Blog
-
Ekonomi-Politik Kompensasi Kenaikan Harga BBM
Ekonomi-Politik Kompensasi Kenaikan Harga BBMKhudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)SUMBER : KORAN TEMPO, 9 Maret 2012Kenaikan harga bahan bakar minyak kini menjadi keniscayaan. Setelah program pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan konversi BBM ke gas menuai protes bertubi-tubi, pemerintah sepertinya tegap melangkah: per 1 April harga BBM akan naik sebesar Rp 1.500-2.000 per liter. Selain untuk menyelamatkan APBN, menurut pemerintah kenaikan harga itu adalah konsekuensi meroketnya harga BBM yang tersengat konflik AS-Iran. Menurut kalkulasi, dengan tingkat kenaikan sebesar itu akan dihemat subsidi sebesar Rp 57-76,15 triliun. Pemerintah tidak ingin subsidi BBM tahun ini sebesar Rp 123,6 triliun akan membengkak seperti tahun lalu (dari Rp 129,7 triliun menjadi Rp 160 triliun).Di luar itu, seperti yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM didasari melencengnya subsidi. Menurut pemerintah, subsidi banyak dinikmati kaum berpunya, bukan warga miskin. Menyadari dampak negatif kenaikan harga BBM terhadap warga miskin, pemerintah memberikan kompensasi. Ada empat bentuk kompensasi. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) Rp 150 ribu kepada 18,5 juta rumah tangga (74 juta jiwa) selama sembilan bulan. Kedua, penambahan subsidi siswa miskin. Ketiga, penambahan jumlah penyaluran beras untuk warga miskin (raskin). Keempat, subsidi pengelola angkutan masyarakat.Pemerintah yakin, dengan empat bentuk kompensasi itu kenaikan jumlah warga miskin sebesar 1-1,5 persen bisa dihindari. Bahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yakin ada peluang warga miskin yang saat ini berjumlah 29,89 juta orang (12,36 persen) bisa ditekan. Agung mengutip hitungan BPS bahwa kenaikan harga BBM Rp 1.500 per liter hanya menaikkan inflasi 1-2 persen. Secara akademik, data-data itu terbuka diperdebatkan. Sebab, bagaimanapun canggihnya sebuah pisau analisis, ia tidak bisa mewakili realitas obyektif. Output-nya bergantung pada asumsi yang dibangun dan “alat” analisis yang digunakan.Pada 2005, pemerintah dua kali menaikkan harga BBM dengan total kenaikan 87 persen. Dengan memanfaatkan kalkulasi LPEM-FEUI, pemerintah yakin kenaikan harga BBM yang disertai program kompensasi akan menurunkan jumlah penduduk miskin dari 16,43 persen menjadi 13,87 persen. Kenyataannya, kenaikan harga BBM mendongkrak inflasi menjadi 17,1 persen dan jumlah warga miskin justru naik dari 15,97 persen menjadi 17,75 persen (BPS, 2007). Sekali lagi, perhitungan-perhitungan semacam ini dilakukan dengan sejumlah asumsi yang tidak mungkin mewakili realitas sesungguhnya. Hasilnya bisa saja menyesatkan.Mempercayai hasil perhitungan teknis-matematis semacam itu sama saja kita percaya bahwa di negeri ini sudah tidak ada korupsi, birokrasi sudah siap dan kapabel dalam menjalankan program kompensasi, aktivis LSM sepenuhnya mandiri dan berada di pihak yang lemah, dan birokrat serta komunitas bisnis serta politik sudah jauh-jauh meninggalkan sikap sebagai rent seeker. Faktanya, kondisi sosial-ekonomi, politik, dan budaya kita nyaris tidak berubah. Dengan demikian, hasil perhitungan itu bisa jadi benar di atas kertas. Tapi, secara empiris, belum tentu sesuai dengan kondisi di lapangan.Apalagi, pengalaman program kompensasi BBM di masa lalu tidak cukup meyakinkan untuk membuat kita percaya bahwa kapasitas pemerintah dengan birokrasi pelaksana dan pengawasannya sudah cukup cakap. Mereka sudah jauh dari mental korup dan oportunistik. Contohnya, dari Rp 4,4 triliun dana kompensasi BBM tahun 2003, hanya Rp 2,94 triliun (66,3 persen) yang bermanfaat bagi kelompok sasaran. Sisanya, Rp 0,939 triliun (21,2 persen) bermanfaat tapi salah sasaran karena diterima bukan oleh kelompok sasaran. Bahkan Rp 0,553 triliun (12,5 persen) seharusnya tak masuk program kompensasi BBM (Indef, 2003).Seandainya hasil perhitungan tersebut benar, menggunakan hal ini sebagai judgement kenaikan harga BBM adalah kamuflase yang menyesatkan dan menipu publik. Tidak banyak diketahui publik, dana kompensasi kenaikan harga BBM itu bersumber dari utang. Itu artinya, kompensasi kenaikan harga BBM tidak lebih dari “suap politik” penguasa kepada rakyat. “Suap politik” diberikan agar kebijakan kenaikan harga BBM tidak diprotes. Mengguyur rakyat dengan kompensasi Rp 30-40 triliun di saat popularitas partai penguasa merosot kian memperkuat dugaan modus “suap politik” itu.Selain itu, menggunakan kalkulasi di atas sebagai judgement jelas menyesatkan. Sebab, muncul kesan seolah-olah santunan sosial, akses pendidikan, kesehatan dan beras murah, hanya bisa dilakukan apabila subsidi BBM dipangkas. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Adalah amanat konstitusi bahwa negara menyediakan penghidupan yang layak, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi rakyat, serta rakyat berhak memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (pasal 31ayat 1 dan 2), dan hak untuk dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (pasal 34 ayat 1).Rakyat juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (pasal 28h ayat 3), hak mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal 34 ayat 1), dan hak mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28c ayat 1). Ada-tidaknya pengurangan subsidi BBM tidak menghapuskan kewajiban negara untuk memenuhi hak dasar warganya itu.Selama ini kewajiban tersebut belum ditunaikan dengan baik oleh negara. Dengan memeluk erat-erat neoliberalisme, negara punya alasan tidak terlibat lagi dalam urusan-urusan publik. Intervensi negara dalam berbagai sektor publik dianggap sebagai biang distorsi. Pasar dipercaya amat perkasa dan bahkan bisa meregulasi diri sendiri. Kebijakan “emoh negara” itu terus-menerus dikampanyekan oleh kolaborasi birokrat, intelektual, aktivis LSM, kaum profesional, rohaniwan, jurnalis, pengusaha, politikus, dan akademisi ke ruang-ruang publik. Itu semua dilakukan untuk lepas tangan dari tanggung jawab.Apa yang sesungguhnya terjadi? Jantung persoalannya adalah tidak adanya keseriusan penyelenggara negara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban normatif kepada rakyatnya. Memberikan kompensasi dengan mengurangi subsidi BBM seolah-olah jadi satu-satunya solusi negara dalam memenuhi kewajiban dan tanggung jawab kepada rakyat. Tidak pernah dicoba cara-cara penyelesaian yang tidak ad hoc, reaktif, dan jangka pendek, seperti merenegosiasi kontrak tambang, mengoptimalkan pengolahan BBM domestik, investasi besar-besaran dalam penemuan cadangan migas baru, memasifkan konversi ke gas, dan pengembangan bahan bakar alternatif. Tanpa program yang berdimensi jangka panjang, negeri ini akan selalu terjebak dalam pusaran tanpa solusi konkret karena harga BBM merupakan variabel yang sepenuhnya tidak berada dalam kendali pemerintah. ● -
Penyebab Kerusuhan Penjara
