Blog
-
Korea Utara Setelah Kim Jong-il
Korea Utara Setelah Kim Jong-ilMakarim Wibisono, DIPLOMAT SENIORSumber : KORAN TEMPO, 18 Januari 2012Puncak upacara berkabung atas meninggalnya Kim Jong-il pada 28 Desember 2011 telah meninggalkan beberapa pertanda. Pertama, upacara prosesi yang diselimuti awan mendung tampak mengharukan warga Korea Utara dan mengingatkan akan proses yang sama sewaktu menghantarkan Kim Il-sung disemayamkan di Istana Kumkusan,Pyongyang, meskipun tidak tampak tamu asing yang hadir seperti pada 1994. Kedua, serangkaian upacara yang diselenggarakan sejak meninggalnya Kim Jong-il pada 17 Desember 2011 sampai puncak acara 11 hari kemudian dirancang untuk menggambarkan bahwa proses transisi kepemimpinan ke generasi ketiga pendiri Korea Utara, Kim Jong-un, berjalan lancar-lancar saja. Dan ketiga, ada upaya pencitraan bahwa Kim Jong-un, yang wajahnya mirip Kim-Il-sung, muncul sebagai pemimpin baru Korea Utara yang kompak didukung oleh Partai Pekerja Korea, dan Tentara RakyatKorea yang menjadi tulang punggung bangsa Korea Utara.Meskipun demikian, masih timbul pertanyaan di kalangan pengamat, apakah betul Kim Jong-un, yang berusia 29 tahun dan belum berpengalaman dalam politik domestik, benar-benar mampu menguasai pemain-pemain politik andal di Korea Utara? Kesangsian ini wajar mengingat ayah yang digantikannya memegang kendali berbagai posisi politik penting, seperti Pemimpin Tertinggi Korea Utara, Sekretaris Jenderal Partai Pekerja Korea, dan Ketua Komisi Pertahanan Nasional.Persiapan StrukturalProses transisi kepemimpinan Korea Utara dari Kim Jong-il ke Kim Jong-un sebenarnya telah dimulai segera setelah Kim Jong-il mengalami serangan stroke pada 2008. Elite politik di Pyongyang telah siap secara psikologis menghadapi pergantian pemimpin mereka setiap saat. Dinamika persaingan antara kelompok pendukung keluarga Kim dan kelompok ortodoks yang memperjuangkan sistem keutamaan negara semakin meruncing. Puncaknya terjadi dalam Konvensi Partai Pekerja Korea, 28 September 2010, di mana pendukung keluarga Kim menjadi pemenangnya.Kim Jong-un secara resmi dipilih sebagai calon pengganti, dan berbagai tokoh pendukungnya telah terpilih sebagai anggota Politbiro, misalnya Kim Kyung-hui, adik kandung Kim Jong-il. Ipar almarhum Kim Jong-il, Jang Song-taek, telah diberi posisi sebagai Wakil Ketua Komisi Pertahanan Nasional, suatu kedudukan strategis yang mengendalikan Tentara Rakyat Korea. Jabatan-jabatan strategis di Politbiro, Sekretariat Partai Pekerja Korea, dan Komisi Pusat Militer diisi oleh pendukung-pendukung setia keluarga Kim. Misalnya, Marsekal Madya Rhee Yong Ho telah diangkat menjadi anggota Politbiro dan sekaligus menjadi Wakil Ketua Komisi Pusat Militer bersama Kim Jong-un.Sebagai pemimpin baru Korea Utara, Kim Jong-un menjalin jaringan politiknya dengan alumnus Akademi Militer, Kim Il-sung, yang melahirkan tokoh-tokoh militer nasional. Selain Rhee Yong Ho, alumnus Akademi Militer lainnya, seperti Marsekal Madya Kim Young Chun dan Jenderal Kim Jong Gak, telah mendapatkan posisi penting dalam Komisi Pusat Militer. Selain itu, para teknokrat yang dekat dengan industri pertahanan Korea Utara juga diangkat untuk memperkuat Komisi Pusat Militer. Ini berarti telah terjadi pergeseran pusat gravitasi politik dan keamanan Korea Utara dari Komisi Pertahanan Nasional di zaman Kim Il-sung ke Komisi Pusat Militer. Basis politik Kim Jong-un berakar di Komisi Pusat Militer.Konsep Songun SansangApabila Kim Il-sung merumuskan konsep Juche sebagai ideologi nasional yang menjadi dasar dari perjuangannya membangun bangsanya, Kim Jong-il merumuskan konsep songun sansang, yaitu ideologi nasional yang mengutamakan militer sebagai sokoguru revolusi. Konsekuensinya, militer memperoleh prioritas dalam kegiatan dan anggaran pemerintah. Sedangkan negara-negara komunis Eropa di zaman Perang Dingin menganggap kaum proletar atau Mao Ze Dong memilih kaum pekerja (peasantry) sebagai sokoguru revolusi mereka.Menurut Kim Jong-il, kebijaksanaan untuk mengutamakan unsur militer dalam kebijakan nasional sangat diperlukan mengingat ketidakpastian kondisi keamanan internasional. Ini yang mendorong Korea Utara menjadi negara dengan kekuatan militer keempat di dunia dengan kekuatan personel lebih dari 1,2 juta jiwa dan sekitar 20 persen penduduknya yang berusia antara 17-54 tahun menjadi personel angkatan bersenjata. Korea Utara, karena itu, kemudian memiliki senjata nuklir, peluru kendali antarbenua, pasukan khusus terbesar di dunia, dan pemilik senjata kimia terbesar ketiga. ● -
Pro dan Kontra Revisi UUPA
Pro dan Kontra Revisi UUPABambang Sadono, DOSEN HUKUM AGRARIA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG (USM)Sumber : SUARA MERDEKA, 18 Januari 2012DI tengah merebaknya konflik pertanahan di berbagai daerah, dari sudut hukum muncul berbagai pertanyaan, antara lain: di mana letak kesalahannya. Apakah peraturan hukumnya tidak memadai, atau penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Jawabnya, bisa salah satu, bisa dua-dua bidang tersebut bermasalah. Jika asumsinya persoalan sudah dimulai sejak peraturan hukumnya maka wajar kalau sekarang ini makin menguat spekulasi perlunya merevisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yakni UU Nomor 5 Tahun 1960. Bahkan RUU Pertanahan saat ini sudah terdaftar dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR.Mengapa UUPA menjadi sasaran utama? Posisi UUPA sebagai jangkar peraturan hukum bidang pertanahan memang sangat vital. Sejak Indonesia merdeka sampai dengan lahirnya UUPA tahun 1960, memang sudah dibuat beberapa peraturan hukum di bidang pertanahan yang nasionalistis. Namun hasilnya masih parsial dan sektoral serta tidak bisa menaungi semua kebutuhan hukum yang diperlukan.
Salah satu contohnya adalah UU Nomor 13 Tahun 1948 dan UU Nomor 5 Tahun 1950, yang mencabut Staatsblad Nomor 20 Tahun 1918 yang mengatur hak konversi. Ketentuan ini menghapuskan hak atas tanah yang diperoleh pengusaha asing di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Hak ini mendasarkan hak feodal raja yang memilik seluruh tanah di wilayahnya, dan bisa menyewakan pada pengusaha asing. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1952, yang membatasi persewaan tanah rakyat untuk tanaman tebu yang berdasarkan Staatsblad Nomor 20 Tahun 1918 bisa sampai 20 tahun, dibatasi sampai 1-2 tahun saja. Juga UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, yang mencabut kepemilikan tanah partikelir, tanah tersebut kemudian dikuasai oleh negara.
Baru UUPA (namanya resminya Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), diundangkan September 1960, yang melakukan perubahan mendasar dalam hukum pertanahan di Indonesia, dan menetapkan tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum, dan garis-garis besar ketentuan-ketentuan pokok Hukum Pertanahan Nasional. Beberapa prinsip politik hukum yang ditegaskan dalam UUPA antara lain penggantian Hukum Agraria Kolonial, pengakuan konsepsi Hukum Adat termasuk Hak Ulayat, unifikasi hukum untuk seluruh wilayah, fungsi sosial hak atas tanah, penggunaan tanah terencana, pendaftaran tanah secara aktif, dan sebagainya.
