Blog

  • Adil dalam Perdagangan Bebas

    Adil dalam Perdagangan Bebas
    Craig Emerson, MENTERI PERDAGANGAN AUSTRALIA
    Sumber : JAWA POS, 21 Januari 2012
    DISKUSItentang kebijakan perdagangan sering dipertentangkan dalam dua perspektif, yaitu perdagangan bebas dan perdagangan adil. Menurut paradigma itu, bila perdagangan dibuat lebih bebas, pastilah menjadi kurang adil. Satu-satunya cara untuk membuat perdagangan lebih adil adalah membuatnya menjadi kurang bebas. Dapatkah perdagangan bebas menjadi adil?

    Mereka yang berpendapat bahwa adanya negara-negara bergaji rendah membuat arena kompetisi ekonomi tidak seimbang dan oleh karena itu tidak adil, yang secara logis, berjuang untuk tingkat upah tunggal secara global.

    Itu suatu usul yang menarik dari kanan jauh, namun sangat mirip dengan falsafah Karl Marx.

    Hingga kita memiliki satu tata pemerintah dunia untuk tingkat upah dunia tunggal, pendukung proteksionisme akan terus memperjuangkan pembatasan tarif dan pembatasan-pembatasan impor lainnya atas barang dari negara-negara berupah rendah.

    Di Australia, upah minimum adalah 15,50 dolar Australia per jam. Sementara tingkat upah di pabrik-pabrik mancanegara yang memproduksi kaus kaki dan pakaian dalam murah sekitar 80 sen per jam. Diperlukan penerapan tarif lebih dari 1.000 persen untuk menghapus keuntungan daya saing negara-negara berupah rendah pada Australia.

    Alternatif dari tarif yang luar biasa itu adalah menurunkan upah Australia menjadi 80 sen per jam. Tetapi, mengapa pekerja Australia harus dipaksa ikut lomba menuju dasar, bersaing dalam hal upah dengan negara-negara miskin yang berupah rendah, hanya supaya kami dapat memproduksi kaus kaki dan pakaian dalam kami sendiri?

    Lebih baik masa depan Australia adalah sebagai negara berketerampilan tinggi dengan upah tinggi. Apa yang sedang dilakukan penduduk negara-negara miskin, yang beralih dari pertanian sub­sisten, apakah lebih baik memperoleh upah dengan memproduksi barang-barang berupah rendah untuk ekspor?

    Adanya penduduk yang berjuang untuk hidup dengan upah rendah tidak berarti tidak adil terhadap negara-negara kaya; ini tidak adil untuk penduduk itu sendiri dan keluarga yang mereka coba hidupi. Bagi mereka, perdagangan bebas adalah adil. Bila kita mempunyai belas kasih kepada mereka, kita seharusnya sepakat.

    Di masyarakat apa pun terdapat dua kategori penduduk: produsen dan konsumen. Semua produsen adalah konsumen. Namun, tidak semua konsumen adalah produsen. Pendukung pembatas­an perdagangan beralasan bahwa pembatasan impor adalah suatu kepentingan nasional.

    Namun, pembatasan impor meningkatkan biaya hidup konsumen. Bagaimana mungkin hal itu merupakan kepentingan nasional bila mengakibatkan biaya hidup yang lebih tinggi kepada konsumen? Bagi kita yang berupaya menghadirkan ma­syarakat yang lebih adil, tarif dan kuota adalah regresif. Sebab, hal itu mengakibatkan beban berat yang tidak seimbang kepada penduduk miskin.

    Pascadepresi dan Perang Dunia II, negara-negara besar memutuskan untuk menyusun serangkaian peraturan bagaimana perdagangan dunia akan diselenggarakan. Perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan (general agreement on tariffs and trade) mengembangkan peraturan yang dirancang untuk memastikan bahwa perdagangan bebas berlangsung secara adil.

    Anggota-anggota badan penerus GATT, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tidak diperkenankan menaikkan tarif di atas suatu tingkat yang mereka telah bersepakat untuk menaatinya. Mereka diwajibkan untuk menaati batas-batas subsidi yang mereka terapkan kepada industri-industri dalam negeri. Mereka dibatasi dalam membanting harga di pasar ekspor.

    Saat GATT didirikan pada 1947, GATT mempunyai 23 negara anggota. Pada saat WTO didirikan pada 1994, WTO mempunyai 128 anggota. Saat ini WTO mempunyai 153 anggota, dengan empat negara lain, termasuk Rusia, akan meratifikasi keanggotaan mereka tahun ini.

    Tidak ada satu negara pun yang telah memutuskan untuk me­ninggalkan WTO. Pastilah buku peraturan WTO memiliki kelemahan dan beberapa halamannya hilang. Namun demikian, perdagangan lebih bebas dan lebih adil jika dibandingkan dengan bila tidak ada peraturan. Sasaran perdangan bebas dan perdagangan adil berlangsung lebih baik dengan penerapan peraturan kepada semua pihak dan dengan kepastian bahwa peraturan mencakup semua praktik yang tidak adil.

    Itu sejatinya yang diupayakan di perundingan-perundingan perdagangan global Putaran Pembangunan Doha selama lebih dari satu dasawarsa. Putaran Doha berhasil membuahkan penghapusan subsidi ekspor pertanian, penerapan pembatasan ketat kepada subsidi pertanian, penurunan lebih jauh tarif industri, dan disiplin yang lebih ketat terhadap dumping.

    Namun demikian, hal itu ternyata sulit. Rencana Australia, yang didukung oleh sekitar 50 negara di konferensi tingkat menteri WTO di Jenewa bulan lalu, adalah memilah-milah putaran tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih mudah dikelola dan dihadirkan untuk disepakati bila sudah siap.

    Calon kuat untuk kesepakatan awal, misalnya, bisa jadi fasilitasi perdagangan. Itu akan mencakup percepatan gerak, peluncuran, dan perizinan barang. Komisi Europa meluncurkan suatu kajian pada Oktober tahun lalu yang memperkirakan suatu perjanjian fasilitasi perdagangan akan me­ningkatkan produk domestik bruto global sekitar USD 67 miliar.

    Sebagian besar keuntungan ini akan mengalir ke negara-negara berkembang, membantu mengentaskan jutaan penduduk miskin dunia dari kemiskinan.

    Saat itulah perdagangan bebas berada pada tingkat yang paling adil.

