Blog

  • RUU Ormas dalam Bingkai NKRI

    RUU Ormas dalam Bingkai NKRI
    Umar Syadat Hasibuan, DOSEN IPDN
    Sumber : KOMPAS, 17 Januari 2012
    Pascareformasi, publik sering dikejutkan oleh maraknya perilaku anarkistis dari sejumlah ormas yang ada di Indonesia. Publik pun kembali mempertanyakan di mana peran negara.
    Tak dapat dimungkiri, pasca- reformasi, posisi dan peran serta kapasitas negara untuk mengevaluasi aktivitas ormas di Indonesia tampaknya masih dipersoalkan. Mengapa negara seakan tak kuasa terhadap aksi anarkistis yang dilakukan sejumlah ormas?
    Pada masa Orde Baru, negara dituduh mengooptasi ormas untuk menjaga stabilitas kemapanan rezim politik. Namun, pascareformasi, di tengah menguatnya ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi, negara pun ramai-ramai dituduh melalukan pembiaran terhadap aksi anarkistis. Posisi negara terhadap ormas tampak kian dilematis.
    Keberadaan ormas memiliki peran penting bagi kelangsungan NKRI. Bahkan, mereka terbukti ikut memiliki andil besar bagi kelahiran NKRI.
    Kendati belum memiliki landasan hukum yang jelas, keberadaan ormas selama masa pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan sebelum era demokrasi parlementer tampak memiliki peran penting dalam memperkuat fondasi negara-bangsa. Meski belum diatur dalam UU, keberadaan ormas tampak belum menjadi persoalan krusial di dalam panggung kekuasaan politik.
    Rezim Orde Baru kemudian memberikan landasan hukum. Melalui UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), keberadaan mereka pun bahkan mendapatkan sejumlah restriksi. Pada masa tersebut, restriksi ideologi diberlakukan secara ketat melalui asas tunggal Pancasila. Melalui UU tersebut dan PP No 18/1986, pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, serta memberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara.
    Runtuhnya Orde Baru sejak Mei 1998 menjadi pesta kebebasan bagi ormas di Indonesia. Pesta kekebasan ormas pun sering disalahgunakan sebagian kelompok masyarakat. Kerisauan terhadap peran dan posisi ormas pada akhirnya mendorong kegelisahan pemerintah—sebagai salah satu unsur negara—untuk kembali mencari landasan regulasi yang kuat bagi eksistensi ormas di Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan kepada DPR agar semua ormas terdaftar. Menurut data yang disampaikan Mendagri, saat ini hanya 2.227 ormas yang terdaftar di Kemdagri.
    Mengacu data di Kemdagri, terdapat 6.227 ormas yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, masih banyak ormas yang menjalankan aktivitasnya, tetapi belum terdaftar. Termasuk sekitar 150 ormas asing yang tercatat di Kementerian Luar Negeri, tetapi enggan melaporkan kegiatan mereka kepada pemerintah.
    Bayangan Anarkistis
    Pascakooptasi negara, keberadaan ormas tampak memasuki dua pola yang kian nyata. Pertama, lepas dari kooptasi negara, sejumlah ormas tampak kian terkooptasi oleh kekuatan elite yang mewarisi Orde Baru. Ketika reformasi berlangsung, sejumlah ormas tampak secara tiba-tiba terbentuk di Jakarta dan menjadi gelombang massa yang hampir ”berbenturan” dengan gerakan mahasiswa dan kelompok demonstran lain.
    Kedua, kooptasi dilakukan oleh parpol. Bahkan, tren terakhir, ormas dibentuk sebagai embrio lahirnya partai baru.
    Selain arus kooptasi, sejumlah ormas juga jadi aktor perilaku anarkistis, baik terhadap masyarakat maupun ke sejumlah ormas lain. Fenomena ini tak hanya memancing konflik vertikal, tetapi juga mendorong sejumlah potensi konflik horizontal di sejumlah daerah di Indonesia.
    Di tengah situasi tersebut, pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Ormas untuk menggantikan UU No 8/1985. Langkah ini tepat mengingat pola hubungan dan posisi ormas dengan negara cenderung dilematis.
    Pertama, ormas di negeri ini tumbuh dan berkembang dengan entitas yang ambigu dan jauh dari transparansi serta pertanggungjawaban kepada publik. Kedua, regulasi yang baru harus mampu mendorong independensi ormas, baik dari aspek ekonomi maupun politik. Karena itu, arus ketergantungan yang tinggi terhadap anggaran negara ataupun dana internasional serta rendahnya transparansi dan pertanggungjawaban ormas kepada publik sudah saatnya diakhiri.
    Regulasi baru harus mampu memberikan kontribusi penting. UU Ormas yang baru harus mampu mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal-administratif, termasuk melalui regulasi satu pintu ataupun aspek substantif. Selain itu, definisi ormas juga harus dipertegas, apakah perlu dibedakan dengan LSM atau yayasan, termasuk organisasi amal.
    UU Ormas yang baru juga harus memberi payung regulasi terkait dengan mekanisme pemberian sanksi terhadap tindakan anarkistis atau tindakan lain yang merugikan kepentingan publik, yang dilakukan oleh ormas tertentu. Di sini ukurannya tentu tidak lagi didasarkan pada prasangka ideologis yang berbasis nilai-nilai yang bersifat puritan, baik atas nama agama maupun etnis/suku. Akan tetapi, sanksi didasarkan pada indikator yang bersifat universal sebagai wujud penegakan hukum (law enforcement), baik pada level nasional maupun internasional.
    Bagaimanapun, keberadaan ormas merupakan elemen penting bagi masa depan NKRI. Bukan tak mungkin ke depan antara ormas dan pemerintah memungkinkan untuk saling bekerja sama dan memberi keuntungan (Lee Wilson, 2011). Kejelasan peran dan posisi pemerintah yang mewakili otoritas negara jelas sangat dibutuhkan untuk tetap menjamin bahwa keberadaan ormas tidak berpotensi merugikan, apalagi membahayakan kenyamanan kehidupan publik.
  • Mengapresiasi Mobil Esemka

