Blog

  • Demokrasi Sandal

    Demokrasi Sandal
    Rusmin Effendy, TENAGA AHLI DPR RI
    Sumber : SUARA KARYA, 19 Januari 2012
    Solidaritas masyarakat secara spontanitas mengumpulkan sandal jepit untuk membebaskan AAL (15 tahun), pelajar SMKN 3 Palu yang dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi dan di vonis lima tahun, telah menjadi peristiwa politik yang maha dahsyat. Betapa tidak, kasus itu mampu menarik perhatian dunia internasional dan mengalahkan kegaduhan serta gonjang-ganjing perpolitikan di awal 2012.
    Berbagai situs dan jejaring sosial dunia maya internasional merefleksikan peristiwa itu sebagai revolusi bangsa Indonesia melawan ketidakadilan dalam negara yang mengklaim menganut paham demokrasi. Ternyata, praktik demokrasi di Indonesia masih sebatas “Demokrasi Sandal” belum sepenuhnya mampu melaksanakan demokrasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
    Situs koran tertua di India, The Hindustan Times menulis, Indonesians fight injustice with sandals (rakyat Indonesia berjuang melawan ketidakadilan dengan sandal). Begitu pula dengan The Washington Post, Boston Globe, Hindustan Time, mendeskripsikan praktik diskriminasi dan perlawanan rakyat Indonesia melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
    Sementara, di dalam negeri muncul pelbagai aksi solidaritas berujung pada mengumpulkan sandal jepit sebagai ekspresi protes terhadap penegak hukum yang tidak manusiawi sekaligus kado tahun baru bagi Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Sama halnya seperti aksi solidaritas koin Prita Mulyasari yang diperlakuan tidak manusia oleh RS Omni Internasional, ataupun koin buat Presiden SBY yang berkeluh kesah selama tujuh tahun tentang gajinya tidak pernah naik.
    Terlepas apapun kesalahan AAL yang dinyatakan mencuri sepasang sandal jepit, putusan hakim PN Palu pantas disesalkan. Karena, hakim gagal menemukan hukum (rechts vinding) sekaligus menciptakan hukum (judge made law) dengan menyelami perasaan keadilan masyarakat. Putusan hakim hanya dilihat dari hukum formal sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, tanpa mempertimbangkan berbagai aspek dan menggali di balik peristiwa yang terjadi. Padahal, sesuai UU No.3/1997 tentang Pengadilan Anak merupakan pengadilan khusus, sehingga hakim yang menangani perkara haruslah yang memahami psikologi anak-anak.
    Dalam kejahatan yang dilakukan anak-anak (juvenile justice system), pemerintah sudah meratifiksi tiga konvensi PBB, yakni Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36/1990 maupun Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Res. PBB No. 39/46 tahun 1984), Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Res. No. 45/113/ 1990), UU No. 39/1999 tentang HAM serta UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
    Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Resolusi No. 109 Tahun 1990 menyebutkan, Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang, menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan/penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hukuman mati, atau hukuman seumur hidup. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
    Disadari atau tidak, sebenarnya ingatan publik terhadap citra dan kewibawaan Polri belum sepenuhnya terhapus dengan rentetan pelbagai peristiwa dan insiden kekerasan seperti penembakan di Papua, Mesuji, Bima dan terakhir penembakan misterius (petrus) di Aceh yang ditengarai dilakukan oleh oknum Polri. Sayangnya, Polri masih saja mempertontonkan kekerasan yang sejatinya memberikan keteladanan, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (public order apparatus) sekaligus melayani dan mengayomi masyarakat (public service officer).
    Kondisi seperti ini menimbulkan sikap apatis dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap perilaku dan perangai buruk Polri yang menjadi tumpuan masyarakat, seperti awal kelahirannya yang diadopsi dari nama besar Bhayangkara-pasukan sipil Mahapatih Gajah Mada yang gagah perkasa, heroik membela kebenaran dan keadilan. Ini akhirnya menjadi simbol dan lambang Polri.
    Kasus pencurian sandal jepit ini semakin memperkuat asumsi bahwa reformasi Polri melalui Tap MPR No.VI/2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan Tap MPR No.VII/2000 tentang Peranan Polri dan TNI serta buku biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional telah gagal dilaksanakan. Kultur Polri yang berwatak represif, arogan, eksklusif dan merasa paling benar tak mampu berubah untuk melaksanakan norma-norma demokrasi di Polri menjadi equality, fairness, independen dan transparency sebagai pedoman kerja Polri.
    Secara filosofis, nilai sebuah keadilan digambarkan melalui patung seorang dewi dalam Mitologi Romawi, dengan timbangan yang menggantung dari tangan kiri, dimana ia mengukur pembelaan dan perlawanan dalam sebuah kasus. Membawa pedang bermata dua yang menyimbolkan kekuatan Pertimbangan dan Keadilan. Mengenakan penutup mata, yang mengindikasikan bahwa keadilan harus diberikan secara objektif tanpa pandang bulu, blind justice & blind equality.
    Dalam pratiknya, proses pencarian keadilan oleh masyarakat kecil menjadi sesuatu yang sangat kompleks. Keadilan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang, sedangkan bagi rakyat kecil keadilan menjadi pisau tajam yang siap membunuh.
    Kondisi yang dialami AAL adalah realitas politik dari rakyat kecil pencari keadilan yang head to head berhadapan dengan penegak hukum bermoral rendah, dan tidak memenuhi standar. Sehingga, keadilan menjadi barang mahal bagi para pencari keadilan khususnya rakyat kecil. Sejatinya, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan masyarakat.
  • Mobil Esemka: Heroisme Ekonomi?

