Blog

  • Penyingkiran Partai Berbasis Agama

    Penyingkiran Partai Berbasis Agama
    Fernita Darwis, KETUA BAPPILU DPP PPP,
    PENULIS BUKU “PEMILIHAN SPEKULATIF, MENGUNGKAP FAKTA SEPUTAR PEMILU 2009
    Sumber : SINDO, 20 Januari 2012
    Pembahasan RUU Pemilu yang merupakan revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD, sedang bergulir. Berbagai hal mulai dibicarakan di kalangan Komisi II,Pansus RUU Pemilu DPR dan Pemerintah.

    Di antaranya tentang parliamentary threshold (PT), alokasi kursi, daerah pemilihan (dapil), dan sistem pemilu. Poin-poin ini seolah-olah merupakan hal yang paling penting dalam pembahasan RUU Pemilu. Padahal kalau dicek lebih jauh apa pun keputusan terkait PT, alokasi kursi, dapil, dan sistem pemilu tidak akan meminimalisasi kecurangan pemilu yang mewarnai pemilupemilu sebelumnya terutama pada Pemilu 2009.

    Perdebatan yang mengemuka mengenai revisi UU Pemilu sebenarnya tak lebih dari pertarungan antara fraksi besar dan fraksi kecil atau fraksi partai sekuler yang akan menyingkirkan faksi partai berbasis Islam di DPR. Fraksifraksi besar ingin menekan dan menghadang agar fraksi-fraksi yang dukungan suaranya di bawah 5% tidak masuk parlemen. Manuver fraksi besar itu tentu tidak sehat.

    Pada Pemilu 2009 perolehan suara partai politik berbasis agama (Islam) itu memang di sekitar 5%.Pertanyaannya,apa jadinya kalau di sebuah negara demokrasi di Indonesia ini di mana jumlah penduduknya seluruhnya adalah penduduk yang beragama dan agama mayoritas adalah Islam jika di parlemennya sama sekali tidak ada fraksi partai politik berbasis agama (Islam) yang mewakilinya? Padahal Indonesia sebagai negara demokrasi harus menjadikan agama dan Pancasila sebagai basis kekuatan moral dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

    Keliru

    Sebagai catatan sejarah bangsa Indonesia,sejak negeri ini berdiri yaitu sejak Pemilu 1955, parpol berbasis agama selalu berperan. Pada pemilu pertama ini parpol yang berperan signifikan di antaranya adalah parpol berbasis agama (Islam tradisional, Islam moderat, dan Kristen).Walaupun juga ikut berperan parpol sekuler (Marhaen, sosialis, nasional militan) begitu juga pada pemilu-pemilu berikutnya.

    Maka jika RUU Pemilu yang sedang dibahas untuk persiapan Pemilu 2014 yang akan datang terjadi sebuah peristiwa tersingkirnya parpol berbasis agama dari parlemen adalah sebuah goresan sejarah yang membuat penghuni Senayan menjadi sepenuhnya dikuasai parpol sekuler. Ketentuan mengenai masalah PT,misalnya,5% atau 3%, atau 2,5%, apakah ini akan mengurangi kecurangan pemilu?

    Saya kira tidak. PT itu sendiri tidak ada hubungannya dengan meningkatkan legitimasi keterpilihan seorang anggota dewan. Maka sudah tepatkah wacana PT dinaikkan jadi 5%? Adapun argumen bahwa ketentuan PT ini diberlakukan untuk mewujudkan penyederhanaan partai politik dan memperkecil jumlah fraksi di DPR, ini jelas sangat keliru.PT jelasjelas tak ada hubungannya dengan penyederhanaan parpol.

    Ketentuan soal parpol sudah diatur dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan segala aturan yang memperketat pendirian sebuah parpol. Ketentuan mengenai memperkecil jumlah fraksi di DPR itu mekanismenya bukan lewat UU Pemilu, melainkan cukup diatur dalam UU MPR, DPR,DPD,DPRD misalnya dengan membuat aturan minimal jumlah anggota dalam satu fraksi sehingga fraksi di DPR menjadi lebih sederhana.

    Penerapan PT pada Pemilu 2009 justru menimbulkan masalah yang mengakibatkan hilangnya sekitar 18 juta suara yang merupakan perolehan suara partai politik nonparlemen. Hilangnya suara ini sudah mencederai sistem proporsional (disproporsional) yang juga inkonstitusional karena ketentuan UUD 1945 yang menjamin kedaulatan rakyat dan persamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan menjadi diabaikan.

    Poin berikutnya yang juga krusial adalah alokasi kursi dan daerah pemilihan, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) DPR mengusulkan alokasi kursi 3-10 untuk setiap dapil berbeda dengan DIM pemerintah yang mengusulkan alokasi kursi 3-6 per dapil. Sekalipun DPR dalam DIM-nya sudah memuat alokasi kursi 3-10, wacana yang berkembang tiap fraksi mengusulkan alokasi yang berbeda.

    Sebagian mewacanakan memperkecil dapil agar hubungan konstituen lebih dekat dengan wakilnya. Ini pun jelas keliru karena kedekatan konstituen dengan wakilnya tidaklah hanya diperuntukkan pada perwakilan DPR RI, tapi juga ada yang diperuntukkan pada DPRD. Mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kepemimpinan sudah dibagi habis mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat,pada tingkat kabupaten/ kota ada DPRD kabupaten/ kota dan bupati/wali kota,tingkat provinsi ada gubernur dan DPRD provinsi, dan tingkat pusat ada presiden dan DPR RI.

    Kepemimpinan tiap tingkatan tersebut itu tentu representasi dari konstituen di setiap tingkatan yang punya kedekatan hubungan antara konstituen dan wakil secara proximity (kedekatan daerah), namun hubungan itu secara kualitas tetap harus ditingkatkan. Memperkecil alokasi kursi DPR dalam pembahasan RUU Pemilu ini juga akan menimbulkan disproporsional yang mengarah pada inkonstitusional.

    Dalam sistem proporsional, salah satu sifatnya adalah menonjolkan representasi/keterwakilan yakni dukungan suara atau jumlah suara yang terkonversi menjadi kursi dalam jumlah yang representatif.Alokasi kursi yang kecil maka daerah pemilihan semakin banyak sehingga kecamatan pun menjadi representasi kursi untuk DPR RI sehingga akan terjadi under representation & over representation.

    Alokasi kursi bahkan semakin kecil yang berdampak pada semakin banyak dapil ini pun akan menimbulkan pemborosan anggaran pemilu yang merugikan masyarakat pemilih. Bertambah dapil maka bertambah pula jenis surat suara yang sudah pasti memakan biaya yang tidak sedikit. Dapat disimpulkan bahwa poin-poin krusial tentang hal yang diperdebatkan dalam RUU Pemilu ini jauh dari upaya mengurangi tingkat kecurangan seperti yang terjadi pada Pemilu 2009.

    Sebaiknya pembahasan RUU Pemilu lebih banyak mengedepankan kepentingan pemilih, persoalan logistik agar efisien dan efektif, dan pemilu yang jujur dan adil yang bebas dari kecurangan.

