Blog

  • Esemka dan Model Kepemimpinan

    Esemka dan Model Kepemimpinan
    Pamungkas Ayudhaning Dewanto,  RESEARCH ASSOCIATE
    PADA INSTITUTE FOR BUSINESS AND DIPLOMATIC STUDIES (IBDS) BINUS UNIVERSITY
    Sumber : SUARA MERDEKA, 13 Januari 2012
    ”Penataan sistem industri manufaktur, memerlukan kerja integratif dengan melibatkan sektor perindustrian, perdagangan, dan juga iptek”
    BEBERAPA waktu lalu perhatian publik tertuju pada langkah Wali Kota Solo Jokowi yang memilih menggunakan mobil dinas Kiat Esemka, rakitan siswa SMK Negeri 2 dan SMK Warga Surakarta yang difasilitasi bengkel Kiat Klaten. Ada beberapa respons unik terutama di kalangan kepala daerah lainnya. Tidak sedikit di antaranya mencibir dan menyebutnya sebagai tindakan narsistik atau cari perhatian. Namun ada yang termotivasi untuk memimpin dengan lebih baik lagi.
    Terlepas dari maksud apa pun, sikap Jokowi merupakan sekelumit upaya sebagai tokoh yang memiliki kewenangan tertinggi di wilayah kerjanya untuk melakukan beberapa terobosan pembangunan di daerah. Contoh kepemimpinan Jokowi sekaligus membedakan terminologi negara di mata pebisnis (corporate) dan praktisi sosial (social engineer).
    Pebisnis pada umumnya mempersepsikan negara sebagai perusahaan besar, dan kreativitas CEO mempengaruhi besar kecilnya pendapatan. Dalam perusahaan, efisiensi adalah salah satu cara mutakhir menjawab tantangan itu. Tujuan utamanya memperbesar keuntungan bagi pemegang saham dan pengelola, adapun kesejahteraan pekerja masuk ranah efisiensi (pemangkasan).
    Hal itu berbeda dari praktisi sosial yang memasukkan variabel ”kesejahteraan pekerja” di dalamnya. Artinya, di samping mementingkan pertumbuhan, juga memikirkan implikasi sosial pada peningkatan kesejahteraan warga (pekerja), dengan menomorduakan pendapatan (keuntungan). Jika suatu kebijakan dirasa meningkatkan pendapatan tapi tidak berdampak pada kesejahteraan maka seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan tegas. Inilah yang dinamakan keputusan politik.
    Perakitan mobil Esemka ini seharusnya disambut dengan penuh semangat karena menyiratkan lahirnya sumber pertumbuhan baru, sekaligus memupuk SDM di daerah. Fenomena ini seharusnya mendapat insentif ekonomi secara struktural. Misalnya, negara memfasilitasi investor yang mampu membiayai industri perakitan mobil yang berskala lebih besar sehingga berpotensi untuk pasar ekspor.
    Kebijakan Integratif
    Contohnya, industri otomotif China semula hanya terdiri atas perakit mobil skala kecil. Namun dengan dukungan pemerintah, perusahaan otomotif raksasa sekaliber General Motors dan Chrysler telah memercayakan sebagian besar perakitan kendaraannya bekerja sama dengan Shanghai Automotive Industry Company (SAIC) di China. Bahkan merek-merek China, seperti BYD kini banyak ditemui di California, AS. Kerja integratif semacam ini harus dimulai dengan komitmen politik jangka panjang kementerian dan pemda yang terkait.
    Tentu dalam hal teknologi, kita tidak perlu malu meniru inovasi yang dilakukan negara lain. H Sukiyat, putra Klaten, pemilik bengkel Kiat Motor Klaten pun menerapkan 3N (niteni, niroke, nambahi-memperhatikan, meniru, dan menambah) yang sebetulnya mencerminkan keberanian tekad yang harus menular ke tiap pelaku bisnis dan pemerintahan di negeri ini. Revolusi Industri Amerika Serikat pada awal abad ke-19 pun diawali oleh inisiatif Francis Cabott Lowell dengan mengembangkan alat tenun yang ditirunya dari Inggris.
    Negara seharusnya menjadi stimulator atas tiap inovasi yang berkembang di masyarakat. Penataan sistem industri manufaktur, memerlukan kerja integratif dengan melibatkan sektor perindustrian, perdagangan, dan juga iptek. Indonesia telah dinaikkan peringkat utangnya menjadi layak investasi.(Presiden) Indonesia pun mendapatkan pujian internasional atas prestasinya pada bidang demokratisasi dan keterbukaan ekonomi menuju era pasar bebas.
    Namun Presiden lupa bahwa era persaingan bebas mensyaratkan fondasi ekonomi kokoh. Artinya, sistem permodalan yang arif, pembangunan klaster-klaster industri, perlindungan usaha kecil, dan distribusi bahan baku dan energi yang mewadai harus tercipta terlebih dahulu.
  • Konsolidasi Demokrasi

    Konsolidasi Demokrasi
    Bambang Sulistomo,  PUTRA PAHLAWAN NASIONAL BUNG TOMO
    Sumber : REPUBLIKA, 12 Januari 2012
    Tahun 2011 baru saja berlalu dan tentunya tercatat banyak capaian yang membanggakan. Namun, tentu saja berbagai capaian formal tersebut tidak serta merta menandakan seluruh tatanan kehidupan bangsa ini berjalan sebagaimana diharapkan. Keprihatinan masih menandai dunia tenaga kerja, penegakan hukum, distribusi pendapatan, ketertiban umum, dan tingginya intensistas politisasi dalam berbagai aspek kehidupan.

    Terkait dengan meningkatnya politisasi di berbagai bidang kehidupan belakangan ini, situasinya bisa dibilang memprihatinkan. Munculnya istilah ‘tebang pilih’ dalam penegakan hukum tidaklah lepas dari fenomena yang tumbuh dari praktik yang menjadikan politik sebagai panglima sehingga menggeser norma-norma hukum.

    Apalagi, virus politik ini sudah menjalar dan mengganggu roda birokrasi yang mestinya bersikap netral. Praktik politisasi dengan mencantol kekuatan politik untuk meraih jabatan bukan saja menjangkiti perangai pejabat eselon I di banyak kementerian yang notabene mestinya abdi negara yang bersifat mengayomi seluruh warganegara, tapi sudah mewabah hingga ke tingkat paling bawah.

    Sebenarnya dalam kurun perjalanan bangsa, pengalaman serupa pernah dialami, saat atmosfer politik begitu kental sehingga membuat pemerintahan tidak berjalan efektif yang mendorong pemimpin besar revolusi, Presiden RI pertama Soekarno mengeluarkan dekrit kembali pada Pancasila dan UUD 1945. Saat ini pun, dalam konteks kurang lebih sama tapi setting situasi yang berbeda, kita seperti mengulang era tahun 1959. Masuk dalam babak yang begitu liberal melalui praktik politisasi berbagai aspek kehidupan.

    Sayangnya, praktik politik yang sebenarnya menjadi mandat demokrasi itu merambah jauh berjalan tanpa arah, bahkan kerap kali bertabrakan kepentingan umum. Bila dibiarkan kondisi yang terjadi ini bisa menjadi bom waktu yang justru menghancurkan bangunan demokrasi yang sekarang bersemai di mana-mana. Apalagi, dengan kondisi bangsa yang diwarnai ketimpangan di sana-sini dan karakteristik massa mudah terbelah, dipecah-pecah, dihasut menjadi lahan empuk gelombang penghasutan atas nama kepentingan politik.

    Namun, tentu saja menarik kembali mandat demokratisasi yang terartikulasikan oleh partai-partai politik sama dengan membalikkan air sungai dari hilir ke hulu, bahkan melawan common sense. Sebaliknya, membiarkan situasi yang berkembang terus terjadi ibarat membiarkan perahu besar NKRI menyusuri gelombang yang bisa membahayakan perjalanan kita sebagai bangsa dengan kemungkinan terjadinya huru-hara politik di luar beban sejarah.

    Dalam panggung sejarah NKRI, kita menyaksikan terjadinya koreksi-koreksi yang lahir dari perjalanan sejarah melalui ‘huru-hara’ politik. Kita mengetahui, bagaimana Soekarno setelah kemerdekaan mesti diturunkan di tengah jalan dengan memobilisasi mahasiswa dan rakyat. Begitu juga kita menyaksikan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun setelah menggantikan Soekarno, diturunkan di tengah jalan melalui gerakan yang dimotori mahasiswa dan rakyat pada 1998.

    Dalam masa transisi demokrasi, kita juga menyaksikan Presiden KH Abdurrahman Wahid dimakzulkan melalui sidang MPR dan diganti di tengah jalan. Saat ini, melalui sistem pemilihan langsung serta mekanisme demokratisasi makin terbuka, mestinya kita tak memerlukan lagi terjadinya koreksi-koreksi melalui huru hara politik. Dalam iklim yang lebih terbuka dan konsolidasi demokratisasi, pilihannya hanyalah memapankan mekanisme konstitusi yang sudah disepakati bersama.

    Kita sudah melihat dan merasakan, nafsu politisasi yang kuat hanya menimbulkan berbagai masalah. Dalam pemaparan ahli sejarah Asvi Warman Adam, kurun waktu terbesar panggung kekuasaan di Indonesia merupakan pertarungan Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) di mana kekuatan yang muncul kemudian sering kali mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi dengan mentransformasi pada salah satunya.

    Penulis tidak pernah terkotak pada rezim berkuasa sebelumnya. Apalagi, Bung Tomo selaku panutan sekaligus orang tua penulis merupakan figur yang pernah dikucilkan, baik oleh Soekarno setelah awal kemerdekaan dan kemudian dalam masa Orba oleh Soeharto karena sejumlah kritikan atas keadaan.

    Saat ini, suka atau tidak, bangsa ini mesti menyudahi pertikaian politik warisan masa lalu yang mengisi bentuk-bentuk euforia politik. Saatnya kita menatap ke depan dengan tradisi menaati konstitusi dan bermuarakan kepentingan rakyat. Jangan lagi pernah terpikir pemerintah dijatuhkan di tengah jalan karena cost yang ditanggung terlalu mahal dan yang pasti rakyat akan menjadi korban, mulailah dengan panggung bulan-bulan prestasi.

    Memang, perubahan transisi 1998 sebagai harapan babak baru reformasi dan perombakan sistem ekonomi politik secara menyeluruh belum terwujud secara substantif. Karena itu, perlu dibangun suatu kondisi berorientasi pemapanan terhadap nilai-nilai konstitusi yang konsekuen menjalankan semua agenda yang disepakati.

