Blog

  • Industri Versus Impor Ikan

    Industri Versus Impor Ikan
    Oki Lukito, FORUM MASYARAKAT KELAUTAN DAN PERIKANAN;
    PELAKU BUDIDAYA LAUT DAN TAMBAK
    Sumber : KORAN TEMPO, 26Januari 2012
    Wacana industrialisasi perikanan terus digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengatasi impor ikan yang semakin sulit dibendung dan dikendalikan. Bahkan ikan impor dalam kemasan pun bebas masuk tempat pelelangan ikan (TPI) dan dijual di pasar-pasar tradisional. Secara teori, apa yang diwacanakan soal industrialisasi tersebut memang ideal, tetapi seharusnya tidak gegabah diterapkan. Sah-sah saja jika ada anggapan bahwa di perairan Indonesia timur potensi ikan tangkapan masih berlimpah, sekalipun tidak ada data pendukung yang menguatkan asumsi tersebut. Kajian stok ikan nasional sudah lama tidak pernah dilakukan, sehingga validitas klaim tersebut diragukan.
    Ada baiknya kita menyimak hasil kajian yang telah dilakukan Badan Pangan Dunia (FAO). Sejumlah parameter menunjukkan bahwa status perikanan dan populasi ikan pelagicmaupun demersal di perairan Indonesia sudah tidak sehat. Fakta yang terjadi, dengan kapal besar, nelayan memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas penangkapan, maupun menambah jumlah hari melaut, sementara hasilnya tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bagaimana kondisi ikan yang sebenarnya. Kebutuhan konsumsi ikan yang semakin meningkat setiap tahun, maupun pasar internasional, juga membuat eksploitasi sektor perikanan berlangsung secara besar-besaran.
    Hasil penelitian yang dilakukan FAO pada 2010 menyebutkan pula, kondisi sumber daya ikan nasional maupun dunia saat ini menyusut drastis. Pada 2008, stok ikan laut dunia yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi hanya tinggal 15 persen. Sebanyak 53 persen stok ikan sudah dimanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lagi. Sedangkan sisanya sudah over-exploitedatau stoknya menurun. Gambaran pemanfaatan sumber daya ikan di seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan tahun 2006 menunjukkan hal yang sama. Tidak mengherankan jika sering terjadi bentrokan fisik antara nelayan tradisional dan ABK kapal asing akibat berebut wilayah penangkapan di tengah laut. Konflik antarnelayan tradisional pun sering terjadi di lokasi rumpon di perairan dangkal dan laut dalam.
    Biaya Mahal
    Membangun gudang ikan, sebagaimana diusulkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di sentra-sentra perikanan tangkap, khususnya di Indonesia Timur, akan terhambat stok ikan dan pasokan listrik. Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet dengan biaya investasi Rp 1,5 miliar, misalnya, memerlukan listrik 40 ribu watt, biaya operasional Rp 20 juta per bulan. Sementara itu, pasokan listrik sebesar itu masih belum tersedia di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
    PLN sendiri masih kesulitan menerangi permukiman penduduk tingkat kecamatan di wilayah timur. Idealnya, gudang penyimpanan seharusnya dilengkapi freezerselain cold storage. Mesin freezer akan membekukan ikan hingga minus 40 derajat untuk mempertahankan kualitas ikan dan mencegah berkembang-biaknya bakteri. Proses pembekuan ini mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage dengan suhu minus 18 derajat sambil menunggu untuk dikapalkan.
    Biaya lain yang harus dihitung adalah beban transportasi yang memang selama ini menjadi kendala serius di ranah bahari ini. Setidaknya untuk mencukupi kebutuhan bahan olahan industri perikanan di Jawa dan Sumatera, dibutuhkan kapal carrier berukuran 200 gross tonage (GT), mesin minimal 450 PK dengan kapasitas palka 80-100 ton. Biaya membeli solar (BBM) sekitar Rp 100 juta untuk kebutuhan selama 10 hari melaut trayek pulang-pergi. Biaya gudang dan transportasi tersebut tentunya menyebabkan harga ikan lebih mahal, belum termasuk biaya investasi kapal dan biaya rutin yang harus dikeluarkan, seperti menggaji ABK dan biaya merawat kapal.
    Beberapa hal yang lolos dari pengamatan, selama ini petani budidaya dan industri tambak harus mengeluarkan biaya ekstra agar survive. Untuk menyiasati penyakit dan virus yang merebak akibat kontaminasi zat kimia dari konsentrat pakan, lahan tambak harus dilapisi terpal plastik. Air laut yang sarat pencemaran untuk bahan baku tambak udang, bandeng, atau kerapu lumpur memerlukan treatmentkhusus pula agar ikan tetap sehat. Sementara itu, budidaya air tawar dihadapkan pada persoalan makin terbatasnya sumber air dan melambungnya harga pakan. Demikian pula industri pengolahan mempunyai risiko lebih tinggi akibat kenaikan tarif listrik, mahalnya bahan baku, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan.
    Faktor dominan yang menyebabkan budidaya udang vanamei tidak sukses adalah mahalnya biaya produksi (pakan, BBM). Sebagai ilustrasi, biaya pakan udang vanamei dengan kepadatan 150 ekor per meter persegi dengan produksi 6 ton per musim tanam mencapai Rp 9.000 per kilogram. Setiap kilogram udang yang dibudidayakan selama 120 hari membutuhkan 2 liter solar untuk biaya aerator penghasil oksigen. Sedangkan harga jual udang vanamei Rp 46 ribu per kilogram. Gambaran biaya di atas belum termasuk investasi awal dan biaya rutin. Jika saja pemerintah mampu menurunkan harga pakan hingga 40 persen atau menciptakan pakan alternatif (organik), budidaya udang dengan sendirinya tumbuh subur. Pengusaha budidaya laut juga megap-megap karena mahalnya harga pakan. Untuk setiap kilogram ikan kerapu (grouper) yang dibudidayakan di keramba apung selama 6-8 bulan, dihabiskan Rp 40 ribu untuk membeli pakan olahan industri. Kesulitan serupa dialami petani budidaya ikan air tawar, seperti ikan lele, gurame, nila, patin, yang sangat bergantung pada pakan konsentrat (pelet). Dampaknya juga mempengaruhi tingkat konsumsi makan ikan nasional yang selama ini stagnan di angka 28 kilogram per kapita per tahun. Senyampang harga ikan lebih mahal dari harga beras, jangan berharap industri perikanan akan maju dan gemar makan ikan diminati masyarakat.
    Malu
    Jika dicermati, dana triliunan rupiah dihabiskan untuk membiayai peningkatan produksi perikanan, seperti sistem cluster, revitalisasi tambak, restrukturisasi pelabuhan, minapolitan, serta program 1.000 kapal nelayan. Awalnya, program tersebut gempita ketika dicanangkan, akan tetapi patut disesalkan sepi produktivitas dan bahkan sektor perikanan terpuruk.
    Kita seharusnya malu, negara kepulauan Indonesia, yang memiliki potensi perikanan berlimpah, dihadapkan pada kenyataan harus mengimpor ikan. Tengok Malaysia, negara daratan itu mampu mengekspor ikan kerapu ke Hong Kong dengan harga lebih murah, padahal bibitnya diimpor dari Indonesia. Bahkan mampu menyuplai ikan lele ke Batam dengan harga Rp 9.000 per kilogram, sedangkan lele lokal dijual di atas Rp 10 ribu per kilogram.
    Demikian pula Vietnam, yang potensinya jauh lebih kecil, mampu membudidayakan udang windu (Paneus monodon) dan menjadi negara eksportir windu, yang spesiesnya berasal dari tlatah Majapahit. Sementara itu, Korea Selatan sukses meriset jenis rumput laut asal Indonesia dan mendapat hak paten atas rekayasa mesin yang mampu membuat kertas dari hasil riset tersebut.
  • Bertemu Wajah Lain Polisi

    Bertemu Wajah Lain Polisi
    Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR MUNTILAN, KABUPATEN  MAGELANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26Januari 2012
    KESAN banyak orang tentang polisi di negeri ini buram. Kesan ini sesungguhnya tidaklah menggambarkan seluruh jajaran korps itu. Agaknya kesan itu tak terhindarkan ketika sejumlah oknum polisi tak mau belajar dari ungkapan bijak ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Pengalaman penulis surat pembaca berjudul ”Pengalaman Kena Razia dan Perpanjangan SIM” dari Salatiga (SM, 18/01/12) adalah contoh polisi yang lain.