    Mobil Esemka: Heroisme Ekonomi?
    Mukhaer Pakkanna, PENELITI EKONOMI-POLITIK CENTER FOR INFORMATION AND DEVELOPMENT STUDIES (CIDES); REKTOR STIE AHMAD DAHLAN, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 18 Januari 2012
    Menarik melihat euforia pejabat dan masyarakat menyambut peluncuran mobil merek Esemka, produk para remaja kreatif sekolah menengah kejuruan negeri di Solo.
    Setelah beberapa kali pemerintah gagal membangun proyek mobil nasional—seperti Timor, Maleo, Kancil, dan Gea—kali ini antusiasme menyembul kembali. Bedanya, proyek mobil nasional masa Orde Baru yang diinisiasi pemerintah cenderung lebih politis, sementara mobil Esemka lebih partisipatif. Mengapa respons publik begitu dahsyat?
    Setidaknya, pertama, di tengah laju impor yang membanjiri pasar domestik, terutama produk kebutuhan pokok masyarakat, ada kerinduan konsumen untuk menikmati produk lokal berkualitas. Mobil Esemka adalah jawaban atas kerinduan itu.
    Kedua, di tengah tergerusnya keteladanan pemimpin, Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi), yang membeli langsung mobil Esemka untuk kendaraan dinas, menjadi contoh menarik strategi pemasaran sekaligus menghapus kerinduan masyarakat atas lahirnya pemimpin teladan. Publik merindukan pemimpin yang memberi contoh dalam ucapan dan laku, antara jabatan dan kebersahajaan.
    Ketiga, bibit nasionalisme dan heroisme yang menstimulasi kebanggaan terhadap produk lokal ternyata masih ada. Mobil Esemka bisa jadi momentum menyentakkan kesadaran publik terhadap produk dalam negeri yang dihasilkan anak-anak bangsa.
    Nasionalisme Terkubur
    Apakah euforia terhadap mobil Esemka bisa dijustifikasi sebagai wujud bibit nasionalisme di masyarakat? Nasionalisme ekonomi sejatinya terkait sikap mental (mindset) bahwa pengelolaan ekonomi negara seharusnya memprioritaskan proses ”nilai tambah” dari hasil kreativitas anak-anak negeri dalam membangun nasionalisme ekonomi.
    Menurut Bung Hatta (1933), masyarakat adalah bagian penting dari kegiatan produksi. Merekalah sebenarnya yang menjalankan, memimpin, dan mengawasi jalannya perekonomian.
    Maka, denyut nadi perekonomian sejatinya dilaksanakan dalam model partisipatif, dengan prakarsa rakyat sebagai kontribusinya. Bahkan, produknya pun harus berorientasi untuk semua.
    Selama ini denyut ekonomi dikelola negara dan usaha swasta sehingga abai dalam proses pelibatan rakyat. Dasar ekonomi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat telah lama tergerus karena negara berkolaborasi dengan korporasi global yang memiliki ”centeng” di dalam negeri.
    Liberalisasi ekonomi yang digerakkan negara kian membuka peluang lahirnya kerakusan korporasi global ataupun domestik. Korporatokrasi ekonomi semakin menancapkan kukunya (Perkins, 2007). Korporatokrasi sesungguhnya adalah wujud penyelenggaraan negara oleh orang-orang kaya.
    Nyaris semua lini gerak ekonomi tidak luput dimangsa pengusaha kakap. Hanya ampas-ampas kegiatan ekonomi yang diberikan kepada rakyat. Rakyat dihisap kekuatan ekonomi raksasa dengan dukungan negara demi surplus produsen (Sritua Arief, 2003). Tidak mengherankan jika muncul kekecewaan rakyat, apalagi setelah lahan hidup mereka dirampas pengusaha kakap. Meletusnya kasus Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) serta Sape, Bima (Nusa Tenggara Barat), adalah puncak gunung es yang bisa menular ke tempat lain.
    Produk lokal yang selama ini diproduksi oleh industri rakyat juga dilibas oleh arus liberalisasi. Laju importasi produk yang sejatinya bisa diproduksi oleh industri rakyat semakin tergilas. Maka, ketahanan ekonomi rakyat pun semakin rentan dan tidak berdaya.
    Secercah Heroisme
    Di tengah kemuakan rakyat terhadap penguasaan aset-aset ekonomi oleh segelintir pengusaha kakap, produk mobil Esemka menjadi penghibur hati. Mobil lokal ini diproduksi oleh para remaja kreatif. Anehnya, pejabat yang selama ini memberi ruang liberalisasi ekonomi ternyata ikut antusias. Itu tandanya pejabat yang sesungguhnya bisa mengambil keputusan untuk meminimalkan banjirnya barang-barang impor dan membangun prakarsa kekuatan ekonomi/industri rakyat selama ini sebenarnya tidak mampu atau tidak mau berbuat apa pun. Pejabat itu telah dikendalikan oleh kekuatan korporatokrasi.
    Maka, di tengah euforia mobil Esemka, menjadi ”tamparan” bagi pemerintah bahwa kekuatan laten ekonomi rakyat masih dahsyat. Tampaknya, mereka kurang bergerak dan melaju cepat karena kurang disapa oleh berbagai jenis perlindungan negara. Kebijakan insentif, kebijakan pajak rendah, biaya transportasi murah, dan tingkat suku bunga pinjaman rendah kurang mereka dapatkan. Mereka didorong bertarung tanpa bekal berarti.
    Selain itu, kreativitas anak-anak muda ternyata selama ini terpendam. Mereka kurang diberi ruang berkreasi dan berimprovisasi. Ini menandakan pemerintah dan lembaga pendidikan harus introspeksi diri bahwa pendidikan butuh ruang untuk menggali potensi anak didik.
    Oleh karena itu, antusiasme publik terhadap produk mobil Esemka seharusnya tidak hanya menjadi euforia, tetapi juga memunculkan rasa heroisme ekonomi. Semoga.
  • Absurditas Ekonomi Nasional

    Absurditas Ekonomi Nasional
    Ahmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS,
    UNIVERSITAS BRAWIJAYA; DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
    Sumber : KOMPAS, 18 Januari 2012
    Pascareformasi ekonomi 1998 telah memunculkan kenyataan ganjil. Ekonomi nasional kerap dipuji di  luar negeri dan lembaga internasional, tetapi miskin tepuk tangan dari publik di dalam negeri.
    Pemerintah sering mengutip penilaian pihak luar untuk melegitimasi prestasi, sekaligus menepis fakta-fakta keseharian yang disampaikan rakyat, yang membalikkan semua klaim pemerintah.
    Apa yang aneh dari fenomena ini? Jawabannya mungkin terdapat dalam tarik-menarik indikator untuk mendefinisikan makna kemakmuran dan keberhasilan kinerja ekonomi itu sendiri.
    Pemerintah merasa cukup melihat kinerja ekonomi dari pertumbuhan ekonomi (yang 
    disumbang dari sektor jasa), gemuruh investasi (yang didorong oleh investasi asing), kepercayaan investor (asing) terhadap surat utang negara, rasio utang terhadap PDB yang kian kecil (meskipun APBN berdarah-darah), dan beragam indikator sejenis lainnya.
    Paradoks Ekonomi Indonesia
    Sebaliknya, rakyat mengukur kemakmuran dan kinerja ekonomi dari perkara sepele yang dialami setiap hari: harga pangan pokok, kesempatan pendidikan, keterjangkauan kesehatan, akses transportasi, partisipasi dalam pekerjaan yang layak, dan jaminan keamanan hidup.
    Pertarungan memilih indikator penentu kemakmuran dan kemajuan ekonomi itulah yang menjadi sumbu perbedaan cara pandang. Negara dan lembaga asing melihat Indonesia sebagai kawasan yang begitu memesona dengan alat ukur mereka, sedangkan rakyat merasakan kehidupan semakin pahit sesuai kenyataan hidup yang mereka rasakan.
    Angka pengangguran terbuka diberitakan terus turun, tetapi rakyat dibiarkan berjuang mencari penghidupan di sektor informal karena 65 persen dari total angkatan kerja berada di sektor informal. Pola yang sama terjadi pada data kemiskinan. Maka, paling tidak ada empat paradoks pemantik pudarnya apresiasi rakyat terhadap kinerja ekonomi pemerintah.
    Pertama, kebutuhan untuk menyelenggarakan pelayanan dan jaminan sosial semakin besar, tetapi negara justru terus-menerus dijepit untuk menjual aset ekonominya via privatisasi. Akibatnya, negara justru terjebak menyantuni pelayanan publik dasar akibat privatisasi.
    Profit BUMN semakin besar, tetapi sebagian sahamnya tidak lagi dimiliki negara. Kekuasaan pemerintah untuk menafkahi kebutuhan masyarakat kecil juga meredup, misalnya memengaruhi bank (BUMN) untuk menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Kedua, pertumbuhan ekonomi bisa dihela dengan relatif cepat pascareformasi ekonomi, bahkan pada 2011 bisa mencapai 6,5 persen. Namun, data ketimpangan pendapatan secara sadar disembunyikan. Gini Rasio Indonesia pada 2007 dan 2010 mencapai rekor tertinggi selama ini: 0,38 (BPS, 2011).
    Rezim ini percaya liberalisasi akan menyehatkan persaingan ekonomi, tetapi melupakan aspek yang mendasar: menata kekuatan ekonomi domestik.
    Ketiga, sumber daya ekonomi dan otoritas negara sebagai regulator dipereteli lewat privatisasi dan deregulasi. Namun, ketika korporasi ambruk (entah oleh krisis ataupun kejahatan yang dilakukan), negara diminta untuk menyelamatkan. Inilah absurditas paripurna itu!
    Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi babak baru kisah ini ketika negara harus mengeluarkan lebih dari Rp 600 triliun untuk mengongkosi (bail out) perusahaan dan perbankan yang bangkrut, diteruskan lagi kasus Bank Century. Paradoks terakhir, ilusi modernisasi lewat proyek industrialisasi. Transformasi ekonomi telah berjalan sejak dekade 1980-an, yang menggeser peran sektor pertanian setahap demi setahap, digantikan dengan sektor industri dan jasa. Namun, seperti halnya liberalisasi, transformasi ekonomi melangkah di atas kealpaan-kealpaan yang kasatmata: keterampilan dan pendidikan tenaga kerja yang keropos, praktik mafia ekonomi yang menjamur, dan ekonomi yang rapuh.
    Mendamaikan Tegangan
    Paparan di atas menjelaskan bahwa apabila pemerintah berharap kinerjanya mendapat simpati dari rakyat (bukan hanya dari pihak luar), pilihan-pilihan kebijakannya tidak boleh terjebak dalam situasi saling meniadakan (trade-off).
    Pertama, pemisahan tanggung jawab sosial negara dan pelepasan kewenangan negara untuk mengelola sumber daya ekonomi merupakan sesat pikir yang tidak boleh diamini. Konstitusi justru mengamanatkan tiga bidang penting yang wajib dikuasai negara: hajat hidup orang banyak, sektor strategis, dan sumber daya alam. Di luar itu, seluruh kegiatan ekonomi diserahkan kepada privat. Jadi, sama sekali tidak ada benturan antara kebebasan ekonomi individu dan pengelolaan sumber daya ekonomi oleh negara.
    Kedua, memagari kebebasan ekonomi (liberalisasi) di satu sisi dan penataan aset ekonomi di sisi lain merupakan paket kebijakan yang tidak bisa ditunda. Sebab, dalam lima tahun terakhir terdapat tendensi percepatan pertumbuhan ekspor yang semakin tertatih menghadapi pertumbuhan impor sehingga surplus perdagangan mengecil. Tahun 2006, saat nilai ekspor menembus 100,6 miliar dollar AS, surplus perdagangan mencapai 44 miliar dollar AS. Namun, pada 2010, ketika nilai ekspor 168 miliar dollar AS, surplus perdagangan justru merosot tinggal 22 miliar dollar AS (BPS, 2011).
    Berikutnya, konsentrasi aset ekonomi, seperti modal dan tanah, yang menumpuk pada segelintir individu/korporasi membuat ketimpangan semakin besar sulit dinalar. Jadi, agenda reforma agraria bukan hanya kebutuhan, melainkan juga keniscayaan. Berdasarkan data Perkumpulan Prakarsa (2011), diolah dari The New York Times (2011) dan Forbes (2010), 40 orang paling kaya di Indonesia memiliki aset setara 10,3 persen dari PDB! Angka ini bahkan lebih parah dari AS, Inggris, dan Jepang.
    Ketiga, membangun kerangka pikir yang jelas dan logis. Jika peran negara dalam perekonomian relatif eksesif, pemerintah boleh bertanggung jawab atas sebagian kebangkrutan ekonomi, termasuk sektor privat. Sebaliknya, jika negara tidak ikut campur dalam dinamika ekonomi, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menanggung kejatuhan korporasi swasta. Jika model abu-abu yang dipilih, pemerintah selalu menjadi bandar saat pelaku ekonomi sekarat.
    Terakhir, modernisasi ekonomi boleh saja menyundul langit, tetapi keberadaannya harus menjejak aktivitas ekonomi yang membumi. Bayangkan absurditas ini: 53 persen garam, 60 persen kedelai, 30 persen daging, dan 70 persen susu harus diimpor. Akibatnya, meskipun rata-rata inflasi sepanjang 2005-2010 dapat ditekan, harga beras naik 120 persen, kedelai 85 persen, telur 100 persen, cabai 120 persen, daging 90 persen, dan jagung 700 persen! Inilah inflasi riil yang dibayar oleh masyarakat. Jadi, bagaimana mungkin mereka memberikan tepuk tangan?
  • Ketakberdayaan di Era Demokrasi

