Blog
-
Menakar Sunnah-Syiah
Menakar Sunnah-SyiahUmar Shahab, KETUA DEWAN SYURA AHLULBAIT INDONESIA (ABI),DOSEN ICAS-PARAMADINA, JAKARTASumber : KORAN TEMPO, 11 Januari 2012Tindak kekerasan atas nama agama kembali terjadi di Indonesia. Kali ini menimpa penganut paham Syiah dari Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura. Sedikitnya tiga rumah warga, sebuah musala dan ruang belajar santri di kompleks Pesantren Misbahulhuda di bawah asuhan ustad Tajul Muluk, pada Kamis, 29 Desember tahun lalu, dibakar massa. Bukan hanya itu, sekitar 300-an penganut Syiah dari Desa Karang Gayam yang relatif minus itu dipaksa meninggalkan desa mereka dan hidup dalam pengungsian yang serba terbatas. Mereka ditempatkan di GOR Sampang.Kekerasan terhadap penganut paham Syiah ini bukan yang pertama kali. Pertengahan Februari 2011, sekelompok orang yang mengatasnamakan pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) menyerang Pesantren Al-Ma’had al-Islami (YAPI), Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Pada 2000, Pondok Pesantren Al-Hadi, yang berlokasi di Desa Wono Tunggal, Batang, Jawa Tengah, dirusak massa.Tindakan kekerasan terhadap penganut suatu keyakinan yang berbeda, apa pun alasannya, adalah perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia, apalagi dilakukan dengan mengatasnamakan agama karena sudah menyangkut SARA, yang ditentang habis oleh semua ajaran agama, lebih-lebih Islam, yang ajaran pokoknya adalah rahmatan lil alamin. Karena itu, tokoh-tokoh agama Islam dari berbagai organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, NU, MUI, PKS, dan Menteri Agama, mengecam keras tindakan kekerasan terhadap penganut paham Syiah di Sampang ini.Syiah bukan barang baru di Indonesia. Ia sudah ada sejak Islam masuk pertama kali ke Indonesia. Bahkan, menurut M. Yunus Jamil dan A. Hasymi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam tulisannya Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. VI, tahun 1995, bahwa Syiah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara. Kedua penulis itu mengatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syiah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak), yang konon didirikan pada 225 H/845 M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang muslim asal Persia, Arab, dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Belakangan, mereka mengangkat seorang Sayyid Maulana Abd a-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syiah, sebagai sultan Perlak.Secara kultural, tradisi keagamaan yang menyebar di masyarakat muslim Indonesia, khususnya di kalangan Nahdliyin (NU), jelas tidak dapat dilepaskan dari Syiah. Ajaran-ajaran seperti haul, tahlilan, maulidan, tawasulan, dan marhabanan tegas-tegas merepresentasikan tradisi Syiah, sehingga tidak mengherankan jika Gus Dur menyatakan bahwa NU adalah Syiah kultural.Dalam hal itu, tradisi-tradisi yang sangat kental bernuansa Syiah masih banyak ditemukan di Indonesia, seperti upacara Tabot di Bengkulu atau Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, untuk memperingati gugurnya Sayidina Husain, putra Ali Ibn Abi Talib, cucu Nabi Muhammad saw, di Padang Karbala pada tahun 61 H. Demikian pula upacara bubur Syura, yang hingga kini terus masih dilakoni oleh banyak penduduk muslim di Nusantara ini, khususnya di wilayah pesisir, dan atau upacara Syuran di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Bahkan penamaan bulan Muharam sebagai bulan Syuro jelas-jelas merupakan wujud perkabungan atas kematian Sayidina Husain.Tidak ada masalah sebetulnya dengan ajaran Syiah. Meskipun memiliki perbedaan dengan Ahlussunah atau Sunni, kedua-duanya sama-sama Islam, karena memang tidak ada satu pun ajaran dan atau keyakinan Syiah maupun Ahlussunah yang dapat dikategorikan sebagai keluar dari Islam. Itu sebabnya, umat Syiah mengakui saudaranya Sunni sebagai muslim. Dan sebaliknya, umat Sunni juga mengakui Syiah sebagai muslim.Bahkan kesepahaman ini mereka tuangkan pada Muktamar Islam Sedunia yang berlangsung di Amman, Oman, pada 27-29 Juli 2005, yang kemudian dikenal sebagai Risalah Amman. Risalah atau Resolusi Amman ini ditandatangani lebih dari 100 ulama besar dari dua kelompok dari berbagai negara, seperti Syekh DR Yusuf al-Qardhawi yang mewakili Qatar, Dr Abdul Aziz bin Utsman al-Tuwayjiri, Arab Saudi, Habib Umar Ibn Hafiz, Yaman, dan Muhammad Ali Taskhiri dari Iran. Dari Indonesia, yang hadir dan ikut menandatangani antara lain Ibu Tuty Alawiyah dan KH Hasyim Muzadi.Di antara isi kesepahaman itu ialah: “Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah, yakni mazhab Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hambali, dan atau salah satu dari dua mazhab Syiah, yaitu mazhab Ja’fari dan Zaydi, maka dia adalah muslim, yang tidak boleh dikafirkan dan atau dihalalkan darahnya, kehormatannya dan harta bendanya. Demikian juga, sebagaimana ditegaskan dalam fatwa Yang Mulia Syekh al-Azhar, tidak dibenarkan mengkafirkan penganut akidah Asy’ariyyah, pelaku tasawuf murni dan penganut paham Salafi sejati. Juga tidak dibenarkan mengkafirkan golongan Islam mana pun yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan rukun iman, yang menghormati rukun Islam dan tidak mengingkari ajaran-ajaran Islam yang mutlak dan pasti (Risalah Amman, klausul pertama).Tapi, memang, di antara kedua aliran besar Islam ini terdapat isu-isu sensitif yang dapat menyulut perselisihan di antara keduanya. Pada pihak Syiah, sikap kritis Syiah terhadap Sahabat Nabi, terutama terhadap khalifah Abubakar, Umar, dan Usman, yang dalam pandangan Syiah hanya sahabat biasa, seperti sahabat-sahabat Nabi lainnya, kerap membuat telinga awam Ahlussunnah panas. Isu inilah yang kemudian disulut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk membenturkan Sunnah-Syiah, seperti yang terjadi di Sampang, Madura. Sementara itu di pihak Sunni, lebih tepatnya kaum Wahabi, sikap kurang hormat mereka kepada imam-imam Syiah yang berasal dari keluarga Nabi, Ahlulbait, yang diyakini oleh kaum Syiah sebagai orang-orang suci. ● -
Pembatasan BBM
Pembatasan BBMKurtubi, PENGAJAR PASCASARJANA FEUI DAN UNIVERSITAS PARAMADINA;DIREKTUR CENTER FOR PETROLEUM AND ENERGY ECONOMICS STUDIES (CPEES)Sumber : KOMPAS, 11 Januari 2012Setelah bertahun-tahun rencana pembatasan BBM bersubsidi urung diterapkan, pemerintah saat ini sudah bulat untuk menerapkan kebijakan pembatasan BBM mulai 1 April 2012 di Pulau Jawa dan Bali. Pemerintah juga memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM.Kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) dimaksudkan untuk mengalihkan pemakaian BBM bersubsidi, seperti bensin premium dan solar, ke BBM nonsubsidi atau ke gas (BBG, LGV). Namun, karena infrastruktur gas masih sangat tidak memadai dan tidak mungkin terkejar sampai 1 April 2012 di Pulau Jawa dan Bali, program pembatasan BBM ini pada hakikatnya hanya bertujuan mengalihkan penggunaan premium ke pertamax. Ini berarti, masyarakat pemilik kendaraan pelat hitam di Jawa dan Bali akan ”dipaksa” membayar BBM lebih mahal dua kali lipat dari Rp 4.500 per liter menjadi sekitar Rp 9.000 per liter. Ini berarti kebijakan pembatasan BBM identik dengan menaikkan harga 100 persen.Pelarangan kendaraan pelat hitam membeli premium, sementara kendaraan pelat kuning (angkutan umum) dan sepeda motor tetap diperbolehkan, membutuhkan mekanisme pengawasan yang rumit dan sangat mahal. Pemilik kendaraan pelat kuning dan sepeda motor berpeluang mendapatkan ”keuntungan” dari menjual kembali premium dengan harga jual Rp 4.500 hingga Rp 9.000 per liter di pasar gelap.Bisa dipastikan, sebagian pemilik kendaraan pelat hitam akan memilih membeli premium di pasar gelap meski harganya jauh di atas Rp 4.500 per liter, asalkan masih di bawah harga pertamax. Pasar gelap