Blog
-
Kemenangan Kecil bagi Demokrasi di Malaysia
Kemenangan Kecil bagi Demokrasi di MalaysiaAndy Budiman, JURNALIS, CO-FOUNDER SERIKAT JURNALIS UNTUK KEBERAGAMAN (SEJUK), TINGGAL DI BONN, JERMANSumber : JARINGAN ISLAM LIBERAL, 24 Januari 2012Yang pasti, angin perubahan memang kian menguat. Beberapa saat setelah vonis bebas, @anwaribrahim berkicau di Twitter “In the coming Election, voice of the people will be heard and this corrupt government will be toppled from its pedestals of power.”Kemenangan ini punya siapa? Pengadilan Tinggi Malaysia memvonis bebas Anwar Ibrahim. Hakim menyebut, bukti yang ada tidak cukup meyakinkan untuk memvonis tokoh oposisi itu bersalah melakukan sodomi.Homoseksual adalah sebuah kejahatan di Malaysia. Pelakunya bisa dihukum hingga 20 tahun penjara. Bagi tokoh politik seperti Anwar Ibrahim, tuduhan itu bisa menamatkan karir politik. Dua tahun lebih pengadilan kasus ini menjadi kontroversi.Kasus yang Penuh RekayasaSejak awal, telah tercium bau tak sedap. Sang pelapor Mohamad Saiful, yang mengaku sebagai korban sodomi, sempat menemui Perdana Menteri Najib Razak. Sang Perdana Menteri awalnya membantah, namun kemudian ia meralat dan mengakui bahwa beberapa hari sebelum melaporkan Anwar Ibrahim ke polisi, Mohamad Saiful sempat bertemu dengan dirinya dan menceritakan kasus itu.Pengadilan akhirnya membuktikan: Anwar Ibrahim tak bersalah dan divonis bebas! Pemerintah Malaysia lantas mencoba mengambil keuntungan. Dengan bangga mereka menyebutnya sebagai bukti bahwa pemerintah tidak melakukan intervensi, dan pengadilan Malaysia adalah sebuah institusi yang independen, tidak korup sebagaimana yang selama ini dituduhkan.Tapi apakah betul begitu? Kalau memang independen, kenapa pengadilan mau menerima kasus Anwar Ibrahim, yang sejak awal kelihatan lemah? Apakah vonis ini hanyalah manuver politik yang terpaksa dilakukan rejim Najib Razak, untuk meraih simpati menjelang pemilihan umum?Sesungguhnya tak tersedia cukup banyak pilihan: memenjarakan tokoh oposisi menjelang pemilu, akan semakin memperlihatkan wajah pemerintah yang buruk. Simpati justru akan jatuh kepada Anwar Ibrahim, dan tekanan internasional akan semakin keras ke arah Kuala Lumpur. Satu-satunya jalan yang tersedia adalah membebaskan tokoh oposisi itu. Mereka berharap vonis itu akan akan membuat pemilih jatuh simpati kepada pemerintah, sekaligus ingin memperlihatkan bahwa mereka serius dengan agenda reformasi.Pertanyaan kritis pantas kita ajukan: apakah Malaysia memang telah berubah? Lembaga pemeringkat demokrasi, Freedom House, hingga tahun lalu masih menempatkan Malaysia sebagai negara yang setengah bebas. Pemerintah secara konsisten membatasi kebebasan bicara, berserikat dan berkumpul. Jurnalis atau bahkan blogger bisa ditangkap karena mengkritik pemerintah. Kita bisa simpulkan, belum ada perubahan signifikan di sana.Anwar Ibrahim dan Politik BunglonAnwar Ibrahim adalah tokoh kunci bagi demokrasi Malaysia. Meski ada sejumlah pertanyaan terkait koalisi politik yang ia bangun. Anwar Ibrahim yang dikenal barat sebagai tokoh sekuler, terpaksa berselingkuh dengan Partai Islam Malaysia PAS yang punya cita-cita menegakkan hukum syariah. Aliansi tak suci ini terpaksa ia bangun, untuk menghadapi koalisi Barisan Nasional yang berkuasa.Majalah The Economist pernah menjuluki Anwar Ibrahim sebagai bunglon Malaysia. Pada suatu kesempatan di sebuah tempat terpencil, ia berkampanye meminta rakyat memilih seorang kandidat yang soleh dari PAS. Pada momen lainnya, ia bisa akrab berbincang tentang demokrasi dengan para tokoh sekuler. Karena itu, ia sering dilihat secara berbeda-beda. Kaum sekuler kadang melihat ia agak Islami, tapi sebaliknya kaum Islamis sering melihat ia terlalu barat.Tapi pertaruhan memang harus ia ambil. Berada di tengah pemilih mayoritas melayu muslim Malaysia, ia terpaksa bicara dengan bahasa yang sama. Kompromi dengan kaum konservatif bagi Anwar Ibrahim, adalah cara yang harus ditempuh untuk menghadapi pemerintah yang sangat kuat dan telah berkuasa sejak negeri itu merdeka tahun 1957.Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi MalaysiaKonservatisme agama dan ketegangan etnik, adalah bahaya yang sedang mengintip Malaysia. Dua tahun lalu muncul konflik sektarian terkait keputusan pemerintah melarang pemeluk Katolik mempergunakan nama Allah untuk menyebut Tuhan. Alasannya, karena nama itu milik Islam. Keputusan yang lantas berubah menjadi aksi kekerasan dan pembakaran tiga gereja. Politik identitas, adalah tantangan bagi masa depan demokrasi. Menguatnya sektarianisme membuat kita gamang: ke mana arah angin perubahan akan berhembus? Akankah kaum Islamis yang menang sebagaimana terjadi di Tunisia dan Mesir?Yang pasti, angin perubahan memang kian menguat. Beberapa saat setelah vonis bebas, @anwaribrahim berkicau di Twitter “In the coming Election, voice of the people will be heard and this corrupt government will be toppled from its pedestals of power”.Kini, tergantung siapa yang akan lebih efektif memanfaatkan momentum: apakah pemerintah Malaysia yang akan mengambilalih dengan melakukan reformasi secara bertahap, atau kelompok oposisi yang akan makin mendapat dukungan? Kalau oposisi berkuasa, siapa yang akan lebih dominan: kaum sekuler atau Islamis? Sederet pertanyaan itu, belum bisa kita jawab sekarang.Meski satu hal yang pasti: pembebasan Anwar Ibrahim makin membuka peluang untuk mendorong sebuah transformasi politik. Kita bisa menyebutnya sebagai kemenangan kecil bagi gerakan demokrasi. ● -
Kritik Syiah Sudah Proporsional
Kritik Syiah Sudah Proporsional(Tanggapan untuk Haidar Bagir)Mohammad Baharun, KETUA KOMISI HUKUM MUI PUSAT GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMASumber : REPUBLIKA, 24 Januari 2012Setiap kasus mungkin ada hikmah di baliknya, termasuk kasus Sampang kira nya bisa membuka mata dan memberi peluang interaksi positif untuk tujuan menjernihkan masalah. Rupanya berbagai pernyataan yang merespons perkara Sampang cukup banyak dan beragam. Barangkali, ini merupakan indikasi besarnya perhatian umat terhadap persoalan agama.Kritik-kritik yang ditujukan dan ataupun respons yang ada selama ini saya kira sudah cukup proporsional, termasuk yang telah memberikan pernyataan dan opini dalam konteks ini adalah al-Akh Haidar Bagir yang menjawab artikel Insists (Republika, 20 Januari 2011) tentang tawaran solusi damai. Saudara Bagir yang termasuk paling rajin menerbitkan buku-buku Syiah telah memaparkan “tiga kelemahan“ versi beliau-yang sesungguhnya dalam konteks ini perlu dilengkapi agar tidak menimbulkan asumsi yang keliru.Pertama, soal generalisasi. Kajian tentang Syiah Itsna Asyariah (Syiah 12) tidak digeneralisasi sebab kepustakaannya paling banyak dan mudah didekati ketimbang Syiah yang lain, seperti Ismailiyah, Kaisaniyah, dan Qurabiyah. Kitab-kitab rujukan Syiah Itsna Asyariah atau Ja’fariah adalah kitab Empat (al-Kutub al-Arba’ah, yaitu: Al-Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzib al-Ahkam, dan Al-Istibshar), dan paling otoritatif adalah Al-Kafi yang di dalamnya ada bab “Al-Hujjah“ berisi argumen penting tentang pokok-pokok agama (Ushul alDien).Misalnya, teks Al-Kafi ketika menyebut kitabullah mengatakan bahwa “Alquran yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad itu 17 ribu ayat. (Al-Kafi, I/634).“Karena itu, Abu Ja’far bersabda bahwa “Siapa yang mengaku mengumpulkan seluruh isi Alquran sebagaimana diturunkan, maka ia pembohong. Tidak ada yang menghimpun dan menghafalnya seperti apa yang diturunkan oleh Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan para imam sesudahnya.“ (AlKafi, I/228). Inilah yang tersurat di dalam teks hadis Syiah Itsna Asyariah.Karena itu, jika ada pendapat lain (tersirat) yang menerima Mushaf Usman sebagaimana disebutkan al-Akh Haidar, tentu antagonistis dengan realitas ini.
