Blog

  • Darurat Perdamaian Aceh (279)

    Darurat Perdamaian Aceh
    Teuku Kemal Pasya,  DOSEN ANTROPOLOGI FISIP UNIVERSITAS MALIKUSSALEH, LHOKSEUMAWE, ACEH 
    Sumber : KOMPAS, 12 Januari 2012
    “Mempertahankan perdamaian Aceh jauh lebih penting daripada memaksakan pelaksanaan pilkada.”
    Demikian salah satu kesimpulan yang muncul ketika saya memfasilitasi pelatihan pendidikan pemilih terhadap Komisi Independen Pemilihan kabupaten/kota se-Aceh, 7-8 Januari lalu.
    Harapan itu muncul ketika pualam perdamaian tiba-tiba tergores tragedi kekerasan yang kembali marak seperti era konflik lalu.
    Teror Baru
    Situasi keamanan Aceh semenjak akhir 2011 semakin labil. Aneka kasus pembunuhan misterius yang berlangsung dari 31 Desember 2011 hingga 5 Januari 2012 menyebabkan enam orang tewas dan 13 luka-luka. Kasus pembunuhan seperti terpola: mencari target pekerja luar dan etnis minoritas di Aceh dilakukan di bawah pukul sembilan malam dan tidak bermotif perampokan atau dendam.
    Tanggal 8 Januari lalu muncul aksi pemotongan menara listrik tegangan tinggi di Aceh Utara sehingga Aceh pesisir timur gelap gulita. Pada 10 Januari muncul kasus penembakan di rumah salah seorang calon bupati Aceh Utara dari jalur perseorangan.
    Calon bupati ini sebelumnya adalah Wakil Ketua DPR Kabupaten Aceh Utara dari Fraksi Partai Aceh. Pencalonannya, pasca-keputusan MK, 3-10 November 2011, melahirkan reaksi negatif dari kalangan Partai Aceh. Ia dianggap ”pengkhianat” karena saat itu Partai Aceh masih berkomitmen untuk tidak mendaftarkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
    Di sisi lain, Gubernur Aceh dan Kepala Polda Aceh menganggap kondisi keamanan Aceh masih kondusif untuk melaksanakan pilkada pada 16 Februari 2012. Menurut Gubernur, kasus ini merupakan kecemburuan sosial dan Kapolda menyimpulkannya sebagai kriminal murni.
    Dua kesimpulan ini menyederhanakan masalah agar tak berefek pada penundaan kembali Pilkada Aceh yang telah terjadi empat kali. Jika kesimpulan itu benar, ada problem sosial akut terkait penguasaan ekonomi antara penduduk tempatan dan masyarakat pendatang.
    Padahal, kasus ini sama sekali jauh dari kesimpulan sosio-antropologis itu. Kasus ini adalah teror oleh orang tak dikenal dan tidak merepresentasikan ideologi kelompok mana pun di Aceh saat ini. Kasus ini terkesan politis karena terjadi bersamaan dengan situasi kisruh pilkada, tetapi belum dapat disimpulkan apakah pesannya agar pilkada ditunda atau tetap jalan.
    Kasus ini juga tidak merepresentasikan pertikaian elite politik di Aceh saat ini. Memang pasca-keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU/2010 yang membatalkan Pasal 256 UU No 11/2006 (Pemerintahan Aceh) tentang pembatasan kesempatan calon independen maju dalam pilkada, Partai Aceh termasuk paling keras menolak. Efek lanjut penolakan itu adalah Partai Aceh tidak ikut mendaftarkan calonnya pada kesempatan pertama (1-7 Oktober) dan pasca-keluarnya keputusan sela Mahkamah Konstitusi (3-10 November).
    Namun, dinamika politik di Aceh terus bergulir. Pada akhir 2011, Partai Aceh melunak. Mereka akhirnya menerima keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon independen dan bersedia mengikuti pilkada, tetapi tentu dengan syarat pelaksanaan pilkada ditunda dan gubernur saat ini diganti dengan pejabat sementara. Sikap itu tertuang dalam nota kesepakatan yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah dan Ketua Partai Aceh Muzakkir Manaf pada 12 Desember 2011.
    Ternyata dialektika positif di tingkat lokal ini tidak direspons di tingkat nasional. Hasil rapat KPU dan Bawaslu pada 9 Januari lalu tetap tidak memberi peluang untuk membuka kembali pendaftaran Pilkada Aceh. Otomatis Partai Aceh sebagai representasi politik terbesar di Aceh (menguasai 33 dari 69 kursi di DPR Aceh dan 216 kursi di seluruh kabupaten/kota Aceh) tersungkur harapannya untuk berpartisipasi dalam momen sistem elektoral lokal ini.
    Ketegasan Pusat
    Alasan tak dibukanya kembali pendaftaran bagi Partai Aceh adalah tidak adanya landasan hukum dalam peraturan perundang-undangan (UU No 32/2004 jo PP No 17/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah). Padahal, normativitas hukum harus bertekuk di depan konteks sosial politik luar biasa yang memerlukan penanganan ”di luar hukum”.
    Konteks Aceh yang baru keluar dari impitan konflik seharusnya dilihat secara realistis. Walaupun Aceh agak lambat dalam mengakhiri transisi menuju demokrasi, inilah dinamika politik lokal yang harus diterima. Tidak semua hal sesuai teks resolusi konflik. Meskipun demikian, teror dan kekerasan seperti saat ini bisa memermanenkan konflik kalau konflik menjadi ritus dan ideal-ideal demokrasi, HAM, dan etik hukum dalam perdamaian menjadi telantar.
    Jalan kompromistis yang paling baik adalah membuka kembali pendaftaran pilkada bagi Partai Aceh. Jika KPU telah buntu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai representasi pemerintah bisa berinisiatif melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau paling tidak peraturan presiden dalam menyelesaikan krisis pilkada ini.
    Di sisi lain, kepolisian harus bekerja sungguh-sungguh membongkar konspirasi kotor teroris yang telah menimbulkan citra sentimen etnis di Aceh. Jika sigap melumat teroris berbasis agama, polisi seharusnya tak sulit membongkar teroris yang mendompleng Pilkada Aceh ini.
  • Ekonomi Indonesia 2012 dan Samba Consensus

    Ekonomi Indonesia 2012 dan Samba Consensus
    Berly Martawardaya,  DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA (FEUI)  
    Sumber : SINDO, 12 Januari 2012
    Sebuah negara berkembang dengan jumlah penduduk besar dan sumber daya alam yang kaya (minyak, besi, dan sebagainya) dan tanah yang subur masih memiliki proporsi penduduk miskin yang tinggi dan birokrasi yang berbelit serta kesenjangan antardaerah.
    Namun, berkembangnya sektor petrokimia, komputer, industri berat, dan pesawat dipadu dengan sistem jaminan sosial yang kuat telah mengurangi jumlah penduduk miskin secara drastis. Tingkat kesenjangan terendah dalam 30 tahun terakhir dan 20 juta rakyatnya keluar dari garis kemiskinan dalam dekade ini. Negara tersebut telah mencapai investment grade (BBB-) dan baru saja menembus pertumbuhan ekonomi 7,5% sehingga total GDP telah melebihi Inggris dan menjadi ranking enam ekonomi terbesar di dunia.

    Tingkat utang bersih (net external debt) negatif alias bukannya meminjam justru menjadi negara yang memberikan pinjaman. Investor asing dengan tekun meletakkan pabrik di negara tersebut untuk menjangkau pasar regional dan negara tetangga. Terdapat 36 perusahaan dari negara tersebut di Fortune 2000 dengan 11 di Fortune 500. Perusahaan minyak nasional yang menghasilkan lebih dari 2 juta barel per hari dan mengelola ladang minyak di puluhan negara meraih ranking 4 Fortune 500. Negara tersebut dihormati di arena diplomasi internasional dan menjadi anggota berbagai lembaga,termasuk G-20.

