Blog
-
Meraba Kasus Cek Pelayat
Meraba Kasus Cek PelayatHifdzil Alim, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UGMSumber : KORAN TEMPO, 16 Januari 2012Ada satu lagi keterangan menarik dari kasus cek pelawat. Arie Malangjudo, bawahan Nunun Nurbaetie di PT Wahana Esa Sejati, memberikan informasi ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa uang yang diserahkan ke anggota DPR kala itu kemungkinan besar tak berasal dari kantong Nunun (9 Januari 2012). “Apakah itu uang Bu Nunun? Siapa tahu? Saya tidak tahu. Yang jelas, perusahaan pada saat itu tidak mempunyai uang.” Begitu kira-kira ia mengungkapkan.Keterangan Ahmad Hakim Safari M.J. alias Arie Malangjudo itu seperti membuat kasus suap terhadap anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 menjadi samar. Kita bagai meraba-raba kembali kasus yang awalnya hampir terang-benderang itu. Sebelumnya, muncul keyakinan bahwa pemberian suap ke beberapa anggota Komisi Keuangan pada 2004 ditengarai untuk memuluskan jalan Miranda Swaray Goeltom menduduki kursi Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia.Pintu MasukSamarnya kasus suap tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, 26 anggota DPR pada Komisi IX periode 1999-2004 sudah dipidana. Bahkan ada terpidana yang telah bebas. Di dalam persidangan, mereka mengakui cek pelawat yang masing-masing mereka terima berasal dari pihak lain. Berdasarkan informasi yang beredar, 480 buah cek pelawat bernilai Rp 24 miliar itu dibeli oleh Bank Artha Graha dari Bank Internasional Indonesia atas pesanan PT First Mujur Plantation & Industry.Susah menempatkan pemikiran ketika pihak yang disuap, dalam hal ini mantan anggota DPR, telah divonis bersalah. Tetapi pihak penyuapnya tidak ada. Keterangan yang disampaikan Arie seperti ingin menempatkan bahwa Nunun bukanlah pihak yang menyuap semua mantan anggota DPR tersebut. Dengan pernyataan “perusahaan pada saat itu tidak mempunyai uang” bisa dimaknai PT Wahana Esa Sejati di bawah manajemen Nunun tak memiliki uang sebesar Rp 24 miliar untuk digelontorkan ke mantan anggota DPR.Keyakinan awal untuk menempatkan Nunun sebagai aktor yang menyuap anggota DPR bisa-bisa runtuh jika keterangan Arie Malangjudo itu benar. Bukan Nunun atau perusahaannya yang menyuap. Sebab, pada akhir 2004, tak ada uang di brankas perusahaan Nunun yang cukup banyak untuk diberikan ke anggota DPR.Kedua, kalau, misalnya, bukan Nunun yang menjadi penyuap dalam kasus cek pelawat itu, lalu siapa yang menjadi pihak penyuapnya? Tentu penyuapnya bukan hantu. Untuk menemukan siapa pihak yang menyuap semua anggota DPR periode tersebut, harus diarahkan ke pertanyaan: apa motif pemberian cek pelawat itu?Hampir semua keterangan yang muncul di persidangan mengatakan cek pelawat diberikan karena berhubungan dengan pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI). Artinya, pemilihan DGS BI sepertinya menjadi pintu masuk yang tepat untuk menemukan siapa penyuapnya. Langkah awal yang ditempuh adalah menguak semua keterangan dari persona yang berkecimpung di perhelatan pemilihan DGS BI. Baik panitia maupun orang-orang yang waktu itu maju sebagai calon dewan gubernur senior.Langkah KPK memeriksa Miranda Goeltom tak keliru. Sebab, Miranda adalah calon dewan gubernur senior. Di samping itu, dia memenangi perebutan kursi jabatan top di BI tersebut. Meskipun, dalam pemeriksaan, Miranda berkeras menyatakan tak tahu-menahu dari mana sumber cek pelawat itu. Dia tak tahu siapa sponsor cek pelawat (Koran Tempo, 12 Januari 2012), KPK perlu lebih dalam memeriksa Miranda.Kekuatan BesarKasus cek pelawat tak bisa dipandang sebagai kasus teri. Sebab, kasus ini berkaitan dengan Bank Indonesia, sebuah lembaga keuangan negara yang bersifat independen dan mengendalikan sistem keuangan negara. Boleh jadi ada motif yang sangat besar yang menyertainya.Agus Condro, salah satu terdakwa kasus cek pelawat yang sudah bebas, di depan media mengeluarkan dugaan bahwa ada kepentingan ekonomi atau pengusaha tertentu yang mensponsori pemilihan DGS BI (14/12/2011). Artinya, jangan-jangan kekuatan ekonomi inilah kekuatan besar yang masuk ke pemilihan DGS BI. Hipotesis yang dapat dibangun adalah, apabila BI dapat dipegang melalui salah satu gubernur seniornya pasti kekuatan ekonomi ini akan dengan mudah mempengaruhi kebijakan BI yang bertujuan menguntungkan segala usaha perekonomian sang empunya kekuatan ekonomi.Adanya kekuatan besar yang diduga ikut bermain dalam kasus cek pelawat pernah pula dilontarkan oleh mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas beberapa waktu lalu. Busyro menyatakan, susahnya Nunun digelandang pulang ke Indonesia ketika Nunun belum ditangkap–ditengarai karena ada kekuatan besar yang melindungi Nunun (26 Oktober 2011).Pendekatan rational choice untuk memahami sebuah kekuatan besar yang masuk ke pejabat publik bisa dibangun dengan logika “pasar politik”. Mochtar Mas’oed (1999) mengatakan, dalam logika pasar politik, para pejabat publik berada dalam posisi supply (menawarkan) kebijakan negara. Sedangkan posisi demand(permintaan) diperankan oleh konstituensi, penyumbang dana, dan partai politik.Dengan pendekatan rational choice dan logika pasar politik, dugaan Agus Condro serta lontaran pernyataan Busyro tak boleh dianggap remeh. Sebab, penyumbang dana menjadi salah satu aktor yang dapat mempengaruhi kebijakan negara. Penyumbang dana yang boleh jadi menyediakan 480 buah cek pelawat senilai Rp 24 miliar yang diperuntukkan bagi anggota DPR adalah bagian dari permintaan (demand) untuk mempengaruhi kebijakan pejabat publik (anggota DPR) agar memberikan kemenangan kepada calon Dewan Gubernur Senior BI. Dengan demikian, penyumbang dana, seperti kekuatan ekonomi, bisa mengamankan usaha perekonomiannya melalui gubernur senior yang sudah disponsori.Artinya, jangan-jangan memang benar ada kekuatan besar yang turut serta mengendalikan kasus cek pelawat. Maka, menemukan si pemegang kekuatan besar ini menjadi tantangan berat bagi KPK. Akhirnya, strategi “makan bubur” yang mungkin selama ini dipakai oleh KPK, membongkar kasus korupsi dari luar ke dalam, tampaknya perlu segera diubah. KPK harus masuk langsung ke dalam dengan memanfaatkan keterangan Nunun.Pihak Nunun sendiri sudah beberapa kali menyatakan mau bekerja sama untuk menuntaskan pemeriksaan kasus cek pelawat. Ini adalah momentum yang tepat. Nunun bersedia membantu KPK dalam menemukan siapa sesungguhnya penyuap semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 itu. Selain itu, tak lucu juga jika KPK dicibir oleh publik karena sudah menuntut orang yang disuap, namun gagal menemukan dan menuntut penyuapnya. ● -
Tantangan Salafi di Mesir Pasca-Mubarak
