Blog

  • Ancaman untuk Nunun

    Ancaman untuk Nunun
    Hifdzil Alim, PENELITI DARI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UGM
    Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Januari 2012
    PEMERIKSAAN perkara suap dengan cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia 2004 tampaknya makin sulit karena salah satu tersangka mendapat ancaman. Adalah Nunun Nurbaetie Daradjatun, salah satu tersangka kuncil dalam kasus suap terhadap anggota Komisi IX DPR 1999-2004, melalui pengacaranya mengaku diancam oleh orang atau kelompok tertentu.

    Menurut Mulyaharja, pengacara itu, banyak nama dan orang berduit yang berkepentingan dengan kasus tersebut. Ia menduga pengancam kliennya adalah orang yang memiliki uang (SM, 03/01/12).

    Kasus suap yang memenjarakan sejumlah anggota DPR itu memang menyisakan sejumlah persoalan. Sebelum ada ancaman ini, Nunun sendiri yang membuat masalah. Tatkala KPK sibuk memeriksa para tersangka korupsi suap tersebut, Nunun lari ke luar negeri. Negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Singapura menjadi tempat persembunyiannya.

    Sebelumnya, melalui dokter pribadinya, Nunun menyatakan dirinya mengidap penyakit lupa berat  sehingga tidak bisa menjalani pemeriksaan. Dalihnya, kalau diajak berpikir dan mengingat kembali peristiwa itu secara serius, penyakit lupanya bertambah parah. Pelarian Nunun dan penyakit lupanya itu, diakui atau tidak telah menyulitkan pembongkaran kasus suap itu. Tatkala penerima suap dari kalangan DPR sudah dipenjara, bahkan ada yang sudah mendapatkan pembebasan bersyarat, wanita tersebut belum juga bisa ditangkap. Publik pun bertanya, bagaimana mungkin penerima suap dimejahijaukan, tetapi pemberi suapnya tak ada.

    Yang terburuk dari kasus itu adalah penanganan kasusnya dinilai sarat dengan kepentingan politik. Seakan-akan pemeriksaan hukum dilakukan, dengan menjerat penerima suap, untuk menjatuhkan pamor partai politik yang dinaungi oleh anggota DPR yang tersangkut kasus itu. Hal tersebut yang sebenarnya ditakutkan masuk dalam usaha pemberantasan korupsi.

    Ketika kepentingan dan syahwat politik merusak jalur hukum, misalnya menyusupkan cengkeraman politik dalam pemeriksaan tersangka korupsi, yang terjadi adalah gesekan politik. Tanpa disadari, gesekan itu akan mengikis kinerja penegakan hukum. Padahal, dalam skema pengusutan kasus korupsi, unsur politik dilarang masuk. Jika tidak, mustahil menemukan aktor yang paling bertanggung jawab dan apa motif di baliknya.

    Sikap Kooperatif

    Asumsi bahwa ada kekuatan besar yang melindungi Nunun pernah disampaikan oleh mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas. Menurut Busyro, KPK kesulitan menangkap wanita itu karena ada kekuatan besar yang melindungi (26/10/11).  Dengan demikian, ancaman terhadap Nunun kemungkinan besar benar adanya. Kekuatan besar itu takut kalau Nunun membuka mulut. Lantas apa yang harus diperbuat oleh pihak Nunun terkait dengan ancaman itu?

    Jika mau hitung-hitungan, ditangkapnya Nunun sebetulnya menjadi kartu mati bagi dirinya. Posisinya sudah terjepit. Peluang untuk kembali melarikan diri sedemikian kecil. Adapun cara mengelabui penegak hukum dengan penyakit lupanya ditangkal oleh KPK dengan menghadirkan dokter tandingan terhadap dokter pribadi.

    Dengan akal waras, tak ada jalan lain yang bisa dilakukan Nunun selain melawan ancaman tersebut. Diam saja tanpa berbuat apa-apa adalah kesia-sian belaka. Apalagi mengikuti keinginan si pengancam yang katanya berasal dari kelompok kuat dan berduit itu, juga cuma menyusahkan posisi Nunun karena hukum akan dengan kuat melawan dirinya.

    Jadi, hanya ada satu cara melawan ancaman itu, yakni bekerja sama dengan KPK membongkar kasus suap tersebut. Istri mantan Wakapolri itu harus membeberkan siapa aktor intelektual dan apa perannya. Kerja sama Nunun akan dicatat oleh penegak hukum sebagai hal-hal yang meringankan dalam persidangan. Tentunya cara itu sangat menguntungkan dirinya ketimbang memilih diam dan mengekor.

  • Investment Grade dan Tiga Hambatan Pertumbuhan

    Investment Grade dan Tiga Hambatan Pertumbuhan
    Ali Rahman, PENGAMAT EKONOMI
    Sumber : DETIKNEWS, 9 Januari 2012
    Jakarta – Menjelang pergantian tahun, ekonomi Indonesia mendapatkan kado manis. Setelah menunggu selama 14 tahun, Indonesia kembali meraih peringkat investasi dari lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings.

    Peringkat investasi Indonesia naik dari BB+ menjadi BBB- yang berarti termasuk kategori negara layak investasi. Kenaikan peringkat itu menjadikan Indonesia masuk dalam kategori investment grade. Indonesia kehilangan posisi investment grade sejak tahun 1997 setelah dihantam krisis moneter.

    Istilah investment grade merujuk pada sebuah peringkat yang menunjukkan utang pemerintah atau perusahaan memiliki risiko yang relatif rendah dari peluang default atau gagal bayar sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

    Karena itu, invesment grade diberikan kepada suatu negara yang memiliki fundamental ekonomi kuat, stabilitas politik dalam jangka panjang solid, dan memiliki manajemen anggaran pemerintah serta kebijakan moneter yang prudent. Hal ini ditandai dengan defisit anggaran yang rendah, rasio utang rendah, dan inflasi terkendali.

    Tidak dapat dimungkiri kunci utama keberhasilan Indonesia meraih peringkat investment grade adalah kemampuan meraih pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dan menjaga rasio utang terhadap PDB di bawah 25 persen serta menekan defisit anggaran di bawah 2,5 persen.

    Hal itu merupakan capaian luar biasa di tengah carut marut kondisi ekonomi global yang menyebabkan posisi ekonomi sejumlah negara yang dianggap kuat justru ambruk dan mengalami kejatuhan peringkat utang.

    Pencapaian peringkat investment grade ini memiliki nilai sangat penting karena akan berpengaruh pada pandangan dunia terhadap perekonomian Indonesia dan memperbesar peluang untuk bisa meningkatkan kegiatan investasi di Indonesia.

    Indonesia akan menjadi kian menarik sebagai tujuan investasi dan mampu menyerap banyak modal asing. Namun, patut diingat bahwa modal itu perlu dikelola dengan cermat dan dialokasikan dalam investasi sektor riil berjangka panjang guna menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

    Tiga Hambatan

    Meskipun telah mengalami kenaikan peringkat investasi, Indonesia masih dihadapkan pada tiga masalah penghambat laju pertumbuhan ekonomi. Ketiga masalah itu adalah birokrasi, korupsi, dan infrastruktur.

    Sosiolog asal Jerman, Max Weber, mengatakan birokrasi merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak akan mungkin dicapai ekonomi modern berkelanjutan, industrialisasi yang cepat, dan take-off into selfsustained growth (Giddens, 1985:195).

    Salah satu ciri yang penting dari birokrasi rasional ala Weber adalah sistem penggajian bagi pegawai sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas.

    Sejak beberapa waktu lalu pemerintah telah menerapkan remunerasi bagi aparatbirokrasi pemerintahan. Tujuan hakiki dari penerapan remunerasi itu adalah agar aparat birokrasi pemerintahan dapat meningkatkan kinerja.

    Di samping itu, remunerasi diberlakukan supaya pegawai pemerintah tidak tergiur unutk melakukan tindak pidana korupsi.

    Namun, hal itu belum secara maksimal mengubah kultur business as usual birokrasi di masa lalu. Seringkali masih kita dapati birokrasi yang berperilaku memperumit proses pelayanan publik, termasuk dalam hal perizinan usaha.