    Terus terang ketika membaca judul tulisan itu, saya spontan berprasangka bahwa tulisan itu berisi tingkah akal-akalan polisi. Stigma adalah spontanitas yang yang meloncat tiap kali saya mendengar kata atau berjumpa polisi. Setelah membaca tulisan itu, saya sungguh merasa bersalah.

    Jajaran polisi yang diceritakan pada surat pembaca itu adalah polisi yang mampu menjalani hidup dan tugasnya dengan cara berbeda. Barangkali mereka ini termasuk polisi yang mengarungi kariernya dengan melawan arus. Jujur saja, sikap dan tindakan polisi yang berani melawan arus itu menyejukkan kehidupan.

    Melawan arus itu sebentuk keluar dari tempurung pengkerdil diri. Rasanya jajaran polisi memiliki potensi hidup dalam tempurung. Senjata, seragam, kesatuan, pola relasi, dan kebiasaan bisa membuat polisi hidup dalam tempurung. Seolah-olah polisi itu harus garang. Setidaknya berwajah sangar. Senyum sepertinya tabu.

    Meski baik, memilih melawan arus itu tidak mudah. Pepatah mengatakan di kandang kambing mengembik, di kandang anjing menggonggong. Lingkungan dengan segala aturan dan pernik-perniknya mengarahkan cara merasa hingga ekspresi hidup seseorang. Karenanya melawan arus itu tidak mudah karena itu berarti menjadi yang aneh dalam kelompok/ korps.

    Arus yang dilawan polisi dalam korps bukan hanya dalam perilaku dan penampilan. Yang paling berat adalah melawan habitus, yaitu ekspresi spontan praktis yang dipelajari dan terbangun tanpa sadar lewat relasi antaranggota dalam korps. Habitus itu seringkali membuat orang tak lagi sadar bahwa ada yang salah, atau setidaknya kurang tepat pada ekspresi hidupnya bila merujuk pada visi dan misi korps. Karenanya habitus yang tak disadari tak pernah memberi ruang untuk melakukan koreksi dan perbaikan korps. Habitus inilah yang juga membuat polisi hidup dalam tempurung pengkerdilnya.

    Menggunakan Hati

    Salah satu habitus yang seringkali dikeluhkan adalah tingkah sejumlah oknum polisi yang main kuasa dan akal-akalan. Kesannya polisi demikian justru mengharap masyarakat melanggar. Ketika pelanggaran terjadi, dengan girang dan garang dikejarnya pelanggar itu. Mengapa polisi tidak mengingatkan saja pengguna jalan sebelum tikungan sial itu. Bukankah ini bentuk peran polisi yang mendidik?

    Rasa gemas kian menjadi dan berubah menjadi geram ketika oknum polisi memainkan acting akal-akalannya. Di pos jaga, pelanggar marka harus berurusan hingga membayar sejumlah denda. Tapi syukurlah, yang namanya oknum itu jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang seluruh anggota jajaran itu.

    Di antara jajaran polisi itu, saya mulai banyak berjumpa dengan polisi yang lain. Di Klaten saya berjumpa seorang kapolsek yang mengaku bahwa sejak bertugas belum pernah melakukan kekerasan fisik terhadap masyarakat. Ia juga mengaku belum pernah menilang sembarangan, apalagi ditambah membuat tindakan akal-akalan terhadap pelanggar.

    Yang disyukuri kapolsek berwajah ramah ini adalah di mana pun ia bertugas, angka kejahatan selalu turun, pelanggaran masyarakat sirna, dan situasi wilayah tanggung jawabnya kondusif.

    Meski ia sendiri mengakui bahwa ia belum berbuat banyak untuk wilayah itu.

    Barangkali pada kapolsek di Klaten itu kita menjumpai polisi yang bekerja dengan hati. Atau, ia bekerja dengan mengedepankan inner beauty-nya. Yang menarik, misteri yang indah menyertai perjalanan tugasnya.  Hidup dan tugasnya pun menjadi peziarahan yang memesona. Nah, mengapa polisi tak mau menjadi polisi yang lain?

