Blog

  • Jangan Pernah Lupa Semangat Rekonsiliasi

    Jangan Pernah Lupa Semangat Rekonsiliasi
    Ferry Mursyidan Baldan,  KETUA PANSUS RUU PEMERINTAHAN ACEH TAHUN 2006
    Sumber : SINAR HARAPAN, 13 Januari 2012
    Perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, disambut gempita seluruh rakyat Aceh. Perjanjian ini sekaligus menutup periode kelam konflik berdarah antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
    Kondisi damai ini pada kenyataannya memang dirasakan rakyat Aceh. Namun, perdamaian itu kini terusik pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Bahkan, kondisi Aceh kini semakin mencemaskan.
    Apa artinya ini semua? Ini semakin menegaskan proses Pilkada tidak ditempatkan sebagai bagian dari proses rekonsiliasi yang memperkokoh perdamaian di Aceh.
    Sejak awal persiapan pelaksanaan pilkada sudah diingatkan, untuk membentuk qanun sebagai landasan hukum pelaksanaan pilkada, sebagaimana diamanatkan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
    Secara norma, hal tersebut menjadi penting karena terdapat pengaturan yang bersifat khusus yang memerlukan wadah. Selain itu, jika ada norma dalam UU lain yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UU PA dapat dimuat dalam qanun sebagai pengaturan yang melengkapinya.
    Amanat yang sesuai UU PA ini penting karena sejak awal UU itu sudah menempatkan secara proporsional semangat untuk mufakat dari banyak elemen masyarakat Aceh. 
    Oleh karena itu, pengabaian pembentukan qanun menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan, ditambah lagi ketika ada uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 256 UU PA yang tentang Calon Independen. Ini kemudian ditambah lagi dengan gugatan TA Khalid ke MK tentang SK Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh.
    Bahkan, dalam putusan sela MK atas gugatan TA Khalid tersebut, dalam pertimbangannya MK menyebut, “adanya ketidakpastian hukum” berkaitan belum dibentuknya qanun yang baru. Seharusnya semua putusan tersebut menjadi bahan permufakatan untuk diakomodasi dalam qanun tentang pilkada.
    Pembentukan qanun baru yang menggantikan Qanun No7/2006 menjadi semakin penting dan mendesak karena prosesnya dilakukan DPRA dan gubernur. Namun, elemen masyarkat Aceh dapat memberi masukan. Dengan demikian, pilkada sejak awal pembentukan aturan mainnya, tetap menjalankan spirit rekonsiliasi bagi kokohnya perdamaian di Aceh.
    Namun, keengganan untuk membentuk qanun baru pilkada dan semata melandaskan pada SK KIP (yang sering kali berubah), memberi gambaran tidak kokohnya pelaksanaan pilkada di Aceh.
    Belum lagi para pihak senantiasa mengutip Pasal 2 dalam UU lain yang terkait dengan pilkada berdasarkan versi masing-masing. Dalam keterangan saya di MK, pasal ini saya sebut sebagai “potensi konflik regulasi”. Kondisi ini tentu semakin tegang karena hajat pilkada tentu menghendaki para pihak tetap terjaga peluangnya untuk ikut, bahkan tidak dirugikan dalam pelaksanaan pilkada.
    Keliru
    Permohonan pemerintah yang diwakili Mendagri untuk dapat mengakomodasi Partai Aceh (PA) dalam pilkada adalah keliru. Apalagi, keterangan pemerintah dalam sidang-sidang di MK terkait Pilkada Aceh tidak menunjukkan semangat yang kuat untuk menengahi pro-kontra yang ada.
    Jadi, ini bukan soal waktu pendaftaran pilkada. Jika hanya terkait pendaftaran calon, sejak awal PA sebagai pemenang pemilu di Aceh sudah dapat mendaftarkan diri.
    Namun, PA menginginkan adanya pengaturan pelaksanaan pilkada yang semuanya dituangkan dalam qanun, sebagaimana diamanatkan UU Aceh. Meski belum dapat dikatakan sempurna, UU Aceh setidaknya sudah menampung dan dibahas dalam spirit terbangunnya rekonsiliasi serta langkah-langkah reintegrasi masyarakat Aceh pascaperdamaian Helsinki.
    Jika Pilkada bertujuan menciptakan Aceh yang damai, maju, dan sejahtera, pilkada harus ditempatkan dalam spirit rekonsiliasi. Jangan pula dilupakan, damai di Aceh baru berjalan enam tahun setelah konflik puluhan tahun. 
    Untuk itu, saatnya semua kembali pada spirit damai dan rekonsiliasi dalam mewujudkan Aceh sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Bukan pelaksanaan pilkada yang menjadi tujuan, namun proses dan hasil pilkada yang harus tetap dalam koridor penguatan rekonsiliasi yang mengokohkan perdamaian Aceh. 
    Untuk itu, segera akhiri ketidakpastian regulasi dalam pelaksanaan pilkada karena jika tetap dilaksanakan tanpa landasan qanun baru, sesungguhnya “kekerasan”  regulasi telah dibiarkan untuk menciptakan kerumitan dalam pelaksanaan pilkada.
    Tokoh dan masyarakat Aceh memiliki kemauan dan kemampuan untuk bermufakat, maka lakukan itu untuk tetap menjaga perdamaian Aceh. Tidak ada yang harus dimenangkan, sebaliknya juga tidak ada yang harus dikalahkan. Hal yang harus dilakukan adalah memberi hak hidup wajar dan damai dalam rajutan rekonsiliasi.
  • Eutanasia Vs Etika

