Blog

  • Menagih RUU Yogyakarta di 2012

    Menagih RUU Yogyakarta di 2012
    Irfan Ridwan Maksum,  GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UI,
    KETUA PROGRAM MIASPS-UMJ
    Sumber : SINDO, 14 Januari 2012
    Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia,kini perhatian kita tersedot oleh isu Papua,pembenahan mekanisme pilkada dalam revisi UU Pemda, pengaturan desa, pengembangan standar pelayanan minimal di daerah, dan beberapa isu lain.

    Dalam bulan September 2011 lalu kita sempat mempersoalkan kembali perpanjangan masa pemerintahan Gubernur Provinsi DI Yogyakarta. Isu Yogyakarta sempat reda, kemudian muncul kembali ke permukaan,yaitu wakil rakyat kita diharapkan menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta paling lama satu tahun. Pembenahan Yogyakarta menjadi barometer bagi otonomi sejenis, termasuk isu mengenai Papua,sehingga pantas ditanya kembali perkembangan polesan otonominya ke depan.

    Keistimewaan vs Keseragaman

    Yogyakarta istimewa bagi bangsa Indonesia tampaknya sudah menjadi keniscayaan. Bahkan sumbangan rezim Soeharto akan terminologi tersebut dapat dikatakan sebagai katalis. Apa pun kondisinya, bangsa Indonesia telah mengakui keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat kita mengenalnya karena faktor sejarah.

    Dari sudut pemerintahan, kita mengakui keistimewaannya dengan menempatkan Sri Sultan sebagai gubernur provinsi tersebut secara otomatis dan sepanjang umur Sri Sultan. Namun, sejak reformasi terdapat persoalan mengenai rekrutmen kepala daerah bagi pemerintahan daerah di Indonesia, terutama sejak pilkada langsung dan pembatasan periode jabatan kepala daerah di seluruh wilayah RI ditetapkan. Kira-kira bahasa sederhananya, kini keistimewaan Yogyakarta terancam dalam praktik pemerintahan daerah kita. Kalau kita tarik desain keistimewaan sebelum era reformasi, sebetulnya hal tersebut ditentukan oleh kesepakatan antara elite politik bangsa Indonesia dengan Sri Sultan pada waktu itu.

    Logikanya sekarang pun sudah saatnya kesepakatan tersebut dilakukan ulang. Kini dalam konstruksi NKRI pun telah muncul otonomi semacam Yogyakarta dengan caranya masing-masing, yakni DKI Jakarta, Aceh, dan Papua. Desain tersebut dikembangkan dengan amat dipengaruhi situasi lokal masingmasing. Tampak Yogyakarta ada di tangan Sri Sultan. Sri Sultan dapat meminta pendapat ahli untuk mendesain keistimewaan Yogyakarta, tetapi beliau sendiri harus mengetahui hakikat, makna, visi, dan implikasinya terhadap otonomi Yogyakarta.Koridornya adalah negara kesatuan RI.

    Memang dalam negara kesatuan seharusnya ada basic structure dari desain otonomi daerah yang sama (simetrik antardaerah). Tapi di atas batas basic tersebut masih dapat dikembangkan kekhasan-kekhasan. Pada masa Hindia Belanda secara teratur dikembangkan otonomi dalam aspek budaya dengan desentralisasi kebudayaan di luar desentralisasi pemerintahan. Desentralisasi pemerintahan ini terdiri atas desentralisasi teritorial dan fungsional.

    Desentralisasi dalam aspek kebudayaan dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda, terutama ketika menghadapi pendatang Asia di wilayah Indonesia saat itu. Bersamaan dengan desentralisasi tersebut, dilakukan desentralisasi pemerintahan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda juga secara asimetrik melakukan pengembangan pemerintahan dengan kalangan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara ini dengan sistem kontrak berupa kontrak jangka panjang dan jangka pendek. Kontrak dengan Kesultanan Yogyakarta kala itu pun dibuat.

    Visi mengenai Yogyakarta ke depan harus dimulai dengan menentukan nasib Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan NKRI ini.Bagaimana mempertahankan struktur tersebut melalui mekanisme desentralisasi yang logis dan sistematis. Pembicaraan ini harus mendalam, jangan dicampuri mekanisme turunannya terlebih dahulu seperti tata cara pemilihan DRPD, gubernurnya, birokrasinya, keuangannya, dan lain-lainnya. Apa kesepakatan yang ditempuh oleh elite pengambil kebijakan nasional dengan Sri Sultan sendiri tentang hal tersebut?

    Kalau tidak ada kejelasan, tampak desain UU Keistimewaan Yogyakarta ke depan hanyalah tambal-sulam dan penuh ranjau yang sewaktu-waktu dapat meledak. Dampak secara nasional pun bisa terjadi seperti layaknya efek domino jika tidak mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak yang berkompeten.

    Hilangkan Kebimbangan

    Separuh nasib DIY, di samping oleh wakil rakyat kita, ditentukan pula oleh Sri Sultan. Oleh karena itu harus dihilangkan kebimbangan dalam menentukan pilihan. Visi ke depan semua komponen bangsa Indonesia tentu adalah penguatan NKRI. Jika visi ini diyakini oleh kita semua, tugas kita semua sebagai elite adalah agar desain kelembagaan NKRI tidak berada terus-menerus dalam abu-abu.

    Faktor budaya dan nonstruktural lain dapat diakomodasi dengan melokalisasinya melalui instrumen negara yang terukur, sistematis,dan logis. Kebimbangan muncul karena masa lalu yang kuat mengakar, kentalnya pemahaman masyarakat,dan kuatnya status quo. Dengan demikian kita mesti bergerak memberi contoh, bahkan mengembangkan sistem secara visioner untuk NKRI dan Yogyakarta. Sudah selayaknya RUU Yogyakarta yang akan dituntaskan oleh wakil rakyat sarat dengan spirit kebersamaan dan didasari prinsip berkualitas.

    Sri Sultan dalam hal ini harus mengawal proses penyelesaian RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut yang sedang dibahas di parlemen. Draf tersebut yang sudah melalui pembahasan di eksekutif sekian lama sudah selayaknya dipahami betul oleh Sri Sultan. Kita bisa saja berasumsi telah disetujui dan dibahas bersama Sri Sultan, tetapi tampaknya apa yang dikemukakan oleh Mendagri dengan apa yang diinginkan masyarakat Yogyakarta berseberangan.

    Di sini letak kebutuhan munculnya aspirasi Sri Sultan sendiri. Sri Sultan adalah sumber utama desain kelembagaan keistimewaan Yogyakarta. Sri Sultan harus sepenuh hati memahaminya. Jika Sri Sultan bimbang dalam menetapkan pilihan,sulit ditemukan desain keistimewaan Yogyakarta yang ideal.

  • Keutuhan Hukum dan Bangsa

    Keutuhan Hukum dan Bangsa
    Sudjito,  KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UGM
    Sumber : SINDO, 14 Januari 2012
    Dalam artikel berjudul ”2011: Tahun Anti-Polisi?”( SINDO,1/1/2012) Sarlito Wirawan Sarwono antara lain mengemukakan bahwa konflik horizontal maupun vertikal sumbernya selalu sama, yaitu perizinan atau peruntukan lahan.

    Di akhir tulisan itu dikatakan bahwa ada kecenderungan sebagian elite politik, tokoh masyarakat, pakarpakar karbitan, media massa TV, radio dan koran, terus-menerus memojokkan polisi karena ini memang eranya nyalahin orang, bukan mencari solusi. Perasaan nelangsa seorang Sarlito tersebut tentu menjadi keprihatinan kita sebagai bangsa secara keseluruhan. Apa yang dikemukakan benar dan sesuai dengan realitas.Cuma, sayang,seluruh materi artikel itu banyak berisi gambaran tentang kekerasan dalam perebutan lahan di negeri ini dan belum sampai pada tawaran solusinya.

    Kalau boleh saya urun rembuk, dalam perspektif ilmu hukum, tampaknya kesalahan mendasar polisi sehingga cenderung disalahkan orang lain itu terpulang pada dua hal.Pertama, kesalahan pemahaman polisi terhadap kasus yang dihadapinya, yakni memandangnya sebagai kasus hukum (perundang-undangan) semata tanpa mau melihatnya dari sisi kemanusiaan.Kedua, kesalahan dalam pendekatan penyelesaiannya, yakni bersifat parsialistis, legal-postivistis, dan bukan holistis. Dua kesalahan tersebut akan berakibat tidak tuntasnya penyelesaian atas kasus-kasus sengketa lahan tersebut dan diperkirakan pada 2012 justru akan meningkat.

    Dalam perspektif pendekatan holistis, masyarakat melakukan kekerasan dalam memperebutkan lahan bukanlah sekedar persoalan hukum (perundang-undangan) dan bukan pula sesempit soal perizinan. Di dalamnya terkandung masalah kompleks, meliputi persoalan natural, struktural maupun kultural. Secara natural (alamiah) masyarakat menghadapi kesuraman masa depan. Mereka miskin,lapar,dan menderita lahir- batin. Kajian psikologis pasti membenarkan bahwa siapa pun yang berada dalam kondisi seperti itu akan cepat marah apabila hasrat dan harga dirinya dihinakan pihak lain.