  • Sengkarut Citra Kepolisian

    Sengkarut Citra Kepolisian
    Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINUS, JAKARTA;
    PESERTA COMMUNITY POLICING DEVELOPMENT PROGRAM, JEPANG
    Sumber : KORAN TEMPO, 26Januari 2012
    Tekanan bercampur kecaman ke arah institusi Kepolisian RI kian deras. Banyak kalangan beranggapan, wibawa korps Tribrata itu saat ini benar-benar di tebing. Presiden Yudhoyono sendiri, pada pembukaan Rapim Polri (17 Januari 2012), membesarkan hati Polri agar tidak gundah oleh hujatan publik. Persoalannya, bagaimana mungkin Polri tidak berkecil hati dan tidak risau manakala di dalam hujatan masyarakat itu bersimpul berbagai masalah yang lebih karut-marut lagi?
    Andai hari ini dilakukan survei kepercayaan publik terhadap Polri, kecil kemungkinan Polri berada pada posisi yang meyakinkan. Bandingkan dengan, antara lain, survei MORI pada 1983-2006, yang menempatkan kepolisian Inggris (selaku lembaga pelayanan publik) pada posisi menengah sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat. Juga survei George Mason University pada 2000-an, di mana lembaga kepolisian berada di peringkat tiga dari sepuluh besar.
    Jika citra negatif Polri berlarut-larut, keselamatan para personel Polri di lapangan bisa sangat berisiko. Walau cedera atau bahkan kematian merupakan risiko yang melekat erat dengan profesi polisi, cedera maupun tewasnya aparat Polri saat menjalankan tugas–pada dasarnya–adalah juga kematian manusia. Pada tataran itu, nilai mereka setara dengan cedera, apalagi kematian, warga masyarakat yang disebut-sebut menjadi korban kebrutalan polisi. Manakala personel Polri sadar akan meningginya risiko maut saat bertugas, reaksi psikologis berupa turunnya kendali emosi dan perilaku betapapun manusiawi pada gilirannya dapat berisiko pada keselamatan publik.
    Dengan reputasi yang melorot, efektivitas kerja Polri menjadi persoalan penting. Situasi memang belum tentu linear, melainkan bisa saja berputar-putar: apakah reputasi yang mempengaruhi kerja Polri, ataukah keandalan yang kurang memadai yang pada gilirannya menentukan citra Polri? Bagaimanapun buruknya citra Polri di mata masyarakat, Polri tetap harus bekerja. Jadi, bukan perbaikan citra yang harus disasar. Pada pembenahan kerja semestinya Polri semata-mata memfokuskan diri.
    Persepsi masyarakat terhadap institusi kepolisian sebenarnya tidak ditentukan oleh institusi Polri sendiri. Di samping turut dipengaruhi oleh pemerintah yang tengah berkuasa dan konstelasi politik secara sekaligus, Polri hanya satu dari sekian lembaga penegakan hukum yang ada. Jadi, persepsi publik terhadap Polri, disadari maupun tidak, juga dipengaruhi oleh kerja lembaga-lembaga penegakan hukum selain Polri.
    Dapat dinalar, sebaik apa pun kerja Polri, ketika institusi hukum selain Polri menunjukkan performa yang tidak seimbang, maka Polri yang akan paling buruk terkena getahnya. Publik mengarahkan kritik paling tajam utamanya kepada Polri. Ini konsekuensi dari posisi polisi, dibandingkan misalnya jaksa dan hakim, selaku penegak hukum yang berhubungan paling dekat dan paling langsung dengan masyarakat.
    Tambahan lagi, peran polisi pun tampak lebih mengemuka dalam situasi menjelang puncak krisis serta pada titik ledakan krisis. Dalam dua episode krisis tersebut, aksi-aksi kekerasan kian berpeluang terjadi. Kendati kekerasan sendiri hingga beberapa segi memang merupakan bagian dari kerja formal polisi dalam rangka menjalankan tugas, situasi krisis akan menempatkan aparat di lapangan pada situasi di mana sekat antara kekerasan dan kebrutalan menjadi sangat tipis.
    Peran sedemikian rupa tak ayal akan melekatkan Polri dengan sisi penegakan hukum yang keras. Berbeda dengan jaksa dan hakim, yang “baru” mulai bekerja tatkala puncak krisis sudah berlalu dan sisi keras tadi sudah disaring (diredakan) polisi. Jaksa dan hakim, dengan kata lain, bekerja ketika kejadian pelanggaran hukum ataupun kejahatan telah dikemas ke bentuk lembut.
    Kondisi semacam itu, walhasil, menuntut Polri dan jajaran penegak hukum lainnya untuk terus bersinergi. Perombakan seradikal apa pun di tubuh Polri tidak akan benar-benar berefek produktif, baik bagi kerja maupun citra, selama pembenahan tersebut masih berlangsung sektoral atau tidak terintegrasi dengan perombakan pada lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya secara simultan.
    Penilaian masyarakat terhadap institusi Polri juga tidak sebatas pada hasil kerja. Meningginya ekspektasi publik akan standar kerja dan etika Polri membuat masyarakat tidak lagi menakar keberhasilan kerja Polri berdasarkan statistik kejahatan, misalnya. Bahkan rendahnya angka kejahatan tidak akan banyak mengubah persepsi publik apabila pada masa yang sama dua wujud perpolisian yang memangsa (predatory policing) masih lebih dominan ketimbang perpolisian yang santun dan bersih. Ini kiranya yang menjadi penjelasan mengapa masyarakat begitu antusias mencela kerja Polri di Bima namun dingin saja merespons keberhasilan Polri mengamankan puluhan kilogram ekstasi dari tangan sindikat narkoba.
    Jadi, tanpa mengesampingkan penuntasan kasus, justru Polri perlu lebih banyak melakukan koreksi terhadap cara-cara kerja mereka menuntaskan kasus. Terkait cara kerja, saya menekankan bahwa langkah koreksi tidak semestinya bertumpu pada Propam sebagai unit yang berpendekatan penghukuman (punitive). Laiknya pemadam kebakaran, Propam lebih terpusat pada personel yang bermasalah. Sebagai gantinya, unit Polri yang berhubungan dengan pemberdayaan, yakni pembinaan sumber daya manusia serta pendidikan dan pelatihan, sepatutnya dijadikan sebagai ujung tombak bagi aktivitas koreksi tersebut.
    Satu elemen yang erat hubungannya dengan pencitraan institusi kepolisian adalah media massa. Lazimnya, masyarakat menjadikan pemberitaan media sebagai referensi atas pandangan-pandangan mereka terhadap Polri. Persoalannya, ada pola tipikal bahwa media lebih menaruh perhatian pada kejadian-kejadian sensasional. Pewartaan media tentang kinerja kepolisian juga cenderung membingkai polisi sebagai pihak yang gagal menjalankan tugas. Pola seperti itu, bisa dipahami, akan membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap kepolisian.
    Terlepas dari itu, ternyata media bukan segalanya. Riset menunjukkan, penilaian bukan hanya pandangan publik terhadap kepolisian jauh lebih ditentukan oleh kontak terakhir antara masyarakat dan petugas polisi. Implikasi temuan ini adalah pentingnya polisi membangun relasi seintensif dan sepositif mungkin dengan masyarakat. Semakin banyak dan mutakhir pengalaman masyarakat berhubungan langsung dengan polisi, itulah yang akan mengangkat citra polisi.
    Pada saat yang sama, saya mempertanyakan relevansi keberadaan unit humas Polri. Unit semacam ini dapat memunculkan salah kaprah di kalangan personel Polri sendiri, yakni mereka menganggap bahwa kehumasan seolah merupakan domain unit tertentu saja. Atas dasar itu, di masa mendatang, patut dipertimbangkan opsi pembubaran unit humas atau pembatasan lingkup kerja unit tersebut menjadi unit hubungan media (media relations). Pada saat yang sama, kehumasan dikembalikan ke kodratnya sebagai aktivitas yang harus ditekuni, bahkan sukma yang harus dihayati, oleh setiap insan Polri.
  • Tabrakan Antarkebijakan BBM

    Tabrakan Antarkebijakan BBM
    Tasroh, PEGIAT BANYUMAS POLICY WATCH DARI PURWOKERTO,
    ALUMNUS RITSUMEIKAN ASIA PACIFIC UNIVERSITY JEPANG
    Sumber : SUARA MERDEKA, 26Januari 2012
    “Penghematan belanja negara harus dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama untuk pos belanja pegawai”

    PEMERINTAH kebingungan terkait dengan implementasi kebijakan hemat energi, khususnya mengerem subsidi negara terkait pembatasan BBM bersubsidi. Wajar bila selaku operator, Pertamina tak sepenuhnya siap dengan rencana itu karena sarana dan infrastruktur serta tekanan publik yang berisiko memicu chaos di mana-mana jauh lebih berbahaya ketimbang meneruskan kebijakan pembatasan.

    Sikap limbung itu diyakini banyak pihak bahwa pemerintah, bahkan Pertamina sebagai operator, tak sepenuhnya yakin negara tak mampu menyubsidi rakyat. Eksekutif tak yakin bahwa APBN babak belur gara-gara subsidi BBM terus membengkak yang tahun lalu Rp 160 triliun.

    Terlepas dari sikap limbung itu, dalam minggu ini pemerintah berencana rapat dengan DPR membahas kenaikan harga BBM subsidi, usulannya harga premium menjadi Rp 6.000/ liter. Publik berharap hasil rapat itu menjawab kebingungan mengenai kebijakan pemerintah, antara lain sebagaimana dikatakan pengamat perminyakan Dr Kurtubi (SM, 25/01/12).

    Tak hanya pelit subsidi BBM, gas, air, dan listrik; pemerintah juga pelit menyubsidi nelayan, petani, dan UMKM serta rakyat miskin. Jika tahun 2010 masih memberikan subsidi Rp 1,6 triliun untuk raskin dan kebutuhan pokok rakyat miskin, tahun ini hanya menganggarkan Rp 900 miliar.

    Demikian juga pada 2010, menganggarkan subsidi untuk petani dan nelayan Rp 3,2 triliun maka tahun ini hanya Rp 2,1 triliun. Sudah tak terhitung lagi kebijakan pengurangan subsidi sejak reformasi bergulir.

    Berkaca dari fakta itu, rasanya menjadi abnormal ketika pemerintah masih berteriak kekurangan dana untuk subsidi. Akar persoalan sebenarnya pembiaran kebijakan komponen lembaga publik yang berakibat lahirnya kebijakan yang saling bertabrakan.

    Ketika konon pemerintah krisis keuangan sehingga subsidi untuk rakyat terus dipangkas, di sisi lain belanja pegawai dan modal tak jelas arah justru digenjot. Ketika subsidi untuk petani gurem terus dipereteli, pemerintah membiarkan renovasi ruang Banggar DPR hingga Rp 20 miliar. Setali tiga uang dengan proyek toilet DPR yang Rp 2,3 miliar, penanggalan bergambar topeng monyet Rp 1,2 miliar, dan harga kursi impor wakil rakyat yang Rp 24 juta per unit.

    Boros Anggaran

    Belum lagi fakta suap yang melibatkan petinggi parpol dan elite negara yang triliunan rupiah. Dari mana duit sebanyak itu yang dikorupsi? Jawabnya, dari produk kebijakan yang saling bertabrakan, yang berujung pada peningkatan belanja APBN yang justru dikorupsi segelintir elite dan birokrat.

    Lembaga Konsumen Indonesia juga menilai kebijakan energi sebagai kebijakan yang sudah lama dibiarkan bertabrakan, bahkan antarregulasi. Kita lihat Pasal 7 Ayat 6 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang transkripnya berbunyi, ”harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan” menjadi ”penjebak” pemerintah seolah alergi menaikkan harga BBM.

    Pasal dalam UU ini juga tidak pernah dibahas, apalagi disetujui DPR. Di sisi lain maksud pengendalian yang dijabarkan dalam UU itu ditangkap seolah-oleh harga mati, yaitu pembatasan BBM bersubsidi. Landasan hukum lain yang digunakan pemerintah juga bertabrakan karena hanya merujuk rancangan Perpres Nomor 55 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 9 Tahun 2006.