    Ketakberdayaan di Era Demokrasi
    Arif Susanto, PENGAJAR DI UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 18 Januari 2012
    Apa yang dilakukan sebagian warga yang menuntut keadilan? Menjahit mulut sendiri, menduduki fasilitas publik, atau berkemah di depan gedung DPR.
    Sulit menyebut itu semua sebagai pilihan tindakan. Dalam ketidakbebasan karena terbatas atau tiadanya pilihan, tindakan itu nekat bercampur pasrah.
    Bagaimana politik demokrasi memandang ketakberdayaan di tengah tiadanya pembatasan sistematis atas partisipasi warga negara oleh kekuasaan negara? Pendekatan pembangunan seperti apa yang memungkinkan partisipasi lebih baik oleh warga negara dalam diskursus publik?
    Kesetaraan Dalam Demokrasi
    Saya ingin berangkat dari Thomas Christiano yang menyebut demokrasi sebagai ”suatu metode pengambilan keputusan kolektif yang di dalamnya setiap orang punya hak setara memainkan suatu peran”. Di sini tak boleh ada halangan sistematis yang merintangi warga negara mengemukakan kepentingan agar diakomodasi dalam kebijakan publik.
    Demokrasi pertama-tama harus memastikan semua warga negara secara prinsip sama kedudukannya dalam kehidupan bernegara. Kesetaraan ini menjamin kebebasan partisipasi bagi seluruh warga negara. Namun, kesetaraan kesempatan berpartisipasi tak serta-merta menjamin akomodasi berkeadilan atas berbagai kepentingan.
    Di tengah keterbatasan sumber daya negara memenuhi berbagai tuntutan, proses politik adalah tarik-menarik di antara berbagai kepentingan untuk memperoleh prioritas dalam kebijakan publik. Dalam tarik-menarik itu kepentingan warga sekitar area pertambangan, misalnya, tak serta-merta diakomodasi secara berimbang dengan kepentingan korporasi pemegang izin tambang eksplorasi.
    Berhadapan dengan masalah semacam itu, Christiano menuntut kesetaraan sarana berpartisipasi dalam keputusan kolektif. Bagi Christiano, pengambilan keputusan demokratis butuh kesetaraan tertentu terkait sumber daya untuk mencapai tujuan karena jika kita berangkat dari suatu prinsip kesetaraan dalam menimbang kepentingan, sesungguhnya kesetaraan sumber daya merupakan tafsir paling masuk akal menyangkut ideal itu.
    Distribusi berkeadilan atas sumber daya merupakan mimpi banyak orang. Namun, apakah fokus pada sarana berpartisipasi itu suatu pandangan yang memadai menjawab keterpinggiran?
    Kapabilitas dan Kebebasan
    Berkenaan dengan itu, perlu kita timbang gagasan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) dan digemakan ulang lebih canggih dalam The Idea of Justice (2009). Gagasan Sen bertolak dari pandangannya bahwa kapabilitas itu terkait dengan kebebasan substantif yang berperan penting dalam kemampuan orang melakukan berbagai hal yang patut dihargai.
    Pendekatan kapabilitas berfokus lebih komprehensif pada kehidupan manusia, bukan sekadar pada sumber daya seseorang. Dengan itu, Sen menggeser perhatian dari sarana kehidupan (yang kerap dipersamakan dengan pendapatan) menuju kesempatan aktual yang dimiliki seseorang (mewujudkan tujuan yang patut diupayakan) dan selanjutnya menuju kebebasan untuk mampu mewujudkan tujuan itu.
    Jadi, untuk mengatasi keterpinggiran, kita tidak mungkin menyimak peningkatan pendapatan belaka, tetapi bagaimana menumbuhkan kapabilitas agar warga negara berdaya, bebas.
    Bagaimana orang dapat memperluas kebebasannya lebih esensial ketimbang bagaimana orang dapat meningkatkan pendapatannya. Pembangunan dengan begitu diarahkan mewujudkan kebebasan yang melandasi keadilan. Pasti tak ada keadilan dalam ketimpangan dan keterbelengguan. Di sini gagasan demokrasi terkait dengan gagasan keadilan.
    Peningkatan kapabilitas dapat dikembangkan melalui program pendidikan, perawatan kesehatan, pemberdayaan perempuan, dan pengembangan keahlian dasar lain yang memampukan orang menjalani kehidupan sebagaimana dikehendaki. Peningkatan kapabilitas tak hanya berdampak pada peningkatan potensi perolehan pendapatan. Juga kualitas partisipasi warga negara dalam kehidupan demokrasi akan meningkat.
    Kesejahteraan ekonomi yang dibarengi tingkat kesehatan dan pendidikan yang layak berpeluang memampukan warga menyuarakan kepentingan tanpa harus menjahit mulut sendiri.
    Indonesia yang Mengecewakan
    Di tengah lesunya perekonomian global, pemerintah kerap bangga dengan meningkatnya PDB, menurunnya inflasi, dan rasio utang terhadap PDB relatif moderat. Prestasi itu terasa ironis dengan merebaknya konflik kepemilikan dan pemanfaatan lahan yang menuntut korban nyawa. Patut ditelaah, apakah ironi itu membuktikan pembangunan Indonesia tak berorientasi pada kebebasan.
    Dalam refleksi 2011, tokoh agama menegaskan bahwa orientasi pada pertumbuhan ekonomi telah mengalahkan komitmen pada kemanusiaan. Itu tidak berarti pembangunan ekonomi berlawanan dengan kemanusiaan, tetapi bahwa orientasi yang terlalu sempit berfokus pada pendapatan ekonomi telah melalaikan hakikat pembangunan sebagai pembebasan. Pertumbuhan ekonomi tak diikuti distribusi adil atas sumber daya dan kapitalisasinya telah meluruhkan makna sumber daya sebagai instrumen kebebasan.
    Di sisi lain lembaga negara gagal menjadi mediator dalam konflik kepentingan karena kekuasaan cenderung akomodatif terhadap kepentingan sepihak elite. Keterpinggiran politik telah memperparah keterpinggiran ekonomi karena penyelenggaraan negara tidak diorientasikan pada manfaat terbesar bagi publik. Mereka yang terpinggirkan nekat dan pasrah.
    Negara mesti segera berbenah jika tidak ingin terus-menerus mengecewakan rakyat. Berhadapan dengan keterpinggiran, politik demokrasi sepatutnya tidak mengangankan kesempurnaan distribusi sumber daya.
    Lebih masuk akal jika perhatian ditujukan pada bagaimana kesenjangan kapabilitas di antara warga negara. Soalnya, peningkatan kapabilitas akan berdampak ganda meningkatkan pendapatan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas partisipasi demokrasi warga negara.
    Di sisi lain terdapat pula tuntutan agar kekuasaan lebih responsif dan akuntabel dalam mengelola mandat warga negara. Kebijakan publik harus berangkat dari dan diarahkan untuk kepentingan publik.
    Akhirnya, jika kapabilitas dan sumber daya terdistribusi secara lebih berkeadilan dan kekuasaan negara tidak mengasingkan diri dari kepentingan publik, barangkali orang tidak lagi harus menyabung nyawa agar kepentingan mereka terakomodasi dalam kebijakan.
  • Kekerasan dan Janji untuk Aceh