Tantangan Salafi di Mesir Pasca-MubarakOmar Ashour, Direktur Middle East Graduate Studies Program pada Institute of Arab and Islamic Studies, University of Exeter (UK),pengarang The De-Radicalization of Jihadists: Transforming Armed Islamist MovementsSumber : KORAN TEMPO, 16 Januari 2012“Kami menginginkan demokrasi, tapi demokrasi menurut hukum Allah, memerintah tanpa hukum Allah berarti khianat,” demikian dikatakan baru-baru ini oleh Yasser Burhami, tokoh nomor dua Masyarakat Imbauan Salafi (SCS) dan pemimpinnya yang paling karismatik. Melonjaknya perolehan suara Salafi yang tidak diduga dalam pemilihan parlemen Mesir telah menimbulkan kekhawatiran bahwa negara Arab yang paling banyak penduduknya ini bisa menjadi teokrasi fundamentalis seperti Iran.”Koalisi untuk Mesir” atau Koalisi Islam Salafi, yang dikenal karena penafsiran ultra-konservatismenya yang harfiah dan ketat mengenai Islam, dan penolakannya terhadap penafsiran lain, telah memenangi 34 kursi parlemen yang bakal merancang konstitusi baru Mesir. Di samping jumlah tersebut, 78 kursi lainnya telah dimenangkan Koalisi Demokrasi pimpinan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) bentukan Al-Ikhwan al-Muslimun (Persaudaraan Muslim).Dari 168 kursi yang diperebutkan, partai-partai Islam memenangi 112 atau 66,6 persen. Walaupun terlalu dini untuk menentukan hasil akhir pemilihan yang menurut rencana diumumkan pada 11 Januari, putaran berikutnya ada kemungkinan tidak akan berbeda dengan pola perolehan suara sebelumnya. Provinsi-provinsi yang dianggap sebagai benteng tradisional kelompok Islamis akan memulai pemungutan suara pada putaran kedua (seperti Al-Sharqiya dan Suez) dan putaran ketiga (seperti Matruh dan Qalyubiyah).Sebelum berlangsungnya pemilihan bulan November tahun lalu, banyak pihak ragu kelompok Salafi, yang tidak tersentralisasi, tanpa pemimpin, tanpa pengalaman politik, dan penuh kontroversi sosial, itu mampu memperoleh dukungan yang kuat dalam pemilihan. Tapi mereka ikut dalam pemilihan bersama beberapa partai, yang paling terorganisasi dan berpengalaman politik, di antaranya adalah al-Nour (Cahaya). Partai ini telah bergabung dalam koalisi dengan Partai al-Asala (Yang Asli) serta Partai Konstruksi dan Pembangunan bentukan Kelompok Islamis.Al-Nour merupakan salah satu dari dua kelompok Salafi Mesir yang terorganisasi dan tersentralisasi sejak puluhan tahun lalu, sedangkan yang satunya Al-Ansar al-Sunnah (Pendukung Sunnah) relatif apolitis. Akar organisasi Salafi bermula pada 1977, ketika Al-Ikhwan al-Muslimun mendominasi kelompok Islamis pada Universitas Alexandria. Sebagai reaksi atas dominasi ini, mahasiswa-mahasiswa yang bersimpati kepada Salafi, terutama pada fakultas kedokteran, membentuk “Mazhab Salafi”, yang menolak ideologi dan dominasi Al-Ikhwan al-Muslimun atas aktivisme Islamis.Menjelang pertengahan 1985, mazhab Salafi menamakan diri “Masyarakat Seruan Salafi”, yang memiliki lembaga pendidikannya sendiri, Institut al-Furqan, majalah bernama Sawt al-Da‘wa (Suara Seruan), dan jaringan layanan sosial yang luas. Ada Panitia Zakat yang bertugas mendanai dan mengurus rumah yatim-piatu, membantu para janda, melakukan kerja sosial, mendirikan pusat kesehatan masyarakat yang memberikan layanan secara gratis, serta sarana-sarana masyarakat lainnyaPenindasan ini mungkin menjelaskan mengapa reaksi awal pimpinan SCS terhadap revolusi bulan Januari tahun lalu itu begitu lamban. “Mereka pasti mengebom dari udara jika mereka melihat janggut-janggut kami bertebaran di Lapangan Tahir,” kata salah seorang pemimpin SDC. Memang, pimpinan SDC tidak secara resmi mendukung revolusi sampai hari-hari terakhir sebelum jatuhnya Mubarak, walaupun pegiat-pegiat menengah dan akar rumput mereka ikut dalam demonstrasi protes, termasuk Emad Abdel Ghafour, Ketua Partai al-Nour.Yang jelas membedakan SCS dan sayap politiknya, Al-Nour, dari kelompok-kelompok Salafi lainnya adalah pengalaman berorganisasinya dan pemimpin-pemimpinnya yang karismatik. Muhammad Nour, juru bicara Al-Nour di Kairo, mengungkapkan kepada saya faktor yang mendukung kebangkitan partainya. “Media liberal berfokus menyoroti kami. Mereka melakukan kampanye untuk kami secara gratis,” katanya sembari tersenyum. “Ketika mereka dengan gigih memburuk-burukkan nama kami dan kemudian rakyat menyaksikan apa yang kami lakukan di lapangan, maka rakyat memahami bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan media, …bukan dengan kami.”Sekarang in, sudah tentu, kekhawatiran yang mencekam–bukan hanya di Barat, tapi juga di bagian-bagian dunia Arab lainnya–adalah bahwa Al-Ikhwan al-Muslimun (pemenang besar dalam pemilihan) dan Salafi akan bergandeng tangan setelah selesainya pemilihan Januari ini. Tapi kemungkinan terwujudnya hal ini kecil sekali. Seperti dikatakan kepada saya baru-baru ini oleh Nabil Na‘im, salah seorang pendiri organisasi Al-Jihad dan tokoh utama dalam transisi menuju aktivisme tanpa kekerasan: “Koalisi apa? Saya baru saja menengahi gencatan senjata di Fayyoum antara Al-Ikhwan al- Muslimun dan Salafi.”Sebenarnya, komposisi pemerintah yang akan datang mungkin bakal terbentuk lebih oleh mobilisasi akar rumput dan perpecahan ideologi di antara partai-partai Islamis, oleh tindakan yang diambil–dan tidak ambil–Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) dan perilaku partai-partai liberal.Sekarang ini, Al-Ikhwan al-Muslimun tampaknya bertekad, pertama-tama, membatasi peran militer dalam memberi bentuk pada konstitusi. Ia juga ingin memberdayakan parlemen dan memantau badan-badan keamanan negara dengan lebih efektif. Kaum Salafi, sebaliknya, berfokus pada agenda sosial-konservatif untuk memenuhi tuntutan basis pemilihnya.Jika SCAF terus dengan diam-diam mendukung satu pihak, seperti yang dilakukannya sekarang, ia mungkin akan mendorong polarisasi Islamis-sekuler yang lebih luas, bukan cuma memperdalam perpecahan antara Al-Ikhwan al-Muslimun dan Salafi; prospek koalisi FJP-Nour, karena itu, bakal berkembang.Penting bagi kelompok liberal untuk berusaha membatasi polarisasi dengan fokus pada langkah-langkah membangun kepercayaan dengan Al-Ikhwan al-Muslimun, bukan dengan semata-mata bergantung pada SCAF untuk memberdayakan mereka. Seorang pegiat muda melukiskan kemungkinan ini dengan menarik: “Sebagian besar pegiat bersedia dengan senang hati melawan Al-Ikhwan al-Muslimun dan Salafi dalam pemilihan umum dan di jalan-jalan raya jika mereka melanggar hak warga negara. Tapi ini perjuangan kami, bukan perjuangan oleh militer.” ● -
Spirit Semesta Hawking
Spirit Semesta HawkingDian R. Basuki, PEMINAT MASALAH SAINSSumber : KORAN TEMPO, 14 Januari 2012Sesudah Albert Einstein, barangkali Stephen Hawking-lah fisikawan paling populer pada masa sekarang. Dibanding nama-nama masyhur seperti Murray Gell-Mann, Steven Weinberg, Abdus Salam, atau Richard Feynman–semuanya peraih Nobel–Hawking lebih dikenal kaum awam. A Brief History of Time berhasil menebarkan minat akan topik yang pelik hingga keluar dari lingkaran akademisi dan peneliti. Buku yang ditulis serenyah mungkin ini, dengan satu rumus yang tak terhindarkan untuk tidak ditulis, yakni E=mc2, telah terjual lebih dari 10 juta eksemplar.Popularitas Hawking kembali terlihat dari perhatian luar biasa atas ulang tahunnya yang ke-70, 8 Januari lalu. Simposium tiga hari, “The State of the Universe”, digelar di Universitas Cambridge, Inggris, dan dihadiri bukan hanya oleh fisikawan dan kosmolog. Pada hari keempat, simposium ditutup dengan ceramah oleh Hawking lewat rekaman video–ia tak bisa hadir lantaran kondisi fisiknya tak memungkinkan. A Brief History of Mine berbicara ihwal pemahamannya tentang semesta dan perjuangan hidupnya sejak kanak-kanak.Dalam belitan amyotrophic lateral sclerosis yang menyerang sarafnya sejak usia 21 tahun, Hawking dengan begitu mencengangkan memberi kontribusi di bidang kosmologi dan gravitasi kuantum, khususnya dalam konteks lubang hitam. Karya pentingnya mencakup teorema singularitas gravitasional dalam bingkai relativitas umum, yang ia susun bersama Roger Penrose, dan prediksi teoretis bahwa lubang hitam memancarkan radiasi, yang kini dikenal sebagai radiasi Hawking atau kadang-kadang radiasi