Blog

  • Petani, Kekerasan, dan Negara (75)

    Petani, Kekerasan, dan Negara
    Eko Cahyono, PENELITI DI SAJOGYO INSTITUTE (SAINS) BOGOR, MAHASISWA PASCASARJANA JURUSAN SOSIOLOGI PEDESAAN (SPD), FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB)
    Sumber : SINDO, 24 Januari 2012
    Belakangan ini kita disuguhi potret pilu kekerasan berbasis sengketa agraria terhadap masyarakat petani miskin pedesaan oleh suatu kolaborasi ‘tangantangan’ pemilik modal (perkebunan dan tambang) dan negara (beserta aparatus keamanannya) yang memuncak pada kasus Mesuji dan Bima.

    Kekerasan dan konflik tersebut tentu saja pucuk gunung es dari beragam masalah sejenis yang tidak/belum terekspos media secara nasional. Laporan data kekerasan dan konflik agraria yang dikeluarkan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada 2011 menyebut,ada 163 konflik agraria di seluruh Indonesia selama 2011 atau terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan pada 2010 (106 konflik). Sebanyak 22 petani/ warga yang tewas di wilayahwilayah sengketa dan konflik agraria.

    Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 keluarga,sementara luas areal konflik mencapai 472.048,44 hektare. Dari 163 kasus yang terjadi, 97 kasus terjadi di sektor perkebunan (60%), 36 kasus di sektor kehutanan (22%), 21 kasus terkait infrastruktur (13%), 8 kasus di sektor tambang (4%),dan 1 kasus terjadi di wilayah tambak/pesisir (1%). Sementara dilihat dari sebaran wilayah konflik, jumlah konflik atau sengketa agraria terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 36 kasus, Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus,Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus,dan sisanya tersebar di sebagian besar provinsi lain di Nusantara.

    Ketimpangan Struktur Agraria

    Sayangnya, masalah kekerasan atas petani miskin pedesaan ini lebih banyak dipersepsikan pada sudut pandang ‘sektoralisme-tematik’; HAM, keamanan, masyarakat adat, pengalihan isu politik nasional, dan pelanggaran-pelanggaran hukum negara lainnya. Persepsi ini cenderung membias dari akar masalahnya, yakni ketimpangan penguasaan, pemilikan,dan peruntukan sumber-sumber agraria nasional.

    Satu bentuk ketimpangan struktural agraria yang nyatanyata mengingkari mandat konstitusional baik UUD 1945 (khususnya Pasal 33) maupun TAP MPR No IX/2001 yang mengatur pengelolaan dan pengurusan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pada praktiknya kekayaan alam, aset nasional, dan sumber penghidupan rakyat hanya dimiliki oleh segelintir penguasa modal (baik pribumi maupun asing).

    Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2010), kurang lebih 56% aset nasional dikuasai hanya 0,2% dari penduduk Indonesia. Dengan kenyataan semacam ini, dapat dikatakan bahwa para petani pedesaan sudah kehilangan jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam.

    Negara dan Globalisasi

    Hampir seluruh kebijakan dan program pembangunan negara hari ini sulit dijelaskan secara terang benderang tanpa mengaitkannya dengan kepentingan politik-ekonomi dari kapitalisme global.Pemberian konsesi dan hak penguasaan di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, pertanian, kelautan, pulau-pulau kecil, dan beragam sumber agraria lainnya kepada pengusahakonglomerat pribumi maupun trans national corporation (TNC) adalah bagian nyata dari kolaborasi dan kaitkelindan kepentingan ekonomi-politik guna akumulasi modal sebesarbesarnya untuk lembaga dan kelompok oligarkis mereka sendiri.

    Untuk tujuan itu, beragam pintu masuk dan “karpet merah” masuknya modal diperlebar, apa yang dianggap menyumbat“ leher botol”investasi ditiadakan.Maka tak heran jika lahir beragam regulasi sektoral pascareformasi yang lebih propemodal raksasa dan mengabaikan hak masyarakat miskin. Sebut saja di antaranya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-Undang No 7/2004 Sumber Daya Air,UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU Holtikultura, UU Lahan Abadi Pertanian,UU Migas,dan yang terbaru adalah UU Pengadaan Tanah yang baru disahkan pada Desember 2011.

    Sementara ‘payung’ hukum pengelolaan sumber- sumber agraria nasional yang dimandatkan UUPA tahun 1960 tidak kunjung dihiduptegakkan. Dengan melihat kaitkelindan hubungan integral negara dan kapitalisme, dapat dipahami segala hal yang dianggap menghambat jalan utama sirkuit modal akan ditiadakan (kalau perlu) dengan cara apa pun. Masyarakat petani pedesaan yang hidup di sekitar/dalam kawasan perkebunan, pertambangan hutan, dan sumber-sumber agraria lainnya (yang kerap) dianggap sebagai masalah dan ancaman akan menjadi bagian yang akan disingkirkan paksa. Jika masih dan mau ditundukkan, mereka akan menjadi cadangan buruh murah, tentu setelah mereka terputus hubungan dengan aset tanah dan alam mereka.

    Proses terlemparnya petani pedesaan dari hubungan-hubungan tradisionalnya dengan tanah dan alam menjadikan mereka hanya berpangku pada tenaga dirinya sendiri. Sementara untuk berkompetisi di wilayah industrialisasi perkotaan, mereka tak cukup keterampilan dan pengetahuan. Barangkali di tengah “ketiadaan pilihan” itu apa pun akan mereka lakukan,sekadar untuk bisa bertahan hidup, mempertahankan basis subsitensi mereka yang makin terancam.

    Meski harus jahit mulut, harus dipukuli, dipenjara, dibacok,dan tertembak mati. Dalam karya klasiknya The Great Transformation, Karl Polanyi (1994) sudah menegaskan bahwa tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi.

    Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya niscaya akan menghasilkan guncanganguncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah.

  • Restorasi Bangsa melalui Pembangunan Hukum

    Restorasi Bangsa melalui Pembangunan Hukum
    Romli Atmasasmita, ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
    Sumber : SINDO, 24 Januari 2012
    Bangsa yang besar adalah yang mengakui jasa pahlawannya, demikian ungkapan populer yang sering dikemukakan.

    Bangsa yang dewasa adalah bangsa yang memahami arti pengalaman masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Inti dari pemahaman ini adalah kesadaran akan perlunya pembaruan pada setiap lima tahunan pemerintahan baik di sektor politik, ekonomi, sosial, hukum, maupun budaya. Kesadaran perlunya pembaruan merupakan tuntutan sejarah perkembangan suatu rezim yang tidak dapat dinafikan dan diabaikan atau disederhanakan karena kebutuhan masyarakat berkembang selalu sejalan dengan perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban manusia.

    Tuntutan globalisasi dunia dan dampaknya telah dirasakan oleh negara maju dan negara berkembang baik dari aspek sosial, psikologis, budaya, politik, maupun hukum. Perkembangan umat manusia (human development) sejak abad ke-20 tampak harus didampingi oleh konsentrasi penuh pada keamanan manusia (human security). Laporan PBB (2004) mengenai hal ini menetapkan enam kluster ancaman terhadap keamanan manusia yaitu kondisi ekonomi dunia dan kemiskinan; konflik antarnegara; konflik internal; senjata kimia, radiologi, dan biologi; terorisme; dan kejahatan transnasional terorganisasi.

    Keenam ancaman terhadap keamanan manusia mutatis mutandis perkembangan kemajuan umat manusia menuntut kewajiban setiap negara untuk mulai memantapkan tanggung jawab bersama (collective security responsibility) menghadapinya. Kewajiban ini sangat diperlukan terutama pascaserangan terorisme ke Gedung WTC di New York (2001),Bali (2002),dan London (2003). Bagi Indonesia, empat dari enam ancaman terhadap keamanan umat manusia memerlukan strategi jitu untuk mencegah dan mengatasinya baik selama maupun setelah terjadi ancaman tersebut.

    Keempat ancaman tersebut adalah ekonomi dan kemiskinan, konflik internal, terorisme, serta kejahatan transnasional terorganisasi (korupsi,pencucian uang, larangan perdagangan orang, penyelundupan orang, dan penyelundupan senjata api). Menghadapi empat ancaman serius tersebut,diperlukan peta permasalahan yang komprehensif, luas, dan tepat guna karena keempatnya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Strategi Indonesia harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat melalui upaya melakukan restorasi bangsa.