Penyebab Kerusuhan PenjaraAhmad Taufik, PENULIS BUKU BISNIS SEKS DI BALIK JERUJI,ADVOKAT PADA STP LAW OFFICE, JAKARTASUMBER : KORAN TEMPO, 9 Maret 2012Kerusuhan di penjara sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi, dan bukan hanya di Indonesia. Sebelum rusuh di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, Bali, yang mendapat perhatian media massa, dalam pekan yang sama kerusuhan dan kebakaran juga terjadi di penjara Apocada, Monterey, Meksiko, yang menyebabkan 44 narapidana tewas, dan di Honduras, yang menyebabkan 375 orang tahanan meninggal. Jika melihat jumlah korbannya, kerusuhan di Penjara Kerobokan tidak ada apa-apanya.Namun efek media massa, terutama televisi, yang memberitakan kerusuhan dan penguasaan penjara oleh narapidana, membuat kita merasa dekat bahwa hal yang sama juga terjadi di sini, Indonesia. Belum lagi LP Kerobokan terkenal dengan banyaknya tahanan asing, asal negeri tetangga Australia, dan Bali adalah pulau turis mancanegara yang terkenal di berbagai belahan dunia.Ada tiga pemicu utama yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di suatu penjara. Pertama, bisnis. Bukan rahasia umum, penjara merupakan lahan bisnis, mulai dari tahap penempatan, kenyamanan, hingga ruang keintiman. Seseorang yang masuk sebuah penjara jika ingin mendapatkan tempat yang layak bisa memesan ruang yang diinginkannya. Sel, ruang, atau blok biasanya sudah dikuasai seseorang, baik yang berada di dalam maupun di luar penjara, atau bisnis sipir (petugas penjara).Di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, misalnya, untuk meminta ruang yang diinginkan, seseorang bisa membayar Rp 2 juta sampai Rp 15 juta, tergantung kondisi sel dan blok yang sudah dikapling-kapling itu. Belum lagi uang mingguan, bulanan, listrik, alat-alat elektronik, dan biaya lainnya. Bahkan, jika dibesuk, ada juga uang macam-macam, dari panggilan tamping, buka kunci (sel), pintu, setoran blok, hingga hal-hal lain.Begitu juga, untuk memperoleh keamanan dan kenyamanan, seseorang harus menyetor dana khusus sebagai voorman(narapidana kepala blok) atau petugas (sipir) penjara. Seorang akan bebas dari gangguan tahanan abal-abal (kecil tapi kadang-kadang merepotkan), bebas menggunakan telepon seluler dan alat-alat elektronik, seperti televisi, kipas angin, kulkas. Belum lagi bisnis-bisnis yang beredar dimulai dari yang legal, seperti makanan, bacaan, hiburan, dan sebagainya, sampai yang ilegal, seperti judi, ganja, ekstasi, sabu-sabu (narkoba), dan prostitusi.Kerusuhan bisa terjadi juga karena kesamaan kelompok. Selama menjalani hukuman di dua rumah tahanan dan tiga lembaga pemasyarakatan, selama hampir tiga tahun, yang paling jelas adalah di tiga tempat: Salemba, Cipinang, dan Cirebon-Jawa Barat. Di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, pengelompokan bisa terjadi mulai berdasarkan asal tahanan (polisi), daerah asal (seperti Tanjung Priok), suku, hingga jenis kasus. Di LP Cipinang, Jakarta Timur, yang paling kentara adalah pengelompokan berdasarkan suku atau sebutan (seperti Arek/Jawa, Korea/Batak, atau Ambon). Di LP Cirebon, juga terjadi pengelompokan berdasarkan asal tahanan (pindahan dari daerah tertentu), pribumi, atau suku yang mengeras.Saat saya tinggal di LP Cirebon, terjadi kerusuhan besar antara tahanan asal Bandung dan “pribumi” (Cirebon/Indramayu dan sekitarnya) ditambah kelompok asal Cipinang. Kebetulan saat itu saya sudah bekerja di luar sel, dan turut membersihkan batu-batu dan senjata-senjata (sikim) bekas kerusuhan itu. Awal bentrokan hanya dimulai dari persoalan kecil saling tersinggung antara tahanan asal Bandung dan pribumi (Cirebon), tak jauh dari masjid di dalam penjara itu. Penjara percontohan yang dikenal disiplin pada masa itu (tahun 1996) porak-poranda dalam sekejap.Kedua pemicu di atas berhubungan erat dengan pemicu ketiga, diskriminasi. Nah, perlakuan diskriminatif yang diterapkan sipir, mulai penjaga sampai kepala LP, terhadap tahanan berada dan anak ilang (abal-abal) sering kali menyulut awal kerusuhan itu. Perlakuan diskriminatif itu adalah puncak gunung es yang dibawa sejak sebelum tahanan itu masuk rutan atau LP. Perlakuan itu dimulai sejak orang mulai dilaporkan polisi, diselidiki, disidik, ditahan, diproses dalam pemeriksaan polisi, pemberkasan, pelimpahan kepada jaksa, penahanan jaksa, penuntutan, proses sidang, putusan hakim, proses lanjutan, sampai eksekusi penahanan. Di rumah tahanan, proses diskriminasi itu masih berlanjut, mulai dari penempatan, kunjungan, fasilitas, hak remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat sampai kembali ke luar penjara.Kadang-kadang ada pula perlakuan yang di luar kewajaran yang dilakukan sipir penjara sehingga para tahanan atau narapidana berontak. Seperti penyiksaan, pemerasan atau perlakuan sewenang-wenang lain yang dianggap keterlaluan. Tentu saja semua yang disebut di atas bukanlah niat yang dimaksud Menteri Kehakiman Saharjo saat mencetuskan sistem pemasyarakatan pada 5 Juli 1963 yang kemudian diadopsi oleh amanat Presiden pada 27 April 1964 untuk menggantikan sistem penjara. Rumusan Saharjo pada waktu itu, “Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.”Dari rumusan Menteri Saharjo itulah, tercipta 10 prinsip sistem pemasyarakatan, yaitu (1) Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat; (2) Menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara; (3) Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan; (4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/jahat daripada sebelum ia masuk lembaga; (5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya; (6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja; (7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila; (8) Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun tersesat; (9) Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan; (10) Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.Alih-alih ideal seperti 10 prinsip di atas, ternyata sistem pemasyarakatan pada prakteknya tak jauh berbeda dengan sistem penjara, malah lebih buruk lagi dengan adanya berbagai bisnis di dalamnya. Memang sulit menuju sistem pemasyarakatan atau penjara yang ideal, apalagi jika mengingat kapasitas penjara di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia overloaded(kelebihan penghuni).Penjara juga cerminan suatu masyarakat. Jika persoalan penjara tak segera diatasi, jangan-jangan revolusi bisa terjadi dari penjara, seperti yang terjadi pada 14 Juli 1789, saat Penjara Bastille, Prancis, diduduki dan memicu pecahnya Revolusi Prancis. ● -
Adab Perempuan
Adab PerempuanRadhar Panca Dahana, BUDAYAWANSUMBER : SINAR HARAPAN, 9 Maret 2012Dari perayaan hari jadi ke-70 dua legenda dunia beberapa waktu lalu, ilmuwan Stephen Hawking dan petinju Muhammad Ali, ternyata muncul satu jawaban yang sama dari dua pertanyaan yang diajukan secara berbeda, situasi, latar belakang, dan tujuannya.Jawaban sama kedua tokoh di atas sebenarnya juga merupakan jawaban dari pertanyaan platonik, “Hal apakah di semesta ini yang menjadi medium terbaik untuk manusia mencapai keutuhannya, dan akhirnya mencapai (hakikat)-Nya?”. Pertanyaan ini saya ajukan di masa SMA dulu.Sementara itu, dua pertanyaan lain yang diajukan masing-masing pada perayaan hari jadi dua tokoh di atas, pertama pada Hawking, “Hal apa sebenarnya yang menjadi misteri terbesar dalam hidup Anda?”, dan kedua pada Ali, “Siapakah lawan terberat yang paling sulit Anda taklukkan?”Untuk tiga pertanyaan itu, ternyata muncul satu kata yang persis sama: “Perempuan”. Jawaban ini terdengar sangat maskulin dan machoistik. Mungkin. Namun, mungkin pula jawaban sama akan berlaku jika semua pertanyaan di atas diajukan kepada pihak atau sasaran sebaliknya.Pada kenyataanya, kita harus jujur mengakui, lelaki dan perempuan, jantan dan betina, adalah dua ciptaan dengan kualitas serupa yang kekurangan kodrati dan kebudayaannya hanya bisa ditutupi dan diatasi lawan jenisnya. Inilah interkomplementasi terbaik, terumit, juga terindah yang bisa terjadi di bawah langit ini.Tanpa prasangka di balik jawaban serupa di atas, kita tentu bisa mengakui jujur, ternyata kebudayaan tumbuh dan peradaban dibentuk sebuah pemahaman, aksi hingga kreasi yang lebih menguntungkan (dominasi) lelaki. Sebuah adab dan budaya yang machoistik mengunggulkan kriteria-kriteria dasar maskulinitas.Semua sektor kehidupan kita: politik, agama, ekonomi-bisnis, kekuasaan, pendidikan, hingga pada soal-soal modis seperti busana, sepatu, perhiasan atau tata