Blog

  • “Surat Cinta” Century

    “Surat Cinta” Century
    Febri Diansyah, PENELITI INDONESIA CORRUPTION WATCH
    Sumber : KOMPAS, 10 Januari 2012
    Gerimis pada awal 2012 belum mampu mendinginkan polemik penalangan Century yang terjadi hampir empat tahun lalu. Sepenggal pidato Presiden SBY satu hari pascahasil angket Century mulai dipertanyakan lantaran tiga surat mantan Menteri Keuangan dan Ketua KSSK.
    ”Sekali lagi, saat pengambilan keputusan itu saya sedang berada di luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan arahan….”
    Itulah kutipan transkripsi pidato Presiden Yudhoyono di Istana Negara, 4 Maret 2010, yang tertulis di laman www.presidensby.info. Di sana, Presiden bilang, ketika kebijakan bailout diambil, SBY mengikuti KTT G-20 di Amerika Serikat dan APEC di Peru.
    Masih di pidato yang sama, dikatakan, berdasarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), pengambilan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak butuh keterlibatan Presiden.
    Tentu tidak berlebihan jika saya memaknai pidato itu bahwa salah ataupun benar kebijakan penalangan Bank Century adalah tanggung jawab KSSK. Sebuah Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang hanya terdiri atas dua orang, yaitu Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota (Pasal 5). Sempurna?
    Terselubung
    Tak ada gading yang tak retak. Tampaknya ada yang lupa, Pasal 9 Perppu No 4/2008 tentang JPSK mengatur, ”KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden”. Mungkinkah keputusan KSSK yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemis dan kemudian menyerahkan penanganan kepada LPS (21/10/2008) tidak dilaporkan kepada Presiden? Jika KSSK tak melaporkan, dengan mudah kita bisa katakan bahwa keputusan KSSK tersebut cacat hukum.
    Namun, beberapa lembar surat KSSK membuka tirai yang selama ini masih samar. Jika tanggal surat (25/11/2008) itu benar, artinya Presiden diberi tahu empat hari pasca-bailout Century dilakukan. Saat itu, mengacu pada audit investigatif BPK, pencairan tahap I senilai Rp 2,7 triliun telah terjadi (23/11/2008). Tiga tahap pencairan dana lainnya yang belum dilakukan adalah Rp 2,2 triliun, Rp 1,1 triliun, dan Rp 630 miliar. Namun, tercatat sehari sebelum pencairan tahap I ini (22/11/2008), laporan lisan juga sudah dilakukan kepada Wakil Presiden.
    Selain itu, laporan KSSK kepada Presiden tak berhenti sampai di sini. Dua surat berikutnya dikirim masing-masing pada 4 Februari dan 29 Agustus 2009. Lantas, apa yang bisa dibaca dari surat-surat tersebut?
    Sejumlah media sudah membuka fakta ini. Untuk kepentingan mengungkap kebenaran yang lebih substansial, pihak-pihak yang berwenang harus menelusuri lebih jauh makna komunikasi tersebut. Berdasarkan fakta yang terungkap, setidaknya kita tahu pihak-pihak yang harus bertanggung jawab.
    Kebenaran vs Kebenaran
    Polemik lain yang belum terjawab hingga saat ini adalah kisruh politik tentang penuntasan kasus Bank Century. Hasil angket menyimpulkan adanya penyimpangan pada kebijakan dan aliran dana talangan Century. Bahkan, pansus yang dibentuk saat itu menyebutkan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab, dua di antaranya adalah mantan Gubernur BI yang sekarang menjadi Wakil Presiden dan mantan Menteri Keuangan. Opsi C ini menang dalam pemungutan suara pada Rapat Paripurna DPR.
    Diterima atau tidak, menurut saya, opsi C adalah sebuah kebenaran politik. Ia lahir dari proses politik yang dijamin konstitusi.
    Namun, pertanyaannya, dapatkah kebenaran politik tersebut dipaksakan menjadi kebenaran hukum? Tunggu dulu. Jika hal ini dibiarkan, yang akan terjadi adalah arogansi politik terhadap hukum atau bahkan bukan tidak mungkin menjadi intervensi politik.
    Oleh karena itu, saya cenderung berpendirian bahwa hak konstitusional dan fungsi pengawasannya—jika ingin diteruskan—haruslah pada jalurnya. Jalur tersebut adalah melalui penggunaan hak menyatakan pendapat yang dimiliki DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
    DPR juga tidak bisa berkilah bahwa semua sudah diserahkan kepada KPK. Karena sebelum DPR bekerja sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memulai penelusuran skandal Century. Bahkan, KPK-lah yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, bukan DPR.
    Jika DPR masih bersikukuh menunggu KPK, sama artinya proses pansus angket Bank Century yang lalu itu sekadar buang-buang uang negara. Untuk apa ada pansus yang berbiaya mahal jika akhirnya kembali ke proses hukum yang sebelumnya bahkan telah dimulai?
    Bagi saya, hak menyatakan pendapat tidaklah perlu ditakuti oleh kedua belah pihak. Justru kepastian hukum akan didapatkan melalui proses persidangan di MK. DPR wajib membuktikan tuduhannya dan pihak yang dituduh dapat membantah. Hakimlah yang akan memutuskan. Saya sendiri cenderung lebih percaya integritas MK. Tentu tetap dengan pengawasan yang ketat dari publik.
    Di titik itulah kebenaran hukum yang didapatkan melalui proses hukum pidana di kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus berjalan terpisah. DPR cukup mengawasi, bukan intervensi. Khusus untuk KPK, pimpinan yang baru ditagih komitmennya dalam pemberantasan korupsi untuk menuntaskan skandal Century ini. Beberapa celah yang ditemukan dalam audit investigatif dan audit forensik BPK bisa dijadikan modal awal membongkar lebih lanjut. KPK diharapkan segera meningkatkan status penanganan kasus Century ke penyidikan.
    Publik Masih Menunggu
    Dugaan adanya unsur melawan hukum terkait pengawasan BI, laporan tentang keadaan Bank Century sebagai dasar fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP), pelanggaran CAR, aliran dana Rp 1 miliar kepada salah satu petinggi BI, aliran dana dari salah satu buron dalam kasus Century ke politisi, atau aliran dana lain yang diungkap di audit forensik BPK sangat mungkin dibongkar.
    Demikian juga dengan dugaan cacat hukum bailout karena berdasarkan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya Komite Koordinasi (KK) yang berwenang membuat kebijakan penyelamatan bank gagal berdampak sistemis. Selain terdiri dari Menteri Keuangan dan Gubernur BI, Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) dan LPS adalah anggota KK yang berwenang ikut mengambil keputusan. Berbeda dengan KSSK yang disiapkan sedemikian rupa oleh Perppu No 4/2008. Perppu tampaknya menghilangkan unsur LPP dan LPS sebagai pihak yang bisa mengambil keputusan.
    Lebih dari itu, jika KPK mampu, bukan tidak mungkin rantai yang hilang pada penerbitan Perppu JPSK, perubahan Peraturan BI, pencairan dana penyertaan modal sementara Rp 2,8 triliun yang masih dilakukan meski perppu tidak diterima DPR bisa diungkap.
    Salah satu yang perlu didalami adalah apakah ada konflik kepentingan dan niat jahat di balik kebijakan tersebut. Biasanya unsur itu bisa dibuktikan dengan adanya aliran dana berupa kickback kepada pengambil kebijakan langsung atau pihak-pihak yang masih punya afiliasi terhadap pejabat tersebut. Bisa melalui organisasi seperti yayasan, perusahaan, atau bahkan partai. Atau kemungkinan adanya persekongkolan untuk mendesain tabir hukum melalui kebijakan juga perlu ditelusuri.
    Apa pun itu, publik sangat menanti kerja konkret KPK jilid III. Demikian juga DPR, tetapi janganlah mencampuradukkan kebenaran politik dan memaksakannya.
    Silakan jalankan proses politik agar publik juga tidak disuguhi tontonan yang memuakkan tentang transaksi dan politik barter. Semoga saja ”surat cinta” ini bisa menjadi celah baru membongkar skandal Bank Century.
  • Tritura untuk Presiden Ketujuh?