    Prestasi olahraga yang menjulang menjadi modal untuk dipercaya sebagai tuan rumah Piala Dunia dan Olimpiade pada dekade mendatang. Indonesia pada 2030? Salah! Negara yang digambarkan adalah Brasil pada 2011. Indonesia dan Brasil memiliki banyak kesamaan dari segi potensi dan permasalahan. Kita perlu belajar banyak dari Brasil dalam memanfaatkan potensi dan mengatasi masalah.

    Pada dekade 70-an Indonesia disebut satu grup dengan Newly Industrialized Country (NIC) dan macan ekonomi Asia seperti Taiwan,Korea Selatan, dan Singapura. Saat ini kita hampir disusul oleh Vietnam. Langkah pertama adalah industrialisasi. Sekitar 55 % dari perusahaan Brasil di Fortune 500 adalah industri berbasis pertambangan.Brasil tidak berpuas hati dengan menjual sebanyak- banyaknya hak menambang kekayaan alamnya yang pada perusahaan asing dan duduk manis menikmati dividen.

    Sebaliknya, Brasil menggabungkan kedekatan dengan lokasi tambang, efisiensi produksi, dan tenaga kerja yang kompetitif untuk membangun perusahaan kelas dunia seperti Vale di pertambangan (ranking ke-20 di Fortune 500),CSN pada sektor semen dan besi (ranking ke-342),danGeraupadaindustri besi baja (ranking ke-398). Brasil juga berani membangun industri high tech sehingga etanol, komputer, petrokimia, dan pesawat menjadi produk ekspor dan penghasil devisa yang kompetitif. Investasi jangka panjang,fisik dan sumber daya manusia, tidaklah kecil, tapi sudah menunjukkan hasilnya.

    Kedua, dukungan sektor perbankan. Bank di Brasil berperan sebagai motor perkembangan lokal. Untuk mengurangi spekulasi maka tingkat kecukupan kapital (capital adequacy ratio) bank di Brasil 37% lebih tinggi dari standar minimal internasional. Ketiga, membangun sistem jaminan sosial. Presiden Lula da Silva yang baru saja meletakkan jabatan setelah memegang mandat selama dua periode. Selamamasa kekuasaannya Lula yang berasal dari partai buruhdanorang tuanya pekerja pabrik secara konsisten melakukan kebijakan pengentasan kemiskinan.

    Sistem jaminan sosial di Brasil adalah gabungan antara ikan dan pancing. Untuk ikannya terdapat Bolsa Familia (Dana Keluarga) di mana dilakukan transfer dana sekitar Rp1 juta per bulan langsung ke 12 juta penduduk miskin Brasil. Program ini terbesar di dunia dalam kategorinya. Penerima Bolsa Familia harus memastikan bahwa anak merekamasuksekolahdanmendapat perawatan kesehatan teratur sehingga anak keluarga miskin tetap sehat dan mendapat pendidikan sehingga generasi mendatang lebih kompetitif.

    Dengan dana 0.4% dari PDB, program ini menjangkau 25% penduduk.Karena efektivitasnya dalam mengentaskan kemiskinan, Bolsa Familia ditiru banyak negara di dunia. Pancingnya adalah program pinjaman mikro bernama CrediAmigo (Pinjaman Teman) yang dilakukan melalui Banco do Nordeste, bank pembangunan milik pemerintah di daerah timur laut di mana terjadi konsentrasi tertinggi kemiskinan di Brasil.

    Selama pemerintahan Lula sebagai presiden sejak 2003 hingga 2011, penerima kredit mikro naik dari 200.000 hingga melebihi 800,000 klien dan total portofolio USD463 juta dan kredit macet hanya 1,1%. Atas keberhasilannya, program ini dianugerahi Award for Excellence in Microfinance oleh Inter- American Development Bank (IDB) pada 2011. Namun,tak ada gading yang tak retak.Perekonomian Brasil juga memiliki permasalahan yang belum terjawab secara memuaskan.

    Sebagian besar hutan Amazon berada di dalam batas negaranya.Ekspansi ekonomi membutuhkan lahan dan sedikit demi sedikit terjadi konversi lahan hutan ke pertanian dan industri.Pembangunan jalan menembus hutan Amazon memicu protes masyarakat. Dilema menyeimbangkan antara lingkungan dan pertumbuhan ekonomi juga dihadapi Indonesia dan perlu dikaji secara seksama. Volatilitas harga komoditas (kedelai, kopi, besi, dan minyak) juga dialami Brasil sebagai produsen besar.

    Karena tidak semua dijual dalam bentuk bijih (besi diolah lempengan, mobil, dan pesawat), dampaknya dapat diminimalisasi. Kuatnya sektor perbankan (tiga perusahaan di Fortune 101) menopang pertumbuhan Brasil di sektor jasa. Washington Consensus yang berbasis pada privatisasi dan liberalisasi serta sektor swasta memiliki banyak dampak negatif bila diterapkan di Indonesia dengan tenaga kerja mayoritas masih berpendidikan rendah dan low-skill.

    Beijing Consensus yang berporos pada sistem otoritarian dan peran negara yang sangat dominan untuk habis-habisan mendorong ekspor juga tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Pada 2012 mari perbaiki ekonomi Indonesia gaya samba ala Brasil!

  • Wajah Hukum di Balik Sandal Jepit

    Wajah Hukum di Balik Sandal Jepit
    Marwan Ja’far,  KETUA FRAKSI PKB DPR RI
    Sumber : SINDO, 12 Januari 2012
    Masyarakat kembali terperanjat hari-hari belakangan ini.Seorang anak di bawah umur berinisial AAL,15,diinterogasi polisi serta diseret ke pengadilan di Palu gara- gara dituduh mencuri sandal jepitmilikduaanggotaKepolisian Daerah Sulawesi Tengah.

    Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah memvonis terdakwa pencurian sandal jepit tersebut bersalah melakukan perbuatan pidana. Tak hanya di dalam negeri kasus ini menyengatkan hawa panas,di mancanegara pun kasus ini mendapat perhatian ratusan media massa besar seperti BBC,CNN,ABC News,Voice of America,NewYork Times,dan lainnya.Sampai-sampai ada seloroh dari masyarakat, ”Wah, hebat Indonesia mendunia cukup gara-gara sandal jepit.

    ” Di dalam negeri, kita saksikan aksi solidaritas masyarakat dengan pengumpulan sandal jepit bermunculan.Ini mengingatkan kasus Prita Mulyasari yang mengundang aksi solidaritas berbentuk sejuta koin untuk Prita. Sebelumnya kitajugadikejutkan oleh kasus Nenek Minah,55, yangdiseretke depanmejahijau di Banyumas hanya karena mengambil tiga buah kakao seberat 3 kilogram seharga Rp30.000.Ia diancam hukuman enam bulan penjara dan divonis hukuman tiga bulan percobaan. Dan masih ada beberapa kasus yang mendera rakyat kecil lainnya yang menyentak masyarakat dan dunia hukum kita. Hukum terlihat secara kasatmata “tajam ke bawah, tumpul di atas”.

    Pembenahan Sistem Hukum

    Semangat para penegak hukum dalam mengadili kasus-kasus kelas sandal jepit tersebut rasanya sungguh mencengangkan sekaligus melengkapi tragedi dunia hukum di republik ini. Sementara para koruptor yang terbukti memiskinkan jutaan rakyat tak berdosa bisa bebas berkeliaran tanpa bisa tersentuh hukum.Beberapa kasus korupsi yang tengah diproses Komisi Pemberantasan Korupsi pun hanya berputar-putar atau jalan di tempat.

    Tak heran bila masyarakat merasakan pesimisme bahwa lembaga yudikatif dalam menegakkan keadilan serta memperlakukan setiap orang sama di depan hukum. Fakta-fakta yang muncul membuktikan hal-hal yang sebaliknya. Alih-alih memberi rasa keadilan kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan yang berlangsung justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta membunuh harapan terakhir mereka. Berkali-kali kita menyaksikan betapa supremasi hukum ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus remeh-temeh yang melibatkan mereka yang tanpa daya.

