Blog

  • Demokrasi Islam?

    Demokrasi Islam?
    Saidiman Ahmad, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 16 Januari 2012
    “…perubahan politik menuju demokrasi yang melanda dunia Islam saat ini mesti dibaca sebagai fenomena baru yang tidak melulu bisa dijelaskan melalui pendekatan doktrin dan sejarah. Interaksi dan perilaku masyarakat Muslim sendirilah yang menyebabkan itu terjadi. Pola-pola interaksi sosial yang terus berubah ditambah dengan aktor-aktor demokrasi yang terus bergerak melakukan mobilisasi sumber daya yang menyebabkan semua ini terjadi.”
    Para ilmuan politik mencoba sejumlah pendekatan untuk menguak potensi demokrasi pada masyarakat Muslim. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan saat ini adalah behavioristik yang dikembangkan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. 
    Berdasarkan analisa perilaku masyarakat Muslim disimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat Muslim memiliki karakter suatu masyarakat demokratis. Masyarakat Muslim memiliki modal sosial yang memungkinkan tumbuhnya demokrasi. Saiful Mujani, misalnya, menemukan pola-pola itu pada masyarakat Muslim Indonesia. Perilaku masyarakat Muslim Indonesia tidak jauh berbeda dengan perilaku masyarakat Kristen Amerika Serikat seperti yang diteliti oleh Alexis de Tocqueville. Demikan pula dengan masyarakat Italia sebagaimana yang diamati oleh Robert D. Putnam. Pada intinya, masyarakat Muslim memiliki modal sosial untuk menyongsong sistem politik demokratis.
    Pendekatan lain dilakukan oleh para ilmuan dari sayap yang agak kiri. Mereka menggunakan pendekatan gerakan sosial baru. Dalam pendekatan ini disimpulkan bahwa yang bermain dalam gerakan sosial baru tidak lagi kekuatan kelas, melainkan salah satunya adalah budaya, dalam hal ini agama. Agama bisa menjadi alasan untuk sebuah gerakan sosial. Pendekatan ini, misalnya, dilakukan oleh Carrie Rosefsky Wickham, Yaroslav Trovimov, di Indonesia seperti Noorhaidi Hasan dan Burhanuddin Muhtadi. 
    Mereka menemukan bahwa Islam bisa digunakan sebagai sentimen moral untuk melakukan gerakan sosial menuju demokrasi. Ini, misalnya, yang menjelaskan desakan perubahan politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islamis di Turki, Mesir, Arab Saudi, bahkan dalam beberapa hal di Indonesia. Bagi mereka yang menggunakan pendekatan ini, Islam adalah potensi yang sangat besar bagi gerakan perubahan sosial-politik di dunia Islam. Bagaimana melawan kekuasaan Wahhabi di Arab Saudi, tidak bisa tidak harus menggunakan bahasa Wahhabisme itu sendiri. Demikian pula di Iran, Syi’isme bisa digunakan untuk mengubah stagnasi politik Iran yang mayoritas Syi’ah itu.
    Jauh sebelum berkembangnya dua pendekatan di atas, telah muncul upaya para sarjana Muslim untuk mencari kompatibilitas sejarah dan doktrin Islam dengan demokrasi. Terutama pada Nurcholish Madjid gagasan mengenai demokrasi Islam muncul dan mendominasi pemikiran sarjana Muslim Indonesia. Cak Nur berupaya meretas dikotomi Islam dan demokrasi. Bagi Cak Nur, sejak mula, Islam sudah berwajah demokratis. Adalah sembrono menyatakan Islam dan demokrasi tidak sejalan.
    Khulafa’ Al-Rasyidun
    Contoh yang selalu dikemukakan oleh para pendukung kompatibilitas doktrin dan sejarah Islam awal dengan demokrasi adalah suksesi kepemimpinan pada masa khulafa’al-rasyidun. Keempat khalifah yang mulia itu dianggap mempraktikkan sistem politik demokratis. Namun bagi Cak Nur, sistem demokrasi yang coba diperkenalkan Islam itu terlalu maju pada zamannya sehingga ia dengan segera tenggelam oleh trend monarkhi.
    Pandangan ini sepintas tampak benar. Tapi coba kita perhatikan secara lebih jeli. Keempat khalifah yang diangkat setelah wafatnya Nabi Muhammad itu terpilih melalui mekanisme yang tidak seragam. Abu Bakar pada mulanya terpilih menjadi khalifah melalui rapat kecil dadakan di balai pertemuan (saqifah) Bani Sâ’idah. Tidak seluruh umat Islam memberi bai’at kepada Abu Bakar. Pada mulanya Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah hanya melalui persetujuan lima orang, yakni Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair, dan seorang mantan budak bernama Salim. Ali, misalnya berbait enam bulan kemudian setelah isterinya sekaligus anak Rasulullah, Fatimah, wafat. Sementara salah seorang sahabat terkemuka, Zubair bin Awwam enggan memberi baiat sampai Umar bin Khattab menekannya.
    Pemilihan Umar bin Khattab sebagai khalifah tampak sangat jauh dari mekanisme demokratis. Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar sebelum meninggal dunia. Jangan lupa, bahwa inisiatif untuk memilih Abu Bakar sebagai khalifah juga datang dari Umar.
    Pemilihan Utsman bin Affan mungkin adalah pemilihan yang paling rumit. Sebelum wafat, Umar membentuk panitia kecil pemilihan khalifah berjumlah enam orang ditambah satu orang tanpa hak suara, yakni putranya sendiri, Abdullah bin Umar. Ada tiga sahabat memilih Utsman. Satu orang memilih Ali. Salah satu anggota panitia kecil, Thalhah bin Ubaidillah, sedang di luar Madinah. Yang terakhir, Abd. Rahman bin Auf, menjadi fasilitator. Ada dua nama yang mengerucut, yakni Ali dan Utsman. Abd Rahman bin Auf memanggil Ali dan bertanya apakah ia sanggup menjalankan tugas dengan berpedang teguh kepada Quran, Sunnah, dan kebijakan dua khalifah pendahulu. Ali menjawab bahwa dia akan berusaha sesuai pengetahuan dan kemampuannya. Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Utsman, dia dengan tegas menjawab, “Ya, saya sanggup.” Atas jawaban inilah Abd Rahman bin Auf membaiat Utsman sebagai khalifah. Ali dan para pendukungnya tentu sangat tidak puas dengan cara pemilihan seperti itu.
    Utsman dibunuh oleh demonstran yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Para demonstran itu kemudian mendesak Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditentang oleh sejumlah kelompok. Kelompok terbesar yang menentangnya adalah dari Syiria yang dipimpin oleh gubernur Mua’awiyah bin Abi Sufyan dari klan keluarga Utsman, Umayyah. Salah satu alasan Mu’awiyah menolak Ali adalah karena melihat luasnya wilayah kekuasaan Islam. Bagi Mu’awiyah, seorang khalifah Islam harus merepresentasikan seluruh wilayah kekuaasan Islam yang luas, tidak lagi melulu dari Madinah. Sejumlah sahabat di Madinah sebetulnya menyetujui kritikan Mu’awiyah itu. Sebelum Mu’awiyah memberontak, pemberontakan pertama terhadap Ali justru datang dari Aisyah yang dibantu oleh Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.
    Inisiatif Mu’awiyah
    Apakah sistem pemilihan khalifah yang empat itu demokratis? Apakah ia melampaui zamannya sebagaimana yang dikemukakan Cak Nur? Rasanya tidak. Menurut Philip K. Hitty, praktik pemilihan pemimpin pada masa Khulafa’ al-Rasyidun sebenarnya hanyalah melanjutkan praktik politik kesukuan. Begitulah cara para pemimpin suku dipilih. Bukan demokrasi.
    Pada titik ini, kita melihat sebetulnya Mu’awiyah jauh lebih maju di banding Khulafa’ al-Rasyidun pada masanya. Segera setelah Mu’awiyah mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan anak Ali, ia segera membentuk pemerintahan sekuler. Pada masa Khulafa al-Rasyidun, seorang pemimpin politik dan agama masih menyatu di tangan satu orang. Salah satu alasan pemilihan Abu Bakar, misalnya, adalah karena ia sering ditunjuk oleh Nabi memimpin salat ketika beliau berhalangan. Demikian pula salah satu alasan pemilihan Umar oleh Abu Bakar adalah karena Umar sering menggantikannya memimpin salat. Enam orang sahabat yang ditunjuk Umar untuk memilih khalifah baru adalah karena Nabi menyatakan keenam orang itu dijamin masuk surga. Demikian pula yang dilakukan oleh Ali ketika ia mencari alumni-alumni Perang Badar untuk membaiat dirinya. Antara pemimpin salat dan pemimpin politik identik. Pada masa Mu’awiyah, otoritas dunia akhirat ini hilang.
    Tidak sedikit sarjana yang menyatakan bahwa keputusan Mu’awiah mengangkat anaknya sebagai penggantinya adalah kemunduran sistem politik dalam sejarah Islam. Mu’awiyah memulai tradisi monarkhi.
    Pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Jika yang dipraktikkan oleh Khulafa al-Rasyidun adalah tradisi kesukuan, maka praktik politik Mu’awiyah adalah tradisi politik yang ia tiru dari dua negara maju saat itu, Bizantium dan Persia. Dari segi ini, Mu’awiyah mengadopsi praktik politik termaju pada masanya dan meninggalkan tradisi kesukuan. Luasnya wilayah kekuasaan Islam juga menjadi faktor berkembangnya sistem politik pada Dinasti Umayyah. Sistem politik dinastik ini kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti berikutnya. Di beberapa wilayah sistem dinastik itu masih dipraktikkan sampai hari ini.
    Kalau demikian kisahnya, maka perubahan politik menuju demokrasi yang melanda dunia Islam saat ini mesti dibaca sebagai fenomena baru yang tidak melulu bisa dijelaskan melalui pendekatan doktrin dan sejarah. Interaksi dan perilaku masyarakat Muslim sendirilah yang menyebabkan itu terjadi. Pola-pola interaksi sosial yang terus berubah ditambah dengan aktor-aktor demokrasi yang terus bergerak melakukan mobilisasi sumber daya yang menyebabkan semua ini terjadi. Doktrin dan cerita sejarah barangkali hanya bisa dihayati. Sementara masa depan adalah hasil negosiasi dan interaksi kehidupan kini.
  • Jangan Paksa Tiba-Tiba Makrifat

    Jangan Paksa Tiba-Tiba Makrifat
    Dahlan Iskan, MENTERI BUMN
    Sumber : JAWA POS, 16 Januari 2012
    Mendikbud layak memberikan penghargaan kepada Wali Kota Solo Jokowi, setidaknya untuk satu hal: mempromosikan keberhasilan program kementeriannya. Khususnya, dalam pengembangan mobil Esemka. Mendikbud Mohamad Nuh-lah yang memprogramkan 23 sekolah menengah kejuruan (SMK) itu merakit mobil Esemka. Tiga di antaranya SMK swasta. Satu di antara tiga itu adalah SMK Muhammadiyah Borobudur, Magelang, yang dua tahun lalu ikut jadi korban meletusnya Gunung Merapi.