BBM ini akan sulit diberantas.Dilihat dari konteks kebijakan energi nasional, program pembatasan BBM yang menggiring rakyat untuk pindah dari ”minyak” (premium) ke ”minyak” (pertamax dan kawan-kawan) jelas tak akan membawa bangsa ini mencapai ketahanan energi nasional yang tangguh dalam jangka panjang. Pasalnya, program pindah dari ”minyak” ke ”minyak” ini hanya melanggengkan ketergantungan sumber energi pada minyak. Terlebih adanya fakta bahwa produksi minyak nasional sangat rendah dan terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir. Maka, walaupun ada program pembatasan, ketergantungan pada minyak impor tetap meningkat.Ketergantungan pada minyak impor lebih lanjut berisiko mengancam gerak perekonomian nasional, apalagi jika terjadi ketegangan di kawasan Timur Tengah, termasuk ancaman terhadap lalu lintas kapal tanker saat ini di Selat Hormuz sebagai balasan atas blokade negara Barat atas minyak Iran.Tergantung Timur TengahSebagian besar komponen ”crude cocktail” (campuran minyak mentah) yang diolah Kilang Cilacap—sebagai kilang terbesar di Indonesia—berasal dari minyak Timur Tengah. Maka, jika terjadi hambatan atas ketersediaan minyak Timur Tengah untuk diolah, Indonesia akan kekurangan BBM dalam jumlah signifikan. Situasi seperti ini tidak bisa dihindari jika Selat Hormuz betul-betul diblokade.Pasar minyak dunia akan kekurangan suplai sekitar 16 juta bbls per hari, jumlah yang sangat signifikan yang akan mendorong harga minyak naik ke kisaran 150 dollar AS per bbls dalam beberapa bulan. Negara-negara lain, terutama China dan India, akan berusaha mencari minyak mentah dari mana pun asalnya dan berapa pun biayanya.Upaya Presiden SBY berkirim surat ke PBB agar PBB melakukan sesuatu untuk menghindari terjadinya blokade Selat Hormuz patut dihargai. Namun, lebih penting lagi Presiden SBY menerapkan kebijakan energi dalam negeri yang tepat: kebijakan yang lebih menjamin untuk memenuhi kebutuhan energi nasional dengan mengoptimalkan sumber-sumber energi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada energi impor.Dari sisi suplai (hulu), perlu ada perbaikan atas manajemen perminyakan nasional. Salah satunya dengan mengarahkan investasi untuk pencarian cadangan baru yang dapat menjamin kenaikan produksi minyak nasional. Ini baru bisa terjadi kalau UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas segera direvisi.Sementara dari sisi permintaan (hilir), sekarang saatnya mendorong pemakaian sumber energi nonminyak. Idealnya energi ”pengganti” minyak ini sebagian besar berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT), seperti bahan bakar nabati (BBN). Namun, karena ketersediaan EBT masih minim, alternatif yang paling mungkin adalah gas. Selain harga gas tanpa subsidi jauh lebih murah daripada BBM, gas juga jauh lebih ramah lingkungan dan cadangannya di bumi Nusantara lima kali cadangan minyak.Dengan demikian, program pembatasan BBM yang akan diterapkan 1 April 2012 sebaiknya diganti dengan program pengalihan BBM ke non-BBM. Ini jauh lebih visioner dan antisipatif daripada program pengalihan dari ”minyak” ke ”minyak” saat ini. Lebih baik pemerintah berkonsentrasi membangun infrastruktur pemakaian gas di dalam negeri.Bangun segera terminal penerima, unit regasifikasi, dan sistem distribusi pipa sebanyak mungkin. Tidak hanya di lepas pantai Jakarta, Semarang, dan Medan, tetapi juga diperluas ke Ampenan, Manado, Ambon, Ternate, Kupang, Makassar, dan sebagainya. Segera bangun pabrik perlengkapan (converter kits) berikut penentuan spesifikasi teknis SNI yang ketat untuk menjamin keselamatan masyarakat pemakai BBG/LGV. Termasuk pengaturan suplai LNG/LGV yang menjamin terpenuhinya kebutuhan jangka panjang.Kebijakan HargaDalam jangka pendek, jika subsidi BBM dirasakan terlampau besar, instrumen untuk mengatasi sebaiknya adalah kebijakan harga (pricing policy). Cara ini sangat efisien karena tak butuh pengawasan. Yang dibutuhkan hanya kemampuan komunikasi pemerintah untuk meyakinkan masyarakat, menaikkan harga premium adalah jalan terbaik buat bangsa ini.Menaikkan harga premium, katakan hingga Rp 1.500 per liter (menjadi Rp 6.000 per liter) akan jauh lebih bisa diterima masyarakat dibandingkan harus membeli pertamax yang harganya dua kali lipat. Bukankah pada 2008/2009—saat harga minyak dunia melampaui 100 dollar AS per bbls, bahkan sempat menembus 147 dollar AS per bbls—harga premium sempat naik hingga Rp 6.000 per liter?Sebagai negara dengan potensi sumber daya energi primer yang sangat besar: minyak 50 miliar-80 miliar bbls, gas sekitar 380 tcf, batubara sekitar 58 miliar ton, dan geotermal sekitar 24.000 MWe, ketahanan energi Indonesia semestinya jauh lebih bagus daripada semua negara tetangga. Bahkan, bukan mustahil Indonesia muncul sebagai negara adidaya bidang energi. Namun, ini hanya bisa terjadi jika manajemen dan kebijakan energi nasional segera disempurnakan, termasuk di dalamnya strategi mengurangi subsidi BBM dan mendorong ”pindah” ke gas/EBT; bukan dari ”minyak” ke ”minyak”! ● -
Korupsi Mendarah Daging
Korupsi Mendarah DagingAhmad Yani, WAKIL KETUA F-PPP DPR RI/ANGGOTA KOMISI III DPR RISumber : SINDO, 11 Januari 2012Tahun 2011 yang baru saja berlalu ditutup dengan sebuah kabar cukup menyenangkan.Transparency International,sebuah organisasi nonpemerintah asing, mengumumkan indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia.Di dalam indeks itu posisi Indonesia dinyatakan sudah ”sedikit” lebih baik. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2011 dinyatakan senilai 3, naik dari nilai tahun 2010 sebelumnya yang sebesar 2,8. Namun, nilai IPK 3 itu sama sekali belum membanggakan. Nilai 3 artinya masih kurang jauh dari separuh pencapaian sempurna. Belum optimalnya pemberantasan korupsi di negeri ini juga terlihat dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).Menurut PPATK,tren perilaku korup selama 2011 masih cukup tinggi.Ada 59% (175 terlapor) dari 294 laporan yang diterima PPATK, yang tersangkut dengan dugaan tindak pidana korupsi selama 2011. Nilai dugaan tindak pidana korupsi itu masih lebih tinggi ketimbang dugaan penyuapan yang tercatat sebanyak 67 laporan. Padahal, menurut Undang- Undang Tipikor, penyuapan juga bisa masuk dalam tindak pidana korupsi.
Selain itu,PPATK juga mencatat masih adanya dugaan tindak pidana penggelapan (9 laporan), penipuan (4 laporan), dan penipuan pajak (3 laporan). Tiga dugaan tindak pidana yang terakhir itu pun,biasanya, juga terkait dengan korupsi. Jadi, boleh dibilang, korupsi masih merajalela di negeri ini. Sepanjang 2011 kita mencatat adanya kasus korupsi Wisma Atlet, kasus mafia pajak, kasus korupsi pertambangan, kasus cek pelawat yang berlarut- larut, dan megaskandal Bank Century yang tak karuan juntrungnya.
Celakanya lagi, di tahun 2011 lalu PPATK juga melansir temuan bahwa banyak pegawai negeri sipil (PNS) berusia muda, masih yunior,yang punya rekening bank dalam jumlah banyak, yang ditengarai terkait dengan korupsi. Itu artinya, proses regenerasi korupsi berjalan sukses di negeri ini. Tak mengherankan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2011, masih mengoleksi ribuan kasus korupsi. Tercatat ada 5.742 kasus yang masuk ke KPK, dan masih banyak yang b e l u m tertangani.
KPK sudah menelaah 5.688 kasus, dan mencatat 1.026 kasus yang mengandung indikasi tindak pidana korupsi.Dari sana baru 938 kasus yang akan ditindaklanjuti di internal KPK,namun baru 250 kasus yang sudah benar-benar ditangani. Dari 250 kasus itu ada 76 kasus dalam tahap penyelidikan. Lalu 65 kasus dalam tahap penyidikan, serta 45 kasus dalam tahap penuntutan.Perkara yang sudah incracht mencapai 31 kasus dan dalam tahap eksekusi 33 kasus. KPK juga masih menerima laporan kasus gratifikasi 1.291 laporan,dan 121 laporan ditetapkan sebagai milik negara.