Bekenstein-Hawking. Ia memberi sumbangan pembuktian matematis untuk no-hair theorem John Wheeler.Nilai penting kontribusi Hawking barangkali dapat digambarkan dalam ucapan seorang ilmuwan yang berbicara dalam simposium Cambridge. Katanya, “Terima kasih, Stephen, Anda telah membuat kehidupan jadi begitu sukar bagi kami.” Tugas ilmuwan berikutnya memang jadi lebih berat. Mereka mesti memberi sumbangan yang lebih berbobot ketimbang kontribusi Hawking atau nama mereka hanya menjadi catatan kaki dalam teori-teori fisika dan kosmologi.Pemahamannya tentang lubang hitam melukiskan upayanya memadukan gagasan mekanika kuantum dan relativitas, dan ini memaksa ilmuwan di kedua sisi yang terpisah berpikir dengan cara yang lebih manunggal. Perburuan terhadap teori tunggal yang mampu menjelaskan segala hal menjadi impian fisikawan sejak dulu. Weinberg, Nobelis Fisika 1979 untuk karyanya yang menyatukan dua gaya fundamental, mengisahkan dengan sangat bagus dalam Dreams of a Final Theory (1993).Mungkinkah mereka menemukannya? “Kita belum memperoleh jawaban definitif atas pertanyaan ini,” tulis Hawking dalam buku mutakhirnya, The Grand Design(2010), “tapi kita sekarang memiliki calon bagi teori pamungkas tentang segala hal, jika memang ada, yakni yang disebut teori-M.” Bagi Hawking, teori-M adalah satu-satunya model yang memiliki seluruh sifat yang harus dimiliki oleh teori yang final, yang melibatkan 10 dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Jika teori ini berhasil dikonfirmasi oleh observasi, kata Hawking, “Kita menemukan grand design” (tanpa Tuhan dalam tafsiran Hawking).Dibanding karya-karya sebelumnya, kebaruan utama dalam The Grand Design ialah Hawking menerapkan tafsiran Richard Feynman atas mekanika kuantum ke dalam alam semesta. Dalam tafsir Feynman, “Alam semesta tidak hanya memiliki eksistensi atau sejarah yang tunggal, tapi mempunyai setiap versi eksistensi yang mungkin secara serentak.” Pemikiran seperti ini sudah dilontarkan oleh Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209), yang menolak konsep geosentris Ptolemeus, yang berarti mendahului Copernicus, Kepler, ataupun Galileo.Dalam separuh abad kariernya sebagai ilmuwan, Hawking kerap menawarkan pemikiran yang menantang. Ia mengajak manusia mencari planet lain, karena manusia tidak akan mampu bertahan hidup di bumi. Ia mempercayai alien. Namun kerap pula ia memikirkan ulang pandangan yang sudah ia tawarkan. Seorang rekannya mengatakan Hawking siap merevisi pendapatnya bila ia menemukan sesuatu yang lebih benar. Teorinya bahwa lubang hitam memancarkan radiasi merupakan contoh penting dari pencariannya yang tak kenal henti.Andaikan ia tidak bersedia memikirkan gagasan Jacob Bekenstein, seorang mahasiswa pascasarjana, yang ia anggap menyelewengkan teorinya tentang permukaan lubang hitam, dan merevisi pemikirannya, Hawking mungkin menyesal telah melakukan kesalahan. Teori radiasi lubang hitam telah mengabadikan namanya, tapi hingga kini belum membukakan jalan bagi sampainya Nobel di tangannya. Satu hal jadi penyebab: radiasi lubang hitam belum diobservasi, sehingga teori Hawking belum diverifikasi.Perubahan pandangan dalam konteks radiasi lubang hitam, di sisi lain, memperlihatkan bahwa Hawking berani melakukan self-correcting process dalam upayanya menemukan kebenaran. Ia ingin publik awam mengetahui bahwa ilmuwan bisa berubah pikiran, bahwa ilmuwan mesti siap mengakui dirinya keliru. Ia tidak sepakat dengan orang-orang yang memandang sains sebagai kebenaran monolitik yang tak mungkin salah. Dalam konteks ini, ia sepakat dengan falsifikasi Karl Popper.Bagai rock star (suaranya pernah diadopsi grup Pink Floyd untuk lagu Keep Talking dalam album The Division Bell), orang awam sekalipun menantikan apa yang dipikirkan lagi oleh Hawking. Ia patut dipuji karena berada di barisan ilmuwan papan atas, seperti Einstein, Weinberg, Feynman, dan Carl Sagan, yang dengan senang hati menularkan pengetahuannya kepada publik luas. Bersama anaknya, Lucy Hawking, ia menerbitkan George’s Secret Key to the Universe, buku sains untuk anak-anak yang dilukiskan “seperti Harry Potter, tapi tanpa magic“.Hingga usia 70, semangat pencarian Hawking belum padam. Hasratnya untuk menukik hingga ke dasar setiap misteri semesta terus terjaga. Barangkali ini karena harapan hidupnya pernah merosot hingga ke titik nol di usia 21 tahun, dan selebihnya adalah bonus yang harus ia sambut dengan sukacita. “Tataplah bintang-bintang, bukan kakimu,” kata Hawking di hadapan peserta simposium. “Be curious. Betapapun sukar kehidupan itu kelihatannya, akan selalu ada yang bisa engkau lakukan, dan berhasil. Penting bahwa engkau tidak menyerah.” ● -
“State Capture” dan Korupsi Politik
“State Capture” dan Korupsi PolitikBurhanuddin Muhtadi, DOSEN FISIP UIN JAKARTA DAN PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIASumber : SINDO, 14 Januari 2012Sebuah fakta kooptasi dan penghisapan negara oleh elite kapital berhasil dipetakan oleh survei Business Environment and Enterprise Performance Survey (BEEPS) yang dilakukan Bank Dunia dan European Bank for Reconstruction and Development (EBRD).
Survei ini dilakukan dalam empat tahap, dimulai sejak 1999 hingga 2009 dengan sampel sebanyak 6.500 hingga 11.800 perusahaan di 29 negaranegara Eropa Timur dan Asia Tengah (bekas pecahan Uni Soviet). Survei BEEPS membagi relasi perusahaan dan negara dalam tiga bentuk. Pertama, state capture atau pemberian suap kepada pejabat publik/ pengambil keputusan untuk memengaruhi pembuatan UU dan peraturan. Kedua, influence, yakni kapasitas perusahaan dalam memengaruhi proses pembuatan kebijakan tanpa harus membayar suap.Ini karena pemilik perusahaan adalah tokoh politik atau “interaksi” yang cukup dekat dengan pejabat. Ketiga, korupsi administratif berupa sogokan kepada pejabat atau penegak hukum agar tidak melaksanakan aturan sebagaimana mestinya. Untuk mengukur state capture dilihat dari sisi “dampak”dan “perilaku”.Ada enam komponen yang membentuk indeks tinggi rendahnya state capture: (1) jual beli keputusan di parlemen untuk kepentingan perusahaan, (2) jual beli keputusan presiden, (3) korupsi di Bank Sentral, (4) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus kriminal, (5) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus perdagangan, serta (6) sumbangan untuk partai dan kampanye politik.
BEEPS menemukan state capture sangat tinggi di Azerbaijan, Bulgaria, Kroasia, Rusia, Georgia, Latvia, dan Ukraina. Adapun perusahaan yang memiliki pengaruh (influence) dibedakan pada dua level, di tingkat eksekutif dan legislatif.Korupsi administratif diukur melalui pertanyaan yang diajukan kepada pemilik atau manajer perusahaan: “Berapa proporsi dari keuntungan rata-rata per tahun yang diberikan kepada pejabat publik sebagai pemberian tak resmi?” Hasilnya, negara-negara pecahan Uni Soviet lebih tinggi tingkat korupsinya ketimbang negara-negara di Eropa Timur.
State Capture di Indonesia
Sayangnya BEEPS tidak memasukkan Indonesia sebagai negara yang disurvei sehingga kita mendapatkan gambaran lebih spesifik mengenai state capture di Indonesia. Bisa jadi gejala state capture di Indonesia lebih buruk ketimbang negara-negara yang disurvei BEEPS.Sudah menjadi rahasia umum, calon-calon pejabat publik atau penegak hukum sudah “diijon” dengan memenuhi segala kebutuhan materiil sejak mereka masih sekolah. Ada dua alasan utama mengapa state capture berkembang biak di Indonesia.