    Mereka sekadar ingin survive(bertahan hidup).Adakah keberpihakan para penguasa, pemerintah, dan polisi terhadap saudara kita yang sedang dihimpit penderitaan itu? Adakah sila kedua ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”mengisi relung jiwa para stakeholders itu? Polisi tampaknya tidak mampu menjawabnya dengan jujur dan kemudian segalanya dikembalikan pada prosedur tetap (protap). Tindakan seperti itu bukan saja tidak arif, melainkan juga tergolong ego institusional.

    Masyarakat di sekitar hutan menjadi miskin karena rekayasa struktural oleh penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha. Dalam Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA), kedudukan hak ulayat diakui. Hak menguasai negara tidak boleh menyentuh dan mengganggu keberadaan hak ulayat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 3 UUPA menjamin perlindungan hukum mengenai hal itu. Mengapa hak diubah menjadi izin? Mengapa pula kewenangan negara (Pasal 2 UUPA) direduksi dan dicaplok menjadi kewenangan pemerintah?

    Tindakan ini inkonstitusional (melanggar Pasal 18B ayat (2) UUD 1945) dan sekaligus melanggar UUPA. Mengapa Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Kehutanan, dan instansi pemerintah lain kebal terhadap pelanggaran konstitusi dan hukum tersebut? Hukum tidak lagi dijalankan sesuai dengan hati nurani dan berdasarkan filosofi bangsa, melainkan dimainkan melalui struktur kekuasaan. Kesalahan yang dilakukan oleh Orde Baru ternyata dilanjutkan oleh Orde Reformasi.

    Nilai yang Rontok

    Secara kultural, nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini telah rontok dan tergantikan dengan nilai kebendaan. Rasa kekeluargaan sebagai bangsa telah bergeser menjadi sikap individual- liberalistis.Di mata rakyat, polisi dengan kebrutalannya dapat dimaknai sebagai pembelaan demi uang dan pengabdian kepada siapa yang bayar, bukan bertindak demi kemanusiaan dan keadilan sosial.

    Polisi tidak serta-merta boleh mengalihkan tanggung jawab kepada lembaga legislatif yang memproduksi undangundang dan peraturan daerah (perda) seraya mengatakan bahwa tugasnya hanya menegakkan hukum. Polisi tentu sadar bahwa dirinya adalah manusia juga: punya hati, akal, dan kearifan. Apabila ada hukum yang salah dan menyengsarakan rakyat, hati nurani polisi mesti bicara dan berperan dalam ikut mencari solusi.

    Jangan ”mematikan” hati nurani demi protap dan jadilah polisi yang protagonis, bukan antagonis. Siapa pun wajib menghormati bahwa polisi adalah penegak hukum. Sebagai aparatur yang berada di barisan terdepan ketika berhadapan dengan masyarakat, polisi wajib paham bahwa hukum bukanlah sekadar perundang-undangan, apalagi protap.Pahamilah hukum secara utuh dan benar.

    Dalam keutuhannya, hukum adalah tatanan kehidupan manusia, baik sebagai diri pribadi,makhluk sosial,makhluk alam-lingkungan, hamba maupun khalifah Allah SWT. Hukum adat yang menjadi dasar adanya hak ulayat perlu dipertimbangkan oleh polisi dan semua stakeholders karena hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA). Hukum adat itu bersemayam di dalam budaya masyarakatnya. Di situ ada unsur emosional-tradisional dan sarat dengan nilai-nilai agama.

    Oleh karenanya, polisi dan semua stakeholders wajib menanggalkan ego institusional dan ego sektoral dalam berinteraksi dengan masyarakat adat dan mengedepankan jiwa kebersamaan sebagai bangsa. Asas kebangsaan,asas religius, dan asas keberlanjutan telah tersurat secara jelas dalam UUPA,wajib diimplementasikan pada semua kebijakan agraria. Perlu diingat pula bahwa posisi hukum adat terhadap p e r u n d a n g – u n d a n g a n berbeda dari posisinya ketika berada di zaman kolonial. Pemerintah kolonial dengan domein verklaring-nya (Pasal 1 Agrarische Besluit) telah melecehkan keberadaan hukum adat dan hak-hak masyarakat seluruhnya.

    VOC dan pemerintah kolonial mengeruk sumber daya alam yang ada di bumi Nusantara dan diangkut ke negerinya tanpa peduli terhadap nasib kemanusiaan yang dihadapi penduduk pribumi. Kalau polisi dan stakeholders punya sikap sama atau serupa dengan pemerintah kolonial dalam memberlakukan hukum adat, lantas apa bedanya dengan penjajahan baru atas bangsa sendiri?

  • Paku Kasih

    Paku Kasih
    Arswendo Atmowiloto,  BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 14 Januari 2012
    Paku, pasak atau penyemat dari logam yang ujungnya runcing dikenali dalam kehidupan kita. Di Keraton Surakarta Hadiningrat, rajanya masih bergelar Paku Buwono, dan di Yogyakarta ada Paku Alam.

    Pakuningratan bisa berarti nama kampung yang didiami bangsawan atau keturunannya,tapi juga diartikan sebagai “paku yang bertebaran di jalanan”. Yang terakhir ini agaknya tindak kesengajaan, yang membuat ban kendaraan yang melaluinya kempes dan memerlukan perbaikan. Tindak kejahatan yang bisa membahayakan orang lain,termasuk nyawa. Untunglah dalam masyarakat kita ada dinamika yang mulia.Ada komunitas Sapu Bersih Ranjau Paku,Saber.Komunitas ini secara suka rela,tanpa dibayar tanpa ada yang menyuruh, memunguti jebakan maut itu.Dinamika yang menarik dan baik serta benar adanya: ketika ada kejahatan,muncul kebaikan dan ini berasal dari masyarakat biasa,bukan aparat.

    Paku Jahat

    Kadang saya berpikir apakah kita ini harus jahat supaya bisa makan? Apakah para penyebar ranjau paku yang dikaitkan dengan usaha tambal ban—kelompok yang paling memiliki motivasi dan mendapat keuntungan dari kasus ini––benar-benar tak mendapat nafkah kalau tidak jahat? Kalau memang usaha tambal ban di jalan tertentu tak memberi penghasilan, kan bisa pindah ke tempat lain dan atau menutup usahanya beralih ke usaha lain yang tak membahayakan masyarakat. Karena akibat dari peranjauan yang ditimbulkan bukan sekadar ban pecah, tapi bisa berarti pengendara terguling yang dapat menyebabkan kehilangan nyawa.

    Pertanyaan yang sama bisa diberikan kepada mereka yang memoles makanannya dengan zat pewarna, mencampur dengan zat pengawet, menggunakan bumbu masak yang bertentangan dengan nilai-nilai kesehatan. Atau pertanyaan lebih besar lagi,haruskah menciptakan jenis flu burung untuk menandai kekuasaan atas kuasa yang lain? Dalam makna yang sama pertanyaannya adalah : kenapalah harus menjadi jahat hanya karena bisa melakukan dan punya kuasa untuk itu? Bukankah usaha yang biasa,yang wajar, yang tidak kemaruk serta serakah tidak membuat mereka mati kelaparan?

    Bukankah dengan menjadi wakil rakyat—atau polisi, jaksa, hakim,pegawai negeri sipil,pejabat atau petinggi,atau apa saja sebenarnya—cukup terhormat dan tak akan membuat mati kelaparan? Apakah harus melakukan korupsi dan penyalahgunaan kuasa untuk memuaskan nafsu dan napas kebinatangannya hanya karena memiliki akses untuk itu dan dilakukan bersama yang lain? Seorang penyebar ranjau paku berharap dapat rezeki kalau ban kendaraan kempes dan pergi kepadanya untuk ditambal.

    Yang tak diketahui, pengendara yang bannya kempes mendadak bisa terjungkal dan meninggal.Atau kalaupun tahu, tidak peduli. Atau kalau tahu dan peduli, tetap dilakukan. Hal yang sama dalam skala lebih besar, durjana korupsi bukan hanya berarti memperkaya diri sendiri dan koleganya, melainkan juga membuahkan kesengsaraan dan derita, bahkan merenggut nyawa orang lain. Kadang saya berpikir, kenapalah menyebar ranjau paku menjadi arah, walau sadar itu tindakan yang salah? Benarkah moralitas kita sudah demikian bubrah?

    Salam Saber

    Dalam situasi “menjadi jahat karena bisa jahat”,saya masih memiliki semangat melihat komunitas Saber. Mereka ini orang-orang biasa, pekerjaannya biasa juga, sehari-hari hidup sebagai sopir, tukang parkir, satpam,pengusaha bangunan, atau bahkan belum punya pekerjaan.

    Dengan keterbatasan dan atau kekurangannya, mereka mampu memberikan kelebihan. Atas usaha sendiri membersihkan paku jalanan. Setiap hari, pagi dan sore— sesudah penyebar paku beraksi–– dengan peralatan seadanya. Mereka bukan komunitas parpol,bukan komunitas ormas, yang tak memperoleh keuntungan materi dari apa yang dikerjakan. Bahkan, mudah diduga, mereka mendapatkan perlawanan keras dari penjahat paku.Mereka ini telah bekerja jauh hari tanpa didahului proposal. Tanpa baliho atau spanduk.