    Sejarah perkembangan bangsa di mana pun dikuasai oleh dinamika di bidang ekonomi dan politik.Hampir tidak ada kampanye politik selama pemilu mengkhususkan pada penegakan hukum,tetapi lebih banyak ditujukan terhadap perbaikan sistem politik dan ekonomi serta bidang sosial. Fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan sering diabaikan kecuali jika terjadi kegaduhan politik yang menimbulkan dampak luas terhadap masyarakat dan kegagalan pemerintah di bidang ekonomi yang menyisakan penyimpangan anggaran negara seperti korupsi, suap, dan penggelapan harta kekayaan negara.

    Dalam dua kondisi tersebut, barulah fungsi dan peranan hukum dieluelukan dengan harapan satusatunya sarana ampuh menyelamatkan bangsa. Tengoklah tokoh masyarakat yang berkumpul beberapa hari lalu,dikehendaki ada revolusi hukum baik dari sisi pembentukan hukum maupun dari sisi penegakan hukum. Revolusi hukum tentu langkah atau tindakan yang menyimpang dari pakem hukum yang dikenal bersifat konservatif sekalipun diperankan dalam masa pembangunan.

    Analog dengan revolusi hukum mungkin dengan menerapkan pola pemikiran progresif (Satjipto Rahardjo) sekalipun masih diperlukan pelurusan- pelurusan mengenai konsep dan metodologinya. Masa presiden Habibie dikenal dengan akselerasi pembangunan (hukum) sehingga pendekatan yang digunakan merupakan modifikasi dari pengertian revolusi, namun setingkat lebih tinggi dari evolusi hukum.

    Restorasi bangsa memerlukan kejelian, kewaspadaan, dan pemahaman komprehensif mengenai peta politik nasional di tengah-tengah tarikan kepentingan internasional. Bangsa Indonesia telah mengalami masa-masa pahit ratusan tahun karena penjajahan oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Pola penjajahan abad ini tidak lagi bersifat fisik, tapi bersifat nonfisik baik melalui “kelicikan” dalam baik perdagangan internasional/regional, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam,maupun pengembangan sumber daya manusia; bahkan melalui berbagai ikatan-ikatan perjanjian internasional.

    Telah terbukti beberapa undangundang nasional pascareformasi terselip “bantuan/intervensi” pengaruh kepentingan negara maju ke dalam kepentingan domestik. Dalam konteks inilah,restorasi bangsa pertama-tama dan sangat mendasar adalah pembangunan karakter bangsa sebagai bangsa merdeka dan berdaulat dengan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.Kebanggaan sebagai orang Indonesia hanya akan diperoleh dari komitmen politik dan integrasi moral dan kepemimpinan nasional serta elite politik yang memiliki jiwa negarawan dan prosebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat Indonesia.

    Tidak ada satu bangsa pun yang dapat berbangga diri dalam kondisi hidup miskin dan terbelenggu karena tidak memiliki kebebasan atas hak ekonomi,sosial, dan politik.

  • Keadilan dan Pembelajaran Kriminal

    Keadilan dan Pembelajaran Kriminal
    Siti Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DR SOETOMO SURABAYA
    Sumber : SUARA KARYA, 24 Januari 2012
    Success is neither magical or mysterious. Success is the natural consequence of consistently applying the basic fundamentals. (Jim Rohn)
    Pernyataan Rohn itu menggariskan bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang ajaib atau penuh misteri. Kesuksesan adalah konsekuensi alami dari kekonsistenan menerapkan dasar-dasar hukum alam. Kalau setiap pilar negara atau aparat penegak hukum konsisten menegakkan norma yuridis, maka kesuksesakan dalam mewujudkan keadilan bukanlah keajaiban.
    Bagaimanapun, idealnya, suatu produk legislatif diberikan pada aparat penegak hukum sebagai senjata menjaring atau mempertanggungjawabkan para pelanggar hukum, tetaplah tidak ada manfaatnya, bilamana pilar yudisial (aparat penegak hukum) ini tidak konsisten menegakkannya.
    Harapan publik supaya aparat konsisten, di antaranya seiring dengan janji Presiden yang akan memperbarui aturan mengenai remisi. Presiden menyetujui pemberian remisi kepada koruptor dicabut, artinya Presiden meminta dilakukan amandemen yuridis yang semula memberikan hak bagi koruptor untuk mendapatkan remisi. Pernyataan Presiden ini sejalan dengan tuntutan publik yang tidak menghendaki segala bentuk praktik atau diskresi yang berisi pemanjaan terhadap koruptor.
    Masalahnya, apakah nantinya aparat penegak hukum akan mampu mengimplementasikan norma yang tidak lagi memihak dan memanjakan koruptor? Apakah aparat bisa menjaga konsistensi yuridis dengan memperlakukan koruptor tak ubahnya maling ayam?
    Mengubah norma itu gampang. Yang sulit adalah menegakkannya. Sebagai sampel kasus, misalnya, regulasi tentang remisi boleh jadi memang nantinya tidak akan bisa dinikmati oleh koruptor, tapi ‘remisi’ lainnya atau praktik yang bercorak memberikan perlakuan istimewa dan eksklusif selama dalam lembaga pemasyarakatan (LP), masihlah sangat mungkin bisa dilakukan. Motto peradilan Inggris mengajarkan pada kita, “Berikan aku hakim, polisi, atau jaksa yang baik, meskipun dengan hukum yang buruk.”
    Motto peradilan di Inggris itu sebenarnya bermaksud menunjukkan pada kita bahwa amandemen atau perubahan tatanan tentang remisi koruptor bukanlah sisi yuridis yang harus diperdebatkan berkepanjangan. Namun, yang perlu digugat adalah, apakah nantinya paska remisi, LP akan menjadi tempat yang benar-benar adil baginya.
    Dalam ranah filsafat hukum dikenal suatu pepatah sumum ius suma iuria, artinya ‘adil tidaknya sesuatu akan tergantung dari pihak yang merasakannya’. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Adil di mata aparat, belum tentu adil seperti dirasakan rakyat. Adil di mata koruptor, bisa jadi adalah penyediaan fasilitas yang berbeda dan mengistimewakannya, pasalnya dirinya menganggap kalau apa yang diperbuat untuk negara dengan apa diperolehnya dari 
    menjarah kekayaan rakyat, tidaklah berlebihan.
    Sedangkan adil di mata rakyat, koruptor tidak berhak mendapatkan remisi dan bahkan kalau perlu diasingkan di LP Nusakambangan, karena apa yang diperbuatnya telah mengakibatkan kesengsaraan pada rakyat. Sulitnya mengentaskan kemiskinan rakyat Indonesia merupakan kondisi riil dari kemenangan koruptor dalam mempengaruhi dan mengendalikan aparat, termasuk di aparat LP. Kasus Artalita dan Gayus menjadi bagian dari bukti kemenangan atau dahsyatnya supremasi koruptor atas kedaulatan norma yuridis.
    Al-kisah filosof kenamaan Socrates pernah ditahan oleh aparat penjara karena didakwa melakukan suatu tindak kejahatan. Aparat tidak menerima alasan atau bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Socrates tidak bersalah. Creto, sang pengusaha yang pernah menjadi murid Socrates ini kasihan melihat gurunya ditahan seperti kriminal-kriminal pada umumnya. Creto menganggap ini perlakuan tidak adil.
    Dengan maksud membebaskan Socrates, Creto hendak menyuap petugas penjara yang menahan gurunya itu, tetapi di luar dugaan, Socrates menolaknya sambil berujar, “Keadilan memang harus ditegakkan, tetapi keadilan harus berlaku pula untuk semua (justice for all) atau yang lainnya. Mereka yang ditahan ini bukan tidak mungkin juga seperti aku, yang belum tentu bersalah, di samping cara (menyuap) demikian akan membuka peluang bagi masyarakat di kemudian hari untuk menempuh cara yang sama, yakni menegakkan keadilan dengan cara-cara kejahatan.”
    Socrates bukan hanya tidak membenarkan cara memperjuangkan atau merebut keadilan dengan kejahatan, melanggar dan menyelingkuhi hukum, atau ‘main pintu belakang’ seperti suap-menyuap, tetapi juga menghargai dan menghormati berlakunya sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang mencita-citakan tegaknya keadilan untuk semua (justice for all), berlaku secara egaliter, atau tanpa sekat kasta dan strata sosial, atau praktik-praktik non-diskriminasi.
    Socrates menghormati kinerja aparat penegak hukum dalam menangani masalah kejahatan. Apa yang dilakukan oleh aparat kepada dirinya dianggap sebagai segmentasi dari kebenaran secara de jure, meski kepada dirinya merugikan. Dalam tataran ini, Ia merelakan dirinya menjadi bagian dari korban legalitas dan kebenaran dari sistem yang sedang berlaku. Dalam asumsinya, kalau sistem ini tidak dihormati, bagaimana mungkin norma-norma hukum akan mampu menjadi sumber utama kontrol atau monitoring setiap warga negara.
    Idealitas itu sejalan dengan apa yang dituangkan dalam UUD 1945 yang menganut prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan dan pertanggungjawaban di depan hukum. Maknanya, setiap orang dituntut, diperlakukan, dan dkontrol dengan mekanisme kesederajatan, tanpa membedakan atau mendiskriminasikan di antara lainnya. Siapa saja yang menyelingkuhi prinsip ini, maka ia menabur penyakit moral yang mengarahkan pada penodaan citra negara hukum (rechstaat).
  • Membuat Mobnas Keroyokan