Pertama, secara kultural, feodalisme menjadi hambatan pemberantasan korupsi.Dalam teori negara patrimonial,relasi pemimpin atau elite politik sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyat bersifat asimetris. Sebagai patron, elite polit i k m e n – dominasi sumber daya ekonomi-politik. Siapa pun yang ingin mendapat akses sumber daya politik maupun ekonomi harus melayani sang patron. Praktik busuk inilah yang terjadi di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan kita. Terjadi lingkaran korupsi yang melibatkan anggota DPR dan birokrat sebagai patron dengan pengusaha sebagai klien.
Proyek baru diberikan kepada pengusaha yang dianggap paling memuaskan dalam memberikan “pelayanan” kepada anggota DPR dan birokrat. Dalam hubungan dyadic dengan DPR, birokrat memerankan diri sebagai klien untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kaum birokrat biasanya mendapatkan dana suap dari pengusaha.Contoh paling gres adalah dugaan suap Wa Ode Nurhayati dan mafia Banggar lainnya serta kasus penyuapan dua pejabat di Kemenakertrans oleh pengusaha yang dijanjikan mendapat proyek infrastruktur.
Ironisnya, relasi patronklien dilembagakan melalui otoritas dan kewenangan partai politik yang semakin besar pasca-Reformasi. Partai adalah produsen utama pejabat publik, mulai dari presiden hingga bupati. Secara ketatanegaraan, kewenangan DPR dalam menentukan pejabat dan kebijakan publik juga semakin besar sehingga terjadi legislative heavy. Alasan kedua mengapa state capture lebih parah adalah manajemen partai yang jauh dari nilainilai transparansi dan akuntabilitas. Rumus korupsi adalah monopoli kekuasaan (monopoly of power) ditambah diskresi pejabat (discretion of officials) minus accountability.
Jika akuntabilitas partai dan transparansi sumber pendanaan partai lemah, kewenangan besar tadi bisa diselewengkan oleh partai atau elitenya.Kasus Nazaruddin harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa partai yang makin kuat. Untuk itu, pengaturan dana parpol mutlak dilakukan, termasuk pembatasan penerimaan maupun pengeluaran, baik untuk kebutuhan operasional partai maupun pengeluaran saat kampanye. Jika tak ada pembatasan spending kampanye, partai makin tergantung sumbangan dari pihak ketiga.
Thomas Ferguson dalamInvestment Theory of Party Competition (1995) menyatakan bahwa dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money-driven political system), kebijakankebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elite bisnis dan investor. Tak ada makan siang gratis. Sumbangan kepada partai adalah bentuk investasi yang memberikan return berupa kendali atas negara.
Pelan tapi pasti, pusat kekuasaan bergeser ke arah plutarchy (penguasaan negara oleh oligarki kaya) karena parpol akan tereduksi menjadi sekadar bawahan segelintir elite korporasi.Partai atau kadernya tak lebih menjadi proksi atau anak perusahaan yang kebetulan ditempatkan di DPR dan birokrasi pemerintahan.
● -
Era Sandal Jepit
Era Sandal JepitBakdi Soemanto, PEMERHATI KEBUDAYAANSumber : KOMPAS, 14 Januari 2012Peristiwa bocah yang dituduh mencuri sandal jepit seorang polisi disidang—akhirnya bocah itu dinyatakan bersalah karena terbukti melanggar beberapa pasal KUHP—berkembang menjadi wacana yang hiruk-pikuk.Hampir setiap orang tahu, keputusan hakim dinilai tidak adil. Ini yang menarik. Pernyataan opini publik itu sebenarnya bukan sekadar suatu produk mulut yang asal terbuka: dalam bahasa Jawa kasar disebut asal jeplak.Pandangan kurang menghargai opini di media massa semacam itu sering terdengar di forum bergengsi, seperti yang dimoderatori oleh Bang Oné dalam acara TV One. Kata-kata yang mengungkap bahwa opini publik yang dilansir media massa tak bisa dipercaya dan diucapkan oleh pengacara bisa dipahami sebab mereka membela para koruptor dan dibayar sangat tinggi.Pandangan opini publik di koran, televisi, dan radio mereka pandang tak pantas dipertimbangkan. Hanya hasil persidangan formal yang tepercaya. Dalam jagat akademik, data dan opini di koran tak bisa digolongkan sebagai yang berotoritas tinggi.Istilah ini terdengar sayup-sayup—kalau tak salah—pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Istilah itu diucapkan oleh Andries Teeuw, ahli filologi dari Belanda, yang mengecam media massa digunakan sebagai sumber penulisan akademik. Andries Teeuw hanya paham tulisan, rentetan sejumlah huruf, sebagai yang formal. Ia tak paham ada jutaan manusia di balik huruf itu, juga kehidupan yang menggetarkan, bahkan kecemasan dan ketakutan yang membuat seluruh tubuh menggigil dan justru itulah dorongan utama lahirnya karya-karya sastra kuno ataupun kini.Kalau saja Andries Teeuw pernah masuk ke jagat akademik seni di Surakarta, dia akan mendengar istilah ”harga sandal jepit” yang artinya harga murah makanan-makanan tertentu bagi mahasiswa. Makanan seperti itu pasti tidak memiliki ”otoritas tertinggi” sehingga kredibilitasnya tak bisa digunakan untuk menopang penelitian akademik jagat kuliner.Menurut hemat saya, diadilinya si bocah yang mencuri sandal jepit dan dinyatakan bersalah karena terbukti melanggar pasal-pasal tertentu dalam KUHP kiranya pantas menjadi penanda tahun. Sebutlah tahun saat pencurian sandal itu sebagai ”Tahun Sandal Jepit”. Istilah ini memiliki konotasi yang luas dan dalam. Ia mengingatkan peristiwa pencurian pisang oleh seorang yang tak waras yang terjadi tak jauh dari peristiwa ”sandal jepit”. Tak hanya itu. Juga peristiwa sepele lain yang banyak sekali.Tiba-tiba peristiwa itu terasa mencuat, sementara orang banyak mulai cuek dengan berbagai ketidakberesan yang kian hari kian banyak. Pemunculan ”peristiwa teater sandal jepit” itu menandai hampir seluruh peristiwa peradilan, mulai dari tingkat bawah sampai Mahkamah Agung.Jelasnya, jika seorang koruptor kelas kakap bisa dengan sangat mudah pada akhir peradilan dinyatakan bebas tak bersyarat, nama baiknya direhabilisasi, sebenarnya orang awam di luar peradilan melihat dengan jelas bahwa proses pengadilannya dilaksanakan tidak serius, tidak profesional. Mengapa? Sebab, jauh sebelum tuntutan dibacakan, keputusan hakim sudah dibuat: bebas tanpa syarat.Membuat keputusan semacam itu sebenarnya mudah sekali. Terbayang bahwa berkas-berkas tuntutan yang sudah di tangan hakim tak sepenuhnya dibaca. Kalau toh dibaca, itu dilakukan sambil membayangkan cek lawatan atau kunci mobil Jaguar yang akan segera ia terima. Barangkali kurang beberapa jam sebelum sidang dimulai hakim baru melihat-lihat sedikit catatan prosesnya, kemudian diendusnya lalu dengan lantang hakim ketua berteriak, ”Bebas!”Tentu saja cara kerja seperti ini bisa digolongkan kerja model ”sandal jepit”. Semangat ”sandal jepit” seperti ini juga terbayang oleh rakyat banyak ketika para petugas yang ditunjuk diinstruksikan menyelesaikan kasus Bank Century. Karena SBY sudah memerintahkan agar kasus Bank Century dibuka hingga terang benderang, petugas yang ditunjuk pun melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hasilnya beres-beres saja!Jika ketakpuasan rakyat terungkap di koran, para petugas pun mengatakan ”komentar-komentar di koran tidak bisa digunakan sebagai patokan” karena tidak punya ”otoritas tinggi”. Satu-satunya patokan yang tepercaya adalah hasil formal yang dilakukan petugas. Jadi, dengan sangat jelas proses penyelidikan Bank Century itu masuk dalam kategori penyelidikan ”sandal jepit”.Proses hukum yang sebenarnya dilakukan terhadap Nunun, Gayus, atau Nazaruddin senantiasa menjadi pertanyaan besar. Terbayang, tindakan mereka menyangkut para petinggi negara. Apa yang dinyatakan oleh SBY bahwa penyelidikan kasus-kasus korupsi tak boleh dipolitisasi memang