    Dunia hukum pun beralih rupa menjadi tak ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani rakyat.Padahal,umum diyakini bahwa hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan.Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Bila menilik secara hukum positif di Indonesia, sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana(KUHAP) Pasal45 dinyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan orang dewasa sama dengan yang dilakukan anak.

    Karena itu, penyidikannya mengikuti penyidikan orang dewasa sebagaimana yang diatur jika tersangka khawatir melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengurangi tindak pidana, dan ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Jika kriteria tersebut dipenuhi, tindakan penahanan dianggap sah. Hal yang masih mengganjal secara hukum,menyangkut definisi anak,tampaknya sampai sekarang belum ada ketentuan pasti.Batasan umur anak di bawah umur juga berbeda-beda. Pasal 45 KUHAP menentukan 16 tahun.Pasal 283 KUHP menentukan 17 tahun,Pasal 287- 293 menentukan 15 tahun. Sedangkan dalam UU Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979, anak-anak adalah mereka yang belum berusia mencapai 21 tahun.

    Sementara itu,kasus seperti ini memberi pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat esoterik.Artinya,hukum masih hanya dapat dipahami profesional di bidang hukum. Logika awam tampaknya tak mencukupi untuk memahami bahasa,istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan.Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah,kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan kekerasan.

    Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut. Memang kasus sandal jepit ini menjadi murni ditilik dari segi hukum karena Indonesia hanya mengenal satu sistem hukum pidana. Perkara pidana akan ditangani polisi dan jaksa kemudian bermuara pada pengadilan. Berbeda yang berlaku misalnya di Timur Tengah. Di satu sisi, ada sanksi kejam misalnya potong tangan, namun ada pemberlakuan mekanisme maaf melalui lembaga pemaafan. Sedangkan yang berlaku di negeri kita mempunyai akibat secara yuridis-normatif bahwa perkara pidana sekecil apa pun harus tetap diproses di pengadilan, termasuk pencurian sandal jepit.

    Selaras itu, menimbulkan pertanyaan apakah hukum pidana yang berfungsi untuk mencari kebenaran yang materiil, yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, akan memberikan rasa adil baik kepada pelaku ataupun pihak lain? Hal inilah yang sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, karena aparat terlalu bertindak legalistik. Di luar konteks teknis hukum, kasus pencurian sandal jepit juga menjadi salah satu bukti mendesaknya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak.

    Melalui RUU Sistem Peradilan Anak, anak-anak yang tersangkut hukum seharusnya tidak dijebloskan ke penjara. Pelajaran berharga utama dari kasus ini kiranya adalah perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana. Profesional hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) bekerjaberdasarkansistemitu, padahal kewenangan masing-masing berpotensi besar berbenturan dengan keinginan publik. Indonesia perlu mengubah sistem hukum itu menjadi social justice system.

    Apabila sistem ini terbangun, semua kekuatan publik dan profesional hukum dapat berangkulan dalam satu panggung penegakan hukum sehingga logika publik dan logika hukum positif dapat dipertemukan. Hal ini dalam rangka mewujudkan apa yang termaktub dalam sila kelima Pancasila,yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  • Edukasi Vokasi dari Esemka

    Edukasi Vokasi dari Esemka
    Ari Kritianawati,  GURU SMA NEGERI 1 SRAGEN
    Sumber : SUARA MERDEKA, 12 Januari 2012
    “Perwujudan ide kreatif siswa SMK di Surakarta tersebut menggambarkan realitas cerah edukasi vokasi di Indonesia”

    HARAPAN hadirnya industri mobil nasional kembali menggugah kesadaran. Bermula dari keputusan Wali Kota Solo Jokowi akan menggunakan kendaraan dinas yang merupakan mobil rakitan siswa  SMK Negeri 2 dan SMK Warga Surakarta difasilitasi bengkel Kiat Klaten, yang diberi nama Esemka. Kampanye Jokowi tentang pola hidup sederhana dan lebih menghargai karya anak bangsa akhirnya memantik apresiasi dari banyak kalangan di negeri ini.

    Meneg BUMN Dahlan Iskan yang juga dikenal sebagai sosok inovatif menyambut gagasan memacu industri mobil nasional lebih cepat lagi. Adapun politikus yang lihai dalam bersiasat  politik pencitraan ramai-ramai mulai memesan mobil buatan siswa SMK itu. Upaya merealisasikan ide kreatif mobil domestik sebenarnya juga telah dirintis di berbagai SMK di kota lain di Jateng dan provinsi tetangga. Siswa sebuah SMK di Jawa Timur membuat inovasi mobil dari bahan yang sudah tidak digunakan dan diberi nama Digdaya.

    Apa yang dihasilkan dan direalisasikan sebagai perwujudan ide kreatif siswa sekolah kejuruan  tersebut menggambarkan realitas cerah pendidikan kejuruan (edukasi vokasi) di Indonesia. Sekolah-sekolah kejujuran kini makin banyak mencetak komunitas pelajar yang kreatif.

    Mereka bukan hanyalah sosok siswa yang manja dan hidup dalam ritme budaya yang pragmatis namun bisa tumbuh menjadi generasi kreatif yang cerdas. Pendidikan vokasi memberi bukti tentang regenerasi siswa cerdas, inovatif, dan berjiwa wirausaha di negeri ini. Kalangan siswa kejuruan itu yang kadang tidak berlabel siswa sekolah unggulan (semacam RSBI, sekolah berstandar dan sebagainya) dapat menunjukkan bukti standar kompetensi nasional.

    Hal itu yang seharusnya menjadi fokus pengembangan pendidikan nasional, khususnya edukasi vokasi di Indonesia. Sudah saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadikan sekolah kejuruan sebagai laboratorium aktif pengembangan pendidikan yang akomodatif terhadap nilai kewirausahaan dan industri kreatif.

    Banyak gagasan yang bisa direalisasikan menjadi karya inovatif siswa sekolah kejuruan di negeri ini, yang sayangnya mengalami pembiaran, tanpa tindak lanjut yang bernilai ekonomis dan edukatif.

    Untuk itulah apa yang ditunjukkan anak SMK di Solo dan daerah lain yang mampu membuat mobil rakitan dan melahirkan gagasan ulang pembangunan industri mobil nasional, perlu didukung oleh desain edukasi vokasi yang tepat, terbimbing, dan progresif.

    Industri Rakyat

    Ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan untuk mewujudkan gagasan itu. Pertama;  Kemendikbud sudah saatnya mengembangkan alur pendidikan vokasi menjadi saka guru industri kreatif nasional yang memiliki nilai tambah ekonomis dan daya saing sosial.

    Kedua; Kemendikbud, dalam hal ini Ditjen Pendidikan Menengah Kejuruan, jangan lagi terimajinasi dengan konsep pendidikan yang penuh label unggulan yang senyatanya cuma teori —seperti RSBI yang gagal total— namun perlu dan berkomitmen mengembangkan kurikulum pendidikan yang mampu menjawab persoalan industri nasional.

    Ketiga; pemerintah pusat dan pemda seyogianya serius mengapresiasi karya kreatif siswa kejuruan (edukasi vokasi) dengan memfasilitasi ruang ekonomi kreatif yang terjalin dengan dunia usaha sehingga menjadi tempat menggembleng SDM yang siap berkompetisi di kancah nasional, bahkan internasional. Andai gagasan industri mobnas diwujudkan dan difasilitasi, sudah saatnya pendidikan vokasi subsistem pendidikan kejuruan otomatif mengembangkan kurikulum yang bisa mewadahi ide-ide cerdas dan kreatif anak sekolah, yang mengalir seperti aliran sungai pada musim hujan.