    Mereka menebarkan kasih dalam arti yang sebenarnya tanpa sekat agama, etnik, juga prasangka. Komunitas Saber adalah pahlawan––tanpa tanda jasa, tanpa devisa––dalam arti memperhatikan orang lain dan melakukannya. Rame ing gawe, sepi ing pamrih, bekerja keras tanpa berharap imbalan. Komunitas Saber bukan hanya membersihkan paku berbahaya dan membersihkan jalanan agar memperoleh keselamatan bagi orang lain, melainkan juga membersihkan pikiran kita semua untuk menjadi sehat.Bahwa sesungguhnya naluri membantu sesama, naluri persaudaraan, masih ada dan bermakna dalam komunitas yang lebih luas.

    Yang tetap bisa dilakukan dan ditekuni dalam keterbatasan. Tingkat sosial mereka barang kali tak jauh-jauh amat dengan kehidupan para penambal ban itu sendiri. Tapi mereka menjadikan indah kehidupan, juga bagi orang lain yang secara pribadi tak dikenalnya. Dan inilah contoh nyata, karena bisa dilihat di jalanan, bahwa pada masyarakat yang tak banyak punya akses, tak dimudahkan oleh kuasa, ternyata tetap ada kebaikan dan membuka nurani. Salam paku, eh salam Saber.

  • Perginya Akal Sehat

    Perginya Akal Sehat
    Karyudi Sutarjah Putra,  TENAGA AHLI ANGGOTA DPR
    Sumber : SUARA MERDEKA, 14 Januari 2012
    SEJATINYA sudah lama akal sehat itu pergi meninggalkan DPR. Bila kini terungkit lagi, itu lantaran ada yang mengusik: renovasi toilet Rp 2 miliar, renovasi area parkir Rp 3 miliar, dan renovasi ruang rapat Badan Anggaran Rp 20 miliar. Penghamburan anggaran di tengah kesulitan hidup yang menjepit rakyat adalah tindakan melawan akal sehat.
    Salahkah merenovasi toilet, area parkir, dan ruang rapat Banggar? Secara legal barangkali tidak. Dari sisi estetika barangkali juga baik.Tapi dari sisi kepatutan, di tengah realitas rakyat yang hidup menderita, renovasi demi renovasi yang menelan anggaran puluhan miliar rupiah itu barangkali kurang baik.

    Semegah apa hasil renovasi ruang rapat Banggar? Lalu apa manfaatnya bagi rakyat? Bukankah lebih bermanfaat bila anggaran Rp 20 miliar itu untuk merenovasi gedung sekolah rusak yang bertebaran di seluruh pelosok Nusantara?

    Renovasi ini-itu telah menjadi fenomena tersendiri di DPR menjelang tutup tahun. Bila alasannya menghabiskan anggaran, karena bila tak dihabiskan maka tahun depan tidak dapat alokasi lagi maka logika macam apa yang dipakai parlemen? Mengapa anggaran yang potensial tak terserap itu tak dikembalikan saja ke kas negara? Lihatlah, APBN dari tahun ke tahun selalu tekor, dan yang menjadi korban adalah rakyat melalui pengurangan subsidi ini-itu. Pada 2012 ini, demi menjaga APBN tak jebol, subsidi BBM akan dikurangi, salah satunya dengan membatasi penggunaan premium. Per April 2012 semua mobil pribadi tak boleh menggunakan premium. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

    Dalam konteks ini, penyebutan DPR lebih dikaitkan dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR. Tapi keberadaan anggota DPR di sana juga tidak bisa dinafikan, terutama para pemimpinnya. Apalagi, Ketua DPR Marzuki Alie saat ini merangkap jabatan Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Bila ada wakil rakyat mengaku tak tahu proyek ini-itu sehingga mereka terkaget-kaget dan tak kuasa menghentikannya, bisa saja benar. Tetapi bila pemimpin DPR sampai tidak tahu, apalagi kini Ketua BURT dirangkap Ketua DPR, mustahil.

    Ada Pembusukan

    Dalam konteks ini, akal sehat tidak hanya pergi meninggalkan pejabat Setjen DPR, tetapi juga meninggalkan pemimpin DPR, bahkan bisa jadi para anggota. Lihatlah betapa banyak anggota DPR disebut-sebut bermain dalam proyek ini-itu. Kasus wisma atlet adalah salah satu contohnya.

    Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, menyayangkan renovasi ruang rapat Banggar yang menelan Rp 20 miliar. Dia minta DPR lebih memprioritaskan peningkatan kinerja tiga fungsinya, yakni legislasi, bujeting, dan pengawasan. Wakil Ketua DPR Anis Matta minta rencana renovasi toilet Rp 2 miliar dibatalkan. Ironis, memang.

    Lebih ironis lagi, Ketua DPR yang juga Ketua BURT Marzuki Alie mengaku tak tahu-menahu dengan renovasi ruang rapat Banggar. Ia pun kaget dan meminta BPK dan KPK turun tangan.

    Pertanyaannya, apakah perencanaan anggaran di DPR hanya dilakukan Setjen? Atau juga melibatkan BURT? Bila demikian, mengapa hasilnya tidak disosialisasikan kepada seluruh wakil rakyat? Atau mungkin sudah disosialisasikan, tetapi wakil rakyat tak mau tahu, yang penting gaji, uang tunjangan ini-itu, uang reses, dan sebagainya sudah beres?
    Atau, anggota DPR sengaja dininabobokkan sehingga Setjen bisa berbuat apa saja? Atau jangan-jangan Setjen sengaja melakukan pembusukan dengan menjadikan DPR sebagai kambing hitam? Apa pun yang dilakukan Setjen, yang selalu menjadi sorotan adalah anggota DPR. Padahal, belum tentu wakil rakyat mengetahui apa yang dilakukan Setjen. Salah satu contohnya adalah renovasi ruang rapat Banggar. Banyak anggota DPR terkaget-kaget, termasuk Marzuki Alie. Atau, pura-pura kaget? Yang jelas, kita dukung ide Marzuki agar BPK dan KPK turun tangan mengaudit.