    Mengapresiasi Mobil Esemka
    Abdul Haris, KEPALA DINAS TENAGA KERJA DAN SOSIAL, KOTA DEPOK,
    ALUMNUS CARNEGIE MELLON UNIVERSITY, AS
    Sumber : SUARA KARYA, 17 Januari 2012
    Fenomena mobil Kiat Esemka sangat menarik dan bisa menjadi contoh kasus predikat good job, excellent job atau malah ‘cibiran’? Dengan berhasilnya siswa SMK di Solo, Jateng merakit mobil Esemka, seyogianya predikat good job atau excellent yang semestinya diperoleh. Tetapi, kejadian di Republik ini terbalik. Ada memang pihak yang mengapresiasi dan memuji, tetapi juga tidak sedikit ‘cibiran’ atau keraguan yang datang secara bersamaan dari kalangan yang berbeda.
    Mengapa fenomena ini menarik untuk dibicarakan? Karena, fenomena ini menyangkut karakter, motivasi dan kemajuan berpikir suatu individu atau masyarakat atau bahkan suatu bangsa. Betapa tidak, sekelompok siswa SMK yang telah berhasil membuat mobil, direspon dengan positif oleh sebagian kalangan. Antara lain, Walikota Solo yang dengan sukarela menggunakan mobil tersebut sebagai kendaraan dinasnya sebagai salah satu bentuk apresiasi nyata terhadap hasil kreasi anak bangsa.
    Sementara sebagian kalangan lainnya justru ‘mencibir’ hal itu dengan anggapan bahwa itu adalah sesuatu yang tidak pantas. Dan, ada juga sebagian yang meragukan kelayakan mobil tersebut, padahal belum melihat, apalagi menggunakannya. Bukankah sikap macam ini sama saja dengan tidak menghargai karya anak bangsa?
    Marilah kita bandingkan dengan suatu contoh baik yang terjadi di suatu bangsa yang lain, katakanlah di Amerika Serikat (AS). Seorang siswa yang mengerjakan latihan membuat karya dalam mata pelajaran tertentu, lantas dinilai oleh gurunya. Biasanya apa pun hasilnya diberi nilai antara good job dan excellent. Siswa yang membuatnya dengan hasil terburuk pun akan diberi predikat good job. Sedangkan siswa yang mengerjakan dengan hasil sangat baik akan mendapatkan predikat excellent. Semuanya ditulis besar pada kertas hasil pekerjaan mereka. Tentu, semua ini akan mempunyai makna tersendiri.
    Mengapa demikian? Karena, yang pertama dihargai adalah niat baik dan upayanya mengerjakan pekerjaan tersebut. Yang kedua, untuk memberikan semangat kepada yang bersangkutan hingga dapat mengerjakan perbaikan jika ada kesalahan, atau memberi semangat untuk mengerjakan pekerjaan lainnya. Dengan demikian, diharapkan dorongan itu akan menciptakan produktivitas dan kemajuan berkarya. Jika tidak demikian, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya, seperti demotivasi, deproduktivitas, dan kemunduran berkarya.
    Oleh karena itu, respon secara proporsional dan konstruktif terhadap karya anak bangsa semacam siswa SMK dan kelompoknya perlu dikemukakan. Demikian pula terhadap produk hasil karya mereka pun perlu dihargai. Caranya dengan memberikan dorongan, semangat dan apresiasi terhadap inisiatif dan upaya mereka, dan kemudian terhadap hasil karya mereka. Terlepas dari apakah proses maupun hasilnya sempurna atau tidak, yang jelas sudah ada produknya. Kemudian, keberpihakan terhadap produknya melalui pembelaan konkrit, di antaranya dengan mempromosikan produknya, dan akan lebih baik lagi kalau bisa dan mampu untuk menggunakannya. Sikap dan tindakan optimis ini telah diberikan oleh Walikota Solo atas kehadiran mobil Esemka.
    Bagaimanapun kita perlu menghindari atau paling tidak, lebih membatasi untuk menggunakan mobil impor, jika kita sudah memiliki mobil nasional. Karena, hal itu akan memberikan kemudahan, menghindarkan persoalan ekonomi, dan menguntungkan banyak pihak.
    Kurangi Pengangguran
    Produksi mobil nasional akan menciptakan kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja yang otomatis dapat mengurangi pengangguran, salah satu persoalan nasional yang sangat krusial saat ini. Pengurangan pengangguran dapat dipastikan akan berdampak bisa mengurangi kemiskinan. Sementara pengurangan pengangguran dan kemiskinan tentunya akan mencegah terjadinya kriminalitas seperti yang kini kian marak terjadi.
    Begitu juga dari suku cadang, kalau bisa memakai produk lokal sudah barang tentu akan menghidupkan perekonomian bangsa sendiri. Sekaligus, menambah kesempatan kerja. Bukankah kalau membeli mobil impor hanya akan memperburuk neraca perdagangan negara? Apalagi, kalau sampai impor lebih besar, tanpa diimbangi dengan peningkatan ekspor yang lebih tinggi. Di lain pihak, produk mobil nasional dengan harga yang lebih murah, tentu akan meringankan beban masyarakat yang menggunakannya.
    Akhirnya, untuk mengurangi pemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan devisa negara, hasil karya anak bangsa seperti mobil Esemka dan produk lain yang sejenis perlu didukung dan didorong pengembangannya. Dalam hal ini, dukungan pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha sangat diperlukan, baik dari segi produksi, promosi, maupun penggunaannya. Harus dihindari berbagai komentar sinis, sikap pesimis dan tindakan destruktif yang dapat melemahkan mental anak-anak bangsa dalam berkarya hingga berdampak dapat menghambat produksi dan perkembangan mobil nasional.
    Saat ini banyak anggota masyarakat, pejabat, dan selebritis beramai-ramai memesan mobil Esemka. Bahkan muncul desakan untuk memproduksi Esemka secara massal sebagai cikal bakal mobil nasional. Apalagi, pelajar SMK yang ada yakin mampu memproduksi mobil Esemka dalam jumlah besar, melalui kerja sama antar-SMK dengan industri dan pemerintah.
    Pemerintah pun rasa-rasanya perlu membantu investasi peralatan teknologi terbaru untuk pembuatan Esemka ke depan agar lebih sempurna, sekaligus untuk melengkapi peralatan yang sudah ada di SMK. Dengan demikian, Esemka dapat diproduksi secara massal sehingga dapat memenuhi kebutuhan bangsa sendiri, menuju kemandirian bangsa Indonesia. Semoga.
  • Perbenturan Pendapat tentang UU Penyiaran

    Perbenturan Pendapat tentang UU Penyiaran
    Sabam Leo Batubara, KOORDINATOR PERANCANG AWAL RUU PENYIARAN,
    1999-2000; WARTAWAN SENIOR
    Sumber : SINDO, 17 Januari 2012
    Undang-Undang (UU) Nomor 32/2002 tentang Penyiaran dipermasalahkan. Menurut berbagai kalangan— dalam pelaksanaan UU tersebut—para pemimpin media penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan pemusatan kepemilikan media penyiaran.

    Kondisi seperti itu akan mematikan keanekaan informasi. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) pada 18 Oktober 2011 mengajukan uji materi Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU No 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Mengikuti Sistem

    Karena dulu ikut terlibat sebagai koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) penggagas awal UU Penyiaran tersebut, saya kembali terpanggil memberi pendapat, persoalan kedua pasal itu persoalan Mahkamah Konstitusi (MK) atau persoalan law enforcement? Pasal 18 ayat (1) menyebut: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.

    Juncto Pasal 58 huruf a berisi pokok: melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) untuk penyiaran televisi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah. Pasal 34 ayat (4): Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.JunctoPasal 58 huruf c: melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) untuk penyiaran televisi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.

    Untuk menyumbang masukankepadapublikdanpemangku kepentingan, saya menulis artikel dan dimuat di Kompas (27/12/2011) bertopik “Menyikapi Kepemilikan Media”. Isi pokoknya kuranglebih,pertama, apa alat ukur untuk menyatakan pemusatan kepemilikan media atau konglomerasi media salah atau tidak? Di industri media cetak alat ukur surat kabar atau kelompok surat kabar dinilai melakukan praktik monopoli atautidakadalahPasal27UUNo 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LPM & PUTS).Berdasarkan ketentuan itu belum ada media cetak yang melanggar praktik monopoli.

    Kedua,di industri penyiaran alat ukur untuk menilai pemusatan kepemilikan salah atau tidak adalah Pasal 18 ayat (1). Regulasi untuk ketertiban distribusi frekuensi penyiaran adalah Pasal 34 ayat (4).Kedua pasal itu sesuai prinsip demokratisasi penyiaran. Di mancanegara yang berparadigma demokrasi seperti AS dan Australia misalnya, pemusatan kepemilikan media penyiaran tidak dilarang, tapi dengan batasan.Jika pasalpasal itu dilanggar, solusinya bukan dengan mengadu ke MK, melainkan ke jalur hukum.

    Ancaman pidana penjara dan dendanya berat. Ketiga,jika peraturan pemerintah tentang batasan kepemilikan media penyiaran kurang pas,solusinyabukan mengadu keMK, melainkan ke MA. Keempat, upaya industri media televisi menuju tiga stasiun TV yang sehat bisnis dan ideal tidak bisa langsung divonis melanggar keanekaan informasi. Masih ada ratusan stasiun TV lokal, lembaga penyiaran publik, komunitas, dan berlangganan lainnya.

    Opini yang Menghakimi

    Kemudian, artikel Kristiawan, manajer Yayasan TIFA dan salah satu penggagas KIPD,dimuat di Kompas (13/1/2012) berjudul “Sesat Pikir Kepemilikan Media”.Artikel itu sebenarnya diharapkan memberi argumentasi tentang ketidakkonstitusionalan kedua pasal yang dipersengketakan. Namun,isi artikelnya langsung menghakimi Leo Batubara telah berlaku sesat pikir.

    Pertama,Kristiawan beropini seolah-olah contoh yang terjadi di industri media cetak dalam artikel Leo dimaksudkan untuk “berargumen bahwa industri media cetak bisa melakukan dominasi, penyiaran swastajuga bisa melakukan dominasi penyiaran.” Kristiawan beropini seolah-olah Leo menyatakan itu, lalu memvonisnya sebagai menyesatkan. Padahal dalam artikelnya, Leo sama sekali tidak menyebut industri media cetak bisa mendominasi, tapi fokus membedakan alat ukur penilaian berdasarkan UU.

    Di industri media cetak alat ukur untuk menilai apakah terjadi praktik monopoli atau tidak adalah Pasal 27 UU No 5/1999 tentang LPM & PUTS. Sementara di industri penyiaran, alat ukur untuk menilai pemusatan kepemilikan adalah Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran. Kedua, Kristiawan menulis: Leo mungkin lupa bahwa dia sebelumnya menolak jual beli frekuensi penyiaran.

    Dalam soal ini juga Leo juga belum pikun. Leo dan Kristiawan dari dulu sampaisekarangsama-samakonsisten menolak praktik jual beli frekuensi. Perbedaannya, Leo berpendapat jika bukti pelanggaran sudah ada,solusinya diproses ke jalur hukum.Sementara Kristiawan—saya duga—beropini sudah terjadi pelanggaran, kemudian mengajukannya ke MK.

