwitunggal tersebut.

    Setidak-tidaknya, pendistribusian kewenangan akan memberikan dampak pada beberapa hal. Pertama; ada tugas pokok dan fungsi jelas di antara keduanya sehingga tidak menimbulkan benturan dalam menjalankan roda pemerintahan. Bukankah dwitunggal ini dipilih secara bersama-sama oleh masyarakat dalam satu paket sistem demokrasi?

    Kedua; meminimalisasi konflik kepentingan yang mungkin timbul karena masing-masing tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Ketiga; jika peran dan fungsi itu dapat berjalan secara efektif, maka roda pemerintahan akan berjalan pada relnya. Dengan demikian kepentingan masyarakat dapat terlayani dengan baik.

  • Fundamentalisme Yahudi

    Fundamentalisme Yahudi
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 6 Januari 2012
    Apa yang diperlihatkan oleh kelompok Yahudi ultra-Ortodoks ini sebetulnya menunjukkan bahwa gejala fundamentalisme bukanlah khas pada agama tertentu, tetapi ada pada agama-agama besar dunia. Ada di Yahudi, ada di Kristen, dan ada pula di Islam.
    Namanya Naama Margolese. Umurnya 8 tahun, duduk di kelas dua sekolah dasar. Ia seorang puteri dari keluarga Yahudi ortodoks imigran dari Amerika yang tinggal di kota Beit Shemesh, kota “konservatif” yang terletak antara Jerusalem dan Tel Aviv di Israel. Pertengahan Desember tahun lalu, gadis kecil ini menjadi pembicaraan yang ramai di Israel. Publik Israel marah bukan main karena ia menjadi sasaran pelecehan oleh sekelompok priaYahudi ultra-Ortodoks. Peristiwa ini dilaporkan oleh Isabel Kershner di koran The New York Times (27/12/2011).
    Ceritanya sederhana. Suatu hari di bulan Desember tahun lalu, saat Margolese pulang dari sekolah, seorang laki-laki Yahudi meludahinya, menghujaninya dengan kata-kata kotor, dan menyebutnya sebagai pelacur. Rupanya laki-laki Yahudi ultra-Ortodoks itu marah karena sebagai gadis, Margolese tidak berpakaian sebagaimana diatur dalam hukum agama Yahudi. Margolese memakai pakaian yang cukup sopan sebetulnya, tetapi masih dianggap kurang “relijius” oleh kalangan Yahudi ultra-Ortodoks.
    Setelah peristiwa pelecehan ini, ribuan orang Yahudi, terutama kalangan Ortodoks yang moderat, ramai-ramai mendatangai kota Beit Shemesh untuk memprotes kekerasan dan fanatisme. Kalangan Yahudi ultra-Ortodoks meneriaki wartawan perempuan yang meliput protes itu dengan sebutan “shikse”, alias ‘pelacur’ dalam dialek Yiddish.
    Pandangan kaum Yahudi ultra-Ortodoks agak-agak mengingatkan kita pada kaum Muslim fundamentalis pada umumnya. Kedua kelompok itu, misalnya, mempunyai visi yang kurang lebih sama tentang perempuan serta tempatnya dalam masyarakat. Mereka, kalangan ultra-Ortodoks itu, misalnya, berpendapat bahwa laki-laki diharamkan untuk mendengarkan suara perempuan.
    Seorang tentara Yahudi Ortodoks pernah meninggalkan barisan yang sedang menyanyikan mars militer, karena di sebelahnya ada seorang tentara perempuan yang ikut bernyanyi. Ini mengingatkan kita pada pandangan sebagian kalangan Islam (ortodoks/konservatif) yang menganggap bahwa suara perempuan adalah aurat yang harus dihindari.
    Di kota Beit Shemesh, perempuan diharuskan duduk di bagian paling belakang di bus-bus umum. Segregasi ruang diterapkan untuk memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Pada malam hari, bangku-bangku di tempat umum kerap disingkirkan oleh kaum ultra-Ortodoks di kota itu. Tujuannya, agar perempuan tak memakainya sebagai tempat untuk kongkow dan ngobrol.
    (Catatan: Memang ada beberapa kemiripan antara hukum Torah dan hukum fikih yang berkembang dalam tradisi Islam. Adakah proses saling pengaruh-mempengaruhi di sini?).