    Tritura untuk Presiden Ketujuh?
    Christianto Wibisono, PENULIS BUKU AKSI-AKSI TRITURA 1970
    Sumber : KOMPAS, 10 Januari 2012
    Tanggal 10 Januari, 46 tahun lalu, Sarwo Edhie Wibowo berpidato di atas meja praktikum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia menyambut peluncuran aksi Tri Tuntutan Rakyat.
    Tri Tuntutan Rakyat alias Tritura terdiri atas tiga hal: (1) bubarkan PKI; (2) rombak kabinet; dan (3) turunkan harga. Aksi ini dipicu oleh kondisi ekonomi yang memburuk, terutama setelah Presiden Soekarno melakukan sanering pada 13 Desember 1965 yang mengganti uang Rp 1.000 lama menjadi Rp 1 uang baru. Inflasi pun meroket 500 persen.
    Rentetan Peristiwa
    Banyak peristiwa terjadi setelah itu: Soeharto mbalelo terhadap panggilan Panglima Tertinggi Soekarno untuk datang ke Halim Perdanakusuma, demo mahasiswa yang terus berlanjut, dan pembiaran oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) terhadap pembantaian massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
    Demo mahasiswa menjadi benih gerakan rakyat (people power) yang semakin menguat setelah sidang kabinet di Istana Cipanas. Bung Karno nekat merombak kabinet, 22 Februari 1966. Ia memecat Jenderal AH Nasution dari jabatan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata serta membubarkan Staf Angkatan Bersenjata.
    Pelantikan Kabinet 100 Menteri itu, 23 Februari, didemo mahasiswa dan memakan korban Arief Rahman Hakim. Ia terkena peluru Resimen Cakrabirawa di depan Istana Merdeka. Esoknya, demo menjadi gerakan rakyat, bergerak dari Monas ke Jalan Thamrin-Sudirman sampai ke pemakaman Blok P. Diperkirakan setengah juta penduduk Jakarta tumplek bleg di jalan. Itulah Tahrir Square Indonesia, 45 tahun sebelum rakyat Mesir menggulingkan Hosni Mubarak.
    Soeharto bergerak dengan gaya wayang orang yang lemah gemulai, melakukan kudeta merangkak dengan membubarkan PKI sehari setelah memperoleh Supersemar pada 12 Maret. Dalam seminggu, 15 menteri kabinet Soekarno ”diamankan”.
    Kemudian Soeharto memakai cara legal konstitusional untuk mengabsahkan suksesi kepresidenan. Supersemar dipakai untuk merombak MPRS dengan memecat semua anggota PKI dan kelompok kiri. Sidang Umum IV MPRS kemudian menunjuk Soeharto sebagai formatur Kabinet Ampera.
    Bung Karno protes karena sistem presidensial UUD 1945 tidak mengenal formatur sistem parlementer 1950-1959 dalam UUDS RI 1950. Namun, MPRS minus PKI—yang dalam SU III April 1963 mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup—pada 1966 meralat dan mencabut Ketetapan MPRS itu dan menunjuk Jenderal Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk membentuk kabinet.
    Inilah untuk kedua kalinya kabinet presidensial Soekarno dikudeta dalam sejarah kemelut politik di puncak Republik. Pada 16 Oktober 1945, ketika kabinet presidensial Soekarno baru berumur 45 hari, Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No X (baca huruf X, bukan angka 10 Romawi) karena memang dibuat mendadak dalam situasi ”darurat elite”.
    Soekarno diisukan sebagai kolaborator Jepang dan karena itu sekutu menolak berunding dengan Kabinet Soekarno sebagai lanjutan kekuasaan Jepang. Bung Karno memang mengangkat mantan bucho (birokrat pribumi bekas kolonial Jepang).
    Sistem kabinet parlementer berlangsung terus hingga 1959 dengan 10 perdana menteri silih berganti memerintah kurang dari dua tahun. Ada Bung Karno, Syahrir, Amir Syarifudin, Hatta, Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamijoyo, Burhanudin Harahap, dan Djuanda.
    Bung Karno hanya menjadi ”diktator” lima tahun sejak ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 pada 1960. Selama tiga tahun, ia membangun armada serta skuadron Angkatan Laut dan Udara terbesar di belahan Bumi Selatan. Ia memperoleh kemenangan geopolitik berkat mediasi Presiden John F Kennedy (AS) memasukkan Irian Barat sebagai provinsi RI yang diakui oleh PBB dan diterima oleh Belanda.
    Bung Karno juga menyelenggarakan Asian Games IV di Jakarta pada 1962 dan memulai Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) delapan tahun, 1961-1969. Sebetulnya Bung Karno sangat sadar dan ingin membangun ekonomi, bahkan menerima konsep Deklarasi Ekonomi yang dibuat kelompok teknokrat PSI di bawah Soedjatmoko.
    Masa Konfrontasi
    Ketika itu, Menlu Filipina Carlos Romulo mengingatkan Bung Karno sebaiknya mundur saat menduduki puncak kekuasaan. Namun, Bung Karno bertahan. Apalagi, konfrontasi terhadap Malaysia dan kebencian emosional Bung Karno terhadap PM Malaysia Tengku Abdurahman mencapai puncaknya ketika Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Jadilah Indonesia negara yang pernah keluar dari PBB.
    Setahun kemudian, Ketua Presidium Kabinet Ampera Soeharto mengutus Roeslan Abdul Gani untuk kembali masuk PBB dan berdamai dengan Malaysia. Soeharto kemudian berbulan madu dengan partai politik dan media massa selama tujuh tahun sejak menjadi Presiden, Maret 1967.
    Tahun 1970, Pemimpin Redaksi Harian Nusantara TD Hafas diadili karena menghina presiden dan keluarga. Namun, harian Nusantara tidak dibredel dan setiap hari membela diri sambil terus menyerang Bogasari dan kongsi Liem Sioe Liong-Cendana. Mochtar Lubis sebagai anggota Dewan Pers memuji Soeharto sebagai demokrat yang taat Trias Politika: tidak membredel, hanya mengadili pemred.
    Bulan madu berakhir ketika demo mahasiswa tahun 1974 berlanjut huru-hara yang membakar Jakarta. Soeharto membubarkan Dewan Mahasiswa dan sejak itu ia memerintah dengan tangan besi hingga jatuh 21 Mei 1998.
    Karma sejarah berulang ketika Soeharto ditinggalkan oleh ketua DPR, wakil presiden, dan menteri koordinatornya. Soeharto pun lengser hari itu dengan dendam yang dibawa sampai mati kepada tiga orang yang dia besarkan, tetapi menjadi Ken Arok saat ia kehilangan wahyu.
    Diskusi The Soldier and the State mengontekskan Tritura 1965 menjadi Tritura 2012: (1) bubarkan PKI (”Partai Koruptor Indonesia”) yang telah membajak negeri ini dari negarawan sejati; (2) reformasi birokrasi agar proaktif pada kebutuhan masyarakat; (3) tingkatkan kualitas harkat martabat manusia Indonesia sebagai bangsa terbesar keempat dunia secara kualitatif.
    Tritura 2012 ini ditujukan kepada Presiden dan elite DPR. Presiden yang kebetulan menantu Sarwo Edhie tidak bisa sendirian memenuhi Tritura 2012 karena SBY bukan dan tidak boleh menjadi diktator seperti Soekarno dan Soeharto. Maka, capres ketujuh harus memimpin partai terkuat agar tidak tersandera oleh DPR dan mampu merespons Tritura 2012.
  • Melupakan Sejarah Akan Dihukum