benar. Cocok. Secara formal pas! Seperti ketika SBY mantu, di undangan tertera ”tidak menerima sumbangan”. Itu formalnya. Yang tak formal?Dari sini tampak bahwa yang formal ternyata berkualitas ”sandal jepit” saja. Justru yang tak formal sangat bernilai tinggi karena menyangkut harkat dan martabat manusia yang tak pernah terbaca oleh mereka yang tenggelam ke dalam pandangan formal.Sangat tepat apa yang dikatakan Hedi Sahrasad dan Taufik Rahzen: penegakan hukum telah kehilangan moralitas (Kompas, 7/1). Jika ada orang bertanya mengapa hal itu terjadi, jawabnya adalah bahwa kita hidup dalam era ”sandal jepit”. Tidak ada yang ditangani dengan serius atau sungguh-sungguh kecuali menyangkut masalah uang yang miliaran dan triliunan.Dalam pidato ilmiah menyambut Dies Natalis UGM pada 19 Desember 2011, Prof Dr Mochtar Mas’ud menegaskan bahwa negara masa kini tertelikung pasar. Karena itu, negara tidak berdaya. Demikian pula sekarang kita lihat, peradilan tidak berdaya karena juga tertelikung miliaran dan triliunan rupiah. Anggota-anggota DPR pun demikian pula.Sandal jepit yang dicuri oleh AAL itu berteriak, ”Sandal Jepit!” Ia berjasa besar merumuskan Zeitgeist atau jiwa zaman masa kini: Zaman Sandal Jepit. Tidak mungkinkah kita mengusulkan supaya ia, sekurang-kurangnya, mendapat hadiah Ahmad Bakrie? ● -
Membaca atau Mati
Membaca atau MatiAgus M. Irkham, KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGANPENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKATSumber : KORAN TEMPO, 14 Januari 2012Judul di atas disulih-alih dari ungkapan yang terdengar pada zaman perjuangan kemerdekaan RI. Merdeka atau mati! Lebih baik mati (eksistensial) daripada hidup terjajah (mati substansial). Begitu kira-kira makna pekik perjuangan itu. Dalam deskripsi yang berbeda: keterkungkungan pikiran, daya, gerak, dan jiwa pada akhirnya akan membawa kematian wadak. Mati dalam arti paling mendasar.Kini tentu saja penjajahan dalam arti kolonialisme purba sudah tidak ada lagi di Indonesia. Tapi penjajahan dalam arti substansial naga-naganya masih berlangsung. Ironisnya, penjajahan itu diproduksi oleh si terjajah itu sendiri. Sadar atau tidak. Bentuk penjajahan diri (self colonization) itu berupa keengganan membaca, terutama buku.Padahal keengganan membaca akan menyebabkan kematian. Tentu bukan kematian formal-fisik. Tapi kematian ideal-substansial. Berwujud kejumudan pikiran, sempitnya gerak-peran sosial, dan keterasingan jiwa serta rendahnya kesadaran diri untuk selalu merasa terpanggil mengurusi masalah kehidupan.Manusia jenis demikian, meminjam ungkapan almarhum Muhammad Zuhri (2007), meskipun masih dapat melangsungkan hidup secara fisik, sebagai manusia sebenarnya mereka telah mati. Sebab, ruang yang dijelajahinya tinggal ruang bersifat fisik. Adapun ruang gerak dan bertumbuhnya umat manusia adalah tanggung jawab.Apa pasal keengganan membaca bisa menyebabkan kematian ideal-substansial?Manusia tercipta dilingkupi keterbatasan. Baik ilmu, informasi, ruang, maupun waktu. Untuk menutup kekurangan itu, ia harus belajar. Dan salah satu sarana pembelajaran adalah buku. Di Indonesia, aktivitas membaca buku identik dengan aktivitas di sekolah dan saat kuliah. Padahal, kalau dihubungkan dengan pengertian dasar belajar yang dirumuskan UNESCO (1945), haruslah seutuh usia (lifelong learning).Jadi kewajiban membaca buku itu tidak hanya pada usia sekolah dan kuliah (7-27 tahun), tapi justru tahun-tahun sesudah itulah yang sangat menentukan. Saat tidak lagi sekolah dan kuliah. Saat tidak lagi berada di lembaga pendidikan formal. Saat tidak lagi ada kewajiban membaca buku. Sebab, jika setelah usia belajar formal selesai, berhenti pula aktivitas membaca buku, lantas dari mana bahan ajar bisa didapat? Jika situasi itu menjadi kecenderungan mayoritas, dapat disimpulkan pula kematian ideal-substansial sebagian besar penduduk Indonesia dimulai saat usia 28 tahun!Saya kira inilah salah satu pekerjaan rumah berat para pegiat komunitas literasi dan Taman Bacaan Masyarakat, yakni menyadarkan orang-orang yang sudah tidak lagi berada di usia belajar formal agar terus membaca. Apalagi dalam kenyataannya, pada masa seharusnya membaca saja, sementara kita jarang atau bahkan tidak membaca, apalagi jika sudah masuk fase “dibebaskan” dari kewajiban membaca.Selain membaca sebagai media pembelajaran seumur hidup, membaca merupakan fitrah asasi setiap anak manusia. Kita semua lahir dibekali dengan yang namanya rasa ingin tahu atau curiosita, sebuah dorongan instingtif alamiah pemberian Tuhan yang harus dipenuhi. Sebagaimana makan untuk memenuhi rasa lapar, maka membaca adalah upaya memberi makan otak dan jiwa kita agar tidak kelaparan.Kelaparan jiwa akan melahirkan disharmoni, baik personal maupun komunal. Wujud konkretnya sikap tak peduli (pesimistis-apatis-naif), individualistis, tak acuh terhadap problem-problem keumatan, instan, kecenderungan menerabas atau melanggar sistem, tidak mengalami kepahitan hati saat mata menyaksikan penderitaan, tidak merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari solusi, cara berpikirnya sangat parsial-jangka pendek, rasa keterasingan (alienasi), serta tidak merasa ikut bertanggung jawab atasrealitas yang tengah berlangsung.Salah satu “gerai” tanggung jawab kehidupan itu adalah soal perkembangan kualitas berdemokrasi. “Manusia sebagai perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa membaca, tanpa berbudaya membaca. Namun sebuah demokrasi hanya akan berkembang, apalagi survive, apabila para warganya adalah pembaca, dan individu-individu yang warganya merasa perlu membaca, bukan sekadar penggemar dan gemar berbicara.”Dalam konteks ucapan Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1978-1983) di atas, frasa “membaca atau mati” saya kira semakin mendapati dasarnya. Jadi yang mati itu bukan fisik, tapi umur biologis-penumbuhan dan perkembangan hidup berdemokrasi. Yang berarti pula perkembangan kesadaran individu-individu pelakunya. Perkembangan-perbaikan kualitas kehidupan warga negara. Itu sebabnya, mengapa membaca betul-betul menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi diandaikan jika ingin meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi.Kegemaran membaca buku dalam konteks kehidupan berdemokrasi akan melahirkan kemampuan literasi (keberaksaraan) politik, yaitu kesanggupan mendaras informasi, baik berupa teks maupun non-teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Keberaksaraan politik memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif–budaya demokrasi.Dengan kata lain, keengganan membaca akan melahirkan kebutaan politik, yakni ketidakmampuan menggali serta memilih dan memilah informasi, rumor, desas-desus, dan klaim politik; melakukan check-recheck; menganalisis informasi politik yang didapat; serta menggunakan itu semua sebagai pertimbangan sebelum menentukan satu pilihan dari sekian banyak pilihan bentuk partisipasi politik.Rendahnya tingkat keberaksaraan politik membuat partisipasi politik warga–preferensi atas kandidat pemilik kuasa birokrasi dan politik, misalnya–lebih dominan disandarkan pada ikon, citra, serta kecakapan wajah. Bukannya program dan kecakapan kerja. Preferensi politik menjadi sebuah pilihan tidak sadar karena mengabaikan unsur kehati-hatian, pengawasan, dan informasi lengkap rekam jejak kandidat. Mau bukti? Tengok mayoritas jalannya pemilihan kepala daerah di Indonesia. ● -
Budaya dan Seni, ISI dan ISBI