    Eutanasia Vs Etika
    Joseph Henricus Gunawan,  PEMERHATI MASALAH ETIKA MEDIS,
    ALUMNUS UNIVERSITY OF SOUTHERN QUEENSLAND (USQ), AUSTRALIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 13 Januari 2012
    Permohonan suntik mati (eutanasia) keluarga miskin Kardjali Karsoud (69) berkaitan dengan sakit kanker payudara yang diderita istrinya, Samik (52), tidak terkabul dan tidak terwujud karena pada tanggal 12 Desember 2011, akhirnya Pemerintah Kota Surabaya mengangsur tunggakan jamkesda berobat warga miskin ke RSUD Dr Soetomo senilai Rp 38 miliar.
    Pemkot Surabaya berutang Rp 58 miliar. Kasus ini menarik, karena di dunia eutanasia masih menjadi perdebatan etika dan moral,  tidak terkecuali di Indonesia. Permohonan eutanasia pertama di Indonesia diajukan kepada negara pada tahun 2004.
    Hippocrates (460-370 SM) adalah ahli fisika dari Yunani kuno dan dikenal sebagai Bapak Kedokteran, pertama kali menggunakan istilah eutanasia pada Sumpah Hippocrates (Hippocratic Oath) pada tulisan dan risalahnya yang berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun, meskipun telah dimintakan untuk itu.”
    Dalam bukunya De Vita Caesarum (The Lives of the Caesars atau The Twelve Caesars), sejarawan dan penulis biografi Romawi, Gaius Suetonius Tranquillus (69-122) menguraikan secara terperinci bahwa eutanasia adalah “mati cepat tanpa derita”. Sementara itu, Philo (20-50 SM), filsuf kelahiran Alexandria menginterpretasikan eutanasia sebagai mati dengan tenang dan baik.
    Terminologi eutanasia berasal dari bahasa Yunani ?? (eu) yang artinya baik, indah, bagus, dan q?natoV (thanatos) berarti kematian. Dipandang dari segi etimologis, eutanasia berarti kematian yang baik, menyenangkan atau bahagia. 
    Eutanasia atau mercy killing yang berarti pembunuhan secara sengaja atas pasien yang sakit sangat parah, menderita, tanpa harapan hidup, dan menjelang maut menjemput untuk mengakhiri hidup pasien atas permintaannya sendiri atau bantuan yang diberikan kepada pasien untuk mati dengan tenang atas permintaannya sendiri, dengan menggunakan zat-zat yang mematikan atau sarana-sarana lain, seperti menghentikan mesin penunjang dan penyambung kehidupan (alat-alat life support) dengan teknologi medis yang canggih, seperti alat pernapasan (respirator), ventilator, mesin jantung, dan paru-paru. 
    Alasan yang paling mendasar untuk eutanasia adalah menghindari rasa sakit serta membebaskan penderitaan akut yang biasanya dari natur fisik.
    Hak Legal
    Samuel D Williams (1870) dan Lionel Tollemache (1873) telah menerbitkan dua karangan yang berisikan argumentasi bahwa ketika pasien menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan meminta agar kehidupan pasien diakhiri, dokter mempunyai hak legal untuk membantu pasien yang kesakitan.  
    Profesor hukum di The University of San Diego, Yale Kamisar, menemukan kontradiksi bahwa pasien dalam keadaan kesakitan yang tak tertahankan tidak cukup rasional berpikir jernih untuk memilih kematian dirinya sendiri.
    Pandangan itu berkesesuaian dengan Olga Lelacic, profesor hukum dari University of Split, Kroasia dalam karyanya, L eutanasie demande, bahwa: “Dalam kenyataannya seorang pasien yang meminta kepada dokter untuk memperpendek atau mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, namun ingin menghentikan dan lepas dari penderitaan karena penyakitnya.”
    Menurut Bonnie Steinbock, profesor bioethics dan filsafat dari Universitas Albany, New York, terdapat dua keadaan ketika penghentian dan pengakhiran perawatan untuk mempertahankan kehidupan tidak dapat disamakan dengan membiarkan mati secara sengaja.
    Pertama, berkaitan dengan penghargaan dokter terhadap hak pasien untuk menolak perawatan dan untuk bebas dari campur tangan yang tidak dapat dibenarkan.
    Kedua, terkait dengan mengakhiri perawatan alat bantu khusus yang dianggap memberikan keuntungan sedikit saja bagi si pasien. Keputusan juga tergantung dari harapan akan manfaat sesungguhnya bagi pasien, karena dokter tidak dimandati tugas untuk melakukan apa yang tidak bermanfaat. 
    Tepatlah pandangan Margaret Mead (1901-1978), antropolog yang mendalami budaya Amerika: “it is the duty of society to protect the physicians from such requests” (eutanasia maupun aborsi). Artinya, kemajuan teknis biomedis dan teknologi kedokteran harus membantu meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup individu bukan malah mengaburkan batas antara hidup dan mati. 
    Patut diteladani gerakan klinik kematian atau hospice care movement yang dipelopori Dame Cicely Mary Saunders (1918-2005) dengan merintis dan mendirikan St Christopher’s Hospice di London pada 1967 termasuk perawatan paliatif (palliative care) dalam modern medicine, clinical care, penanganan nyeri telah menyiapkan dan menyediakan suatu jalan keluar dan solusi.
    Adrian Holderegger, profesor moral theology and ethics dari Universite de Fribourg menilai manusia harus menghadapi kesulitan, situasi malang, sakit, penderitaan yang bisa mendorong melakukan bunuh diri sebab kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjamin hidup dan manusia wajib memaksimalkan kemampuan potensi dirinya.
    Ini harus dilihat sebagai tahap proses pematangan, pendewasaan diri tertinggi dan tidak boleh diperpendek manusia. Ini berarti termasuk pelarangan tindakan memperpendek umur serta mempersingkat hidup secara langsung maupun tidak langsung. 
    Dalam pandangan kristiani, penderitaan mempunyai makna dan arti khusus dalam rencana keselamatan Allah. Manusia dapat belajar dari penderitaan, karena akan menguatkan manusia dan dapat memperkaya hidup rohaninya.
    Penderitaan bukan untuk dihindari, tetapi bisa menjadi ujian demi  membangun karakter. Manusia harus selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi dan meringankan penderitaan.
    Penyebab kematian manusia melalui eutanasia tidak dapat diterima dengan alasan apa pun, karena hal itu menolak kedaulatan Allah atas maksud dan tujuan pemberian hidup kepada manusia serta bertentangan dengan prinsip pro-life.
    Eutanasia melihat manusia sebagai tuan atas kehidupan dirinya sendiri, padahal kehidupan manusia sebagai anugerah dari Allah, dipelihara dalam perwalian sepanjang kehidupan manusia di bumi. 
    Menentukan saat kematian adalah hak prerogatif Allah, bukan manusia. Hak mutlak yang ada pada Allah atas hidup dan mati manusia. Manusia tidak memiliki hak mutlak untuk memutuskan tentang hidup atau matinya manusia.
    Tugas manusia bukanlah mengambil keputusan menggantikan Allah, tetapi menunggu keputusan Allah Sang Pencipta. Dia yang berhak mengambil kembali nyawa manusia, kalau saatnya tiba.
    Pendeta Dr Stephen Tong pernah berkata bahwa identitas manusia ditetapkan sedemikian tinggi, anggun, hormat, dan mulia karena rencana dan kehendak Allah yang kekal menjadikan manusia dicipta mirip Allah menurut peta dan teladan-Nya sendiri (imago Dei), Allah memberikan tanggung jawab kepada manusia atas hidup manusia.
  • Sesat Pikir Kepemilikan Media

