Blog

  • Anatomi Politik Tionghoa (108)

    Anatomi Politik Tionghoa
    Christianto Wibisono, CEO GLOBAL NEXUS INSTITUTE
    Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
    Daniel Johan, calon legislator dari PKB DKI Jakarta 2009 dan sekarang anggota staf khusus Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, menulis kolom di Kompas (21/1) dengan identitas Direktur Institute of National Leadership and Public Policy.
    Kolom itu renungan kontemplatif tentang makna Imlek di Tahun Naga Air dengan tema ”Menanti Pemimpin Tegas dan Berani”. Indonesia memiliki segala potensi menjadi ”Naga Asia” yang dikagumi bangsa-bangsa di dunia. Namun, itu semua akan terwujud jika bangsa ini punya pemimpin tegas dan berani. Kepemimpinan seperti itulah yang ditunggu rakyat dan sejarah.
    Pada hari yang sama, Hermawi Taslim, yang menyebut diri mewakili Komunitas Glodok, menyatakan dalam diskusi Warung Daun Cikini bahwa etnisitas Tionghoa kecewa berat kepada SBY dan Partai Demokrat pasti akan merosot tajam pada Pemilu 2014.
    Selaku pengamat sejarah politik Indonesia, saya menyambut positif debat, dialog, dan diskusi tentang politik sepanjang tak menimbulkan disharmoni karena generalisasi dan eksploitasi politik partisan.
    Benang merah sejarah keterlibatan politik warga Tionghoa sejak perjuangan kemerdekaan hingga Orde Reformasi adalah bahwa keturunan Tionghoa itu plural, bukan satu tribal monolit. Ini penting supaya ada penjernihan pikiran untuk tak menggebyah-uyah seluruh keturunan Tionghoa dengan stigma economic animal dan tidak patriot.
    Empat dari 62 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah Oei Tjong Hauw, putra pendiri Oei Tiong Ham Concern, konglomerat pertama di Asia Tenggara; Liem Koen Hian, Ketua Partai Tionghoa Indonesia; Tan Eng Hoa, Ketua Waroengbond Tionghoa; dan Oei Tiang Tjoei, Ketua Hoo Hap Hwee Kwan, ormas sosial budaya. BPUPKI membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Yap Tjwan Bing sebagai satu dari 21 anggota.
    Berisiko
    Elite politik Indonesia berisiko menjadi tahanan politik. Namun, bagi Tionghoa risikonya lebih berat karena faktor rasisme. Bung Karno, Sutan Sjahrir, Mohamad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Amir Sjarifuddin korban perang saudara atau tahanan politik.
    Beban elite Tionghoa lebih berat. Liem Koen Hian ditahan oleh Kabinet Sukiman hingga frustrasi dan kecewa berat menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Yap Tjwan Bing cedera pada aksi rasis 10 Mei 1963 sehingga ia hijrah ke San Francisco, tetapi di hari tuanya kembali dan wafat di Indonesia.
    Putri saya mengalami rasisme dalam the rape of Jakarta, Mei 1998, sehingga keluarga saya hijrah ke Washington DC. Seluruh tokoh kiri Tionghoa, mulai dari PKI, Baperki, sampai Sukarnois, menjadi tapol rezim Soeharto. Namun, seperti juga warga Indonesia yang lain berideologi kiri komunis, sosialis, nasionalis, dan islamis, keturunan Tionghoa juga bukan suatu tribal monolit.
    Dua menteri dari kabinet Sutan Sjahrir III (2 Oktober 1946-3 Juli 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-29 Januari 1948) adalah tokoh Partai Sosialis: Tan Po Goan dan Siauw Giok Tjhan. Siauw kemudian menjadi ketua Baperki dan menjadi tapol korban G30S.
    Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1956), Ong Eng Die dari PNI menjadi menteri keuangan dan Lie Kiat Teng alias Mohamad Ali menjadi menteri kesehatan dari PSII. Dalam kurun ini pluralitas Tionghoa tecermin dari polemik antara Auwjong Peng Koen (PK Ojong) yang menulis di majalah Star Weekly dan Ong Eng Die, menteri yang Tionghoa.
    Setelah Pemilu 1955 justru tak ada menteri Tionghoa dalam kabinet. Uniknya, baru setelah meledak peristiwa rasialis Bandung 10 Mei 1963, Oei Tjoe Tat yang tokoh Baperki dan Partindo diangkat menjadi menteri negara diperbantukan Presidium Kabinet pada 13 November 1963. Bung Karno mengangkat Oei Tjoe Tat dan Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong, mantan fo- tografer istana harian Duta Masyarakat, organ resmi NU, sebagai menteri.
    Tan Kiem Liong menggebrak dengan pengampunan pajak 1964, pemutihan dana pajak masyarakat untuk pendapatan negara. Sementara David G Cheng, arsitek perancang menara Bung Karno, dijadikan menteri cipta karya di lingkungan Pekerjaan Umum. Setelah kabinet terakhir Bung Karno dilikuidasi oleh Soeharto, sejak 29 Maret 1966 tak pernah ada menteri Tionghoa dalam kabinet Soeharto.
    Baru pada saat kepepet Soeharto nekat mengangkat kroninya, Bob Hasan alias The Kian Seng, menjadi menteri perindustrian dan perdagangan yang hanya dua bulan (Maret-21 Mei 1998). Habibie tak mengangkat menteri Tionghoa, tetapi menunjuk James Riady sebagai salah satu Utusan Khusus Presiden untuk AS. Saya batal dilantik jadi anggota MPR oleh Presiden BJ Habibie karena mendampingi putri saya ke AS.
    Apakah peran Tionghoa dalam politik punah pada era Soeharto oleh pembubaran PKI, Baperki?
    Nyaris punah, tetapi justru perbedaan dalam tubuh masyarakat Tionghoa sama dengan perbedaan dalam tubuh seluruh masyarakat Indonesia: tak memusnahkan peranan Tionghoa sebagai individu. Namun, memang hanya beberapa gelintir yang aktif berpolitik.
    Meski tak menjabat menteri, Harry Tjan Silalahi kepada Soeharto tak kalah dengan Oei Tjoe Tat kepada Bung Karno. Sama-sama pembisik, tetapi Harry melakukannya melalui Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Setelah Benny Moerdani berani mempertanyakan bisnis putra-putri Cendana, barulah Soeharto naik pitam dan mencuekkan CSIS yang di dalamnya tersua Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi sebagai pelobi politik dan pengusaha penyandang dana yang sangat efektif.
    Liem Sioe Liong mengganti konglomerat Oei Tiong Ham menjadi konglomerat baru Indonesia. Sejarah terulang saat Soeharto tersinggung dengan ”arogansi” William Soeryadjaya ketika Soeharto minta konglomerat menyisihkan saham untuk koperasi. Bank Summa bangkrut selain karena kegagalan Edward Soeryadjaya mengelola, juga karena BI menolak menyelamatkan.
    Setelah reformasi, iklim liberal justru menguak perbedaan elite Tionghoa, baik secara personal maupun ideologi. Perpecahan dalam organisasi pengusaha Tionghoa berebut legitimasi, bahkan sempat meledak jadi adu jotos dalam rapat yang diadakan untuk mengampanyekan Indonesia sebagai tuan rumah World Chinese Entrepreneurs Convention. Akibatnya, Indonesia gagal menjadi tuan rumah WCEC.
    Saya ingin mengingatkan politisi Tionghoa bahwa Anda berkiprah sebagai individu untuk bangsa dan negara, bukan mendaku mewakili secara partisan seperti kritik PK Ojong bahwa Ong Eng Die adalah tokoh PNI dan bukan mewakili Tionghoa.
    Silakan memihak atau mengkritik presiden petahana karena itu hak asasi warga negara. Namun, jangan mengklaim mewakili seluruh etnisitas Tionghoa karena Tionghoa bukan tribal monolit, melainkan plural dan berhak meluruskan posisi petahana secara rasional.
  • ISI, ISBI, dan Karakter Bangsa