  • Indonesia Tanah Airku

    Indonesia Tanah Airku
    Soegeng Sarjadi, PENDIRI SOEGENG SARJADI SYNDICATE
    Sumber : KOMPAS, 20 Januari 2012
    Betapa prihatin saya menyaksikan kegaduhan politik akhir-akhir ini. Banyak politisi dan kaum pergerakan terjebak pada pandangan sempit dan pendek. Seolah-olah Indonesia hanya terdiri atas sejengkal tanah dan seember air.
    Mereka gaduh untuk masalah-masalah yang sebenarnya sepele, seperti renovasi ruang rapat Badan Anggaran DPR, toilet, dan parkir motor di DPR. Akan tetapi, mereka tidak gaduh untuk mempersiapkan Indonesia menjadi negara adidaya pada masa depan. Padahal, Tanah Air memberikan sumber kemakmuran bagi seluruh anak bangsa.
    Dengan bahasa lain, silakan DPR membuat ruang rapat yang mewah, tetapi jangan korupsi! Penekanan untuk tidak korupsi itulah yang seharusnya digaduhkan secara simultan dengan tuntutan untuk membuat strategi besar pembangunan nasional.
    Dengan segala kegaduhan yang berlangsung selama ini, penulis menganggap bahwa para politisi kita secara umum melihat Tanah Air sebatas susunan ribuan pulau yang dilintasi garis khatulistiwa. Tanah Air hanya dilihat dari posisinya yang terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dan diapit oleh Benua Asia dan Australia serta batasan-batasan fisik yang lain.
    Padahal, seperti dinyatakan Daoed Joesoef, ”Indonesia Tanah Airku” (ini judul asli artikel beliau, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) juga mencakup suatu kemauan, usaha, dan ruang gerak transisi ke arah penyempurnaan tempat setiap orang seharusnya hidup bahagia.
    Absennya Visi Berbangsa
    Kegaduhan politik seperti yang sekarang ini terjadi, yang di dalamnya didominasi praktik korupsi seperti kasus Nazaruddin, sebenarnya sudah bisa diperkirakan jauh-jauh hari.
    Ketika banyak pengusaha memasuki ranah politik dan ikut bertempur merebut posisi eksekutif dan legislatif serta ketua umum partai, kebajikan (virtue) politik bergeser dari medan pertempuran yang seharusnya berlandaskan tebalnya cita-cita dan ketulusan hati untuk mengabdi kepada rakyat menjadi sekadar tebalnya dana yang dimiliki. Di sini berlaku hukum milik para saudagar, yaitu setiap kepala bisa dibeli!
    Sebagai pelaku usaha, saya memahami betul kuatnya syahwat tersebut. Ia pasti merangsek ke mana saja: ke setiap celah dan simpul-simpul yang lemah, termasuk ke jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
    Dalam konteks ini, selama ini kesalahan cenderung ditimpakan kepada eksekutif, utamanya presiden. Sementara itu, riil politik yang berlaku adalah penyelenggaraan negara berjalan semi-parlementer. Seharusnya parlemen juga harus memikul tanggung jawab pada setiap kebijakan yang diambil pemerintah, dan tidak meributkan masalah-masalah yang tidak mendasar, seperti renovasi toilet dan moratorium koruptor.
    Semua itu menunjukkan absennya visi berbangsa pada elite politik pada umumnya. Salah satu penyebabnya adalah kuatnya cengkeraman karakter pragmatis pengusaha pada ranah politik.
    Padahal, ”Indonesia Tanah Airku” saat ini, dengan produk domestik bruto (PDB) sekitar 800 miliar dollar Amerika Serikat, sudah menempati posisi ke-16 dalam kelompok negara G-20. Suatu capaian yang dari segi magnitude-nya rasanya mustahil dapat diraih Malaysia dan Singapura yang sering kita puji. Apabila PDB tersebut merangkak naik menjadi 1.000 miliar dollar AS atau lebih, pintu gerbang menuju negara adidaya dipastikan terbuka lebar.
    Seharusnya di situlah visi anak bangsa ditancapkan. Dengan konstruksi seperti itu, republik ini seharusnya tidak geger berkepanjangan siang dan malam hanya untuk, misalnya, kasus Bank Century yang melibatkan uang sebesar Rp 6,7 triliun.
    Indonesia tidak akan kiamat hanya karena masalah tersebut. Indonesia juga tidak akan kiamat karena renovasi ruang rapat mewah di DPR. Apabila seluruh energi disatukan, dari tekad dan kecerdasan anak bangsa sampai pada kemampuan ekonomi dan kekuatan militer, visi kejayaan global Tanah Airku seperti era Sriwijaya dan Majapahit pasti akan kembali terengkuh.
    Adalah menyedihkan ketika mesin ekonomi jalan seperti sekarang, kita tidak tertantang untuk memerangi kemiskinan dan pengangguran yang masih membelit bangsa ini. Seharusnya seluruh komponen bangsa tinggal mematok kebijakan yang tepat dan pasti sehingga problem kemiskinan dan pengangguran akan terseret dan mengempis dengan sendirinya.
    Keberanian untuk mematok kebijakan seperti memupus subsidi premium, misalnya—yang dibarengi dengan program aksi yang menjamin rakyat miskin bukan saja tidak terdampak, tetapi justru hidup akan lebih baik—adalah tantangan yang harus segera dijawab.
    Keputusan itu bisa menghemat sekitar Rp 130 triliun per tahun. Dana sebesar itu bisa dialokasikan untuk mendorong pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan usaha ekonomi produktif rakyat. Jika praksis itu yang berlaku, kekhawatiran akan terjadinya instabilitas politik lebih bersifat utopis daripada realistis.
    Catatan Akhir
    Hal yang harus diwaspadai dari absennya visi berbangsa dan bernegara adalah apabila ”kue” pembangunan menjadi semakin besar. Ini akan mengancam kelangsungan hidup Tanah Airku.
    Mengapa? Karena tikus-tikus koruptor yang bergerombol di banyak tempat dengan jubah politisi dan penegak hukum, untuk menyebut beberapa contoh, pasti akan rebutan untuk mendapatkannya. Oleh sebab itu, mereka harus dibuat jera dengan undang-undang pembuktian terbalik atau bahkan dekrit presiden.
    Dengan semua langkah itu, setiap anak bangsa ikut meletakkan satu batu bata untuk membangun Indonesia adidaya: Indonesia Tanah Airku!
  • Dari Kakao hingga Sandal Jepit

