Blog

  • Krisis Ekonomi dan Energi Terbarukan

    Krisis Ekonomi dan Energi Terbarukan
    Donni Adinata, DOSEN JURUSAN TEKNIK KIMIA, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : JAWA POS, 27Januari 2012
    TANPA energi, kehidupan manusia akan musnah atau lumpuh. Sumber energi seperti minyak bumi, gas, dan batu bara berasal dari fosil. Energi jenis itu tidak dapat diperbarui. Artinya, kita cuma dapat menggunakannya sekali. Setelah itu habis terbakar atau tersintesis. Selain itu, ada sumber energi yang berasal dari alam dan dapat diperbarui, seperti energi dari matahari, panas bumi, air, angin, tumbuh-tumbuhan dan hewan atau yang dikenal dengan biomasa. Konsumsi energi terbarukan atau renewabletersebut masih berkisar 16 persen dari total kebutuhan dunia.

    Sumber utama bahan bakar transportasi, rumah tangga, industri, dan lain-lain masih sangat bergantung pada energi dari fosil. Menurut data, yang diprediksi Machhammer (2007), sekitar 93 persen bahan bakar di dunia berasal dari energi fosil, dalam bentuk minyak bumi, gas, dan batu bara.

    Dari tahun ke tahun, pengguna atau pengonsumsi energi dari fosil terus meningkat, seiring bertambahnya populasi. Permintaan minyak bumi, gas, dan batu bara semakin tinggi. Cadangan yang makin menipis akan memunculkan krisis energi. Dampak langsung bagi masyarakat yakni kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik. Giliran berikutnya ada kenaikan harga pangan dan produk-produk lain. Pada akhirnya muncul krisis ekonomi, baik di Indonesia maupun di dunia.

    Selain itu, sekitar tujuh persen minyak bumi atau crude oil digunakan sebagai bahan baku industri. Mungkin masyarakat kurang mengetahui bahwa banyak sekali industri yang menggunakan bahan baku crude oil atau turunannya, seperti industri cat, obat-obatan, dan industri kimia.

    Total bahan baku industri dunia yang bersumber dari minyak bumi mencapai 76 persen. Sisanya, sekitar 11 persen menggunakan bahan gas alam, 2 persen dari batu bara, dan hanya sekitar 11 persen industri-industri di dunia yang menggunakan bahan baku dari tumbuh-tumbuhan dan hewan (biomassa). Artinya, dari data-data tersebut, industri-industri di dunia sangat bergantung pada minyak bumi. Jadi, minyak bumi tak hanya sebagai bahan bakar, tapi juga bahan baku industri.

    Karena itu, krisis energi akan sangat berpengaruh dan mengganggu kesediaan bahan baku industri. Tak tertutup kemungkinan pabrik gulung tikar. Dampaknya jelas, yakni banyak orang kehilangan pekerjan alias menganggur. Ekonomi semakin runyam.

    Apa kebijakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi itu semua? Kita harus beralih atau memperbanyak penggunaan energi dan bahan baku terbarukan. Begitu juga bahan baku industri dari tumbuh-tumbuhan dan hewan (biomasa) harus ditingkatkan. Penggunaan minyak bumi atau crude oil sebagai bahan baku di industri-industri dikurangi dan lebih baik diprioritaskan.

    Banyak negara maju tertarik berinvestasi dalam bidang energi terbarukan dan pengolahan biomassa di Indonesia. Industri-industri di negara maju juga mulai melangkah untuk mengalihkan bahan baku industri dari crude oil. Indonesia seharusnya mulai sekarang mengembangkan energi terbarukan dan meningkatkan bahan baku industri yang bersumber dari biomassa.

    Indonesia sangat kaya akan biomassa. Kekayaan itu dapat dipergunakan untuk menyejahterakan seluruh rakyat. Jangan sampai sumber daya alam terbarukan yang melimpah dimanfaatkan bangsa-bangsa lain, sementara bangsa kita hanya menjadi penonton.

    Persiapan mulai ilmu pengetahuan atau pendidikan, penelitian, teknologi, sehingga menciptakan sumber daya manusia yang mumpuni dalam pengolahan sumber daya alam terbarukan. Yang lebih penting kebijakan pemerintah harus pro pengembangan energi dan bahan baku terbarukan. Bila kita berada di atas rel itu, Indonesia bisa keluar dari krisis energi dan ekonomi, serta menjadi negara maju. 