    Siswa SMK Muhammadiyah ini, sebagaimana SMK Solo yang sudah dipromosikan Jokowi, bahkan sudah melewati beberapa tahap kesulitan perakitan mobil. Mula-mula merakit satu mobil. Lalu, dibongkar lagi untuk dirakit lagi. Dibongkar lagi dan dirakit lagi. Tahap berikutnya, SMK tersebut bersama-sama dengan 23 SMK lainnya diberi wewenang (dan uang) untuk membeli suku cadang yang bisa dirangkai menjadi mobil. Boleh impor, boleh dari dalam negeri. Uangnya disediakan.

    Mereka memilih mengimpor dari Tiongkok. Karena tidak mungkin setiap SMK mengimpor sendiri-sendiri, 23 SMK tersebut bersepakat menunjuk sebuah perusahaan importer. Dipilihlah spare part mesin berbasis teknologi merek Wuling dari Tiongkok. 

    Spare part impor itu dibagikan secara merata ke 23 SMK. Inilah yang kemudian dipakai belajar merakit dengan tingkat kesulitan lebih tinggi. Hasilnya sangat baik, tapi di blok mesinnya belum ada tulisan Esemka.

    Tahap berikutnya lagi, blok mesin tidak didatangkan dari Tiongkok, tapi dibuat oleh industri kecil baja Ceper, Klaten. Cetakan blok mesin yang masih kasar ini dikirim ke Jakarta untuk dibubut di pabrik mobil. Juga diberi merek Esemka. Dari Jakarta, blok mesin ini dikirim ke 23 SMK untuk dirakit oleh para siswa. Tahap inilah yang berhasil dirakit menjadi mobil Jokowi. Karena itu, baik yang di Solo, di SMK Muhammadiyah Borobudur, maupun di beberapa SMK lainnya, bentuk dan modelnya sama.

    Fisiknya gagah dan finishing-nya halus. Gas, kopling, rem, power steering, dan power window-nya tidak terasa beda dengan mobil produksi pabrik. Saya mencoba mobil Esemka buatan SMK Muhammadiyah ini sampai kecepatan 80 dan membawanya ngepot di lapangan rumput berlumpur. Tidak ada masalah. Rasanya, mobil Esemka buatan SMK-SMK negeri lainnya juga sama baiknya. Memang ada supervisi dari tim Mendikbud yang diberikan dalam standar yang sama untuk semua SMK.

    Kini Mendikbud memberi order yang lebih besar lagi. Kepada SMK Muhammadiyah Borobudur, diberikan order untuk mempraktikkan pekerjaan yang lebih berat: membuat tiga buah bus ”2 in 1″. Bus ini bisa untuk angkutan penumpang/barang dan sekaligus bisa diubah sebagai panggung kesenian. Tiga buah bus tersebut sekarang lagi dikerjakan di bengkel SMK itu. Bagian dindingnya bisa dibuka. Diberi engsel di bagian bawahnya. Ketika dinding bus itu dibuka, jadilah dinding tersebut panggung ke­senian. Tiga buah bus ”2 in 1″ itu akan diberikan kepada SMK khusus bidang kesenian. Seniman SMK bisa menuju tempat pertunjukan dengan naik bus dan membawa serta peralatan kesenian. Tiba di lokasi, dinding busnya dibuka dan dihampar sebagai panggung.

    Kalau order Mendikbud ini selesai, SMK-SMK itu, seperti SMK Muhammadiyah Borobudur ini, akan memiliki catatan yang panjang: berhasil merakit sedan, SUV, ambulans, pikap, dan bus ”2 in 1″.

    Siapa pun akan bangga melihat perkembangan itu. Berita mengenai pelajar kita tidak lagi melulu soal perkelahian. Kini mengenai prestasi mereka. Mendikbud sendiri, mungkin karena menganggap perannya itu sebagai kewajiban yang sudah seharusnya, rupanya tidak melihat bahwa keberhasilannya tersebut sebuah success story. Jokowi-lah yang mempromosikan keberhasilan Kemendikbud itu!

    Hasil promosi ini sangat nyata. Harga diri sekolah SMK naik drastis. Siswanya begitu bangga. Kini terbukti tidak harus semua lulusan SMP masuk SMA. Saya yakin anak-anak SMK tersebut akan bernasib lebih baik. Begitu lulus kelak, mereka lebih mudah mencari pekerjaan. Baik di industri perbengkelan maupun di industri otomotif. Bahkan, siapa tahu bisa mandiri sebagai pengusaha pemula di bidangnya.

    Setelah memahami apa yang sebenarnya terjadi di SMK-SMK itu, sorenya saya meninjau PT INKA di Madiun. BUMN ini sudah berhasil memproduksi mobil 650 cc. Saya mencoba mengemudikannya sejauh satu jam perjalanan dari Madiun ke Takeran lewat Kebonsari. Saya ingin tahu, apakah PT INKA bisa didorong untuk menjadi industri mobil nasional. Agar keinginan yang luas di media mengenai mobnas ini bisa segera mendapatkan muara.

    Malam harinya, rapat intensif dilakukan. Temanya sama: apakah PT INKA sudah siap untuk menjadi industri mobil nasional?

    Pasti bisa. Terutama, kalau yang dimaksud adalah memproduksinya. Tapi, BUMN ini pernah bertahun-tahun dalam kondisi la-yahya-wala-yamut. Sakingberatnya, pernah diputuskan ditutup saja. Krisis ekonomi dan politik 1998 membuat PT INKA kehilangan kehidupannya. PT INKA ibarat orang yang sudah dikira mati dan sudah dimasukkan ke kamar mayat.

    Ternyata, dia belum mati benar. Mekanisme internal di tubuhnya (bukan karena ditolong dokter) memungkinkan tiba-tiba denyut nadinya berdetak pelan. Petugas kamar mayat tahu belakangan. Lalu, dikirim ke ICU. Oksigen politik dan ekonomi yang membaik di luar (lagi-lagi bukan karena pertolongan dokter) membuat jantungnya mulai berdetak.

    Boleh dikata, baru tiga tahun terakhir PT INKA keluar dari rumah sakit. Jalannya memang sudah tidak sempoyongan, tapi belum bisa kalau disuruh lari. Makannya memang sudah tiga kali sehari, namun otot-ototnya belum terbentuk. Ia sudah mulai bisa berolahraga, namun belum cukup kuat untuk ikut lomba maraton. Apalagi maraton industri mobil yang begitu terjal jalannya dan begitu jauh jaraknya.

    Manajemen PT INKA masih harus berkonsentrasi di industri kereta api. Di situlah core business-nya. Di situlah makom-nya.

    Dia harus fokus dengan sebenar-benarnya fokus. Istilah saya, dia harus bertauhid. Inti tauhid adalah meng-esa-kan. Dan inti meng-esa-kan adalah fokus. Tidak boleh gampang tergoda. Di dalam bisnis dan di dalam manajemen, godaan itu luar biasa banyak. Sebanyak godaan terhadap keimanan. Kalau sebuah manajemen tidak fokus, dia bisa jatuh menjadi musyrik. Musyrik manajemen. PT INKA tidak boleh diganggu oleh godaan-godaan sesaat. Dia masih di tahap syariat. Jangan dipaksa tiba-tiba makrifat! Bisa gila.

    Tapi, PT INKA akan tetap memproduksi mobil. Syaratnya: sepanjang ada pesanan. Itu pun kalau jelas pembayarannya.

    Yang penting, PT INKA terbukti bisa memproduksi mobil. Dia sudah banyak latihan membuat mobil ketika tidak ada pekerjaan membuat kereta api dulu. Kini, PT INKA lagi sibuk di core business-nya. Lagi banyak order membuat kereta api. Juga lagi semangat mengembangkannya.

    Walhasil, PT INKA belum akan menjadi industri mobil dalam pengertian sampai mengurus sistem distribusi, pemasaran, dan lembaga pembiayaannya. Ini pekerjaan yang memerlukan investasi triliunan rupiah yang berhasil-tidaknya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan produksinya.

    PT INKA masih harus menanam kepercayaan dengan cara mampu menyelesaikan pembuatan 40 kereta api tepat waktu. Juga harus menanam kepercayaan bahwa kualitasnya tinggi. PT INKA juga sedang konsentrasi untuk membuat puluhan lokomotif setelah dipercaya oleh General Electric dari Amerika. Untungnya mungkin tipis, tapi reputasi yang didapat bisa membawa keuntungan besar di belakang hari. Kepercayaan ini harus dijaga. Apalagi perusahaan sekelas GE yang memercayainya.