    Dari Kakao hingga Sandal Jepit
    Suhardi Suryadi, WAKIL KOORDINATOR ICW
    Sumber : KOMPAS, 20 Januari 2012
    Persidangan kasus pencurian sandal jepit oleh AAL semakin melengkapi situasi penegakan hukum yang kurang mencerminkan rasa keadilan, terutama bagi warga miskin.
    Pemerintah, khususnya instansi penegak hukum, tampaknya tak pernah belajar dari kasus sebelumnya dan berusaha mencari pendekatan baru bagaimana menegakkan hukum dengan mempertimbangkan dimensi sosial dan rasa keadilan. Penegak hukum masih menggunakan kacamata kuda dalam melihat kasus tindak pidana dengan lebih mengedepankan aspek normatif.
    Proses Kultural
    Apa yang menimpa Ibu Minah yang dihukum karena mencuri tiga biji kakao, AAL, dan lainnya membuat masyarakat frustrasi dan tidak berdaya dalam mencari keadilan. Keberadaan lembaga hukum formal pun kehilangan legitimasi. Dalam situasi penegakan hukum yang menjauh dari rasa keadilan bagi masyarakat miskin, sudah selayaknya jika kapasitas hukum masyarakat diperkuat kembali.
    Masyarakat pada dasarnya sudah memiliki nilai-nilai dan tradisi penegakan hukum yang bersumber dari agama dan tradisi lokal. Bahkan, institusi kepolisian telah membentuk apa yang disebut kepolisian masyarakat. Sayangnya, wadah yang dirintis sejak 10 tahun lalu itu hanya formalitas tanpa dikembangkan substansinya, yaitu membantu kepolisian dalam mengatasi masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
    Pemberdayaan kapasitas hukum inilah yang ditelantarkan. Ada kesan pembangunan hukum cukup disandarkan pada aturan perundangan dan lembaga hukum yang sudah ada tanpa perlu mempertimbangkan pengetahuan dan aspirasi lokal yang ada. Terlebih lagi urusan hukum dinilai sebagai kewenangan pemerintah pusat yang tidak dapat dialihkan ke pemerintah daerah, apalagi ke masyarakat.
    Pemberdayaan hukum masyarakat tidak sekadar mengajarkan tata aturan hukum formal, tetapi juga memperluas proses kultural. Esensinya memberi kesempatan dan kepercayaan masyarakat menyelesaikan persoalan hukum di lingkungannya. Namun, perlu disadari, pemberian kewenangan ini tidak untuk semua masalah hukum. Pemberian ruang kepada masyarakat, dalam konteks ini, terbatas pada aspek tindak pidana ringan, seperti pencurian hasil pertanian, perkelahian antarwarga, dan jenis tindak pidana ringan lain.
    Pemberdayaan hukum masyarakat dapat dilakukan melalui pemberian kewenangan kantor desa, lembaga adat, kepolisian masyarakat, dan lembaga sejenis untuk menyelesaikan setiap bentuk tindak pidana ringan melalui mediasi atau musyawarah.
    Setidaknya ada dua tahapan yang dapat dilakukan. Pertama, mendorong, mengorganisasi, dan memfasilitasi masyarakat untuk merumuskan bentuk sanksi sosial bagi setiap warga yang mecuri atau melakukan tindak pidana. Sanksi sosial bersifat mendidik dan penyadaran agar warga tidak mengulang perbuatannya. Bentuk sanksi dapat dikembangkan, dari yang ringan, yakni cukup minta maaf di depan forum dan berjanji tak mengulangi, kerja sosial, hingga diusir dari desa atau kampung. Manakala tindak pidananya berulang-ulang dengan motif ekonomi, pelaku dapat diserahkan ke kepolisian.
    Kedua, membangun mekanisme penyelesaian kasus melalui proses persidangan. Ketika seseorang melakukan tindak pidana ringan, ia tidak langsung diserahkan ke kepolisian, tetapi disidang oleh masyarakat.
    Dalam persidangan, tokoh-tokoh masyarakat, kepala desa/kampung, dan aparat kepolisian dihadirkan sebagai narasumber. Warga yang didakwa mencuri diberikan kesempatan menjelaskan alasannya mencuri. Kemudian kebenarannya dikonfirmasi kepada korban dan saksi. Setelah semua pihak memberi pertimbangan dan penilaian, baru diputuskan bentuk sanksi sesuai dengan kategori kesalahan. Hasil sidang dapat dibuat dalam bentuk akta perjanjian dengan terdakwa dan diketahui tokoh masyarakat sebagai saksi serta dikukuhkan oleh kepolisian.
    Mencegah Anarki
    Pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi berbagai tindak pidana ringan di lingkungannya kelak dapat membantu akses masyarakat miskin pada keadilan. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk hadir dalam persidangan dan jadi miskin karena kehilangan sumber mata pencaharian akibat dipenjara.
    Tanpa memberdayakan kapasitas hukum masyarakat, niscaya kasus-kasus sejenis AAL dan Ibu Minah akan muncul kembali. Pertanyaannya, siapkah lembaga penegak hukum menyerahkan sebagian kewenangannya kepada masyarakat? Jika tidak, ketika keadilan semakin jauh dari rakyat, dikhawatirkan kebencian masyarakat terhadap lembaga hukum dengan cara membakar kantor kepolisian dan pengadilan serta melakukan tindakan anarkistis lain akan menjadi masalah biasa.
  • Aparat dan Bisnis Kekerasan

    Aparat dan Bisnis Kekerasan
    Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR ICW
    Sumber : KOMPAS, 20 Januari 2012
    Dalam lingkup bisnis yang melibatkan aparat penegak hukum, baik secara lembaga maupun personal, terdapat tiga kategori umum yang berlaku.
    Pertama adalah bisnis formal sebagaimana tecermin dalam kepemilikan yayasan, koperasi, dan badan usaha lain yang dimiliki institusi penegak hukum, baik Polri maupun TNI.
    Jenis kedua adalah bisnis informal di mana para petinggi Polri dan TNI memiliki serta mengoperasikan badan usaha langsung ataupun tidak langsung, baik sebagai komisaris, direktur, maupun posisi strategis lain dalam suatu badan usaha.
    Terakhir adalah bisnis ilegal, yaitu sebuah aktivitas usaha yang ditopang otoritas koersif, seperti praktik beking penyelundupan, narkotika, perdagangan manusia, atau menjadi centeng pengusaha (Bisnis Militer Mencari Legitimasi, ICW, 2004).
    Pemerintah baru menyentuh level bisnis formal dengan membentuk tim nasional pengalihan bisnis militer sebagai implementasi perintah UU No 34/2004 untuk melepaskan semua kegiatan bisnis TNI. Kerja tim ini dipandang gagal karena tidak jelasnya definisi dan tipe bisnis yang harus diambil alih negara. Sebaliknya TNI berkukuh mengelola usaha skala kecil untuk membiayai kebutuhan prajurit yang belum disediakan oleh negara (APBN).
    Human Rights Watch mencatat berbagai kegagalan transformasi bisnis militer, terutama pada bisnis ilegal, karena masih maraknya praktik pembekingan oleh aparat TNI (HRW, 2010).
    Reformasi Absen
    Gagalnya usaha untuk mengembalikan khitah TNI sebagai aparat yang profesional dan tunduk pada kekuasaan sipil dilengkapi dengan tidak adanya kebijakan pemerintah untuk mereformasi bisnis di tubuh Polri.
    Sebelum dipisahkan, TNI/Polri adalah satu kesatuan sehingga baik TNI maupun Polri memiliki karakteristik penyimpangan yang sama, terutama dari sisi penyalahgunaan wewenang.
    Di Polri, koperasi, seperti Primkopol dan Yayasan Brata Bhakti Polri, adalah bentuk nyata dari bisnis Polri hingga hari ini. Akan tetapi, dorongan melakukan transformasi bisnis baru diarahkan kepada institusi TNI. UU No 2/2002 tentang Polri juga tidak memberikan mandat untuk mereformasi bisnis yang dikelola Polri.
    Implikasi dari absennya agenda reformasi pada bisnis di tubuh kepolisian adalah meningkatnya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan koersif yang mewujud dalam berbagai pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian di sejumlah daerah.
    Hal ini karena kepolisian pascareformasi memiliki wewenang tambahan untuk menjaga keamanan, mengambil alih fungsi yang sebelumnya dimiliki TNI. Pada aspek mengawal keamanan inilah, eskalasi kekerasan terhadap warga sipil terjadi. Kasus kekerasan di Freeport, Mesuji, Bima, dan sejumlah tempat lain membuktikan indikasi penyimpangan wewenang Polri.
    Swastanisasi Fungsi
    Salah satu implikasi serius dari pembiaran bisnis aparat, baik dalam lingkup formal, informal, maupun ilegal adalah sulitnya aparat kepolisian bersikap obyektif dalam merespons keadaan. Definisi keamanan jadi bias karena ada situasi bahwa biaya operasional kepolisian dalam menjaga keamanan disediakan oleh perusahaan atau pihak ketiga.
    Dalam kasus Freeport, misalnya, adanya biaya operasional untuk kepolisian dari pihak Freeport membuat aparat bertindak brutal dalam merespons demonstrasi karyawan dan warga Papua. Pengabdian atas tugas dan tanggung jawab kepolisian dalam memberikan rasa aman kepada publik pun diswastakan.
    Patut diduga tindakan brutal aparat kepolisian menghadapi tuntutan warga dalam sejumlah konflik agraria pun ditimbulkan oleh tiadanya independensi pembiayaan operasi aparat. Akibatnya, pengambilalihan lahan secara sewenang-wenang oleh kalangan swasta tidak pernah dianggap sebagai masalah hukum oleh pihak kepolisian.
    Dengan demikian, tanpa ada pembenahan yang mendasar dalam berbagai pelaksanaan fungsi dan wewenang aparat kepolisian—khususnya di bidang keamanan—akan selalu ada potensi kekerasan struktural dan berujung pelanggaran HAM.
    Polri memang tengah menggulirkan reformasi saat ini dalam bentuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan transparansi dalam pelaksanaan penegakan hukum (quick-win). Namun, hal itu masih belum memadai untuk menghentikan aksi kekerasan aparat Polri dalam kasus-kasus konflik warga sipil dengan pihak ketiga (pengusaha).
    Penting bagi pemerintah dan DPR untuk memikirkan bagaimana mengendalikan institusi penegak hukum yang mendapat kewenangan melakukan kekerasan atas nama UU agar tidak sewenang-wenang menggunakannya. Polri juga perlu membangun independensi pada aspek anggaran sehingga kegiatan aparat penegak hukum ini dapat dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas sipil. Memang seharusnya begitulah sistem demokrasi bekerja untuk rakyat.
  • Jangan sampai Hangus Terbakar