  • Menyamakan Pemahaman soal Keamanan Nasional

    Menyamakan Pemahaman soal Keamanan Nasional
    Budiman Djoko Said, LAKSAMANA MUDA TNI PURNAWIRAWAN,
    WAKIL KETUA FORUM KAJIAN PERTAHANAN MARITIM
    Sumber : SINAR HARAPAN, 21 Januari 2012
    Berbagai kontroversi yang muncul terkait Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) belakangan ini sangatlah wajar, karena hal itu menyiratkan kekhawatiran sebagian pihak bahwa RUU tersebut, dengan Dewan Keamanan Nasional-nya atau Wankamnas, akan menjadi alat pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang.
    Selain itu, sejauh ini pengertian “kewenangan keamanan” telah dipelintir sedemikian rupa sehingga seolah-olah kewenangan Polri semakin berkurang. 
    Penulis berpandangan, sebaiknya kita kembali kepada keinginan tulus dari definisi kamnas itu sendiri agar kontroversi yang berkembang dapat diredam, dan kalau ada “trauma” juga bisa dikikis dengan belajar dari negara maju yang menerapkan konsep tersebut.
    Sejumlah negara yang menggunakan konsep kamnas memperlakukan konsep tersebut sebagai strategi keamanan nasional yang didesain untuk mengamankan dan mendukung tercapainya objektif kepentingan nasional. 
    Dalam strategi itu terkumpul berbagai strategi nasional instrumen-instrumen kekuasaan nasional. Instrumen kekuasaan nasional tentu saja dipilih yang benar-benar memiliki means, ways, dan ends yang signifikan kuat mendukung kepentingan nasional, misal militer atau diplomasi (di Indonesia bisa dimasukkan instrumen maritim).
    Jumlah instrumen kekuasaan nasional ditetapkan pemerintah dan muncul diwakili pemangku kepentingan instrumen tersebut sebagai menteri atau pemegang strategi nasional. 
    Dengan begitu dalam strategi kamnas ada strategi politik/diplomatik nasional, strategi ekonomi nasional, strategi militer nasional atau pertahanan nasional, dan sebagainya, yang kesemuanya memakai kata nasional dan bukan negara. Jadi, inti strategi kamnas berorientasi pada kepentingan nasional dengan produk akhirnya adalah kamnas.
    Berbeda dengan pengertian yang dikembangkan dan berkembang di negara maju, pengertian kita di Indonesia mengenai kamnas tak lain dari kumpulan semua isu keamanan yang ada di negeri. Juga berkembang pengertian bahwa kamnas adalah milik semua lapisan masyarakat.
    Pengertian itu sangat berbeda dengan di negara maju bahwa kamnas atau strategi kamnas adalah milik instrumen-instrumen kekuasaan nasional. Kalau digambarkan dalam pola segitiga maka dia adalah “strategi kamnas-kepentingan nasional-instrumen kekuasaan nasional”. Berbagai isu keamanan “riil” (di luar kamnas) diwadahi sebagai keamanan dalam negeri, dan mungkin inilah “kewenangan yang pas” bagi Polri. 
    Wankamnas  di AS
    Di negara seperti Amerika Serikat (AS), Lembaga Wankamnas (National Security Council/NSC) sudah bekerja puluhan tahun. Di dewan itu berkumpul berbagai “think-tank” atau pakar pengambilan keputusan (decision making support system experts) terkait isu-isu strategik atau sensitif.
    Sensitif atau strategik diukur dari kadar bersinggungannya dengan objektif kepentingan nasional. Konsekuensinya, kepentingan nasional sebagai visi jangka menengah bangsa akan didefinisikan terlebih dahulu dan didokumentasikan pada saat awal pemerintahan kepala negara (kata Huntington). 
    Dewan tersebut bukan saja bertindak sebagai penasihat presiden dengan sajiannya berupa alternatif keputusan presiden per setiap isu strategik atau sensitif, tetapi juga melengkapi dengan kajian risiko dan “biaya” yang harus dibayar apabila suatu kebijakan dipilih.
    Puluhan tahun dewan tersebut berdiri dan bekerja sehingga benar-benar terlatih sebagai tim bantu pengambilan keputusan kamnas.
    Pada tingkat atau derajat kegentingan 2, 3, dan 4 di setiap isu kamnas, lembaga ini terus bekerja mencari alternatif terbaik, dibantu dengan intelijen yang kuat dan basis data, serta teknik pengambilan keputusan modern dengan komputer pemroses kecepatan tinggi. 
    Hasilnya dewan ini dianggap sukses dan sangat efektif, bahkan diusulkan untuk diangkat lebih tinggi menjadi lembaga kepresidenan tentang kamnas (Presidential National Security Council) dan konon kabarnya di AS akan berkantorkan di sayap barat (West Wing Gedung Putih).
    Lembaga itu diketuai presiden, meskipun pelaksana harian adalah menteri pertahanan, dan beranggotakan tetap semua pemangku strategi kamnas. 
    Instrumen Kamnas
    Seperti diketahui, instrumen kekuasaan nasional tradisional adalah PEM (politik, ekonomi, dan militer), kemudian berkembang menjadi DIME (diplomatik, informasional, militer, dan ekonomi), malah sekarang menjadi lebih lengkap lagi sebagai MIDLIFE (militer, informasional, diplomatik, legal, intelijen, finansial, dan ekonomi). Produk Dewan ini menjadi menu “sarapan pagi” Presiden AS.
    Kesimpulannya, Wankamnas sangatlah effektif menangani semua isu strategik dan lintas kementerian atau departemen, atau lintas komunitas apa pun juga yang ada.
    Keberadaan strategi kamnas yang berorientasi kepada objektif (sasaran fisik) kepentingan nasional tidak bertentangan dengan pelanggaran “kewenangan penegakan hukum”, karena keamanan di luar pengertian isu kamnas ini akan diwadahi atau ditangani isu keamanan dalam negeri. 
    Di luar Wankamnas tidak ada lagi lembaga ad-hoc, yang jelas  lembaga di luar dewan ini tidak akan efektif  dan sulit dikontrol, karena jumlahnya banyak dan tak setangguh Wankamnas.
    Selain itu, orientasi kepada kepentingan nasional akan merangsang produk intelijen berorientasi  terhadap kepentingan nasional. Haruslah dipahami, kepentingan nasional selalu berorientasi keluar (outward looking), mengingat dia adalah promosi dan daya hidup bangsa di mata dunia internasional.
    Konsekuensinya prioritas ancaman berorientasi kepada kepentingan nasional. Kelas pengancam bagi tercapainya objektif kepentingan nasional dikatagorikan “vital”, misal ancaman terhadap kesejahteraan nasional, kedaulatan nasional, dan pertahanan nasional oleh aktor negara maupun aktor non-negara.
  • Kursi Rp 24 Juta

    Kursi Rp 24 Juta
    James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
    Dewan Perwakilan Rakyat kembali dipersoalkan. Keberadaannya sebagai wakil rakyat kembali digugat. Setelah mengalokasikan Rp 2 miliar untuk biaya renovasi toilet, DPR kembali mencederai rasa keadilan rakyat dengan menganggarkan Rp 20,3 miliar untuk merenovasi ruang kerja Badan Anggaran DPR.
    Angka Rp 20,3 miliar untuk merenovasi ruang kerja Badan Anggaran DPR yang berukuran 780,89 meter persegi itu dianggap luar biasa besar mengingat Mahkamah Agung (MA) hanya mengalokasikan dana Rp 10,24 miliar untuk merenovasi 37 ruang pimpinan dan hakim agung di tiga lantai gedung MA. Bukan itu saja, dana tersebut juga digunakan untuk membuat media center MA yang dilengkapi ruang transit. Dengan kata lain, biaya yang dialokasikan DPR untuk merenovasi satu ruang kerja itu dua kali lipat dari biaya yang dialokasikan MA untuk merenovasi 37 ruangan.
    Kecaman terhadap DPR menjadi semakin keras karena pada saat yang sama ada sekolah yang kekurangan dana sehingga satu ruang kelas digunakan untuk dua kelas. Sekolah itu adalah Sekolah Dasar Negeri Tajur 7 di Desa Tajur, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang terletak sekitar 30 kilometer dari kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan di daerah terpencil atau di pulau terluar negara ini.
    Saat pertanyaan mengenai mengapa diperlukan biaya sebesar itu belum terjawab, muncul informasi baru, yakni kursi ruang kerja Badan Anggaran DPR itu diimpor dari Jerman dan berharga Rp 24 juta per kursi.
    Ketika dipersoalkan, PT Dekorindo Selbytra Nugraha, yang memasok kursi merek Vitra untuk ruang kerja Badan Anggaran DPR, menyebutkan, mahalnya harga kursi untuk ruang baru Badan Anggaran DPR, antara lain, karena ada biaya lain yang harus ditanggung, seperti ongkos kirim. Kursi itu disebutkan berkualitas tinggi.
    Dalam situs PT Dekorindo Selbytra Nugraha ditulis harga kursi Vitra tipe ID Trim berada pada kisaran Rp 27 juta. Harga itu lebih mahal dibandingkan dengan harga yang disebutkan DPR, yakni Rp 24 juta per kursi.
    Namun, dari penelusuran di situs lain, seperti www.think-furniture.com atau www.connox.com, diketahui harga kursi Vitra tipe ID Trim berada pada kisaran Rp 9 juta, termasuk pajak. Tentang adanya selisih harga yang besar itu, Veronica Sitepu dari PT Dekorindo Selbytra Nugraha mengatakan, ”Ada biaya lain yang harus kami bayar, misalnya ongkos kirim.”
    Senyaman Kursi Mercedes?
    Ketika mendengar kursi diimpor dari Jerman dengan harga Rp 24 juta, bayangan yang masuk ke dalam benak adalah kursi Mercedes Benz yang multi-contour, yang dapat menyesuaikan diri dengan bentuk tubuh orang yang duduk di atasnya. Bahkan, ketika mobil membelok tajam pun, tubuh orang yang duduk di atas kursi itu tetap tertahan di tempatnya. Belum lagi, biasanya kursi itu dilengkapi dengan alat pemijat. Pendeknya, kursi itu sangat nyaman diduduki sehingga kalau sudah duduk di atas kursi itu, orang tidak ingin berdiri lagi.
    Tentunya kursi yang diimpor itu bukan kursi Mercedes Benz yang multi-contour. Kursi itu adalah kursi yang biasa-biasa saja. Lalu, pertanyaannya, mengapa DPR memilih kursi semahal itu? Ataupun jika harga kursi tersebut sesungguhnya tidak semahal itu (karena yang mahal adalah ongkos kirim), mengapa kursi itu yang dipilih?
    Mungkin kursi itu mempunyai kenyamanan yang setara dengan kursi Mercedes Benz multi-contour. Pertanyaannya, mengapa DPR memerlukan kursi seperti itu?
    Secara berseloroh ada yang menjawab agar para anggota DPR dapat rapat berlama-lama tanpa merasa lelah atau ada juga yang menjawab agar para anggota DPR dapat mendengar kritik tajam atau kecaman terhadap kinerja mereka dengan nyaman.
    Khusus untuk jawaban yang kedua, itu adalah persoalan terbesarnya, apakah mereka memang mendengarkan kritik atau kecaman yang diarahkan kepada mereka? Jawabannya, pasti tidak.
    Berbicara kepada DPR, itu sama seperti berteriak di padang pasir yang tak berpenghuni atau mungkin mirip peribahasa yang berbunyi ”anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”.
    Kita belum lupa ketika pada pertengahan September 2010, saat kritik dan kecaman yang dilancarkan oleh berbagai elemen masyarakat terhadap rencana DPR membangun gedung baru 36 lantai senilai Rp 1,6 triliun belum habis, tiba-tiba masyarakat sudah dikagetkan lagi oleh anggota DPR yang berwisata ke beberapa negara dengan kedok studi banding.
    Dan, uniknya, studi banding tersebut bukan baru dikritik pada saat itu. Sebelumnya, studi banding sudah dikritik berulang kali. Akan tetapi, DPR tetap melakukan dari waktu ke waktu. Kritik dan kecaman yang disampaikan gencar dari masyarakat sama sekali tidak digubris.
    Kita tidak habis pikir, apa yang sesungguhnya ada di dalam benak para anggota DPR yang terhormat itu? Kita bertanya-tanya, mengapa mereka tidak merasa sungkan atau bahkan merasa malu ketika melakukan sesuatu kegiatan yang jelas-jelas menuai kritik dan kecaman dari masyarakat?
    Inilah uniknya, pada saat mereka memerlukan suara dari rakyat dalam pemilihan umum untuk memperoleh kursi di DPR, seluruh aspirasi rakyat coba diserap dan janji-janji diumbar. Namun, begitu kursi di DPR didapat, telinga mereka langsung tertutup.
    Jangan-jangan DPR memerlukan kursi yang benar-benar nyaman sehingga pada saat mereka duduk di atasnya, kritik dan kecaman yang keras tidak terdengar atau kalaupun terdengar, suara itu sudah demikian sayup-sayup sehingga kritik dan kecaman itu tidak terdengar.
  • Negara Lemah