    Melupakan Sejarah Akan Dihukum
    Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
    Sumber : KOMPAS, 10 Januari 2012
    Manusia adalah anak sang waktu. ”Mereka yang tak dapat mengingat masa lalu akan dihukum mengulangi kesalahan yang sama.” Ungkapan George Santayana itu patut dicamkan ketika kita memasuki tahun baru. Titik kedatangan kebaruan semestinya momen reflektif dari pengalaman keberangkatan. Waktu adalah guru yang baik, tetapi kita sering terkutuk olehnya karena tak mau belajar darinya.
    Mengiringi letusan kembang api yang berpendar di udara, pidato para pejabat negara melambungkan pujian tentang pencapaian prestasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi didengungkan bak mantra seraya dilupakan penderitaan ekonomi rakyat yang terpantul dalam tuntutan kenaikan gaji perburuhan, nestapa buruh migran, serta kerusuhan di Papua, Mesuji, dan Bima. Padahal, jika ada klaim pertumbuhan di satu sisi bersamaan dengan merebaknya ledakan ketidakpuasan di sisi yang lain, di tengahnya mesti ada kejahatan.
    There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics (Ada tiga jenis kebohongan: kebohongan, kebohongan terkutuk, dan statistik). Demikian dikatakan Benjamin Disraeli. Sindiran itu terasa pas untuk melukiskan statistik rekaan pemerintah yang mengungkap sebagian kebenaran seraya menutupi kebenaran yang lain. Pertama, apakah pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6,5 persen mengindikasikan prestasi pemerintah atau justru menunjukkan kegagalan pemerintah— yang semestinya jika good governance dijalankan bisa meraih angka pertumbuhan yang jauh lebih tinggi?
    Kedua, apakah pertumbuhan ekonomi merefleksikan sehatnya perekonomian nasional? Siapa yang mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi itu? Bukankah 70 persen dari rakyat Indonesia mengandalkan hidup dari sektor informal? Pendapatan per kapita Indonesia dinyatakan naik pada kisaran 3.000 dollar Amerika Serikat, tetapi belum lama berselang aksi buruh yang menuntut kenaikan gaji dari 1.600 dollar AS ke 1.700 dollar AS begitu sulit dipenuhi. Sementara itu, nilai kekayaan 40 konglomerat Indonesia setara dengan separuh APBN kita.
    Kita tidak pernah belajar dari masa lalu. Pada awal dekade 1990-an, Bank Dunia menyatakan, fundamen ekonomi Indonesia baik dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun, menjelang akhir dekade itu, perekonomian Indonesia mengalami krisis akut, sang mesiah Bank Dunia tak bisa menolong dan sabuk pengamannya justru ketahanan sektor informal sebagai juru selamat sejati.
    Anehnya, hari ini kita mengulangi kebodohan yang sama dengan terus-menerus merayakan pertumbuhan seraya mengabaikan pemerataan. Joseph E Stiglitz, berdasarkan pengamatannya atas perkembangan ekonomi global, mengingatkan bahwa pertumbuhan tidak bisa dipertukarkan (trade-off) dengan pemerataan. Jika pertumbuhan ekonomi dikehendaki secara berkelanjutan, pertumbuhan itu harus bersifat inklusif, dalam arti bahwa (setidaknya) mayoritas warga negara harus memperoleh keuntungan dari itu.
    Pengharapan pada efek penetesan ke bawah sebagai berkah pertumbuhan terbukti tak jalan. Menurut dia, pemerintah bisa meningkatkan pertumbuhan dengan memperluas pemerataan. Kunci dalam mengembangkan pemerataan ini adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah untuk mendorong pemerataan bukan dengan jalan proteksionisme ekonomi, melainkan lebih efektif melalui proteksi sosial berupa pemberian kesempatan pendidikan bagi semua dan jaminan sosial. Ekonomi modern memerlukan individu-individu yang berani mengambil risiko dan untuk itu diperlukan jejaring pengaman sosial lewat penguatan solidaritas sosial sebagai sumber jaminan sosial.
    Satu-satunya pelajaran yang kita ambil dari sejarah adalah melupakan sejarah. Dalam kaitan ini, pemerintah cenderung meremehkan jalaran api ketidakpuasan yang mulai menyala di sejumlah titik. Padahal, sejarah Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain bertubi-tubi menunjukkan, manakala pusat kuasa sebagai pusat teladan tak bisa lagi dipercaya rakyat, pembangkangan sipil dan amuk massa akan meledak di wilayah-wilayah pinggiran laksana cincin api pedesaan yang mengepung kota.
    Cincin api pemberontakan di pinggiran itu akan bersahutan dengan menguaknya endapan masalah-masalah politik yang selama ini diredam dengan mekanisme pengalihan perhatian. Kasus Bank Century, manipulasi pemilihan umum, dan kasus korupsi lain akan mengemuka kembali seiring dengan pertentangan dan perbedaan kepentingan politik di kalangan elite, terutama menyongsong Pemilu 2014. Tak ayal lagi, tahun 2012 akan menjadi tahun kegaduhan politik.
    Pertumbuhan ekonomi akan berjalan di atas lempengan politik yang goyah. Meski para pejabat sering sesumbar membanggakan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pencapaian sesungguhnya masih jauh. Peringkat demokrasi Indonesia dalam Indeks Demokrasi Global 2011, yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit, di urutan ke-60 dari 167 negara yang diteliti, jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan pengingkaran janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme.
    Belajar dari masa lalu, tidak ada artinya menutupi kenyataan. Tahun 2012, Indonesia berkejaran dengan waktu. Kita berada di persimpangan jalan menuju konsolidasi demokrasi atau menuju kegagalan demokrasi. Diperlukan kejujuran untuk menyelamatkan negara ini dari kutukan sang waktu.
  • Hukum Memihak yang Kuat

    Hukum Memihak yang Kuat
    Haryatmoko, DOSEN DI PASCASARJANA FIB UI DAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
    Sumber : KOMPAS, 10 Januari 2012
    Vonis bersalah terhadap AAL (15), pencuri sandal jepit anggota Brimob, adalah ironi bagi impunitas para koruptor kakap. Mungkin benar kata Thrasymachus, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat.”
    Pernyataan ini dilontarkan dalam perdebatannya dengan Socrates tentang keadilan, seperti tertulis di buku Plato, The Republic. Thrasymachus mendefinisikan ”adil” sebagai yang sesuai dengan hukum atau yang dianjurkan kebiasaan dan hukum dalam negara kota.
    Jika ”adil” disamakan dengan yang legal, sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Padahal, setiap rezim membuat hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan demi keuntungannya.
    Atas nama kepastian hukum, AAL— siswa SMK Negeri 3 Palu, Sulawesi Tengah—divonis bersalah. Kepastian hukum menjadi mitos realisme hukum. Padahal, kepastian hukum lebih merupakan keyakinan seakan hukum itu sempurna sehingga tinggal diterapkan. Lalu, hukum dianggap sebagai ”suatu korpus aturan yang koheren siap untuk diterapkan oleh hakim yang terlatih dan cukup terampil dalam deduksi silogistis sehingga dapat menemukan jawaban yang tepat terhadap masalah dengan penuh kepastian” (Tebbit, 2000: 25).
    Padahal, realitas hukum justru tak pasti. Masalah hukum menuntut pencarian keseimbangan antara prinsip, kebijaksanaan, dan asumsi yang tak tersurat. Proses pencarian ini sulit diramalkan alias tak pasti.
    Bukti ketidakpastian itu tampak dengan adanya beragam tafsir hukum yang mengatur satu kasus sama. Dalam kasus korupsi, ada tersangka yang dihukum berat, ada yang dibebaskan, bahkan ada yang kasusnya ditutup.
    Penganut positivisme hukum sering mengabaikan kesenjangan antara hukum tertulis dan penafsirannya. Padahal, penafsiran hukum sebagai korpus aturan bisa saja diterapkan pada kasus yang berlawanan. Lalu, bagaimana kepastian hukum bisa dijamin?
    Jangan-jangan yang menjamin kepastian hukum sebetulnya adalah kekerasan atau kekuatan. Dalam banyak kasus, pejabat atau mereka yang kaya mudah memenangi perkara atau memperoleh impunitas. Lalu, hukum hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan dan berpihak kepada yang kuat.
    Pada abad XVI, Machiavelli sudah melihat gejala itu. Maka, ia menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum. Filsuf Italia yang sangat realis ini menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya.
    Hanya kemudian, sesudahnya, hak dan hukum akan melegitimasi kekuatan itu. Jadi, hukum tidak lain adalah nama yang diberikan oleh penguasa terhadap kelupaan atas asal-usul kekuasaan. Asal-usul kekuasaan adalah kekerasan.
    Negara Tak Peduli Kebenaran
    Modalitas kekuasaan bisa berbentuk kapital ekonomi, budaya, sosial, atau simbolis (Bourdieu, 1994). Sering modalitas kekuasaan itu adalah kekerasan, bisa sah (aparat negara) atau tidak sah (organisasi paramiliter).
    Kasus GKI Taman Yasmin adalah contoh nyata. Bahkan, ketika hukum mau memihak yang lemah, masih saja dihalangi kekuasaan. Keputusan Mahkamah Agung tidak bisa dieksekusi.
    Maka, benar kata Hobbes bahwa harus ada penguasa yang kuat untuk bisa memaksakan hukum: ”Perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong” (Leviathan XVIII).
    Mengapa negara lemah dalam menjamin keadilan? Terhadap pertanyaan ini, Alain Badiou menjawab dengan sinisme. Filsuf Perancis itu mengatakan bahwa negara tidak ada urusannya dengan keadilan. Negara tidak peduli, bahkan memusuhi suatu politik yang mengurusi kebenaran.
    Menurut Badiou, negara modern hanya mau menunaikan tugas yang terbatas dan menggalang konsensus opini publik. Dimensi tanggung jawabnya, akhirnya, hanya sampai pada mengubah keniscayaan ekonomi menjadi kepasrahan dan penyesalan karena menyerah pada dominasi logika kapital. Dengan demikian, definisi keadilan berubah menjadi harmonisasi permainan berbagai kepentingan (Badiou, 1998: 113).
    Maka, penguasa hanya sibuk dengan politik pencitraan; partai politik ribut berebut kekuasaan; dan pelanggaran HAM seperti dibiarkan. Penguasa tidak sempat memikirkan untuk membangun institusi-institusi yang lebih adil.
    Akibatnya, upaya memperbaiki sistem hukum—yang selama ini cenderung memihak yang kuat—pun terabaikan. Pemihakan ini menyusup melalui konsepsi prosedural (formalisme) hukum. Tekanan pada prosedur hukum mudah mengabaikan rasa keadilan.
    Membongkar Formalisme Hukum
    Carl Schmitt pernah mengingatkan sebaiknya penilaian hukum mendasarkan pada keputusan, bukan pada norma. Keyakinan ini bukan mau meniadakan kepastian hukum, melainkan mau membongkar bahwa dalam kepastian hukum masih ada pendakuan kesahihan penafsiran berbagai pihak.
    Menurut Tebbit, ideal kepastian hukum berakar pada formalisme hukum (2000:26). Keprihatinan utama formalisme adalah sejauh hukum itu tertulis. Lalu, kurang mengenali jiwa atau substansi hukum. Akibatnya, ada kecenderungan menafsirkan hukum sebagai sistem tertutup. Cara penafsiran ini menganggap faktor-faktor sosial lain tidak relevan.
    Mengikuti aturan demi aturan berarti mengabaikan rasa keadilan dalam menilai kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu kasus justru harus ditemukan dalam substansi situasi konkret kasus itu, bukan dalam aturan-aturan formal yang seakan bisa disesuaikan dengan kasus. Akar seluruh prosedur itu: penilaian di balik penalaran yang sering tidak terungkap dan tanpa disadari (Tebbit, 2000:27).
    Penilaian pribadi yang mendahului ketetapan hukum, suatu penilaian sebelum proses penalaran, lebih menentukan. Maka, perlu mengangkat ke permukaan argumen yang disembunyikan dalam proses berpikir untuk membuat penilaian itu.
    Caranya, menggeser fokus studi tentang logika hukum ke studi tentang faktor-faktor tersurat dan yang tidak disadari, padahal justru paling berpengaruh dalam menyeleksi kesimpulan dan keputusan hakim. Faktor-faktor itu adalah politik, ekonomi/uang, sosial, dan pribadi (2000: 29).
    Keadilan tidak bisa dilepaskan dari penilaian moral hakim. Sementara pertimbangan logika hukum formal biasanya hanya untuk mengecek dan mendukung keputusannya (2000: 33). Jadi, kesetaraan hukum lebih terjamin jika masuknya pertimbangan dari luar hukum dibuat tersurat dan sah.
    Lalu, kritik terhadap formalisme hukum menjadi relevan. Penilaian hukum jangan hanya mengandalkan pada silogisme, yaitu jaksa memutuskan hukuman yang logis dengan menilai kasus khusus dari norma umum sistem hukum yang menjadi acuan (Goyard-Fabre, 2004: 208).
    Carl Schmitt mengingatkan pentingnya peran kekuasaan jaksa atau hakim, termasuk kebebasan intelektualnya (Théologie politique, 1922). Jadi, jangan bersembunyi di balik kepastian hukum karena penilaian jaksa dan hakim justru paling menentukan.
  • Antara Resentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan

    Antara Resentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
    Darmaningtyas, PENULIS BUKU MANIPULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 10 Januari 2012
    Gagasan mengenai resentralisasi pengelolaan pendidikan mencuat kembali pada akhir 2011. Gagasan tersebut muncul sebagai reaksi terhadap gagalnya desentralisasi pendidikan selama satu dekade terakhir, setelah pelaksanaan otonomi daerah. Ternyata hal-hal indah yang dibayangkan akan terjadi dalam dunia pendidikan pasca-otonomi daerah tidak menjadi kenyataan. Bahkan yang terjadi adalah kesemrawutan dan ketidakjelasan sistem. Yang paling banyak dikorbankan dalam desentralisasi pendidikan adalah para guru pegawai negeri sipil. Ada beberapa indikator untuk melihat kegagalan desentralisasi pendidikan tersebut.
    Pertama, kesenjangan mutu pendidikan antara Jawa dan luar Jawa makin lebar lantaran, pasca-desentralisasi pendidikan, tidak ada lagi transfer tenaga pengajar dari Jawa ke luar Jawa, dan kapasitas daerah untuk mengembangkan pendidikan juga terbatas. 
    Akhirnya, daerah yang maju tambah maju, sedangkan yang tertinggal makin tertinggal.
    Kedua, guru semakin terbatas mobilitasnya, baik horizontal maupun vertikal. Atas nama otonomi daerah, guru tidak bisa melakukan mobilitas horizontal (antardaerah) maupun mobilitas vertikal (jabatan lebih tinggi, kecuali kepala dinas saja). Mobilitas guru hanya terbatas di satu wilayah kabupaten/kota. Padahal, sebagai tenaga pengajar dan pendidik, guru perlu memiliki wawasan geografis yang luas, dan itu dimungkinkan bila dapat melakukan mobilitas horizontal secara leluasa.
    Ketiga, jenjang karier guru makin tidak jelas. Pada masa Orde Baru, guru yang terpilih sebagai guru teladan, baik di kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional, memiliki jenjang karier yang jelas. Mereka dapat dipastikan akan menjadi kepala sekolah. Sukses menjabat kepala sekolah, dia akan diangkat menjadi pengawas di provinsi, terus kemudian naik menjadi kepala kantor di kabupaten/kota madya (Kakandep). Dari jabatan Kakandep, ia akan ditarik menjadi salah satu pejabat struktural di Kantor Wilayah (Kanwil) P dan K di provinsi, hingga akhirnya menjadi Kepala Kanwil. Sukses di provinsi, akan ditarik menjadi pejabat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat. Tidak mengherankan, pada masa Orde Baru itu, ada Direktur Pendidikan Dasar di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mantan guru SD (yang berprestasi). Jenjang karier semacam itu sekarang tidak ada lagi. Jenjang karier guru sekarang mentok sebagai kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota, dan itu pun bukan karena kompetensinya, melainkan karena kedekatannya dengan kepala daerah.
    Keempat, pasca-desentralisasi, kesejahteraan guru menjadi tidak merata, sangat bergantung pada kemampuan daerah masing-masing. Ada daerah yang mampu memberikan tunjangan kesejahteraan daerah (TKD) cukup besar, seperti DKI Jakarta, Tarakan, dan Kalimantan Timur pada umumnya; tapi banyak pula daerah yang tidak mampu memberikan tambahan TKD sama sekali, atau ada tapi kecil, satu bulan hanya Rp 100 ribu. Padahal tugasnya sama-sama mencerdaskan anak bangsa.
    Kelima, masih mengenai guru. Pasca-desentralisasi, kecenderungan politisasi terhadap guru makin tinggi untuk mendukung pencalonan salah satu calon kepala daerah, terutama yang masih menjabat (incumbent). Politisasi tersebut sering menjadikan guru sebagai korban. Guru yang diketahui mendukung calon yang kalah akan digencet, bahkan mungkin dimutasikan ke daerah terpencil. Tapi, bila guru menjadi bagian dari tim sukses calon terpilih, ada kemungkinan ia mendapatkan hadiah berupa menjadi kepala dinas pendidikan.
    Keenam, yang baru saja hangat adalah penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang justru terlambat pada saat disalurkan melalui pemerintah daerah. Banyak pemda yang menunda penyaluran dana BOS, sehingga amat mengganggu kelancaran operasional sekolah. Padahal semestinya mereka makin merasa bertanggung jawab atas kelancaran BOS.
    Ketujuh, kita belum pernah menyaksikan prestasi daerah dalam kebijakan pendidikan yang genuinesebagai produk daerah pasca-desentralisasi; yang kemudian dapat direplikasikan di daerah-daerah lain. Tidak ada satu pun daerah yang berani menolak pemberlakuan kurikulum secara nasional dan sistem evaluasi nasional melalui ujian nasional. Artinya, sesungguhnya daerah tidak punya prestasi dalam pendidikan yang dapat menjadi dasar untuk tetap dipertahankannya kebijakan desentralisasi pendidikan.
    Pentingnya Resentralisasi
    Masih banyak kelemahan yang dapat dicatat pada desentralisasi pendidikan, namun tidak mungkin dikemukakan satu per satu karena terlalu banyak. Mengingat banyaknya kelemahan dalam kebijakan yang didesentralisasi itulah, penulis sejak enam tahun silam sudah menyuarakan pentingnya resentralisasi pengelolaan pendidikan nasional, dan topik ini pernah menjadi tema seminar di SMA Sumpiuh, Kabupaten Banyumas (September 2010), dengan penulis sebagai salah satu narasumbernya. Saya sependapat dengan Mohammad Abduhzen (Kompas, 10 Desember 2011) soal kebutuhan resentralisasi pendidikan dengan alasan posisi strategis pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu sebagai upaya mempertahankan eksistensi: cara menyelesaikan berbagai persoalan dan jalan utama menuju terwujudnya kesejahteraan, kecerdasan, dan martabat bangsa.
    Urgensi dari resentralisasi kebijakan pendidikan itu amat dirasakan bila dikaitkan dengan kecenderungan politik lokal yang sangat mementingkan kesukuan, etnisitas, atau eksklusivisme, sehingga menjadi kurang toleran terhadap kehadiran orang lain. 
    Pendidikan merupakan satu-satunya harapan bagi bangsa untuk mencairkan segala bentuk eksklusivisme tersebut. Tapi harapan terhadap institusi pendidikan bisa kecelik, ketika pendidikan sendiri terjebak pada pola-pola sektarianisme dan primordialisme. Agar praksis pendidikan tidak terjebak pada kecenderungan sektarianisme dan primordialisme, ia perlu dikelola secara tersentralisasi guna memudahkan terjadinya pertukaran tenaga guru, pengawas, bahkan kepala dinas antardaerah, terutama dari daerah yang surplus ke daerah yang minus. Sistem desentralisasi tidak memungkinkan terjadinya pertukaran itu.
    Pada kenyataannya, sampai sekarang ini kurikulum, buku pelajaran, sistem evaluasi, anggaran, dan kebijakan lain yang menyangkut substansi pendidikan masih tersentralisasi. Satu-satunya yang terdesentralisasi hanyalah soal pengelolaan tenaga guru dan kependidikan. Dengan kata lain, bila ada kebijakan resentralisasi, sesungguhnya yang berubah hanyalah manajemen guru dan tenaga kependidikan, yang kembali seperti sebelum otonomi daerah. Dengan demikian, tidak ada yang perlu ditakutkan dengan sentralisasi.
    Satu-satunya keberatan resentralisasi berasal dari para guru yang merasa diuntungkan oleh sistem desentralisasi, seperti para guru di Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Tarakan (Kalimantan Timur), atau wilayah Kalimantan Timur pada umumnya yang mendapatkan tunjangan kesejahteraan daerah cukup besar. Tapi, bagi para guru pada umumnya (mayoritas dari 2,2 juta guru pegawai negeri), mereka akan lebih senang dengan adanya sistem sentralisasi, karena dapat melakukan mobilitas horizontal dan vertikal secara lebih leluasa.
    Kecemasan para guru pegawai negeri di daerah-daerah makmur bila terjadi resentralisasi itu juga tidak perlu terjadi, bila pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar untuk mensejahterakan warga. Betul, status mereka sebagai pegawai pusat. Tapi, karena mereka mengemban tugas mencerdaskan warga di daerah, tidak ada salahnya pemda setempat memberikan TKD kepada para guru pegawai negeri seperti semula. 
    Persoalan mekanisme pemberian TKD dan payung hukumnya dapat dipecahkan dengan mudah sejauh ada kemauan politik pemerintah maupun pemda. Dengan demikian, tidak perlu takut dengan gagasan resentralisasi pendidikan. Resentralisasi pendidikan amat diperlukan untuk pemerataan mutu pendidikan. Sebab, dengan demikian pemerintah lebih mudah melakukan pemerataan guru dan melakukan pertukaran guru setiap saat dari daerah surplus ke daerah minus. Kebijakan pendidikan nasional harus dapat berkontribusi bagi terciptanya ketahanan nasional.
  • Chavez, Mobil Esemka dan Kedaulatan Kita