    Jangan sampai Hangus Terbakar
    Sulastomo, KETUA UMUM PB HMI 1963-1966
    Sumber : KOMPAS, 20 Januari 2012
    Buya Syafii Maarif awal tahun ini di Kompas menulis dengan judul ”Biar Negara Hangus Terbakar”. Buya prihatin, semboyan mengusir penjajah di awal kemerdekaan yang membangkitkan semangat merdeka atau mati yang berbunyi ”Biar negara hangus terbakar” telah berganti menjadi ”Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”.
    Lagi-lagi kekuasaan menjadi tujuan tertinggi. Inilah penguasa ”londo-ireng” (Belanda berkulit hitam), tulis Buya.
    Buya sedih, tidak banyak yang berpikir untuk masa depan. Sebaliknya, orang hanya berpikir kekinian, hanya pragmatis, yang dikatakan sudah jadi agama. Buya sedih, masyarakat kita telah menjadi masyarakat konsumtif. Masyarakat telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama melahirkan pula manusia tak berguna. Kita telah mengalami kelumpuhan nurani yang menjadi sumber utama segala ketidakberesan di Indonesia sekarang.
    Alhamdulillah, di bagian lain, Buya menulis, sudah begitu burukkah masyarakat kita sekarang? Saya rasa belum. Namun, gejala ke arah itu memang semakin terang benderang. Jika tidak dibendung secara saksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu akan semakin terbuka, demikian tulis Buya.
    Apa yang ditulis Buya sangat menyentuh. Mengesankan, kita tidak hanya tidak amanah terhadap cita-cita kemerdekaan, tetapi juga sebagai ”khalifah” di Bumi sebagaimana ajaran agama. Sebab, cita-cita kemerdekaan yang dicanangkan para pendiri bangsa penuh dengan nilai-nilai moral yang tinggi. Mengapa kondisi bangsa sekarang seperti digambarkan Buya?
    Perjalanan bangsa ini dapat dikatakan sangat berliku dan melalui jalan terjal yang dapat menggagalkan Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.
    Salah Jalan
    Seusai perjuangan kemerdekaan, sejak tahun 1950-an Indonesia memiliki momentum yang baik untuk mengisi kemerdekaan. Namun, kita memilih jalan yang keliru. Kita memilih sistem parlementer, dengan demokrasi (liberal) yang membuka persaingan ideologi begitu tajam.
    Pemilihan umum yang berlangsung tahun 1954/1955—yang kita nilai sebagai yang paling demokratis—gagal melahirkan stabilitas politik. Kabinet Ali/Roem/Idham (koalisi PNI/Masyumi/NU), meskipun didukung suara yang sangat besar di parlemen, hanya berusia 17 bulan.
    Selain itu, timbul pergolakan daerah, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat dan Perjoangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara.
    Dwitunggal Soekarno/Hatta tanggal ketika Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Konstituante pun gagal merumuskan Undang-Undang Dasar karena pertentangan ideologi Islam dengan Pancasila.
    Akhirnya, Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959. Semua partai politik, termasuk partai politik Islam, menyetujui kebijakan Presiden.
    Tahun 1960-1965, kita memasuki era baru. Bung Karno , sesuai UUD 1945, merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sistem politik disesuaikan dengan UUD 1945, di mana diakui keberadaan perwakilan golongan di DPR dan utusan daerah di MPR. ABRI dengan dwifungsinya dan pegawai negeri sipil/Korpri masuk ke politik melahirkan Fraksi Karya Pembangunan di DPR/MPR.
    Di luar DPR/MPR, mereka bergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pertentangan ideologi ternyata tidak menyurut meskipun dalam bungkus Pancasila. Partai Komunis Indonesia (PKI) menempatkan Pancasila sebagai alat pemersatu yang kemudian diakomodasi dalam konsep Nasionalis/Agama/Komunis (Nasakom) yang diperkenalkan Bung Karno.
    PKI ternyata semakin dominan dan hanya dapat diimbangi oleh TNI Angkatan Darat sebagai bagian dari Sekber Golongan Karya. Puncaknya adalah tragedi 30 September 1965, di mana pimpinan teras Angkatan Darat diculik, dibunuh, kemudian diiringi dengan bunuh-membunuh antarwarga yang melahirkan era ”Orde Baru”.
    Orde Baru lahir dengan tekad untuk mengamalkan Pancasila/UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Melalui kursus Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pancasila disosialisasikan kepada seluruh warga negara. Kebijakan yang berorientasi program diperkenalkan sebagai pengganti kebijakan berorientasi politik.
    Strategi pembangunan diperkenalkan sebagai Trilogi Pembangunan mencakup stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Selama 30 tahun Orde Baru, Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang tinggi. Namun, strategi Orde Baru itu dinilai tidak demokratis, bahkan otoriter. Jumlah partai dibatasi dan diharuskan berasas Pancasila. Orde Baru akhirnya jatuh.
    Era Reformasi
    Memasuki era refomasi pada tahun 1998, tatanan berbangsa dan bernegara diperbarui untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. UUD 1945 diamandemen, otonomi daerah didorong, pendirian partai baru dibuka lebar, dan pemilihan langsung diperkenalkan.
    Sampailah kita pada kondisi yang digambarkan Buya Syafii Maarif. Hampir setiap hari kita menyaksikan kekerasan dengan berbagai alasan, korupsi menjadi berita sehari-hari, sengketa pilkada terus berjalan, dan bahkan ada istilah :mafia hukum” ataupun ”korupsi berjemaah”.
    Semua itu mengesankan bangsa ini telah kehilangan nurani sebagaimana digambarkan Buya Syafii Maarif. Suara-suara keprihatinan dan koreksi mulai bergaung, bahkan dalam bentuk yang sangat pesimistis, biar negara hangus terbakar.
    Tugas setiap generasi adalah meninggalkan kondisi yang lebih baik bagi generasi berikutnya. Kalau hal ini berlangsung, kehidupan bangsa ini ibarat rantai yang panjang. Idealnya, setiap generasi harus belajar dari generasi sebelumnya. Meneruskan yang baik dan memperbaiki yang belum baik atau yang buruk. Inilah makna seruan Bung Karno, ”Jas merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”
    Namun, sebagaimana digambarkan di atas, di setiap pergantian, kita selalu memulai dari ”nol”. Seolah-olah generasi pendahulu tidak pernah mewariskan kondisi yang baik dan generasi penerus selalu menganggap generasi sebelumnya buruk. Jalan kita menjadi berkelok dan terombang-ambing situasi.
    Tugas setiap generasi adalah meluruskan kembali jalan yang berkelok itu. Jangan sampai negara hangus terbakar.
  • Saat Final Penantang Obama

    Saat Final Penantang Obama
    A. Safril Mubah, PENGAJAR SISTEM POLITIK AS
    PADA DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNAIR
    Sumber : JAWA POS, 20 Januari 2012
    MENJELANG primarySouth Carolina, Sabtu (21/1) besok, langkah Mitt Romney untuk memenangkan nominasi calon presiden Partai Republik dalam menghadapi pemilu Amerika Serikat 6 November mendatang semakin mantap. Gubernur Massachusetts (2003-2007) itu memiliki modal kemenangan dalam dua pemilihan pendahuluan di Iowa (3/1) dan New Hampshire (10/1). Romney juga mengantongi dukungan Jon Huntsman, salah seorang kandidat yang mengundurkan diri Senin lalu (16/1). Dalam pidato pengunduran dirinya, mantan gubernur Utah itu mengajak bersatu partainya dan meski berbeda dalam beberapa isu, “I believe that candidate is Gov. Mitt Romney.” Meski sudah meninggalkan jabatan gubernur, sesuai dengan tradisi politik AS, Romney tetap disebut gubernur.