    Jika hal ini terus terjadi dalam jangka panjang, maka tentu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Agaknya, pemberian remunerasi belum cukup untuk mengatasi hal itu. Diperlukan sanksi tegas berupa pemberhentian bagi aparat birokrasi yang terbukti memperumit proses pelayanan publik.

    Masalah korupsi juga menjadi hambatan lain bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dapat dipastikan tidak akan ada kemajuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi secara signifikan bila sebuah negara masih terkungkung dengan praktek tindak pidana korupsi.

    Investor asing akan berpikir dua kali untuk menanamkan uang di Indonesiajika tindak pidana korupsi masih merajalela dan peningkatan supremasi hukum belum tercapai. Karena itu, dibutuhkan upaya serius dari seluruh jajaran aparat penegak untuk secara berkelanjutan melaksanakan pengawasan dan perbaikan di sektor hukum.

    Sementara itu, pembangunan infrastruktur juga menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sulit dimungkiri bahwa ketidaksiapan infrastruktur memang merupakan masalah utama yang paling sering dikeluhkan oleh para investor.

    Hambatan-hambatan infrastruktur ditenggrai sebagai salah satu sebab utama munculnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

    Pemerintah dapat mendorong pembagunan infrastruktur melalui peningkatan alokasi belanja modal. Dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, pemerintah mengalokasikan belanja modal sebesar Rp161,4 triliun dari total belanja negara yang mencapai Rp1.435,4 triliun.

    Namun, hal itu tidak cukup tanpa diiringi dengan keterlibatan pihak swasta. Pemerintah harus terus mendorong keterlibatan pihak swasta guna mengakselerasi pembangunan infrastruktur.

    Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri tanpa dukungan pihak swasta mengingat keterbatasan yang dimiliki pemerintah dalam soal pendanaan. Peran swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri, sangat penting dalam menunjang pembangunan infrastruktur.

    Perlambatan pertimbuhan ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa harus dapat dimanfaatkan Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

    Kenaikan peringkat investment grade yang dialami Indonesia beberapa waktu lalu tidak akan mendatangkan manfaat signifikan bagi perekonomian Indonesia jika tidak diiringi pembenahan terhadap tiga masalah di atas.

  • Neuronomics dan Teori Baru Ekonomi

    Neuronomics dan Teori Baru Ekonomi
    Robert J. Shiller, Guru Besar Ekonomi di Yale University; Pengarang, Bersama George Akerloff, Buku Animal Spirits: How Human Psychology Drives the Economy and Why It Matters for Global Capitalism
    Sumber : KORAN TEMPO, 9 Januari 2012
    Ilmu ekonomi saat ini berada pada titik awal dari suatu revolusi yang bermula dari suatu sumber yang tidak terduga: fakultas kedokteran dan sarana penelitiannya. Neuroscience–ilmu mengenai bagaimana sebenarnya kerja otak, organ fisik di dalam kepala manusia–telah mengubah cara berpikir kita mengenai bagaimana seseorang mengambil keputusan. Penemuan ini pasti juga bakal mengubah cara berpikir kita mengenai bagaimana kerja ekonomi. Singkatnya, kita sedang menyaksikan fajar terbitnya neuroeconomics, ilmu ekonomi berbasis saraf.
    Upaya mengaitkan neuroscience (ilmu saraf) dengan ilmu ekonomi baru dimulai dalam beberapa tahun terakhir ini saja, dan perkembangan neuroeconomicsini masih berada pada tahap awal. Tapi lahirnya neuroeconomics mengikuti suatu pola: revolusi di bidang ilmu pengetahuan cenderung dimulai dari tempat-tempat yang sama sekali tidak diduga. 
    Suatu bidang ilmu bisa mandul jika tidak ada pendekatan yang baru secara mendasar pada penelitian. Ilmuwan bisa terjebak dalam metode yang mereka gunakan–dalam bahasa dan asumsi pendekatan mereka pada disiplin ilmu yang mereka geluti–sehingga penelitian yang mereka lakukan merupakan pengulangan demi pengulangan semata yang tidak berarti.
    Kemudian sesuatu yang menggairahkan datang dari seseorang yang tidak pernah menggunakan metode-metode ini–suatu ide baru yang menarik ilmuwan-ilmuwan muda dan segelintir ilmuwan tua, yang mau belajar ilmu yang berbeda. Pada momen tertentu, dalam proses inilah lahir suatu revolusi ilmiah.
    Revolusi neuroeconomics ini sudah melewati tonggak-tonggak sejarah yang penting pada akhir-akhir ini, terutama dengan diterbitkannya akhir tahun lalu Foundations of Neuroeconomic Analysis karangan neurosaintis Paul Glimcher–variasi judul karya klasik Paul Samuelson pada 1947, Foundations of Economic Analysis, yang membantu lahirnya revolusi dalam teori ekonomi. Dan Glimcher sendiri sekarang memegang suatu jabatan di Fakultas Ekonomi New York University (dan juga pada Center for Neural Science di universitas yang sama).
    Bagi sebagian besar ekonom, Glimcher mungkin dianggap datang dari ruang angkasa. Gelar doktor yang diembannya diterima dari Fakultas Kedokteran University of Pennsylvania, jurusan neurosains. Lagi pula para neuroeconomist, seperti Glimcher, melakukan penelitian jauh di luar lingkup intelektual konvensional rekan-rekan mereka, karena berupaya memajukan konsep-konsep inti ilmu ekonomi dengan mengaitkannya dengan struktur-struktur tertentu dalam otak.
    Banyak di antara teori ekonomi dan keuangan modern bertumpu pada asumsi bahwa manusia itu rasional, dan karena itu dengan sistematis berupaya memaksimalkan kebahagiaan diri mereka sendiri, atau dalam bahasa ekonomi disebut “utilitas” mereka sendiri. Ketika Samuelson mengupas persoalan ini dalam bukunya pada 1947, ia tidak melihat ke dalam otak manusia, melainkan mengandalkan revealed preference atau preferensi yang “terwahyukan”. Tujuan yang hendak dicapai manusia terungkapkan dari pengamatan kegiatan ekonomi yang mereka lakukan. Dengan bimbingan Samuelson, generasi demi generasi ekonom telah meletakkan dasar penelitian yang mereka lakukan bukan pada struktur fisik yang mendasari pikiran dan perilaku, melainkan pada asumsi rasionalitas.
    Akibatnya, Glimcher merasa skeptis dengan teori ekonomi yang ada, dan mencari basis fisik bagi teori ekonomi itu di dalam otak manusia. Ia ingin mengubah teori utilitas yang “lunak” itu menjadi teori utilitas yang “keras” dengan menemukan mekanisme otak yang mendasari teori ekonomi.
    Terutama sekali Glimcher ingin mengidentifikasi struktur otak yang memproses unsur-unsur utama teori utilitas ketika orang menghadapi ketidakpastian: “(1) nilai subyektif, (2) probabilitas, (3) produk dari nilai subyektif dan probabilitas (nilai subyektif yang diharapkan), serta (4) mekanisme neuro-computationalyang menyeleksi unsur di antara pilihan yang memiliki ‘nilai subyektif yang paling tinggi’?”.
    Sementara Glimcher dan rekan-rekannya telah mengungkapkan bukti yang menggoda, mereka masih harus menemukan sebagian besar dari struktur otak yang paling mendasar. Mungkin itu karena struktur-struktur sedemikian memang tidak ada, dan seluruh teori maksimalisasi utilitas itu keliru, atau setidak-tidaknya perlu direvisi secara mendasar. Jika demikian halnya, penemuan itu saja bakal mengguncang ilmu ekonomi ke akar-akarnya.
    Arah penelitian lainnya yang juga menggairahkan para neurosaintis adalah bagaimana otak menangani situasi yang ambigu, ketika probabilitas tidak diketahui, dan ketika tidak diperoleh informasi lainnya yang relevan. Sudah ditemukan bahwa kawasan otak yang digunakan untuk menangani masalah ketika probabilitas jelas diketahui berbeda dengan yang digunakan ketika probabilitas tidak diketahui. Penelitian ini bisa membantu kita memahami bagaimana orang menangani ketidakpastian dan risiko, misalnya, di pasar keuangan pada saat terjadinya krisis.
    John Maynard Keynes mengira sebagian besar keputusan ekonomi itu diambil dalam situasi yang ambigu ketika probabilitas tidak diketahui. Ia berkesimpulan bahwa banyak di antara siklus bisnis itu digerakkan oleh fluktuasi animal spirits(roh hewani), sesuatu yang ada dalam pikiran–dan yang tidak dipahami oleh para ekonom.
    Sudah tentu persoalannya dengan ilmu ekonomi terletak pada jumlah yang sama banyaknya antara penafsiran mengenai terjadinya krisis dan jumlah ekonom. Ekonomi merupakan struktur yang luar biasa kompleks, dan pemahamannya bergantung pada pemahaman hukum-hukumnya, aturan-aturannya, praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaannya, serta neraca-neracanya, di antara banyak perincian lainnya.
    Namun mungkin saja pada satu hari nanti kita bakal mengetahui lebih banyak soal bagaimana bekerjanya ekonomi–atau gagalnya kerja ekonomi–dengan lebih memahami struktur fisik yang mendasari kerja otak. Struktur-struktur–jaringan neuron yang berkomunikasi satu sama lain lewat axons dan dendrite–itu mendasari analogi otak dengan komputer, jaringan transistor yang berkomunikasi satu sama lain lewat kabel listrik. Ekonomi merupakan analogi jaringan manusia yang berkomunikasi satu sama lain lewat sambungan elektronik dan sambungan-sambungan lainnya.
    Otak, komputer, dan ekonomi, ketiganya merupakan perangkat untuk memecahkan persoalan informasi yang mendasar dalam mengkoordinasikan kegiatan tiap satuan–neuron, transistor, atau individu. Sementara kita meningkatkan pemahaman kita tentang masalah-masalah yang dipecahkan perangkat tersebut–dan bagaimana dengan demikian ia mengatasi rintangan–kita belajar sesuatu yang berharga mengenai kerja ketiganya: otak, komputer, dan ekonomi. 
  • Sawit, Sawah, dan Sejarah Masa Depan Indonesia