    Karena itu, guna mencegah kebijakan saling bertabrakan yang merugikan banyak pihak, terutama rakyat, ke depan implementasi dan evaluasi kebijakan harus saling terhubung harmonis, khususnya dengan harapan dan tuntutan publik, serta kaitannya dengan lembaga yang lain (legislatif dan yudikatif). Jangan sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan kontraharapan rakyat di satu sisi tetapi membiarkan lembaga birokrasi publik memboroskan anggaran.

    Penghematan belanja negara harus dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama belanja pegawai. Caranya, kaji lintas lembaga birokrasi pos-pos yang dapat direm belanjanya dan alihkan ke pos yang menentukan hajat hidup banyak orang. Misalnya mengkaji kebijakan belanja komunikasi dan transportasi untuk birokrat di berbagai lembaga publik yang per tahun Rp 6,4 triliun.  

  • Krisis Peran Negara dalam Tata Kelola SDA

    Krisis Peran Negara dalam Tata Kelola SDA
    W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA DAN DOSEN FH
    UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 
    Sumber : SINDO, 26 Januari 2012
    Negara dalam konstelasi sistem pemerintahan bercorak negara kesejahteraan (welfare state) dinisbatkan sebagai pelindung rakyat (the guardian of the citizen) dalam format trias politika di negara modern, yaitu negara, pasar (market),dan rakyat.
    Jika dalam format trias politika klasik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tiga pilar kekuasaan tersebut harus melaksanakan fungsi saling mengawasi (checks and balances), dalam format trias politika modern tiga pilar kekuasaan tersebut (negara, pasar, dan rakyat) juga diharapkan mampu membangun keseimbangan peranan. Alih-alih terbangun suatu keseimbangan peranan di antara ketiga pilar kekuasaan dalam format trias politika modern, yang sering terjadi adalah hegemoni pasar terhadap pilar negara maupun rakyat.

    Maka, sejak lahirnya paham konstitusionalisme di Eropa, konstitusi suatu negara diposisikan sebagai jembatan emas yang menjadi jalan untuk membangun keseimbangan pilar- pilar trias politika klasik maupun modern. Indonesia sebagai salah satu negara yang konstitusinya mendeklarasikan diri sebagai negara kesejahteraan mengatur keseimbangan relasiantara ketiga pilar trias politika modern tersebut melalui sebuah konstitusi ekonomi (economic constitution).

    Konstitusi ekonomi adalah suatu konstitusi/hukum dasar suatu negara yang berupaya meletakkan landasan kesejahteraan dan keselamatan ekonomi rakyatnya dengan menata keseimbangan relasi antara negara,pasar,dan rakyat. Lahirnya konstitusi ekonomi menurut pandangan Charles A Beard (2004) jika ditelusuri dari proses lahirnya sebuah konstitusi lazimnya sarat dengan konflik antarkepentingan ekonomi, baik kepentingan para pendukung (proponents) maupun penentang (opponents), dalam sebuah paradigma ekonomi negara yang diidealkan.

    Para pendiri republik di masa itu menggagas sebuah ekonomi kesejahteraan dalam sebuah negara yang bertipe w e l f a r e state. Negeri ini kini kian diramaikan oleh sengketa seputar pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Freeport, Mesuji,dan Pelabuhan Sape-Bima NTB yang bukan tak mungkin akan semakin berkembang lebih luas lagi.

    Jika direfleksikan, perselisihan-perselisihan yang terjadi antara rakyat/pekerja dengan korporasi yang memegang konsesi/ lisensi pengelolaan SDA dan diperparah dengan kesan ketidaknetralan aparat keamanan yang cenderung menguntungkan korporat pengelola SDA di daerah-daerah tersebut di atas, hal itu sebenarnya merupakan gugatan atas krisis peran negara dalam tata kelola SDA dalam ranah konflik agraria.

    Konflik-konflik sporadis yang sementara ini terjadi secara acak di berbagai daerah di Indonesia bukan tak mungkin bisa berkembang sebagai sebuah gerakan sistematis. Gerakan itu pada intinya menggugat keadilan dalam pengelolaan SDA apabila negara tidak segera mengelolanya dalam desain strategis reformasi agraria (landreform) sebagaimana pernah diamanatkan sejak 1960.

    Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok dalam konstitusi ekonomi telah menggariskan peran negara sebagai penguasa tunggal atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya agar mampu menjamin terwujudnya kemakmuran/ kesejahteraan rakyat.Namun pasal itu terlihat kehilangan daya kekuatan konstitusionalnya ketika praktik praktik pengelolaan SDA berdasarkan konsesi/lisensi pemerintah ternyata justru menderogasi kekuatan Pasal 33 UUD 1945 dalam menjaga kesejahteraan atau keselamatan ekonomi rakyatnya.

    Supremasi konstitusi yang lazimnya menjadi pilar dasar sebuah negara hukum telah digantikan dengan supremasi libido ekonomi korporasi pengelola SDA yang tak jarang bersimbiosis dengan negara. Simbiosis ini yang menyebabkan rakyat perambah hutan teralienasi karena tercabut status hak adatnya atas tanah yang dikelolanya secara turun-temurun.

    Hal itu pulalah yang menyebabkan tambang emas dan SDA lainnya tersedot kian menjauhi bumi pertiwi karena dieksploitasi atas nama kepentingan pemodal yang tinggal nun jauh di negeri seberang dan sederet praktik eksploitasi SDA yang jauh dari pesan konstitusi ekonomi negeri ini.

    Aturan

    Reformasi agraria yang sejak berlakunya UUPA (UU No 5 Tahun 1960) telah dicanangkan sebenarnya bisa menjadi salah satu langkah penting untuk mulai melakukan penataan ulang peran negara dalam pengelolaan SDA. Negara tak boleh kehilangan watak dasarnya sebagai pelindung kesejahteraan rakyatnya.

    Selain itu, gerakan yang menuntut dikeluarkannya pengaturan khusus mengenai desa sangat penting untuk diakomodasi. Seraya itu negara harus mengintegrasikan dan mengharmonisasikan berbagai substansi produk legislasi yang terkait dengan tata kelola SDA dalam produk undangundang yang mengatur tentang desa. UU Desa nantinya bisa dijadikan sebagai undang-undang yang menyinergikan pengelolaan SDA sembari menegaskan kedudukan dan peranan desa dalam negara.

    Hal ini sangat penting karena muara dalam pengaturan mengenai reformasi agraria pasti akan berujung pada penataan ulang kedudukan dan kewenangan desa. Negara yang berkonstitusi sebenarnya merupakan wujud kasatmata dari negara yang telah bebas dari belenggu penjajahan. Rekonseptualisasi peran negara mengacu pada konstitusi ekonomi yang menjadi piagam kemerdekaannya secara ekonomi guna menyejahterakan rakyatnya menjadi suatu keharusan jika negeri ini tak ingin kian tergadai.

    Bukankah itu komitmen semula ketika para pendiri negeri ini mendeklarasikan kemerdekaan negeri ini dari tangan penjajah enam puluh tahun silam dalam sebuah republik desa sebagai bentuk demokrasi ideal yang dicita-citakan,yaitu adanya pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyatnya?  

  • Negara, Konflik, dan Demokrasi

    Negara, Konflik, dan Demokrasi
    Novri Susan, Sosiolog Konflik Unair, Kandidat PhD Bidang Conflict Management and
    Governance di Doshisha University, Jepang
    Sumber : SINDO, 26 Januari 2012
    Salah satu fenomena dominan dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia adalah realitas konflik dalam dimensi vertikal. Bentuknya berupa konflik antara kelompok sosial yang berada dalam posisi subordinatif (tanpa wewenang) dengan kelompok ordinatif (memiliki wewenang), dari konflik separatisme, konflik pertanahan sampai konflik perburuhan yang akhir-akhir ini mengalami eskalasi.

    Sayangnya berbagai dimensi konflik vertikal tersebut cenderung hadir dalam bentuk kekerasan dalam level berbedabeda. Pada kasus Mesuji dan Sape,kekerasan dalam konflik menyebabkan korban jiwa dan luka-luka terutama di kalangan kelompok subordinatif. Pada banyak kasus konflik perburuhan, bentrok antara aparat keamanan dan buruh juga sering kali terjadi.