    Kegiatan pendidikan vokasi menumbuhkan semangat yang mendorong hadirnya ruang kreasi dan pembelajaran tentang realitas, menyiapkan siswa menjadi tenaga kompeten yang mandiri, dan penuh inovasi. Untuk itu, perlu menghadirkan skenario pengembangan kurikulum berbasis industri kerakyatan dan kompetensi kreatif. Langkah itu baru awal, dan muaranya adalah pendidikan kejuruan yang bisa menjadi ”bengkel kerja” inovasi dan berspirit kewirausahaan bagi generasi muda.

  • Menggaet Putra Terbaik Menjadi Guru

    Menggaet Putra Terbaik Menjadi Guru
    Muhibuddin,  ALUMNUS UNIVERSITAS NEGERI MALANG,
    TINGGAL DI TULUNGAGUNG, JAWA TIMUR
    Sumber : SUARA KARYA, 12 Januari 2012
    Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru, hingga kini masih kerap dipersoalkan kalangan profesi yang populer dengan julukan pahlawan tanpa tanda jasa itu. Namun begitu, jika mau jujur, kesejahteraan para pendidik sejatinya sudah mengalami peningkatan signifikan. Itu terjadi setelah pemerintah menggulirkan pencairan tunjangan profesi pendidik (TPP) bagi guru yang dinyatakan lulus sertifikasi.
    Dengan begitu, guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang lulus sertifikasi bukan hanya menerima penghasilan berupa gaji rutin yang dibayarkan setiap bulan. Tapi, mereka masih mendapatkan tambahan penghasilan dari TPP yang besarnya satu kali gaji per bulan. Sementara, untuk guru tidak tetap (GTT) bersertifikat pendidik, mereka dikucuri TPP yang nominalnya sebesar Rp 1,5 juta per bulan.
    Kebijakan pemberian TPP ini tentu menjadi angin surga bagi upaya memperbaiki kesejahteraan guru. Sekalipun, sulit dipungkiri, saat ini masih banyak guru yang belum menikmati manisnya TPP karena tak kunjung masuk kuota sertifikasi. Bahkan, kabar gres yang bikin pilu, sesuai Surat Edaran (SE) Sekjen Kemendikbud Nomor 088209/ A.C5/KP/2011, guru honorer kategori II tidak bisa disertifikasi dan pencairan TPP akan distop.
    Lepas dari persoalan ini, yang pasti, pemberian TPP telah mendongkrak penghasilan guru secara fantastis. Karena itu, rasanya tidak pas lagi mengidentikkan guru bersertifikasi dengan sosok ‘Umar Bakrie’. Yakni, seorang PNS yang hidup bersahaja dan serba kekurangan karena penghasilannya minim.
    Kini, di era pemberian TPP, figur guru sudah banyak yang berubah jadi sosok ‘Aburizal Bakrie’ yang penghasilannya berkecukupan. Ini tak berlebihan. Faktanya, tidak sedikit guru yang kini ke sekolah dengan mobil pribadi dan berbondong daftar haji setelah menerima TPP.
    Ketika gajinya minim, efeknya bukan hanya membuat kesejahteraan guru terengah-engah. Rendahnya gaji guru imbasnya juga bermuara pada daya tarik terhadap profesi guru. Lihatlah, putra-putra terbaik yang memiliki kemampuan akademik bagus di sekolah. Sebagian di antara mereka tampaknya enggan memilih profesi guru. Mereka lebih tertarik mengambil program studi di perguruan tinggi (PT) non-kependidikan karena dianggap lebih menjanjikan masa depan.
    Akibatnya, input calon guru di PT pencetak tenaga pendidik dan kependidikan pun banyak kehilangan putra-putra terbaik yang punya kemampuan akademik bagus. Padahal, kalau saja putra-putra terbaik itu ‘jatuh cinta’ kepada profesi guru, sangat mungkin output calon guru akan jauh lebih bagus kualitasnya. Sebab, bibit-bibit calon guru yang direkrut memang punya latar belakang kualitas akademis yang bagus pula.
    Fenomena ini berbeda dengan pola rekruitmen masukan calon guru di era 1950-an. Menurut catatan Mohamad Surya (2003 : 397), siswa-siswa yang tergolong the best di sekolah justru memilih lembaga pendidikan keguruan sebelum mereka memilih sekolah-sekolah lain non-keguruan.
    Dengan demikian, sekolah-sekolah guru kala itu banyak dibanjiri siswa putra terbaik di jenjang pendidikan sebelumnya. Dari sinilah kemungkinan output sekolah-sekolah keguruan tempo dulu, diakui atau tidak, mampu menelorkan guru-guru legendaris, berkualitas dan punya dedikasi tinggi dalam mencerdaskan generasi bangsa.
    Yang menarik, sekolah-sekolah keguruan tempo dulu umumnya memberikan tunjangan ikatan dinas (TID) kepada sebagian besar siswa-siswinya. Tunjangan ini sekaligus sebagai pengikat untuk penempatan sebagai guru setelah lulus sekolah. Dengan begitu, lulusan sekolah keguruan tak perlu repot-repot melamar jadi guru karena begitu lulus otomatis mereka akan diangkat menjadi guru.
    Melalui model TID ini, wajar kalau kemudian putra-putra terbaik (the best) di suatu sekolah jadi tergiur dan termotivasi menekuni profesi guru. Sekalipun, tidak bisa dipungkiri, saat itu profesi guru memang menjadi kebanggaan tersendiri. Dengan kata lain, profesi guru merupakan panggilan nurani sebagai bentuk pengabdian seorang warga negara kepada nusa dan bangsa.
    Pengalaman masa lalu dalam menggiring putra-putra terbaik untuk menerjuni profesi guru barangkali menarik direnungkan dalam upaya menyiapkan guru berkualitas. Jika pada masa lalu ada TID, itu bisa dihidupkan lagi dengan model serupa atau dimodifikasi sesuai kaadaan terkini. Ini jauh lebih efektif dari pada setiap tahun merekrut tenaga guru melalui jalur tes CPNS.
    Di sisi lain, pemberian TPP sangat mungkin dijadikan momen untuk menggaet putra-putra terbaik agar terpikat menjadi guru. Bagaimanapun, TPP memiliki nilai tawar yang cukup kuat untuk membuat profesi guru bertambah ‘seksi’ sehingga mampu memikat hati para the best di sekolah-sekolah.
    Gerakan Indonesia Mengajar yang dikembangkan Rektor Paramadina, Anies Baswedan, barangkali layak dijadikan inspirasi untuk menggaet putra terbaik menjadi guru. Lewat gerakan sosial kreatif ini, lulusan PT kenamaan di Indonesia yang masih fresh graduate banyak yang terpanggil menjadi guru di daerah terpencil untuk mengajar murid-murid SD selama setahun penuh.
    Bahkan, dari 51 guru muda yang direkrut untuk angkatan pertama, ada yang sudah bekerja di P & G Singapura. Ada pula yang peraih Top 20 Authors dalam World Bank’s Essay Competition. Ini mengindikasikan, dengan pengkondisian tertentu, putra-putra terbaik lulusan PT ternama pun ternyata tergiur juga menjalani profesi guru.
    Nah, jika sepakat memperbaiki kualitas guru, agaknya tak berlebihan membidik putra-putra terbaik untuk direkrut sebagai pendidik. Hanya, ini memang membutuhkan political will dari berbagai elemen masyarakat. Semoga, pemberian TPP memberikan daya tarik untuk menggaet putra-putra terbaik agar mereka ‘jatuh hati’ menjadi guru.
  • Terobosan Esemka

    Terobosan Esemka
    Yudi Latif,  PEMIKIR KEAGAMAAN DAN KENEGARAAN
    Sumber : REPUBLIKA, 11 Januari 2012
    Setiap kali kita merasa pesimistis pada perkembangan bangsa, selalu saja ada pihak yang berdiri terakhir di persimpangan jalan memancangkan terobosan kreatif yang memercikkan harapan. Di sela gugusan kelam jagad politik kita, Wali Kota Solo Joko Widodo menerobos kabut kegelapan dengan keteladanannya menghargai mobil buatan anak-anak SMK (Esemka).