  • Mencegah Jadi Negara Koboi

    Mencegah Jadi Negara Koboi
    Nuri Widiastuti V., MAHASISWA PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PERTAHANAN DI UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA DAN STAF DI KEMENKO POLHUKAM
    Sumber : JAWA POS, 27Januari 2012
    SENJATA api kembali menjadi perhatian. Penggunaan senjata api untuk berbagai aksi kejahatan seperti penembakan di Aceh, perampokan di Jakarta, dan aksi terorisme di berbagai daerah menunjukkan peredaran senjata api ilegal masih perlu diwaspadai.

    Sejak maraknya penggunaan senjata api saat konflik di berbagai daerah seperti Poso, Aceh, Papua, dan Ambon, sebenarnya pemerintah telah memberlakukan penghentian pemberian izin senjata api kepada warga sipil. Berdasar telegram Kapolri pada Agustus 2005, warga sipil dilarang memiliki senjata api untuk keperluan pertahanan diri. Mereka hanya dimungkinkan memiliki senjata untuk olahraga.

    Itu pun persyaratan memperoleh izin tidak mudah. Prosesnya kompleks. Misalnya, punya sertifikat keanggotaan klub menembak, lulus tes menembak, lulus tes psikologi dan kesehatan, serta mendapat rekomendasi dari polres setempat. Rumitnya persyaratan itu diharapkan senjata api tidak mudah beredar di kalangan warga sipil.

    Secara universal, sesuai dengan survei gunpolicy.org, di antara 179 negara, Indonesia berada di urutan ke-169 dalam hal kepemilikan senjata api oleh sipil. Survei itu menyimpulkan bahwa Indonesia, yang angka kepemilikannya 0,5 untuk 100.000 penduduk, tidak termasuk negara dengan budaya penggunaan senjata api yang tinggi. Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk kategori ketat (restrictive) seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Sedangkan kepemilikan senjata api yang gampang didapatkan (highly permissive) adalah Laos, Myanmar, Filipina, dan Thailand. Sedangkan negara yang menerapkan larangan total adalah Brunei, Kamboja, dan Vietnam.

    Meski begitu, kita tak boleh memandang enteng permasalahan senjata api. Mengingat, sejarah konflik sejak pergantian pemerintahan pada 1998, yakni konflik di Aceh, Poso, Ambon, dan Papua melibatkan senjata api selundupan, rakitan, maupun pembelian ilegal. Konflik itu merupakan sumber peredaran senjata api karena tidak semua senjata api sisa konflik diserahkan kepada aparat ketika konflik berakhir. Selain itu, kondisi geografis Indonesia dengan 17.508 pulau dan memiliki wilayah perbatasan terbuka yang panjang telah mengakibatkan aktivitas pengawasan batas laut dan darat amat sulit dilakukan.

    Upaya mengatasi peredaran senjata api ilegal yang menjadi sumber ketidakamanan masyarakat perlu mempertimbangkan dua hal. Yaitu, perlunya mengetahui karakteristik senjata api dan kebijakan yang relevan untuk mengatasi karakteristik senjata api itu.

    Menurut Mike Bourne dalam Arming the Conflict: Proliferation of Small Arms (2007), beberapa karakteristik senjata api adalah mudah digunakan dan tahan lama, harganya yang murah dan mudah diperoleh, mudah dibawa dan disembunyikan, sangat mematikan, serta dipergunakan secara luas oleh sipil maupun aktor keamanan. Itulah yang menjadikan senjata api sebagai masalah keamanan yang serius.

    Pertama, senjata api dapat digunakan dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun, bahkan oleh mereka yang tidak mempunyai keahlian menembak sekalipun. Harganya yang murah membuka akses bagi kelompok kriminal, teroris, pemberontak (insurgent), dan warga sipil mendapatkan senjata api dengan mudah. Teknologinya cukup sederhana untuk bisa memproduksi dan merakit senjata api seperti perajin senjata api ilegal di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Harganya relatif terjangkau, Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta. Senjata api juga mudah dibawa dan mudah disembunyikan karena bentuknya yang kecil dan ringan. Bahkan, peraturan kita masih memperbolehkan membawa senjata di ruang publik meskipun harus memiliki izin khusus. Itu rentan terhadap penyalahgunaan.