Argumentasi Revisi
Walaupun peran UUPA sangat sentral, bagi yang mendukung revisi, sederet argumentasi telah disiapkan. Pertama; usia UUPA sudah lebih dari 50 tahun. Kedua; desain sebagai undang-undang pokok, menyulitkan kehadiran undang-undang lain yang akan menerjemahkan, atau menutup celah kekurangannya. Ketiga; perubahahan di bidang pertanahan terjadi sangat cepat, tidak bisa diantisipasi dengan konsep-konsep yang diprediksikan setengah abad lalu. Keempat, desain besar ruang lingkup UUPA juga perlu dipertimbangkan ulang.UUPA disebut sebagai undang-undang pokok, artinya menjadi sandaran atau acuan bagi undang-undang lain, terutama undang-undang yang akan menjadi turunan, ataupun mengatur bidang sejenis. Faktanya secara yuridis, pemberian nama undang-undang pokok tidak mempunyai makna khusus. Hanya sering dimengerti bahwa dengan nama UU Pokok mengandung informasi bahwa UUPA baru berisi konsepsi, asas-asas, dan ketentuan-ketentuan dalam garis besar saja, adapun penjabarannya diatur oleh peraturan perundangan lain.
Inilah yang merepotkan undang-undang berikutnya, yang secara teknis perundangan tidak bisa dikatakan sebagai pelaksana dari undang-undang lain. Jadi hanya bisa diterjemahkan melalui peraturan yang tingkatannya di bawah undang-undang. Ini yang kemudian menyebabkan UU yang berikutnya bertentangan dengan UUPA, tidak bisa disingkirkan begitu saja.
Memang istilah undang-undang pokok, pada masa itu banyak dipakai, misalnya UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, atau UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan sebagainya.
Belum lagi soal istilah ’’agraria’’ yang digunakan, tidak mencerminkan masalah konkret yang dihadapi dunia sekarang. Memang ratusan tahun, atau bahkan ribuan tahun lalu, masalah tanah lebih banyak berhubungan dengan soal pertanian karena itu lebih banyak digunakan istilah agraria, yang berarti tanah pertanian. Pemerintah Kolonial Belanda sendiri pernah memperkenalkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada 1870.
Dunia saat ini, termasuk Indonesia, menghadapi persoalan tanah yang lebih kompleks, bukan hanya untuk pertanian melainkan juga untuk pemukiman, pertambangan, industri, perdagangan, dan sebagainya. Karenanya istilah Hukum Tanah, atau lebih luas lagi Hukum Pertanahan dianggap lebih tepat. Beberapa negara menggunakan nama Land Law, dan sering menggunakan istilah Land Reform. Bahkan judul RUU yang sekarang ada di DPR adalah RUU Pertanahan.
Berbagai masalah pertanahan yang muncul akhir-akhir ini juga menimbulkan pertanyaan konseptual, karena konsepsi ataupun politik hukum yang diterjemahkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dinilai tidak tegas. Misalnya mengenai posisi Hukum Adat sebagai basis Hukum Pertanahan Nasional, termasuk eksitensi Hak Ulayat yang sangat lemah perlindungan hukumnya. Termasuk posisi negara sebagai wali amanah atas tanah yang belum diberikan haknya pada perseorangan atau badan hukum, sering ditumpangi kepentingan pemerintah yang seolah-olah sebagai pemilik yang bebas menggunakan tanah sekehendaknya.Kontra Revisi
Namun bagi yang kontra revisi UUPA juga punya cukup banyak argumentasi untuk mempertahankan keberadaan undang-undang yang dianggap monumental sejak Indonesia merdeka itu. Konsepsi dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional masih cukup relevan. Jika ada kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini, lebih banyak disebabkan oleh politisasi hukum, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan perundang-undangan. Politisasi hukum ini membuat negara (pemerintah dan DPR) tidak konsisten menerjemahkan semangat Pasal 33 UUD 1945, dalam perundangan-undangan bidang pertanahan.Menurut pihak yang kontra revisi, yang harus dilakukan justru segera memenuhi kelengkapan peraturan perundangan yang disebut UUPA, misalnya UU Hak Milik yang sampai sekarang belum terwujud. Memang agak lumayan walaupun sangat terlambat, akhirnya UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum, baru saja disahkan. Sebelumnya soal pengadaan tanah untuk pembangunan, termasuk soal ganti rugi, hanya diatur dalam peraturan presiden. Sementara beberapa undang-undang yang secara materi bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1969 seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pemerintah Daerah, dan sebagainya harus disesuaikan, direvisi, atau di-yudicial review.
Sebenarnya, melalui revisi UUPA atau tidak, dalam jangka dekat yang dibutuhkan adalah membangun sistem hukum pertanahan yang terbuka, memihak kepentingan rakyat di satu sisi, tetapi di sisi lain mengakomodasi kebutuhan pembangunan ekonomi. Menjamin tertib administrasi pertanahan, hak milik perseorangan ataupun kolektif, serta menyelesaikan konflik secara transparan, dan mengedepankan pendekatan hukum. Dalam jangka panjang, reformasi Hukum Agraria, harus diarahkan demi terciptanya sistem hukum yang harmonis, operasional, dan memenuhi rasa keadilan rakyat.
● -
Beras, Terigu, dan Pangan Lokal
Beras, Terigu, dan Pangan LokalKhudori, PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN DAN GLOBALISASISumber : KORAN TEMPO, 18 Januari 2012Mengartikan pangan identik dengan beras sesungguhnya telah mengecoh kita. Sejarah Indonesia mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun. Kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi (terutama telekomunikasi), yang dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan, telah menyebabkan pola makan mengkristal pada beras, sedangkan gaplek, jagung, ubi, dan cantel justru jadi pakan pokok ternak.Sampai saat ini semua perut warga negeri ini bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen). Konsumsi per kapita mencapai 139,15 kg per tahun, tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot produksi beras agar pasokan domestik tercukupi. Padahal lahan sawah letih dan kelelahan, produktivitasnya melandai, dan luasnya terus tergerogoti kepentingan lain. Infrastruktur irigasi rusak, kontinuitas ketersediaan air sulit dipenuhi. Dari sisi teknologi produksi, hasil petani di sawah irigasi saat ini mendekati batas frontier yang bisa dicapai: 6,4 ton per hektare, kedua tertinggi di Asia Timur setelah Cina (7,6 ton per ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton per hektare dengan input yang mahal.Ini membuat Menteri Perdagangan Gita Wirjawan gelisah (Koran Tempo, 27 Desember 2011). Untuk menekan impor, Gita akan mengkampanyekan pengurangan konsumsi beras dan gula. Pengurangan konsumsi adalah strategi diversifikasi pangan. Strategi ini sudah dilakukan sejak zaman baheula. Pada 2010, pemerintah juga menggulirkan kampanye One Day No Rice. Cara ini dinilai bisa menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp 6 triliun. Jika uang itu dialihkan untuk konsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, ganyong, dan sukun, akan menciptakan dampak berganda luar biasa. Kalkulasi itu tidak salah. Pertanyaannya, segampang itukah orang mau menekan konsumsi beras?Mengalihkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan (habit) bertahun-tahun, termasuk dalam hal pangan, bukanlah hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang, melibatkan segenap indra (terutama perasa dan penglihatan), dan pertimbangan ekonomi (akses dan efisiensi), politik (kebijakan), serta kebudayaan (akulturasi dan adaptasi). Dalam hal beras, hasilnya seperti ini: memasak beras itu mudah, harganya murah (karena subsidi), gampang didapat kapan dan di mana saja. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dibanding pangan lokal lain. Pelbagai kelebihan beras ini belum tertandingi oleh aneka pangan lokal. Dari sini terlihat betapa absurdnya kampanye “satu hari tanpa nasi”. Sampai saat ini pangan lokal masih sulit didapat, kontinuitas ketersediaannya tak terjaga, harganya fluktuatif, rasanya kurang enak, kandungan gizinya lebih rendah, dan memasaknya ribet. Seperti yang sudah-sudah, kampanye ini dipastikan akan menguap di tengah jalan.Saat pangan lokal dibelit aneka masalah, pangan introduksi berbasis terigu justru semakin perkasa. Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu itu meningkat pesat. Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996, dan meledak menjadi 17 kg per tahun pada 2010. Jadi, hanya dalam 15 tahun, konsumsi terigu meledak 6,5 kali lipat. Di Indonesia, tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu. Konsekuensinya, impor gandum juga meledak, menjadi lebih dari 5 juta ton pada 2008 dengan nilai US$ 2,245 miliar. Devisa yang terkuras ini tidak kecil.Dalam struktur diet makanan warga, gandum kini menempati posisi kedua setelah beras, menyalip jagung atau ubi-ubian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, jagung, sukun, atau ganyong. Di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior dari gandum yang lebih mewakili cita rasa dan selera global. Temuan Fabiosa (2006) dalam Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia cukup mengejutkan: setiap peningkatan 1 persen pendapatan warga Indonesia, pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat pada kisaran 0,44-0,84 persen. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus.Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, perlahan-lahan konsumsi beras mulai tersubstitusi oleh gandum. Dari sisi diversifikasi makanan, substitusi itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi beras oleh gandum adalah diversifikasi salah kaprah yang tidak dikehendaki. Sebab, ini yang kedua, substitusi itu hanya akan mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan kita pada pangan impor. Padahal Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti singkong, gembili, sukun, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa di berbagai sektor.Mensubstitusi terigu dengan pangan lokal bukan hal mustahil. Namun, substitusi itu memerlukan kebijakan radikal, konsisten, dan memihak kepentingan domestik. Salah satu kandidat pengganti tepung terigu adalah tepung singkong modifikasi (mocaf). Mocafsudah diproduksi secara industri di Trenggalek, melibatkan petani, koperasi, dan pemda setempat. Memang mocaf tidak bisa dibuat aneka makanan seluas tepung terigu. Namun, mocaf menjanjikan banyak hal. Di sinilah negara perlu hadir dengan beleid memihak.Pertama, secara ekonomi, harga mocaf (Rp 4.000 per kg) cukup bersaing. Tapi harga ini belum menarik bagi industri dibandingkan dengan tepung terigu curah (Rp 4.300-4.500 per kg). Jika mocaf tidak dikenai PPN 10 persen tentu harganya kian menarik. Pemerintah harus membebaskan PPN 10 persen untuk mocaf. Sebaliknya, bea masuk impor terigu yang 0 persen harus ditata-ulang. Kedua, strategi diversifikasi pangan berbahan lokal akan berhasil bila pemerintah tak memilih kebijakan dan strategi melepas semua ke pasar (hands-off policy). Dukungan kebijakan itu meliputi kebijakan fiskal, seperti alokasi anggaran dalam APBN, tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, dan subsidi pertanian, termasuk riset dan teknologi. Ketiga, strategi ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka menengah sebagai bagian dari penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Ditambah kewajiban industri menyerap mocaf, pangan ini pasti berkembang.Sebagai industri yang masih bayi (infant industry), tidak adil membiarkan industri mocaf–yang sepenuhnya berbahan baku lokal, melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani, menciptakan dampak berganda yang mahaluas–bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil mocaf bersaing dengan 6 korporasi penguasa bisnis tepung terigu (yang salah satunya menguasai pangsa 70 persen). Berbagai kebijakan itu harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Saat tepung terigu tersubstitusi mocaf, dengan sendirinya tekanan pada beras akan berkurang. ● -
Proyek Kekerasan Berbasis Identitas
Proyek Kekerasan Berbasis IdentitasTriyono Lukmantoro, DOSEN FISIP UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANGSumber : SINAR HARAPAN, 17 Januari 2012Penembakan yang dijalankan orang-orang tak dikenal terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tiga warga dari Jawa Tengah telah menjadi korbannya.Ketiga korban di simpang Aneuk Galong, Suka Makmur, Aceh Besar, itu adalah Gunoko dan Sotiku Anas, warga Demak; serta Agus Suwignyo, warga Grobogan.Gunoko pada akhirnya meninggal. Jenazahnya telah dimakamkan di tanah kelahirannya, Dusun Donoloyo RT 7 RW 3 Desa Donorejo Kecamatan Karangtengah, Demak, Sabtu (7/1) sekitar pukul 23.00.Menurut pihak kepolisian, penembakan yang terjadi pada lima kasus dalam dua bulan terakhir memiliki pola-pola serupa. Pelaku menggunakan senjata AK-47. Sasarannya ialah warga pendatang beretnis Jawa.Motif penembakan tersebut masih gelap. Hanya saja Kapolri Jenderal Timur Pradopo menduga kasus itu akibat kecemburuan sosial. Namun, para aktivis organisasi non-pemerintah meyakini kasus-kasus itu bermotif politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2012.Fenomena yang menarik ditelaah adalah jika pihak pemerintah (dalam kaitan ini juga kepolisian) pada awalnya menolak kekerasan di Aceh adalah karena masalah pilkada, tapi dalam waktu berikutnya pemerintah berkata sebaliknya.Dalam pernyataannya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan kekerasan yang terjadi di Aceh memang berkaitan erat dengan pilkada.Pernyataan yang tidak jelas dari awal semacam ini tentu saja menimbulkan berbagai dugaan. Salah satu dugaan itu adalah pemerintah memang sengaja menutup-nutupi ketidakbecusannya dalam mengelola pilkada di wilayah Serambi Mekah tersebut.Apa pun pernyataan pemerintah yang memperlihatkan sikap kebimbangan itu, muncul sejumlah pertanyaan yang dapat dikemukakan untuk menilai peristiwa tragis tersebut.Mengapa kejadian penembakan itu terjadi menjelang pilkada? Kenapa pihak-pihak yang menjadi korban adalah warga yang beretnis Jawa? Kalau kalangan pelaku penembakan itu bersenjata AK-47, bukankah pihak kepolisian secara implisit mengarahkan dugaan bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada di balik kasus-kasus keji itu? Apakah ini semua skenario untuk menjadikan Aceh sebagai proyek kekerasan yang menguntungkan pihak tertentu?Tragedi KemanusiaanSemua pertanyaan itu hanya menghasilkan prasangka. Di situlah komunikasi politik terhenti karena klarifikasi yang diberikan pihak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tampaknya saling bertentangan.Simaklah bagaimana Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf menyatakan kekerasan yang terjadi di daerahnya tidak berkaitan dengan persoalan pilkada. Hal yang lebih ironis adalah pihak kepolisian yang memiliki otoritas resmi dan memonopoli keamanan belum mampu meringkus para pelaku penembakan.Namun, persoalan yang pasti adalah kekerasan berbasis identitas telah terjadi di Aceh. Sebagai kejadian yang bermuatan tragedi kemanusiaan, pesan yang hendak ditegaskan pada peristiwa itu adalah etnis Jawa sebagai warga pendatang menjadi sasaran penembakan.Logika berikutnya yang dapat dimengerti adalah para pelakunya merupakan penduduk asli, yakni warga Aceh yang tidak senang dengan keberadaan warga Jawa. Namun, logika itu boleh jadi sangat keliru dan sekadar upaya untuk mengacaukan ketenteraman warga di sana.Selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, ada pemahaman TNI identik dengan suku Jawa. Karena itu, urai Linda Christanty (Berdamai dari Bawah, 2011), Hasan Tiro pun menjalankan perlawanan terhadap “kolonialisme Jawa”.Apakah kedamaian yang tercipta di Aceh sejak 2005 tidak bisa melenyapkan paham tentang kolonialisme itu? Kalau paham itu sengaja dimunculkan lagi, siapakah yang diuntungkan? Jawabannya adalah pihak-pihak tertentu yang mampu bermain kembali dengan mengerahkan proyek kekerasan berbasis identitas etnis.Proyek kekerasan itu mampu memberikan keuntungan secara finansial dengan berdalih pada penciptaan keamanan dan memantapkan kedamaian, ataupun dalih terselubung lainnya.Proyek kekerasan berbasis