  • Dialog Antarumat Beragama

    Dialog Antarumat Beragama
    Achmad Fauzi,  AKTIVIS MULTIKULTURALISME,
    ALUMNUS UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA (UII) YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 13 Januari 2012
    Buku Samuel Phillips Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1998) banyak dibahas dan dibaca secara kritis. Tak pelak, buku itu membuat banyak orang kesal dan geram. Bukan karena asumsi, susunan teori ilmiahnya, definisi, metodologi dan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya. Buku itu tampak hadir di tengah dunia yang rumit ini seperti sebuah kutuk bagi semua orang di muka bumi. Menurut penuturan Huntington, benturan civilisasi tidak dapat dihindari.
    Setelah perang dingin dan jatuhnya rezim komunis Rusia, pentas dunia akan segera diisi dengan benturan peradaban Barat dengan non-Barat. Ini berarti seluruh faktor esensial dunia, sendi-sendi kehidupan dan hubungan antar-bangsa, yakni peradaban, budaya dan agama akan dikerahkan dalam sebuah konfrontasi.
    Tampaknya dalam skala lebih kecil tesis Huntington relevan jika disandingkan dengan konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia. Konflik antar-kelompok yang mengklaim keyakinannya sebagai realitas tunggal atas kenyataan agama lain yang bercorak plural adalah pola benturan sebagaimana yang dilukiskan Huntington.
    Huntington boleh salah ngomong’ dan dianggap tidak memahami peta kekuatan dunia. Namun sialnya, suka atau tidak suka, sebagian atau beberapa bagian dari yang disalah-omongkan’ itu telah benar-benar terjadi.
    Berpijak dari persoalan itu, dialog antar-umat beragama (interfaith dialogue), sebagaimana Indonesia telah menjadi partisipan dalam dialog antar-penganut agama di beberapa negara seperti Beograd, Serbia dan Athena, Yunani menjadi urgen digalakkan supaya nalar kekerasan yang dipicu oleh truth claim dan pemahaman teologi yang sempit tidak bersemayam dalam tubuh agama. Dialog mengajak partisipan untuk secara radikal membuka diri dan saling memahami keberadaan agama lain sehingga budaya ketertutupan dan prasangka teologis dapat dihindarkan.
    Problem eksklusivisme agama, mengklaim agamanya sebagai yang paling benar dan menganggap agama lain sesat adalah cara berteologi yang merusak tatanan agama. Dalam cara ini, umat beragama selamanya tidak akan mampu mendefinisikan diri di tengah kehidupan keagamaan yang plural, karena kaku dan menutup diri dari budaya luar. Ini persoalan kuat-lemahnya metodologi yang merumuskan bagaimana cara menerima atau menolak budaya lain di luar diri kita.
    Secara normatif sah-sah saja mengatakan agama yang dianut paling benar, superior dan sempurna, namun pada tataran fenomenologis klaim itu akan berbenturan jika mengatakan agama lain sesat, inferior dan tidak sempurna. Oleh karena itu, diperlukan sikap saling mempelajari, memahami dan menghormati ko-eksistensi agama lain guna mencapai titik temu (common platform).
    Proses perjumpaan antar-iman mustahil terjadi dalam paradigma teologi yang eksklusif. Orang akan terjebak dalam perdebatan teologis yang sengit dan klaim kebenaran yang bersifat nomatif. Perjumpaan antar iman bertujuan untuk saling mengeksploitasi’ kekayaan spiritual sehingga membutuhkan inklusivisme. Partisipan dapat berjumpa, bertukar pikiran dan menyelami jantung agama-agama, kemudian kembali lagi ke agama yang dianut tanpa harus merusak kedigdayaan teologis agama yang dianut.
    Dialog pada aras mondial membicarakan pola-pola dialogis hubungan antar umat beragama dalam mengelola pluralitas peradaban, budaya dan agama agar tidak berbenturan. Dialog menjadi pilihan paling elegan mengingat bentuk pendefinisian diri antar kutub-kutub peradaban dan agama akhir-akhir ini cenderung tidak beradab.
    Oleh karena itu, dalam konteks hubungan antar bangsa dan bernegara, Indonesia dan mitra dialog, memang seharusnya memikirkan dan mesti mencari keseimbangan yang wajar sehingga benturan peradaban, budaya dan agama dapat ditakar dan dihentikan pada waktunya, yaitu ketika kerusakan sudah tidak dapat tertanggungkan. Barat yang mendominasi peradaban, kebudayaan dalam bentuk modal, tekhnologi dan organisasi, penguasaan terhadap media, perlu diajak dialog guna memulai sikap baru di zaman pluralisme ini.
    Proses globalisasi, pluralisme, dan dominasi agama selayaknya ditanggapi secara demokratis dengan memberi kesempatan untuk hidup bagi kelompok-kelompok kecil dan lemah. Demokratisasi harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan fair antar komponen pluralisme. Dialog adalah sebuah usaha untuk menghalangi tindakan apapun yang melecehkan manusia dalam hubungan yang berdasar pada pembenaran untuk membunuh satu sama lain.
    Indonesia, Serbia dan Yunani adalah tiga negara yang memiliki kemiripan sejarah tentang perselingkuhan agama dan politik. Perselingkuhan itu telah melahirkan kekerasan dari masa ke masa. Bukankah kita memiliki catatan yang panjang betapa simbol-simbol agama kerap digunakan partai politik untuk mencari dukungan massa dari penganut agama. Sehingga, pada saat kefrustasian masyarakat memuncak, masing-masing pemeluk membuat firqoh-firqoh yang mau tidak mau agama juga terseret dalam gelanggang kekerasan tersebut.
    Kini, agama sudah sewaktunya menarik diri dari gelanggang politik praktis. Tatacara mensucikan diri dari ingar-bingar politik kekuasaan adalah pertama, mengembalikan agama sebagai norma, referensi sikap hidup dan panduan batin. Kedua, menghindari politik berazaskan agama demi mendulang suara. Ketiga, agama bukan lagi dalam lingkup politik ketatanegaraan, melainkan politik keseharian yang mengurusi persoalan moral, kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketika agama dikembalikan ke khitahnya, maka penguatan basis dialogis antar pemeluk agama sangat mudah terbentuk.
  • Menunggu “Imam Mahdi” Politik

    Menunggu “Imam Mahdi” Politik
    Ulil Abshar-Abdalla,  PEMERHATI DAN PRAKTISI POLITIK,
    PENELITI DI FREEDOM INSTITUTE, JAKARTA
    Sumber : JARING NEWS, 13 Januari 2012
    Dahlan Iskan dan Jokowi memperlihatkan keadaan tidaklah segelap yang digambarkan sejumlah pihak selama ini.
    JAKARTA, Jaringnews.com – Ada dua nama yang saat ini cemlorotdi jagad politik Indonesia: Dahlan Iskan dan Joko Widodo. Yang pertama adalah Menteri BUMN di bawah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II pasca-reshuffle. Yang kedua adalah Walikota Solo. Keduanya, saat ini, menjadi ‘the darling of Indonesian public’, idola bagi banyak publik Indonesia.

    Dahlan Iskan adalah wartawan dan pengusaha yang pernah sukses memimpin koran Jawa Pos di Jawa Timur. Setelah itu, dia juga dianggap sukses saat memimpin PLN, perusahaan negara yang kerap dikritik kiri-kanan karena listrik yang byar-pet itu. Di bawah kepimpinan Dahlan Iskan, sejumlah terobosan dilakukan. Salah satunya adalah adalah Gerakan Sehari Sejuta Sambungan untuk mengatasi daftar tunggu para calon pelanggan PLN baru yang begitu panjang di seluruh Indonesia. Di bawah Dahlan Iskan, citra PLN berubah.

    Setelah menjadi Menteri BUMN, Dahlan Iskan langsung melakukan perubahan yang cepat. Dia, antara lain, menghilangkan jabatan staf khusus di lingkungan kementerian BUMN. Jabatan itu dianggap kurang banyak manfaatnya dari segi efisiensi dan efektivitas birokrasi, selain membebani dari segi biaya.

    Dahlan Iskan memang berlatar-belakang pengusaha dan pedagang. Dia tampak sekali tak suka dengan birokrasi yang bertele-tele. Dia sudah terbiasa dengan sektor swasta yang bekerja dengan prinsip meritokrasi dan profesionalitas, juga kecepatan dalam merespon suatu masalah.

    Kelugasan dan ‘casualness’atau gaya yang tak resmi menjadi ciri-khas kepemimpinan Dahlan Iskan. Dia sempat menjadi buah-bibir publik karena pernah mendatangi rapat kerja pemerintah di Istana Bogor dengan menggunakan kereta Commuter Line dan disambung dengan ojek. Saat berkunjung ke Tarakan, Kaltim, pada Rabu (11/1) lalu, dia menyetir sendiri mobil yang ia pakai untuk mengunjungi sejumlah kantor pemerintah di sana.

    Gaya yang lugas dan informal ini langsung menyedot simpati publik. Gaya seperti itu kontras dengan persepsi publik tentang birokrasi pemerintah selama ini yang dikenal lamban, bertele-tele, dan terlalu formal. Watak semacam itu membuat masyarakat malas berurusan dengan birokrasi pemerintah. Kelugasan Dahlan Iskan ini tampil di mata publik seperti sebuah oase di tengah padang pasir yang gersang. Masyarakat seperti mengalami momen ‘Aha!’, karena melihat contoh yang menjanjikan semacam ini.

    Jika Dahlan Iskan adalah idola di tingkat nasional, maka di tingkat daerah kita juga menyaksikan sosok yang kurang lebih serupa, yakni Joko Widodo alias Jokowi. Nama Jokowi melesat bak meteor di langit perpolitikan Indonesia ketika dia memutuskan mobil Kiat Esemka Rajawali buatan anak-anak SMK di Solo menjadi mobil dinasnya beberapa waktu lalu.

    Jauh sebelum hingar-bingar mengenai mobil Kiat Esemka ini, nama Jokowi sudah berkibar dan menjadi pembicaraan publik. Dia sukses memimpin kota Solo sejak 2005 dengan melakukan sejumlah terobosan yang sangat cemerlang. Pertama-tama, Jokowi berhasil melakukan reformasi birokrasi lokal sehingga mampu menopang sejumlah gagasan dia untuk melakukan pembangunan kota Solo.

    Salah satu terobosan dia yang langsung menarik perhatian publik setempat adalah keberhasilannya melakukan relokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari tanpa menimbulkan gejolak. Terobosan lain yang membuat nama Jokowi langsung populer adalah saat dia meresmikan sistem transportasi publik yang disebut Solo Railbus Batara Kresna.

    Saat warga Jakarta mengeluh bukan main karena buruknya transportasi di ibu kota negara ini, Walikota Solo itu justru membuat terobosan di bidang transportasi publik yang selama ini menjadi impian warga Jakarta. Tak ayal, karena prestasinya yang mengesankan ini, nama Jokowi disebut-sebut sebagai calon gubernur DKI Jakarta.

    Sambutan publik yang begitu antusias terhadap dua sosok itu menunjukkan satu hal: masyarakat ingin melihat model yang konkrit bagi perubahan di negeri ini. Sejak era reformasi, harapan masyarakat akan perbaikan di negeri ini melambung begitu tinggi. Sementara itu, kenyataan di lapangan tak sepenuhnya sesuai dengan harapan mereka. Lahirlah semacam ‘kegalauan sosial’.

    Di tengah kegalauan dan kekecewaan semacam ini, sosok Dahlan Iskan dan Jokowi tiba-tiba menyeruak ke permukaan seperti bunga yang mekar di pagi hari, menyebarkan aroma harapan ke sekitar. Dua sosok itu tampil di mata publik nyaris seperti seorang ‘juru selamat’ atau ‘Imam Mahdi’ (istilah untuk Ratu Adil dalam tradisi Islam) dalam jagad perpolitikan Indonesia.