    ISI, ISBI, dan Karakter Bangsa
    Bakdi Soemanto, PENGAJAR S-2 ISI SURAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
    ISI yang ada akan diberi tugas tambahan. Tak hanya mengurusi kesenian, juga mengurusi kebudayaan. ISBI cakupannya lebih luas lagi.
    Inilah pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh (Kompas, 4/1) terkait kebijakan pemerintah yang akan mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). Pernyataan ini mengagetkan banyak pihak, terutama para rektor ISI di seluruh Indonesia.
    Dalam benak saya muncul pertanyaan: apa yang terjadi dengan negeri ini? Kementerian Dalam Negeri hingga ini belum bisa menuntaskan persoalan RUU Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menambah lagi masalah: ingin mengonversi ISI menjadi ISBI. Langkah awalnya pun boleh dikatakan arogan: tanpa mengajak berbicara dengan pimpinan ISI sebelum gagasan itu dikemukakan.
    Bermain Api
    Melihat reaksi para eksponen ISI ataupun para tokoh kesenian, sebagaimana diberitakan di Kompas (17/1), terbayang gagasan ini tidak dengan segera dapat dilihat hasilnya. Mohammad Nuh terlalu berani mengambil risiko: bermain api dengan seniman, komentar seorang pelukis di Yogyakarta. Seorang penyair perempuan yang berdiri di dekatnya menimpali, ”Jangan-jangan ada kesengajaan untuk memancing perdebatan berkepanjangan agar bisa menjadi alat untuk mengalihkan perhatian tentang hal-hal yang serius sekali: kesemrawutan tata kelola pemerintahan.”
    Dugaan semacam itu muncul karena urgensi dari gagasan perubahan itu tidak jelas. Tampak Mendikbud tak pernah turun ke lapangan dan menyaksikan bahwa yang lebih urgen dan yang lebih mendesak dalam hubungan dengan pendidikan seni malah tak terjamah.
    Sebagai orang yang pernah mengajar di Jurusan Teater ISI Yogyakarta, saya melihat dana pendukung pembelajaran di jurusan teater sangat jauh dari cukup. Dana itu, misalnya, untuk beli buku-buku, bahan membuat maket rancangan set pentas, bahan tata rias, dan kostum. Kini, sudah lumayan dengan adanya gedung tersendiri untuk pentas. Namun, panggungnya sangat menyedihkan. Tidak ada dana untuk pemeliharaan. Ketika mahasiswa mau menempuh ujian akhir dan mereka harus pentas, seluruh biaya ditanggung sendiri.
    Di ISI Surakarta, tempat saya mengajar, sarana dan prasana belajar juga belum memadai. Kalau mahasiswa ujian dan harus menyajikan karya, biaya harus mereka tanggung sendiri. Di antara karya mereka yang sudah puluhan untuk ujian akhir, banyak yang bisa disebut sebagai suprakarya alias masterpieces. Karena tak ada dana, suprakarya itu tidak bisa diproduksi ulang.
    Saya melihat, ketika mahasiswa—baik S-1 maupun S-2—memproduksi karya, sebuah peristiwa luar biasa penting terjadi. Mereka bekerja sama tanpa mendapat upah. Kebersamaan terjadi dengan sangat mengharukan. Tidakkah Bapak Menteri paham bahwa kebersamaan itu sangat penting sebagai salah satu pilar pembentukan karakter bangsa?
    Mereka tidak butuh lagi pendidikan gotong royong karena mereka telah melakukan dan mengalaminya dengan seribu kali lebih joss ketimbang saat saya kuliah atau menatar Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila alias P4 dulu. Nilai-nilai luhur warisan bangsa dengan sendirinya tergali ketika para rupawan membuat topeng Burisrawa atau Begawan Drona yang spesialis menjerumuskan orang.
    Kita dapat bayangkan ketika mahasiswa teater akan mementaskan lakon Dara Jingga karya Wisran Hadi yang berlatar Minangkabau. Kalau perlu, mereka memanggil ahli kebudayaan Minangkabau. Kalau mereka akan mementaskan Basah-basah Kapoyos yang berlatar belakang Manado, baik aktor maupun sutradara dan seluruh anak buah pentas, harus belajar budaya Manado.
    Mengapa demikian? Meski tak kuliah di jurusan sosiologi di Fisipol, setiap pekerja seni paham bahwa sebuah fenomena kesenian adalah produk masyarakat dan zamannya.
    Sadar akan hal ini, almarhum Rendra datang ke rumah saya di Solo, menengok perpustakaan almarhum ayah saya untuk studi apa yang terjadi di negeri Belanda pada masa pendudukan Nazi Jerman. Waktu itu, Rendra akan mementaskan Dode Klanken alias Suara-suara Mati karya Manuel van Logem. Lihat juga yang dilakukan Teguh Karya ketika membuat film 1828. Ia melakukan riset sangat serius.
    Menambah Masalah
    Jadi, memberikan kuliah sosiologi, antropologi, arkeologi, atau filsafat kepada mahasiswa seni tak akan efektif. Kuliah-kuliah itu hanya akan menjadi formalitas yang membosankan. Apalagi, jika dosen-dosennya tak paham kesenian, tetapi hanya konsep.
    Sejauh saya bergaul dengan para calon seniman, baik S-1 maupun S-2, sikap batin mereka sangat terbuka kepada banyak hal yang ada hubungannya dengan kebudayaan. Mereka membaca buku Koentjaraningrat, Geertz, Adorno, Foucault, Camus, Sartre, Gramsci, dan lain-lain.
    Negeri ini sudah terlalu banyak masalah tak terselesaikan. Tegakah kita menambah masalah lagi? Karakter bangsa macam apa yang kita harapkan?
  • Mengukuhkan Pluralisme

    Mengukuhkan Pluralisme
    Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR DI MUNTILAN, MAGELANG
    Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
    Pendidikan adalah ruang menumbuhkembangkan pribadi beradab. Ketika pendidikan ada dalam kepungan pengerdilan peradaban, kelas mesti menjadi ruang perjuangan untuk melahirkan pribadi beradab. Kelas menjadi arena perjuangan melahirkan anak bangsa yang pluralis dan nasionalis, pencinta sejati negeri ini.
    Tulisan Hasibullah Satrawi berjudul ”Radikalisasi Tunas Muda” (Kompas, 31/12/2011) terus meneguhkan penulis untuk menjadikan kelas arena perjuangan. Anak-anak yang hadir di kelas tak boleh terus dibiarkan hidup sebagai gerombolan dengan sejumlah paham radikal dan eksklusif dengan segala luka dan curiga yang meringkihkan bangunan negeri ini. Mereka harus dipisahkan dari gerombolan hingga menjadi pribadi pluralis.
    Pluralisme adalah takdir tak terbantahkan dalam kehidupan ini. Keberlangsungan hidup segala ciptaan meniscayakan relasi dengan ciptaan lain (”Mengubah Paradigma Pendidikan Agama”, Kompas, 13/1). Keniscayaan ini bukan hanya dalam konteks agama dan lingkup Indonesia, melainkan juga dalam konteks dan lingkup lebih luas. Keterbukaan untuk berelasi dan membangun jejaring hidup dengan liyan adalah keterampilan hidup yang sangat diperlukan dalam kehidupan yang bertakdir plural ini.
    Radikalisme, meski dibangun bersama massa sebesar apa pun, sejatinya membatasi, bahkan menyempitkan ruang kehidupan. Segala paham dan aksi radikalisme adalah tempurung kehidupan. Tragisnya, radikalisme dan eksklusivisme adalah tempurung kehidupan yang kian menyempit. Penghayatnya pun akhirnya menjadi pribadi kerdil karena menihilkan adab.
    Membongkar Tempurung
    Radikalisme sebagai tempurung pengerdil kehidupan sering terbangun dalam paham eksklusif. Membongkar tempurung radikalisme artinya melumerkan eksklusivisme.
    Pengalaman penulis, pemahaman yang eksklusif dan radikal pada sejumlah siswa terbangun karena informasi yang tunggal, sepihak, lagi sempit. Ini sebuah kebodohan. Gerakan radikalisme dan eksklusivisme kebodohan ini sengaja diciptakan dan dipermanenkan. Sesungguhnya ini bentuk kejahatan.
    Demi melumerkan kebekuan pemahaman eksklusif dan radikal, guru mesti menjadi teman dialog. Guru dan murid belajar bersama. Pembelajaran dalam dialog mengandaikan pencarian bersama. Hubungan guru dan murid setara. Langkah pertama dan utama adalah saling mengenal bangunan pemahaman dan persepsi. Pengenalan diupayakan dengan menyeluruh dan komprehensif dalam tinjauan beragam disiplin ilmu.
    Pengenalan bersama tentang pemahaman dan persepsi guru-murid itu seperti menegaskan peta hidup masing-masing. Pada tahap ini, dalam tinjauan sosial-budaya, sering kali penulis bersama para murid menemukan ruang ringkih dari konsep dan keyakinan (agama) kami masing-masing. Ruang ringkih ini menyadarkan bahwa radikalisme dan eksklusivisme ternyata hanya parsial kehidupan.
    Karena itu, radikalisme dan eksklusivisme sesungguhnya meringkihkan kehidupan yang sudah penuh keringkihan. Penemuan ruang ringkih ini membantu mencipta kesadaran perlunya liyan untuk membangun hidup lebih baik. Pada kesadaran ini, penulis memotivasi peserta didik untuk membangun jejaring hidup. Jejaring hidup akan membuat realitas hidup yang parsial menuju ke kesempurnaan.
    Ringkih itu Mengokohkan
    Agaknya kita perlu mempertimbangkan metode pembelajaran dengan penyadaran ruang 
    ringkih ini. Dalam kehidupan yang tertakdir plural, juga dalam tinjauan kehidupan sebagai produk sosial budaya di era globalisasi, kesadaran bersama akan keringkihan adalah titian niscaya membangun kehidupan kokoh.
    Keringkihan menyadarkan betapa pentingnya liyan. Liyan bukan musuh. Liyan justru anugerah cuma-cuma kehidupan dari Sang Pencipta. Keringkihan memang menyadarkan akan kehidupan yang merongga, kehidupan yang tak sempurna. Kesadaran hidup yang merongga sesungguhnya tahap mencipta undangan kehadiran liyan. Liyan adalah wahyu Ilahi yang membadan. Pada liyan manusia menjumpai Yang Ilahi dalam bahasa yang terjangkau. Karena itu, keringkihan adalah kemurahan hati sekaligus jalan kasih dari Sang Pencipta agar manusia mampu menggapai kesempurnaan.
    Jangan takut menyadarkan anak didik tentang ketidaksempurnaan hidup dengan segala keyakinannya selama ini. Kesadaran akan ketidaksempurnaan adalah keniscayaan untuk menggapai kesempurnaan. Kesadaran akan ketidaksempurnaan sejatinya adalah tanda kecerdasan manusia yang hidup di dunia yang plural dan mengglobal ini. Beranikah kita melakukannya?
  • Format Ulang Upah Buruh