identitas itu dapat dijalankan pihak mana pun. Jika proyek kekerasan itu berasal dari atas (negara), aparat keamanan memiliki pembenaran untuk menguasai kembali wilayah itu. Di sini proyek kekerasan dapat mengatasnamakan pemulihan keamanan dan penciptaan ketertiban.Apabila proyek kekerasan itu berasal dari bawah (masyarakat), tujuan yang dapat diduga adalah penembakan yang terjadi secara misterius itu memang untuk menunda jalannya proses pilkada sehingga berbagai agenda politik yang selama ini belum dapat terealisasikan akan diakomodasi pihak penyelenggara pilkada.Hanya saja, persoalan yang dapat diberikan penegasan adalah dalam setiap konflik, problem identitas (baik yang berlandaskan pada etnisititas maupun religiositas) dengan mudah bisa dimainkan.Identitas, demikian Kath Woodward (Understanding Identity, 2002) menjelaskan, mampu memberikan tawaran sebuah cara berpikir yang menghubungkan antara sisi yang personal dan sisi yang sosial.Identitas adalah tempat pertemuan antara aspek psikologis dan sosial. Identitas merupakan pembentukan dan lokasi psikososial. Selain itu, identitas berbicara tentang perbedaan. Identitas menjadi penandaan yang begitu sempurna antara “kita” melawan “mereka”. Hal itu mudah dijalankan, terlebih lagi pada masa peperangan yang melibatkan tindakan konfliktual.Menciptakan DemarkasiDengan memainkan kekerasan berbasis identitas etnis itu, bergulirlah paham bahwa etnis Jawa masih dimusuhi etnis Aceh. Siapa pun pelaku penembakan itu berhasrat menciptakan demarkasi dan adu domba antara “kita” versus “mereka”.Melalui cara berpikir ini, “kita” berkeinginan meletupkan identifikasi sebagai warga setempat yang terjajah, dimiskinkan, dan disingkirkan. Sementara itu, “mereka” difantasikan sebagai kalangan pendatang yang menjajah, melakukan pemiskinan, dan menjalankan penyingkiran. Semua dapat berjalan rapi jika merujuk pada masa silam.Siapa pun pihak yang sengaja melakukan proyek kekerasan berbasis identitas di Aceh pada dasarnya memungkiri tindakan politik. Filosof Hannah Arendt (1906-1975), seperti diuraikan Karin A Fry (Arendt: A Guide for the Perplexed, 2009), menyatakan kekerasan berlawanan dengan kebebasan.Kekerasan yang dilakukan mereka yang berada dalam pemerintahan menggulirkan pemaksaan yang pada akhirnya menindas kebebasan.Tidak seperti lazimnya tindakan politik, kekerasan itu bisu karena membungkam pertukaran gagasan serta digunakan untuk mencapai tujuan dengan paksaan. Penggunaan kekerasan, seperti termaktub di dalamnya, tidak mampu diprediksi dan berbahaya karena tidak pernah bisa menjamin hasil yang diharapkan.Jadi, siapa pun yang sengaja memainkan proyek kekerasan berbasis identitas (atas nama suku maupun agama) di Aceh (atau di wilayah mana pun) dengan dalih menciptakan tertib sosial dan kedamaian, atau agenda politik lainnya, pastilah akan menuai kegagalan.Terkecuali jika kekerasan itu memang secara sengaja dijadikan proyek menangguk keuntungan finansial dan memainkan petualangan politik yang mengarah pada penciptaan kekacauan. Pihak-pihak semacam itu telah memunggungi arti penting perdamaian dan mengoperasikan kebrutalan terhadap sesama manusia. ● -
Tahun Perburuan
Tahun PerburuanSukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATESumber : KOMPAS, 17 Januari 2012Minggu (15/1) malam, saya menghadiri ulang tahun Indonesian Democracy Monitor. Dalam pidato politiknya yang singkat, sebagai salah satu tokoh sentral Indemo, Hariman Siregar kembali menegaskan bahwa sejatinya hubungan antara pemerintah dan massa rakyat itu telah terputus. Telah bercerai. Masing-masing jalan sendiri.Pemerintah selalu mengklaim bahwa pembangunan nasional yang dijalankan sudah mendongkrak bangsa ini menjadi lebih sejahtera. Seluruh kalkulasi ekonomika, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan investasi, menunjukkan ke arah perbaikan signifikan. Sebaliknya, publik yang diwakili pelaku usaha dan masyarakat sipil pada umumnya merasa bahwa rakyat ini berjalan sendiri. Bahkan, untuk rasa aman pun, rakyat harus melindungi diri sendiri. Ekspresi itu tergambar gamblang dalam spanduk ”Negeri Autopilot”.Tidak mengherankan jika di tengah kejenuhan kita untuk berkata-kata, malam itu Hariman Siregar masih memompa optimisme para oposan independen dengan mengatakan, ”Bersama/kita teruskan perjuangan ini/karena belum lagi selesai/kita lanjutkan perjalanan ini/karena belum berakhir.”Tirani DadakanKeterbelahan ekstrem antara pandangan pemerintah dan masyarakat mengenai pembangunan ekonomi serta perang terhadap korupsi dan penegakan hak asasi manusia, untuk menyebut beberapa contoh, menurut hemat saya, dipicu oleh kultur elite yang selama ini gemar akan tindakan dadakan. Dalam diskusi pendek penulis dengan Daoed Joesoef beberapa waktu lalu, ia mengatakan bahwa salah satu candu dari para elite kita adalah urgensitas. Semua dianggap kekinian. Mereka menderita miopia waktu. Akibatnya, terjadi tirani urgensi.Dalam praksis, sesuai watak dari tirani urgensi, para pengambil keputusan akhirnya hanya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dangkal karena gagal memahami secara komprehensif akar persoalan. Kebijakan yang mereka hasilkan tidak lebih dari sekadar respons terhadap gejala yang ada. Tidak mengherankan jika hasilnya sak dadine (asal jadi) dan bukan strategi besar masa depan dengan seluruh kalkulasi risikonya.Situasi tersebut tentu saja menyedihkan mengingat bangsa-bangsa lain di dunia sudah mencanangkan mimpi besar mereka. Sementara itu, elite Republik hanya gaduh dengan politik transaksional. Syahwat kekuasaan mereka sebatas mendapatkan privilese ekonomi dan politik jangka pendek. Mereka tidak gaduh membicarakan postur Indonesia masa depan di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Mereka tidak gaduh membangun utopia Indonesia menjadi negara adidaya.Padahal, para bapak bangsa sudah mengajarkan pentingnya utopia sebagai spirit masa depan: kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju masyarakat adil makmur tempat seluruh anak bangsa seharusnya hidup bahagia. Kebahagiaan hidup, ketenteraman lahir batin, dan kegotongroyongan adalah utopia itu. Ia ibarat bintang, tak mungkin kita terbang ke sana. Namun, dia menjadi petunjuk ke kaki langit mana perahu harus menuju.Dalam konteks sekarang ini, absennya utopia pada sebagian besar elite kita membuat tahun ini akan menjadi ”tahun perburuan”. Berbeda dengan 2010 yang menjadi ”tahun saling menyandera” dan 2011 sebagai ”tahun saling menyerang”, tahun ini ranah politik akan diisi oleh aktivitas perburuan.Sesuai dengan karakter perburuan, politik tahun ini diduga akan semakin berisik. Akan tetapi, kegaduhan itu bukan karena terjadinya saling menyerang antarpolitisi atau partai politik, tetapi karena masing-masing bergerak sendiri. Dengan istilah lain, terjadi ”gencatan senjata” antarpartai politik. Ibarat beberapa kelompok pemburu, masing-masing sibuk mengejar target buruan karena masing-masing sadar, tahun ini adalah saatnya perburuan dimulai. Terlambat sedikit saja, mereka akan ketinggalan dan digilas oleh lawan politik pada pemilihan umum nanti.Target BuruanSehubungan dengan hal tersebut, ketika pengawasan publik pada proyek-proyek pemerintah semakin ketat, target pertama yang akan diburu para politisi tentu saja mereka yang mempunyai dana. Tahun ini, para politisi akan sibuk membuat daftar nama pengusaha dan siapa pun yang subur dana di dalam iPad mereka. Langkah selanjutnya adalah melakukan pertemuan sembari menyeruput kopi pagi di tempat yang aman.Target perburuan kedua adalah para tokoh yang populer dan mudah mendapatkan dukungan publik. Syukur-syukur kalau tokoh tersebut juga berkantong tebal. Mereka akan didekati, lalu dilakukan matriks untuk mengukur kekuatan dan kelemahan, untuk selanjutnya dielus-elus sebagai calon presiden dan wakil presiden. Perburuan ini tentu saja membuat politik menjadi gaduh karena berseliwerannya isu dan klaim masing-masing pihak. Di sini, manuver Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat yang harus dicermati. Merekalah penentu akhir.Pada tahun perburuan ini, berdasarkan diskusi dengan banyak pihak, secara hipotesis saya menduga, nama-nama tokoh yang akan mulai sering disebut adalah Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X, Jusuf Kalla, Wiranto, Joko Suyanto, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Ani Yudhoyono, Mahfud MD, Endriarto Sutarto, Sukarwo, Alex Noerdin, Puan Maharani, Pramono Edhie Wibowo, Hatta Rajasa, Rustriningsih, dan Joko Widodo.Menurut Anda, siapa yang punya utopia di antara mereka? Saya tahu jawabannya. ● -