    Yang menarik, publik kemudian membandingkan dua sosok ideal ini dengan sosok Presiden SBY yang mereka anggap kurang sukses memimpin negeri ini. Tentu saja, pandangan semacam ini tidaklah tepat. Naiknya sosok Dahlan Iskan ke panggung kabinet, jelas tak bisa dilepaskan dari inisiatif presiden. Bahwa Presiden SBY memilih sosok yang gesit dan lugas seperti Dahlan Iskan menunjukkan bahwa dia tahu apa yang harus ia kerjakan. Selain kepada Dahlan Iskan sendiri, tentunya kredit pertama-tama haruslah diberikan kepada presiden yang telah memilihnya menjadi menteri yang mengurus sektor yang sangat vital, yaitu perusahaan negara.

    Sementara itu, sosok Jokowi patut kita acungi jempol karena mempopulerkan mobil Kiat Esemka buatan siswa SMK di Solo. Sudah lama, publik kita mendambakan mobil nasional (mobnas). Proyek ini pernah dirintis pada zaman mantan Presiden Soeharto melalui Mobil Timor, tetapi lindapbegitu saja saat angin reformasi merontokkan rezim Orba.

    Saat mobil Kiat Esemka itu muncul dipopulerkan oleh Jokowi, publik melihat bahwa impian tentang hadirnya mobnas akan segera terwujud. Akan tetapi, baiklah diingat bahwa munculnya mobil Kiat Esemka ini tak dapat dilepaskan dari peran Kemendiknas–yang pasca-reshuffle namanya kembali menjadi Kemendikbud–melalui Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang sejak lama menggalakkan sekolah-sekolah kejuruan alias SMK di berbagai pelosok tanah air untuk mengembangkan berbagai jenis kejuruan, termasuk di bidang otomotif.

    Dengan kata lain, kredit harus kita berikan kepada dua pihak sekaligus: kepada pemerintah–dalam hal ini Kemendikbud–yang menggalakkan SMK di seluruh penjuru tanah air, dan kepada sosok Jokowi yang berhasil melambungkan popularitas mobil buatan siswa Indonesia itu.

    Contoh-contoh ini memperlihatkan bahwa keadaan tidaklah segelap yang digambarkan sejumlah pihak selama ini. Prospek datangnya ‘Imam Mahdi politik’ masih akan terus mekar di negeri ini.

    Nah, yang memang menjadi soal yakni apakah sistem kita, baik di sektor politik, ekonomi, atau sosial, memungkinkan munculnya orang-orang yang kaya dengan inisiatif dan imajinatif seperti Dahlan dan Jokowi itu.

    Keistimewaan dua orang ini adalah mereka berpikir ‘business not as usual’. Mereka adalah para ‘wiraswastawan kebijakan’ (policy enterpreneurs), menurut istilah yang terkenal dari ilmuwan politik John Kingdon. Ciri para wiraswastawan di mana-mana adalah mereka kaya imajinasi dan memikirkan penyelesaian masalah di luar ‘kotak yang normal’.

    Tanpa sistem yang tepat yang membuka diri pada orang-orang imajinatif, maka sosok-sosok seperti Dahlan dan Jokowi itu akan sulit ‘nyembul’ ke permukaan.

  • Sinetron (Tanpa) Wajah Indonesia

    Sinetron (Tanpa) Wajah Indonesia
    Veven Sp. Wardhana,  PENGHAYAT BUDAYA MASSA
    Sumber : KORAN TEMPO, 13 Januari 2012
    Fiksi memang bukan fakta, bahkan pun jika fiksi tersebut didasarkan pada fakta atau kenyataan. Namun, tetap, ada logika yang tak bisa difiksikan, ada pola pikir yang tak mungkin dipelintir. Contoh konkretnya, jika ada kisah sinema (salah satu ujud karya fiksi) yang berlokasi di Paris dan waktunya digambarkan bertepatan dengan Hari Valentine, 14 Februari, sementara dalam visualisasi tampak berseliweran sosok-sosok bule perempuan mengenakan pakaian berlengan cutung dan bule lelaki ber-casual clothing, selain berjajarnya meja dan kursi kafe di sepanjang trotoar, jelas di sini ada kontradiksi yang parah. Pasalnya, di Paris dan rata-rata bumi belahan Eropa, Februari itu termasuk musim dingin, sementara pakaian para bule dan jajaran kursi-meja di luar kafe hanya terjadi pada musim panas. Kesimpulannya: ada pemahaman yang salah dalam diri para sineas dalam berlogika–dan itu bukan sebatas persoalan teknis, melainkan perkara esensial.
    Ini bersejajar dengan berderet sinetron yang terasa “tidak Indonesia banget” lantaran kisahnya diorder berdasarkan sinema dari bumi belahan lain yang bisa jadi terhitung “bumi belahan lain banget”. Bumi lain itu mungkin Korea atau Taiwan, yang sinemanya kerap dijadikan titik pijak adaptasi, yang galibnya justru adopsi belaka, karena tak ada perubahan dan pengubahan apa pun, terutama dari sisi kisah atau ceritera.
    Jika belakang hari banyak ditayangkan film televisi (FTV) atawa sinetron sekali-tayang-langsung-usai dengan lokasi Bali atau Jawa namun para pemainnya bercakap dalam dialek Jakarta-an, itu juga bisa dijadikan contoh nyata perkara esensi atau isi kepala sineas. Belum lagi, atmosfer sesama Jawa pun punya perbedaan yang cukup signifikan antara, misalnya, Yogya, Solo, Purwokerto, Surabaya, Semarang, dan lainnya.
    Sinema televisi Getar 2 Cinta (SCTV, 30 Desember 2011, pukul 10.00), berlokasi di Bali, berkisah tentang perempuan cantik Jannet yang makin gerah atas kelakuan ayahnya yang kian dekat dengan asistennya di kantor. Namun tak jelas benar, Jannet berada di Bali sebagai pelarian dari rasa gerah itu ataukah memang sejak awal dia berdomisili di Bali. Yang jelas, logat bicaranya berbahasa Jakarta. Demikian pula halnya keberadaan Janny, perempuan tukang parkir, bertampang sangat mirip Jannet, yang konon berasal dari Yogyakarta, cara omongnya juga seperti rata-rata anak-anak pasca-ABG Jakarta.
    Karenanya, jangan pernah mencari wajah Indonesia dalam sinetron Indonesia, baik yang berformat serial (bersambungan dan bersebab-akibat), seri (yang masing-masing episodenya bisa dibolak-balik tak berurutan), miniseri, juga satu-kali-siar-langsung-bubar yang diistilahkan sebagai FTV. Tiadanya wajah Indonesia dalam kebanyakan sinema televisi bukannya tak disadari stasiun televisi. Salah satunya, sejak tahun 2010, SCTV memprogramkan mata tayangan “Sinema 20 Wajah Indonesia”, yang berisi 20 judul sinema televisi dengan persoalan yang terkait dengan latar belakang subkultur yang memang bertebaran dan bertaburan di segenap kawasan Indonesia. Ada yang ber-settingPapua (Mutiara Hitam), Jawa Tengah (Menir Si Proyek Gagal), Batak (Ulos Simalakama), Bugis-Makassar (Badik Titipan Ayah), ada pula settinglainnya.
    Kenapa 20 judul? Ini disetarakan dengan ulang tahun ke-20 SCTV pada 24 Agustus 2010. Tahun 2011, jika stasiun televisi yang sama melanjutkan “Sinema Wajah Indonesia” dengan jumlah 13 judul sinetron lepas, tak penting angka 13 itu untuk memperingati apa, karena yang lebih penting adalah niatan SCTVuntuk menyadari diri dan menyadarkan publik bahwa tlatah Indonesia menyimpan banyak hal dan modal untuk dijadikan materi kisah. Terbukti, dalam perhelatan Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia 2011, 6 Desember 2011, sinetron lepas yang pantas dianugerahi adalah Papi, Mami, dan Tukang Kebun, salah satu judul dalam “Sinema 20 Wajah Indonesia 2010”. Sementara itu, pada 11 Desember 2011, dalam perhelatan Festival Film Indonesia, FTV yang ternilai sebagai terbaik, termasuk anasir sutradara, penulis skenario, aktris pendukung, dan tata artistik terbaik, disematkan pada Bakpao Pingping yang juga diproduksi PT Demigisela Citra Sinema, pembuat berderet sinema berwajah Indonesia itu.
    Persoalannya sekarang, ada dua pertanyaan penting atas “wajah Indonesia” itu, terutama jika dikaitkan dengan masa-masa mendatang–dan itu tak semata terkait dengan paket milik SCTV itu. Pertama: sungguhkah yang ditampilkan itu subkultur sesuai dengan setting lokasi? Kedua: mau diapakan wajah subkultur tersebut dalam konteks kekinian? Badik Titipan Ayah sangat jelas sebagai sesuatu yang khas etnis Bugis-Makassar perihal persoalan siri’ atau harga diri sebagaimana harga diri ala masyarakat Madura, yang mengantarkan pada carok, duel satu lawan satu pakai celurit, sebagaimana tecermin dalam Bercanda dengan Nyawa (24 Juli 2011). Sama halnya dengan Mahasmara (23 April 2011), yang memunculkan mitos perihal pasangan hidup resmi seorang perempuan berlengan bak gandewa–busur panah–yang suaminya senantiasa meninggal saat menikah dalam entitas masyarakat Solo.
    Namun, menyebut beberapa belaka, bagaimana dengan Undangan Kuning (10 September 2011), Pensiunan Monyet (18 Juni 2011), Wagina Bicara (2010), Wagina Bicara Lagi (4 Juni 2011), Tak Cukup Sedih (14 Mei 2011), Sang Mubaligh (2010), dan Pilihan Iman (2 Juli 2011)? Bisa dibilang, judul-judul ini bisa terjadi di mana saja, dalam makna tidak khas subkultur wilayah tertentu. Tanpa mengaitkan dengan kehendak “menggali dan menemukan dan memasyarakatkan wajah subkultur Indonesia”, judul-judul tersebut punya kualifikasi di atas rata-rata dibandingkan dengan kebanyakan sinetron yang pernah ditayangkan.
    Lantas, terkait dengan persoalan kedua: mau diposisikan sebagai apakah kekhasan subkultur tersebut? Disunggi-sunggi tanpa henti dan disangga-sangga tanpa jeda tiada tara? Badik Titipan Ayah (2010) menyampaikan sebuah diskusi bahwa dalam beberapa hal implementasi siri’itu malah banyak menelan korban. Lalu, Wagina Bicara Lagi kurang jelas menunjukkan sikap–setelah menyatakan istri yang menggugat cerai dikatakan bikin repot banyak pihak, selain dianggap tidak jamak. Yang jamak, yang umum terjadi, adalah istri menunggu saja dimadu atau ditalak cerai suami.
    Pahala Terindah (26 Desember 2011; dimaksudkan berlatar tradisi Lombok, namun sama sekali tak terasa nuansa Nusa Tenggara Barat), sekalipun dibungkus secara halus sebagai adegan mimpi atau impian sepasang suami-istri renta, kemungkinan berpoligami dengan menikah lagi dengan gadis yang lebih subur bahkan diwacanakan sebagai pahala luar biasa bagi sosok istri tua, tak peduli itu merupakan laku masokhistik.
    Dalam tataran yang lebih luas, sinetron berwajah Indonesia ini bisa disejajarkan dengan kajian antropologis yang bisa dipetik saripatinya untuk rekomendasi bagi pemerintah (daerah maupun nasional) yang berkewajiban merumuskan dan menelurkan kebijakan untuk masyarakat banyak perihal–sebutlah–pemetaan sosio-kultur, sekalian membuhulkan pertanyaan: sungguh-sungguh punya strategi budayakah pemerintahan Indonesia-raya ini?
    Kata kunci untuk jawaban ini adalah: tidak semua budaya itu berbudaya.
  • Pengelolaan Energi Libya Pasca-Qadhafi