    Sesat Pikir Kepemilikan Media
    R. Kristiawan,  MANAJER PROGRAM MEDIA DAN INFORMASI YAYASAN TIFA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 13 Januari 2012
    Artikel Sabam Leo Batubara berjudul ”Menyikapi Kepemilikan Media” (Kompas, 26 Desember 2011) menyatakan, pemusatan kepemilikan media penyiaran swasta tidak melanggar undang-undang. Leo juga mengambil contoh sistem Amerika dan Australia, di mana kepemilikan media penyiaran swasta berpusat pada beberapa kelompok bisnis saja.
    Ada beberapa catatan mendasar untuk merespons artikel itu. Pertama, regulasi media penyiaran berbeda dengan regulasi media cetak. Artikel Leo mengambil preseden bisnis media cetak di Indonesia dengan oplah tinggi (Kompas, 500.000 eksemplar). Berangkat dari contoh tersebut dia berargumen bahwa penyiaran swasta juga bisa melakukan dominasi penyiaran.
    Meminjam Milik Publik
    Pembandingan ini jelas menyesatkan, apalagi dalam teori regulasi media tidak bersifat apple to apple, perbandingan yang dapat disetarakan. Secara bisnis, media cetak swasta boleh melakukan penetrasi pasar sekuat-kuatnya—sepanjang diterima pembaca—karena modus distribusi informasinya tidak memakai saluran frekuensi milik publik.
    Berbeda dengan media penyiaran swasta yang hanya bisa beroperasi karena dipinjami frekuensi, sebagaimana disinggung paragraf kedua artikel Leo. Pembatasan terhadap media penyiaran swasta juga perlu dilakukan karena prinsip kelangkaan frekuensi (scarcity theory) dan pervasiveness, yaitu kemampuan media penyiaran masuk ke ranah domestik tanpa diundang.
    Ujungnya, penguasaan opini publik sangat bisa terjadi karena pemusatan kepemilikan media. Dalam prinsip pluralisme opini, ini jelas bertentangan dengan demokrasi. Ide-ide tentang siaran alternatif, seperti Kompas dan Tempo TV, juga susah mendapatkan izin frekuensi karena spektrumnya telanjur dikuasai segelintir pengusaha saja.
    Meletakkan urusan kepemilikan media ke wilayah hukum persaingan usaha juga bentuk kesesatan yang lain. Alasannya sangat sederhana. Usaha penyiaran tidak diatur dalam bisnis biasa seperti bisnis sepatu atau bisnis tahu. Ini tak lain mengingat bisnis penyiaran menggunakan frekuensi milik publik, di mana frekuensi bersifat pinjaman, bukan hak milik lembaga penyiaran. Urusan penyiaran diatur dalam UU Penyiaran.
    Secara hukum, bisnis media cetak dan media penyiaran juga berbeda. Pemusatan bisnis media penyiaran diatur oleh UU Penyiaran, sedangkan pemusatan bisnis media cetak diatur oleh UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta UU Pers (UU No 40/1999) dengan mekanisme swasensor dan Dewan Pers sebagai lembaga etik. Karena itu pula praktik jual beli frekuensi dilarang.
    Artikel Leo mengaburkan perbedaan mendasar ini. Leo mungkin juga lupa bahwa yang bersangkutan pernah menandatangani petisi menolak praktik jual beli frekuensi penyiaran bersama Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia pada tahun 2007. Pada titik ini, layak untuk mempertanyakan dimensi aksiologis dari proposisi-proposisi yang disampaikan artikel itu.
    Catatan kedua, kepemilikan media penyiaran di Indonesia sudah sangat gamblang dibatasi. Pasal 20 UU Penyiaran menyatakan, lembaga penyiaran swasta, jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran siaran pada satu cakupan wilayah siaran. Cakupan wilayah siaran adalah provinsi. Dalam hal ini klausul pembiaran pelanggaran—seperti disuarakan KIDP— valid karena terbukti hampir semua lembaga penyiaran besar memiliki lebih dari satu siaran di Provinsi DKI Jakarta.
    Negara Maju
    Selain kedua hal di atas, pengambilan Amerika Serikat dan Australia sebagai contoh praktik pemusatan kepemilikan media penyiaran disertai dengan data yang tidak valid. Amerika justru menerapkan pembatasan kepemilikan media penyiaran dengan ketat. Satu bisnis penyiaran tidak boleh mencakup lebih dari 39 persen jumlah total televisi nasional (TV households). Di Australia juga senada. Sebesar-besarnya usaha penyiaran, tetap tidak boleh menjangkau lebih dari 75 persen dari jumlah total populasi.
    Artikel Leo menampilkan data yang menyesatkan dengan menyebut bahwa hanya ada tiga stasiun televisi bersiaran nasional di Amerika Serikat. Nyatanya, di Amerika Serikat berlangsung sistem stasiun jaringan dan stasiun lokal dengan begitu banyak kelompok stasiun, misalnya Fox TV memiliki sekitar 34 stasiun televisi lokal dengan jangkauan sekitar 38 persen TV households. Sementara Paxson menguasai 68 stasiun televisi dengan jangkauan 33,7 persen (Dominic, 2004)
    Di samping itu, juga terdapat sekitar 25 stasiun jaringan dengan menguasai jangkauan mulai dari 5 hingga 39 persen. Terdapat lima besar stasiun televisi jaringan, yaitu Viacom dengan jangkauan 38,9 persen televisi nasional; Fox sebesar (38,3 persen); NBC (33,9 persen); Paxson (31,6 persen); Tribune Company (30,2 persen), dengan catatan FCC memperhitungan jangkauan televisi dengan UHF diperhitungkan separuh (50 persen dari penghitungan VHF [Dominic, 2007]).
    Karena televisi digital mulai diterapkan, pemotongan penghitungan daya jangkau 50 persen tidak lagi cukup punya dasar. Sekarang banyak televisi digital mempergunakan UHF sehingga sebenarnya daya jangkau televisi di Amerika Serikat 5-63 persen (top 30 stasiun televisi). Alhasil, yang menjadi 8 besar adalah ION Media (63 persen), Univision (44 persen), Trinity (40 persen), CBS (38 persen), Fox TV (37 persen), NBC U (35 persen), Tribune (35 persen), dan ABC (23 persen).
    Jadi, berapa pun stasiun yang dimiliki, jangkauannya tetap tidak boleh melebihi 39 persen. Di negeri seliberal Amerika Serikat sekalipun, prinsip public domain dari frekuensi terestrial tetap dihargai lewat pembatasan jangkauan siaran dan kepemilikan.
    Indonesia menerapkan prinsip pembatasan teritorial, yaitu maksimal satu penyiaran swasta di satu provinsi karena pertimbangan luas wilayah, kebinekaan yang sangat kaya, dan otonomi daerah. Dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana satu usaha menguasai beberapa siaran di satu provinsi beserta puluhan stasiun lokal di dalamnya, bisa dibayangkan persentase cakupan siaran lembaga siaran itu secara nasional dibandingkan dengan jumlah penduduk.
    Negeri yang kaya budaya ini dipaksa hanya menonton segelintir pilihan siaran dengan bias urban Jakarta yang sangat tinggi. Ini jelas bukan demokrasi penyiaran yang kita rindukan.
  • Politisasi Hak Ulayat