    Negara Lemah
    Makmur Keliat, PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
    Kekerasan yang marak kembali di beberapa wilayah Indonesia, seperti Papua, Lampung, dan Aceh, kembali menciptakan kepiluan bagi bangsa ini. Namun, tidak ada kesepakatan mengapa rangkaian kekerasan itu terus terjadi.

    Setidaknyaadadua alurpikirutama yang bertolak belakang. Alur pikir pertama menekankan pada aspek kemerosotan wibawa negara dalam memonopoli penggunaan kekerasan. Aktor-aktor utama keamanan negarayang merepresentasikan penggunaan monopoli itu, terutama polisi dantentara,tidak bergeraksecarahar- monisdan salingbahu-membahu.Riva- litasini diyakinimemberikankontribusi mengapawibawa negaratelahmerosot dan mendorongkelompok-kelompok di luarnegara memilikikeberanianuntuk menantang monopoli kekerasan itu.

    Fenomena Negara Lemah

    Alurpikir keduamenekankanpada nilai-nilai tidak demokratis di masyarakat. Berbedadenganalur pikirpertama,pandanganinimeyakini bahwaterdapatsejumlah kelompok di masyarakat yang ti- dak memiliki kepercayaan terhadap esensi dari nilai-nilai demokrasi.

    Kelompok-kelompok sosialini tidak melihat demokrasisebagai suatuproses penyelesaiankonflik kepentingandengan cara-cara non-kekerasan.Tersingkir dan terasingkan dari proses politik demokrasi yang ada telah mendorong kelompok ini untuk berada diluar jalur demokrasi. Kekerasan yang marak kembali di beberapa wilayah Indonesia, seperti Papua, Lampung, dan Aceh, kembali menciptakan kepiluan bagi bangsa ini. Namun, tidak ada kesepakatan mengapa rangkaian kekerasan itu terus terjadi.

    Dalam analisis seperti ini, tindakan barbar dalampenyelesaian konflikkepentingan yang mereka promosikan disebut menjadi sebab utama mengapa tidak terdapat rasa hormat terhadapotoritas negaradalam memonopoli penggunaan kekerasan itu.

    Duaalurpikir berbedainitentusaja menghasilkan rekomendasi kebijakan yangberbedapula. Alurpikirpertama menyarankan penguatan kerja sama dan koordinasidiantara aktorkeamanandengan menciptakan regulasi yang lebih ko- heren dan terpadu. Isu tentang pentingnya segera mengesahkan RUU Keamanan Nasional, termasukdi dalamnyagagasan pembentukan Dewan Keamanan Nasional,dapat ditempatkandalam alurpikir pertama ini. Diharapkan, dengan adanya UUini, negaradapatlebih tegasdalam menangani masalah keamanan.

    Dalam aras yangsangat berbeda, alurpikir kedua lebih menekankan pada tanggung jawab partai politik untuk menarik kelompok-kelompok antidemokrasi dalam prosesdemokrasi danpenyelesaiankonflik yangada. Kritikterhadap watakoli- garkisdandominasi keluargadipartai-partai politik dapat dilihat sebagai wujud dari alur pikir kedua ini.

    Jika mesin partai lebih terbuka terhadap kelompok-kelompok yang tersingkirkan dari prosesdemokrasi, diharapkan tindakan kekerasanmungkin berkurang. Dalam rumusan berbeda, sepanjang partai hanya sibuk denganurusan transaksi po- litik,sepanjang itupula kekerasandari kelompok yang teralieanasi dari proses demokrasi akan terus berlangsung.

    Terlepas dari alurpikir dan rekomendasi yang berbeda ini, kedua perspektif ini sebenarnya bermuara pada satu kesimpulan yangsama. Rangkaiankekerasan yang terus terjadi telah memperlihatkan wajah Indonesia sebagai negara lemah.

    Fenomenanegara lemahini dapatdilihatdaridua indikasi.Pertama,negara tidak mampu mewujudkan salah satu prinsip dasar kehadirannya,yaitu memberikan keamanan bagi warga negara. Kedua, sebagian masyarakattidak memiliki civic values ketika menjalanikehidupan bernegara.Negara lebihdilihatsebagai musuh masyarakat, bukan dilihat sebagai institusi yang dapat melindungi dirinya.

    ”Sheriff”dan Bandit

    Khususnyadi wilayah-wilayahkonflik kekerasan, fenomena negaralemah ini telah mengakibatkantidak jelasnyabatas wilayahgerak antara sheriff dan bandit. Mirip sepertidalam film-film c ow b oy Barat,tangan kekuasaannegara jadisangat sukar diidentifikasikan dan dibedakan dengan tangan kekuasaan non-negara.

    Dari wilayah-wilayahkonflik itutak jarang penulis mendapatkan potongan ceritatentang bagaimanaaktor-aktorkeamanan telah menjadiaktor bisnis pula. Demikian sebaliknya, aktor-aktor non-negara, atas nama kelompok masyarakat, yang perilakunya seperti bandit, telah pula memainkan fungsi sebagaipemberi ke- amanan (security provider). Bahkan, kerap pula terdengarcerita bagaimana sheriff dan bandit itu bekerjasama untuk tetap melestarikan konflik kekerasan.

    Jika potongan-potongan cerita seperti iniditempatkan dalamgambaranyang lebihbesar, akanmuncul sesuatuyang sangat serius.Gagasan bahwaekonomi politik perdamaian (politicaleconomy of peace) jauhlebih menguntungkanbagi bangsa inidaripada ekonomipolitik kekerasan (politicaleconomy ofviolence) tak akan menemukan lahan yang subur untuk dikembangkan. Ketikaruang abu-abuan- tarawilayahgerak sheriff dan bandit itu begitu luas,dan terkesansaling bahu-membahu, wilayahyang rawanke- kerasantelah menjadisuatu lahanbisnis tersendiri.

    Regulasi baru memang dibutuhkan untuk memperkuatmonopoli negaradalam penggunaankekerasan. Namun,keberanian untuk mengambil tindakan setelah regulasiitu dibuatjuga samapentingnya. Pekerjaan sesungguhnya bukanlah pada saat pembuatan regulasi, tetapi justru mulai muncul ketikaregulasi telahselesai dibuat dan bagaimana ketentuan regulasi itu diterapkan di lapangan.