    Perpaduan antara kreativitas anak-anak Esemka dengan kreativitas dukungan politik Wali Kota memungkinkan karya inovatif itu menjadi pusat perhatian, sejenak mengalihkan wacana publik dari politik keburukan ke politik harapan. Momen ini mengandung banyak makna.

    Sebab, dalam 13 tahun terakhir, energi nasional kita terkuras untuk mengurusi rekayasa demokrasi proseduralisme dan politik  pencitraan, mengabaikan substansi politik berdimensi kebijakan publik yang berorientasi kesejahteraan, kecerdasan, dan kemandirian bangsa. Impian tinggal landas berbasis pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, yang pernah menjulang di penghujung Orde Baru, lenyap begitu saja dibenamkan kegaduhan politik sebagai arena perjuangan kuasa demi kuasa semata.

    Meskipun politik kenegaraan abai terhadap tugas pelayanannya, masyarakat Indonesia menampilkan daya tahan dan daya kreatif yang mengagumkan. Ketika politik ekonomi hanya berpihak pada pertumbuhan ekonomi kuat, 70 persen rakyat Indonesia bisa bertahan hidup melalui kreativitas sektor informal.

    Ketika demokrasi hanya melahirkan pemerintahan yang mengurusi kepentingannya sendiri, genius-genius Indonesia tetap mampu menorehkan pelbagai prestasi. Di bawah bimbingan Prof Yohanes Surya, anak-anak Indonesia berkali-kali merebut gelar juara berbagai Olimpiade Fisika dan Sains Dunia yang sangat bergengsi. Mereka bahkan mengalahkan anak-anak dari Cina, Amerika, Jerman, Inggris, India, Korea Selatan, Australia, dan Israel.

    Keberhasilan anak-anak Papua menjuarai kompetisi fisika dan matematika menghapus stigma rasisme yang merendahkan. Dalam kepungan mentalitas pecundang yang mewarnai bangsa ini, keberhasilan ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia bukan saja sejajar dengan bangsa-bangsa lain, melainkan lebih superior.

    Barangkali benar sinyalemen dari Prof Yaumil Agoes Achir (alm) bahwa Indonesia adalah tambang emas dari sumber daya manusia genius di dunia. Terbukti pula bahwa untuk sekadar membuat mobil, anak-anak sekolah menengah juga bisa. Apalagi kalau kita bisa memberi ruang kreatif bagi ribuan ahli Indonesia yang tersebar di pelbagai universitas dan pusat industri  dunia.

     Di akhir Orde Baru, kita telah merintis pusat-pusat pengembangan teknologi tinggi yang memberikan tumpuan daya saing nasional, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dalam negeri. Sayang, sifat politik Indonesia yang sering melupakan warisan-warisan terbaik masa lalu, setiap perubahan rezim politik berarti membuat segalanya bermula dari titik nol.

    Terobosan kreatif tanpa dukungan komitmen politik hanya akan membuat karya-karya inovatif berhenti sebagai alat menipulasi pencitraan. Para pembesar negeri datang mengerubuti dan konon memesan mobil Esemka, tapi entah sampai kapan perhatian ini bisa dipertahankan, karena mudah beralih ke isu-isu berikutnya yang menjadi sorotan publik.

    Sementara itu, sifat birokrasi kita yang cenderung berpihak pada yang bayar dan kepentingan jangka pendek, kemungkinan akan menghambat pengembangan mobil Esemka ini dengan berbagai prosedur. Pengembangan ekonomi kreatif tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak talenta-talenta genius bangsa ini.

    Melainkan juga ruang toleransi bagi pengembangan kreativitas, dengan dukungan sistem teknologi yang berdimensi politik. Seperti dikatakan Johan Galtung, “Adalah naif memandang teknologi sebatas persoalan hardware, keterampilan, dan software belaka …. Alat-alat tidaklah beroperasi di ruang vakum; mereka adalah man-made dan man-used yang memerlukan pengelolaan sosial-politik tertentu agar bisa berkembang.”

    Ketidakmampuan politik untuk menyediakan wahana bagi aktualisasi ide kreatif genius-genius bangsa, yang akan berkembang adalah kompensasi negatif dalam bentuk kreativitas yang destruktif: pembajakan, keisengan vandalisme, bahkan tawuran antarpelajar. Sudah saatnya politik keburukan diganti dengan politik harapan.

    Politik sebagai ekspresi perjuangan kuasa demi kuasa harus berubah menjadi politik sebagai ekspresi kebajikan kolektif yang bepihak pada kesejahteraan, kecerdasan, dan kemandirian bangsa.

  • Jalan Keluar Konflik Agraria

    Jalan Keluar Konflik Agraria
    Sidik Suhada,  KETUA DPN REPDEM BIDANG PENGGALANGAN TANI,
    AKTIVIS KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA)
    Sumber : SINAR HARAPAN, 11 Januari 2012
    Tanggal 12 Januari besok, ribuan petani dari berbagai daerah akan aksi turun jalan. Mereka mendatangi Istana Presiden dan Gedung DPR untuk menuntut penyelesaian konflik agraria yang kian marak terjadi di negeri ini.
    Di Senyerang, Kabupaten Tanjungjabung Barat, Jambi, lebih dari 1.000 petani masih menduduki lahan yang dirampas perusahaan bisnis pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI).
    Dalam kasus ini, seorang petani bernama Ahmad Adam Syafri (38) tewas tertembus peluru yang dilepaskan pasukan Brimob, Polda Jambi, November 2010. Namun, konflik agraria yang sudah berlangsung sejak 2001 ini belum juga terselesaikan hingga kini.
    Cara-cara kekerasan dalam penyelesaian konflik agraria memang masih sering digunakan aparat kepolisian. Terakhir kasus Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan, serta di Bima NTB yang juga menewaskan petani.
    Karena itu, sejumlah kalangan pun mendesak pemerintah segera melaksanakan pembaruan agraria dan membentuk lembaga percepatan penyelesaian konflik agraria. Ini karena akar masalah dari semua konflik tersebut sebenarnya adalah soal agraria.
    Sumber-sumber agraria (bumi, air, dan kekayaan alam lainnya) yang ada di Indonesia yang seharusnya dikuasai sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat ternyata banyak yang dikuasai segelintir orang.
    Konsentrasi kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan sumber-sumber agraria, baik tanah, hutan, maupun tambang, hanya ada di tangan segelintir pemilik korporasi besar sehingga melahirkan ketimpangan dan kemiskinan di kalangan rakyat yang menjadi kaum mayoritas.
    Semangat UUPA
    Salah satu semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebenarnya untuk mengakhiri praktik-praktik monopoli hak penguasaan tanah yang dapat melahirkan ketimpangan.
    Karena itu, secara umum tujuan utama UUPA adalah (1) pembaruan hukum agraria kolonial (Agrarische wet 1870) menuju hukum agraria nasional; (2) menjamin kepastian hukum; (3) mengakhiri kemegahan modal asing dengan cara menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia; (4) mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah timpang; (5) mewujudkan implementasi Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Namun, setelah Soeharto berhasil melakukan kudeta tahun 1965 dan berhasil melahirkan kekuasaan Orde Baru, semangat dan tujuan UUPA diselewengkan. Meski undang-undang itu tidak pernah dicabut, hingga saat ini juga tidak pernah dijalankan.
    Dalam mengelola pertanian, perkebunan, hutan, dan tambang misalnya, pemerintah lebih suka mengutamakan agar dikelola pengusaha ketimbang rakyat. Berbagai fasilitas kemudahan dan regulasi dibuat semata-mata hanya untuk melayani kepentingan modal agar dapat mengeruk semua kekayaan alam, serta sumber-sumber pokok agraria lainnya dibawa ke luar negeri.
    Badan Percepatan
    Untuk dapat mempercepat proses pelaksanaan pembaruan agraria, pemerintah harus segera membentuk badan atau komite khusus pelaksanaan percepatan reforma agraria. Badan atau komite ini langsung dipimpin presiden.
    Dasarnya, Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah memberikan mandat jelas pada Presiden dan DPR, yakni (1) menjalankan pembaruan agraria dan (2) menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan.
    Sebagai arahan kebijakan, TAP MPR ini menghendaki: (1) dilakukan peninjauan kembali segala perundangan-undangan dan peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam hal penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah, dan sumber daya alam lainnya; (2) dilakukannya penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah land reform, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan land reform ini; (3) diselesaikannya konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-sengketa ini; dan (4) mengupayakan pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumber daya alam.
    Sebagai badan percepatan pelaksanaan reforma agraria, lembaga ini hanya bersifat sementara. Jika pelaksanaan pembaruan agraria sudah selesai, badan ini dapat dibubarkan karena tugas dan masa kerjanya sudah selesai.
    Tugas pokok badan percepatan pelaksanaan reforma agraria: pertama, mendata dan memverifikasi kasus-kasus konflik agraria, baik kasus yang diadukan kelompok petani ataupun yang diprediksi dapat melahirkan konflik agraria, termasuk kasus-kasus lama yang belum terselesaikan hingga saat ini.
    Kedua, membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik. Ketiga, memfasilitasi penyelesaian konflik melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrasi.
    Keempat, menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan (pembentukan pengadilan khusus agraria) untuk penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria.
    Kelima, melakukan sosialisasi, koordinasi, dan kerja sama dengan badan-badan pemerintah maupun non-pemerintah dalam rangka pencapaian tujuan utama dari pelaksanaan pembaruan agraria. Keenam, menetapkan dan merencanakan tata guna tanah sebagai basis utama pembangunan nasional.
    Tata guna tanah ini meliputi (1) di mana dan berapa luas areal kawasan hutan yang harus dilestarikan, (2) di mana dan berapa luas area perkebunan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, (3) serta di mana dan berapa luasan area tambang.
    Penetapan tata guna tanah ini selain penting sebagai basis utama pembangunan nasional ke depan, juga penting untuk menghindari gesekan dan sengketa tanah yang selama ini marak terjadi.
    Semoga ke depan tidak ada lagi konflik agraria yang selalu memakan korban jiwa. Tidak ada lagi pembantaian kaum tani yang sedang berjuang mendapatkan hak atas kepemilikan tanah, dan tidak ada lagi perampasan tanah secara sewenang-wenang yang dilakukan para pengusaha.
    Ini karena pembaruan agraria diletakan sebagai basis utama konsep pembangunan nasional, sebagaimana amanat Pancasila, UUD 1945, dan UUPA, yang sudah dipikirkan secara mendalam oleh para perintis dan pendiri NKRI ini.
  • Mobil di Jalan Politik Indonesia