    Membuat Mobnas Keroyokan
    Bambang Setiaji, GURU BESAR DAN REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
    Sumber : JAWA POS, 23 Januari 2012
    MENCERMATI serunya perbincangan mobil nasional (mobnas), universitas kami punya pengalaman. Teman-teman dari fakultas teknik mesin dan teknik industri mendapat tugas dari direktur Pengembangan SMK Mendiknas untuk ikut mendesain mobil Esemka.

    Mereka terobsesi bisa memiliki atau minimal menyewa mesin pres atau stamping. Tujuannya, chassis dan bodi mobil bisa dipres dengan cepat dan produksi massa bisa dilakukan. Satu menit enam pintu bisa dicetak -hitung sendiri sehari berapa ribu pintu bisa diproduksi.

    Bandingkan dengan sistem kerajinan tangan yang mengandalkan ketok. Itu diistilahkan Empu Gandring, mengacu pembuat keris yang menggunakan metode ketok satu demi satu. Satu pintu tak dapat diselesaikan dalam sehari karena ada saja di sana sini yang perlu sentuhan.

    Wajar mereka sering berpikir seperti itu. Yaitu, mencari yang terbaik dan tercepat. Tapi, saya mengingatkan perlunya menciptakan teknologi yang memiliki standar dan presisi tinggi, namun tetap berbasis manual. Satu pintu itu jangan dicetak dalam sepuluh detik, tetapi mungkin setengah hari.

    Alat cetaknya cukup kecil, bisa dijinjing dan bisa diubah-ubah untuk beberapa fungsi. Tidak menggunakan listrik atau dinamo, tetapi justru mengandalkan kekuatan fisik anak-anak SMK. Fisik mereka yang kerempeng agar bisa menjadi berotot dan berubah menjadi cekatan dan sehat. Saya melihat alat seperti itu digunakan untuk membuat daun pintu kayu dalam pembuatan furnitur.

    Mengapa perlu alat manual? Tenaga kerja kita sangat besar, yang menganggur saja sepuluh juta orang, belum lagi yang setengah menganggur. Mereka tentu siap dan senang jika benar benar dibuka lowongan untuk bekerja di pabrik mobil nasional. Atau minimal membuka warung di sekitarnya. Sebab, anak-anak SMK tentu ”lapar” bekerja seharian.

    Jelas, membuat pabrik mobil nasional diperlukan investasi triliunan rupiah. Belum lagi membuat kantor-kantor distributor dan jaringan marketing. Jika pabrik mobil yang dibayangkan itu menggunakan mesin pres dengan daya tekan dua ribu ton, sehari bisa dicetak sekian ribu bagian.

    Kalau demikian halnya, kecuali mahal, mobil nasional mungkin segera jenuh memenuhi pesanan dalam negeri. Mobil nasional harus berhadapan dengan made in Jepang, Korea, dan Tiongkok. Selain tidak menyelesaikan pengangguran, ekspor mobil akan menjadi PR yang kedua.

    Mobil nasional Esemka seyogianya tetap menjadi alat pembelajaran dan harus lebih maju. Sebab, itu dilengkapi dengan mesin cetak berbasis manual yang memiliki presisi tinggi, portabel, adjustable, dan sesedikit mungkin menggunakan listrik. Mobil nasional itu dibuat oleh jutaan anak sekolah, di berbagai daerah, dan benar-benar bersifat nasional.

    Industri keroyokan, gotong royong, itu sesuai dengan kondisi penawaran tenaga kerja yang over suplai Kapasitasnya yang terbatas justru tidak diperlukan investasi besar, investasi distributor, dan investasi marketing. Kapasitasnya sesuai dengan perkembangan reguler marketing-nya. Orientasinya melayani permintaan dalam negeri di pasar input melibatkan industri pengecoran logam dalam negeri, industri karet, kaca, dan lain-lain dalam negeri.

    Marketing Stan Tujuh Belasan

    Anak-anak kita terbukti mampu. Selain mobil SUV rakitan Esemka yang keren, sebenarnya ada yang tak kalah menarik. Yaitu, mobil mini truk atau pikap buatan SMK Muhammadiyah 2 Borobudur. Mobil SUV yang keren sebenarnya masih berbasis impor, anak-anak hanya merakit. Sementara mobil pikap itu 90 persen buatan lokal.

    Mobil tersebut dapat dikembangkan di masa depan dan harus dapat dijual lebih murah kepada masyarakat. Penggunanya adalah petani, pedagang, angkot. Kalau toh memasuki balai kota, maqom-nya adalah armada pengangkut sampah yang bisa masuk di kampung-kampung.

    Pemasarannya? Saya teringat 17 Agustusan di Pacitan. Di sana tentu dibuka stan tujuh hari tujuh malam. Stan itu disediakan pemerintah kecamatan untuk menjual berbagai produk pekerjaan tangan atau prakarya anak-anak sekolah.

    Dulu, setiap anak dalam satu semester diwajibkan untuk membuat prakarya satu buah dan berbahan baku 100 persen lokal. Misalnya, gayung dari batok kelapa, sendok sayur dari batok kelapa, kipas tangan, sapu, asbak, hiasan dinding, dan lukisan. Bapak camat akan berkeliling melihat stan-stan itu untuk menyemangati dan sesekali membeli barang-barang itu.

    Pada era modern ini, sudah sewajarnya ada BUMN yang bertugas seperti stan tujuh belasan itu. Tugasnya, mendisplai hasil karya anak anak sekolah, mengusahakan perizinan agar mobil hand made atau prakarya anak-anak sekolah itu dapat digunakan di jalan. Pembelinya tentu masyarakat karena menjadi mobil murah. Demikian juga, para pejabat, tidak hanya memberikan semangat, wajib membeli karya anak bangsa itu. Disebut mobil nasional apabila ada politik ekonomi seperti itu.