    Dalam contoh ini, siapa sebenarnya yang sesat pikir? Ketiga, contoh tentang AS dan Australia dalam artikel Leo bertujuan menginformasikan bahwa di negara-negara itu— seperti juga di Indonesia—,UU Penyiaran membolehkan pemusatan kepemilikan media penyiaran, tapi dibatasi. Informasi itu tidak menyesatkan.

    Dalam pertemuan saya dengan Ketua Komisi Penyiaran Australia Prof David Flint di kantornya, Sidney, Oktober 2002,dia mengemukakan, berdasarkan daya dukung ekonomi Australia, di negara itu tiga stasiun televisi komersial yang bersiaran nasional yakni Channel 7, Channel 9, dan Channel 10. Dengan capaian seperti itu, industri penyiaran Australia tidak diributi sebagai telah melanggar keanekaan informasi.

    Ajakan

    Perbenturan pendapat tentang kepemilikan media penyiaran sebagai partisipasi publik diperlukan. Dari konflik pendapat yang digelar secara cerdas, the national policy makers dibantu untuk mengambil keputusan yang tepat. Saya mengajak Kristiawan agar dalam perbenturan pendapat yang terjadi, standar keprofesionalan tetap dihormati. Pertama, di kalangan aktivis prodemokrasi profesional berlaku tata krama: tidak menghakimi.

    Sanksi bagi yang menghakimi meminta maaf kepada publik lewat media jenis saluran terkait.Tuduhan Kristiawan dalam artikelnya bahwa saya sesat pikir jelas menghakimi. Padahal yang berhak menghakimi pendapat siapa yang benar atau yang sesat dalam perbenturan pendapat tentang dua Pasal UU Penyiaran tersebutadalahmajelishakimMK. Kedua, jantung persoalan (the heart of the matter) yang diperdebatkan ialah Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran sebagai konstitusional atau tidak?

    Pasal-pasal itu membatasi pemusatan kepemilikan media penyiaran dan melarang jual beli frekuensi penyiaran.Ketentuan seperti itu dianut negara-negara yang berparadigma demokrasi termasuk Indonesia. Kedua pasal itu jelas tidak melanggar UU 1945. Jika kedua pasal itu dilanggar, solusinya bukan mengadu ke MK,melainkan ke jalur hukum. Pelanggar dapat dipidana penjara dan/atau didenda. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta tidak dilarang, tapi dibatasi. Jika rumusan peraturan pemerintah tentang ketentuan batasan itu salah, solusinya bukan mengadu ke MK,melainkan ke MA.

  • Integrasi Pendidikan Kedinasan

    Integrasi Pendidikan Kedinasan
    Laksmi Widajanti, DOSEN BAGIAN GIZI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO
    Sumber : SUARA MERDEKA, 17 Januari 2012
    SEJAK UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diundangkan, wacana mengintegrasikan lembaga tinggi kedinasan terus digulirkan. Namun seiring pewacanaan itu reaksi penolakan pun tidak kalah kencang. Maka logis ketika RPP Kedinasan mulai dibahas suara penolakan untuk dilebur dalam kendali Kemendiknas seperti tiada henti. Gema itu terdengar hampir dalam setiap forum. Intinya, mereka merasa sangat diperlukan sesuai tuntutan pekerjaan di lembaga induknya.

    Menurut seorang guru besar di sebuah universitas di Sumatra Utara, pendidikan kedinasan di kementerian tertentu semestinya sudah tidak boleh ada lagi mengingat UU tentang Sisdiknas mengamanatkan semua lembaga pendidikan harus berada di bawah satu kendali. Masih menurut profesor itu, perguruan tinggi umum sudah bisa memenuhi tuntutan pekerjaan di lembaga pemerintah sipil, termasuk di Kemendagri, yang selama dikesankan harus alumni STPDN.

    Menurutnya, jika sekadar perlu keahlian khusus dan itu juga ada di institusi sipil lebih tepat melakukan penajaman tugas pegawai itu lewat diklat. Artinya tidak perlu mendirikan lembaga pendidikan tinggi tersendiri yang ujung-ujungnya jika mau menambah ilmu pengetahuan larinya juga masih ke perguruan tinggi umum.

    Saya mengamini pendapat tersebut karena yang selama ini yang dijadikan dasar adalah pendidikan tinggi umum belum sepenuhnya bisa memenuhi tuntutan kerja. Persoalannya hanya belum terbiasa. Jika didiklatkan, lulusan perguruan tinggi umum nantinya bisa melaksanakan tugas-tugasnya. Jadi, argumen kesesuaian yang selama ini dilontarkan tidak lebih merupakan upaya perlawanan terhadap amanat UU tentang Sisdiknas.

    Bentuk Perlawanan

    Pemerintah, terutama Kemendikbud, terlihat konsisten dengan upaya itu, dengan menerbitkan PP Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan yang intinya menyebutkan bahwa pendidikan kedinasan tidak boleh berupa pendidikan tinggi di kementerian lain, yang peserta didiknya calon pemegang ijazah S-1 atau D-4. Menurut PP itu, peserta didik kedinasan di sebuah kementerian yang tujuannya dalam rangka meningkatkan tugas haruslah seseorang yang berijazah S-1 atau diploma 4 (sarjana sains terapan) dan berstatus CPNS atau PNS.

    Penulis setuju atas upaya meningkatkan harkat dan pemberian perlindungan kepada tenaga kesehatan. Termasuk upaya membina pendidikan kesehatan di pendidikan tinggi umum (universitas, stikes dan lain-lain) meskipun hal itu bisa tumpang-tindih dengan kewenangan Kemendikbud. Namun jika pasal di dalamnya masih menyebut pendirian pendidikan tinggi kesehatan, penulis tetap melihatnya sebagai upaya melawan cetak biru berkaitan dengan integrasi pendidikan tinggi di bawah Kemendikbud.

    Karena itu, mengingat draf yang penulis peroleh 21 Maret 2011, sementara PP Kedinasan diterbitkan Pemerintah pada 22 Januari 2010, RUU tentang Tenaga Kesehatan adalah bentuk perlawanan terhadap keinginan pemerintah yang melalui regulasi itu disebutkan 5 tahun ke depan sejak diundangkan pendidikan kedinasan hanya bagi mereka yang sudah S-1/ D-4 dan berstatus  CPNS/ PNS.

    Jika tujuannya agar banyak orang yang mempunyai ilmu di bidang kesehatan, hal itu bukan lagi ranah kementerian lain, melainkan ranah pendidikan tinggi umum di bawah Kemendikbud. Apabila benar-benar memerlukan tenaga, rekrut saja alumni pendidikan tinggi umum yang prodinya kesehatan. Bila dirasa keahliannya masih kurang lakukan upaya sesuai PP Kedinasan setelah yang bersangkutan menjadi CPNS atau PNS.

    Jadi, RUU tentang Tenaga Kesehatan, selain bertujuan baik demi profesionalitas, ada agenda tersembunyi melawan PP Pendidikan Kedinasan dan upaya pemerintah mengintegrasikan semua pendidikan yang selama ini berupa kedinasan di sejumlah kementerian maupun lembaga pemerintah nonkementerian di bawah Kemendikbud.

    Fenomena ini ibarat jeruk makan jeruk karena institusi pemerintah berupaya melawan kebijakan pemerintah.