    Kekerasan dan Janji untuk Aceh
    Darmansjah Djumala, DIPLOMAT DAN DOKTOR ILMU PEMERINTAHAN, UNIVERSITAS PADJADJARAN, DENGAN DISERTASI TENTANG KONFLIK ACEH
    Sumber : KOMPAS, 18 Januari 2012
    Dalam sebulan terakhir Aceh kembali diganggu serangkaian tindakan kekerasan. Tak kurang dari enam warga sipil tewas dan 10 lainnya luka-luka akibat penembakan oleh orang tak dikenal. Bahkan, terakhir dikabarkan terjadi tindakan kekerasan terhadap rumah salah satu calon bupati di Aceh Utara.
    Kekerasan yang kembali muncul ini tak urung memantik aneka praduga terkait motif di balik serangan bersenjata itu. Ada yang mengatakan itu adalah tindakan mantan kombatan GAM berlatar kriminal murni. Ada juga yang menduga ada keterkaitan dengan memanasnya hawa politik lokal menjelang pilkada.
    Yang lain malah mengaitkannya dengan sentimen etnik, khususnya terhadap pendatang dari Jawa. Namun, dari sekian banyak komentar, yang paling mengentak adalah pernyataan salah satu tokoh agama di Aceh yang me- ngatakan, ”Orang Jawa itu bukan musuh. Musuh orang Aceh itu adalah perjanjian yang belum terlaksana” (Kompas, 14/1).
    Meski tak eksplisit dirujuk, mudah diduga perjanjian yang dimaksud sang tokoh ialah MOU Helsinki, kesepakatan pemerintah Indonesia dengan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dan mengakhiri konflik Aceh. Sejak pemberlakuan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), memang sudah terdengar nada sumbang di kalangan elite Aceh bahwa isi undang-undang itu tak sesuai dengan semangat MOU Helsinki.
    Ada kesenjangan antara isi MOU dan penjabarannya ke dalam UUPA. Kesenjangan ini akhirnya banyak diwacanakan sebagai tak ditepatinya janji pusat kepada Aceh seperti dimaktubkan dalam MOU Helsinki.
    Pertahanan Luar
    Setidaknya kesenjangan itu terdapat dalam dua hal. Pertama, terkait dengan masalah keamanan di Aceh pasca-MOU Helsinki. MOU Helsinki menyepakati bahwa peran militer di Aceh pasca-konflik hanya untuk pertahanan luar. Artinya, terkait dengan urusan pertahanan terhadap ancaman dari luar. Namun, dalam UUPA, ungkapan pertahanan luar ini menjadi pertahanan saja.
    Hilangnya kata luar dari klausul ini dapat diinterpretasikan bahwa militer juga bertanggung jawab atas keamanan di dalam Aceh, hal yang pernah menimbulkan trauma yang sulit hilang dalam memori kolektif rakyat Aceh akibat konflik berkepanjangan dahulu.
    Kedua, terkait dengan relasi DPR RI dan pemerintah pusat di satu pihak dengan DPR Aceh dan Gubernur Aceh di pihak lain. MOU Helsinki menyepakati bahwa baik keputusan politik maupun kebijakan administratif yang dibuat parlemen dan pemerintah di pusat harus atas ”konsultasi dan persetujuan” DPR Aceh dan Gubernur Aceh. Ketika ditetapkan dalam UUPA, klausul ini berubah menjadi atas ”konsultasi dan pertimbangan”.
    Bagi elite Aceh, pengaturan tentang pertahanan luar dan pola relasi yang diatur berdasarkan konsultasi dan persetujuan Aceh adalah manifestasi paling utama keistimewaan Aceh dibandingkan dengan daerah lain, di samping partai lokal dan hak atas bagian 70 persen dari pendapatan migas. Dengan perubahan kedua klausul itu, seperti tertuang dalam UUPA, keistimewaan Aceh tereduksi secara berarti.
    Dengan tergerusnya keistimewaan Aceh secara formal karena diatur dalam undang-undang, elite Aceh merasa bahwa pusat tak menepati janji seperti yang disepakati dalam MOU Helsinki. Inilah yang menimbulkan suara-suara di kalangan elite Aceh, UUPA perlu direvisi. Tak terpenuhinya janji pusat dalam implementasi MOU Helsinki ini juga yang dirujuk tokoh agama sebagai biang kekerasan seperti dikutip di atas.
    Apa pun motivasi yang mendorong pelaku melakukan kekerasan, terasa ada paradoks di sana, antara yang terjadi sekarang (kekerasan) dan bagaimana perdamaian di Aceh tercipta (melalui dialog dan perundingan).
    Jika benar penyebab kekerasan itu karena tak ditepatinya janji pusat kepada Aceh, semestinya masalah itu dapat diselesaikan dengan dialog dan perundingan sebab bukankah konflik menahun dulu, yang justru lebih sulit, dapat diselesaikan dengan dialog dan perundingan?
    MOU Helsinki ”baru” berumur lebih kurang enam tahun, suatu periode yang singkat jika dibandingkan dengan luka yang diderita akibat konflik 30 tahun. Terlalu berlebihan jika mengharapkan konflik dapat sirna begitu saja ketika MOU Helsinki dicapai. Penyelesaian konflik tak berarti hilangnya konflik karena sejatinya penyelesaian konflik hanyalah upaya jangka panjang mentransformasikan konflik dari kekerasan ke proses politik secara damai.
    Yang justru dihadapi Aceh sekarang adalah proses politik itu: tarik-menarik kepentingan antara pusat dan Aceh dalam menerjemahkan UUPA ke dalam aturan perundangan turunannya. Selama proses politik itu semestinya pusat dan elite Aceh ingat satu pelajaran berharga dari penyelesaian konflik Aceh: konflik dapat diselesaikan dengan soft power, melalui dialog dan perundingan. Perundingan dan dialog ini seharusnya dikedepankan dalam menyelesaikan masalah yang tersisa pascakonflik.
  • Sisi Lain RUU Kamnas

    Sisi Lain RUU Kamnas
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD), ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
    Sumber : SINDO, 18 Januari 2012
    Sejak era Reformasi, bahkan jauh sebelum Reformasi, situasi dan kondisi objektif di negara ini belum mencerminkan stabilitas sosial, ekonomi, politik di tengah-tengah heterogenitas kehidupan masyarakat yang mendiami wilayah yang terpisahkan oleh selat dan lautan serta kondisi objektif daerah terpencil di dalam wilayah NKRI.