Kasus korupsi yang ditangani kepolisian juga masih banyak. Hingga Oktober 2011, Polri menangani 722 kasus korupsi dan yang telah diselesaikan baru sebanyak 437 kasus. Markas Besar Polri mencatat, sampai Oktober 2011 kasus korupsi yang terjadi telah menyebabkan kerugian negara Rp761,95 miliar—dan Polri baru bisa menyelamatkan uang negara Rp17 miliar.Umumnya, korupsi yang ditangani Polri terjadi pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Mendarah Daging
Masih maraknya kasus korupsi di Tanah Air selama 2011 membuktikan satu hal: pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih belum efektif. Kebiasaan korupsi masih mendarah daging di negeri ini.Sistem hukum kita, terus terang saja,masih buruk. Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menjadi sulit dilakukan justru karena banyaknya aparat penegak hukum yang bermasalah, baik di lingkungan kejaksaan, kepolisian, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, bahkan di KPK. Para penyidik, termasuk penyidik KPK,masih kurang profesional dalam menyusun dakwaan.
Kasus bebasnya Bupati Bekasi (nonaktif) Mochtar Mohammad di persidangan Tipikor Bandung dan bebasnya 14 anggota DPRD Kutai Kartanegara, setidaknya, mengindikasikan dakwaan yang dibikin KPK kurang “menggigit”. Saya cemas, alih-alih bekerja profesional dan memperkuat dakwaan serta bukti-bukti yang diajukan, jaksa KPK hanya mengandalkan suasana batin para hakim tindak pidana korupsi yang belakangan cenderung takut jika memutus tidak bersalah bagi terdakwa kasus korupsi. Seolah-olah jika memutus bebas terdakwa korupsi, para hakim itu akan dinilai antipemberantasan korupsi dan prokoruptor.
Apalagi,undang-undang juga belum mengatur soal penyitaan aset koruptor yang bisa memiskinkan si pelaku.Maka, tidak ada efek jera bagi mereka yang sudah melakukan tindak pidana korupsi. Persoalan lain dalam pemberantasan korupsi adalah vonis yang sangat rendah.Selama ini,vonis tertinggi bagi terdakwa korupsi masih dipegang oleh jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun. Sepanjang 2011 vonis bagi koruptor umumnya berada di bawah 8 tahun. Sudah itu pemberantasan korupsi juga ditengarai masih bersifat politis.Pengenaan kasus korupsi terhadap sejumlah politisi cenderung dipergunakan sebagai alat untuk memperkuat posisi politis penguasa.
Pengenaan kasus korupsi seolah-olah dijadikan stigma buruk bagi lawan politik penguasa, seperti stigma “kontrarevolusi” di masa Demokrasi Terpimpin dan stigma “terlibat PKI” di masa Orde Baru. Tak ayal, pemberantasan korupsi pun seolah berjalan di tempat, seperti mereka yang berlari di atas treadmill: habis energi tapi tidak ke manamana. Kita harus berusaha lagi menyusun strategi pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif, untuk melanjutkan, mengonsolidasi, dan menyempurnakan kebijakan pemberantasan korupsi agar mempunyai dampak konkret.
Aparat penegak hukum harus lebih transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, dalam pemberantasan korupsi. Komitmen politik yang kuat menjadi strategi bersama. Lalu, ketika pemberantasan korupsi masih berjalan di tempat,mengapa IPK kita naik ke level 3? Untuk yang satu ini, saya teringat pendapat ekonom A Prasetyantoko yang mengulas naiknya ratingutang negara kita,yang kini berada di level BBB—masuk investment grade.Menurut Prasentyantoko, peringkat tersebut agak kontroversial.
Naiknya posisi Indonesia lebih disebabkan kebutuhan pemodal negara maju—yang memerlukan negara- negara yang bisa dijadikan ladang investasi—menyusul ambruknya kinerja ekonomi Amerika dan Eropa.Saya kira, naiknya IPK kita juga tak terlepas dari latar belakang yang sama.
● -
Reinkarnasi Mobil Nasional
Reinkarnasi Mobil NasionalBambang Setiaji, REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTASumber : SINDO, 11 Januari 2012Mobil nasional yang pernah populer menjelang krisis ekonomi 1997 tiba-tiba bereinkarnasi di Kota Solo,ketika Wali Kota Solo bertekad menjadikan mobil Kiat Esemka buatan anakanak SMK bersama bengkel karoseri Sukiat menjadi mobil dinas pejabat-pejabat Balai Kota Solo.
Wali Kota Solo menuai keuntungan politik dengan menjadikan dirinya ikon pasar tradisional dan kini menjadi ikon pengembangan mobil rakyat, sekaligus ikon industri tinggi nasional. Setelah dipopulerkan oleh media cetak dan elektronik dengan harga kurang dari setengah di kelasnya, pesanan mobil Kiat Esemka terus mengalir sampai ratusan buah,tentu saja melampaui kapasitas produksinya.Kebijakan untuk memproduksi mobil nasional pernah populer pada 1996, menjelang krisis ekonomi, ketika Presiden menunjuk PT Timor yang menggandeng perusahaan mobil Korea,KIA ,untuk melaksanakan produksi mobil nasional. Harga Timor pada waktu itu sekitar 50% dari harga mobil di kelasnya, karena Timor memperoleh keringanan bea masuk komponen. Kebijakan memberi keringanan bea masuk tersebut bertujuan memacu alih teknologi industri mobil di mana KIA berjanji akan memberikan yang diinginkan Indonesia.
Alih teknologi dari mobil-mobil yang dirakit di Indonesia ternyata berjalan lambat. Indonesia cenderung hanya dijadikan sebagai pasar daripada sebagai mitra produsen. Seiring dengan kebijakan mobil nasional adalah industri pesawat terbang yang telah berkembang lebih dulu dengan memberi kesempatan Habibie mengembangkan ide-idenya melakukan lompatan teknologi. Apakah hanya rumor atau kenyataan, kemudian Indonesia diserang melalui pasar keuangan. Data menunjukkan bahwa sebelum krisis keuangan terjadi lonjakan masuk valuta asing sampai empat kali lipat, dana itu diinvestasikan di sektor pasar modal yang bersifat jangka pendek.
Uang masuk yang bersifat jangka pendek tanpa sadar dibelanjakan kembali ke negara asal untuk membeli komponen impor dan untuk membiayai sektor riil yang berjangka panjang, misalnya sektor properti. Setahun kemudian, bertepatan dengan kegaduhan politik, dana jangka pendek tersebut ditarik hampir secara bersamaan.Kebutuhan valuta asing menjadi tidak terpenuhi dan mendorong harga valuta asing meningkat sampai enam kali lipat dalam waktu singkat dan kemudian turun pada posisi sempat kali lipat.Rencanarencana bisnis menjadi berantakan, perusahaan tidak dapat membayar angsuran, dan akhirnya perbankan mengalami masalah besar.
Gagasan mobil nasional kandas,bahkan industri dirgantara yang sedang merencanakan produksi pesawat jet dengan kapasitas menengah juga kandas. IPTN melakukan PHK tenaga-tenaga ahli yang sudah dibiayai dengan sangat mahal kemudian tersebar di berbagai negara hingga kini.
Indonesia Terbuai
Hampir satu setengah dasawarsa sejak krisis, rencana pengembangan industri berteknologi tinggi menghilang. Indonesia terbuai semakin jauh dari kemajuan sisi produksi dan hanya menjadi negara pasar yang mengimpor barang industri dari menjual bahan-bahan dasar seperti berbagai bahan tambang,minyak dan gas, kayu,garmen,dan mengekspor TKW yang penuh derita.
Pemerintah yang tidak pernah bisa mayoritas dengan sistem kepartaian yang begitu banyak,sibuk dengan kegaduhan politik.Pemerintah menjadi kehilangan fungsi kepemimpinan. Wali Kota Solo dengan jeli menangkap kekosongan dan peluang kemajuan ini dengan memelopori penggunaan mobil produksi anak-anak SMK. Produk-produk ini sebenarnya tidak terlepas dari impian mobil nasional pada 1990-an. Mesin mobil Timor dipilih oleh direktur pengembangan SMK dan didistribusikan kepada beberapa SMK dalam keadaan belum dirakit.
Anak-anak kemudian berlatih merakit mesin, dan merangkai dengan berbagai bagian lain.Produksi mobil bukan hanya di SMK di Solo, tetapi juga SMK yang lain. Asosiasi SMK ini kalau dikumpulkan dan disupervisi kualitasnya pada standar tertentu, akan terbentuk suatu industri mobil yang melibatkan industri-industri komponen yang dikerjakan oleh banyak daerah. Hal ini benarbenar nasional yang membedakannya dari mobil nasional yang pertama.