  • Ketimpangan Pembangunan Ekonomi

    Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
    Ahan Syahrul Arifin, PENGAMAT KEBIJAKAN PUBLIK DARI UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : SUARA KARYA, 17 Januari 2012
    Data dan statisika pencapaian Produk Domestik Bruto (PDB) bisa memberikan gambaran mengenai status kehidupan sebuah negara hingga dapat disebut negara maju, berkembang, miskin atau makmur. PDB, menurut Ekonom Gregory Mankiw, adalah akumulasi nilai pasar seluruh barang dan jasa yang diproduksi negara dalam periode tertentu. Dalam konteks pembangunan ekonomi, PDB merupakan parameter untuk menentukan derajat kemakmuran sebuah bangsa.
    Secara umum para perencana kebijakan ekonomi meletakkan fondasi pembangunan sebuah negara berdasarkan tingkat PDB. Sederhananya, tinjauan angka-angka dari PDB dapat meneropong tingkat kesejahteraan penduduk di sebuah negara.
    Nah, mari selanjutnya kita cermati data dan statisika PDB Indonesia sebagai cerminan kemakmuran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menyebutkan PDB per kapita sebesar 27,0 juta rupiah, naik dari 23,9 juta rupiah (2009) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% pada tahun 2010. Dari data tersebut kita bisa menganalisa bahwa pendapatan kotor masyarakat pada tahun 2010 sebesar 27 juta rupiah naik dari 23,9 pada tahun 2009.
    Selanjutnya, apabila kita lihat dari sudut pulau mana yang menjadi penyumbang terbesar PDB. Data BPS menyebutkan pada tahun 2010, Pulau Jawa menyumbang angka sebesar 58,0%, diikuti dengan Sumatra (23,1%), Kalimantan (9,2%), Sulawesi (4,6%), Bali dan Nusa Tenggara (2,7%), serta Papua yang digabung dengan Maluku menyumbang 2,4%.
    Lalu, sampai triwulan kedua 2011 angka tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Sajian BPS menyebutkan Jawa masih memimpin dengan menjadi menyumbangkan angka 57,7% dari total PDB diikuti dengan Sumatra sebesar 23,5 %, Kalimantan (9,5%), Sulawesi (4,7%) Bali dan Nusa Tenggara (2,5%) dan gabungan Papua serta Maluku (2,1%).
    Data peranan pulau-pulau penyumbang angka PDB memberikan makna bagaimana ketimpangan pembangunan sangat besar. Data tersebut memberikan pengertian bahwa pembangunan dan distribusi pendapatan masih tersentral di Pulau Jawa. Akibatnya, terjadi kesenjangan kesejahteraan yang membuat penduduk di luar Jawa berduyun-duyun ingin mengecap manisnya pembangunan. Logika ‘di mana ada gula, di situ ada semut’ berlaku dalam konteks ini.
    Sumbangsih pulau dalam PDB adalah cerminan bagaimana pembangunan ekonomi tidak beracuan pada aspek keadilan dan pemerataan. Jelas data ini mengungkapkan ketimpangan pembangunan yang tajam.
    Berikutnya, bila kita amati struktur PDB dari faktor usaha yang memberi kontribusi besar dari 9 sektor yang ada. Pada triwulan kedua 2011, sektor industri pengolahan masih memimpin dengan kapasitas 24,3%, lalu pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan menyumbang angka 15,4%, perdagangan, hotel dan restaran (13,9%), pertambangan dan penggalian berada diurutan keempat (11,6%), jasa-jasa (10,3%), konstruksi (10,1%), keuangan, real estate, dan jasa perusahaan (7,2%), pengangkutan dan telekomunikasi (6,4%), serta terakhir listrik, air bersih dan gas (0,8%).
    Data ini secara eksplisit mengungkapkan bahwa sektor padat karya yang menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk, yakni sektor pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan belum menjadi prioritas utama dari pembangunan. Kita bisa bayangkan bagaimana empat sektor tersebut hanya menyumbang 15,4% dari PDB. Sederhananya, pundi-pundi perekonomian nasional masih berasal dari sektor non-tradeable, sedangkan donasi tenaga kerja bersumber dari sektor-sektor riil.
    Dari sini kita bisa menilik fokus kebijakan yang tidak berpihak pada penguatan dan peningkatan baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), modal maupun teknologi pada sektor pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan kurang diperhatikan. Maka, tidak salah apabila di negeri bahari pemilik pantai terpanjang di dunia ini, garam harus impor dari India. Gandum, jagung bahkan beras pun harus impor dari Vietnam dan Thailand.
    Angka kemiskinan yang tercatat BPS hingga Maret 2011 ternyata masih berada di angka 12,49% dari jumlah penduduk atau 30,03 juta orang masih berada di bawah angka kemiskinan. Sementara tingkat pengangguran masih berada pada level 8,3% dari jumlah angkatan kerja. Dengan kacamata kuda, orang awam pun mengetahui bahwa angka yang tercermin dari PDB bukanlah acuan paling sempurna dalam memotret kemakmuran. Alangkah naifnya, bila angka-angka ini berikut pertumbuhan ekonomi beserta indikator-indikator makroekonomi yang kinclong diklaim sebagai keberhasilan pembangunan.
    Mahbub ul Haq pernah mengatakan bahwa inilah dosa tidak terampuni bagi para perencana kebijakan yang ‘menuhankan’ data-data dan statistika makro tanpa melihat realitas yang terjadi di masyarakat.
    Menurut angka data PDB per kapita kita memang cukup besar. Tetapi, apakah data tersebut benar? Tentunya bagi sebagian kecil penduduk, data tersebut benar, bahkan banyak yang pendapatannya lebih dari Rp 27 juta per tahun. Namun, seberapa besar dan seberapa banyak? Selanjutnya bekerja di sektor apa dan berdomisili di mana? Pernahkan sektor informal diperhatikan? Sudahkah rakyat miskin dijadikan patokan pembangunan?
    Inilah dosa para perencana kebijakan yang gagal menyamakan atau paling tidak memperpendek jarak antara angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi, PDB dan pemerataan pembangunan yang dirasakan masyarakat. Para perencana dan pengambil kebijakan yang terlalu menyederhanakan masalah dan melihat pada aspek-aspek makro dan data-data yang tersentral di Jawa. Cerminan dari cara berpikir yang terlampau sederhana, mengandalkan asumsi-asumsi rasional, linear, dan pada akhirnya model kebijakan yang diambil tidak pernah menyentuh masyarakat.
    Nah, apalah arti angka-angka tersebut bila dihadapkan dengan kenyataan masyarakat yang masih kesulitan mencari pekerjaan, kesusahan membeli beras, garam dan gula?
  • Ideologi Ekonomi Bakul Dawet

    Ideologi Ekonomi Bakul Dawet
    M Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA,
    UNTUK ADVOKASI, MEDIASI, DAN PROMOSI
    Sumber : SINDO, 17 Januari 2012
    Ekonom terkemuka Profesor Mubyarto mengamati dengan cermat sikap dan tingkah laku ekonomi bakul dawet—tukang cendol— yang bersahaja. Kita tahu, bakul dawet di kampungkampung di Jawa terdiri atas mayoritas kaum perempuan.

    Dawet itu ditaruh di dalam jun, yaitu wadah terbuat dari tanah liat yang dibakar menjadi gerabah seperti periuk tetapi agak lebih besar dengan kapasitas lima sampai tujuh liter. Jun berisi dawet itu ditaruh di dalam bakul, kemudian digendongnya ke sana kemari ke tempat para pembeli. Perempuan, yang kelihatannya lemah itu, mampu menggendong bebannya sejauh 5–10 km menjelajah dari jalan utama di mulut desanya menuju ke sawahsawah yang terbentang luas dan menguning melalui galengan, yaitu jalur kecil-kecil di antara petak sawah yang satu dengan petak sawah yang lain, yang sedang panen padi.

    Bakul dawet itu melayani para pemetik padi yang sedang bekerja di tempat-tempat yang berjauhan letaknya. Jika para pemetik padi itu pemilik sawah, tukang dawet akan memperoleh padi sebagai hasil penjualan barter dawetnya dengan padi tersebut. Jika para pemetik padi itu para buruh, yang tak memiliki kewenangan “membelanjakan” padinya, mereka akan membayar dawet yang mereka minum dengan uang.

    Begitu tali-temali bisnis sederhana di antara mereka, yang bertahan melintasi batas zaman dan sejarah kaum tani, yang tidak tampak kaya tetapi jelas tampak berdaulat atas diri mereka sendiri. Mereka saling mengenal—setidaknya mengenal rupa masingmasing— berkat rutinitas yang mentradisi dan terjaga baik. Mereka membentuk suatu rantai ekonomi yang tak boleh putus.Buktinya? Pada suatu hari Profesor Mubyarto menyaksikan seorang bakul dawet dipanggil seorang pembeli yang berniat memborong sekaligus seluruh dagangannya.

    Si mbakyu bakul dawet menjawab kalem: “Wo lha ndak boleh.” Dan ketika ditanya apa alasannya,dengan kalem pula dia menjawab: “Lha kalau diborong di sini semua, langganan saya yang di sana itu semua—sambil mengarahkan pandangannya ke para pemetik padi—mau minum apa?” “Kalau saya borong semua kamu bisa menyiapkan lagi dawet baru untuk mereka.

    Dengan begitu daganganmu laku lebih banyak,” kata si pembeli meyakinkan. Tapi si mbakyu bakul dawet menjawab bahwa dagangannya ini sudah banyak. Rata-rata tiap hari habis. Dan jika ada sisa,itu bukan hal yang disesalinya karena sisa itu disediakan untuk anak-anaknya. Sampai di situ ahli ekonomi dari Universitas Gajahmada tersebut membeberkan ceritanya.