    Format Ulang Upah Buruh
    Rekson Silaban, KETUA MPO KSBSI
    Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012
    Intensitas aksi unjuk rasa buruh yang menuntut kenaikan upah minimum meningkat tajam, baik dari skala massa maupun daerah yang terlibat.
    Konsolidasi buruh yang semakin kuat ditambah dengan jaringan media sosial membuat cerita sukses kemenangan buruh di satu daerah cepat menyebar dan ditiru daerah lain, bahkan dengan tuntutan kenaikan yang lebih tinggi. Kenaikan upah minimum di DKI Jakarta yang sebelumnya dianggap tertinggi (18,5 persen) kalah dengan kenaikan upah minimum 30 persen di Banten, Sulawesi Utara, Bekasi.
    Sekalipun tidak semua negara memiliki konsep upah minimum—seperti Malaysia, Singapura, Jerman—setidaknya ada tiga hal utama dalam menentukan upah.
    Pertama, upah minimum sebagai jaring pengaman sosial. Inilah respons pemerintah dalam melindungi buruh agar kebutuhannya yang paling dasar dapat terpenuhi. Dalam hal ini pemerintah menentukan harga minimal sehingga sekaligus juga berperan melindungi buruh dari kemungkinan dieksploitasi majikan. Dalam pendekatan ini, upah minimum terutama untuk melindungi kelompok buruh paling rentan, misalnya buruh tanpa keahlian, pensiunan lanjut usia, informal, dan usaha kecil/mikro.
    Kedua, upah minimum yang dipadukan dengan jaminan sosial. Sejumlah negara mengaitkan upah minimum dengan tunjangan keluarga, pensiun, pengangguran, perumahan, kesehatan. Namun, sistem ini sering menimbulkan tekanan fiskal terhadap anggaran negara. Maka, praktik ini umumnya hanya dilakukan oleh negara-negara kesejahteraan (welfare states).
    Ketiga, upah minimum bertingkat. Upah minimum dibedakan sesuai klasifikasi usaha. Misalnya, Vietnam membuat upah minimum yang berbeda antara perusahaan domestik dan perusahaan asing. Australia membuat tiga jenis: upah minimum federal, upah minimum pertanian, upah minimum lunak (soft assistance). Negara lain membedakan upah minimum berdasarkan usaha skala kecil/mikro dengan usaha skala besar.
    Sumber Masalah
    Munculnya konflik upah minimum di Indonesia salah satunya bersumber dari ketidakjelasan varian yang digunakan. Konsep upah minimum yang kita praktikkan saat ini sebenarnya adalah upah minimum jaring pengaman, setidaknya bisa dilihat dari 46 komponen upah minimum seperti tertuang dalam Kepmenaker No 17/2005. Kuantitas dan kualitas bahan makan, sandang, dan perumahan yang disediakan sangat minim.
    Upah minimum kita juga hanya ditujukan terhadap buruh lajang yang bekerja di bawah satu tahun. Dengan komponen seperti itu, adalah sebuah kesalahan jika menggunakan upah minimum jaring pengaman untuk menuntut upah hidup layak karena konsepnya memang hanya melindungi buruh rentan.
    Meski demikian, karena UU No 13/2003 mengamanatkan upah minimum untuk mencapai hidup layak, kalangan serikat buruh akhirnya menggunakan upah minimum sebagai alat menuntut hidup layak. Persoalannya adalah apakah buruh di Jakarta bisa hidup layak dengan upah Rp 1.529.000? Sesuai hasil survei dewan pengupahan, upah tersebut sudah sama dengan upah hidup layak.
    Apakah upah minimum melindungi semua buruh? Tidak! Upah minimum hanya melindungi minoritas buruh. Kenaikan upah minimum tentu saja penting. Sayangnya, cakupan upah minimum hanya untuk melindungi sebagian kecil buruh, yaitu buruh formal saja. Sementara angkatan kerja informal yang berjumlah 67 persen (70 juta orang) tidak memiliki perlindungan upah sama sekali. Dengan kata lain, buruh formal yang minoritas dilindungi, tetapi buruh informal yang mayoritas tidak dipikirkan.
    Selain itu, kenaikan upah minimum yang ditetapkan dewan pengupahan dengan metode survei dan pendekatan umum (tanpa memandang skala usaha, produktivitas), pasti menghasilkan rekomendasi upah yang tidak sesuai realitas perusahaan. Ini mendorong pengusaha tidak patuh dalam pembayaran upah dan mempekerjakan sedikit pekerja.
    Pengalaman menunjukkan, kenaikan upah yang terlalu tinggi di sektor industri kota akan menghambat perekrutan tenaga kerja di sektor tersebut, tetapi meningkatkan lapangan kerja di sektor pertanian dan informal. Efek kenaikan tajam upah minimum tanpa mengaitkannya dengan produktivitas juga meningkatkan ketidakpatuhan.
    Berdasarkan laporan Bank Dunia Juni 2010, ketidakpatuhan pembayaran upah minimum tahun 2007 sudah mencapai 40 persen. Jadi, dari jumlah buruh formal 33 juta, hanya 19 juta buruh yang terlindungi pemerintah, sedangkan 85 juta angkatan kerja lain tidak mendapat perlindungan. Inilah salah satu jawaban, mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi ternyata tidak berdampak pada penurunan angka pengangguran dan kemiskinan rakyat.
    Dua Jenis Upah
    Tidak ada jalan lain. Pemerintah Indonesia harus segera mereformasi sistem pengupahan sekarang dengan menetapkan dua jenis upah: upah minimum jaring pengaman dan upah hidup layak.
    Upah minimum ditujukan untuk melindungi buruh rentan, sementara untuk mencapai hidup layak perlu upah hidup kayak yang besarnya di atas upah minimum. Komponen upah hidup layak bisa ditambah sesuai definisi hidup layak.
    Upah minimum direkomendasikan oleh dewan tripartit kabupaten/kota, sementara upah hidup layak dirundingkan secara bipartit di masing-masing perusahaan. Cakupan upah minimum akan lebih tinggi karena semua buruh rentan, termasuk informal, buruh harian lepas, pekerja rumah tangga, buruh tani dan nelayan, dicakup dalam aturan baru ini.
    Format upah hidup layak nantinya akan lebih realistis dibandingkan dengan konsep saat ini karena tuntutan buruh akan diselaraskan dengan kondisi perusahaan. Yang lebih penting lagi, format baru ini akan sulit dipolitisasi karena buruh tidak lagi beraksi pada tingkat kabupaten/kota. Buruh pun akan menimbang-nimbang dulu sebelum beraksi karena ada rasa kepemilikan terhadap kelangsungan usaha. Tinggal bagaimana membangun perundingan upah bipartit ini lewat kejujuran dan transparansi keuangan perusahaan.
    Yang juga penting diperhatikan adalah adanya korelasi positif antara keberadaan serikat buruh dan perbaikan upah. Sesuai studi Organisasi Buruh Internasional (ILO), upah buruh akan lebih baik ketika buruh memiliki serikat. Riset Bank Dunia mengonfirmasi fakta ini dengan menyebutkan upah buruh akan 18 persen lebih tinggi di perusahaan yang ada serikat buruhnya. Para buruh juga berpeluang lebih besar menerima tunjangan non-upah, seperti uang pesangon, pelatihan, pensiun, dan bonus, jika dibandingkan dengan buruh tanpa serikat.
    Semua itu terjadi sebagai akibat adanya perjanjian kerja bersama antara serikat buruh dan majikan. Jadi, keberadaan serikat buruh sangat penting di luar mekanisme perlindungan negara karena lebih efektif dalam melindungi hak-hak buruh. Itu sebabnya di negara yang kebijakannya ramah terhadap buruh (labor friendly policy), konflik buruh sangat rendah, upah lebih baik, dan ketimpangan upah juga rendah.
    Terakhir, pemerintah perlu memperbaiki pengawasan ketenagakerjaan, penegakan hukum, mengurangi biaya siluman, dan mencegah sikap antiserikat buruh.
  • Diskriminasi Harga dan BBM

    Diskriminasi Harga dan BBM
    Prijono Tjiptoherijanto, GURU BESAR TETAP BIDANG EKONOMI SDM PADA UNIVERSITAS INDONESIA, ASISTEN MENTERI SEKRETARIS NEGARA 1999-2000
    Sumber : JAWA POS, 25 Januari 2012
    DISKRIMINASIharga merupakan suatu cara menjual suatu barang yang sama atau identik dengan harga yang berbeda untuk konsumen yang berbeda dan di tempat yang berlainan pula.

