Blog

  • Hukum dan Paradigma Kepemerintahan

    Hukum dan Paradigma Kepemerintahan
    Jack Yanda Zaihifni Ishak, MEMPEROLEH GELAR PHD BIDANG KEBIJAKAN PUBLIK DARI UNIVERSITAS SAIN MALAYSIA, PENANG MSA
    Sumber : KORAN TEMPO, 21 Januari 2012
    Susah mencari padanan kata untuk menggambarkan situasi Indonesia saat ini. Dalam menanggapi setiap masalah yang timbul, ada kecenderungan masyarakat menunjukkan gejala paranoid: menghukum siapa saja yang dianggap salah dengan memakai hukum pidana tanpa memberi ruang yang cukup bagi keberadaan hukum positif lainnya. Gejala meningkatnya emosi publik secara sporadis, serta pendapat asal-asalan atas banyak perkara, tampaknya seperti mengundang anarki (Coming Anarchy, Kaplan).
    Dalam keseharian, banyak ditemukan salah persepsi mengenai arti serta cara kerja hukum dan kebijakan di segala bidang. Sampai saat ini, masyarakat umum menganggap pemerintah merupakan representasi petugas penegak hukum. Dan parahnya, pemerintah sendiri tidak menampik pendapat tersebut. Sebenarnya, tugas pokok pemerintahan adalah memberi pelayanan (service). Kadang-kadang ada nuansa penertiban (synchronization), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development) bagi masyarakat perorangan ataupun korporat dengan prinsip good governance.
    Yang membuat keadaan bertambah rumit adalah adanya penyamaan arti kebijakan sebagai manifestasi hukum. Ini diartikan bahwa apa pun tindakan pemerintah harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Di sisi lain, pemerintah dipaksa mengatasi permasalahan dengan cermat, cepat, murah, dan efisien. Namun upaya itu bisa jadi terhambat oleh perundangan yang berlaku, yang bila dilanggar, penjara akibatnya.
    Itu pula sebabnya akhir-akhir ini asosiasi gubernur meminta “diskresi” untuk melakukan kebijakan. Hal itu mereka ajukan lantaran banyaknya penyelenggara negara dan bawahannya yang masuk penjara akibat kebijakan yang mereka buat.
    Anggapan banyak pihak bahwa hukum pidana adalah obat mujarab bagi segala penyakit untuk mengatasi masalah kemasyarakatan adalah keliru. Hukum pidana adalah ultimum remedium, yakni sebagai “upaya” terakhir. Ia bukanlah merupakan alat untuk memulihkan ketidakadilan ataupun kerugian, melainkan merupakan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat. Sebab, apabila tidak dilakukan tindakan terhadap keadaan tersebut, masyarakat akan terdorong main hakim sendiri (Van Bemmelen).
    Pengaruh pemikiran Hans Kelsen sangat dominan dalam pengambilan keputusan. Ia menyatakan sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, ketika norma hukum yang lebih rendah harus berpegang pada norma yang lebih tinggi. Kaidah hukum yang tertinggi (konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm Pancasila). Berlakunya norma-norma tersebut harus pula berlandaskan “norma pengenal terakhir” (The Ultimate Rule of Recognition, yang dicetuskan oleh R.A. Hart). Adapun norma pengenal terakhir ini diperoleh dengan cara bertanya terus-menerus mengenai berlakunya suatu peraturan, dan jawaban yang didapat dipergunakan sebagai sistem hukum yang terakhir.
    Bagaimana Kebijakan Bekerja?
    Di negeri ini, banyak pihak yang tidak bisa memisahkan arti proses pemerintahan (governing process) dengan proses penegakan hukum (justice process). Proses pemerintahan selalu dimulai dengan pemilihan pemimpin pusat ataupun daerah (pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah). Kemudian dilanjutkan dengan aplikasi program kerja dengan sentuhan kebijakan, dan diakhiri dengan proses administrasi sebagai kontrol terhadap aplikasi program kerja. Adapun proses penegakan hukum dimulai dengan adanya pihak-pihak yang bersengketa, baik perorangan maupun korporat, atau dimulai dengan adanya indikasi kejahatan. Baru kemudian dilanjutkan dengan proses di pengadilan sampai akhirnya keluar putusan.
    Untuk membedakan pemerintahan terdahulu dengan pemerintahan sekarang, tentunya hanya dapat dilakukan dengan melihat aplikasi program kerja yang sudah dijanjikan sejak awal kampanye, yang kemudian dibuktikan pada saat memerintah.
    Jadi kebijakan adalah tindakan nyata dari proses pemerintahan terpilih untuk berbuat sesuatu. Tolok ukurnya ialah tugas pokok pemerintahan, yakni menjaga harmoni masyarakat dengan jalan melayani lalu lintas kebutuhan masyarakat dan menghindari penumpukan masalah, serta menjauhkan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kata lain, kebijakan adalah suatu tindakan cepat untuk mengatasi masalah yang timbul di masyarakat. Dalam situasi tertentu, kebijakan kadang kala mengesampingkan kaidah hukum. Hal itu diperlukan, misalnya, ketika kebijakan tersebut diperlukan secara mendesak sebagai tindakan penyelamatan atau rescue(Syahrir).
    Saya jadi teringat pada saat Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Gebrakan pertama yang dilakukannya adalah membebaskan para tahanan politik dan narapidana politik. Pada saat proses pembebasan secara simbolis, ternyata masih tersisa tahanan bernama Budiman S., yang tidak termasuk dalam daftar. Maka kemudian Yusril meminta Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan perintah secara lisan untuk melakukan pembebasan.
    Terobosan kebijakan juga pernah dilakukan Mahfud Md. saat menangani kasus mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjojo. Ketua Mahkamah Konstitusi memutuskan memperdengarkan rekaman pembicaraan yang disadap dari komunikasi Anggodo dengan beberapa pihak, meskipun hal ini dianggap para pengacara dan ahli hukum sebagai hal yang belum bisa diterima dalam hukum acara kita.
    Persoalan inti bangsa ini terletak pada inkonsistensi terhadap prinsip negara hukum itu sendiri, sebagaimana teori Montesquieu yang mensyaratkan pemisahan kekuasaan negara ke dalam lembaga eksekutif (pemerintahan), legislatif (perwakilan masyarakat), dan yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pemerintahan, oleh sebagian besar masyarakat atau bahkan oleh pemerintah sendiri dan lembaga tinggi negara lain, telah dimaknai secara menyimpang. Pemerintahan, yang seharusnya menjalankan program pelayanan masyarakat (sesuai dengan janji pada saat pemilihan), malah dipaksakan untuk melaksanakan penegakan hukum. Bahkan sampai-sampai terjadi pula penyimpangan makna kekuasaan legislatif, yang kini turut mengambil peran yudikatif dan eksekutif. Tengok, misalnya, kasus Bank Century.
    Penutup
    Akhirnya, kata kuncinya ada pada “wibawa pemerintah dan wibawa peradilan”. Kunci operasional juga ada pada kata wibawa itu. Jangan bawa-bawa perdebatan hukum ke masyarakat dengan cara sekenanya, karena itu domainnya para hakim di pengadilan dan ahlinya. Sebab, jika dipaksakan, hasilnya pastilah debat kusir tanpa hasil. Bukankah tujuan besar hukum tersebut adalah keadilan yang minimal? Adapun tujuan pemerintahan adalah kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat.
    Tertib masyarakat tidak akan tercapai secara otomatis oleh adanya hukum positif dan perundang-undangan. Sebab, hukum itu hanyalah batasan-batasan perilaku baku yang kaku dan akhirnya bergantung pada sumber daya manusianya. Maka di sinilah peran kebijakan pemimpin dalam negara diperlukan. Kalau itu pun sudah tak ada, ya, apeslah kita semua. Anarki ada di depan mata.  
  • Imlek dan Kiprah Tionghoa di Bidang Hukum