    Negara Israel memang negara Yahudi, dan diperuntukkan untuk bangsa Yahudi. Mungkin inilah negara satu-satunya di muka bumi yang mempunyai watak etnik dan keagamaan yang begitu kental. Tak ada negeri manapun di dunia ini yang berdiri dengan niat khusus untuk menampung etnik atau bangsa tertentu. Tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh PM Israel Benyamin Netanyahu, menanggapi kasus Naama Margolese itu, Israel tetaplah “negara demokratis, berwatak Barat (Western), dan liberal.” Dengan kata lain, meskipun Israel adalah negara Yahudi, ia juga sekaligus merupakan negara sekuler.
    Watak sekuler inilah yang sejak lama diprotes oleh kelompok Yahudi Ortodoks atau ultra-Ortodoks. Mereka ingin menjadikan Israel sepenuhnya sebagai negara agama dan diatur menurut hukum agama Yahudi yang sangat ketat (hukum Torah). Mereka menolak negara sekuler Israel karena negeri semacam ini, dalam pandangan mereka, diatur oleh “chukos ha goyim”, yakni hukum Gentile, yakni bangsa-bangsa non-Yahudi (Baca artikel Samuel C. Heilman dan Menachem Friedman dalam buku yang disunting Martin E. Marty dan Scott R. Appleby, Fundamentalism Observed [1991]).
    Tentu saja, kalangan sekuler atau moderat di Israel yang jumlahnya jauh lebih besar, menolak visi negara agama seperti dikehendaki oleh kaum ultra-Ortodoks itu. Meskipun, di bawah kepemimpinan Partai Likud dan PM Benyamin Netanyahu sekarang, pengaruh kaum Yahudi ultra-Ortodoks pelan-pelan memang menguat, melampuai jumlah numerik mereka yang sebetulnya sangat kecil. Menurut estimasi Heilman dan Friedman (1991:198), jumlah kaum Yahudi ultra-Ortodoks hanyalah 30% dari total pengikut Yahudi Ortodoks. Sementara jumlah kelompok yang terakhir ini hanyalah 15% dari total orang Yahudi di seluruh dunia (sekitar 13,5 juta).
    Apa yang diperlihatkan oleh kelompok Yahudi ultra-Ortodoks ini sebetulnya menunjukkan bahwa gejala fundamentalisme bukanlah khas pada agama tertentu, tetapi ada pada agama-agama besar dunia. Ada di Yahudi, ada di Kristen, dan ada pula di Islam.
    Kelompok Yahudi ultra-Ortodoks biasa disebut sebagai Haredim. Tentu menarik melihat akar-akar historis munculnya kelompok Yahudi ultra-Ortodoks itu. Munculnya kelompok ini bisa ditelusuri jauh ke belakang, yakni pada saat terjadi gerakan Pencerahan di Eropa pada abad ke-18 yang kemudian berujung pada munculnya negara modern yang sekular.
    Umat Yahudi, terutama yang tinggal di Jerman dan Eropa Timur (biasa disebut dengan Yahudi Ashkenazim), mempunyai reaksi yang berbeda-beda terhadap modernisasi dan sekularisasi Eropa yang diakibatkan oleh Pencerahan itu. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis reaksi terhadap modernisme.
    Pertama, kelompok asimilasionis—kelompok Yahudi yang mau membaur dengan kebudayaan modern, melebur diri dalam kultur negara di mana mereka tinggal (terutama Jerman). Mereka menerima modernisme secara total. Akibatnya, mereka kehilangan identitas mereka sebagai orang Yahudi. Mereka ini biasa disebut sebagai “orang Yahudi yang bukan Yahudi” (non-Jewish Jews).
    Kaum asimilasionis ini dikritik oleh kalangan Yahudi lain, karena mereka menerima modernisme dengan mengorbankan identitas mereka sebagai bangsa Yahudi. Kelompok kedua ini lebih cenderung mengambil sikap tengah, yakni menerima modernisme, tetapi sekaligus mempertahankan identitas keyahudian. Memakai bahasa kalangan nahdliyyin, kira-kira mereka memakai prinsip al-muhafadzah ‘ala ‘l-qadim al-shalih,  wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadid al-ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik, seraya menerima hal-hal baru yang lebih baik).
    Kelompok kedua ini biasa disebut sebagai kaum akulturasionis—mereka yang cenderung memilih jalan akulturasi, yakni menyesuaikan ajaran dan tradisi yang ada dengan lingkungan baru yang sudah berubah. Kelompok Haskalah atau Maskilim bisa digolongkan kedalam golongan ini. Tokoh terpenting mereka adalah Moses Mendelssohn (1729-1786), seorang filosof Yahudi yang masyhur karena gagasannya tentang reformasi agama Yahudi. Mereka ini biasa dipandang sebagai kelompok Yahudi pencerahan.