    Pengelolaan Energi Libya Pasca-Qadhafi
    Marwan Ja’far,  KETUA FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA DPR-RI
    Sumber : KORAN TEMPO, 13 Januari 2012
    Riwayat sang revolusioner kini telah berakhir oleh gerakan revolusi rakyat sipil yang mengarus bersama irama revolusi Timur Tengah. Di kampung kelahiran sekaligus markas terakhir pendukung loyalisnya di Sirte, pada 20 Oktober lalu, Qadhafi diberondong dengan senjata oleh rakyatnya sendiri. Rakyat yang dalam rentang panjang menyimpan dan mengakumulasi bara dendam kesumat akibat sikap represif sang tiran. Seperti ditulis Larry Diamond (1992), kaum revolusioner adalah entitas yang kerap hadir mewakili jiwa dan semangat zaman yang tengah bergolak.
    Libya bisa menjadi penanda kehancuran tirani oleh demokrasi, dan seiring dengan itu sekaligus menjelma menjadi medan perburuan baru ladang-ladang minyak. Inilah yang “mengganggu” pemikiran banyak kalangan, bagaimana nasib Libya setelah kematian Qadhafi ihwal urusan minyak.
    Sulit dielakkan fakta bahwa perang sering kali berakhir dengan penjarahan dan perampokan sumber daya dan kekayaan alam suatu negara. Tanpa perlu berkutat menyingkap teka-teki, faktanya seperti yang sekarang dilakonkan Dewan Transisi Nasional (NTC) yang mengendalikan pemerintahan di Libya setelah runtuhnya dinasti kekuatan Qadhafi. Bukan lagi bisik-bisik, rupanya NTC sudah membuat kesepakatan untuk memberikan 35 persen pengolahan minyak mentahnya kepada Prancis sebagai tanda terima kasih atas dukungan penuh dalam gerakan revolusi menggulingkan Qadhafi. Bahkan, sebelum Qadhafi tewas, perdana menteri interim Libya, Mahmoud Jibril, mengatakan minyak Libya sudah mulai diproduksi setelah ditutup akibat perang.
    Perburuan Emas Hitam
    Libya memiliki cadangan 47 miliar barel minyak, dan merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-9 di dunia, serta negara yang paling kaya minyak di Afrika. Kekayaan miliaran barel minyak ini menjadikan Libya faktor penting bagi stabilitas energi dunia. Libya bukan hanya penghasil minyak. Negeri di Afrika Utara ini juga memiliki cadangan gas 54 triliun kubik. Hampir 95 persen minyak Libya diekspor ke negara-negara Barat dan Eropa. Negara-negara Barat dan Uni Eropa, sesudah perubahan politik di Libya, serta mendekatnya Muammar Qadhafi ke Barat dan dibukanya terusan Suez membuat ratusan perusahaan minyak dan gas melakukan investasi di Libya.
    Eksplorasi besar-besaran dilakukan perusahaan minyak Barat, seperti British Petroleum, Exxon, Total, Occidental Petroleum, Marathon Oil, dan Oil and Amerada Hess yang telah menandatangani eksplorasi minyak dengan pemerintah Libya. Kerja sama dengan perusahaan Barat semakin terbuka sejak 2003 dan 2004, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mencabut sanksi atas Libya, dan pada 2006, Amerika Serikat mencabut status Libya yang selama ini dituduh sebagai negara teroris. Negara-negara Barat selama 19 tahun absen dalam investasi minyak di Libya. Sekarang Barat mendapat pasokan minyak dari Libya.
    Tampaknya tidak hanya menyangkut kelangkaan energi minyak yang akan dialami Barat, tapi langkah-langkah menuju recovery ekonomi Barat yang dilanda krisis dan resesi akan terganggu bila tidak dilakukan langkah ofensif. Di sisi lain, dengan cara berbeda, mengobarkan perang dan menciptakan konflik dengan dalih demokrasi dan membela hak-hak sipil juga merupakan strategi Barat mengangkangi kekayaan alam suatu negara. 
    Pada akhirnya, kita bebas menjarah dengan datang sebagai pahlawan. Ini logika sederhana yang menjadi grand strategypenguasaan suatu wilayah oleh Barat. Amerika sendiri dikenal sebagai salah satu negara Barat yang masih menggunakan stock strategy, yaitu semacam upaya menimbun hasil sumber daya alam, khususnya minyak, sebagai jalan keluar krisis energi mendatang.
    Kita bisa menyaksikan buktinya. Di Irak, setelah jatuhnya Saddam Hussein, segera dibuka tender bagi ladang-ladang minyak. Tercatat 120 perusahaan berpartisipasi dalam tender. Hasilnya sepertiga dari total perusahaan tersebut, yaitu sekitar 35 perusahaan asing, yang lolos. Bisa ditebak bahwa raksasa minyak global yang menyumbang pajak bagi kas Barat, khususnya Amerika dan sekutunya, secara agresif akan mendominasi.
    Beberapa negara Timur Tengah yang pemerintahnya despotik, diktator, dan jauh dari nilai-nilai demokrasi, tapi tunduk pada keinginan Barat tetap saja dibiarkan. Misalnya Arab Saudi, Bahrain, Yaman, Suriah, Kuwait, Mesir (era Mubarak), dan Tunisia (era Ben Ali) diperlakukan berbeda dengan Irak (era Saddam Husein), Iran, Libya, serta negara-negara yang tak mudah ditelikung.
    Jelas sudah bahwa keterlibatan Amerika dan sekutunya dalam revolusi di Libya dilatarbelakangi oleh emas hitam (baca: minyak). Tanpa minyak yang menggiurkan, mustahil pasukan sekutu mau bersusah-payah melakukan agresi militer ke Libya, dengan alasan membantu perjuangan rakyat sipil dari penindasan hak asasi manusia rezim pemerintahannya. Sekali lagi, inilah penjelasan mengapa pasukan sekutu tidak mau susah-susah menyerbu Suriah atau Yaman yang kini bergolak: karena kedua negara tersebut tergolong miskin mineral. Bandingkan pula, saat ini masih banyak negara yang tidak demokratis dan terus dilanda konflik sosial, tapi luput dari perhatian Barat, karena negara-negara tersebut merupakan negara miskin, seperti Zimbabwe, Somalia, dan Rwanda.
    Hegemoni Barat
    Tanpa bermaksud menggeneralisasi, tapi fakta telah terpampang. Di depan mata dunia, Barat berlakon ganda. Berkawan dengan yang tunduk dan murka kepada yang dianggap membangkang.
    Ketika serangan udara militer sekutu ke basis-basis pertahanan Libya, bagi oposan Libya, serangan sekutu merupakan berkah dari langit, yang akan membebaskan negara kaya minyak itu dari genggaman diktator Qadhafi. Inilah bentuk kolaborasi dengan asing yang transaksional. Dan kini patriotisme menjadi mimpi di siang bolong di Libya. Setelah meluluhlantakkan bumi Libya, dan memakzulkan Qadhafi, pasukan asing yang “berjasa” itu pasti meminta imbalan.
    Terlebih dengan semakin rontoknya ekonomi Barat akibat krisis 2008, dan ancaman depresi ekonomi pada tahun-tahun mendatang. Mereka butuh dana segar untuk proses akselerasi ekonomi di tengah kebangkitan ekonomi Cina yang telah menjelma menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika. Cina sukses menggeser Jepang yang selama ini merupakan sekutu Barat.
    Di sisi lain, kepentingan ideologi juga menjadi hantu bagi Barat yang begitu agresif membantu upaya menggulingkan Qadhafi. Kita tahu negara-negara yang kini bergerak menguasai ekonomi global adalah mereka yang antikapitalis, atau paling tidak mandiri secara ideologi. Misalnya Cina dengan ideologi komunis. Di era pemerintahan Qadhafi, ternyata aliansi Cina-Libya sudah terjalin begitu kuat.
    Selama ini kebutuhan energi Amerika banyak dipasok oleh negara berkembang, yang kini perlahan menjadi negara maju dan juga membutuhkan energi untuk akselerasi pertumbuhan ekonominya. Artinya, Barat akan kehabisan pasokan energi jika tidak segera mencari ladang-ladang segar dan baru. Kekhawatiran mereka pasti menjadi stimulus atas beragam jalan untuk melanggengkan hegemoni.
  • 2012, Fiskal Tetap Terabaikan