    Imlek dan Kiprah Tionghoa di Bidang Hukum
    Tom Saptaatmaja, ALUMNUS SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
    DAN SEKOLAH TINGGI FILSAFAT WIDYA SASANA MALANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 21 Januari 2012
    Tahun baru Imlek 2563 jatuh pada Senin, 23 Januari 2012, kalender Masehi. Imlek kali ini memasuki Tahun Naga Air. Karakter naga air menjernihkan dan mendinginkan, sehingga yang bergejolak panas pada tahun lalu akan menjadi tenang di tahun ini. Imlek semula dirayakan oleh suku bangsa yang berlatar belakang budaya Cina, lalu menyebar ke negara-negara tetangga Cina, seperti orang Mongol, Korea, Jepang, Vietnam, Laos, dan Kamboja.
    Seiring dengan migrasi orang-orang Cina di awal-awal Masehi, Imlek pun masuk ke Nusantara. Bagaimana nasib perayaan Imlek di sini? Nasib Imlek tidak bisa dilepaskan dari kooptasi negara terhadap etnis Tionghoa. Waktu dijajah Belanda, Imlek pernah dilarang dirayakan. Dengan politik segregasi etnisnya, Belanda takut perayaan Imlek yang meriah bisa menyulut kerusuhan berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di ranah publik.
    Pelarangan Imlek adalah bukti etnis Tionghoa sungguh dimarginalkan. Etnis ini hanya dijadikan minoritas perantara atau middlemen minority demi kepentingan penguasa (meminjam istilah sejarawan Kwartanada dari National University di Singapura). Peran seperti inilah yang lalu justru gampang memicu konflik SARA karena dianggap etnis Tionghoa lebih pro pada penguasa Belanda. Lalu, pada penjajahan Jepang, Imlek pernah menjadi hari libur resmi berdasarkan Keputusan Osamu Seirei Nomor 26 tanggal 1 Agustus 1942. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, Imlek menjadi hari libur, yaitu Imlek pada 1943 Masehi.
    Pada era Sukarno, 1945-1964, Imlek boleh dirayakan seiring dengan kebebasan yang diberikan. Etnis Tionghoa berkiprah di banyak bidang, termasuk politik, sehingga cukup banyak menteri berasal dari kalangan Tionghoa di era Sukarno. Namun, selama era Soeharto, mulai Imlek 1965 hingga 1998, tahun baru yang berawal dari adat petani di Tiongkok ini menjadi barang larangan. Akibatnya, semua kegiatan budaya etnis ini, dari ritual keagamaan hingga adat-istiadat, tidak boleh dilakukan di ranah publik, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
    Peran Gus Dur
    Syukurlah, lewat Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, Bapak Tionghoa Indonesia, mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang. Megawati Soekarnoputri menindaklanjuti langkah Gus Dur dengan mengeluarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional (Imlek resmi libur nasional mulai 2003). Bukan hanya Imlek yang bebas dirayakan, tapi justru disediakan regulasi yang menjamin kesetaraan etnis ini dengan warga bangsa yang lain, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Malah bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2008, diresmikan Undang-Undang Antidiskriminasi Ras dan Etnis. Siapa pun yang terbukti melakukan diskriminasi bisa diancam hukuman penjara. Ini jelas merupakan garansi bahwa secara politik, keberadaan etnis Tionghoa setara atau sederajat dengan anak bangsa yang lain.
    Adanya regulasi seperti itu pelan-pelan juga mulai mengakhiri apa yang oleh Leo Suryadinata disebut sebagai “masalah Cina di Indonesia”. Meski etnis ini tidak suka menjadi masalah, kehadiran mereka ternyata kerap dipermasalahkan. Berbagai praktek diskriminasi sungguh pernah menyulitkan etnis ini. Karena masalah Cina ini, Orde Baru punya pendekatan khusus, seperti melarang etnis ini berkiprah di bidang politik. Akibatnya, etnis ini lebih suka berkutat di bidang ekonomi, dan akhirnya diberi stigma sebagai homo economicus. Memang pernah ada Bob Hasan yang diangkat menjadi menteri menjelang runtuhnya rezim Soeharto, tapi hal itu lebih karena unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme serta demi melindungi kepentingan bisnis mereka.
    Syukurlah, seiring dengan reformasi 1998, kini etnis Tionghoa menikmati kebebasan, pengakuan, dan dalam beberapa hal justru berada dalam kondisi lebih baik dibanding beberapa suku lain di negeri ini. Meski masalah Cina ini tampak berakhir, dalam beberapa hal masih ada diskriminasi, walau tidak separah dulu. Praktisi hukum Frans Hendra Winarta mengakui masih ada diskriminasi di beberapa pos pemerintahan.
    Untuk itu, Frans meminta pemerintah membuka keran atau peluang lebih luas bagi warga keturunan Tionghoa agar mereka dapat bekerja dan berperan di lembaga pemerintah. Jika peluang itu dibuka, penulis yakin etnis Tionghoa akan makin terlibat lebih intens dan peduli pada setiap permasalahan bangsa ini. Kita tahu salah satu permasalahan besar bangsa ini adalah yaitu pembusukan hukum dan politik yang begitu menggila sehingga korupsi merajalela.
    Apa yang diungkapkan Frans di atas tidak berlebihan. Coba tengok di lembaga hukum kita, seperti kejaksaan dan kehakiman, masih jarang ditemukan hakim atau jaksa beretnis Tionghoa. Memang, pengacara atau advokat sudah cukup banyak yang berdarah Tionghoa. Kita tahu penegakan atau pembengkokan hukum sungguh menjadi masalah terbesar di negeri ini. Konyolnya, dalam konteks ini, etnis Tionghoa justru dipersepsikan ikut berperan dalam pembusukan hukum, seperti dalam kasus Anggodo atau yang lain. Dalam kasus Gayus juga terdengar rumor ada cukup banyak perusahaan Tionghoa yang ikut bermain memanipulasi pajak.
    Pokoknya, ada keterlibatan sebagian pengusaha atau pebisnis beretnis Tionghoa dalam pola patronase bisnis. Pola ini dibentuk lewat relasi politik, birokrat, dan bisnis yang berhubungan dan sarat akan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pola semacam ini memang khas warisan Orde Baru. Hanya, bedanya di era Orde Baru, pola yang mengembat atau mengorup harta negara itu dilakukan di seputar Cendana saja. Tapi, di era reformasi, pola itu menyebar dari Aceh hingga Papua. Akibatnya, negeri ini kian disandera korupsi.
    Yap Thiam Hien
    Nah, menyikapi hal itu, ada baiknya lembaga-lembaga hukum kita dibuka lebih lebar bagi etnis Tionghoa. Dengan adanya hakim, jaksa, polisi, atau aparat hukum beretnis Tionghoa, siapa tahu pemberantasan korupsi di negeri ini akan lebih efektif dan hukum benar-benar tegak. Ini lebih baik daripada kita menyewa Tony Kwok, konsultan korupsi internasional sekaligus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong.
    Apa alasannya? Di negeri ini kerap terdengar ajakan agar belajar memberantas korupsi dari Cina. Mengapa harus jauh-jauh belajar ke Cina bila ada warga Tionghoa yang secara kultural lebih dekat dengan Cina serta bisa diberdayakan? Jika kesempatan di bidang hukum dibuka lebar-lebar, siapa tahu bisa muncul sosok-sosok seperti Yap Thiam Hien (1913-1989). Meski tidak seperti hakim terkenal Bao Zheng (999-1062) dari zaman Dinasti Song Utara, integritas Yap Thiam Hien sebagai pengacara diakui, bahkan namanya diabadikan untuk penghargaan hak asasi manusia.
    Namun perlu ditekankan bahwa persoalan pembengkokan hukum atau maraknya korupsi di negeri kita sebenarnya tidak pernah terkait dengan etnis tertentu. Koruptor atau mafia hukum bisa dari etnis mana pun. Bila persoalan ini direduksi ke etnisitas, malah bisa dipastikan bisa kontraproduktif bagi keutuhan bangsa. Yang penting, dengan iklim yang kian kondusif, jelas setiap etnis Tionghoa bersama warga bangsa lainnya ditantang untuk menunjukkan kontribusi yang lebih positif demi Indonesia yang bisa lebih baik bagi semua orang. Gong Xi Fa Cai 2563.
  • Menggugat Pembatasan Subsidi

    Menggugat Pembatasan Subsidi
    Marwan Batubara, DIREKTUR INDONESIAN RESOURCES STUDIES (IRESS)
    Sumber : SINDO, 21 Januari 2012
    Meskipun banyak dipertanyakan, pemerintah telah berketetapan akan memberlakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012.

    Dengan pembatasan, seluruh pemilik kendaraan berplat hitam kecuali kendaraan roda dua akan dilarang menggunakan premium. Mereka harus beralih membeli BBM dari jenis premium berharga Rp4.500 menjadi pertamax berharga sekitar Rp9.000.

    Dengan kata lain, mereka harus menerima kenaikan harga hingga 100%! Satu paket dengan kebijakan tersebut adalah rencana pemerintah mengalihkan penggunaan BBM menjadi gas/BBG (CNG dan LGV).

    Kenaikan harga BBM sebesar 100% ini akan sangat memberatkan sebagian masyarakat, termasuk pengusaha- pengusaha kecil pengguna kendaraan plat hitam sehingga dampak negatif secara ekonomi sangat luas. Karena itu, kebijakan pemerintah ini perlu dipertanyakan dan diuji.

    Agenda Tersembunyi?

    Dengan kebijakan pem-batasan, sebagian rakyat terpaksa membeli BBM yang harganya naik 100%.Namun agar dianggap populis, pemerintah menyebutkan tidak ada kenaikan harga, sembari menyatakan bahwa pembatasan dilakukan agar subsidi BBM tepat sasaran, rakyat miskin tertolong, dan infrastruktur dapat dibangun.