    Sebelumnya, anggota DPR dari Minnesota Michele Bachman juga menyatakan mundur dari pencalonan (4/1) setelah kalah dalam kaukus Iowa. Bergugurannya para lawan menjadikan Romney hanya menghadapi tantangan serius dari mantan senator Pennsylvania Rick Santorum, anggota DPR dari Texas Ron Paul, dan mantan Ketua DPR Newt Gingrich. Dalam kaukus Iowa, Santorum menempati posisi kedua, diikuti Paul dan Gingrich. Sementara, dalam primary New Hampshire, Paul bertengger di posisi kedua, di atas Santorum dan Gingrich.

    Kemenangan di Iowa dan New Hampshire kian memperbesar peluang Romney untuk menantang Barack Obama yang sudah dipastikan menjadi capres Partai Demokrat. Dalam tradisi politik AS, pemenang di kedua negara bagian itu hampir selalu meraih tiket nominasi partai. Pada Pemilu 2008, misalnya, Obama berhasil memenangi konvensi Partai Demokrat setelah menang pada pemilu awal di kedua wilayah tersebut. Dia akhirnya meraih kursi presiden setelah mengalahkan John McCain, kandidat Partai Republik.

    Kaukus Iowa dan primary New Hampshire selalu memiliki arti strategis bagi politikus yang ingin menjadi presiden AS. Sebagai pemilihan pendahuluan yang digelar paling awal, keduanya merupakan titik pijak yang sangat menentukan bagi bakal capres untuk bersaing di tahap berikutnya. Hasil di Iowa dan New Hampshire merupakan indikator awal tingkat elektabilitas seorang kandidat. Jika menang di kedua negara bagian itu, seorang kandidat dapat dikatakan memiliki tingkat elektabilitas tinggi. Kondisi ini sangat mungkin memengaruhi pilihan publik pada pemilihan pendahuluan selanjutnya.

    Di South Carolina, Romney sesungguhnya menghadapi rintangan besar. Sebagai penganut agama Mormon, dia kurang disukai kelompok Evangelis Kristen yang tersebar di South Carolina. Pandangan konservatifnya yang moderat juga ditentang Tea Party, kelompok garis keras di Partai Republik yang berbasis di negara bagian itu. Meski demikian, Romney tetap optimistis menang karena disokong Gubernur South Carolina Nikki Haley.

    Setelah South Carolina, pemilihan pendahuluan dihelat di Florida (31/1), Nevada (4/2), Colorado dan Minnesota (7/2), Maine (11/2), Arizona dan Michigan (28/2), Washington (3/3), serta di sepuluh negara bagian secara serentak (6/3) yang disebut Super Tuesday. Seluruh kandidat meyakini bahwa Super Tuesday merupakan momentum kunci untuk memenangkan nominasi karena hampir 30 persen suara delegasi diperebutkan di ajang ini.

    Faktor Penentu

    Super Tuesday adalah ujian sesungguhnya bagi Romney. Apakah Romney mampu melewati ujian ini? Jawabannya bergantung pada beberapa faktor penentu keberhasilan memenangkan pemilihan presiden AS, seperti dukungan dana, partai, dan dinamika jajak pendapat. Karena itu, Romney perlu meraup dana kampanye sebanyak-banyaknya, memperluas dukungan dari tokoh-tokoh sentral partai, dan tampil cemerlang dalam sejumlah jajak pendapat.

    Dalam hal pendanaan, hingga kini Romney telah mengumpulkan USD 56 juta. Walaupun masih kalah jauh bila dibandingkan Obama yang telah meraup USD 244 juta, sepertinya uang bukanlah masalah besar bagi Romney. Sebagai pengusaha sukses dengan kekayaan USD 250 juta, Romney yang telah malang melintang di berbagai perusahaan dapat menggerakkan jaringan bisnisnya untuk memaksimalkan dana kampanye. Untuk urusan ini, politikus 64 tahun itu tidak dapat ditandingi kandidat Partai Republik lainnya.

    Dukungan dana semakin berarti dengan dukungan McCain, salah seorang sosok paling berpengaruh di Partai Republik. Sebagai senator berpengalaman dan capres Partai Republik pada Pemilu 2008, dia masih memiliki jutaan pendukung di banyak negara bagian. Demi menyukseskan pencalonan Romney, bisa saja McCain membujuk para pendukungnya untuk memberikan suara kepada mantan pesaingnya dalam konvensi Partai Republik empat tahun lalu itu.

    Dukungan bertubi-tubi tersebut mengantarkan Romney unggul dalam semua pollingyang digelar berbagai lembaga survei pertengahan Januari ini. Fox Newsmenempatkan Romney di posisi pertama dengan 40 persen, unggul 25 poin dari Santorum yang menempati peringkat kedua. Gallup juga menempatkan Romney di puncak dengan 37 persen, jauh di atas Santorum yang meraih 14 persen. Hasil serupa terlihat dalam jajak pendapat Reuters yang mengunggulkan Romney dengan 30 persen, dibandingkan Gingrich yang menguntit di belakangnya dengan 20 persen.

    Mencermati semua itu, tampaknya tiket nominasi Partai Republik semakin dekat dalam genggaman Romney untuk menantang Obama.