    Sawit, Sawah, dan Sejarah Masa Depan Indonesia
    Agus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMIST
    Sumber : KORAN TEMPO, 9 Januari 2012
    Menurut majalah Forbes edisi Desember 2011, di antara 40 orang terkaya Indonesia, paling tidak 10 orang mengusahakan kelapa sawit. Jadi, 1 di antara 4 orang terkaya Indonesia adalah pengusaha kelapa sawit. Dari sawah? Tidak ada. Yang merata dari sawah adalah petani gurem. Padahal makanan pokok kita orang Asia adalah nasi. Mengapa demikian dan apa implikasinya bagi sejarah Indonesia mendatang?
    Pemerintah kolonial Belanda merancang Indonesia sebagai sumber pendapatan bagi Holland. Pembangunan pada zaman itu bukanlah untuk memperkaya, apalagi memerdekakan, Indonesia. Usaha perkebunan, mulai dari monopoli oleh VOC, Tanam Paksa oleh Pemerintah Kolonial, hingga Pengembangan Perkebunan Swasta Besar sejak dikeluarkannya Agrarischwet 1870, merupakan rancang bangun untuk mengeruk kekayaan Indonesia sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebagai ilustrasi, hasil Tanam Paksa pada 1860 mencapai 32 juta guilder atau sekitar 78 persen dari total pengeluaran pemerintah Belanda pada saat itu (Thee). Kopi merupakan penghasil utama pada 1800-an, kemudian gula pada 1920-an, dan karet pada 1960-an.
    Kelapa sawit bertumbuh sangat pesat pada periode 1980-2000 dengan posisi awal pada 1970 hanya sekitar 200 ribu hektare dan sekarang menjadi sekitar 8 juta hektare. Nilai ekspor minyak sawit pada 2010 adalah sekitar US$ 17 miliar atau sekitar US$ 170 per ha per bulan. Mengejutkan, ternyata penerimaan devisa per hektare per bulan dari minyak sawit ini lebih rendah daripada pendapatan tenaga kerja Indonesia (TKI) per bulan, yaitu sekitar US$ 250 per bulan atau lebih.
    Sawah merupakan penghasil pangan, khususnya beras. Sawah merupakan hasil proses ribuan tahun evolusi pertanian pangan di Asia, sebagaimana halnya dengan gandum di Eropa. Tujuan utama dari usaha sawah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok rakyat. Sangatlah jelas bahwa, apabila beras merupakan komoditas pangan prioritas, maka sawah merupakan sarana produksi prioritas utama. Sayang sekali data tidak menunjukkan demikian. Luas lahan sawah dapat dikatakan tidak bertambah atau bahkan lebih tepatnya berkurang, khususnya relatif terhadap kebutuhan pangan rakyat yang terus bertambah sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, dan akibat berlanjutnya konversi lahan sawah untuk penggunaan lain. Misalnya, luas lahan irigasi teknis berkurang dari 2,21 juta ha (2000) menjadi 2,18 juta ha (2005). Total luas lahan sawah juga kurang dari luas perkebunan sawit, yaitu kurang dari 8 juta ha, sudah termasuk area sawah tadah hujan, pasang-surut, dan jenis lahan sawah lainnya.
    Padahal data sejarah juga sudah menunjukkan bahwa Indonesia ini sering melakukan impor beras dalam jumlah yang relatif tinggi, misalnya mencapai di atas 10 persen dari total nilai impor komoditas utama pada 1871-73 (10,7 persen), 1901-05 (13,7 persen), 1909-13 (16,2 persen), 1973 (14 persen), dan 1977 (10,9 persen) (Kano). Pada 2009, 2010, dan 2011, FAO memperkirakan Indonesia masih mengimpor beras masing-masing 0,3, 0,6, dan 0,7 juta ton. Jadi, sudah jelas Indonesia memerlukan pelipatgandaan luas lahan sawah dan produktivitas pertanian pangan ini, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa area yang luasnya berlipat-ganda ternyata bukan sawah, melainkan area perkebunan kelapa sawit.
    Sejarah apa yang akan kita tulis pada masa mendatang, apabila pola atau tren yang terjadi selama kurang-lebih 40 tahun terakhir ini kembali berulang pada 40 tahun yang akan datang?
    Tidak terlalu sulit untuk memperkirakan bahwa, pada masa mendatang, tidak perlu menunggu sampai tahun 2050, Indonesia akan dilanda berbagai kekacauan yang bersumber dari kelangkaan pangan dan ketimpangan penguasaan lahan yang makin lebar. Melanjutkan ekspor kelapa sawit, sebagaimana yang berlaku sekarang (berbasis ekspor minyak sawit), selain tidak akan mensejahterakan Indonesia, juga akan membuat ekspor kita sangat mudah diganggu oleh pasar dunia atau bahkan dapat dihancurkan sebagaimana yang telah terjadi dengan kopi, gula, atau karet pada masa lalu. Adapun bergantung pada impor beras, dengan jumlah penduduk sekitar 300 juta jiwa pada 2050, juga akan membuat Indonesia mengalami tingkat kesulitan yang tak terbayangkan.
    Memang tidak mudah membalik sejarah, tetapi membiarkan masa depan yang tidak jelas atau tidak pasti dalam bidang pangan (baca: beras) dan mengharapkan yang juga sudah pasti tidak memberikan harapan besar (model sawit) bagi rakyat banyak merupakan perjudian yang harus dicegah. Di sinilah konsistensi kebijakan di bidang pertanahan dan patriotisme korporasi yang berbasis nasionalisme merupakan jawabannya. 
  • Titik Kegagalan Suatu Bangsa