    Untuk itu, diambillah langkah kebijakan palsu yang mendadak dan tanpa penahapan. Padahal dengan pembatasan antara lain sebagian rakyat masih terkena dampak karena belum tersedianya alternatif transportasi publik dan/atau BBG,pasar gelap premium akan meningkat,konsumsi premium akibat meningkatnya penggunaan kendaraan roda dua tetap naik, dan konsumsi pertamax impor semakin meningkat.

    Dengan begitu, secara keseluruhan keuntungan ekonomi dan sosial yang diperoleh tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Peningkatan konsumsi pertamax akan menguntungkan SPBU asing.Dalam kondisi tanpa pembatasan saat ini SPBU asing terus mengalami pertumbuhan penjualan.

    Jika pembatasan diberlakukan, keuntunganmerekaakansemakin meningkat. Dalam waktu dekat pemilik SPBU asing telah merencanakan pembangunan ratusan SPBU tambahan di seluruh Indonesia. Sedangkan produksi pertamax kilang Pertamina masih kecil.

    Pertamina pun harus mengimpor lebih banyak high octane mogas component (HOMC) sebagai bahan campuran minyak untuk menghasilkan pertamax. Bahan HOMC yang dibutuhkan Pertamina ini telah diproduksi Shell dan Petronas, yang dapat saja menaikkan harga untuk memenangkan persaingan.

    Sementara itu, rencana pembangunan kilang baru di Indonesia terus tertunda. Sudah puluhan kali rencana pembangunan diumumkan selama tujuh tahun pemerintahan SBY, karena Indonesia sudah tidak membangun kilang baru sejak 1998. Padahal kebutuhan BBM terus meningkat.

    Investor yang siap bekerja sama, baik dengan swasta nasional maupun dengan Pertamina, telah datang silih berganti untuk menandatangani MOU, baik dari Arab Saudi, Iran, Kuwait, dan Qatar maupun dari Jepang serta China. Ternyata belum satu kilang baru pun yang terwujud.

    Total kebutuhan nasional BBM saat ini sekitar 56 juta kilo liter, dengan pertumbuhan sekitar 4%/tahun. Sementara kilang-kilang tua Pertamina hanya mampu memasok sekitar 65% kebutuhan nasional. Dengan kebijakan pembatasan subsidi, peningkatan kebutuhan pertamax semakin tidak mampu dipasok Pertamina sehingga impor BBM semakin besar,kilang dan SPBU asinglah yang menikmati.

    Dikhawatirkan mafia minyak, pemburu rente,dan investor/negara asing terus menghalangi pembangunan kilang, dan besar kemungkinan mereka pulalah yang ikut memengaruhi rencana pembatasan BBM.

    Alternatif

    Disadari bahwa pembatasan BBM jika dijalankan bersamaan dengan program konversi BBM ke BBG dapat dianggap salah satu langkah ideal yang patut diapresiasi. Selain lebih murah dibanding BBM, BBG juga lebih ramah lingkungan dan cadangan yang tersedia cukup banyak sehingga mendukung kemandirian dan ketahanan energi.

    Peningkatan penggunaan gas memang telah menjadi tren global di seluruh dunia. Namun, program konversi ke BBG hanya bisa terlaksana jika berbagai prasyarat sudah terpenuhi, baik dalam bentuk kebijakan dan aturan maupun program, sarana, dan anggaran. Ternyata berbagai prasyarat tersebut masih belum siap.

    Selama ini sejumlah pejabat pemerintah mengakui ada masalah koordinasi antarkementrian dan lembaga untuk mengatasi permasalahan gas. Hal ini berdampak pada lambat atau tindak kunjung selesainya kebijakan, program, dan sarana yang dibutuhkan. Harga gas masih belum final.                                                                                                        

    Pasokan gas belum mapan meskipun kita mampu untuk mengekspor sekitar 50% produksi gas nasional. Sarana penyediaan gas, termasuk terminal penerima, unit regasifikasi, jaringan pemipaan, dan SPBG belum siap. Sarana penunjang terkait automotif, termasuk kit konverter dan pemeliharaan juga tidak akan mampu memenuhi lonjakan kebutuhan jika pembatasan diterapkan sejak 1 April 2012.

    Idealnya, program pembatasan BBM dijalankan secara sinkron dengan program konversi ke BBG sehingga jika diterapkan, pengguna premium plat hitam dapat langsung pindah ke BBG. Namun, karena sinkronisasi tidak mungkin tercapai dalam waktu singkat seperti diuraikan di atas, pemaksaan program pembatasan BBM akan menimbulkan berbagai dampak negatif.

    Apalagi, sarana transportasi publik yang memadai sebagai alternatif selain konversi sangat minim atau bahkan tidak tersedia. Sebab itu, sudah selayaknya program konversi dimodifikasi atau ditunda pelaksanaannya. Pada harga minyak dunia yang tinggi, mungkin tidak tepat jika harus memilih salah satu dari opsi kebijakan pembatasan (plus konversi) atau kenaikan harga, tetapi harus memilih keduanya.

    Sementara sudah sewajarnya kebijakan pembatasan BBM tidak dipaksakan berlaku sejak 1 April 2012, karena kebijakan ini cukup jauh dari kriteria ideal atau baik yang seharusnya dipenuhi.

  • Sengketa Pilkada dan Kedewasaan Berdemokrasi

    Sengketa Pilkada dan Kedewasaan Berdemokrasi
    Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)
    Sumber : SINDO, 21 Januari 2012
    Menjelang 2012 banyak kasus yang muncul di daerah. Sebagai lembaga perwakilan daerah DPD RI langsung memberikan respons dengan memanggil beberapa pihak yang terkait langsung dengan kasus Mesuji, Bima, dan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah).

    Pertemuan dengan Menteri Kehutanan dimaksudkan untuk mencari solusi penyelesaian sengketa lahan di Mesuji dan di daerah-daerah lain. Begitu juga dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menyelesaikan izin-izin pertambangan yang bermasalah di daerah, termasuk dalam kasus Bima.

    Pada Selasa (17/1) lalu juga digelar rapat konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi untuk menyinergiskan langkahlangkah penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam pertemuan tersebut banyak persoalan sengketa pilkada yang dibahas.

    Salah satu yang menarik perhatian adalah Pilkada Kotawaringin Barat— yang sampai saat ini masih memanas,meskipun pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto telah dilantik sebagai bupati dan wakil bupati. Menarik memang karena vonis MK membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kotawaringin Barat yang memenangkan pasangan Sugianto-Eko Soemarno sekaligus mendiskualifikasikannya.

    Pada rapat konsultasi itu MK memaparkan alasan-alasan hukum mengapa putusan tersebut diambil. Ternyata ada hal yang cukup mencengangkan.Persoalan sengketa pilkada yang berbuntut gejolak di daerah sebetulnya telah menjadi bagian dari proses pilkada itu sendiri. Nyaris tidak ada pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang tidak berujung sengketa.

    Menurut catatan MK,sejak 2008 hingga Desember 2011 ada 440 pilkada. Dari jumlah total itu terdapat 392 pilkada yang disengketakan di MK dan dari jumlah tersebut hanya 45 perkara yang permohonannya dikabulkan, tidak sampai 15 persen.

    Dari jumlah yang dikabulkan itu, ada 4 pasangan pemenang yang didiskualifikasi lantaran dinilai curang, yakni pada pilkada Bengkulu Selatan, Tebing Tinggi, Pati, dan Kotawaringin Barat. Hanya Kotawaringin Barat yang bergejolak setelah putusan MK turun. Dari data tersebut jelas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa banyak pemilihan kepada daerah yang bermasalah.

    Permasalahan itu bisa terkait kecurangan,money politics,dan perasaan kecewa dari pasangan yang kalah yang tidak mau menerima kemenangan lawannya sehingga mengajukan uji materi di MK. Untuk itu, DPD RI bersama MK akan merumuskan langkah-langkah koordinasi dan kerja sama dalam mengantisipasi dampak buruk dari setiap sengketa pilkada yang diuji di MK.

    Tujuannya agar setiap putusan MK dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat. Peran ini bisa diartikulasikan oleh anggota DPD dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

    Bukan Sekadar Demokrasi Prosedural

    Salah satu perdebatan yang sering kali mengemuka terkait banyaknya sengketa pilkada di MK adalah sudah seberapa demokratis penyelenggaraan pilkada? Tentu jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa dilihat hanya dari kaca mata demokrasi prosedural.

    Hal yang harusnya dilihat dalam penyelenggaraan pilkada adalah substansi dari pilkada sebagai mekanisme untuk menerjemahkan kehendak rakyat dalam menghasilkan kepala daerah yang berbobot, berkualitas, legitimate, memiliki integritas, moral, punya visi yang jauh ke depan,serta tidak cacat hukum.

    Hal yang sering terjadi justru pilkada direduksi menjadi ajang unjuk kekuatan, baik kekuatan uang maupun kekuatan massa. Hal ini bisa kita lihat dari berapa jumlah uang yang dikeluarkan oleh pasangan kandidat dan timnya dalam proses gugatan di MK. Tentu biaya yang dikeluarkan mahal.