    Kebijakan diskriminasi itu hanya dapat dilakukan bilamana ketersediaan informasi tidak merata (asymmetric information), letak konsumen berjauhan, dan segmentasi pasar berbeda. Dengan begitu, seorang konsumen tidak mungkin berkomunikasi dengan pembeli lain.

    Ataupun kalau masih mungkin mendapatkan informasi yang lengkap dan seimbang, faktor jarak menjadi pertimbangan. Belum lagi faktor kenyamanan bagi kelompok konsumen tertentu. Pendeknya, banyak persyaratan yang perlu dipenuhi sebelum suatu diskriminasi harga diberlakukan.

    Rencana penjualan BBM bersubsidi untuk konsumen tertentu pada dasarnya berhubungan dengan kebijakan diskriminasi harga. Kosmumen diberi pilihan harga berbeda untuk barang yang sama. Premium yang seharusnya dikonsumsi oleh semua pihak itu sekarang dibatasi hanya untuk sekelompok konsumen.

    Apabila keadilan yang ingin ditegakkan, subsidi diberikan kepada semua kalangan, tanpa perkecualian. Pilihan yang lain, tidak diberikan subsidi sama sekali seperti yang dilaksanakan negara-negara lain sehingga harga jual sesuai dengan biaya produksi. Mungkin itu tidak populer, tetapi lebih adil.

    Hiruk pikuk penggantian BBM yang akan diberlakukan pada 1 April bisa jadi semacam ”April Mop” yang pelaksanaannya dimajukan. Hanya karena banyak wakil menteri (Wamen) yang berlatar belakang akademis, tetapi belum memiliki pengalaman birokrasi, banyak usul baru yang ”sahih” secara ilmu pengetahuan, namun pasti akan menyulitkan dalam pelaksanaan.

    Hal itu bukan hanya terjadi di bidang energi dan sumber daya mineral (ESDM); tetapi mungkin juga pada bidang dan institusi lain. Oleh karena itu, bila pada waktu pertama diperkenalkan jabatan Wamen yang harus diisi pejabat setingkat eselon IA dan memiliki pangkat IVE, itu sudah sesuai dengan aturan.

    Hanya karena tekanan politik dan keinginan tertentu, semua peraturan diabaikan dan bahkan dibuatkan aturan baru. Akibat dari semua itu akan dirasakan birokrasi pemerintahan pada 2012 ini, saat seharusnya pemerintah lebih berfokus kepada penyelesaian persoalan dan bukan membuat masalah baru. Apa lagi bila tahun 2013 depan hiruk pikuk politik akan mengganggu kelancaran pelaksanaan program-program pemerintah.

    Diskriminasi harga juga sering terjadi dalam perdagangan luar negeri. Penerapan dumping juga didasarkan kepada perbedaan harga yang dikenakan terhadap konsumen di negara yang berbeda. Hanya, apabila suatu negara ketahuan melakukan dumping terhadap negara lain, bisa dilakukan tindakan balasan. Upaya reciprocalatau tindakan balasan itu yang dikhawatirkan dalam tata perdagangan internasional. Oleh karena itu, kebijakan dumping sedapat mungkin dihindari.

    Itu berbeda dengan diskriminasi harga yang hanya dapat dilakukan dalam suatu pasar yang berbentuk monopoli. Karena penerapan harga BBM memang merupakan monopoli pemerintah, pemerintah bisa menetakkan harga sesuai dengan keinginan. Mudah-mudahan kebijakan itu memang bertujuan efisiensi dan memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Bukan sekadar anjuran pihak lain, kepentingan politik, ataupun popularitas untuk mengukuhkan keabsahan jabatan yang memang rentan dari sudut pandang peraturan.

    Pengalihan konsumsi premium menjadi gas elpiji dan pembatasan penggunaan solar pada 2013 depan memang cukup menyakinkan secara teori. Dalam kehidupan nyata, suatu teori yang selalu dikemukakan berdasar pada asumsi agak sulit dilaksanakan. Sebab, dunia nyata berjalan tanpa ada asumsi.

    Oleh karena itu, pengalaman dan wawasan dalam menghadapi kenyataan sehari-hari harus dimiliki setiap pejabat publik. Juga bukan bersandar kepada penelitian dan hasil dari negara lain yang berbeda budaya serta pandangan hidup masyarakatnya. Hal-hal kecil yang perlu menjadi pertimbangan sebelum selalu mengkaitkan dengan pengalaman negara lain.

    Diskriminasi harga mungkin dilakukan untuk barang-barang yang bukan kebutuhan pokok seperti BBM. Untuk barang konsumsi tinggi, barang mewah, kebijakan semacam itu bisa diterima. Apabila menyangkut barang esensial bagi kehidupan masyarakat luas, perlu pertimbangan lebih dalam.

    Langkah yang paling baik adalah meniadakan subsidi, yang berarti harga premium naik. Kalau memang perlu dilakukan, tidak harus melalui telewicara dan wawancara di media massa yang pada ujungnya memang kenaikan harga premium merupakan pilihan terbaik. Mengapa senang berwacana untuk suatu pilihan yang sederhana?

    Dunia nyata bukan panggung akademis yang penuh dengan diskusi. Masyarakat bukan kumpulan mahasiswa yang harus menderita untuk penerapan suatu teori yang belum tentu dapat dipraktikkan.

  • Kegagalan Transformasi Struktural Ekonomi

    Kegagalan Transformasi Struktural Ekonomi
    Khudori, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),
    ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014),
    PENULIS BUKU “IRONI NEGERI BERAS”
    Sumber : SINDO, 25 Januari 2012
    Hasil pembangunan ekonomi dapat diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100% dengan jumlah nilai nominal bisa berubah dari waktu ke waktu. Kue itu dikerjakan 100% tenaga kerja yang jumlah nominalnya juga berubah dari waktu ke waktu.
    Secara makro, kue terdiri atas dua lapis: lapis pertama pertanian, lapis kedua industri. Lapis kue pertanian hasil kerja para petani,danlapiskueindustriadalah hasil kerja sektor industri. Perubahan proporsi kue, yaitu proporsi lapis pertanian mengecil di satu pihak dan lapis industri membesar di pihak lain, yang jumlahnya 100%, dalam ilmu ekonomi dinamai perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural.

    Sesuai perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri. Pertanyaannya, apakah di Indonesia terjadi transformasi struktural ekonomi? Menurut kalkulasi Pakpahan (2004), dalam periode 1960–2000-an setiap penurunan 1% PDB pertanian Indonesia di dalam PDB nasional hanya diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5%.

    Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan: setiap penurunan pangsa PDB pertanian 1% di dalam PDB nasional, pangsa tenaga kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kalinya. Hal serupa juga dicapai Malaysia dan Thailand. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa industrialisasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan pemiskinan sektor pertanian.Industrialisasi di Indonesia adalah industrialisasi yang memeras petani.

    Industrialisasi semacam ini adalah industrialisasi yang bebannya ditaruh di pundak petani. Mereka harus memikul beban industrialisasi. Bagaimana mungkin petani memikul beban industrialisasi? Kondisi itu sangat mungkin terjadi apabila yang terjadi adalah industrialisasi semu (pseudo- industrialization) atau industrialisasi prematur. Industrialisasi semacam ini dicirikan oleh, antara lain, penurunan pangsa nilai PDB pertanian tidak diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja dibidang pertanian.

    Pertambahan te-naga kerja baru hanya mengalir ke sektor pertanian, bukan ke sektor industri. Ketika tapak lahan semakin berkurang karena konversi,sementara tenaga kerja baru terus mengalir ke sektor pertanian, maka terjadilah fenomena kelangkaan: kelangkaan lahan. Involusi pertanian yang tecermin pada kelangkaan lahan akan diiringi konflik.Menurut Komnas HAM, sengketa lahan menempati angka pelanggaran HAM tertinggi dibanding kasus lain.

    Pada rentang Januari– Oktober 2011 tercatat 603 kasus, naik 20,56% dari tahun 2010 (479 kasus). Sepanjang Orde Baru terjadi ribuan kasus tanah berskala luas.BPN mencatat lebih 2.810 kasus sengketa tanah antara rakyat dan negara, dan Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753 konflik agraria struktural. Kasus tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah.

    Luas tanah yang disengketakan 10.892.203 hektare dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 kepala keluarga. Menurut Serikat Petani Indonesia, pada 2011 terjadi 120 kasus agraria mencakup 342.000 hektare lahan dengan 18 orang tewas. Baik jumlah kasus, cakupan luasan, maupun korban tewas naik 3-6 kali lipat dari tahun 2010.