Apalagi Usman pun tidak luput dari diskualifikasi mayoritas Syiah sehingga timbul pertanyaan, bagaimana mungkin mushafnya diterima, tetapi yang menghimpunnya dicerca.Sementara itu, perlu diketahui bahwa Al-Kafi yang disusun oleh Imam al-Kulayni (wafat 329 H) ini telah banyak mendapat pujipujian dari para imam dan pembesar ulama Syiah sendiri. Misalkan, an-Nury yang yakin bahwa Al-Kafi sudah dikoreksi Imam Mahdi (An-Nury malah mengarang kitab berjudul Fashl al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb al-Arbab, yang meyakinkan Alquran mengalami `tahrif besarbesaran’. Dan, ini sejalan dengan ulama ahli hadis Syiah lainnya, seperti al-Kufi, al-A’yasyi, dan an-Nu’many).Di samping itu, an-Najashi menyebut al-Kulayni sebagai “orang paling tepercaya“ (authaq al-Nas), sedangkan Syekh al-Mufid menyebut karyanya sebagai “kitab paling agung“ dan al-Astabaradi mengatakan bahwa “belum ada sebuah kitab yang ditulis dalam Islam yang dapat menyamai AlKafi. Majalah Waris No 14/Th IV/Muharram-Safar 1419 H, hlm 13 (yang diterbitkan Kedubes Iran di Jakarta) menyebut hadis-hadis al-Kulayni ini telah “diakui lawan dan kawan“.Berdasarkan sumber dari Syiah sendiri, ini bermula dari keyakinan yang berbeda dengan mayoritas mengenai Alquran terse ` but, bukan sekali-kali karena generalisasi, apalagi bermaksud untuk menukil pandangan yang ganjil (syadz) sebagaimana dikemukakan.Kedua, pandangan yang mengambil contoh adanya khazanah yang mengatakan bahwa terdapat pernyataan Alquran tidak lengkap bukanlah pandangan Sunni. Rasanya mungkin saja ada riwayat yang menulis seperti itu, tetapi tidak mewakili pandangan jumhur (mayoritas ulama). Apalagi, kebiasaan segelintir penulis Syiah ada yang suka menyamar (dalam kemasan taqiyah) sebagai Sunni sehingga khazanah ini digunakan sebagai rujukan yang kemudian dengan lantang dikatakan “Hadza min Ahlis Sunnah….“ (Ini dari ahlusunah).Perlu ada verifikasi (tarjih) atas data-data yang menyimpang itu secara serius, terutama dari para mufasir yang otoritatif agar kemudian tak ada dusta setelah itu.Ketiga, soal Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sering dikatakan 80 tahun atau ada yang menyebutkan 70 tahun, bahkan 100 tahun dikecam di atas mimbar. Taruhlah riwayat ini benar (hadis Nabi saja dipalsukan, apalagi riwayat sesudah beliau SAW wafat).Tetapi, mengapa harus dikaitkan dengan ahlusunah? Bukankah sejak awal yang mengecam Ali bin Abi Thalib itu kaum Khawarij, bahkan sampai mem bunuhnya? Malah, sesudahnya pun mereka tetap saja mencerca Ali dan keluarganya. Jelas bahwa perbuatan buruk itu tidak pernah menjadi kesepakatan ahlusunah waljamaah (aswaja). Karakter aswaja tak pernah berubah dalam menghormati dan mengagungkan Ahl Bayt Rasulullah SAW, tetapi tentu saja tanpa ghuluw dan pengultusan.Keempat, saya menghormati `fatwa’ Ayatullah Ali Khomenei yang melarang penghinaan terhadap Sunni. Namun, apakah Khomeini tahu yang terjadi di lapangan; di mana para tamatan Qum yang pulang ke Tanah Air menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan syiasisasi yang lantas menyebabkan Sunni cemas? Juga, apakah sudah tahu masih terus berlangsungnya penistaan terhadap para pemuka sahabat dan kedua istri Nabi SAW (`Aisyah dan Hafshah), pelecehan terhadap hadis-hadis Bukhari dalam kemasan “kajian ilmiah sejarah“ sebagai pembenar? Selain itu, ada penguasaan masjid yang kemudian azan Maghribnya diundur sampai gelap malam. Ada pula pengambilalihan madrasah, kemudian diganti asasnya dari aswaja. Inilah hakikatnya yang menjadi pemicu ketegangan antara Sunni-Syiah selama ini yang perlu dipahami dengan penuh kearifan.Menurut saya, ketegangan Sunni-Syiah ini harus segera dicari solusinya untuk tujuan Indonesia yang damai. Hemat saya, metode yang terbaik adalah kita mencari akar permasalahannya terlebih dahulu sembari melakukan pencegahan.Penulis setuju dengan pernyataan Prof DR Mahfud MD tatkala merspons kasus Sampang: adili pelaku kekerasan, tetapi juga adili yang melakukan penistaan/penodaan agama. ● -
Saatnya Agama Dipahami secara Utuh
Saatnya Agama Dipahami secara UtuhBenny Susetyo, BUDAYAWANSumber : SINAR HARAPAN, 24 Januari 2012Wahid Institut dalam laporan mengenai tindak intoleransi selama tahun 2011, menyebutkan telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila pada 2010 hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18 persen menjadi 92 kasus.Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48 persen, kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20 persen, pembiaran kekerasan 11 kasus (11 persen), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9 persen), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9 persen), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan empat kasus (4 persen).Dari temuan lapangan baik yang dihimpun Wahid Institut maupun Setara Institut menunjukkan kekerasan atas nama agama cenderung meningkat. Hal yang sangat disayangkan, pada banyak kejadian aparat negara absen dalam menindak pelaku kekerasan, selain ada faktor pendangkalan akan pemahaman agama yang utuh.Hal mendasar yang bisa ditanyakan dalam hal ini adalah, apakah kekerasan itu merupakan wujud pendangkalan dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran agama? Disebut pendangkalan sebab tidak ada nilai agama manapun yang mengajarkan kekerasan.Setiap agama mengajarkan hidup damai. Karena itu ketika terdapat kenyataan ada penganut agama tertentu yang lebih menyukai cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah identitas keagamaannya, dapat dikatakan telah terjadi pendangkalan cara beragama.Tanpa disadari, justru realitas ini menimbulkan potensi agama sebagai ruang yang mudah dimanipulasi demi kepentingan politik sesaat. Agama kerap digunakan sebagai instrumen untuk membakar emosi para pemeluknya. Meyer pun pernah mengingatkan kita bahwa agama memang mudah dimanipulasi demi kepentingan sesaat tergantung dari penafsiran yang ada.Hal itu tentu saja berbahaya jika elite politik, misalnya, menggunakannya demi alasan kekuasaan dan penguasaan sumber daya alam. Banyak penyebab kekerasan di kalangan penganut agama, misalnya manipulasi agama untuk tujuan politik atau tujuan lain, diskriminasi berlandaskan etnis atau agama, serta perpecahan dan ketegangan sosial.Krisis MaknaPelaku kekerasan adalah manusia-manusia yang dicirikan oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan dalam komunitasnya. Kekerasan terjadi karena krisis makna dalam diri manusia. Ketika merasa diri mereka tak bermakna, ego mereka pun mengecil dan panik. Di situlah tindakan kekerasan potensial diledakkan.Agama direduksi ke dalam pemaknaan yang amat sempit. Dalil agama seolah mengabsahkan perusakan dan pembunuhan, tanpa pernah mengangkat dalil lain bahwa tujuan utama beragama adalah memperoleh kedamaian.Pemahaman agama secara miopik dan dangkal seperti itu disebarkan terus-menerus untuk mendidik manusia bahwa kebenaran agama tersimpan dalam perilaku di luar kemanusiaan.Pertanyaan yang dikandung dalam kenyataan di atas, mengapa sebagian orang mudah tertarik dalam pemahaman sempit seperti itu? Mengapa agama lebih mudah dijadikan sebagai aspirasi daripada inspirasi dalam kehidupan ini?Pemahaman agama yang terjerembab dalam lubang kegelapan seperti itu memiliki konsekuensi logis, yakni sulitnya orang keluar dari pemahaman radikal yang menganggap agama sebagai satu-satunya pembenaran untuk melancarkan teror dan kekerasan.Mereka yang sudah berada di dalamnya sulit diajak berkomunikasi. Cara berkehidupannya pun sangat eksklusif. Mereka seolah hidup sendiri di dunia penuh warna ini. Kesadaran toleransinya tertutup rapat oleh tebalnya “keimanan” dan keyakinan paling benar sendiri di antara lainnya.Karena demikian, maka apa yang ada di dalam otak mereka adalah membasmi orang-orang di luar