    Mulai dari biaya transportasi, biaya akomodasi, dan biaya untuk menghadirkan saksi-saksi. Begitu juga jumlah massa yang dikerahkan ke MK selama proses persidangan juga tidak sedikit. Efektifkah semua ini? Tentu tidak. Solusi yang ditawarkan, hemat kami di DPD, sangat efektif dan efisien yakni persidangan menggunakan teleconference, di mana saksi-saksi tidak perlu dihadirkan di Jakarta.

    Dengan begitu biaya yang dikeluarkan oleh pasangan kandidat tidak terlalu besar. Demokrasi kan tidak perlu mahal,yang penting substansinya. Pertanyaannya, sudahkah perhelatan pilkada dilakukan dengan cara-cara demokratis, jujur, dan adil? Salah satu sumber persoalan dari banyaknya pilkada yang berujung pada sengketa di MK karena kurangnya kedewasaan dalam berdemokrasi. Logika yang dikembangkan adalah harus menang. Sehingga semua cara dipakai.

    Praktek-praktek kecurangan seperti manipulasi suara,politik uang, intimidasi, KPUD yang berpihak, birokrasi yang tidak netral merupakan persoalanpersoalan yang menghambat perkembangan demokrasi. Padahal, di dalam demokrasi pilkada bukan melulu urusan menang-kalah, melainkan bagaimana memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

    Pilkada hanyalah prosedur untuk melaksanakan apa yang menjadi keinginan masyarakat yakni kesejahteraan, keamanan, ketenteraman, dan ketertiban sosial.Para kandidat harusnya mengedepankan logika bahwa demokrasi bukan sekadar urusan siapa yang menang dan kalah, melainkan juga bagaimana menghargai proses.

    Yang menang menghargai yang kalah dan yang kalah memberikan dukungan kepada yang menang. Mari belajar dari pengalaman berdemokrasi di negaranegara maju seperti Amerika Serikat.Pada 2000,pemilu presiden Amerika Serikat mungkin merupakan salah satu pemilu presiden yang dramatis dengan selisih kemenangan yang sangat tipis, juga sangat kontroversial di Amerika Serikat.

    Hasil akhirnya harus ditentukan oleh perhitungan ulang secara manual di negara bagian Florida, serta diikuti oleh penyelesaian hukum di Mahkamah Agung. Meskipun pada akhirnya kalah oleh proses yang dramatis, calon presiden dari Partai Demokrat, Al Gore, mengakui kekalahan itu serta memberikan dukungan kepada George W Bush. Kenapa proses pilkada tidak bisa seperti itu, sehingga tidak perlu banyak pilkada yang berakhir dengan sengketa di MK? Tentu jawabannya ada pada kedewasaan berdemokrasi.

    Karena bagaimanapun masyarakat harus mendapatkan manfaat positif dari pilkada, bukan malah menjadi korban dari kepentingan para elite yang tidak dewasa. Oleh karena itu, sengketa Pilkada Kotawaringin Barat merupakan salah satu pelajaran besar bagaimana kita belajar berdemokrasi secara dewasa.

  • Optimisme Ekonomi dan Beberapa Catatan

    Optimisme Ekonomi dan Beberapa Catatan
    Anton A. Setyawan, KEPALA PUSAT STUDI PENELITIAN PENGEMBANGAN MANAJEMEN DAN BISNIS (PPMB) FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
    Sumber : SINDO, 21 Januari 2012
    Menjelang 2012 ekonomi Indonesia dihantui ancaman berupa dampak krisis ekonomi di Eropa. Krisis di zona Euro saat ini bahkan berujung pada perpecahan negara-negara Uni Eropa.

    Dalam perkembangan kini negara-negara Uni Eropa menandatangani sebuah kesepakatan baru,yang menjamin pelaksanaan disiplin fiskal untuk menjamin masing-masing negara dalam pengelolaan APBN dan utang luar negeri.

    Meski demikian,kesepakatan ini meninggalkan Inggris yang menolak bergabung karena khawatir kesepakatan itu bisa merusak industri keuangan negara tersebut.Kesepakatan ini ditanggapi dingin oleh pasar dan hampir semua lembaga pemeringkat investasi sepakat menurunkan ranking investasi surat berharga di zona Euro yang berarti risiko investasi di Eropa meningkat.

    Pada akhir 2011 Indonesia mulai merasakan dampak krisis ekonomi Eropa. Dampak pertama adalah melemahnya nilai tukar rupiah sebagai akibat menurunnya ekspektasi investor terhadap kondisi ekonomi global. Meski demikian, dampak lain yang positif adalah aliran modal masuk ke Indonesia semakin besar.

    Lembaga pemeringkat investasi Fitch akhir Desember 2011 memasukkan Indonesia dalam kategori investment grade dan diikuti oleh Moody’s baru-baru ini.Padahal sudah 14 tahun Indonesia tidak termasuk dalam kelompok itu. Krisis ekonomi Eropa ditambah dengan membaiknya peringkat investasi Indonesia membuat prospek ekonomi Indonesia pada 2012 ini cerah.

    Bank Dunia membuat perkiraan optimistis bagi Indonesia dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 6,7% pada 2012. Kendati demikian, ada beberapa faktor yang patut diperhatikan terkait kondisi ekonomi pada 2012.Faktor-faktor tersebut bisa menjadi peluang bagi perekonomian nasional,tetapi juga bisa menjadi ancaman jika tidak ditangani dengan baik.

    Kebijakan Pemerintah

    Kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah selama ini hanya manis dalam perencanaan, tetapi dalam pelaksanaan tidak berjalan dengan baik. Istilah lama dalam perencanaan ekonomi “the devil lies in the details” sangat relevan untuk menggambarkan kebijakan ekonomi pemerintah saat ini. Masalah pembangunan ekonomi saat ini ada tiga isu utama yaitu perbaikan infrastruktur, diversifikasi energi, dan pelaksanaan regulasi ekonomi.

    Perbaikan infrastruktur merupakan masalah utama yang terkait iklim investasi dan daya saing ekonomi Indonesia.Kebijakan pemerintah untuk melakukan percepatan perbaikan kualitas infrastruktur dengan beberapa strategi ternyata tidak berjalan baik. Kita bisa melihat bagaimana pemerintah pusat dan daerah berusaha menawarkan beberapa proyek infrastruktur pada swasta dengan hasil mengecewakan.

    Ketersediaan energi untuk kepentingan industri hanya tersedia di Pulau Jawa.Diversifikasi energi belum merupakan pilihan bagi pemerintah karena mereka takut mengubah mekanisme subsidi BBM. Potensi energi alternatif tidak dikembangkan dengan optimal karena pemerintah khawatir dengan dampak politik pencabutan subsidi BBM.

    Ketahanan pangan yang menjadi masalah strategis Indonesia pada 25 tahun mendatang hanya menjadi lahan pencarian keuntungan para mafia komoditas pangan. Kita bisa melihat saat terjadi kekurangan pasokan komoditas pangan, misalnya gula atau beras, pemerintah cepat memutuskan kebijakan impor bahan pangan dengan konsesi yang hanya menguntungkan para mafia.

    Konsumsi Domestik

    Prospek ekonomi Indonesia pada 2012 sangat cerah karena konsumsi domestik Indonesia sangat besar.Sebesar 70% pertumbuhan PDB nasional saat ini disumbang dari sektor konsumsi. Publikasi Bank Dunia akhir 2011 menyebutkan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kelas menengah sebesar 56,5% sejak 2003.

    Jumlah ini berarti sekitar 134 juta orang dengan belanja konsumsi harian USD2 (Rp18.000) sampai USD20 (Rp180.000) per hari. Jenis barang yang mereka belanjakan adalah barang automotif dan teknologi informasi. Konsumsi domestik dalam jangka pendek berdampak positif bagi perekonomian suatu negara.

    Meski demikian, para pengambil kebijakan di negeri ini harus ingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh investasi. Artinya dalam jangka panjang masyarakat kelas menengah yang konsumtif tidak menguntungkan.

    Karena itu, pemerintah sudah saatnya melakukan langkah-langkah yang lebih nyata untuk membangun industri dalam negeri agar mampu memenuhi permintaan domestik masyarakat kelas menengah Indonesia. Jika itu yang terjadi,Indonesia bisa menjadi negara adikuasa ekonomi dunia.

  • Perbatasan dan Integrasi Bangsa

    Perbatasan dan Integrasi Bangsa
    M. Mas’ud Said, ANGGOTA DEWAN PAKAR MASYARAKAT ILMU PEMERINTAHAN INDONESIA (MIPI), ASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG OTONOMI DAN PEMBANGUNAN DAERAH
    Sumber : SINDO, 21 Januari 2012
    Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia secara alamiah menghadapi persoalan krusial dalam menjaga wilayah dan menjaga kecintaan masyarakat yang hidup di perbatasan terhadap negerinya.