    Politisasi Hak Ulayat
    Bambang Sadono,  PENGAJAR HUKUM AGRARIA FH UNIVERSITAS SEMARANG
    Sumber : KOMPAS, 13 Januari 2012
    Sikap perundang-undangan nasional terhadap hak ulayat memang setengah hati.
    Di satu sisi, hak ulayat diakui dalam sistem hukum pertanahan (agraria) nasional, tetapi di sisi lain tidak diberikan perlindungan yang operasional. Pengakuan hak ulayat merupakan bagian dari nasionalisasi hukum pertanahan, yang selama masa kolonial didominasi hukum Barat, dengan menjadikan hukum adat basis pembangunan hukum pertanahan nasional. Dampak perlakuan hak ulayat yang setengah hati itu adalah konflik pertanahan yang terjadi di sejumlah wilayah.
    Pengakuan hukum adat sebagai politik hukum pertanahan secara terang benderang dikukuhkan dalam UUD 1945 dan dalam UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 33 UUD 1945 ditegaskan: bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan individual.
    Hal ini sejalan dengan prinsip hukum adat, khususnya yang menyangkut hak ulayat, yang bersifat kolektif dan melindungi komunitas pemilik hak atas tanah itu. Bahkan, dalam Tap MPR IX/2001 Pasal 4, Huruf (j) tertulis: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.
    Sesuai Pasal 2 Ayat 1 UUPA, penguasaan negara atas tanah sekaligus merupakan pengukuhan sebagai pemegang organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Ini sekaligus mengandaikan: jika seluruh bangsa Indonesia sebagai pemilik hak ulayat atas tanah di seluruh Tanah Air, negaralah yang ditunjuk menjadi wali amanah pemegang otoritas sebagai pengganti pemangku adat yang sebelumnya jadi pengurus hak ulayat masyarakat.
    Politisasi Hukum
    Namun, UU No 5/1960 juga setengah hati terhadap eksistensi hak ulayat. Di satu sisi mengakui keberadaannya, tetapi di sisi lain sebenarnya tidak memberi penguatan ataupun perlindungan. Dalam Pasal 3 disebutkan, hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan lain yang lebih tinggi.
    Dalam produk perundang-undangan berikutnya, baik dalam bentuk UU maupun peraturan di bawahnya, posisi hak ulayat tidak hanya tidak jelas, tetapi juga makin terdesak dan tereduksi.
    Pengaturan yang tak sesuai dengan politik hukum (politisasi hukum) terlihat pada Pasal 2 Ayat 2 Permen Agraria/Kepala BPN No 5/1999. Disebutkan, hak ulayat dianggap masih ada jika: (a) terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari; (b) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari hari; (c) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati para warga persekutuan hukum tersebut.
    Seharusnya dihayati betul karakter hukum adat, terutama yang menyangkut masalah tanah. Sebagaimana karakter hukum adat pada umumnya yang bersifat kolektif dan tak tertulis, perlindungan terhadap hak ulayat harus memperhatikan ciri pokok itu. Karena karakternya kolektif dan tak tertulis, hak ulayat mulai tergerogoti sejak pemerintah swapraja mengklaim bahwa semua tanah milik raja.
    Hukum perdata Eropa, yang dibawa oleh pemerintah kolonial, makin menyudutkan hak ulayat dengan teori domein verklaring. Bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai tanah negara.
    Solusi
    Perlu penegasan kembali politik hukum di bidang pertanahan. Apakah masih tetap akan menjadikan hukum adat sebagai basis politik hukum pertanahan dan menghormati hak ulayat sebagai konsep terpenting dalam hukum adat atau sebaliknya. Artinya, demi kepentingan pembangunan ekonomi, kepemilikan kolektif atas tanah harus terus didesak sehingga jadi kepemilikan individual untuk memberi insentif kepada penanam modal.
    Jika jawabnya tetap memuliakan hukum adat dan hak ulayat, harus dirunut kembali politisasi hukum yang terjadi pada eksistensi hak ulayat. Mengapa konsep yang dikukuhkan dalam konstitusi dan UU pokok disimpangi oleh UU dan peraturan perundangan lain.
    Mahkamah Konstitusi dapat mengambil peran untuk menilai mana UU yang harus dinyatakan bertentangan dengan semangat dan politik hukum pertanahan yang melindungi dan menghormati hak ulayat. Tentu saja MK baru bisa bekerja jika ada gugatan dari masyarakat.
  • Mengubah Paradigma Pendidikan Agama

    Mengubah Paradigma Pendidikan Agama
    M. Agus Nuryatno,  DOSEN FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN,
    UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 13 Januari 2012
    Pluralisme adalah sebuah fakta sejarah. Tidak dapat dimungkiri dan diingkari oleh siapa pun.
    Kemajemukan adalah kehendak Tuhan agar manusia saling menyapa, mengenal, berkomunikasi, dan bersolidaritas. Pada zaman kontemporer saat ini sulit dicari satu negara dengan agama yang homogen. Umumnya heterogen dengan tingkat yang berbeda-beda.
    Kemajemukan pada tingkat agama ini masih ditambah lagi kemajemukan pada wilayah tafsir agama. Tidak mengherankan jika banyak mazhab, sekte, atau aliran dalam agama apa pun. Semua ini akibat perbedaan kapasitas dan kemampuan berpikir masing-masing orang, perspektif, ataupun pendekatan.
    Pertanyaannya: model pendidikan agama macam apa agar melahirkan pribadi-pribadi yang toleran, inklusif, humanis, dan meneguhkan spirit pluralisme dan multikulturalisme? Pendidikan agama yang diidealkan adalah pendidikan agama yang tidak doktriner sehingga tak memunculkan klaim-klaim kemutlakan. Ketika ruang perbedaan dan perubahan dalam agama telah dimatikan oleh sikap fanatik dan eksklusif, agama jadi antirealitas. Namun, justru sikap-sikap fanatik dan eksklusif ini dilahirkan oleh pendidikan agama.
    Tak mengherankan jika pendidikan agama dikritik antirealitas. Pendidikan agama dianggap kurang mengakomodasi realitas keberagamaan intra dan antarumat beragama, serta justru cenderung melahirkan eksklusifisme keberagamaan.
    Model pendidikan agama
    Untuk menjawab model pendidikan agama seperti apa yang memungkinkan melahirkan pribadi yang toleran, penting untuk mempertimbangkan model-model pendidikan agama yang dikembangkan Jack Seymour (1997) dan Tabita Kartika Christiani (2009). Mereka menjelaskan model-model pendidikan dan pengajaran agama, yaitu in, at, dan beyond the wall.
    Pendidikan agama in the wall berarti hanya mengajarkan agama sesuai agama tersebut tanpa dialog dengan agama lain. Model pendidikan agama seperti ini berdampak terhadap minimnya wawasan peserta didik terhadap agama lain, yang membuka peluang terjadinya kesalahpahaman dan prejudice. Model pendidikan agama in the wall juga dapat menumbuhkan superioritas satu agama atas agama yang lain sehingga mempertegas garis demarkasi antara ”aku” dan ”kamu”, ”kita” dan ”mereka”.
    Sikap toleransi, simpati, dan empati terhadap mereka yang beda agama sulit ditumbuh-kembangkan dari model pendidikan agama seperti ini. Model pendidikan semacam ini memosisikan agama lain atau penganut agama lain sebagai the others, ”yang lain”, yang akan masuk neraka karena dianggap kafir. Inilah bentuk truth claim yang berdampak pada monopoli Tuhan dan kebenaran. Seakan-akan kebenaran dan Tuhan hanya milik individu atau kelompok agama tertentu.
    Model keberagamaan seperti ini pada gilirannya berkontribusi dalam menanamkan benih-benih eksklusivisme keberagamaan yang berpotensi memicu konflik dan kekerasan atas nama agama. Ironisnya, model pendidikan agama in the wall inilah yang kini mendominasi pendidikan agama di Tanah Air.
    Paradigma pendidikan agama at the wall tidak hanya mengajarkan agama sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama yang lain. Tahap ini merupakan tahap transformasi keyakinan dengan belajar mengapresiasi orang lain yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antaragama.
    Sementara pendidikan agama beyond the wall tak sekadar berorientasi untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama. Namun, lebih dari itu mengajak peserta didik dari beragam agama untuk bekerja sama mengampayekan perdamaian, keadilan, harmoni, dan pelibatan mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan. Semua itu untuk menunjukkan, musuh agama bukan pemeluk agama yang berbeda, melainkan kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, kekerasan, radikalisme, ketidakjujuran, korupsi, manipulasi, kerusakan lingkungan, dan seterusnya.
    Model pendidikan agama seperti ini juga untuk menunjukkan semua agama mengajarkan kebaikan, dan bahwa agama adalah untuk kebaikan manusia sesuai misi profetiknya. Maka, pendidikan agama yang saat ini cenderung eksklusif karena hanya mengajarkan agama sendiri (in the wall) perlu digeser ke arah inklusif dengan model at dan beyond the wall. Peserta didik tidak hanya kenal agama sendiri, tetapi juga bersentuhan dengan agama lain untuk melintasi tradisi lain dan kemudian kembali kepada tradisi sendiri.
    Maka, pertanyaan selanjutnya: mungkinkah guru-guru agama kita mau dan sukarela mengajak peserta didik bekerja sama dengan siswa lain yang berbeda agama memerangi musuh utama agama, yaitu penindasan, kekerasan, kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan kerusakan lingkungan? Mari kita belajar bersama.
  • Pilkada dan Kedamaian di Aceh