    Chavez, Mobil Esemka dan Kedaulatan Kita
    Ivan A Hadar, WAKIL PEMRED JURNAL SOSIAL DEMOKRASI 
    Sumber : SINDO, 10 Januari 2012
    Kabar menarik berikut ini menjadi perhatian kita karena berkaitan dengan kedaulatan negara yang disimbolkan dalam kemenangan Hugo Chavez atas ExxonMobil.
    Dalam kasus perdata dengan ExxonMobil, langkah nasionalisasi perusahaan asing demi perekonomian yang berpihak pada rakyat seolah didukung oleh Lembaga Arbitrase Internasional (ICC), ketika hanya mengharuskan Venezuala membayar 10% kompensasi yang dituntut oleh perusahaan minyak raksasa tersebut.

    Terdapat kesepakatan luas bahwa terpilihnya Hugo Chavez sebagai presiden Venezuela (1998) memulai apa yang disebut “pergeseran ke kiri”— menapaki langkah sosialisme demokrasi—di hampir semua negara Amerika Latin. Jurnal Nueva Sociedad dalam Edisi Khusus 2008 mengajukan judul, “Seberapa Kiri, Kirinya Amerika Latin?”,memuat berbagai tulisan yang mendiskusikan wacana dan langkah politik, atau latar belakang sejarah dan gerakan sosial yang menjadi penyebab “pergeseran ke kiri”di Latin Amerika.

    Sepanjang 1980-an Amerika Latin mengalami “dekade yang hilang” dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah, angka kemiskinan yang melejit, serta distribusi pendapatan terburuk di dunia. Setelah terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup lumayan pada paruh pertama 1990-an di bawah “arahan dan kendali” Bank Dunia dan IMF, kembali terjadi “5 tahun yang hilang” pada paruh kedua 1990-an.Penyebabnya, penyesuaian struktural neoliberalisme (Konsensus Washington) tidak mampu menepati janji perbaikan. Sebaliknya, Argentina sebagai negara “pajangan” reformasi neoliberalisme saat itu, pada 2001 terjerembap dalam krisis yang sangat serius.

    Akibatnya, para pemilih memberikan kartu merah bagi pemerintahan dan parpol tradisional dan memilih kandidat yang menyandang posisi kiri. Hugo Chavez,Evo Morales,dan Rafael Correa,misalnya,mewakili kecenderungan tersebut. Sementara di negara-negara dengan tradisi demokrasi termasuk memiliki parpol kiri yang cukup kuat seperti Brasil, Cile,danArgentina,terjadi perubahan paradigma secara ideologis dalam sistem politiknya. Meskipun,secara detail,terdapat beragam wacana dan praktik politik pemerintahan di Amerika Latin, setidaknya terdapat tiga kecenderungan yang sama. Pertama, semakin aktifnya negara dalam perekonomian.

    Kedua, negara memprioritaskan kebijakan sosial sebagai kebijakan pendistribusian kue pembangunan dan ketiga, terjadi diversifikasi hubungan politik dan ekonomi luar negeri. Sementara itu, tak ada satu pun yang mempertanyakan stabilitas moneter dan keuangan,aturan pasar bebas dan integrasi pasar dunia. Semua elemen Konsensus Washington tersebut akibat pengalaman hiperinflasi sepanjang 1990-an, diserap menjadi bagian penting kebijakan pemerintah.

    Lebih dari sepuluh tahun “pergeseran ke kiri” di Amerika Latin telah menimbulkan perbaikan sosial-ekonomi yang cukup signifikan.Tingkat kemiskinan menurun dari 48% menjadi 36% total penduduk. Saat ini 15 juta keluarga di Brasil memperoleh tunjangan langsung berkat program “Bolsa Famillia”—dari sebelumnya “hanya”berjumlah 3,6 juta keluarga yang memperoleh manfaat tersebut pada 2003. Di banyak negara Amerika Latin terjadi perbaikan dalam distribusi penghasilan bagi rakyatnya. Kabar terakhir Brasil berhasil menggusur Inggris sebagai kekuatan ekonomi nomor enam dunia.Bagaimana dengan kita?

    Kedaulatan

    Sejak 2002 angka kemiskinan di negeri ini belum beranjak jauh.Sementara itu,terkait kemandirian (lebih tepat,disebut kedaulatan), beberapa contoh berikut ini menunjukkan kita jauh tercecer dari cita-cita bernegara. Aceh bisa banyak bercerita tentang ExxonMobil yang lama beroperasi menghabiskan minyak dan gas,sambil meninggalkan kerusakan di kawasan sekitarnya. Exxon- Mobil kemudian “mengalahkan” Pertamina dalam perlombaan penguasaan Blok Cepu.

    Sementara itu, kita semua tahu bahwa PT Freeport Indonesia sejak puluhan tahun beroperasi dengan hanya menyisakan 9,36% saham bagi pemerintah yang mewakili rakyat Indonesia. Saat ini Freeport telah menjadi perusahaan tambang terbesar di dunia berkat menguras gunung Ertsberg dan Grasberg yang sebenarnya memiliki nilai sakral bagi masyarakat adat Papua. Kita pun merasa tak berdaya ketika setiap hari jalanan republik ini dipenuhi segala macam produk automotif asing.

    Setiap tahun, terjadinya peningkatan belanja automotif di negeri ini yang menjadikan kita konsumen terbaik bagi negara-negara produsen. Sebenarnya, yang terjadi adalah kita telah kehilangan triliunan rupiah devisa setiap tahun karena tidak mampu atau tidak mau mengembangkan kemandirian. Beruntung, secercah harapan dimunculkan murid-murid sekolah menengah kejuruan, SMK, yang menciptakan mobil SUV murah bernama Esemka. Dukungan konkret pun datang dari Wali Kota Solo Jokowi yang menjadikan mobil tersebut sebagai kendaraan dinasnya.

    Setelah merdeka lebih dari separuh abad, tampaknya sudah waktunya kita belajar dari anak-anak muda di Solo tadi sambil berupaya menjadi tuan di rumah sendiri seperti yang dilakukan Chavez. Kalaupun belum seberani Chavez, sudah waktunya kita negosiasikan ulang berbagai kontrak karya dengan perusahaan asing,khususnya terkait sumber daya alam.Targetnya,menjadi pemilik saham mayoritas agar bisa berdaulat mengendalikan pengelolaan sumber daya alam. Semoga!

  • Benih Konflik pun Ditabur di Jakarta

    Benih Konflik pun Ditabur di Jakarta
    Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI DARI FRAKSI PARTAI GOLKAR
    Sumber : SINDO, 10 Januari 2012
    Imbauan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar politisi tidak membuat kegaduhan dilanggar sendiri oleh para kader Partai Demokrat dengan menyerang kader partai lain yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Tak peduli dengan rangkaian peristiwa konflik berdarah di sejumlah daerah, orang-orang kepercayaan SBY, termasuk kader Partai Demokrat (PD), menyulut bara politik di Jakarta.

    Efektivitas pemerintahan ini memang sangat rendah. Situasi keamanan dan ketertiban umum di sejumlah daerah akhir-akhir ini benar-benar sangat memprihatinkan. Pecah konflik di sejumlah daerah karena berbagai alasan.Semua warga bangsa bersedih karena korban tewas bergelimpangan di manamana seperti di Papua, Aceh, Palu,Bima,Sampang,Tiaka,Mesuji, sertabanyaktempatlainnya.