    PT INKA yang kini sudah mulai laba dan bisa menggaji karya­wannya jangan digoda-goda dulu untuk proyek-proyek yang bisa menjerumuskannya kembali ke jurang. Saya melihat PT INKA sudah menemukan jalan hidupnya. Juga masa depannya. Di samping dipercaya oleh GE Amerika, juga sudah mulai mengerjakan pesanan dari Singa­pura dan Malaysia.

    Memang PT KAI yang menjadi konsumen terbesarnya kini masih banyak mengimpor kereta bekas dari Jepang, tapi itu hanya sementara. Untuk memperbaiki kinerja keuangan PT KAI sendiri. Dengan tarif kereta saat ini, PT KAI memang baru bisa membeli kereta bekas yang amat murah. Tapi, tiga-empat tahun lagi sudah akan berubah. Pembenahan di PT KAI terus dilakukan oleh manajemennya. Hasilnya sudah kelihatan nyata dua tahun terakhir ini. Kalau keuangannya sudah lebih baik, pasti PT KAI meninggalkan era beli bekas. Di saat itulah, nanti PT INKA bisa panen raya. Apalagi kalau program ekspornya terus berkembang.

    Memang masih banyak masalah di antara keduanya. Tapi, memecahkannya tidak akan sesulit merukunkan Israel dan Palestina. Masalah PT INKA dan PT KAI bisa diselesaikan di atas kereta api. Dalam perjalanan kereta api dari Madiun ke Jombang, berbagai masalah mendasar dibicarakan bersama. ”Rapat berjalan di atas rel” itu menemukan kesepakatan-kesepakatan yang memberi harapan.

    Ketegangan yang diselingi gelak tawa membawa kesegaran suasana. Salah pengertian di antara PT KAI dan PT INKA bisa dihilangkan. Lalu, salaman. Sinergi bisa disepakati. Salaman lagi. Direksi PT KAI dan direksi PT INKA bersalaman berkali-kali. Pertanda banyak kesepahaman yang terjadi.

    Banyaknya penumpang yang dari jauh melihat serangkaian salaman itu mungkin ikut terheran-heran. Saya sendiri bisa turun di stasiun Jombang dengan perasaan lega. Lalu, bisa nyekar ke makam Gus Dur dengan hati yang lebih lapang.

    Kalau begitu, siapa yang akan menggarap mobil nasional?

    Jangan khawatir. Saat ini, sudah ada putra bangsa, lulusan ITB tahun 1984, yang sedang secara serius menyiapkannya. Mobil ciptaannya sudah diuji keliling kampus almamaternya. Dia memang pengusaha permesinan yang andal. Sudah banyak melakukan ekspor mesin. Dia putra Indonesia dari suku Sunda yang sangat nasionalis. Dia seorang profesional yang tangguh. Dia akan membangun pabrik yang serius dengan production line yang serius pula. Dia akan memenuhi segala persyaratan sebuah industri mobil yang sempurna.

    Tugas kita adalah membantunya. Yakni, membeli pro­duknya atau setidaknya mendoakannya.

    Tidak lama lagi.

  • Penyakit Demokrasi Kita

    Penyakit Demokrasi Kita
    Umbu T.W. Pariangu, DOSEN FISIPOL UNIVERSITAS NUSA CENDANA, KUPANG
    Sumber : JAWA POS, 16 Januari 2012
    SOEKARNO menggugah nasionalisme Indonesia. Hatta membawa ekonomi berdikari. Sjahrir berfilosofi tentang ekonomi sosialis. Kita di era sekarang perlu serius mempertanyakan kesungguhan pembangunan demokrasi di tangan pemimpinnya.

    Joseph V. Femia mengajukan tiga poin dasar dalam tuntutan pembangunan demokrasi yang harus dilakukan secara hati-hati. Pertama, kondisi pervesity, yakni sejauh mana demokrasi yang diperjuangkan mampu menumbuhkan benih kesejahteraan. Jangan-jangan yang terjadi justru kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, kondisi futility, sejauhmana demokrasi itu memiliki relevansi dengan pembangunan material sosial. Yakni, menciptakan kesadaran kritis yang memelopori penciptaaan identitas dasar politik warga negara. Ketiga, faktor jeopardy, yakni bahaya yang tercipta ketika demokrasi diterapkan; memicu gangguan bagi stabilitas spiritual dan moralitas publik.

    Jika ketiga hal di atas ada dalam praktik demokrasi di sebuah negara, maka hanya ada dua yang berlaku. Yakni, negara itu dalam bahaya demokrasi dan atau sebaliknya demokrasi di negara itulah yang dalam bahaya.

    Doxa Partai

    Jared Diamond pernah memotret salah satu indikator kegagalan demokrasi di suatu bangsa. Yakni, ketika partai politiknya terjebak dalam orientasi memperoleh kekuasaan politik (seize political power) semata ketimbang memberikan kontribusi bagi pendidikan budaya politik masyarakat. Seiring dengan ini, ketiadaan kesadaran dan sikap kritis parpol dalam menyingkap persoalan sosial mau tak mau telah mengekalkan doxa(ide absolut) parpol pada kekuasaan semata. Terkait ini, Paulo Freire sempat khawatir, bahwa kekuasaan tanpa kesadaran kritis melawan penindasan yang dialami rakyat adalah keterancaman bagi lumpuhnya nilai demokrasi.

    Kekelaman itu pula yang terjadi di negara-negara di Amerika Latin (Kolombia, Equador, Venezuela, Argentina). Para politisi sayap kiri (yang berslogan pro-rakyat) mempraktikkan demokrasi yang masih amat superfisial. Di negara-negara tersebut demokrasi yang menonjol adalah demokrasi sloganisme berbasis hitung-hitungan pencitraan yang malah memicu revolusi dan pertumpahan darah.

    Apa pun bentuk dan kekurangannya, konsolidasi demokrasi yang sedang kita jalani diharapkan memberi solusi bagi kedangkalan spirit bernegara. Yakni, mengembalikan kepercayaan, solidaritas, kesamaan nasib yang menjauh dari kepribadian bangsa. Ini penting di tengah menguatnya politik mirip gaya diktator Amerika Latin. Para elit kita terkesan seperti hacienderos, memerintah untuk kepentingan dirinya sendiri. Sikap mental ini berpotensi merenggut inisiasi pelembagaan demokrasi yang dijalankan dari pusat sampai daerah.

    Dengan otonomi dan desentralisasi kekuasaan, diharapkan dapat melahirkan elit-elit lokal yang memahami dan mampu mengejawantahkan makna otonomi politik secara praksis. Nyatanya, rentetan paradoks demokrasi terus mengancam, baik itu dalam rupa otonomi yang kebablasan karena belum matangnya tingkat kedewasaan berpolitik personal. Dan juga makin ugal-ugalannya praktik korupsi melalui aksi para bandit pengembara (roving bandits) lokal. Oleh mereka ini, demokrasi diterjemahkan sebagai bancakan politis-ekonomis terhadap hak-hak rakyat. Kasus Mesuji dan kerusahan di Bima merupakan contoh aktualnya.

    Revolusi Kedua

    Karenanya kita patut mengoreksi dan mengawal proses demokrasi agar tidak tertelikung oleh kepentingan politik pragmatis. Meminjam istilah Fadjroel Rachman, tahap pertama revolusi demokrasi adalah saat tumbangnya kekuatan Orde Baru oleh kekuatan progresif mahasiswa. Tahap revolusi kedua merupakan penentu konsolidasi politik kekuasaan ke dalam agenda praksis pemerintahan.

    Pada revolusi kedualah setidaknya pelaksanaan demokrasi menyisakan tema penting yang harus dibenahi, terutama dalam konteks institusionalisasi kepemimpinan nasional. Pertama, perlu disiapkannya strategi politik akomodatif terhadap munculnya alternatif kepemimpinan menjelang pemilu 2014 untuk mengganti wajah-wajah politisi lama yang terbebani dengan sejarah silam. Sebab kita tidak ingin keluaran pemilu 2014 nanti gagal menunjukkan kualitasnya karena pemain-pemain politiknya hasil political laundering dari sisa-sisa elit lama. Mereka berhasil mereinkarnasi dirinya karena diuntungkan efek modernisasi strategi pencitraan dan penguasaan media komunikasi politik secara masif.

    Kedua, partai politik harus konsisten menghadirkan sistem internal partai yang akomodatif terhadap kepemimpinan muda (main political leadhership) untuk menjamin berjalannya sirkulasi kepemimpinan nasional secara teratur. Terjerumusnya kaum muda dalam sindikat korupsi, seperti yang dialami Gayus maupun Nazaruddin ataupun kasus rekening gendut para PNS muda, mestinya juga menjadi bahan refleksi. Tidak saja bagi birokrasi tetapi juga bagi partai politik untuk membenahi dirinya.

    Kita memang sudah berada di panggung demokrasi terbuka dalam kurun 13 tahun. Namun, kita dituntut pula untuk terus melakukan resolusi dan pembenahan yang serius terkait karakter ideologi demokrasi. Dalam banyak hal, kita masih gagal membuka kemungkinan dan alternatif dalam mengelola sirkulasi kepemimpinan yang prospektif dan sesuai dengan kebutuhan demokrasi. Perubahan fundamental untuk melengkapi demokrasi itu perlu dilakukan demi lahirnya nilai-nilai kemanfaatan bersama.