    Berbagai konflik vertikal tersebut cenderung berlarut-larut tanpa pemecahan akar masalah dan memobilisasi kekerasan. Para ilmuwan studi konflik kritis melihat hal tersebut sangat berkaitan dengan lemahnya negara memfungsikan mediasi konflik transformatif, yaitu pengelolaan konflik damai yang mampu membawa kelompok-kelompokberkonflik pada pemecahan masalah.

    Sebagai bagian dari dunia sosial yang omnipresence,hadir di mana pun, konflik sebenarnya bukan fenomena luar biasa. Konflik hanya menjadi situasi luar biasa ketika masalah di dalamnya tak terpecahkan, terus berkepanjangan, dan korban berjatuhan. Salah satu akar penentu dari kondisi konflik luar biasa adalah perspektif pengelolaan konflik oleh para aktor yang terlibat.

    Perspektif pe-ngelolaan konflik secara diametris dibedakan antara perspektif damai dan kekerasan. Misi perspektif pengelolaan konflik damai adalah mendorong seluruh kelompok berkonflik menuju pada pemecahan masalah yang memberikan keadilan dan jalan keluar bersama.Sebaliknya, misi perspektif kekerasan adalah melemahkan atau menyingkirkan salah satu kelompok berkonflik melalui memobilisasi represi fisik dan mental.

    Pada sistem demokrasi seperti yang dianut Indonesia,misi pengelolaan konflik oleh negara seharusnya berfundamen pada cara-cara damai dengan orientasi pemecahan masalah. Metode pengelolaan konflik damai mengoptimalkan fungsifungsi dialog dan negosiasi dari lembaga-lembaga pemerintahan. Namun pemerintah, yang sering direpresentasikan oleh kepolisian dan satuan polisi pamong praja (satpol PP) memilih kekerasan sebagai perspektif penanganan konflik.

    Penyesatan Demokrasi

    Pemilihan metode kekerasan oleh negara mengin-dikasikan bahwa demokrasi telah disesatkan sehingga kandungan nilainya tentang kemanusiaan dan keadilan tidak termanifestasi secara riil oleh negara dalam tata kelola konflik. Moira Fradinger menyebutkan bahwa korupsi antara elite negara dan pelaku pasar adalah akar dari terjadinya penyesatan demokrasi/perversion of democracy (Binding Violence, 2010).

    Penyesatan demokrasi ditandai oleh terbaliknya konsep- konsep demokrasi tentang kebaikan umum dan kemanusiaan dalam hidup berbangsa bernegara.Kesetaraan menjadi marginalisasi,keadilan menjadi penindasan,dan musyawarah menjadi kekerasan. Modus penyesatan demokrasi sederhana saja, para penyelenggara kekuasaan negara menjual hukum dan kebijakan pada kelompok-kelompok pelaku pasar yang sering disuguhi administrasi rumit ber-bisnis.

    Oleh karenanya,penyesatan demokrasi berlangsung secara “legal”, melahirkan berbagai aturan hukum dan surat keputusan negara yang melin-dungi kepentingan pemodal besar saja.Oleh karenanya penyesatan demokrasi ditandai oleh kebijakankebijakan legal negara yang tidak merefleksikan aspirasi masyarakat seperti petani dan buruh. Akan tetapi hanya segelintir penyelenggara kekuasaan negara memperoleh keuntungan, baik gratifikasi maupun fasilitas mewah.

    Pada kondisi penyesatan demokrasi inilah lembaga pemerintahan bekerja melindungi kebijakan-kebijakan legal yang telah ditransaksikan seperti kebijakan pemberian izin perluasan tanah perkebunan, pertambangan,dan upah minimum buruh. Ketika masyarakat memprotes kebijakan tersebut karena merugikan hakhak sebagai warga atau buruh, negara menanganinya dengan perspektif kekerasan.Penyesatan demokrasi secara dramatis telah menyebabkan negara dan struktur organisasinya tidak mampu menjalankan peran mediasi konflik transformatif.

    Pembiakan Kekerasan

    Perspektif kekerasan negara terhadap kelompok subordinatif, seperti buruh dan petani, sering dijustifikasi oleh alasan “demi kepentingan umum” sehingga aksi blokade jalan tol, pendudukan pelabuhan, bandar udara, dan perkantoran pemerintah lainnya dianggap kondisi membahayakan kepentingan umum. Oleh sebab itu negara yang bertameng pada mekanisme legal fancied emergency, yaitu hak menentukan kondisi berbahaya berdasar hukum positif, bisa menekan kelompok subordinatif dengan cara kekerasan.

    Pada langkah ini sebenarnya negara melakukan pembiakan kekerasan dalam kasus konflik vertikal. Kelompok subordinatif yang merasa terpinggirkan oleh keberpihakan negara pada pemodal besar makin mengalami luka perasaan kolektif atas kekerasan negara tersebut.Alhasil, mobilisasi perlawanan masyarakat makin deras.Mereka melawan aparat keamanan dan merusak fasilitas umum sebagai simbolisasi kekecewaan mendalam.

    Melihat perlawanan tersebut dari kacamata hukum positif an sich akan menyebabkan kelompok subordinatif sebagai pelaku kriminal.Akan tetapi dari kacamata pengelolaan konflik damai negara telah menutup kemungkinan bagi arah pemecahan masalah. Negara demokrasi, mengutip John Keane, dalam penggunaan kekerasan negara harus berprinsip pada perlindungan keamanan seluruh warga negara dari ancaman agresi asing (Violence and Democracy, 2004).

    Adapun konflik-konflik pertanahan atau perburuhan merupakan konflik dalam negara (intrastate conflict) yang harus dikelola berdasar prinsip demokrasi, yaitu dialog negosiasi tanpa dominasi antara berbagai kelompok berkonflik,sehingga pada kasus konflik antara buruh dan petani dengan perusahaan negara harus mengabaikan kekerasan dan mengoptimalkan dialog negosiasi.

    Realisasi pengelolaan konflik damai akan memberikan jaminan pada pemecahan masalah dari konflik-konflik vertikal daripada perspektif kekerasan. Para pemimpin negara, dari kekuasaan pusat dan daerah, seharusnya memiliki visi ini demi terciptanya negara bangsa Indonesia yang adil makmur dan sejahtera.

  • Benteng Moral untuk KPK

    Benteng Moral untuk KPK
    Benny Susetyo, ROHANIWAN, SEKRETARIS EKSEKUTIF KOMISI HAK KWI, PEMERHATI SOSIAL
    Sumber : SINDO, 26 Januari 2012
    Seruan moral tokoh lintas agama kepada para pemimpin negeri beberapa waktu lalu belum menunjukkan perubahan yang maksimal. Ini dibuktikan dengan mengemukanya berbagai kasus ketidakadilan di negeri ini dari hari ke hari.

    Seruan agar pemerintah mengakhiri kebohongan publik sepertinya hanya dianggap angin lalu. Di saat yang diingatkan sudah bebal dan tuli,tokoh agama tidak menyerah dengan terus menyerukan suara-suara keadilan kepada lembaga-lembaga lain yang masih mau mendengar. Dukungan yang diberikan tokoh lintas agama kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai bisa membantu lembaga tersebut lebih lurus dan maksimal dalam menjalankan tugas-tugasnya menjaga negeri ini dari korupsi.

    Amat pantas bila tokoh agama merasa khawatir membayangkan korupsi negeri ini bahkan sudah merasuk sampai ke dunia pendidikan. Masih begitu banyak kasus besar yang belum tuntas dan masih menimbulkan tanda tanya publik. Karena itulah sudah semestinya publik mendorong KPK agar terus berani bergerak efektif menuntaskan kasus-kasus yang merugikan bangsa seperti BLBI, rekening gendut, Century, dan seterusnya.

    KPK perlu mendapatkan semangat baru agar tidak takut dengan intervensi kekuasaan atau partai politik atau orang-orang kuat lainnya yang bermaksud melemahkan KPK. Dalam konteks kekinian, tumbuh keprihatinan mendalam terhadap kasus-kasus ketidakjelasan dan perampasan hak-hak rakyat di bidang agraria. Publik berharap KPK mampu mengungkap persekongkolan penguasa, pengusaha, serta aparatus negara yang membuat rakyat terusir dari tanahnya sendiri.