    Saat ini bukan lagi saatnya membangun politik massa mengambang baru yang mudah ‘didepolitisasi’ kepentingan kekuasaan dominan. Tapi, bagaimana secara sadar kita sebagai bangsa mematangkan situasi demokratisasi yang bersemai dengan semangat yang melekat secara bersama-sama dalam bentuk karakter menuju suatu kondisi yang semakin baik.

    Jika kita mencermati, para founding fathers mengawali kemerdekaan bangsa ini dengan menggulirkan nation and character building. Bung Karno menyatakan, bangsa ini harus dibangun mendahulukan pembangunan karakter. Karena character building inilah yang mesti dibangun lebih dahulu dibandingkan aspek-aspek lainnya.

    Di masa Orla, sebenarnya pembangunan karakter sudah dimulai, sayangnya banyak ditunggangi paham Nasakom yang kemudian gagal. Dalam era Orba, Soeharto pun sudah menjalankan program P4, tapi akhirnya menimbulkan skeptis karena kuatnya kesan “kuningisasi” tanpa ada keteladanan.

    Momentum yang tersisa dalam masa konsolidasi demokrasi ini, selayaknya presiden selaku kepala negara mengambil langkah memagari berbagai ‘hiruk pikuk’ politik yang berlangsung dengan menggemakan nilai-nilai luhur bangsa Pancasila. Apalagi, dalam banyak aspek kehidupan nilai-nilai Pancasila dirasakan kian memudar. Situasi ini pun diperparah dengan merapuhnya fondasi ideologis Pancasila yang mulai hilang dalam dunia pendidikan. Sejak diundangkannya UU Sisdiknas, pendidikan Pancasila bukan lagi muatan wajib seluruh jenjang pendidikan.

    Dalam situasi serba kritis inilah kita berharap nilai-nilai Pancasila menjadi nilai perekat yang menyatukan kembali pandangan dari berbagai elemen bangsa yang terfragmentasi oleh berbagai pandangan politik.

    Saatnya kita berpaling dengan menebalkan lagi etika yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila sebagai semangat kebatinan yang genuine sebagai bangsa. Nilai-nilai yang terinspirasikan dari situasi alam, geopolitik, dan demografi masyarakat majemuk pada para founding fathers tidak pernah dijumpai di belahan negeri lain.

    Kita harapkan, dengan menggemakan kembali Pancasila sebagai detak jantung bangsa, hiruk pikuk politik tidak lagi mengkhawatirkan karena bukan lagi berjalan di ruang hampa, tapi berkorelasi terhadap kemajuan dan kesejahteraan umum, bahkan semangatnya memperkuat konstitusi kita sebagai arah membangun peradaban bangsa ke depan. Sehingga, pada waktunya kita pun bisa secara tenang meyakini NKRI yang memang built ini dengan demokrasi Pancasila akan terus berdiri tegak hingga akhir zaman.

  • Modernitas, Mesianisme, Mukzizat Walter Benyamen dan Carl Schmitt

    Modernitas, Mesianisme, Mukzizat Walter Benyamen dan Carl Schmitt
    Akhmad Sahal,  WAKIL KETUA PENGURUS CABANG ISTIMEWA
    NAHDLATUL ULAMA (PCI-NU) AMERIKA-CANADA
    Sumber : JIL, 12 Januari 2012

    …. netralisasi dan depolitisasi, dengan kata lain liberalisme, itulah yang bagi Schmitt menjadi penyebab utama kebekuan dan “kenormalan” modernitas. Dan kenormalan ini perlu didobrak dengan cara memberi peluang bagi munculnya the sovereign yang bisa mengambil keputusan pada/tentang state of exception. Memakai ungkapannya sendiri, kita bisa mengatakan bahwa Schmitt mendambakan suatu dunia yang tidak lagi dikuasai oleh deisme yang tidak mengenal mukjizat atau intervensi dari luar sejarah.
    Tulisan ini sebelumnya adalah makalah yang dipresentasikan pada diskusi Ramadan di Komunitas Salihara, 2009.
    ______________________

    Membaca esai Walter Benjamin “Theses on the Philosophy of History (1940),” saya langsung disergap oleh pertanyaan: ke manakah kesetiaan filosof Yahudi Jerman ini pada akhirnya dilekatkan: ke materialisme historis atau teologi; dan siapakah tokoh sentral baginya, malaikat sejarah atau sang Messiah.
    Esai yang ditulis menjelang Benjamin bunuh diri karena gagal melarikan diri dari cengkraman Nazi itu memang dengan jelas menunjukkan pertautan Benjamin pada materialisme historis, meski yang ia maksudkan dengan terma itu sangat berbeda dari apa yang selama ini dipahami oleh kaum Marxis lain .
    Sementara kaum Marxis pada umumnya mendefinisikan materialisme historis dalam kerangka revolusi sosialis untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, Benjamin memaknainya sebagai upaya menyelamatkan dan mengingat masa lalu dan menyusun kembali fragmen-fragmen sejarah yang ditenggelamkan dan dibungkam agar menjadi utuh kembali. Para penganut doktrin materialisme historis, yang nota bene merupakan anak kandung Pencerahan, memeluk teguh the idea of progress.
    Tapi Benjamin justru bersikap sebaliknya. Ia skeptis dengan optimisme semacam itu karena menurutnya, kemajuan tidak lain hanyalah akumulasi reruntuhan masa lalu, yang tegak berdiri di atas tumpukan korban yang terbungkam. Tulisnya, “there is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism.” Sejarah baginya selalu ditulis oleh mereka yang menang. Akibatnya, mereka yang kalah, yang mati, dilupakan, dianggap tidak pernah ada.
    Oleh karena itu, revolusi dalam bingkai materialisme historis dalam versi Benjamin adalah semacam , untuk meminjam istilah Milan Kundera, perjuangan ingatan dalam melawan lupa. Tugas materialisme historis menyerupai “malaikat keadilan” seperti pada lukisan “Angelus Novus “karya Paul Klee, yang wajahnya mengarah ke masa lalu dan berkehendak untuk membangunkan yang mati dan membuat utuh kembali apa yang telah dihancurkan.
    Materialisme historis versi Benjamin ini kerap dibaca sebagai ihtiar menampik dominasi ide kemajuan yang menjadi ciri modernitas, yang atas nama rasionalitas universal mendesakkan suatu narasi sejarah universal dan memaksakan suatu konsep waktu yang seragam, yakni waktu yang kosong dan homogen, yang pada gilirannya akan membungkam keragaman dan menekan suara-suara lain.
    Tidak heran kalau pandangan Benjamin ini disejajarkan dengan konsep heteroglosia dan karnaval dari Michael Bakhtin. Benjamin juga dianggap sebagai salah satu sumber inspirasi pascastrukturalisme, terutama konsep genealogi Michael Foucault yang menekanakan pentingnya “insurrection of subjugated knowledges” sebagai misi utama “perjuangan” pascastrukturalisme.
    Kesimpulan semacam itu dalam batas tertentu memang memkiat. Tapi sejauh menyangkut esai “Theses,” ada pokok soal yang tampaknya kurang mendapatkan perhatian.
    Dalam esai tersebut, Benjamin memang banyak merujuk kepada materialisme historis. Tapi perlu diingat, Benjamin juga menegaskan bahwa materialisme historis mesti mendapat bimbingan dari teologi jika ingin menang. Sejarah di mata Benjamin adalah semacam permainan catur, di mana materialisme historis sepintas lalu tampak memegang kendali permainan, padahal yang terjadi ia hanyalah bidak yang dikontrol oleh tangan tersembunyi teologi.
    Lagipula, malaikat sejarah ternyata gagal karena ketika ia hendak menjalankan misinya, ia tiba-tiba terbawa badai yang meniupnya dari surga, badai yang dinamai “kemajuan.” Benjamin lantas berharap kepada sang Messiah, yang dalam teologi Yahudi diyakini bisa melakukan intervensi terhadap sejarah kapan saja dan karena itu mampu menghindarkan masa depan Yahudi dari cengkeraman waktu modern, ymenurutnya ditandai dengan karakternya yang homoge dan kosong.
    Sang Messiah inilah yang pada akhirnya, dalam pandangan Benjamin, berhasil menunaikan tugas yang gagal ditunaikan oleh malaikat keadilan. Atas dasar itulah Gershom Scholem, pemikir Judaisme yang juga sobat karib Benjamin, mengklaim bahwa menjelang akhir hayatnya, kesetiaan Benjamin sesungguhnya lebih condong ke Messianisme teologi Yahudi ketimbang ke materialisme historis. Bahkan dalam amatan Scholem, titik temu antara Benjamin dan kaum Marxis lain dalam soal materialisme historis hanyalah sebatas kesamaan dalam sebutan saja.
    Tapi apa peran sang Mesiah dalam kritik Benjamin terhadap modernitas? Perlu diingat, Walter Benjamin adalah seorang Yahudi sekuler yang tumbuh dalam tradisi kiri di Jerman awal abad 20. Ia tentu tidak mengartikan kehadiran Mesiah secara harfiah sepertihalnya kaum ultra-Orthodox. Selain itu, di antara Yahudi Marxis di Eropa saat itu, bukan hanya Benjamin yang menaruh iman dan harapan kepada mesianisme sekular.
    Ambil contoh George Lukacs, Marxis dari Hungaria yang terkenal lewat bukunya “History and Class Consciousness.” Lukacs percaya bahwa kelas proletar merupakan manifestasi nyata dari mesiah sekular karena kelas proletarlah yang mampu melepaskan diri dari “antinomi kultur borjuasi” dan membebaskan masyarakat dari reifikasi dan fetishisme komoditas yang mencirikan kapitalisme.
    Namun berbeda dengan Lukacs, Benjamin tidak mengaitkan Mesianisme dengan proletariat. Bahkan ia, begitu juga koleganya di Mazhab Frankfurt, termasuk dianggap sebagai kaum Marxis yang skeptis dengan peran revolusioner kaum buruh.
    Lantas apa arti Mesianisme bagi Benjamin? Ia mengatakan di bagian akhir “Theses on The Philosophy of History” bahwa konsep waktu di masa depan dalam eskatologi Yahudi sama sekali bukanlah seperti konsep waktu modernitas, yang “homogenous, empty time.” Karena, kata Benjamin, di masa depan, “for every second of time was the strait gate througth which the Messiah might enter”
    Bagaimana kita mesti memaknai ungkapan tersebut? Apakah itu berarti bahwa bagi Benjamin, untuk bisa bebas dari terkaman waktu modern yang hampa dan homogen kita memerlukan sang Mesiah yang bisa melakukan intervensi dari luar tatanan itu sendiri, dari luar sejarah, dari wilayah yang transenden.
    Dikotomi antara modernitas dan mesianisme ini buat saya menarik karena pandangan Benjamin tersebut punya kemiripan dengan konsep Carl Schmitt tentang dikotomi antara situasi normal dengan situasi darurat. Pada titik inilah saya tertarik untuk membandingkan Walter Benjamin dengan Carl Schmitt dalam hal kritiknya terhadap modernitas dan konsep waktu modern. Selintas perbandingan ini terdengar aneh. Bukankah Benjamin adalah penentang dan sekaligus korban Nazisme sedangkan Schmitt adalah pemikir Jerman pro-Nazi, yang digelari sebagai sang ahli hukum the Third Reich?
    Menurut saya perbandingan semacam itu tidak aneh sama sekali. Simaklah, misalnya, surat Walter Benjamin kepada Schmitt pada Desember 1930 yang mendedahkan utang teoritis Benjamin kepada Schmitt:
    Esteemed Professor Schmitt,
    You will receive any day from now from the publisher my book The Origin of the German Mourning Play…You will very quickly recognize how much my book is indebted to you for its presentation of the doctrine of sovereignty in the seventeenth century. Perhaps I may also say, in addition, that I have also derived from your later works, especially the “Diktatur,” a confirmation of my modes of research in the philosophy of art from yours in the philosophy of the state…
     