Kemauan Politik
Embrio industri mobil nasional yang sekarang sungguh berbeda dengan rencana mobil nasional pertama yang diserahkan secara penuh ke satu perusahaan. Industri mobil sekarang perpaduan aspirasi bawah dan atas, dimotori oleh direktur pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan semula bertujuan pembelajaran.Para siswa SMK ternyata sangat antusias dan telah menghasilkan berbagai jenis mobil. Masalah yang menghadang tentu tidak ringan bagi mobil nasional ini.
Masalah-masalah yang dihadapi antara lain belum terdapatnya payung hukum lembaga pendidikan yang menghasilkan produk yang tergolong barang mewah.Masalah kelayakan, masalah perizinan, dan masalah perpajakan. Semua ini memerlukan tekad politik seluruh komponen bangsa seperti para politisi Senayan dan berbagai kementerian terkait, sehingga syarat pertama mobil nasional harus murah sehingga diminati masyarakat, menjadi mobil rakyat, dan dengan demikian bisa memberi kesempatan berkembang kepada industri tersebut.
Dukungan media yang besar terlihat bisa menjadi penekan departemen yang mungkin akan menghambat mobil nasional dan tentu saja harus diwaspadai industri yang ada yang akan mengganjal sebagaimana mobil nasional yang pertama. Politik anggaran juga bisa dilakukan dengan sangat bermakna bagi perkembangan industri berteknologi tinggi.
Misalnya, alihalih menghambat,pemerintah dapat memperluas terobosan Wali Kota Solo dengan menetapkan mobil nasional yang diproduksi di banyak tempat menjadi mobil wajib dibeli oleh semua departemen,pusat dan daerah yang menggunakan uang negara.Industri tinggi lain juga dapat memperoleh perlakuan serupa seperti industri informasi, komputer, dan telekomunikasi (ICT) yang merupakan pintu gerbang menuju negara dengan industri modern.
● -
Tidak Sekadar Rekening Gendut
Tidak Sekadar Rekening GendutSusidarto, PRAKTISI PERBANKAN, PEGIAT INDEPENDEN ANTIKORUPSISumber : SUARA KARYA, 11 Januari 2012Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali melansir temuan menggelegar. Melalui Wakil Ketuanya, Agus Santoso, PPATK, baru-baru ini mengemukakan adanya beberapa orang pegawai negeri sipil (PNS) muda golongan IIIB, ternyata sudah memiliki rekening berbilang miliaran rupiah. Temuan ini setidaknya menambah daftar panjang dari berbagai rentetan temuan rekening gendut (mencurigakan) milik perwira tinggi Polri, rekening gendut anggota DPR serta rekening gendut para birokrat lainnya.Sebelum rekening gendut PNS muda menjadi bahan pergunjingan, Kementerian Keuangan sebelumnya sudah menemukan dan menutup sebanyak 6.900 rekening liar senilai kurang lebih Rp 7 triliun dari 34 ribu rekening liar yang dicurigai. Rekening ini berkeliaran di seluruh perbankan di Tanah Air, dan melalui PPATK, rekening ini berhasil ditelusuri dan dilaporkan kepada pihak berwajib. Kini, kita menunggu action tindak lanjut dari petinggi negeri ini untuk segera mengusut tuntas dan mencari metoda cerdas untuk memberangus praktik pencucian uang semacam ini.Jika kita mau berpikir lebih jauh lagi, maka yang gendut dari seorang birokrat muda tidak hanya rekeningnya di bank yang berbilang miliaran rupiah, namun juga gendut kendaraannya (mobil mewah), gendut property-nya (rumah atau real estate mewahnya), gendut perhiasannya (emas batangan dan berlian dalam jumlah melimpah), serta gendut investasinya (beragam dan bermacam bentuk investasinya). Sayangnya, yang selama ini tertangkap adalah rekening gendut atau tambun, karena yang paling rajin melaporkan ke PPATK adalah pihak perbankan, sementara penyedia jasa keuangan (PJK) bank maupun nonbank, masih sangat langka.Padahal, jika semua PJK melaporkan clien atau pelanggan atau nasabahnya, maka ruang gerak para pencuci uang ini akan semakin sempit. Sebab, rekening di bank sebenarnya merupakan sisa dari proses pencucian uang tersebut. Harta yang dicuci dalam bentuk lain, biasanya cenderung lebih besar. Misalnya, yang dibelikan dalam bentuk rumah dan tanah, berbagai perhiasan berkelas atas, mobil mewah, ataupun berbagai bentuk investasi keuangan maupun barang lainnya. Para pencuci uang ini biasanya mencoba mengaburkan dana-dana ilegal hasil korupsinya dalam bentuk barang yang sulit untuk dilacak dan diendus keberadaannya.Oleh sebab itu, untuk memberangus praktik pencucian uang semacam itu, tidak bisa sekadar mengandalkan laporan dari PJK semacam perbankan, namun semua pihak yang memberikan jasa dan menjual barang kepada para koruptor harus segera melaporkan diri, seperti lawyer, notaris (pejabat pembuat akta tanah/PPAT), serta penasihat keuangan, yang selama ini mungkin memiliki klien yang memiliki dana tidak wajar karena keluar dari profil nasabahnya. Namun, di sinilah muncul dilema, yakni ketakutan kehilangan nasabah potensialnya. Padahal, menurut UU TPPU, setiap pelapor terlindungi secara hukum.Oleh sebab itu, penelusuran KPK harus komprehensif, tidak berhenti pada persoalan rekening gendut semata. Sebab, di balik rekening gendut pasti ada simpanan harta ilegal lainnya yang jauh lebih besar. Rekening gendut hanyalah puncak dari sebuah gunung es, di mana di dalamnya sangatlah besar dibandingkan dengan permukaan yang terlihat kasat mata. Artinya, dibalik rekening gendut birokrat muda, tersimpan maha misteri yang demikian besarnya, baik menyangkut harta ilegalnya maupun kejadian yang di baliknya. Artinya, para birokrat muda hanya pion yang dipakai oleh para seniornya yang memiliki harta yang jauh lebih banyak.Fakta semacam inilah yang perlu diungkapkan lebih jauh lagi, sehingga pemahaman yang komprehensif terhadap persoalan ini akan semakin utuh. Bahwa rekening gendut adalah indikasi awal, yang perlu diungkapkan lebih jauh karena di dalamnya memang memiliki kompleksitas persoalan yang lebih besar.Miskinkan KoruptorDalam konteks ini, masyarakat harus ikut memahami persoalan bahwa di balik drama kolosal rekening gendut, sejatinya masih ada persoalan yang lebih rumit, yang juga perlu penyelesaian tersendiri. Bahwa korupsi itu berlangsung demikian akutnya, hingga menyentuh sumsum dan tulang.Belum lagi, berbicara tentang harta benda yang dititipkan pada anak istri, serta saudara lainnya. Ingat, dalam kasus korupsi lainnya, ada seorang anak setingkat Sekolah Dasar (SD) yang memiliki rekening berbilang ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Itu menandakan bahwa uang hasil penjarahan itu sudah diacak sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagi aparat penegak hukum untuk mendeteksinya. Langkah pengkaburan harta benda semacam ini memang sengaja dilakukan untuk menyamarkan uang haram hasil tindak pidana tertentu.Sudah saatnya semua pihak yang terlibat dalam gerakan antikorupsi nasional mulai bersatu padu secara bersama, memerangi virus korupsi ini. Kalau itu bisa terjadi, maka ruang gerak para mafia pencuci uang, termasuk para koruptor akan kehilangan kesempatan, dan jika ditambah dengan hukuman yang membuat jera, mereka akan kapok melakukannya.Berbagai bentuk ide cerdas seperti hukuman seumur hidup, memiskinkan koruptor, terus-menerus memakai borgol dari pakaian koruptor, kebun (binatang) koruptor, perlu diapresiasi, dan yang aplikabel bisa mulai diterapkan. Intinya adalah, bagaimana membuat para koruptor jera. ● -
Kendala Program Efisiensi Energi