    Selanjutnya, senjata api sangat mematikan apabila berada di tangan pihak yang minim keahlian menembak karena kemungkinan salah sasaran. Terlebih lagi bila berada di tangan kelompok kriminal dan militan. Korban penembakan di Aceh sejak awal Januari tahun ini menewaskan sedikitnya empat orang. Sedangkan penembakan polisi terkait terorisme sepanjang 2010 menewaskan sepuluh orang. Penggunaan senjata api di kalangan aparat keamanan dan sipil menimbulkan risiko kebocoran dan penjualan ilegal dari oknum aparat keamanan. Senjata itu kemudian sampai ke tangan penadah senjata di pasar gelap yang kemudian menjualnya kembali ke berbagai pihak seperti pengusaha, penjahat, dan teroris.

    Kedua, diperlukan kebijakan yang mampu mengatasi berbagai karakteristik senjata api. Untuk mengatasi sifat mudah digunakan dan tahan lama, diperlukan kebijakan nasional tentang penyimpanan (stockpile), pengumpulan senjata pascakonflik dengan program disarmament, demobilization, and rehabilitation(DDR), dan mekanisme penghancuran senjata api. Kemudian, untuk mengatasi mudahnya memperoleh senjata, diperlukan kebijakan nasional tentang produksi, impor, perizinan usaha manufaktur senjata api, dan penindakan terhadap perajin senjata ilegal.

    Untuk mengatasi sifat mudah dibawa dan disembunyikan, diperlukan kebijakan nasional yang tegas dalam proses transfer dan pemindahan. Sedangkan untuk mengatasi sifat senjata api yang mematikan dan dipergunakan secara luas oleh aktor keamanan dan sipil, diperlukan kebijakan yang mengatur kepemilikan senjata api secara lebih ketat, termasuk dengan analisis psikologis.

    Pada dasarnya, pengaturan senjata api di Indonesia telah mempertimbangkan sebagian besar dari semua karakteristik senjata api di atas. Yang diperlukan adalah komitmen mencegah dan mengetati meluasnya peredaran senjata api agar tak menjadi negeri koboi. 

  • BUMN Menuju “Majapahit in Corporation”