    Bias

    Pola umum industrialisasi yang berhasil ditandai oleh sinergi peningkatan nilai lapis kue industri dengan penyerapan tenaga kerja.Di Indonesia ini tidak terjadi.Dengan demikian pembangunan ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih menguntungkan sektor industri atau perkotaan, mengingat pertanian pada umumnya dilaksanakan di perdesaan.

    Implikasi lebih lanjut adalah industrialisasi di Indonesia telah menyebabkan ketimpangan yang melebar antara sektor pertanian dan industri atau juga dapat ditafsirkan telah meningkatkan ketimpangan antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan. Pendek kata, kebijaksanaan pembangunan Indonesia selama ini bias kepentingan perkotaan (dan industri). Tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas pertanian Indonesia.

    Hal ini diperlihatkan kian meningkatnya petani gurem dan rusaknya sumber daya pertanian. Kondisi ini akan membahayakan ketahanan pangan dan kemampuan Indonesia dalam menghasilkan produk-produk pertanian lain di masa mendatang. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diikuti kemampuan sektor ini memberikan penghidupan yang layak bagi para petani dan tenaga kerja pertanian tidak hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga akan melumpuhkan perekonomian nasional.

    Berpijak dari hal itu,konflik lahan sejatinya tidak bisa diselesaikan hanya lewat jalur hukum. Selain jalur hukum, penyelesaian konflik lahan bisa dilakukan dengan menjawab pertanyaan: sudahkah pembangunan ekonomi Indonesia ada di jalur yang benar? Sudahkah model pembangunan ekonomi Indonesia menghasilkan transformasi struktural? Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural.

    Hal ini ditandai masih besarnya tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian: 43%. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian terhadap DPB nasional terus menurun. Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru ternyata jauh panggang dari api. Transformasi struktural pembangunan ekonomi Indonesia hanya akan terjadi apabila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa,

    real estat, transportasi dan komunikasi,serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal,teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Model pembangunan Indonesia saat ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan dan pertanian. Ujung dari semua itu adalah kian masifnya konflik lahan.

  • Pola Pikir Memilih Capres

    Pola Pikir Memilih Capres
    Salahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG     
    Sumber : SINDO, 25 Januari 2012
    Kita baru dua kali melakukan pemilihan presiden secara langsung yaitu pada 2004 dan 2009.Tidak banyak tokoh yang telah menjadi calon presiden dan calon wakil presiden,hanya 12 orang.

    Mereka yang pernah menjadi calon presiden hanya ada enam orang, yang pernah menjadi calon wakil presiden ada delapan orang dan yang pernah menjadi calon presiden dan calon wakil presiden hanya ada dua orang. Kini sudah mulai muncul sejumlah nama yang punya ambisi menjadi capres atau cawapres untuk Pemilihan Presiden 2014. Itu adalah hal wajar dan positif sesuai dengan prinsip demokrasi.

    Ada sekitar 20 nama yang mulai muncul di permukaan. Bagaimana kita menyikapi nama-nama tersebut dan siapa yang diperkirakan bisa muncul sebagai capres/cawapres pada 2014? Kita coba melihat apa yang terjadi pada pemilihan yang lalu. Awalnya pada pemilihan presiden secara langsung pada 2004 banyak sekali nama-nama yang muncul dan menun-jukkan minat untuk menjadi capres/ cawapres.

    Nama-nama yang muncul sebagai capres pada 2004 adalah mereka yang pernah menjadi menteri,ketua MPR,presiden, dan wakil presiden. Untuk mendampingi capres itu dibutuhkan cawapres yang bisa menjadi vote getter (pengumpul suara). Maka para capres melirik nama-nama tokoh dari ormas atau komunitas yang diharapkan bisamenjadi penarik suara pemilih.

    Lalu muncullah nama Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid dari komunitas NU dan Siswono dari komunitas nasionalis serta Agum Gumelar dari kelompok militer dan Jusuf Kalla dari Indonesia timur. Pilihan di atas berdasar pada peta politik 1955 yang membagi dunia politik Indonesia menjadi kelompok (nasionalis) Islam dan kelompok nasionalis (sekuler). Juga pola pikir sipil-militer serta Jawa dan non-Jawa.

    Ternyata latar belakang calon dari komunitas NU terlihat tidak punya dampak berarti dalam mengumpulkan suara pemilih. Buktinya, warga NU lebih memilih SBY dibanding Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi. Pada Pilpres 2009, jumlah pasangan calon berkurang karena persyaratan bagi partai politik untuk bisa mengajukan capres/cawapres ditingkatkan menjadi 20% jumlah suara pemilih.

    Sudah diperkirakan bahwa SBY akan terpilih lagi. Yang juga membuat kejutan ialah munculnya Prabowo sebagai salah satu calon yang mendapat dukungan kuat dari rakyat.Pada 2004 Prabowo belum berani tampil,mungkin karena stigma sebagai pelanggar HAM berat masih kuat melekat.

    Tampaknya kini bangsa Indonesia sudah melupakan peristiwa kelam pada masa Orde Baru.Sudah tidak banyak lagi yang meributkan keterlibatan ketiga jenderal capres/ cawapres yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM belasan tahun lalu. Ternyata sekali lagi terbukti bahwa dukungan tokoh dan para ulama NU bahkan ditambah tokoh Muhammadiyah terhadap capres/cawapres tertentu tidak memberi pengaruh yang kuat.

    Terbukti bahwa pasangan JK/Wiranto yang mereka dukung hanya menjadi juru kunci.Pemilihan Presiden 2004 dan 2009 tampaknya mempunyai pola yang betul-betul berbeda dengan pola pengelompokan 1955.Yang akan menentukan kemenangan adalah tingkat keterpilihan (elektabilitas) sang capres dibantu cawapres, bukan partai pendukung.

    Pada Pilpres 2014 diduga akan ada tiga partai besar yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG),dan PDI Perjuangan yang punya peluang untuk mengajukan capres/cawapres. Beredar berita bahwa Ketua Umum PG dan Ketua Umum PDIP akan maju menjadi capres. Tampaknya kedua calon itu kurang memenuhi harapan masyarakat. Pola seperti pada masa lalu masih bertahan pada 2014, yaitu munculnya sejumlah nama yang kini menjadi menteri atau pejabat tinggi negara dan yang pernah menjadi pejabat negara.

    Mereka diincar oleh para capres untuk menjadi cawapres. Fenomena itu wajar karena para menteri dan pejabat negara itu punya kesempatan menunjukkan prestasi yang langsung bisa diketahui masyarakat.Yang sudah lama muncul ialah Mahfud MD. Yang baru muncul ialah Dahlan Iskan dan yang sayupsayup muncul ialah Gita Wiryawan. Mereka menarik perhatian publik karena langkah dan kebijakan mereka.

    Tetapi, kedua menteri itu masih harus membuktikan terlebih dulu prestasi mereka dalam waktu dua tahun ke depan. Sejumlah tokoh partai sudah menyatakan akan maju sebagai capres, padahal partai mereka masih belum jelas sejauh mana capaiannya dalam Pemilu Legislatif 2014.Mereka adalah Prabowo (Partai Gerindra), Hatta Rajasa (PAN), dan SuryadharmaAli (PPP).Tetapi, mereka harus bekerja keras dan cerdas tanpa kenal lelah untuk bisa lolos dulu dalam pemilu legislatif yang dinaikkan batas minimalnya dari 2,5% menjadi 4 atau 5% dari jumlah pemilih untuk bisa masuk DPR.

    Mengubah Pola Pikir

    Ada sejumlah pola pikir yang menurut saya kurang tepat dan di masa depan akan terkoreksi sendiri sesuai dengan tuntutan keadaan. Selama ini beberapa tokoh puncak partai muncul sebagai calon presiden, tetapi tidak ada yang berhasil kalau hanya bergantung pada posisi mereka sebagai tokoh partai, bukan pada elektabilitas.

    Berbeda dengan di Amerika Serikat, tokoh yang menjadi calon presiden bukan tokoh puncak partai.Di AS yang muncul ialah tokoh yang didukung oleh masyarakat melalui konvensi terbuka.Untuk pemilihan gubernur, bupati,dan wali kota di Indonesia, bahkan jarang pimpinan puncak partai setempat yang maju jadi calon.

    Artinya tokoh partai di daerah lebih sadar tentang tidak tepatnya pola pikir semacam itu dibanding tokoh partai tingkat nasional. Pola pikir lain yang masih bertahan ialah mengambil tokoh ormas Islam sebagai cawapres. Karena Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI keempat saat menjadi ketua umum PBNU, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi juga dianggap layak menjadi calon presiden.

    Maka kita saksikan ada manuver Hasyim Muzadi dan kelompok pendukungnya untuk menampilkan namanya sebagai capres pada Konbes NU 2002 di Pondok Gede.Akhirnya Hasyim Muzadi menjadi cawapres. Pola ini masih diikuti dengan ditampilkannya nama Khofifah yang kini menjadi ketua umum PP Muslimat NU oleh Partai Golkar dan Partai Gerindra. Pola berikutnya ialah faktor keturunan.