  • Depresi Sosial dan Wacana Keberbedaan

    Depresi Sosial dan Wacana Keberbedaan
    Anggun Trisnanto, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL DI INSTITUTE OF SOCIAL STUDIES DEN HAAG, BELANDA
    Sumber : KORAN TEMPO, 20 Januari 2012
    Perbedaan adalah rahmat. Doktrin ini sebaiknya diingat sekaligus dicerna lebih dalam untuk melihat fenomena keberbedaan yang muncul di Indonesia. Sengketa Syiah dan Sunni yang akhir-akhir ini muncul dan menimbulkan banyak korban perlu dilihat setidaknya dalam dua hal mendasar. Pertama, bagaimana persamaan dan pertidaksamaan dalam relasi sosial diangkat dan dieksploitasi. Kedua, bagaimana relasi sosial yang muncul atas sikap masyarakat terhadap persamaan dan pertidaksamaan tersebut.
    Dalam kurun lebih dari 30 tahun kepemimpinan Orde Baru, masyarakat Indonesia mengalami “pemerkosaan” hebat, baik material, sosial, maupun psikologis. Kalau melihat buku wajib bacaan yang harus dibaca oleh siswa sekolah dasar, dari tahun ke tahun sama. Bahkan, dengan dalih ekonomis, buku yang dipakai saudara tua masih bisa digunakan oleh adik-adiknya. Dalam hal ini, siswa Indonesia yang kelak menjadi masyarakat Indonesia sudah mengalami dominasi pemikiran. Persepsi mereka sama karena membaca buku yang sama, guru yang sama. Kalau sudah demikian, perbedaan menjadi barang ekonomis (barang langka), kalaupun muncul, tidak akan berkembang karena tertekan oleh kekerasan struktur yang diciptakan oleh rezim Orde Baru.
    Hal lain adalah masyarakat kita tidak terbiasa dengan ritme pertanyaan kritis. Bisa diyakinkan, generasi muda Indonesia yang sekarang berusia 30-an pasti hafal nama-nama pahlawan revolusi, tapi sangat sedikit yang mau bertanya mengapa terjadi revolusi, apa yang terjadi ketika itu, mengapa mereka disebut pahlawan revolusi, revolusi terhadap apa, dan sebagainya. Mayoritas pendidikan Indonesia masih berkutat pada pertanyaan siapa, apa, di mana, dan kapan serta belum “naik kelas” menjadi pertanyaan mengapa dan bagaimana.
    Tidak mengherankan jika pemerkosaan pendidikan selama rezim Orde Baru menghasilkan pemikiran linear, sama, dan tidak pernah berpikir out of the box(alternatif, sangkalan). Lalu apa relevansi kungkungan sosial atas nama pendidikan terhadap isu Syiah dan Sunni? Mari kita lihat, bagi mereka yang memberi stigma negatif kepada kelompok lain, perlu ditanya lebih jauh: parameter apa yang digunakan untuk menilai, dalam konteks apa kemunculan perbedaan itu ada, dan dengan tujuan apa.
    Sering kali kita terjebak dalam monolitik linearitas bahwa seolah-olah paham kita yang paling benar dan di luar kita itu yang tidak benar. Padahal benar dan tidak benar perlu diuji oleh sistem baku, oleh lembaga netral, dan oleh waktu/sejarah itu sendiri. Dalam konteks Orde Baru, struktur baku pembangunan dititikberatkan pada stabilitas politik, sosial, dan budaya, sehingga apa pun bentuk perbedaan yang muncul akan diberangus, baik dengan cara langsung (direct violence) maupun tidak (structural violence). Inilah yang menyebabkan mengapa masyarakat Indonesia alergi terhadap perbedaan.
    Seharusnya kita boleh juga bertanya balik, apakah pihak yang menuding yang salah itu bisa dikatakan benar? Kalaupun benar, itu menurut siapa? Model-model pertanyaan ontologis seperti ini yang masih jarang diungkap atau takut diungkap. Sesat pikir yang terjadi justru malah menjerumuskan kita pada pemikiran picik tentang kebenaran. Sebaliknya, bisa jadi munculnya perbedaan terjadi karena kebosanan pada paradigma lama. Kalau masalah-masalah ini selesai, mungkin tidak perlu takut pada perbedaan.
    Hal kedua yang juga mendesak adalah bagaimana reaksi sosial yang muncul menyikapi perbedaan. Sejauh ini konflik perbedaan paham selalu berakhir dengan kekerasan (penghancuran tempat ibadah, pemukulan, dan pembunuhan). Melihat hal ini, perlu diangkat bahwa apa betul masyarakat Indonesia yang dikenal pernah punya peradaban Majapahit dan Sriwijaya yang adiluhung itu tega melakukan kekerasan kepada saudaranya sendiri. Kalaupun iya, mengapa dan apa motif melakukan kekerasan.
    Sejarah juga pernah mencatat bahwa masyarakat Indonesia adalah entitas sosial yang permisif. Pada masa lampau, jarang ditemui pembakaran massa, penggorokan leher, dan model pembunuhan lain yang menjijikkan. Namun, saat ini betapa pendulum itu berubah. Masyarakat Indonesia sekarang begitu reaksioner, cepat dan membabi-buta. Cara-cara lain yang lebih rasional dan elegan justru diabaikan. Lihatlah betapa nahasnya pencopet yang dihajar massa hingga mati.
    Interseksi antara semangat euforia fanatis dan depresi sosial adalah kunci kombinasi yang sangat ideal untuk melihat masyarakat Indonesia dewasa ini. Pada tahun-tahun mendatang, tidak hanya konflik agama yang akan mengalami penghakiman jalanan, tapi apa pun bentuk keberbedaan, sangkalan, dan tentangan yang sifatnya di luar mainstream akan diperlakukan sama. Semangat menghakimi lebih besar daripada semangat mencari tahu apa sebab keberbedaan.
    Ada baiknya sejenak kita lepas dari kungkungan endemik linearitas demi melihat kemunculan kebenaran dengan kacamata dan pikiran yang jernih. Hal ini tidak sulit sejatinya, yang dibutuhkan justru seluas mungkin melakukan diskusi, tukar pikiran, gotong-royong, musyawarah, dan saling membantu, sama seperti yang dulu pernah kita punya. Membangkitkan kembali metode ini setidaknya merupakan pilihan rasional yang bisa ditempuh.
  • Teologia Agraria dan Jalan Islah

    Teologia Agraria dan Jalan Islah
    Musyafak, ANGGOTA STAF BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA SEMARANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 20 Januari 2012
    Reforma agraria (land reform) kembali mencuat dalam diskursus politik-hukum belakangan ini. Tragedi berdarah yang pecah di Sape, Bima, pada akhir 2011, juga terkuaknya tragedi berdarah di Mesuji, Lampung, mendesak pemerintah melakukan perombakan Undang-Undang Pokok Agraria yang inklusif dan mampu menjamin hak agraria warga Indonesia dari ancaman monopoli pemilik modal, serta menjaga kesetimbangan agraria dari gerak eksplorasi industri yang cenderung eksploitatif.
    Pelbagai kasus sengketa tanah yang mencuat belakangan ini membelalakkan mata kita soal pertanahan yang potensial membiakkan pertumpahan darah. Di samping berkah, sebaliknya tanah menjadi sumber tulah dan musibah. Sebagaimana catatan Konsorsium Pembaruan Agraria 2011, setidaknya terdapat 163 kasus sengketa tanah yang menelan 22 korban jiwa di 25 provinsi. Jumlah kasus sengketa dari tahun ke tahun pun mengalami tren kenaikan.
    Ragam faktor melatarbelakangi kegentingan dan ketegangan perkara kepemilikan tanah. Selain aset produktif yang berharga, tanah menahbiskan identitas individu atau kelompok masyarakat tertentu. Eksistensi marga, klan, etnis, bahkan bangsa tak bisa tidak mengacu pada batas teritorial tanah yang mengukuhkan kedaulatan sekaligus kejatidirian.
    Teologi Agraria
    Di tengah desakan perombakan tata hukum agraria, agama sebagai sistem kepercayaan dan nilai, perlu dirumuskan bangunan teologis yang mampu menyokong diskursus agraria yang adil serta damai. Teologi agraria mesti dibangun atas pijakan kontekstualitas dan relevansinya terhadap kekhasan perkara-perkara pertanahan di negeri ini.
    Teologi agraria, merujuk pada konsep “teologi tanah” yang dipaparkan Abu Rokhmad (Teologia, Vol. 21 Nomor 1, 2010: 15), adalah pengetahuan tentang hak atas tanah yang dikaji berdasarkan sistem keyakinan dalam Islam. “Teologi tanah” tersebut diturunkan satu paket dengan “teologi penyelesaian sengketa hak atas tanah”, yakni landasan teologi Islam mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah.
    Teologi agraria semestinya mampu memerankan fungsi-fungsi fundamental. Pertama, landasan pengetahuan-kesadaran religius masyarakat mengenai makna kepemilikan tanah, baik dalam relasinya dengan Tuhan maupun antarsesama. Kedua, sistem nilai yang patut dijadikan acuan untuk menjamin hak kepemilikan tanah bagi individu atau kelompok masyarakat. Ketiga, landasan penyelesaian (resolusi) konflik sengketa kepemilikan tanah yang melibatkan pelbagai aktor, misal individu versus individu, individu versus kelompok, atau kelompok versus kelompok. Keempat, basis moral yang menyediakan etika religius dan etika sosial dalam pengelolaan tanah.
    Islam telah menautkan manusia dengan tanah ke dalam relasi yang intim, dan menegaskan suatu filosofi eksistensial. Tanah menyangkut sejarah muasal manusia: gerak hidup yang bertolak dari tanah dan kembali ke tanah. Tanah adalah medan tempat manusia berawal, tumbuh-kembang, dan berakhir. Tanah mengintensifkan kesadaran religius manusia tentang perjalanan hidupnya di muka bumi.
    Islam membakukan kepemilikan atau kekuasaan tanah secara mutlak berada di tangan Allah (QS 2: 107, 10: 68, 22: 64, 25: 2, dan 31: 26). Namun Tuhan mengedarkan kewenangannya dalam bentuk mandat kepada manusia untuk mengelola dan memanfaatkan tanah. Hak manusia atas tanah ialah kepemilikan relatif. Status sebagai khalifah menugasi manusia untuk memakmurkan bumi atau tanah (QS 11: 61). Mandat pemakmuran itu meliputi ikhtiar pemanfaatan, pengolahan, pemberdayaan, sekaligus pendistribusian hak-hak (penguasaan) tanah.
    Etika pemanfaatan tanah mesti menghindar dari laku kerakusan. Kerakusan potensial mendegradasi struktur alam dan merusak sosial. Sejarah telah memaparkan kerakusan manusia atas tanah telah memicu imperialisme-kolonialisme yang menghinakan martabat kemanusiaan. Mencermati tren sengketa tanah belakangan ini, umumnya aktor-aktor yang terlibat adalah kelompok masyarakat vis a visperusahaan. Jamak kalangan menilai kelompok masyarakat lebih kerap kalah dan menjadi korban di hadapan hukum, karena aparatur pemerintah cenderung memihak perusahaan. Tak pelak, akhir-akhir ini negara menjadi bahan cibiran dalam soal penjaminan dan perlindungan hak-hak kepemilikan tanah individu atau kelompok masyarakat.
    Dari segi prinsip sosial pemanfaatan tanah, Islam menegaskan bahwa pemanfaatan tanah, baik secara individu, kelompok, maupun perusahaan, semestinya tidak merugikan individu atau kelompok masyarakat lainnya. Pemanfaatan tanah mesti membawa kesejahteraan bersama bagi pengelola ataupun individu-individu di sekitarnya.
    Riwayat tentang konflik saluran air pada masa Khalifah Umar menarik untuk dijadikan kaca benggala. Alkisah, kebun milik sahabat Al-Dlahhak bin Huzaifah al-Ansari tidak bisa dialiri air kecuali melalui tanah kebun Muhammad bin Maslamah. Namun Maslamah tidak mengizinkan pembuatan saluran air di area kebunnya. Khalifah Umar memutuskan agar Maslamah merelakan sebagian tanahnya dengan tegas mengatakan, “Demi Tuhan, andai tidak ada jalan lain kecuali melalui perutmu sekalipun, tetap aku lewatkan air itu dari perutmu,” (Rokhmad, 2010: 11).
    Ilustrasi tersebut menegaskan, penguasaan tanah harus menghadirkan kemanfaatan bagi orang lain. Dalam konteks ekonomi lebih luas, tidak dibenarkan perusahaan-perusahaan yang memonopoli bagian keuntungan untuk masyarakat sekitar, apalagi merampas hak-hak tanah warga. Perusahaan mengemban tanggung jawab untuk menjaga harmonisasi antarwarga masyarakat, di samping melakukan kerja produksi dan menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat.
    Jalan Islah
    Problem sengketa tanah tergolong perkara multidimensional, yang mencakup beragam aspek adat, budaya, agama, dan lain-lain. Hukum positif dan pengadilan umum hingga hari ini tampak belum menunjukkan kontribusi signifikan dalam menanggulangi bentrok massa, intimidasi, dan kekerasan yang memakan korban. Islam menawarkan jalan damai dalam penyelesaian sengketa tanah. Jalan islah (perdamaian) bisa ditempuh dengan jalan dialog (syura) secara intensif di antara pihak-pihak yang terlibat konflik.
    Dialog dipentingkan sebagai jalan tabayyun untuk mencari kejelasan suatu kebenaran atau fakta secara mendetail, teliti, dan hati-hati. Metode tabayyundengan mengkonfirmasi kedua pihak yang bersengketa niscaya produktif untuk mengecek ulang dan menelusuri fakta-fakta historis-diakronis mengenai sejarah kepemilikan tanah serta perpindahan kuasanya.
    Jalan tabayyun-islah menjanjikan upaya resolusi konflik secara damai dan selamat karena diiringi spirit keterbukaan serta kesetaraan mengeluarkan pendapat. Islah mengurangi risiko gesekan massa secara fisik sekaligus memberi peluang bangkitnya etika toleransi sekalipun berada di batas konflik. Sebagai jalan damai sengketa tanah, islah membutuhkan mediator-mediator (penengah) yang jujur, teliti, dan adil untuk memutuskan perkara secara win-win solution. Pengadilan menjadi jalan terakhir ketika upaya islah tidak tercapai karena kebuntuan kompromi.  
  • Fenomena Memamerkan Kekuasaan