    Dalam pandangan kredo tentara Nasional Republik Indonesia (TNI),“serangan atas suatu titik di wilayah Indonesia diartikan sebagai serangan kepada seluruh wilayah negara”. Secara teoritis dikatakan bahwa sebuah bangsa terwujud dan kuat apabila memiliki syarat apa yang disebut oleh Soekarno— mengikuti pendapat Ernest Renan—“le desire d’etre ensemble”atau kehendak akan bersatu.

    Soekarno mengingatkan, syarat pendirian suatu bangsa yang didasarkan pada keinginan yang kuat dari setiap elemen masyarakat untuk bersatu. Keinginan bersatu itu bisa terpupuk maupun menipis bergantung pada seberapa jauh unsur negara, pemimpin lokal, dan manisnya pembangunan menghampiri mereka.

    Kasus ‘Balkanisasi’ di Rusia tahun 90-an, gejala dan pengaruh Arab Spring,dan gejolak ketidakpuasan beberapa elemen masyarakat kita adalah pelajaran penting bagi keinginan untuk menjaga keutuhan dan memupuk kecintaan semua elemen masyarakat di pojokpojok negeri ini.

    Kalahnya perebutan pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia maupun kasus pindahnya batas wilayah di Kalimantan Barat menambah data bahwa ada pekerjaan berat yang mestinya dilakukan, namun belum berhasil dilakukan pemerintah dan elemen penting bangsa lainnya.

    Dalam laporan menteri koordinator bidang politik,hukum, dan keamanan saat acara rapat kabinet terbatas di Istana negara akhir tahun lalu dan uraian menko polkam pada kesempatan kerja dengan Komisi I DPR dikemukakan bahwa beberapa langkah pengamanan dan pengelolaan wilayah perbatasan secara geopolitik dan pendekatan geoekonomi sedang dan akan terus dilakukan.

    Langkah-langkah itu untuk menjamin tegaknya hukum dan kedaulatan serta pembangunan ekonomi dan sosial sebagai perwujudan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

    Sovereignty

    Setelah menghadapi kasus-kasus besar yang berkaitan dengan sengketa perbatasan, Indonesiaterus- menerus dihadapkan pada tantangan dan ancaman terhadap yurisdiksi dan sovereignty NKRI, baik yang dipicu oleh pihak luar maupun dari elemen bangsa Indonesia yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat.

    Persoalan lebih krusial lagi kalau kita melihat bahwa ada jarak yang jauh antara cita-cita untuk melindungi bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh founding fathers dalam PreambuleUUD 1945. Pertanyaannya, sudahkah daerah-daerah perbatasan terjaga dengan baik. Masihkah kita memandang bahwa beralihnya perbatasan baik karena kekalahan kita dalam diplomasi maupun faktor alamiah lainnya adalah ancaman serius bagi negara kita secara keseluruhan? Dalam konteks kelangsungan bangsa, sangatlah penting apa yang disebut dengan ‘mitos integrasi total’, yakni kesempurnaan keadaan harmonis tanpa konflik atau antagonisme, di mana setiap individu melebur dalam suatu komunitas yang lebih besar.

    Harmoni dalam keadaan yang sempurna,tidak ada antagonisme atau konflik, sulit diwujudkan tanpa desain integrasi bangsa. Selanjutnya Ian Chalmers mencatat bahwa setidaknya sampai pada masa akhir-akhir ini masih terdapat gejala fragmentasi dan ancaman terhadap bentuk negara kesatuan.

    Dikemukakan bahwa Indonesia kini sedang menghadapi apa yang dia sebut sebagai ancaman fragmentasi. Dia bahkan menyebut kondisi kekinian itu akan bisa menentukan kelanjutan dan masa depan bentuk negara kesatuan. Pembahasan tentang kerawanan dan ancaman terhadap wilayah terluar Indonesia sangat relevan untuk diperhatikan.

    Terlebih mengingat bahwa ringkih dan kokohnya wilayah perbatasan akan berpengaruh besar terhadap nasionalisme, integrasi, dan keutuhan penduduk di wilayah perbatasan yang pada akhirnya memengaruhi kondisi kontemporer dan tegaknya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Selama beberapa saat yang panjang telah terjadi gerusan negatif yang memengaruhi kecintaan terhadap negeri yang berpengaruh pada berkurang atau bertambahnya rasa nasionalisme. Beberapa penelitian awal yang penulis lakukan mengisyaratkan telah terjadi benih-benih kekecewaan terhadap pemerintah pusat lantaran mereka merasa sering dikunjungi pejabat dengan berbagai janji,namun janji itu tidak terwujud secara nyata.

     Perhatian

    Ketika penulis mengadakan tatap muka dan diskusi dengan beberapa tokoh di Kecamatan Sekayam dan Kecamatan Entikong,Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia dua tahun lalu, mereka berujar, “Daerah kami ini sangat sering dikunjungi pejabat pusat,mulai presiden,menterimenteri, sampai pimpinan dan anggota DPR, namun setelah rencana-rencana disiapkan, tak kunjung dilaksanakan.

    ” Kita memang belum menyimpulkan bahwa semua daerah perbatasan rawan. Memang belum bisa disimpulkan bahwa ada benih keinginan untuk bergabung dengan negara tetangga dan berpisah dari NKRI.

    Namun, data-data dan serangkaian kejadian yang terjadi selama ini cukup memberi pesan kuat agar pemerintah mengintensifkan lagi Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) dan peran aktif  Kementerian Luar Negeri yang didukung TNI.

    Sesungguhnya sejak 2008 terjadi perubahan pandangan bahwa pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan bukan lagi dianggap sebagai beranda belakang yang kurang penting. Namun,pemerintah sudah memiliki paradigma baru bahwa mereka adalah beranda terdepan kita yang harus lebih diperhatikan sehingga perlu percepatan pembangunan .

    Fragmentasi sebuah bangsa bisa saja berasal dari intervensi asing, namun kebanyakan yang terjadi di berbagai belahan dunia saat pemerintahan modern, fragmentasi itu bisa saja dari daerah perbatasan yang ‘merasa dianaktirikan’ atau secara alamiah sulit mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai warga bangsa.

  • Mengkritik Pemerintah Sebagai ‘Mode’

    Mengkritik Pemerintah Sebagai ‘Mode’
    Ulil Abshar-Abdalla, PEMERHATI DAN PRAKTISI POLITIK,
    PENELITI DI FREEDOM INSTITUTE, JAKARTA
    Sumber : JARINGNEWS, 20 Januari 2012
    The incumbent is on the defensive end. Ini yang membedakan demokrasi dari sistem otoriter.
    JAKARTA, Jaringnews.com – Mari kita ingat sejenak era politik yang pernah kita alami cukup lama sebelum datangnya reformasi: era Orde Baru. Saat itu, mengkritik pemerintah membutuhkan keberanian yang luar biasa. Hampir bisa dipastikan, setiap kritik yang ada akan dihadapi dengan ‘tangan besi’ oleh pemerintah. Para aktivis anti-pemerintah dipenjarakan, media diberedel, dan demo protes terhadap pemerintah merupakan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya nyali besar.

    Wartawan yang berani membangkang terhadap kebijakan rezim kontrol informasi akan langsung menghadapi resiko yang berat, mulai dipecat dari tempat bekerja, dicabut haknya untuk menjadi wartawan, atau dijebloskan ke penjara seperti pernah dialami oleh sejumlah aktivis AJI (Aliansi Jurnalis Independen).

    Pada saat itu, mengkritik pemerintah adalah tindakan heroik yang memerlukan keberanian besar, karena resiko yang harus dipikul bisa menyangkut urusan hidup-mati. Bangunan perpolitikan saat itu memang ditegakkan atas suatu asumsi bahwa demi melancarkan agenda pembangunan, segala bentuk ‘gangguan’ harus disingkirkan. Kesejahteraan masyarakat harus dicapai dengan harga apapun, meski dengan cara membungkam hak-hak sipil rakyat untuk menyuarakan pandangan yang berbeda.

    Jika mengkritik pemerintah mengandung risiko hidup-mati yang tidak ringan, mendukung pemerintah akan langsung mendapat ‘ganjaran politik’ yang amat menggiurkan. Kita masih ingat, salah satu strategi yang diterapkan pemerintah saat itu adalah melakukan kooptasi atas semua kekuatan dalam masyarakat, yang potensial menimbulkan gangguan terhadap program pemerintah.

    Segala kekuatan ‘oposan’ harus dijinakkan dengan strategi kooptasi. Itulah corak negara korporatis: negara perusahaan yang hendak mengendalikan seluruh unsur dalam negara agar bisa disetir, persis seperti sebuah pabrik yang mau mengontrol seluruh proses produksi agar kualitas produk yang dihasilkan bisa terjaga.

    Itulah zaman otoriter. Zaman itu, alhamdulillah, sudah berlalu. Kita tentu berharap ia tak terulang kembali, meskipun ada beberapa segi positif pada era tersebut, semisal soal pembangunan. Tetapi, secara keseluruhan, praktek bernegara pada era Orba itu tak bisa lagi diulang sekarang. Selain zaman sudah berubah, kita tak bisa lagi membayar harga mahal yang ditimbulkan oleh strategi pemerintah saat itu: menggenjot pembangunan ekonomi seraya menginjak kaki rakyat agar tak protes.