    Selain itu, bebanuntuk pembenahan tak hanya ditangan sektor negara.Partai politik juga harus mengemban tanggung jawab untuk menarik kelompok yang tersingkirkan dariproses politi kdemokratis. Para pemimpin partai politik yang bergerak dalam ruang demokrasi tak bisa lepas tanggung jawab terhadap munculnya fenomena negara lemah ini.

    Memperkuat negara seharusnya merupakan kepentingan integral dari parpol karena hanya dalam negara yang kuat, partai politik dapat berperan besar. Jika negara lemah, parpol tidak dapat berperan banyak menggunakan kekuasaan negara untuk mengubah keadaan. Karena itu pula, partaipolitik tidakboleh membiarkan dirinya menjadi bagian dari sistem yang melestarikan hubungan simbiosis dari bandit dan sheriff ini.

  • Menanti Pemimpin Tegas dan Berani

    Menanti Pemimpin Tegas dan Berani
    Daniel Johan, DIREKTUR INSTITUTE OF NATIONAL LEADERSHIP AND PUBLIC POLICY
    Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
    Menurut banyak tradisi, mulai Dayak hingga Tiongkok, naga memiliki sifat alami sebagai pemimpin dan penuntun jalan.
    Dalam kebudayaan Tiongkok, naga tak dianggap sebagai binatang ganas dan penuh ancaman, tetapi lebih merupakan binatang paling unggul di antara 12 shio binatang. Naga dianggap sari dari prinsip yang (unsur hawa positif) sehingga naga diyakini sebagai sumber kebijaksanaan dan kekuatan, simbol dari perubahan dan perbaikan.
    Karena naga adalah jiwa perubahan, ia dianggap sebagai pengejawantahan harapan dan kehidupan. Bahkan, dalam ilmu peruntungan feng shui, naga dipercaya meniupkan tenaga chi, yakni napas kosmis yang diatur dalam bangunan untuk mendatangkan kesuksesan. 
    Dua hari lagi kita memasuki Tahun Naga Air, tahun tepat bagi tampilnya pemimpin yang berani, tegas, dan penuh semangat nasionalis merintis berbagai terobosan untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari masalah kerakyatan dan ketertinggalan. Kepemimpinan di Tahun Naga harus mampu menjawab berbagai persoalan kebangsaan dengan ketegasan, keberanian, pengorbanan, dan semangat nasionalis yang memperhatikan aspirasi dan rasa keadilan masyarakat.
    Berbeda dengan Tahun Kelinci yang lemah lembut dan penuh keraguan, Tahun Naga ini adalah tahun untuk menuntaskan dan menjawab berbagai persoalan yang jadi aspirasi dan rasa keadilan masyarakat dengan kepemimpinan yang tegas tersebut. Kasus Century, mafia hukum dan pajak, kelangkaan pangan, tingginya harga kebutuhan hidup, dan tetap lemahnya ekonomi sektor riil dan industri dalam negeri harus segera dituntaskan.
    Tiga Soal Utama
    Masalah keadilan dan kesejahteraan ini pula yang bisa disumbangkan oleh masyarakat Tionghoa untuk bangsa dan rakyatnya. Dengan semangat nasionalisme yang berkeadilan, kerja keras, dan gotong royong, semua anak bangsa harus mampu menjawab tiga persoalan utama bangsa ini: kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidakdaulatan.
    Kemiskinan harus dijawab dengan kemandirian ekonomi yang mengandalkan kekuatan anak bangsa Indonesia sendiri. Segala peraturan yang memperlemah kemandirian dan semakin meningkatkan ketergantungan kepada asing harus dikoreksi.
    Kita yakin sepenuhnya bahwa ekonomi dan industri dalam negeri bisa kuat selama itu dijalankan oleh anak bangsa Indonesia sendiri. Gebrakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), misalnya, harus mendapat dukungan sekaligus pengawalan bersama. Jangan sampai MP3EI justru jadi pintu masuk untuk melemahkan kemandirian dan memperkuat ketergantungan kepada asing.
    Kita tidak ingin MP3EI sama dengan ”Indonesia for Sale”. Namun, dengan semangat kepemimpinan yang tegas, nasionalis, gotong royong, dan penuh terobosan, serta bersatunya industriawan nasional, kita harus menjadikan MP3EI sebagai pintu mewujudkan ”Indonesia Incorporate” yang membanggakan.
    Kepemimpinan yang tegas harus mampu menjawab ketidakadilan dengan kepastian dan ketegasan hukum yang berkeadilan. Saat ini, mental dan praktik korupsi sudah mengacak-acak keadilan hukum kita. Sebagai negara hukum, kita tidak dapat terus membiarkan bahwa hukum hanya berfungsi untuk menghukum kasus-kasus kecil dan orang kecil, sebaliknya membebaskan kasus besar dan orang besar.
    Sementara itu, ketidakdaulatan harus dilakukan dengan mengevaluasi semua peraturan dan UU yang tidak konsisten dengan empat pilar kebangsaan kita, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Ada begitu banyak UU yang menggerogoti kita sebagai bangsa yang berdaulat. Hal-hal mendasar yang menyangkut kesejahteraan rakyat telah diserahkan kepada asing dan pasar. Seakan negara dan pemerintah tidak lagi punya kewajiban menjamin hak kesejahteraan rakyat.
    Kepemimpinan yang tegas, berani, serta memiliki semangat nasionalisme dan keadilan ini akan selalu hadir dalam setiap persoalan yang dihadapi rakyat dan bangsanya. Kepemimpinan semacam itu yang saat ini dinantikan oleh segenap rakyat Indonesia. Suatu kepemimpinan yang mampu menghadirkan pemerintah dan negara di dalam persoalan kerakyatan, khususnya dalam menjawab rasa keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa.
    Oleh karena itu, Tahun Naga adalah juga momentum bagi the outsiders—meminjam istilah Herbert Marcuse—sebagai momentum bagi mereka yang berani berdiri di luar berbagai kebobrokan yang ada saat ini. Momentum bagi mereka yang terus bergerak dengan tulus demi bangsanya, berani melawan arus, tanpa peduli akan dikenang ataupun dihina.
    Mereka adalah sosok-sosok yang mampu menangkap berbagai potensi yang dimiliki bangsa ini untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Segenap anak bangsa yang memiliki semangat yang sama ini harus mulai tampil menggeliat untuk bekerja bahu-membahu bersama the outsiders lain untuk membawa bangsa Indonesia mencapai kemajuan sesuai amanat konstitusi: UUD 1945.
    Indonesia memiliki segala potensi untuk menjadi ”Naga Asia” yang dikagumi oleh bangsa-bangsa di dunia. Akan tetapi, itu semua akan terwujud bila bangsa ini memiliki pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani. Kepemimpinan seperti itulah yang ditunggu rakyat dan sejarah.
  • Reformasi Polri Setengah Hati