    Tetapi, di mata kalangan Yahudi lain yang lebih “fanatik”, posisi akulturasionis yang diambil oleh kelompok Maskilim itu juga dianggap mengandung bahaya. Pada akhirnya, menurut mereka, akulturasi adalah langkah setapak menuju kepada asimilasi – a recipe of extinction, resep untuk kepunahan diri.
    Di mata mereka, tak ada bedanya antara asimilasi dan akulturasi; beda hanya dalam derajat saja. Keduanya akan membawa bangsa Yahudi kehilangan identitasnya di dunia yang kian sekular, dunia yang diatur menurut chukos ha goyim.
    Kelompok ketiga ini mengajukan alternatif lain, yaitu kontra terhadap dunia sekular, seraya menegakkan dengan ketat tradisi Yahudi yang bersumber dari hukum Talmud. Mereka biasa disebut sebagai kelompok kontra-akulturasi. Dari sinilah bibit-bibit fundamentalisme dalam Yahudi sebetulnya muncul.
    Dari golongan ketiga inilah lahir kelompok Haredim, yakni kalangan Yahudi ultra-Ortodoks. Ciri-ciri mereka sangat jelas: menolak dunia sekular, dan mengembangkan corak kehidupan yang lebih suci (pristin) berdasarkan tradisi Yahudi yang ditafsirkan secara ketat.
    Kelompok Haredim ini tumbuh dari dua kelompok Yahudi ortodoks yang sudah muncul sebelumnya, yakni kelompok Hasidim (cenderung spiritualistik, mirip-mirip dengan kalangan tradisionalis NU) dan Misnagdim (yang cenderung tekstualis-keras, mirip dengan kelompok Wahabi dalam Islam). Dua kelompok ini mengembangkan pola pendidikan tradisional yang dengan keras memegang tradisi melalui “madrasah” Yahudi yang dikenal dengan yeshiva.
    Metode pendidikan yang dikenal di sana adalah tachlis – murid melulu hanya diajarkan ilmu-ilmu tradisional mengenai hukum Talmud. Mereka dilarang untuk mempelajari ilmu-ilmu lain, terutama yang datang dari dunia sekular (Heilman dan Friedman 1991).
    Apakah yang bisa kita pelajari dari sejarah fundamentalisme dalam agama Yahudi semacam ini? Pengalaman dalam agama Yahudi ini tentu tak asing bagi mereka yang akrab dengan gejala fundamentalisme dalam Islam. Ada banyak kemiripan di sana, apalagi jika kita pertimbangkan bahwa baik Islam dan Yahudi mempunyai kemiripan dalam satu hal: keduanya sangat menekankan dimensi hukum yang bersifar formal dalam agama (dalam Islam ini berkembang menjadi tradisi fikih; dalam Yahudi, berkembang dalam tradisi Talmudik).
    Berdasarkan pengalaman yang kita lihat dalam Yahudi dan Islam, terutama dalam sejarah modern kedua agama ini, tampak sekali satu hal: Penafsiran agama yang keras dan tekstualistik bisa memantik munculnya kekerasan, terutama terhadap perempuan. Dalam Islam, contoh yang paling vulgar adalah Talibanisme di Afghanistan. Dalam Yahudi, ini bisa kita lihat dari insiden yang menimpa gadis kecil Yahudi dari kota Beit Shemesh itu – Naama Margolese.
    Bagi saya, jalan yang ditempuh oleh kalangan Haskalah dalam Yahudi, dengan figur utamanya Moses Mendelssohn, adalah opsi yang paling masuk akal, yakni jalan akulturasi. Inti jalan ini ialah menerima modernitas, seraya tetap berpegang pada tradisi.
    Hanya saja, masalah yang segera menghadang adalah: seberapa besar dosis modernitas yang bisa ditelan, dan seberapa besar dosis tradisi yang masih bisa dipertahankan. 
    Dalam soal ini, tentu ada banyak sikap yang beragam, baik di kalangan Haskalah Yahudi, atau kalangan “Haskalah” versi Islam.
  • Resolusi 2012 dan “Countinuous Self Improvement”

    Resolusi 2012
    dan “Countinuous Self Improvement”
    Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 7 Januari 2012
    Ketika artikel ini sampai di tangan para pembaca sekalian, kita semua baru saja merayakan saat–saat pergantian tahun dari 2011 ke 2012. Setiap kita tentu saja punya cara sendiri merayakan saat-saat pergantian tahun.