    Mobil di Jalan Politik Indonesia
    Bandung Mawardi, PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
    Sumber : KORAN TEMPO, 11 Januari 2012
    Kabar itu datang dari Solo, Jawa Tengah. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo ingin mengendarai mobil bermerek Kiat Esemka hasil rakitan para siswa di Solo sebagai mobil dinas. Pilihan ini hendak menunjukkan adab politik. Pesan Joko Widodo eksplisit: mobil dinas tak mesti mahal dan mewah. Joko Widodo justru memilih mobil seharga Rp 95 juta itu sebagai ejawantah kebersahajaan politik dan penghormatan terhadap keringat kaum muda dalam menggerakkan impian teknologi. Adab politik ini adalah tanda seru bagi mentalitas para elite politik saat mendefinisikan mobil sebagai arogansi, sikap gila hormat, hedonisme.
    Sejarah (adab) politik di Indonesia memang identik dengan alat transportasi modern: kereta api, sepeda motor, mobil. Arus politik di awal abad XX dipengaruhi oleh mobil dan biografi elite politik. Mobil pun menjelma menjadi tanda kekuasaan. Pembangunan jalan-jalan di pelbagai kota menjadi panggung kekuasaan. Elite politik mengendarai mobil sebagai prosedur percepatan gerak, mobilitas gagasan, dramatisasi ideologi, semaian “kemadjoean”. Mobil-mobil melintasi jalan sebagai benda ajaib alias sihir modernitas. Mobil mengandaikan ada resapan rasionalitas modern akibat kausalitas kolonialisme-kapitalisme. Kehadiran mobil-mobil di Hindia Belanda adalah berkah-imperatif untuk laju politik (modern) dan arus deras narasi kapitalisme.
    Kita bisa membuka halaman-halaman biografi Adam Malik berjudul Mengabdi Republik(1978). Modernisasi di Pematang Siantar (Sumatera Timur) mengakibatkan derita kaum kuli dan kemunculan golongan elite. Industri perkebunan oleh kolonial dan elite lokal mengubah Pematang Siantar menjadi “Tanah Dolar”. Adam Malik menganggap kondisi itu mempengaruhi usaha perdagangan si ayah. Keluarga Adam Malik pun moncer sebagai keluarga elite. Adam Malik mengingat: “.. pada tahun 1928, satu-satunya orang di seluruh Pematang Siantar yang mempunyai mobil sedan Buick adalah ayah saya. Kekayaan dan kedudukan beliau cukup banyak dan tinggi untuk termasuk ‘golongan elite’ di antara seluruh penduduk kota itu.” Mobil kentara menjadi representasi kelas sosial elite dan menandai afirmasi gagasan modern di negeri jajahan.
    Mobil dalam biografi Adam Malik menandai laju ekonomi-politik di Sumatera. Mobil mengandung makna pembedaan nasib, puja modernitas, eksistensi elite. Kisah di Sumatera itu berbeda dengan pengisahan Ahmad Soebardjo saat kuliah dan menggerakkan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1920-an). Otobiografi Ahmad Soebardjo berjudul Kesadaran Nasional (1978) mengenang babak historis saat mendapati ilham tentang perlambang pergerakan nasionalisme. Ilham itu mengacu ke mobil. Adegan menatap mobil justru menjadi titik mula manifestasi gerakan nasionalisme Indonesia.
    Alkisah, Perhimpunan Indonesia diundang untuk mengikuti Kongres Mahasiswa Kristen di Driebergen (Belanda). Sultan Hamengku Buwono XVII juga ikut datang ke kongres. Adegan dramatis terjadi saat Sultan Hamengku Buwono XVII bergerak ke tempat acara mengendarai mobil dengan iringan panitia. Rombongan Ahmad Soebardjo tepat ada di belakang mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Ahmad Soebardjo mengenang bahwa, saat memandang mobil Sultan Hamengku Buwono XVII, tampak ada bendera berlambang “gula kelapa” khas Yogyakarta. Konon, bendera bersejarah itu warisan dari para penguasa Majapahit.
    Ahmad Soebardjo menatap bendera merah-putih itu dengan takjub. Bendera itu mengundang memori perlambang politik bagi pribumi di Nusantara. Warna merah berarti keberanian, dan warna putih berarti kesucian. Peristiwa dramatis itu diingat oleh Ahmad Soebardjo dalam sederet kalimat: “Begitulah, timbul dalam pikiran saya, menjadikan merah-putih sebagai lambang yang hidup bagi himpunan mahasiswa kami, dalam bentuk lencana dari perhimpunan.” Ilham itu kelak disepakati dalam rapat Perhimpunan Indonesia dengan penambahan gambar kepala kerbau di tengah merah-putih. Ilham politik itu mengikutkan narasi mobil.
    Dua kisah mobil dalam biografi Adam Malik dan Ahmad Soebardjo turut menentukan pengertian-pengertian kita tentang mobil dalam arus (sejarah) politik Indonesia. Kapitalisme perkebunan telah melahirkan elite. Kelas ini memaknai diri dalam bingkai ekonomi-politik di masa kolonialisme dengan mobil. Kita juga mendapati jejak-jejak historis perlambang merah-putih sebagai manifestasi nasionalisme saat Ahmad Soebardjo mendapati ilham di mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Barangkali ini dua cerita kecil untuk Indonesia, meski jarang tercantum di buku besar sejarah. Mobil memang menandai lakon kolonialisme-kapitalisme dan modernitas, tapi bisa ditafsirkan dalam bingkai nasionalisme, “kemadjoean”, dan adab politik.
    Mobil adalah juru bicara arus modernitas di Indonesia. Rudolf Mrazek (2006) mengabarkan ada 51.615 mobil di Hindia Belanda pada tahun 1938. Indonesia melaju dengan mobil. Angka ini lekas melonjak fantastis saat abad XXI diartikan sebagai “zaman mobil”. Jalan macet, dilema parkir, nafsu konsumerisme, arogansi politik, puja hedonisme seolah jadi narasi mobil di Indonesia. Mobil telah merepotkan Indonesia. Mobil telah mengangkut pengertian politik kotor karena mobil dijadikan ikon korupsi. Mobil juga telah mengisahkan keruntuhan etika publik dari kalangan elite dan parlemen. Para elite dan kaum borjuis mengoleksi mobil sebagai ritus hedonisme. Mobil adalah ironi Indonesia.
    Semua lakon mobil itu mendapat imbuhan dari simbolisme politik mobil ala Joko Widodo. Mobil itu representasi adab politik. Joko Widodo hendak mengucapkan kebersahajaan dalam menjalankan amanah rakyat tanpa kegenitan dan kemewahan. Eksistensi diri sebagai pejabat diartikan sebagai acuan “meladeni” dan “mengerti”. Simbolisme mobil ala Joko Widodo pun mengejek ulah elite politik di Indonesia. Mobil-mobil mahal para elite politik adalah kemubaziran uang rakyat. Laju kencang mobil para pejabat di jalan adalah kesombongan dan teror politik. Semua ini ditampik oleh adab politik ala Joko Widodo. Mobil justru mengandung arti kebersahajaan, kepatutan, dedikasi, integritas demi misi meladeni rakyat. Begitu.
  • Mobil Esemka dan Mentalitas Bangsa