    Pilkada dan Kedamaian di Aceh
    Ikrar Nusa Bhakti,  PENGAMAT POLITIK, TINGGAL DI JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 13 Januari 2012
    Sejak pemilihan umum kepala daerah langsung pertama kali digelar serempak di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Aceh pada 2007 sesuai Nota Kesepahaman Helsinki, 15 Agustus 2005, dan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, penulis sudah mengungkapkan tantangan terberat bagi masa depan perdamaian di Aceh akan terjadi pada pilkada kedua.
    Alasan penulis, pada pilkada pertama bulan madu politik di antara para mantan politisi dan kombatan Gerakan Aceh Merdeka masih terasa indah. Mereka yang saat itu masih bersatu memenangi pilkada berhadapan dengan ”para musuh politik” atau ”sesama saudara Aceh yang tak seiring sejalan”. Mereka juga belum menikmati kekuasaan politik yang tak jarang bikin orang mabuk atau haus kekuasaan.
    Lima tahun telah berlalu. Kongsi politik di antara para politisi dan kombatan GAM mulai rapuh. Tak ada lagi bulan madu. Tak ada lagi kawan atau lawan politik yang abadi. Yang tumbuh dan ada, kepentingan politik dan ekonomi masing-masing tokoh. Jika di masa perundingan menuju MOU Helsinki para politisi GAM bersiteguh agar calon independen dibolehkan mengikuti pilkada, kini malah terjadi perbedaan posisi politik di antara mereka.
    Irwandi Jusuf yang sudah menikmati indahnya kekuasaan justru ingin maju sebagai calon gubernur dari independen, tak lagi menggunakan Partai Aceh sebagai basis massa. Sebaliknya mantan komandan kombatan GAM Muzakkir Manaf dan kelompok politisi GAM asal Swedia yang masih bernaung di Partai Aceh, atas nama kemurnian MOU Helsinki, justru menentang adanya calon independen karena hanya dibolehkan satu kali.
    Perkembangan demokratisasi yang begitu cepat di Tanah Air juga mengubah posisi pemerintah. Jika dulu pemerintah ngotot calon independen hanya boleh sekali ikut pilkada di Aceh dan setelah itu mereka harus dicalonkan parpol nasional atau lokal, kini malah membolehkan adanya calon independen dalam pilkada di seluruh Indonesia sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi yang meluluskan judicial review masyarakat pendukung calon independen demi asas keadilan.
    ”Solusi saling menguntungkan” antara Pemerintah RI dan GAM soal calon independen itu antara lain disebabkan, bagi pemerintah saat itu yang terpenting adalah bagaimana mantan politisi dan kombatan GAM bisa masuk ke dalam sistem politik Indonesia dan menanggalkan keinginan merdeka. Bagi para mantan politisi dan kombatan GAM, bagaimana mereka dapat memenangi pilkada dan pemilu legislatif nasional di Aceh agar mereka dapat menguasai perpolitikan di Aceh tanpa harus berhadapan secara politik dengan Pemerintah Indonesia.
    Kini politisi dan elite di Aceh malah lebih memilih jadi calon independen ketimbang melalui jalur parpol yang mahar politiknya terlalu mahal. Di kala sebagian besar calon pada pilkada gubernur di Aceh berasal dari calon independen, dan tahapan penentuan nomor urut calon sudah ditetapkan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh, kala itu pula Partai Aceh yang tadinya memboikot pilkada justru ingin mendaftarkan pasangan calonnya.
    Pada 4 Januari 2012, sudah ada empat pasangan calon gubernur/wakil: Tengku Ahmad Tajuddin dan Suriansyah dari dukungan perseorangan, Irwandi Jusuf dan Muhyan Yunan (perseorangan), Darni M Daud dan Ahmad Fauzi (perseorangan), Muhammad Nazar dan Nova Iriansyah yang didukung Partai Demokrat dan PPP. Partai Aceh masih berjuang agar calonnya dapat diakomodasi KIP Aceh atas keputusan sidang pleno KPU nasional.
    Bila kita lebih mengedepankan kelanjutan dari proses perdamaian di Aceh, persoalan keterlambatan pendaftaran pasangan calon gubernur dari Partai Aceh janganlah dianggap sesuatu yang serius. Baik pasangan independen maupun pasangan yang diusung parpol punya hak sama ikut pilkada gubernur dan juga di 16 kabupaten/kota di Aceh. Akomodasi politik terhadap Partai Aceh juga tak harus mengundurkan jadwal pilkada di Aceh karena masyarakat Aceh sudah tahu kapan pilkada dan siapa saja pasangan calonnya.
    Kita harus mencegah kian runyamnya situasi keamanan di Aceh menjelang pilkada Februari. Selama ini ada tuduhan, pelaku teror penembakan misterius dari kelompok mantan kombatan GAM yang tak dapat mengikuti proses politik secara demokratis di Aceh. Jika kepentingan politik para calon dari Partai Aceh diakomodasi, akan tampak kasatmata, siapa sesungguhnya yang memancing di air keruh atas situasi keamanan di Aceh. Hingga kini, penulis masih memegang asumsi kuat, para penembak itu bukan mantan kombatan GAM yang memusuhi orang Jawa, karena lawan politik mereka bukanlah orang Jawa, melainkan sesama mantan politisi dan kombatan GAM yang tak lagi bernaung di Partai Aceh.
    Memang dulu aktivis GAM suka menyebut pemerintah Jawa atau tentara Jawa, tapi dalam kenyataan politik yang ada di Aceh, mereka juga bisa menerima orang Jawa secara baik. Penulis sebagai orang Jawa pernah diminta teman-teman Aceh memimpin sidang bidang politik saat Aceh Recovery Forum dibentuk pasca-Tsunami, 26 Desember 2004. Kuntoro Mangkusubroto juga orang Jawa yang diterima baik oleh orang Aceh sebagai koordinator rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
    Amien Rais juga pernah terpilih menjadi anggota DPR mewakili Aceh di era reformasi. Terakhir tetapi penting, Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan dukungan terbesar di Aceh (94 persen) pada Pilpres 2009, terlepas dari adanya kritik atas kejanggalan hasil pilpres di Aceh tersebut. Karena itu, adanya kelompok atau oknum dari mana pun—apakah TNI, Polri, atau mantan kombatan GAM—yang mencoba memanas-manasi situasi keamanan di Aceh dengan membunuh para petani atau buruh serabutan asal Jawa tak akan menimbulkan disintegrasi nasional di Indonesia karena orang yang mempelajari militer atau teknik kemiliteran pasti sudah menduga siapa pelakunya.
    Apa yang dikatakan Fakhri Ali dan Amien Rais di TVOne, Jumat (6/1/) malam, mengenai penembakan misterius di Aceh tentunya amat jelas bagi kita. Aceh bagian dari Indonesia. Karena itu, keamanan di Aceh adalah tanggung jawab Pemerintah Indonesia juga. Kekuasaan Presiden RI—baik domain of power, scope of power maupun range of power-nya—juga meliputi Provinsi Aceh. Membiarkan penembakan misterius kian berkembang di Aceh sama saja membiarkan para pengganggu keamanan merajalela di bumi Nusantara. Situasi keamanan di Aceh lima tahun terakhir secara umum amat baik. Kita tak ingin timbul kembali prahara di tanah Aceh. Pilkada adalah institusi politik untuk memilih pemimpin secara demokratis dalam rentang waktu lima tahunan. Karena itu, bicara (termasuk suara) harus lebih dikedepankan ketimbang senjata!
  • Mobil SMK dan Diplomasi Perdagangan

    Mobil SMK dan Diplomasi Perdagangan
    Tirta N Mursitama,  HEAD, INSTITUTE FOR BUSINESS AND DIPLOMATIC STUDIES,
    BINA NUSANTARA UNIVERSITY
    Sumber : SINDO, 13 Januari 2012
    Saat lembaran baru tahun 2012 dimulai, kita disuguhi dua peristiwa domestik menarik.Pertama,Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mewacanakan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus memiliki skor TOEFL 600.
    Kedua,Wali Kota Solo Joko Widodo menjadikan mobil Esemka hasil karya siswa SMK di Solo sebagai mobil dinasnya. Kedua hal itu memang berdiri sendiri.Namun bila dilihat dari sisi diplomasi perdagangan Indonesia,antara keduanya memiliki keterkaitan penting, menarik,dan muncul pada saat yang tepat.