    With my expression of special admiration
    Your very humble
    Walter Benjamin
    Dari surat Benjamin kita tahu betapa konsep Schmitt mengenai kedaulatan punya pengaruh besar terhadap telaah Benjamin mengenai drama tragedi Jerman. Tapi lebih dari itu, pandangan Schmitt tentang state of exception yang menjadi dasar bagi konsep kedaulatan dan distingsi yang dibuat Schmitt antara “waktu normal” dan “waktu darurat” juga membayang-bayangi Benjamin dalam esai-esainya, termasuk “Theses.”
    Dalam Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty (1922), Schmitt menyatakan diktumnya yang terkenal, “yang berdaulat adalah yang memutuskan tentang/pada situasi darurat.” Dengan diktum itu Schmitt menegaskan kedaulatan tidak bisa didasarkan pada norma atau aturan dalam situasi normal karena kedaulatan itu justru sumber dari norma tersebut. Bahkan ia punya kekuatan untuk memutuskan kapan situasi normal bermula dan kapan berakhir.
    Lantas dari mana kedaulatan muncul? Bagi Schmitt, kedaulatan terletak pada situasi darurat, yang di luar normal, yang abnormal yang tidak bisa disandarkan pada norma apapun. Bahkan bisa dikatakan ia bersandar pada ketiadaan, semacam creatio ex nihilo. Karena kedaulatan berada di luar wilayah situasi normal, maka keberadaannya berkaitan erat dengan waktu darurat, waktu abnormal. Dan karena kerangka normalitas tidak bisa dipecah/dihentikan dari dalam, situasi darurat mesti dideklarasikan oleh pihak dari luar situasi/masa normal tadi.
    Yang menarik, Schmitt menganalogkan “state of exception” dengan mukjizat yang datang dari Tuhan untuk menginterupsi jalannya hukum alam yang normal. Sepertihalnya mukjizat, situasi darurat yang menginterupsi jalannya situasi normal juga datang dari the sovereign yang berada di luar. Bertolak dari klaim tersebut Schmitt kemudian menggebuk liberalisme, paham yang bagi Schmitt paling merepresentasikan modernitas.
    Di mata Schmitt, sistem demokrasi liberal yang mendasarkan diri pada konstitusi modern demi melindungi hak-hak individu adalah sistem yang memposisikan dirinya sebagai sistem yang otonom karena ia berdasar pada rule of law yang netral. Dengan sendirinya, liberalisme menegasikan state of exception yang menjadi lokus bagi kedaulatan yang sesungguhnya.
    Paham semacam ini dalam pandangan Schmitt mirip dengan paham deisme yang melihat alam semesta seperti mesin yang berjalan dengan sendirinya. Dalam dunia deistis, mukjizat tidak punya tempat, dan peran Tuhan untuk melakukan intervensi terhadap alam semesta juga ditampik.
    Di sini kita bisa melihat sejumlah paralelisme yang menarik antara Schmitt dan Benjamin. Kalau Benjamin dalam “Theses” mengaitkan materialisme historis dengan teologi, maka Carl Schmitt juga menekankan betapa teori politik juga berimpitan dengan teologi. Bahkan Schmitt lebih jauh mengklaim bahwa hampir seluruh konsep dalam tatanan politik modern tidak lain adalah konsep-konsep teologi yang sudah tersekulerkan.
    Paralelisme yang lain, sementara bagi Benjamin dibutuhkan Mesiah untuk keluar dari dominasi waktu modern yang homogen dan kosong, di mata Schmitt dibutuhkan situasi darurat untuk memecah kebekuan situasi normal dari modernitas. Schmitt menulis dalam Political Theology, “in the time of exception, the power of true life breaks through the crust of a mechanics caught in a continuous repetition.”
    Dengan kata lain, baik Benjamin dan Schmitt sebenarnya bersandar pada kekuatan di luar sejarah dalam upayanya untuk membongkar modernitas yang beku dan repetitif (Schmitt) atau mengelak dari dominasi modernitas yang mendesakkan konsep waktu yang homogen dan kosong (Benjamin).
    Menariknya, tendensi semacam ini, meski dengan fromulasi dan alur argumen yang berbeda, bisa kita temukan padanannya dalam sejumlah kritik mutakhir terhadap modernitas dan liberalisme, seperti Alan Badiou dan para pemikir demokrasi radikal. Di mata mereka, problem modernitas yang cenderung mengeksklusi the other tidak bisa diatasi dengan memperbaiki prosedur dan mekanisme konsensus dalam sistem tersebut atau dengan mengacu kepada prinsip rasionalitas yang mendasarinya, seperti yang ditawarkan oleh Juergen Habermas dengan rasionalitas komunikatifnya atau John Rawls dengan liberalisme politiknya. Kenapa? Karena di mata mereka, solusi semacam ini pada akhirnya akan semakin meringkus kenyataan yang majemuk ke dalam kesatuan, narasi tunggal yang universal. Dan ini bertentangan secara diametral dengan esensi demokrasi yang merayakan pluralisme.
    Oleh karena itu, penyakit modernitas hanya bisa disembuhkan dengan antidot (penawar) yang transendental, yang datang dari luar sistem itu dan mengintervensinya. Itulah yang ditawarkan oleh para penyokong ide demokrasi radikal seperti Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau ketika mereka menyerukan dibangkitkannya kembali watak antagonisme yang hakiki dari “the political.” Begitu juga ketika Alan Badiou berbicara tentang perlunya “Kejadian” dalam politik, yakni “sesuatu peristiwa yang mengguncang dan menerobos situasi yang ada,yang memaksakan kebetulan (forcer le hasard) ” ke dalam saat yang sudah matang untuk diiintervensi,” tampaknya ia bersepakat dengan gagasan “state of exception-sebagai-mukjizat” dari Carl Schmitt.
    Pertanyaannya kemudian, mengapa Schmitt dan Benjamin, yang sama-sama bersandar pada kekuatan di luar sejarah sebagai pijakan kritiknya terhadap modernitas, menempuh jalur yang jauh berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain? Schmitt menjadi pro fasisme sementara Benjamin justru bunuh diri karena ancaman fasisme.
    Apakah Mesianisme Benjamin yang bersumber dari agama Yahudi dan mukjizat Schmitt yang bertolak dari Katholik memang secara intrinsik berbeda satu sama lain? Mungkin saja. Tapi bagaimana kita menjelaskan fenomena George Lukacs, filosof Marxis Yahudi yang mengacu pada Mesianisme sekular untuk membela komunisme dan akhirnya berujung sebagai apologis bagi totalitarianisme Soviet? Bagaimana pula menjelaskan sejumlah pemikir Katholik Jerman yang dengan keras menentang Nazisme?
    Saya kira perbedaan trajectory antara Schmitt dan Benjamin dalam hal kritik mereka terhadap modernitas perludilihat dalam perspektif yang lebih luas, sebagai faset dari diskursus tentang modernitas di kalangan pemikir Eropa pada awal abad 20, baik yang di kiri maupun kanan, yang secara umum berada dalam bayang-bayang Max Weber.
    Kita tahu, Weber melihat penyebaran rasionalitas ke pelbagai sektor kehidupan yang menjadi ciri modernitas sebagai proses disenchantment of the world. Dan proses ini, terutama dalam sektor ekonomi, terkait dengan naiknya asketisme Protestan yang lebih menekankan pentingnya logika kalkulatif dan rasionalitas instrumental. Ironisnya, proses rasionalisasi yang menyeluruh pada masyarakat Eropa dalam perkembangannya mengubah kehidupan menjadi semacam iron cage yang mencengkeram (misalnya birokrasi, kapitalisme), yang justru menimbulkan ketidakbebasan. Dan proses sepertinya tak terelakkan dan tak bisa dibalikkan. Tapi menurut Weber, irasionalitas yang keras kepala ini hanyalah reaksi belaka terhadap gencarnya rasionalisasi itu sendiri, yang muncul dari wilayah di luar atau pra sistem rasional.
    Para pemikir dari kiri (misalnya Mazhab Frankfurt) dan kanan (Carl Schmitt) banyak dipengaruhi oleh analisis Weber, tapi pada saat yang sama mereka menolak kesimpulannya, tentu dengan alur argumen yang tidak selalu serasi satu sama lain. Carl Schmitt, konon pernah menjadi murid Weber, menolak pandangan Weber bahwa irasionalitas yang menyertai modernitas hanya reaksioner sifatnya. Menurut Schmitt, pangkal persoalannya justru terletak pada proyek rasionalisasi itu sendiri.
    Dalam hemat Schmitt, tren rasionalisasi tidak bisa dilepaskan dari menguatnya fenomena netralisasi yang menyertai semakin kukuhnya modernitas di Eropa.
    Dalam esainya “The Age of Neutralizations and Depolitizations,” (1929) Schmitt mengungkapkan bahwa dinamika sejarah Barat modern dipacu oleh hasrat untuk mencari wilayah netral yang sepenuhnya bebas dari konflik dan perseteruan. Sebagai respon terhadap perseteruan agama dan perang antar negara yang tak henti-henti, Eropa sejak abad 16 terus mencari semacam prinsip pengendali utama—suatu ruang pusat (Zentralgebiet)—yang bisa berperan sebagai sumber perdamaian dan kesepakatan bersama. Ruang pusat tersebut bisa saja berganti setiap abad, tapi tujuan utamanya tetap, yaitu sebagai sarana netralisasi dan depolitisasi.
    Demikianlah, maka teologi yang sering menjadi sumber konflik sampai abad 16 diganti pada abad 17 oleh metafisika, yang perannya sebagai ruang pusat jelas lebih netral. Berikutnya, metafisika kemudian diganti oleh etika dan moralitas humanitarian pada abad 18, yang kemudian bergeser ke wilayah ekonomi pada abad 19, dan akhirnya teknologi menempati peran sebagai ruang sentral yang lebih netral lagi pada abad 20.
    Gejala netralisasi yang menandai semakin kukuhnya modernitas menurut Schmitt terbukti melahirkan dua anak kembar yang sekilas bertentangan satu sama lain, tapi sesungguhnya keduanya saling mengandaikan dan punya perangai yang sama:
    Yang pertama adalah ekonomisme yang berbasiskan cara berpikir yang kalkulatif, kuantitatif dan positivistik yang kemudian disokong oleh teknologisme. Schmitt menegaskan bahwa dominasi dua cara berpikir ini tidak hanya terlihat pada praktek kapitalisme modern, melainkan juga pada demokrasi liberal di Barat. Menurut cara bepikir ini, negara dilihat sebagai berdiri di atas rule of law yang netral.Menurut Schmitt, implikasi dari pandangan semacam ini adalah bahwa elemen fundamental dari negara itu sendiri, yang oleh Schmitt disebut sebagai the political, yakni distingsi antara kawan dan lawan, menjadi hilang atau terabaikan. Menurut Schmitt, dengan matinya the political, dengan hilangnya kemampuan untuk menentukan mana kawan mana lawan, maka kaum liberal melihat politik dan urusan negara sebagai sekadar teknologi, sebagai mesin yang netral.
    Gejala kedua adalah romantisisme yang muncul sebagai antitesis yang ekstrim terhadap ekonomisme. Berbeda denganekonomisme yang bersandar pada rasionalitas instrumental, romantisisme di Eropa yang meletakkan perasaan, emosi dan subjektivitas yang irasional sebagai tolok ukur dalam menghadapi kenyataan.
    Dalam bacaan Schmitt, ekonomisme dan romantisisme sesungguhnya merupakan dua sisi dari koin yang sama karena keduanya sama-sama mengabaikan realitas yang kongkret. Ekonomisme melihat kenyataan sebagai komoditas, produk yang bisa diperjualbelikan. Karena itu, ia jelas mengabaikan kekhasan dan kualitas yang kongkret dari kenyataan. Sebaliknya, para penganut romantisisme mengklaim menghargai partikularitas dan kekongkretan kenyataan. Tapi berhubung yang jadi ukuran adalah subjektivitas mereka sendiri, maka objek-objek yang ada hanya menjadi kendaraan belaka bagi ekpresi mereka sendiri. Dengan begitu, kekhasan setiap objek juga dikorbankan. Tapi dosa tak terampunkan dari kaum romantis adalah kepasifan mereka, yang juga berujung pada pengabaian terhadap the political.
    Singkat kata, netralisasi dan depolitisasi, dengan kata lain liberalisme, itulah yang bagi Schmitt menjadi penyebab utama kebekuan dan “kenormalan” modernitas. Dan kenormalan ini perlu didobrak dengan cara memberi peluang bagi munculnya the sovereign yang bisa mengambil keputusan pada/tentang state of exception. Memakai ungkapannya sendiri, kita bisa mengatakan bahwa Schmitt mendambakan suatu dunia yang tidak lagi dikuasai oleh deisme yang tidak mengenal mukjizat atau intervensi dari luar sejarah.
    Tapi itu tidak berarti Schmitt adalah pendukung teokrasi atau semacamnya. Jauh dari itu. Saya kira yang didambakan Schmitt adalah tatanan a la republik klasik seperti Sparta, yang memberi tempat kepada state of exception dan punya kemampuan menarik garis batas mana kawan mana lawan. Dengan kata lain, Schmitt ingin melakukan radikalisasi demokrasi dengan membuang jauh-jauh elemen liberalisme darinya, dan kemudian membangkitkan kembali the political. Dan inilah saya kira salah satu pijakan pemikiran yang ia gunakan ketika memutuskan untuk menjadi pendukung Hitler.
    Hal semacam itu sulit kita bayangkan terjadi pada Walter Benjamin. Memang benar bahwa Benjamin juga kenormalan modernitas, kehidupan yang dikuasai oleh konsep waktu yang homogen dan kosong, perlu didobrak dengan intervensi sang Mesiah, tapi sosok sang Mesiah dalam bayangan Benjamin bukan the sovereign yang memutuskan pada momen darurat.
    Penekanan Carl Schmitt yang berlebihan kepada the political buat Benjamin sama halnya dengan estetisasi politik, yang dengan gampang membuka peluang bagi fasisme. Schmitt ternyata terjebak dalam mistifikasi the political dan meletakkannya dalam status yang sakral dan irasional. Dan ini justru bertentangan dengan niatnya semula yang ingin mentransedir diri dari irasionalitas dalam kategori modernitas Weberian.
    Lalu siapakah sang Mesiah menurut Benjamin? Dalam “Theses,” Benjamin menyatakan bahwa setiap generasi, setiap era, termasuk era sekarang, selalu dianugerahi dengan “kekuatan mesianik yang lemah,” dan karena itulah ia menaruh harapan agar materialisme historis tidak terpaku pada proyek membangun masa depan, melainkan menyelamatkan masa lalu, dengan cara mengingat momen-momen Mesianistik pada setiap zaman.
    Wallahu A’lam.
  • Pesantren dan Kekerasan