  • Antropomorfisme dan Teks Suci

    Antropomorfisme dan Teks Suci
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 16 Januari 2012
    … manusia yang melakukan kegiatan penafsiran banyak jumlahnya, dan karena itu penafsiran akan selalu banyak dan beragam. Teks suci dalam agama tertentu memang satu. Tetapi penafsiran atas teks itu tidaklah mufrad/tunggal, melainkan jamak/banyak. Keragaman tafsir adalah “nasib” yang tak terhindarkan dalam komunitas agama manapun.
    Judul esei saya kali ini tempak “serem” dan serius, tetapi apa yang mau saya sampaikan sebetulnya sangat sederhana—bahwa dalam kehidupan keagamaan, kita kerap melihat teks yang dianggap suci oleh penganut agama itu. Fenomena “teks suci” ini biasanya kita jumpai pada masyarakat yang sudah mengenal sistem penulisan.
    Pada masyarakat yang pra-tulisan atau “illiterate” (pre-literate?), kita melihat juga fenomena lain yang mirip dengan “teks suci”, yakni “ingatan suci”. Yang saya maksudkan dengan istilah terakhir ini adalah ingatan masyarakat tentang ajaran-ajaran yang mereka warisi dari pendiri agama tertentu yang mereka anut. Karena mereka belum mengenal sistem tulisan, mereka tak mencatat ajaran itu dalam sebuah teks, tetapi dalam “ingatan”.
    Karena ingatan itu berhubungan dengan ajaran suci, bukan tentang hal-hal biasa yang sifatnya duniawi, maka kita sebut saja sebagai “ingatan suci”.
    Fungsi ingatan suci dalam masyarakat pra-tulisan, sama dengan teks suci dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan. Keduanya berfungsi sebagai rujukan bagi masyarakat bersangkutan. Masyarakat tak bisa tegak tanpa suatu norma atau aturan tertentu. Fondasi aturan itu, dalam masyarakat agama, ialah teks suci yang berisi ajaran-ajaran yang mereka percayai sebagai berasal dari Tuhan.
    Saat menghadapi situasi tertentu, dan masyarakat bersangkutan mengalami kebingungan perihal sikap yang tepat berkenaan dengan situasi itu, biasanya mereka akan merujuk kepada teks suci tersebut; atau, dalam konteks masyarakat yang pra-tulisan, mereka akan merujuk kepada “ingatan suci”.
    Kita juga bisa menyebut teks suci itu teks fondasional, yakni teks yang menjadi dasar kehidupan normatif masyarakat bersangkutan. Dengan satu dan lain cara, setiap masyarakat membutuhkan teks fondasional. Ini berlaku baik untuk masyarakat agama atau masyarakat sekular.
    Sebagaimana sebuah rumah membutuhkan fondasi, begitu juga sebuah masyarakat. Dengan fondasi itu, masyarakat akan bisa tegak dengan kokoh. Umat Islam, misalnya, bisa tegak, antara lain, karena mempunyai landasan tekstual yang kokoh pula. Landasan itu tiada lain adalah Quran. Inilah teks fondasional bagi semua umat Islam di manapun.
    Tentu saja, Quran tidak berdiri sendiri. Di samping Quran ada sejumlah sekunder yang mendukung teks fonsadional. Misalnya, dalam konteks Islam, ada hadis, ada pendapat para sahabat dan pengikut sahabat (tabi’in), konsensus para sarjana (ijma’), penaralan rasional, dsb.
    Hal serupa akan kita jumpai dalam agama manapun. Setiap masyarakat agama akan selalu bertopang pada teks suci, pada teks fondasional yang menjadi landasan normatif mereka.
    Karena itu, benar belaka, jika ada gerakan dalam sejarah Islam yang menguarkan semboyan Kembali kepada Quran dan Sunnah. Sudah seharusnya semua golongan dalam Islam, tanpa terkecuali, kembali kepada dua teks itu. Sebab, keduanya memang merupakan teks dasar yang menjadi rujukan normatif bagi seluruh umat Islam.
    Dalam kasus agama Kristen, hal yang kurang lebih serupa juga kita jumpai: semua golongan dalam agama itu akan menjadikan Perjanjian Baru (juga Perjanjian Lama) sebagai dasar normatif yang membentuk kehidupan mereka. Setiap ada perselisihan dalam Kristen, semua pihak di sana akan cenderung kembali kepada teks suci mereka dan mencari “dasar pembenaran” (dalam pengertian justifikasi yang positif) bagi posisi tertentu yang mereka anggap benar.
    Hanya saja, dan ini yang lebih penting menjadi perhatian semua pihak dalam komunitas agama, teks suci tidak bisa bekerja sendirian. Teks suci harus disertai oleh hal lain, yaitu penafsiran atau interpretasi. Tentu saja, agen yang bisa melakukan kegiatan penafsiran hanyalah manusia, bukan malaikat atau binatang. Tak ada teks suci yang berdiri sendiri, terisolasi, tanpa adanya seorang penafsir yang melakukan kegiatan penafsiran.
    Teks dan penafsiran adalah seperti saudara kembar. Yang satu bisa ada dengan mengandaikan yang lain. Sebab teks adalah barang mati; manusialah yang “menghidupkan”-nya agar menjadi sesuatu yang bermakna. Kutipan dari Sayyidina Ali ibn Talib sangat tepat kita hidangkan di sini: al-Quran khatt bain al-daffatain, la yanthiq, wa innama yanthiqu bihi al-rijal – Quran adalah tulisan di antara dua lembaran, tak kuasa untuk berbicara; hanya manusialah yang membuatnya berbicara. Dengan kata lain, hanya manusialah yang bisa membuat suatu teks punya arti melalui kegiatan penjelasan, pemahaman, dan penafsiran.
    Oleh karena yang bisa melakukan penafsiran hanyalah manusia, bukan yang lain, sebuah pemahaman dan penafsiran selalu bersifat manusiawi, dan kepadanya melekat sifat-sifat manusiawi pula, misalnya sifat kenisbian. Setiap penafsiran dipengaruhi oleh kondisi dan keterbatasan yang melekat pada manusia. Setiap penafsiran, dengan demikian, berwatak antropomorfis, bukan teomorfis. Itulah makna dari kata “antropomorfisme” dalam judul di atas.
    Tentu saja, manusia yang melakukan kegiatan penafsiran banyak jumlahnya, dan karena itu penafsiran akan selalu banyak dan beragam. Teks suci dalam agama tertentu memang satu. Tetapi penafsiran atas teks itu tidaklah mufrad/tunggal, melainkan jamak/banyak. Keragaman tafsir adalah “nasib” yang tak terhindarkan dalam komunitas agama manapun. 
    Ketunggalan teks suci tidak menjamin ketunggalan pemahaman dan penafsiran atasnya. Meski masyarakat agama tertentu merujuk kepada teks suci yang sama (misalnya, Quran), hal itu tidaklah menjamin mereka akan memiliki pendapat dan tafsiran yang seragam. Perbedaan akan selalu muncul, sebab memang ketunggalan tafsir dan pemahaman nyaris mustahil bisa dicapai.
    Hal lain yang patut dicermatkan, jika suatu teks bisa dianggap suci, karena berasal dari Tuhan, misalnya, tentu penafsiran atas teks itu tidaklah suci, sebab penafsiran berasal dari manusia yang serba dibatasi oleh berbagai macam bentuk “contingencies”, hal-hal sementara yang membatasi keberadaannya sebagai individu atau anggota dalam masyarakat.
    Di sinilah letak relevansi pembedaan yang, dulu, pernah dibuat oleh almarhum Prof. Nasr Hamid Abu Zayd antara agama dan wacana agama, antara al-din dan al-khithab al-dini. Agama memang suci dan bersifat mutlak, sekurang-kurangnya menurut masyarakat yang mempercayainya. Tetapi, wacana tentang agama, termasuk di dalamnya adalah penafsiran, tidaklah mutlak dan suci. Ia relatif, nisbi.
    Dengan kata lain, walau ada teks suci, tetapi tidaklah ada penafsiran yang suci. Penafsiran selalu berwatak antropomorfis, historis, dan lekat-menempel pada ruang dan waktu tertentu. Karena wataknya yang “contingent” atau tergantung pada syarat dan kondisi sosial tertentu itulah, penafsiran juga bersifat plural dan jamak.
    Berikut ini adalah contoh tentang watak antropmorfisme penafsiran. Saya akan mengambil contoh soal isu ucapan Selamat Natal yang akhir-akhir ini diributkan banyak kalangan. Sengaja saya ambil contoh ini karena peristiwa perayaan Natal masih belum terlalu jauh berlalu dari kita (teks ini ditulis pada 11 Januari 2012, persis pada hari ulang tahun saya).
    Banyak kalangan yang berpendapat, umat Islam diharamkan mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristen. Biasa disebut dengan tahni’ah dalam bahasa Arab. Alasannya? Karena ucapan seperti itu secara tak langsung menujukkan bahwa si pengucap menyetujui doktrin atau kepercayaan Kristen. Menyetujui kekufuran (maksudnya: kepercayaan yang bertentangan dengan prinsip monoteisme Islam), demikian logika yang kerap dipakai oleh banyak ulama, sama dengan kekufuran itu sendiri – al-ridha bi al-kufri kufrun.
    Salah satu ulama klasik yang berpendapat demikian ialah Ibn Taymiyyah (1263-1328 AD) dan diikuti oleh muridnya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (1292-1350 AD). Mereka, antara lain, memakai ayat 39:27 sebagai dasar keharaman itu. Bagian dalam ayat itu yang menjadi landasan argumentasi mereka berbunyi: wa la yardha li ‘ibadihi al-kufr – Dan Tuhan tak menyukai kekufuran untuk para hambaNya. (Baca pendapat Ibn al-Qayyim ini dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Uthaimin [1413 H/1992 AD], jilid ke-3, hal. 44-46).
    Catatan: Kalau kita cermat, sebetulnya ayat tersebut sama sekali tak menunjukkan secara eksplisit tentang haramnya ucapan Selamat Natal. Apakah mengucapkan Selamat Natal merupakan tindakan kekufuran yang dimaksud ayat itu? Ayat itu sendiri hanya berbicara tentang sesuatu yang umum saja, tidak secara spesifik mengenai soal ucapan Selamat Natal. Mendasarkan keharaman ucapan itu pada ayat tersebut merupakan hasil penafsiran yang dilakukan oleh seorang penafsir, yaitu Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim. 
    Di seberang dua ulama tadi, ada sejumlah ulama dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang berpendapat lain. Bagi mereka, umat Islam boleh menyampaikan ucapan Selamat Natal. Mereka memakai ayat 60:8-9 sebagai hujjah atau argumen penyokong. Secara garis besar, ayat itu mengatakan bahwa umat Islam tak dilarang berbuat baik (an tabarruhum) dan adil (wa tuqsithu ilaihim) terhadap orang-orang non-Muslim yang tak memusuhi mereka. Mengucapkan Selamat Natal adalah salah satu perbuatan baik, dan karena itu, sesuai dengan ayat tersebut, tentunya tidak dilarang.
    Pendapat yang terakhir ini dikemukakan tak kurang oleh Dr. Ali Gum’ah, mufti resmi negara Mesir. Pendapat Dr. Gum’ah juga disokong oleh Syekh Ali Abdul Baqi, Sekretaris Jenderal Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah, lembaga riset Islam yang berafiliasi dengan Universitas Al-Azhar.
    Syekh Abdul Baqi dengan lantang mengatakan, “Sesiapa yang berpendapat bahwa memberikan ucapan selamat kepada pengikut agama di luar Islam adalah haram, harus bisa menunjukkan teks yang jelas yang menunjukkan hal itu.” (Baca Al-Mashry al-Yaum, 7/1/2012).
    Contoh ucapan Natal ini menunjukkan dengan baik bahwa teks yang sama, yaitu Quran, dipahami dan ditafsirkan secara berbeda, dan kemudian juga melahirkan dua pendapat yang berbeda pula. Contoh ini mendedahkan ke kita, bahwa ketunggalan teks suci tak menjamin ketunggalan tafsiran. Jika semua umat Islam kembali memakai Quran, tidak dengan sendirinya mereka akan mempunyai pendapat yang sama. Perbedaan akan selalu muncul. Kenapa? Sebab tafsir mempunyai watak antropomorfis alias manusiawi, sebab ia diproduksi oleh manusia. Dan setiap yang manusiawi akan berwatak plural.
    Mana di antara dua pendapat itu –yang satu mengharamkan, yang satunya membolehkan ucapan Natal—yang sesuai dengan Quran, wong keduanya sama-sama memakai teks suci yang sama? Jawaban atas pertanyaan ini tak bisa dicari dalam teks Quran, tetapi dalam sumber lain, yakni pertimbangan kemaslahatan umum (maslahat ‘ammah). Dan kita tak boleh lupa, kemaslahatan umum pada dasarnya adalah bagian dari ajaran utama Quran. Memakai prinsip kemaslahatan umum sebagai dasar dalam penalaran agama, dengan demikian, tak bertentangan dengan Quran itu sendiri.
    Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Ali Gum’ah, tukar menukar ucapan selamat dalam konteks perayaan hari raya keagamaan akan memperkuat kesatuan nasional, serta menghindarkan kehidupan sosial yang penuh kecurigaan dan salah paham. Keduanya tentu merupakan kemaslahatan umum (common good) yang patut dipertimbangkan.
    Dalam pandangan saya, menyadari dimensi antropomorfis dalam penafsiran teks suci akan banyak membantu golongan-golongan yang berbeda dalam komunitas agama tertentu untuk bersikap rendah hati, tidak saling menuduh “menyimpang/sesat” yang lain.
    Sebab, yang suci toch hanyalah teks. Sementara tafsiran atas teks itu, tidak. Cekcok berkepanjangan biasanya muncul, antara lain, karena satu pihak menyucikan tafsiran mereka begitu rupa sehingga sama kedudukannya dengan teks suci itu sendiri.
    Jika tafsiran yang berwatak antropomorfis dimakzulkan dari tahta kesuciannya, tentu pengikut tafsiran itu lebih cenderung tidak akan bersikap absolutistik atau mutlak-mutlakan. Wa ‘l-Lahu a’lam bi al-shawab.
  • Kedaulatan Migas Indonesia 2012