    Lantas dia memberikan interpretasinya,bahwa ekonomi rakyat itu ada,sangat nyata, dan ideologi di baliknya juga nyata, bahkan lebih nyata dari ideologi apa pun karena ideologi “ini sudah cukup” atau pandangan hidup “secukupnya”, yang merupakan filsafat hidup orang Jawa, dilaksanakannya dalam wujud nyata sebagai bentuk tingkah laku ekonomi mbakyu bakul dawet tadi.

    Tingkah laku ekonomi itu dibangun di atas landasan pandangan hidup “secukupnya” yang sudah berakar sangat dalam di dalam tradisi kehidupan para petani. Dan kaum pinandita— kaum cerdik pandai—itu hendak menggunakannya untuk sebutan ekonomi kita, ekonomi Indonesia. Revrisond Baswir, kaum pinandita dari universitas yang sama,yang lebih muda dari Profesor Mubyarto,menceritakan dalam bukunya Manifesto Ekonomi Kerakyatan bagaimana gagasan itu ditolak dalam suatu pertemuan resmi dan serius dan diusulkannya gagasan ekonomi kerakyatan.

    Profesor Mubyarto agak kecewa. Dan di kemudian hari, Revrisond— Bung Sony—, ekonom populis yang jelas ideologi kerakyatannya, mengajukan pemikiran mengenai “ekonomi kerakyatan” itu. Baginya, ini ekonomi yang lekat dengan konstitusi dan tujuan bernegara di mana rakyat harus dibebaskan dari penghisapan ekonomi oleh kaum kolonialis dan imperialis yang kejam. Rakyat, baginya, harus diberi kedaulatan dan dibikin agar mampu berdaulat secara nyata di dalam bidang ekonomi.

    Rakyat tidak boleh ditindas oleh kekuatan apa pun. Maka, dengan mengutip Bung Hatta, dia menekankan bahwa bila rakyat belum berdaulat secara ekonomi, karena belum ada wujud demokrasi ekonomi, artinya rakyat belum merdeka. Pemikirannya jernih dan terang benderang bahwa di balik duit,di balik sistem,harus ada ideologi yang membela kepentingan rakyat yang memang lemah seperti mbakyu bakul dawet tadi agar cara hidup dan tingkah laku ekonominya itu memberi makna lebih besar bagi kehidupannya sendiri.

    Tapi satu hal sudah jelas: sikap secukupnya dan tidak serakah tadi bisa dikapitalisasi menjadi ideologi ekonomi yang baik bagi sistem perekonomian kita. Serakah dan mematikan yang kecil—bahkan sengaja sejak awal untuk mengganyang tanpa ampun semua kekuatan ekonomi yang lemah—harus dianggap musuh kita. Bangsa kita diinjak-injak oleh sistem itu. Sekarang pun kenyataannya sistem itu yang kita terima.

    Tapi adakah kita bersedia menerimanya untuk seterusnya? Apa yang kecil dan lemah diganyang. Hanya yang besar dan kuat yang berhak hidup.Ini tidak cocok bukan hanya dengan kodrat kehidupan, melainkan juga bertentangan dengan berbagai corak kebudayaan lain, yang pada hakikatnya sudah memiliki ideologi ekonomi tersendiri. Yang bikin jengkel dan muak adalah bahwa para pejabat kita, yang serakah dan tak memahami mandat konstitusi,membiarkan kejahatan ekonomi ini tetap merajalela. Kalau hanya itu, dosa yang mereka pikul masih agak sederhana.

    Tapi kalau para pejabat menjadi sahabat orangorang asing yang serakah dan mematikan ekonomi kita, maka pejabat macam itu bukan pejabat namanya. Mereka golongan terkutuk. Merekalah yang meloloskan UU perbankan, UU perdagangan internasional, UU perkebunan, UU pertambangan. Mereka pula yang membuatnya atas nasihat orangorang asing yang berwatak kolonialis dan imperialis, yang tak peduli rakyat kita megapmegap. Di sini saya menegaskan bahwa saya membela petani tembakau yang memiliki ideologi ekonomi seperti mbakyu bakul dawet tadi.

    Dan dalam kerangka kebangsaan, saya juga membela pabrik-pabrik rokok keretek yang hendak dibunuh melalui tangan para pejabat kita sendiri. Kaum kolonial yang serakah sama berbahayanya dengan para pejabat kita sendiri yang serakah. Mereka memusuhi kehidupan dan ideologi ekonomi bangsanya sendiri. Saya gembira ada ekonom-ekonom yang wawasan ideologi dan kebangsaannya jelas. Kita dukung mereka agar mbakyu bakul dawet dan petani tembakau maupun pabrik-pabrik milik bangsa kita berkembang demi keadilan ekonomi dan demokrasi ekonomi di halaman kita sendiri.

  • Anak Bajang Menggiring Celeng (bagian 1)

    Anak Bajang Menggiring Celeng (bagian 1)
    Hajriyanto Y Thohari, WAKIL KETUA MPR RI
    Sumber : SINDO, 17 Januari 2012
    Membaca tulisan dan pernyataan para tokoh nasional akhir-akhir ini hati kita menjadi miris. Meski ada aroma dramatisasi dan hiperbolisasi di sanasini, adalah benar ketidakpuasan publik terhadap penyelenggaraan negara (baca: eksekutif, legislatif, yudikatif) semakin luas.

    Tujuan nasional dibentuknya negara ini setelah 66 tahun merdeka belum kunjung tergapai, alih-alih dinilai cenderung makin menjauh dari kenyataan. Apatah lagi tujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Lihat saja kemiskinan di negara ini: dengan ukuran USD1 (tepatnya Rp7.000) saja,masih ada sekitar 13,33% (baca: 31,5 juta) rakyatnya miskin. Apalagi jika yang digunakan sebagai ukuran kemiskinan adalah angka PBB yang USD2 itu: mungkin hampir separuh penduduk Indonesia miskin.

    Meski persentasenya terus menurun, secara numerikal masih besar sekali. Ironisnya kemiskinan dan kesenjangan yang parah itu terjadi di negara yang pertumbuhan ekonominya hampir 7% per tahun sehingga sizeperekonomiannya terbesar ke-14 dunia yang karenanya diajak dalam G-20. Tetapi, aneh bin ajaib, bukan kemiskinan itu yang membuat rakyat apatis dan frustrasi. Rakyat Indonesia terkenal sabar dan tabah menghadapi penderitaan.

    Rakyat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu dikenal berbakat prihatin.Ingat saja lagu rakyat Jawa berikut ini: “…Prihatin esok awan sore/ prihatin nganti tekan seprene/ Pacobane urip ora tau leren/teko lungo kaya ngene/ panyuwunku aku biso tabah nggonku nglakoni/kepengin ngrasake urip ayem tentrem/ adoh popo lan bencono…”. Sejak dulu rakyat dianggap domas singkatan dari wong bodo nanging atine emas: sebab selalu nrimo ing pandum meski selalu saja dipecundangi oleh elite pemimpinnya.

    Korupsi Sistemik dan Masif

    Kalau bukan kemiskinan itu sendiri (an sich) yang membuat rakyat apatis dan frustrasi, lantas apakah kehidupan politik nasional yang penuh hiruk-pikuk itu yang menjadi penyebabnya? Jawabnya juga negatif. Rakyat sudah hafal bahwa perubahan politik segaduh dan seheboh apa pun toh tidak ada korelasinya secara langsung dengan perbaikan ekonomi rakyat.Rakyat sudah lama tidak begitu yakin politik dapat mengatasi kesulitan hidup mereka, siapa pun dan partai politik apa pun yang berkuasa.

    “Nggak ngaruh!” kata anak sekarang. Yang membuat rakyat apatis dan putus asa adalah sesuatu yang lain di luar itu. Sesuatu yang lain itu tidak lain dan tidak bukan adalah korupsi yang merajalela yang secara gila-gilaan dilakukan secara sistemik dan masif di depan mata rakyat yang miskin di negeri ini.Sangat meyakinkan, rakyat rela menderita dan hidup prihatin dalam kemiskinan kalau memang negara tidak mempunyai uang, alias sama rata sama rasa.

    Tetapi,rakyat marah diminta untukhidupmiskin sementara negaranya kaya raya dengan uang APBN mencapai Rp1.435 triliun per tahun (2012). Rakyat akan lebih marah lagi mengetahui sebagian besar dari APBN itu dihabiskan secara inkonstitusional untuk “ongkos tukang”,yaitu penyelenggara negara atau pemerintahan. Sementara itu anggaran untukpembangunan kesejahteraan rakyat hanyalah sebagian kecil.

    Itu pun dengan pola penyerapan yang tidak efisien.Ini pun belum dikurangi lagi dengan anggaran yang bocor karena korupsi yang lagi-lagi dilakukan para penyelenggara negara/pemerintahan itu juga. Ada 158 kepala daerah menjadi tersangka korupsi.Di Jawa Tengah saja yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi sekarang telah menjadi lumbung korupsi: dalam satu dasawarsa terakhir ini ada 20 bupati/ wali (dari 35 kabupaten/ kota) terseret korupsi.