    Pesantren dan Kekerasan
    Mohammad Guntur Romli,  AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 12 Januari 2012

    Pesantren didirikan agar tidak semua orang pergi berperang. Maka hal yang aneh kalau sekarang ada pesantren yang didirikan untuk berjihad dalam arti peperangan dan kekerasan.
    Melalui pendidikan dan penguasaan terhadap pengetahuan agama, misi pesantren hakikatnya misi jihad nirkekerasan.
    Sebelumnya Dimuat di BeritaSatu.Com, 11 Januari 2012
    Link: http://www.beritasatu.com/mobile/blog/nasional-internasional/1303-pesantren-dan-kekerasan.html

    Ada stereotip pesantren dikaitkan dengan ideologi, gerakan, dan jaringan kekerasan. Meskipun tidak menutup mata adanya beberapa alumni dan jaringan pesantren yang dipakai oleh kelompok teroris di Indonesia.
    Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang menjadi bukti akulturasi Islam dengan budaya setempat. Pesantren bukan istilah dari bahasa Arab, namun—yang sering dikutip oleh KH Abdurrahman Wahid—Gus Dur—dari bahasa Pali. Ma’had yang berasal dari istilah Arab yang dilekatkan belakangan pada pesantren adalah istilah yang baru dan tidak terlalu populer.
    Misi utama pesantren adalah mendidik para santri (tabiyah). Inilah yang membedakan antara pesantren dengan madrasah (sekolah) yang hanya bisa pengajaran (ta’lim). Di Pesantren para santri/siswa diwajibkan bermukim, sehingga tidak hanya pengajaran materi di dalam kelas namun juga pendidikan di luar kelas. Sementara madrasah (sekolah) hanya terbatas pada pengajaran di dalam kelas.
    Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang membumi. Saking membuminya, nama pesantren-pesantren lama membawa nama daerah yang biasanya nama dusun atau kampung setempat. Misalnya: Pesantren Buntet, Cirebon; Pesantren Tebuireng, Jombang; Pesantren Genggong, Probolinggo; Pesantren Sukorejo, Situbondo; Pesantren Lirboyo, Kediri, dst.
    Sedangkan nama “Arab” Pesantren Sukorejo adalah Salafiyah Syafi’iyah atau Zainul Hasan untuk Pesantren Genggong tidak terlalu terkenal.
    “Mutafaqqih” dan “Mundzir”
     
    Filosofi pesantren menurut KH Idris Jauhari seorang pendidik dari Pesantren al-Amien Prenduan, Madura berangkat dari ayat 122 surat al-Tawbah: Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman itu pergi (berperang) semuanya. Mengapa tidak berangkat dari tiap-tiap kelompok di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali supaya mereka itu dapat menjaga diri.
    Sebab turunnya (asbab al-nuzûl) ayat ini adalah konteks masyarakat muslim di Madinah yang saat itu seluruhnya terpicu berangkat ke medan perang untuk berjihad membela negeri dan agamanya dari serbuan musuh kaum musyrik Mekkah.
    Firman ini ingin mengingatkan, jangan semua orang Islam berangkat ke medan perang untuk berjihad, tapi hendaknya ada sebagian yang mendalami pengetahuan agama dan menjadi pengingat bagi kaumnya setelah menyelesaikan pendidikan.
    Jadi misi pesantren menurut KH Idris Jauhadi adalah misi qurani: yakni untuk melahirkan kader yang mutafaqqih fi al-din (menguasai dan mengeri pengetahuan agama) dan kalau mereka sudah selesai dari pendidikan di pesantren yang selanjutnya kembali ke masyarakat mereka menjadi mundzir (pengingat) bagi masyarakatnya. Arti mundzir di sini yang sejalan dengan makna dai (pengajak) atau muballigh (penyampai).
    Karena itu tugas tokoh agama di tengah masyarakat adalah murabbi (pendidik), mundzir (pengingat), dai (pengajak), atau muballigh (penyampai) saja, mereka bukanlah pemaksa dan penguasa atas nama agama.
    Filosofi peran tokoh agama sebagai pengajak dan pendidik ini sejalan dengan misi kenabian yang disebutkan dalam Surat Al-Ghasyiah (Hari Pembalasan) ayat 21-22, Allah menegaskan bahwa tugas Muhammad, rasul-Nya, hanya sebagai pemberi ingatan (mudzakkir), bukanlah penguasa (mushaythir) yang memaksa.
    Hal yang lebih penting yang bisa kita ambil dari ayat 122 surat al-Tawbah di atas, bahwa pendidikan Islam—dalam konteks pembicaraan kita: pesantren—didirikan agar tidak semua orang Islam pergi berperang untuk berjihad, meskipun saat itu—Nabi Muhammad dan umat Islam di Madinah—berperang merupakan perintah yang darurat karena adanya serbuan militer musuh. Dalam konteks yang darurat sekali pun pendidikan tidak boleh dialpakan, apalagi saat ini di Indonesia tidak ada jihad dalam bentuk peperangan.
    Oleh karena itu, dari filosofi di atas, kalau ada pesantren yang terlibat kekerasan atau terorisme sesungguhnya telah melanggar prinsip dan misi pesantren itu sendiri. Apalagi pesantren yang dijadikan sebagai basis atau pelatihan militer atau perakitan bom meskipun nama nama jihad.
    Pesantren didirikan agar tidak semua orang pergi berperang. Maka hal yang aneh kalau sekarang ada pesantren yang didirikan untuk berjihad dalam arti peperangan dan kekerasan.
    Melalui pendidikan dan penguasaan terhadap pengetahuan agama, misi pesantren hakikatnya misi jihad nirkekerasan. Dari ayat 122 Surat al-Tawbah di atas kita dikenalkan ada dua bentuk jihad: pertama al-qital (peperangan) di medan laga untuk mempertahakan diri dan negeri dari serbuan militer musuh, dan kedua jihad dalam bentuk mendalami pengetahuan agama (mutafaqqih di al-dîn) agar menjadi nantinya menjadi pengikat bagi kaumnya (mundzir al-qawm).
    Dari tinjauan sejarah pendidikan Islam secara umum dan khususnya dunia pesantren, tidak ada lembaga pesantren yang mendukung radikalisme, apalagi terorisme di Indonesia. Justru pesantren menjadi bukti nyata dari proses akulturasi yang damai antara ajaran Islam dengan budaya setempat. Karena pesantren menjalankan misi qurani berjihad tidak dalam bentuk kekerasan fisik namun jihad intelektual yang dikenal dengan istilah ijtihad.
    Kalau ada pesantren yang terlibat kekerasan mungkin saja ia pesantren berjenis baru yang tidak ada hubungannya dengan dunia pesantren Indonesia—kecuali pemakaian istilah yang sama—bisa jadi pesantren tersebut bukan termasuk jaringan pesantren dan pendidikan di Indonesia, namun jaringan organisasi global yang sering mengatasnamakan Islam untuk kegiatan kekerasan.
    Karena itu pesantren yang terlibat kekerasan adalah pesantren yang tercerabut dari akar keindonesiaan dan bertolak belakang dengan misi qurani.
  • Perempuan, Kemiskinan, dan Korupsi