    Reformasi Polri Setengah Hati
    Ahmad Yani, ANGGOTA KOMISI III DPR
    Sumber : REPUBLIKA, 21 Januari 2012
    Tahun 2012 datang dengan memberi kan banyak pekerjaan rumah bagi Ke polisan Negara Republik Indonesia (Polri). Sejumlah peristiwa yang ter jadi pada 2011 lalu membuktikan bahwa Polri masih perlu ber benah. Sangat nyata, reformasi Polri, yang sudah berjalan selama puluhan tahun, masih jauh dari optimal. Tak heran jika hasil sur vei Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan anjloknya persepsi publik terhadap penegakan hukum hingga 44 persen— yang salah satu penyebabnya ada lah buruknya kinerja kepolisian.
    Pada dasarnya, polisi memiliki tiga fungsi dalam tugasnya sebagai alat negara. Polisi wajib melaku kan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan; pemeliha raan ketertiban; dan pelayanan masyarakat. Tiga fungsi yang di emban Polisi itu membuat apa ratur lembaga tersebut selalu berada di tengah masyarakat. Tak heran jika setiap langkah yang di lakukan seorang polisi, sadar atau tidak, selalu berada di bawah pengawasan publik, khususnya, mereka yang tengah dalam situasi sensitif karena sangat membutuh kan perlindungan atau pelayanan hukum.
    Di sisi lain, polisi sendiri juga punya kendala. Tugas dan kewajibannya kerap membuat mereka bergaul dengan dunia kejahatan.
    Sudah jamak jika seorang polisi merasa tidak asing dengan tindak tanduk kejahatan. Mereka paham benar pelbagai modus para krimi nal. Maka, para polisi sejatinya
    Godaan yang didapat aparat po lisi untuk melakukan penyele wengan juga tak kurang berbahaya. Awalnya, motif penyele weng an masih ‘bisa dimengerti’, misalnya, untuk menambah uang bensin. Toh, anggaran bahan ba kar minyak (BBM) untuk setiap mobil patroli polisi di Jakarta ha nya cukup untuk membeli dua liter bensin per hari. Kalau sudah begitu, apa yang bisa diharapkan? Selanjutnya, dari yang tadinya cuma urusan bensin mobil, lama kelamaan, urusan bisa meningkat ke hal-hal yang tak terbayangkan.
    Dan kita tahu, nilai perkara yang diurus polisi juga tak terbilang be sarnya. Dalam kasus korupsi, mi salnya, kepolisian ternyata hanya punya anggaran Rp 37 juta untuk memproses tuntas sebuah perkara.
    Tentu saja, bukan karena minimnya anggaran belaka atau karena polisi ‘dekat’ dengan penjahat, yang membuat citra polisi menjadi tercoreng—gara-gara terkesan suka korup. Yang lebih mendasar lagi, pengawasan terhadap lembaga kepolisian juga masih kurang efektif. DPR memang memiliki hak melakukan pengawasan terhadap kepolisian. Namun, DPR ju ga dihadapkan pada kendala kurangnya informasi valid dan rinci mengenai pengelolaan ke uangan di tubuh kepolisian.
    Karena itulah, upaya untuk me mastikan adanya pengawasan efektif terhadap Polri harus benar-benar dijalankan. Toh, Polri
    pada dasarnya adalah lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan berdasarkan Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002. Dengan begitu, Polri juga harus menerapkan sistem pemerintahan yang baik (good governance).
    Itu artinya, Polri mutlak harus menjalankan prinsip supremasi hukum, profesionalitas, akunta bilitas, transparansi, dan pelayan an berkualitas. Yang juga harus di ingat, Polri tidak terlepas dari kewajiban untuk menjalankan prinsip demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan bisa diterima oleh ma syarakat.
    Saat ini, Polri telah menjalan kan reformasi yang didasari oleh pelbagai peraturan, termasuk Tap MPR Nomor X/MPR/1998 dan Instruksi Presiden Republik Indo nesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan da lam Rangka Pemisahan Polri dari ABRI. Lalu, muncul Tap MPR RI No VII/MPR/2000 tentang pemisahan peran Tentara Nasional Indo nesia di bidang pertahanan dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang keamanan.
    Selanjutnya, struktur organi sasi Polri dibenahi dan fungsi ser ta tugas Polri semakin tegas ber ori entasi kepada publik. Reformasi Polri semakin kuat dengan lahir nya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang ini juga sangat berorientasi publik.
    Persoalan yang tersisa sampai sekarang adalah belum optimalnya pengawasan terhadap Polri.
    Akibatnya, gejala moral hazard di tubuh Polri menjadi sulit dian tisipasi. Perilaku sebagian personel Polri juga masih belum se penuhnya reformis. Sebagai birok rat, sebagian personel Polri belum menyadari bahwa orientasi mereka harus ditujukan kepada semua kalangan tanpa pandang bulu.
    Nyatanya, kini muncul kecaman orientasi pelayanan Polri hanya di tujukan kepada kalangan pemodal belaka.
    Ditambah lagi, gaya militeristis juga belum hilang dari karakter se bagian personel Polri. Polri ma sih memiliki kekuatan paramiliter di tubuh Brimob dalam jumlah yang besar. Akibatnya, pendekat an keamanan yang diterapkan ke tika berhadapan dengan masya rakat kerap berakhir dengan keke rasan. Tengok saja, kasus bentrok an antara Polri dan masyarakat di Pelabuhan Sape, kasus Mesuji, kasus Bima, dan masih banyak ka sus kekerasan lainnya yang dilakukan polisi.
    Artinya, Polri masih gagal untuk menjadi pelindung dan penga yom warga. Tujuan polisi dikeluarkan dari institusi militer agar lebih merakyat juga belum terwujud. Ke depan, Polri harus mengedepankan tindakan persuasif dan meninggalkan hal-hal berbau represif. Jangan lagi terulang, polisi yang seharusnya melindungi rakyat, justru berbalik menghantam rakyat.
    Saya berharap, selain dari luar tubuh Polri, ada pimpinan internal Polri yang mau jadi lokomotif re for masi Polri. Toh, suksesnya re for masi selalu ha rus ditopang komitmen kuat pe mimpin organisasi di setiap level.
    Untuk itu pula, pemimpin Polri perlu merumuskan standar kinerja personel Polri—yang bersifat terbuka bagi publik—dilengkapi sistem reward and punishment yang jelas dan saluran bagi teraplikasinya gagasan atau ide yang brilian dari setiap lini, atas mau pun bawah. Dari sanalah, ukuran keberhasilan pelaksanaan tugas personel yang berorientasi kepada publik dapat kita nilai.
  • Polusi Visual

    Polusi Visual
    Eko Budihardjo, GURU BESAR ARSITEKTUR DAN PERKOTAAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
    Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
    Saat ini di berbagai pelosok kota di Indonesia bertaburan spanduk, poster, dan baliho yang menyuguhkan tampang para tokoh yang siap bertarung dalam ajang pemilu atau pilkada.
    Saya melihatnya sebagai polusi visual karena sungguh amat mencemari keindahan kota. Apalagi jika kita baca slogan, janji, dan pesan-pesan terselubung yang ditulis di bawahnya.
    Ada seorang kiai yang mempromosikan dirinya dengan kalimat, ”Liriklah Kakbah, pilihlah saya.” Fotonya menampilkan sosok berserban, badan berlilit sarung, dan selempang putih di pundak yang menyiratkan keulamaannya.
    Bukan main nekatnya. Kakbah hanya untuk dilirik, ujung-ujungnya agar wajah sang kiai itu yang mesti dicontreng untuk dipilih dalam pilkada.
    Memang yang lebih banyak nampang adalah tokoh-tokoh pejabat dengan baju seragam, lengkap dengan atribut kebesarannya. Sering kali mereka memanfaatkan peristiwa-peristiwa khusus, seperti Natal dan Tahun Baru. Kadang-kadang mereka tampil berdua dengan wakil atau calon wakilnya. Di saat lain tampak tokoh eksekutif berdam pingan dengan pimpinan legislatifnya.
    Semua sama sekali tidak berkontribusi terhadap peningkatan kualitas kota yang seharusnya merupakan social works of art. Bahkan, sebaliknya, malah merusak keindahan kota. Apalagi, papan-papan reklame pribadi itu juga bertebaran di kawasan bersejarah, kota lama, pantai, atau perbukitan yang alamiah. Amat sangat mengganggu pandangan.
    Kiranya sudah saatnya diatur perizinan yang lebih ketat mengenai iklan ruang luar yang tidak hanya berurusan dengan penempatan dan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga menyangkut keindahan sebagai suatu karya seni.
    Kita pakai kaidah Mies Van de Rohe: Less is More. Lebih sedikit wajah pejabat yang nampang di jalan, lebih indah wajah kotanya.
    ”Urban Art”
    Dengan judul ”Menarik tapi Belum Maksimal”, Kompas (7 Januari 2011) berkisah tentang kawasan Kota Tua di Jakarta yang semrawut, kumuh, dan banyak sampah. Paling sedikit 13 dari 59 bangunan bersejarah di kawasan tersebut rusak parah, tidak terpelihara, dan mangkrak. Bahkan, tahun lalu, salah satu gedung kuno bersejarah, yaitu bekas kantor West Java NV—dibangun 1912—rusak berat dan roboh.
    Kondisi bangunan-bangunan tua di kawasan Kota Lama di Semarang (yang sering saya populerkan dengan nama paradaban Belanda Kecil) pun tidak jauh berbeda. Memang harus diakui sudah banyak upaya untuk merevitalisasi kawasan bersejarah peninggalan kolonial tersebut.
    Jalan-jalan aspal sudah diganti dengan paving block. Gedung tua bekas pengadilan negeri yang bertahun-tahun telantar sudah direnovasi jadi rumah makan. Salah satu gedung tua lain dialihfungsikan jadi Galeri Semarang, ajang untuk pameran seni. Namun, banyak gedung kuno lain yang dibiarkan kosong, tidak difungsikan, dan tidak dirawat.
    Tatkala
    berkunjung ke Madrid, Spanyol, beberapa waktu lalu, saya mengamati bergulirnya gerakan urban art. Dinding fasade bangunan-bangunan tua yang telantar dengan wajah yang kotor dan kumuh disulap oleh para seniman lokal menjadi kanvas lukisan yang indah dengan tema yang beragam.
    Kenapa gerakan ”seni perkotaan” itu tidak digalakkan juga di negeri ini, bukan hanya di kawasan Kota Tua atau Kota Lama, melainkan juga ke seluruh penjuru kota. Ketimbang dinding dan pagar bangunan umum dirusak oleh tangan-tangan jahil dengan grafiti liar yang penuh kata-kata vulgar, mari kita dahului dengan lukisan-lukisan mural karya seni.
    Patung Sebagai ”Tengeran”
    Sungguh amat mengagetkan berita dirobohkan dan dibongkarnya patung-patung Bima, Gatotkaca, dan Semar di lokasi berbeda di pusat Kota Purwakarta. Peristiwa perusakan patung-patung itu sudah tiga kali terjadi sejak beberapa bulan sebelumnya. Kelompok propatung pun nyaris bentrok dengan kelompok antipatung yang mengaku datang dari Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Tasikmalaya.
    Setiap arsitek dan perencana kota pasti sependapat: patung merupakan karya seni yang bisa menyandang amanah sebagai tetenger, penanda, atau landmark. Sebutlah seperti patung Selamat Datang di Bundaran HI, Jakarta; patung Sri Rama yang sedang memanah di kawasan Gelora Bung Karno; dan patung Pancoran yang menjadi tengeran bagi kawasan masing-masing.
    Di sepanjang Jalan Pahlawan yang merupakan jalan protokol paling bergengsi di Semarang pun terdapat deretan patung wayang yang amat indah, khas, dan mengesankan. Saya tidak bisa membayangkan jika patung-patung wayang itu sampai dibongkar dan dibakar para ekstremis yang tidak paham arti kesenian.
    Kalau kelompok antipatung bersikukuh mau membongkar patung yang ada dan menolak pembuatan patung-patung baru dengan dalih agama, mereka dipersilakan menikmati kota Jeddah, Arab Saudi, dengan puluhan patung di berbagai sudut kota. Yang paling menarik dalam pandangan saya adalah sepeda raksasa yang dikisahkan sebagai perlambang sepeda yang dinaiki Nabi Muhammad SAW.
    Rasanya, kota-kota di Indonesia masih sangat kekurangan patung sebagai karya seni sebagai penanda kawasan. Patung tak selalu harus mahal. Ketika saya singgah di Bilbao, di depan Museum Guggenheim karya Frank Gehry pun dibangun patung untuk menyambut para wisatawan dalam bentuk kucing, terbuat dari komposisi bunga-bunga lokal. Sangat indah dan murah. Bergantung kreativitas para senimannya. Semua karya seni itu akan mengimbangi gejala merebaknya polusi visual berupa wajah-wajah yang rata-rata menyebalkan itu. Kembalilah ke hakikat kota sebagai karya seni sosial, menambah keindahan hidup manusia, melengkapi keindahan alam karya Tuhan.
  • UN, PTN, dan Otonomi Daerah