Masa Depan Demokrasi Kita
Masa Depan Demokrasi KitaFranz Magnis-Suseno, GURU BESAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTASumber : KOMPAS, 17 Januari 2012Tiga belas tahun lalu Presiden Habibie—hanya seminggu sesudah ia diangkat—dengan berani membuka keran demokrasi. Setengah tahun kemudian, Sidang Istimewa MPR mengangkat hak-hak asasi manusia ke tingkat konstitusional.Pada 1999, Indonesia melakukan pemilihan umum bebas pertama sejak 1955. MPR pilihan 1999 itu lalu mengamandemen UUD 1945 untuk mengamankan demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru.Belum pernah dalam sejarah Indonesia terdapat konsensus sedemikian luas bahwa Indonesia harus betul-betul demokratis. Sampai sekarang belum ada satu kelompok sosial politik berarti yang menolak demokrasi. Konsensus itu dibenarkan dalam keberhasilan pelaksanaan dua pemilu: 2004 dan 2009.KecewaNamun, antusiasme semula sekarang menguap. Kekecewaan mendalam, bahkan rasa putus asa, semakin mengambil alih. Otonomi daerah ternyata menghasilkan otonomisasi korupsi. Pilkada bisa menjadi sumbu konflik etnis dan agama.Perekonomian meski pada hakikatnya tangguh, tidak mencapai kapasitas yang sebenarnya: mungkin dihambat oleh pengabaian ekonomi rakyat, kerapuhan infrastruktur, dan hambatan-hambatan dari birokrasi yang korup.Hak-hak asasi manusia yang menjadi dasar harkat etis demokrasi masih tetap banyak diabaikan. Di daerah-daerah yang jauh, kekerasan aparat terhadap rakyat masih terjadi.Yang amat mengkhawatirkan: negara semakin gagal menjamin kebebasan beragama dan beribadah minoritas-minoritas. Kecaman elite terhadap kekerasan atas nama agama tinggal verbal.Di basis intoleransi, bahkan kebencian terhadap mereka yang berbeda meluas. Kelompok-kelompok yang ajarannya dicap sesat oleh mayoritas diancam dengan kekerasan dan—malu-malu!—tidak dilindungi oleh negara. Pengaruh ekstremisme eksklusivis dibiarkan meluas. Bahwa dalam negara hukum, pemerintah pusat tidak mampu menjamin bahwa keputusan Mahkamah Agung mengenai hak beribadat dilaksanakan (Gereja Yasmin di Bogor) adalah mengkhawatirkan dan memalukan.Yang paling serius adalah politik duit di kelas politik. Sindiran miring bahwa sila pertama sudah diubah menjadi ”keuangan yang maha esa” mencerminkan persepsi masyarakat tentang para politisi. Persepsi ini—kalau tetap—akan menghancurkan demokrasi—dan negara Pancasila—kita.Kelas politik dipersepsi kongkalikong dalam sebuah konspirasi untuk merampas kekayaan bangsa. Seakan-akan negara sudah jatuh ke tangan sebuah mafia. Korupsi yang muncul di Kementerian Keuangan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam masyarakat dipersepsi sebagai hanya puncak gunung es. Sistem yudikatif dan aparat kepolisian dianggap korup.Paling gawat adalah jatuhnya harkat moral Dewan Perwakilan Rakyat di mata rakyat yang seharusnya diwakili. Di sini urat nadi demokrasi kena. Kemalasan mencolok para anggota DPR, jumlah mereka yang terlibat dalam perkara korupsi, fakta bahwa wakil rakyat menjadi calo proyek, reaksi marah waktu KPK mulai meneliti mafia Panitia Anggaran Negara, kenyataan bahwa pembuktian positif asal usul kekayaan tidak mau diperundangkan, usaha mencolok untuk memperlemah KPK (yang kalau mereka korup memang masuk akal): semua itu memberi kesan bahwa tempat tepat DPR bukan di Senayan, melainkan di Salemba dan Cipinang.Pada saat yang sama, kepemimpinan nasional kelihatan tidak mau atau tidak mampu mengambil tindakan-tindakan yang diharapkan.Pada 1955 pernah ada situasi yang mirip. Pemilu tahun itu berhasil, tetapi tidak berhasil mengatasi masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia waktu itu. Akhirnya, empat tahun kemudian, Presiden Soekarno mengakhiri demokrasi pertama Indonesia itu, menyatakan diri ”Pemimpin Besar Revolusi” (Pembesrev), dan menempatkan bangsa Indonesia ke suatu jalur dinamika politik yang menghasilkan tragedi nasional teramat mengerikan pada 1965 serta 32 tahun pemerintahan Orde Baru.Belajar Demokrasi dengan BerdemokrasiAda bisik-bisik bahwa satu-satunya jalan keluar dari segala kebusukan itu adalah sebuah revolusi. Lalu, perlu dibentuk pemerintahan sementara, diadakan perubahan konstitusional, akhirnya pemilihan umum.Namun, apa mereka tahu apa yang mereka bisikkan? Yang mungkin di Indonesia bukan sebuah revolusi, melainkan kerusuhan. Siapa yang berwenang memegang pemerintahan sementara? Apa kita mau militer berkuasa kembali? Atau pemerintahan seorang strongman? Apa kita ingin suatu situasi seperti sekarang di Mesir?Melawan khayalan-khayalan macam itu kiranya perlu disadari bahwa pemecahan-pemecahan mendadak paksa-paksa bukan jalan keluar. Demokrasi hanya dapat dipelajari dengan berdemokrasi dan, untuk itu, kita harus bertolak dari apa yang sudah tercapai dalam 13 tahun terakhir.Hanya dengan maju di jalan demokratis yang digariskan oleh reformasi, bangsa Indonesia yang majemuk dapat menjadi kukuh bersatu, maju ke arah kesejahteraan yang adil dengan menjamin harkat kemanusiaan segenap warga.Tak ada alternatif terhadap langkah-langkah kecil korektif. Perbaiki sistem kepartaian! Akhiri sistem kampanye yang memaksakan calon politisi untuk mencari duit miliaran! Perkuat posisi Presiden— kalau kita tetap mempertahankan sistem presidensial—tanpa memperlemah unsur- unsur demokratis! Jalankan reformasi-reformasi, misalnya menyangkut pilkada!Memang kita tidak boleh putus asa. Dari DPR sekarang kita tagih sisa tanggung jawab kebangsaan yang masih mereka punya agar mereka berani mereformasi diri dan mengubah struktur-struktur yang menunjang politik duit.Dan, Presiden masih punya dua tahun lebih. Sekarang saatnya Presiden membuktikan diri dengan berani mengambil tindakan-tindakan yang decisive. Beliau pasti akan didukung oleh rakyat. ● -
KPK dan Tantangan 2012
KPK dan Tantangan 2012Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCHSumber : KORAN TEMPO, 17 Januari 2012Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Pradja, Zulkarnain, dan Busyro Muqoddas telah mulai menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. Publik berharap masa penyesuaian pimpinan KPK baru akan berlangsung cepat, sehingga tidak menyita banyak agenda pemberantasan korupsi yang krusial.Pasalnya, tantangan pemberantasan korupsi yang dihadapi KPK akan semakin berat. Bukan hanya serangan balik koruptor yang menjadi musuh laten akan terus menghadang, tapi upaya pembenahan internal juga harus segera dimulai, terutama setelah adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan, baik oleh pegawai KPK maupun pimpinan KPK periode sebelumnya.Di luar masalah di atas, pimpinan baru KPK juga harus menyiapkan peta jalan yang lebih komprehensif dan terukur dalam agenda pemberantasan korupsi, sehingga kerja-kerja KPK ke depan tidak terkesan asal jalan. Supaya peta jalan pemberantasan korupsi lebih mampu menjawab tantangan 2012, tentu pimpinan KPK perlu mengambil refleksi yang mendalam atas apa yang selama ini dikerjakan oleh KPK masa sebelumnya. Untuk menilai kinerja KPK secara kelembagaan, sandarannya bisa menggunakan empat tugas pokok yang dimiliki KPK dalam agenda pemberantasan korupsi, yakni penindakan, pencegahan, supervisi dan koordinasi, serta monitoring.KinerjaDi bidang penindakan, kinerja KPK telah mulai menunjukkan prestasi yang cukup baik. KPK sudah lebih agresif masuk ke sektor-sektor strategis, seperti politik (parlemen), kementerian, kehutanan, dan sektor penegak