    Kedaulatan Migas Indonesia 2012
    Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
    Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012
    Hakikat kedaulatan migas sebagai bagian dari kedaulatan energi adalah kemampuan memenuhi seluruh kebutuhan minyak dan gas bumi nasional. Berarti, secara neto tak ada lagi impor minyak dan BBM.
    Namun, sejak menjadi negara pengimpor neto minyak tahun 2004, Indonesia bergantung kepada negara lain dan tidak lagi memiliki kadaulatan energi.
    Kedaulatan atas penguasaan volume produksi di dalam negeri menjadi sangat strategis karena terkait langsung besaran volume impor minyak (dan BBM) serta besaran subsidi BBM yang bermuara pada defisit APBN.
    Bagi negara dengan tingkat ketergantungan energi relatif tinggi kepada negara lain, kedaulatan atau penguasaan volume migas menjadi sangat strategis karena langsung terkait hajat hidup rakyat.
    Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, kedaulatan energi Indonesia jauh lebih rentan. Malaysia melalui Petronas mempunyai akses penguasaan migas di 30 negara di luar Malaysia. Untuk meningkatkan kedaulatan energi, Indonesia diharapkan mampu mengembangkan volume cadangan migas dalam negeri melalui akselerasi kegiatan kebumian, baik kelengkapan data geologi dan geofisika—terutama di Indonesia timur dan wilayah perbatasan—maupun sarana penunjang non-kebumian untuk memperbaiki iklim investasi. Untuk penguasaan migas di luar negeri, pemerintah perlu segera memfasilitasi Pertamina agar memperoleh konsesi lapangan migas di luar negeri.
    Bagaimana dengan sektor gas? Beruntung Indonesia belum menjadi negara net-pengimpor gas. Walau kekurangan gas untuk memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia masih dianggap mempunyai kedaulatan energi dari sektor gas. Saat ini Indonesia belum punya beban impor gas dan belum punya beban langsung subsidi gas sehingga pemerintah tampaknya belum berniat mengangkat lifting gas menjadi asumsi dasar APBN.
    Apabila Menteri Keuangan memutuskan menggabung lifting minyak dengan lifting gas sebagai asumsi makro APBN, tingkat keberhasilan lifting pemerintah akan lebih baik. Namun, sejauh model kontrak production sharing contract (PSC) yang terkait penguasaan volume tak direvisi, hal ini tidak banyak memengaruhi kedaulatan migas dan pengurangan defisit APBN.
    Jalan Pintas
    Sejak dulu kedaulatan Indonesia terhadap volume lifting migas nasional hanya separuh, separuh lagi dikuasai oleh kontraktor. Padahal, model PSC memungkinkan para investor meminta pengembalian biaya pemulihan (cost recovery) dalam bentuk volume minyak dan gas.
    Fasilitas ini menguntungkan investor. Pertama, investor mempunyai akses penguasaan volume yang dapat dibawa langsung ke negerinya. Kedua, investor mempunyai akses untuk menjual volume tersebut dengan harga premium. Ketiga, investor memiliki akses untuk tukar guling (swap) antarpemangku kepentingan dalam dan luar negeri.
    Sebelum menjadi negara net-pengimpor minyak, model PSC tidak menjadi masalah. Namun, sebagai negara net-pengimpor minyak, pemerintah perlu mempertimbangkan model kontrak yang lebih berdaulat.
    Besarnya volume migas Indonesia yang dikuasai kontraktor tergantung dua variabel utama, yaitu harga minyak dan biaya pemulihan. Semakin tinggi biaya pemulihan, semakin banyak volume yang harus diserahkan kepada kontraktor sehingga pengendalian dan pengawasan biaya perlu lebih ditingkatkan. Namun, semakin tinggi harga minyak dunia, volume yang diserahkan mengecil karena harga minyak jadi faktor pembagi.
    Penguasaan volume oleh kontraktor atas pengembalian biaya pemulihan sebesar 30-35 persen volume lifting jelas mengurangi akses Indonesia untuk kedaulatan migas di dalam negeri.
    Guna mengangkat kedaulatan migas nasional, ke depan pemerintah perlu merevisi model kontrak migas agar formula pengembalian biaya pemulihan tidak lagi dalam bentuk volume, tetapi diganti dengan dollar; tidak lagi dalam bentuk inkind, tetapi tunai (cash) dengan patokan harga pasar atau Indonesia Crude Price (ICP). Yang penting investor tetap diuntungkan.
    Keuntungan bagi Indonesia adalah jika volume migas untuk kilang BBM dan sektor pengguna migas di dalam negeri bertambah, jumlah impor minyak dan BBM berkurang, jumlah subsidi untuk BBM berkurang yang semuanya akan bermuara pada pengurangan defisit APBN. Yang paling penting adalah kedaulatan energi nasional meningkat sejalan dengan berkurangnya tingkat ketergantungan impor dari negara lain.
    Pada kontrak-kontrak migas ke depan, seyogianya pemerintah mempertimbangkan model kerja sama yang tidak harus menyerahkan volume sebagai bagi hasil atau keuntungan usaha investor. Lebih baik diganti dalam bentuk pembayaran tunai. Volume lifting minyak dan gas bumi sebanyak mungkin harus tetap berada di Bumi Pertiwi, terutama jenis-jenis minyak yang dapat diolah kilang minyak dalam negeri.
    Cara lain menahan volume lebih banyak di dalam negeri terkait kontrak ekspor gas dengan formula harga ”kurang menguntungkan” adalah dengan mengirim gas ke luar negeri sebatas volume gas bagian kontraktor. Sedangkan volume gas bagian pemerintah ditahan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik yang membengkak.
    Penghitungan Akuntansi
    Walaupun secara fisik sulit membagi gas menjadi dua bagian, pemisahan volume gas bagian kontraktor dengan bagian pemerintah sangat dimungkinkan melalui model penghitungan akuntansi. Dengan demikian, dapat dipastikan berapa gas bagian kontraktor yang boleh diekspor.
    Secara kontraktual memang perlu dicermati hubungan dengan pihak pembeli yang mungkin saja menuntut karena volume berkurang dan dianggap sebagai pelanggaran kontrak jual-beli gas, tetapi demi kedaulatan migas model ini pantas untuk dikaji lebih saksama.
    Beberapa cara lain untuk menguasai volume yang relatif lebih kecil adalah penyerahan hak royalti FTP (first tranche petroleum). Bagian kontraktor tidak lagi menggunakan volume migas, tetapi dibayar tunai. Demikian juga keuntungan bagian BUMD atau perusahaan daerah pada lapangan migas, sebaiknya dibayar dengan dollar (cash).
    Tentu saja semua opsi masih harus dipertimbangkan untung ruginya bagi iklim investasi hulu migas di Indonesia, tetapi selama investor masih memiliki portofolio keuntungan yang wajar, tidak perlu terlalu khawatir mereka akan kabur meninggalkan Indonesia.
    Hal utama terkendalanya iklim investasi hulu migas di Indonesia adalah menumpuknya hambatan ”nonteknis” yang harus segera diselesaikan secara lintas sektor, baik di pusat maupun daerah, mulai dari perizinan, pembebasan lahan, hingga masalah otonomi daerah.
    Hal lain yang tidak kalah penting dalam penegakan kedaulatan migas adalah mempersempit ruang gerak para pemburu rente yang menjadi parasit di lingkaran elite politik yang justru berupaya melanggengkan impor.
  • Jangan Bergantung pada Keberuntungan