    2012, Fiskal Tetap Terabaikan
    Didik J. Rachbini,  EKONOM SENIOR INDEF; KETUA LP3E KADIN
    Sumber : REPUBLIKA, 13 Januari 2012
    Tulisan ini merupakan suatu catatan, pada satu sisi, perkembangan makro ekonomi dan pasar keuangan yang cukup berkembang pada saat ini. Kondisi dan momentum tersebut memberi dukungan terhadap perkembangan investasi. Pada gilirannya, perkembangan tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi, pada sisi lainnya, kebijakan fiskal juga terabaikan karena kebijakan yang lemah atau bahkan bisa dikatakan ada kekosongan kebijakan fiskal.

    Banyak pengeluaran yang boros sehingga sumber daya yang ada tidak bermanfaat maksimal mendukung pertumbuhan ekonomi. Sumber daya fiskal berkembang dari tahun ke tahun karena momentum ekonomi yang bagus, tetapi terabaikan. Hal yang memprihatinkan selanjutnya adalah kondisi birokrasi yang sama sekali tidak ada perubahan signifikan. Iklim usaha dan birokrasi berada di jajaran terbelakang dalam survei IFC sehingga dunia usaha mendapat hambatan yang serius dari birokrasi ini.

    Makro Baik, Mikro Buruk
    Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dalam konferensi pers beberapa waktu yang lalu mengakui bahwa kinerja ekonomi makro relatif baik karena kepercayaan investor luar negeri dan dalam negeri. Ketika sebagian dari situasi global buruk, angin buritan bertiup ke kawasan negara berkembang, khususnya Asia dan termasuk Indonesia. Kawasan Asia mendapat keuntungan dari perubahan arah angin buritan tersebut sehingga pertumbuhan investasi dan aliran modal berpindah ke kawasan ini.

    Dengan demikian, perkembangan pasar keuangan menjadi baik dan kondusif karena Indonesia menjadi sasaran investasi portofolio ataupun investasi langsung pada sektor riil. Perkembangan makro ekonomi Indonesia pada 2011 relatif baik. Perkembangan nilai tukar tidak tertekan karena pasokan modal masuk cukup tinggi sehingga nilai tukar hanya mengalami penurunan terkendali sejak September tahun lalu. Akibatnya, kinerja indikator makro ekonomi lainnya mengikuti perkembangan momentum ekonomi yang baik sekarang ini. Pemerintah yang mempunyai keterbatasan dalam eksekusi kebijakan ekonomi mendapat keuntungan dengan keadaan dan perkembangan pasar yang spontan.

    Meskipun ekonomi tumbuh cukup tinggi, faktor pendorong dari pertumbuhan tersebut bukan karena kebijakan ekonomi yang baik, melainkan karena faktor pasar dan dunia usaha yang berkembang baik. Pasar sebagai tatanan spontan telah memberikan dorongan yang besar terhadap perekonomian Indonesia sekarang ini.

    Tetapi sebenarnya, peran ekonomi negara, dalam hal ini pemerintah, masih sangat jauh dari memadai. Contohnya adalah kebijakan fiskal yang dijalankan tidak selaras dengan perkembangan makro ekonomi dan pasar sekarang ini. Dinamika pasar dan dunia usaha yang tengah berkembang sekarang ini menciptakan kelas menengah, yang mendorong balik pertumbuhan itu sendiri. Pada gilirannya, pasar domestik menjadi besar dan bahkan berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.

    Fiskal dan Peran Negara

    Namun, peran negara absen sehingga banyak masalah mikro yang muncul, terutama masalah infrastruktur yang parah, sektor industri yang tumbuh lamban, usaha kecil dan menengah tumbang, masalah kemiskinan di bawah dan di sekitar garis kemiskinan, serta pengangguran terbuka ataupun terselubung. Kinerja makro ekonomi yang baik ini tidak lain karena peranan pasar, dunia usaha, dan momentum ekonomi yang baik.

    Faktor kebijakan fiskal adalah titik lemah dari kebijakan ekonomi sekarang ini. Anggaran bertambah besar, tetapi ruang gerak fiskal sebagai stimulus perekonomian rendah karena strategi fiskal dan kepemimpinan dalam politik anggaran lemah. Akibatnya, ekonomi publik yang seharusnya didorong oleh negara tidak berkembang. Infrastruktur penopang pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak berkembang. Pada satu sisi, pasar dan dunia usaha bertumbuh pesat, tetapi pada sisi lainnya ekonomi publik yang seharusnya didorong oleh pemerintah bertumbuh lamban, stagnan, bahkan mengganggu pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

    Anggaran untuk belanja modal sangat rendah karena ruang fiskal memang sangat rendah. Kebijakan anggaran terjebak ke dalam pusaran belanja yang mengikat, terutama belanja birokrasi yang mahal sekali, baik untuk belanja pegawai maupun belanja barang. Di tingkat pusat, biaya birokrasi yang buruk dan menghambat dunia usaha ini menghabiskan tidak kurang dari Rp 350 triliun. Sedangkan di daerah, belanja birokrasi hampir menghabiskan seluruh anggaran dari total Rp 400 triliun yang ditransfer ke daerah.

    Pembayaran utang, baik dalam negeri maupun utang luar negeri, juga merupakan belanja mengikat yang sangat besar. Tidak kurang dari Rp 140 triliun habis untuk membayar utang tersebut. Padahal, strategi defisit yang dilakukan di dalam APBN tidak dalam rangka tujuan khusus untuk pengembangan kapasitas ekonomi nasional dan pembangunan infrastruktur. Kebijakan defisit yang dilakukan salah kaprah karena berperan sebagai penambal pengeluaran mengikat yang boros.

    Jadi, banyak alokasi pengeluaran yang tidak punya manfaat baik, terutama subsidi yang tidak tepat sasaran. Pemerintah selama bertahun-tahun sengaja membiarkan APBN tergerus oleh subsidi yang salah arah. Ruang fiskal yang sempit disebabkan oleh subsidi yang besar seperti ini, bukan untuk mendukung produktivitas, melainkan karena tidak bisa menyelesaikan dilema subsidi salah arah ini versus inflasi yang dianggap akan menciptakan biaya politik sangat besar. Lebih baik menguras sumber daya ekonomi dan anggaran daripada mengorbankan modal politik sempit.

    Permasalahan fiskal juga berat karena implementasinya yang lemah. Sampai akhir tahun, belanja modal hanya berhasil dipakai kurang dari separuh. Ini naif karena belanja yang ada saja sudah jauh dari memadai, tetapi implementasinya justru membuat pembangunan infrastruktur semakin terbengkalai. Belanja modal sudah sedemikian kecil sehingga tidak cukup untuk membangun infrastruktur yang mendukung dinamika dunia usaha karena implementasinya masih terhambat birokrasi tidak produktif.

