Blog
-
Dicari Capres yang Bukan “Bukan”
Dicari Capres yang Bukan “Bukan”Jannus T.H.Siahaan, MANTAN WARTAWAN, KINI KONSULTAN KOMUNIKASI,KANDIDAT DOKTOR SOSIOLOGI DI FISIP UNIVERSITAS PADJAJARANSumber : SINAR HARAPAN, 19 Januari 2012Hingga 2011 berakhir dan 2012 tiba, belum ada arus besar yang bisa dibuat sebagai pendulum politik, ke mana arus akan bermuara. Bahkan, partai sebesar Partai Demokrat (PD) tak berani memetakan kekuatan sendiri.Situasi ini amat berbeda dengan Pemilu 1998 di mana masing-masing OPP (Organisasi Peserta Pemilu), berani mengusung calon dan menjualnya secara bebas ke tengah-tengah masyarakat.Saat itu, seiring berkecambahnya partai politik baru, muncul pula tokoh-tokoh sebagai ikonnya. Sebutlah Megawati Soekarnoputri sebagai ikon “wong cilik” melalui PDI-Perjuangan, KH Abdurrahman Wahid dengan PKB, HM Amien Rais dengan PAN, BJ Habibie melalui Partai Golkar, atau Partai Keadilan yang lalu bermetamorfosis menjadi PKS terang-terangan mengajukan nama Nurmahmudi Ismail.Bahkan partai gurem semacam PARI (Partai Rakyat Indonesia) tidak canggung menawarkan tokoh internalnya, Agus Miftach, aktivis flamboyan. Tapi, beberapa ikon kecil berguguran jauh sebelum menjadi peserta pemilu karena tak lolos verifikasi faktual di KPU.Euforia politik di awal era reformasi semakin riuh karena melibatkan emosi rakyat pemilih yang gempita dengan suasana baru. Namun, setelah satu dekade berlalu, keriuhan berubah menjadi kejenuhan. Rakyat, pada titik tertentu, mulai antipati terhadap partai politik karena perilaku para politikus yang cenderung tidak jujur dan korup.Bahkan, sejakmenjelang berakhirnya era Megawati hingga senja kala kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini, beberapa menteri, puluhan anggota DPR, gubernur, DPRD I, bupati, dan wali kota, serta anggota DPRD II, menjadi pesakitan di penjara.Karena situasi inilah maka berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) 2014 benar-benar belum bisa diprediksi ujungnya. Lihatlah betapa keras badai menghantam biduknya sehingga SBY sebagai ketua Majelis Tinggi terkesan tak berani mencari tokoh yang sepadan dengan dirinya untuk diusung PD.Ia dengan keras pula menepis kemungkinan memunculkan istrinya, “The First Lady” Ani Yudhoyono. “Dalam kapasitas saya sebagai ketua Majelis TinggiPartai, setelah berkomunikasi dengan ketua umum partai, saya ingin sampaikan bahwa saat ini PD belum tentukan Capres 2014,” ujar SBY saat memberikan pidato di acara “Sarasehan Partai Demokrat” di PRJ Kemayoran, Jakarta Pusat, di penghujung akhir 2011.Begitulah “titah” SBY yang pasti menjadi pegangan kader-kader PD. Jangan harap ada yang berani berbeda apalagi menentangnya. Kalau istrinya saja tidak, apalagi yang lain. Kini tinggal rakyat yang menimbang.Bahkan, jenderal yang paling “jago” berhitung ini seolah tampak menyerah sehingga mulai menyebut-nyebut nama Tuhan, sesuatu yang sulit ditemukan dalam kamus SBY. “Untuk jadi presiden, sesungguhnya perlu dapat dukunganrakyat yang kuat dan berkah Allah SWT,” katanya.Meskibegitu, kalau masih mungkin memilih, SBY menginginkan yang muda. Karena tak muda lagi, jelas ia tak menginginkan istrinya. Bukan Ani Yudhoyono, lalu siapa? Anas Urbaningrum? Hampir mustahil. Ketua Umum DPP-PD ini kabarnya hanya kuat di inner circle-nya. Di kalangan senior, ia kabarnya sudah habis. Kekuatan di luar PD setali tiga uang.ARB Tak Diinginkan Partai Golkar telah menegaskan pencapresan Aburizal Bakrie. Tapi itu tak akan mudah. Selain masih adanya resistensi internal, di mata rakyat ARB—begitu Aburizal minta namanya disingkat, bukanlah tokoh yang diinginkan.Dari sisi internal, Jusuf Kalla (JK), mantan Ketua Umum Partai Golkar dan mantan wapres, jelas tidak mungkin diabaikan. Kekuatannya melimpah, popularitasnya jelas di atas ARB. JK amat pintar menabung kekuatan politiknya. Partai Nasdem pun tak akan berat hati menawarkan jasanya. Nasdem plus sisa-sisa “laskar pajangnya” di Beringin akan sangat berarti bagi JK.Jadi, yang diinginkan bukan ARB. Namun, jika ukurannya usia, JK juga bukan yang diinginkan, tapi ia cerdik. Belakangan muncul wacana kongsi dua kekuatan: Beringin dan Banteng. Melalui rakernasnya di Bandung, Banteng tetap istiqamah untuk tak melepas ikonnya, Megawati.Bahkan suaminya, M Taufiq Kiemas, tak suka Megawati “mentas” lagi. Di kandang banteng, pengaruh Kiemas tak bisa diabaikan. Yang jelas, dari beberapa kekuatan internalnya saja, yang diinginkan bukan Megawati. Lalu siapa? Bagaimana dengan Puan Maharani? Dia jelas anak ideologis ”Banteng” sekaligus anak kandung Megawati.Tapi aura politik Puan belum sejajar dengan tokoh-tokoh lain. Kiprahnya belum kelihatan, kecuali di dalam partainya sendiri. Di DPR, nama Puan berada di bawah bayang-bayang rekan separtai, Ganjar Pranowo atau Maruarar Sirait, misalnya. Apalagi dengan Pramono Anung yang kepak sayapnya sudah merentang jauh. Jadi, Puan juga bukan calon yang diinginkan.Partai Menengah Bingung Beginilah gambaran sesungguhnya internal di tiga partai terbesar, PD, Partai Golkar, dan PDI Perjuangan, dua tahun menjelang Pilpres 2014. Di luar ketiganya, masih ada kelompok menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.Dalam kancah perpolitikannasional dan peta pertarungan memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2, mereka tidak berada dalam posisi determinan. Kehadiran mereka hanya untuk memperkuat fungsi dan posisi yang sudah dimiliki ketiga partai besar di atas. Kenapa? Karena partai kelas menengah ini tidak memiliki figur yang benar-benar melebihi kapasitas partai.Tidak ada tokoh semacam Gus Dur di PKB atau Amien Rais di PAN. Muhaimin Iskandar jelas tak sekelas dengan Gus Dur. Meski begitu, Ketua Umum DPP-PKB itu berdiri berseberangan jalan dengan pamannya itu, hingga Gus Dur dijemput maut. Begitu pula M Hatta Radjasa. Saat partai matahari itudilahirkan, dia bukan siapa-siapa.Hatta ada di bawah bayang-bayang tokoh lain, semisal Faisal Basri, sekjen pertama PAN. Apalagi dengan Goenawan Mohamad, AM Fatwa, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, Alvin Lie Ling Piao, dan lainnya. PAN menyodorkan nama Hatta. Seriuskah ? Bahkan, sebagai mahagurunya, Amien Rais tampak kurang “pede”.Urusan akan kian berat, karena lumbung PAN, PP Muhammadiyah, menampik terlibat dalam urusan politik praktis. Bos Muhammadiyah, Din Syamsuddin, belum-belum sudah berteriak. Yang sejatinya berani mengusung nama Hatta Radjasa adalah para demonstran.Mereka membawa gambar Hatta terkaitan kasus hibah 60 gerbong KA eks Jepang saat masih menjadi Menteri Perhubungan. Jadi, bukan Hatta yang diinginkan. Lalu siapa? Selain PAN, masih ada PKS. Tapi partai yang dikenal mempunyai sistem pangkaderan paling militan ini tengah dirundung masalah. Konflik internalnya sampai mencuat ke ranah publik.Sekjen PKS HM Anis Matta dipaksa diam oleh tarik-menariknya kekuasaan. Sikap Anis yang mengendur adalah buah dari perombakan kabinet pertama KIB II. Sayang sekali PKSterlambat, kalau cerdik, tentu jatah kursi mereka di KIB IItak akan berkurang.Kini, jangankan ikut meneriakkan kandidat presiden, mengurus diri sendiri bukan perkara mudah bagi partai yang lahir sebagai berkah reformasi itu. Praktis, PKS tidak memiliki tokoh sekuat HidayatNurwahid, sang mantan presiden. Tifatul Sembiring? Dia kalah kelas, sementara Didin Hafidhudin sudah lama mengundurkan diri.Nur Mahmudi kelasnya turun menjadi Wali Kota Depok, Jawa Barat. Praktis PKS hanya mempunyai Hidayat. Nama-nama lain dari partai lain tinggal PPP dengan Suryadharma Ali-nya, Partai Gerindra yang masih setia dengan Prabowo Subianto-nya, dan Partai Hanura yang nyata-nyata sudah kehilangan gairah.Bahkan, nama Wiranto, pendiri Hanura, sudah mulai lamat-lamat terdengar, berdiam di alam bawah sadar dunia politik. Khusus Hanura, performanya amat bergantung kepada kadernya di DPR, Akbar Faisal. Belakangan, Faisal yang merasa kesepian agak tenang setelah mentasnya Syarifuddin Sudding. Tapi Faisal pasti akan bersiap mencari kendaraan baru.Praktis, tidak ada kandidat yang benar-benar menarik. Ternyata capres yang dicari bukan Ani, Anas, ARB, JK, Megawati, Puan, apalagi Hatta dan Prabowo, terlebih Wiranto. Mereka masuk kelompok “Bukan”. Yang dicari adalah calon yang bukan “Bukan”. Siapa mereka? Mungkinkah Sri Mulyani Indrawati, Moh Mahfud MD, Khofifah Indar Parawansa, Jimly Asshiddiqie? Entahlah! ● -