  • Penyimpangan Parlemen

    Penyimpangan Parlemen
    Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE,
    PENULIS BUKU PRESIDENSIALISME SETENGAH HATI
    Sumber : KORAN TEMPO, 24 Januari 2012
    Masyarakat semakin sulit memberi apresiasi positif atas kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini. Hal itu tecermin dari semakin merosotnya tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap DPR berdasarkan berbagai survei opini publik. Buruknya citra DPR dalam persepsi publik ini menyebabkan segala kebijakan yang dikeluarkan lembaga itu–terutama berkaitan dengan penambahan fasilitas dipastikan selalu mendapat penolakan karena dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.
    Potret paling anyar tentang kuatnya penolakan publik terlihat dari kritik keras terhadap kebijakan penggelontoran dana sebesar Rp 20,3 miliar untuk merenovasi ruang rapat Badan Anggaran. Sebelumnya, pada pembuka tahun 2012, DPR juga dikritik karena mengalokasikan Rp 2 miliar untuk biaya renovasi toilet dan Rp 3 miliar untuk renovasi tempat parkir. Masyarakat juga pernah menentang keras rencana pembangunan gedung baru yang disertai fasilitas ruang rekreasi, kolam renang, pusat kebugaran, dan ruang spa, yang berpotensi menguras APBN sebesar Rp 1,6 triliun. Namun rencana itu akhirnya dibatalkan DPR.
    Inilah risiko lembaga perwakilan yang mengalami defisit kepercayaan tetapi dianggap surplus fasilitas, akan sulit mendapatkan dukungan publik. Memburuknya citra DPR itu disebabkan oleh berbagai perilaku tidak terhormat, seperti korupsi misalnya, yang ditampilkan beberapa wakil rakyat yang menyandang status terhormat itu. Jika integritas (perilaku koruptif) wakil rakyat masih dinilai rendah dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana sesungguhnya kinerja DPR dalam menjalankan fungsi-fungsi esensialnya sebagai anggota parlemen?
    Kinerja Rendah
    Untuk menjawab pertanyaan di atas, paling tidak kita dapat melihatnya dari tiga fungsi utama parlemen. Fungsi pertama adalah membuat undang-undang (legislasi). Produktivitas dan kualitas DPR dalam menjalankan fungsi legislasi terbilang masih rendah. DPR hanya berhasil menyelesaikan kurang dari 30 persen dari target Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional 2011. Selain secara kuantitas tidak memenuhi target Prolegnas, secara kualitas juga masih bermasalah dan tak sejalan dengan konstitusi maupun aspirasi rakyat. Hal itu terlihat dari banyaknya undang-undang yang diuji ke Mahkamah Konstitusi, dan di antara UU tersebut ada beberapa pasal yang dibatalkan MK.
    Padahal, melalui fungsi legislasi ini, sejatinya DPR diharapkan menjadi episentrum penuntasan demokratisasi dan reformasi politik. Sebab, proses legislasi di DPR dapat menjadi instrumen penting dalam menyelesaikan problematika kerancuan dan penyimpangan sistem politik Indonesia selama ini. Persoalan efektivitas pemerintahan akibat dari inkompatibilitas kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multipartai ekstrem; problem politik biaya tinggi akibat dari liberalisasi sistem pemilu; persoalan korupsi politik dan mafia anggaran akibat rapuhnya sistem pendanaan partai, merupakan sekelumit persoalan yang mestinya dapat diantisipasi melalui pembenahan sistem melalui regulasi perundangan-undangan di DPR.
    Katakanlah misalnya RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR saat ini, masih jauh dari semangat untuk mengantisipasi persoalan-persoalan itu. Regulasi pembatasan belanja atau pengeluaran kampanye (limited spending) untuk mengantisipasi praktek korupsi anggaran karena motif untuk mengembalikan modal akibat biaya politik tinggi, ternyata tidak tersentuh sama sekali. Perdebatan paling krusial justru pada persoalan angka persentase parliamentary threshold. Itu pun bukan dilandasi dengan semangat benar-benar untuk melakukan upaya penyederhanaan partai politik secara komprehensif, melainkan lebih pada kepentingan masing-masing partai di Pemilu 2014.
    Fungsi kedua, pengawasan (controlling), juga belum dijalankan secara optimal karena seolah hanya dijadikan sekadar alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Padahal, jika dijalankan secara serius, fungsi pengawasan ini dapat menjadi instrumen penting untuk mendorong peningkatan kinerja pemerintah dalam penyelesaian berbagai kasus-kasus besar yang tidak tuntas hingga saat ini.
    Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century menjadi potret paling terang tentang ketidakseriusan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan. Padahal gegap gempita skandal ini di awal telah menguras energi bangsa dan mengganggu jalannya pemerintahan. Namun kegaduhan politik ini ternyata berakhir antiklimaks dan tanpa kejelasan. Hak angket dan hak interpelasi DPR sebagai instrumen pengawasan selama ini cenderung hanya menjadi alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dan memperkuat posisi tawarnya di dalam pemerintahan. Perbedaan politik antara pemerintah dan parlemen biasanya akan berakhir melalui proses tawar-menawar politik yang beraroma “politik transaksional”.
    Sementara itu, dalam menjalankan fungsi penganggaran, sering kali terjadi kebocoran, bahkan praktek korupsi anggaran sering kali menjadi pemasukan tidak resmi bagi partai politik. Praktek mafia anggaran ini berawal dari rapuhnya sistem pendanaan partai politik di satu sisi, dan besarnya celah-celah kelemahan sistem penganggaran dan peluang penyimpangan di sisi lain. Pada situasi kebutuhan finansial dalam sistem pemilihan berbiaya tinggi, sistem pendanaan partai yang bermasalah, serta besarnya celah penyimpangan dalam sistem penyusunan anggaran inilah, akan terdorong terjadinya korupsi di parlemen dalam bentuk praktek percaloan anggaran dan permainan proyek pemerintah oleh anggota legislatif. Karena itu, wajar jika setiap penambahan fasilitas bagi DPR yang dinilai berkinerja rendah kerap ditolak publik.
    Partai Gagal
    Potret tentang rendahnya kualitas dan produktivitas DPR sejatinya merupakan refleksi atas kegagalan partai, sebab semua anggota DPR diseleksi melalui mekanisme partai. Bahkan partai di era reformasi saat ini memiliki posisi dan kekuasaan politik amat kuat dan strategis: tak hanya mendominasi proses sirkulasi di legislatif (DPR) tetapi juga pergantian elite kepemimpinan politik di eksekutif serta kepemimpinan di lembaga yudikatif dan komisi-komisi negara melalui proses di parlemen.
    Kegagalan partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu menyebabkan demokrasi Indonesia mengidap “sindrom partai gagal”, suatu kondisi di mana postur kekuasaan dan kewenangan partai sangat kuat, tetapi menyimpan banyak “penyakit” dan penyimpangan (deviasi demokrasi), akibat kekuasaan partai menguat tetapi tidak diimbangi dengan “sistem imunitas” berupa penguatan sistem dan pelembagaan internal, sehingga mudah terjangkit virus penyimpangan partai. Pada situasi seperti inilah berimbas pada citra dan kinerja DPR. Karena buruknya citra dan rendahnya kinerja DPR adalah kegagalan partai politik.
    Karena itu, sejauh mana prospek DPR mampu mendorong reformasi politik dan ikut mendorong kinerja pemerintah dalam penuntasan kasus-kasus besar, seperti korupsi dan penegakan hukum pada 2012, sangat bergantung pada komitmen partai politik. Tanpa komitmen baru dari partai-partai di parlemen, DPR akan tetap sekadar menjadi “arena” permainan politik saling sandera dan permainan anggaran demi kepentingan elektoral 2014, maka sulit berharap DPR akan menjadi bagian dari solusi perbaikan bangsa.
  • Peran Jalur Minyak Indo-ASEAN