    Titik Kegagalan Suatu Bangsa
    Edi Sugianto, MAHASISWA DAN AKTIVIS, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH, JAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 9 Januari 2012
    Masih hangat dalam ingatan kita. Beberapa hari lalu, dunia tak terkecuali bangsa kita sudah mengakhiri catatan akhir tahunnya. Itu berarti secara otomatis memasuki lembaran baru 2012, dengan segudang harapan akan kesejahteraan.
    Di bumi pertiwi misalnya, pesta akhir tahun sekaligus menyambut tahun baru tampak begitu meriah dengan berbagai macam hiburan, seakan-akan bangsa ini sudah berada di semenanjung kesuksesan. Padahal, jutaan jiwa penduduknya masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, dan pembangunan manusianya pun masih sangat memprihatinkan. 
    Terlihat dari jumlah orang miskin 2011 mencapai 30,02 juta atau sekitar 12,49 persen dari total penduduk Indonesia 240,35 juta jiwa, tahun 2010 jumlah orang miskin 13,33 persen dan 14,15 persen di tahun 2009.
    Meskipun jumlah kemiskinan tersebut mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, namun ironisnya setiap tahun, rata-rata orang yang keluar dari garis kemiskinan tersebut kurang dari 1 juta.
    Padahal, anggaran untuk pengentasan kemiskinan itu setiap tahun selalu mengalami kenaikan, misalnya pada 2009 anggarannya mencapai Rp 70 triliun, Rp 80 triliun (2010), dan naik lagi menjadi Rp 86,1 triliun pada 2011. 
    Jika anggaran kemiskinan pada tahun-tahun terakhir tersebut dijumlahkan, berarti lebih dari Rp 200 triliun, kemudian dibagikan kepada 31,02 juta orang miskin, maka per orang miskin akan mendapatkan bagian Rp 7 juta.
    Pertanyaannya, mengapa orang yang keluar dari garis kemiskinan masih kurang dari 1 juta setiap tahun, ke manakah uangnya? Tentu pemerintah yang bisa menjawab itu semua. (Republika, 30/12/2011:7).          
    Begitu juga dengan perkembangan pembangunan manusia. Indeks pembangunan (IPM) Indonesia pada 1980, 0.423. Kemudian 2011 meningkat menjadi, 0.617.
    United Nations Development Program (UNDP) mencatat, IPM Indonesia (2011) berada pada peringkat 124 dari 187 negara yang disurvei. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat Indonesia masih berada di bawah rata-rata dibanding masyarakat dunia (Indopos, 5/12/2011:4).       
    Peta bangsa yang kian runyam dan tak bertepi itu tentu tak diragukan merupakan akibat yang harus didiagnosis dan dicarikan obatnya. Jika tidak, harapan untuk keluar dari multikrisis hanya akan menjadi angan-angan belaka, tak ubahnya seribu lamunan anak muda. Apa sebenarnya akar dan sumber runyamnya bangsa kita ini?
    Sumber Petaka
    Hemat saya, multikrisis yang melanda negeri kita, seperti krisis ekonomi, politik sehat, pendidikan, pelayanan sosial, dan hukum. Semua itu sejatinya adalah dampak dari krisis kepemimpinan (crisis leadership) itu sendiri, yang menjadi titik hitam sejarah perjalanannya.
    Berapa banyak bangsa kaya dengan sumber daya alamnya (SDA) yang melimpah ruah, namun manusia-manusia yang hidup di dalamnya kering kerontang dengan ilmu pengetahuan dan kearifan, karena krisis kepemimpinan bangsanya sendiri, sehingga pada akhirnya mereka mati dengan kekayaan yang tak berguna itu.
    Memang tak bisa dielakkan, absennya pemimpin yang jujur, adil, amanah, visioner, kompeten, dan memiliki integritas tinggi, merupakan malapetaka besar sebuah bangsa. 
    Padahal, pemimpin yang berhak duduk di singgasana kekuasaan itu, seharusnya memenuhi beberapa syarat kepemimpinan. Dalam teori kepemimpinan Stephen Covey misalnya, sebagaimana dikutip Syafi’i Antonio (2012) dalam tulisannya, seorang pemimpin harus mau dan mampu menjalankan empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of leadership).
    Pertama, fungsi sebagai perintis (pathfinding), artinya pemimpin harus memahami dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, misi dan nilai-nilai yang dianutnya, visi dan strategi, yaitu ke mana bahtera bangsa akan dibawa dan bagaimana caranya agar sampai di dermaga harapan, bernama “kesejahteraan”. 
    Kedua, fungsi penyelaras (aligning). Kearifan pemimpin akan tercermin dari kemampuannya menyelaraskan keseluruhan sistem dalam organisasinya, agar terjalin sebuah sinergitas kinerja yang solid, sehingga tujuan bersama akan mudah dicapai. 
    Ketiga, fungsi pemberdayaan (empowering). Hal ini berhubungan dengan kejeniusan seorang pemimpin bagaimana menciptakan suasana yang penuh kegairahan dan romantika kerja, sehingga komitmen yang kuat (committed) akan tumbuh berkembang secara berkesinambungan. Keempat, fungsi panutan (modeling).
    Pemimpin yang karismatik akan selalu menjadi teladan bagi rakyatnya karena ia senantiasa melakukan apa yang dikatakan (walk the talk). Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya akan selalu dijalankan dengan baik oleh bawahan dan rakyatnya.                
    “Self Leadership”
    Keempat hal di atas tentu hanya ada pada pribadi yang memiliki self leadership dan berintegritas tinggi. Oleh sebab itu, hanya pribadi yang demikianlah yang layak memimpin sebuah bangsa.  
    Dalam dinamika globalisasi, banyak teori leadership yang lahir, namun anehnya hal itu tidak membuat dunia semakin tenteram, adil dan sejahtera, begitu juga bangsa kita. Syafi’i Antonio (2009) menegaskan, sejatinya penyakit yang menimpa kepemimpinan bukan krisis “teori”, melainkan krisis “keberanian” (courage) untuk mewujudkannya.
    Jika dalam jiwa pemimpin sebuah negeri tuna keberanian, tidak bisa diharapkan untuk membawa kesejahteraan. Oleh karena itu, kemampuan memimpin diri sendiri (self leadership) merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki siapa pun yang ingin menjadi pemimpin ideal masa depan. 
    Akhirnya, jika bangsa ini mengimpikan suatu perubahan yang berarti ke depan, tak ada jalan, kecuali memperbarui dan membenahi terlebih dahulu mental para pemimpinnya. Ini karena kemampuan memimpin diri sendiri merupakan kunci utama keberhasilan dalam memimpin keluarga, bangsa dan bahkan dunia. Semoga!  
  • Kekerasan Agama dan Kealpaan Negara