Desakralisasi Gedung DPR
Desakralisasi Gedung DPRWasisto Raharjo Jati, ANALIS POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK FISIPOL UGMSumber : SINAR HARAPAN, 18 Januari 2012Perbincangan mengenai ketidakpekaaan nurani sosial DPR tidak pernah habisnya.Setelah pada Mei 2011 Badan Urusan Rumah Tangga DPR telah menganggarkan Rp 1,8 triliun untuk pembangunan konstruksi gedung dewan yang baru, dengan alasan konstruksi gedung yang lama mengalami kemiringan tujuh derajat, dan mengakomodasi penambahan jumlah staf ahli anggota DPR dari tiga staf menjadi lima staf.Kini, awal 2012 ini publik kembali tersentak dengan anggaran Rp 20 miliar untuk perbaikan sarana dan prasarana fasilitas sanitasi toilet lengkap dengan perluasan lahan parkirnya, serta tampilan mewah ruang rapat Badan Anggaran DPR lengkap dengan multimedia serbacanggih.Adanya fasilitas yang serbamewah dan serbamodern tersebut akan menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih lebar antara wakil rakyat dan rakyatnya sendiri.Gedung DPR bukan lagi disebut sebagai rumah rakyat, tetapi lebih tepat sebagai rumah sakral. Adanya pagar yang cukup tinggi mengelilingi kompleks gedung DPR adalah satu indikasi kesakralan tersebut bahwa rakyat Indonesia tidak bisa sembarangan masuk dan beraktivitas di sana.Indikasi sakral lainnya penjagaan esktra ketat yang diberlakukan untuk menghalau para demonstran yang notabene adalah rakyat. Kesan itulah yang kemudian membentuk opini bahwa gedung DPR menjaga jarak dengan masyarakat luas sebagai konstituennya. DPR menjadi semakin angkuh dengan gemerlapnya fasilitas tersebut.Perilaku bermewah diri dan menjaga jarak yang dilakukan anggota DPR tentu amatlah kontras bilamana mengamati dan mengomparasikan dengan perilaku anggota DPR Australia di mana menjaga jarak dan bermewah diri adalah hal yang tabu mereka lakukan.Dalam hal ini, penulis ingin berbagi pengalaman mengenai suasana berparlemen anggota DPR Australia yang diharapkan bisa menjadi perenungan untuk menyikapi perilaku anggota DPR di negeri kita.Refleksi DiriSecara sekilas, Gedung DPR Australia atau lebih dikenal Parliament House of Australia tidaklah berbeda dan mencolok dibandingkan dengan gedung perkantoran dan hotel lainnya yang berada di kawasan Capital Hill, ACT (Australian Capital Territory) Canberra.Gedung ini luasnya hanya kurang dari 24 hektare, setengahnya dari luas kompleks gedung DPR Indonesia yang luasnya 48 hektare. Apabila gedung DPR di Indonesia belomba-lomba untuk menampilkan kemewahan dan modernitas, gedung DPR Australia justru menampilkan kesederhanaan dan kesejarahan.Dalam bangunan gedung DPR Australia terpatri sejarah perjalanan bangsa tersebut sejak masa Aborigin hingga era persemakmuran Inggris sekarang ini. Hal ini dimaksudkan agar anggota DPR tidak lupa mengenai rakyatnya yang diwakilinya.Seperti ingin memahami sebagai rumah rakyat, gedung DPR Australia tidak dirintangi pagar tinggi yang mengelilingi kompleks maupun penjagaan ekstra ketat sebagaimana yang terjadi di DPR Indonesia. Para anggota DPR Australia ini mempersilakan rakyatnya mengunjungi gedung parlemen setiap hari dan waktu.Bahkan gedung parlemen menjadi tempat wisata menarik dengan disediakan free guided tours oleh parlemen yang dimulai pada pukul 09.00 pagi dan berlangsung setiap 30 menit secara berkelanjutan hingga batas akhir waktu pada pukul 04.00 sore hari (Faiz, 2011).DPR Australia mewajibkan para anggota DPR-nya seintens mungkin bertemu dan bertatap muka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada konstituen mereka guna menjaga pandangan buruk dari orang-orang yang mereka wakilkan.Oleh karena itulah, jarang didapati anggota DPR Australia bermewah-mewahan seperti menggunakan mobil mahal maupun pakaian gemerlap. Mereka justru menghindari hal tersebut untuk menghindari stigma negatif dari masyarakat, terlebih lagi pada masa krisis sekarang ini.Untuk menuju gedung parlemen cukup menggunakan transportasi umum membaur dengan rakyatnya. Menjaga hubungan mereka dengan masyarakat dapat menjadi pembelajaran atas kebijakan pemerintah yang sudah digulirkan. Pada poin inilah letak mendasar perbedaan sikap berperilaku anggota DPR kita dengan anggota DPR Australia.Anggota DPR kita hanya bertemu dengan masyarakatnya hanya pada masa reses sidang kabinet. Itu pun sering kali hanya terbatas dan waktu singkat, karena terpotong dengan kunjungan kerja/studi banding ke luar negeri maupun agenda rapat mendesak partai politiknya.Yang menarik dan patut dicontoh ialah ruang sidang DPR Australia yang agak menjorok ke bawah tanah sehingga terkesan mereka bersidang di bawah telapak para pejalan kaki yang lalu lalang berjalan di kompleks parlemen tersebut.Makna filosofinya ialah anggota DPR adalah pelayan dan abdi rakyat sehingga dengan adanya pejalan kaki yang melintas di atas kepala mereka dimaksudkan bahwa kepentingan masyarakat di atas segala-galanya dibandingkan dengan dirinya maupun partainya.Adanya fasilitas mewah dalam gedung DPR sebagaimana yang terdapat dalam kasus Indonesia justru akan membebani pola pikir dan kinerja para anggota DPR Australia ini.Fasilitas mewah diartikan sebagai setumpuk beban moral dan etika dari masyarakat kepada anggota DPR Australia ini. Bandingkan dengan fasilitas mewah DPR Indonesia yang lebih diartikan sebagai beban pemenuhan citra dan egoisme pemimpin kepada rakyatnya.Pelajaran dari kasus gedung DPR Australia setidaknya dapat dijadikan refleksi diri untuk mendeskralisasi dan menghilangkan stigma angkuh yang sering kali dipertontonkan anggota DPR kita kepada rakyatnya. Sudah saatnya anggota DPR kita bersikap sederhana dan membumi seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya.Oleh karena itulah diperlukan sikap terobosan yang dilakukan pemimpin DPR untuk bersikap sederhana supaya dijadikan contoh bagi para anggotanya sehingga citra DPR yang tidak peka dan tidak berempati sosial akan tereduksi secara bertahap. ● -
Penyalahgunan Outsourcing
Penyalahgunan OutsourcingM. Hadi Shubhan, DOSEN HUKUM PERBURUHAN DAN SEKRETARIS UNIVERSITAS AIRLANGGASumber : JAWA POS, 19 Januari 2012PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian norma keberadaan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan sebenarnya justru telah melegitimasi keabsahan outsourcingtersebut. MK hanya menyatakan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) terhadap pasal 65 (7) dan pasal 66 (2) huruf b UU Ketenagakerjaan (Jawa Pos, 18 Januari 2012). Putusan MK sama sekali tidak membatalkan ketentuan-ketentuan outsourcing, melainkan hanya memastikan bahwa dalam outsourcing, hak-hak pekerja harus dipenuhi layaknya pekerja utama perusahaan.Salah satu masalah yang menjadi tarik ulur yang tiada henti sepanjang waktu hingga kini antara pekerja/buruh dan pengusaha mengenai penggunaan pekerja melaui outsourcing. Outsourcing telah dianggap mengebiri dan bahkan mengeksploitasi pekerja. Tapi, benarkah outsourcing yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan itu melanggar hukum perburuhan? Ataukah, masalahnya pada implementasi outsourcing yang tidak sesuai dengan perundang-undangan?
Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan (UUK) dipahami sebagai pengalihan pekerjaan oleh perusahaan pengguna kepada perusahaan penyedia jasa pekerja atau pemborongan. Dalam UUK ditentukan bahwa pekerjaan yang boleh dialihkan kepada perusahaan outsourcing/perusahaan penyedia jasa pekerja (PPJP) adalah pekerjaan penunjang saja. Pekerjaan utama dari perusahaan itu dilarang di-outsourcing-kan.
Ratio legis dari dibolehkannya outsourcing tersebut adalah untuk tercapainya efektivitas perusahaan dalam mencapai tujuan kegiatan utama perusahaan tersebut. Untuk mencapai efektivitas tersebut, pekerjaan yang sifatnya penunjang dapat dialihkan kepada PPJP. Perusahaan pun bisa berkonsentrasi kepada kegiatan utama perusahaan. Dengan berkonsentrasi kepada kegiatan utama, perusahaan bisa memaksimalkan produktivitas.
Ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk outsourcing bahwa perusahaan outsourcingharus dalam bentuk badan hukum dan memiliki izin operasio sebagai perusahaan outsourcing. Keharusan perusahaan outsourcing berbadan hukum itu adalah untuk menghindari orang-perorangan melakukan usaha outsourcing. Sebab, jika orang-perorangan melakukan usaha outsourcing dapat disamakan dengan usaha perbudakan, orang dapat menjual orang. Sedangkan keharusan memiliki izin operasi adalah untuk memudahkan pengawasan pemerintah atas praktik outsourcing.
Konstruksi hukum outsourcing dalam UUK tersebut sebenarnya sudah tepat. Bahkan, jika ketentuan-ketentuan yang dalam UUK itu ditaati, outsourcingtidak merugikan pekerja. Namun demikian, yang terjadi di lapangan adalah banyaknya penyimpangan dan penyalahgunaan outsourcing oleh perusahaan. Bentuk-bentuk penyalahgunaan outsourcing tersebut, antara lain, meng-outsourcing-kan pekerjaan utama kepada perusahaan outsourcing, perusahaan outsourcingtidak berbadan hukum, tidak didaftarkannya perjanjian outsourcing di dinas tenaga kerja, dan penyunatan upah pekerja oleh perusahaan outsourcing.
Penyimpangan pertama, banyaknya pekerjaan utama yang di-outsourcing-kan. Padahal, UUK sudah secara tegas melarang meng-outsourcing-kan pekerjaan utama. Betapa bisa kita lihat penyalahgunaan model itu, misalnya, perusahaan bank yang meng-outsourcing-kan pekerja teller dan collectorkredit serta perusahaan manufaktur yang juga meng-outsourcing-kan pekerja-pekerja inti dari kegiatan manufaktur tersebut. Belum lama ini terjadi peristiwa yang mengenaskan. Yakni, nasabah kartu kredit sebuah bank ternama di Jakarta dianiaya di kantor bank oleh debt collector bank tersebut. Dan diduga, debt collector tersebut adalah pekerja sewaan (outsourcing). Kejadian pembakaran perusahaan di Drydock Batam adalah contoh yang lain akibat dari penyimpangan ketentuan outsourcing.
Ada model penyimpangan lain. Pekerjaan utama di-outsourcing-kan dengan model secara halus (cerdas, tapi nakal), yaitu dengan menafsirkan semaunya sendiri tentang cakupan pekerjaan utama perusahaan. Perusahaan membuat daftar jenis-jenis kegiatan/pekerjaan yang ada dalam perusahaan, kemudian mengelompokkan sesuai dengan kepentingannya mana pekerjaan utama dan mana perkerjaan penunjang. Dalam daftar tersebut, banyak yang jenis kegiatan utama, tapi dimasukkan ke kelompok pekerjaan penunjang. Dan, anehnya, daftar yang dibuat perusahaan tersebut mendapat ”restu” dari dinas tenaga kerja setempat.
Memang, ada kelemahan dalam UUK yang tidak menegaskan batasan suatu kegiatan itu dikategorikan sebagai utama atau dan penunjang. UUK hanya menyatakan bahwa yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Sementara peraturan organik tentang teknis outsourcing juga tidak menjabarkan lebih lanjut. Dari sini patut diapresiasi rencana Jatim membuat peraturan daerah (perda) yang mengatur hal-hal lebih lanjut ketentuan outsourcing, terutama hal yang masih kabur tersebut.
Penyimpangan kedua, banyak perusahaan outsourcing yang tidak memenuhi syarat. Misalnya, tidak berbadan hukum maupun tidak memiliki izin operasi. Modus penyimpangan itu adalah badan usaha yang tidak berbadan hukum, misalnya CV dan firma, ikut menjalankan usaha outsourcing. Banyak pula perusahaan outsourcing, meskipun sudah berbadan hukum, tidak memiliki izin operasi menjalankan usaha outsourcing. Ketiadaan izin operasi itu menyulitkan pengawasan oleh dinas tenaga kerja setempat. Sering terjadi perusahaan outsourcingabal-abal tersebut menghilang tanpa jejak ketika terjadi pelanggaran hak-hak normatif atas pekerja. Pekerja sulit menuntut hak-haknya setelah menjalankan semua kewajibannya.
Penyimpangan ketiga, terjadinya penyunatan upah pekerja oleh perusahaan outsourcing. Banyak terjadi upah para pekerja dipotong oleh perusahaan outsourcing.Padahal, perusahaan outsourcing telah memperoleh management feedari perusahaan pengguna. Yang lebih tragis lagi, jumlah upah setelah dipotong tersebut kurang dari ketentuan jumlah upah minimum. Itu jelas pelanggaran hukum perburuhan dan bahkan pelakunya bisa dipidana karena melakukan kejahatan pengupahan.
Banyaknya penyalahgunaan outsourcing tersebut menambah panjang penderitan buruh/ pekerja di sektor formal. Namun demikian, minat buruh untuk bekerja melalui outsourcing tetap akan membeludak, mengingat minimnya kesempatan kerja jika dibandingkan dengan jumlah pekerja. Karena itu, jalan terbaik untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengoptimalkan pengawasan dari pemerintah, dalam hal ini dilakukan dinas tenaga kerja setempat.
Fungsi pengawasan pemerintah adalah untuk memastikan implementasi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur outsourcing sesuai dengan perundang-undangan bidang hukum perburuhan. Sebab, yang menjadi akar masalah (root causes) adalah bukan norma yang mengatur outsourcing, melainkan masalah implementasinya. Ketentuan outsourcing dalam UUK sudah on the right track, hanya pengimplementasiannya yang disalahgunakan dan disimpangi oleh pengusaha. ●
-
Mobnas dan Kompetisi Global
Mobnas dan Kompetisi GlobalMudi Kasmudi, PRAKTISI INDUSTRI, ENERGI, DAN PERTAMBANGANSumber : SINDO, 19 Januari 2012Di awal 2012 ini, berita media cetak dan elektronik didominasi seputar pemberitaan keluarnya mobil Kiat Esemka. Komentar masyarakat, tokoh-tokoh nasional, tulisan, dan artikel memuat antusiasme akan lahirnya mobil nasional (mobnas).
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa ini merindukan dan bangga akan lahirnya produk teknologi hasil karya anak bangsa yang selama ini didominasi produk-produk impor. Mobil Esemka, GEA-Inka, Tawon,dan Kancil,dengan adanya perdagangan bebas seperti AFTA dan WTO, sudah tidak bisa diproteksi seperti dulu lagi. Kesemuanya harus bisa berkompetisi di pasar domestik dengan produk automotif global,baik yang kecil maupun yang raksasa.Selain itu,sebelum dijual ke pasar,mobnas harus melakukan uji keselamatan agar tidak membahayakan konsumen dan menghindari klaim dalam jumlah besar. Faktor keselamatan adalah yang paling utama. Sebagai contoh, antara 1999 hingga 2001, Ford dan Firestone mengalami kerugian besar yang timbul akibat Ford-Explorer mengalami ratusan kecelakaan yang menyebabkan kematian. Antara 2009 hingga 2010, raksasa automotif dunia Toyota merecall jutaan mobilnya karena masalah rem dan pedal gas yang menye-babkan kecelakaan.
Toyota menghadapi tuntutan pengadilan California dan Kongres AS yang mengakibatkan terpuruknya saham Toyota di bursa saham Nikkei Jepang. Untuk dapat berkompetisi dengan industri automotif global,mobnas harus dibangun dengan modal yang kuat untuk mencapai skala ekonominya.