    Mobil Esemka dan Mentalitas Bangsa
    Heppy Trenggono, PEMIMPIN GERAKAN BELI INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 11 Januari 2012
    Beberapa teman bertanya, pak apa yang harus kita lakukan untuk mendorong agar isu tentang mobil Esemka ini jadi produktif? Saya katakan, order mobilnya biar semua jadi semangat!
    Ketika isu ini muncul, sebagian besar berkomentar mendukung. Hanya satu-dua pejabat yang agak sinis. Namun, yang ingin saya garis bawahi dalam kasus ini adalah berkembangnya pembicaraan yang tidak terarah.
    Banyak pertanyaan seputar teknis, seberapa besar komponen yang dikandung? Apakah ini rakitan atau buatan sendiri? Bagaimana dengan lisensinya, apakah layak digunakan atau tidak?
    Inilah persoalan besar bangsa kita hari ini. Kita tidak mampu menangkap substansi dari apa yang terjadi di negeri kita. Saya menyampaikan kepada teman– teman, termasuk pers, agar persoalan teknis dalam kasus ini tidak dikuliti lebih dalam. Mengapa? Karena begitu kita memperbincangkan persoalan teknis mobil Esemka, akan ada seribu alasan masuk akal untuk kita tidak menggunakannya.
    Jangankan mobil Esemka yang jelas-jelas produk yang membutuhkan teknologi. Air minum isi ulang pun, produk nyaris tanpa teknologi, pernah ramai-ramai kita jauhi karena sebuah institusi pendidikan tinggi negeri pada saat itu membeberkan secara heroik bahwa air minum isi ulang mengandung bakteri ini dan itu. Saya baru tahu belakangan bahwa riset itu disponsori oleh perusahaan air minum dalam kemasan milik asing, yang hari ini menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia.
    Soal Mentalitas
    Bagi bangsa Indonesia, masalah sesungguhnya yang sedang dihadapi sama sekali bukan masalah teknis. Apakah bangsa kita bisa membuat produk atau tidak, apakah produk bangsa Indonesia bisa bersaing secara kualitas atau tidak, apakah harganya lebih murah atau tidak, itu semua masalah teknis! Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia hari ini—sehingga produk kita tidak ada di pasar sehingga bangsa kita miskin—adalah persoalan mentalitas. Mentalitas pembelaan terhadap produk bangsa kita sendiri! Kita belum bisa membedakan produk mana yang seharusnya dibela, apakah produk bangsa sendiri atau produk bangsa lain.
    Coba lihat bagaimana sebuah BUMN, seperti PT Merpati Nusantara, dengan gagah berani membela pesawat buatan China yang tidak berlisensi, padahal kita sendiri mampu membuat pesawat. Juga lihat bagaimana institusi pendidikan tinggi negeri yang pernah memublikasikan hasil risetnya tentang air isi ulang dan meruntuhkan pengusaha-pengusaha kecil di negeri kita sendiri, pada kesempatan lain, berperilaku membingungkan dengan mati-matian menutup rapat identitas perusahaan asing dan merek produk asingnya ketika riset mereka menemukan bahwa produk-produk susu yang diproduksi oleh perusahaan asing tersebut berbakteri dan sangat merugikan masyarakat.
    Tidak jelas apa yang dibela! Itulah substansi dari permasalahan bangsa kita. Ketidakberdayaan produk dalam negeri hanyalah sebuah indikasi dari pembelaan yang tak terjadi di negeri ini. Kita belum bisa memahami bahwa produk asing artinya ekonomi asing, produk Indonesia adalah ekonomi Indonesia.
    Pembangunan industri di negeri kita kedodoran setengah mati karena produk anak-anak kita tak dibela di negeri sendiri. Pasar yang sangat besar tidak memberikan makna bagi kemajuan ekonomi bangsa kita sendiri.
    Membangun industri tidak bisa dimulai dari industri itu sendiri karena industri tidak menentukan pasar, tetapi pasar yang menentukan industri. Produk tidak bisa mendikte pelanggan. Pelangganlah yang mendikte produk.
    Kalau bangsa Indonesia tidak mau menggunakan produk milik bangsa sendiri, produk dalam negeri akan runtuh. Itulah yang terjadi hari ini sehingga jumlah pengusaha di Indonesia sangat kecil: hanya 0,28 persen (China 6 persen, Amerika Serikat 11 persen, Singapura 9 persen).
    Kesediaan Wali Kota Solo menggunakan mobil dinas buatan SMK adalah contoh konkret bagaimana seharusnya seorang wali kota bersikap terhadap produk anak bangsanya. Jelas apa yang dibela! Bukan pertanyaannya apakah mobil tersebut layak atau tidak. Pertanyaannya: mau pakai atau tidak!
    Jika minggu-minggu ini kita mendengar wali kota tersebut dengan mobil Esemka-nya, beberapa minggu yang lalu kita mendengar Gubernur Jawa Timur menolak beras impor untuk masyarakat miskin. Kita juga mendengar beberapa bulan yang lalu Gubernur Jawa Barat melarang semua staf di lingkungan pemda menggunakan sepatu impor. Bahkan, beliau menghukum mereka dengan push up 200 kali jika ketahuan menggunakan sepatu impor. Beberapa hari yang lalu, Bupati Kulon Progo menyatakan gerakan ”Beli Kulon Progo”, dan setiap hari mengampanyekan agar masyarakat Kulon Progo menggunakan produk-produk Kulon Progo sendiri untuk membangkitkan ekonomi daerahnya.
    Pada sisi lain, kita sedih mendengar petani kentang di Dieng tidak bisa menjual kentang karena dihajar kentang impor yang harga jualnya Rp 2.750 per kg, jauh lebih rendah daripada ongkos produksi mereka. Petani bawang di Brebes bergelimpangan karena bawang dari China membanjiri pasar bak air bah dengan harga yang juga tidak kalah murahnya. Demikian juga petani garam, nelayan, dan pedagang ikan. Mereka yang dulu mandiri secara ekonomi kini menghadapi serangan gelombang kemiskinan baru di negeri ini.
    Siasati dengan Cerdas
    Kesadaran tentang ”apa yang kita bela” sepertinya sedang terjadi pada beberapa pemimpin di daerah yang setiap hari melihat keadaan ekonomi rakyatnya. Namun, kesadaran setara justru belum kita lihat secara nyata pada pemerintah pusat yang sedang sibuk berbicara tentang pertumbuhan 6,5 persen meskipun lupa menunjukkan di mana dan siapa yang bertumbuh. Sebab, kita tahu petani sedang bertumbangan, bukan sedang bertumbuh.
    Pasar bebas jelas bukan segala- galanya. Juga bukan sesuatu yang membuat kita tak berkutik. Pasar bebas bisa disiasati dengan cerdas. Artinya, tidak membiarkan produk asing masuk begitu saja tanpa strategi sehingga menghancurkan produk anak-anak bangsa sendiri.
    Jadi, kalau standar pembelaan seorang wali kota adalah mobil Esemka, standar pembelaan direksi BUMN, seperti PT Merpati Nusantara, adalah membeli pesawat dari IPTN. Demikian juga dengan Pertamina, Telkom, dan BUMN lain yang seharusnya mengutamakan pemasok dan produk anak bangsa sendiri.
    Standar pembelaan menteri adalah tidak menjual BUMN atau go public, tetapi mencegah dan melindungi pasar dalam negeri dengan segala cara dari serangan arus barang impor, menggunakan sebesar-besarnya anggaran pembelian untuk produk anak bangsa sendiri. Sementara standar pembelaan seorang presiden adalah mengembalikan Freeport, mengembalikan tambang-tambang minyak dan gas yang sudah lama diserahkan kepada asing agar kembali kepada bangsa sendiri.
  • Sandal Jepit untuk Kita Semua