wajah, seakan memihak lelaki.Maskulinitas KontinentalSaya harus mengatakan, dengan argumentasi dan data yang bukan menjadi tujuan tulisan ini, peradaban macho itu merupakan akar atau fundamen dari peradaban kontinental (daratan), bukan maritim (kelautan).Apa yang jelas terterima (taken for granted) oleh kita dari sejarah manusia dan kebudayaannya, perempuan ternyata begitu minor, ternafikan, bahkan menjadi pinggiran dalam pertimbangan kita di semua urusan, terutama dalam mekanisme kekuasaan di berbagai bidang.Dengan posisi dan pengertian sebagaimana jawaban serupa di atas, perempuan adalah fakta historis dan kultural dari dominasi, represi, atau pengingkaran kaum lelaki. Bahkan itu juga terjadi di negara-negara yang di masa mutakhir ini memiliki klaim sebagai anggota komunitas modern yang progresif, demokratis, antidiskriminasi, egaliter, pembela HAM, dan sebagainya.Katakanlah negeri-negeri semacam Prancis, Rusia, Jepang, China, atau Spanyol, Italia, hingga kaum jiran seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan banyak negeri di Afrika, hampir tidak pernah merelakan pucuk kekuasaannya pada perempuan.Yang paling ironis dan memalukan dari kenyataan di atas, justru ini terjadi di negeri yang memiliki klaim terbesar, bahkan merasa memiliki hak untuk secara represif memaksa negeri lain mengafirmasi klaim tentang kesetaraan: Amerika Serikat (AS).Di sektor politik, misalnya, negeri kaum imigran itu tidak memberi satu pun nama seorang perempuan dalam jajaran puluhan presidennya, bahkan juga “sekadar” jabatan wakil presiden.Hal tersebut telah terjadi dua ratus tahun lebih. Menarik diamati kasus terakhir, dalam pemilu presiden AS tiga tahun lebih lalu yang memunculkan dua alternatif kandidat Partai Demokrat: Barrack Obama dan Hillary Clinton.Dalam pemilihan calon-presiden tunggal itu rakyat Amerika, sekurangnya pendukung Partai Demokrat—yang relatif lebih terbuka, egaliter dan progresif ketimbang seteru abadinya, Partai Konservatif—sebenarnya memiliki dua kandidat capres yang berpeluang menciptakan sejarah baru negara adidaya itu.Bila Obama yang terpilih, sejarah baru itu tercipta karena ia menjadi warga berkulit gelap pertama yang memimpin negeri adidaya itu. Begitupun bila Hillary terpilih, AS mencatatkan sejarah besar dengan “mengizinkan” perempuan memimpin bangsa itu untuk kali pertama.Namun apa yang terjadi? Ternyata sebagian besar rakyat Amerika lebih memilih calonnya yang berkulit gelap, yang dahulu dihina, disebut neger, dan disiksa luar biasa sebagai budak.Padahal bagi Hillary, kesempatan itu sangat langka, dan sulit terulang, karena semua kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya hampir tidak tersaingi pemimpin perempuan AS mana saja, setidaknya hingga saat pemilihan di masa itu.Kebohongan ApologetisSemua hal di atas menjadi bukti bagaimana machoisme sebenarnya sudah menjadi kesadaran tersembunyi yang kemudian membangun struktur kehidupan dan kebudayaan manusia, termasuk di negeri ini.Sekurangnya ini terjadi sejak kebudayaan Arya masuk ke separuh wilayah negeri ini melalui pangeran, pendeta, dan pedagang India di awal abad Masehi. Tapi, pengaruh itu melesap hingga sekarang, bukan hanya dalam soal pembagian kerja, pembagian rezeki, hingga soal kecil penyebutan “bapak-bangsa”, dan lainnya.Bahkan munculnya presiden perempuan pertama di negeri ini pun mungkin dapat dikatakan by political accident, tidak melalui proses pemilihan yang ketat. Fakta memperlihatkan realitas elite politik, ekonomi, agama, dan sebagainya dari negeri modern ini dikuasai adab “lelaki” di atas.Walau pada tingkat lokal sebenarnya sejarah negeri ini bicara dengan fakta yang agak berbeda. Sejak masa feodal hingga kolonial dan pembebasannya, sejarah itu diisi pula oleh fakta adanya pemimpin-pemimpin—formal dan tidak—perempuan.Hal itu terjadi bukan hanya karena latar peradaban primordial kita yang maritim dan cenderung matrilineal, namun juga karena latar geografis dan geologis kita yang memberi ruang dan peluang bagi perempuan untuk hadir, beraktualisasi, dan menunjukkan kemampuannya yang setara lelaki (bahkan di sebagian hal melebihinya).Kita bisa menyaksikan sisa-sisa hal itu pada adat dan adab yang masih terpelihara (sebagian) dalam suku bangsa atau etnis-etnis kita. Di Bali, Makassar, Maluku, hingga Minang atau Aceh, misalnya.Namun, tak dapat ditolak, ternyata semua perangkat kebudayaan—yang kita internalisasi selama masa kolonialisme 2.000 tahun—hingga sistem-sistem kemasyarakatan dan kenegaraan kita mutakhir, bukan hanya sekadar mengingkari, tapi juga menciptakan ranjau luar biasa bagi adab perempuan.Ini merupakan satu kenyataan yang dalam “rasionalitas penuh prasangka kontinental” kita saat ini, secara permanen, sulit untuk disadari, terlebih untuk dipertimbangkan kembali.Setidaknya dengan sebuah pertimbangan sederhana, interkomplementasi yang seimbang dan setara antara kedua kodrat genital itu akan membangkitkan energi dan sinergi yang lebih dahsyat, ketimbang—katakanlah—dengan adab yang memberi dominasi pada lelaki.Kerja ini bukan hanya berlangsung dalam kaidah-kaidah normatif, dalam tradisi baru, atau rekonstruksi sistemik, tetapi lebih penting dan mulia bila itu dimulai dari sikap dan perilaku individual.Persoalan, memang pada akhirnya, lebih berpulang pada kaum lelaki, dengan tawaran penyelesaian yang tetap saja maskulin: hendakkah lelaki berbagi? Sungguh ini penyelesaian yang sangat tidak mudah. Bukan saja karena lelaki enggan membagi peran dengan perempuan, tetapi bahkan perempuan telah diposisikan sebagai harta yang didominasi secara pribadi.Akan tetapi, demi sebuah perubahan yang sejati, demi temuan-temuan bersolusi bagi persoalan-persoalan kompleks mutakhir, demi masa depan yang habis-habisan kita impikan, semua pihak—lelaki, khususnya—harus keras dan memaksa diri memulai usaha ini.Hanya saja, saya khawatir lelaki tidak mampu melakukan ini, bukan karena mereka terbukti lemah—dalam banyak hal—ketimbang perempuan, tetapi juga karena bisa jadi mereka tak berhasrat menyempurnakan identitas kemanusiaannya.Karena dengan keadaan aktual saat ini, lelaki bisa tetap bebas membuat segala jenis apologi bagi “kebohongan” peradaban yang dilakukannya. Kita membutuhkan banyak pelopor, juga dalam hal ini. ● -
Korupsi dan Kekuasaan
Korupsi dan KekuasaanBadrut Tamam, TENAGA AHLI DPR RISUMBER : SUARA KARYA, 9 Maret 2012Kerajaan itu sangat berpengaruh dan dapat menguasai seluruh Nusantara. Namun, kesukseasan tersebut tidak berlangsung lama. Pasalnya, kerajaan ini tidak mampu membendung praktik korupsi dan kolusi yang begitu menggurita.Alhasil, kerajaan ini pun hancur dan terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang kemudian memudahkan para penjajah (koloni) menguasai bumi Nusantara. Artinya, praktik korupsi sungguh sangat membahayakan. Akibat korupsi, kerajaan bisa pecah dan hancur.Kejahatan korupsi ini ternyata sudah berlangsung sejak zaman feodal sampai zaman modern sekarang ini. Di Indonesia, praktik korupsi telah menghancurkan seluruh sendi-sendi perekonomian kita, sehingga terjadi krisis ekonomi (1997) dan krisis multidimensi yang berkepanjangan.Sejak terjadinya gelombang reformasi 1998, wacana pembentukan clean government dan pemberantasan korupsi menempati urutan utama. Namun, praktik korupsi terus menjadi-jadi dan menyerang seluruh lembaga negara. Uang negara yang mestinya digunakan untuk kepentingan publik, justru dijarah oleh pejabat negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.Untuk memberantas korupsi tentu tidak bisa hanya dengan retorika belaka. Perlu penegakan hukum dan tindakan konkrit dari para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim). Penegakan hukum di Indonesia juga tidak