    Perempuan, Kemiskinan, dan Korupsi
    Siti Nuryati,  PENERIMA PENGHARGAAN MENKO KESRA 2009
    ATAS GAGASAN PENGENTASAN KEMISKINAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 12 Januari 2012
    Pembahasan peran ekonomi perempuan kian hari kian mengalami eskalasi. Hal ini sejalan dengan pandangan dunia internasional yang masih menganggap perempuan adalah makhluk yang paling banyak memikul beban kemiskinan.
    Beban ini semakin bertambah berat karena perempuan tidak dapat mengakses kesempatan ekonomi, pemilikan lahan, dan lain-lain.  
    Dari 66 penelitian yang dilakukan International Research Center for Woman (IRCW) di era 80-an, ditemukan fakta keluarga berkepala perempuan lebih miskin daripada laki-laki.
    Di Amerika hampir seluruh keluarga miskin dibiayai perempuan tanpa suami. Iklim ekonomi global yang tidak menentu serta perang di mana-mana semakin memperburuk keadaan ini. Kondisi ini kemudian memunculkan pandangan pentingnya akses ekonomi perempuan.
    Mengapa akses ekonomi perempuan dipersoalkan? Ada satu hal yang perlu dicermati terkait fenomena tuntutan kesamaan akses ekonomi antara laki-laki dan perempuan ini.
    Jika dalam masalah ekonomi segala sesuatu diukur dengan materi, perempuan yang tidak menghasilkan uang dianggap lebih rendah nilainya. Jika sudah demikian maka upaya pemberdayaan perempuan yang dipandang penting adalah dengan meningkatkan perannya dalam turut mendongkrak perekonomian negara secara langsung.
    Negara kemudian mengembangkan kebijakan dan program-program untuk merangsang distribusi yang adil bagi setiap rumah tangga.
    Namun negara dalam hal ini hanya menyediakan sumber daya agar terbuka peluang bagi perempuan untuk mengaksesnya, tanpa memperhatikan masalah distribusi sumber daya tersebut sudah berjalan baik dan mencukupi bagi setiap orang yang membutuhkannya atau belum. Akhirnya penyelesaian lebih bertumpu pada perempuan-perempuan itu yang harus mengatasi persoalan kemiskinannya.
    Dalam posisi seperti itu, peluang bekerja bagi perempuan menjadi sesuatu yang penting diperjuangkan.  Peran domestik perempuan dianggap tidak bermakna dalam perekonomian. Ibu rumah tangga dianggap warga negara kelas dua.
    Faktor nonmateri seperti cinta kasih, dedikasi, dan kesetiaan tidak dimasukkan dalam teori ekonomi, bahkan dalam ekonomi neoklasik sekalipun. Padahal ibu rumah tangga memiliki andil yang besar bagi perekonomian suatu negara walaupun kontribusinya tidak langsung.
    Tak seperti di era 70-an di mana peran perempuan belum terlalu diperhitungkan, pada 80-an perempuan mulai diperhatikan peranannya dalam pembangunan. Kini peran tersebut semakin bergeser setelah melihat bahwa bukan kesejahteraan yang diraih perempuan setelah mereka terlibat dalam arus besar pembangunan.
    Karena itu, saat ini yang menjadi sasaran penting, perempuan harus pula terlibat sebagai agen pembangunan. Konsep pendekatan pembangunan bergeser dari Woman In Development (WID) menjadi Gender and Development (GAD).
    Pendekatan GAD sangat menekankan kesadaran relasi yang selama ini dipandang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan harus turut berperan sebagai penentu kebijakan.
    Alhasil penyelesaian persoalan yang ada memang selalu beranjak dari fakta. Pendekatan semacam ini menyebabkan lepasnya satu masalah untuk masuk ke masalah berikutnya. Bukan tidak mungkin pendekatan model GAD ini akan kembali menimbulkan persoalan-persoalan baru.
    Contoh paling mudah, belakangan ini begitu marak kasus dugaan korupsi yang menjerat perempuan di ranah publik.  Nunun Nurbaeti, Angelina Sondakh, Mindo Rosalina, Miranda Gultom, dan deretan nama-nama lainnya.
    Dari sini jelas yang dibutuhkan saat ini adalah suatu kerangka berpikir yang baku dengan asas yang benar sehingga mampu menyelesaikan seluruh masalah sampai akarnya.
    Bukan Problem Perempuan 
    Kita sebetulnya perlu bertanya, betulkah perempuan pihak yang paling memikul beban kemiskinan dunia? Ini karena apabila fakta kehidupan manusia diamati, kemiskinan tidak hanya menimpa perempuan, melainkan juga laki-laki. Kemiskinan tidak hanya ada pada keluarga yang dikepalai perempuan, tetapi bisa juga pada keluarga yang dikepalai laki-laki.
    Kemiskinan tidak hanya ada pada masyarakat yang memiliki budaya patriarki, tetapi juga ada pada masyarakat yang menolak budaya tersebut (seperti Amerika dan Eropa).
    Bahkan kemiskinan perempuan sebenarnya tidak menjadi masalah pada beberapa negara yang memiliki budaya patriarki, seperti negara-negara Timur Tengah. Dengan demikian kemiskinan bukan hanya masalah perempuan, melainkan masalah manusia pada umumnya.
    Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang menimpa banyak perempuan di dunia saat ini tidak hanya dengan memberikan alternatif untuk perempuan agar bisa dengan bebas mengakses sumber daya ekonomi, sebab penyelesaian seperti ini bersifat individual dan parsial.
    Akibatnya bisa muncul masalah baru sementara masalah sebelumnya belum tuntas. Yang kita butuhkan, penyelesaian yang berangkat dari pandangan yang universal tentang perempuan, yakni pandangan yang melihat perempuan sebagai bagian dari masyarakat manusia yang hidup berdampingan secara harmonis dan damai dengan laki-laki dalam kancah kehidupan ini.
    Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diciptakan untuk hidup berdampingan, saling melengkapi, dan saling membantu dalam mengarungi kehidupan.
    Hanya dengan hidup berdampingan inilah kelestarian umat manusia akan terjamin sehingga yang kita butuhkan saat ini bukanlah kebijakan yang hanya akan memunculkan pemilah-milahan masyarakat manusia menjadi “masyarakat laki-laki” dan “masyarakat perempuan”.
    Ini karena hal itu hanya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya akan sulit hidup berdampingan secara harmonis dan damai. 
    Akhirnya muncul sifat saling memusuhi. Keduanya memandang dari sisinya masing-masing.  Laki-laki memandang menurut kelelakiannya dan perempuan memandang menurut keperempuanannya. Apabila ini terjadi, kelestarian generasi mendatang akan terganggu.
    Kemiskinan adalah salah satu masalah dari sekian masalah manusia dalam kehidupan. Kemiskinan tidak dipandang sebatas sebagai bagian dari aspek ekonomi yang tidak terkait dengan aspek yang lain.
    Karena itu, perlu alternatif penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh, serta tidak mengakibatkan adanya masalah  baru bagi manusia dalam aspek yang lain. Penyelesaian ini  harus dilaksanakan secara sistemis, tidak cukup hanya oleh individu-individu, agar setiap individu manusia mendapat jaminan kehidupan yang sama.
    Kemiskinan menjadi persoalan karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini akan membawa dampak pada aktivitas lain dan menghambat manusia untuk meraih cara hidup yang ideal.
    Karena itu diperlukan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu manusia agar tidak ada hambatan bagi manusia menjalankan kehidupan ini menuju kehidupan yang ideal yang menjamin kemuliaannya sebagai manusia.
    Negara selayaknya menjamin distribusi kekayaan/sumber daya kepada seluruh individu rakyat, yaitu menjamin distribusi ini bagi pemenuhan kebutuhan pokok individu secara keseluruhan, serta memberi peluang kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya.
    Jaminan ini berupa seperangkat hukum yang tersistem, seperti hukum kebolehan memiliki dan bekerja pada sumber-sumber ekonomi, seperti pertanian, industri, perdagangan, dan upah-mengupah, serta hukum tentang pemeliharaan urusan rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan.
  • Anak Mencuri, Tanggung Jawab Siapa?