yang tidak berpemahaman sama dengan dirinya. Dalam kondisi demikian, agama mendapatkan citra yang sangat buruk dan tidak manusiawi karena diperankan dalam ruang yang sangat eksklusif dan hanya untuk golongan tertentu, bukan untuk kebaikan umat manusia.Dalam konteks seperti inilah Meyer menegaskan bahwa agama sangat mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik picik sempit atau sekadar alat pembenaran kekerasan. Padahal, dalam hal kekerasan, tentu saja teks kitab suci harus dilihat sesuai konteksnya, khususnya di masa lampau.Tak disangkal bahwa dalam teks kitab suci sering ditemukan nilai “kekerasan” dan seolah-olah membenarkannya. Tapi, tanpa kacamata pandang progresif masa kini, nilai tersebut justru kontradiktif bila diterapkan begitu saja tanpa diimbangi dengan penafsiran kebutuhan masa kini.Penafsiran tekstualitas agama secara sempit cenderung melegalkan seolah-olah kekerasan dibenarkan. Tetapi, tentu saja kita harus melihat konteks sosial budaya pada zaman lalu dalam konteks situasi politik, kebudayaan dan ekonomi. Keadaan masa lalu tentu amat beda dengan masa sekarang.Penafsiran teks kitab suci di masa kini justru membantu bagaimana cara beragama kita lebih rasional, toleran, peka, terbuka dan tidak membuat orang beriman menjadi picik dan mudah ditipu oleh alasan perjuangan keagamaan.Dalam situasi itu dapat kita rasakan dewasa ini agama makin kehilangan wajah kemanusiaannya. Pada titik inilah kita sering kehabisan akal untuk memahami rasionalitas tindakan suci yang dijadikan pembenaran dari kekerasan dan pembantaian itu.Hal yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan secara mendasar agar umat beragama tidak mudah tertipu dengan janji surga; agar agama kembali menjadi inspirasi batin berkehidupan dan bukan merupakan aspirasi politik yang penuh dengan aroma busuk kekuasaan.Sebagai inspirasi batin, agama berusaha membebaskan manusia dari kuasa kegelapan yang destruktif, juga dari kejahatan atas nama kesucian. ● -
Ambang Batas Nikmat Pejabat
Ambang Batas Nikmat PejabatJ. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSISSumber : KOMPAS, 24 Januari 2012Ciri dari kebinatangan adalahhilangnya akal sehat dan rasa malu.Tengoklah perilaku para penyelenggara negara.(Yudi Latif, ”Republika”, Rabu, 18 Januari 2012)Kegeraman masyarakat terhadap perilaku penyelenggara negara dapat diwakili kutipan di atas. Intinya mereka mengekstrak budget negara demi menuruti hasrat kenikmatan, mulai dari transaksi pasal hingga rencana membangun lapangan futsal dan membeli pewangi ruangan yang nilainya miliaran rupiah. Tidak ada jaminan mereka akan menghentikan menghamburkan uang rakyat untuk mengejar rasa nyaman. Memang sejumlah anggota DPR keras menentang, tetapi jumlah dan tindakannya tidak signifikan sehingga tenggelam dalam arus besar hasrat hedonis rekan-rekan mereka. Mudah-mudahan sikap mereka bukan juga bagian permainan politik canggih untuk sekadar menghibur masyarakat.Ungkapan kejengkelan lain yang selaras dengan perasaan publik adalah karikatur di harian ini, 7 Januari 2012. Makhluk mirip manusia, buruk rupa, bersayap, dan bertanduk, yang biasa menggambarkan iblis atau setan berdoa, ”Ya Tuhan, saya mohon pensiun saja karena tugas saya di negeri ini sudah diambil alih para pejabat.” Tentu bukan semua pejabat, melainkan mungkin karena jumlah pejabat yang mirip setan lebih dominan daripada yang mirip malaikat, makhluk berwajah buruk bersujud minta berhenti berdinas.April 2011, kekesalan masyarakat juga diwakili para seniman yang melukis Gedung DPR layaknya sebuah WC umum. Hampir semua media memberitakan aksi itu. Inilah yang mungkin memberikan inspirasi para aktivis muda menuntut agar BPK mengaudit proyek siluman DPR. Mereka membawa spanduk bertuliskan ”Jamban DPR jangan membebani rakyat” (Kompas, 16 Januari 2012).Kegusaran masyarakat karena produk kebijakan para penikmat kekuasaan justru menghasilkan regulasi yang membuat rakyat kena azab. Nikmat dan azab pun berjalan secara beriringan. Terjadi korelasi yang positif: semakin tinggi tingkat perburuan kenikmatan, semakin tinggi pula tingkat azab yang dialami masyarakat. Padahal, tingkat kepuasan nikmat elite politik batasnya langit.Perburuan kenikmatan para hedonis dan epikuris, meski menuai hujatan masyarakat, tampaknya akan berlanjut. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan kritik-kritik yang sangat tajam meskipun daya kritik publik hampir melampaui ambang batas kesabaran masyarakat. Gejala tersebut muncul dalam bentuk aksi-aksi massa yang kadang-kadang melibatkan ribuan warga, baik yang terdiri atas petani, buruh, mahasiswa, masyarakat pada umumnya, maupun kepala desa.Akhir-akhir ini perilaku penikmat kekuasaan menunjukkan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Mereka bukan lagi tidak mempunyai rasa malu, bahkan sudah menunjukkan tanda-tanda tidak lagi merasa kasihan dengan kesengsaraan rakyat. Inilah kebengisan yang sangat kejam. Semula sebagian masyarakat menganggap para pejabat mengalami semacam gangguan kejiwaan yang disebut pribadi terbelah (split personality).Tandanya, murah senyum, santun, dan ramah, tetapi bersamaan dengan itu pula perilaku koruptifnya membuat rakyat sangat menderita. Namun, belakangan gangguan kejiwaan tersebut dikhawatirkan lebih parah karena mungkin mereka justru menikmati kesengsaraan rakyat. Menikmati menyaksikan orang di sekitarnya mengalami kesusahan. Mungkin fenomena tersebut dalam psikologi sosial disebut psychology of hedonism. Ambang batas kenikmatan mereka bukan lagi kenikmatan ragawi, melainkan sudah menyusup alam bawah sadar mereka.Mereka justru mengalami sensasi rasa nyaman pada saat mendengarkan kitik, keluhan, kegelisahan, dan penderitaan masyarakat. Maka, senyum dan keramahan mereka adalah ungkapan kepuasan karena telah berhasil membuat orang lain susah. Lebih-lebih mereka mungkin juga menyadari para pengkritik dan masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa. Paling-paling rakyat hanya dapat berteriak, merobohkan pagar, pasang tenda di depan Gedung DPR, menjahit mulut, atau membakar diri.Mereka mungkin juga tahu, betapapun publik marah, rakyat tidak bersedia menghentikan proses pelembagaan demokrasi. Rakyat ingin agar proses pelembagaan pergantian kekuasaan dilakukan dengan adil, damai, dan beradab. Namun, tampaknya sikap mulia masyarakat justru dibayar dengan air tuba sehingga membuat rakyat geram.Kalau konstatasi tersebut benar, tetapi mudah-mudahan salah, sikap mereka benar-benar amat bengis. Mereka bukan lagi tidak memihak rakyat, melainkan cenderung sudah membenci rakyat. Inilah bibit-bibit munculnya gerakan radikal dan revolusioner. Penguasa benci terhadap rakyat dan oleh karena itu menikmati kesengsaraan rakyat. Mungkin kita dapat berkaca pada awal Revolusi Perancis, Raja Louis XVI bersama anggota keluarganya berdiri di balkon menyebar roti yang diperebutkan rakyat yang kelaparan. Rakyat rela menukarkan kematian dengan secuil roti. Akhirnya raja tersebut tumbang dan dihukum mati.Mungkin terlalu naif contoh tersebut. Namun, gerakan revolusioner di negeri ini juga bukan barang aneh. Oleh karena itu, demi menyelamatkan bangsa dan negara, cukuplah petualangan mengejar kenikmatan. Sadarlah, batas ambang hedonisme telah melampaui kesabaran dan daya tahan rakyat. Enough is enough. Sudah cukup ”Yang Mulia”, kembalilah ke ribaan rakyat. ● -
Disiplin Budaya Ilmu Pengetahuan