    Fluktuasi dan intensitas serta eskalasi konflik sosial baik yang bersifat horizontal maupun vertikal mewarnai dinamika kehidupan bangsa ini selama 65 tahun sejak kemerdekaannya. Satu-satunya solusi dan harapan bangsa ini sejak kemerdekaan sampai saat ini selalu bertumpu pada kebijakan legislasi yang dicita-citakan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.

    Kebijakan legislasi dalam setiap pergantian pemerintahan selalu berubah-ubah mengikuti selera pemimpin nasional sehingga faktor kesinambungan dan konsistensi fungsi dan peranan legislasi melemah dan dalam praktik telah memunculkan egoisme sektoral dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas).

    Salah satu penyebab dari inkonsistensi dan ketidaksinambungan tersebut adalah dihapuskannya GBHN sebagai garis besar haluan negara dan direduksinya wewenang MPR RI sebatas menetapkan dan mengubah UUD dan melantik presiden dan wakil presiden. Dampak dari keadaan tersebut, kebijakan legislasi ren-tan terhadap perubahan-perubahan yang sering bias arah dan tujuannya, bahkan ditengarai hanya demi kepentingan tujuan pemegang kekuasaan dan bersifat ad hocsemata-mata.

    Kenyataan perkembangan kebijakan legislasi sedemikian harus dihentikan karena akan menjadi beban sejarah generasi bangsa di masa depan. RUUKeamananNasional(Kamnas) yang diperlukan bangsa ini adalah RUU yang dapat memayungi seluruh langkah presiden sebagai kepala negara untuk mencegah dan mengantisipasi (bukan menindak) ancaman dan gangguan yang dapat membahayakan dan merugikan kepentingan bangsa di masa mendatang. RUU Kamnas yang diperlukan harus merupakan ius constituendum dan tidak sematamata diperankan sebagai ius constitutum.

    Tidak juga diperankan sebagai UU yang memiliki kewenangan operasional untuk segera mengambil tindakan yang dianggap perlu, melainkan sebagai UU yang memberikan payung hukum yang kuat untuk mengikat koordinasi antara lembagalembaga penegak hukum dan TNI sesuai dengan ketentuan perundang-undangannya.

    RUU Kamnas yang diperlukan harus dapat menghasilkan kebijakan (policy) pertahanan dan keamanan, baik kini dan masa mendatang, sehingga dapat segera menangkal ancaman baik dari luar maupun dari dalam terhadap keutuhan NKRI.

    RUU Kamnas tidak boleh diharamkan karena hampir semua negara memiliki undangundang semacam itu walau dengan pola pendekatan dan karakteristik yang berbedabeda satu sama lain sesuai dengan keperluan lingkungan strategis tiap negara dan cara pandang masing-masing terhadap ancaman dan gangguan tersebut.

    Tanpa Grey Area

    Untuk mengisi keperluan RUU Kamnas Indonesia sebagai Umbrella Act,RUU Kamnas harus dapat dengan jelas membedakan dua keadaan yang penting dan relevan bagi keutuhan NKRI, yaitu keadaan masa damai (normalcy), termasuk masa krisis (crisis) ,dan keadaan masa darurat (emergency).RUU Kamnas tidak boleh menyisakan celah bagi wilayah abu-abu (grey-area) karena wilayah ini potensial menjadikan rakyat sipil menjadi korban sia-sia.

    Dalam keadaan damai, perlu menyusun secara akurat kriteria yang disebut crisis in normalcy.Untuk ini UU Prp No 23 Tahun 1959 dapat dijadikan rujukan sekalipun masih memerlukan kajian hukum mendalam. Penetapan kriteria yang jelas mengenai dua keadaan tersebut akan memudahkan presiden selaku kepala negara melakukan tindakantindakan yang segera diperlukan untuk mengatasi dua keadaan tersebut dan mencegah peningkatan eskalasi konflik sosial baik bersifat horizontal maupun vertikal.

    Penetapan kriteria dua keadaan tersebut harus seoptimal mungkin merujuk ketentuan UUD 1945.Atau jika tidak cukup, penetapan kriteria tersebut tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan Pembukaan UUD 1945, yaitu menciptakan perdamaian dan keamanan serta kesejahteraan sosial bangsa ini.

    Oren Gross mengusulkan penggunaan “Extra-Legal Measures Model” yang membedakan tiga hal. Pertama, keadaan darurat yang menuntut tindakan luar biasa (extra-ordinary measures) dari pemerintah. Kedua, pernyataan keadaan darurat yang tidak bertentangan dengan UUD. Ketiga, tindakan luar biasa dari pemerintah yang akan melanggar sistem hukum yang berlaku setelah keadaan darurat tersebut diberlakukan.

    Dalam dua keadaan (keadaan darurat dan krisis dalam keadaan normal), Dicey, ahli hukum tata negara (1959),menyatakan bahwa antara lain bahwa ada saatnya ketika negara dalam keadaan darurat atau menghadapi invasi, demi kepentingan hukum itu sendiri, prinsip rule of law harus dilanggar, tetapi harus diawasi dan direviu ketat oleh parlemen.

    Merujuk pada usulan Dicey, pengambilan langkah-langkah oleh presiden dalam dua keadaan tersebut merupakan kekuasaan diskresi yang dikontrol oleh parlemen dan layak dilaksanakan oleh setiap kepala negara di dalam masyarakat beradab.

    RUU Kamnas belum mencerminkan pandangan di atas dan masih terkungkung oleh seberapa besar kewenangan ekstrakonstitusional yang dapat digunakan serta tidak membedakan secara jelas keadaan dalam masa damai, krisis dalam masa damai, dan keadaan darurat.

  • Ancaman Baru Berselancar Internet (69)

    Ancaman Baru Berselancar Internet
    Rosdiansyah, ALUMNUS INTITUTE OF SOCIAL STUDIES (ISS) DEN HAAG
    DAN PENELITI MEDIA MASSA
    Sumber : JAWA POS, 18 Januari 2012
    MULAIhari ini, Rabu 18 Januari 2012, situs ensiklopedia kondang Wikipedia edisi bahasa Inggris akan menghitamkan diri. Pernyataan soal ini sudah diberitahukan oleh pendiri Wikipedia Jimmy Wales beberapa hari sebelumnya di situs tersebut, yang langsung memperoleh perhatian luas di seluruh dunia. Alasan utama penghitaman diri Wikipedia alias tak tertayang adalah sebagai bentuk protes Wikipedia kepada rencana Pemerintah AS memberlakukan Stop Online Piracy Act (SOPA).

    SOPA atau yang juga disebut sebagai House Bill 3261 (HR 3261) adalah rancangan perundangan yang diajukan ke DPR AS pada 26 Oktober 2011 oleh anggota komite hukum DPR AS yang berasal dari Partai Republik, Texas, Lamar Smith. Jika selama ini logika di balik hak cipta (copyrights) adalah selalu tertuju pada ketidakterpisahan antara apa yang terbayangkan yang kemudian diwujudkan. Maka, melalui SOPA, logika hak cipta ini diperluas menjadi hak mencuplik dan mengakses, meski sudah menyebut sumbernya. Penyebutan sumber saja menurut perancang SOPA dipandang kurang memadai sebagai bentuk pengakuan atas ciptaan atau karya cipta dari sang sumber.