    BUMN Menuju “Majapahit in Corporation”
    Rahmat Pramulya, DOSEN DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,
    MEULABOH, ACEH BARAT
    Sumber : SINAR HARAPAN, 26Januari 2012
    Nasib BUMN-BUMN kita tak sedikit yang masih terseok-seok. Industri-industri strategis yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN) satu demi satu sekarat. Beberapa di antaranya secara teknis sudah bangkrut. BUMN-BUMN ini menghadapi permasalahan akut. 
    Menneg BUMN Dahlan Iskan menargetkan akuisisi (pengambilalihan) 15 perusahaan BUMN yang tengah “sekarat” selesai pada April 2012. Tujuh perusahaan, yang disebut CEO Jawa Pos Group sebagai “duafa” itu masing-masing PT Energy Management Indonesia (EMI), PT Balai Pustaka, Perum Produksi Film Negara (PFN), PT Industri Sandang, PT Survey Udara Penas, PT Sarana Karya, dan PT Pradnya Paramita.
    Akuisisi dilakukan dalam rangka menyehatkan perusahaan. Penyehatan BUMN juga ditempuh dengan cara privatisasi. Sekadar contoh, tiga BUMN yaitu PT Primissima, PT Kertas Padalarang, dan PT Sarana Karya sudah disiapkan untuk diprivatisasi tahun ini.
    Selama ini BUMN kita digambarkan sebagai salah satu simbol ketidakefisienan dalam pemanfaatan sumber daya yang ada, bentuk pelaku ekonomi yang tidak mampu mandiri, dan banyak berlindung di bawah fasilitas pemerintah.
    Hal inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk melakukan kebijakan privatisasi. Bisa kita lihat dari agenda rutin pemerintah untuk menjadikan privatisasi sebagai sumber pendapatan negara.
    Setelah reformasi, bisa dibilang Indonesia ini hancur. Ibaratnya rumah, semua tembok yang dibangun dirobohkan kehadiran IMF. Ketika kita mendapat utang dari IMF, kita harus tunduk pada apa yang namanya Structural Adjustment Program. Harus ada privatisasi, harus ada deregulasi, free trade, dan sebagainya. 
    Kebijakan investasi menjadi tidak jelas. Indonesia telah menjadi sinking state. Privatisasi, misalnya, membuat kita tak lagi mempunyai pendapatan dari BUMN. Lalu dengan bermacam kebijakan free trade, Indonesia tak bisa mengendalikan lagi pendapatan dari bea impor.
    Dulu kita masih mempunyai pendapatan dari bea impor. Sekarang, dengan bea impor harus diturunkan, kita mengalami pengurangan keuangan drastis. Semua barang boleh masuk, termasuk dari China. Beras dari Vietnam boleh masuk. Exxon, Freeport, Newmont, dan Mossanto juga masuk. 
    Belajar dari pengalaman, privatisasi aset strategis yang mengharuskan adanya persaingan antarpeminat asing dan melibatkan modal yang sangat banyak memungkinkan terjadinya konspirasi tingkat tinggi antara pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan perusahan asing sebagai pihak yang memiliki kepentingan. 
    Contohnya kasus Indosat yang melibatkan Temasek, perusahaan asing asal Singapura. Juga kasus Krakatau Steel yang menjadi ajang rebutan: Nanjing & Iron Steel Co Ltd dan Bao Steel (Cina), Nippon Steel (Jepang), Arcelor Mittal, Tata Steel, dan Essar Group (India), serta Bluescope Steel Ltd (Australia). 
    Jika rencana-rencana privatisasi itu terlaksana, ketidakseriusan pemerintah Indonesia untuk melindungi aset strategisnya semakin terbukti. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan asing. Pemerintah tidak pernah memberikan solusi atas permasalahan BUMN-nya selain memprivatisasinya. Mengapa pemerintah tidak memilih transformasi BUMN?
    Transformasi BUMN 