Kendala Program Efisiensi EnergiMakmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGANSumber : SUARA KARYA, 10 Januari 2012Masyarakat Indonesia tergolong konsumen yang sangat boros dalam penggunaan energi listrik. Begitu borosnya hingga angka pertumbuhan penggunaan listrik pernah mencapai 20%. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan di negara maju yang sadar betul dalam memanfaatkan listrik secara benar dan tepat. Di negara maju, pertumbuhan penggunaan energi listrik hanya 2%, bahkan beberapa negara ASEAN pertumbuhan penggunaan listrik juga telah mendekati angka tersebut.Salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan pemerintah untuk mengerem laju pertumbuhan konsumsi listrik adalah melalui demand side management (DSM). DSM dapat didekati melalui pengembangan program efisiensi konsumsi energi. Melalui program ini, selain dapat mengurangi laju pemakaian energi juga akan membawa multiplier effect pada keuangan negara. Program ini dalam praktiknya dapat didekati dari dua sisi.Pertama, peralihan penggunaan sumber energi dari non-terbarukan ke penggunaan sumber-sumber energi terbarukan. Dari sisi ini, sebenarnya Indonesia kaya akan sumber daya terbarukan, namun pemanfaatannya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan, selain harga energi terbarukan masih belum bisa bersaing dengan energi tidak terbarukan, juga penguasaan teknologi energi terbarukan masih rendah. Di samping, penerapan kebijaksaan energi ini yang belum optimal, lokasi yang cukup sulit serta kurangnya investasi.Kedua, mendorong berkembangnya produsen peralatan hemat energi. Pendekatan ini, kini sudah mulai dikembangkan oleh banyak negara di Asia untuk membantu memperbaiki efisiensi energi melalui ‘produksi bersih’. Manfaat-manfaat dari program efisiensi energi adalah mengurangi risiko dan menaikkan keuntungan insentif harga energi dan kurangnya pasokan energi. Kemudian, mendorong perbaikan produktivitas dan kualitas produk, perbaikan reputasi dengan pelanggan, pemerintah dan masyarakat, perbaikan kesehatan, keselamatan dan moral, perbaikan pemenuhan peraturan perundangan/hukum dan target-target ISO 14001, dan perbaikan kinerja lingkungan.Untuk mendorong berkembangnya produsen peralatan hemat energi, sejumlah negara memberikan berbagai insentif fiskal (dalam bentuk fasilitas perpajakan, bea masuk maupun subsidi), insentif finansial (dalam bentuk pinjaman lunak, pendanaan inovatif dan hibah), dan instrumen pasar (dalam bentuk standar dan lebel, clean development mechanism dan kuota).Dalam praktiknya, bentuk insentif yang diberikan oleh negara berbeda-beda. Jepang, misalnya, memberikan insentif pajak berbasis biaya dengan mengurangi pajak sebesar 7% dari biaya akuisisi peralatan untuk produsen energy effisiency dengan maksimum 20% dari total kewajiban pajak pada tahun fiskal berjalan. Thailand juga memberikan insentif yang sama dalam bentuk potongan pajak untuk investasi awal senilai 50 juta baht untuk jangka waktu lima tahun.Bentuk insentif fiskal lainnya adalah insentif pajak berbasis kinerja yang diberikan oleh Pemerintah Thailand kepada konsumen yang melakukan penghematan produsen energy effisiency. Insentif ini diberikan dalam bentuk potongan pajak berdasarkan penghematan energi yang diperoleh. Di samping itu, Thailand juga memberikan insentif pajak untuk biaya penyusutan bagi perusahaan untuk mendapatkan pengurangan pajak secara tidak langsung melalui biaya penyusutan.Insentif finansial bagi produsen diberikan dalam bentuk penyaluran pinjaman melalui lembaga keuangan yang ditunjuk. Hal serupa juga dilakukan di Hongaria, di mana pemerintah menyediakan dana jaminan pada bank dalam menyalurkan fasilitas pinjaman. Sementara itu Pemerintah China pada periode 2008-2010 juga memberikan subsidi langsung kepada produsen untuk lampu hemat energi, sehingga harganya di pasar dapat turun sampai 50%.Dalam rangka mensukseskan program efisiensi energi, pemerintah telah memberikan insentif kepada produsen penghasil peralatan hemat energi. Bentuk insentif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konversi Energi ini berbentuk instrumen fiskal, dan instrumen pasar. Adapun kriteria penerima insentif adalah produsen yang memproduksi peralatan hemat energi yang tingkat efisiensinya lebih tinggi dari benchmark, dan mencantumkan label tingkat efisiensi sesuai dengan standar.Lebih lanjut dalam PP 70 Tahun 2009, pemerintah juga memberikan insentif dalam bentuk (i) fasilitas perpajakan, (ii) pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak daerah, dan (iii) fasilitas bea masuk. Pemerintah juga memberikan insentif finansial dalam bentuk pinjaman lunak. Untuk mendorong pengembangan peralatan hemat energi, pemerintah juga mulai menetapkan standar dan label. Bentuk-bentuk insentif ini masih berpeluang untuk dikembangkan lebih lanjut, setidaknya dengan mencontoh pada jenis-jenis insentif yang sudah lazim dijalankan oleh berbagai negara.Meski pemerintah telah memberikan berbagai bentuk insentif, program efosoensi energi terkendala pada harga energi listrik. Pemberian subsidi energi selama ini secara nyata telah membuat harga listrik di Indonesia saat ini relatif murah dibandingkan negara-negara lain. Akibatnya, kesadaran masyarakat untuk berhemat dalam mengonsumsi listrik sangat rendah. Tentunya kondisi ini juga akan berdampak pada konsumsi alat-alat hemat energi yang pada umumnya harganya lebih mahal dibandingkan dengan peralatan yang tidak hemat energi.Sekiranya program efisiensi energi berjalan dengan lancar, maka akan terjadi penghematan konsumsi energi dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan Rencana Induk Konversi Energi Nasional (RIKEN), peluang penghematan energi di industri bisa mencapai sekitar 15%-30%, sektor transportasi 25% dan sektor rumah tangga dan bangunan komersial 10%-30%. ● -
Eisenhower dan Sembilan Murid Hitam
Eisenhower dan Sembilan Murid HitamUlil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)Sumber : JIL, 10 Januari 2012Kisah ini sangat mengharukan saya. Sembilan murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota Washington, masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk sekolah hendak dibatalkan oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung turun tangan melindungi murid-murid yang masih belia itu.Kisah ini terjadi jauh di negeri lain di tahun 50-an. Tokoh utamanya adalah sembilan murid berkulit hitam, Presiden Dwight D. Eisenhower dari Amerika Serikat, dan Gubernur negara bagian Arkansas Orval Faubus. Lokasinya, sebuah sekolah menengah Little Rock High School di Little Rock, ibukota negara bagian Arkansas. Kisah ini patut menjadi teladan untuk negeri kita, terutama untuk para pemangku kebijakan.Inilah kisah selengkapnya.Sejarah perbudakan di AS berlangsung sejak lama, jauh sebelum negeri itu berdiri pada 1776. Sebelum abad ke-16, lembaga perbudakan ada hampir di seluruh pelosok dunia, termasuk di dunia Islam. Baru pada pertengahan abad ke-16, muncul suara-suara protes dari kalangan gereja yang menyerukan penghapusan perbudakan. Salah satu sekte Kristen yang terkenal dengan semangat anti-perbudakan adalah Quaker. Bagi mereka, perbudakan adalah praktik yang un-Christian, tidak Kristiani.Pada tahun 1865, perbudakan dihapuskan secara resmi di AS melalui amandemen ke-13, persis setelah perang sipil yang berlangsung selama lima tahun (1861-1865). Meski demikian, praktik diskriminasi terhadap mantan budak masih terus berlangsung, terutama di bagian Selatan. Praktik segregasi itu bahkan disahkan melalui doktrin hukum yang terkenal saat itu: equal but separate.Inti doktrin itu, orang-orang kulit hitam (belakangan lebih dikenal dengan sebutan African-American) dianggap sebagai warga negara yang sama dengan warga lain, tetapi mereka tak diperbolehkan berbaur dengan warga lain itu, terutama yang berkulit putih. Penganut doktrin ini beranggapan bahwa praktek ‘equal but separate’ tak berlawanan dengan amandemen ke-13.Dengan doktrin ini, orang-orang hitam tak boleh bersekolah di tempat yang sama dengan orang-orang kulit putih, dilarang masuk ke tempat-tempat umum dimana orang kulit putih ada di sana: restoran, pub, bar, bahkan toilet. Orang kulit hitam memang dianggap sebagai warga negara yang sah dan sama kedudukannya dengan warga lain, tetapi mereka seperti ‘dikarantina’ di tempat yang terpisah.Praktik segregasi, terutama di sekolah itu, baru dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) AS pada 1954 melalui suatu keputusan yang dikenal dengan Brown v. Board