Budaya dan Seni, ISI dan ISBIAgus Dermawan T., KRITIKUS; PENULIS BUKU-BUKU SENISumber : KOMPAS, 14 Januari 2012Upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengonversi Institut Seni Indonesia menjadi Institut Seni Budaya Indonesia menuai kontroversi. Ihwal ”budaya” diusung tinggi dalam nomenklatur (penamaan) perguruan dan disejajarkan dengan ihwal ”seni”.Konversi ini seperti menarget agar yang muncul dari ISBI nantinya bukan hanya ahli (pencipta) seni saja, melainkan juga ahli (pencipta) kebudayaan.Padahal, kebudayaan tak lain adalah wujud cantik peradaban yang tumbuh sebagai hasil kebersamaan dalam sebuah komunitas besar. Dengan begitu, kebudayaan, sebagaimana kehidupan, sesungguhnya tidak perlu pencipta ahli dari perguruan.Kebudayaan Itu AkalKebudayaan, atau sistem budaya, berasal dari kata buddhayah (Sanskerta) sebagai bentuk jamak dari buddhi, atau budi, atau akal. Maka, kebudayaan bisa diartikan sebagai ”segala sesuatu yang berkaitan dengan akal”.Bertaut dengan akal yang tiada berbatas, kebudayaan menawarkan pengertian sangat luas. Maka, AL Kroeber dan C Kluckhohn dalam buku Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952) menemukan 164 definisi tentang kebudayaan.Keramaian definisi itu membuahkan wujud-wujud kebudayaan seperti yang dikristalkan Koentjaraningrat. Wujud pertama adalah kompleksitas gagasan, nilai, norma, peraturan, dan semacamnya. Wujud kedua adalah kompleksitas aktivitas serta tindakan berpola dari manusia kala menjalani hidup dalam masyarakat. Wujud ketiga hadir sebagai benda-benda karya manusia, seperti beragam peralatan hidup hingga segala ciptaan yang bernilai seni, atau kesenian.Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan adalah kompleksitas kemampuan dan kebiasaan yang dibentuk masyarakat. Ini mencakup kepercayaan, pengetahuan, moral, etika, adat-istiadat, hukum, dan kesenian.Mata AjaranDengan pemahaman demikian, kebudayaan sebenarnya hanya perlu diajarkan sebagai salah satu pengetahuan dalam institusi pendidikan seni. Sebagai langit penaung segala penciptaan seni. Kebudayaan tidak perlu diangkat menjadi sosok otonom dalam nomenklatur lembaga. Oleh karena itu, saya sepakat dengan pendapat Agus Priyatno dalam artikel ”Sekolah Seni Idealnya Bagaimana?” (Kompas, 7/1).Perguruan tinggi seni sebaiknya berkonsentrasi kepada pendidikan seni saja. Apalagi, kita tahu, karya seni yang baik harus dilahirkan dari keahlian optimal. Ini sejalan dengan asal mula seni dari kata Latin, ars, yang artinya ahli atau mumpuni dalam pemikiran estetik dan mempresentasikan ide estetik. Tanpa pendidikan yang terkonsentrasi dan intensif, keahlian itu tak akan pernah terwujud.Kita masih percaya bahwa seni atau kesenian adalah sosok paling aksentuatif dalam perikehidupan sebuah bangsa, terutama bagi bangsa Indonesia yang dari ke hari semakin memerlukan pencerahan. Dengan begitu, pendidikan seni sangat diperlukan mengingat sedikitnya manusia yang ditakdirkan jadi penggagas seni.Sangat sedikit manusia yang berhasil tampil sebagai seniman, figur yang mampu menciptakan rasa senang (dalam arti luas) di tengah kehidupan.Yang tak kalah penting, kesenian juga harus diperkenalkan kepada masyarakat luas untuk diapresiasi, termasuk kepada para pemimpin dan segenap orang (yang merasa) ”tinggi” di masyarakat. Kesenian agar ditempatkan pada posisi terhormat sehingga tidak dilecehkan.Kelas BawahDalam benak sebagian masyarakat, kelas seni memang masih di bawah. Dalam acara Indonesia Lawyers Club di televisi, pembawa acara Karni Ilyas bertanya kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru, Abraham Samad, ”Mengapa Anda tidak bicara banyak mengenai kasus yang ditangani KPK?”Abraham menjawab, ”Ketua KPK, kan, bukan pemain sinetron yang ke sana kemari boleh ngomong apa saja.”Dalam acara yang sama pada waktu yang berbeda, pengacara Hotman Paris Hutapea mencerca pentolan Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Menurut Hotman, semua omongan Ruhut bak pemain sinetron, tidak ada yang benar. Hotman pun menyebut Ruhut, ”pelawak!”Para tokoh itu tahu, pemain sinetron dan pelawak adalah seniman, pekerja kesenian. Masyarakat non-kesenian Indonesia juga menganggap kasta kesenian rendah dalam pranata sosial.Ketika pemain sinetron Rieke Diah Pitaloka dan penyanyi-presenter Tantowi Yahya terpilih jadi anggota DPR, sejumlah pengamat politik mengatakan mereka naik kelas. Begitu juga ketika Rano Karno jadi Wakil Gubernur Banten dan Dedi ”Miing” Gumelar jadi anggota DPR.Ujung kalam, rasanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak perlu mengibarkan bendera kebudayaan, apalagi dengan tiang yang keliru. Yang perlu diangkat justru derajat kesenian. Kesimpulannya, tetaplah ISI, tidak perlu ISBI. ● -
Kebudayaan di Penjara Hukum
Kebudayaan di Penjara HukumRadhar Panca Dahana, BUDAYAWANSumber : KOMPAS, 14 Januari 2012Pengalaman ini memalukan dan memberi banyak pelajaran. Sebagai seorang anak usia sebelas tahun, saya mencuri uang orangtua karena ”dendam” merasa dianaktirikan.Akan tetapi, saya kepergok. Saat uang Rp 300 itu saya pegang dan hendak saya keluarkan dari laci lemari, saya merasa ada kehadiran seseorang di belakang punggung. Benar, ia ibu saya sendiri.Saya tak mengurungkan niat mencuri. ”Protes” kepada orangtua lebih menguasai. Saya ambil uang itu dan pergi melewati ibu saya tepat di ujung hidungnya. Saya tidak pernah paham kenapa ibu saya, yang hajah, Jawa tradisional, dan mengorbankan segalanya untuk pendidikan ketujuh anaknya, tak sedikit pun menegur.Saya membelanjakan uang curian itu dengan jajanan, yang tidak berhasil saya makan—dan akhirnya saya berikan kepada pengemis kecil—karena wajah perempuan yang mengeras dan berombak itu memenuhi visi saya. Sampai hari ini.Namun sejak itu, terutama setelah saya berhadapan dengan anak saya, anak didik, mahasiswa, atau siapa pun di berbagai forum dan lembaga pendidikan, saya hanya memiliki satu tuntutan moral yang tidak mungkin ditawar: tidak mencuri dan berdusta. Kebaikan dan kejahatan manusia, sejak tingkat terkecil dan termula, berawal dari satu moral itu.Mungkin itu pelajaran terpenting: kebudayaan, betapapun diformulasi secara ketat sebagai upaya terbaik manusia dan kemanusiaan untuk meluhurkan spesiesnya, tetap memproduksi ketidakluhuran sebagai sisi kedua dari koin yang sama.Agama, ideologi, ilmu, adat, hingga politik, hukum, ekonomi adalah produk-produk kebudayaan yang kita lahirkan dan warisi untuk tujuan mulia di atas. Suatu tujuan yang tidak akan pernah melahirkan sebuah adab yang secara menyeluruh suci, mulia, atau humanis. Idea(lisme) seperti itu tinggal sebagai sesuatu yang abstrak (idea) bahkan kadang absurd. Hidup pun tinggal sebagai pertarungan baik dan buruk yang inheren ada dalam diri manusia, baik personal maupun komunal.Dalam perjuangan abadi manusia itu, ironi ataupun tragedi kita jumpai bahkan turut kita produksi, termasuk ketololan atau kenaifan yang kita lakukan. Apa yang terjadi pada AAL yang divonis oleh sistem hukum kita bersalah karena mencuri sepasang sandal, atau sukses remaja pelajar melahirkan mobil Kiat Esemka, adalah peristiwa mutakhir yang menamparkan ironi—bahkan tragedi—pada wajah kedewasaan hukum, politik, serta ekonomi kita sebagai negara dan bangsa.Dusta PeradabanDalam negeri dan masyarakat yang membayangkan hukum memiliki posisi supreme, hukum pun jadi palu besi yang akan menghancurkan kekerasan apa pun yang dilakukan/dimiliki oleh para penentang atau pengkhianatnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum tetap adalah sebuah produk kultural (manusia) yang sekuler, naif, sangat lemah, dan membesi hanya pada retorikanya, bukan pada praktiknya.Manusialah sebagai pelaksana dan eksekutor hukum. Manusia juga yang secara sadar melakukan gerak sentripetal yang menjadi kebalikannya. Hal terakhir ini sudah menjadi sifat alamiah manusia, yang sejak mula kebudayaan—tak hanya dalam