    UN, PTN, dan Otonomi Daerah
    M. Rifqinizamy Karsayuda, PENGAJAR HUKUM TATA NEGARA FH UNLAM, BANJARMASIN; MAHASISWA PROGRAM DOKTOR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS BRAWIJAYA
    Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
    Bagi para pengkaji hukum tata negara, ujian nasional yang diselenggarakan pemerintah pusat adalah antitesis otonomi pendidikan: penyerahan urusan di bidang pendidikan oleh pusat kepada daerah.
    Pasal 18 Ayat 2 UUD 1945 menegaskan, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal itu memberikan pesan kepada kita bahwa setiap daerah memiliki kewenangan mengurus sendiri pemerintahannya berdasarkan asas otonomi (daerah).
    Ketentuan konstitusi itu semakin ditegaskan dalam Pasal 10 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan seluruh urusan pemerintahan diserahkan kepada pemerintah daerah, kecuali enam urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama.
    Tafsir atas ketentuan konstitusi dan UU Pemda di atas adalah bahwa urusan pemerintahan di bidang pendidikan (mestinya) menjadi ranah daerah yang dikelola secara otonom. Sayang, otonomi daerah di bidang pendidikan masih jauh panggang dari api. Kehadirannya semata dalam mata pelajaran muatan lokal yang memberikan ruang bagi setiap daerah untuk menentukan kurikulumnya. Di luar itu, otonomi pendidikan dirampas pusat secara sengaja atas nama standardisasi pendidikan nasional.
    Ingkari Falsafah Bernegara
    Dalam konteks konstitusional itulah kehadiran ujian nasional (UN) menjadi masalah besar. Ia menjadi bagian dari kebijakan nasional yang mencederai falsafah bernegara untuk merajut persatuan Indonesia berbasis kebinekaan. Para pendiri bangsa amat menyadari, negara-bangsa yang didirikannya terdiri atas bangsa-bangsa dengan multi-perbedaan, bukan hanya soal kultur, etnik, dan ras, melainkan juga ekonomi dan pengetahuan.
    Otonomi daerah sesungguhnya dihajatkan sebagai terapi atas perbedaan-perbedaan itu. Dengan otonomi setiap daerah dipersilakan mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan berbasis kebutuhan dan kekhasannya. Pemerintah pusat hanya mengurusi enam urusan pemerintahan, sisanya menjadi koordinator dan supervisor atas jalannya pemerintahan di sejumlah daerah. Dengan cara demikian, daerah yang satu membedakan dirinya secara sentrifugal dengan daerah lain.
    Pengingkaran atas otonomi daerah di bidang pendidikan— melalui UN—berisiko mencederai tujuan negara untuk menghadirkan kecerdasan bangsa. UN yang menuntut persamaan nilai standar untuk mata pelajaran tertentu bagi setiap siswa di Tanah Air sulit diaktualisasikan di tengah sarana penunjang pendidikan yang serba njomplang, mulai dari SDM guru, ruang dan peralatan sekolah, hingga jarak tempuh sekolah.
    Para siswa di pedalaman Fak-Fak, Kapuas Hulu, Mentawai, dipaksa memiliki standar yang sama dengan para siswa sekolah favorit di kota-kota besar di Jawa. Maka lahirlah kecurangan di sana-sini. Bukan rahasia umum lagi, setiap kali UN digelar beredar pula berbagai kunci jawaban soal.
    Sebagian daerah malah menyiasatinya dengan menggunakan pendanaan APBD untuk bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar tertentu demi sukses UN. Saat hari-H UN digelar, para mentor bimbingan belajar itu disinyalir berubah fungsi menjadi pemasok kunci jawaban UN untuk para siswa.
    Kecurangan UN pun menghasilkan mata rantai setan. Ia tidak hanya menjadi kebutuhan siswa agar bisa lulus UN, tetapi juga dimaklumi oleh orangtua siswa atas nama gengsi dan martabat. Bagi pihak sekolah, UN bukan sekadar alat ukur prestasi, melainkan juga prestise. Lebih jauh, karier kepala sekolah salah satunya ditentukan oleh berapa persen siswa yang lulus UN.
    Rendahnya tingkat kelulusan UN juga menjadi pukulan bagi karier kepala dinas pendidikan di daerah tersebut. Bahkan, seorang kepala daerah pun bisa merasa amat dipermalukan apbila di daerahnya banyak yang tidak lulus UN. Ia akan merasa gagal mengurusi bidang pendidikan.
    Jika ini terus dibiarkan, alih-alih kita hendak mencerdaskan bangsa, yang terjadi justru menyuburkan benih generasi bangsa yang bermental curang dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Itu semua kita lakukan karena kita menabrak hakikat bahwa kita nyatanya berbeda. Maka, seharusnya standardisasi dibuat menurut perbedaan itu, bukan semua dipaksakan jadi sama.
    Usulan Syarat Masuk
    Jika UN hadir dengan wajah compang-camping, bahkan menjadi wujud pengingkaran kehendak berbangsa kita, amatlah wajar jika ide Mendikbud Mohammad Nuh untuk menggunakan UN sebagai syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) ditentang banyak pihak, bahkan juga kalangan PTN.
    UN yang membuka pintu kecurangan amat mungkin meloloskan orang-orang yang tak berkualifikasi masuk ke PTN. Pada masa lalu, penerimaan mahasiswa PTN non-tes melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) dapat dimanfaatkan oknum-oknum tak bertanggung jawab dengan memanipulasi nilai siswa karena nilai rapor
    menjadi syarat masuk PTN lewat jalur ini. Hasilnya banyak siswa hasil PMDK kesulitan bersaing di bangku kuliah. Oleh karena itu, pola penerimaan mahasiswa berbasis prestasi diubah, dilakukan melalui tes kendati dipisahkan dengan tes penerimaan pada umumnya.
    Jika pemerintah pusat berniat memberikan ruang bagi setiap anak bangsa masuk PTN, caranya bukan dengan menjadikan UN sebagai syarat masuk PTN. Pekerjaan rumah pemerintah untuk menghadirkan PTN sebagai rumah bagi generasi bangsa yang cerdas kendati lemah secara ekonomi adalah tantangan besar saat ini.
    PTN-PTN hari ini menjelma menjadi korporasi pendidikan tinggi yang justru menargetkan pendapatan tertentu, bahkan profit, dalam pengelolaan perguruan tinggi. Caranya, dengan mematok persentase tertentu bagi jalur penerimaan mahasiswa, mulai dari nilai masuk sampai dengan biaya pembangunan yang harganya terus melambung. Celakanya, jalur semacam ini sekarang tampaknya mendominasi cara masuk ke PTN sehingga PTN tak lagi ramah bagi kalangan yang tak berpunya.
    Jika demikian realitasnya, UN jelas bukan terapi terhadap sulitnya orang miskin untuk kuliah di PTN. Jalan satu-satunya untuk mengembalikan PTN sebagai rumah kaum cerdas Indonesia adalah dengan membangun seleksi masuk ke PTN yang berbasis kompetensi, bukan materi.
    Negara yang telah diamanahkan konstitusi untuk mengalokasikan 20 persen dana APBN dan APBD untuk pendidikan mestinya menginsafi ini.
  • Ancaman Bisa Perkuat Iran