    Tegasnya, SOPA merupakan upaya baru memaknai penyebutan sebuah ciptaan atau karya cipta, dengan kata lain SOPA merupakan rancangan hukum yang lebih keras (draconian law) membatasi siapa saja untuk mengetahui informasi melalui internet. Rancangan hukum semacam itu jelas menimbulkan kekhawatiran bukan saja di kalangan pekerja media, melainkan juga sangat meresahkan berbagai situs sosial, seperti Facebook, Twitter, Google, Yahoo dan Wikipedia. Entah setan apa yang ada di benak perancang SOPA itu hingga ulahnya kelak sangat berdampak luas dan internet pun menjadi wilayah yang tak lagi ramah bagi pengakses jejaring sosial.

    Rancangan SOPA itu akan memberi­­kan kekebalan kepada penyedia jasa in­ter­net AS jika memperkarakan website atau situs lain dengan alas hukum pe­langgaran hak cipta. Misalnya, penye­dia jasa internet di AS akan bisa memperkarakan situs-situs sosial seper­ti Google yang masuk ke web­site pemerintah hanya sekadar i­ngin memberitahukan informasi yang di­bu­tuhkan oleh peselancar internet. Sejumlah pendukung rancangan hukum­ itu berpendapat bahwa SOPA akan memberikan dasar kuat bagi pasar hak cipta, kepast­i­an hu­kum untuk transaksi bisnis dan sejenisnya.­

    Mereka yang melawan alasan itu pun berpendapat SOPA telah melabrak First Amandment yang merupakan rujukan suci kebebasan berpendapat di AS. SOPA merupakan bentuk baru sensor di dunia maya, yang setidaknya menghantui para pe­selancar, peniup peluit (whistleblo­wer) dan kebebasan berpendapat.­

    Bukan itu saja, jurnalis AS Rebecca McKinnon dan Electronic Freedom Foundation (EFF) mengingatkan kepada semua kalangan jika SOPA menjadi hukum maka bukan saja situs jejaring sosial yang akan berakhir melainkan juga situs seperti YouTube, Mozilla, eBay, Linkedln, Reddit, Etsy, Flickr serta Vimeo dipaksa bubar. Rencananya, perdebatan seputar SOPA yang sudah berlangsung pada 16 November 2011 lalu, akan dilanjutkan pada Januari 2012 ini.

    Korporasi Rakus di Balik SOPA

    Sebagai legislator asal Partai Republik, tentu Lamar harus konsisten menyuarakan kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang selama ini dikenal sebagai donatur utama partai tersebut. Salah-satu pendukung SOPA adalah Rupert Murdoch, pemilik News Corp. Murdoch sangat anti Google dan dalam sejumlah pemberitaan ia menuding Gedung Putih telah membiarkan perusahaan seperti Google dan sejenisnya meraup keuntungan besar meski cuma sekadar ‘search engine’ biasa. Bak menepuk air di mangkok terpercik muka sendiri, berbagai media internasional akhir Desember 2011 justru menyebut Murdoch sendiri memperoleh dukungan uang yang luarbiasa besar dari Pangeran Al Waleed bin Talal, anggota Keluarga Kerajaan Arab Saudi. News Corp bisa besar dan menggurita berkat duit dari Pangeran al Waleed.

    Dampak ke Indonesia

    Bila SOPA gol, gempanya akan segera terasa di Indonesia. Selain masyarakat awam yang terbiasa menggunakan internet sebagai sumber informasi, kalangan akademis pun akan terpengaruh. Mereka akan kesulitan untuk mengakses info-info penting, misalnya melalui situs Yahoo, sebab untuk mengetahui info-info yang selama ini masih bertebaran itu kelak diberlakukan berbagai aturan ketat dan kemungkinan harus didahului dengan perjanjian berbelit-belit terlebih dulu. Artinya, persoalan hak cipta kelak bukan hanya menyangkut konten dari sebuah situs yang diakses, melainkan juga jalur akses itu sendiri yang tidak lagi gratis.

    Akibat pemberlakuan SOPA, kampus-kampus di Indonesia juga harus berpikir ulang jika hendak mendorong para civitas akademika mengakses informasi dari berbagai situs. Sampai sejauh ini, nyaris seluruh situs penyedia database jurnal ilmiah berasal dari AS sehingga kelak tidak akan mudah untuk mengetahui database itu melalui akses Google, Yahoo atau sejenisnya. Situasi ini bakal semakin parah jika tidak ada lagi akses ke situs jasa penyedia jurnal gratis atau buku gratis. Semuanya akan dihitung berdasar pasal-pasal perjanjian baru yang merujuk kepada ketentuan SOPA.

  • Anak Bajang Menggiring Celeng (Bagian Kedua)

    Anak Bajang Menggiring Celeng (Bagian Kedua)
    Hajriyanto Y. Thohari, WAKIL KETUA MPR RI
    Sumber : SINDO, 18 Januari 2012
    Korupsi di negeri ini telah menyebarkan sinisme dan apatisme yang luar biasa dahsyat di tengah masyarakat.Barangkali saking apatisnya tokoh reformasi Amien Rais, yang sekarang lebih banyak diam itu,menyebut para pejabat negara dan pemerintahan Indonesia itu seperti khetek yang sedang berebut makanan.

    Namanya saja kethek, maka lihat saja ketika dikritik sebagai korup tetap saja bergeming seolah tidak mendengar, malah cuma tengak-tengok saja ke kanan ke kiri persis kethek ditulup. Bahkan ketika mereka disidik, dijadikan tersangka,divonis,dan dimasukkan penjara sekalipun, masih juga bisa tersenyum plengah-plengeh saja.Pasalnya, mereka itu merasa biasa saja karena temannya banyak dan semuanya juga korup, hanya nasibnya saja yang tidak seapes dirinya yang lebih dulu tertangkap.

    Tak aneh kalau tokoh senior Adnan Buyung Nasution mengatakan pemimpin Indonesia sekarang ini tak ubahnya seperti bebek pincang: tidak maju, tidak juga mundur. Lebih memiriskan hati saya lagi adalah apa yang dikatakan rohaniwan kondang Sindhunata (Kompas, 31 Mei 2011) bahwa Republik Indonesia sudah menjadi negeri para celeng atawa babi ngepet alias koruptor.

    Bahkan saking banyaknya celeng di negeri ini, katanya, yang terjadi tidak lain adalah lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh.Manusia telah menjadi celeng bagi manusia lainnya.Homo homini celeng! Perhatikan betapa kerasnya ungkapan yang mereka gunakan sekarang ini: kethek, bebek,dan celeng! Demikianlah nasib rakyat di negeri ini.

    Sudah direwangi prihatin esuk awan sore,prihatin nganti tekan seprene, dengan menganut paham mesianisme atau milenarianisme selama berabad-abad menunggu datangnya satrio piningit yang akan menjadi noto-pinandito, toh sampai sekarang sang Ratu adil,Satrio Piningit,Satrio Pinandito,atau apa pun namanya itu, tidak kunjung muncul juga.

    Barangkali negara yang koruptif seperti ini tampaknya tidak begitu tepat menunggu kehadiran Ratu Adil atau Satrio Piningit, toh tidak akan mampu mengatasi masalah. Yang lebih cocok untuk Indonesia sekarang ini adalah bocah atau anak bajang. Tapi bukan anak bajang menggiring angin, seperti kata Sindhunata, melainkan anak bajang menggiring celeng.

    Bangsa ini menunggu anak belia yang cerdas, cerdik, sedikit nakal, bandel, tetapi berkarakter dan hidupnya bersih. Bukan anak muda tanggung yang ingin cepat kaya dengan mentalitas menerabas dan korup seperti yang marak pada 2011 ini.

    Bangsa ini menunggu anak bajang yang sanggup menggiring celeng dan menceburkannya ke laut selatan (segoro kidul) mumpung laut selatan sedang kosong karena— jangan ketawa—Nyai Roro Kidul,penghuninya selama ini, konon sudah pindah ke laut utara (segoro lor).

    Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu

    Rakyat berharap untuk kali ini anak-anak bajang yang akan muncul ini tidak lagi bermetamorfosis menjadi celengceleng baru seperti yang terjadi selama ini. Bukankah negeri ini selalu mengalami repetisi sejarah lama, bahkan replika masa lalu persis seperti berputarnya siklus tesisantitesis- sintesis. Rezim korup digulingkan,tetapi penggulingnya menjadi koruptor baru setelah berkuasa.

    Kaderisasi dan regenerasi koruptor berjalan dengan sangat baik dan lancar. Walhasil proses pembeliaan koruptor terus melaju dengan cepat mengikuti deret ukur, sementara pencegahan dan pemberantasan korupsi sangatlah lamban mengikuti deret hitung. Harapan memang tinggal pada anak bajang itu.

    Bukan pada politik, apalagi partai politik. Partai-partai politik justru dipersepsikan oleh publik— benar atau salah—sebagai menjadi bungker koruptor sekaligus ujung tombak penyelewengan keuangan negara. Demikian juga halnya dengan birokrasi. Birokrasi direformasi katanya untuk menjadi pelaksana fungsi pelayanan rakyat yang sangkil dan mangkus, tetapi ternyata justru menjalankan fungsi kapal keruk uang negara.

    Jika dalam lakon Ramayana anak-anak priyayi yang berebut Cupu Manik Astagina dikutuk oleh para dewa sehingga menjadi kera (kethek), yaitu Sugriwo, Subali, dan Dewi Anjani, maka di negeri ini mereka yang berebut mengeruk uang negara bukannya dikutuk menjadi kethek,melainkan opo tumon justru terpilih menjadi pemimpin yang kedudukannya makin menjulang tinggi di lembaga-lembaga negara.

    Bahkan ada yang digadang-gadang menjadi satrio pinandito yang akan memayu hayuning bawono dengan menegakkan kejujuran dan keadilan! Padahal mereka itu tak ubahnya petruk dadi ratu, kalau bukannya malah kere munggah bale. Tak anehe jika sikap cuek bebek (Jawa: mekengkeng, mbeguguk nguto waton) menggejala di kalangan penguasa. Kritik dianggap angin lalu dan dikategorikan sebagai suara sumbang dari para pecundang.

    Bahkan kritik dari para purnawirawan dan rohaniwan dianggap permusuhan. Padahal jika ada harimau turun dari gunung,itu haruslah dibaca dalam ngelmu ngalamat: isyarat telah terjadi apa-apa di atas gunung sana.Dan juga,seperti ungkapan Arab, kafa lil ‘aqil alisyarah (cukuplah bagi orang yang berakal sebuah isyarat).

    Berhati-hatilah ketika apatisme mulai ada isyarat mengarah ke sinisme.Pesimisme telah berkembang menjadi apatisme dan apatisme sudah mulai ada tanda-tanda mengarah menjadi sinisme. Lihat saja, tokoh-tokoh agama dan rohaniwan yang mengritik pemerintah malah dituduh sebagai gagak hitam pemakan bangkai. Padahal mestinya turun gunungnya para agamawan haruslah dibaca sebagai bagian dari isyarat jaman.

    Jika harimau turun dari gunung itu isyarat ada apa-apa di puncak gunung sana. Ilmu isyarat ini rupanya tidak ditangkap oleh pemimpin negara. Padahal ada ungkapan Arab kafa lil ‘aqil al-isyarah, cukup bagi orang yang berakal sebuah isyarat.Kalau orang besar sudah tidak lagi memahami isyarat zaman,maka apalah untuk mengerti mereka itu perlu didupak?

    Hati-hati dengan isyarat Prof.Azzumardy Azra (Kompas, 9 Juli 2011) bahwa negeri ini di ambang krisis. Waspadai wantiwanti politikus senior Sugeng Sarjadi yang membuat hati miris itu (Kompas,14 Juli 2011).

    Negeri ini memang sedang menunggu datangnya bocah bajang yang akan menggiring celeng dan mendupaknya ke laut kidul! Kapan anak bajang itu akan datang? Kata Leo Tolstoy: “Tuhan Maha Tahu, tapi Dia menunggu…”

  • Memetakan Persoalan Papua

    Memetakan Persoalan Papua
    A.  Kardiyat Wiharyanto, DOSEN UNIVERSITAS SANATA DHARMA, YOGYAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 18 Januari 2012
    Sewaktu Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Papua juga sudah ikut merdeka.
    Masalah Papua mulai muncul ketika Belanda mengakui kedaulatan RI (istilah pihak Belanda: penyerahan kedaulatan) tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan hasil KMB (Konferensi Meja Bundar). Ketika itu Belanda tidak serta-merta menyertakan Papua dalam pangkuan RI. Bahkan tersirat ungkapan bahwa Belanda akan memberikan kemerdekaan sendiri bagi Papua. Sedangkan kepada pihak Indonesia hanya disebutkan bahwa masalah Papua baru akan dirundingkan setahun kemudian.
    Masalah penyerahan Papua ke pangkuan RI ternyata tidak semudah sewaktu dilakukan kompromi, sebab Belanda terbukti ingin mempertahankan wilayah itu sebagai tanah jajahannya. Karena itu, tuntutan yang dilancarkan pihak Indonesia sesuai hasil kompromi tahun 1949 di atas terus mengalami jalan buntu. Apalagi, Belanda malah memasukkan Papua ke dalam wilayah Belanda (1952), sehingga Indonesia membatalkan Uni Indonesia-Belanda (1954). Kebijakan Indonesia itu kemudian diikuti pembatalan secara sepihak hasil persetujuan KMB oleh Indonesia pada 1956. Itulah sebabnya, pihak Indonesia lalu membentuk Provinsi Papua dengan ibukota di Soasiu (Halmahera).
    Dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung (18-24 April 1955), pihak Indonesia mendapat dukungan negara-negara peserta konferensi untuk membebaskan Papua yang masih diduduki Belanda. KAA yang diseponsori Indonesia, India, Burma, Pakistan dan Sri Lanka tersebut menolak segala bentuk penjajahan dan menganggap bahwa penjajahan adalah suatu tindakan kejahatan.
    Setelah dukungan internasional semakin meluas, rakyat Indonesia mulai bangkit dengan menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk membebaskan Papua. Akibatnya, sikap anti Belanda semakin meningkat, buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan Belanda mogok, semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda dilarang, kapal-kapal terbang Belanda (KLM) juga dilarang mendarat dan terbang di atas wilayah Indonesia, bahkan semua kegiatan konsuler Belanda di Indonesia juga diminta untuk berhenti.
    Suasana anti Belanda tersebut kemudian berkembang dengan adanya pengambil-alihan modal milik Belanda di Indonesia. Pengambil-alihan yang semula dilakukan secara spontan oleh rakyat itu kemudian diperkuat dengan peraturan pemerintah sehingga sampai akhir 1958 semua perusahaan Belanda di Indonesia sudah dinasionalisasikan.
    Pada 1959, Pemerintah Indonesia membentuk Front Nasional untuk menghimpun seluruh kekuatan bangsa Indonesia. Perjuangan lembaga tersebut antara lain bertujuan untuk membebaskan dan mengembalikan Papua ke dalam wilayah RI, di samping aktif melakukan perjuangan diplomasi lewat SU PBB setiap tahun.
    Karena berbagai usaha diplomatik mengalami jalan buntu, maka hubungan Indonesia-Belanda semakin tegang. Indonesia pun memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda tanggal 17 Agustus 1960.
    Untuk mendukung sikap tegas Indonesia terhadap Belanda, kekuatan militer Indonesia ditingkatkan dengan berusaha mencari bantuan senjata ke luar negeri. Mula-mula Indonesia mengharapkan bantuan senjata dari AS, tetapi gagal. Indonesia lalu membeli senjata dari Uni Soviet (Rusia). Indonesia juga aktif mendekati India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Muangthai, Inggris, Jerman dan Perancis agar negara tersebut tidak mendukung Belanda jika di kemudian hari benar-benar pecah perang RI-Belanda.
    Melihat hubungan kedua negara semakin panas, maka dalam SU PBB tahun 1961, masalah Papua diperdebatkan kembali. Dalam sidang itu Sekjen PBB, U Thant, menganjurkan kepada Ellsworth Bunker (seorang diplomat AS) untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah Papua. Adapun isi pokok usul tersebut adalah agar pihak Belanda menyerahkan wilayah itu kepada Indonesia melalui PBB dalam waktu dua tahun.
    Pada prinsipnya pihak Indonesia menerima usul itu dengan catatan agar waktu pengembalian diperpendek. Namun, sebaliknya, Belanda hanya akan melepaskan Papua kepada perwalian PBB dalam rangka membentuk negara Papua. Melihat gelagat Belanda tersebut, Indonesia berkeyakinan bahwa Papua hanya bisa kembali ke pangkuan RI lewat perjuangan fisik (perang). Karena itu, bertepatan dengan ulang tahun Agresi Belanda II ke ibukota RI Yogyakarta yang ke-13, tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengucapkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di alun-alun utara Yogyakarta untuk membebaskan wilayah itu dengan kekuatan senjata.
    Belanda pun langsung bereaksi dengan memperkuat tentaranya di Papua, bahkan mengirimkan kapal induk Karel Doerman. Pada 15 Januari 1962 terjadi Pertempuran Laut Aru antara tiga kapal torpedo AL RI yang dipimpin Komodor Yos Sudarso dengan kapal perusak dan fregat Belanda yang dibantu pesawat udara. Pertempuran yang tidak seimbang itu berakhir dengan tenggelamnya kapal Macan Tutul dan gugurnya Yos Sudarso dan kapten Wiratno.
    Indonesia di bawah Mayor Jenderal Soeharto kemudian melakukan infiltrasi ke pedalamam Papua. Pasukan payung Indonesia diterjunkan pada malam hari di daerah-daerah hutan lebat dan rawa-rawa sambil menghadapi hadangan-hadangan Belanda.
    AS khawatir bahwa komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik Indonesia-Belanda itu. Karena itu, AS mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. 
    Perundingan yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York tersebut, Indonesia diwakili Adam Malik dan Belanda diwakili Van Royen. Pada 15 Agustus 1962 dicapai Persetujuan New York yang antara lain mulai tanggal 1 Mei 1963 Papua kembali ke pangkuan RI.
    Meski sejak 1963 Papua sudah kembali ke pangkuan RI, namun sampai saat ini masih ada gejolak walaupun secara sporadis. Kerusuhan-kerusuhan tersebut terjadi karena ketidakpuasan terhadap keadaan, kekecewaan, dan adanya suatu kesadaran nasionalisme di Papua.
  • Otsus Papua Abaikan Kesejahteraan