    Di tengah keprihatinan warga bangsa, pemerintah di Jakarta terus saja minimalis menyikapi kecenderungan itu. Pada hampir semua konflik di daerah peran pemerintah sebagai penengah nyaris nol.Pemerintah di Jakarta lebih disibukkan dengan urusan politik kekuasaan yang praktis tidak berkait langsung dengan aneka persoalan yang tengah dihadapi warga di sejumlah daerah.

    Ketidakpedulian

    Bobot kepedulian Kantor Kepresidenan terhadap rangkaian konflik di daerah pun amatlah minim.Kecenderungan itu tecermin dari kesibukan dan perilaku orang-orang kepercayaan Presiden yang hari-hari ini tampak panik,lalu melancarkan serangan membabi buta ke partai politik yang bersikap kritis, khususnya terhadap skandal Bank Century. Oleh kader PD, ada parpol yang dijuluki “ikan salmon”(kependekan dari intelektual kagetan asal ngomong). Ada pula yang disebut ”ikan tongkol” alias asal ngomong bikin dongkol.

    Memalukan memang. Perilaku tersebut mencerminkan kualitas politisi yang jauh dari harapan masyarakat. Kita senang PD sekarang sudah menerima hasil audit investigasilanjutanBPK. Tidakseperti dalam audit investigasi pertama dulu yang mereka tolak mentah- mentah. Seperti diketahui, audit BPK yang baru ini menguatkan yang pertama.

    Bahkan mengungkap secara gamblang adanya hubungan istimewa pemilik Bank Century dengan HEW dan hubungan istimewa pemilik deposito hampir Rp2 triliun yang bernama BS dengan parpol tertentu melalui anaknya SS di PT MNP.Sebagaimana diketahui, jika Bank Century ditutup dana jumbo itu hanya dijamin sesuai undangundang, Rp2 miliar.Selain dana BS yang triliunan tadi,ada dana BI dalam bentuk FPJP senilai Rp632 miliar yang digelontorkan Boediono sebelumnya ke Bank Century akan lenyap. Jadi,pertanyaan yang timbul sekarang,apakah benar langkah bailout Bank Century itu untuk penyelamatan ekonomi nasional?

    Atau hanya penyelamatan parakroniyangmemilikisimpanan dana jumbo di bank tersebut sekaligus menyelamatkan diri dari kebijakan yang keliru saat menggelontorkan FPJP senilai Rp632 miliar ke bank tersebut? Kalau dikaitkan dengan surat Sri Mulyani Indrawati kepada Presiden akan klop.Bahwa bailout dipaksakan oleh BI dengan datadata yang tidak akurat. Kalau ada yang mengatakan partai-partai yang kritis terhadap skandal gila Bank Century adalah kumpulan ikan salmon yang asal ngomong, itu keliru.

    Partai-partai itu bicara fakta.Justru kader PD yang telah kehilangan argumentasi karena panik. Sebelum serangan PD itu dimulai, telah beredar informasi yang menyebutkan bahwa telah ada “perintah” untuk melakukan serangan balik terhadap pihak-pihak yang selama ini bersikap kritis terhadap pemerintah. Lucunya, sikap kritis berbagai kalangan itu diterjemahkan sebagai upaya menggoyang pemerintahan saat ini.

    Minus Informasi

    Jadi,alih-alih peduli pada persoalan konflik berdarah yang terjadi di sejumlah daerah,pemerintah melalui orang-orang kepercayaannya justrusedangmenyulut barapolitikdiJakarta.Benih-benih konflik pun sedang ditabur di ibu kotanegara.Benar-benartidakproduktif karena ”serangan terbuka” kader-kader PD hanya bertujuan memuaskan syahwat politik penguasa yang ketakutan oleh bayangannya sendiri.

    Pemerintah tidak pernah serius menghitung ekses dari rangkaian konflik berdarahdisejumlahdaerahitu. Bahkan muncul kesan Jakarta membuat gap,dengan menyerahkan persoalan-persoalan itu kepada pemerintah daerah atas nama otonomi daerah. Kalau pemerintah daerahnya kebetulan siap, persoalannya barangkali bisa direduksi. Sialnya, banyak pemerintah daerah belum bisa responsif terhadap persoalan-persoalan yang mengemuka di daerahnya. Idealnya, potensi persoalan di semua daerah bisa direkam di Jakarta.Perkembangan potensi persoalan itu terus diamati.

    Jika dianggap perlu, Jakarta melakukan intervensi mengatasi persoalan.Intervensi pemerintah pusat halal demi ketertiban umum dan mencegah jatuhnya korban jiwa. Lantaran pemerintah pusat pun lengah,rangkaian ledakan konflik akhirnya hanya bisa ditanggapi dengan keterkejutan. Jakarta dihebohkan oleh tragedi Mesuji setelah peristiwanya berumur hampir dua bulan. Konflik berdarah di Sape,Bima, tak bisa dicegah walaupun potensi masalahnya sudah terbaca berhari-hari sebelumnya.

    Rangkaian konflik berdarah di tanah Papua adalah buah dari kegagalan pemerintah berdialog dengan warga Papua. Budaya minimalis dalam menyikapi setiap potensi masalah sudah menggejala ke daerah. Meniru gaya pemerintah pusat, sejumlah pemerintah daerah pun tidak responsif terhadap potensi masalah atau potensi konflik yang muncul di daerahnya.Pemerintah daerah membiarkan saja potensi konflik tereskalasi dari waktu ke waktu.Contoh kasusnya adalah bentrok antara warga Kelurahan Nunu dan warga Kelurahan Tavanjuka yang sudah lima kali dalam dua bulan terakhir.

    Potensi konflik tereskalasi karena masyarakat terpaksa harus mencari caranya sendiri untuk menyelesaikan persoalan mereka. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tak pernah proaktif tampil sebagai penengah, atau menawarkan pendekatan preventif. Akibatnya, ketika pecah konflik horizontal maupun konflik antara warga versus aparat, tindak kekerasan sudah sulit dihindari.Ketika aksi kekerasan menjadi pilihan untuk menyelesaikan masalah, jatuhnya korban jiwa sulit dihindari.

  • Membangun Kedaulatan Pangan Nasional

    Membangun Kedaulatan Pangan Nasional
    Rokhmin Dahuri, GURU BESAR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN-IPB,
    KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA
    Sumber : SINDO, 10 Januari 2012
    Meroketnya harga minyak dan semangat mondial untuk menjinakkan pemanasan global telah meningkatkan permintaan dunia terhadap minyak sawit mentah (CPO), jagung, gandum, tebu, dan bahan pangan lain untuk produksi biofuel.
    Pada saat yang sama, seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan pangan dunia pun terus membengkak.Padahal stoknya dalam dasawarsa terakhir terus menurun. Bila pada 1999 persediaan pangan dapat memenuhi 120 hari kebutuhan dunia, pada 2010 hanya cukup untuk 50 hari. Untuk beras, situasinya malah lebih gawat.Kebutuhannya pada 2025 diperkirakan mencapai 800 juta ton,sedangkan kemampuan produksinya kurang dari 600 juta ton/tahun. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang kemampuan suplai pangan dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus melambung.

    Kenaikan harga pangan global bukan hanya mengakibatkan jumlah warga dunia yang kekurangan pangan dan penderita kelaparan meningkat, tetapi juga menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik. Bayangkan, pada 2007 jumlah penduduk dunia yang kekurangan pangan sebanyak 923.000 jiwa, dan pada 2010 meningkat jadi 1,2 juta jiwa (FAO,2011).Dalam jangka panjang, kekurangan pangan, gizi buruk, dan kelaparan di suatu negara hanya akan meninggalkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan kurang produktif, alias generasi yang hilang (a lost generation).

    Karena itu wajar bila Presiden SBY menekankan pentingnya bangsa ini membangun kedaulatan pangan di berbagai acara kenegaraan,mulai dari KTT ASEAN di Bali November lalu, dan terakhir pada penyerahan penghargaan pemerintah di bidang industri di Istana Negara, Kamis 5 Januari 2012. Bahkan Presiden RI pertama, Bung Karno saat berpidato pada acara peresmian Gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor pada 1952 membuat pernyataan profetis, ”pertanian dan pangan adalah masalah hidup-matinya sebuah bangsa.”

    Pernyataan profetis tersebut diperkuat oleh hasil penelitian FAO (1998), bahwa suatu negara- bangsa dengan penduduk lebih besar dari 100 juta orang tidak mungkin bisa maju,makmur, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi produksi tinggi, seharusnya Indonesia bisa menikmati berkah ekonomi (windfall profit) dari melonjaknya permintaan dan harga sejumlah komoditas pangan fenomenal itu. Sayang, sejak swasembada beras pada 1984 kita memandang sebelah mata sektor pertanian.Alih-alih meraup untung, yang kini kita hadapi justru petaka dan dilema.