    Peran Jalur Minyak Indo-ASEAN
    Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BADAN PELAKSANA KEGIATAN HULU MINYAK DAN GAS BUMI BP MIGAS
    Sumber : KORAN TEMPO, 24 Januari 2012
    Jalur minyak Indo-ASEAN adalah garis imajiner yang menggambarkan alur minyak dan gas alam. Garis ini bermula di Australia, menyeberang ke Timor Leste, masuk ke wilayah Indonesia dari Papua, Jawa, Kalimantan, perairan Natuna, lalu berbelok ke utara menuju Laut Cina Selatan dan berujung di Da Nang, Vietnam. Jalur ini akan memainkan peran vital dalam pemenuhan energi dunia. Itu sebabnya, penulis menamakannya “Jalur Minyak Indo-ASEAN”, terinspirasi oleh Jalur Sutera yang menghubungkan perdagangan dan politik Asia, Eropa, dan Afrika sejak dua abad sebelum Masehi.
    Kehadiran Presiden Barack Obama di Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Bali, November lalu, jadi momen bersejarah karena mengabarkan rencana peningkatan level eksistensi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyatakan keterlibatan mereka di kawasan itu merupakan satu tugas diplomasi yang jadi prioritas di dasawarsa mendatang. Dalam rangkaian kunjungan yang sama, Obama singgah di Australia dan bersepakat dengan Perdana Menteri Julia Gillard untuk menempatkan 2.500 marinir Amerika di Darwin, Australia Utara.
    Di antara sekian pendorong peningkatan atensi itu adalah ketahanan energi. Amerika khawatir lonjakan kebutuhan energi Cina akan menggiring Negeri Tirai Bambu mencari tambahan pasokan dari mancanegara dan berujung pada peningkatan pengaruh politik, ekonomi, dan militer Tiongkok secara global. Pada Agustus 2010, International Energy Agency Paris melaporkan bahwa Cina telah menggeser Amerika sebagai pengguna energi nomor satu, dengan selisih konsumsi sekitar 4 persen.
    Ketika Hu Jintao mengambil alih kursi kepresidenan Republik Rakyat Cina pada 2002, dia mengeluarkan doktrin bahwa pasokan minyak dan gas vital penting bagi ketahanan ekonomi dan nasional. Dia juga mengirim angkatan lautnya ke Laut Cina Selatan dan menimbulkan keresahan di negara-negara ASEAN. Desember lalu, secara mengejutkan, Presiden Hu memerintahkan Angkatan Laut agar mempercepat transformasi dan mempersiapkan diri jika dibutuhkan untuk perang. Pernyataan ini ia sampaikan sebulan setelah kesempatan penempatan marinir Amerika di Darwin. Wajar jika Amerika, juga Cina, memandang penting Asia Tenggara. Di sana terbentang Jalur Minyak Indo-ASEAN, rantai sumur minyak dan gas yang mungkin jadi pemasok energi mereka di masa datang.
    Sumber Energi Masa Depan
    Dalam dasawarsa terakhir, konstelasi sebaran cadangan minyak dunia telah bergeser. Organisasi negara eksportir minyak, OPEC, menyatakan negara pemilik cadangan minyak terbesar bukan lagi Arab Saudi, melainkan Venezuela, sebesar 296,5 miliar barel. Namun kebijakan nasionalisasi minyak yang dicetuskan Presiden Hugo Chavez jadi batu ganjalan bagi perusahaan minyak Amerika dan sekutunya untuk masuk negara itu. Akibatnya, Amerika perlu melirik kawasan lain yang lebih akomodatif. Setelah “sukses” di Libya, alternatif yang relatif damai adalah Jalur Indo-ASEAN, sekaligus membatasi ruang gerak pesaing utama, Cina.
    Bentangan Jalur Minyak Indo-ASEAN dimulai dari Australia. Tidak disangka sebelumnya bahwa Australia akan menemukan lapangan gas raksasa Gorgon di lepas pantai Australia Barat dengan cadangan gas mencapai 40 triliun kaki kubik. Operator dan pemilik saham terbesar Lapangan Gorgon adalah perusahaan minyak Amerika, yaitu Chevron, sebesar 47 persen, dan ExxonMobil 25 persen. Pemilik lainnya adalah Shell dari Belanda 25 persen, dan sisanya perusahaan Jepang. Rencana produksinya mencapai 15 juta ton gas alam cair atau LNG per tahun yang sebagian besar akan diekspor ke Jepang melalui gerbang Indo-ASEAN. Selain Lapangan Gorgon, ExxonMobil asal Amerika juga jadi operator di lapangan besar lain, yaitu Scarborough dengan cadangan sebesar 8 sampai 10 triliun kaki kubik.
    Di Timor Leste, lumbung minyak utama adalah Bayu Undan dengan cadangan minyak 400 juta barel, dengan operator yang juga dari Amerika, ConocoPhillips. Disusul Lapangan Greater Sunrise dengan cadangan minyak 300 juta barel. Di Papua, ada Lapangan Tangguh dengan cadangan gas 12 triliun kaki kubik, bertetangga dengan lapangan Masela di Laut Arafuru dengan cadangan gas sekitar 6 triliun kaki kubik. Bergeser ke barat, terbentang Lapangan Banyu Urip di Cepu, Jawa Tengah, yang diperkirakan mengandung cadangan minyak lebih dari 450 juta barrel. Mobil-Cepu bersama Ampolex, keduanya anak perusahaan ExxonMobil, menguasai 45 persen saham.
    Lumbung migas berikutnya adalah Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang menyumbang 30 persen produksi gas Indonesia. Potensinya yaitu 12 triliun kaki kubik dan sahamnya dimiliki Total Indonesie dari Prancis dan Inpex dari Jepang. Dengan potensi demikian besar, tidak heran sederet perusahaan seperti Chevron dari Amerika mengincar pengelolaan blok ini saat kontrak berakhir pada 2017, bersaing dengan dua perusahaan sebelumnya. Juli 2011, Perdana Menteri Prancis Francois Fillon menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Kuat dugaan, salah satu agenda adalah mempertahankan eksistensi Total di Blok Mahakam, dan mematangkan kehadiran Total di Blok East Natuna.
    East Natuna di Laut Natuna disebut sebagai ladang gas terbesar di Asia Timur dengan cadangan sekitar 222 triliun kaki kubik. Dari jumlah itu, sekitar 46 triliun kaki kubik dinyatakan komersial. Pemerintah menunjuk Pertamina menjadi operator, namun karena membutuhkan investasi sampai 30 miliar dolar Amerika Serikat, mereka butuh partner. Pertamina diharapkan akan menguasai 40 persen saham, sisanya dibagi dengan ExxonMobil, Total Indonesie, dan Petronas dari Malaysia.
    Di wilayah Indocina, menurut laporan yang terbit Agustus lalu, ExxonMobil menemukan lapangan gas besar dilepas pantai Da Nang, Vietnam. Raksasa minyak dari Amerika Serikat itu menerima konsesi di Blok 117, 118 dan 119 dari Vietnam yang bersikukuh wilayah tersebut berada di Zona Ekonomi Eksklusif mereka. Cina menolak kesepakatan itu dan mengklaim lapangan gas ada di wilayah mereka. Tidak lama kemudian mereka meluncurkan uji coba kapal induk baru di Laut Cina Selatan dan menggelar latihan militer tidak jauh dari kawasan sengketa.
    Jalur Minyak Indo-ASEAN bermuara di Laut Cina Selatan. Letaknya strategis bagi jalur perdagangan lintas negara karena setiap tahun digunakan sebagai jalur niaga–sebagian besar minyak dan gas cair dari dan ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika–dengan nilai 5 triliun dolar Amerika Serikat. Bagi Cina, jalur ini sangat vital karena 80 persen impor minyak dan gas datang via perairan ini.
    Beberapa kepulauan di Laut Cina Selatan, seperti Paracel dan Spratly, diperkirakan mengandung sumber daya minyak dan gas dalam jumlah masif. Menurut hitungan ahli geologi Cina yang dikutip oleh The US Energy Information Agency, EIA, perairan itu berpotensi mengandung cadangan minyak sebesar 213 miliar barrel, atau 80 persen cadangan minyak Arab Saudi.
    Apabila volume seluruh potensi minyak dan gas yang berada di Jalur Indo-ASEAN digabungkan, kawasan ini akan jadi lumbung energi yang patut diperhitungkan Amerika dan sekutunya. Tidak mengherankan apabila mereka buru-buru meningkatkan pengaruh politik dan kekuatan militer di Asia-Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara. Dari pangkalan militer di Australia dan Singapura, mereka bisa mengawal eksplorasi dan eksploitasi tambang di jalur tersebut.
    Indonesia Pantang Terlena
    Persaingan pengaruh Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina membuat Asia Tenggara rawan konflik. Hampir dua dasawarsa Indonesia memendam bibit-bibit sengketa bilateral dengan Negeri Tirai Bambu. Beberapa kali negara raksasa itu menyinggung isu perbatasan di kawasan Natuna yang kaya gas. Mereka mengklaim kepulauan itu sebagai wilayahnya berdasarkan peta teritorial Cina yang diresmikan pada 1995. Selama ini, jalinan diplomasi kedua negara mampu mendinginkan isu tersebut. Natuna tetap di pangkuan Ibu Pertiwi dan jadi tumpuan energi kita. Namun isu ini bisa kembali jadi bola panas seiring meningkatnya aktivitas militer Cina dan Amerika. Kesalahpahaman kecil bisa menimbulkan kemarahan Cina dan membuka luka lama akan perebutan teritori.
    Mulai 2012, Indonesia harus pandai-pandai menari dan berdendang di antara dua tambur yang bertalu bersahutan, namun tidak seirama. Sembari berharap agar tabuhan itu bukan berasal dari genderang perang.
  • Madu atau Racun BBM