of Education. Keputusan mahkamah ini menyatakan bahwa seluruh praktik segregasi di sekolah-sekolah AS tidak sah dan berlawanan dengan konstitusi. Seluruh sekolah diharuskan untuk mengintegrasikan murid-murid berkulit hitam dengan murid-murid kulit putih. De-segregasi juga diharuskan di tempat-tempat publik yang lain.Semua sekolah, tentu dengan enggan, menaati aturan ini. Tetapi ada perkecualian yang kemudian pecah sebagai insiden yang menghebohkan seluruh Amerika pada tahun 1957. Insiden itu terjadi di sebuah sekolah menengah di kota Little Rock, yakni Little Rock High School.Menindaklanjuti keputusan mahkamah itu, NAACP (National Association for the Advancement of Colored People), sebuah LSM yang berjuang untuk membela hak-hak sipil warga kulit hitam, berencana untuk mendaftarkan sembilan murid hitam di Sekolah Little Rock yang, sudah tentu, seluruh muridnya berkulit putih. Kepala sekolah setuju. Rencananya, kesembilan murid itu akan mulai masuk pada musim gugur 1957, persisnya pada 4 September 1957.Rencana ini diprotes oleh kelompok kulit putih yang pro segregasi. Mereka ramai-ramai mendatangi sekolah itu dan menghalang-halangi kesembilan murid tersebut untuk masuk gerbang sekolah. Yang lebih dramatis, Gubernur negara bagian Arkansas Orval Faubus mendukung kaum segregasionis itu, dan, tak main-main, mengirimkan pasukan Garda Nasional dari Arkansas untuk membantu kaum kulit putih mencegah sembilan murid hitam memasuki halaman sekolah.Sembilan murid hitam itu akhirnya gagal masuk sekolah. Mereka, murid yang masih ingusan itu, dicegat oleh barisan tentara Garda Nasional. Mereka juga menjadi sasaran cemoohan dan pelecehan massa kulit putih yang meneriakkan yel-yel, “Two, four, six, eight… We ain’t gonna intregrate!” Mereka mengejar dan memukuli para wartawan yang meliput peristiwa itu.Peristiwa ini langsung menjadi isu nasional yang menyedot perhatian seluruh warga Amerika.Melihat tindakan gubernur Arkansas yang nyata-nyata melawan keputusan Mahkamah Agung ini, Presiden Dwight D. Eisenhower langsung turun tangan. Dia meminta Gubernur Faubus menemuinya secara pribadi, dan memerintahkan agar dia tak membangkang dari keputusan Mahkamah. Gubernur Faubus rupanya tak menggubris. Terjadilah ketegangan antara pemerintah federal dan negara bagian.Presiden Eisenhower akhirnya mengambil alih masalah ‘kecil’ kota Little Rock ini. Dia mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat AS ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam itu. Tindakan Presiden Eisenhower membuahkan hasil. Pada 23 September 1957, untuk kali pertama, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 pasukan AD Amerika.Presiden Eisenhower juga mengambil tindakan drastis lain—memfederalisasi pasukan Garda Nasional Arkansas dan menempatkannya langsung dibawah komando presiden, bukan lagi di bawah Gubernur Faubus. Tujuannya jelas: agar Gubernur Faubus tak menggunakan tentara garda itu untuk melawan pemerintah federal.Kisah ini sangat mengharukan saya. Sembilan murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota Washington, masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk sekolah hendak dibatalkan oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung turun tangan melindungi murid-murid yang masih belia itu.Keberanian Presiden Eisenhower untuk langsung turun tangan dan ambil alih masalah ini, merupakan ‘kebajikan kepemimpinan’ (virtue of leadership) yang layak diteladani. Sudah tentu, tindakan Presiden Eisenhower ini kontroversial, dan ditentang oleh orang-orang kulit putih di kawasan Selatan yang umumnya masih pro segregasi. Tetapi, konstitusi tetaplah konstitusi, dan harus ditegakkan.Kasus di negara bagian Arkansas ini mengingatkan kita pada kasus yang nyaris serupa. Walikota Bogor, Diani Budiarto, membangkang dari keputusan MA yang telah menjamin hak jemaat GKI Yasmin untuk membangun gereja di sebuah kawasan perumahan di Bogor. Apa yang dilakukan oleh walikota ini persis dengan yang dilakukan oleh Gubernur Orval Faubus dari Arkansas.Dalam kasus GKI Yasmin ini, kita tentu berharap ada ‘Eisenhower Indonesia’ yang mau turun tangan langsung dan memastikan bahwa hak-harga warga negara untuk membangun rumah ibadah yang dijamin oleh konstitusi itu tak dicederai. ● -
Merealisasi Mobnas
Merealisasi MobnasSuwarno, STAF PENGAJAR TEKNIK MESIN ITS KANDIDAT PHD DI NTNU NORWEGIASumber : REPUBLIKA, 10 Januari 2012Sejak Nicolaus August Otto pada 1887 merancang dan mematenkan mesin empat langkah berbahan bakar gas, boleh dibilang mesin penggerak (engine propulsion) yang digunakan dalam sebuah mobil didasarkan pada prinsip rekayasa mekanika yang sama. Mobil-mobil di jalanan dengan variasi kecanggihannya dan aksesoris tambahan masih tetap mengaplikasikan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) dengan konsep yang dikembangkan Otto. Bahkan, dalam literatur rekayasa mesin, mesin-mesin mobil tersebut sering disebut sebagai mesin Otto.Jadi, tidaklah mengherankan kalau teknologi ini pada dasarnya bisa dikembangkan oleh siapa pun, meskipun tidak memiliki sejarah ilmu pengetahuan otomotif yang kuat. Sebutlah Cina, Korea, Malaysia, atau Iran. Teknologi otomotif bukan hanya soal mesin, tetapi termasuk di dalamnya teknologi rangka dan komponen-komponen utama ataupun pendukung yang lain.
Perkembangan teknologi otomotif tidaklah benar-benar stagnan. Inovasi-inovasi sering kali dilakukan produsen mobil sebagai upaya menghadapi tuntutan konsumen yang membutuhkan mobil yang hemat, kenyamanan yang lebih, dan juga terjaminnya keselamatan. Faktor pendorong yang lain adalah tuntutan terhadap adanya produk mobil yang lebih bersih sebagai wujud kesadaran akan lingkungan.
Dengan demikian, sesungguhnya cukup rasional, jika anak-anak sekolah menengah kejuruan, yang notabenenya tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan yang memadai dalam teknologi perancangan mesin, mampu membuat mesin dan merangkainya dengan komponen-komponen lain menjadi sebuah mobil. Yang justru sesungguhnya tidak rasional mengapa Indonesia belum juga memiliki perusahaan besar yang berlaku sebagai prinsipal atas produk-produk otomotif di negeri sendiri?
Padahal, pasar otomotif di Indonesia sangat besar. Pada periode 2004-2010, rata-rata penjualan mobil di Indonesia tiap tahun kurang lebih 500 ribu unit. Pada 2011, bahkan menyentuh level 900 ribu unit (gaikindo.or.id), sebuah angka yang cukup fantastis. Berdasarkan sebuah studi, suatu usaha yang mampu memproduksi 40 ribu unit kendaraan per tahun sudah bisa dipandang sebagai usaha yang layak.
Berbicara mobil nasional (mobnas), tentu mengingatkan kita pada Inpres Nomor 2 Tahun 1996 yang secara tidak langung memberikan kesempatan pada Tommy Soeharto sebagai suatu hak tunggal pelaksanaan proyek mobil nasional. Sayangnya, di kemudian hari hal itu menimbulkan berbagai masalah. Kebijakan protektif yang bermuatan nepotisme dan diskriminasi tersebut menyebabkan Indonesia harus menanggung kekalahan atas gugatan Amerika dan Jepang di forum WTO (Haryo Aswicahyono & Faisal Basri, 2000).
Kombinasi masalah bertambah saat krisis 1998 yang menyebabkan proyek mobil nasional gagal total dan dihentikan atas rekomendasi IMF. Kalau kita mau flash back, sesungguhnya keinginan untuk menasionalisasikan industri otomotif sudah tampak dimulai sejak peraturan pemerintah dengan SK Menteri Perindustrian No 307/M/8/1976, yang yang mewajibkan setiap perusahaan perakitan mobil memenuhi kuota komponen lokal dengan persentase tertentu, yang mana perusahaan yang tidak sanggup melaksanakan ketentuan tersebut akan ditutup oleh pemerintah.
Namun, kebijakan ini berlarut-larut tanpa pelaksanaan yang jelas dan hingga muculnya surat keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan SK 307 tersebut. Dan, ketika diterbitkannya peraturan yang baru yang lebih bersifat insentif pada tahun 90-an, SK 307 itu belum pernah dilaksanakan.