    Fenomena Memamerkan Kekuasaan
    Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 20 Januari 2012
    PADA 16 Januari 2012, penulis diundang Metrotv untuk rekaman program ”Mata Najwa”. Tema yang dibicarakan adalah bullying. Karena dirasa asing maka judul topiknya dikemas lebih seksi: ”Unjuk Kuasa”. Penulis diminta membahas bullying dari perspektif sosiologi. Benarkah tindakan itu memang persoalan pamer kekuasaan? Mengapa demikian?
    Bullying, demikian dijelaskan Sonia Sharp dan Peter K Smith (2003), bisa dimengerti sebagai perilaku yang disengaja dan bertujuan melukai. Tindakan itu terjadi berulang dan berlanjut selama mingguan, bulanan, dan bahkan tahunan.
    Korban sulit mempertahankan diri. Motif yang mendasari adalah penyalahgunaan kekuasaan serta hasrat menjalankan intimidasi dan dominasi sehingga memang benar bahwa bullying terkait dengan kekuasaan.

    Konsep yang lebih detail dikemukakan Ken Rigby (2003) yang mengatakan tindakan itu melibatkan hasrat untuk melukai dan diwujudkan dalam tindakan. Munculnya tindakan itu akibat dari ketidakseimbangan kekuasaan yang dimiliki oleh individu-individu. Aspek penting lain, tindakan itu merupakan penggunaan kekuasaan yang tidak adil yang dilakukan secara terus-menerus (repetitif).

    Terdapat beberapa bentuk bullying. Pertama; verbal, yaitu diwujudkan lewat ucapan ataupun pernyataan. Kedua; fisik, yang melibatkan kekerasan untuk melukai tubuh seseorang. Ketiga; eksklusi sosial, yakni aksi pengucilan seseorang karena dianggap sebagai sosok yang tidak menyenangkan dan pantas disingkirkan. Perilaku ini dilakukan secara berkelompok.

    Pelaku dan Korban

    Secara sosiologis, bullying adalah wujud ketidakberimbangan kekuasaan. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti apa yang diinginkan dan diperintahkan pihak tertentu. Pihak yang memerintah adalah profil yang berkuasa. Adapun yang cuma menjalankan perintah adalah pihak yang tidak berkuasa. Bullying serupa dengan aksi-aksi dalam kerajaan binatang. Hukum yang diterapkan adalah siapa paling kuat maka dia boleh hidup.

    Homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Siapa yang menjadi pelaku dan korban? Karena aksi-aksi dari tindakan itu sangat berkaitan dengan kekuasaan, pelaku adalah pihak yang berada dalam posisi dominan. Pihak yang menjadi korban atau targetnya adalah kalangan minoritas.
    Dari cara pandang ini, siapa pun berpotensi menjadi pelaku. Relasi-relasi sosial yang terbentuk melibatkan identitas dan posisi dalam struktur sosial. Identitas di sini dapat dilihat dalam keberadaan agama, etnis, gender, orientasi seksual, kelas sosial, atau ketidakmampuan fisik (disability).

    Bullying tidak hanya terjadi pada lingkup sekolah dasar dan menengah. Di tempat kerja yang nyaman pun, dapat berlangsung. Termasuk muncul melalui telepon seluler, dalam bentuk kiriman pesan singkat (SMS) yang memuat ancaman dan olok-olok, misalnya. Bahkan, dalam wilayah sosial yang bersifat virtual (internet), misalnya media sosial seperti facebook, twitter, dan e-mail, yang biasa disebut cyber bullying. Semua ini menunjukkan bahwa tindakan itu  mengikuti dinamika relasi sosial dan teknologi.

    Aspek lain yang juga harus dilihat adalah bullying merupakan bentuk distorsi komunikasi. Kebermaknaan dan saling pengertian yang melibatkan penyampaian pesan-pesan di antara kalangan partisipan adalah sifat dasar komunikasi. Apa yang diandaikan dalam komunikasi adalah keseimbangan bagi semua pihak yang terlibat. Jurgen Habermas, seperti diuraikan oleh Andrew Edgar (2006), mengidentifikasi tiga fungsi tindakan komunikatif, yakni menyampaikan informasi; memantapkan relasi sosial dengan pihak lainnya; dan mengekspresikan pendapat dan perasaan.
    Apa yang terjadi pada bullying merupakan distorsi dari tiga fungsi itu karena menunjukkan kebencian, merusak hubungan sosial, serta mengekspresikan prasangka dan perilaku diskriminatif.