Tentunya harus didukung dengan infrastruktur yang baik seperti manajemen industri komponen, leasing dan bank, jaringan distribusi, purnajual, dan suku cadang. Kompetisi yang ketat di pasar automotif membawa beberapa industri automotif dunia diterpa krisis keuangan. Contohnya Mazda, pada 1990 dan 1998, sebagian sahamnya diambil alih Ford. KIA pada 1998 diambil alih Hyundai dan Volvo pada 1999 diambil alih Ford.
Contoh lain adalah apa yang dialami Proton, industri automotif dari negara tetangga kita,Malaysia. Diberlakukannya perdagangan bebas menjadikannya harus bersaing dengan produk Jepang dan Korea.Proton sempat hampir diambil alih VW-Jerman yang pada akhirnya diselamatkan Pemerintah Malaysia.
Di Tengah Kompetisi Global
Industri automotif dunia saling bersaing satu sama lain untuk memperebutkan pasar sekalipun sesama produsen satu negara. Agar tetap bersaing, industri automotif membuat berbagai strategi agar tetap eksis dan terhindar dari kebangkrutan. Agar tetap kompetitif di pasar,GM dan Ford menginvestasikan 5% lebih dari penjualan tahunan untuk R&D dan pengembangan produknya.
Chrysler, GM, dan Ford pada 1990-an, ketika produk automotif Jepang membanjiri pasar AS dan Eropa, melakukan restrukturisasi industri komponen dari ribuan menjadi hanya ratusan. Adapun industri automotif China melakukan perampingan jumlah industri automotifnya dari 20 grup besar menjadi beberapa grup seperti FAW, Dongfeng, SAIC, TAIC,Yuejin Auto-Group, dan Heavy Vehicle Group.
Kompetisi yang ketat membuat industri automotif dunia melakukan langkah aliansi strategis dan merger. Sebagai contoh,pada akhir 1990,Daimler merger dengan Chrysler yang dikenal dengan megamerger dengan total aset USD160 miliar. Yang lainnya melakukan aliansi strategis seperti Renault dengan Nissan dan Samsung, Mitsubishi dengan Hyundai,Toyota dengan Daihatsu, GM dengan Isuzu, Suzuki,Subaru,dan Opel.
Tahapan Mobnas dan Industri Automotif
Proses dan tahapan mobnas tidak bisa dibandingkan dengan industri mobil Jepang, Eropa, dan AS.Mereka adalah generasi pertama industri automotif dunia.Tahapan yang bisa dibandingkan adalah dengan industri automotif Malaysia, Korea, Taiwan, China, dan India. Mereka menggunakan strategi partnership, joint venture (JV),dan akuisisi untuk transfer teknologi dan manajemen industri komponennya.
Beberapa contoh adalah sebagai berikut.Pertama,Malaysia. Industri automotifnya yang dikenal adalah Proton dan Perodua.Proton yang didirikan pada 1983 pada masa Mahathir Mohamad adalah JV antara BUMN dengan Mitsubishi. Pada 1996, Proton mengakuisisi Lotus Group International dan pada 2005 mengakuisisi MV Agusta Italia.Adapun pesaingnya, Perodua, berpartner dengan Daihatsu.
Kedua,Korea Selatan.Industri automotifnya yang terbesar adalah Hyundai dan KIA. Hyundai berdiri pada 1967 dengan memeganglisensi auto-assembly dari Ford.Ketika Hyundai ingin mengembangkan mobil sendiri, Hyundai mempekerjakan eksekutif, ahli mesin dan desain dari Austin Morris Inggris.Pada 2000 mereka membuat aliansi strategis dengan Daimler Chrysler untuk mengembangkan truk.
Adapun KIA berpartner juga dengan Ford, tetapi pada saat krisis Asia,KIA diakuisisi Hyundai. Kini Hyundai-KIA adalah produsen automotif nomor 4 terbesar dunia. Ketiga,Taiwan.Pada 1958 berdiri YueLoongCodengan lisensi dari Nissan. Dan antara tahun 1967 hingga 1969,menyusul JV Lio-Ho dengan Toyota,sedangkan San-Fu, Sam-Yang, dan China Motors bekerja sama dengan industri automotif Jepang lainnya.(Sun et.al,2001).
Keempat, China. Pemerintah China dikenal paling agresif melakukan JV dengan industri automotif global.Antara tahun 1981 hingga 1998, lebih dari 600 JV dilakukan di industri automotif dan komponen (Sutherland, 2003).Sebagai contoh,GM dengan SAIC,Ford dengan Changan Auto-Group, Citroen dengan Dongfeng, begitu pula industri komponen lainnya.
Di samping melakukan aliansi strategis dan JV,industri automotif baru Asia melakukan akuisisi perusahaan yang sudah maju. Contohnya, pada 2008, Tata Motors-India mengakuisisi Jaguar dan Land Rover dari Ford dan Geely Automobile- China mengakuisi Volvo dari Ford pada 2010. Apabila Indonesia ingin membangun industri mobnas, sudah selayaknya belajar dari pengalaman beberapa negara di atas.
Langkah terbaik adalah dengan melakukan strategi partnership, JV, dan akuisisi agar cepat mendapatkan transfer teknologi,manajemen,dan mampu berkompetisi di pasar domestik terlebih dahulu sebelum berkompetisi di pasar global.
● -
Tanah (Air) untuk Rakyat
Tanah (Air) untuk RakyatSyamsuddin Haris, PROFESOR RISET LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)Sumber : KOMPAS, 19 Januari 2012Mungkinkah sebuah negara-bangsa besar seperti negeri kita ini bisa bertahan di tengah persaingan global yang cenderung saling menisbikan dewasa ini jika terus-menerus menafikan hak-hak sosial dan ekonomi rakyatnya? Adakah arti politik, demokrasi, dan pemerintahan jika rakyat tidak merasa turut serta di dalamnya?Persoalan-persoalan besar dan krusial di balik pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya harus dipahami sebagai akar masalah di balik meningkatnya gelombang demonstrasi, unjuk rasa, dan bahkan perlawanan berbagai elemen masyarakat terhadap negara akhir-akhir ini. Sangat jelas bahwa yang diperlukan rakyat bukan sekadar hak-hak politik dan kebebasan sipil, melainkan jauh lebih luas dan mendasar. Rakyat butuh hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara, termasuk di dalamnya hak hidup layak, hak atas pekerjaan, hak atas jaminan sosial, hak memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda, dan seterusnya.Meski semua hak itu sudah termuat lengkap dalam konstitusi kita, negara seolah-olah tak berdaya melindunginya. Dalam banyak konflik agraria, sejak kasus Jenggawah, Jember (1978), hingga Mesuji, Lampung-Sumatera Selatan, dan Bima, NTB (2011), akar persoalan pada dasarnya belum bergeser, yakni kegagalan negara melindungi dan menyantuni rakyat. Dalam era otoriter rezim Orde Baru, konflik Jenggawah bisa dianggap ”wajar” karena penyelenggara negara yang dipimpin Soeharto bukan hanya tidak memiliki legitimasi dan mandat rakyat, melainkan juga berkuasa atas nama otoritarianisme itu sendiri.Ironisnya, ketika demokrasi sudah direbut serta para pemimpin dan penyelenggara negara di pusat dan daerah telah dipilih secara langsung, negara sering kali tidak hadir membela dan melindungi hak-hak sosial dan ekonomi rakyat. Tidak jarang negara—baik dalam wujud pemerintah, parlemen, maupun aparat negara lainnya—justru melarikan diri dari tanggung jawab mereka. Mulai dari Jenggawah hingga Mesuji dan Bima, nasib dan status rakyat negeri ini tidak berubah. Sebagai pemilik sah atas Tanah Air, mereka dicurigai, diintimidasi, dan dikejar-kejar aparat negara yang bersekongkol dengan agen-agen jaringan kapitalisme global.Kaum PenjahatGelombang unjuk rasa dan demonstrasi menuntut pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang kerap muncul belakangan ini tak akan terjadi seandainya bangsa ini memiliki para pemimpin dan penyelenggara negara yang bertanggung jawab. Sehebat apa pun demokrasi yang kita bangun, tak akan ada artinya jika pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah hanya menghasilkan para penguasa kerdil yang hanya berpikir picik untuk terus memperbesar perut buncit mereka. Apalagi, sudah lazim diketahui, demokrasi tanpa kepemimpinan hampir pasti berbuahkan anarki di tingkat massa dan pemaksaan kehendak di tingkat elite.Pengalaman lebih dari satu dekade praktik demokrasi pasca-rezim otoriter Orde Baru memperlihatkan tidak adanya upaya serius partai-partai politik melembagakan demokrasi yang berkepemimpinan. Parpol yang menjadi agen utama demokrasi sekadar melahirkan politisi yang siap untuk berkuasa dan memperkaya diri, tetapi tanpa moralitas dan tanggung jawab kepemimpinan.Akibatnya, seperti pernah disebut oleh Olle Tornguist, demokrasi formal memang