    Karena Megawati sebagai putri Bung Karno bisa menjadi wakil presiden lalu menjadi presiden,Puan Maharani juga dianggap layak menjadi calon wakil presiden. Lepas dari kemampuannya, pola ini kurang tepat, kecuali dibuktikan oleh survei bahwa Puan memang bisa menjadi pendulang suara pemilih.Yang dilupakan oleh banyak orang termasuk mereka di sekeliling Megawati ialah fakta bahwa Megawati telah menanam investasi sosial dengan perlakuan negatif Presiden Soeharto.

    Puan belum banyak punya investasi sosial bagi masyarakat di luar PDIP. Pola pikir positif yang perlu kita kembangkan dalam memilih capres ialah menampilkan tokoh yang mempunyai nama baik dan potensi untuk mencapai tingkat keterpilihan (elektabilitas) tinggi,punya kemampuan, dan punya integritas, walaupun bukan pimpinan atau tokoh utama partai.

    Kita bisa melihat fakta bahwa ada sedikit tokoh yang memenuhi kriteria tersebut, tetapi sulit untuk bisa muncul sebagai calon presiden atau calon wakil presiden karena mereka tidak mendapat dukungan partai yang punya hak mencalonkan. Tokoh yang paling menonjol adalah Jusuf Kalla (JK).Tidak terpilih sebagai presiden atau menjabat lagi sebagai wakil presiden tidak menenggelamkan pamor JK.

    Harus diakui bahwa JK adalah semacam kepala pemerintahan dan SBY adalah kepala negara sehingga masa bakti pertama SBY sebagai presiden menunjukkan kinerja cukup baik. JK dikenal sebagai pemimpin yang efektif, cepat menangkap masalah,dan cepat mengambil keputusan. Boleh dibilang,JK adalah calon terbaik untuk menjadi presiden berbekal pengalaman sebagai pengusaha,menteri,wakil presiden, dan tokoh partai. Kelemahan JK adalah pada usia. Pada 2014 usianya akan mencapai 72 tahun, tetapi kondisinya sehat.

    Kita bisa ambil contoh Ronald Reagan yang menjadi presiden pada usia 74 tahun.Atau Pak Harto yang menjadi Presiden pada usia 72 tahun pada 1973. Juga bisa kita bandingkan dengan Mahathir Mohammad yang menjadi PM sampai usia menjelang 80 tahun. Tokoh lain yang juga menarik perhatian banyak pihak ialah Mahfud MD. Selama sekitar tiga tahun menjadi ketua MK, Mahfud telah menunjukkan kinerja yang baik.Visinya bagus, punya keberanian dan integritas.Kita layak berharap Mahfud dapat menyelesaikan masalah itu.

  • Mengasuh Ibu: Menyelamatkan Masa Depan Bangsa

    Mengasuh Ibu: Menyelamatkan Masa Depan Bangsa
    Tirta Prawita Sari, KETUA YAYASAN GERAKAN MASYARAKAT SADAR GIZI DAN
    DOSEN ILMU GIZI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
     
    Sumber : SINDO, 25 Januari 2012
    Menyambut Hari Gizi Nasional, yang tahun 2012 jatuh pada hari ini, sudah selayaknya kita menganalisisi masalah gizi yang dihadapi bangsa kita. Salah satu yang paling penting adalah memperhatikan gizi ibu.

    Kerangka konsep malanutrisi yang dibuat oleh Unicef jelas sekali meletakkan ibu sebagai bagian penting yang akan memengaruhi status gizi anak, langsung ataupun tidak. Child and mother care merupakan salah satu penyebab yang mendasari kejadian malanutrisi (underlying causes). Bentuk pola asuh yang dimaksudkan dalam kerangka konsep Unicef tersebut bukan hanya berhubungan dengan pengasuhan anak saja (child care),tapi juga membidik pada “pengasuhan ibu” (mother care).

    Buruknya perhatian pada ibu akan menyebabkan terganggunya status gizi anak. Karena itu, prioritas pemenuhan gizi dalam sebuah rumah tangga adalah anak balita dan ibu hamil.Ketika sebuah rumah tangga memiliki ibu hamil, menjadi wajiblah bagi seluruh anggota keluarga lain untuk memusatkan perhatian dan segala sumber daya untuk menjaga ibu tersebut.

    Perlu dipahami bahwa setiap tindakan penjagaan ibu hamil merupakan upaya menjaga aset bangsa. Segala proses pengasuhan diharapkan akan menghasilkan generasi yang sehat yang dapat tumbuh menjadi aset bangsa yang dapat diandalkan. Tingginya prevalensi anemia dan kurang energi protein pada ibu hamil, atau bahkan juga bagi kelompok perempuan usia subur, menjadi petunjuk yang cukup jelas bagaimana bangsa ini mengelola asetnya.

    Tak hanya itu,buruknya sistem pelayanan kesehatan ibu hamil, persalinan, dan tidak masuknya kehamilan dalam item yang ditanggung oleh sistem asuransi, menjadi pertanda lain yang menyedihkan. Membiarkan ibu hamil dan perempuan usia subur berada dalam keadaan kurang gizi berarti telah menempatkan bangsa ini dalam bahaya.

    Keberadaan seorang ibu, atau perempuan pada umumnya, merupakan investasi sempurna bila ingin mendapatkan bangsa dengan status gizi yang baik. Ibu adalah peletak dasar segala perilaku sehat di rumah. Seorang ibu yang telah tercerahkan oleh pentingnya nutrisi dan kesehatan akan menjadi lokomotif bagi keluarga dalam menjamin ketersediaan gizi seimbang.

    Gizi seimbang dapat dipenuhi oleh kelompok sosial ekonomi apa pun dan sebaiknya haruslah mengikuti kearifan lokal, sehingga mudah diperoleh oleh keluarga. Segala upaya pendidikan gizi yang mencabut keluarga dari akar budaya suatu daerah akan menjadi tindakan sia-sia. Gizi seimbang juga tak hanya meliputi penyediaan dan proses pengolahan,namun bagaimana ia diantarkan hingga masuk ke dalam sistem pencernaan anak.

    Persoalan utama dari rendahnya asupan gizi seimbang pada anak, bukan terletak pada ketersediaan pangan yang baik, namun pada kecerdasan ibu dalam memberikan pendekatan persuasif terhadap anak untuk menyantap menu seimbang tersebut. Upaya persuasi tersebut bukanlah hal sederhana,mengingat setiap anak memiliki selera dan kemerdekaan dalam menentukan kesukaan mereka.

    Agar upaya ini berhasil,seorang ibu juga harus mampu mengendalikan faktor eksternal anak yang akan mempengaruhi selera anak. Ibu adalah pembentuk pola makan seimbang bagi anak. Seorang ibu yang tidak menyukai ikan biasanya secara tak sadar akan menularkan ketidaksukaan tersebut pada anaknya. Ibu yang melek gizi akan menyiapkan preferensi anak dari sejak dini, ia akan menyiapkan anak untuk hanya menyukai makanan bergizi baik. Ibu adalah proteksi utama sebuah keluarga dari segala bahaya kesehatan.

    Edukasi

    Dengan peran yang sangat penting tersebut, “pengasuhan” ibu (perempuan) menjadi krusial. Seorang remaja putri hendaknya telah dipaparkan pentingnya peran wanita (ibu) dalam menjaga aset bangsa. Sehingga pada saatnya tiba ia telah siap untuk mengemban tugas penting tersebut. Edukasi yang dilakukan secara kontinu pada kelompok ibu, kemudian diterapkan, akan menjadi “proyek”efektif dan efisien dalam mengatasi masalah gizi di Indonesia.

    Tak perlu program ambisius yang menyita banyak dana, cukup siapkan saja sepasukan ibu sadar gizi, maka bangsa ini akan terlindungi dari segala masalah gizi. Telah begitu banyak negara yang memfokuskan upayanya pada wanita hamil, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Gambia dalam mengatasi masalah kurang energi protein pada wanita hamil.

    Mereka menyediakan biskuit tinggi energi bagi wanita hamil untuk mengatasi masalah tingginya prevalensi bayi berat lahir rendah,dan upaya ini ternyata berhasil menurunkan prevalensi tersebut hingga 50% (1997). Contoh lain mengenai ketepatan target dan intervensi bisa dipelajari dari Pemerintah Nigeria. Analisis masalah yang kuat terhadap masalah gizi akan menghasilkan problem solving yang efektif.

    Wanita di Desa Kwaren Sabre, Nigeria, memiliki beban kerja yang sangat tinggi. Tiap hari mereka harus bekerja di ladang, akibatnya tak banyak waktu dan energi yang tersedia untuk mengurus anak-anak mereka, sehingga banyak ditemukan anak dengan status gizi kurang.Kondisi yang memprihatinkan ini kemudian disikapi dengan mengurangi tanggung jawab ibu untuk bekerja di luar rumah agar mereka memiliki banyak waktu untuk memperhatikan keadaan anak-anaknya.

    Pengurangan beban kerja ini berhasil menurunkan angka malanutrisi sebanyak 10% dalam waktu satu tahun (1995-1996). Dua contoh di atas, dapat menjadi inspirasi bagi kita, bahwa dengan menjadikan ibu sebagai pemain utama dalam skenario pengentasan masalah gizi di Indonesia akan sangat efektif dan efisien.