    Anak Mencuri, Tanggung Jawab Siapa?
    Reza Indragiri Amriel,  DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINUS,
    ANGGOTA ASOSIASI PSIKOLOGI ISLAM
    Sumber : KORAN TEMPO, 12 Januari 2012
    Perlakuan aparat penegak hukum terhadap seorang anak yang disangka mencuri sandal mengundang kecaman keras dari banyak kalangan. Kegundahan publik menyaksikan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas pada dasarnya dapat diterima. 
    Diskriminasi hukum memang sukar diingkari, semakin merajalela. Namun saya menangkap kesan, ada arus opini yang kuat bahwa ketika perilaku pelanggaran hukum ditampilkan oleh–katakanlah–masyarakat bawah, maka pemakluman harus diberikan. Sebagai dalih pelindungnya adalah keadilan dan hak asasi manusia. Jadi, ketika hukum bekerja menyasar–sebutlah–orang-orang kecil yang melanggar hukum, penegak hukum langsung dilabeli sebagai pelanggar hak asasi manusia dan penista keadilan.
    Cara pandang seperti itu, jelas, bias. Jika salah kaprah ini dibiarkan terus-menerus, otoritas penegak hukum semacam polisi bisa kian gamang dalam bertugas. Apabila mereka goyah, potensi-potensi kekacauan sosial akan deras bermunculan. Pemakluman juga dapat ditafsirkan laksana desakan agar negara memberikan privilese kepada sekelompok masyarakat tertentu. Seakan, ketika negara gagal membenahi kualitas hidup kelompok masyarakat tersebut, maka fasilitas “kebal hukum” disodorkan sebagai kompensasi.
    Spesifik dalam kasus colong sandal, saya sendiri memandang, langkah penegakan hukum terhadap anak yang disebut-sebut sebagai pencuri sandal itu sudah sepatutnya diambil. Penegakan hukum, tak terkecuali pada kasus pencurian sandal, harus diberlakukan guna memenuhi kaidah bahwa setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum. Pemahaman ini harus ditanamkan pada semua warga sejak masa kanak-kanak, dan kian urgen mengingat statistik yang terus meninggi dalam hal anak-anak yang bermasalah dengan hukum.
    Penindakan juga memiliki landasan ilmiah, yakni sebagai salah satu unsur yang harus ada bagi terbentuknya efek penangkalan/jera. Dalam kasus bocah mencuri sandal, unsur yang saya tekankan adalah keajekan. Adalah penting bagi hukum untuk memastikan bahwa setiap tindakan keliru, apalagi yang termasuk pelanggaran hukum, tidak luput dari incaran sanksi hukum. Radar hukum yang menyapu bersih seluas mungkin wilayah perilaku masyarakat akan memunculkan persepsi bahwa peluang bagi lolosnya jerat hukum ternyata terlalu sempit. Ini membuat calon pelaku kejahatan berpikir ulang sebelum beraksi, di samping kriminal yang juga akan tertangkal mengulangi perbuatannya.
    Khusus terhadap si anak yang dinyatakan pengadilan terbukti mencuri sandal, selain memastikan benar-tidaknya kabar bahwa ia telah berulang kali melakukan tindakan negatif semacam mencuri, penting pula diketahui pada usia berapa anak tersebut melancarkan aksinya untuk pertama kali. Perilaku repetitif menandakan pelaku sudah memahami manfaat instrumental aksinya. Motif tersebut, dan faktor usia tadi, merupakan faktor risiko (risk factor) yang lazim dipakai untuk meramal kemungkinan pelaku mengulangi perbuatannya. Semakin kuat asosiasi antara motif dan keuntungan yang ia persepsikan, serta semakin dini usianya saat berbuat “jahat” pertama kali, prediksinya adalah semakin besar predisposisi terjadinya pengulangan aksi. Termasuk dengan sasaran aksi yang lebih menguntungkan serta modus lebih serius lagi.
    Dengan bertitik tolak dari cermatan terhadap faktor risiko, penindakan hukum terhadap bocah yang diduga mencuri sandal merupakan strategi untuk memutus mata rantai perilaku “jahat”. Semakin cepat pencegatan dilakukan, semakin segera pula anak akan memperoleh kesempatan untuk belajar ulang, yakni memperkaya perbendaharaan perilaku positif yang ia butuhkan untuk berinteraksi di lingkungan sosialnya.
    Guna memenuhi tujuan pencegatan tersebut, relevan diperhatikan setidaknya dua unsur. Pertama, nilai barang curian. Sebagai perbandingan, hukum potong tangan dalam syariah Islam baru diberlakukan apabila nisab atau jumlah minimal barang curian terpenuhi. Jadi, tidak setiap aksi pencurian serta-merta ditindak lewat mekanisme pidana konvensional.
    Kedua, usia tersangka, yang dalam kasus pencurian sandal ini masih sangat belia. Berdasarkan kedua unsur tersebut, penyelesaian sengketa lewat pendekatan-pendekatan alternatif (alternative dispute resolution, ADR) perlu dikedepankan. Banyak riset menyimpulkan keandalan ADR. Tidak hanya dipandang lebih adil, ADR juga kerap menghasilkan solusi-solusi jitu yang kecil kemungkinan didapat dari mekanisme konvensional. Salah satu format ADR misalnya group conferencing (GC).
    Dalam GC, kasus pencurian sandal tidak sebatas menghadap-hadapkan si tersangka pencuri dengan si pemilik sandal. Karena pihak yang diduga mencuri masih di bawah umur, pelibatan orang tua bahkan guru bisa bahkan memang seyogianya dilakukan. 
    Perluasan ini membingkai perilaku si pencuri tidak semata-mata sebagai isu hukum yang disusul penjatuhan sanksi, melainkan sebagai isu psikologis tentang disfungsi keluarga dan lembaga pendidikan (sekolah). Introspeksi psikologis ini jauh lebih mendasar yang, sayangnya, justru terkesampingkan dari bahasan khalayak luas.
    Putusan hakim yang mengembalikan si anak ke orang tuanya sepintas lalu terkesan positif. Ini problematis; sesuai dengan uraian di atas, karena faktor keluarga diduga berperan terhadap pembentukan perilaku anak, maka seberapa jauh sesungguhnya memulangkan anak ke orang tuanya dapat berefek positif bagi diri si anak? Tidakkah itu justru berpeluang meneguhkan perilaku-salah si anak?
    Hal tersebut meletakkan dasar bagi pentingnya pembenahan perilaku anak secara meluas. Bukan terbatas pada anak, intervensi juga menyasar anggota keluarga, khususnya orang-orang yang menjalankan peran sebagai pengasuh anak. Akan sangat baik jika pengadilan (hakim) juga mengharuskan lembaga terkait, Kementerian Sosial misalnya, memberikan laporan berkala perihal implementasi penanganan meluas tersebut. Tanpa model pembenahan yang meluas seperti itu, memulangkan anak ke orang tuanya malah sama artinya dengan menelantarkan kebutuhan anak akan resiliensi berbasis keluarga.
    Jadi, alih-alih berkampanye “sandal untuk Polri”, mungkin ada baiknya masyarakat juga berkampanye “rapor untuk orang tua dan guru”. Muatan pesannya adalah, “Tengoklah akibat guru kencing berdiri!”
  • Pesatnya Perkembangan Sistem Keuangan Islam

    Pesatnya Perkembangan Sistem Keuangan Islam
    Mahmoud Mohielden,  DIREKTUR PELAKSANA BANK DUNIA
    Sumber : KORAN TEMPO, 12 Januari 2012
    Sementara ketidakpastian terus menghantui pasar global sehingga mendorong banyak investor mengundurkan diri, satu bagian dari sektor keuangan sekarang ini berkembang pesat: aset keuangan yang berbasis ekonomi syariah telah tumbuh dari sekitar US$ 5 miliar pada akhir 1980-an menjadi sekitar US$ 1,2 triliun pada 2011.
    Aset dengan risiko yang dibagi bersama antara lembaga dan klien ini berhasil menghindarkan diri dari akibat terburuk krisis keuangan global yang mulai terjadi pada 2008. Kekenyalan, serta beberapa ciri utama lainnya aset ini, merupakan pijakan tingginya kinerja dan popularitas sistem keuangan Islam.
    Krisis keuangan global telah menimpa sejumlah kecil lembaga keuangan Islam, sementara ekonomi mengalami kontraksi dan beberapa emiten obligasi keuangan Islam gagal bayar. Tapi berbagi risiko yang inheren dalam sistem keuangan Islam membuat instrumen-instrumennya lebih resistan terhadap putaran pertama penularan krisis yang terjadi pada 2008. Ekonom-ekonom utama, seperti Kenneth Rogoff dari Harvard University, mengatakan bahwa sistem keuangan Islam menunjukkan keunggulan equity dan berbagi risiko yang lebih besar atas bias konvensional yang mengunggulkan instrumen-instrumen utang.
    Beberapa ciri khas telah membuat lembaga-lembaga keuangan Islam relatif lebih stabil selama berlangsungnya krisis. Satu cirinya adalah bahwa sistem keuangan Islam memberi tekanan pada asset-backing yang menjamin kaitan langsung antara transaksi keuangan dan kegiatan ekonomi riil. Tabungan dalam lembaga dan hasil pengembalian laba atas investasi terkait erat karena ditentukan oleh sektor riil, bukan sektor keuangan.
    Keterkaitan langsung ini menciptakan suatu mekanisme penyesuaian yang fleksibel, bilamana terjadi kejutan yang tidak terantisipasi. Ia juga memberi kepastian bahwa nilai riil pasiva dan aktiva selalu setara, sementara melarang dilakukannya leverageyang berlebihan dan beberapa bentuk sekuritasisasi yang berbelit-belit. Lagi pula, sistem keuangan Islam lebih adil: kreditor dan debitor berbagi risiko dan keuntungan, fokus pada tujuan jangka panjang, dan menolak pengambilan risiko jangka pendek yang berlebihan.
    Singkatnya, lembaga-lembaga keuangan Islam memperlakukan klien mereka sebagai mitra bisnis. Maka, ia memiliki insentif yang kuat untuk menilai permohonan dana dengan hati-hati, dan membantu debitor di masa-masa sulit, dan dengan demikian mengurangi tekanan untuk menjual aset dengan harga murah serta meminimalkan penularan krisis keuangan. Kerangka keuangan Islam melindungi saldo deposito, dan mencegah terjadinya pertumbuhan kredit yang berlebihan.
    Instrumen keuangan Islam saat ini bisa diperoleh di sekurang-kurangnya 70 negara, dan sekarang merupakan sekitar 0,5 persen dari aset keuangan global. Prospek terus meningkatnya sangat kuat. Dalam “Laporan Perbankan Islam Global” yang diterbitkannya pada November 2011, Deutsche Bank memproyeksikan laju pertumbuhan tahunan gabungan aset keuangan Islam sebesar 24 persen dalam tiga tahun mendatang.
    Ada lima alasan utama proyeksi ini:
    Sistem keuangan Islam memberikan kepada penabung dan investor, alternatif yang praktis terhadap instrumen-instrumen konvensional yang ada.
    Kualitas layanan keuangan Islam terus meningkat, dan layanan ini tidak hanya terbatas pada klien-klien tertentu.
    Lembaga-lembaga keuangan konvensional semakin banyak menawarkan aset yang Islami, dan ada minat yang semakin besar pada aset semacam ini di London, Luksemburg, dan pusat-pusat keuangan lainnya di dunia.
    Booming komoditas di beberapa negara Islam telah menghasilkan surplus yang perlu dialokasikan melalui perantara keuangan dan dana negara.
    Instrumen-instrumen keuangan Islam bisa bersesuaian dengan syariah–kode moral dan hukum dalam agama Islam–serta mengirim sinyal perubahan yang sesuai dengan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim.
    Tapi merealisasi potensi sistem keuangan Islam ini membutuhkan pengawasan yang kuat. Lembaga-lembaga keuangan perlu meningkatkan penyaringan (screening) pra-pinjam dan pemantauan pasca-pinjam. Problematik lainnya adalah bahwa, di banyak negara, utang mendapat perlakuan perpajakan yang menguntungkan, yang mengunggulkan leverage di atas equity dan pengaturan berbagi laba/rugi. Semua ini harus berubah.
    Lagi pula kredit perumahan, asuransi bersama, leasing, dan microfinancebelum berkembang dalam sistem keuangan Islam; prosedur insolvensi dan kepailitan harus ditingkatkan; dan mekanisme menangani gagal bayar “obligasi keuangan Islam” mesti diadakan. Akhirnya, lembaga-lembaga keuangan Islam mesti merespons kekhawatiran mengenai manajemen risiko likuiditas, kepatuhan kepada Basel III (standar regulasi global paling baru yang dikeluarkan Komite Supervisi Perbankan Basel), standar akuntasi internasional, dan corporate governance.
    Sementara laporan yang tersiar akhir-akhir ini menekankan besaran dan pertumbuhan aset dan instrumen keuangan Islam, maka yang pada akhirnya bakal menentukan keberhasilannya adalah mutu layanan, kelanjutan inovasi finansial, dan praktek manajemen risiko yang sehat. Dengan mengatasi kekurangan-kekurangan ini, sistem keuangan Islam bisa mendorong pertumbuhan yang inklusif di banyak negara berkembang.
    Jika sistem keuangan Islam mampu memecahkan persoalan-persoalan regulasi dan corporate governance, ia berpotensi memenuhi banyak kebutuhan perbankan dan investasi masyarakat yang lebih besar, melebarkan jangkauannya, dan menyumbang kepada stabilitas dan rangkulan keuangan yang lebih luas di negara-negara berkembang. Dan ini sesuatu yang pasti disambut semua orang.
  • Demokrasi Bukan Eskatologia!