hanya bisa diselesaikan oleh lembaga formal negara, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Mahkamah Agung (MA). Tetapi, perlu adanya kesadaran dari masyarakat sebagai controlling of power. Kesadaran dari semua pihaklah yang akan menjadi tumpuan pemberantasan korupsi.Meski begitu, jika kita saksikan setiap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara tentang penegakan hukum dan keinginan memberantas korupsi, ada harapan besar bagi pemerintahan SBY-Boediono untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi. Sayang, hingga kini, program pemberantasan korupsi cenderung berjalan di tempat. Anehnya lagi, pelaku dugaan korupsi yang meramaikan pembicaraan publik adalah kader partai penguasa binaan Presiden sendiri. Tentu itu menjadi buah simalakama bagi Presiden SBY.Secara teoritis, pada hakikatnya kekuasaan cenderung korup – seperti teori Lord Action bahwa power tend to corrupt and absolut power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup).Jika teori itu yang menjadi rujukan para kader partai penguasa dalam menentukan berbagai kebijakan, tentu sangat kontradiktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang menjadi janji politik pemerintahan SBY-Boediono.Dalam kamus bahasa hukum, tidak mengenal kawan dan lawan kecuali hukum dijadikan instrumen politik oleh penguasa. Sebab, sering kali hukum dipolitisir oleh penguasa untuk kepentingan politik. Hal inilah yang terjadi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Akhirnya, hukum pun tidak mampu berbuat apa-apa lantaran sarat dengan intervensi dan kepentingan politik penguasa.Dalam hal pemberantaan korupsi rasanya perlu belajar dari negeri China. Negeri berpenduduk paling padat di dunia ini tidak segan-segan untuk menembak mati pelaku korupsi. Siapa pun mereka, baik itu keluarga, pejabat negara maupun presiden sendiri. Masih ingat, janji Zorunhi kepada rakyatnya ketika menjadi Perdana Menteri? “Siapkan saya 100 peti jenazah, 99 untuk para koruptor dan satu untuk saya. Kalau saya korupsi, tembak mati saya,” begitu ia berujar.Beranikah pemerintahan SBY menangkap koruptor yang telah merugikan negara seperti yang dilakukan oleh Zorunchi? Tentu jawabannya bergantung pada niat baik dan keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi. Praktik yang dilakukan Zorunhi itu menunjukkan bahwa hukum bukan menjadi instrumen politik kekuasaan.Jika pemberantasan korupsi hanya sebuah janji tanpa pernah diimplementasikan secara nyata, sampai kapan pun korupsi tidak akan mampu dihilangkan. Toh, sejak era reformasi dan kali pergantian presiden semua berjanji untuk memberantas korupsi, tetapi hingga kini para koruptor justru masih banyak yang bersenang-senang di luar negeri dengan hasil korupsinya.Selain pendekatan formal seperti di atas, juga perlu pendekatan informal. Misalnya, dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Perselingkuhan “najis” antara penguasa elite dan kekuatan politik (perselingkuhan antara penegak hukum dengan penguasa) ikut memperparah gagalnya pemberantsan korupsi dan penegakan hukum. Karena itu, pemberantasan korupsi dengan jalur formal (baca: lewat lembaga peradilan) tidak cukup efektif untuk menekan angka korupsi.Sehebat apa pun aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi akan menjadi sia-sia ketika intervensi penguasa terhadap lembaga hukum masih cukup dominan. Kesadaran elite politik menjadi kunci utama dalam penegakan hukum.Di samping itu, perlunya membangun gerakan sosial dan moral untuk melawan praktik korupsi. Gerakan sosial bisa dibangun dengan memperkuat masyarakat sipil dalam mengawasi, mengontrol dan melawan korupsi yang ada di sekitar masyarakat. Dengan ini, pejabat publik sudah seharusnya membangun patronase dengan masyarakat untuk memberantas korupsi.Adanya kesadaran diri oleh para pejabat negara, termasuk Presiden dan lembaga penegak hukum serta tindakan masyarakat sebagai controlling of power dan standing partner pemerintah dalam pengawasan dan pemberantasan korupsi akan meminimalkan angkah korupsi. Dengan kesadaran pejabat negara dan kontrol masyarakat terhadap korupsi yang terjadi setiap lembaga membuka harapan untuk memberantas korupsi di negeri ini. ● -
Agama sebagai Penjaga Moral
Agama sebagai Penjaga MoralDeni Humaedi Achmad El-ghazali, PENELITI MUDAINDONESIAN CULTURE ACADEMY (INCA), JAKARTASUMBER : SUARA KARYA, 9 Maret 2012Agama akan kian hidup manakala perilaku amoral semakin menggila. Kedatangan tahun 2012 disambut begitu suka cita oleh seluruh lapisan masyarakat dan banyak harapan dipancangkan. Harapan tersebut berangkat dari peristiwa yang terjadi sepanjang 2011 baik yang mengecewakan maupun sebaliknya. Namun, harapan tersebut tampaknya jauh dari kenyataan sebab masih saja ada luka-luka yang menapak di tahun lalu menganga kembali di tahun ini.Adalah kekerasan, bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan sampai korupsi di kalangan elite pemerintah. Tak ayal, perilaku-perilaku demikian adalah bentuk tindakan amoral sudah menimbulkan kerugian bagi manusia, khususnya karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dibilang merugikan sebab bentuk amoral itu telah menodai hak asasi manusia (HAM). Sebut saja, korupsi yang dipraktikkan oleh beberapa elite pemerintah belakangan ini.Dampak korupsi ini – meminjam istilah Frederich Bastiat – ‘seperti apa yang terlihat dan yang tak terlihat’ sekilas tampak ringan dan tak ada apa-apa tapi dampaknya sudah apa-apa sedemikian endemik. Perilaku korup yang dilakukan seorang elite saja bisa berakibat bagi nasib seluruh masyarakat. Tidak hanya satu instansi yang terkait yang dirugikan, tapi juga negara dan masyarakat keseluruhan. Dapat kita bayangkan betapa jahatnya apabila uang milik rakyat, untuk kepentingan rakyat, namun dengan mudah dirampok oleh koruptor demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.Namun, di balik semua itu ada dampak luar biasa, yang melebihi dampak-dampak yang telah disebutkan tadi. Selain secara materiil telah merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan, korupsi semakin menggambarkan betapa telah luruh moral ideal yang dianut bangsa kita. Moral ideal tersebut adalah kejujuran yang merupakan cerminan kemanusiaan yang paling luhur. Moral kejujuran ini adalah muara untuk menetaskan etos kerja keras, tekun, dan kesabaran.Ketika moral sudah ditinggalkan begitu saja dalam keseharian, yang tersisa hanyalah kerusakan-keretakan yang melekat di bangsa kita. Akhirnya, kita akan menjadi bangsa yang nirmoral. Pada posisi inilah, agama mesti menampilkan dirinya. Tidak hanya untuk mengembalikan moral yang sudan meluruh, agama dituntut untuk menghidupkan dan membumikan spirit moral tersebut dalam kehidupan berbangsa-bernegara.Sekiranya sudah usang untuk membicarakan bahwa kehadiran agama akan semakin tenggelam, mati di era modernisasi seperti yang diramalkan oleh beberapa ilmuwan sosial khususnya dari barat. Memang, pada segi-segi tertentu betul bahwa agama seperti yang dikatakan beberapa kalangan pemerhati sosial-keagamaan dewasa ini, tidak perlu mengemuka ke dalam wilayah publik. Ia cukup saja menjadi ranah privat yang menjadi persoalan masing-masing individu. Terlebih, untuk memasuki ranah politik (baca, negara).Di lain sisi, justru di era sekaranglah hidup disesaki dengan pluralitas nilai-nilai yang kian membuat kita semakin bingung untuk merujuk acuan dalam hidup. Terlebih, pluralitas nilai-nilai ini telah mengikis jati diri bangsa kita semisal moral kejujuran yang diganti dengan moral kebohongan (korupsi). Dalam gal ini, maka peran agama akan semakin diperlukan untuk menjawab pelbagai persoalan tersebut. Dengan maksud lain, untuk mencegah dan meminimalisasikan perilaku amoral