    Madu atau Racun BBM
    Sumaryoto, ANGGOTA KOMISI XI DPR DARI FRAKSI PDI PERJUANGAN
    Sumber : SUARA MERDEKA, 24 Januari 2012
    MENTERI ESDM Jero Wacik pada Selasa (17/01) menyatakan revisi Perpres Nomor 55 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pembatasan BBM Bersubsidi, dan Rancangan Perpres tentang Diversifikasi BBM ke BBG, siap diteken Presiden. Tiga hari kemudian, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, meskipun UU Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN 2012 melarangnya, pemerintah tetap membuka opsi kenaikan harga BBM.
    Esuk dhele, sore tempe. Mana yang benar? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas bila pemerintah menerapkan pembatasan BBM bersubsidi per 1 April 2012 yang berarti mobil pribadi di Jawa dan Bali tidak boleh lagi menggunakan premium maka akan menciptakan madu sekaligus racun.
    Madu bagi siapa? Adalah bagi SPBU-SPBU asing seperti Shell (Inggris), Total (Perancis), dan Petronas (Malaysia). Diharuskannya mobil pribadi menggunakan pertamax maka SPBU asing itu menangguk untung. Selama ini mereka sepi peminat karena SPBU Pertamina menjual premium dengan harga Rp 4.500/ liter. Bila diharuskan memakai pertamax, pengguna mobil pribadi pasti lari ke SPBU asing karena harganya pasti lebih murah.
    Dengan kata lain, pembatasan BBM bersubsidi akan berdampak buruk terhadap kelangsungan usaha SPBU nasional. Apalagi sebagian pelaku usaha kita tidak siap membangun infrastruktur BBM nonsubsidi karena keterbatasan dana. Pembangunan satu tangki dan dispenser pertamax saja butuh Rp 450 juta.
    Lalu racun bagi siapa? Simak saja pengakuan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Djaelani Sutomo, Jumat (20/1). Ia mengakui Pertamina keok bila harus bersaing dengan SPBU asing. Bila sama-sama menjual pertamax di dalam kota, Pertamina pasti kalah karena pasokan pertamax hanya dari kilang Balongan, sementara kilang lainnya memproduksi premium. Bila memaksakan kilang lain memproduksi pertamax, harganya akan jauh lebih mahal. Kilang Pertamina baru benar-benar siap memproduksi pertamax secara massal pada 2014.
    Simak pula pengakuan Ketua Umum Hiswana Migas Eri Purnomosidi. Menurutnya, saat ini saja SPBU Pertamina ngos-ngosan menjual pertamax, dan total penjualannya pun sangat kecil. Sebaliknya SPBU asing saat ini gencar berekspansi di Indonesia karena melihat peluang bila program pembatasan BBM diterapkan.
    Memihak Rakyat
    SPBU asing memang bak anak emas. Petronas misalnya, meski tak memiliki kilang di Indonesia, ia boleh beroperasi di sini. Sebaliknya Pertamina, bila tak punya kilang minyak di Malaysia maka ia tidak boleh beroperasi di sana. Ironis memang. Lebih ironis lagi, Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto dan Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung justru mendukung pembatasan BBM bersubsidi. Bercermin dari contoh ini kita khawatir rencana pemerintah membatasi BBM bersubsidi akibat di-drive oleh pihak asing.
    Secara infrastuktur, Pertamina juga belum siap menghadapi pembatasan BBM bersubsidi. Simak saja pengakuan Dirut Karen Agustiawan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pekan lalu. Menurutnya, secara infrastruktur Pertamina belum siap bila kebijakan pembatasan BBM bersubsidi diterapkan mulai 1 April 2012.
    Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam acara ulang tahun partainya 10 Januari lalu menyarankan pemerintah menaikkan harga BBM. Mengapa tidak dicoba? Apa pemerintah gengsi? Atau tak berani menanggung risiko politiknya?
    Memang bak menghadapi buah simalakama. Tapi Presiden tak perlu merasa kehilangan muka. Demi rakyat, apa pun bisa dilakukan. Presiden harus bicara dengan DPR dan melakukan pendekatan agar keputusan tidak menaikkan harga BBM ditinjau kembali. Bukankah melindungi warga negara dan seluruh tumpah darah adalah amanat Pembukaan UUD 1945?
    Kini, semua terserah pemerintah: mau memberikan madu buat pengusaha asing dan racun bagi rakyat atau sebaliknya. Semestinyalah pemerintah berpihak pada rakyat. Jadikan kontroversi soal rencana pembatasan BBM bersubsidi ini sebagai momentum bagi pemerintah untuk kembali berpihak pada rakyat.
  • Hangat Imlek dalam Keluarga Campuran

    Hangat Imlek dalam Keluarga Campuran
    Suwandono, PENULIS NOVEL LIAN NIO,
     TRUE STORY DRAMA CINTA ANTARA AYAHNYA YANG JAWA DAN SANG IBU YANG TIONGHOA
    Sumber : JAWA POS, 23 Januari 2012
    SAYA sungguh beruntung bisa tiga kali merayakan tahun baru dalam setahun. Tahun baru Masehi, Hijriah, dan Imlek. Terlahir sebagai produk campuran suku Jawa dan Tionghoa, ternyata menempatkan saya di wilayah yang hangat dan menyenangkan. Lima puluh tujuh hari lalu saya merayakan tahun baru Hijriyah. Tak lama berselang, dua puluh dua hari lalu saya merayakan tahun baru Masehi, yang jejak suka citanya pun masih membekas kuat. Hari ini, kebahagiaan serupa datang lagi. Saya kembali mereguk suka cita dalam perayaan tahun baru Imlek.

    Tiap kali merayakan Imlek, keluarga besar kami berkumpul dengan wajah berbinar.

    Perbedaan warna kulit dan agama seolah luntur tersapu terang lampion. Kami bertukar ucapan selamat, berbagi doa, energi, dan semangat. Perayaan tahun baru tak hanya kami maknai sebagai warisan kearifan masa lalu yang harus dilestarikan tradisinya. Namun, sebagai momentum untuk membangun kebersamaan.

    Salah seorang tokoh yang sering kami rasani ketika merayakan Imlek adalah Gus Dur. Kegigihan beliau menata fondasi bangunan kebersamaan sungguh luar biasa. Tidak hanya mengukuhkan Imlek sebagai hari libur nasional, identitas etnik dan ruang gerak suku Tionghoa juga kian terbuka. Meski lahir dari sistem penanggalan masyarakat Tionghoa, tak dapat disangkal bahwa Imlek berkembang menjadi sesuatu yang bersifat lebih universal. Alhasil, suka cita Imlek tak hanya monopoli komunitas Tionghoa. Elemen masyarakat lain juga turut larut dalam warna-warni perayaan yang digelar bersama.

    Spirit yang diusung Gus Dur itu amat melekat dalam keluarga kami. Penegasan bahwa Imlek dipandang bukan sebagai ritual keagamaan tertentu menjadi pemahaman pokok. Imlek kami maknai sebagai tradisi pergantian tahun yang mewariskan nilai-nilai filosofis kehidupan untuk terciptanya kesejahteraan, kedamaian, dan harmoni antarmanusia. Karena itu, saya sebagai penganut Islam bisa enjoymerayakannya. Demikian pula anggota keluarga yang menganut Kristen, Katolik, serta Konghucu. Menangkap spirit kebahagiaan dan nilai universal spiritual Imlek dengan perenungan serta melepas syukur menjadi ritual bersama di tengah keceriaan anak-anak berebut ang pau.

    Selain makna filosofis dan ekspresi budaya, kehadiran Imlek sering diikuti beragam pengharapan. Tiap orang bisa warna-warni pengharapannya. Namun, apa pun warnanya, semua bermuara pada harapan yang lebih baik. Lebih sehat, bahagia, kaya, makmur, dan sejenisnya. Saya belum pernah bertemu orang yang punya harapan buruk untuk dirinya. Jenis harapan yang paling lantang terdengar tatkala Imlek adalah keberuntungan.

    Banyak yang menganggap keberuntungan semacam sesuatu yang jatuh dari langit, hingga bisa datang dan pergi tanpa bisa dikendalikan. Ada pula yang mengartikan keberuntungan sebagai nasib baik. Perjalanan panjang Imlek pun banyak dibumbui hal yang berbau keberuntungan.

    Tahun naga air yang akan kita arungi ini, misalnya. Ada yang menganggap sebagai tahun keberuntungan bagi orang dengan shio (lambang tahun lahir) tertentu. Yang memercayai hitung-hitungan macam itu, bisa amat sibuk dalam menyikapinya. Yang merasa shio-nya beruntung akan bersenang hati. Sugesti diri positif pun tercipta. Sebaliknya, yang shio-nya dianggap kurang beruntung, akan melakukan berbagai upaya agar bisa kecipratankeberuntungan.

    Saya tidak mau pusing dengan perhitungan yang sulit dicerna rasio itu. Saya pun tak bernafsu mendebat orang yang memercayainya. Saya lebih tertarik pada pemahaman bahwa keberuntungan bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Dengan kata lain, nasib baik itu bisa diciptakan. Lho, dengan mantra apa? Tidak ada hubungannya dengan mantra, jimat, shio atau hal lain yang berbau fengsui. Keberuntungan bisa diurai dengan logika sehat. Saya mengamini rumus: Nasib baik = Persiapan + kesempatan.