    Korupsi terjadi melintasi sekat-sekat teori Trias Politica. Bahkan juga di lembaga-lembaganegara baru(stateauxiliary body) produk reformasi yang jumlahnya mengharu biru sampai 80 komisi itu. Lihat juga, rekening liar yang ilegal terus ditemukan di berbagai instansi pemerintah, rekening gendut para pejabat sipil, bahkan pegawai negeri sipil (PNS) muda, dan petinggi polisi yang mencurigakan semakin banyak ditemukan, tetapi tidak pernah terungkap.

    Orang yang baru berkuasa di level partai politik pun— yang jelas masih berada di luar birokrasi pemerintah—sudah bisa melakukan penetrasi dan beroperasi ke dalam birokrasi untuk bersama-sama mengeruk uang negara secara sistematis dan berjamaah. Korupsi yang menyengsarakan rakyat dan membuat kemarahannya semakin membara tersebut semakin menimbulkan frustrasi karena ternyata para pelakunya dilindungi oleh apa yang disebut dengan mafia hukum untuk menyempurnakan keberadaan mafia pajak, mafia anggaran, dan entah mafia apalagi yang muncul besok hari.Semua itu pada dasarnya adalah modus operandi kejahatan korupsi belaka. Maka berlakulah “Jangka Jayabaya”: wong cidro lan candolo soyo ndodro.

  • Krisis untuk PSSI

    Krisis untuk PSSI
    Halim Mahfudz, CEO HALMA STRATEGIC DAN PENGAJAR CRISIS MANAGEMENT DI PASCASARJANA UNIVERSITAS PARAMADINA
    Sumber : KORAN TEMPO, 17 Januari 2012
    Sejak kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) periode 2011-2015 terpilih dalam kongres yang sah pada 9 Juli tahun lalu, persepakbolaan Indonesia belum menikmati suasana tenang untuk meningkatkan kualitas. Krisis kembali menghantam organisasi nasional milik bangsa ini. Berbeda dengan krisis sebelumnya, krisis yang sekarang adalah krisis yang sengaja dirancang untuk mengambil alih kontrol organisasi dengan menggulingkan pengurus, bukan krisis karena ketidakmampuan organisasi memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas sepak bola. Mengikuti teori krisis (Coombs, 2006), krisis yang sekarang adalah krisis yang terjadi akibat serangan dari luar atas sebuah organisasi, dalam hal ini organisasi sepak bola terbesar di negeri ini.
    Sepak bola adalah cabang olahraga paling digemari di Indonesia. Cabang inilah yang mampu menarik perhatian dan menyedot penggemar. Ini menjadikan sepak bola sebagai cabang olahraga yang seksi dan menarik minat serta kepentingan di luar olahraga itu sendiri, seperti kepentingan politik dan duit. Jumlah penggemar sepak bola dan penontonnya yang jauh di atas olahraga mana pun merupakan sebuah gelanggang yang sangat menimbulkan berahi politik partai. Jumlah dana yang berputar di olahraga ini pun, jika dikelola secara profesional, adalah jumlah yang menggiurkan untuk diselewengkan.
    Dalam hal suap dan pengaturan skor sepak bola, Indonesia bukan satu-satunya negara yang tertimpa. Dugaan terakhir yang tak terungkap adalah pertandingan Indonesia versus Malaysia yang berbau skandal. Di Italia, kasus suap terkuak pada Juni 2011 ketika beberapa mantan pemain nasional diperiksa, masuk tahanan rumah, atau telah ditahan akibat suap pengaturan skor atau pengaturan transfer pemain yang bertentangan dengan peraturan. Di Inggris, FA harus membentuk tim investigasi yang dipimpin Lord Stevens untuk menyelidiki berbagai dugaan kasus sogok dan pengaturan skor sepak bola tahun 2006. Bagusnya, di Inggris, peran media sangat membantu membongkar manipulasi dan korupsi. Penyelidikan di sana terbantu oleh peran penting BBC yang jujur sebagai media. BBCsempat memfilmkan beberapa orang yang sedang melakukan transaksi ilegal.
    Indonesia tak perlu lagi tertular kesalahan yang sama dengan memanipulasi olahraga menjadi ladang perolehan uang haram dan memperlakukan sepak bola sebagai komoditas politik. Kegagalan prestasi dan krisis di era kepengurusan yang lalu seharusnya sudah cukup memberi pembelajaran bagi para pengelola sepak bola, pemain, wasit, penggemar, serta pendukung klub dan media massa agar hal itu tidak terulang. Sekarang kita hanya butuh satu saja: prestasi!
    Negeri ini butuh sesuatu yang lebih berarti untuk membangun nama baik bangsa, wadah penyaluran bakat anak muda yang konstruktif yang dikelola dengan transparan, dan sinergi seluruh komponen bangsa, daripada sekadar keributan pengelolaan sepak bola. Yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah jangan lagi memberi contoh buruk kepada orang lain dan generasi muda dengan memaksakan kepentingan kelompok dan dengan cara menutupi kebenaran dan melanggar aturan.
    Tantangan
    Ketika terpilih dalam Kongres 9 Juli 2011, tidak pernah tersirat di kalangan pengurus yang sekarang tantangan seperti apa saja yang akan mereka hadapi. Mereka berfokus pada lima pilar pengembangan sepak bola, yaitu pembenahan organisasi, peningkatan kualitas kompetisi, pembinaan dini, sports science, dan pembentukan timnas yang kuat. Tetapi gejala munculnya krisis atau disebut dengan prodromes (Coombs, Barton, Fearn-Banks) mulai tampak ketika mereka melihat kondisi nyata.
    Setelah unggul dalam Kongres, beberapa hal yang ditinggalkan pengurus lama mulai terasa mengganggu kinerja, sementara program-program yang terkait dengan lima pilar terus mendesak untuk ditangani. Hanya dua pekan setelah terpilih dalam Kongres, Indonesia harus menghadapi pertandingan melawan Turkmenistan, padahal tim pemain belum disiapkan oleh pengurus lama. Pengurus baru juga mendapati kenyataan PSSI seperti ditinggalkan dalam keadaan terbengkalai, kas kosong, bahkan menunggak pembayaran. Ini hanya sebagian dari beberapa prodromes. Juga, PSSI bisa jadi satu-satunya organisasi yang membutuhkan lima kali kongres untuk memilih seorang ketua umum, wakil ketua umum, dan sembilan anggota Komite Eksekutif. Ini menunjukkan pengelompokan yang tajam antara status quodan reformis dalam pengelolaan sepak bola di Indonesia.
    Pengelompokan antara status quo dan kelompok reformis makin jelas dalam perkembangan pengelolaan PSSI. Makin banyak isu yang dimunculkan dan makin lebar jarak di antara dua kelompok ini. Isu-isu sengaja dimunculkan, termasuk antara lain tudingan bahwa pengurus melanggar Statuta, pengurus tidak melaksanakan amanat Kongres Bali, meski tidak jelas item yang mana, dan ternyata proses Kongres Bali itu sendiri cacat.
    Tommy Hilfiger-Oprah
    Krisis yang ditujukan untuk menyerang organisasi atau perorangan pernah terjadi atas diri desainer Tommy Hilfiger dan Oprah Winfrey. Pada 1996, rumor beredar di Internet bahwa Tommy pernah memberikan pernyataan dalam Oprah Winfrey Showbahwa dia tidak ingin pakaian rancangannya dikenakan oleh orang keturunan Afro-Amerika, Hispanik, dan Asia. Oprah dirumorkan bertanya kepada Tommy apa benar pernyataan tersebut, dan Tommy menjawab “yes”. Saat itulah, kata rumor tersebut, Oprah mengusir Tommy dari show-nya. Maka, dunia media sosial pun heboh tentang rumor tersebut. Apa yang diperoleh Tommy dari kasus tersebut? Boikot!
    Untuk mengatasi rumor yang mengarah menjadi krisis dan meruntuhkan reputasi tersebut, kedua orang itu menemukan cara masing-masing. Tommy dengan hati-hati menyusun pernyataan “I want you to know the facts so that you are not the victim of a classic ‘urban myth’ that perpetuates untruths and has no basis in reality”. Oprah bahkan lebih kuat dengan menyatakan, “Tommy Hilfiger has never appeared on this show. Read my lips…, Tommy Hilfiger has never appeared on this show.” Pernyataan tersebut disampaikan live dan disiarkan oleh televisi.
    PSSI juga harus menemukan cara yang kuat untuk meluruskan persepsi keliru tentang rumor dan krisis yang diarahkan ke organisasi ini. Misalnya saja, menghadapi permintaan KLB dengan alasan yang tidak jelas, PSSI mengungkapkan jumlah total anggota adalah 588 dan yang diklaim mengajukan KLB 460 anggota. Tetapi hasil verifikasi tahap I menunjukkan, dari 460 anggota tersebut, 11 adalah data ganda, 80 bukan anggota atau masih calon, dan 49 sudah menandatangani pakta integritas, sehingga hanya 320 yang sungguh-sungguh anggota sah, kurang dari dua pertiga seperti disyaratkan oleh Statuta. Ini baru dari verifikasi tahap pertama, belum dilanjutkan dengan verifikasi tahap II, sebuah langkah verifikasi forensik yang lebih cermat.
    Itu hanya salah satu cara keluar dari krisis, yaitu menyampaikan yang benar dengan jujur. Isu-isu lain yang ditimpakan bisa dicermati, dan ditemukan cara efektif untuk dituntaskan dan dimatikan. Dan landasan paling penting dalam mengatasi krisis dan tetap menjaga reputasi PSSI adalah transparansi dan komunikasi yang jernih ke semua stakeholders(pemangku kepentingan). Banyak stakeholders yang kurang mendapat informasi atau yang punya kepentingan, seperti politikus. Mereka butuh pencerahan.
  • Maju-Mundur Kebijakan Pembatasan BBM