    Kekerasan Agama dan Kealpaan Negara
    Joko Riyanto, KOORDINATOR RISET
    PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN (PUSKALITBA) SOLO
    Sumber : SINAR HARAPAN, 9 Januari 2012
    Negeri kita rupanya masih bersimbah kekerasan. Tindakan main hakim sendiri termasuk dalam urusan beda paham keagamaan masih menghiasi paras negeri yang dikenal multikultural ini.
    Seperti peristiwa pembakaran rumah dan kompleks Pesantren Islam Syiah yang berada di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur oleh massa. Penyebabnya, pemimpin Syiah Sampang, Ustaz Tajul Muluk dan pengikutnya dituduh membawa ajaran sesat (Sinar Harapan, 30/12/2011).
    Peristiwa tersebut semakin menambah daftar panjang kekerasan atas agama, seperti kasus penganiayaan pendeta dan penatua HKBP Ciketing, Bekasi, kasus Temanggung, Jawa Tengah, serta kasus penganiayaan dan pembunuhan jemaah Ahmadiyah, di Cikeusik, Banten.
    Kita melihat bahwa salah satu faktor utama terjadi aksi kekerasan terhadap umat Islam Syiah di Sampang tidak lain karena absennya tangan negara mengatasi persoalan tersebut sejak dini.
    Negara terkesan melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi sepihak kelompok masyarakat yang secara sewenang-wenang mengambil alih peran negara untuk melarang orang beragama dan beribadah. 
    Tidak mengherankan kalau masyarakat kita bukan saja tidak merasakan hadirnya negara, tapi lebih dari itu, mereka kian melihat negara yang alpa akan tugas-tugasnya. Rakyat tetap menjadi yatim piatu, kendati tahun lama sudah berlalu.
    Perlu ditegaskan bahwa setiap individu di negeri ini memiliki kemerdekaan beragama dan beribadah. Negeri ini memang harus bebas dari intimidasi, bebas dari tindakan anarkistis, terutama yang berkaitan dengan agama. Karena itu, tidak boleh ada satu pihak pun yang memaksakan kehendak, apalagi dengan kekerasan.
    Hal ini sejalan dengan semangat kebangsaan dan toleransi yang sejak bangsa ini berdiri sudah terpatri teguh. Semangat pendirian bangsa ini adalah semangat kebersamaan, di mana di dalamnya disuguhi banyak muatan budaya, agama, maupun latar belakang para pejuang.
    Itu sebabnya negara perlu menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. UUD 1945 pun melindungi hak warga untuk beragama atau meyakini sebuah kepercayaan.
    Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Di situ ditegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan, negara kita sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga menjamin hal yang sama.
    Dalam bukunya al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyyah, Muhammad Abduh (2001) mengatakan bahwa kekuasaan negara haruslah berlandas pada kedaulatan rakyat dan kebebasan sipil.
    Abduh memaksudkan kebebasan sipil di sini tidak hanya sebatas kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berijtihad, melainkan pula kebebasan setiap orang untuk berbeda agama dan menjalankan ibadah agama yang diyakininya tersebut. Gagasan Abduh ini sejalan dengan pernyataan peraturan di atas.
    Negara bukanlah ciptaan Tuhan. Negara terbentuk melalui pergulatan sosial-politik manusia. Rakyat Indonesia mendeklarasikan Republik Indonesia setelah mengalami pergumulan panjang dengan penindasan kolonialisme Belanda.
    Meskipun kemerdekaan tersebut diakui sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bukan berarti menerima kedaulatan agama tertentu dalam negara. Indonesia bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara yang tak beragama. Agama diberikan ruang untuk hidup dan berkembang.
    Kebebasan beragama adalah sesuatu yang asasi dalam kehidupan masyarakat demokratis. Ketika suatu ekspresi keberagamaan yang kritis ditekan dan dilarang oleh kelompok mayoritas, larangan dan represi tersebut telah memupuskan harapan bagi terciptanya kebaikan bersama. Kebebasan individu untuk beragama hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang demokratis.
    Maka, hak-hak asasi manusia tentang adanya jaminan beribadah secara bebas dan menyebarkan agamanya harus senantiasa dikembangkan. Jangan sampai, sebuah agama atau sekelompok tertentu dalam intern agama memaksa dan menggunakan kekerasan guna menghegemoni dakwah untuk kelompoknya sendiri.
    Negara didirikan bukan hanya untuk golongan tertentu, suku, agama, melainkan negara milik semua. Semua warga negara dijamin mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Realitas para pemimpin baik yang di pusat maupun di daerah takut menjalankan konstitusi.
    Itulah persoalan yang terjadi. Ketika konstitusi tidak dijalankan untuk semua warga negara, terjadi kekosongan kewibawaan publik. Hal itu dibiarkan negara dan tunduk terhadap pelaku kekerasan. Dengan begitu, keadaban publik bangsa yang menjamin keanekaragaman budaya, suku, dan agama akan dihancurkan (Benny Susetyo, 2010).
    Kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sungguh mengkhawatirkan. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum menunjukkan upaya yang berarti dalam mengatasi masalah yang timbul terkait kebebasan tersebut.
    Presiden SBY hanya gemar menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan, tetapi bertolak belakang dengan kejadian di lapangan. Politik kata-kata Presiden ditunjukkan dengan tidak tuntasnya penanganan sejumlah kasus pelanggaran hingga berlarut-larut, berulang, dan terus memproduksi kecemasan publik.  
    Negara mestinya tak melakukan pembiaran kekerasan berkedok agama. Fungsi negara adalah menjamin kebebasan menjalankan agama diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamnya.
    Ini karena pada dasarnya ada hubungan yang mutlak antara kebebasan beragama, institusi, dan kebijakan yang dapat menjamin kebebasan itu. Bila salah satunya timpang maka kehidupan demokrasi dan jaminan kebebasan warganya akan terancam juga.
    Kita meminta Presiden SBY bertindak tegas, jelas, dan adil atas nama konstitusi demi keutuhan Republik Indonesia. Selanjutnya, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus mau menghargai dan melaksanakan prinsip pluralisme keagaman dan kebebasan beragama.
    Soalnya, kebebasan dan pengakuan akan keberagaman merupakan potensi yang sangat bagus untuk membangkitkan negeri ini dari tirani sekelompok orang dan korupsi yang merajalela.
    Prinsip kebebasan, persamaan, dan keadilan sosial mesti ditegakkan melampaui sekat-sekat golongan, agama, dan paham keagamaan. Kita semua harus berdoa dan berusaha secara maksimal agar kemelut demokrasi dan gejala otoritarianisme keagamaan ini segera berakhir.
  • Kala Jokowi Ber-Kiat Esemka

    Kala Jokowi Ber-Kiat Esemka
    Iman Sugema, EKONOM
    Sumber : REPUBLIKA, 9 Januari 2012
    Tahukah Anda, ketika Jokowi sang Wali Kota Solo memesan mobil buatan anak-anak SMK maka saya pun ingin ikut pesan.  Alasan saya sederhana saja: itu pasti mobil bagus.  Kok bisa sampai pada kesimpulan itu tanpa menelisik secara teknis mobil tersebut?

    Jokowi bukan sekadar wali kota.  Ia pernah menjadi pengusaha dengan pergaulan yang luas.  Berbagai jenis kendaraan pasti telah ia tunggangi.  Tak sulit baginya untuk membedakan mana mobil bagus dan tidak.  Dari mulai tampilan eksterior sampai pernak-pernik interior pasti sudah ia nilai. 

    Dan, ternyata benar.  Mobil Kiat Esemka adalah mobil yang sangat fenomenal.  Bodinya tampak gagah dan cukup trendi.  Pengerjaan interior sangat apik, tak kalah dengan mobil-mobil buatan Jepang maupun Eropa.  Kabin cukup lega untuk memuat aa, teteh, papah, mamah, om, dan tante.  Cocok dibawa keliling kota, keluar masuk gedung bertingkat sambil memakai dasi maupun mengarungi jalan becek di perdesaan.  Ini betul-betul mobil keluarga Indonesia, Bung! 

    Ini bukan apakah Jokowi punya motif politik atau sekadar mencari sensasi dan popularitas.  Ini lebih merupakan bagaimana cara kita mengapresiasi kemampuan dan kreativitas anak-anak bangsa yang dengan fasilitas seadanya mampu membuat sesuatu yang sejajar dengan kemampuan perusahaan-perusahaan besar skala internasional.  Ini juga merupakan cara kita untuk menyadari diri sendiri bahwa kita memiliki kemampuan.

    Ini juga bukan tentang ambisi untuk menggulirkan kembali proyek mobil nasional.  Kita memang memiliki pengalaman buruk dengan mobnas.  Di zaman Orde Baru dahulu, proyek mobnas dirintis dengan menghina akal sehat.  Mobil bikinan Korea ditempeli merek dagang domestik supaya kelihatan sebagai mobil buatan dalam negeri.  Itu adalah cara paling bodoh dan mengelabui akal sehat.

    Kiat Esemka jauh dari praktik yang mirip lelucon seperti itu.  Ia dibangun bukan atas tipu daya.  Ia dikembangkan dengan menggunakan kecerdasan dan keterampilan.  Ia tidak lahir dari sebuah kegiatan ‘mroyek’ atau perburuan rente.  Anak-anak SMK itu didorong oleh keinginan yang luhur untuk mengasah kemampuan mereka sendiri.  Ini bukan mobnas bung, tapi ini betul-betul mobil Esemka.  Karena itu, saya lebih bangga kalau mobil ini tetap disebut sebagai Kiat Esemka.  Tanpa embel-embel mobnas lho.

    SMK sampai saat ini masih diberi stigma sebagai sekolah yang inferior dibanding SMA umum.  Yang masuk ke situ dianggap memiliki masa depan suram alias madesu.    Padahal, kalau dari sudut pandang filosofi pendidikan SMK merupakan sekolah yang mencakup domain yang paripurna. Tiga domain pendidikan diperkenalkan secara simultan, yakni afektif, kognitif, dan psikomotorik. 