terbentuk, tetapi secara substansi yang terjadi sesungguhnya adalah ”demokrasi kaum penjahat” (dalam R William Liddle, ed, 2001). Pada dasarnya sebagian mereka yang terpilih dalam pemilu dan pilkada adalah para penjahat yang berbaju sebagai ”pemimpin” dan atau ”wakil rakyat”.Sinyalemen Tornguist, yang dikutip Lidlle, agak sulit dimungkiri jika kita melihat fenomena politik di Tanah Air selama lebih dari 10 tahun terakhir. Di depan kamera televisi, mereka yang menyebut diri dan menepuk dada sebagai pemimpin dan wakil rakyat sangat berapi-api membela kepentingan rakyat. Dalam sidang-sidang terbuka parlemen, pimpinan eksekutif ataupun para wakil rakyat tampak berbusa-busa membela wong cilik.Akan tetapi, di belakang layar, di kafe-kafe sosialita kota besar ataupun di lobi-lobi hotel berbintang, mereka mengkhianati konstitusi. Mereka bersekongkol dengan para pemodal, memperjualbelikan pasal suatu rancangan undang-undang, dan pada akhirnya menikam rakyat kita tepat di jantung kehidupannya.Pemimpin Asyik SendiriTentu saja benar bahwa negeri yang kaya sumber daya alam ini butuh para pemodal alias investor di berbagai bidang. Sebab, bagaimanapun, investasi tidak hanya merekam tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sumber pendapatan negara. Namun, investasi yang malah menyengsarakan dan mengorbankan nasib rakyat jelas melanggar konstitusi dan tidak bermoral.Karena itu, persoalannya bukan pada keberadaan investasi—asing dan domestik—sebagai sumber gairah ekonomi dan denyut nadi pembangunan. Masalahnya lebih terletak pada ketakmampuan para pengelola negeri ini mendesain format investasi yang tidak hany prorakyat, tetapi juga pro-kelangsungan bumi, air, ekosistem, dan segenap keragaman hayati yang dikandungnya. Investasi sebesar apa pun tidak ada artinya apabila tidak diabadikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat konstitusi kita.Akumulasi salah urus negara dan pemerintahan seperti ini semestinya tidak berlarut-larut jika para pemimpin politik dan wakil rakyat tak hanya pintar mengumbar pidato, janji, dan retorika politik yang sama. Sebaliknya, juga cerdas dalam mencari, merumuskan, dan mengeksekusi solusi yang diperlukan agar gelombang protes tidak bermuara pada anarki sosial yang bisa saling menghancurkan.Sudah waktunya para pemimpin politik dan wakil rakyat berhenti ”asyik sendiri” mencari kiat dan siasat baru agar tetap bisa berkuasa pada pemilu berikutnya. Meski hal itu sah-sah belaka, percayalah, demokrasi yang kita raih tak ada artinya apabila hanya memfasilitasi keleluasaan para agen kapitalisme global menguasai tanah rakyat dan akhirnya menyengsarakan mereka di Tanah Air-nya sendiri. ● -
Negara Penuh Stigma Buram
Negara Penuh Stigma BuramIndra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAANSumber : KOMPAS, 19 Januari 2012Begitu mudah stigma buram disematkan bagi negara ini: negara centeng, negara makelar, negara predator, negara mafia, dan negara kartel. Stigma itu akan terus bertambah seiring praktik salah urus negara.Stigma negara centeng lahir ketika negara justru memosisikan diri sebagai ”jago kepruk” atau ”tukang pukul” bayaran para pemodal kuat dalam sengketa dengan rakyat terkait eksploitasi bumi. Dalam konteks ini, negara juga hadir sebagai makelar dan predator bagi hak-hak rakyat.Stigma negara mafia muncul ketika para penyelenggara negara secara sadar melakukan praktik-praktik mafia untuk menguras kekayaan negara. Mereka hadir sebagai entitas yang tak tersentuh hukum karena hukum telah mereka taklukkan dengan uang dan kekuasaan. Istilah negara kartel lahir dari praktik- praktik politik oligarki dalam tata kelola kekuasaan. Negara dikuasai kelompok elite politik dan ekonomi, menyerupai penguasa kartel dalam dunia bisnis hitam.Atas penguatan pelbagai stigma itu, kita pun khawatir, jangan-jangan predikat Negara Kesatuan Republik Indonesia kelak akan hilang dari ingatan kolektif dan praksis sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Maka, wajar pula jika suatu ketika dalam peristirahatan abadi, pendiri negara-bangsa ini kaget dan menggugat: ”Kami hanya mendirikan NKRI. Kami tak pernah mendirikan negara centeng, negara makelar, negara predator, negara mafia, atau negara kartel!”Dapat dimaklumi jika para pendiri negara-bangsa Indonesia itu nelangsa dan marah. Maklum, istilah centeng, makelar, mafia, predator, dan kartel hanya dikenal di jagat kriminal yang penuh kekerasan/kebiadaban. Tentu saja ini sangat bertentangan dengan ideologi yang melandasi berdirinya negara-bangsa ini, tempat solidaritas kebangsaan/kerakyatan dimuliakan.Degradasi NegaraLorens Bagus dalam Kamus Filsafat (Gramedia, 1996) mengartikan negara sebagai entitas kolektif dengan batas-batas wilayah dan organisasi politik yang menjalankan kekuasaan secara berdaulat. Penguatan negara centeng, negara makelar, negara kartel, negara mafia, dan negara predator menunjukkan terjadinya degradasi makna, peran, dan fungsi negara, terutama terkait makna kekuasaan yang berdaulat, tempat rakyat berposisi sebagai pemilik sah kedaulatan. Rakyat bukan lagi produsen kedaulatan, melainkan hanya menjadi konsumen kekuasaan.Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang semestinya merepresentasikan kedaulatan rakyat telah mengalami pembengkokan orientasi. Tiga lembaga itu akhirnya jadi mesin kepentingan aktor-aktor kekuasaan yang sibuk memperjuangkan agenda domestiknya. Negara sebagai entitas kolektif (kedaulatan rakyat) tereduksi jadi entitas elitis (oligarki, kartel, mafia). Entitas elitis inilah yang menguasai negara-bangsa dengan seluruh asetnya. Mereka mengeksploitasi negara secara sistemis sesuai dengan kehendak pasar bebas. Praktik-praktik makelar dan mafia pun tidak terhindarkan.Negara penuh stigma adalah negara yang sarat noda dan cacat akibat berbagai penyimpangan konstitusional. Negara semacam ini sesungguhnya telah mengalami kebangkrutan kepercayaan atas rakyat. Dalam kondisi bangkrut itu, negara gagal memfungsikan dirinya jadi pusat orientasi nilai bagi rakyat. Negara pun terkucil dan terasing di tengah rakyatnya. Aktor-aktor kekuasaan negara tak lebih dari entitas yang terasing dari rakyat. Di sini, negara menjelma menjadi ”rumah yang dikuburkan” oleh para penyelenggaranya sendiri.Menjadi aneh jika para anggota legislatif masih merasa mewakili rakyat. Menjadi ganjil jika aktor-aktor eksekutif masih merasa abdi rakyat. Menjadi janggal jika aktor-aktor yudikatif masih merasa jadi penegak hukum yang membela kepentingan rakyat.Kini, seluruh makna gagah tentang peran dan fungsi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang mengayomi dan menyejahterakan rakyat telah menjadi mitos. Dalam kenyataan, rakyat sulit merasakan makna kehadiran negara!Di ruang batin yang sunyi, rakyat akan terus menulis berbagai stigma negara beserta narasi-narasi kepedihannya. Stigma-stigma itu jauh lebih buram dibandingkan dengan stigma negara centeng, negara mafia, negara predator, dan negara kartel. ● -
Capres 2014, Monopoli Parpol