    Maju-Mundur Kebijakan Pembatasan BBM
    Misriadi, PENELITI DI LEMBAGA STUDI HARMONI INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Januari 2012
    Pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dijadwalkan berlaku per 1 April mendatang bisa-bisa kandas. Sikap pemerintah yang semula menggebu-gebu bakal mengetok palu pertanda kebijakan pembatasan konsumsi itu diberlakukan pada kuartal kedua kini menciut.
    Selain proses sosialisasi yang dinilai terlalu singkat, respons masyarakat yang menimbulkan pro dan kontra yang tajam membuat pemerintah menarik napas panjang lagi untuk mengatasi subsidi BBM yang terus menggerus anggaran negara.
    Sikap pemerintah yang tidak tegas itu wajar kalau menimbulkan komentar bahwa pemerintah terkenal dengan strategi “maju-mundur” dalam menangani sebuah kebijakan.
    Komentar ini menemukan bukti dengan seringnya pemerintah mengumbar rencana kebijakan untuk membatasi penyaluran BBM bersubsidi. Namun toh hingga kini eksekusinya masih maju-mundur, bahkan tak jelas.
    Kebijakan kartu pintar alias smart card, misalnya, kian surut gaungnya. Memang uji coba sempat dilakukan, namun setelah dihitung-hitung ternyata ongkosnya kemahalan. Dengan begitu tak jarang sebuah gagasan yang dulu cukup lama ditimbang-timbang pada akhirnya ”masuk laci”.
    Pemerintah kemudian ribut mempersiapkan opsi lain. Ada pilihan-pilihan kebijakan yang digadang-gadang, yakni BBM bersubsidi hanya boleh dikonsumsi angkutan umum, melarang kendaraan roda empat di atas tahun 2000 untuk menikmati Premium dan solar bersubsidi, serta melarang mobil dengan cc tertentu mengonsumsi BBM bersubsidi.
    Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sempat mengeluarkan fatwa haram bagi orang mampu yang mengonsumsi BBM bersubsidi.
    Pikir Jernih
    Sebenarnya pemerintah tak perlu panik dan buru-buru melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Sebaiknya pemerintah memikirkan hal ini dengan jernih. Apakah rencana tersebut cukup realistis dan bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi dampak terus membengkaknya subsidi?
    Ada baiknya pemerintah menggali berbagai cara yang tidak menimbulkan beban baru bagi masyarakat. Dari rencana tersebut tampak pemerintah tidak ingin menanggung beban itu sendirian.
    Pemerintah ingin membaginya dengan masyarakat. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan? Pemerintah kembali menekan masyarakat untuk hal yang sebenarnya secara fundamental itu menjadi kewajiban negara.
    Berbagai langkah cerdas sebenarnya masih bisa ditempuh pemerintah. Ini karena dari segi teknis, pembatasan itu jelas akan sangat sulit diimplementasikan.
    Logikanya, kalau harus membatasi pemakaian BBM bersubsidi per kendaraan, petugas SPBU akan kesulitan mengawasi kendaraan yang sudah mengisi atau belum. Mengatur konsumsi individual tidak akan efektif. Keruwetan mekanisme akan ditemui jika rencana itu direalisasikan.
    Pemerintah seharusnya menempuh upaya yang lebih signifikan, misalnya menggunakan lebih banyak produksi minyak mentah dalam negeri untuk diolah menjadi BBM.
    Kajian LP3ES menunjukkan ada kesalahan argumen pemerintah terkait kebijakan ekspor dan impor minyak mentah, yaitu kualitas minyak mentah Indonesia yang bagus lebih menguntungkan jika diekspor dan kilang di dalam negeri hanya mampu mengolah jenis minyak mentah tertentu dari Timur Tengah.
    Dengan argumen itu, minyak yang kita ekspor kemudian diganti dengan minyak impor yang lebih murah. Karena lebih murah, jumlah yang diimpor juga lebih banyak.
    Impor minyak mentah rata-rata lebih 40 persen dari jumlah produksi minyak mentah Indonesia per tahun. Berdasarkan data LP3ES, biaya impor minyak mentah lebih mahal US$ 0,68-3,23 per barel daripada harga ekspornya.
    Akibatnya, kerugian negara akibat perbedaan harga itu bisa mencapai belasan triliun. Makin lama karena konsumsi BBM yang semakin tinggi, sedangkan produksi terus turun, perbandingan antara ekspor minyak mentah dan impor semakin dekat.
    Untuk itu, berbagai kebijakan ekspor-impor minyak mentah kita perlu segera dikoreksi. Kebutuhan dalam negeri harus lebih diutamakan. Ekspor hanya dilakukan ketika terdapat surplus dari selisih produksi dan kebutuhan.
    Selain itu, pemerintah bisa memperbanyak pembelian minyak mentah dari kontraktor bagi hasil yang beroperasi di Indonesia. Dari sisi harga, meskipun dibeli dengan harga pasar internasional, minimal masih bisa menghemat karena ketiadaan biaya transportasi.
    Pemerintah juga jangan terus-menerus terjebak pada politik minyak negara maju, khususnya Amerika Serikat. Sekadar contoh, China dengan tegas mengatakan politiknya adalah mengamankan pasokan energi. Itu sebabnya mereka menahan diri tidak mengekspor batu baranya.
    Sekarang minyak mentah kita yang kualitasnya sangat baik diekspor, sedangkan kita justru mengimpor dengan harga lebih tinggi dari Saudi Aramco, yang notabene adalah perusahaan patungan Arab Saudi dan Amerika Serikat. Pemerintah seharusnya membuat rencana strategis untuk peningkatan produksi minyak mentah nasional.
    Kilang Pertamina sebenarnya bisa mengolah minyak mentah produksi dalam negeri. Namun sayangnya, dari sekitar satu juta barel produksi minyak mentah kita, bagian pemerintah itu hanya sekitar 600.000 barel, sisanya milik kontraktor bagi hasil.
    Sebenarnya Pertamina telah menggenggam rencana memodifikasi kilang mereka, antara lain agar bisa mengolah minyak mentah dari dalam negeri. Namun ironisnya, di saat yang sama pemerintah malah melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM ini.
    Selain peningkatan produksi, pemerintah juga harus semakin giat mendorong diproduksinya bahan bakar alternatif. Penggalian berbagai sumber energi alternatif bisa dipikirkan lebih serius lagi.
    Energi alternatif pengganti BBM persentasenya bisa mencapai 5 persen dari seluruh penggunaan BBM. Bahkan BBM untuk keperluan sarana transportasi bisa mencapai 10 persen. Jika energi alternatif pengganti BBM itu dapat direalisasi maka akan dapat menghemat dana yang cukup besar.
    Selama ini pemerintah tampak kurang konsisten terhadap berbagai upaya pengembangan beberapa jenis bahan bakar alternatif. Hal ini terbukti berbagai upaya pengembangan beberapa jenis bahan bakar alternatif yang semula dicanangkan sebagai pengganti BBM, kenyataannya tidak didukung perangkat kebijakan yang jelas.
    Bahan bakar alternatif, seperti biodiesel, tidak didorong produksinya. Padahal, dengan memproduksi bahan bakar alternatif itu secara massal akan mengganti penggunaan BBM meskipun pada tahap awal masih dalam jumlah sedikit.
    Terakhir, pemerintah semestinya tetap konsisten menjalankan program penghematan energi. Aturan hemat energi harus benar-benar diterapkan. Dalam urusan ini pun pemerintah tampak kurang konsisten. Program penghematan energi yang digembar-gemborkan kini seolah-olah tak terdengar lagi.
    Sejumlah negara sudah menerapkan pola penghematan BBM. Sayangnya lagi, di Indonesia, kendati telah lama didengungkan penghematan BBM, realisasinya tak pernah tuntas. Ketika harga minyak turun, upaya menghemat BBM pun berlalu.
    Jika penghematan sudah sejak lama dilakukan secara efektif di seluruh bidang, barangkali Pertamina tak bakal babak belur setiap kali harga minyak naik. Begitu pula pemerintah, tak pusing tujuh keliling memikirkan besarnya subsidi BBM.
  • Jalan Keluar Krisis Pilkada Aceh