    Ujung Tombak

    Kemendag sebagai kementerian yang paling bertanggung jawab atas prestasi perdagangan Indonesia, baik domestik maupun internasional, harus memiliki sumber daya manusia yang andal.Terlebih lagi bila harus menghadapi para partner dagang dari luar negeri, para PNS tersebut harus menguasai substance (substansi permasalahan) dan tools (media) yang digunakan dalam berdiplomasi.

    Substansi yang diperdebatkan atau dinegosiasikan biasanya menyangkut isu-isu yang strategis tidak hanya terbatas pada persoalan perdagangan. Namun, perdebatan tidak jarang menyangkut permasalahanekonomidalamartilebihluas hingga terkait dengan aspek politik dan hukum internasional. Pada umumnya, substansi yang diperdebatkan tertulis dalam bahasa Inggris dan tidak jarang dijabarkan dengan menggunakan gaya bahasa dan peristilahan yang membutuhkan keahlian bahasa asing tingkat tinggi. Penguasaan substansi yang baik pun tidak sepenuhnya mencukupi.

    Pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman melakukan rangkaian diplomasi turut menentukan keberhasilan diplomasi itu sendiri. Artinya,keberhasilan itu tidak hanya ditentukan di meja perundingan formal,tetapi sering kali dipengaruhi seberapa besar para negosiator mampu melakukan pendekatan-pendekatan kreatif dalam percakapan informal, pertemuan lobbying, hingga kegiatan pendukung seperti saat melakukan olahraga maupun hobi bersama.

    Kemendag memang tidak berdiri sendiri karena Kementerian Luar Negeri (Kemlu) selalu menjadi koordinator dalam setiap diplomasi Indonesia di luar negeri.Mereka biasanya akan memberikan pertimbangan aspek politik-strategis menyangkut isu yang dibicarakan. Sepanjang menyangkut substansi,Kemlu akan menyerahkan kepada kementerian teknis, termasuk Kemendag dalam hal ini.

    Keterkaitan

    Pada sisi yang lain, substansi diplomasi perdagangan Indonesia dipengaruhi pula oleh kemampuan industri dan perdagangan domestik. Kondisi kemampuan industri dan perdagangan domestik yang baik akan menentukan kepentingan nasional seperti apa dan seberapa besar kepentingan tersebut akan diperjuangkan.

    Kemunculan mobil Esemka menjadi fenomena menarik bila dikaitkan dengan romantisme proyek mobil nasional (mobnas) industri automotif Indonesia masa Orde Baru.Bila dilihat dari sejarah panjang industri automotif Indonesia, mobnas merupakan mimpi para teknokrat Orde Baru.Menurut mereka, kemunculan mobnas dalam arti mobil yang dibuat oleh anak negeri dan memiliki kandungan lokal yang tinggi merupakan salah satu indikator keberhasilan industrialisasi Orde Baru.

    Sayangnya,mimpi itu buyar karena inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam industri automotif dan keruhnya campur tangan politik para birokrat, teknokrat hingga politisi sepanjang Orde Baru berkuasa. Dalam konteks inilah sangat menarik mendudukkan mobil Esemka sebagai sebuah mimpi mobnas yang sepertinya menjadi nyata. Namun, soal teknis itu bisa menjadi nomor dua. Hal terpenting adalah keberhasilan memproduksi mobnas ini dapat menjadikan pola pengembangan industri automotif Indonesia berubah arah.

    Pada masa Orde Baru,hal itu berawal dari fase perdagangan dengan mengimpor dalam bentuk semi-and completely knockeddown (S/CKD), perakitan, jadwal penanggalan, hingga pemberian pola insentif,tetapi berakhir kembali menjadi fase perdagangan dengan diizinkannya impor completely builtup (CBU) sebagai bukti gagalnya mimpi industrialisasi automotif (Mursitama,1999). Munculnya fenomena mobil Esemka mungkin tidak sebanding dengan mimpi mobnas Orde Baru.

    Demikian juga bila diletakkan dalam peta persaingan automotif nasional yang dikuasai asing. Namun, kemunculan ini dapat dilihat sebagai geliat cikal bakal industri automotif nasional yang digawangi anak negeri. Lebih strategis lagi, mobil Esemka muncul di tengah terpaan badai liberalisasi industri dan perdagangan bebas. Dengan mengetahui kemampuan anak negeri dalam melahirkan karya inovatif mobil Esemka,para negosiator Kemendag yang nanti dipersyaratkan memiliki skor TOEFL 600 itu dapat menjadikannya amunisi diplomasi perdagangan ke depan.

    Diharapkan mereka mampu lebih melindungi industri dalam negeri, memberikan insentif pengembangan, dan bahkan mencarikan aliansi strategis. Bukan didikte oleh asing. Di sinilah keterkaitan kemampuan domestik dan pemahaman bahasa asing menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Semoga kedua hal ini mengawali mimpi dan harapan diplomasi perdagangan Indonesia yang lebih kuat dan bermanfaat bagi rakyat Indonesia.

  • Birokrasi di Era Otonomi Daerah

    Birokrasi di Era Otonomi Daerah
    Dodi Riyadmadji,  DIREKTUR FASILITASI KEPALA DAERAH, DPRD,
    DAN HUBUNGAN ANTARLEMBAGA DITJEN OTDA KEMENDAGRI
    Sumber : SINDO, 13 Januari 2012
    Kita sadari bahwa kecenderungan globalisasi dan regionalisasi saat ini merupakan tantangan dan peluang baru sekaligus bagi proses pembangunan daerah di Indonesia.
    Dalam era seperti ini, kondisi persaingan antarpelaku ekonomi akan semakin tajam. Persaingan tidak hanya meningkat di pasar output (barang dan jasa), tetapi juga di pasar input (faktor-faktor produksi). Semua pelaku ekonomi akan memperebutkan dana investasi yang merupakan penentu utama bagi stok kapital dari pasar global di negaranegara maju yang siap dan tidak lagi dipagari batas-batas geografis suatu negara.

    Dalam kondisi persaingan yang sangat tajam, setiap pelaku ekonomi (tanpa kecuali) dituntut untuk menerapkan strategi bersaing yang tepat. Bagi pemerintah daerah, persaingan yang semakin tajam ini memunculkan beban tugas yang lebih berat. Secara umum, beban tugas yang harus dipikul oleh daerah adalah menyiapkan daerahnya sedemikian rupa sehingga mampu menjadi wadah bagi pertumbuhan dan perkembangan investasi dan industriindustri yang tidak lagi dihalangi batas-batas yurisdiksi daerah dan atau negara.

    Dalam kaitan itu,sangat wajar bila diperlukan figur kepala daerah yang inovatif, visioner, dan berani menggerakkan perubahan. Hal ini penting dikemukakan karena posisi kepala daerah memang sangat strategis: selain sebagai kepala pemerintah daerah menurut UUD 1945 (baca: eksekutif), ia juga pejabat negara (menurut UU Kepegawaian) dan pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah (menurut UU Keuangan Negara).