    Apalagi melihat akar budaya bangsa Indonesia yang menempatkan ibu sebagai manajer rumah tangga, mengendalikan jalannya rumah tangga dengan baik, adalah faktor yang amat mendukung. Menjaga ibu dan perempuan usia subur dengan memberikan pola asuh yang baik kepadanya, berarti kita berpartisipasi memberikan perlindungan terhadap aset bangsa termasuk di dalamnya ikhtiar menyelamatkan 1.000 hari pertama kehidupan anak dan generasinya dari berbagai masalah gizi.

  • Dua Corak Tradisi Islam

    Dua Corak Tradisi Islam
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL
    Sumber : JIL, 24 Januari 2012
    Berkebalikan dengan teks Ibn al-Qayyim ini, kita menjumpai tradisi populer yang berasal dari teladan para wali di Jawa yang menunjukkan sikap toleran terhadap tradisi agama lain, bahkan penghormatan yang tinggi terhadapnya. Contohnya adalah menara Kudus yang dibangun oleh Syekh Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus (wafat circa 1550 M), salah satu Wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Jawa.
    Menara ini mirip sekali dengan bentuk pura dalam tradisi Hindu. Konon, Sunan Kudus juga melarang murid-muridnya menyembelih sapi untuk menghormati perasaan umat Hindu. Itulah sebabnya, hingga saat ini, tradisi memakan daging sapi kurang begitu berkembang di masyarakat Muslim di kawasan Kudus, Jawa Tengah—sisa dari kebiasaan yang berasal dari masa Sunan Kudus dulu.
    Salah satu hal yang mengagumkan pada setiap agama, termasuk tentunya dalam Islam, adalah adanya tradisi yang begitu kaya di dalamnya. Tradisi itu tumbuh pelan dalam setiap masyarakat agama, mengikuti perkembangan masyarakat. Jika hendak melihat bagaimana sebuah agama diterjemahkan dalam situasi dan keadaan yang kongkrit, maka lihatlah tradisi yang ada pada agama itu.
    Tradisi adalah semacam embodiment atau penubuhan agama dalam bentuk yang bisa dilihat langsung. Agama sebagaimana tertuang dalam teks-teksnya, misalnya Quran atau hadis dalam konteks Islam, biasanya bersifat abstrak. Teks itu harus diterjemahkan dalam situasi yang kongkrit. Terjemahan itu selalu terjelma dalam sebuah tradisi atau sunnah/turath.
    Biasanya tradisi lahir sebagai bentuk interaksi antara agama sebagai ajaran tekstual dengan situasi yang dihadapi oleh umatnya. Dalam tradisi itulah kita melihat secara kongkrit bagaimana masyarakat yang memeluk agama tertentu mendialogkan antara keyakinan dan ajaran yang secara tekstual termuat dalam Kitab Suci mereka dengan keadaan nyata yang mereka hadapi.
    Karena wataknya yang sedemikian itu, maka setiap tradisi biasanya terkait dengan konteks yang spesifik. Dan karena itu pula, setiap tradisi menggambarkan situasi yang hidup pada zaman tertentu.
    Dalam setiap komunitas agama, bisanya akan kita jumpai kelas-kelas sosial yang beragam coraknya, dan mereka akan mengembangkan tradisi yang sesuai dengan keragaman kelas itu. Inilah yang menjelaskan kenapa muncul tradisi yang beragam dalam komunitas itu. Ada tradisi yang mencerminkan kegiatan kelas elit dalam agama itu, ada tradisi yang dikembangkan oleh masyarakat kecil atau awam.
    Contoh yang pertama adalah kegiatan intelektual yang dilakukan oleh para sarjana dalam agama. Para elit intelektual mencoba menerjemahkan norma agama ke dalam situasi yang kongkrit melalui kegiatan intelektual yang dalam Islam disebut dengan ijtihad atau penalaran rasional. Para sosiolog agama biasa menyebut tradisi ini sebagai Tradisi Tinggi atau Tradisi Tulis (Literate Tradition).
    Di seberang tradisi tinggi ini, ada tradisi populer yang berkembang di masyarakat. Tradisi populer ini biasanya terkait dengan kisah-kisah populer yang berkenaan dengan kehidupan orang-orang saleh yang menjadi panutan masyarakat. Dalam kalangan masyarakat Islam Jawa, misalnya, dikenal tradisi populer berkenaan dengan kisah para wali.
    Bagi orang awam, agama sebagaimana tertulis dalam teks atau sebagaimana diungkapkan melalui tradisi tinggi yang “intelektualistik” itu biasanya susah dijangkau. Mereka membutuhkan “agama” yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Tradisi yang berkenaan dengan kisah hidup para orang saleh (wali, kiai, ulama, dsb.), biasanya lebih intim dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat biasa.
    Sementara itu, kalangan “terpelajar” yang menggemari agama sebagai arena untuk olah intelektual akan menyukai Tradisi Tinggi yang tertuang dalam teks-teks yang ditulis oleh para sarjana, entah di masa klasik atau modern. Teks para doctors of law atau ahli hukum Islam (fuqaha), misalnya, biasanya lebih menarik mereka. Teks-teks karangan Imam al-Shafi’i (m. 820 M) dan para pendiri mazhab Islam yang lain akan sangat memikat kelas terpelajara ini.
    Harus diakui, otoritas Tradisi Tinggi biasanya lebih tinggi dan kokoh ketimbang Tradisi Populer yang bersumber dari, antara lain, kisah-kisah hidup para orang saleh tersebut. Tradisi tinggi yang tertulis itu biasanya menjadi sandaran ortodoksi, yakni ajaran pakem dalam sebuah agama yang dianggap otoritatif dan menjadi kriteria untuk menilai paham-paham lain dalam agama bersangkutan.
    Dalam karyanya yang masyhur, Muslim Society (1981), Ernest Gellner pernah mengemukakan pengamatan yang menarik tentang dua tradisi ini. Menurut dia, dan saya kira dia benar dalam hal ini, keuntungan sebuah agama yang memiliki pembelahan antara dua tradisi ini (seperti kasus Islam) adalah adanya kemudahan agama tersebut untuk melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang terus berubah. Dengan kata lain, agama semacam ini akan lebih mudah melakukan modernisasi sosial ketimbang agama yang hanya mengenal tradisi tunggal saja.
    Masih menurut Gellner, jika terjadi suatu kemunduran dalam umat agama bersangkutan, maka para elit agama itu bisa melakukan pemisahan antara tradisi tinggi dan tradisi populer. Mereka akan mengatakan bahwa kemunduran umat dalam agama itu lebih disebabkan oleh penyelewengan yang ditimbulkan oleh pengaruh tradisi populer. Karena itu, solusinya adalah kembali kepada tradisi tinggi yang tertuang dalam teks. Tradisi tekstual ini dianggap lebih suci dan bebas dari pengaruh kultural yang koruptif serta mengandung tenaga pembebasan untuk memajukan umat.
    Pengamatan Gellner ini memang cenderung melihat tradisi populer secara kurang simpatik. Meski tak seluruhnya pengamatan Gellner salah, tetapi ada pula kritik kecil terhadap pengamatannya ini. Menurut saya, sumber kekakuan dalam masyarakat agama yang kerap menghalanginya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, bisa juga muncul dari Tradisi Tinggi yang tertuang dalam teks para sarjana.
    Sementara Islam sebagaimana dicerminkan dalam tindakan para orang saleh yang merupakan dasar tradisi populer justru bisa menjadi sumber fleksibilitas dalam masyarakat Muslim dan memudahkan mereka untuk melakukan akomodasi terhadap perubahan.
    Contoh yang sangat baik adalah teks dari abad ke-14 Masehi yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (m. 1350 M) berjudul Ahkam Ahl al-Dhimma (Hukum Berkenaan dengan Orang Dhimmi). Dhimmi adalah konsep dalam teori politik Islam klasik, yang artinya adalah warga negara non-Muslim yang hidup di negeri Muslim. Mereka adalah semacam “permanent/alien resident” dalam konsep politik modern saat ini.
    Kalau kita baca buku ini, terasa sekali nada “superioritas” Islam yang sangat kuat, terutama terhadap umat Kristen dan Yahudi. Jika buku ini dipakai sebagai rujukan dalam kehidupan modern, bukan mutahil ketegangan antara Islam dan Kristen akan mudah terjadi.
    Saya ambilkan secuil contoh saja dari pembahasan buku ini. Menurut Ibn al-Qayyim, seorang ulama yang sangat dihormati tertutama di kalangan penganut ideologi Wahabisme ini, jika suatu negara ditaklukkan dengan paksa oleh umat Islam, dan kemudian umat Islam membangun kota (mashr) baru di sana (istilah Arabnya: tamshir), maka tak satu pun gereja atau sinagog baru boleh didirikan. Gereja yang didirikan setelah kota baru itu dibangun oleh umat Islam, seluruhnya harus dihancurkan. Yang boleh tersisa hanyalah gereja yang sudah ada di tanah itu sebelum kedatangan Islam. (Ahkam Ahl al-Dhimma, hal. 1195).
    Menurut Ibn al-Qayyim, dengan mengutip pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 855), umat Kristen juga dilarang membunyikan lonceng keras-keras di gereja mereka. Selain itu, mereka juga dilarang menampakkan tanda salib secara terbuka di gereja mereka.
    Jika dibaca saat ini, tanpa memperhitungkan konteks di mana ia ditulis, karya Ibn al-Qayyim itu bisa menimbulkan sikap negatif di kalangan Muslim terhadap umat agama lain, terutama Kristen. Seluruh isi buku itu memang menggambarkan tradisi intelektual Islam klasik pada periode tertentu di mana salah satu cirinya adalah penonjolan superioritas Islam terhadap Kristen hingga ke dimensi yang paling visual, seperti urusan pelarangan pemasangan salib gereja, misalnya.
    Berkebalikan dengan teks Ibn al-Qayyim ini, kita menjumpai tradisi populer yang berasal dari teladan para wali di Jawa yang menunjukkan sikap toleran terhadap tradisi agama lain, bahkan penghormatan yang tinggi terhadapnya. Contohnya adalah menara Kudus yang dibangun oleh Syekh Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus (wafat circa 1550 M), salah satu Wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Jawa.
    Menara ini mirip sekali dengan bentuk pura dalam tradisi Hindu. Konon, Sunan Kudus juga melarang murid-muridnya menyembelih sapi untuk menghormati perasaan umat Hindu. Itulah sebabnya, hingga saat ini, tradisi memakan daging sapi kurang begitu berkembang di masyarakat Muslim di kawasan Kudus, Jawa Tengah—sisa dari kebiasaan yang berasal dari masa Sunan Kudus dulu.
    Sikap yang toleran terhadap tradisi agama lain ini juga terus dikembangkan oleh para ulama di Jawa hingga sekarang. Tradisi inilah yang, antara lain, mengilhami Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk membangun tradisi dialog antaragama dengan kelompok-kelompok agama di luar Islam.
    Contoh ini memperlihatkan bahwa tradisi toleransi justru lebih bisa dipupuk melalui tradisi populer yang berkembang di masyarakat. Sementara Tradisi Tinggi yang berasal dari teks para sarjana Islam klasik justru, dalam kasus ini, cenderung “tertutup” dan eksklusif, sebagaimana diperlihatkan oleh teks dari Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
    Tentu tak selamanya Tradisi Tinggi bersifat seperti itu. Apa yang disebut sebagai Tradisi Tinggi yang intelektualistik itu bukanlah monolitik. Di dalamnya banyak versi. Ada versi yang progresif dan sangat sesuai dengan kebutuhan kita sekarang, tetapi juga ada yang tertutup dan kurang pas dengan keadaan saat ini. Kitab Ibn al-Qayyim di atas itu, menurut saya, adalah salah satu contoh teks yang kurang begitu relevan dengan keadaan saat ini. Kita perlu mengembangkan teks atau tradisi baru yang lebih terbuka dan dialogis.
    Kenapa tradisi yang terbuka seperti ini lebih kita butuhkan? Sebab tradisi seperti inilah yang lebih sesuai dengan masyarakat informasi saat ini yang salah satu ciri pokoknya adalah ketebukaan, transparency, serta sikap terbuka dan menghargai perbedaan, bukan sikap yang menonjolkan superioritas keagamaan yang akan gampang menyulut ketegangan dan konflik sosial. Wa ‘l-Lahu a’lam bi al-shawab.
  • Pemerkosaan: Kejahatan Kekuasaan