hukum (meskipun baru hakim), di mana pada periode sebelumnya keempat sektor ini hampir tidak tersentuh sama sekali.Dari sisi aktor korupsi yang diproses secara hukum, ada tren menarik dari tahun ke tahun. Pada periode 2009-2010, KPK mulai berani menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik setingkat menteri, anggota DPR, dan konsistensi dalam menindak politikus lokal yang korup. Setidaknya empat pejabat selevel menteri, yakni Menteri Sosial (Bachtiar Chamsyah), Menteri Kesehatan (Achmad Suyudi), mantan Menteri Bappenas (Paskah Suzetta), dan Menteri Dalam Negeri (Hari Sabarno) telah menjadi pesakitan. Sementara itu, 44 anggota DPR dari berbagai partai politik telah digiring ke hotel prodeo karena terlibat beragam kasus korupsi, terutama suap.Pada tingkat korupsi politik di daerah, KPK juga terus menggasak kasus korupsi strategis yang melibatkan kepala daerah. Dari data statistik, pada 2008 jumlah kepala daerah korup yang ditangani KPK sebanyak 13 orang, pada 2009 jumlah tersangka korupsi yang melibatkan kepala daerah sebanyak lima pelaku, sedangkan pada 2010 lima kepala daerah telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.Kendatipun dianggap telah menorehkan sejarah penegakan hukum korupsi yang positif, kinerja KPK di bidang penindakan bukan tanpa catatan. Ada beberapa kasus besar, seperti skandal Century, Nazaruddin, cek pelawat, serta rekening gendut pati Polri yang belum dapat diungkap hingga tuntas oleh KPK. Kasus-kasus tersebut memiliki karakteristik yang khusus karena melibatkan lingkar kekuasaan utama (Istana), mafia politik dan pengusaha hitam kelas kakap, serta aparat penegak hukum pada jabatan strategis. Kelemahan ini membuat KPK masih dicap melakukan praktek tebang pilih. KPK juga belum bisa membongkar kasus korupsi strategis pada sektor penerimaan negara terbesar seperti tambang, pajak, dan sektor migas.Sementara itu, di bidang pencegahan, masyarakat tidak banyak mengetahui langkah dan upaya antikorupsi yang diusung KPK. Hal ini mengingat akses informasi atas kerja-kerja pencegahan KPK tidak terlalu memadai. Demikian pula halnya, komunikasi publik petinggi KPK lebih mengarah pada tindakan represif dibanding kerja KPK di aspek lain seperti pencegahan. Padahal, kalau dilihat dari postur anggaran KPK, realisasi anggaran 2010 sebesar Rp 264,8 miliar, alokasi untuk bidang pencegahan sebesar Rp 16,2 miliar atau 6,12 persen. Hal ini berarti lebih besar daripada alokasi di bidang penindakan yang hanya 10,4 miliar atau 3,95 persen.Satu hal yang barangkali patut menjadi catatan, strategi pencegahan KPK belum mengarah pada desain yang ideal karena lebih menonjolkan kegiatan teknis yang beragam. Sementara itu, upaya menilai apakah kegiatan yang digagas memiliki pengaruh yang efektif untuk membangun sistem pencegahan tidak banyak dipikirkan.Semestinya skala prioritas pada bidang pencegahan yang digarap KPK memiliki keterkaitan atau benang merah yang kuat dengan level korupsi yang terjadi. Dengan bahasa yang berbeda, jika KPK memandang bahwa DPR adalah lembaga yang sangat korup, agenda pencegahan harus diarahkan pada sektor ini. Demikian pula, jika KPK melihat aparat penegak hukum adalah pelaku korupsi yang dominan, KPK juga perlu mendesain agenda pencegahannya.Di bidang koordinasi dan supervisi, KPK dipandang belum berhasil menciptakan jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang ada (Polri, Kejaksaan, dll) sebagai counterpart dalam pemberantasan korupsi. KPK juga belum mampu memicu dan memberdayakan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya (trigger mechanism) untuk bersama-sama mengemban tugas memberantas korupsi.Masalah LatenSecara umum, KPK memiliki dua masalah laten, baik yang datang dari faktor luar dan yang muncul dari internal KPK sendiri. Perlawanan koruptor terhadap KPK dan uji materiil serta revisi terhadap UU KPK merupakan masalah yang akan selalu dihadapi KPK pada periode siapa pun dan kapan pun sepanjang KPK mulai mengusik simpul-simpul kekuasaan tertentu yang berpengaruh.Adanya gerakan perlawanan terhadap KPK sebagai simbol antikorupsi mengindikasikan adanya konsolidasi dari orang atau kelompok yang berharap situasi tidak berubah. Karena itu, KPK perlu menjadi bagian penting dari usaha mengkonsolidasikan gerakan antikorupsi di Indonesia, sehingga usaha melawan KPK bisa ditangkis.Selain kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang terjadi pada Bibit dan Chandra, upaya pelemahan KPK dilakukan melalui jalur hukum, yakni permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Undang-Undang KPK kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam catatan ICW, sedikitnya sudah 13 kali permohonan judicial review atas sejumlah ketentuan dalam UU KPK diajukan.Bentuk lain dari upaya sistematis melemahkan KPK adalah memangkas wewenang lembaga ini melalui proses legislasi. Ada sejumlah kewenangan KPK yang menjadi target pemangkasan. Beberapa di antaranya adalah, kewenangan melakukan penyadapan, penuntutan, kewenangan penyitaan dan penggeledahan yang akan diatur lebih lanjut, larangan SP3 yang akan dipertimbangkan kembali oleh DPR, dan lain sebagainya.KPK juga harus mewaspadai segala bentuk pelemahan yang datangnya dari lingkup internal KPK sendiri. Hal ini mengingat KPK secara kelembagaan masih dapat diintervensi oleh berbagai pihak, baik melalui unsur-unsur penegak hukum di KPK yang berasal dari kepolisian atau kejaksaan maupun pihak lainnya. Munculnya pandangan bahwa KPK masih melakukan tebang pilih dalam penanganan perkara mengindikasikan adanya “kerikil” di dalam KPK yang sangat mungkin telah membelokkan upaya penindakan kasus korupsi. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi KPK untuk merekrut penyelidik dan penyidik yang kelak hanya akan menjadi dan bertugas sebagai pegawai KPK, bukan ex-officio seperti yang sekarang dipraktekkan.Masalah internal KPK lain yang telah menjadi sorotan kritis publik adalah munculnya beberapa kasus yang mengindikasikan pelanggaran kode etik pegawai maupun pimpinan KPK. Apakah dengan adanya temuan pelanggaran ini berarti ada pengenduran kepatuhan internal terhadap aturan yang telah disepakati? Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena kasus-kasus semacam ini hanya akan menyandera kerja-kerja pemberantasan korupsi. Sebelum terlambat, pimpinan baru KPK perlu membangun formula kode etik dan kode perilaku yang lebih ketat, baik dari sisi definisi, teknis-prosedural, maupun pengayaan substansi yang harus berlaku bagi seluruh jajaran KPK. Satu modal yang sangat penting di KPK adalah integritas. Jika pada aspek ini publik sudah mulai ragu, usaha membubarkan KPK akan jauh lebih mudah. ● -
Setelah Rosalina Bersaksi
Setelah Rosalina BersaksiSamsul Wahidin, GURU BESAR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS MERDEKA MALANGSumber : JAWA POS, 17 Januari 2012SIAPAPUN yang beperkara di pengadilan pasti mengikuti hukum tidak tertulis tetapi abadi. Pertama, berupaya keras membebaskan diri dari jerat hukum dan berupaya keras pula membuktikan dirinya tidak bersalah. Kedua, kalau tidak mungkin melepaskan diri, berupaya agar hukuman yang diterima seringan-ringannya.Ketiga, memosisikan diri sebagai bumper aktor lain agar tidak terlibat dalam perkara yang sedang dihadapi. Atau sebaliknya, justru melibatkan sebanyak-banyaknya orang yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan. Konstruksi umum ini kemudian diberi skala plus minusnya. Yang dijadikan target dan berperan sentral dalam hal ini adalah penasihat hukumnya.
Makna Kesaksian
Korupsi yang sedang dituduhkan kepada Nazaruddin menyeret begitu banyak tokoh. Mindset yang dipilih, dia terlihat berusaha keras agar korupsi (yang memang tidak mungkin personal) melibatkan banyak tokoh lain. Dua di antara tokoh sentral itu adalah yang disebut Ketua Besar dan Bos Besar. Ketua Besar, sebagaimana sering dia sebut, adalah sang Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Bos Besarnya adalah Wakil Badan Anggaran Mirwan Amir.