    Oleh karena itu, semua pihak yang terkait dengan proses politik, penyelenggaraan pemilihan maupun administrasi negara dalam kaitan dengan pemilihan dan pengesahan kepala daerah punya beban moral untuk menemukan figur sebagaimana dimaksud. Terkait dengan itu, guna mencapai keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, tentunya tidak dapat dilepaskan peranan aktif dari organisasi birokrasi pelaksana otonomi daerah.

    Sayang sekali peran tunggal dan dominasi birokrasi menyebabkan birokrasi sering tidak memiliki semangat kompetisi (sense of competition) yang baik sehingga birokrasi sering kali mengalami disorientasi dan disoptimalisasi dalam melaksanakan kinerja. Pada akhirnya hambatan itu menyebabkan birokrasi bergerak lambat, tidak efisien, berbelit-belit, boros, tidak memiliki kepastian standar kinerja yang baik,dan pada akhirnya tidak disukai para pengguna jasa (customer),yang dalam hal ini adalah masyarakat.

    Menilik peran penting birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan adanya berbagai masalah kinerja dari birokrasi, itu semua merupakan masalah urgen untuk mendapat perhatian. Berhasil atau gagalnya pelaksanaan otonomi daerah akan dipengaruhi oleh baik atau buruknya kinerja birokrasi. Oleh karena itu, penguatan sistem birokrasi dan pemerintah, khususnya birokrasi dan pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak (avant garde) dalam penyelenggaraan otonomi daerah, menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

    Pembangunan Daerah

    Upaya pemerintah di era otonomi daerah adalah menjadikan daerah sebagai wadah yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan investasi dan industri.Kesemuanya itu menekankan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam lokal (daerah). Berkaitan dengan upaya memberdayakan daya saing daerah, adabeberapalangkahyang dapat dikembangkan.

    Pertamatama harus dilakukan pemetaan secara cermat mengenai berbagai potensi yang dimiliki oleh setiap daerah. Hasilnya kemudian dituangkan ke dalam dokumen rencana strategis (renstra) daerah yang berisi analisis kekuatan, ancaman, peluang, kelemahan, dan kekuatan (istilah Hermawan Kartajaya: TOWS) berikut perumusan strategi pencapaiannya. Gerakan yang mengedepankan kemajuan daerah tersebut wajib dilaksanakan bersamasama oleh semua stakeholders daerah,yakni pemdadan DPRD, sektor swasta,serta masyarakat.

    Untuk merealisasi gerakan seperti itu, renstra tersebut harus disusun dan dicanangkan secara transparan sehingga semua pihak dapat mengetahuinya dan merasa turut memilikinya. Kesemua itu akan mudah dilaksanakan oleh suatu daerah yang dipimpin oleh figur kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai, didukung oleh birokrasi yang profesional, DPRD yang legitimate, serta masyarakat yang kritis.

    Setiap daerah harus memunculkan dan memupuk core competence masing-masing agar kemudian daerah mampu mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) di antero wilayah Tanah Air. Pusat-pusat pertumbuhan dengan produk unggulan masing-masing selanjutnya dapat menyusun networking systemdalam semangat kerja sama antardaerah untuk mewujudkan ketahanan nasional. Itulah sebabnya diperlukan tata-hubungan dan koordinasi yang rapi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota yang selalu harus dibangun di era otonomi daerah sekarang ini.

    Sebaik-baiknya pengeluaran pemerintah daerah adalah dalam rangka memasarkan daya saing daerah. Berdasarkan kenyataan empiris, cara terbaik antara lain dengan mengarahkan penggunaan untuk investasi di bidang sumber daya manusia dan infrastruktur dasar.Melalui alokasi yang tepat di tempat yang tepat, public investment di setiap sektor diharapkan mampu menarik private investment di berbagai bidang. Di samping itu, fungsi utama pemerintah daerah yang sangat penting dalam kaitan ini adalah merumuskan berbagai bentuk regulasi daerah dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi.

    Regulasi yang dibuat harus mengandung sifat fasilitatif, akomodatif,sustainable,dan konsisten. Terkait dengan seluruh uraian di atas,perlu dilakukan upaya untuk mengubah mentalitas birokrasi agar terjadi optimalisasi pencapaian fungsi dan tugas utama birokrasi. Upaya dimaksud merupakan wujud nyata penguatan sistem birokrasi/pemerintah daerah dari sisi mental.Dengan upaya yang sungguh-sungguh, mengidamkan birokrasi yang andal dan profesional suatu saat nanti kiranya bukanlah bermimpi di siang bolong. Semoga!

  • Investment Grade, Subsidi BBM, dan Moody’s-S&P

    Investment Grade, Subsidi BBM, dan Moody’s-S&P
    Latif Adam,  PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)
    LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
    Sumber : SINDO, 13 Januari 2012
    Pertengahan Desember 2011(15/12), Fitch Rating, salah satu lembaga pemeringkat global, menaikkan peringkat utang Indonesia dari BB+ menjadi BBB-.Dengan demikian saat ini Indonesia masuk ke dalam kategori negara layak investasi (investment grade).

    Negara dengan peringkat layak investasi akan menjadi tujuan yang menarik bagi masuknya investasi baik portofolio maupun langsung (foreign direct investment). Namun, kategori layak investasi yang disandang Indonesia terasa kurang lengkap karena belum diikuti dengan keputusan yang sama dari dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Moody’s dan Standard & Poor (S&P). Padahal,Moody’s dan S&P memiliki reputasi yang relatif lebih baik daripada Fitch. Moody’s dan S&P lebih berhati- hati dalam menentukan layak-tidaknya suatu negara masukkategori investmentgrade.

    Boleh jadi saat ini Moody’s dan S&P memasang mata dan telinga lebar-lebar terhadap Indonesia, memperhatikan dinamika beberapa variabel yang biasanya menjadi basis penentuan peringkat. Sama dengan Fitch,terdapat beberapa variabel yang menjadi acuan Moody’s dan S&P untuk menentukan peringkat utang suatu negara. Empat variabel terpenting dan saling memengaruhi di antara satu dengan yang lainnya adalah stabilisasi sosial-politik, performa perekonomian (pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita), daya tahan fundamental perekonomian (seperti cadangan devisa, rasio utang, sustainability APBN), dan kerangka kebijakan makroekonomi yang prudent.

    Untuk menentukan peringkat utang, Indonesia sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk bisa naik kelas. Pada tiga tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 5,9% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata negara yang sudah berada di peringkat investment grade (3,3%). Demikian halnya rasio utang terhadap PDB Indonesia sebesar 25%, jauh lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara yang sudah berada di peringkat investment grade(36%). Walau terus menurun, cadangan devisa Indonesia sebesar USD111,3 miliar per 31 Desember 2011 juga cukup aman untuk menghadapi external shock.

    Dengan memiliki cadangan devisa sebesar itu, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang selama 6–7 bulan. Menurut standar internasional cadangan devisa yang dimiliki suatu negara dikatakan tidak aman bila jumlahnya hanya mampu memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang kurang dari 3 bulan. Hanya saja,pendapatan per kapita negeri ini (USD3.600) memang masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita rata-rata negara layak investasi yang telah mencapai USD9.800.