Disiplin Budaya Ilmu PengetahuanDaoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNESumber : KOMPAS, 24 Januari 2012Kompas telah menurunkan tajuk (10/1) yang langsung membangkitkan kenangan indah selagi saya belajar di Sorbonne, Perancis. Tajuk ini membahas buah pikiran kimiawan Ilya Prigogine, peraih Nobel 1977, demi pemahaman keadaan Indonesia yang mengkhawatirkan dewasa ini.Pemikiran teoretisnya tentang ”struktur disipatif”, creation of order through disorder, telah dielaborasi oleh sosiolog Edgar Morin jadi suatu metode berpikir antisipatif tentang (perkembangan) sesuatu kejadian: dari ”tata tertib” (order) ke ”kekacauan” (disorder) ke ”interaksi” dan ke ”tata tertib kembali” (organisasi).Perbuatan sosiolog ini kiranya mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh matematikawan Laplace terhadap karya Newton tentang alam semesta. Dia menciptakan rumus-rumus matematika canggih sebagai penjelasan nalariah mengenai hal-hal yang belum terjelaskan Newton dengan alasan ”invisible hand”. Dengan rumusan matematikanya, Laplace mampu membilang tiap keadaan masa datang dan masa lalu dalam sistem alam semesta.Dia menunjukkan karyanya kepada Napoleon. Setelah mempelajarinya, sang Kaisar menanyakan mana kehadiran Tuhan, pencipta alam semesta ini. Laplace menjawab dengan ungkapan, yang kemudian menjadi begitu ”historis”, berbunyi: Sire, je n’ai pas besoin de cet hypothese—Tuhan, saya tidak memerlukan hipotesis itu.Saya pernah bertanya kepada Abdus Salam, fisikawan Pakistan, bagaimana pendapatnya tentang ungkapan ini. Dari jawabannya tentang hubungan antara kesalehan dan nalar (akal), saya simpulkan bahwa tak menyebut Tuhan dalam usaha merumuskan hukum alam bukan berarti tak beriman, justru karena mengagumi Sang Pencipta alam secara ex-nihilo. Setelah saya kembali ke Tanah Air, Abdus Salam meraih Nobel Fisika pada 1979.Pembelajaran SejarahTajuk rencana Kompas menyatakan betapa pemikiran Ilya Prigogine merupakan suatu jembatan antara ilmu eksakta dengan ilmu sosial. Memang benar. Penjembatanan ini berupa suatu pembelajaran baru ilmu pengetahuan yang pernah dibahas Ortega Y Gasset, filosof Spanyol, awal abad XX. Dia adalah—menurut Albert Camus, peraih Nobel Sastra 1957 dari Perancis—penulis terbesar Eropa sesudah Nietzsche. Pembelajaran baru ini adalah pengkajian ilmu fisika selaku ”disiplin kebudayaan” di samping sebagai ”disiplin ilmiah”. Peruntukan ganda ini mengingatkan adanya perbedaan antara suatu ”disiplin kebudayaan” yang secara vital terkait pada hidup dan kehidupan dan the corresponding ”disiplin ilmiah” yang mengasuh ”disiplin kebudayaan” tadi.Fisika dan metode kerja keilmuannya merupakan salah satu instrumen esensial dari berpikir dan berpenalaran modern. Ia adalah ciptaan yang diwarisi oleh seluruh humanitas. Ke dalam ilmu pengetahuan yang satu ini telah dipompakan disiplin intelektual selama hampir lima abad. Kajian fisika selaku ”disiplin kebudayaan” berusaha menggali ide vital yang dikandung doktrinnya tanpa terlalu menonjolkan teknikalitas khas (matematika canggih) dari penalaran fisika.Doktrin fisika terkait erat dengan konsep manusia tentang Tuhan, ketuhanan dan masyarakat, tentang materi dan bukan-materi, bersama dengan semua esensial lain untuk suatu kehidupan yang mencerahkan. Melalui pemaparan asas-asas fisika dan penelusurannya, dapat dijelaskan jalannya evolusi historis dari asas-asas tersebut.Ide itu dikatakan ”vital” karena ia adalah persepsi kita, makhluk manusia, menjalankan dan mengatur hidup kita. Jadi, ia merupakan seperangkat keyakinan hidup, sebuah katalog dari pendirian aktif kita tentang natur dunia kita beserta sesama makhluk yang mendiaminya, keyakinan mengenai hierarki dari nilai sesuatu. Adapun sistem nilai yang dihayati, per definisi, adalah kebudayaan.Ide vital mengenai hidup dan bagi kehidupan serta dunia yang diciptakan disiplin ilmiah jadi kian jelas melalui pemaparan tentang gerakan-gerakan besar dari sejarah yang telah mengantar humanitas kepemisahan jalan-jalan kehidupan selama ini. ”Disiplin kebudayaan” dari ilmu sejarah bisa membantu pengembangan penilaian manusia karena ia menunjuk rangkaian kasus pengambilan keputusan di saat-saat krusial atau apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin dalam kondisi tertentu.Machiavelli dan Bismarck menyimpulkannya sebagai pembelajaran sejarah. Bukankah Bung Karno juga cenderung berpikir begitu dengan mengatakan ”jas merah”, jangan melupakan sejarah. Jenderal Vo Nguyen Giap mampu memimpin pasukannya mengusir Perancis dan Amerika dari Vietnam dengan pembelajaran ilmu sejarah selaku ”disiplin kebudayaan”. Di zaman kolonial, dia guru sejarah sekolah menengah di Saigon dan tak pernah dapat pendidikan formal kemiliteran. Kepiawaian berperang diperoleh dari mempelajari kiat berperang Napoleon dan Jomini, marsekal kesayangan sang Kaisar.Diskusi yang MencerahkanDiskusi interaktif dalam kelas selalu lebih meriah dan mencerahkan jika kuliah mengenai ”disiplin kebudayaan” dari sesuatu ilmu pengetahuan karena diikuti oleh lebih banyak mahasiswa dari aneka disiplin spesialis, lebih-lebih kalau dipandu oleh Prof Edgar Morin. Dia sangat meminati gejala multidimensional dan bukan disiplin yang membelah satu dimensi dalam gejala ini. Menurut dia, segala yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Jadi, penting bahwa aspek-aspek tersebut tidak dipisah-pisah, tetapi bergabung menuju visi poliokuler. Artinya, orang menyiapkan diri menjadi ”a specialist in the construction of the whole”, suatu kualitas yang diniscayakan bagi pemimpin, terutama di bidang ketatanegaraan dan politik.Tak jarang diskusi dilanjutkan para mahasiwa di klub-klub studi, di trotoar kafe-kafe yang bertebaran di sekitar Sorbonne. Keunikan diskusi lanjutan ini adalah bahwa ia bisa diikuti siapa saja, termasuk turis yang sedang lewat, hanya bermodal secangkir kopi sebagai sewa kursi. Kalau cuaca sedang baik, diskusi kadang dilakukan di Taman Luxembourgi yang berlokasi tidak jauh dari Sorbonne. Para peserta diskusi duduk atau tiduran di rumput, tanpa bayaran.Suatu ketika diskusi di taman ini berupa ”disiplin kebudayaan” dari ilmu biologi. Seperti biasa, ada saja orang-orang yang bukan mahasiswa turut bicara. Salah seorang di antaranya sangat mengesankan karena pembahasannya teratur, betul-betul mengena dan bermutu, tentang apa-apa yang sedang didiskusikan. Bahasa Perancisnya lancar dan sesekali, kelihatan tanpa disengaja, telontar ungkapan dalam kata-kata Belanda. Saya terpaksa menerjemahkannya ke bahasa Perancis untuk teman-teman mahasiswa.Agak lama dia turut berdiskusi, kemudian pergi begitu saja. Para mahasiswa tak peduli karena orang boleh datang dan pergi sesuka hati. Diskusi berjalan terus. Setelah bubar, salah seorang peserta asing, bukan mahasiswa, mengatakan bahwa orang yang sangat mengesankan itu adalah seorang guru besar dari Universite Libre di Brussel, Belgia, dan sedang didesas-desuskan sebagai salah seorang calon laureat Nobel, bernama Ilya Prigogine. ● -
Dekadensi Moral Bahayakan Negara