Purwanto (1997) dalam artikelnya menyebutkan, lobi-lobi pengusaha waktu itu, di antaranya, William Suryajaya (Astra Group) begitu kuat sehingga nasionalisasi industri otomotif tak pernah berjalan. Sampai saat ini, industri otomotif di Indonesia masih bersifat ATPM (agen tunggal pemegang merek) untuk melakukan perakitan kendaraan di dalam negeri. Namun demikian, perancangan dan teknologinya dikembangkan di negara prinsipalnya. Sebagai akibatnya, meskipun produksi mobil di Indonesia tiap tahun menunjukkan peningkatan, namun kegiatan riset dan pengembangan (R&D) tidak pernah dilakukan di dalam negeri.
Dengan demikian, biaya R&D yang kurang lebih lima persen dari penghasilan (revenue) pabrikan otomotif tiap tahun tidak pernah menjadi bagian investasi R&D di Indonesia. Efek tumpahan (spillover) berupa pendidikan dan peningkatan sumber daya manusia Indonesia tidak pernah didapatkan. Sehingga, rasionalisasi untuk memperjuangkan mobnas menjadi suatu kenyataan, sering mengalami hambatan.
Dari sisi riset dan pengembangan, semangat menciptakan mobil nasional pernah dimanifestasikan dalam proyek besar, semacam proyek Maleo yang dipelopori Habibie yang waktu itu menjabat kepala BPPT. Dari kalangan swasta sebutlah Bakrie Group atau bahkan Astra Group pernah membuat purnarupa mobil nasional.
Era 2000-an adalah masa lahirnya proyek-proyek kecil yang diprakarsai masyarakat, lembaga pendidikan, ataupun secara terbatas oleh pemerintah. Sampai saat ini, sudah beberapa merek yang dikenal masyarakat, baik yang masih berupa purnarupa ataupun sudah dalam tahap diproduksi dan dipasarkan, di antaranya, mobil dengan merek GEA, Arina, Tawon, Komodo, dan tentu Kiat-Esemka yang dibuat oleh anak-anak SMK.
Berbeda dengan era 80 dan 90-an yang pengembangan ide mobnas bersifat town-down (bermula dari ide kalangan elite, pada 2000-an era mobnas justru lebih banyak dipelopori oleh rakyat (bottom up). Berdasarkan pengalaman yang ada, perjalanan panjang merealisasikan mobnas justru kandas karena kebijakan pemerintah yang kurang tegas, tidak jujur, dan tidak strategis terhadap zaman dan perubahannya. Jadi, kegagalan mewujudkan mobnas bukan soal ketidakmampuan teknologi.
Hadirnya beberapa merek mobil hasil rancang bangun putra-putri Indonesia semacam Kiat-Esemka, GEA, Arina, Komodo, dan lainnya itu, patut diapresiasi secara positif dan diberikan perhatian yang lebih oleh pemerintah, dalam menghasilkan karya yang lebih berkualitas.
Di sini barangkali menjadi titik temu antara lembaga riset, universitas, dan wirausahawan lokal untuk bekerja sama membantu meningkatkan kualitas mobnas. Pemerintah sudah pasti harus terlibat untuk memberikan kebijakan yang kondusif. Namun, bisa dimengerti bahwa untuk memberikan kebijakan perdagangan yang protektif merupakan sesuatu yang sulit dilakukan, mengingat Indonesia telah terikat berbagai komitmen dalam konteks globalisasi perdagangan.
Oleh kerena itu menurut hemat saya, keberpihakan pemerintah bisa dilakukan dengan berbagai model kebijakan jalan tengah. Misalnya dengan meningkatkan hibah riset yang berfokus pada mobnas dan teknologi pendukungnya. Memberikan hibah wirausahawan (entrepreneur grant) sebagai modal dalam bisnis otomotif.
Selain kebijakan-kebijakan tersebut, tentu keteladanan pemimpin seperti yang telah dimulai oleh Joko Widodo juga menjadi penentu terwujudnya mobnas yang dibanggakan rakyat, berkualitas, dan mampu bersaing di pasar lokal bahkan global. ●
-
Tujuh Juta Kelas Menengah per Tahun?
Tujuh Juta Kelas Menengah per Tahun?Ahmad Syafii Maarif, MANTAN KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAHSumber : REPUBLIKA, 10 Januari 2012Inilah berita mewah yang dilansir media sejak 2010: Indonesia kedatangan tujuh juta kelas menengah saban tahun. Bank Dunia bahkan mengatakan, di antara 237 juta (sensus 2010) penduduk Indonesia sebesar 56,5 persen sudah tergolong kelas menengah. Jika alur gelombang ini dipercaya, dalam 10 tahun akan datang, mayoritas rakyat Indonesia akan terangkat menjadi kelas menengah.Hal tersebut merupakan sebuah mobilitas sosio-ekonomi yang sungguh dahsyat. Tetapi, Bank Dunia-dulu pernah memuji akhir era Orde Baru saat hampir runtuh-memberi batasan yang menyesatkan tentang kelas menengah itu, yaitu didasarkan pada jumlah belanja masyarakat yang bergerak dari 2 dolar sampai 20 dolar AS per hari, sebuah batasan yang teramat longgar.
Sebagai seorang yang awam dalam masalah ekonomi, saya tak henti bertanya tentang kondisi pekerja bangunan, misalnya, dengan pendapatan Rp 30 ribu per hari atau Rp 720 ribu per bulan (24 hari kerja), apakah tergolong kelas menengah jika ia membelanjakan penghasilannya itu sebesar 2 dolar AS (Rp. 18.000) per hari?
Hasil pengamatan saya di lapangan, para pekerja ini tanpa diberi uang makan, kondisinya amat memprihatinkan. Sebagian mereka berasal dari luar Yogyakarta, tinggal di barak dengan gaji Rp 30 ribu itu. Saya tidak tahu masih tersisa berapa dari pendapatan minim itu yang bisa dibawa ke rumahnya masing-masing.
Tetapi, ada yang menarik dari laporan Bank Dunia itu, seperti terbaca dalam tajuk Sindo (Seputar Indonesia), 27 Desember 2011 tentang pola hidup kelas menengah (ini kelas menengah benaran) tahun 2010. Angka-angka belanja mereka berikut ini memang luar biasa. Katanya, pola hidup konsumtif ini telah menyumbang sekitar 70 persen pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk belanja pakaian dan alas kaki saja sudah mencapai Rp 113,4 triliun, rumah tangga dan jasa Rp 194,4 triliun, dan belanja luar negeri, terutama di Singapura Rp 59 triliun. Pada 2012, perkiraan belanja itu akan semakin membengkak. Tuan dan puan jangan cepat berharap bahwa gaji para pekerja kecil akan turut naik tahun ini.
Sebab, itu sangat tergantung pada belas kasihan pengusaha yang umumnya hanya berpatokan pada skala UMR (upah minimum regional). Jangankan untuk menukar alas kaki dan pakaian, kaum pekerja kecil ini untuk bernapas saja sudah kedodoran. Dengan harga beras sekitar Rp 8.500 per kg untuk regional Yogyakarta, nadi mereka sudah bergetar kencang.
Sindo juga memberitakan suasana Bandara Soekarno-Hatta semakin sesak oleh penumpang kelas menengah yang berkeliaran datang dan pergi saban hari. Kapasitas bandara yang hanya untuk 18 juta, sepanjang Januari-Oktober 2011 telah melonjak tajam menjadi 41 juta. Kunjungan warga Indonesia ke Singapura naik 32 persen dari 1,745 juta pada 2009 menjadi 2,305 juta pada 2010.
Singapura, di samping sebagai tujuan wisata kelas menengah atas Indonesia, juga tempat parkir kekayaan para koruptor kita. Tentu saja kita senang membaca berita tentang semakin sesaknya bandara Soekarno-Hatta oleh kelebihan penumpang, tetapi ingat jugalah sebagian besar rakyat Indonesia baru pada posisi melihat pesawat terbang yang melintas dari kejauhan di tempat tinggalnya masing-masing.
Kapan mereka bisa merasakan terbang bersama kelas menengah, tentu menunggu kenaikan kelas mereka, sebab jumlah yang miskin masih berjibun di desa dan di kota. Tetapi, anak-anak desa yang sempat sekolah, memang tidak sedikit pula yang berhasil menembus kelas-kelas sosial yang jika kita tidak merdeka, pasti semuanya itu adalah sebuah kemustahilan, bukan?