    Kita menjadi bangsa pengimpor bahan pangan nomor wahid di dunia. Setiap tahun kita mengimpor sedikitnya 1 juta ton beras (terbesar di dunia); 2 juta ton gula (terbesar kedua); 1,5 juta ton kedelai; 1,3 juta ton jagung; 5 juta ton gandum; dan 600.000 ekor sapi.Sungguh suatu ironi memilukan dan amat memalukan. Kerugian yang ditimbulkan akibat ketergantungan kita pada bahan pangan impor pun bukan alang-kepalang. Penghamburan devisa, menyengsarakan petani, sampai memandulkan sektor pertanian serta kelautan dan perikanan yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.

    Lebih mencemaskan lagi, negara- negara yang selama ini jadi tumpuan impor bahan pangan Indonesia seperti Thailand, Vietnam, dan Australia mulai menutup keran ekspornya demi menjaga ketahanan pangan nasional mereka di tengah ancaman global warming.

    Suplai-Distribusi-Konsumsi

    Belum terwujudnya kedaulatan pangan di Nusantara yang subur bak zamrud di khatulistiwa ini ditengarai karena salah urus baik pada tataran kebijakan makro (politik-ekonomi) maupun pada tataran teknis pembangunan ekonomi sumber daya alam (SDA), khususnya yang mencakup sektor pertanian,kehutanan,serta kelautan dan perikanan.

    Pasalnya, potensi produksi berbagai komoditas pangan yang bisa diproduksi di sini (seperti beras, jagung,kedelai,gula,CPO, sayuran,buah-buahan,daging, telur, ikan, dan garam) sejatinya lebih besar ketimbang total kebutuhan nasional, bukan hanya untuk kebutuhan jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang secara berkelanjutan (Kementan, 2010; Kemenhut, 2008; dan DKP, 2003).

    Karena itu,untuk mewujudkan kedaulatan pangan sekaligus menjadikan sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan dan perikanan (ekonomi SDA hayati) sebagai keunggulan kompetitif dan mesin pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi SDA hayati mesti diarahkan untuk mencapai empat tujuan. Pertama, menghasilkan sejumlah komoditas pangan beserta segenap produk hilirnya yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional (to feed Indonesia) maupun ekspor (to feed the world).

    Kedua, meningkatkan kontribusi sektor SDA hayati terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.Ketiga,meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, produsen SDA hayati lain, dan pelaku usaha terkait. Keempat,memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian SDA hayati. Pada tataran teknis,kita harus meningkatkan produksi semua bahan pangan yang bisa dihasilkan di dalam negeri secara produktif, efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Ini dapat dilaksanakan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi spesies/ varietas usaha budi daya.

    Program ekstensifikasi harus diprioritaskan di lahan-lahan kritis yang kini luasnya mencapai 11 juta hektare atau di kawasan hutan yang dapat dikonversi. Program food estate di Merauke dan daerah-daerah lain yang sudah dicanangkan pemerintah seyogianya cepat direalisasikan.Dengan catatan harus lebih prorakyat setempat dan ramah lingkungan. Selain itu,peningkatan produksi pangan juga bisa dipenuhi melalui optimalisasi dan peningkatan efisiensi usaha penangkapan sumber daya ikan (SDI) di laut maupun perairan umum darat secara ramah lingkungan sesuai dengan potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY) di tiap wilayah perairan.

    Total MSY SDI laut sebesar 6,5 juta ton/tahun,dan tahun lalu telah dipanen sekitar 5 juta ton, sedangkan di perairan umum darat MSY SDI-nya sebesar 0,9 juta ton/tahun dan baru diproduksi sekitar 0,5 juta ton pada 2011. Pada saat yang sama,lahanlahan pertanian, perkebunan, dan perikanan yang subur serta produktif (kelas I) tidak boleh lagi dikonversi menjadi kawasan industri, permukiman, infrastruktur, dan peruntukan lainnya. Sebaliknya harus dijadikan sebagai lumbung pangan (food basket) nasional.

    Seperti halnya diberlakukan di Jepang, Korea Selatan, AS, Belanda dan negara industri lain. Dengan begitu, selain sebagai produsen utama berbagai produk industri manufaktur, ICT, dan jenis industri lain, negara-negara maju tersebut mampu berswasembada pangan, bahkan eksportir bahan pangan utama dunia.Perlu dicatat,bahwaAS sebagai kampiun negara industri ternyata sekitar 50% dari keseluruhan ekspornya berupa komoditas dan produk pertanian dan pangan (WTO,2010). Indonesia juga perlu memperhatikan pentingnya nilai tambah.Tidak seperti Malaysia, Thailand dan negara-negara maju lain, selama ini kita mengekspor komoditas pertanian sebagian besar dalam keadaan mentah.

    Contohnya 70% ekspor sawit Indonesia berupa CPO,sedangkan Malaysia 70% ekspor sawitnya berupa produk antara dan hilir seperti minyak goreng, mentega, sabun, cokelat,farmasi,dan kosmetik. Demikian juga halnya dengan rumput laut, 85% ekspor rumput laut karaginan Indonesia berupa rumput laut kering. Karena itu, dari sekarang kita harus memperkuat dan mengembangkan industri hilir di seluruh sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan agar kita memperoleh nilai tambah, penyediaan lapangan kerja, dan multiplier effects ekonomi yang lebih besar dan luas.

    Politik-Ekonomi

    Sederet jurus teknis di atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi SDA hayati. Sedikitnya ada sembilan kebijakan politik-ekonomi paling krusial untuk direalisasikan.

    Pertama,menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di tanah air, baik secara langsung maupun bertahap. Kedua, memperbesar porsi anggaran negara (APBN dan APBD) untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan daerah pedesaan, produksi benih unggul, pupuk organik dan anorganik, dan pakan berkualitas. Ketiga, produksi gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk ketimbang diekspor mentah seperti sekarang.

    Keempat,penyediaan permodalan khusus untuk sektorsektor ekonomi SDA hayati, baik melalui lembaga perbankan maupun nonbank. Kelima, penguatan dan perluasan peran Bulog sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan,dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berminat investasi di sektor pertanian, terutama pada usaha industri hulu dan industri hilir.Keenam,pencemaran lingkungan harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten.

    Ketujuh, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global (global climate change). Kedelapan, penciptaan iklim usaha yang atraktif dan kondusif. Kesembilan, adalah kebijakan moneter (suku bunga, nilai tukar rupiah,dan pengendalian inflasi) yang berpihak kepada sektor-sektor ekonomi SDA hayati.

    Dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program teknikal dan politikekonomi di atas, yakinlah Indonesia tidak hanya mampu membangun kedaulatan pangan dalam waktu dekat (5 tahun), tapi juga mampu menjadi pengekspor sejumlah bahan pangan terbesar di dunia dan menjadikan ekonomi SDA hayati sebagai keunggulan kompetitif yang mengantarkan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, sejahtera, dan mandiri pada 2025, Insya Allah.

  • Pembangunan Bangsa Berbasis Entrepreneurship

    Pembangunan Bangsa Berbasis Entrepreneurship
    Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)  
    Sumber : SINDO, 10 Januari 2012
    Untuk mendorong pembangunan ekonomi perlu ditumbuhkembangkan peran para entrepreneur, para wirausaha. 
    Kita memerlukan dunia usaha yang dinamis, bergairah,dengan pelaku usaha yang kreatif, inovatif, dan berpikir jauh ke depan. Raymond Kao, seorang ahli kewirausahaan, berkata, “Itmaytakea revolution to gain a political freedom, but it only need entrepreneurial spirit to gain economic freedom.” Dalam mencapai kemerdekaan politik yang dibutuhkan adalah revolusi, namun untuk mencapai kemerdekaanekonomihanya diperlukan semangat kewirausahaan untuk merancang dan menciptakan suatu gagasan menjadi realita. Sebenarnya spirit kewirausahaan memiliki cakupan yang luas.

    Spirit tersebut tidak hanya terbatas pada dunia ekonomi, melainkan dapat diterjemahkan pada dunia sosial, politik, dan birokrasi.Kewirausahaan sosial adalah upaya untuk memberdayakan masyarakat agar bisa mengubah diri sendiri baik dari segi ekonomi maupun dalam kehidupan sosial. Kewirausahaan politik adalah bagaimana membuat kehidupan politik berjalan fair, transparan, dan memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat.Adapun kewirausahaan birokrasi adalah upaya menjadikan birokrasi berfungsi sebagai pelayan publik yang ideal.

    Artinya, semangat kewirausahaan adalah spirit atau jiwa untuk mengubah keadaan yang timbul dari keyakinan bahwa kita tidak boleh melihat segala sesuatu secara statis,apa adanya.Kita memerlukan paradigma pemikiran yang out of the box. Pemikiran-pemikiran kewirusahaan akan mendorong pada pengembangan intelektual, inovasi dan kreativitas, perubahan pola pikir,keberanian melakukan langkah terobosan, ketepatan dalam mengambil langkah-langkah strategis,serta pantang menyerah menghadapi tantangan.