agama—menganggap dirinya sebagai entitas terkuat, tertinggi, superior, atau khalifah di atas bumi.Bukan hanya kecemburuan asali, juga sesungguhnya adalah dusta peradaban, ketika manusia harus menyerahkan superioritasnya itu kepada produk yang akal-akali sendiri: hukum. Maka, sudah menjadi naluri dasar, manusia memperlihatkan kedigdayaan kodratinya dengan cara mempersetankan dan mengkhianati hukum. Semua peralatan dan aparatus hukum sebenarnya ada untuk mencegah atau melawan sesuatu yang naluriah itu. Namun, maaf, aparatus itu ternyata juga manusia, dengan kompleks diri yang sama, yang membuat palu besi hukum tinggal rongsokan atau besi kiloan yang bisa dibeli atau digadai di mana dan kapan saja.Apa yang sebenarnya membuat kita tetap percaya dan berusaha mempertahankan sebuah hukum adalah terpelihara dan dilahirkannya secara berkesinambungan para panglima yang tegar, jujur, dan tidak mencuri. Di titik ini, hukum tak lagi berbicara, tak ambil bagian. Namun, yang banyak berperan nilai-nilai dan moralitas luhur yang mengendap atau terinternalisasi ke dalam diri para panglima itu, sebagai hasil kerja kebudayaan atau diistilahkan dengan pembudayaan.Dalam pengertian dasar ini, hukum dalam bentuk materiilnya tetap jadi kertas dan kata-kata kering. Ia jadi alasan dan tujuan kita melakukan pembudayaan melalui internalisasi di atas. Hukum yang bekerja tanpa proses pembudayaan semacam ini akan jadi anak panah tanpa arah, senantiasa keliru dalam sasaran.Pemberadaban BangsaSebenarnya, dalam makna fundamentalnya, kerja-kerja kemasyarakatan dan kenegaraan kita adalah proses pembudayaan manusianya, proses pemberadaban bangsanya. Fundamen inilah yang absen dalam kesadaran strukturalistik kita. Kerja-kerja ekonomi, politik, keilmuan, misalnya, hanya selesai pada pencapaian- pencapaian pragmatis dan materialistis. Alhasil, secara menyeluruh kebudayaan dan pembudayaan internal kita sudah tersandera oleh praktik sistemis itu.Ketika kebudayaan ”dikembalikan” pada pendidikan, adalah hal yang sangat keliru membayangkan persoalan telah diselesaikan. Apalagi jika berilusi bahwa kebudayaan hanya sebuah kerja sektoral dari pendidikan. Sebaliknya, pendidikan hanyalah satu sektor, betapapun vitalnya, dari kerja besar pembudayaan bangsa ini.Setiap elemen kebangsaan dan kenegaraan, instansi, institusi, ormas, dan sebagainya adalah aktor-aktor utama dalam proses besar ini. Bila tidak ada unit yang bekerja khusus untuk kebudayaan di semua elemen itu, semestinya kesadaran pembudayaan ini menjadi salah satu nilai dasar dari semua kerja, termasuk semua departemen dalam kabinet misalnya. Tanpa itu, semua kerja itu menjadi temporer tanpa visi, durasi, atau berkelanjutan.Maka, ketika hukum hanya bicara atas nama kata-kata berbau kertas kering, sejumlah praktisi hukum akan menyatakan keputusan hakim pengadilan negeri yang memvonis AAL adalah ”benar”. Bukan hanya rasa keadilan yang tergugat di sini, tapi juga pembudayaan hukum yang terhumiliasi. Tindakan polisi yang melaporkan pencurian, jaksa, hingga hakim adalah aparatus yang secara ”legal” kita terima atau benarkan melakukan humiliasi itu.Kita paham, sejak di tingkat sang polisi pelapor sekaligus sebagai aparat penegak hukum selaiknya mempekerjakan hukum berdasar nilai kekeluargaan dan pengajaran, bukan dengan kekakuan mekanisme vonis. Sebagai salah satu mekanisme pembudayaan yang adat dan tradisi cukup banyak mewariskan kepada kita.Dan, mekanisme ini bagus sekali jika terjadi di semua lapangan kehidupan kita. Maka, ironi dari mobil SUV Kiat Esemka, misalnya, tidak harus jadi tamparan memalukan bagi Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan kabinet yang bernafsu menciptakan kemandirian ekonomi dan teknologi, tetapi lumpuh di hadapan kartel industri otomotif yang dikuasai modal asing sejak lebih setengah abad lalu. Namun, siapa yang berani? ● -
Keprajuritan Indonesia
Keprajuritan IndonesiaSayidiman Suryohadiprojo, MANTAN GUBERNUR LEMHANNASSumber : KOMPAS, 14 Januari 2012Keprajuritan Indonesia berbeda daripada kebanyakan negara lain karena terwujudnya melalui proses yang berbeda pula.Umumnya organisasi militer berdiri karena ditetapkan oleh pemerintah negara bersangkutan. Ini berbeda dengan pembentukan organisasi kemiliteran Tentara Nasional Indonesia.Setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, segera terasa oleh masyarakat bahwa kemerdekaan yang didambakan itu menghadapi berbagai tantangan. Perang Dunia II baru selesai dengan kekalahan Jepang. Pihak sekutu sebagai pemenang perang pasti akan memerintahkan Jepang, yang menduduki Indonesia, agar mengembalikan kekuasaan atas Indonesia kepada Belanda.Dan, semua yakin Belanda tak akan mau mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan. Ini berarti bahwa kemerdekaan itu harus diamankan dari semua usaha yang mau menggagalkannya. Padahal, Bung Karno sebagai Presiden RI dan para pembantunya tidak mau segera menetapkan berdirinya satu organisasi militer karena khawatir pihak sekutu akan menganggapnya tentara buatan dan peninggalan Jepang.Namun, Pemerintah RI menyetujui gerak masyarakat menyiapkan diri untuk menghadapi masalah keamanan, tanpa menetapkannya sebagai organisasi militer RI yang resmi. Di Jakarta dan bagian-bagian lain Indonesia rakyat bangkit membentuk laskar perjuangan. Pada 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berada di bawah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), bukan di bawah Presiden Soekarno. Kebangkitan rakyat (levee en masse) itulah sumber keprajuritan Indonesia.Di samping terbentuknya BKR yang anggotanya banyak berasal dari bekas tentara Peta dan Heiho pada zaman Jepang serta mahasiswa dan pelajar di mana-mana juga terbentuk laskar-laskar perjuangan. Ada laskar yang erat dengan partai politik yang baru terbentuk, seperti Pesindo dengan Partai Sosialis atau Barisan Banteng dengan Partai Nasional Indonesia. Juga ada laskar yang berdiri sendiri seperti Barisan Pemberontak Republik Indonesia dipimpin Bung Tomo.Oleh karena itu, keprajuritan Indonesia berjiwa kebangsaan, kerakyatan, kemandirian. Baru pada 5 Oktober 1945 ketika para pemimpin melihat bahwa BKR tidak akan dianggap pihak sekutu sebagai peninggalan Jepang, keluar Dekret Presiden yang menetapkan adanya Tentara Keamanan Rakyat dan ini diwujudkan oleh BKR.Melalui berbagai proses dalam perjuangan kemerdekaan, kemudian Tentara Keamanan Rakyat berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perubahan terakhir itu menggabungkan segenap laskar perjuangan dalam tentara pemerintah. Integrasi nasional itu diberi nama TNI.Kembalilah ke Jati DiriJelas sekali bahwa proses terwujudnya keprajuritan Indonesia amat berbeda dengan yang terjadi di negara lain. Itu semua kemudian pada tahun 1950 oleh para pemimpin TNI—baik AD, AL, maupun AU—dituangkan menjadi satu etika perjuangan TNI dengan nama Sapta Marga.Di dalam Sapta Marga jelas tertuang bahwa prajurit TNI adalah anggota TNI yang tentara nasional-tentara rakyat-tentara pejuang-tentara profesional. Jadi, bukan tentara bayaran, yaitu tentara yang menjalankan tugas dan fungsinya semata-mata hanya kalau dibayar oleh yang mempunyainya. Juga bukan tentara profesional yang bertitik berat pada kemampuan teknik militer belaka, betapa pun hebatnya kemampuan teknik militer itu.Dalam perang kemerdekaan melawan Belanda yang dialami TNI, betapa penting faktor rakyat dalam perjuangan membela negara dan bangsa. Setelah mengakhiri perang kemerdekaan, ketika harus menghadapi berbagai masalah keamanan dalam negeri pun nyata sekali bahwa keutuhan dan kekompakan hubungan TNI dengan rakyat amat menentukan.Ditambah lagi dengan melihat apa yang terjadi di negara