    Pemerkosaan: Kejahatan Kekuasaan
    Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 24 Januari 2012
    Kasus pemerkosaan yang dialami mahasiswi sekolah kebidanan di dalam angkot C-01 Ciledug–Kebayoran Baru, Sabtu (21/1) lalu, cukup menggemparkan, karena untuk kesekian kali terjadi kasus pemerkosaan di atas angkutan umum. Namun belakangan polisi menjelaskan korban diperkosa di suatu tempat ketika sedang menunggu angkutan umum C-01.
    Meski belum ada kejelasan di mana kejahatan seksual itu terjadi, tindak kriminal itu mengingatkan penulis pada kasus pembunuhan dan pemerkosaan tragis terhadap mahasiswi pada Agustus 2011 lalu di dalam angkot mikrolet M-24 jurusan Slipi-Srengreng.
    Kini keempat terdakwa pelaku pemerkosaan itu tengah disidang. Pemerkosaan dialami pula oleh seorang ibu dalam mikrolet M-26 di kawasan Depok, keempat pelakunya (satu di antaranya perempuan) juga telah dicokok polisi.
    Terkait kejadian yang dialami siswa kebidanan itu, ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, Senin (23/1), dengan ekspresi marah mengirim pesan lewat BlackBerry Messenger bahwa kita jangan terpaku atau fokus pada “angkot” sebagai locus aksi-aksi pemerkosaan yang marak belakangan ini. “. . . ‘di angkot’ bisa diganti secara mudah dengan ‘di kos-kosan’, ‘di KRL’, ‘di sekolah’, dll.”
    Dia menyarankan polisi agar fokus pada “pemerkosaannya” alias interaksi antara pelaku dan korban, karena pemerkosa adalah orang yang bisa dikategorikan sulit disembuhkan, bahkan mustahil diubah perilakunya. Dengan begitu, dia mendorong peningkatan upaya perlindungan korban dan korban potensial.
    Apakah Menular?
    Kasus-kasus yang terjadi belakangan itu membuat saya bertanya: apakah pemerkosaan itu punya efek menular, mirip-mirip dengan bunuh diri? Jujur saja, saya ingin tahu mengapa kasus-kasus pemerkosaan menjadi marak belakangan ini, atau memang selama ini angkanya juga tinggi namun tidak dilaporkan? Atau, adalah kelompok tertentu yang sengaja melancarkan “gerakan pemerkosaan”?
    Dari sebuah laman di internet, didapati sebuah penjelasan yang menarik bahwa pemerkosaan adalah: kejahatan kekuasaan (power), pemaksaan (control), dan kekerasan yang ekstrem dengan menggunakan seks sebagai senjata terhadap yang lemah, sehingga pemerkosaan bukanlah semata seks atau mengenai birahi maupun ketertarikan terhadap korban. (www.hopeforhealing.org). Penjelasan itu dalam penerapan teknis dapat sesuai dengan bunyi Pasal 285 KUHP.
    Tentu kita semua masih ingat, sebulan setelah kerusuhan Mei 1998 sempat beredar kabar bahwa banyak perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa sebagai bagian dalam “kerusuhan sistematis” di Jakarta untuk menurunkan Presiden Soeharto.
    Meski info yang berkembang kemudian simpang siur karena banyak politisasi, tragedi pemerkosaan massal itu yang akhirnya memaksa Presiden BJ Habibie pada 9 Oktober 1998 mengeluarkan Keppres mengenai pembentukan Komnas Perempuan, dalam upaya melindungi kaum perempuan dari tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM.
    Jadi, apakah kejadian-kejadian pemerkosaan belakangan ini juga “sistematis” seperti tahun 1998 dengan motif politik tertentu? Saya duga tidak atau belum, karena polisi, dalam hal ini Polda Metro Jaya, bertindak sigap dan sejauh ini sukses membekuk pelaku dalam tempo relatif cepat.
    Ketertarikan atas maraknya pemerkosaan membawa saya sampai pada apa konsep “budaya pemerkosaan” yang marak terjadi di daerah-daerah konflik di benua Afrika, khususnya di Afrika Tengah, yang dibiarkan tanpa hukuman, dan akhirnya pemerkosaan dapat diterima sebagai hal yang biasa.
    Namun, pemerkosaan tersebut tetaplah merupakan bentuk ekspresi “penindasan” terhadap perempuan, anak-anak, dan para pria juga, sebagai bagian dari konflik (perang saudara, perang antarsuku, atau bahkan perang antarnegara).
    Pemerkosaan itu dipilih sebagai alat politik karena: penghinaannya maksimal, korban akan teringat/trauma seumur hidup bahkan bisa menjadi sakit jiwa, sengaja untuk menularkan penyakit menular seksual, dan lainnya.
    Dihukum Berat
    Rekan saya yang ahli psikologi forensik itu mengusulkan pemerkosa dirajah di bagian dahi saja atau KTP-nya diberi tanda tertentu, berimbang dengan luka yang harus diderita korban seumur hidupnya.
    Atau meniru pola di Kanada, di mana seorang pemerkosa yang telah dipidana dibatasi ruang geraknya, identitasnya disebar ke publik, secara rutin harus lapor ke polisi, dan dilarang bepergian lebih dari radius tertentu.
    Artinya, di negara Barat yang ketat mengawasi penerapan HAM ternyata menghukum fisik dan moral pelaku pemerkosaan dengan berat. Itu tak lain karena seumur hidup korban pemerkosaan juga mengalami siksaan fisik dan moral.