    Transformasi BUMN diwujudkan melalui perluasan kepemilikan dan kontrol BUMN oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini dilakukan melalui sistem perencanaan yang melibatkan pemerintah dan stakeholder BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) lewat listing di pasar modal.
    Ini dilakukan melalui pola redistribusi saham kepemilikan terencana kepada serikat pekerja, konsumen, pemerintah daerah, BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya (Santosa, 2007).
    Perlu digarisbawahi bahwa asing telah mengincar Krakatau Steel sejak Menneg BUMN dipegang Tanri Abeng kemudian ditangguhkan sementara di masa Laksamana Sukardi.
    Kemudian masuk daftar BUMN yang akan diprivatisasi lagi di era Sugiharto dan baru mendapatkan “restu” di masa Kementerian BUMN yang dipimpin  Sofyan Jalil. Berarti 10 tahun Krakatau Steel di bawah incaran asing.
    Lain Indonesia lain pula dengan Singapura. Singapura mampu menjadikan BUMN-nya menjadi sumber
    utama pendapatan dan pembiayaan negaranya, tanpa harus merugikan rakyatnya, kehilangan aset dalam negerinya, dan mengorbankan nasionalismenya dengan membiarkan perekonomiannya dimiliki dan dikuasasi asing. Tidak berlebihan jika pengamat ekonomi menjadikan Temasek menjadi salah satu simbol bangkitnya kapitalisme negara.
    Pun demikian dengan Malaysia. Petronas yang terus menjadi milik pemerintah Malaysia sepenuhnya dibentuk dalam 1970-an yang bertujuan membangun sumber minyak dan gas dalam negara Malaysia.
    Dalam proses selanjutnya pemerintah berhasil membuatnya menjadi badan korporat yang terkaya dalam negara. Petronas yang kaya dan bertugas untuk tujuan tertentu, termasuk menjadi pemegang saham terbesar Proton selepas ia mendapat pemilikan lebih kurang 30 persen.
    Bandingkan dengan yang kita miliki (Pertamina). Pertamina ternyata hingga hari ini tidak bisa mengembangkan jangkauan bisnisnya ke luar seperti Petronas. Hal ini disebabkan sasaran Pertamina adalah integrated oil company karena berusaha dari hulu sampai hilir. Tapi sasaran ini justru tidak kesampaian. 
    Sementara Petronas keuntungannya sebagian besar digunakan untuk membesarkan Petronas itu sendiri. Dalam Pertamina, keuntungannya sebagian besar diambil pemerintah. Di sisi lain pemerintah Indonesia tidak mengembalikan lagi penghasilan dari Pertamina.
    Sebagai contoh lainnya, Petronas kini juga memiliki sekitar 2.000 SPBU. Namun entah mengapa ternyata Pertamina hanya mempunyai tujuh buah. Kapal-kapal LNG juga dimiliki sendiri oleh Petronas, sedangkan Indonesia dikerjakan swasta, padahal logikanya perusahaan minyak seharusnya memiliki kapal sendiri.
    Indonesia pernah membeli kapal tanker raksasa (Very Large Cruir Carrier), tetapi belum lama kemudian langsung dijual kembali, yakni pada era Megawati. 
    Sejatinya perusahaan BUMN mempunyai potensi untuk menjadi kekuatan regional maupun internasional dengan melakukan ekspansi ke luar negeri.
    Meminjam istilah Ismed Hasan Putro, BUMN kita mestinya bisa merujuk kepada apa yang pernah dilakukan Kerajaan Majapahit dalam membesarkan pengaruhnya dengan melakukan ekspansi hingga luar batas Nusantara. Yah, “Majapahit in Corporation”.
    Menjadikan perusahaan dalam negeri kuat dengan memegang teguh profesionalisme dan disiplin yang tinggi adalah strategi awal membangun kemandirian ekonomi dan menjadikan kita penguasa di negara sendiri. Tidakkah kita sanggup melakukan ini?  
  • Syiah dan Kerukunan?