    Demokrasi Bukan Eskatologia!
    Boni Hargens,  PENGAJAR ILMU POLITIK DI UI;
    TENGAH BELAJAR DI HUMBOLDT UNIVERSITÄT-ZU BERLIN, JERMAN
    Sumber : KOMPAS, 12 Januari 2012
    Konon pada dinding gudang persembunyian Yahudi di Ghetto Warsawa tertulis: ”Aku percaya kepada matahari sekalipun ia tak bersinar. Aku percaya kepada cinta walau aku tak merasakannya. Aku percaya kepada Tuhan sekalipun Ia diam.”
    Realitas ketertindasan tidak saja menghapus masa depan, tetapi juga menghancurkan seluruh dimensi hidup. Satu-satunya dimensi dalam diri manusia yang tak terhancurkan, tak dapat dibelenggu, dan tak pernah lebur bersama tubuh adalah keyakinan. Itulah pesan tertinggi dari coretan pada dinding itu.
    Kejatuhan komunisme di akhir 1980-an bukanlah kekalahan komunisme sebagai keyakinan, melainkan sebagai kekuatan politik. Sebaliknya, kemenangan demokrasi liberal, yang dicap ”akhir sejarah” oleh Fukuyama (1992), bukan semata kemenangan kekuatan politik berdimensi kental ”Barat”, melainkan kemenangan sebuah prinsip hidup beradab. Sebuah kemenangan ”demokrasi sebagai roh” dalam bahasa Larry Diamond (2008)!
    Masihkah demokrasi hidup sebagai roh dalam dunia dewasa ini? Inilah pertanyaan sekaligus masalah kita.
    Tahun 2012 dikukuhkan oleh PBB sebagai tahun kerja sama. ”Kerja sama adalah sebuah peringatan kepada masyarakat internasional bahwa adalah mungkin mengembangkan sekaligus kelangsungan ekonomi dan tanggung jawab sosial,” kata Sekjen PBB Ban Ki-moon.
    Pernyataan ini seharusnya membawa konsekuensi serius kalau kita lihat dalam konteks sosial global, yaitu dari tujuh miliar penduduk dunia tahun 2011, 925 juta mengalami kelaparan (13,1 persen). Artinya, satu dari tujuh orang pasti lapar. Ada 7,6 juta bayi mati (mayoritas akibat nutrisi buruk); 129 juta anak di negara berkembang underweight alias berat badan di bawah normal; dan satu dari setiap 15 bayi meninggal di bawah lima tahun. Jumlah pengangguran dunia 8,7 persen atau sekitar 690 juta orang dan ada 18 persen buta aksara atau 1,3 miliar orang.
    Dari seluruh masalah tersebut, porsi terbanyak ada di negara berkembang. Padahal, negara berkembang adalah pangsa pasar terluas dan lahan pengerukan sumber alam terbesar. Paradoks ini memberi konteks yang logis bagi lahirnya kritik terhadap agenda demokratisasi global.
    Kritik itu lahir dari kegelisahan yang konkret. Demokrasi sebagai keyakinan, sebagai roh, telah dipinggirkan oleh hegemoni materiil para aktor internasional yang berwajah ganda: ”nabi demokrasi” sekaligus tirani!
    Fareed Zakaria dalam The Post-American World (2008) menguak peluang the rise of the rest, bangkitnya kaum tersisa, sebagai konsekuensi politik global Amerika yang hitam-putih. Pada titik paling akhir, kaum tersisa bisa mengakhiri mimpi Amerika.
    Maka, musuh demokrasi hari ini dan di masa depan bukanlah kebangkitan aristokrasi di Timur atau radikalisasi agama di mana-mana, melainkan tata dan penataan dunia yang tak adil. Inilah konteks yang paling tepat untuk memaknai seruan Ban Ki-moon.
    Prinsip Keselamatan
    Demokrasi bukan eskatologia yang menjanjikan keselamatan di akhir zaman. Demokrasi adalah prinsip hidup bersama yang tampak, terukur, dan bersasar pada keselamatan hic et nunc, di sini dan saat ini. Oleh karena itu, demokrasi tak perlu dibungkus dengan simbol, dengan bahasa perumpamaan, seperti para penulis apokaliptik pada abad kedua sampai abad pertama sebelum Masehi yang berusaha mempertahankan keyakinan tentang Mesianisme di tengah kekosongan wahyu Ilahi agar Israel tabah dalam penindasan.
    Demokrasi sebagai keyakinan hidup kekal dalam diri setiap orang. Maka, tak perlu determinasi agama atau kultural untuk mengekalkan ”agenda demokratisasi” yang tak demokratis. Juga tak perlu berlindung di balik dalil ”perang melawan terorisme” untuk mengekalkan kepentingan ekonomi-politik global.
    Demokrasi hidup dalam setiap peradaban. Ia adalah—meminjam istilah Anthony D Smith (1998)—kekuatan yang membebaskan. Tak perlu kiasan untuk mempertahankannya, tetapi perlu kebijakan konkret. Demokrasi benar jadi ”akhir sejarah” kalau tercipta realitas sosial dan politik global yang betul-betul berorientasi pada pembebasan manusia dari kemiskinan struktural, diskriminasi, buta huruf, penindasan politik, dan sebagainya.
    Kiranya, tahun 2012 sebagai tahun kerja sama bukan pepesan kosong yang sekadar dipicu oleh keresahan ekonomi setelah ”kejutan Yunani” yang tak mampu membayar utang sehingga turut mengancam masa depan euro. Perspektif kerja sama 2012 haruslah kerja sama berbasis masalah dan kebutuhan. Negara yang dalam masalah dan membutuhkan dukungan internasional menjadi prioritas.
    Gejolak politik di Timur Tengah dan kawasan utara Afrika serta kemiskinan dan pelanggaran HAM di negara berkembang adalah masalah mendesak. Implikasinya, kerja sama mondial mesti mengarah pada pencarian solusi yang riil, bukan sekadar propaganda. Demokrasi adalah prinsip keselamatan yang nyata, bukan sekadar eskatologia.
  • Musim Semi Arab dan Demokrasi Kita