Dalam perspektif hukum, alat bukti itu bisa berasal dari bukti surat, kesaksian seseorang, pengakuan, serta persangkaan yang didasarkan pada petunjuk tertentu dan sumpah. Yang pasti, bukti itu harus terkait satu sama lain sehingga membentuk satu konstruksi hukum yang bisa menggambarkan terjadinya perbuatan pidana yang selayaknya dihukum.
Dalam hukum, dianut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Maknanya bahwa hakim harus menjatuhkan putusan berdasar sekurangnya dua alat bukti ditambah keyakinan hakim, kalau tidak mau putusan hakim dinyatakan batal demi hukum.
Dalam kasus itu, nyanyian Nazar semata, yang akan menjadi pengakuan nanti tatkala diperiksa (di ujung permintaan keterangan), tidak akan berharga sebagai alat bukti tanpa didukung bukti lain. Karena itulah, kesaksian Rosa menjadi sangat penting. Dengan demikian, ada dua alat bukti pertama (kesaksian Rosa) dan kedua (pengakuan Nazar), apalagi didukung bukti tertulis mengenai adanya aliran dana kepada para bos tersebut.
Lalu, apa makna penyampaian kesaksian Rosa? Pertama, yang pasti memperkuat sangkaan bahwa memang telah terjadi penyuapan terhadap dua tokoh yang disebut. Konstruksi sederhana bahwa korupsi (apalagi berkaitan dengan politik) senantiasa berhubungan dengan kepentingan politik pula. Dalam perhitungan sederhana, Nazar berhasil menyeret sang aktor yang disebut Rosa ke gelanggang perkara.
Kedua, kesaksian yang disampaikan di bawah sumpah merupakan petunjuk atas tindak pidana baru. Artinya, ketika putusan hakim nanti merekonstruksi bahwa uang itu disuapkan kepada Ketua Besar dan Bos Besar, keduanya harus menjalani pemeriksaan sebagai tersangka penerima suap atau korupsi.
Ketiga, pengungkapan itu didasarkan pada percakapan melalui BBM (BlackBerry Messenger) dengan tokoh lain, yaitu Angelina Sondakh, yang efektif berkomunikasi dengan Rosa dengan berbagai sandi. Artinya, ada yang menjadi perantara dan akhirnya juga disampaikan bahwa dia menerima sejumlah (besar) dana pula. Angie yang selama ini hanya dinilai ”terserempet” akan terjerat juga ketika cross-check diamini Nazar.
Pembelaan Diri
Tampaknya, di samping kasus pokok wisma atlet yang mendudukkan Nazar sebagai terdakwa, pengusutan masih akan panjang. ”Nyanyian” Nazar akan menyeret banyak orang dengan berlindung di balik penyampaian fakta ”secara jujur” atas apa yang terjadi. Nazar tak mau jadi bumper dalam kasus yang diungkap KPK tersebut. Di sisi lain, tokoh sentral yang disebutnya itu harus bersiap menghadapi sidang sebagai aktor yang dikenai pasal korupsi.
Makna lain kesaksian Rosa yang sangat penting ini, pertama, adalah sebenarnya kasus ini sederhana. Artinya, kasus yang mendudukkan Nazar sebagai tokoh sentralnya, dari sisi ketentuan pasal-pasal pada sistem hukum di Indonesia, juga sudah sangat jelas. Pertama, kasus itu telah menyeret beberapa terdakwa di aliran hilir, yaitu Mindo Rosalina dan Wafid Muharram yang sudah dipidana. Jadi, dalam konstruksi hukum, asumsi paling sederhana adalah bahwa korupsi itu ada. Pelakunya ada. Cuma, siapa saja dan bagaimana caranya, itu masih akan terus diungkap.
Kedua, pada dasarnya, tidak mungkin seseorang melakukan korupsi single fighter. Dari kasus ini, yang di hilir itu, antara lain, Mindo Rosalina dan Wafid Muharram tersebut. Nazar berada di tengahnya. Penanganan aktor yang di hulu inilah yang sering menimbulkan problema karena akan menyangkut tokoh lain. Apalagi, sudah terang benderang bahwa kasus korupsi itu juga erat dengan permasalahan politis, yakni pemenangan pemilihan ketua umum partai politik.
Ketiga, teori pembelaan dalam hukum pidana memberikan pemahaman bahwa siapa pun yang terlibat kasus akan senantiasa membela diri, baik lewat media maupun di pengadilan. Hal itu wajar karena siapa pun tidak mau terjebak dalam pusaran kesalahan, meskipun dia tahu dirinya benar-benar bersalah. Bahkan, sistem hukum melegitimasi adanya hak ingkar, yaitu hak untuk menghindarkan diri dari jerat hukum semampunya. Toh, nanti ada alat bukti lain yang menjadi counteratas apa yang disampaikan.
Semua berharap, seperti harapan para pengurus Partai Demokrat yang sedang cemas, hendaknya kasus itu diungkap secara terang benderang. ●
-
Pembatasan BBM
Pembatasan BBMPri Agung Rakhmanto, DOSEN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI; PENDIRI REFORMINER INSTITUTESumber : KOMPAS, 17 Januari 2012Meski terus-menerus dikritik, pemerintah bersikukuh menerapkan pembatasan BBM. Pemerintah mengklaim pembatasan akan menekan konsumsi BBM bersubsidi sehingga menghemat anggaran puluhan triliun rupiah.Untuk mengantisipasi potensi kebocoran, pemerintah menguji coba penggunaan alat canggih radio frequency identification (RFID) di trayek angkutan kota Senen-Kampung Melayu. Sejalan dengan itu, pemerintah juga gencar mengampanyekan proyek penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi.BBG yang harganya lebih murah dikampanyekan sebagai pilihan bagi masyarakat yang tidak mampu membeli pertamax dan sejenisnya saat kebijakan pembatasan BBM diterapkan 1 April mendatang. Intinya, pemerintah merasa siap menjalankan kebijakan itu.Mengimbau PemerintahTulisan ini tak hendak membahas secara ”berat” sisi positif-negatif dari kebijakan pembatasan BBM itu. Tak juga hendak membandingkannya dengan pilihan kebijakan lain yang oleh banyak kalangan dikatakan lebih rasional, yaitu menaikkan harga BBM. Sudah terlalu banyak yang membahasnya dan sudah terlalu lelah dan jenuh pula kita membacanya. Tulisan ini hanya ingin menyampaikan sedikit catatan (atau imbauan) berikut.Pertama, jika pemerintah memang lebih memilih menerapkan pembatasan BBM daripada menaikkan harga BBM, sebaiknya diakui saja bahwa hal itu lebih karena pertimbangan politis (popularitas dan pencitraan) dan bukan karena secara substansi kebijakan pembatasan BBM itu lebih rasional dan lebih membawa perbaikan fundamental dibandingkan menaikkan harga BBM. Tidak perlu membungkusnya dengan beraneka argumen yang memusingkan masyarakat.Kedua, jangan terlalu yakin dan jangan membuai masyarakat bahwa alat canggih RFID akan efektif menanggulangi potensi kebocoran yang hampir pasti akan terjadi. Apalagi yang dilakukan baru sebatas mencoba di satu jalur trayek, itu pun evaluasinya belum jelas.Lebih baik secara apa adanya menyampaikan bahwa salah satu kelemahan mendasar yang melekat pada kebijakan pembatasan ini adalah rawan terjadi kebocoran. Apalagi dengan perbedaan harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi yang saat ini saja sudah hampir dua kali lipat. Belum nanti kalau harga minyak terus naik karena ketegangan geopolitik Iran-Amerika Serikat.Ketiga, sebaiknya tidak usah menjanjikan bahwa masyarakat yang tidak mampu membeli pertamax dan sejenisnya akan dapat menggunakan gas sebagai alternatif. Sebab, ketersediaan infrastruktur gas untuk transportasi pada April 2012, bahkan 2-3 tahun ke depan, masih akan sangat jauh dari memadai.Beda dengan KonversiMendorong pemakaian gas di sektor transportasi tidak sama dengan konversi minyak tanah ke elpiji 3 kilogram. Di negara yang sudah lebih maju dalam penggunaan gas untuk sektor transportasi, seperti Pakistan, Argentina, dan Brasil, dibutuhkan