    Meskipun masih lebih rendah, kenaikan yang konsisten dari pendapatan per kapita negeri ini seharusnya tidak menjadi hambatan utama bagi Moody’s dan S&P untuk menaikkan peringkat utang Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah, kalau bukan pendapatan per kapita, lantas apa yang menjadi ganjalan utama bagi Moody’s dan S&P sehingga kedua lembaga itu belum menaikkan peringkat utang Indonesia?

    Subsidi BBM

    Ganjalan utama yang membuat Moody’s dan S&P belum menaikkan peringkat utang Indonesia kemungkinan besar berkaitan dengan kerangka kebijakan ekonomi makro yang bisa memengaruhi fundamental perekonomian. Satu yang paling krusial adalah respons pemerintah terhadap subsidi BBM. Beberapa kali ditegaskan bahwa tekanan fiskal BBM terhadap APBN akan direspons pemerintah tidak dengan menaikkan harga BBM,tetapi melalui pembatasan BBM bersubsidi.

    Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi itu rencananya akan mulai diimplementasikan pada 1 April 2012. Pemerintah mematok volume BBM bersubsidi pada APBN 2012 sebesar 40 juta kiloliter (kl).Perhitungan pemerintah menunjukkan kebijakan pembatasan akan berhasil menekan volume BBM bersubsidi sebesar 2,5 juta kl menjadi 37,5 juta kl.Dengan demikian akan ada penghematan anggaran subsidi BBM sebesar Rp7,7 triliun. Namun, pembatasan BBM bersubsidi dipastikan akan mendorong naiknya tingkat inflasi.

    Dengan asumsi pembatasan BBM bersubsidi diberlakukan untuk semua jenis kendaraan milik pribadi di seluruh Indonesia, perhitungan yang dilakukan penulis menunjukkan inflasi akan terdorong naik sebesar 0,8%. Naiknya inflasi diperkirakan akan menggerus daya beli masyarakat, khususnya masyarakat dalam kelompok dengan pendapatan cenderung tetap dan kecil. Selain itu, pembatasan BBM bersubsidi yang dilakukan tanpa dukungan pembangunan infrastruktur untuk BBM nonsubsidi yang memadai dan merata di pelosok negeri hanya akan menimbulkan kelangkaan BBM di beberapa daerah tertentu.

    Demikian halnya,minimnya kemampuan aparatur negara untuk memonitor dan mengontrol pelaksanaan kebijakan ini hanya akan mendorong munculnya black market, penyelundupan, dan perilaku menyimpang lain yang pasti akan merugikan negara. Pertautan dari permasalahan di atas akan terakumulasi dan membuat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi justru bersifat kontraproduktif terhadap stabilisasi dan kokohnya fundamental perekonomian Indonesia.

    Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah menyusun langkah aksi bagaimana meminimalkan dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Jika pemerintah mampu menyusun langkah aksi yang jelas, komprehensif, dan terintegrasi, tidak ada alasan bagi Moody’s dan S&P untuk tidak menaikkan peringkat utang Indonesia ke peringkat investment grade.

  • Menunggu Pemerintah Berdaulat

    Menunggu Pemerintah Berdaulat
    Tjahjo Kumolo,  SEKJEN DPP PDIP, KETUA FRAKSI PDIP DPR
    Sumber : SUARA MERDEKA, 13 Januari 2012
    PEMBATALAN Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dari keseluruhan sistem pemilihan anggota legislatif dengan banyak elemen itu, mengiaskan mobil berkomponen satu merek dengan 18 instrumen terpadu tetapi satu komponennya diganti merek lain sehingga pasti tersendat-sendat lajunya. Inilah sistem pemilu yang diselenggarakan tahun 2009.
    Namun PDIP harus menjalankan mobil dengan satu komponen mesin yang diganti itu, dan konsisten melaksanakan paradigma yang diatur konstitusi kedaulatan pemilih sebagaimana keputusan MK dan kedaulatan partai sebagaimana UU Pemilu. Sistem distrik ini tidak proporsional dan juga riskan, mengingat perubahan itu sangat dekat dengan pelaksanaan pemilu. Implikasinya, biaya politik bagi caleg menjadi sangat tinggi.
    Karena itu, pembahasan RUU Pemilu harus mencermati hal itu. Penulis berpendapat sistem tertutup bisa menjadi pilihan dengan mendasarkan bukti bahwa proses pemilihan terbuka pada Pemilu 2009 menghasilkan komposisi kelembagaan DPR yang kini dihujat oleh banyak pihak. Publik pun cenderung menyalahkan parpol terkait dengan proses perekrutan kader.
    Mencermati dinamika dari berbagai evaluasi pemerintahan hasil pilpres secara langsung 2004 dan 2009, masalah estafet kepemimpinan pada 2014 menjadi poin penting dan agenda strategis semua partai. Namun bagi PDIP, yang pada 10 Januari 2012 memperingati HUT ke-39, yang terpenting saat ini adalah bagaimana kembali menyepakati hal-hal yang berkaitan dengan haluan pemerintahan 2014 melalui proses politik di DPR dan MPR.
    Jadi, pileg dan pilpres mendatang seyogianya lebih menekankan pada kualifikasi pemimpin nasional untuk menakhodai kapal Indonesia yang begitu besar dan sarat permasalahan. Kata kuncinya adalah pemimpin itu punya ketegasan mengambil sikap politik dan pemahaman kuat terhadap ideologi sehingga bisa memberikan arah, memiliki kemampuan teknokrasi sekaligus komitmen kerakyatan yang kuat.
    Biarlah rakyat sendiri yang menentukan pemimpin tahun 2014 mengingat rakyat adalah hakim tertinggi, dan tiap partai punya mekanisme untuk merespons harapan rakyat. Berdasarkan berbagai survei, Megawati masih populer dan mendapat dukungan dari struktur partai. Namun pencalonannya menunggu momentum yang tepat. Keputusannya pun ada di tangan Megawati, dan sebagai kader partai ia harus siap.
    Gelagat dan Dinamika
    Peringatan Presiden SBY bahwa jangan ada kegaduhan politik pada 2012, sebenarnya sudah diawali oleh kegaduhan sejak 2009. Puncaknya adalah reshuffle kabinet yang melahirkan  kegaduhan politik birokrasi. Belum lagi beberapa masalah sektoral yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
    Walaupun SBY sudah memberi warning, kegaduhan politik dan birokrasi bakal terjadi. Apa pun data telaah strategis intelijen yang diterima Presiden, indikasi kegaduhan politik dan birokrasi yang berlebih itu akan mewarnai tahun ini. Bahkan mengecambah hingga Pemilu 2014 jika pemerintah belum menuntaskan reformasi birokrasi dan menyelesaikan permasalahan rakyat, yang merupakan salah satu kuncinya.
    Tidak tuntasnya reformasi birokrasi dan tidak terselesaikannya problem kerakyatan merupakan pangkal masalah munculnya kegaduhan itu. Dalam urusan birokrasi, kita sering melihat ketidakakuratan penanganan konflik antardepartemen.
    Ke depan, untuk menghadapi kegaduhan itu, pemerintah harus cepat hadir dalam tiap masalah dengan beragam motif itu, termasuk persoalan kekerasan. Keputusan cepat dan penanganan yang komprehensif integral harus menjadi kebijakan utama untuk melindungi masyarakat.
    Kalau pemerintah tak berani mengambil keputusan untuk segera bertindak dan cepat melindungi masyarakat, berarti pemerintah kalah, sementara skenario besar sedang bermain. Pemerintah yang berdaulat seharusnya tidak boleh kalah dari segala bentuk teror dan kekerasan, serta berani menindak pembantu dan aparatnya atas kebijakan yang merugikan masyarakat.