    Dalam konteks pembangunan bangsa, tujuan utama didorongnya semangat kewirausahaan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Saya berkeyakinan pendekatan kewirausahaan inilah yang merupakan salah satu jalan alternatif untuk keluar dari berbagai tantangan yang kita hadapi,baik di bidang ekonomi,politik,hukum, maupun sosial. Mengutip pendapat ahli manajemen Peter Drucker, “There are no underdeveloped countries, only undermanaged ones,” Jelas bahwa tidak satu pun negara yang terbelakang, yang ada hanyalah salah kelola dan salah urus.

    Artinya, yang kita perlukan di sini adalah perubahan paradigma para aktor dalam mengelola negara.Dalam hal inilah pendekatan kewirausahaan menjadi sangat relevan. Jiwa kewirausahaan dibutuhkan karena sumber kemakmuran suatu negara tidak lagi terletak pada kekayaan sumber daya alam yang melimpah,melainkan terletak pada brain (kecerdasan), dream (mimpi), spirit, dan confidence (rasa percaya diri). Kemakmuran tergantung pada kekuatan sumber daya manusia. Ini yang dibuktikan oleh siswa SMK di Solo yang berhasil merakit mobil buatan dalam negeri, Esemka. Jelas ini terobosan besar hasil dari jiwajiwa kewirausahaan muda yang mulai muncul dan berkembang.

    Mendorong Kewirausahaan Ekonomi

    Salah satu pokok persoalan yang selama ini sering mengemuka adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tentu solusinya bukan sekadar menyiapkan fundamen makroekonomi yang kuat, iklim investasi yang kondusif, melainkan juga perlu adanya program untuk mendorong banyak pengusaha di sektor riil dan nonformal.

    Kita memerlukan para pengusaha agar ekonomi bisa bergerak, lapangan pekerjaan semakin terbuka, dan tentu saja dampaknya mengurangi pengangguran dan mengurangi kemiskinan. Mari kita lihat ekonomi negara-negara maju.Industrialisasi dan modernisasi di Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat selalu dimulai dari munculnya pengusahapengusaha atau kelas menengah.Memang saat ini kelas menengah ekonomi sedang tumbuh di Indonesia. Laporan majalah Globe edisi Des e m b e r 2 0 1 1 memberitakan kemunculan fenomena baru, yaitu menguatnya posisi dan peran pengusaha.

    Menurut rilis majalah tersebut, mayoritas orang paling berpengaruh di Indonesia saat ini adalah entrepreneur. Entah mereka yang menjadi pengusaha, elite politik yang berlatar belakang pengusaha, atau pemimpin politik yang tumbuh dari seorang pengusaha. Fenomena ini muncul beriringan dengan semakin berkembangnya sistem demokrasi. Karena demokrasi tidak hanya mendorong keterbukaan partisipasi politik, melainkan juga keterbukaan akses ekonomi dan mendorong persaingan atau kompetisi secara sehat.Bahkan aktor-aktor penting yang menentukan dinamika politik saat ini berasal dari kelompok pengusaha.

    Hal inilah yang membuat peran sosial politik tidak lagi didominasi hanya oleh golongan militer,teknokrat,atau birokrat; tetapi mulai bergeser ke pengusaha. Data majalah Forbes sejak 1998 sampai 2011 menunjukkan dua fenomena menarik yang terjadi di era pascareformasi. Pertama,pergerakan peringkat orang terkaya di Indonesia berjalan jauh lebih dinamis daripada pada masa Orde Baru. Beberapa orangorang kaya muncul di masa reformasi bukan oleh proteksi pemerintah, tetapi oleh jiwa kewirausahaan yang kuat.

    Kedua, pengusaha-pengusaha yang masuk dalam top 40 Forbes tersebut ternyata makin berperan dalam menentukan kebijakan publik di Indonesia. Mereka makin kuat posisinya dalam sistem politik Indonesia. Gejala ini memperlihatkan bahwa pendekatan kewirausahaan ekonomi tidak hanya berdampak secara ekonomi melainkan juga berdampak secara politik. Barangkali di sinilah betapa pentingnya kita harus merangsang dunia kewirausahaan agar tumbuh lebih menggeliat lagi.

    Memang kalau kita amati kondisi saat ini Indonesia hanya mempunyai wirausaha dengan jumlah sekitar 400.000 orang atau kurang dari 0,2% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Idealnya untuk menjadi sebuah negara maju maka minimal harus mempunyai entrepreneur sejumlah 2% dari seluruh penduduk. Saya percaya bahwa nasib suatu bangsa ditentukan oleh warganya sendiri. Meskipun kita berada di era globalisasi, tapi nasib bangsa ini tidak bisa diserahkan pada bangsa lain.

    Di titik inilah pendekatan pembangunan bangsa berbasis kewirausahaan menjadi suatu bentuk pendekatan alternatif yang tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi, melainkan di seluruh sektor kehidupan.

  • Keadilan dalam Wajah Hukum

    Keadilan dalam Wajah Hukum
    Manunggal K Wardaya, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOED,
    PHD RESEARCHER PADA RADBOUD UNIVERSITEIT NIJMEGEN BELANDA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Januari 2012
    “Menjadi mudah dimengerti manakala masyarakat mengkreasi solusi keadilannya sendiri atas sengketa yang meraka hadapi”

    DALAM khazanah studi filsafat hukum, keadilan adalah salah satu kondisi yang paling dipercaya sebagai destinasi utama adanya hukum dalam perikehidupan manusia. Skala alias timbangan menjadi simbol hukum, merepresentasi fungsinya yang terpenting; mengkadar dua sisi yang berlawanan. Hukum diidealkan menciptakan keadaan seimbang (equal) antara hak dan kewajiban. Kalau pun hukum menciptakan ketidaksamaan maka ketidaksamaan itu semata-mata untuk memperkuat mereka yang rawan, memfasilitasi mereka yang lemah, dan masih memerlukan dukungan sosial guna tercapainya kesetaraan.

    Dunia peradilan dilambangkan dengan Themis, Dewi Keadilan yang membawa timbangan dengan mata tertutup. Maknanya, para pengadil memutus perkara dengan tanpa melihat pihak yang berperkara demi menemukan titik imbang. Ia tak saja mengutamakan hukum undang-undang namun juga sense of justice sehingga apa yang diputus adalah adil, lepas dari subjektivitas pribadi.

    Dalam negara berpaham kerakyatan, tujuan hukum diselaraskan dengan cita-cita menyejahterakan rakyat. Hukum diabdikan pada kepentingan orang banyak (the many), bukan kepada sedikit orang yang berkuasa dan berpunya (the few). Pembukaan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara menegaskan tujuan dikreasinya entitas hukum bernama NKRI, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia.

    Benerkah demikiankah adanya? Berbagai aksi kekerasan di Tanah Air, dari Mesuji hingga Bima menunjukkan fakta sebaliknya. Hukum negara, berikut aparat penegaknya, tidak didayagunakan untuk membela dan melindungi rakyat, manakala mereka yang rawan itu berhadapan dengan kuasa modal perkasa.Tak cukup menderita luka, hilang nyawa, atau terampasnya sumber daya, rakyat mendapat stempel negatif sebagai pemicu kekerasan.

    Pilihan Masyarakat

    Unjuk rasa rakyat tinggallah unjuk rasa, tidak didengar lagi, tak mendapat perhatian layak. Tidak terlihat semangat pemerintah dan wakil rakyatuntuk menjalankan fungsinya yang sejati: sebagai pesuruh dan pengemban amanah rakyat. Aksi bakar diri seorang mahasiswa beberapa waktu lalu mengandung pesan mendalam: rasa frustrasi teramat sangat seorang warga negara yang terjebak dalam pengapnya alam kehidupan bernegara.

    Dari media kita mengetahui proses pidana siswa SMK di Palu dalam kasus pencurian sandal jepit anggota Polri. Kilah normatif aparat bahwa penanganan kasus itu sesuai prosedur dan atas permintaan keluarga tersangka barangkali tak akan mendapat reaksi hebat kalau selama ini penegak hukum profesional menjalankan tugasnya, selaras dengan Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Code of Conduct for Law Enforcement Officials (1979).

    Belum lagi usai  kasus pencurian sandal, masyarakat disuguhi penangkapan anak berketerbelakangan mental yang mencuri pisang di Cilacap (SM, 05/01/12). Sigapnya aparat dalam kasus ini amat kontras dengan rangkaian drama seri penetapan status sebagai tersangka dan penangkapan yang ditunda-tunda terhadap begitu banyak pelaku korupsi, berikut berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada mereka.

    Nyata benar bahwa hukum amat keras pada mereka yang papa, sebaliknya amat fasilitatif terhadap yang berpunya. Aturan hukum memang  sama, namun interpretasi, aktivasi, dan hasil diskresinya nyatalah berbeda, yang disebabkan satu faktor utama: kuasa.

    Manakala hukum (negara) berikut aparatnya makin tidak menunjukkan watak berkeadilan, menjadi mudah dimengerti manakala masyarakat  mencari dan mengkreasi solusi keadilannya sendiri atas sengketa yang mereka hadapi. Justice beyond law, menyelesaikan persoalan sejauh-jauhnya dari campur tangan institusi negara berikut punggawanya menjadi alternatif yang dipandang rasional guna terselesaikannya sengketa secara memuaskan dan berkeadilan.