    Ancaman Bisa Perkuat Iran
    Syafiq Basri Assegaff, WARTAWAN, PENULIS BUKU IRAN PASCA REVOLUSI, PENGGAGAS GERAKAN ANTI-RADIKALISME ISLAM-INDONESIA (GARIS)
    Sumber : JAWA POS, 21 Januari 2012
    ADApanas yang menganga di Teluk Persia. Ketegangan antara Iran dan Barat makin menjadi-jadi -dan dunia amat ngeri bila sampai meletus perang di antara keduanya dalam waktu dekat ini. Tetapi, konflik antara Iran dan Barat -khususnya Amerika Serikat (AS)- memang bukan sesuatu yang baru. Perseteruan keduanya sudah berlangsung hampir satu abad. Ada luka lama di sana.

    Pada 1953, misalnya, AS dan Inggris berhasil mendongkel Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadeq dari kursinya dan memantapkan kedudukan Syah Reza Pahlevi yang dibenci rakyat di singgasana emas.

    Lalu, saat Iran di bawah Ayatullah Khomeini baru saja berhasil menggulingkan Syah Reza Pahlevi pada 1979, tiba-tiba Iran diserang Iraq pada 1980. Keduanya berperang selama delapan tahun dan AS -bersama sekutu Eropa dan sohib-sohib Arab-nya- mendukung pemimpin Iraq Saddam Hussein.

    Meski beban sejarah itu dapat dilupakan, misalnya, masalah-masalah yang ada sekarang ini saja sudah cukup menyuguhkan kerumitan-kerumitan diplomasi yang serius.

    Melalui sanksi-sanksi yang kian ketat, serangan virus Stuxnet (yang kabarnya dikirim Israel untuk merusak sistem komputer fasilitas nuklir Iran), kondisi ditutupnya Selat Hormuz oleh Iran, dan pembunuhan beberapa ilmuwan nuklir Iran belakangan ini menjadikan ketegangan makin luas di berbagai front, sementara koalisi berbagai negara berusaha menghentikan program nuklir Iran.

    Belakangan, Iran mengancam menutup Selat Hormuz melalui latihan militer selama sepuluh hari di kawasan Teluk Persia dan mengumumkan bahwa Iran sewaktu-waktu “siap” memulai pengayaan salah satu fasilitas nuklirnya.

    Sementara itu, pengamat Barat menengarai bahwa ancaman Iran tersebut menjadi sangat mengkhawatirkan, terutama oleh adanya ketidakjelasan apakah negeri itu dipimpin aktor-aktor yang (menurut Barat) “rasional”. Hingga saat ini, Barat sering dibuat bingung oleh sikap petinggi Iran sehingga sering terkecoh dan sulit menduga apa yang sebenarnya terjadi di dalam negeri Iran.

    Anggaran militer Iran sendiri sebenarnya hanya 2 persen jika dibandingkan dengan anggaran militer AS dan kurang dari seperempat bujet Arab Saudi. Juga, berbeda dengan Iraq, selama ini Iran tidak pernah menyerang atau balas dendam kepada Iraq ataupun tetangganya di Teluk. Tetapi, toh Iran tetap dimusuhi.

    Sebenarnya, pemerintahan Obama, sang penerima Nobel Perdamaian, selama 2009 berusaha menggeser kebijakannya terhadap Iran. Intonasi pesan AS kepada Iran juga sempat berubah. Namun sayang, tak lama kemudian pintu dialog itu kembali tertutup rapat. Di tengah tekanan kongres, pemerintah AS mengurungkan kegiatan diplomasinya dan memilih memvonis Iran.

    Pada 2010 AS tak lagi mendukung upaya-upaya membangun kesalingpercayaan yang diperantarai Turki dan Brazil. Malah AS kemudian memimpin penggalangan tuntutan adanya sebuah sanksi baru resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB terhadap Iran.

    Sekarang di antara berbagai skenario yang disiapkan AS, tampaknya pemerintah Obama akan memilih menanggulangi pemerintah Iran dan meruntuhkannya karena risikonya dianggap “paling sedikit”.

    Untuk maksud itu, AS harus mendekati para kalangan oposisi, kelompok buruh, industri minyak, dan para pedagang bazar. Obama dan para penasihat militernya mesti mencari tahu cara terbaik agar kelompok oposisi itu dapat mengorganisasikan diri dan menggalang kerja sama satu sama lain.

    Tentu saja itu tidak mudah. Apalagi sekarang, di tengah absennya kehadiran pasukan di darat dan adanya keterbatasan hubungan dengan berbagai negara counterpart Iran, AS makin sulit meneliti kekuatan dan kelemahan di dalam Iran ataupun kebijakan itu sendiri.

    Itu sebabnya, muncul anggapan bahwa kebijakan tersebut hanya akan membuat AS di bawah Obama terperangkap dalam kesalahan-kesalahan yang pernah merepotkan empat pemerintahan sebelumnya.

    Sebagian pejabat AS menganggap mereka harus membawa kasus Iran ke DK PBB (badan politik) dan lembaga nuklir dunia International Atomic Energy Agency (lembaga teknis).  Sebab, itu akan memberikan alasan legal untuk tindakan penghukuman (vonis) terhadap Iran, misalnya dalam bentuk sanksi yang makin mencekik.

    Tetapi, seberapa besar embargo ekonomi tersebut akan berpengaruh kepada Iran? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, melihat berbagai pengalaman sebelumnya, Iran selama ini selalu berhasil survivedari situasi yang menjepit dan mengasingkannya. Perkembangan negeri itu seperti selalu tidak terduga.

    Saat revolusi Februari 1979, ketika Iran harus memulai segalanya dari titik nol, misalnya, banyak yang meramalkan bahwa Iran akan ambruk. Tetapi, para wartawan senior, analis politik, dan negarawan kawakan toh akhirnya kecewa terhadap berbagai dugaan mereka; Iran seolah berkembang dengan hukum-hukumnya sendiri yang tak punya preseden.

    Stansfield Turner, yang saat itu menjadi direktur CIA, pernah meramalkan bahwa para ayatullah akan bertengkar dan kaum Marxis bakal memperoleh kemenangan. Terbukti, ramalan-ramalan itulah yang hancur.

    Perlahan tapi pasti -meski bukan tanpa korban- negeri itu seperti selalu mampu berkelit dari masalah-masalah besar yang mengimpitnya. Persoalan oposisi dalam negeri, minoritas Kurdi, dan perang dengan Iraq (dulu) malah menjadi semacam rahmat terselubung (blessing in disguise) yang berbentuk daya pemersatu negeri dengan kebudayaan amat tua itu.

    Maka, tidak heran bila sekarang pun banyak yang menduga bahwa berbagai sanksi itu justru bisa memperkuat persatuan dan tekad rakyat Iran melawan Barat.  