    Hukum Tanpa Keadilan

    Berbagai kasus hukum yang menimpa rakyat kecil di negeri kita akhir-akhir ini merupakan fenomena paling buruk bagi kita dalam menegakkan keadilan hukum. Hukum yang gamang dengan roh keadilan yang semakin menjauh dari rakyat kecil. Rasa keadilan di negeri ini benar-benar sedang diuji. Berbagai contoh nyata hadir ke hadapan kita memberikan petunjuk bahwa keadilan sedang berada di titik nadir.

    Apakah berbagai fakta ketidakadilan ini bisa dibaca dengan hati nurani oleh para elite negeri ini? Fakta-fakta itu sangat bertentangan di pihak lain ketika pencurian dan perampokan harta kekayaan negara semakin membabi-buta, mengerikan, dan dilakukan dengan beragam cara.Para penegak hukum justru ragu menegakkan keadilan seolah tidak memiliki kepekaan yang mendalam atas apa yang terjadi.Kini rakyat betul- betul merasa diper-mainkan dengan situasi yang kalut seperti ini.

    Rakyat kecil dipermainkan dengan berbagai kebohongan para elite.Sudah lama di negeri ini kita susah membedakan antara kebohongan dan kebenaran. Yang bohong sering dianggap sebagai kebenaran dan yang benar sering merupakan kebohongan. Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang.Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.

    Keadilan tidak untuk semua,melainkan untuk sebagian (yang bisa “membeli”-nya).Keadilan yang milik penguasa dan si empunya uang. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh.Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa,otot,dan uang) menceraikannya. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasalpasal di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring.

    Hukum mandul karena hanya mampu menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Tragedi ini bisa jadi akan mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum”sering kali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.

    Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomprador dengannya. Hukum gagal ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial karena lebih memandang kekuatan hukum formal dan permainan pasal-pasal. Akibatnya hukum belum mampu memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindarkan diskriminasi.

    Ini semua masih soal pelajaran bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat dengan berbagai fakta ketidakadilan bahwa seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena mereka memiliki jabatan. Di negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku.Semua berkewajiban dan berhak sama.

    Yang sedang dipertontonkan hari ini adalah bagaimana hukum tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat, dan koruptor, tapi tajam beringas menghukum kelas teri dan mereka yang serius ingin menciptakan bangsa ini bersih. Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati keistimewaan.

    Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan oleh sikap arogan kekuasaan.Karena kekuasaan yang menjadi acuan, kita tak sanggup untuk melihat hati nurani.Karena kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.

    Seruan Keprihatinan

    Para tokoh agama kembali menyatakan keprihatinan terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan keprihatinan saat ini jauh lebih mendalam dan mendasar. Gurita korupsi dari hulu ke hilir melibatkan pejabat kementerian, anggota DPR,para penegak hukum,partai politik, pengusaha, dan sebagainya. Akibatnya terlihat semakin jelas.

    Sebagian besar rakyat Indonesia semakin berat membayar biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok sehari-hari. Rasa aman dan damai terasa semakin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM dan kebebasan beribadat, kekerasan, perusakan lingkungan hidup, dan hukum yang tidak berdaulat. Ini semua merupakan cermin dari perilaku anak bangsa yang bekerja sekadar mencari kesenangan perutnya semata. Itu semua membuat mereka terasing dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.

    Bumi dan kekayaan alam pun dihabiskan demi kepentingan nafsu kekuasaan politik. Begitu berbahaya ketika kita hidup di sebuah negeri tanpa pengharapan. Selama ini pemerintahan ini telah menyianyiakan kesempatan untuk memulihkan bangsa ini menjadi negeri sejahtera. Itu semua akibat politik disandera oleh kepentingan modal dan sikap buruk berkuasa.

    Orientasi pembangunan hanya mementingkan kapital dan pemiliknya. Dan paradigma pembangunan kita sesungguhnya masih setia pada pola liberalisme yang terlalu banyak memanipulasi realitas. Fakta kemiskinan di negeri ini pun sering hanya dilihat sebagai polemik. Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka.

    Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, mereka-mereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka.

  • Penegakan Hukum Kasus Pencurian Kecil

    Penegakan Hukum Kasus Pencurian Kecil
    Jamal Wiwoho, DOSEN S1,S2 DAN S3 FAKULTAS HUKUM UNS SOLO
    Sumber : SUARA KARYA, 26 Januari 2012
    Awal tahun ini, publik kembali dikejutkan dengan kasus AAL (15 tahun) pencurian sandal jepit di Palu, Sulteng yang divonis bersalah dan dikembalikan ke orangtuanya di PN Palu. Proses penanganan perkara pidana ini dianggap oleh banyak kalangan tidak bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rakyat kecil selalu lemah jika berhadapan dengan hukum. Aksi solidaritas publik pun menggema di suluruh pelosok negeri.
    Sebenarnya masih banyak rakyat kecil yang mengalami rasa ketidakadilan macam itu. Misalnya, kasus Aminah, pencuri tiga butir kakao di Banyumas yang divonis penjara 1 bulan 15 hari (2009). Kemudian, Supriyadi (40), terlibat kasus pencurian dua batang singkong dan satu batang bambu di Pasuruan divonis 1 bulan 20 hari kurungan (10/2010). Kasus Amirah, pekerja rumah tangga yang dituduh mencuri sarung bekas di Pamekasan, dipenjara 3 bulan 24 hari (7/2011) .
    Berbagai kasus pencurian yang melibatkan rakyat kecil selalu mendapatkan pembelaan oleh publik. Di sini akan menjadi perdebatan hebat dari substansi tujuan hukum itu sendiri antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Secara teoritis filosofis, rumusan tersebut sangat ideal, namun dalam tataran empiris, ketiganya sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pembelaan publik selalu memakai pendekatan keadilan substansial, bukan sekedar prosedural dan mengedepankan alasan-alasan sosiologis. Dalam kondisi tertentu akhirnya muncul pendapat umum bahwa hukum hanya tajam jika berhadapan dengan orang lemah yang tidak memiliki akses ekonomi dan politik, namun tidak berdaya jika berhadapan dengan orang yang dekat dengan kekuasaan.
    Dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), perkara pencurian kecil yang melibatkan orang miskin akan selalu dihadapkan pada dilema yang sulit dicarikan jalan keluarnya. Di satu sisi, pencurian adalah perbuatan pidana yang menimbulkan korban dan hukum positif dengan ancaman pelanggaran Pasal 362 yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Namun, di sisi lain, rakyat miskin yang melakukan perbuatan itu mungkin karena hanya faktor ketidaktahuan semata bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk tindak pidana ataupun karena faktor keterpaksaan untuk menyambung hidup.
    Pembelaan publik terhadap kasus pencurian kecil macam itu dapat diidentifikasi menjadi dua isu mendasar. Pertama, mengenai proses penanganan perkara bagi kaum miskin oleh aparat penegak hukum yang tidak profesional dan diduga melanggar norma penanganan perkara pidana. Kedua, publik mempersoalkan kenapa pencurian kecil oleh kaum miskin harus dimejahijaukan?
    Dalam konteks dukungan publik, pada isu pertama, aparat harus selalu bertindak profesianal berdasarkan norma hukum yang ada. Namun, dalam konteks yang kedua, penulis kurang sependapat, jika aparat penegak hukum dipersoalkan apabila memproses tindak pidana pencurian kecil yang dilakukan oleh kaum miskin. Di sini perlu dibedakan mengenai kasus pencurian dan kasus pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat dalam menangani perkara. Tentunya apabila ditemukan pelanggaran hukum, dua-duanya harus sama-sama ditegakkan.
    Aparat penegak hukum pada kasus pencurian, dalam menjalankan fungsinya sangat terikat dengan ketentuan norma Pasal 362 KUHP dan dipaksa membunyikan dan menegakkan ketentuan itu. Jika tidak, aparat penegak hukum bisa kesalahan, dan dikira tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Di sinilah dilema yang dihadapi oleh aparat penegak hukum terutama polisi sebagai garda terdepan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Rumusan pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 362 KUHP sangat jelas. Jika polisi berani menangani perkara pencurian maka harus dapat memenuhi 4 unsur utama yang harus dibuktikan sesuai dengan rumusan delik pencurian.
    Pertama, ada perbuatan mengambil. Kedua, yang diambil harus sesuatu barang. Ketiga, barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Dan, keempat, pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Jika aparat penegak hukum menyakini 4 unsur itu terpenuhi maka sah untuk diproses sampai di pengadilan. Apabila sampai akhirnya hakim meyakini unsur itu terbukti dan memvonis bersalah, tentunya publik harus bisa menerima. Jika sekiranya putusan tersebut tidak adil tentunya harus disalurkan dalam mekanisme hukum yang benar, yaitu melalui banding dan kasasi.
    Dalam konteks ini publik juga harus dipahamkan, bahwa sistem hukum pidana kita terutama rumusan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP tidak membedakan pelaku pencurian untuk orang miskin atau orang kaya dan besar kecilnya barang atau uang yang dicuri tidak bisa menghapuskan perkara pidananya. Dilemanya pencurian sepintas dilihat angka rupiah yang dicuri, keadilan normatif tidak bisa dihitung seperti itu saja. Yang namanya pencurian unsur-unsurnya jelas tidak ada sedikit pun mengenai jumlah atau angka-angka itu, tetapi opini masyarakat yang berkembang menilai bahwa aparat penegak hukum harus lebih melek aturan, dengan membandingkan perkara pencurian oleh orang miskin dengan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang masih timpang.
    Jika dukungan publik seperti ini selalu berkembang, dikhawatirkan publik secara tidak sadar telah ikut andil melegitimasi pencurian kecil yang dilakukan oleh orang miskin. Hal ini bisa berbahaya, apabila tidak segera dicegah, analoginya sederhana apabila pencurian sandal/pencurian dengan nilai kecil dituntut untuk dibebaskan maka kita telah ikut andil dalam membangun masyarakat atau generasi anak bangsa berperliku mencuri dan ini tidak baik dalam membangun budaya hukum dan penegakan hukum di Indonesia.
    Alternatif solusinya adalah membangun adanya mediasi penal atau restoratif justice dalam sistem hukum positif di Indonesia, sehingga pelanggaran tindak pidana termasuk pencurian tidak semuanya harus dihadapkan di Pengadilan. Diharapkan perumusan keadilan substansial untuk mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dapat segera diwujudkan.
  • Mengkaji Kembali Mutlaknya Pertumbuhan