    Dari pemahaman itu, berarti kita bisa mengundang keberuntungan. Kita bisa memahat nasib baik untuk diri kita. Caranya dengan melakukan persiapan sebaik mungkin sesuai dengan profesi dan keadaan masing-masing. Setelah persiapan cukup, tindak lanjuti dengan fokus menggali kesempatan. Bila persiapan matang itu bertemu momentum yang tepat, keberuntungan bisa kita genggam.

    Apa pengaruhnya iman dan doa dalam konteks memperoleh keberuntungan? Semua agama pasti mengajarkan pentingnya iman dan doa. Kekuatan yang paling hebat dari doa adalah menanamkan keyakinan dalam diri. Keyakinan itulah yang secara logika bisa disebut meningkatkan keberuntungan. Ketika orang memiliki keyakinan pasti berhasil, cenderung bisa berhasil karena akan berjuang keras untuk itu. Kalaupun tersengat kegagalan, dia akan terus berusaha sampai akhirnya benar-benar berhasil. Sebaliknya, orang yang tidak punya keyakinan berhasil, daya juangnya amat mudah redup.

    Selain sebagai ajang kontemplasi dan bersyukur kepada Sang Pemilik Hidup, momentum tahun baru Imlek ini bisa dijadikan sebagai starting pointuntuk melakukan persiapan sebaik mungkin sesuai bidang kita masing-masing. Dengan persiapan yang mumpuni, dikawinkan dengan kesempatan yang ada serta keyakinan yang disuburkan doa, harapan menggapai keberuntungan di tahun naga air ini bisa kita wujudkan.

    Selamat merayakan Imlek dan selamat memahat nasib baik masing-masing. Gong Xi Fa Cai.

  • Imlek dan Kepedulian pada yang Lemah

    Imlek dan Kepedulian pada yang Lemah
    Tom Saptaatmaja, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 23 Januari 2012
    Jika dibandingkan dengan tahun baru lainnya, Imlek boleh jadi merupakan satu-satunya hari yang paling unik dan inklusif.

    Keunikannya, perayaan tahun baru ini bisa dirayakan warga Tionghoa yang beragama apa pun. Bahkan yang sekuler pun boleh merayakan Imlek, termasuk para pejabat di jajaran Partai Komunis di China. Awalnya dahulu, Imlek atau Sin Tjia memang merupakan perayaan para petani di China yang lalu menyebar ke Mongolia, Korea,Jepang,Vietnam, Kamboja,Thailand, dsb. Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta menyambut musim semi. Seiring migrasi nenek moyang bangsa Indonesia dari Hindia Belakang (China Selatan, di utara Thailand dan Myanmar) ke Nusantara pada awal Masehi, Imlek beserta budaya Tiongkok masuk dan memperkaya khasanah budaya kita.

    Namun perlu diketahui, Imlek pada mulanya bukan perayaan keagamaan tertentu, melainkan upacara tradisional masyarakat China. Imlek bisa diperingati oleh masyarakat China yang beragama Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Katolik,dan Kristen. Memang bagi penganut Tao, Konghucu, dan Buddha, Imlek diberi sentuhan keagamaan seperti tampak pada ritual keagamaan yang harus dijalani. Identifikasi Imlek sebagai hari raya Buddha dimulai setelah agama Buddha menyebar di China pada zaman Dinasti Han (202 SM–221 M) di bawah Raja Han Ming Ti.

    Bagi Tionghoa Kristen atau Islam, Imlek jelas bukan merupakan hari keagamaan. Meski demikian tentu tidak ada salahnya jika pada tahun baru Imlek yang merupakan warisan budaya leluhur,setiap etnik Tionghoa yang beragama Kristen atau Islam berdoa dan bersyukur kepada Sang Khalik. Nah, dari ilustrasi di atas, menjadi menarik bahwa Imlek ternyata tidak eksklusif menjadi milik satu agama atau golongan tertentu. Dalam Imlek terkandung pesan inklusif yang mencoba menjembatani semua sekat yang ada.

    Pada era Orde Lama, kerap pada tiap Imlek berbagai etnik berpawai bersama,saling membuka diri, seolah tidak ada sekat-sekat lagi. Kecenderungan ini sekarang muncul lagi dan sudah seharusnya orang tidak suka menonjolkan perbedaan karena perbedaan adalah kenyataan yang harus kita terima dan hormati,terlebih di negeri yang majemuk ini. Semangat membuka diri bagi semua ini persis dengan filosofi yang ada di kelenteng-kelenteng, di antaranya Kelenteng Kwan Sing Bio di Tuban, Jawa Timur, yang menerima siapa pun yang hendak masuk maupun menginap.

    Bahkan saking terbuka terhadap lingkungannya, dalam kelenteng-kelenteng itu sering terdapat patung-patung dari tokoh atau dewa setempat, yang sama sekali tidak terdapat dalam tradisi China. C Salmon dan Lombard sudah menyelidiki sekitar 115 dewa yang ada di kelenteng-kelenteng di Jawa, paling sedikit 23 dewa berasal dari peradaban Jawa atau Sunda. Ini boleh jadi selaras dengan prinsip “Yin-Yang” agar harmoni dengan semua pihak bisa senantiasa dijaga.

    Spirit Naga Air

    Tahun Baru Imlek 2563 yang akan kita masuki disebut Tahun Naga Air. Salah satu karakter naga air adalah selalu menjernihkan dan mendamaikan. Berbagai konflik yang terjadi akhir-akhir ini di antero negeri, mulai dari Mesuji, Bima, Papua hingga Sampang sebenarnya kontraproduktif dan membuat energi positif kita tersita sia-sia.

    Belum lagi setiap hari selalu ada masalah baru, entah korupsi, entah proyek ini atau itu yang tidak prorakyat seperti proyek-proyek DPR di Senayan. Semua masalah itu sungguh menyedot energi positif kita sebagai bangsa dan ujung-ujungnya rasa kebersamaan kita sebagai sesama anak bangsa kian pudar. Maka memasuki Tahun Naga Air, mari kita revitalisasi semangat kebersamaan yang memudar itu. Hanya dengan kebersamaan, kita akan bisa menjaga rumah Indonesia tidak ambruk atau bangkrut. Mari kita ingat pepatah lama, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

    Karena itu pada Tahun Naga Air ini, penulis berharap kepada etnik Tionghoa agar tidak meninggalkan komitmen keindonesiaannya. Jangan lupa pada tiap Imlek, masyarakat non-Tionghoa kerap menyoroti sejauh mana sebenarnya etnik ini mau lebih dalam terlibat dalam permasalahan bangsa.

    Pesan Confucius

    Maka setiap etnik Tionghoa jelas bisa berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Semisal, bagi etnik Tionghoa yang punya modal kuat, mohon tidak melupakan sesama yang lemah.Silakan terus berekspansi dalam usaha, tetapi kesejahteraan karyawan, khususnya di level terendah, jangan pernah diabaikan. Mari terus berempati pada sesama yang terpinggirkan atau tidak mampu bersaing ini. Jangan lupa, kelebihan manusia dari binatang adalah bahwa manusia masih punya akal budi sehingga bisa mengasah nurani dan berempati kepada sesama yang tidak berdaya dalam persaingan hidup.

    Semoga Imlek kali ini menjadi momentum untuk semakin mengasah rasa kemanusiaan kita sehingga kita tidak pernah lupa pada sesama anak bangsa, khususnya saudara-saudara yang kurang beruntung seperti para buruh yang jadi korban PHK, kaum miskin yang susah hidupnya di tengah melonjaknya harga sembalo, dsb. Sebab apa artinya Imlek sebagai pesta kebersamaan kalau ternyata kemudian kita menjadi manusia yang egois dan tidak peduli pada penderitaan sesama? Pada setip Imlek kian populer ucapan “Gong Xi Fa Coi” (semoga semakin menjadi kaya).

    Dalam hemat penulis, menjadi kaya hanya akan terjadi kalau kekayaan materi disertai dengan kekayaan hati. Dengan demikian kita yang kaya juga akan mampu membuat kaya sesama yang sebelumnya tidak kaya, baik dalam tataran materi atau kepandaian. Lalu ada hubungan yang setara dan tidak timbul gap atau jurang pemisah. Dengan kata lain,kita sesungguhnya tidak dipanggil oleh Sang Pencipta untuk menjadi kaya sendirian.