    Jalan Keluar Krisis Pilkada Aceh
    Teuku Kemal Pasya, PENELITI TENTANG DEMOKRASI, SEDANG MELAKUKAN PENELITIAN TENTANG KRISIS PILKADA ACEH
    Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Januari 2012
    Kasus kekerasan yang mendompleng proses pilkada yang sedang berlangsung saat ini telah memberikan komplikasi bagi perdamaian Aceh.
    Jejaring kasus kekerasan bersenjata yang menimpa warga perantauan dan etnis perantauan di Aceh, sejak 4 Desember 2011 hingga 5 Januari 2012, telah menyebabkan 11 orang tewas dan lebih 20 orang luka-luka. Kini teror juga menimpa calon bupati Aceh Utara dari jalur perseorangan.
    Akibatnya, muncul kultur ketakutan di tingkat masyarakat Aceh. Bahkan mulai ada eksodus para pekerja perantauan dari Aceh yang menyebabkan beberapa proyek pembangunan terhenti.
    Kasus-kasus ini dicoba disimplifikasi oleh elite pemerintah. Gubernur Irwandi Yusuf mengatakan kasus-kasus ini berhubungan dengan masalah kesenjangan ekonomi. Namun pikiran publik tak mungkin dikerangkeng untuk tidak menyimpulkan prahara kemanusiaan berhubungan dengan panasnya dengan tungku Pilkada Aceh yang telah berlarut-larut.
    Hingga saat ini proses pilkada telah tertunda hingga empat kali: 10 Oktober, 14 November, 24 Desember 2011. Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah membuat jadwal baru pelaksanaan pilkada pada 16 Februari 2012.
    Salah satu pangkal persoalan konflik pilkada bermula ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus Pasal 256 UU No 11/2006 atau UU Pemerintahan Aceh.
    Keputusan MK menghapus pasal yang dianggap mendiskriminasi hak-hak individual dalam berpartisipasi politik, bahwa calon independen di Aceh hanya berlaku sekali, yaitu pada saat pilkada pertama pasca-Perdamaian Helsinki. Penghapusan pasal itu menyebakan ada kesempatan bagi masyarakat Aceh untuk kembali maju dalam pilkada dari jalur perseorangan.
    Menelisik sejarah Pilkada Aceh sejak 2006 hingga 2008, kesempatan itu telah berhasil dimanfaatkan sempurna oleh calon independen, yang tidak lain adalah representasi GAM-SIRA yang saat itu belum lagi membentuk partai lokal. Masa pilkada saat itu ada 11 pasang kepala daerah, termasuk pasangan Irwandi–Nazar di tingkat provinsi dari calon independen.
    Fakta ini berbeda dengan praktik sistem elektoral yang melibatkan calon independen di seluruh Indonesia. Sejak UU pemerintah daerah (UU No 32/2004) diuji hukum di MK, dan melahirkan UU No 12/2008, calon independen berkesempatan maju mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah, namun tidak cukup banyak yang beruntung.
    Hingga saat ini tidak ada calon gubernur dari calon independen yang bisa menang di seluruh Indonesia. Hanya ada beberapa daerah tingkat dua yang berhasil seperti Batubara (Sumatera Utara), Kubu Raya (Kalimantan Barat), Rote Ndao (NTT), dan Garut (Jawa Barat).
    Kasus mundurnya wakil bupati Garut, Dicky Chandra, bisa menjadi contoh bagaimana rapuhnya kekuasaan eksekutif calon independen ketika berhadapan dengan polisentrisme kekuasaan, terutama dari legislatif.
    Di Aceh, kekuasaan eksekutif dari calon independen akhirnya bermetamorfosis menjadi partai politik. GAM membentuk Partai Aceh (PA) dan SIRA membentuk Partai SIRA.
    Pada pilkada saat ini, representasi parpol jelas tidak lagi menginginkan adanya calon independen, karena bisa menjadi “buldozer politik” baru yang menggusur zona nyaman kepartaian.
    Konflik Personal
    Namun sesungguhnya, krisis pilkada ini berhulu dari konflik personal antara Irwandi dan kekuatan pengusungnya, PA. PA sebagai kekuatan pengusung merasa telah ditinggalkan Irwandi. Irwandi diibaratkan sebagai anak durhaka kepada orang tuanya. Di sisi lain Irwandi menganggap dirinya representasi kekuatan rakyat sehingga tak perlu merasa utang budi berlebihan dengan PA.
    Dari konflik personal dan domestik itu kemudian berkembang menjadi konflik institusional dan legalistik. PA menolak mendaftarkan diri dalam pilkada selama calon independen tetap dimasukkan sebagai peserta pilkada. Mereka berpendapat kesempatan membuka kembali calon independen tidak sesuai dengan napas MoU Helsinki.
    Penolakan keras ini akhirnya kembali berpuncak pada lahirnya keputusan MK kedua No 108/PHPU.D-X/2011, pada 2 November 2011, yang menyatakan calon independen tidak bertentangan dengan konstitusi dan butir MoU Helsinki (terutama poin 1.1.2), yang terkait dengan partisipasi setiap warga untuk mengisi jabatan publik di daerah tanpa harus melalui mekanisme pencalonan kepartaian.
    MK juga menyatakan mekanisme pilkada yang dilaksanakan KIP Aceh telah sesuai tahapannya.
    Namun pada saat akhir, PA menunjukkan sikap kompromistiknya. Mereka bersedia mengakui keputusan MK dan menyatakan ingin ikut serta pilkada. Namun problemnya adalah tahapan pencalonan telah ditutup. Pendasaran pemikirannya, PA tidak ingin kehilangan representasi eksekutif, terutama di tingkat dua yang dikenal sebagai basis kekuatan tradisional.
    Di sisi lain, pemerintah pusat yang diwakili Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) memiliki pandangan yang berbeda tentang hal ini.
    Kemendagri menganggap KIP Aceh sebagai penyelenggara pilkada terlalu kaku melaksanakan putusan hukum dan mengabaikan fakta politik di lapangan. Kemendagri menganggap “solusi sama-sama menang” dengan menunda pilkada dan pendaftaran kembali adalah yang terbaik.
    Sementara Kemenkopolhukam menilai tak perlu kompromi lagi. Pilkada tetap harus jalan tanpa PA. Dualisme dua lembaga pemerintah mengakibatkan Aceh berada dalam situasi status quo yang akhirnya dimanfaatkan “penumpang gelap” menebarkan teror.
    Saat ini kebuntuan itu akan diselesaikan melalui keputusan MK. Kemendagri menggugat MK terkait sikap kaku KIP Aceh yang tidak mau membuka lagi proses pendaftaran bagi PA.
    Sikap keras ini bisa mengakibatkan tersemainya konflik dan lapuknya bangunan perdamaian. Semoga keputusan MK nanti mampu melihat suara batin masyarakat Aceh, dan tidak hanya terpaku pada hukum an sich.
    Jalan terakhir ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden perlu turun tangan dengan memediasi kelompok yang berkonflik untuk mau membuat konsesus dan menghentikan polemik yang kontraproduktif bagi perdamaian Aceh.
    Presiden memiliki kewenangan mutlak dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk meredakan kekisruhan, seperti menunda pilkada dan menetapkan pejabat sementara gubernur yang akan habis masa jabatannya.
    Bukankah pasangan SBY-Boediono menang 93 persen di Aceh dalam pemilihan presiden 2009, mengalahkan tokoh perdamaian Aceh sebenarnya, Jusuf Kalla-Wiranto? Kini saatnya dituntut mengeluarkan pikiran terbaiknya tanpa harus terlalu terpicing pada sikap nasionalistik yang artifisial. Menyelematkan perdamaian Aceh sama dengan memperkuat sendi kebangsaan juga.