    Jangan Bergantung pada Keberuntungan
    Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE DAN DOSEN FEUI
    Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012
    ”Yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai sudut benak kita.”
    Kalimat kuno dari Keynes itu masih terasa benar hari ini, saat dunia yang cemas bicara soal rentannya ekspor terhadap fluktuasi ekonomi global.
    Begitu juga kita. Kita mulai bicara gejala pelambatan ekspor sejak September lalu. Kita bicara tentang perlunya diversifikasi ekspor. Ini bukan hal baru, ironisnya, tetapi kita tetap bergantung pada ekspor primitif kita.
    Saya ingat pertemuan National Bureau of Economic Research (NBER) untuk Asia Timur tahun 2010. Dalam konferensi NBER—yang dianggap sebagai lembaga riset ekonomi paling bergengsi di dunia—Joshua Aizenman melihat integrasi global mempercepat anjloknya ekspor secara tajam.
    Aizenman benar. Dampak krisis global tahun 2008 relatif minim terhadap Indonesia karena kombinasi dari antisipasi kebijakan yang baik dan nasib yang baik. Antisipasi kebijakan oleh pemerintah dan Bank Indonesia telah menyelamatkan ekonomi Indonesia.
    Namun, kita juga beruntung karena ekonomi kita didominasi konsumsi domestik. 
    Akibatnya, dampak pelemahan ekonomi global terbatas. Sebaliknya, negara yang terintegrasi dalam jaringan produksi atau yang berorientasi ekspor, seperti Singapura, terpukul.
    Karena itu, dalam pertemuan NBER itu saya sampaikan bahwa strategi orientasi ekspor harus diikuti oleh diversifikasi terhadap produk dan negara tujuan. Inilah yang akan menyelamatkan suatu negara dari fluktuasi global.
    Mengapa kita tidak fokus saja pada pasar domestik? Hati-hati, kita harus memanfaatkan keduanya! Dalam bab pada buku Managing Openness: Trade and Outward-Oriented Growth After the Crisis, yang diterbitkan Bank Dunia (2011), saya dan Sjamsu Rahardja menunjukkan bahwa salah satu alasan mengapa konsumsi domestik Indonesia tetap kuat dalam krisis 2008—selain stimulus fiskal dengan potongan pajak—adalah akumulasi tabungan akibat kenaikan harga komoditas ekspor primer beberapa tahun lalu. Eksporlah yang menyelamatkan konsumsi domestik!
    Di sini ada dilema: menggantungkan diri pada ekspor dapat membuat ekonomi Indonesia rentan, tetapi meninggalkan ekspor akan melemahkan konsumsi. Apa pilihannya? Pertahankan strategi ekspor, tetapi diversifikasi produk dan negara tujuan. Tanpa itu, kita rentan terhadap fluktuasi global.
    Sayangnya, produk dan pasar ekspor kita masih primitif. Diversifikasi relatif terbatas. Dalam buku itu saya dan Rahardja menunjukkan bahwa pendorong ekspor Indonesia dalam 18 tahun terakhir adalah produk yang sama yang dijual ke pasar yang sama.
    Penemuan baru (new discovery)? Kurang dari 5 persen. Bahkan kontribusi dari produk baru di pasar yang baru hampir tidak ada! Sangat berbahaya apabila tidak ada perbaikan dalam soal ini. Tahun 2008 kita beruntung. Apakah tahun 2012 ini kita beruntung lagi? Don’t push your luck too far.
    Apa yang harus dilakukan? Pertama, diversifikasi ekspor membutuhkan inovasi. Inovasi membutuhkan penelitian dan pengembangan (litbang). Sayangnya, litbang kita lemah. Teknologi tidak begitu saja diperoleh dari negara maju. Dibutuhkan insentif agar litbang berjalan.
    Di sini peran pemerintah dibutuhkan. Berikan potongan pajak untuk aktivitas litbang dan pelatihan. Dalam pertanian, misalnya, kita butuh inovasi dalam varietas baru (termasuk agrobioteknologi), pendekatan baru dalam pengelolaan air dan lingkungan, dan infrastruktur yang mendukung pertanian.
    Kedua, inovasi tak bisa bergantung pada bank komersial karena adanya ketidaksesuaian di dalam sumber pembiayaan dan waktu proyek yang sifatnya jangka panjang. Di sini penguatan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia bisa menjadi opsi.
    Ketiga, eksperimen dengan produk baru hanya bisa dilakukan apabila ada keuntungan. Biaya logistik yang tinggi mengurangi keuntungan sehingga insentif untuk melakukan inovasi produk baru terhalang. Karena itu, perbaikan dalam logistik, melalui pembangunan infrastruktur, tidak bisa ditawar.
    Keempat, juga ditunjukkan bahwa ekspor kita kian terkonsentrasi pada ekspor primer karena apresiasi riil nilai tukar rupiah. Karena itu, nilai tukar harus dijaga agar kompetitif. Caranya: jaga inflasi tetap rendah.
    Kelima, promosi dan pemasaran merupakan salah satu kendala yang menghambat ekspor kita. Diversifikasi ekspor harus didukung pemasaran dan promosi yang kuat. Jika Indonesia mulai masuk ke dalam struktur pasar yang monopolistik, maka eksportir harus mampu bersaing bukan hanya dalam harga, melainkan juga dalam merek dan promosi.
    Keenam, kembangkan ekspor jasa. Sektor jasa mempekerjakan hampir separuh dari pekerja Indonesia. Kita punya potensi besar dalam pariwisata dan juga tenaga kerja. Apalagi tahun 2025, banyak negara di Asia punya persoalan orang berusia lanjut. Dengan bonus demografi, kita bisa memasok tenaga kerja. Syaratnya: kualitas sumber daya manusia harus baik.
    Pemikiran ini jelas bukan hal yang terlalu sulit. Kesulitannya bukan dalam ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan cara berpikir lama yang selama ini menguasai benak kita. Persis seperti kata Keynes lebih dari 75 tahun silam.
  • Eksklusi untuk Pelaku Korupsi