  • Kebebasan Masih Berkembang di Arab

    Kebebasan Masih Berkembang di Arab
    William Hague, MENTERI LUAR NEGERI INGGRIS
    Sumber : REPUBLIKA, 21 Januari 2012
    Beberapa orang telah menuliskan berita ke matian yang terkait dengan gejolak Arab. Mereka mengacu kepada per ka mengacu kepada pertumpahan darah di Suriah, bentrokan di Mesir, dan serangan terhadap kaum minoritas beragama yang menunjukkan bahwa revolusi telah kehilangan arah. Beberapa orang telah menuliskan berita kematian yang terkait de ngan gejolak Arab.
    Mereka mengacu kepada pertumpahan darah di Suriah, bentrokan di Mesir, dan serangan terhadap kaum minoritas beragama yang menunjukkan bahwa revolusi telah kehilangan arah.
    Hasil pemilihan umum oleh partai-partai Islam telah menimbulkan ketakutan bahwa perubahan justru bisa bertambah buruk.
     
    Namun, jika dikatakan bahwa gejolak Arab membuat suasana menjadi lebih suram, maka hal itu tidaklah benar. Pemikiran pesimis semacam itu melewatkan kesempatan-kesempatan luar biasa yang bisa didapatkan dari kebebasan dan martabat, bahkan dapat mengakibatkan kerenggangan hubungan di saat kita membutuhkan dukungan diplomatik jangka panjang untuk kepentingan wilayah Arab.
    Gejolak Arab akan selalu menjadi sebuah proses yang panjang, bukan instan. Gejolak Arab berlangsung dalam bentuk yang berbeda-beda di setiap negara. Pelaksanaan pemilihan umum yang jujur adalah hal yang penting untuk dilakukan, setelah diabaikan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Namun, peristiwa setelah pemilulah yang akan menentukan apakah gejolak Arab merupakan keberhasilan atau kegagalan.
    Sudah setahun Pemerintahan baru di Mesir, Tunisia, dan Libya menghadapi tantangan-tantangan yang luar biasa di saat rakyat mereka menaruh harapan yang sangat tinggi.
    Dengan pertaruhan yang luar biasa dalam menuntut revolusi, mereka menginginkan adanya perbaikan kualitas hidup sehari-hari.
     
    Sama dengan situasi di Eropa Timur setelah 1989, proses perkembangan ini akan membutuhkan waktu. Satu tahun sudah kita harus me lengkapi diri kita sendiri dari kemunduran dan krisis-krisis, seperti apa yang kita lihat di Suriah saat ini. Namun, kita juga akan menyaksikan kemajuan-kemajuan penting di bagian lain wilayah ini. Ini merupakan kenyataan yang sebenarnya.
    Bersikap realistis bukan berarti kehilangan keyakinan. Sudah tiba saatnya kebebasan dan demokrasi di Timur Tengah yang akan memberikan prospek kemerdekaan dan martabat manusia yang lebih luas lagi sejak berakhirnya era Perang Dingin.
    Pada segi positif, Tunisia akhir nya memiliki pemilihan parlemen yang demokratis pertama kalinya sejak 1950-an, dengan 24 persen kursi dipegang oleh perempuan.
    Maroko, untuk pertama kalinya dalam sejarah, telah melakukan pe milihan umum yang bebas di ba wah konstitusi baru di mana se orang perdana menteri akan diangkat dari partai yang meme nang kan suara terbanyak bukan karena pilihan raja.
    Jumlah pemilih dari fase pertama pemilu di Mesir berada di ba wah 60 persen, jika dibanding kan dengan pemilu 2005 di bawah rezim Mubarak yang hanya sebesar 23 persen. Libya memiliki pemerintahan baru setelah lebih da ri 40 tahun era kediktatoran. Reformasi positif tengah berlangsung di Yordania. Selain itu, Yaman te lah menyetujui perundingan tran sisi politik dengan Dewan Kerja Sama Teluk. Bahrain telah memulai mengambil langkah untuk mengimplementasikan keputusan komisi atas kekerasan yang terjadi tahun lalu, walau masih di perlukan implementasi secara penuh.
    Kami melihat bahwa pemerin tah harus bersikap responsif terhadap permintaan rakyatnya.
    Prinsip-prinsip yang dikedepan kan dalam demokrasi diawali de ngan mengambil langkah yang be sar, perlindungan dari kesewenang-wenangan hukum, dan ruang untuk kebebasan berekspresi.
    Kami juga telah melihat sebuah transformasi yang luar biasa di ma na para anggota Liga Arab ber se dia untuk menunjukkan
    kepemimpinannya dalam menghadapi krisis yang terjadi. Trentren seperti ini harus didukung.
    Inggris memiliki keinginan untuk melihat masyarakat yang stabil dan terbuka di seluruh penjuru Timur Tengah.
    Memang benar bahwa partaipartai Islam lebih berhasil dalam perolehan suara dibanding partai sekuler dan ada penjelasan yang masuk akal atas apa arti dari semua ini. Kesuksesan partai Islam sebagian disebabkan oleh penolakan pemerintah di masa lalu untuk mengizinkan partai-partai oposisi untuk berkembang. Bisa juga disebabkan karena kecenderungan untuk memilih kelompok yang paling menentang kediktatoran dan korupsi, serta yang mampu memberikan kesejahteraan mendasar.
    Bagaimanapun itu, kita harus menghormati pilihan ini sambil menjaga prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan serta mendorong standar yang tinggi.
    Ber usaha untuk ikut campur da lam memilih calon pemenang pe milu berarti secara fatal meng abai kan keyakinan kita dan du kungan kita atas demokrasi. Ber diri mendukung hak-hak rakyat dalam memilih wakil mereka di kotak suara, maka kita harus me nerima pilihan mereka dan siap bekerja sama dengan pemerintah an yang mereka pilih.
    Lagi-lagi, hal ini tidak akan mu dah. Partai-partai ini akan berada di bawah tekanan agar me nepati janji-janji mereka dalam menjalankan kekuasaan dan me ne rapkan sikap yang moderat.
    Ska la permasalahan ekonomi yang akan mereka hadapi benarbenar luar biasa. Mereka harus mencari mitra koalisi dan memastikan investor internasional demi memenuhi ekspektasi rakyat.
    Kita tidak dapat menjamin bahwa mereka akan mengambil lang kah ini, namun jika itu tidak terjadi, maka risikonya adalah me micu kemarahan rakyat yang siap turun ke jalan. Ujian sebenar nya dari pemerintahan ini adalah ba gaimana mereka akan menja-lan kan pemerintahan, dan tentu saja, apakah mereka siap untuk me nye rahkan kekuasaan jika tidak
    menang di pemilu selanjutnya, serta apakah mereka berkomitmen untuk antikekerasan. Hal-hal inilah yang menjadikan hubungan Inggris dengan negara-negara lain menjadi semakin penting.
     
    Tidak mendikte Tantangan terbesar kami saat ini adalah Suriah, di mana lebih dari 5.000 orang dibunuh, ditambah dengan penyiksaan dan pengekangan yang kejam, serta risiko terjadinya perang sipil di negara tersebut. Semua upaya kami diberikan untuk memperkuat tangan Liga Arab sebagai fasilitator untuk mengakhiri kekerasan, menjaga tekanan ekonomi dan diplomatis dari rezim yang berkuasa, mendukung pihak oposisi yang tengah berkembang, dan mendesak respons Dewan Keamanan PBB serta berakhirnya masa Presiden Assad.
    Mewujudkan Timur Tengah yang lebih bebas dan stabil akan menjadi tugas generasi-generasi mendatang. Kita tidak dapat mendikte pilihan dan setiap negara memiliki hak untuk memilih jalannya sendiri. Kami akan bekerja sama dengan semua pemerintahan di wilayah Arab untuk melakukan reformasi serta mengerahkan waktu dan sumber daya dalam memperkuat masyarakat sipil: kami siap untuk mendukung 47 program di sembilan negara di wilayah Timur Tengah untuk mendukung pembangunan demokrasi termasuk kebebasan media, pelatihan, dan transparansi pemilu.
    Kami akan memperdalam Inisiatif Kemitraan Arab dan Dialog Teluk, juga mengupayakan dukungan dari Uni Eropa, Bank Dunia, dan IMF. Dengan mitra sekutu, kami akan terus mendorong tercapainya proses perdamaian antara Israel dan Palestina. Kami akan menolak upaya-upaya yang dilakukan rezim Iran yang mendukung pertumpahan darah dan pengekangan di Suriah.
    Kini, bukan saatnya untuk kehilangan kepercayaan pada gejolak di Arab, namun sebaliknya, kita harus menunjukkan kesamaan pemikiran seperti mereka yang telah berani memperjuangkan haknya.