    Confucius pernah berpesan: ‘’Bila diri sendiri ingin tegak atau maju, kita juga wajib membantu orang lain untuk tegak atau maju.’’ Semoga Imlek memang sungguh menjadi pesta kebersamaan yang mampu mengikis segala bentuk egoisme dalam diri kita. Semoga bersama- sama kita sejahtera. Sin tjun kiong hie, thiam hok thiam sioe, ban soe djie ie (selamat tahun baru, tambah rezeki dan tambah umur, segala yang diinginkan terkabul).

  • Tuhan Menciptakan Segala Sesuatu Bukan Tanpa Tujuan

    Tuhan Menciptakan Segala Sesuatu
    Bukan Tanpa Tujuan
    Mohamad Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 23 Januari 2012
    Segala yang diciptakan Tuhan tak ada yang bersifat main-main. Tuhan sangat serius.Tak ada barang yang dicipta Tuhan tanpa tujuan. Semua yang tercipta ada maknanya.

    Semua yang tercipta ada tujuannya. Begitu kata kitab suci.Mereka disebut umat beriman pun yakin akan kebenaran ungkapan ini. Apa tujuan Tuhan menciptakan makhluk kecil yang begitu lembut dan lemah macam cacing yang kita kenal dalam kehidupan kita? Kata orang-orang yang paham perkara cacing dan tanah, yang mengamati fenomena hubungan mereka dengan baik,kabarnyacacingmenyuburkantanah.

    Sawah atau tanah tadah hujan lainnya, yang hendak ditanami padi,jika banyak cacingnya,itu tanda kesuburan dan menjadi harapan yang tak berbohong bagi petani yang mendambakan panen lebih bagus. Bagi saya cacing hanya satu gunanya: untuk umpan memancing.Maklum, saya bukan ahli di bidang percacingan. Bahkan saya belum “membaca” fenomena itu dengan baik secara luas. Ini fenomena “kitab” kauniah, “kitab” yang terbentang luas tanpa tanda juz tanpa batasan ayat. Maka, di dalam diskursus Islam kita bicara mengenai “kitab Quraniah”, kitab suci yang kita kenal baik, dan “kitab kauniah” yang disebut di atas,yaitu kitab yang terbentang di alam semesta, yang oleh sastrawan besar AA Navis disebut “alam terkembang menjadi guru”.

    Profesor Komaruddin Hidayat bahkan membagi ayatayat Tuhan ke dalam empat golongan besar: kitabiah (Quraniah tadi), kauniah, dan nafsiyah, yaitu jagat kecil kita, dan ijtimaiah, yaitu realitas sosial, sejarah, yang semuanya dianjurkan untuk dibaca. Kita jarang menyadari dengan penuh kesadaran yang utuh bahwa kitab kauniah itu lebih tua dari kitabiah karena kita tahu, alam semesta sudah terbentang luas, lama sekali, entah berapa juta tahun, sebelum ayat-ayat Tuhan diwahyukan kepada para nabi maupun para rasul. Begitu kita membaca kitabiah dan kauniah, yang terbentang ini, kita terlibat dalam kesibukan intelektual untuk membuat penafsiran.

    Nalar kita dengan begitu bisa disebut jembatan antara semua ayat kauniah dan semua ayat kitabiah. Maka, sangat besar kemungkinan yang terbuka bagi kita, untuk menjadikan apa yang dinyatakan dalam ayat-ayat kitabiah itu sebagai inspirasi yang sifatnya hipotetis untuk melangkah lebih jauh ke dunia penelitian dan melakukan pemahaman atas makna ayat tadi secara empirik. Sejarawan Kuntowidjojo pernah menyatakan perlunya para cendekiawan Islam merumuskan teoretisasi ayat-ayat.

    Belum jelas, bagaimana menjahit pernyataan Prof Komaruddin dan sejarawan ini menjadi satu himpunan makna yang secara akademis bisa menjadi rangsangan lebih banyak kalangan kaum akademisi.Tapi satu hal sudah terang-benderang bagaikan cahaya lailatul qadr: keduanya orang saleh yang serius memahami fenomena ayat-ayat untuk meneroboskan pemahaman hingga ke titik terjauh, ke suatu dataran pengertian di dunia keilmuan yang lebih hakiki.

    Dan jika dimungkinkan untuk mencapai apa yang kita sebut makrifat.Kecenderungan keduanya tampaknya bakal bersifat filosofis dan jika diwujudkan di dalam kerja ilmiah, niscaya akan melahirkan pemahaman filsafat yang belum kita temukan ujung permulaannya sekalipun.Keduanya mengajak bekerja menafsir dan memahami fenomena hidup secara ilmiah.Dan Profesor Komaruddin, yang pada hakikatnya memang filosof, secara lebih khusus menyebut: kitab kauniah merangsang pemahaman empiris dengan penghayatan mendalam yang lebih kontemplatif. Namanya juga orang filsafat.

    Pemikirannya pastilah ke arah filsafat juga. Tapi kita harus kembali ke tema utama kita: Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan serius, Tuhan tidak main-main, Tuhan memiliki tujuan khusus,agung dan mulia,yang kita—hingga kini— belumtahumenangkapsasmita alam yang terkembang bersama atau dalam ciptaan itu. Kita bisa bicara apa saja yang dicipta Tuhan.Laut,misalnya, ada gunanya.Gunung ada gunanya. Juga batu padas, batu gunung, dan bebatuan yang berkilau-kilau untuk mata cincin penghias jarijari kita. Bahkan kodok dan tokek, yang tampangnya purba, kurang ramah, dan badannya bentol-bentol mengerikan jelaslah ada gunanya.

    Sebutlah apa saja. Biawak, kadal, ular, selain yang kelihatan seperti tak berguna, jelas ada gunanya. Kalau kita ingin secara spesifik mengetahui apa tujuan Tuhan menciptakan mereka dan apa gunanya,saya kira kita tak usah bertanya kepada Tuhan secara langsung. Kita tempuh saja cara yang sifatnya wajib, yaitu menyelenggarakan penyelidikan serius, ilmiah, dengan sifat teliti, disertai renungan kontemplatif— seperti disebut Profesor Komaruddin tadi—dengan kedalaman terjauh yang bisa dijangkau kapasitas kemanusiaan kita.

    Banyak hal lain yang menuntut kerja keras kita menjadi penghayat sejati, yang menandakan sifat orang beriman yang juga sejati, untuk bisa beriman bukan sekadar karena menurut kata orang,melainkan menurut hasil pemahaman kita yang mendalam,menurut kapasitas ijtihadkita.Syukurlah bila dengan langkah itu kita memulai suatu babak baru di dunia keilmuan, yang mampu merangsang rasa penasaran akademik kita,sehingga para ilmuwan tergerak menjadi penghayat sifat-sifat dan hasil “kerja”,hasil “cipta”Tuhan,untuk bisa menjadi lebih dekat denganTuhan.

    Seorang ahli biologi Profesor Sutiman, yang saleh dan tekun, telah menyelenggarakan suatu penelitian ilmiah, sistematis,dan dengan renungan kontemplatif mengenai apa gunanya tembakau, apa gunanya keretek. Adakah keretek dicipta Tuhan hanya untuk menjadi benda terkutuk, yang dimusuhi begitu banyak kalangan, yang tulus bicara demi kesehatan masyarakat, dan yang tak tulus, artinya bohong semata, demi bisnis farmasi dan demi semangat mencaplok keretek kita agar semuanya berada di tangan kapitalis yang wataknya sangat kolonialis dan imperialis?

    Mereka menjajah terang-terangan dengan banyak cara. Saya tak punya akses di bidang keilmuan ini.Pendidikan saya antropologi, yang belajar serius,dengan kontemplasi untuk membaca manusia,cara berpikir, cara pandang, perasaan, tingkah laku, filsafatnya, sastranya, dan tradisi bagus yang tercipta dalam hidup, serta banyak unsur lain yang jika diringkas menjadi satu kata: kebudayaan. Saya tahu tembakau dan keretek dari dimensi itu. Dari sudut itu, keretek itu anggun posisi kebudayaannya.

    Tapi silakan para sahabat mempelajari fenomena itu dengan kesalehan dan kejelian orang beriman dan bukan dengan sikap marah dan permusuhan, seolah siap meniadakan sahabatnya sendiri.Orang yang sudah tua,yang sudah dekat titik ujung perjalanannya,mengapa melakukan itu? Mengapa tak mencoba yakin bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu bukan tanpa tujuan?