  • Kasus Sandal dan Keadilan Restoratif

    Kasus Sandal dan Keadilan Restoratif
    Roby Simamora, PEMINAT FILSAFAT, TINGGAL DI PADANG
    Sumber : SINAR HARAPAN, 19 Januari 2012
    Belum lekang di ingatan kita kisah 10 anak penyemir sepatu yang disidang Pengadilan Negeri (PN) Tangerang karena dituduh main judi di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
    Anak-anak itu terpaksa menghabiskan hari-harinya di dalam tahanan dan si ibu harus menghabiskan biaya besar untuk menghadiri persidangan anaknya, padahal biaya untuk hidup sehari-hari saja sudah susah.
    Sekarang, seorang siswa SMK harus menjalani proses hukum formal yang panjang dan melelahkan karena dituduh mencuri sandal seorang polisi. Kita heran, kenapa hukum kita begitu rumit dan kejam bagi orang-orang kecil yang tersandung kasus-kasus hukum?
    Penulis sempat melihat kejamnya proses hukum pidana bagi orang miskin ketika hendak mengikuti jalannya persidangan kasus kriminalisasi aktivis perempuan Sumatera Barat (Sumbar) bernama Nurhayati Kahar. Ia dituduh menyimpan 1 gram sabu-sabu, namun belakangan Pengadilan Tinggi Sumbar membebaskannya karena bukti-bukti lemah.
    Penulis melihat seorang bapak yang sudah kehilangan salah satu kakinya dengan baju lusuh terpaksa menghabiskan hidup selama beberapa bulan di tahanan polisi dan kejaksaan hanya karena merusak pekarangan tetangganya.
    Hakim yang merasa seperti ahli moral menceramahi si bapak lalu mencampakkannya kembali ke penjara selama tiga bulan. Padahal, barangkali anak dan istrinya menanti di rumah. Lantas, tidakkah ada cara pengadilan yang cepat dan efisien bagi orang-orang kecil?
    Keadilan Restoratif
    Dalam tayangan televisi, seorang hakim agung, mantan politikus, dan Ketua Komisi Yudisial (KY), ketika dimintai tanggapannya soal kasus pencurian sandal jepit, dengan enteng berkata, “Itulah hukum yang harus ditegakkan. Jangan mengintervensi hakim dalam memutus perkara.”
    Sangat disayangkan, seorang hakim agung yang juga profesor hukum pidana dan mengagungkan kata-kata keadilan restoratif tampaknya tidak paham konsep itu.
    Baginya, penghukuman adalah cara hakim untuk menyadarkan pelaku dan memulihkan hak-hak si korban. Jadi si hakim agung pun menganggap si polisi yang mengadukan anak SMK yang mencuri sandalnya itu adalah korban yang harus dijamin hak-haknya.
    Jadi, apakah keadilan restoratif (restorative justice system) dapat memberikan keadilan yang memuaskan dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana, terutama yang menjerat mereka yang lemah termasuk anak-anak? Keadilan restoratif kini sedang populer di tataran global dan didukung penuh oleh PBB lewat penerbitan buku-buku panduannya dan sosialisasi, dan sesungguhnya bukan barang baru bagi kita masyarakat Indonesia.
    Dulu para antropolog dari luar negeri mempelajari cara-cara penyelesaian sengketa, termasuk kasus-kasus pidana dalam masyarakat adat di Nusantara dan di negara-negara Asia lainnya.
    Mereka menyimpulkan penyelesaian sengketa melalui musyawarah yang melibatkan korban, pelaku, dan komunitas setempat berjalan dengan proses yang cepat, efisien, dan hasilnya diterima para pihak.
    Hukuman bagi pelanggar adat sering kali tidak dalam bentuk hukuman badan, tetapi dengan denda dan diakhiri dengan upacara adat untuk mengharmoniskan kembali komunitas dan lingkungan. Si korban merasa diayomi karena dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara dan anggota komunitas tetap merasa bertanggung jawab dengan keutuhan komunitasnya.
    Cara-cara masyarakat kita itu lalu dibawa ke negara asal para antropolog untuk dicoba diterapkan dan menjadi referensi bagi PBB untuk menyusun manual-manual keadilan restoratif.
    Terang saja, Filipina dan Selandia Baru (Zulfa, 2011: 160-165) tercerahkan untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana anak melalui lembaga diversi dengan keadilan restoratif. Pemerintah Selandia Baru pada 1989 mengesahkan UU Perlindungan Anak dan Keluarga yang menjadi pedoman bagi polisi dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana anak di luar pengadilan.
    Ini berangkat dari dampak buruk proses peradilan pidana bagi anak, karena stigma negatif, dan bukan tempat yang cocok bagi perkembangan dan pendidikan anak.
    Berbagai Contoh
    Memang tepat apa yang dikatakan ibu koordinator aksi pengumpulan sandal jepit di kantor Komisi Perlindungan Anak, bahwa si siswa SMK yang dituduh mencuri sandal itu seharusnya ditegur atau diperingati dulu oleh polisi.
    Polisi Selandia Baru memiliki empat tahapan yang diterapkan pada anak pelaku kejahatan: (1) menggunakan peringatan secara informal; (2) peringatan tertulis; (3) merancang sebuah program diversi untuk menghindari penahanan dan cap/label sebagai penjahat, memenuhi kebutuhan-kebutuhan korban dan pelaku tanpa melalui proses formal, dan menghindari anak mengikuti proses peradilan pidana; (4) merancang sebuah family group conferences yang biasanya diikuti para pelaku kejahatan serius, seperti pembunuhan dan pembunuhan berencana.
    Filipina dulu memenjarakan ribuan anak pelaku kejahatan dan mereka digabung dengan tahanan dewasa karena ketiadaan penjara anak.
    Sadar akan risiko buruk yang diterima anak (kekerasan napi dewasa, ketiadaan layanan kesehatan, dokter gigi, psikolog) maka pada 2001 Filipina meluncurkan dua proyek perlindungan anak dan penanganan perkara pidana anak: Community Based Diversion dan The Balay Pasilungan (rumah/shelter) Project.
    Program tersebut bertujuan meminimalkan penanganan kasus-kasus kejahatan anak ke dalam sistem peradilan pidana, menawarkan mediasi untuk menangani perkara pidana anak, dan memperhatikan hak-hak anak sebagaimana yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak.
    Program ini menjadikan desa sebagai sarana untuk memberikan pembinaan dan rehabilitasi yang lebih baik bagi anak ketimbang lembaga dalam sistem peradilan pidana.
    Proyek yang berlangsung sejak 2001 ini memilih 12 desa percontohan dan melibatkan pihak-pihak seperti pemda, relawan dari masyarakat (disediakan pelatihan), anak mantan tersangka dan orang tuanya, sekolah, organisasi keagamaan, polisi, dan NGO. Program itu benar-benar mengandalkan keterlibatan masyarakat sebagai penggerak, fasilitator, sekaligus evaluator dari kemajuan yang dicapai anak.
    Keadilan restoratif harus mendapat perhatian dan tempat dalam sistem hukum nasional, dan kalau kita mau, kita bisa menghidupkan kembali kearifan lokal kita dalam penyelesaian sengketa sambil bersinergi dengan penegak hukum yang mempunyai kewenangan diskresi dan lembaga oportunitas.
    Kita mengapresiasi langkah Kejaksaan Negeri Cilacap yang tidak meneruskan perkara pencuri pisang ke pengadilan sehingga memberi kelegaan bagi pelaku dan keluarga, korban yang sudah ikhlas, dan kita yang memetik pelajaran.