Capres 2014, Monopoli ParpolSalahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENGSumber : KOMPAS, 19 Januari 2012Dua tahun sebelum Pemilihan Umum Presiden 2014 mulai muncul sejumlah nama yang ingin maju sebagai calon presiden atau yang dianggap sebagai tokoh yang layak ditampilkan. Mereka datang dari dalam ataupun dari luar partai. Siapa yang betul-betul akan muncul menjadi calon?Kita bisa belajar dari Pilpres 2004 dan 2009. Pada pertengahan 2003, Kompas memuat dua halaman foto puluhan tokoh yang dianggap punya potensi jadi capres/cawapres. Dari sepuluh capres dan cawapres, hanya satu nama yang tak tercantum dalam daftar itu. Dalam Pilpres 2009, jumlah calon berkurang jadi enam, empat di antaranya tokoh Pilpres 2004.Tokoh baru adalah Prabowo dan Boediono. Dari 12 nama capres/cawapres, ada yang pernah jadi jenderal TNI AD, pernah jadi menteri, pernah jadi pejabat tinggi negara, dan ada tokoh ormas Islam.Tiga PartaiDalam Pilpres 2014 diperkirakan batas minimal perolehan suara untuk bisa mengajukancapres tetap 20 persen. Diduga tiga partai yang akan mendapat suara tinggi, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, dan PDI-P. Kalau dua dari tiga partai itu bergabung, hanya akan ada dua pasang calon. Peluang PD dan PDI-P bergabung amat kecil.Kalau ambang batas minimal jumlah perolehan suara partai untuk masuk DPR dipatok lima persen, tidak banyak partai menengah yang bisa lolos, apalagi partai-partai kecil. Kalau ambang batas itu diturunkan menjadi empat persen, akan lebih banyak yang lolos.Tampaknya partai-partai yang bisa mengajukan capres/cawapres tidak punya tokoh yang menjadi idaman masyarakat luas. Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar tampaknya akan menjadi capres dari partai berlambang pohon beringin ini. Masyarakat tidak banyak tahu apa prestasi Aburizal Bakrie yang menonjol untuk bangsa dan negara sehingga dapat diharapkan akan menjadi presiden yang memihak rakyat. Hal yang diingat oleh masyarakat adalah sikap tidak menepati janji terhadap korban Lapindo.Megawati masih menjadi andalan PDI-P karena dalam jajak pendapat masih mendapat suara tertinggi kalau tidak ada Susilo Bambang Yudhoyono. Kita tidak mencatat prestasi yang menonjol selama Megawati menjadi presiden 2001-2004. Dengan usia yang meningkat, kita tidak banyak bisa berharap dari Megawati. Di dalam PDI-P ada sejumlahtokoh muda berpotensi, tetapi tidak bisa muncul karena adanya politik dinasti.PD tidak punya tokoh internal yang layak ditampilkan. Anas Urbaningrum, walaupun secara hukum tidak atau belum terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi, secara politis sudah sulit menjadi capres/cawapres. Ada kelompok internal PD yang ingin mengajukan Ny Ani Yudhoyono, tetapi tampaknya Presiden Yudhoyono tidak mendukung. Mungkinkah PD mencari tokoh di luar partai yang layak menjadi capres dari berbagai segi: kemampuan, integritas, dan tingkat keterpilihan (elektabilitas)?Calon dari Luar PartaiDi luar ketiga parpol itu, ada sejumlah tokoh parpol yang secara terbuka sudah menyatakan ingin jadi capres, yaitu Prabowo (Partai Gerindra), Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional), dan Suryadharma Ali (Partai Persatuan Pembangunan). Ketiganya akan mendapati hambatan dalam hal minimnya dukungan masyarakat terhadap partai dan pribadi. Mereka harus kerja keras dan cerdas meningkatkan dukungan masyarakat, tetapi tidak mudah bagi mereka untuk melakukannya.Penting untuk dicatat bahwa di luar parpol ada tokoh yang oleh banyak pihak dianggap punya potensi menjadi cawapres, bahkan menjadi capres walaupun peluang untuk dicalonkan kecil. Tokoh itu ialah Jusuf Kalla (JK), Mahfud MD, Jenderal Pramono Edhie, dan yang terakhir muncul adalah Dahlan Iskan. Fenomena kemunculan Dahlan Iskan menegaskan pola 2004 dan 2009: bahwa untuk menjadi capres/cawapres harus menjadi menteri atau unsur pimpinan lembaga tinggi negara. Tanpa menjadi Menteri BUMN, tidak mungkin nama Dahlan Iskan melejit.Tentu potensi itu akan tetap jadi potensi kalau tidak ada dasar kuat memunculkan mereka. Namun, yang paling penting adalah tingkat keterpilihan (elektabilitas) mereka yang perlu diukur secara berkala. Tiga dari empat tokoh itu dikenal luas oleh masyarakat dan sering tampil di media cetak dan elektronik. JK telah terbukti menjadi pemimpin yang efektif, tetapi punya kelemahan dalam masalah usia walaupun kesehatannya masih cukup baik. Dahlan Iskan perlu membuktikan dulu kinerjanya sebagai Menteri BUMN. Dari segi usia tidak terlalu tua, tetapi faktor kesehatannya perlu mendapat perhatian.Jenderal Pramono Edhie yang mulai disebut-sebut sejumlah tokoh PD juga harus membuktikan dulu prestasinya. Rakyat tidak banyak mengenal tokoh ini karena jarang muncul di media. Keberadaan sebagai ipar Yudhoyono bisa bernilai positif, tetapi bisa juga sebaliknya. Mahfud MD sudah cukup baik menunjukkan kinerja sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia dikenal sebagai tokoh yang punya kemampuan, berani, dan berintegritas.Mungkinkah Calon non-Partai?Memang masih ada satu-dua tokoh yang menjanjikan. Namun, rasanya sulit untuk mengharap mereka muncul sebagai tokoh baru yang layak ditampilkan sebagai capres/cawapres. Berarti capres/cawapres yang bisa muncul adalah monopoli parpol besar. Kalau tidak ada hal-hal luar biasa atau adanya ”langkah kuda” sejumlah parpol menengah untuk berani menampilkan capres di luar partai, kita akan mempunyai pilihan yang tidak menyenangkan.Besar kemungkinan kita terpaksa memilih capres yang belum jelas seberapa besar sumbangsihnya bagi rakyat, tetapi bisa menjadi capres hanya karena dia mempunyai dana besar untuk membuat dirinya terpilih sebagai ketua umum partai besar. Atau mungkin kita terpaksa memilih capres karena dia adalah ketua umum partai besar tetapi tidak jelas benar apa kemampuannya untuk bisa memikul tanggung jawab berat memimpin negara dengan 240 juta rakyat yang punya segudang masalah.Semoga masih ada hati nurani di antara pemimpin partai-partai menengah untuk mau bersama-sama mencari calon yang memenuhi kriteria kemampuan, karakter, dan integritas, serta tingkat keterpilihan tinggi. Kalau mau membuka mata, pikiran, dan hati, masih cukup waktu untuk mencari tokoh tersebut. Kalau partai-partai itu lebih memikirkan kepentingan sendiri daripada kepentingan bangsa dan negara, dikhawatirkan tidak akan mampu membawa rakyat kecil menuju kesejahteraan yang merata sesuai janji kemerdekaan. ● -
Hukum Bak Sarang Laba-laba
Hukum Bak Sarang Laba-labaM. Ali Zaidan, PENGAMAT HUKUMSumber : KOMPAS, 19 Januari 2012Sejatinya semua orang sama di hadapan hukum. Namun, dalam praktik, yang kuat dan yang lemah punya kedudukan tak seimbang, dalam pengertian terjadi diskriminasi dalam penanganan hukum.Masyarakat kecil dengan mudah dikriminalisasi, sementara yang kuat menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh hukum. Kasus yang terjadi di Mesuji dan Bima mengindikasikan hal itu. Masyarakat dengan gampang dikriminalisasikan, bahkan harus mempertaruhkan jiwa, sementara aparat atas nama hukum dengan leluasa melakukan aksi yang memilukan.Kasus pencurian sandal di Palu merupakan gambaran nyata kedudukan yang timpang tersebut. Jauh sebelumnya, sejumlah kasus pernah terjadi di negara yang menyebut dirinya negara hukum ini.Hukum dipahami sebagai teks undang-undang yang kaku dan keras, tetapi abai dihayati bahwa substansi hukum adalah memberikan perlindungan terhadap siapa pun meskipun pelanggar hukum sekalipun. Konsep-konsep ideal tentang hukum menjadi kata-kata absurd yang tidak terwujud dalam kenyataan. Jauh sebelumnya, di kalangan hukum dikenal adagium lex dura sed tamen scripta: hukum/undang-undang itu memang keras karena memang demikianlah tujuan diciptakannya.Namun, harus dipahami bahwa hukum adalah buatan manusia. Oleh karena itu, hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum. Artinya, hukum diciptakan untuk melahirkan keadilan karena memang demikianlah amanah kemanusiaan yang diemban oleh hukum. Dalam ranah faktual, misi tersebut harus semakin mengemuka.Menegakkan hukum bukan untuk tujuan keadilan hanya akan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Jika hati nurani kemanusiaan terusik, cara-cara lunak, seperti aksi mengumpulkan sandal jepit, sampai tindakan anarkistis merupakan wujud ketidakpuasan publik akibat penegakan hukum yang bertentangan dengan hati nurani.Si Kuat dan si LemahMereka yang kuat mampu membeli fasilitas hukum, sementara yang lemah jadi korban. Dengan tepat Daniel Drew melukiskan keadaan itu dengan kiasan bahwa hukum ibarat sarang laba-laba. Ia hanya efektif untuk menjerat serangga-serangga kecil. Ketika berhadapan dengan monster yang lebih besar, sarang laba-laba itu dihancurkannya.Keadaan inilah yang tengah terjadi di negeri ini. Para pelaku korupsi—mulai dari hulu hingga