tersebut maka secara serta merta orang akan kembali membutuhkan peran agama.Pada dasarnya, seperti yang kita ketahui, tegaknya moral tidak hanya diinisiasi oleh agama saja. Ada moral-moral lain yang disepakati bersama yang menjadi acuan untuk pandangan dunia (worldview) yang disebut sebagai moral publik. Seterusnya untuk menjaga moral yang sudah disepakati bersama ini agar tidak dilanggar oleh individu atau kelompok tertentu, dibuatlah hukum sebagai penjaga moral.Tetapi, sayangnya, meskipun ada hukum sebagai penjaga, tetap saja batas-batas moral ini ditabrak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Kekerasan, bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan, dan korupsi adalah resultan dari penabrakan moral publik tadi. Maka, sebagai konsekuensi yang paling “biadab” dari perilaku amoral ini adalah pembunuhan terhadap hak asasi manusia (HAM).Karena, dampak perilaku amoral tersebut tidak boleh terulang lagi, agama dengan sendirinya harus semakin hidup dan bersiap menuntun bangsa ke arah yang lebih baik. Benar bahwa agama, sebagaimana yang dikatakan sosiolog Bryan Turner, adalah berfungsi sebagai perekat sosial. Kehadirannya, di samping mengajarkan melulu ibadah ritual, bisa mempererat hubungan sosial meski dilatari perbedaan suku, ras, adat, dan daerah yang berbeda.Namun, kendati demikian, tak dapat dielakkan, bentrokan massa yang belakangan ini terjadi berangkat dari konflik antar-umat beragama pula. Hemat saya, inilah yang menjadi ‘pekerjaan rumah (PR) yang harus diemban oleh para pemuka agama. Dengan kata lain, para pemuka agama harus dapat membawa agama manakala dihadapkan oleh pelbagai perilaku amoral atau konflik antar-umat beragama sendiri.Karena itu, sudah saatnya para pemuka agama memikirkan secara lebih serius bagaimana agama bisa merespon berbagai tantangan zaman, baik yang bisa menghidupkan (positif) maupun yang bisa mengikiskan agama sendiri (negatif). Tetapi, untuk sampai ke arah itu, diperlukan sikap bijak yang harus dimiliki para pemuka agama. Artinya, mereka mesti menyampaikan ajaran keagamaan dengan rasional, terbuka, soft, santun ketimbang melulu doktrinal, kaku, tertutup, dan ekslusif.Dengan demikian, agama secara pasti bisa memosisikan keberadaannya di tengah masyarakat. Karena itu, agama tidak boleh lagi dijadikan komoditas politisasi kekuasaan semata tetapi biarkan berperan sesuai fungsinya penjaga moral. ● -
Kekerasan di Sekitar Kita
Kekerasan di Sekitar KitaTb Ronny R Nitibaskara, KRIMINOLOGSUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012Akhir-akhir ini kekerasan berupa pembunuhan semakin meningkat. Kenyataan menunjukkan, perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu dilakukan tanpa pandang usia, tempat, dan waktu.Pembunuhan yang dilakukan anak SMP dan percobaan pembunuhan yang dilakukan anak SD terhadap temannya, pembunuhan terhadap Ayung di sebuah hotel, pembantaian satu keluarga di Bali, serta pembunuhan terhadap orang yang sedang melayat kerabatnya di RSPAD Gatot Soebroto menggambarkan betapa masyarakat Indonesia—yang dikenal ramah, berjiwa sosial, dan bersemangat gotong royong—kini tega berperilaku sadistis.Penyebab tindak pidana di atas beragam, mulai dari masalah sangat sepele hingga teramat kompleks.Beberapa fakta di atas menunjukkan betapa mahal keamanan di negeri ini. Nyawa manusia sudah tak ada nilainya. Seakan moto ”bunuh dulu, urusan belakangan” menjadi suatu perilaku yang tumbuh subur di sini. Mengapa seseorang sedemikian mudah melakukan kejahatan kekerasan, khususnya pembunuhan? Suatu pertanyaan yang tidak bisa dijawab memuaskan oleh kriminologi. Berikut beberapa kemungkinannya.Pembunuhan dan PerilakuPerspektif klasikal telah mencoba menjelaskan bahwa dalam masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak merasa takut terhadap sanksi, baik sanksi sosial maupun hukum. Dalam keadaan frustrasi, mereka tak segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang bermacam-macam.Perilaku yang mengedepankan ”membunuh dulu, sedangkan akibatnya dipikirkan belakangan” banyak ditemui dalam perspektif sosial. Ketegangan dan frustrasi yang dialami seseorang yang tinggal atau hidup di daerah kumuh kelas bawah menyebabkan mereka mudah berperilaku menyimpang. Sebagaimana diketahui, nilai-nilai kelas bawah menekankan pada kekerasan dan kekuatan, yang mengakibatkan mereka sering berurusan dengan penegak hukum.Perspektif lainnya mengacu pada proses sosial. Pada dasarnya, di masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak punya kesempatan menikmati institusi konvensional, seperti sekolah, pekerjaan, dan keluarga. Mereka umumnya bereaksi keras terhadap tekanan hidup sehari-hari.Dalam mengekspresikan diri secara verbal, mereka berusaha menonjolkan diri agar dihormati orang lain. Cara yang ditempuh untuk mengejar penghargaan tersebut dapat menjurus pada ancaman fisik dan kekerasan. Ini termasuk perspektif psychological behaviourist, yang melihat tindakan kekerasan mungkin meningkatkan derajat/tingkat penggerak agresi. Perspektif lain dalam pendekatan kognitif yang melihat perkembangan sampai batas (titik) di mana mereka dapat memahami akibat dari tindakannya. Pembunuh jenis ini tidak pernah berpikir dua kali sebelum membunuh korbannya.Tentu saja keseluruhan uraian di atas tak berpengaruh terhadap mereka yang berasal dari kalangan atas atau terdidik. Kebanyakan dari mereka, apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembunuhan, menjadi dalang yang tak terjun langsung ke lapangan.Pembunuhan dan BudayaDalam negara Indonesia dengan beragam suku bangsa dan budaya, tidak dipungkiri terdapat suatu kelompok yang menganggap pembunuhan bukan perilaku yang menyimpang selama ditempatkan pada tujuan menegakkan harga diri dan kehormatan. Budaya siri dari Makassar dan carok dari Madura, misalnya, merupakan perilaku yang bertujuan untuk membela harga diri dan kehormatan keluarga. Tindakan itu dianggap lebih penting daripada ancaman sanksi tindak pidana pembunuhan. Mereka menganggap tindakan tersebut bentuk kelakuan yang dihargai.Hal ini tecermin dalam teori subkultur kekerasan yang melihat bahwa semakin kuat seseorang berintegrasi dengan subkultur itu, semakin ia menerima aturan-aturan bertingkah laku yang dianut. Ia akan menyesuaikan kelakuannya dengan aturan bertingkah laku demikian.Dalam banyak kejadian, orang segera mengambil senjata guna melindungi dirinya dari orang lain. Memiliki semacam senjata lebih dipandang sebagai pertanda keterarahan kepada sifat agresif itu. Orang senantiasa waspada terhadap kemungkinan terjadi tindakan kekerasan dari orang lain. Jika itu terjadi, dia sendiri pun bersedia ambil bagian dalam tindakan kekerasan tersebut.Perspektif lain yang perlu dicermati dalam teori psikoanalisis. Tak terpecahkan dalam konflik yang dihasilkan dalam trauma sejak masa kanak-kanak mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian dan tingkah laku agresif kepada seseorang.Sehubungan dengan itu, teori Freud berpendapat, pada dasarnya manusia punya dua insting dasar: insting seksual (libido) dan insting agresif atau disebut pula sebagai insting kematian. Insting seksual atau libido adalah insting yang mendorong manusia untuk mempertahankan hidup, mempertahankan jenis, atau melanjutkan keturunan. Di lain pihak, insting agresif adalah insting yang mendorong manusia untuk menghancurkan manusia lain.Tingkatan laku agresif tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu tingkatan laku agresif yang mengandung kebencian dan laku agresif yang memberikan kepuasan tertentu. Tingkah laku yang mengandung kebencian ditandai oleh kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau sakit. Tingkah laku yang memberikan kepuasan ditandai