Dekadensi Moral Bahayakan NegaraSiswono Yudo Husodo, KETUA YAYASAN UNIVERSITAS PANCASILASumber : KOMPAS, 24 Januari 2012Awal tahun adalah waktu tepat untuk introspeksi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejauh ini banyak kemajuan yang layak kita syukuri, tetapi banyak juga kemunduran yang berpotensi menghancurkan apa yang sudah dicapai.Sebagai masyarakat kita kian berorientasi jangka pendek, pragmatis, dan transaksional oleh komersialisasi berlebihan, hedonis, dan individualistis. Berkembang pula eksklusivisme dan primordialisme, nilai-nilai patriotisme cenderung ditinggalkan. Proses diabaikan dan lebih mementingkan hasil akhir, yang demi tujuan menghalalkan segala cara.Korupsi dan suap berlangsung besar-besaran di berbagai lembaga pemerintahan, termasuk yang seharusnya menjadi penegak hukum. Pungutan pajak/retribusi tak resmi jauh lebih besar dibandingkan dengan yang resmi. Maka, moralitas di segala bidang pun merosot.Di masyarakat yang seperti itu, jujur semakin dianggap bodoh; lembut dan santun dianggap penakut. Yang bermain di panggung sosial, politik, ekonomi, dan hukum adalah kebrutalan.Kita berharap pada era reformasi akan muncul generasi yang lebih bersih, tetapi kenyataannya sangat memprihatinkan. Di pengadilan orang-orang muda di bawah 40 tahun terungkap melakukan megakorupsi.Politik uang (money politics) marak pada banyak proses politik. Rumah ibadah dan organisasi keagamaan sebagai tempat pembinaan moral banyak jumlahnya, tetapi yang menyimpang juga tidak kurang.Meluruskan kembali semua itu tidak mudah karena berkembangnya sikap ”menjadi koruptor bukan lagi sesuatu yang memalukan”. Di pengadilan, koruptor bisa lebih galak daripada yang mengadili, bahkan mampu tertawa dan melambaikan tangan. Di negara beradab, mereka malu dan menutupi mukanya, bahkan mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun bunuh diri karena malu terungkap korupsi. Setelah selesai dipenjara, koruptor kita membentuk forum mantan narapidana. Ironisnya, mereka mendapat akses luas ke media massa dan kalau dermawan dihormati masyarakat melebihi pekerja sosial yang jujur.Penyimpangan DilindungiBerkembang sikap melindungi pelaku penyimpangan. Muncul pula model kepemimpinan yang mengutamakan pencitraan dan mengalahkan prestasi kerja. Di mana-mana lebih menonjol foto pejabatnya daripada publikasi program pemerintah. Dalam hadis, Rasulullah menyatakan, ”Kebaikan seseorang yang paling disukai Allah SWT adalah justru perbuatan baik yang tidak diketahui orang lain.”Juga berkembang budaya lempar tanggung jawab. Kasus sebesar runtuhnya jembatan atau tabrakan kereta api—yang kalau di negara lain segera ada pejabat yang mengaku bertanggung jawab dan mengundurkan diri karena malu—di Tanah Air kita justru saling lempar tanggung jawab. Budaya malu sudah hilang.Banyak elite politik di Tanah Air tidak menggunakan kekuasaan seperti yang diharapkan dalam sistem politik modern, yaitu untuk mendatangkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat, tetapi lebih untuk kepentingan pribadi dan kelompok sendiri.Tahun 2012 ini, mendekati Pemilu 2014, saya khawatir udara politik akan semakin gaduh dan hiruk-pikuk oleh berbagai isu, tetapi tanpa makna, tanpa penuntasan, serta tanpa manfaat bagi bangsa dan negara. Sebutlah kasus Bank Century, suap pemilihan deputi gubernur BI, manipulasi surat MK, dan berbagai konflik sosial politik. Semua menguap tanpa mempertimbangkan nurani rakyat.Ada ketidakadilan yang lahir dari UU Penanaman Modal, UU Pertambangan, dan UU Perkebunan, yang membuat negara memfasilitasi perusahaan raksasa hingga menguasai lahan tambang dan kebun ribuan hektar. Mana partai politik yang tugas utamanya mengartikulasikan aspirasi rakyat dengan berinisiatif mengubah ketiga UU itu?Sebagai orang yang lama bergelut di dunia bisnis, pemerintahan, ataupun kemasyarakatan, saya memandang bahwa salah satu kelemahan mencolok bangsa kita adalah kurangnya integritas para individu yang memegang posisi kunci.Ke depan, kita perlu segera membangun perpolitikan dengan politisi yang berkarakter, penuh sensitivitas dan integritas, yang memiliki strategi dan program jauh ke depan untuk bangsa dan negara. Bukan membiarkan rakyat mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Meningkatnya sepeda motor di jalan, khususnya di Jakarta, adalah upaya rakyat mengatasi sendiri masalah transportasi karena pemerintah tak menyediakan sarana transportasi yang murah, mudah, dan aman.Namun, memilih politisi bersih juga tidak mudah selama rakyat pemilih bersikap transaksional karena tokoh bersih tidak memiliki cukup uang. Maka, yang terjadi adalah begitu terpilih menjadi gubernur, bupati, wali kota, 150 di antaranya tersangkut korupsi karena harus mengembalikan dana yang dipakai.Sesungguhnya para pemimpin politik bertanggung jawab untuk mewariskan negara dan bangsa yang lebih baik kepada generasi berikutnya. Tirulah Presiden Barack Obama dari Amerika Serikat yang berjanji untuk membangun AS dan menyerahkan kepada generasi berikutnya dengan kondisi AS yang lebih baik.Tidak ada negara bangsa yang bisa maju tanpa ketertiban dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Instrumen penjaga ketertiban yang paling baik adalah hukum yang berdasarkan keadilan dan kebenaran, dengan dukungan norma, integritas, etika, dan moral.Sikap memaklumi terjadinya kemerosotan kepatuhan hukum, moral, dan etika karena alasan masih masa transisi reformasi harus diakhiri. Masa transisi reformasi telah berlangsung lebih dari 12 tahun, itu sudah lebih dari cukup. Sekarang kita memasuki tahap konsolidasi yang memerlukan ”revolusi mental”.Perubahan MendasarRevolusi mental dalam arti perubahan mendasar dalam sikap mental (bukan struktur, prosedur, dan sistem) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Revolusi mental, seperti pada revolusi yang umum terjadi, datang dari kesadaran umum.Maka, di samping penguatan Pengadilan Tipikor dan KPK untuk memburu koruptor, Densus 88 perlu diperkuat untuk memburu teroris dan pembubaran ormas-ormas yang anarkistis. Hukuman mati perlu diterapkan kepada koruptor besar dan teroris dan tanpa remisi. Perlu instrumen hukum pembuktian terbalik agar orang dapat mempertanggungjawabkan kekayaannya. Namun, revolusi mental akan efektif jika rakyat tidak permisif.Revolusi mental juga membangun kemampuan melihat jangka panjang, menggusur kecenderungan saat ini yang selalu berorientasi jangka pendek.Melalui revolusi mental diharapkan dalam waktu yang cepat akan muncul masyarakat dan para pejabat yang jujur, patuh hukum, berintegritas yang malu berbuat hal tidak wajar, amanah, bertanggung jawab, percaya diri, dan bersikap sederhana.Sikap-sikap unggul itu sebenarnya telah cukup berakar dalam nilai-nilai lama budaya tradisional kita. Hukum yang tegas berdasarkan kebenaran dan keadilan bersama masyarakat yang tidak permisif terhadap penyimpangan serta berani memberi sanksi sosial akan melestarikan budaya unggul tersebut. ● -
Pelayan Masyarakat Versus Penguasa
Pelayan Masyarakat Versus PenguasaKurnia J.R., SASTRAWANSumber : KOMPAS, 24 Januari 2012Ada kamus untuk membantu kita menerjemahkan istilah public servant. Namun, seperti biasa, dalam keseharian kita justru terasing dari makna bahasa baku.Kita bahkan lebih kerap menerapkan arti yang berlawanan untuk status yang seharusnya disandang. Konsep ”pelayan masy arakat” atau ”abdi masyarakat” sebagai padanan istilah asing di atas tak diadopsi pemerintah.Rezim Orde Baru memiliki istilah yang sepintas lalu terdengar simpatik: abdi negara, tetapi sejarah menunjukkan bahwa negara dalam frase itu menemukan konteksnya dalam ucapan Raja Louis XIV, ”L’etat c’est moi.” Negara adalah aku. Jadi, abdi negara sama artinya dengan abdi sang pemimpin rezim.Sampai saat ini, mayoritas pejabat publik kita tampil layaknya penguasa atas wilayah dan seisinya. Kepala pemerintahan tak sungkan bicara soal kenaikan gajinya. Mobil dinas para menteri mewah, tidak serasi dengan kehidupan sebagian terbesar rakyat yang morat-marit. Kantor kepala daerah sampai level kepala desa laksana keraton raja-raja kecil pada zaman pra-Republik.Telinga mereka tersumbat. Yang didengarkan hanya curahan hati sendiri atau pujian para punggawa dan kawula. Protes, keluh, dan jerit tangis rakyat ditanggapi oleh aparat bersenjata.Tak usah heran jika belakangan ini rakyat semakin mudah mengamuk. Lantaran unjuk rasa yang beradab dan ”ikut aturan” dianggap tidak efektif, massa demonstran dari golongan terpelajar sampai rakyat jelata kerap merusak fasilitas umum dalam setiap aksi protes.Di Pekanbaru, pengunjuk rasa mengobrak-abrik tanaman hias di tengah kota. Di Jakarta, sekelompok pemrotes peraturan daerah tentang minuman keras melempari Kantor Kementerian Dalam Negeri dengan batu. Pagar megah Gedung DPR, wujud ironi keberadaan wakil rakyat di muka masyarakat, selalu jadi sasaran kekesalan demonstran.Eskalasi kemurkaan publik mengindikasikan kian tulinya pemerintah. Seakan-akan telah