    Setelah era reformasi, terjadi perubahan besar. Dulu mengkritik pemerintah akan mengundang risiko dan bahaya yang teramat besar. Hanya segelintir orang ‘gila’ yang berani melakukannya secara terbuka. Saat ini, ruang untuk mengkritik pemerintah terbuka begitu lebar. Salurannya juga beragam. Kritik bukan terbatas pada orang-orang gila yang mempunyai stok nyawa lebih. Siapa saja, saat ini, bisa melakukan kritik. Bahkan jika seseorang mau melakukan kritik terhadap pemerintah sehari semalam non-stop, misalnya melalui social media (contoh: Twitter dan Facebook), dia bisa melakukannya, tanpa ada yang mengganggu.

    Jika pada era Orba dulu kritik pada pemerintah bisa mendatangkan risiko beredel, saat ini keadaannya lain. Media, baik cetak, elektronik, atau online, bisa melakukan kritik non-stopsetiap hari, tanpa dihantui oleh mambang (specter)pemberedelan.

    Yang menarik, kritik pada pemerintah saat ini justru menjadi semacam ‘political fashion’, mode politik. Sebagaimana layaknya sebuah mode, di sana ada semacam social pressure yang diam-diam memaksa seseorang untuk mengikutinya. Jika tak mau ikut, anda akan menjadi old-fashioned,ketinggalan zaman. Mengkritik pemerintah kadang dengan cepat melambungkan popularitas seseorang dengan cepat.

    Sebaliknya, saat ini mendukung pemerintah dalam hal-hal di mana memang dia layak didukung (bukan dukungan membabi buta), kadang membuat seseorang tak populer. Berkebalikan dengan situasi pada zaman Orba dulu, mendukung pemerintah sekarang justru dianggap jalan menuju ketidakpopuleran. Jika pada zaman Orba dulu, mereka yang mengkritik pemerintah berada pada posisi defensif, karena ditekan dan dimusuhi oleh rezim, saat ini pihak yang berada pada posisi defensif atau bertahan justru mereka yang mendukung pemerintah.

    Saat ini, tampaknya kita melihat gejala di mana suara ‘kritis’ terhadap pemerintah akan lebih cepat mendapatkan perhatian publik ketimbang suara yang ‘afirmatif’ atau mendukung.

    Apakah hal ini merupakan abnormalitas dalam politik? Jawabannya: tidak. Gejala yang lazim kita jumpai dalam semua sistem demokratis adalah pemerintah cenderung berada pada posisi bertahan. The incumbent is on the defensive end. Ini yang membedakan demokrasi dari sistem otoriter. Dalam sistem yang terakhir ini, pemerintah berada pada posisi ofensif atau ‘menyerang’, sementara pihak-pihak yang melawan ada pada posisi defensif. Ini semua bagian dari proses check-and-balance yang wajar dalam sistem yang terbuka.

    Tentu saja, jika kecenderungan semacam ini berlangsung secara kebablasan, kita harus melakukan kritik dan koreksi. Gejala di negeri kita saat ini sudah mirip-mirip seperti di Amerika Serikat. Di AS, ada polarisasi yang hebat antara Partai Demokrat yang berkuasa di sana dan Partai Republik.

    Karena polarisasi yang cenderung ekstrem itu, antara lain karena adanya ‘culture war’ dan polarisasi ideologis yang tajam (misalnya dengan munculnya kelompok yang disebut Tea Party Movement), Partai Republik sebagai partai tak berkuasa cenderung menolak apa saja yang diusulkan oleh pemerintahan Obama.

    Partai Republik oleh sejumlah pengamat politik di AS disebut sebagai Party of No, partai tidak. Prinsip yang ia pakai kira-kira: pokoknya tolak dulu segala hal yang dikatakan oleh Obama, urusan lainnya belakangan. Sebab bahasa politik yang negatif tampaknya, menurut sebagian kalangan di partai itu, adalah cara terbaik untuk meraih simpati publik dan membedakan diri dari partai penguasa.

    Saat ini, kita juga melihat kecenderungan yang hampir-hampir serupa di sini. Ada beberapa kalangan yang sikapnya adalah menonjolkan apa saja yang menjadi kekurangan pemerintah, sementara beberapa perkembangan positif cenderung diremehkan atau malah diabaikan sama sekali.

    Kecenderungan semacam ini, menurut saya, membuat demokrasi menjadi tak sehat. Jika demokrasi terperangkap dalam gejala party-of-no-ismeini, yang timbul bukanlah diskusi yang sehat untuk mencari solusi yang terbaik, tetapi permainan yang sekedar ditujukan untuk menjatuhkan lawan.

    Kita tentu tak menghendaki demokrasi semacam ini.

  • Investment Grade, IPO, dan Obligasi BUMN

    Investment Grade, IPO, dan Obligasi BUMN
    Sunarsip, CHIEF ECONOMIST
    Sumber : REPUBLIKA, 16 Januari 2012
    Indonesia baru saja memperoleh “bonus“ I berupa kenaikan peringkat utang dari Fitch Ratings. Sejak 15 Desember 2011, per ingkat utang (sovereign) Indonesia untuk foreign currency long-term senior debt berada pada level BBB(atau level investment grade).
    Di tengah jatuhnya kepercayaan pasar terhadap Eropa dan Amerika Serikat (AS), kenaikan peringkat utang ini jelas memiliki arti penting bagi Indonesia. Semestinya, status investment grade ini dapat mempermudah dana asing (khususnya dana jangka panjang) masuk, baik melalui investasi langsung maupun pasar modal dengan membeli saham atau obligasi yang diterbitkan korporasi di Indonesia.
    Kenaikan peringkat Indonesia ini seolah menemukan momentumnya, setidaknya bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah, seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 Januari, menjanjikan tiga hingga lima BUMN akan mencatatkan sahamnya di BEI melalui initial public offering (IPO). Menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan, IPO atas BUMN diperkirakan dilaksanakan pada semester II 2012. Saat ini, terdapat satu BUMN yang hampir dipastikan akan IPO pada 2012, yaitu Semen Baturaja.
    Saya memperkirakan, bila tidak ada kendala nonteknis, realisasi IPO BUMN akan dapat memenuhi target. Tidak hanya karena didukung oleh iklim pasar modal kita yang semakin kondusif seiring dengan status investment grade, kinerja BUMN secara keseluruhan juga semakin membaik. Kini, tinggal bagaimana pemerintah mampu mengelola isu-isu nonteknis (seperti politik) terkait dengan rencana IPO BUMN tersebut.
    Sebab, belajar dari pengalaman IPO Krakatau Steel dan Garuda Indonesia tahun lalu, bila pemerintah tidak tepat dalam menyusun desain IPO BUMN, situasi ini akan dengan cepat menjadi isu politik yang pada akhirnya dapat mengganggu reputasi IPO BUMN.
    Status investment grade juga memberikan momentum baik bagi BUMN yang akan menerbitkan obligasi. Perlu diketahui bahwa salah satu orientasi Kementerian BUMN saat ini adalah mendorong BUMN untuk lebih membuka diri (dalam arti lebih transparan), baik melalui IPO maupun penerbitan obligasi. IPO BUMN terbukti berkontribusi dalam mewujudkan transparansi yang lebih di BUMN. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua BUMN dapat didorong untuk melakukan IPO, antara lain, karena karakteristik BUMN tersebut. Menyadari hal itu, Kementerian BUMN akan mendorong BUMN yang belum IPO untuk menerbitkan obligasi.
    Saya melihat bahwa langkah Kementerian BUMN yang akan mendorong penerbitan obligasi BUMN merupakan terobosan (break through) positif bagi BUMN menjadi lebih transparan di tengah sensitifnya isu privatisasi BUMN. Seperti kita keta hui, kebijakan privatisasi BUMN hingga saat ini masih menjadi isu yang selalu kontroversial.
    Tak terkecuali, BUMN yang di privatisasi melalui IPO. Padahal, banyak yang menyakini IPO me ru pakan metode privatisasi BUMN yang lebih baik diban ding kan metode lainnya. Namun, tetap saja tidak mudah akan menerapkan IPO pada BUMN yang memiliki sensitivitas tinggi.
    Sebagai contoh, bila kebijakan privatisasi diterapkan terhadap Pertamina, sekalipun dengan menggunakan metode IPO, saya memperkirakan langkah ini akan menjadi isu yang sangat sensitif bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Pertamina adalah BUMN sektor energi terbesar di Indonesia yang sahamnya dimiliki penuh oleh pemerintah. Pertamina juga telah menjadi simbol bagi Indonesia. Sehingga, memang tidak keliru bila Pertamina telah menjadi semacam miniaturnya Indonesia. Oleh karenanya, juga tidak
    sepenuhnya keliru bila ada yang mempersepsikan kebijakan menjual saham Pertamina (sekalipun melalui IPO) itu sama dengan menjual negara.
    Pada 2003, Rizal Ramli bersama Tim Indonesia Bang kit/TIB (termasuk saya di dalamnya) pernah melontarkan gagasan untuk meng-IPO-kan Pertamina. Waktu itu, Rizal Ramli dan TIB mengusulkan agar saham Pertamina dilepas sekitar 10 persen melalui IPO.
    Gagasan dibuat dalam rangka memperkuat penggalangan sumber pembiayaan pemerintah agar Indonesia bisa secepatnya keluar dari program Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, seperti diprediksi sebelumnya, ide melepas sebagian saham negara di Pertamina ini memang bukan ide populis sehingga pasti akan menimbulkan kontroversi.
    Padahal, sebagai perusahaan yang kini sedang melakukan transformasi menjadi national oil world class company, Pertamina dituntut memiliki dan menerapkan governance yang sesuai standar internasional. Dan biasanya, hal itu dapat dilakukan bila perusahaan tersebut menjadi perusahaan publik (go public). Pertanyaannya, bagaimana kita bisa “memaksa” Pertamina dan BUMN yang belum go public lainnya agar mengadopsi standar governance yang berlaku di pasar modal, bila tidak ada kewajiban bagi BUMN terkait agar memublikasi atas segala hal yang terkait dengan kebijakannya (corporate matters)?
    Melalui penerbitan obligasi, BUMN nanti akan “dipaksa“ atau “terpaksa“ mengikuti protokol pasar modal (capital market protocol) selayaknya perusahaan yang telah IPO.
    Meskipun BUMN terkait belum merupakan perusahaan terbuka, namun manajemen BUMN selaku emiten (perusahaan yang menerbitkan obligasi) tetap harus bertanggung jawab kepada publik atas kinerja perusahaannya, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan otoritas pasar modal (Bapepam).
     