    Mengkaji Kembali Mutlaknya Pertumbuhan
    Kenneth Rogoff, GURU BESAR EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PADA HARVARD UNIVERSITY; MANTAN EKONOM KEPALA PADA IMF
    Sumber : KORAN TEMPO, 25 Januari 2012
    Makroekonomi modern sering tampaknya memandang pertumbuhan ekonomi yang cepat dan stabil sebagai segalanya dari awal dan akhir suatu kebijakan. Pesan itu bergema dalam debat politik, sidang-sidang bank sentral, dan berita halaman muka surat kabar. Tapi apakah memang pantas menganggap pertumbuhan sebagai tujuan utama suatu masyarakat yang terus bergerak, seperti yang secara implisit diasumsikan dalam buku teks ekonomi?
    Banyak esai dan kajian yang mengecam statistik ekonomi standar telah mendesak diambilnya langkah-langkah yang lebih luas untuk kesejahteraan nasional, seperti harapan hidup pada kelahiran, tingkat melek huruf, dan lain-lain. Penilaian semacam ini tercantum juga dalam Laporan Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan baru-baru ini laporan oleh Komisi mengenai Ukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial, yang disponsori Prancis dan dipimpin oleh ekonom Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi.
    Tapi mungkin ada masalah yang bahkan lebih dalam daripada sekadar statistik yang sempit itu: gagalnya teori pertumbuhan modern memberikan tekanan yang menandai kenyataan bahwa masyarakat itu makhluk sosial. Masyarakat menilai kesejahteraan mereka berdasarkan apa yang mereka lihat di sekeliling mereka, bukan pada standar absolut semata.
    Ekonom Richard Easterlin terkenal mengamati bahwa survei-survei mengenai “kebahagiaan” menunjukkan dengan mengejutkan tidak terlihatnya evolusi pada dekade-dekade setelah Perang Dunia II, walaupun terdapat kecenderungan pertumbuhan pendapatan yang signifikan. Namun pengamatan Easterlin ini tampaknya tidak berlaku bagi negara-negara yang sangat miskin, di mana pendapatan yang meningkat cepat sering memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan yang lebih baik, yang mungkin ada korelasinya yang kuat dengan ukuran kesejahteraan secara keseluruhan.
    Di negara-negara yang maju ekonominya, perilaku benchmarking ini hampir pasti merupakan faktor penting bagaimana orang menilai kesejahteraan diri mereka sendiri. Jika demikian halnya, generalisasi pertumbuhan pendapatan mungkin saja menimbulkan penilaian semacam itu pada laju yang lebih lamban daripada yang mungkin kita harapkan dari pengamatan bagaimana peningkatan pendapatan seseorang dibandingkan dengan pendapatan seseorang lainnya mempengaruhi kesejahteraan dirinya sendiri. Dan, dalam kaitan dengan ini, perilaku benchmarking mungkin saja secara implisit menunjukkan adanya kalkulus trade-offyang berbeda antara pertumbuhan dan tantangan ekonomi lainnya, seperti degradasi lingkungan, daripada yang dinyatakan dalam model-model pertumbuhan konvensional.
    Terdapat literatur yang terbatas tapi signifikan yang mengakui bahwa individu-individu sangat bergantung pada benchmark historis atau sosial dalam pilihan dan pemikiran ekonomi mereka. Sayangnya, model-model ini cenderung sulit dimanipulasi, diperkirakan, atau ditafsirkan. Akibatnya, model-model ini cenderung digunakan terutama dalam konteks yang sangat khusus, seperti dalam upaya menjelaskan apa yang dinamakan equity premium puzzle (pengamatan empiris yang menunjukkan bahwa, setelah sekian waktu yang cukup lama, equitymembuahkan keuntungan yang lebih besar daripada bond ).
    Ada absurditas tertentu pada obsesi memaksimalkan pertumbuhan pendapatan rata-rata jangka panjang yang terus-menerus, yang mengabaikan risiko dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Bayangkan eksperimen pemikiran yang sederhana. Bayangkan bahwa pendapatan per kapita (atau ukuran kesejahteraan yang lebih luas) ditetapkan meningkat sebesar 1 persen per tahun selama dua abad yang akan datang. Ini kasarnya kecenderungan laju pertumbuhan di negara-negara maju pada tahun-tahun terakhir ini. Dengan pertumbuhan pendapatan setiap tahun sebesar 1 persen, maka generasi yang lahir 70 tahun dari sekarang bakal menikmati pendapatan kira-kira dua kali lipat pendapatan rata-rata saat ini. Selama dua abad, pendapatan bakal tumbuh delapan kali lipat.
    Sekarang bayangkan kita hidup dalam suatu ekonomi yang tumbuh jauh lebih cepat, dengan pendapatan per kapita yang meningkat sebesar 2 persen setiap tahun. Dalam hal ini, pendapatan per kapita bakal meningkat dua kali lipat setelah hanya 35 tahun, dan kenaikan delapan kali lipat bakal memerlukan waktu cuma satu abad.
    Akhirnya, tanyakan kepada diri Anda sendiri seberapa banyak Anda benar-benar peduli jika dibutuhkan 100, 200, atau bahkan 1.000 tahun untuk meningkatkan kesejahteraan delapan kali lipat. Bukankah lebih pantas khawatir soal kebersinambungan dan kebertahanan jangka panjang pertumbuhan global? Bukankah lebih pantas memikirkan apakah konflik atau pemanasan global mungkin bakal membawa bencana kepada masyarakat selama berabad-abad atau lebih?
    Bahkan, jika seseorang memikirkan dengan sempit nasib anak-cucu mereka sendiri, mungkin ia berharap akan hidup makmur, dan memberikan sumbangan yang positif kepada masyarakat yang akan datang. Dengan asumsi mereka akan hidup lebih baik daripada generasi sebelumnya, seberapa penting tingkat absolut pendapatan mereka?
    Mungkin rationale lebih dalam yang mendasari mutlaknya pertumbuhan di banyak negara bertolak dari kekhawatiran mengenai prestise nasional dan keamanan nasional. Dalam bukunya yang terbit pada 1989, The Rise and Fall of the Great Powers , sejarawan Paul Kennedy menyimpulkan bahwa, dalam jangka panjang, kekayaan dan kemampuan produksi suatu negara, dibandingkan dengan negara-negara sezamannya ,merupakan penentu esensial status globalnya.
    Kennedy berfokus terutama pada kekuatan militer. Tapi, dalam dunia saat ini, ekonomi-ekonomi yang berhasil menikmati status mengikuti banyak dimensi, dan para pembuat kebijakan di mana-mana sah-sah saja peduli kepada rankingekonomi nasional mereka. Lomba ekonomi untuk mencapai kekuatan global pasti merupakan rationale yang bisa dipahami untuk berfokus pada pertumbuhan jangka panjang. Tapi, jika persaingan seperti ini benar-benar merupakan justifikasi sentral fokus ini, kita perlu meneliti kembali ke model standar makroekonomi, yang sama sekali mengabaikan hal ini.
    Sudah tentu, dalam dunia riil, negara-negara tidak ada salahnya memandang pertumbuhan jangka panjang sebagai bagian integral bagi status keamanan dan status global mereka. Negara-negara yang dibebani utang yang besar, suatu kelompok negara yang sekarang mencakup sebagian besar ekonomi-ekonomi maju, memerlukan pertumbuhan untuk membantu mereka keluar dari jerat utang itu. Tapi, sebagai upaya jangka panjang, fokus pada pertumbuhan ini tidak sebegitu menyeluruh seperti yang hendak dikesankan kepada kita oleh banyak para pembuat kebijakan dan teoretikus ekonomi.
    Di masa ketidakpastian ekonomi yang berat, mungkin tampaknya tidak pantas mempertanyakan mutlak pentingnya pertumbuhan. Tapi, sekali lagi, mungkin krisis justru merupakan kesempatan untuk mengkaji kembali tujuan jangka panjang kebijakan ekonomi global.
  • Kenaifan Politik Pengelolaan Subsidi BBM