berdiri tembok besar yang membendung gelora rakyat yang ingin menyuarakan aspirasi kepada para penanggung jawab negara. Para koruptor yang tengah diadili selalu berkilah—demi keringanan hukuman atas diri mereka—bah – wa Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, tetapi mereka yang melarat dan tergusur tahu persis tidak ada hukum di rimba belantara bernama Republik Indonesia.Masyarakat tak berdaya negeri ini diduduki segelintir orang bertingkah feodalistis hasil pemilu yang dilakukan secara langsung.Mayoritas pejabat pemerintah pusat yang berkedudukan di Ibu Kota tampaknya menganggap Indonesia hanya seluas Jakarta.Itu sebabnya mereka tak ngeh apa yang terjadi di tanah perbatasan. Mereka juga tak berempati pada derita rakyat di pojok-pojok negeri yang diteror pencemaran limbah industri dan perampasan lahan tempat hidup mereka oleh pemodal raksasa yang menyalahgunakan hak guna lahan.Rakyat DicampakkanPara kepala daerah bersikap serupa. Indonesia hanya seluas daerah masing-masing. Itu sebabnya saat Wali Kota Solo Joko Widodo memamerkan mobil karya siswa SMK, beberapa kepala daerah berkomentar kurang simpatik, lalu membanggakan SMK di daerah masing-masing, seakan-akan ada persaingan negatif antardaerah. Karena itu, jika kelak berkecambah bibit perpecahan NKRI di level rakyat jelata, para pemimpin daerah model begitulah biang keladinya.Sebagai penguasa, para pejabat publik tidak memperlakukan negeri ini dan penduduknya sebagai tanggung jawab yang harus dikelola, dilindungi, dan difasilitasi untuk mencapai kesejahteraan, melainkan sebagai hak milik yang dieksploitasi demi kepentingan pribadi. Mereka tidak merasa bersalah ketika memanipulasi peraturan dan UU untuk memperkaya diri sendiri.Hutan dan kandungan bumi Indonesia digadaikan dengan murah. Akibatnya, penduduk setempat tergusur, kehilangan sumber nafkah, dan terlunta-lunta di tanah kelahiran mereka. Ketika menyuarakan protes, mereka berhadapan dengan tinju, sepatu, dan peluru aparat yang tega menghabisi nyawa rakyat dan kehilangan empati pada tubuh- tubuh kerempeng.Penguasa juga tak peduli pada bangunan klasik bersejarah. Demi upeti mereka biarkan cagar budaya dibuldoser pemodal besar yang bernafsu membangun mal di mana-mana. Mereka tidak berpikir panjang tentang bagaimana generasi anak-cucu kelak berkaca manakala hendak menggali jejak sejarah dan artefak budaya yang pernah memperindah kepribadian bangsa ini.Sama halnya dengan mayoritas anggota parlemen pusat dan daerah. Tingkah mereka bagai penguasa yang leluasa memboroskan uang pajak. Mereka asyik bersolek di ruang kerja tanpa peduli di luar pagar mereka, rakyat kehilangan tempat tinggal dan kelaparan. Yang lebih berbahaya, setiap ungkapan kritis terhadap perilaku korup itu justru rentan dituduh sebagai tindakan pencemaran nama baik.Begitulah penguasa. Mereka mencampakkan istilah dan konsep dasar tata pemerintahan modern dan demokratis: public servant alias pelayan masyarakat.● -
Moralitas Hukum dan Cinta kepada Anak
Moralitas Hukum dan Cinta kepada AnakSudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGMSumber : KOMPAS, 24 Januari 2012Di tengah suasana kerja yang katanya ”tidak nyaman” karena toilet rusak dan ruang kerja pun sedang direhab dengan biaya Rp 20 miliar, DPR didesak oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak.Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, dengan adanya UU itu, setiap hakim dan penegak hukum tidak bisa lagi selalu beralasan dan bersembunyi bahwa ”tidak ada payung hukum untuk tidak melaksanakan restorative justice (keadilan restorasi)”.Bagus! Dilandasi prasangka baik, kita dukung upaya pembuatan UU Sistem Peradilan Anak (SPA) tersebut. Dari sudut pandang moralitas hukum, ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan. Pertama, dalam negara hukum, keberadaan sebuah UU memang penting agar kepastian hukum mudah ditegakkan. Akan tetapi, demi keadilan seorang anak, jangan terlalu berharap dengan adanya UU SPA, lantas sim salabim perlindungan anak terwujud. Hukum hanya pelengkap dan bukan tumpuan kehidupan.Kedua, RUU SPA—kalau nanti telah disahkan—hendaknya tetap dipahami sebagai teks. Teks itu merupakan hukum yang mati, dan akan hidup apabila diterima, dipatuhi, atau dijalankan oleh masyarakat. Berbagai faktor nantinya memengaruhi penerimaan UU SPA itu, seperti profesionalitas penegak hukum, dukungan masyarakat, tersedianya sarana-prasarana, dan budaya hukum yang mengitarinya. Faktor-faktor tersebut secara simultan wajib dibenahi agar keberadaan UU SPA tidak mubazir.Ketiga, jauh lebih penting dari sekadar teks, dibutuhkan sikap empati, peduli, cinta, dan kasih sayang kepada anak oleh semua pihak. Walau tidak kasatmata, dapat dinilai bahwa bobot adanya UU SPA lebih merupakan kebutuhan orang tua dan aparat penegak hukum, sementara bagi anak kebutuhannya adalah cinta dan kasih sayang.Pendekatan Kasih SayangKajian ilmiah dan religius telah menegaskan bahwa melalui gen yang mereka miliki, orangtua berpotensi mewariskan karakter kejiwaan (rohaniah) dan jasmaniah kepada anak-cucunya. Maka, pesan moral yang mesti diingat: kehatian-hatian menaburkan benih yang mengandung gen tersebut. Suasana batin bapak-ibu dalam ”berhubungan” pun perlu diusahakan dalam cinta dan kasih sayang karena hal demikian akan mewarnai karakter anak yang dilahirkannya.Moralitas hukum pun telah mengingatkan kepada kita bahwa pada satu sisi anak adalah ”hiasan hidup” dan ”sumber harapan”. Di sisi lain, apabila orangtua dan lingkungan serta sekolah lalai mendidiknya dengan benar, anak bisa menjadi ”musuh”. Betapa bahagia orangtua ketika anak-anaknya mampu melanjutkan generasi keturunannya dan sukses menggapai kehidupan dengan amal saleh.Itulah gambaran anak sebagai ”hiasan hidup”. Sebaliknya, alangkah nelangsa bila anak tumbuh berkembang jadi ”musuh”, berbuat nakal, jahat, ditangkap polisi, ataupun dipenjara. Duh Gusti, mugi tinebihno (jauhkanlah) dari hal demikian.Saya tergolong orang yang tak setuju dilakukan pemidanaan penjara terhadap anak yang melakukan ”kenakalan” walaupun itu dikatakan sebagai jalan terakhir. Keadilan restorasi, oleh karena itu, tak sepantasnya diukur dengan pemulihan ganti kerugian bagi korban ”kenakalan” dalam ukuran materi (kebendaan) atau uang, melainkan sikap dan perilaku kemanusiaan sebagai pengejawantahan cinta dan kasih sayang antarsesama warga masyarakat yang bersifat kekeluargaan. Masyarakat, dalam konteks keberagaman budaya hukum, saya yakin masih memiliki kearifan lokal dalam menghadapi ”anak nakal” itu. Sebaiknya kearifan lokal tersebut didayagunakan secara maksimal.Kiranya, tanpa harus menunggu terwujudnya UU SPA, perlindungan anak harus sudah dimulai saat ini. Dimulai dengan cara pemberian cinta dan kasih sayang orangtua, keluarga, teman bermain (peer group), lingkungan, dan sekolah. Tak kalah penting, polisi pun perlu mengubah cara/metode penanganan ”kenakalan” anak: dari pendekatan hukum menjadi pendekatan cinta dan kasih sayang. ● -
Pergantian Direksi yang Sangat Bising
Pergantian Direksi yang Sangat BisingDahlan Iskan, MENTERI BUMNSumber : JAWA POS, 24 Januari 2012BISING!Itulah satu kata yang bisa menggambarkan dengan tepat setiap akan terjadi penggantian direksi di sebuah perusahaan BUMN. Di antara yang bising-bising itu, yang paling berisik ada dua: proses pergantian direksi di 15 perusahaan perkebunan dan satu perusahaan telekomunikasi.Memang, masa jabatan direksi di 15 perusahaan perkebunan BUMN segera berakhir. Demikian juga di Telkom. Persiapan penggantian direksi pun harus dilakukan. Maka, terjadilah apa yang terjadi sekarang ini, hari-hari ini, Perang Baratayudha! Calon yang diperkirakan akan menjadi direktur utama dihancur-hancurkan. Lewat SMS maupun kasak-kasuk. Mereka itu harus digulingkan. Kalau perlu sekalian menterinya!