    Catatan khusus bagi birokrasi juga perlu diungkap sebagai bagian dari kelemahan kebijakan fiskal kita selama ini. Birokrasi di pusat menggerus pengeluaran terikat yang sangat besar. Dana transfer daerah dari tahun ke tahun semakin besar jumlahnya, yakni sekitar Rp 400 triliun, tetapi anggaran tersebut juga mubazir karena dipakai untuk hanya membiayai birokrasi daerah. Peningkatan dana transfer ke daerah membuat birokrasi menjadi jauh lebih kaya dibandingkan masyarakat banyak.

    Korupsi di daerah sesungguhnya lebih parah dampaknya dibandingkan korupsi di tingkat pusat. Korupsi di daerah sangat meluas dan menyebar di banyak tempat sehingga efektivitas anggaran rendah. Tetapi, yang gegap gempita ada di panggung politik nasional adalah pemberitaan korupsi di tingkat pusat yang sesungguhnya terbatas pada individu-individu. Lebih dari 80 persen anggaran tersebut hanya dipakain untuk melayani birokrasi daerah, khususnya untuk belanja pegawai dan belanja barang (perjalanan, pengadaan, dan peralatan kantor). Keadaan ini merupakan indikasi politik dan kebijakan fiskal yang tidak sehat.

  • Republik Para Karun

    Republik Para Karun
    Hasibullah Satrawi,  Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir;
    Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
    Sumber : REPUBLIKA, 13 Januari 2012
    Sungguh sesak rasanya menyaksikan pelbagai macam persoalan hukum mutakhir di republik ini. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, sebagian pihak berusaha untuk mengurai benang kusut penegakan untuk menerbangkan Negeri Garuda ke angkasa kemajuan dan kesejahteraan. Tapi di sisi yang lain, cukup banyak pihak yang tidak menghendaki benang kusut yang ada terurai-tuntas karena kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat sesaat.

    Uang dan kekuasaan merupakan titik pangkal paling dominan dalam benang kusut tersebut. Karena uang dan kekuasaan, sebuah rumah tahanan bisa disulap menjadi kamar hotel yang sangat mewah seperti yang pernah dilakukan oleh Ibu Ayin. Uang dan kekuasaan bisa membuat seorang tahanan menjadi “pendekar sakti” yang bisa keluar dari penjara, bahkan melanglang buana ke luar negeri seperti yang pernah dialami oleh Gayus Tambunan.

    Uang dan kekuasaan yang dipergunakan secara sesat membuat penegakan hukum di republik ini tak ubahnya acara lawak di televisi yang membuat penonton terbahak-bahak. Sebagaimana uang dan kekuasaan yang disalahgunakan telah membuat lembaga terhormat seperti DPR menjadi gedung miring dan penuh sesak dengan orang-orang miring. Bahkan, uang dan kekuasaan telah membuat dunia hijau sepak bola menjadi gersang dari prestasi.

    Karun
    Pada zaman dahulu, ada seorang kaya raya yang melegenda dalam sejarah panjang peradaban manusia, yaitu Karun. Kekayaan Karun disinyalir bertumpuk-tumpuk di banyak gudang. Hingga kunci dari gudang-gudang yang menyimpan kekayaannya tak mungkin dibawa oleh puluhan orang terkuat sekalipun.

    Dalam tradisi agama-agama samawi, kisah Karun sangat familiar. Kitab-kitab suci agama samawi menceritakan tentang kekayaan dan ketamakan Karun. Bahkan, al-Quran membahas tentang perbuatan brutal Karun dalam sebuah surat khusus yang dikenal dengan kisah-kisah (al-qashash).

    Menurut sejumlah ahli, Karun adalah umat Nabi Musa (atau Moses) as. Bahkan, ada sebagian riwayat yang menegaskan Karun tak lain saudara sepupu Nabi Musa dan Nabi Harun as.

    Dalam kitab tafsirnya berjudul Mafatih al-Ghayib, Ar-Razi melansir suatu pandangan bahwa Karun pernah cemburu dan menggugat keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh Nabi Musa dan Nabi Harun as. Diriwayatkan, Karun merampas apa yang dimiliki oleh Nabi Musa dan Nabi Harun hingga akhirnya kaya raya.

    Saat kaya raya inilah Karun menjadi sosok yang lupa asal karena sebuah hasil. Peringatan yang disampiakan oleh Nabi Musa, Nabi Harun, dan kaumnya tak membuat Karun sadar bahwa dahulu dia bukanlah siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Dan, bahwa semua kekayaan yang dimilikinya hanyalah milik Tuhan yang harus digunakan untuk kebaikan masyarakat dan lingkungannya, bukan justru menyengsarakan masyarakat demi kepentingan pribadi.

    Hingga akhirnya Karun mendapatkan azab dari Tuhan dan semua harta kekayaannya pun karam. Itu sebabnya, sampai hari ini istilah “harta Karun” kerap digunakan dalam konteks penemuan-penemuan benda berharga di lahan-lahan tertentu.

    Satu hal yang harus diperhatikan dari kisah Karun, dialah pemegang kekayaan yang berada dalam posisi yang sangat dekat dengan kekuasaan (Nabi Musa dan Nabi Harun). Kondisi ini tentu sangat menguntungkan bagi Karun untuk memenuhi segala nafsu tamak dan serakahnya walaupun Nabi Musa dan Nabi Harun kerap menegur saudara sepupunya tersebut.

    Konteks Indonesia

    Indonesia saat ini penuh sesak dengan “Karun-Karun berpeci”: hartawan yang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kepentingan dan kekayaannya, hartawan yang berkelit kelindan dengan kelompok-kelompok kuasa, hartawan yang bisa memodali atau membeli pasport seharga 900 juta seperti yang pernah dilakukan Gayus Tambunan, dan hartawan yang memegang akses mematikan di lingkaran kekuasaan.

    Karun di Indonesia saat ini jauh lebih banyak ketimbang Karun pada zaman Nabi Musa dan Nabi Harun di atas. Karun di Indonesia bisa berlatar belakang pengusaha, politikus, bahkan PNS muda. Pastinya, Karun Indonesia adalah mereka yang kerap menggunakan uang dan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya.

    Bedanya adalah, pada zaman dahulu ada sosok Nabi Musa dan Nabi Harun yang bisa menindak tegas perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan oleh Karun. Hingga, masyarakat umum tidak banyak menerima dampak buruk dari perbuatan-perbuatan biadap Karun.

    Namun demikian, keberadaan para Karun di Indonesia saat ini tidak disertai oleh kehadiran Musa dan Harun. Hingga Karun-Karun itu dengan leluasa bisa mengatur hampir segala hal untuk mengamankan kepentingannya. Sebaliknya, masyarakat senantiasa menjadi korban dari aksi-aksi serakah “Karun-Karun Berdasi”.

    SBY dan Boediono sebagai Bapak Presiden dan Wakil Presiden harus meneladani sikap Nabi Musa dan Nabi Harun dalam menyikapi ulah Karun. Otoritas yang ada harus digunakan secara cepat dan tepat untuk menghentikan langkah destruktif Karun-Karun Indonesia. Bila tidak, masyarakat Indonesia akan semakin menjadi korban ketamakan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan mereka.

    Juga, para pemimpin bangsa ini ataupun mereka yang berambisi menjadi pemimpin negeri ini harus meneladani Nabi Musa dan Nabi Harun dalam berjuang mendapatkan kekuasaan. Beliau berdua tidak pernah menggunakan kekayaan Karun ataupun para pemodal untuk mendapatkan kekuasaan. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain.

    Sebaliknya, perjuangan para nabi sarat ketegasan sikap menolak intervensi kaum pemodal dalam meraih suatu kekuasaan. Walaupun dengan iming-iming matahari di tangan kanan dan bulan di tangan kiri sekalipun. Para nabi menjalani semua proses yang ada dengan penuh kesabaran walaupun senantiasa dicerca dan dizalimi. Hingga akhirnya mereka dipilih dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk menjadi pemimpin.

    Inilah sisi lain yang tak pernah terjadi di Indonesia. Para Karun di Indonesia kerap menggelontorkan kekayaan mereka pada momen-momen pergantian kekuasaan. Baik dalam rangka memperebutkan kekuasaan secara langsung ataupun sekadar mendukung pihak-pihak tertentu yang diyakini akan menjadi penguasa pada masa yang akan datang.

    Akibat dari semua ini sudah senantiasa kita saksikan bersama dalam perjalanan republik ini. Para Karun Indonesia mampu mengintervensi (baik langsung ataupun tidak) terhadap hal-hal yang diperkirakan akan mengganggu kepentingan dan kekuasaan mereka.

    Era sekarang bukan era Nabi Musa dan Nabi Harun. Saat ini, Tuhan tidak turun tangan secara langsung (seperti era Nabi Musa dan Nabi Harun) menghancurkan dan menenggelamkan Karun dengan segala kemungkarannya.

    Oleh karena itu, Bapak SBY dan Bapak Boediono sebagai presiden dan wakil presiden harus menenggelamkan Karun-Karun Indonesia. Bila tidak, bukan tidak mungkin pemerintahan  SBY-Boediono yang justru akan ditenggelamkan ke dalam lumpur kejahatan dan ketamakan yang dilakukan oleh Karun-Karun itu.