    Eksklusi untuk Pelaku Korupsi
    A.  Bakir Ihsan, DOSEN ILMU POLITIK FISIP UIN JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012
    ”When it is the governor who goes bad, the fabric of Illinois is torn and disfigured and not easily repaired. You did that damage.” Hakim Illinois, Amerika Serikat, James Zagel (2011)
    Koruptor tak sekadar penjarah harta. Ia sekaligus perusak bangunan sosial.
    Itulah dakwaan Hakim Zagel terhadap mantan gubernur Illinois, AS, Rod Blagojevich, sebagaimana dikutip chicagotribune.com (8 Desember 2011). Zagel menjatuhkan hukuman 14 tahun bagi gubernur dari Partai Demokrat yang memimpin Negara Bagian Illinois 2003-2009 itu.
    Korupsi tak sekadar urusan uang yang ditilap (financial manipulations), karena itu bisa dikembalikan atau dirampas kembali; atau hanya terkait perilaku menyimpang (misuse of public power) sebagaimana didefinisikan JJ Senturia (1993) yang bisa diselesaikan secara hukum. Korupsi, menurut Zagel, terkait destruksi atas senyawa sosial yang kohesif. Korupsi berefek pada kerusakan sinergi sosial yang sudah berjalin secara fungsional.
    Ia menghambat, memutus, dan membusukkan rangkaian kehidupan sosial yang sejatinya saling memberi efek dan energi positif bagi kehidupan yang lebih baik. Kehadiran koruptor jadi duri yang berpotensi memborokkan tatanan sosial dari dalam. Dan ini patut kita prihatinkan seiring kian runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini. Rilis Lembaga Survei Indonesia (8 Januari 2012), opini masyarakat terhadap penegakan antikorupsi 2011 kian menurun dibandingkan 2010.
    Sengkarut Kebejatan
    Beberapa kali kita dikejutkan oleh putusan bebas terdakwa kasus korupsi. Catatan Komisi Yudisial, puluhan koruptor divonis bebas Pengadilan Tipikor. Indonesia Corruption Watch menyebutkan, sampai November 2011 terdapat 40 terdakwa korupsi divonis bebas. Logika hukum para hakim tak berdaya menjamah para koruptor. Kebebasan para koruptor sedikit banyak memberikan angin segar bagi para calon dan pelaku korupsi yang belum terendus untuk terus nekat korupsi. Jangankan efek jera, mereka justru kian cerdik cari celah berkorupsi secara sistemik.
    Ironisnya, ini ”mendapat angin” dari anggota DPR. Upaya interpelasi atas kebijakan pengetatan pemberian remisi untuk para koruptor dan teroris sedikit banyak menggoyah upaya sungguh-sungguh pemberantasan korupsi. DPR yang mempertanyakan kebijakan moratorium terjebak pada problem formalistik-legalistik yang selama ini sering dijadikan kedok koruptor untuk korupsi. Seharusnya, sebagai wakil rakyat, mereka lebih melihat dampak eksesif korupsi bagi rakyat dan mendukung sepenuhnya logika dan upaya pemberantasan korupsi.
    Lemahnya komitmen antikorupsi oknum penegak hukum dan legislatif jadi pelengkap sengkarut korupsi di segala lini kehidupan negeri ini. Korupsi masif ini berdampak terhadap deviasi kehidupan yang tersamarkan di balik euforia demokrasi prosedural. Dampak sosiologis inilah yang cenderung terlupakan dan terabaikan. Pada titik tertentu, korupsi jadi ajang selebrasi kaum bedebah. Bahkan kalau bisa melakukan perlawanan balik.
    Kesadaran tentang efek destruktif korupsi bagi tatanan sosial belum sepenuhnya tumbuh di masyarakat. Hal ini terlihat dari belum adanya korelasi signifikan antara persepsi masyarakat yang negatif terhadap korupsi dan penyikapan terhadap koruptor. Persepsi tak selalu berkorelasi dengan aksi. Korupsi lebih dilihat sebagai kejahatan ekonomi dan hukum (struktural), bukan beban sosial (kultural). Akibatnya, sanksi sosial dan operasi masif atas potensi korupsi tak hadir secara komprehensif.
    Lebih jauh, ini berdampak pada sikap permisif terhadap korupsi. Korupsi dipandang bukan sesuatu yang aneh dan najis, karena itu tak perlu dieliminasi dan dieksklusi. Bahkan dalam beberapa kasus, koruptor tetap mendapatkan simpati (suara) dari konstituen untuk jabatan publik baik di legislatif maupun di eksekutif. Dalam kurun 2008-2011 terjadi delapan kali pelantikan kepala daerah berstatus tersangka dan terdakwa (Kompas, 9/1/12).
    Padahal, secara moral, koruptor berperilaku di luar kewajaran sosial dan secara personal mereka mengidap kejiwaan menyimpang (psychiatric deviations). Pada titik tertentu, apabila dibiarkan, ini bisa menjalar dan menular. Karena itu, perlu eksklusi, pemisahan secara tegas, baik secara kategoris maupun sosiologis terhadap koruptor. Eksklusi ini penting untuk memastikan berjaraknya efek domino dari tindak koruptif yang destruktif para pelaku korupsi dengan tatanan sosial yang belum sepenuhnya terkontaminasi.
    Eksklusi harus jadi gerakan masif masyarakat madani dan didukung media massa, di tengah runtuhnya citra bersih institusi negara. Sebagaimana ditekankan Michel Foucault, identitas menyimpang (gila) para koruptor bukan masalah empiris atau medis semata. Ini juga terkait nilai-nilai sosial dan diskursus-diskursus yang terbentuk dalam masyarakat. 
    Eksklusi dibentuk karena kebutuhan rakyat untuk kepentingan formasi sosial yang bersih dari korupsi. Paling tidak, ada komitmen masif untuk menegaskan jarak antara kami (rakyat) dan mereka (koruptor). Kami sebagai rakyat yang tak mau jadi korban, dan mereka sebagai yang aneh dan beda, karena itu harus dieksklusi.
  • Negara dan Budaya Konspirasi

    Negara dan Budaya Konspirasi
    Azyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA; ANGGOTA DEWAN PENASIHAT INTERNATIONAL IDEA STOCKHOLM
    Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012
    Kepercayaan dan budaya berpikir konspiratif tampaknya sudah begitu meruyak di Tanah Air. Hampir sama dengan korupsi, banyak kalangan masyarakat awam kian percaya adanya konspirasi yang sudah membudaya di lingkungan para pejabat publik di berbagai lembaga negara dan pemerintah.
    Dalam persepsi masyarakat, banyak peristiwa, kasus, dan skandal menyangkut ekonomi, keuangan, politik, dan hukum terjadi atau berakhir dengan melibatkan konspirasi tertentu di kalangan birokrat negara, aparat pemerintah, penegak hukum, dan juga pemilik modal besar.
    Meningkatnya kepercayaan banyak kalangan tentang kian merajalelanya konspirasi di lingkungan lembaga pemerintah, birokrasi negara, dan konglomerasi pemodal kuat dipicu menggunungnya kasus dan skandal yang tidak terselesaikan, atau bahkan menguap begitu saja. Penegak hukum dan lembaga pemberantas korupsi yang seharusnya dapat melakukan banyak hal guna menyelesaikan kasus dan skandal berbau konspirasi bukan hanya terlihat tidak berdaya, melainkan bahkan dalam satu dan lain hal terlibat di 
    dalamnya.
    Akibatnya, banyak kalangan masyarakat percaya, misalnya hukuman lima bulan buat AAL—sang pencuri sandal yang menjadi pemberitaan memalukan bagi citra Indonesia dalam berbagai media internasional—di Pengadilan Palu belum lama ini merupakan konspirasi antara internal aparat kepolisian sendiri dengan kejaksaan dan pengadilan. Masyarakat juga memersepsikan adanya konspirasi pihak dan kekuatan tertentu, misalnya dalam skandal Century; kasus cek pelawat dalam pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI; skandal M Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat; kekerasan dan brutalitas aparat Polri di Mesuji dan Bima terhadap massa rakyat.
    Dalam berbagai skandal dan kasus semacam itu, banyak kalangan percaya adanya konspirasi di lingkungan antarbirokrasi dan lembaga pemerintah, yang tak jarang melibatkan kalangan legislatif dan parpol, seperti terpantul dalam skandal Century. Masyarakat juga percaya, adanya konspirasi di lingkungan birokrasi negara dan lembaga atau aparat pemerintah dengan pemodal kuat seperti tersirat dalam kasus Mesuji dan Bima dengan melanggar HAM dan mengorbankan warga negara.
    Akar Budaya Konspirasi
    Kepercayaan pada adanya konspirasi (conspiracy theory) biasanya berakar pada meluasnya kesenjangan antara harapan publik dan realitas seharusnya. Jika publik melihat ketentuan hukum dan perundangan tak lagi ditegakkan secara adil, tak bisa lain muncul pikiran konspiratif yang secara instan meluas di masyarakat.
    Begitu juga kepercayaan adanya konspirasi jadi berkembang kian luas ketika pernyataan pejabat publik dan pihak terkait lain tak sesuai perbuatan mereka.
    Istilah konspirasi lazim digunakan di lingkungan akademik yang kemudian juga menjadi paradigma dalam masyarakat untuk mengacu pada adanya semacam kesepakatan rahasia di antara pihak tertentu di lingkungan birokrasi negara, aparat pemerintah, kepolisian, militer, parpol, dan bisnis untuk mencapai tujuan tertentu dengan melanggar hukum dan mengorbankan kepentingan publik.
    Meminjam kerangka teori Michael Barkun dalam A Culture of Conspiracy; Apocalytic Visions in Contemporary America (2006), pemikiran konspiratif terwujud ketika masyarakat percaya adanya ”rencana-rencana” jahat yang direkayasa dan dilaksanakan para konspirator yang sangat kuat dan amat berkuasa. Para konspirator luar biasa licin dan licik; punya kekuatan politik luar biasa dan uang berlimpah untuk mengendalikan dan memanipulasi ketentuan hukum. Mereka sekaligus sangat digdaya untuk bisa terjangkau kekuatan masyarakat sipil. Jaringan konspirator ini mahir menutupi berbagai celah yang mungkin bisa berujung pada terbongkarnya konspirasi mereka.
    ”Trust”, Apatisme, Kekerasan Sosial
    Meluasnya kepercayaan tentang adanya konspirasi yang secara saling silang melibatkan birokrat negara, aparat pemerintah, dan pemodal kuat jelas menimbulkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Kepercayaan pada adanya konspirasi menguras trust (percaya dan saling percaya) yang merupakan salah satu modal sosial pokok bagi sebuah negara untuk dapat solid dan utuh. Tanpa modal sosial ini, sulit bagi negara mewujudkan kemajuan.
    Tak kurang parah, kepercayaan pada adanya konspirasi dapat mendorong menguatnya potensi-potensi kekerasan yang laten dalam masyarakat. Bukan tak mungkin ketika kalangan masyarakat yang sudah terkuasai pikiran konspiratif menjalankan hukumnya sendiri karena mereka merasa berbagai upaya demokratis, sesuai ketentuan hukum, dan damai menemukan tembok-tembok tak terlihat, begitu tebal dan tidak tergoyahkan.
    Atau sebaliknya. Persepsi konspiratif juga dapat memperkuat sikap apatis kalangan masyarakat terhadap negara dan pemerintah. Apatisme ini pada gilirannya mendorong kemerosotan partisipasi publik dalam proses-proses kehidupan berbangsa-bernegara. Kehidupan negara dan pemerintah yang diwarnai banyak persepsi konspiratif para warganya tak bisa diabaikan begitu saja. Gejala ini juga tak bakal hilang dalam perjalanan waktu; ia terus bertahan dan bahkan menguat jika tak ada perubahan sikap dan langkah pejabat publik terkait untuk mengatasi.
    Jika kita ingin menghilangkan atau setidaknya mengurangi budaya konspiratif—baik pada level tindakan rekayasa maupun pada tingkat persepsi—langkah pertama mestilah dilakukan birokrat negara, aparat pemerintah, dan juga pemodal kuat. Pertama-tama mereka harus menundukkan diri kepada ketentuan hukum dan kerangka demokrasi yang lebih otentik. Jika ini dapat ditampilkan ke depan publik secara tulus, kepercayaan publik bisa tumbuh; dan secara perlahan trust bisa tumbuh kembali, dan pada saat yang sama pendekatan kekerasan massa dan apatisme warga sekaligus dapat berkurang.
  • Penjinakan Agraria(isme)