    Kenaifan Politik Pengelolaan Subsidi BBM
    Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA, ANGGOTA DEWAN TRANSPORTASI KOTA JAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 25 Januari 2012
    Kami tidak tahu situasi di masa depan akan seperti apa. Itulah pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa (Koran Tempo , Sabtu, 21 Januari 12) berkaitan dengan opsi yang akan dipilih pemerintah untuk mengurangi tingginya subsidi bahan bakar minyak. Sebagai pejabat publik yang sangat strategis di negeri ini, pernyataan Hatta Rajasa terasa amat naif. Idealnya, dengan status yang disandangnya, plus dikelilingi berbagai staf ahli di bidangnya, pernyataan semacam itu tak begitu pantas meluncur dari mulut seorang Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
    Dalam konteks pengelolaan energi primer, situasi masa depan, baik lokal, nasional, maupun bahkan global, bisa terbaca dengan gamblang. Tak perlu lagi kajian ilmiah yang njelimet dan bertele-tele, karena semua data dan informasi sudah sangat tersedia. Apakah Hatta Rajasa tidak paham bahwa cadangan minyak mentah di perut bumi Indonesia yang sudah terbukti hanya 0,3 persen dari cadangan minyak bumi dunia? 
    Apakah Hatta Rajasa tak pernah membaca bahwa tren harga minyak mentah dunia akan semakin mahal, seiring dengan menipisnya cadangan minyak bumi? Apakah Hatta Rajasa juga tidak pernah menguping diskusi bahwa konsumsi yang tinggi terhadap minyak bumi menjadi pemicu utama terjadinya fenomena pemanasan global? Apakah Hatta Rajasa juga ingin membutakan mata bahwa kini Indonesia sudah menjadi net importer bahan bakar minyak? Sederet pertanyaan dan pernyataan itu (yang semuanya sudah menjadi fakta) seharusnya menjadi basis kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan subsidi bahan bakar minyak di Indonesia. Bukan lagi kebijakan naif (mencla-mencle ) seperti saat ini.
    Manuver pemerintah yang tidak ingin menaikkan harga bahan bakar minyak, dan hanya melakukan pembatasan, sangat boleh jadi merupakan cerminan terhadap kenaifan kebijakan yang digulirkan. Mengatakan tidak ingin menaikkan harga bahan bakar minyak, tetapi masyarakat pengguna kendaraan pribadi roda empat dipaksa menggunakan bahan bakar minyak non-subsidi, yang rata-rata harganya dua kali lipat, apakah hal itu bukan kenaikan, bahkan mencapai 100 persen? Ironisnya, hal itu disambar dengan enteng oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, “Kalau enggak mau Pertamax, boleh saja pakai Premium, tapi Premium dengan harga keekonomian, yang harganya mendekati harga Pertamax.” Loh, Premium harga keekonomian yang kisaran harganya tidak kurang dari Rp 7.500 per liter–apakah itu juga bukan kenaikan harga namanya?
    Kenaifan berikutnya, ketika masyarakat merasa berat menggunakan Pertamax, masyarakat didorong menggunakan gas (BBG). Sebenarnya ini ide yang amat visioner: Indonesia berlimpah gas, gas lebih ramah lingkungan dan lebih efisien dari sisi ekonomi. Namun ide yang visioner ini tiba-tiba menjadi naif. Sebab, apakah pasokan gasnya dijamin cukup, karena selama ini gas kita lebih banyak untuk kepentingan ekspor. Naif, karena jelas-jelas sarana dan prasarana untuk gas (SPBG) tidak siap. SPBG hanya ada di area Jabodetabek, itu pun hanya beberapa gelintir (8 buah SPBG). Bahkan, menurut keterangan Gabungan Industri Otomotif Indonesia, produk otomotif mutakhir di Indonesia hanya dapat dipasok oleh bahan bakar dengan octane number 92 (Pertamax), sedangkan octane number BBG mencapai 103!
    Nah, ini juga hal yang naif, jika pemerintah tetap ngotot memberlakukan pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi. Pertama, sulitnya pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya penyelundupan dan penimbunan oleh oknum. Dan ini sudah sangat sering terjadi. Konon, beberapa pengemudi angkutan umum di Kepulauan Riau pun sudah berancang-ancang memodifikasi tangki bahan bakarnya. Tujuannya jelas, sebagai pengemudi, akan lebih menguntungkan “berjualan “ Premium daripada mengais penumpang angkutan umum, yang kian menyusut karena tergerus penggunaan sepeda motor.
    Kedua, penggunaan sepeda motor akan makin marak. Bahkan, menurut estimasi Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, migrasi pengguna kendaraan roda empat ke roda dua bisa mencapai 50 persen. Logika ini bisa dipahami karena, bagaimanapun, menggunakan sepeda motor jauh lebih efisien dari sisi ekonomi, karena masih boleh menyeruput Premium. Lagi-lagi, anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak akhirnya menggelembung lagi!
    Ketiga, pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi hanya akan menguntungkan SPBU asing. Apalagi, dengan pencitraan produk dan SPBU milik PT Pertamina yang masih kurang bagus di mata masyarakat, maka tren migrasi konsumen ke SPBU asing makin terbuka lebar. Tidak mengherankan jika wacana kebijakan ini disambut dengan sangat antusias oleh para pengelola SPBU asing. Manajemen Shell, misalnya, bersiap menambah jaringan SPBU-nya hingga 26 buah se-Jabodetabek.
    Pada akhirnya, dengan alasan dan logika apa pun, wacana kebijakan pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi adalah wacana yang naif; tak perlu dilanjutkan, apalagi diimplementasikan. Jika konteksnya untuk menekan tingginya anggaran subsidi bahan bakar minyak, kenaikan harga adalah kebijakan yang paling konkret, rasional, dan efisien. Bahkan hal itu lebih menyehatkan dari sisi ekonomi makro sekalipun. Bahwa Undang-Undang tentang APBN 2012 telah mengunci untuk tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak, itu hanya masalah normatif belaka. “Sandera politik” terhadap pengelolaan subsidi bahan bakar minyak harus segera diakhiri; bukan hanya oleh kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif, bahkan partai politik.