hilir—menikmati berbagai privilese sehingga korupsi semakin menjadi-jadi. Membicarakan efek jera menjadi tidak relevan. Awam memahami bahwa hukum itu hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Hukum hanya dipahami sebagai teks undang-undang, tetapi dilupakan bahwa substansi hukum itu sesungguhnya adalah keadilan. Sementara kepastian hukum hanya sarana untuk mencapai tujuan akhir yang menyejahterakan.Mengapa hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas? Talcott Parson memberi jawaban bahwa dalam tataran faktual, kekuasaan (politik) memiliki arus energi yang kuat dibandingkan subsistem sosial lain, termasuk di dalamnya hukum. Apabila politik berhadapan dengan hukum, yang terakhir ini (baca: hukum) akan disubordinasikan oleh politik.Maka, jangan heran jika dalam kasus korupsi, penegakan hukum berjalan terseok-seok, bahkan terkadang tanpa arah, kalau tidak ingin dikatakan berbalik arah. Penghukuman pun terkadang hanya bersifat minimalis.Mengapa? Karena aktor-aktor itu memiliki sumber daya yang jauh melebihi hukum. Akan tetapi, ketika untuk kepentingan powerless, hukum jauh panggang dari api. Hal itu tidak lain karena kelompok terakhir ini tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan prosedur hukum yang harus dibayar mahal.Lebih ironis lagi, penegak hukum terus-menerus meneriakkan jargon kepastian hukum. Padahal, jika kepastian hukum terlalu disanjung-sanjung akan membenarkan ungkapan summum ius, summa iniuria: keadilan yang tertinggi adalah ketakadilan yang tertinggi. Itulah yang terjadi dalam kasus AAL di Palu.Itukah tujuan penegakan hukum kita? Penulis terkenal William Shakespeare menuangkannya dengan ungkapan the first thing we do, let’s kill all the lawyers tidak lain karena para pengacara telah kehilangan hati nurani. Keadilan kepastian hukum yang digembar-gemborkan tidak lain hanya sebuah slogan yang hanya berpihak kepada yang berpunya. Sarang laba-laba itu hanya efektif ketika berhadapan dengan orang kecil, tetapi bertekuk lutut di kaki penguasa. Haruskah kejadian seperti yang dialami AAL terus berulang?Orang di Selandia Baru mengolok-olok kita dengan ungkapan Indonesia’s new simbol for injustice: sandals. Dalam tajuk Washington Post ditulis: Indonesians dumb flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice…. Kiranya reformasi paradigmatis penegakan hukum harus dimulai saat ini untuk menjawab cemoohan publik internasional itu. ● -
Cahaya Seni pada 2012
Cahaya Seni pada 2012Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKUSumber : KORAN TEMPO, 19 Januari 2012Dalam sebuah wawancara khusus untuk acara Indonesia Lawyers Club di sebuah televisi swasta, Karni Ilyas bertanya kepada Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. “Mengapa Anda tidak bicara banyak mengenai kasus yang harus ditangani oleh KPK?” Atas pertanyaan itu, Abraham Samad menjawab: “Ketua KPK kan bukan pemain sinetron, yang ke sana-kemari boleh ngomong apa saja.” Dalam acara yang sama pada waktu berbeda, pengacara Hotman Paris mencerca pentolan Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Bunyi perkataan itu kira-kira begini : “Apa yang dikatakan itu badut, itu pemain sinetron, tidak benar!” Lalu, ketika berdebat dengan Ruhut Sitompul lewat telepon, Hotman Paris berteriak, “Hei pelawak…!”Dalam peristiwa oral yang mengalir begitu saja, orang tidak mempedulikan obyek yang diucapkan para tokoh masyarakat itu. Namun, apabila dikaji dalam keadaan tenang, baru tercerna bahwa pemain sinetron dan pelawak telah menjadi predikat olok-olok bagi orang-orang yang bergelut di bidang hukum dan politik. Tentu banyak yang percaya bahwa para tokoh tersebut tidak bermaksud melecehkan pemain sinetron atau pelawak.Namun, ketika semua dilontarkan secara spontan, tak sedikit yang berkeyakinan bahwa ternyata profesi seni itu diam-diam terpersepsikan sebagai khazanah ledekan di dasar hati dan pikiran. Apabila keyakinan terakhir ini menjadi kenyataan, dunia kesenian Indonesia layak untuk berduka. Lantaran, sinetron dan lawak adalah anak-anak kesenian yang sah.Kedukaan itu berubah menjadi kejengkelan ketika masyarakat nonkesenian Indonesia berucap ihwal kasta kesenian di tengah alam sosial. Ketika pemain sinetron Rieke Diah Pitaloka terpilih menjadi anggota DPR, sejumlah pengamat politik mengatakan bahwa Rieke naik kelas. Begitu juga ketika Rano Karno jadi Wakil Gubernur Banten. Dan ketika Dedi “Miing” Gumelar terpilih lagi menjadi anggota DPR, ada surat kabar yang menyebutkan bahwa Miing naik kelas lagi. Dengan begitu, teman mainnya dalam grup lawak Bagito, Didin dan Unang, “lagi-lagi tinggal kelas.”Dianggap SepeleMelihat realitas itu, tampak bahwa di Indonesia kesenian itu dianggap sepele. Tidak seperti politik atau hukum yang konon hebat. Itu sebabnya, anggaran yang diberikan oleh pemerintah untuk kesenian termasuk sangat kecil dibanding anggaran untuk sektor-sektor lain. Apalagi ketika diingat bahwa yang dijatahkan itu adalah bagian dari anggaran kebudayaan. Sementara itu, kebudayaan, yang merupakan ibu kandung dari kesenian, hanya merupakan pelengkap dari departemen lain: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Begitu juga kesenian, yang menempel di Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.Padahal kesenian adalah sosok aksentuatif dalam perikehidupan sebuah bangsa. Karena seni lahir dari “sang keahlian”, selaras dengan asal mula pemahaman seni yang berasal dari kata Latin ars, yang artinya mumpuni, jago (dalam pemikiran estetik dan mempresentasikan ide estetik). Dan keahlian dalam menghasilkan sesuatu yang estetik itu memunculkan suasana sukacita. Rasa yang amat sangat dibutuhkan oleh segenap manusia, termasuk ahli hukum dan politikus.Sepanjang sejarah, sangat sedikit manusia di bumi ini yang ditakdirkan menjadi penggagas seni serta pencipta seni. Sangat sedikit manusia yang berhasil tampil sebagai seniman, figur yang mampu menciptakan rasa senang dalam kehidupan. Itu sebabnya, penulis Inggris ternama Virginia Woolf sampai berkata, “ There are no teachers, saints, prophets, good people, but the artists.” Tidak ada guru, santo, nabi, orang baik, yang ada hanyalah seniman.Minimnya pemahaman sebagian bangsa Indonesia nonkesenian atas seni menyebabkan predikat seniman serta hasil kesenian Indonesia sering dinistakan. Ingat contoh ini: pada September 2011 sejumlah patung kota di Purwakarta dibakar. Sikap tunaseni yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari vandalisme perusakan patung hiasan kota Nyoman Nuarta di Bekasi dan sebagainya.Gemerlap PrestasinyaDi tengah penistaan dari segala sudut itu, apa boleh buat, kesenian Indonesia dengan tertatih berjalan sendiri. Dan alhamdulillah, dengan kaki yang lelah, kesenian Indonesia dapat melakukan tugasnya dengan bagus, dan bahkan sebagian istimewa. Reputasi yang diingat publik adalah seni pertunjukan, yang dalam 2011 sering menggoyang ketakjuban.Di antaranya adalah pergelaran sendratari Jawa klasik Matah Ati, opera Laskar Pelangi, drama Sie Djien Kwie Kena Fitnah, pergelaran Beta Cinta Indonesia, serta Opera Tan Malaka dan Karna. Juga Opera Lutung Kasarung. Kerja kompleks yang brilian dalam pementasan ini menerbitkan kepercayaan bahwa seni panggung Indonesia tidak lagi ala kadarnya. “Udeh dimodalin,” kata orang Betawi. Meski modal didapat dari saweran setengah mati oleh penyelenggara swasta.Kesungguhan kerja ini memberi spirit positif dalam banyak aspek kepada berbagai konser musik Indonesia. Dari musik pop gaya Vina Panduwinata sampai yang semi-klasik dan klasik ala orkestra Addie M.S. atau Erwin Gutawa. Menarik dicatat, konser Ananda Sukarlan dan Avip Priatna dengan sejumlah penyanyi seriosa menumbuhkan rasa kangen penonton Indonesia.Pada 2011 seni rupa Indonesia, terutama yang kontemporer, tumbuh dengan liar. Akibatnya, banyak karya buruk-rupa, yang pada ujungnya meremukkan citranya di tengah pergunjingan nilai dan pasar. Namun, di sela