    Di lain pihak, SMA merupakan sistem pendidikan yang pincang karena hanya bertumpu pada dua domain saja, yakni afektif dan kognitif.  Jadi secara teoretis, SMK mestinya merupakan sekolah yang lebih unggul.  Saya kira, langkah Jokowi sebaiknya dimaknai sebagai upaya penyadaran pada masyarakat bahwa SMK merupakan sekolah unggulan. 

    Sekarang bagaimana caranya kita mengangkat ‘derajat’ SMK?  Coba kita bayangkan kalau di seluruh Indonesia ada seribu SMK negeri maupun swasta yang mampu memproduksi mobil setiap bulan masing-masing 10 unit.  Dalam satu tahun dapat diproduksi 120 ribu unit atau lebih dari 10 persen dari penjualan mobil tahun lalu. 

    Angka ini kelihatan cukup fantastis dan tanpa disadari sebenarnya bangsa ini sudah memiliki ‘pabrik’ mobil.  Dan, ini merupakan pekerjaan yang ‘enteng’ buat para siswa SMK karena hanya memproduksi satu unit setiap tiga hari.  Dengan cara yang sama, kita juga bisa memproduksi kulkas, televisi LCD, ataupun handphone ala SMK.  Tak terbayang efeknya bukan?

    Sebagai langkah awal, harus ada investor lokal berskala menengah yang mau merintis usaha di bidang ini.  Tujuannya adalah mengintegrasikan kira-kira 10 sampai 20 SMK di Solo dan sekitarnya menjadi percontohan sentra produksi otomotif.   Ini bukanlah mimpi karena pada kenyataannya perusahaan multinasional telah lama mengaplikasikan production networking yang tercerai berai di seluruh penjuru dunia.  Yang diperlukan sekarang adalah pengusaha dan orang yang mampu menangani masalah manajerial yang jauh lebih kompleks dari masalah membentuk bodi dan merangkai mesin mobil. 

    Siapakah pengusaha itu?  Pastinya banyak yang bersedia.  Saratnya hanya satu: nggakusah pakai dana APBN atau APBD ya.  Maksudnya biar pengusaha itu sejak dari awal sudah berhitung untung rugi dan segala risikonya ditanggung sendiri tanpa fasilitas dari pemerintah.  Toh selama ini Kiat Esemka dibuat tanpa dimanjakan oleh fasilitas.  Siapa tahu Anda tertarik ide ini? Selamat mencoba.  Sukses untuk kita semua.  Something big always starts from small things.

  • Negara Darurat Konflik

    Negara Darurat Konflik
    Mohamad Fathollah, SOSIOLOG UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 9 Januari 2012
    Konflik horizontal disertai kekerasan dan pembunuhan beberapa bulan terakhir semakin meningkat di daerah-daerah. Mulai dari perebutan lahan, pembakaran rumah, perampokan, pembunuhan terang-terangan di depan publik, dan lainnya. Adanya konflik semacam itu dapat dipastikan bahwa Indonesia darurat konflik.

    Darurat konflik barangkali bukanlah isu baru. Adanya sistem masyarakat terbuka yang ada di Indonesia menjadikan masyarakatnya mudah tersulut konflik, baik yang dilakukan oleh per kelompok dalam suatu masyarakat maupun bahkan masyarakat versus aparat. Di Bima, yang terjadi belum lama ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita (baca: aparat) belum mampu membahasakan konsep Protap Kapolri Nomor 1/I/2010 tentang Penanggulangan Anarki pada Ranah Kesadaran Kemanusiaan.

    Tindakan represif aparat yang dinilai ngawurdan membabi buta terhadap para demonstran lagi-lagi menjadi persoalan baru sebuah tindakan anarkis. Atau sebaliknya, adanya kegetiran dan kewaspadaan terhadap aparat menjadikan masyarakat secara sadar mempersiapkan segala kemungkinan bentrok dengan pegangan senjata tajam di tangan masing-masing. Tidak jarang, adanya ego dari kedua belah pihak (warga versus aparat) bentrok tidak dapat dihindarkan. Hal ini barangkali bisa becermin pada konflik yang terjadi di Sape, Bima, dan Mesuji, Lampung.

    Atau, kita dapat becermin pada konflik masyarakat di Sampang, Madura. Warga yang beraliran Sunni membakar sejumlah rumah warga dan pesantren yang beraliran Syiah. Dalam pemberitaan media, hal tersebut akibat ketidakterimaan warga yang beraliran Sunni yang menganggap Syiah sebagai aliran sesat dalam Islam. Walaupun faktanya tidak demikian, bahwa pimpinan dua kelompok bertikai tersebut masih saudara dan konflik mengemuka ditengarai adanya latar belakang kecemburuan sosial dari masing-masing pimpinan. Kalaupun isu tersebut menjadi isu agama, tidak lain sebagai narasi konflik lain yang telah sedemikian akut.

    Yang paling terbaru, misalnya, penembakan misterius terjadi menjelang detik-detik pergantian tahun 2012 lalu di tiga tempat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejumlah orang tanpa salah diberondong tembakan dari beberapa orang tidak dikenal. Penembakan tanpa motif tersebut mengakibatkan lima orang tewas dan lainnya luka-luka kritis.

    Grand Design

    Tidak dapat dimungkiri bahwa konflik horizontal dan vertikal mudah terjadi di Bumi Pertiwi ini. Fakta sejarah menunjukkan konflik yang terjadi di Indonesia berawal dari kecemburuan sosial antara satu warga dan warga lainnya.

    Adanya ketertindasan struktural dari pemerintah atas penguasaan lahan atau perebutan tanah, melambungnya kebutuhan pokok, represifisme aparat, dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya seolah-olah terjadi pembiaran. Tengok misalnya, pemerintah tidak akan melakukan tindakan pengusutan dengan membentuk tim khusus atau tindakan penanggulangan lainnya apabila konflik dalam masyarakat belum mengarah pada masifisme atau adanya korban mati. Pemerintah (pusat) akan turun langsung meninjau ke lapangan ketika ada korban dari sebuah pertikaian warga dan nyata-nyata mengancam kedudukan pemerintah.

    Pembiaran lain, misalnya, pada aksi Sondang Hutagalung yang melakukan pembakaran diri di depan istana. Adakah tindakan positif dalam melakukan revitalisasi dan strukturalisasi kebijakan khusus prorakyat atas protes Sondang? Kalaupun ada, barangkali sebatas pada penyelidikan kasus dan mengungkap motifnya.

    Terjadinya konflik beberapa bulan terakhir di daerah-daerah dapat dikategorikan sebagai ketidakterimaan sosial (social-disagreement).Konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berlangsung secara berkelompok. Kekerasan dipilih sebagai sebuah gerakan untuk lebih mengemuka dan didengar oleh pihak terkait atau pemerintah. Protes Sondang sebagai aktivis mahasiswa gemanya berlangsung hanya beberapa hari dan belum mampu membungkam segala ketidakadilan. Di samping itu, aksi tragis tersebut belum mampu menjadi akar gerakan lebih masif dari gerakan mahasiswa idealis.

    Alih-alih menjadi Tunisia kedua pasca-Mouhamed Bouazizi membakar dirinya, pembakaran diri Sondang oleh beberapa kalangan bahkan disebut sebagai aksi konyol. Tidakkah kita dapat berpikir lebih jernih untuk menafsirkan aksi tersebut pada pembelaan keadilan dan kemanusiaan yang acap tergadai?

    Tidak heran, misalnya, sejumlah aksi protes yang terjadi di daerah dikatakan sebagai bentuk grand designatau rekayasa besar-besaran dari sejumlah pihak atau momentum konflik tersebut dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyerang kelompok lainnya (pemerintah).

    Peta Konflik

    Konflik di mana para pesertanya merasa bahwa mereka semata-mata merupakan wakil dari kolektivitas-kolektivitas atau kelompok-kelompok, berjuang bukan untuk dirinya, melainkan hanya untuk cita-cita kelompok yang diwakilinya itu, sangat mungkin lebih radikal serta tidak kenal ampun ketimbang mereka yang berjuang hanya untuk alasan-alasan pribadi (Louis A Coser, 1956:118).