    Sandal Jepit untuk Kita Semua
    Seto Mulyadi, KETUA DEWAN PEMBINA KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK
    Sumber : KOMPAS, 11 Januari 2012
    Kami anak-anak, sayang kepadamu
    Pak Polisi dan Bu Polisi Indonesia
    Kami anak-anak, bangga kepadamu
    Pak Polisi dan Bu Polisi Indonesia.
    Ini adalah sebait lagu anak-anak tentang polisi Indonesia yang saya buat sekitar 25 tahun lalu saat bersama teman-teman Polisi Lalu Lintas Polda Metro Jaya mencanangkan gerakan Polisi Sahabat Anak.
    Selain dimaksudkan memperkenalkan disiplin lalu lintas kepada anak-anak TK sejak usia dini, sekaligus juga untuk mengubah paradigma anak-anak agar tidak takut lagi kepada polisi. Maklum, saat itu sering terdengar, kalau ada anak dianggap nakal oleh ibunya selalu diancam dengan kata-kata: ”Awas, kalau nakal, mama panggilkan polisi!”
    Selain itu, tentu lagu ini juga dimaksudkan untuk mengubah paradigma di kalangan anggota kepolisian sendiri agar lebih ramah terhadap anak-anak. Tidak terkesan galak, garang, dan ditakuti. Waktu itu kami bersama mencoba mengubah berbagai paradigma keliru tersebut.
    Saya bersama para polisi (laki-laki dan wanita) coba mendongeng di hadapan anak-anak TK, menyanyi bersama, dan bermain gembira untuk memperkenalkan berbagai rambu lalu lintas yang memang perlu mulai dikenalkan kepada anak-anak sejak dini. Hasilnya memang cukup memuaskan. Anak-anak tak takut lagi kepada polisi. Berani bertanya-jawab. Polisi pun tampak akrab dan bersahabat dengan anak-anak.
    Itu terjadi dulu ketika kami bersama-sama mengampanyekan program Polisi Sahabat Anak di Jakarta. Bagaimana sekarang, 25 tahun kemudian?
    Kasus AAL yang dianiaya oleh polisi (dan kemudian divonis bersalah oleh hakim) telah merusak persahabatan itu dan mencoreng citra polisi sebagai sahabat anak. Gerakan 1.000 Sandal Jepit yang merupakan spontanitas reaksi masyarakat yang kecewa atas perlakuan polisi terhadap anak merupakan sindiran: masihkah anak-anak boleh bangga terhadap polisi Indonesia? Apalagi kasus-kasus polisi yang bersikap kasar dan melakukan kekerasan terhadap anak seolah tak habis menjadi pemberitaan media.
    Memang tak semua polisi bersikap demikian. Cukup banyak kita jumpai polisi yang hangat menjalin persahabatan dengan anak. Secara pribadi, saya pun sering bekerja sama dengan polisi dalam perlindungan anak. Namun, berbagai kasus kekerasan terhadap anak oleh oknum polisi akhir-akhir ini memang cukup mencoreng citra polisi dan menimbulkan keprihatinan kita.
    Saat masyarakat berbondong-bondong menyambut Gerakan 1.000 Sandal Jepit, yang hasilnya diserahkan kepada Kapolri melalui kantor KPAI, menunjukkan ada sesuatu yang perlu kita koreksi bersama. Ada yang salah dalam sistem pendidikan kepolisian kita sehingga aparat sering berlaku keliru terhadap anak-anak. Ada paradigma keliru dalam cara menghadapi anak.
    Filosofi Sandal Jepit
    Sandal jepit sering dianggap sebagai benda yang berharga murah, kumal, berada di bawah, dan kurang dihargai karena selalu dijepit dan diinjak. Seperti itu pulalah anak-anak yang sering tanpa sadar diperlakukan oleh sebagian oknum polisi kita.
    Bagi polisi, sebetulnya sudah ada pedoman bahwa dalam menangani berbagai kasus anak yang berkonflik dengan hukum sebaiknya dilakukan pendekatan kekeluargaan melalui mediasi. Namun, betapa banyak kasus yang akhirnya menjerumuskan anak terpaksa harus mendekam dalam tahanan atau penjara.
    Pendidikan di Akademi Kepolisian perlu terus disempurnakan untuk menciptakan polisi-polisi profesional yang memahami hak asasi manusia, termasuk hak anak. Dengan begitu, semakin banyak pula mereka yang nantinya akan terampil menjadi polisi sahabat anak, yang dicintai dan dibanggakan oleh generasi anak-anak di Indonesia.
    Kasus AAL di Palu hanyalah salah satu kasus dari ribuan kasus serupa yang bagaikan fenomena gunung es. Tentu hal ini tak bisa terus kita biarkan. Anak adalah peniru terbaik di dunia sehingga apabila anak terus-menerus mendapatkan tindak kekerasan, akhirnya mereka pun akan menjadi pelaku-pelaku kekerasan di kemudian hari.
    Ribuan sandal jepit tidak hanya dialamatkan untuk polisi, tetapi juga untuk jaksa dan hakim, yang tidak jarang oknum-oknumnya mengajukan tuntutan ataupun memutuskan perkara tidak berdasarkan hati nurani. Sebab, selain kepolisian, lembaga lain seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga menerima. Tentu ini dimaksudkan agar beliau-beliau semua yang ada di sana juga mau mendengarkan suara anak.
    Dan, akhirnya, filosofi sandal jepit juga untuk mengingatkan kita semua agar anak tidak diperlakukan sebagai sandal jepit yang selalu dijepit dan diinjak-injak. Dalam berbagai pertimbangan, seharusnya kita senantiasa mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak-anak di Indonesia.