Beredar pula susunan direksi baru di beberapa BUMN yang katanya sudah direstui menteri atau deputi atau DPP berbagai partai. Kalau membaca susunan direksi itu, seolah-olah sudah seperti yang sebenar-benarnya. Beredar pula daftar riwayat hidup banyak orang yang dipuji-puji dengan hebatnya. Merekalah yang dijamin pasti berhasil menjadi direktur atau direktur utama.
Kebisingan itu bertambah-tambah karena setiap orang juga melobi kanan-kiri, atas-bawah, muka-belakang. Termasuk melobi teman-teman dekat saya. Juga melobi adik saya yang hidup sederhana di rumah Perumnas di Madiun. SMS saya pun penuh dengan lalu lintas maki-maki dan puji-puji.
Melihat dan merasakan semua kebisingan itu, saya teringat kejadian beberapa tahun lalu. Yakni ketika terjadi pembunuhan yang latar belakangnya hanya ingin jadi direktur utama anak perusahaan BUMN. Bayangkan. Baru rebutan jadi direktur anak perusahaan saja sudah sampai terjadi pembunuhan. Sampai melibatkan pejabat negara yang begitu tingginya. Apalagi yang ini rebutan bapak perusahaan.
Menyaksikan riuhnya suasana, saya mengambil kesimpulan: saya harus menjauhkan diri dari bisikan pihak mana pun. Saya tidak boleh mendengarkan omongan, SMS, surat, telepon, serta segala macam bentuk rayuan dan makian. Saya ingin berkonsentrasi pada menemukan orang yang memenuhi kriteria yang sudah saya umumkan secara luas: integritas dan antusias. Saya tidak lagi memasukkan unsur kompetensi dan kepandaian. Semua calon untuk level seperti itu pasti sudah kompeten dan pandai.
Sebelum menemukan mereka itu, saya harus menemukan dulu orang yang layak saya dengarkan pandangannya. Yakni orang yang tahu soal perkebunan, yang tahu orang-orang di lingkungan perkebunan, dan orang itu harus memiliki integritas yang bisa diandalkan.
Dari orang seperti itulah, saya akan banyak mendengar. Cara seperti ini juga saya lakukan di PLN dulu. Ketika saya ditunjuk untuk menjadi direktur utama PLN dan saya diberi wewenang untuk memilih siapa saja yang akan duduk di tim saya sebagai direktur PLN, saya mencari dulu satu orang yang integritasnya dikenal baik di lingkungan atas PLN. Kepada orang itulah, saya banyak berkonsultasi dan dari orang itulah saya banyak mendengarkan. Mengapa saya memilih jalan itu? Itu saya lakukan karena saya belajar dari pengalaman panjang: Orang yang integritasnya baik biasanya juga akan memilih orang yang integritasnya baik.
Mengapa?
Saya merasakan di BUMN itu terjadi kecenderungan seperti ini: Orang yang integritasnya baik biasanya merasa jadi minoritas di lingkungannya. Orang yang integritasnya baik biasanya merasa termarginalkan di lingkungannya. Karena itu, kalau dia diberi kesempatan untuk bisa mengusulkan seseorang menduduki jabatan strategis, secara manusiawi dia akan mencari teman yang sama baik integritasnya. Dia akan terdorong untuk berusaha memperbanyak orang-orang yang berintegritas tinggi di lingkungannya. Dia bercita-cita untuk tidak menjadi minoritas lagi.Kalau di dalam satu board of director mayoritas direksinya sudah memiliki integritas yang tinggi, hasilnya akan luar biasa banyak: direksi itu akan kompak dalam bekerja, tidak akan ada saling curiga, program-program bisa dipilih yang paling bermanfaat untuk perusahaan (bukan yang bermanfaat untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya), keputusan bisa diambil dengan cepat, lebih berani menolak intervensi, dan yang paling penting mereka akan menyusun tim untuk tingkat di bawahnya dengan cara memilih orang-orang yang integritasnya juga baik. Kalau semua lapisan paling atas dan lapisan di bawahnya sudah sama-sama memiliki integritas yang tinggi, perusahaan akan maju, lestari, dan kultur perusahaan pun akan terbentuk dengan kukuhnya.
Untungnya, dalam proses penyusunan direksi baru perkebunan ini, saya bisa segera menemukan orang yang paling pantas saya dengar pandangannya. Dengan demikian, saya tidak terlalu lama terombang-ambing di tengah kebisingan itu. Terima kasih, Tuhan!
Orang yang saya maksud itu tergolong orang dalam perkebunan. Kebetulan, namanya mirip dengan nama saya: Dahlan Harahap. Beliau saat ini masih menjabat direktur utama PTPN IV di Medan. Perkebunan kelapa sawitnya maju pesat. Perusahaannya berkembang kukuh. Uang cash-nya saja lebih dari Rp 1 triliun. Beliau juga dikenal sebagai orang yang integritasnya sangat baik. Tahan godaan: uang maupun politik.
Posisi beliau juga sangat netral karena satu alasan ini: bertekad tidak akan mau lagi menjabat direktur BUMN. Dia sudah bersumpah di depan Tuhan untuk berhenti sebagai direktur BUMN. Sudah cukup, katanya. Dengan sikapnya yang seperti itu, pandangannya tentu lebih jernih. Tidak ada agenda yang terselubung. Tidak ada keinginan yang tersembunyi -kecuali untuk kemajuan dan integritas BUMN.
Saya pun menemui beliau dengan dua tujuan. Pertama, saya ingin merayu agar mau duduk lagi sebagai direktur BUMN. Bahkan bisa naik menjadi direktur utama holdingperusahaan perkebunan seluruh Indonesia. Tetapi, usaha saya ini gagal. Beliau tetap teguh pada tekadnya untuk berhenti sebagai direktur di BUMN. Apakah akan bekerja di perkebunan swasta? Tidak. Beliau ingin mengurus kewajibannya kepada Tuhan!
Setelah gagal merayu beliau, barulah saya menjalankan misi yang kedua. Saya minta pandangan yang objektif tentang orang-orang di seluruh perusahaan perkebunan milik BUMN. Saya semakin respek karena sepanjang pembicaraan itu, beliau sama sekali tidak mau menyebut kekurangan apalagi cacat satu orang pun. Beliau sama sekali tidak mau mengemukakan sisi negatif dari siapa pun di lingkungan perkebunan. Tentu, saya juga tidak mau menanyakan sisi-sisi negatif itu. Saya hanya ingin fokus mencari siapa yang terbaik-terbaik di antara yang ada.
Dari pandangan-pandangannya, saya bangga bahwa di BUMN masih ada orang seperti Dahlan Harahap. Juga seperti Murtaqi Syamsuddin di PLN. Tentu, saya juga memuji orang seperti Karen Agustiawan, direktur utama Pertamina. Seharusnya, dia berangkat untuk menghadiri pertemuan besar Davos di Eropa. Tetapi, karena akan ada acara BUMN yang penting, Karen membatalkan keberangkatannya. Saya bangga atas sikapnya ini: mengurus perusahaan lebih penting daripada menghadiri pertemuan sebesar Davos sekalipun!
Beberapa direktur utama bank BUMN saya lihat juga memiliki integritas yang tinggi. Demikian juga orang seperti Ignasius Jonan, Dirut PT KAI. Saya sungguh berharap akan melihat lebih banyak lagi orang-orang seperti beliau-beliau itu. Integritas dan antusias.
Saya pun berdoa siang-malam untuk segera menemukan orang yang layak saya dengar pandangannya untuk Telkom yang kini lagi bising-bisingnya.
Ini penting karena misi memperbanyak orang dengan integritas tinggi di BUMN adalah keniscayaan. Sangat berbahaya kalau BUMN jatuh ke tangan orang yang integritasnya diragukan. BUMN harus menjadi senjata kedua bagi presiden untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi seperti yang dijanjikan kepada rakyat dalam masa kampanye dulu. Senjata pertamanya adalah APBN.
Di saat swasta masih belum tertarik ke pembangunan infrastruktur besar-besaran, BUMN harus mengambil peran itu. Di saat para pengusaha swasta bersikap wait and see akibat gejolak ekonomi di USA dan Eropa, BUMN harus firmuntuk menjalankan seluruh ekspansinya dan melakukan investasi besar-besaran. Bahkan, di saat seperti ini, keberanian melakukan investasi harus menjadi salah satu KPI (Key Performance Indicator) direksi BUMN.