Akhirnya, bangsa dan negara ini benar-benar merindukan lahirnya para pemimpin prorakyat, bukan pemimpin ibarat “kacang lupa pada kulitnya.” Tipe pemimpin visioner inilah yang diharapkan muncul dalam tempo yang tidak terlalu lama sehingga semua rakyat Indonesia setidaknya bisa merasakan bagaimana rasanya bepergian dengan pesawat udara. Selama ini, mereka hanya melihat dari muka bumi sambil mendengar raungan mesinnya yang menghebohkan saat terbang merendah di sekitar tempat tinggal mereka. Semoga! ●
-
Menimbang Mobil Esemka
Menimbang Mobil EsemkaSuwarno, STAF PENGAJAR DEPARTEMEN TEKNIK MESIN ITSSumber : KORAN TEMPO, 10 Januari 2012Masalah mobil nasional mencuat kembali menjadi wacana publik setelah Joko Widodo, Wali Kota Solo, akan menggunakan mobil rakitan anak-anak sekolah menengah kejuruan, Kiat-Esemka, sebagai mobil dinasnya. Tentu wacana ini menimbulkan polaritasnya sendiri di masyarakat. Memang tampaknya pengembangan produk berbasis teknologi yang dipelopori pemerintah umumnya tidak bisa disebut berhasil, lihatlah PT Dirgantara Indonesia, yang terus-menerus membutuhkan suntikan dana. Hal terakhir ini ikut menyumbang energi apatisme terhadap lahirnya produk-produk berbasis teknologi. Terlepas dari itu, gencarnya wacana mobil Esemka semakin memperlihatkan gairah akan kecintaan kepada produk buatan dalam negeri.Berbeda dengan pesawat terbang, mobil Kiat-Esemka lahir dari sebuah inisiatif pendidikan. Program pembuatan mobil ini adalah sebuah paket pendidikan anak-anak sekolah menengah kejuruan yang dibiayai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, tujuan utama dari perakitan mobil itu tentu untuk pelatihan tenaga-tenaga kelas menengah. Namun ternyata hasilnya di luar dugaan dan hal ini menyuntikkan optimisme baru bagi sebagian masyarakat, bahwa pada level sekolah menengah atas saja kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia sudah tidak boleh dipandang remeh, bagaimana dengan mereka di universitas atau institut-institut teknologi.Faktanya, memang SDM muda Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Dua tahun terakhir Indonesia, yang diwakili ITS Surabaya, memenangi lomba tingkat Asia dalam hal membuat mobil yang irit sekaligus ramah lingkungan. Beberapa orang Indonesia juga bekerja dan atau menduduki jabatan strategis pada perusahaan perusahaan otomotif bonafide dunia, baik sebagai ekspatriat di luar negeri maupun sebagai insinyur lokal pada perusahaan-perusahaan agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sumber daya manusia tidak bisa dipandang sebagai suatu kendala dalam proses lahirnya produk teknologi. Hanya, banyak orang tahu bahwa produk mobil atau motor memang bisa saja lahir atau beredar di pasar, kemudian menjadi booming dengan mudah, namun pada akhirnya menghilang dengan sendirinya.Tanggapan negatif, ataupun cibiran atas mobil Kiat-Esemka oleh beberapa kalangan masyarakat dan beberapa elite pemimpin, barangkali didasari rasionalitas seperti itu.Faktor trauma masa lalu boleh jadi ikut berpengaruh membentuk paradigma apatisme soal mobil nasional. Semangat menciptakan mobil nasional telah dimulai pada era 1970-an dengan bermacam-macam kebijakan yang pada akhirnya kandas dengan berbagai macam penyebab. Era 1980-an, gairah memiliki mobil nasional pernah dimanifestasikan dalam proyek besar semacam Maleo, yang dipelopori Habibie, yang waktu itu menjabat Kepala BPPT. Dari kalangan swasta, sebutlah Bakrie Group, bahkan Astra Group sendiri, yang adalah pemilik banyak ATPM di Indonesia, pernah membuat purwarupa mobil nasional.Pada era 2000-an belakangan ini sudah dijumpai produk-produk mobil dari proyek-proyek kecil yang secara mandiri dikembangkan oleh masyarakat dengan dukungan terbatas dari pemerintah. Saat ini sudah ada beberapa merek, baik dalam tahap purwarupa ataupun sudah dalam masa produksi dan dijual, di antaranya yang mungkin dikenal masyarakat adalah GEA dan Kancil. Namun, sayangnya, kedua merek mobil tersebut, yang notabene lahir lebih dulu dari Esemka, tidak juga diterima pasar, terlepas dari fakta bahwa mobil merek GEA lahir dari inisiatif teknologi. Dalam hal ini, BPPT yang mengembangkan mesin GEA dan PT INKA Madiun yang bertanggung jawab atas bodi kendaraan.Dalam perkembangannya sejak Karl Benz (1885) mematenkan kendaraan transportasi dengan mesin berbahan bakar bensin, teknologi mobil telah mengalami evolusi. Kemajuan teknologi dalam mobil ini berjalan seiring dengan kemajuan sains dan inovasi teknologi, terutama didorong oleh tuntutan masyarakat modern. Dalam merancang dan membuat komponen mobil, berbagai disiplin ilmu diperlukan, dari ilmu mekanika, kimia, ilmu bahan, hingga ilmu-ilmu elektronika. Dari uraian di atas, harus diakui menciptakan produk mobil memerlukan deposito pengalaman (learning curves) dan pengetahuan yang tidak sedikit. Mobil-mobil yang sudah di jalanan pada umumnya memang adalah hasil perbaikan-perbaikan yang berkesinambungan, yang dalam literatur industri mobil Jepang terkenal sebagai continuous improvement.Meski demikian, sebagian besar pokok-pokok ilmu dan teknologi yang sangat kompleks tersebut boleh dikatakan telah menjadi domain publik, baik berupa publikasi ilmiah, laporan-laporan penelitian, maupun buku buku teknik, di mana pada masa Internet saat ini mudah didapatkan. Bukti empiris berkaitan dengan hal ini adalah keberhasilan Cina, Malaysia, atau bahkan Iran dalam membangun mobil nasionalnya. Sejak 2008, Cina menjadi produsen mobil terbesar di dunia dengan merek lokal mencapai 44 persen dari total produksi, meskipun industri otomotif mereka tergolong muda seperti yang ditulis Mark Norcliffe dalam bukunya (China’s Automotive Industry). Mark juga menuliskan bahwa komponen dalam negeri produk mobil Cina mencapai 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sukses Cina tidak hanya menjadi perakit mobil, namun juga telah kokoh membangun industri itu. Cina, Iran, dan Malaysia sama sekali tidak punya basis teknologi otomotif, namun mereka membuat kebijakan supaya industri ini bisa tumbuh sebagai perusahaan dengan inisiatif lokal. Uraian ini menunjukkan bahwa ada suatu celah, meski teknologi terlihat kompleks, namun dokumentasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu bisa didapatkan dan dengan berbagai model kebijakan, rancang bangun suatu produk berbasis teknologi bisa dilakukan.Mobil Kiat-Esemka adalah semacam realitas lain dari wacana produk teknologi yang terdahulu, di mana pada kasus yang lalu, sebutlah proyek IPTN atau mobil nasional Timor, lahir bersifat top-down. Sedangkan Esemka lahir lebih bersifat bottom-up, di mana ia lahir dari masyarakat akar rumput dan kemudian menjadi berpengaruh di kalangan elite politik dan kemudian menjadi wacana publik. Realitas yang kedua, produk bagaimanapun kualitasnya ternyata bisa dilepas di masyarakat dengan syarat harus dimulai oleh proses keteladanan oleh pemimpin dalam menggunakan produk tersebut.Beberapa masyarakat menuntut adanya kebijakan industri yang bersifat proteksionis. Namun, berdasarkan pengamatan pada masa pertumbuhan industri otomotif sendiri, kebijakan proteksionis tidak bisa dilaksanakan. Hal ini tentu disebabkan oleh kondisi kekinian Indonesia dalam konteks global. Indonesia sudah terlibat dalam berbagai macam perdagangan bebas, sehingga sulit menerapkan kebijakan industri yang tidak bertentangan dengan komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam rangkaian globalisasi perdagangan.Namun kebijakan yang mendukung di luar konteks perdagangan dan industri sangat potensial diterapkan, antara lain; pertama, menambahkan besaran dana riset dari pemerintah untuk menunjang rancang bangun kendaraan. Dalam kasus Esemka, perguruan tinggi dan lembaga riset bisa dilibatkan secara intens pengembangan produk tersebut. Kedua, memberikan hibah dengan model kompetisi bagi pengusaha atau calon pengusaha yang bergerak dalam sektor otomotif berbasis lokal. Hal ini memungkinkan tumbuhnya wirausahawan baru dalam bidang-bidang teknologi otomotif yang bukan tidak mungkin akan menghasilkan produk kreatif dan solutif yang laku di pasar.Dua solusi di atas tampak cukup klasik, dan memang telah diterapkan oleh banyak negara. Di Amerika, dua paket kebijakan tersebut sukses membangun industri baterai lithium ion yang digunakan pada mobil-mobil listrik yang mana Jepang telah menjadi penguasa pasar sejak awal. ●