    Konflik yang ada di permukaan tidak dapat terselesaikan selama ego dari masing-masing kelompok masyarakat mengemuka. Dalam pandangan Coser, konflik dapat menjadi pementik bagi terbentuknya keadilan sosial dan keterseimbangan sosial (social equilibrium). Hal demikian dapat tercapai ketika konflik dapat dipetakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bersangkutan serta nirkepentingan politik parsial.

    Aparat, misalnya, dapat membuat peta konflik dari berbagai daerah untuk tidak hanya sebagai langkah prefentif, namun juga memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat dan petugas pelaksana untuk melakukan tindakan nonrepresif. Belum lagi pada tahun 2012 ini, Polri memprediksi konflik dalam masyarakat, terutama aksi terorisme, masih menjadi rangkaian realitas sosial.

    Dari masyarakat sendiri, katup penyelemat (safety-belt)adanya konflik horizontal sebagaimana menjadi landasan konflik Coser ialah membangun kesadaran komunal akan terbentuknya masyarakat baik. Masyarakat di mana ketidakadilan sosial dapat menjadi pecut untuk lebih kreatif dan produktif bekerja serta menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Kecemburuan sosial memang pasti ada. Akan tetapi, kecemburuan tersebut dapat dimaknai sebagai external support untuk lebih kompetitif. Tidak usah menunggu pemerintah turun lapangan, langkah kompetisi-positif masyarakat secara tidak langsung akan membangun kesejahteraan bangsa (welfare state) yang berkeadilan dan menyeluruh.

  • Parodi Sandal Jepit

    Parodi Sandal Jepit
    Achmad Fauzi, HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTABARU KALIMANTAN SELATAN
    Sumber : REPUBLIKA, 9 Januari 2012
    Tahun 2012 panggung penegakan hukum diawali parodi sandal jepit. Belum lekang dari ingatan soal jerat hukum seorang pencuri buah kakao dan semangka, masyarakat tersentak oleh kasus pencurian sandal  oleh seorang remaja di Palu, Sulawesi Tengah. AAL dituduh mencuri sepasang sandal jepit merek Eiger nomor 43 milik Briptu Anwar Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah.

    Kriminalisasi yang dilakukan polisi itu sontak menuai kritik banyak orang. Padahal, polisi memiliki diskresi untuk menyidik atau tidak menyidik sepanjang dapat dibenarkan oleh hukum. Penegakan hukum kasus ini seharusnya menjadi introspeksi untuk melakukan perbaikan di internal kepolisian. Misalnya, mengupayakan mediasi penaldan memprioritaskan penuntasan kasus pidana penganiayaan yang dilakukan oknum anggotanya terhadap AAL. Tapi, nasi telah menjadi bubur. Kasus itu telah bergulir dan AAL divonis bersalah oleh pengadilan.

    Supremasi hukum di negeri ini memang selalu digelayuti deret tanda tanya. Sistem peradilan pidana kerap membuat geger jagat publik karena alpa memperhatikan perbedaan karakter pelaku dan tindakan yang dilakukan masing-masing orang. Akibatnya, peradilan pidana terkesan kejam dan mengabaikan nilai kehidupan manusia. Pada saat bersamaan panggung hukum menyajikan sejumlah ironi. Hukum tampil gagah berani tatkala menghadapi yang lemah, tapi mandul mengusut tuntas kasus hukum yang melibatkan pejabat di lingkaran kekuasaan.

    Hakim tentu tak bisa berbuat banyak ketika kasus itu dilimpahkan ke pengadilan. Hakim mengadili berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, bukan opini publik. Ketika perbuatan yang didakwakan telah memenuhi unsur, mustahil hakim menyatakan tidak bersalah. Yang dilihat hakim bukan semata-mata nilai ekonomis sandal jepit itu, tapi  jiwa jahatnya yang apabila tetap dibenarkan oleh pengadilan, membawa dampak negatif dan mengesankan bahwa perbuatan mencuri dibenarkan oleh hukum. Karena itu, untuk memenuhi rasa keadilan, hakim mengembalikan terdakwa ke orang tuanya untuk dilakukan pembinaan.

    Solidaritas

    Kasus pencurian sandal jepit telah menyita perhatian masyarakat. Sebagai bentuk solidaritas,  ribuan sandal jepit dikumpulkan di depan kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), untuk kemudian diserahkan kepada Kapolri. Gerakan solidaritas kini menjadi instrumen masyarakat untuk menyalurkan kritik dan mengetuk hati nurani penegak hukum yang tengah mengalami mati suri. Dikatakan demikian karena penegak hukum terbangun dari tidurnya jika hendak menghukum rakyat kecil. Tapi, menjadi linglung ketika menghadapi persoalan hukum kelas kakap.

    Lihat saja penanganan tiga kasus besar yang disinyalir melibatkan kelompok elite, yakni kasus mafia pajak dengan aktor Gayus Tambunan,  skandal Bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun, serta suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dengan terdakwa Muhammad Nazarudin. Relatif tak ada aktor intelektual yang tertangkap.

    Ketiga kasus yang diharapkan mampu menguak korupsi para elite itu, cenderung berakhir secara adat di bawah borgol politik. Gayus Tambunan “dikorbankan”sebagai aktor tunggal praktik penggelapan pajak, sedangkan atasan dan perusahaan yang memanipulasi pajak tidak terungkap.

    Demikian pula skandal Century yang hanya mampu menangkap pemain pinggiran. Bahkan, hingga kini nasibnya terkatung-katung lantaran belum ada kejelasan dari KPK apakah kasus Century dilanjutkan atau dihentikan. Nazarudin yang secara membabi buta menyebut keterlibatan sejumlah petinggi partai dalam kasus suap wisma atlet ternyata kasusnya juga mengalami isolasi. Ia yang ketika buron rajin  mengoceh, giliran ditangkap dan diadili seolah mengalami tekanan politik luar biasa sehingga kerap menyatakan lupa atau tidak tahu. Dapat dikatakan bahwa amunisi untuk membangun negara hukum di negeri ini hanya sekaliber sandal jepit.

    Iktikad menyidik pencuri sandal jepit hingga diadili di pengadilan sesungguhnya telah melampaui asas penting dalam hukum pidana. Bahwa, penerapan hukum pidana merupakan pilihan terakhir setelah segala upaya lain gagal ditempuh. Sehingga, upaya pidana menjadi ultimum remidian. Karena itu, konsep restorative justice dalam konteks ini menjadi sangat urgen. Sebuah proses yang pada dasarnya dilakukan melalui diskresi dan diversi, yakni pengalihan dari proses pidana untuk diselesaikan secara musyawarah.

    Diskresi polisi untuk menempuh upaya musyawarah ketimbang menyidik langsung pelaku  pencurian sandal jepit sejatinya jauh lebih tepat karena beberapa pertimbangan; pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan tergolong ringan, lebih mempertimbangkan pengaruh pidana bagi masa depan pelaku, dan pembinaan perilaku di tingkat keluarga lebih menjerakan. Ke depan kasus sejenis selayaknya tidak sampai ke pengadilan, karena selain memboroskan energi, ada kanal penyelesaian yang lebih elegan.

    Penyelesaian melalui musyawarah sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Dalam hukum adat penyelesaian perkara pidana dan perdata tidak ada diferensiasi, semuanya diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan mendapatkan keseimbangan dan pemulihan keadaan.

    Plea Bargaining

    Lebih jauh, kelemahan hukum acara pidana di Indonesia belum mengadopsi lembaga plea bargaining. Sebuah lembaga perundingan dan persetujuan antara terdakwa dan penuntut umum untuk mencapai persetujuan yang sah dan diakui pengadilan. Solusi ini selain memenuhi unsur kepantasan juga menguntungkan pihak penuntut umum sebagai yang mewikili negara, terdakwa, serta proses peradilan.

    Proses plea bargainingmenyangkut pertimbangan adanya keuntungan atau tidaknya dalam praktik. Untuk itu, diperlukan adanya aturan yang mengatur tingkah laku yang terlibat dalam proses negosiasi. Para pihak yang terlibat dalam proses plea bargaining ini, antara lain, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau terdakwa, tapi sangat jarang keterlibatan hakim.