Sungguh wajar dalam setiap terjadi gejolak ekonomi, pihak swasta bersikap hati-hati. Lalu bersikap tunggu dulu. Maka, dalam situasi seperti ini, sikap firmBUMN diperlukan untuk memberikan rasa percaya diri yang tinggi. Kalau di satu pihak swasta lagi ragu-ragu dan bersikap wait and see sedangkan di pihak lain BUMN tidak firm, perekonomian akan terganggu. Tetapi, kalau swasta melihat BUMN terus bekerja dan berinvestasi, keragu-raguan itu akan berkurang.
Tentu, sangat sulit mengharapkan sebuah BUMN bisa firm dan bertindak cepat kalau di antara direksinya tidak kompak. Karena itu, saya dan dewan komisaris di semua BUMN akan terus memonitor kekompakan ini. Semua direksi yang hebat-hebat pun tidak akan banyak gunanya kalau tidak padu. Dia hanya akan seperti soto enak yang dicampur dengan rawon enak.
Apa boleh buat. Sementara pergantian direksi di 15 perusahaan perkebunan itu masih dalam proses, kebisingan yang sangat tinggi masih akan terus terjadi. Dan saya harus tabah mendengarkannya. Untungnya, sesekali ada hiburan dari orang seperti Nazaruddin.
● -
Inpres dan Jalan Buntu Pemberantasan Korupsi
Inpres dan Jalan Buntu Pemberantasan KorupsiBambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI DARI FRAKSI PARTAI GOLKARSumber : SINDO, 24 Januari 2012Kalau terus-menerus hanya mengandalkan instruksi presiden (inpres) dan imbauan, pemberantasan korupsi akan menemui jalan buntu. Inpres dan imbauan Presiden sudah kehilangan efektivitasnya.Keberanian dan kemauan politik Presiden menjadi satu-satunya faktor penentu. Inpres hanya akan menjadi dokumen tak bernilai jika tidak dilaksanakan. Pun akan menjadi bahan olok-olok manakala implementasinya tidak diawasi. Apalagi jika tidak ada monitoring progres. Masalahnya bisa menjadi semakin runyam kalau pemberi instruksi lepas tangan sebab merasa sudah cukup melaksanakan kewajibannya hanya dengan menerbitkan inpres dimaksud. Apakahinpresitudilaksanakan atau tidak, si pemberi instruksi merasa bukan lagi urusannya. Kalau hal ini yang terjadi, bangsa ini layak prihatin.Begitu juga dengan imbauan. Bagaimana pun terlalu menyederhanakan persoalan jika seorang pemimpin hanya membuat imbauan untuk mengatasi sebuah persoalan akut lagi sistemik. Namanya juga imbauan.Buat pendengar, imbauan itu boleh dituruti, boleh juga tidak dipatuhi.Apakah para koruptor mau mendengar imbauan yang meminta mereka berhenti mencuri uang negara? Bagi oknum birokrat negara yang berperilaku korup, imbauan seperti tak perlu didengar. Bahkan hanya menjadi bahan tertawaan.
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pemerintah 2012 baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak seluruh jajaran pemerintahan mencegah dan memberantas korupsi anggaran negara. Presiden juga minta BPK, KPK, serta BPKP bekerja sama menyelamatkan uang negara. Imbauan atau ajakan tadi tampaknya menjadi tindak lanjut dari Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012. Harap dicamkan bahwa inpres terbaru ini merupakan lanjutan Inpres No 9/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2011.
Wapres Boediono mendeskripsikan Inpres 17/2011 dengan kalimat berikut ini; “Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012 isinya substantif, bukan basa-basi.” Dalam dua inpres ini, pemerintah mengimplementasikan enam strategi sesuai rekomendasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Masalahnya kemudian, apakah dua inpres tadi bisa dan akan dilaksanakan dengan konsisten? Kalau semua institusi terkait diminta berkoordinasi, bagaimana mekanismenya? Siapa komandannya? Pertanyaan- pertanyaan ini relevan diajukan mengingat inpres itu tidak memberi peran kepada Kejaksaan Agung dan Polri.
Pelaksanaan Inpres No 17/2011 harus belajar dari pencapaian Inpres No 9/2011. Jangan-jangan, pelaksanaan Inpres No 9/2011 belum pernah dievaluasi. Boleh jadi, pencapaian Inpres No 9/2011 begitu memprihatinkan sehingga diperlukan Inpres No 17/2011. Di penghujung 2011, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengungkapkan, jumlah kasus korupsi yang ditangani Polri sepanjang 2011 meningkat cukup tinggi.Kalau per 2010 Polri hanya menangani 585 kasus, per 2011 jumlahnya melonjak mencapai 1.323 kasus.Kenaikannya terbilang sangat tinggi, 55,78%.
Kesimpulannya, kinerja pemberantasan korupsi sangat mengecewakan. Tidak mengherankan jika survei Lembaga Survei Indonesia (LSI ) menunjukkan anjloknya kepercayaan publik kepada pemerintah. Hingga Desember 2011, kepercayaan publik menurun menjadi 44% dari bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 52%.
Kebuntuan
Semua kalangan mencatat, selain menerbitkan Inpres Pemberantasan Korupsi, Presiden juga sering mengumandangkan imbauan. Indikator dari Kapolri tadi, plus hasil survei LSI, membuktikan bahwa Inpres Pemberantasan Korupsi dan imbauan presiden sudah tidak efektif lagi. Kalau rencana aksi pemberantasan korupsi masih ingin dilanjutkan, harus dicari pendekatan baru yang lebih efektif.Inpres No 17/2011 boleh diterjemahkan sebagai keinginan Presiden meningkatkan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.Namun,aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi itu butuh kepemimpinan yang kuat, berani, dan independen. Tidak sebatas pidato atau wacana, tapi juga harus dengan aksi nyata, tanpa pandang bulu. Mengingat korupsi di negara ini sudah mengakar, kalau perlu pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukanmelaluioperasirahasia atau tertutup. Dengan pendekatan rahasia dan tertutup, tidak diperlukan lagi pidato atau wacana.
Rakyat tahu bahwa memberantas korupsi itu bukan pekerjaanyangsulit- sulitamat.Kalau ada keberanian dan kemauan politik, korupsi bisa diperangi sampai ke akar-akarnya. Maka, yang belum dipahami rakyat adalah mengapa pemerintah belum juga menunjukkan serta mengimplementasikan keberanian dan kemauan politik untuk memerangi korupsi. Selamainirakyathanya mendengar pidato yang mewacanakan pemberantasan korupsi.Wacana ini digemakan berulang-ulang.Tetapi, tak pernah ada aksi yang menunjukkan kesungguhan memerangi korupsi.
Beberapa elemen masyarakat sudah merasa bosan dengan wacana pemberantasan korupsi. Mereka sudah tidak peduli lagi karena berasumsi tak ada lagi yang bisa dipercaya di negara ini.Mereka mengacu pada keterlibatan sejumlah oknum penegak hukum dalam sejumlah kasus korupsi.Apalagi dalam periode terdahulu oknum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diduga tidak bersih. Jadi wacana pemberantasan korupsi yang sering dikumandangkan para elite itu hanya dilihat sebagai sandiwara. Apa yang terjadi sekarang ini tak lain kebuntuan pemberantasan korupsi.
Publik sering bertanya di mana ‘kubur’ skandal Bank Century? Mengapa pemerintah tidak tertarik menuntaskan kasus mafia pajak? Pertanyaan seperti ini lebih bermakna sebagai gugatan publik atas kebuntuan proses hukum kasuskasus korupsi berskala besar. Jadi, inpres saja tidak cukup. Inpres Pemberantasan Korupsi belum mampu memecah kebuntuan.Dia pun bukan jaminan setiap kasus korupsi akan ditangani sebagaimana seharusnya. Bagaimana mungkin birokrasi yang korup mau melaksanakan inpres itu.
Kalau hanya mengandalkan inpres dan imbauan, publik bisa berasumsi Presiden berpura- pura tidak tahu kekuatan industri korupsi yang sudah sekian lama dibangun para oknum birokrat. Niat mencegah dan memberantas korupsi di negara ini harus ditunjukkan dengan kemauan politik yang konsisten, dan didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan berani. Tentu saja jangan berselingkuh dengan para koruptor. Kalau terjadi perselingkuhan, yang tampak di permukaan adalah saling sandera antara oknum penguasa dan koruptor.
Selain kepentingan, saling sandera juga menjadi penyebab lain terjadi kebuntuan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika ingin Inpres Pemberantasan Korupsi dilaksanakan, Presiden harus proaktif mengamati progres. Dengan menerbitkan inpres, tugas Presiden belum selesai. Dia harus memastikan inpresnya dilaksanakan. Manakala pelaksanaan inpres mengalami kebuntuan, Presidenlah yang berinisiatif memecah kebuntuan itu agar publik tidak melihat Inpres Pemberantasan Korupsi itu sebagai sebuah kepura-puraan.
●