oleh kepuasan yang diperoleh karena lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.Pembunuhan dan MediaBanyak pihak berpendapat, terjadinya pembunuhan memiliki keterkaitan dengan kekerasan yang ditayangkan media, khususnya media layar kaca. Dalam literatur kriminologi menunjukkan, studi-studi dan fakta di negara lain tidak sepenuhnya menunjang hipotesis tersebut. Seperti kasus-kasus yang terjadi di Jepang dan Amerika Serikat.Kalau dicermati secara saksama, terlihat bahwa budaya populer di kedua negara itu sama-sama mengandung tingkat kekerasan yang tinggi. Kebudayaan kontemporer Jepang penuh diwarnai adegan kekerasan, baik di teater, film, maupun televisi. AS sendiri dikenal sebagai salah satu produsen terbesar film yang sarat dengan adegan kekerasan.Tingkat kekerasan di Jepang lebih rendah daripada AS. Menurut Bayley (1991), rendahnya tingkat kriminalitas di Jepang atau tingginya angka kriminalitas di AS tampaknya tidak dipengaruhi media layar kaca, tetapi karena penerapan UU senjata api.Hasil penelitian Himmelweit (1958), De Four (1968), dan Belson (1978) turut mengindikasikan bahwa acara televisi yang menampilkan karakter manusia yang menunjukkan kekerasan tidak dipahami dan dihayati penonton sebagai isi yang penting dan signifikan. Tidak ditemukan hubungan kuat antara pemahaman kekerasan dan timbulnya emosi secara keseluruhan. Pengaruh tayangan media lebih kelihatan dan berbahaya lewat adegan seks dan pornografi.Berdasarkan uraian di atas, terdapat berbagai faktor terkait maraknya tindak pidana pembunuhan di sekitar kita. Adalah tugas dan kewajiban pemerintah mengambil langkah-langkah positif untuk mengatasi fenomena di atas. ● -
Pengadilan “Ethok-ethok” (122)
Pengadilan “Ethok-ethok”Adi Andojo Soetjipto, MANTAN HAKIM AGUNG/KETUA MUDA MAHKAMAH AGUNGSUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012Setiap kali saya menonton dan mengikuti siaran televisi yang menayangkan jalannya sidang pengadilan tipikor yang mengadili perkara tindak pidana korupsi wisma atlet SEA Games dengan terdakwa M Nazaruddin, saya merasa sangat gemas dan malu.Sebagai mantan hakim, saya melihat bahwa pengadilan yang berjalan hanyalah pengadilan ethok-ethok alias abal-abal. Bukan pengadilan yang berpegang pada kemandirian dan berwibawa.Anda tahu apa itu pengadilan ethok-ethok? Pengadilan ethokethok adalah badan peradilan yang sah yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan semua pelaksananya—hakim, jaksa, panitera, sampai pengacara—adalah sah. Namun, dalam pelaksanaan persidangan, semua isinya merupakan permainan yang disutradarai oleh mereka yang punya kepentingan. Siapa pun dapat melihatnya dengan jelas. Pengadilan semacam itu adanya hanya di Indonesia.Di negara-negara lain, khususnya negara yang demokratis, pengadilan yang demikian itu tidak ada. Yang ada, ya, pengadilan beneran, yang melaksanakan tugas dengan cara independen. Putusan-putusannya pun independen. Tidak ada pengaruh dalam bentuk apa pun: uang ataupun tekanan.Apa tanda-tanda kalau pengadilan (ethok-ethok) itu ada di Indonesia? Ah, semua orang tahu, dari media cetak ataupun elektronik. Apalagi, sekarang ini penyebaran informasi yang kian canggih dan modern dapat diikuti oleh segenap masyarakat sampai ke pelosok Tanah Air.Cara hakim memimpin sidang jadi cemoohan. Saksi yang selalu menjawab ”tidak tahu” atau ”lupa” menjadi ejekan. Penarik-penarik ojek, sopir-sopir taksi, sampai ke para pelanggan warung (nasi) tegal semua ikut berkomentar bernada negatif, yang membuat rakyat yang melihatnya jadi gemas.Perlu Hakim Berjiwa HakimHal yang tidak masuk akal bisa terjadi dalam pengadilan ethok-ethok itu. Sesuatu yang sudah jadi ”penetapan pengadilan” dapat dibatalkan hanya karena salah satu pihak tidak datang sebab beralasan sakit tanpa surat keterangan dokter. Catatan sepanjang pengalaman saya sebagai hakim selama 40 tahun, hal yang sudah jadi ”penetapan pengadilan” harus dilaksanakan demi kewibawaan pengadilan. Hal itu supaya tidak dikatakan pengadilan mencla-mencle, tidak berpikir secara matang sebelum bertindak atau melakukan sesuatu.Tanda-tanda lain adanya pengadilan ethok-ethok adalah apa yang terungkap secara ”gamblang” atau cetho welo-welo di sidang pengadilan masih saja dianggap ”kurang lengkap” sehingga diperlukan alat bukti tambahan atau tidak perlu didengar keterangannya di sidang. Dan, anehnya, hakim hanya meng-”iya”-kan.Dulu kita kenal istilah invisible hands dalam masalah pengaruh-memengaruhi ini. Sekarang, apakah hal itu masih terjadi juga di dunia peradilan kita? Padahal, Presiden selalu meneriakkan: ”Tegakkan keadilan! Berantas korupsi!”Kalau hal ini masih terjadi, kita pasti merasa sedih dan malu. Artinya, seruan Presiden tak digubris dan pilar-pilar pengadilan sudah ambruk. Kita kenal kata-kata ”intervensi”, tetapi kalau Mahkamah Agung turun tangan melakukan tindakan terhadap hakim yang dinilai tidak profesional, itu namanya bukan merupakan intervensi, melainkan ”menjaga supaya keadilan ditegakkan dengan benar”, dengan menugaskan hakim-hakim yang cerdas, jujur, berani melawan segala tekanan dan campur tangan. Pokoknya, hakim yang (benar-benar) berjiwa hakim.Sekarang pengadilan terhadap perkara korupsi wisma atlet SEA Games masih berjalan. Kita tunggu saja kesudahannya: apa pengadilan ethok-ethok akan jadi pengadilan beneran yang mampu menunjukkan dirinya sebagai badan pengadilan yang benar-benar independen, atau tetap menjadi pengadilan yang menjadi cemoohan rakyat. ● -
Korupsi dan Reformasi Birokrasi
Korupsi dan Reformasi BirokrasiEko Prasojo, KETUA PROGRAM PASCASARJANA ILMU ADMINISTRASIDAN GURU BESAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UISUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012Masyarakat digegerkan kembali oleh korupsi yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Kasus Gayus dan Bahasyim belum hilang dari ingatan masyarakat, timbul lagi kasus Dhana.Meskipun masih harus dibuktikan oleh pengadilan, indikasi korupsi oleh birokrat muda ini langsung mendapat tanggapan keras masyarakat. Berbagai upaya reformasi birokrasi dipandang belum mampu mengubah perilaku dan budaya korup para birokrat. Bagaimana menjelaskan fenomena Gayus dan Dhana ini? Benarkah reformasi birokrasi belum mampu menghilangkan korupsi dalam birokrasi?Korupsi sistemikSumber penyakit birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus: internal dan eksternal. Sumber internal berasal dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri.Dalam perspektif manajemen sumber daya manusia, munculnya perilaku menyimpang birokrat biasanya sudah dimulai dari perekrutan pegawai yang tidak transparan, tak objektif, dan tak profesional. Perekrutan ini pun tidaklah berdiri sendiri, tetapi terkait dengan subsistem lain. Misalnya, ketertutupan dalam promosi jabatan dan sistem remunerasi yang tak terkait kinerja.Tak hanya itu, sumber internal penyakit birokrasi juga bisa disebabkan oleh proses bisnis di dalam pemerintahan dan pelayanan yang memungkinkan birokrat secara individu ataupun bersama mengambil uang negara dalam jabatan dan wewenangnya. Pokok pangkalnya: celah sistem yang tak paripurna memungkinkan transaksi antara wajib pajak dan petugas pajak secara simbiosis mutualisme.Secara internal, sumber penyebab birokrasi juga dapat berasal dari lemahnya pelembagaan nilai dan budaya organisasi yang baik. Problem dasar birokrasi di Indonesia adalah masih berakarnya budaya kekuasaan dan belum munculnya budaya pelayanan. Kesulitan lain untuk melembagakan budaya dan nilai birokrasi yang bersih dan melayani juga disebabkan oleh gaya hidup birokrat yang pada umumnya sudah sangat tinggi.Persepsi masyarakat terhadap birokrat sudah telanjur terbentuk: meski gajinya kecil, penghasilan (take home pay) bisa sangat besar. Ada dua akibat oleh persepsi masyarakat yang demikian. Pertama, masyarakat berbondong-bondong berusaha untuk jadi PNS dengan cara apa pun, termasuk membayar harga sebuah formasi. Kedua, timbulnya persepsi umum bahwa menjadi birokrat harus kaya.Tuntutan gaya hidup yang makin hedonis dan konsumtif memaksa kebanyakan birokrat untuk memanfaatkan jabatan wewenangnya. Budaya korup, kaya secara instan, sikap hidup menerabas, dan kecenderungan menyalahgunakan wewenang seakan-akan sudah diterima secara umum sebagai sesuatu yang biasa. Celakanya, selain tidak ada proses pelembagaan untuk menanamkan budaya bersih dan melayani, sering kali budaya-budaya yang demikian itu diterima dan dilakukan secara bersama-sama oleh atasan dan bawahan. Gejala ini semakin kuat jika berada dalam birokrasi yang berkaitan dengan sumber penerimaan, pemberian izin, dan pengeluaran negara.Masih secara internal, timbulnya penyakit dalam birokrasi seperti yang terjadi pada Gayus dan Dhana juga disebabkan lemahnya sistem pengawasan internal ataupun eksternal. Sistem pengawasan atasan-bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara bersama-sama. Pengawasan yang diharapkan mampu mendeteksi perilaku menyimpang tersebut mungkin oleh BPK. Problemnya adalah bagaimana tindak lanjut temuan BPK terhadap adanya penyimpangan.Biasanya muncul semangat jiwa korsa untuk menjaga nama baik kementerian/lembaga dari banyaknya temuan yang bisa menyebabkan opini disclaimer oleh BPK. Dalam kasus, biasanya dicari jalan untuk menyembunyikan temuan sedemikian rupa secara institusional agar bisa tertutupi dan tak terbongkar ke publik.Beruntunglah Indonesia memiliki PPATK yang dapat mendeteksi aliran dana melalui transaksi keuangan lewat rekening sehingga kasus seperti Gayus dan Dhana dapat terungkap dan menjadi bukti awal penyidikan. Meskipun demikian, rasanya masih banyak transaksi yang mungkin tidak bisa terdeteksi oleh PPATK.Secara eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antarberbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus korupsi birokrasi di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal ini bermula dari proses pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis hubungan afiliasi.Faktor eksternal lain adalah budaya masyarakat yang sangat permisif dan menjadikan suap/gratifikasi dalam proses pemerintahan dan pelayanan sebagai hal yang biasa. Artinya, terjadi penawaran dan permintaan antara birokrasi dan masyarakat untuk sebuah pelayanan.Ke arah PencegahanBerbagai kritik dilontarkan terhadap fakta bahwa reformasi birokrasi, yang saat ini telanjur dipersepsi sebagai tunjangan kinerja, ternyata belum mampu mengubah kultur dan perilaku korup birokrasi.Kritik ini benar untuk tiga alasan. Pertama, reformasi birokrasi memang bukan jalan singkat mengubah budaya dan perilaku korup para birokrat. Hal ini sama sulitnya mengubah budaya dan perilaku masyarakat untuk berdisiplin dan tidak memberi suap kepada pejabat birokrasi.Kedua, persepsi salah yang berkembang di birokrasi ataupun di masyarakat bahwa reformasi birokrasi adalah identik dengan tunjangan kinerja. Sebaliknya, reformasi birokrasi adalah perubahan sistemik dan multidimensi untuk mengubah tidak saja struktur dan proses kerja, tetapi juga pola pikir, budaya, dan perilaku.Ketiga, jumlah tunjangan kinerja yang diberikan melalui kebijakan reformasi birokrasi sangat tidak sebanding dengan ”penerimaan lain-lain” yang diperoleh birokrat untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup yang sudah telanjur tinggi.Meski demikian, masih ada banyak harapan dalam reformasi birokrasi sebagai cara untuk memperbaiki budaya dan perilaku birokrat. Untuk sektor-sektor (kementerian dan lembaga) yang ”kering” dan tidak berhubungan dengan sumber penerimaan, perizinan, dan pengeluaran keuangan negara, tunjangan kinerja menjadi harapan kenaikan penerimaan PNS. Harus diakui, tunjangan kinerja ini belum sepenuhnya berkaitan dengan capaian kinerja individu. Namun, larangan untuk memperoleh honor-honor lain setelah penerapan tunjangan kinerja telah mengubah pola pikir birokrat bahwa untuk suatu pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya tidak boleh lagi memperoleh honor-honor tambahan.Pemerintah sedang menyiapkan dan melaksanakan reformasi birokrasi yang lebih komprehensif. Perekrutan ke depan akan dilakukan dengan cara yang lebih profesional berbasis kompetensi. Promosi jabatan akan dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Pengukuran kinerja akan dilakukan berbasis capaian kinerja individu.Namun, kunci dari semua itu adalah perbaikan sistem secara komprehensif. Penegakan sanksi disiplin berat bagi setiap pelanggaran tak boleh ragu. Temuan BPK atas penyimpangan penggunaan keuangan negara oleh birokrat tak boleh ditutupi oleh kementerian/lembaga dan pemda. Saya yakin reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh adalah keniscayaan dan akan menjadi dasar bagi perubahan budaya dan perilaku dalam birokrasi. ● -
Forbes dan si Kaya Indonesia
Forbes dan si Kaya IndonesiaIsmatillah A Nu’ad, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAANUNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTASUMBER : JAWA POS, 9 Maret 2012MAJALAH ekonomi terkemuka dunia, Forbes, pada 8 Maret 2012 kembali merilis daftar 1.226 orang kaya sedunia. Terdapat 17 pengusaha asal Indonesia yang masuk. Mereka menggawangi bisnis seperti rokok, pertambangan, batu bara, kelapa sawit, dan agrobisnis. Jika dilihat dari jumlahnya, orang kaya Indonesia lebih banyak daripada negeri tetangga Malaysia yang hanya 10 orang. Singapura menyumbang 40 orang.Namun, meski orang kaya Indonesia lebih banyak daripada negeri jiran Malaysia, pertumbuhan ekonomi dua negara sangat berbeda jauh. Jika grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia bagai kerucut, Malaysia bagai kubus. Artinya, tingkat kesejahteraan masyarakat di Malaysia, begitu juga Singapura, lebih merata dibanding Indonesia. Bayangkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut data BPS, jumlah mereka mencapai 30,02 juta jiwa, sedangkan menurut World Bank mencapai 100 juta jiwa pada 2011.
Tidak meratanya tingkat kesejahteraan, apalagi kekayaan, di Indonesia menandakan masih sangat rawannya regulasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tak akan bermakna jika hanya dirasakan segelintir orang. Sebagai solusi pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan perimbangan keuangan daerah. Sebab, selama ini pemerintah hanya menerapkan sistem perimbangan keuangan secara adil, tidak secara merata. Jakarta masih menjadi sentrum pertumbuhan ekonomi, daerah masih sangat minim.
Padahal, menurut laporan World Economic Forum (WEF) bertajuk Global Risk 2012, ada dua risiko terbesar yang berpotensi memberikan dampak mengerikan dalam satu dasawarsa ke depan. Yaitu, ketimpangan fiskal serta disparitas pendapatan yang kronis. Kerawanan tersebut memang tengah dihadapi negara berkembang dan maju, terutama karena krisis global yang sedang menghantam negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa.
Padahal, kesenjangan yang semakin lebar antara kelompok kaya dan miskin akan berdampak negatif bagi kehidupan bernegara. Kriminalitas meningkat, pertikaian antarkelompok semakin sering, kohesi sosial merenggang, serta kegiatan produksi dan aktivitas ekonomi terganggu. Lebih jauh, dampak kesenjangan ekonomi yang meningkat dalam suatu negara akan mengancam keutuhan negara itu, ketidakpercayaan kepada pemerintah berkurang, perdagangan bebas terhambat, manfaat demokrasi akan dipertanyakan, dan sistem penguasaan ekonomi oleh negara secara penuh akan kembali hidup.