    Penjinakan Agraria(isme)
    Gutomo Bayu Aji, PENELITI BIDANG EKOLOGI-MANUSIA
    PADA PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN LIPI
    Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012
    Apakah konflik sumber daya alam seperti di Mesuji dan Sape akan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan agraria?
    Pertanyaan itu mengganggu saya setelah baca koran. Pertama, sudah puluhan tahun media tak mengangkat kasus serupa ke dalam ranah agraria. Kedua, ada sedikit kesepahaman antara aktivis HAM dan beberapa aparat pemerintah: menggolongkannya ke dalam masalah agraria.
    Apakah keduanya pertanda bahwa pendekatan agraria sudah diterima luas setelah lebih dari 30 tahun undang-undangnya dipetieskan? Atau, keduanya gerah dengan situasi akan lahirnya peraturan pemerintah yang ditunggu selama lebih dari 50 tahun?
    Apa pun penjelasannya, yang terasa masihlah persaingan ideologi lama dengan ideologi baru. Ideologi lama jelas berpijak pada UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria; ideologi baru mengacu pada mekanisme pasar.
    Ideologi lama yang sejak era Reformasi menjelma menjadi gerakan sosial telah 
    menyusupkan pasukannya ke sistem birokrasi. Namun, ideologi baru yang menguasai perangkat sistematis terus-menerus menjinakkan militansi gerakan sosial itu melalui negosiasi kesejahteraan.
    Persaingan memang tak seimbang. Gerakan sosial ini bukanlah Zapatista. Adapun birokrasi telah kawin-mawin dengan penguasa modal, pebisnis, dan mafia perundang-undangan. Telah bertahun-tahun gerakan sosial ini dikooptasi, diserap ideologi agrarianya ke dalam sistem kapitalisme global. Saya yakin pasukan yang disusupkannya ke dalam sistem birokrasi itu juga mulai lembek, dijinakkan militansinya, dan dibuat kelelahan dengan inefisiensi birokrasi.
    Menghitung Kasus
    Para sosiolog pedesaan meyakini bahwa agenda agraria telah pupus dari lingkungan akademik, termasuk lembaga penelitian pemerintah, dan diambil alih gerakan sosial itu. Ironis memang, agenda bangsa sebesar itu hilang dari perhatian akademianya dan, tragisnya, hanya dikerjakan segelintir aktivis.
    Apakah kasus Mesuji dan Sape akan dimenangi oleh wacana agraria? Ataukah wacana agraria lain yang sejak 2004 menjadi salah satu agenda SBY?
    Di tangan Joyo Winoto, agenda agraria tak lebih dari agenda tersembunyi Hernando de Soto, pemikir liberal dari Amerika Latin: menghubungkan dead capital di tangan petani miskin ke mekanisme pasar. Sertifikat tanah dianggap sebagai aset yang bisa disulap menjadi akses menuju kesejahteraan.
    Baik De Soto maupun Joyo terselimuti kabut bahwa pemegang sertifikat tanah adalah penguasa buruh lepas dan sebagian lainnya bukanlah petani sesungguhnya. Dalam struktur agraria di pedesaan Indonesia, jumlah buruh lepas ini sangat besar. Memang Sensus Pertanian BPS masih berusaha memilah antara pemilik tanah dan penggarap serta buruh tani. Namun, dari mobilitas penduduk ke perkotaan terlihat jelas kelas mereka.
    Tidakkah tebersit bahwa dengan struktur agraria seperti itu, sertifikasi tanah memicu gelombang diferensiasi agraria, bahkan terbesar kedua setelah dampak revolusi hijau di masa lalu?
    Kritik yang secara konsisten ditekankan pada ideologi lama adalah redistribusi, lawan diferensiasi. Sayangnya, redistribusi tak pernah sungguh-sungguh dijadikan agenda negara. Pembangunan pertanian skala besar dengan pola plasma seperti MIFFE di Merauke dianggap sebagai jalan redistribusi. Namun, apa yang terjadi di Mesuji? Plasma benar- benar menjadi makhluk lemah.
    Pola PIR yang dikembangkan melalui skema transmigrasi yang dianggap menjadi model redistribusi yang lain juga belum menjawab barisan proletar yang terus-menerus direproduksi oleh mekanisme pasar. Menghitung skema-skema yang ada, tampaknya kasus Mesuji dan Sape bisa dengan mudah terlepas dari agenda redistribusi apabila tak didekati secara benar.
    Pembelajaran
    Kasus Mesuji dan Sape terlampau mahal dijadikan pembelajaran karena menelan korban jiwa. Namun, apa yang bisa dipetik dari dua kasus itu jika diletakkan ke dalam ranah agraria?
    Kedua kasus memberi pelajaran bahwa kekuasaan seorang menteri kehutanan di negeri ini sudah seperti raja. Ia menguasai tiga perempat daratan Indonesia tanpa kenal negosiasi redistribusi dalam arti yang sesungguhnya.
    Apa yang bisa dipetik dari pengalaman sebelumnya? Modelmodel social forestry menjembatani persoalan redistribusi. Model-model ini sekaligus mendelegitimasi kekuasaan raja ke dalam sistem penguasaan bersama.
    Raksasa modal juga telah menerima model-model ini sebagai bagian jiwa bisnisnya. Disadari, tanpa penguasaan bersama, kerugian lebih besar bisa ditimbulkan akibat konflik berkepanjangan. Redistribusi dalam arti sesungguhnya agaknya masih akan menjadi mimpi dalam ideologi lama, kecuali negara benar-benar terkontrol oleh konstitusi.
  • Dukungan Industri Mobnas

    Dukungan Industri Mobnas
    Wirawan Sumbodo, DOSEN FAKULTAS TEKNIK MESIN UNNES, MAGISTER KONVERSI ENERGI FAKULTAS TEKNIK MESIN UGM,
    MAHASISWA S-3 MANAJEMEN PENDIDIKAN PROGRAM PASCASARJANA UNNES
    Sumber : SUARA MERDEKA, 16 Januari 2012
    LAHIRNYA Esemka, mobil rakitan siswa SMK Negeri 2 dan SMK Warga Surakarta bekerja sama dengan bengkel Kiat Motor Klaten seperti kembali menginspirasi untuk mewujudkan gagasan membangun industri mobil nasional (mobnas). Mungkinkah gagasan itu diwujudkan dalam waktu relatif dekat? Apakah kita perlu kembali memulainya, mengilas balik dan memanfaatkan momentum lahirnya mobil rakitan siswa SMK, yang notabene bukan produk industri modern?
    Sejatinya, membangun industri mobnas bukan pekerjaan ringan karena terkait dengan ratusan industri komponen yang harus siap menopangnya. Untuk bisa berfungsi dengan baik, sebuah mobil memerlukan ratusan jenis komponen yang harus diuji kelayakannya karena menyangkut keamanan mobil sekaligus keselamatan penggunanya.
    Ada beberapa perbedaan yang mendasar terkait dengan proses produksi dan perakitan. Merakit mobil berbeda dari membuat komponen. Merakit lebih bersifat menggabungkan sejumlah komponen hingga menjadi satu unit utuh. Adapun pembuatan komponen juga memerlukan mesin produksi yang bervariasi, bergantung pada jenisnya. Komponen bisa dibuat oleh industri kecil menengah (IKM) yang banyak kita temui di Indonesia.
    Namun komponen yang dihasilkan harus terlebih dahulu menjalani uji kelayakan, dan ada jaminan kontinuitas. Kita bisa membayangkan bila ada satu komponen yang terlambat pengirimannya maka akan menghambat laju produksi secara keseluruhan.
    Jaminan itu menyangkut kualitas dan ketepatan waktu pengiriman. Standar industri komponen automotif diatur dalam standar internasional ISO/ TS 16949.
    Bila kita berpikir lebih global, industri komponen yang sudah ada atau potensial, sebaiknya membentuk klaster. Tentunya setelah semua pemangku kebijakan menyepakati perlunya memproduksi mobnas. Keberadaan  klaster industri komponen ini akan memudahkan pemerintah atau perusahaan induk membinanya agar mampu menghasilkan komponen berkualitas, memiliki kontinuitas produksi, dan jaminan pengiriman tepat waktu
    Dukungan Pemerintah
    Proses perakitan massal memerlukan sarana perakitan (assembly line) yang mampu menghasilkan ratusan unit tiap hari. Industri minibus di Dusseldorf Jerman Barat mampu memproduksi satu unit tiap 6 menit. Produksinya berbasis pada penggunaan robot, dengan sedikit menggunakan tenaga manusia, sehingga prosesnya lebih efisien dan harga jual produknya pun lebih kompetitif.
    Kita bisa membandingkan dengan perakitan Kiat Esemka yang masih manual, proses produksi satu unit butuh waktu lebih dari sebulan. Karena itu, bila kita serius membangun industri mobnas,  perlu dukungan pemerintah untuk membuat sarana perakitan dari sasis (chassis) hingga menjadi unit utuh, yang dapat menyerap ratusan tenaga kerja dari berbagai bidang.  
    Bila ingin efisien dan fleksibel, perakitannya bisa menggunakan robot industri. Proses ini memerlukan padat modal dan padat teknologi, oleh karena itu mutlak perlu dukungan pemerintah dan lembaga pendidikan untuk menghasilkan ahli automotif. Langkah awalnya bisa dengan membangun merek (brand) terlebih dahulu dengan desain yang dipatenkan. Eksis dan tidaknya mobnas bergantung pada kualitas produk tersebut. Artinya kendaraan bermotor itu harus dapat memenuhi harapan konsumennya, baik dari sisi kualitas, harga, maupun jaminan pelayanan purnajual.
    Betapa pun cintanya konsumen terhadap sebuah produk nasional, bila produk itu tidak dibarengi dengan kualitas maka kebanyakan konsumen, baik secara spontan maupun lambat laun akan meninggalkannya, dan memilih produk lain yang sudah teruji keandalannya.
    Sebagai bangsa yang merdeka dan terpandang, kita harus berani memulai mewujudkan cita-cita membangun industri mobnas. Bila tidak kita mulai dari sekarang, kapan lagi?