    Beberapa keluarga berbelanja dan mempersiapkan masakan-masakan spesial untuk malam Tahun Baru 2012 bersama seluruh keluarga, namun tentu saja ada beberapa di antara kita yang di malam pergantian tahun tidak memiliki kesempatan berkumpul bersama keluarga karena satu dan lain hal.
    Tak terasa tahun 2011 sudah berakhir. Waktu terus berjalan, time is always clocking, never stop. Untuk seseorang yang memiliki kesibukan, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Namun untuk seseorang yang tidak memiliki kesibukan, malah akan merasa sebaliknya, yaitu waktu serasa berjalan begitu lambat.
    Artikel minggu lalu saya mengajak pembaca sekalian untuk bersama-sama melaksanakan evaluasi diri 2011 dan selalu belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan. Selanjutnya melalui tulisan ini, marilah kita sama-sama melaksanakan resolusi diri 2012 yang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam managemen diri.
    Kata resolusi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diterjemahkan sebagai re·so·lu·si /résolusi/ n putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal: rapat akhirnya mengeluarkan suatu — yang akan diajukan kepada pemerintah.
    Pengertian sederhana dari kata resolusi diri 2012 berarti sebuah harapan, cita-cita, aktivitas-aktivitas yang riil dan aplikatif dapat kita capai di sepanjang tahun 2012. Poin-poin yang kita canangkan dalam resolusi diri 2012 bukan hanya sebuah kata yang kita susun, tapi akan dilupakan setelah momentun Tahun Baru 2012.
    Menyusun resolusi diri 2012 harus kita mulai dari sebuah kesadaran bahwa setiap kita harus selalu melaksanakan self improvement secara terus-menerus dalam membangun kompetensi diri sesuai peran dan tanggung jawab kita masing-masing, termasuk peran dan tanggung jawab kita sebagai orang tua dan anggota keluarga, sebagai bagian dari organisasi kita bekerja, dan sebagai seseorang yang memiliki visi dalam karya pekerjaan dan profesi kita sehari-hari.
    Setiap kita memilki potensi yang harus terus-menerus digali dan marilah kita kontribusikan lebih baik dalam setiap karya kita di tahun 2012.
    Sebagai acuan kita membuat poin-poin dalam resolusi diri 2012. Ada beberapa poin penting seperti yang sering digunakan dalam pencapaian sebuah goals (tujuan), yaitu harus SMART: Spesific, Measurable, Achievable, Reasonable, dan Timeline.
    ·         Spesific (jelas dan realistis), seorang Ibu yang bekerja membuat poin yang spesifik dalam resolusi diri 2012, misalnya, harus lebih bisa meningkatkan komunikasi yang efektif dengan anak-anaknya.
    ·         Measurable (terukur), marilah kita menulis target-target apa yang dapat kita capai di tahun 2012. Misalnya, sebagai orang tua yang ingin anak-anaknya lebih berhasil lagi atau sebagai profesional yang dapat mencapai achievement yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
    ·         Acheivable (dapat dicapai), marilah kita membuat poin-poin aktivitas apa agar seluruh potensi kita dapat dimaksimalkan dan akhirnya dapat mencapai sebuah tujuan.
    ·         Reasonable (beralasan), apakah kita memahami setiap makna dari setiap usaha self improvement kita di tahun 2012.
    ·         Timeline (batas waktu), setiap kita membuat target, marilah kita sadari bahwa sebuah target harus memilki deadline (batasan waktu), bisa satu bulan, dua bulan atau satu semester. Marilah kita mengatur (me-manage) waktu kita agar kita dapat memenuhi deadline dari target-target kita.
    Losers make promises they often break, and winners make commitments they always keep (Denis Waitley). Marilah kita membuat komitmen dari setiap janji-janji kita dalam Resolusi Diri 2012.
    Action dan action, terus-menerus memperbaiki diri kita dalam setiap peran kita (continuos self improvement), termasuk dalam menghadapi setiap tantangan perubahan yang akan terjadi di tahun 2012.
    A pessimist sees the difficulty in every opportunity; an optimist sees the opportunity in every difficulty (Winston Churchill). Selamat Tahun Baru 2012, selamat meraih peluang-peluang baru di sepanjang 2012. Selamat menjadi bagian dari perubahan Indonesia yang lebih baik.