    Otsus Papua Abaikan Kesejahteraan
    Pangi Syarwi, PENELITI DI INDONESIAN PROGRESSIVE INSTITUTE
    Sumber : SUARA KARYA, 18 Januari 2012
    Tanah papua tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah, sebanyak batu adalah harta harapan. Hitam kulit keriting rambut, aku Papua. Biar nanti langit terbelah, aku Papua.
    Penggalan lirik lagu tentang Papua ini ditulis oleh musisi Franky Sahilatua dan akhir-akhir ini sering diputar di beberapa media TV swasta nasional.
    Aceh ingin merdeka lewat organisasi Gerakan Aceh Merdeka, Papua ingin mardeka lewat perjuangan Gerakan Organisasi Papua Mardeka, keduanya sama-sama punya keinginan mardeka, namun mengapa Aceh bisa diselesaikan dan tercipta kedamaian sekarang disana, sementara Papua tidak?
    Mengapa sulit mencapai perdamaian dan kesejahteraan di tanah Papua? Secara teoritis, konsep otonomi khusus sesungguhnya bagus. Dana otonomi khusus begitu banyak dikucurkan selama periode 2002-2010 hingga mencapai Rp 28,8 triliun. Jabatan pemimpin (gubernur dan bupati) sudah diberikan kepada putra asli Papua.
    Selain itu, orang asli Papua sudah ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan di tanah leluhurnya sendiri. Namun, apa yang salah dari semua pendekatan pembangunan ekonomi politik di tanah Papua selama ini?
    Komplikasi
    Jalan panjang damai dan kesejahteraan di tanah Papua mengalami komplikasi yang sangat serius. Setidaknya ada lima akar persoalan.
    Pertama, kegagalan implementasi pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Di antaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokter, serta sekolah-sekolah pun masih minim guru.
    Kedua, untuk penyelesain kasus Papua belum ada lagi tokoh nasional yang dipercaya masyarakat Papua, seperti Gus Dur (Almarhum) yang lebih bisa diterima oleh rakyat Papua. Saking respeknya masyarakat Papua dengan sosok Gus Dur, hingga pada 25 Januari 2010 Almarhum Gus Dur dikukuhkan sebagai Bapak Demokrasi Papua oleh Dewan Adat Papua. Gus Dur dinilai sangat berjasa besar bagi Papua, khususnya dalam menerapkan pendekatan secara dialogis dan menghargai HAM (hak azasi manusia) untuk menyelesaikan masalah Papua. Presiden Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan penuh untuk menggunakan kembali nama Papua sebagai pengganti nama ‘Irian Jaya’. Gus Dur jugalah yang memberikan izin untuk mempergunakan bendera Bintang Kejora sebagai bendera Propinsi Papua.
    Ketiga, data hasil kajian demokrasi (Democratic Center) Tahun 2010 Universitas Cenderawasih, menyimpulkan penyebab Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif. Di antaranya, masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat dengan aturan perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi institusional (kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi penting yang diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan DPRP) di Papua.
    Keempat, pemerintah pusat tidak serius, tidak tegas dan tidak berani untuk menyelidiki dan memeriksa elite atau pejabat pemerintahan daerah Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 319 miliar dalam penggunaan dana otonomi khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar Rp 19,1 triliun, ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp 319 miliar.
    Kelima, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan menyangkut dimensi politik, menyangkut proses bergabungnya Tanah Papua ke dalam bagian NKRI. Artinya, anggapan pertama masyarakat Papua tentang ilegalnya hasil Pepera tersebut masih terus menguat. Anggapan tokoh masyarakat Papua, Pepera yang lama dinilainya tidak fair dan cenderung memutarbalikkan sejarah Papua sebagai sebuah entitas. Sementara Pemerintah RI tetap yakin hasil Pepera itu sah sesuai ‘New York Agreement’ 1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969. Tidak ada yang harus diragukan.
    Konflik Papua tidak bisa dipertahankan, dan harus diselesaikan secara serius. Kasus Papua menjadi lampu kuning bagi pemerintah, kalau pemerintah tidak punya itikad baik dan kesungguhan maka akan sama dengan proses terbentuknya Negara Sudan Selatan yang berpisah dari Republik Sudan (negara induk). Apabila kita komperatifkan dengan Papua, misalnya, maka polanya memiliki kemiripan.
    Pertama, wilayah Sudan selatan mayoritas beragama kristen. Sementara Republik Sudan mayoritas beragama Islam.
    Kedua, Sudan Selatan memiliki SDA yang melimpah terutama dari minyaknya, dimana Republik Sudan sebagai Negara penghasil minyak di dunia sebagian besar produksi minyaknya berasal dari wilayah Sudan Selatan.
    Ketiga, kurangnya pembangunan di wilayah Sudan Selatan mengakibatkan kesejahteraan tidak terwujud, sehingga menyebabkan konflik saudara yang berkepanjangan pasca mendapatkan kemerdekaan dari Inggris 1956. Padahal, sebelumnya wilayah Sudan Selatan telah diberikan otonomi untuk mengurus wilayahnya, namun tetap berpisah dari Republik Sudan.
    Sekali lagi, Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Itu sebabnya yang lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk menekan aspirasi merdeka. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk rakyat Papua, masyarakat memiliki ekspektasi yang sangat besar bahwa Otsus meningkatkan kesejahteraan, namun berubah menjadi bencana bagi rakyat karena salah kelola. Save Papua!