    Musim Semi Arab dan Demokrasi Kita
    Kiki Syahnakri,  KETUA BIDANG PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN
    TNI ANGKATAN DARAT
    Sumber : KOMPAS, 12 Januari 2012
    Belakangan ini media nasional diramaikan oleh pembahasan tentang pergolakan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan ”musim semi Arab” dan diberi label sebagai gerakan demokratisasi.
    Namun, apakah itu murni dalam rangka demokratisasi? Akankah membawa perbaikan bagi dunia Arab?
    Tampaknya jauh panggang dari api. Hingga kini, pergolakan belum usai kendati rezim lama telah dijatuhkan. Bahkan, revolusi di Mesir dan Libya telah bergeser jadi konflik horizontal yang juga menelan korban tak sedikit.
    Keterlibatan Nato di Libya yang kaya minyak tak bisa diterjemahkan bahwa mereka mengusung nilai demokrasi. Indikasi kepentingan di belakang aksi militer tersebut amat transparan. Bahkan, kemungkinan pergolakan tersebut ditunggangi atau dirancang dari luar pun tidak bisa kita nafikan. Ironisnya, Nato tak kunjung masuk ke Suriah kendati pergolakan di negeri ini telah menelan korban ribuan jiwa. Mengapa? Karena di sana tidak ada minyak seperti di Libya.
    Nilai Demokrasi
    Renaisans di Perancis yang menghidupkan kembali gagasan demokrasi Yunani kuno membawa nilai selengkapnya: kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Ketiga nilai inilah yang seharusnya diusung dan menuntun proses demokrasi sehingga menghasilkan kesepakatan dan keputusan bersama untuk menuju tujuan bersama. Namun, kenyataannya negara-negara Barat yang mengadopsi renaisans tak pernah mengimplementasikan ketiga nilai dasar demokrasi tersebut.
    Dalam praktik, kapitalisme kolonialismelah yang mengedepan. Demokrasi hanya dijadikan bungkus bagi penyaluran syahwat kolonialisme. Kesetaraan dan persaudaraan hanya semboyan. Rasialisme yang bertentangan mutlak dengan nilai kesetaraan hingga kini masih hidup dalam masyarakat mereka. Nilai persaudaraan tidak punya ruang dalam dunia kapitalisme. Eksploitasi antarbangsa merupakan watak sejati kolonialisme.
    Rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara bergolak untuk melawan otoritarianisme dan oligarki. Sesungguhnya tidak berbeda dengan gerakan pendudukan Wall Street di Amerika Serikat yang juga bertujuan melawan oligarki yang diaktori kaum kapitalis. Kedua pergerakan tersebut jadi bukti bahwa otoritarianisme ataupun kapitalisme, berikut individualisme-liberalisme sebagai induknya, pada hakikatnya bertentangan dengan demokrasi.
    Demokrasi Pancasila
    Sama halnya dengan ide demokrasi pada era Yunani kuno yang berkembang di negara-negara kota, demokrasi Pancasila pun digali para bapak bangsa dari kultur masyarakat pedesaan yang telah hidup berabad-abad. Sistem demokrasi Pancasila berjiwa kekeluargaan, menggunakan mekanisme perwakilan dengan memegang prinsip keterwakilan (bukan keterpilihan).
    Musyawarah mufakat, yang belakangan muncul dan berkembang di Barat dengan sebutan consociational democracy, merupakan cara dalam pengambilan keputusan. Namun, sistem demokrasi cemerlang itu belum pernah diimplementasikan secara konsekuen.
    Kedua presiden yang berkuasa paling lama, Bung Karno dan Pak Harto, mulanya teguh dan serius mengusung semangat demokrasi Pancasila. Namun, kemudian keduanya justru memperlihatkan inkonsistensi, bahkan penyelewengan terhadap spirit dan nilai dasar demokrasi Pancasila.
    Era reformasi yang visinya antara lain demokratisasi ternyata malah melanggar prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Sebab, praktik demokrasi liberal yang mengutamakan keterpilihan kenyataannya telah menipiskan aspek keterwakilan sehingga ”membunuh” nilai egaliter dan kekeluargaan. Sebagai contoh empiris, seharusnya suku Dani, Amungme, Dayak, Anak Dalam, dan berbagai kelompok minoritas lain terwakili secara proporsional dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih, agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Sesungguhnya keterwakilan juga perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.
    Liberalisme justru berkembang luas dalam berbagai kehidupan bangsa sehingga menyuburkan kapitalisme. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) telah mengubah platform kenegaraan kita secara total dan mendasar sehingga menjadi amat liberal dan tentu tak lagi sesuai dengan jiwa Pancasila.
    Kita patut berkaca pada apa yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara ataupun di Wall Street, AS, yang berpotensi berkembang ke Eropa, Australia, dan Asia. Otoritarianisme dan individualisme-liberalisme-kapitalisme sama-sama berbahaya karena ternyata keduanya menyimpan bom waktu.
    Oleh karena itu, kini saatnya bangsa Indonesia bergegas, kembali membenahi sistem demokrasi kita yang sudah tercemar. Sebelum terlambat, kita harus segera mengkaji ulang UUD 1945 hasil amandemen, yang berarti menyelaraskan kembali batang tubuh dengan jiwa pembukaannya, mengembalikannya kepada roh Pancasila, bukan kembali kepada UUD 1945 asli.
  • Politik Kaum Salafi di Mesir

    Politik Kaum Salafi di Mesir
    Zuhairi Misrawi,  ANALIS PEMIKIRAN DAN POLITIK TIMUR TENGAH
    Sumber : KOMPAS, 12 Januari 2012
    Hasil pemilu tahap terakhir di Mesir semakin melambungkan popularitas kaum salafi. Pasalnya, Partai Al-Nour yang diusung kalangan salafi mendapatkan 20 persen suara.
    Suara mereka mengalahkan partai liberal, kiri, dan moderat. Mereka hanya kalah dari perolehan suara Ikhwanul Muslimin yang mendapatkan sekitar 40 persen suara.
    Elektabilitas kaum salafi dalam panggung politik pasca-revolusi 25 Januari sangat mengejutkan semua pihak. Mereka tidak terlibat dalam revolusi yang menjatuhkan rezim otoriter Hosni Mubarak. Bahkan, selama Hosni Mubarak berkuasa, kaum salafi memilih untuk loyal kepada rezim otoriter tersebut.
    Mereka tak pernah punya pengalaman dalam politik praktis. Pada tahun 1984, mereka mengafirkan Ikhwanul Muslimin yang memilih untuk berpartisipasi dalam politik praktis pada 1984. Pada masa itu, kaum salafi memandang siapa pun yang terlibat dalam perebutan kekuasaan melalui proses demokratis adalah sikap yang tidak dibenarkan dalam kacamata mereka.
    Berubah Drastis
    Namun, situasinya saat ini berubah 100 persen. Kaum salafi di Mesir mendirikan partai politik yang secara eksplisit merevisi sikap mereka dari yang semula menolak berpolitik praktis menuju salah satu pendukung pesta demokrasi pasca-revolusi. Secara menakjubkan mereka mampu mengonsolidasikan dukungan publik untuk menentukan pilihan bagi mereka.
    Menurut Hazem Abdurrahman dalam Salafiyyun lakinnahum Harafisy, perolehan suara kaum salafi dalam pemilu pasca-revolusi terkait dengan kemampuan mereka dalam membangun komunikasi politik dengan 30 juta warga miskin di pedalaman Mesir. Kenyataan ini membuktikan kaum salafi punya basis sosial yang kuat, di samping Ikhwanul Muslimin. Eksistensi kaum salafi tidak boleh diabaikan karena mereka merupakan salah satu kekuatan politik yang punya ideologi, jaringan, dan basis massa. Seperti halnya Ikhwanul Muslimin yang merajai dunia Arab, kaum salafi juga merambah ke berbagai penjuru dunia, khususnya di Timur Tengah.
    Secara ideologis, menurut Ahmad Mousalli dalam Wahhabism, Salafism, and Islamism: Who Is the Enemy?, kaum salafi mempunyai pandangan yang relatif populer di kalangan Muslim.
    Mereka berpandangan bahwa untuk mewujudkan kebangkitan diperlukan kembalinya umat kepada puritanisme Islam, Al Quran dan sunah, sebagaimana dipahami al-salaf al-shalih. Mereka mendasarkan pandangannya pada doktrin ”loyalitas dan disasosiasi” (al-wala wa al-bara’). Loyalitas terhadap ajaran Muhammad SAW dan disasosiasi terhadap kemusyrikan.
    Dalam tataran sosial, mereka menggiatkan filantropi dan kerja-kerja kemanusiaan terhadap kalangan fakir miskin. Pada saat pemerintahan Mesir tidak mampu melindungi kalangan fakir miskin, kaum salafi tidak hanya hadir dengan pikiran-pikiran idealistik. Kaum salafi juga memberikan pertolongan terhadap mereka. Bahkan, sepanjang perjuangannya, kaum salafi tidak tertarik dengan pertarungan dalam ranah politik praktis sebagaimana dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin.
    Pada tahun 1970-an, ada beberapa sosok kaum salafi yang menonjol, seperti Salih Saraya (wafat 1975), Syukri Mustafa (wafat 1978), dan Muhammad Abd Salam Faraj (wafat 1982). Mereka adalah ulama garda depan yang telah memperkokoh basis ideologis dan basis massa, yang tecermin dalam perolehan suara dalam pemilu pasca-revolusi.
    Oleh karena itu, institusionalisasi salafisme dalam pentas politik merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Di satu sisi, keterlibatan mereka dalam politik praktis dapat jadi katalisator agar mereka lebih realistis dan pragmatis dalam memahami kondisi obyektif masyarakat. Di sisi lain, ada kekhawatiran mereka hanya menjadikan demokrasi sebagai prosedur untuk mencapai visi dan misi mereka dalam formalisasi agama. Sementara substansi demokrasi, seperti kesetaraan, kedamaian, dan keadilan, cenderung diabaikan.
    Fenomena ke arah tersebut dapat dimengerti karena kaum salafi mempunyai intensi untuk mendorong formalisasi syariat. Bagi mereka, mendirikan pemerintahan Islam merupakan sebuah keniscayaan, yang ditandai dengan kewajiban berjilbab, larangan minum alkohol, segregasi laki-laki dan perempuan di ruang publik, hukum pidana Islam, dan lain-lain. Mereka mengidealkan ”model Arab Saudi” sebagai alternatif bagi model pemerintahan di Mesir.
    Tentu saja jalan untuk mewujudkan cita-cita tersebut tidak mudah. Pasalnya, mereka hanya mendapatkan 20 persen suara. Dan, yang tak kalah pentingnya, Ikhwanul Muslimin tak tertarik dengan agenda kaum salafi.
    Sebagai kelompok yang sudah berpengalaman dalam politik praktis, Ikhwanul Muslimin memilih untuk melanjutkan agenda demokrasi dalam rangka memulihkan perekonomian Mesir yang terjun bebas ke arah krisis yang sangat serius. Ikhwanul Muslimin tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perubahan yang bersifat radikal dalam konstitusi Mesir, kecuali setelah mampu memperbaiki ekonomi dan mengukuhkan bangunan demokrasi.
    Kaum salafi tidak akan mulus dalam melancarkan misinya dalam ranah politik praktis. Mereka akan menghadapi dua tantangan serius, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.
    Mesir bukanlah Arab Saudi yang bisa menggunakan ”tangan besi” untuk memuluskan agenda salafisme dan wahabisme. Di dalam sistem demokrasi yang menghendaki konsultasi dan pertukaran ide dari berbagai arus pemikiran, yang diutamakan pada akhirnya adalah kepentingan negara-bangsa, baik bagi kalangan Muslim maupun non-Muslim.
    Pertarungan Pemikiran
    Namun, yang jelas dalam beberapa tahun ke depan kaum salafi akan menghiasi opini publik di Timur Tengah. Mereka saat ini sudah memainkan pertarungan pemikiran melalui akun Twitter @SalafyNetwork dengan membela perjuangan kaum salafi di sejumlah penjuru dunia, baik di Afganistan, Irak, Suriah, Yaman, maupun Libya. Mereka sadar, dalam era sosial media, mereka harus lebih cerdas memasarkan ideologi serta menyapa kalangan muda dan publik pada umumnya.
    Masih terlalu dini untuk menyimpulkan peran kaum salafi di era demokrasi. Apakah mereka punya ketahanan politik yang cukup kuat untuk tidak beranjak dari pijakan ideologisnya atau sebaliknya seperti Ikhwanul Muslimin yang memilih untuk bersifat realistis dalam merangkul kalangan liberal dan kiri.
    Namun, demokrasi telah memberikan ruang bagi kaum salafi terlibat dalam ruang publik untuk mengisi agenda revolusi kaum muda. Masalah yang belum terjawab adalah bagaimana mereka memahami dan menerjemahkan substansi demokrasi dalam realitas politik praktis.