lebih kurang 10 tahun untuk membuat gas benar-benar memasyarakat di sektor transportasi. Itu pun dengan catatan kebijakan tersebut dijadikan program nasional, dengan koordinasi dan dukungan semua pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir. Mulai dari produsen gas, pengembang infrastruktur, industri otomotif, perbankan, perpajakan, masyarakat, hingga bengkel perawatan.Jika baru sebatas ”proyek” percontohan di tiga kota dengan skala cakupan hanya 200–300 kendaraan, yang juga belum jelas keberlanjutannya ke depan, sebaiknya tak usah dibicarakan berlebihan. Apalagi dikatakan sebagai alternatif bagi yang tidak mampu membeli pertamax dan sejenisnya. Jelas masih jauh panggang dari api.Jadi, jika memang akhirnya tetap akan memaksakan penerapan pembatasan BBM 1 April 2012, ya silakan saja, karena memang pemerintah punya kekuasaan untuk itu. Namun, sebaiknya pemerintah buka-bukaan saja dengan mengatakan bahwa pembatasan BBM artinya mobil pelat hitam harus beralih ke pertamax dan sejenisnya. Itu saja. Tidak perlu diembel-embeli kebohongan kepada rakyat. ● -
Aceh Bukan “Lahan Kosong”
Aceh Bukan “Lahan Kosong”Taufik Al Mubarak, PEKERJA MEDIA; PENULIS BUKU ACEH PUNGOSumber : KOMPAS, 17 Januari 2012Nyawa manusia kembali meregang di Aceh. Aceh bukan lagi tempat yang aman dan damai. Kitab konflik yang ditutup pasca-Nota Kesepahaman (MOU) Helsinki, 15 Agustus 2005, hendak dibuka lagi. Aceh pun dikesankan sebagai lahan kosong yang ditinggalkan pemiliknya.Sebulan terakhir sudah beberapa kali terjadi aksi penembakan warga. Dimulai dengan penembakan karyawan PT Satya Agung di Geureudong Pase, Aceh Utara, Senin (5/12) dini hari; diikuti penembakan pekerja galian kabel Telkom di Jeumpa, Bireuen, dan penembakan penjual boneka di Banda Aceh, Sabtu (31/1); penembakan warga di Langkahan, Aceh Utara, Minggu (1/1); dan terakhir pekerja bangunan di Simpang Aneuk Galong, Aceh Besar, Kamis (5/1).Dari beberapa kejadian ini, mayoritas korban adalah etnis Jawa. Kita tidak bisa menduga apa alasan pelaku memilih korban dari etnis tertentu. Namun, satu hal membuat kita yakin: aksi ini tidak berdiri sendiri.Dia tidak semata-mata terkait suhu politik Aceh (baca: pemilihan umum kepala daerah/pilkada) yang sedang memanas, tetapi bisa karena motif ekonomi. Namun, apa pun motifnya, kita menjadi sadar bahwa kitab konflik sedang ditulis kembali.Pihak berwenang juga sulit mengungkap motif pelaku. Kejadiannya sering tak terduga, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Hingga kasus terakhir, belum satu pun pelaku ditangkap. Sangat misterius! Kondisi Aceh yang sedang memanas terkait kisruh pilkada juga menyulitkan pihak keamanan menganalisis siapa pelakunya.Kejadian-kejadian tersebut membuat kita sadar bahwa Aceh sudah menjauh dari semangat perdamaian MOU Helsinki. Aceh hendak digiring menjadi lampoh soh (lahan kosong) sehingga siapa pun merasa bebas menciptakan kekacauan.Aceh dan ”Lampoh Soh”Aceh pernah menjadi lampoh soh (lahan kosong) saat daerah operasi militer dicabut pada Agustus 1998. Setelah TNI meninggalkan Aceh, Aceh menjadi lahan kosong yang diperebutkan siapa saja, termasuk yang berniat membuat kekacauan.Istilah lampoh soh diperkenalkan sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid (tabloid Kontras, 1998). Menurut dia, Aceh yang baru lepas dari cengkeraman militer berpotensi menjadi lampoh soh untuk digarap oleh siapa saja, termasuk oleh provokator dan orang tak dikenal.Tesis Humam terbukti karena kondisi Aceh semakin tak menentu, digarap sesuai keinginan penggarap: kekacauan di mana-mana, maraknya penembakan misterius, dan pemaksaan terhadap masyarakat untuk melawan TNI.Pasca-MOU Helsinki, setelah beberapa tahun usia perdamaian, Aceh kembali menjadi lampoh soh. Dia tidak ditinggalkan pemilik, tetapi pemiliknya seperti kehabisan ide untuk menggarap. Karena dianggap potensial, masuklah anasir-anasir lain untuk menggarap lahan Aceh ini.Sepanjang 2010, kelompok teroris yang sebelumnya memilih beraksi di kota-kota di Pulau Jawa mulai membangun basis dan jaringan di Aceh. Keamanan Aceh yang kondusif membuat gerakan teroris leluasa merekrut dan melatih kader. Mereka juga membangun kamp pelatihan di Jalin, Jantho, Aceh Besar. Beberapa pentolan teroris bahkan sempat mengunjungi Aceh dan memberi pelatihan kepada anggota yang baru direkrut.Aceh sengaja dipilih karena relatif aman dan jauh dari Ibu Kota. Apalagi, perburuan terhadap anggota teroris yang sangat gencar berlangsung di Pulau Jawa membuat posisi mereka terdesak. Mereka tak memiliki tempat yang aman untuk mengembangkan sel teroris ini. Karena itu, mereka menjadikan Aceh tujuan penyelamatan gerakan.Namun, gerak-gerik mereka di Aceh juga terendus. Mereka diburu dan diuber, mulai dari Jalin, Jantho, Lamkabue Seulimuem, hingga penyergapan di Polsek Leupung, Aceh. Aceh menjadi tempat yang tak aman lagi untuk teroris mengembangkan diri.Setelah teroris gagal menggarap lahan Aceh, kini muncul kelompok lain yang tidak kita tahu dari mana. Dari aksi yang dilakukan, jelas gerakan ini punya susunan sangat rapi. Mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain dan sering beraksi seusai maghrib, seperti kasus penembakan di Bireuen, Banda Aceh, dan Aneuk Galong, Aceh Besar. Target mereka juga jelas: etnis Jawa.Siapa PelakuSiapa atau kelompok apa pelakunya? Ini menjadi pertanyaan besar di benak pemangku kepentingan di Aceh. Tidak ada yang mampu memberikan jawaban yang tepat kecuali hanya mereka-reka bahwa aksi ini terkait pilkada atau karena motif ekonomi. Namun, mengapa pekerja kecil yang disasar? Ini pertanyaan lain yang sama sulitnya dijawab.Di masa konflik, jika ada peristiwa penembakan, kita bisa menduga pelakunya tak jauh dari TNI, Polri, atau GAM. Namun, sekarang Aceh sudah damai. TNI/Polri dan GAM tak lagi terlibat perang. Menuduh anggota GAM sebagai pelaku juga salah alamat. Senjata GAM sudah lama dimusnahkan. GAM tentu memperhitungkan risiko, apalagi dengan menyasar etnis tertentu. Ini bisa menjadi blunder: menciptakan konflik antaretnis.Kini pilihan kita hanya bisa menyerukan, siapa pun pelaku penembakan hendaknya sadar bahwa Aceh bukan tempat untuk membuat kekacauan. Rakyat Aceh sudah lama lelah hidup dalam konflik, jangan menggiring mereka lagi ke arena konflik.Nyawa manusia yang berdiam di Aceh sama berharganya dengan manusia di tempat lain. Siapa pun tak boleh mengorbankannya, apalagi menjadikannya sebagai tumbal untuk memuluskan kepentingan sesaat, entah apa kepentingan itu. Etnis apa pun berhak hidup dan mencari rezeki serta menikmati suasana damai Aceh.Kita sudah bersepakat bahwa Aceh ini bagian dari NKRI. Tak boleh siapa pun menganggap etnis lain yang berada di Aceh sebagai musuh. Tak boleh orang menggarap Aceh dengan cara mencoba mengadu domba antaretnis. Sebab, kita sudah bersepakat damai: tak ada lagi darah yang tumpah. Jangan tulis riwayat konflik sebab buku konflik sudah lama kita tutup.Di atas segalanya, kita harus kembali mengingatkan para pengacau bahwa Aceh bukan lahan kosong yang tak ada pemiliknya. Siapa pun tak punya hak menggarap kekacauan di Aceh. Mengapa kita tidak justru membangun bersama Aceh yang sejahtera? ●