    Di Amerika Serikat judicial participation di dalam plea negotiations dilarang undang-undang federal tentang criminal procedure. Larangan partisipasi hakim tersebut untuk menjaga objektivitas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

    Peran utama dalam proses plea bargaining ini dilakukan oleh penuntut umum. Peran ini dilakukan atas dasar kasus per kasus, dan penuntut umum menawarkan konsesi-konsesi. Untuk itu, diperlukan adanya petunjuk yang menentukan konsistensi kasus-kasus yang dapat dilakukan plea bargaindan kontrol terhadap diskresi penuntut umum. Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah pilihan-pilihan yang tepat, keseriusan kejahatan, sikap dari korban, isi dari pemeriksaan polisi, ketentuan pidana yang dapat diterapkan, kekuatan bukti kasus, sikap hakim yang mengadili mengenai plea bargaining.

    Peran penasihat hukum sangat nyata dalam proses plea bargain, karena berinteraksi langsung dengan penuntut umum dan hal-hal untuk menginformasikan kepada kliennya. Terutama tentang fakta-fakta yang menyangkut beberapa dakwaan, ketentuan-ketentuan pemidanaan dari alternatif dakwaan.

    Di Indonesia, belum adanya lembaga plea bargaining di dalam hukum acara pidana, menuntut sikap hukum yang responsif dari pengadilan dan hakim dalam menjatuhkan pidana. Sehingga, sistem peradilan pidana tidak seperti mesin teror. Hakim dapat mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan, sehingga tecermin adanya kepantasan dan keadilan dalam penjatuhan pidana.

  • Inflasi “Bersubsidi” dan Penurunan Suku Bunga

    Inflasi “Bersubsidi” dan Penurunan Suku Bunga
    A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
    UGM, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 9 Januari 2012
    Hasrat untuk menurunkan suku bunga kian besar pada awal tahun baru 2012 ketika Badan Pusat Statistik, pekan lalu, mengumumkan inflasi 2011 hanya 3,79 persen. Secara teoretis, semestinya hal ini bisa menjadi momentum penurunan bunga lebih lanjut.
    Suku bunga acuan (BI Rate) kini 6 persen, berarti masih ada jarak 2,2 persen terhadap inflasi. Kalau ini dipakai sebagai referensi, semestinya bunga acuan BI masih ada ruang gerak untuk turun ke 5,5 persen atau bahkan 5,25 persen. Selanjutnya, suku bunga kredit bank bisa ditekan ke 10 persen. Bisakah begitu?
    Penurunan suku bunga acuan BI memang dimungkinkan, tetapi ruang geraknya tidaklah selebar itu. Masalahnya, di balik inflasi rendah tahun 2011 terdapat pengorbanan besar, subsidi bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp 120 triliun. Jumlah yang signifikan, setara dengan 10 persen dari realisasi APBN 2011 yang sekitar Rp 1.200 triliun. Dengan kata lain, inflasi rendah tersebut sesungguhnya mengandung bias subsidi BBM. Jika BBM tidak disubsidi sebesar itu, inflasi pasti melebihi 5 persen.
    Sekarang masalahnya, apakah subsidi BBM tahun 2012 akan dibiarkan terus, bahkan mungkin mencapai Rp 140 triliun? Jumlah ini, ironisnya, setara dengan batas kemampuan pemerintah mendanai pembangunan infrastruktur dalam setahun. Jawabannya pasti tidak. Pemerintah berusaha menekan subsidi, antara lain, dengan pembatasan konsumsi. Namun, saya ragu, apakah kebijakan tersebut bakal efektif?
    Saya usul agar harga BBM dibagi tiga kelompok. Pertama, harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per liter yang hanya boleh dibeli pengendara sepeda motor. Alasannya, pengendara motor adalah kelompok masyarakat yang rentan terhadap krisis ekonomi. Pada 2011, penjualan sepeda motor sekitar 8 juta atau hampir 10 kali mobil. Populasi motor juga 10 kali lipat mobil. Karena itu, segmen ini paling layak menerima subsidi.
    Kedua, harga BBM ”setengah subsidi”— katakanlah Rp 6.000 atau Rp 6.500 per liter—yang boleh dibeli pengendara mobil. Kelompok ini sebenarnya tidak layak menerima subsidi. Namun, guna memberi periode transaksi, untuk sementara diberikan subsidi, tetapi dalam jumlah terbatas.
    Ketiga, harga BBM sesuai mekanisme pasar atau harga nonsubsidi, seperti BBM jenis Pertamax dan variannya, yang kini sekitar Rp 8.800 per liter.
    Saya yakin skema sederhana ini lebih mudah diterapkan daripada skema lain, seperti pembatasan konsumsi yang bisa menyebabkan antrean panjang sehingga rawan terjadi kericuhan.
    Cepat atau lambat, harga BBM akan naik. Berharap agar harga BBM tetap pada Rp 4.500 adalah sia-sia belaka. Alasannya, harga minyak tidak mungkin lagi dikembalikan ke level sebelum pertengahan tahun 2008, yakni 70 dollar AS per barrel. Produsen minyak tidak akan mengizinkan. Harga yang realistis kini 90-100 dollar AS per barrel.
    Untuk mengantisipasi hal terburuk, pemerintah harus mulai membiasakan masyarakat tidak terpaku pada harga BBM Rp 4.500 per liter. Caranya bisa dengan menaikkan bertahap harga BBM atau cara lain, terapkan tiga harga BBM: subsidi, setengah subsidi, dan mekanisme pasar.
    Kalau ini dilakukan, inflasi 2012 akan melesat ke 5 hingga 5,5 persen. Pada level ini, dari pengalaman, tetap dapat dijangkau oleh masyarakat (affordable) dan tidak menimbulkan guncangan politis—hal yang tampaknya ditakuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
    Dengan ekspektasi inflasi sekitar 5 persen, bunga acuan BI 6 persen seperti saat ini masih relevan. Masyarakat kita belum terbiasa menabung dengan bunga di bawah laju inflasi. Bisa dimengerti karena jumlah rekening di bank saat ini sekitar 90 juta, yang ekuivalen dengan 60 juta penabung. Angka ini masih kecil (cuma 25 persen) dibandingkan dengan 240 juta penduduk.
    Jadi, masih banyak penduduk yang belum tersentuh industri perbankan modern. Mereka mengenal sektor finansial dari penetrasi rentenir yang bunganya tinggi. Inilah salah satu alasan mengapa suku bunga tinggi: masih banyak penduduk tidak punya akses ke lembaga finansial formal.
    Luasnya wilayah Indonesia, dengan persebaran geografis dan demografis, ikut memberi andil pembentukan suku bunga tinggi. Ketika sebuah bank membuka cabang di Wamena, Papua, atau Tual, Maluku, dibutuhkan biaya besar. Karena itu, sebenarnya efisiensi perbankan di Indonesia tidak bisa dibandingkan secara apple to apple dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, terutama karena latar belakang geografis dan demografis. Indonesia masih harus meningkatkan banking habit yang indikatornya adalah jumlah rekening nasabah.
    Demikian pula pendalaman finansial yang indikatornya adalah rasio kredit perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio kita baru 30 persen, masih menderita ”pendangkalan finansial”. Jauh di bawah rasio ideal minimal 100 persen yang sudah dicapai Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan China.
    Sambil membenahi masalah struktural dan berdimensi jangka panjang tersebut, adakah kemungkinan menurunkan bunga kredit secara ”potong kompas”? Menurut saya bisa, asal pemerintah mau menjadi lokomotifnya. Caranya, pemerintah harus rela berkorban untuk tidak menetapkan target laba terlalu tinggi terhadap bank BUMN. Ketika bank-bank BUMN tidak dikejar target laba, mereka pun bisa mengendurkan net interest margin (NIM). Pada saat itulah suku bunga kredit dapat ditekan.
    Jika bank-bank BUMN bisa berperan sebagai pelopor pergerakan penurunan suku bunga kredit, bank-bank yang lain pasti mengikuti. Kalau pelopornya punya pangsa pasar kredit yang besar, mustahil bank-bank lain akan tinggal diam. Pangsa terbesar kredit itu sesungguhnya dimiliki oleh bank-bank BUMN. Menteri BUMN Dahlan Iskan bisa membantu.