    Selain itu, penerapan good corporate governance (GCG), capital market protocol, dan asas pertanggungjawaban kepada publik dapat membantu BUMN dalam membentengi diri dari berbagai bentuk intervensi pihak luar yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan.
    Beberapa BUMN nonpublik yang telah menerbitkan obligasi (khususnya global bond) adalah PLN (tahun 2006) dan Pertamina (tahun 2011). Kini, BUMN yang telah menerbitkan obligasi dituntut memiliki sistem akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang dipersyaratkan oleh otoritas pasar modal dari negara yang menjadi pasar penerbitan obligasi tersebut. Sebagai misal, se laku perusahaan yang telah menerbitkan obligasi global di Bursa Efek Singapura, Perta mina kini dituntut memenuhi (com ply) ketentuan pasar mo dal yang berlaku di Singapura.
    Sejalan dengan meningkatnya kinerja perekonomian Indonesia serta menurunnya tingkat bunga acuan (BI Rate), pada 2008–2011 akumulasi emisi obligasi korporasi (termasuk BUMN) adalah sekitar Rp 118,7 triliun. Saat ini, emiten obligasi BUMN/BUMD/ afiliasi memiliki pangsa pasar (market share) sekitar 45 persen dari total saldo obligasi yang tercatat di BEI.
    Pada 2012, BEI telah mencatat rencana penerbitan obli gasi korporasi sekitar Rp 30 triliun. Saya memperkirakan, seiring dengan masih akan berlanjutnya tren BI Rate yang rendah, status Indonesia sebagai investment grade, dan adanya gairah penerbitan obli gasi BUMN ini, realisasi penerbitan pada 2012 diperkirakan akan lebih tinggi.
    Kesimpulannya, investment grade yang diperoleh Indonesia akan menjadi momentum bagi BUMN untuk menerbitkan saham (melalui IPO) dan obli gasi. Semestinya juga, dengan status Indonesia yang baru ini, kinerja BUMN kita ke depan juga meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
  • Pemimpin Tunakuasa

    Pemimpin Tunakuasa
    Mohammad Nasih, PENGAJAR DI PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK UI DAN FISIP UMJ; PENGURUS DEWAN PAKAR ICMI PUSAT
    Sumber : SINDO, 20 Januari 2012
    Kepemimpinan biasanya dipahami sebagai kualitas kemampuan pada seseorang yang dapat membuat orang lain mengikutinya walaupun orang lain itu sesungguhnya tidak menginginkannya.

    Berdasarkan pemahaman ini, seseorang bisa disebut pemimpin apabila dapat membuat orang lain yang memiliki kehendak berbeda atau bahkan berkontradiksi kemudian mau mengikutinya. Karena itu, kepemimpinan diidentikkan dengan kekuasaan. Eksistensi kekuasaan itu terletak pada adanya daya paksa struktur yang dapat menjatuhkan hukuman atas siapa saja yang tidak patuh terhadap kebijakan yang dibuat pemimpin.

    Dalam politik, kekuasaan pemimpin formal dalam struktur negara lahir atau muncul karena ia mendapatkan dukungan dari rakyat. Soal mekanisme untuk mendapatkan dukungan itu bisa berbedabeda, tergantung sistem politik atau bahkan semata-mata teknik yang diterapkan. Dengan legalitas itu,seorang yang telah ditetapkan menjadi pemimpin politik formal memiliki kewenangan untuk membuat aturan main dalam negara yang harus dijalankan oleh seluruh warga negara.

    Aturan main yang seharusnya dibuat adalah aturan main untuk mewujudkan kebaikan bersama (common good) sebagaimana digariskan oleh konstitusi negara.Cara yang ditempuh untuk mewujudkannya juga berbeda-beda, bergantung ideologi yang dianut negara. Besaran kekuasaan seorang pemimpin politik sangat ditentukan oleh posisinya dalam struktur yang berbentuk piramida. Semakin ke atas posisi seseorang, kekuasaan yang dimiliki menjadi semakin besar.

    Besaran itu juga ditentukan keunikan posisi dalam struktur kekuasaan. Makin unik posisi seseorang, kekuasaan yang dimiliki makin besar sampai pada taraf paling besar. Di Indonesia,posisi unik itu dimiliki oleh seorang presiden. Posisi itu ditempati oleh hanya satu orang.Kekuasaannya terbilang sangat besar karena selain memiliki kewenangan untuk menjalakan kewenangan eksekutif, presiden juga memiliki kewenangan legislatif karena memiliki kewenangan untuk bersama-sama dengan DPR membahas dan menetapkan undang-undang.

    Di level daerah posisi tersebut ditempati para kepala daerah. Sekadar membandingkan, anggota DPR memiliki kewenangan yang sangat signifikan. Tapi karena keunikannya tidak mutlak disebabkan terdapat 560 orang yang memiliki kewenangan yang sama, kewenangannya dapat bertabrakan dan kemudian dapat mereduksi kewenangan yang besar tersebut, bahkan kekuasaan tersebut menjadi seolah-olah nihil atau tidak berarti apa-apa.

    Keanehan

    Yang aneh adalah jika seorang pemimpin puncak dan memiliki keunikan posisi secara mutlak ternyata tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan kepada tujuan negara. Apalagi jika basis legitimasi kekuasaan tersebut adalah rakyat secara langsung karena mekanisme politik yang digunakan untuk menentukan kepemimpinan adalah pemilihan secara langsung. Yang lebih aneh lagi jika seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat, tetapi membuat kebijakan-kebijakan politik yang justru merugikan rakyat yang memilihnya.

    Kebijakankebijakan tersebut justru secara kasatmata menguntungkan pihak-pihak asing yang mengeksploitasi kekayaan milik negara. Ini merupakan gambaran yang sangat nyata bahwa seorang pemimpin politik formal telah kehilangan kekuasaan atau telah menjadi pemimpin tuna kuasa.Kekuasaan memiliki fungsi signifikan untuk menguntungkan pihak asing, tetapi mengalami disfungsi untuk memperbaiki negara dan memakmurkan rakyat sendiri.

    Setidaknya ada dua sebab yang membuat tidak tampaknya kuasa dari seorang pemimpin. Pertama, tidak ada keberanian untuk membuat kebijakan dan melakukan tindakan yang tidak diinginkan mayoritas masyarakat yang dipimpin. Padahal kepemimpinan diperlukan untuk mengarahkan mayoritas orangorang yang dipimpin itu untuk kemudian membuat mereka menyadari bahwa pemimpin mereka adalah orang yang memiliki pengetahuan lebih luas untuk menciptakan yang lebih baik baginegara.

    Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berani mengambil risiko dalam mencapai tujuan bernegara untuk kebaikan bersama di atas. Kepemimpinan dalam konteks ini dipahami sematamata sebagai tanggung jawab untuk mengarahkan seluruh sumber daya negara yang ada untuk mewujudkan tujuan negara. Karena itu, seorang pemimpin harus berani mengambil risiko ditentang oleh orang-orang yang dipimpinnya.