yang karut-marut itu muncul perupa-perupa bagus dengan karya yang mengusik ingatan. Nama Jompet Kuswidananto, Eko Nugroho, FX Harsono, dan Haris Purnomo adalah sebagian di antaranya. Kreativitas mereka pun menggugah minat promotor ternama luar negeri, seperti SH Contemporary (Shanghai), Saatchi Gallery (London), dan Louis Vuitton (Paris).Di tengah sepinya prestasi besar sastra, muncul film-film bagus yang justru berangkat dari karya sastra. Film itu adalah Sang Penari (karya Ifa Isfansyah), yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hanny R. Saputra), yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Hamka. Dua film ini bersaing mutu dengan Catatan Harian Si Boy (Putrama Tuta) yang lancar dan wajar, The Raid (Gareth Evans) yang seru, ? (Hanung Bramantyo) yang menggetarkan, dan Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja) yang pilu. Film-film di atas, bersama setidaknya lima film lain, bolehlah meneduhkan hati pencinta film Indonesia yang selama ini diganggu ratusan hantu dan pocong yang berseliweran lewat cerita murahan.Pemerintah Indonesia sebenarnya punya hasrat memupuk kesenian agar tampil bak bunga besar bermekaran. Setidaknya sebagaimana ditunjukkan oleh antusiasme Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala menyambut Lomba Seni Pelajar se-Indonesia, yang pada 2011 sudah keenam kalinya diselenggarakan di Istana Kepresidenan. Namun, bukankah seni pelajar ini baru aktivitas di hulu, dan masih sangat jauh dari kreativitas bagian hilir?Kesenian Indonesia telah memasuki 2012 dengan cahaya yang berpendar-pendar. Ada optimisme bahwa cahaya inilah yang bakal menyelamatkan Indonesia dari banjir bandang Naga Air, yang disebut-sebut sebagai “Tahun Kiamat”. ● -
BUMD Transjakarta, Mengapa Tidak
BUMD Transjakarta, Mengapa TidakYoga Adiwinarto, INDONESIA COUNTRY DIRECTOR,INSTITUTE FOR TRANSPORTATION & DEVELOPMENT POLICYSumber : KORAN TEMPO, 19 Januari 2012Seperti yang telah diberitakan oleh beberapa media, Pemerintah Provinsi DKI berencana mengubah manajemen organisasi Transjakarta dari badan layanan umum (BLU) menjadi badan usaha milik daerah (BUMD). Banyak pihak yang menginterpretasikan bahwa ini adalah upaya membuat Transjakarta mengejar profit dan menomorduakan pelayanan, yang jelas saja langsung dibantah oleh gubernurnya sendiri, karena tujuan beliau mengubah organisasi Transjakarta dilakukan semata-mata demi membuat manajemen lebih efisien dan lebih baik (Tempo Interaktif, 28 Desember 2011). Namun manajemen efisien seperti apa yang dimaksud?Apa pun alasan Gubernur, ada beberapa alasan untuk mendasari mengapa langkah mengubah Transjakarta menjadi BUMD merupakan langkah jitu. Pertama, BUMD memungkinkan bagi organisasi Transjakarta untuk bergerak memenuhi target melayani kebutuhan pengguna (costumer oriented), ketimbang target penyerapan anggaran dan pelaksanaan kegiatan yang selama ini menjadi penilaian standar instansi dan satuan kerja di pemerintahan. Sebagai contoh, pimpinan Transjakarta tidak pernah diberi penghargaan atas prestasi mereka berhasil mengangkut lebih dari 100 juta penumpang per tahun. Namun, jika anggaran dari APBD berhasil mereka realisasikan seluruhnya, mereka akan diacungi jempol, meskipun jumlah penumpang yang diangkut tidak banyak-banyak amat.Dengan pola pikir seperti ini, seharusnya siapa pun yang bekerja menjadi pemimpin Transjakarta cukup nyaman karena mereka tidak pernah diberi target untuk mengangkut jumlah penumpang tertentu, sedangkan sebagian biaya produksi sudah ditalangi oleh subsidi dari APBD, dan sisanya ditutupi oleh penjualan tiket penumpang. Sehingga, jika estimasi jumlah penjualan tiket tidak sesuai dengan target, yang dapat dilakukan adalah menekan biaya produksi, yang artinya jumlah kilometer bus yang ditempuh oleh Transjakarta dapat dikurangi. Imbasnya dapat berakibat kepada makin lamanya waktu tunggu penumpang di halte, karena bus yang beroperasi tidak banyak.Karena itu, diharapkan, dengan adanya BUMD, target manajemen harus menjadi jelas, yaitu bertambahnya jumlah penumpang yang menggunakan Transjakarta. Perkara biaya produksi rendah atau tinggi, selama jumlah penumpang dapat melebih target, tidak ada salahnya itu dianggap prestasi. Sebab, semakin banyak orang yang menggunakan Transjakarta, semakin berkurang kendaraan pribadi yang digunakan, dan semakin berkurang energi serta bahan bakar yang terbuang karena kemacetan mulai berkurang. Dan hasil terakhir itu, menurut saya, adalah hasil yang diinginkan oleh Gubernur, anggota DPRD, maupun kita sebagai pelaku transportasi sehari-hari.Praktis vs BirokratisAlasan kedua mengapa BUMD diyakini dapat meningkatkan pelayanan Transjakarta erat kaitannya dengan upaya memotong proses birokrasi panjang yang biasanya terdapat di organisasi pemerintah. Organisasi tempat saya bekerja, ITDP, banyak membantu Transjakarta untuk mengatasi hal-hal teknis, dari bagaimana cara mengatasi kepadatan yang ada di halte pada jam sibuk hingga bagaimana mengatasi permasalahan untuk menjadwalkan bus secara optimal dan terencana dengan baik.Pada awalnya, tantangan yang saya pikir dirasa paling berat adalah aspek teknis. Namun, setelah melihat contoh dari berbagai sistem BRT di negara-negara lain di dunia, semua masalah teknis pasti sudah ada solusinya di negara lain, sehingga lama-kelamaan ada rasa percaya diri bahwa Transjakarta dapat menjadi salah satu world-class BRT di dunia. Lima tahun berjalan membantu Transjakarta, ternyata makin sering dijumpai kondisi halte dan juga ramp untuk menuju halte Transjakarta dari jembatan penyeberangan dengan kondisi bolong-bolong dan fasilitas ala kadarnya.Terkadang, dengan “kreativitas” tinggi, staf Transjakarta melakukan penyulapan untuk menambal ramp yang bolong atau kaca halte yang pecah dengan plat seng maupun tripleks, meskipun saya lebih menyukai jika mereka tidak menutup kaca yang bolong karena saya jadi dapat merasakan angin semilir di halte. Ketika ditanyakan kepada mereka mengapa tidak diperbaiki, ternyata prosedur yang harus dilalui cukup panjang dan birokratis, dan dari gaya bicara staf-staf Transjakarta, terkesan bahwa mereka lebih nyaman menambal dengan seng atau tripleks secara darurat ketimbang harus menghadapi prosedur yang birokratis dan melelahkan tersebut, mulai dari inventarisasi kerusakan, perencanaan anggaran dan kegiatan, lelang untuk perbaikan, berkontrak dengan kontraktor, hingga akhirnya, setelah 2-3 bulan sejak kerusakan timbul, barulah dimulai perbaikan tersebut. Bandingkan dengan kecepatan waktu pengelola perbelanjaan untuk melakukan perbaikan di gedung yang dikelolanya, mungkin 2 minggu semua yang rusak sudah selesai diperbaiki, tanpa diperlukan mekanisme yang berbelit-belit tersebut.Inovasi staf Transjakarta untuk melakukan perbaikan patut diberi apresiasi. Namun bukan salah staf jika, dengan sistem yang terlalu birokratis, motivasi menjadi turun dan lama-kelamaan staf menjadi apatis tanpa memikirkan pentingnya memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi. Jika untuk memperbaiki lubang di halte saja dapat menimbulkan sikap apatis, bagaimana caranya memulai perbaikan untuk mengatur penjadwalan 550 bus secara lebih optimal, yang mau tak mau diperlukan softwaremutakhir, yang bisa jadi lumayan mahal sehingga harus dilakukan tender terbuka. Jika untuk memperbaiki lubang halte saja perlu waktu lama untuk persiapannya, entah berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk dapat membeli suatu software.Masih banyak lagi sebenarnya alasan yang dapat dijabarkan mengenai mengapa perubahan Transjakarta menjadi BUMD adalah hal yang tepat. Namun, dari dua alasan yang disebutkan di atas, dengan perubahan pola pikir organisasi untuk memenuhi kebutuhan pengguna dengan mekanisme kerja yang lebih singkat, praktis, dan tidak birokratis, setidaknya kita dapat mengharapkan organisasi Transjakarta dapat bekerja lebih efisien, seperti yang Gubernur inginkan. ●