Mengurangi tingkat kesenjangan antarkelompok dalam masyarakat dapat dilakukan dengan memperluas lapangan kerja bagi kelompok termiskin, sehingga meningkatkan pendapatan mereka. Hal tersebut bisa dicapai dengan meningkatkan keterampilan pekerja dan membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Investasi pada SDM harus merupakan strategi utama untuk menyediakan pekerja yang berupah cukup baik.
Reformasi pajak perlu diupayakan agar pendapatan dari pajak semakin meningkat dengan cara-cara yang kreatif. Tingkat pajak di beberapa negara mungkin masih bisa ditingkatkan dan upaya menambah pembayar pajak perlu dilakukan. Kebijakan pemotongan pajak perlu dikaji ulang, bila perlu dihapus. Penyediaan infrastruktur yang lebih berkualitas di daerah kurang maju kian mendesak.
Pertumbuhan ekonomi saja kini terbukti tidak menghasilkan pembagian pendapatan yang merata. Penyakit kegagalan pasar harus diatasi dengan kebijakan yang serius. Yang intinya adalah mengusahakan pertumbuhan yang berkualitas, yang memberikan penghasilan yang lebih merata antara kelompok kaya dan miski. Kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dapat berimbas ke masalah-masalah lebih besar.
Memang, data BPS 2011 menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1 persen, melebihi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah sebesar 5,8 persen. Selanjutnya, nilai produk domestik bruto (atau bisa disebut nilai semua barang dan jasa yang diproduksi suatu negara pada periode tertentu) naik menjadi Rp 6.422,9 triliun dari Rp 5.603,9 triliun pada 2010. Yang mencengangkan, BPS mencatat pendapatan per kapita 2011 mencapai Rp 30,8 juta (USD 3.542,9). Angka itu naik sekitar Rp 3,7 juta dibanding 2010 sebesar Rp 27,1 juta (USD 3.004,9).
Membanggakan ekonomi di atas kertas masih mendominasi arah kebijakan ekonomi negeri ini. Karena itulah, tiap awal tahun pemerintah rajin menebar harapan. Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Tapi, tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Hal itu tecermin dari rasio gini, sebuah rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh.
Data Indef 2011 menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, rasio gini hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010. Rasio gini membentang mulai nol sampai satu. Nol menunjukkan pemerataan, satu melambangkan ketimpangan. Banyak yang menduga, laporan pertumbuhan ekonomi pemerintah sering di-mark up. Data angka kemiskinan pun kadang-kadang disembunyikan. Akibatnya, realitas pertumbuhan kadang terlihat menjadi semu. Semoga ini tak terjadi lagi pada tahun-tahun mendatang. ●
-
Masa Depan (Kelas) Demokrasi
Masa Depan (Kelas) DemokrasiAurelius Teluma, PENGAJAR PADA OLIFANT ELEMENTARY SCHOOL YOGYAKARTASUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012Setiap Jumat, ada ”pemilu” di semua ruang kelas SD tempat saya mengajar dan belajar. Yang dipilih adalah sang presiden kelas untuk seminggu ke depan. Tak ada kampanye dari para kandidat. Tak ada partai politik. Jadi, tak mungkin ada politik uang! Yang ada hanyalah pertanyaan reflektif kepada semua murid, bahkan kepada dia yang sudah dipilih. Maka, sang presiden kelas tak saja dipilih oleh guru dan teman-temannya, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Saya menyebut desain pembelajaran demokrasi di kelas ini dengan ”kelas demokrasi reflektif”.Caranya? Di akhir pelajaran, setelah merangkum dan mengevaluasi pelajaran hari itu, dilanjutkan mengevaluasi bersama dinamika kelas hari itu dan pekan itu. Para murid duduk melingkar dan diminta menyimpulkan apakah kelas mereka layak mendapatkan dua jempol ke atas untuk kondisi sangat baik, satu jempol ke atas untuk baik, atau malah jempol ke bawah alias jelek.Jika bagus, mereka dipersilakan menyebutkan hal apa saja yang membuat kelas mereka begitu. Begitu pun sebaliknya. Di sini, yang utama, murid diberanikan untuk mengakui kontribusi masing-masing yang menyebabkan kondisi kelas jadi demikan, lalu meminta maaf kepada para guru dan teman-temannya.Lalu tibalah saat pemilihan sang presiden kelas. Tentu saja para guru kelas yang mendampingi para murid setiap hari selama sepekan tahu persis siapa saja yang layak menyandang jabatan itu. Maka, para gurulah yang menentukan kandidat sang presiden berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria tersebut, antara lain, keunggulan penguasaan materi sepekan oleh si murid, atau ketertiban dalam mengikuti aturan kelas, kejujuran, kemurahan hati, dan aneka keutamaan kemanusiaan lainnya.Namun, para kandidat harus mendapat pengakuan penuh kesadaran dari semua kelas ataupun si kandidat sendiri. Karena itu, guru koordinator kelas berdiri di tengah lingkaran murid lalu memegang sebuah piala, tanda pengenal ”presiden kelas”, dan menunjukkan sebuah piagam berisi kriteria pemilihan kali itu kepada semua anggota kelas.Para murid diminta memejamkan mata. Para guru lalu menyebut sekitar tiga atau empat nama murid sebagai kandidat. Para kandidat dipandu ke tengah lingkaran, dengan mata tetap terpejam. Lalu guru koordinator kelas sekali lagi mengumumkan kriteria presiden kelas pekan depan. Misalnya, murah hati kepada teman-temannya.Guru pun bertanya, dari keempat kandidat yang telah disebutkan, siapa yang paling murah hati. Setelah murid meneriakkan nama teman mereka yang diunggulkan, guru memberi kesempatan kepada beberapa orang untuk menjelaskan alasan memilih si A, B, C, atau D. Dari jawaban itu, guru mengklarifikasi ke calon yang disebut. Terbuka pula sanggahan atau protes dari teman-teman lain atas kesaksian-kesaksian tersebut.Maka, berdasarkan kesaksian terbanyak akan kemurahan hatinya dan pengakuan si kandidat sendiri, guru pun mengumumkan siapa yang berhak menjadi sang presiden kelas. Tugas presiden kelas terpilih adalah memilih anggota ”kabinet”-nya yang harus segera diumumkan Senin pagi pekan berikutnya.Kegalauan Seorang GuruInilah upaya sekolah memberikan pendidikan berdemokrasi kepada tunas-tunas muda yang bernaung di dalam lembaganya. Maka, betapa galau hati kami para pendidik tunas-tunas tersebut tatkala mencermati fenomena hidup berdemokrasi negeri ini yang penuh narasi destruktif.Bukan hanya narasi korupsi yang dipertontonkan politisi dan penguasa di pentas politik negeri ini. Daya reflektif yang bermuara pada pengakuan akan peran dan tanggung jawab atas sebuah kelalaian, kecurangan, bahkan kejahatan politik seakan lenyap dari peradaban demokrasi kita. Saling lempar tanggung jawab semakin menjadi adegan yang lazim. Demokrasi pun melangkah tanpa daya reflektif dan koreksi diri. Apalagi, kebesaran hati untuk mengaku salah dan lapang hati mengundurkan diri.Alangkah baiknya jika para politisi kita mau ”bergabung” kembali ke ruang kelas demokrasi reflektif kami. Tentu saja bukan bermaksud mengajak politisi bersekolah lagi bersama murid-murid kami. Bagaimanapun, desain kelas demokrasi tersebut sangat sederhana dibandingkan dinamika demokrasi dalam konteks bernegara begitu kompleks. Namun, yang sangat berharga dan harus segera ”dibeli” pemuka demokrasi negeri ini adalah semangat, karakter, visi dan misi, refleksivitas, serta sportivitas.Di atas semuanya, kepentingan terbesar bagi seorang pendidik untuk mengangkat kisah ruang kelas dan kegalauan hati kami ini adalah agar kondisi negatif hidup berdemokrasi negeri ini segera berakhir. Tak lain agar masa depan tunas-tunas muda bangsa yang belajar berdemokrasi reflektif ini tetap hidup dan kian bertumbuh hingga berbuah. Bertumbuh karena berada dalam ruang politik reflektif dan berbuah menjadi para politisi reflektif dan sportif pada saatnya kelak. ●