    Kedua,proses-proses untuk melahirkan pemimpin formal dalam struktur kenegaraan telah diinfiltrasi oleh kekuatankekuatan ekonomi yang memiliki kepentingan untuk menguasai ekonomi negara. Akibatnya, para pemilik kapital itu memiliki peluang untuk selalu mempengaruhi para pengambil kebijakan politik yang seharusnya membuat peraturan perundang- undangan yang membela dan melindungi rakyat,justru membela pemilik kapital.

    Dalam konteks inilah, para pemimpin negara kehilangan kekuasaan yang seharusnya ada pada mereka dan bisa mereka gunakan untuk membuat kebijakan- kebijakan politik yang baik. Dalam konteks sistem demokrasi yang kian liberal, seorang pemimpin menjadi tunakuasa karena seorang pemimpin telah terbelenggu oleh berbagai kekuatan yang mendukung secara kapital untuk memperoleh posisi kepemimpinan dalam proses yang membutuhkan biaya sangat besar.

    Apalagi dengan adanya fenomena politik uang yang kian marak sehingga membuat biaya untuk berkompetisi untuk memperebutkan posisi kepemimpinan menjadi terbilang tidak rasional. Pemimpin yang lahir karena biaya yang tidak wajar biasanya adalah pemimpin yang lemah. Untuk menutup kelemahan tersebut, dilakukan berbagai upaya pembangunan citra agar tidak terlihat sebagai pribadi yang lemah oleh warga negara yang akan menjatuhkan pilihan kepada para calon pemimpin yang berkompetisi dalam pemilu.

    Padahal untuk melakukan upaya-upaya pembangunan citra tersebut diperlukan biaya yang terbilang sangat besar. Inilah juga yang menjadi celah yang sangat longgar bagi para pemilik kapital untuk menanamkan “investasi politik” yang tentu saja membutuhkan kompensasi berupa kebijakan-kebijakan politik yang menguntungkan mereka. Bagi mereka,“tidak ada makan siang gratis dalam politik”. Wallahu a’lam bi al-shawab.

  • Menguak Badai Kiriman Rosa

    Menguak Badai Kiriman Rosa
    Febri Diansyah, KOORDINATOR DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN
    INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
    Sumber : SINDO, 20 Januari 2012
    Mindo Rosalina Manulang dengan blazer warna krem memberikan kesaksian tentang salah satu kasus penting skandal korupsi politik yang paling hangat sejak tahun lalu.Dalam persidangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin, Rosa menyebut sejumlah nama.

    Kesaksian mantan marketing manager Permai Group ini sebelumnya ditunda dua kali karena Nazaruddin sakit.Sempat terjadi kemelut,Rosa mengaku diintimidasi dan diancam dibunuh.Terpidana kasus suap Wisma Atlet yang sudah dijatuhi vonis 2,5 tahun ini diminta agar tidak menyebutkan Nazaruddin dalam kesaksiannya. Karena itulah ia akhirnya dilindungi oleh LPSK.Dengan blazer krem pelapis rompi antipeluru yang dikenakannya, ia mengirimkan badai pada banyak orang, sebagian di antaranya petinggi the ruling party.

    Enam Poin

    Dari sederet kesaksian yang diberikan Rosa pada persidangan 16 Januari 2012 lalu, sebenarnya apa yang bisa diambil? Apakah hanya sensasi tentang nama-nama besar yang disebutkan? Perdebatan tentang siapa ketua besar vs bos besar? Atau apa? Ada enam poin krusial yang penting dicermati.

    Pertama,Rosa menjelaskan siapa “ketua besar” yang muncul berulang kali dalam komunikasi dengan Angelina Sondakh. Nama yang disebut ternyata berbeda dengan versi Nazaruddin. Demikian juga dengan “bos besar”.Ketua besar mengarah pada pimpinan Badan Anggaran DPR, nama Mirwan Amir dari Fraksi Demokrat disebut. Arah ke “Badan Anggaran” bisa masuk akal jika dikaitkan dengan sejumlah fakta persidangan di tiga kasus yang sebelumnya dijatuhi vonis yaitu Rosa, El Idris, dan Wafid Muharam.

    Pernah muncul dalam persidangan bahwa proyek WismaAtlet sesungguhnya “dibeli” terlebih dahulu senilai Rp16 miliar pada DPR dan Kemenpora. Di DPR kewenangan penentuan anggaran tentu saja sangat terkait dengan Badan Anggaran. Akan tetapi,kesaksian Rosa tentu tidak bisa berdiri sendiri. Untuk menjerat siapa “ketua besar”sesungguhnya,KPK perlu bekerja lebih keras membuktikan“ aliran dana”tersebut.

    Salah satu titik yang harus dilewati tentu saja Angelina Sondakh yang tercatat berkomunikasi dengan Rosa untuk meminta dana bagi “ketua besar”. Poin ini sangat menarik karena dikesaksianRosa,Mirwan tidaklah disebut hanya sebagai personal, tetapi juga dikaitkan dengan distribusi untuk partai.Ibarat sungai,KPK haruslah sampai ke muara aliran dana.

    Kedua, siapa sesungguhnya pemilik Permai Group?Urgensi poin ini dinilai melebihi kasus suap Wisma Atlet yang sekarang sedang berjalan.Dari sejumlah fakta persidangan muncul informasi bahwa kas Permai Group digunakan sebagai tempat untuk menampung fee proyek yang tidak hanya berasal dari Wisma Atlet.

    Mengejutkan, Rosa menegaskan bahwa pemilik Permai Group adalah Nazaruddin, tetapi pada 2008, nama Anas Urbaningrum juga disebut sebagai pemilik lain. Jika melihat arah pemberitaan, tampaknya tidak begitu banyak yang melihat urgensi peran Permai Group. Padahal, jika KPK bisa membuktikan Permai Group adalah tempat pengumpulan dana fee proyek yang dipegang oleh Nazar, ini adalah kemajuan penting untuk mengusut kasus-kasus lainnya.

     Tidak bisa dibayangkan jika benar kejahatan korupsi “dikelola” secara rapi dan profesional dalam format korporasi. Perusahaan tersebut diduga mengalirkan dana pada politisi dan birokrat untuk mengatur proyek dan kemudian dana feedigunakan untuk pendanaan politik,“pengamanan” kasus, dan lainnya. Tidak banyak yang memperhatikan titik krusial ini karena sebagian besar hanya fokus pada siapa “ketua besar”.

    Pencucian Uang

    Dari sudut pandang penggunaan UU Pencucian Uang, pembuktian poin kedua ini sangatlah penting. Secara sederhana kita bisa mengatakan, siapa pun pihak pemberi dan penerima dana hasil korupsi ia bisa dijerat dengan delik pencucian uang (aktif dan pasif). Tentu setelah terlebih dahulu memenuhi sejumlah unsur pidana yang disyaratkan pasal tersebut.

    UU No 8/2010 telah memberikan KPK kewenangan untuk menangani delik pencucian uang dengan pidana asal korupsi tersebut. Di titik ini KPK harusnya lebih progresif untuk menerapkan pidana pencucian uang dan tidak hanya terpaku pada metode dan delik konvensional yang selama ini digunakan.

     Ketiga, dana untuk pemenangan Andi Mallarangeng. Poin ini cukup mengejutkan karena selama ini yang dimunculkan Nazaruddin cenderung hanyalah Anas Urbaningrum. Dana Rp500 juta dikatakan sudah diberikan pada tim sukses di Bandung.

    Keempat, dana untuk Angelina Sondakh. Dengan sandi “bu artis”,nama Angelina yang juga sudah dicantumkan berulang kali di dakwaan KPK kembali dimunculkan di sini. Komunikasi Angie dan Rosa diuraikan dalam sebuah alur yang seharusnya dengan mudah bisa diungkap KPK.

    Kelima,proyek pembangunan sport-centerHambalang.Kasus yang sudah masuk tahap penyelidikan di KPK ini menjadi santer di publik setelah Nazaruddin berkicau via Skype. Hambalang dikaitkan dengan dana pemenangan Anas dalam pemilihan ketua umum Partai Demokrat. Nazaruddin kembali disebut meskipun gagal dalam proyek ini.

    Khusus bagian ini,KPK perlu lebih bekerja keras untuk merangkai fakta-fakta yang sudah mengemuka di persidangan. Terutama karena nilai proyek Hambalang yang sangat besar, lebih dari Rp1,5 triliun.PT Adhi Karya diketahui sebagai pemenang dan pelaksana proyek ini. Modusnya hampir sama,mulai dari lobi proyek hingga fee yang diberikan pada pihak tertentu karena berkontribusi dalam pemenangan.Kerja masih panjang, apalagi di kesaksiannya Rosa juga menyebutkan ada 35 anak perusahaan yang juga mengelola berbagai proyek pemerintah.

    Yang pasti, pada kesaksian Senin lalu,Rosa dengan keberaniannya telah mengirimkan badai untuk sejumlah kekuasaan korup.Badai yang meskipun tidak bisa berdiri sendiri, tetapi sudah dapat menjadi modal tambahan bagi KPK untuk membongkar akar korupsi di sektor politik.