lain, seperti Vietnam dan belakangan juga di Afganistan dan Irak, itu semua menguatkan kebenaran fungsi teritorial TNI, yaitu usaha TNI untuk selalu dekat dan dipercaya oleh rakyat. Di Vietnam, tentara AS, sebagai kekuatan dengan kemampuan teknik militer paling tinggi di dunia, ternyata tidak mampu menghadapi lawan-lawannya yang masih amat sederhana kemampuannya lantaran tentara AS mengabaikan faktor rakyat.Namun, harus diakui, keprajuritan Indonesia mengalami deviasi yang serius karena kurang memperhatikan pelaksanaan Sapta Marga. Kedekatan dengan rakyat berubah menjadi ambisi berkuasa.Hal itu terjadi ketika semangat TNI berdasarkan rasa tanggung jawab nasional diberi bentuk formal dan disebut dwifungsi. Lebih-lebih lagi ketika dwifungsi terutama diwujudkan dengan fungsi kekaryaan. Rasa tanggung jawab nasional berubah menjadi selera berkuasa. Masuk akal kalau hal demikian menjadikan TNI semakin jauh dari rakyat.Ketika bangsa Indonesia melakukan reformasi, TNI pun melakukannya. Namun, sayangnya, reformasi bangsa Indonesia yang sebenarnya harus menjadikan Pancasila kenyataan di bumi Indonesia, nyatanya dibajak menjadi perubahan yang mengutamakan sikap neoliberalisme dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Reformasi TNI pun belum menjadikan terwujudnya Sapta Marga sebagai kenyataan yang hidup. Bahkan, TNI didesak agar meninggalkan fungsi teritorialnya dan menjadi tentara profesional dalam arti teknik militer belaka.Jelas sekali adanya usaha untuk melemahkan kehidupan bangsa Indonesia agar pihak lain dapat memanfaatkan berbagai potensi Indonesia yang besar. TNI tidak dibolehkan menjadi kuat dan harus dijauhkan dari rakyat. Tidak perlu heran kalau kemudian terjadi masalah Freeport, Mesuji, dan Bima yang menempatkan TNI berhadapan dengan rakyat.Semoga pimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan TNI menyadari: keprajuritan Indonesia harus sesuai jati dirinya agar menjadi benteng bagi negara dan bangsa kita. Untuk itu, TNI harus sungguh-sungguh hidup, bersikap, dan berbuat sesuai Sapta Marga. Hendaknya tahun 2012 menjadi permulaan dari bangkitnya TNI kembali ke jati dirinya. ● -
“Trillions Rupiah Men”
“Trillions Rupiah Men”Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPASSumber : KOMPAS, 14 Januari 2012Setelah dua babak Pilpres Republik, Kaukus Iowa dan pemilihan awal New Hampshire, Mitt Romney diperkirakan akan memenangi nominasi. Jumlah delegasi yang direbut lima calon presiden lain (Ron Paul, Rick Santorum, Newt Gingrich, John Huntsman, dan Rick Perry) terpaut jauh.Romney masih mungkin disusul karena jumlah delegasi yang diperebutkan belum sampai 1 persen dari total 2.380 delegasi. Apalagi, persaingan memang cenderung labil sejak medio 2011.Sebut saja Michele Bachmann, satu-satunya perempuan yang memenangi straw poll Agustus 2011 di rumahnya sendiri di Iowa. Namun, saat kaukus, Bachmann gagal total dan langsung mundur.Atau, Herman Cain, satu-satunya calon kulit hitam. Ia menjulang sebelum Kaukus Iowa, tetapi terpuruk karena rumor skandal seksual yang membuatnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah.Itu yang membedakan Romney dengan capres-capres lain karena lebih menang di dua babak awal. Menurut jajak pendapat sementara, Romney juga akan memenangi babak ketiga pemilihan di Negara Bagian South Carolina, 21 Januari.Ibarat makanan, Romney adalah menu yang sudah diketahui pengunjung restoran. Ia sudah ikut kontes pada 2008, tapi dikalahkan John McCain.Mungkinkah Romney mengalahkan satu-satunya calon Demokrat, Presiden Barack Obama? Menurut jajak pendapat Quinnipiac University yang dirilis dua hari lalu, Romney bisa merebut suara 46 persen dibandingkan dengan Obama 43 persen.Hasil Pilpres 2012 akan sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi yang masih krisis. Andaikan mampu memaksimalkan isu-isu yang berkaitan dengan krisis ekonomi, Romney bisa menang tipis.Posisi Romney menguntungkan karena dia pengusaha besar sekaligus berpengalaman sebagai gubernur. Seperti halnya Obama, ia juga lulusan Harvard University yang bergengsi itu.Tak mudah mengalahkan Obama karena pemicu krisis adalah Presiden George W Bush yang mengabaikan parahnya pasar kredit yang diawali krisis KPR (subprime mortgage). Justru Obama yang membenahi krisis sehingga ekonomi perlahan-lahan membaik.Setidaknya tingkat pengangguran turun jadi 8,5 persen, angka terendah sejak Januari 2008. Jumlah penganggur masih sekitar 13 juta jiwa, tetapi lowongan yang tercipta mencapai 2,54 juta dari total job lost 8,7 juta sejak 2008.Strategi kampanye Obama akan difokuskan pada keengganan Kongres, yang dikuasai Republik, menyepakati berbagai prakarsa prorakyat yang digulirkan Gedung Putih. Nyatanya tingkat popularitas Obama masih berkisar di angka 40 persen, hampir dua kali lipat dari popularitas Kongres.Terlebih lagi Obama sukses memaksa Kongres menyetujui jaminan kesehatan yang populer disebut ObamaCare. Ini prestasi fenomenal yang tak pernah dicapai presiden-presiden lain yang akan menyediakan pelayanan kesehatan terjangkau bagi lebih dari 60 persen rakyat.Republik menganggap ObamaCare menyimpang karena bentuk dari redistribusi kekayaan yang bertentangan dengan kapitalisme. Obama dianggap telah menyeret AS jadi negara sosialis seperti di Eropa karena pajak dialihkan ke ObamaCare.Padahal, anggaran tetap defisit dan utang semakin membumbung. Ekspansi pemerintah (big government) oleh Republik yang pro-small government oleh Obama dinilai sudah keterlaluan.Pendek kata, Obama dianggap ”kiri” (liberal) yang didukung mainstream media. Menjadi tugas mulia kaum ”kanan” (konservatif) segera menyingkirkan dia dari Gedung Putih.Salah satu tokoh yang dapat membantu Obama kembali terpilih adalah Menlu Hillary Clinton, yang kini jadi politisi terpopuler dengan approval job mencapai 65 persen. Andai Hillary mau menjadi cawapres Obama, dengan iming-iming dijadikan sebagai capres tahun 2016, Obama diramalkan akan menang.Seperti tahun 2008, Obama kembali akan memecahkan rekor dana kampanye. Kali ini dana kampanye diperkirakan akan menembus 1 miliar dollar AS.Selama kuartal pertama 2011, Obama mengumpulkan 68 juta dollar AS. Jika digabungkan dengan dana partai, angka itu jadi 254 juta dollar AS—bandingkan dengan Republik yang 194 juta dollar AS.Politik di AS perlu dana besar sekali, terutama untuk iklan di televisi yang tarifnya bisa mencapai 0,5 juta dollar AS per tayangan. Karena itu, berlaku pemeo ”kalau mau jadi presiden, Anda harus jadi orang kaya dulu”.Berbeda kontras dengan di negeri ini, berlaku pemeo ”kalau mau kaya, Anda harus jadi presiden dulu”. Untuk menjadi capres, Anda perlu dana yang dikumpulkan oleh sekutu-sekutu Anda.Sekutu-sekutu itulah yang jadi investor yang akan menuntut imbalan jika Anda menang. Anda praktis sudah disandera sekutu-sekutu itu ketika mencalonkan diri jadi capres.Dari mana sekutu-sekutu itu mendapat dana? Itu urusan yang Anda kurang perlu telusuri karena duit di negeri ini tidak akan mau buka mulut walau KPK atau PPATK coba menelusurinya.Lalu, dari mana Anda menyediakan imbalan dana untuk sekutu-sekutu itu? Anda cukup memberikan mereka proyek atau anggaran tanpa tender dan konsesi migas atau tambang.Capres-capres seperti Obama, Romney, Paul, Santorum, Gingrich, Perry, dan Huntsman bermodal dana dari hasil keringat mereka. Romney dan Huntsman jelas miliarder.Obama ”One Billion Dollar Man” capres yang dapat sumbangan dari jutaan warga yang dengan sukarela mendukung dia. Rakyat cuma minta imbalan dia kerja serius memperbaiki ekonomi.Kalau di negeri ini banyak capres ”Trillions Rupiah Men” yang menyiapkan dana triliunan rupiah. Jangan tanya asal dana dari mana ya? ●