    Syiah dan Kerukunan?
    (Tanggapan untuk Haidar Bagir)
    Fahmi Salim, WAKIL SEKJEN MAJELIS INTELEKTUAL DAN ULAMA MUDA INDONESIA (MIUMI)
    Sumber : REPUBLIKA, 26Januari 2012
    Artikel Haidar Bagir yang berjudul “Syiah dan Kerukunan Umat” (Republika, 20/ 1/2012) memunculkan sedikit harapan akan kerukunan kaum Ahlusunah dan Syiah di Indonesia. Apalagi, Haidar secara tegas mengimbau agar para pengikut Syiah di Indonesia tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah Syiah di Indonesia. Menurutnya, Ayatullah Ali Taskheri, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih Iran, pernah menyampaikan imbauan, “Hendaknya kaum syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum Muslim di Indonesia.” Sampai di titik itu, sikap dan imbauan Haidar Bagir—pimpinan satu penerbit yang cukup aktif me nebarkan pemikiran Syiah di Indonesia—cukup mengesankan.
    Sayangnya, pada paparan-paparan berikutnya, Haidar justru mendistorsi riwayat-riwayat Ahlu sunah dan mementahkan ajakan ukhuwah itu sendiri. Berikut ini sejumlah tanggapan terhadap paparan Haidar Bagir.
    Pertama, menurut Haidar Bagir, mayoritas ulama dan kaum Syiah tidak meyakini adanya distorsi (tahrif) terhadap Alquran.
    Tapi, penjelasan Haidar itu berbeda dengan fakta. Adnan al-Bahrani, seorang tokoh Syiah kontemporer, misalnya, masih berpendapat bahwa Alquran telah mengalami distorsi dan perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam (Ahlusunah). (Lihat buku Mungkinkah Sunah-Syiah dalam Ukhu wah?! Hlm 302).
    Seorang ulama Syiah terkemuka, An-Nuri At-Thabarsi telah membahas tuntas soal tahrif itu dalam buku tebal berjudul, Fashl al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb al-Arbab. Di sini terhimpun lebih dari 200 riwayat yang membenarkan distorsi dalam Alquran.
    Bahkan, di bukunya itu Nuri atThabarsi mengutip 40 nama ulama Syiah Imamiyah yang meyakini dok trin tahrif Alquran itu. Jadi, mana yang bisa kita percaya, Haidar Bagir atau Nuri at-Thabarsi? Selain Nuri Thabarsi, ada sede ret nama-nama pemuka Syiah da ri berbagai periode sejarah yang juga tegas menyatakan terjadinya tahrif. Setidaknya itulah hasil penelitian yang dilakukan Prof Ahmad Sa’ad al-Ghamidi (Maktabah Syamilah ed 2). Ia menjelas kan bahwa pernyataan adanya tahrif itu diungkapkan oleh lebih dari 30 ulama Syiah Imamiyah, seperti Fadhl ibn Syadzan anNaisaburi (w 260 H) di kitab AlIdhah hlm 112-114, Furat ibn Ibrahim al-Kufi (ulama abad ke3 H) di kitab Tafsirnya vol 1/18, Al-‘Ayasyi dalam Tafsirnya vol 1/12-13 dan 47-48, Abu al-Qasim Ali ibn Ahmad al-Kufi (w 352 H) dalam kitab Al-Istighotsah min Bida’ al-Tsalatsah vol 1/51-53, dan sebagainya.
    Juga, silakan merujuk kitab Al-Kafi (ditulis oleh Abu Ja’far al-Kulaini w 329) yang diakui sebagai kitab hadis induk yang pa ling sahih dengan riwayat muta watir dan disusun pada masa Ghaybah Shugro dari Imam yang ke-12 yaitu Al-Mahdi, dapat kita jumpai keyakinan adanya tahrif dengan nada bahwa tak ada yang mengumpulkan dan menghafal Alquran persis seperti yang diwahyukan oleh Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan imam-imam setelahnya (vol 1/228) atau para imam yang mendapat wasiat.
    Jumlah ayatnya adalah 17 ribu ayat (vol 2/634) yang turut hilang dibawa Imam ke-12 Al-Mahdi dan baru akan hadir lagi saat beliau kembali dari ghaybah-nya.
    Kedua, lebih fatal lagi, untuk mendukung pendapatnya, Haidar memperkeruh suasana dengan men distorsi riwayat-riwayat Ah lu sunah yang seolah-olah  membenarkan adanya tahrif Alquran.
    Ia menulis, “Ambil saja beberapa hadis dalam beberapa kitab sahih yang menyatakan hilangnya satu ayat yang hanya ada di simpanan Siti Aisyah karena dimakan kam bing.” Kata-kata Haidar itu sebenar nya merupakan penghinaan terhadap Siti Aisyah ra—istri Nabi Mu hammad SAW—yang memang sering dilecehkan kaum Syiah, seolah-olah beliau ceroboh dalam urusan Alquran. Sayangnya, Hai dar tidak menyebut sumber apa pun. Namun, dengan mudah tulis an semacam itu kita temukan di berbagai blog di internet.
    Jelas, Haidar melakukan kekeliruan dan fitnah. Memang ada ter cantum dalam Sunan Ibnu Majah, dari Muhammad ibn Ishaq dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, dan dari Ab durrahman ibn al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah berkata, “Telah turun ayat tentang rajam dan radha’ah (menyusui) orang dewasa dengan 10 kali susuan, sungguh dahulu tertulis di dalam lembaran di bawah tempat tidurku dan saat Rasulullah SAW wafat kami sibuk mengurusi jenazahnya sehingga masuk Dajin (hewan peliharaan seperti kambing atau ayam) dan memakan lembaran ayat itu.” Padahal, hadis itu munkar dan sama sekali tidak sahih, meski di riwayatkan oleh Ibnu Majah.
    Para pakar hadis menjelaskan, ada ‘illat yang merusak sanadnya, yaitu pada salah satu rawinya, Mu hammad ibn Ishaq, yang dinilai mudhtharib (kacau hadisnya).
    Karena, menyelisihi dan menya lahi riwayat para rawi lain yang lebih tsiqoh (terpercaya). Ibnu Ma jah sendiri ketika meriwayat kan hadis ini dari Muhammad ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari dia.
    Perawi lain yang lebih tsiqah seperti Imam Malik dalam AlMu wattha’ (vol 2/608) dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari Aisyah, dan Imam Muslim (no1452) dari Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah, tidak menyebut ungkapan bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab itulah, Imam Az-Zaila’i menilai dalam Takhrij Hadis dan Atsar bahwa, penambahan redaksi ayat rajam dan radha’ah yang ada di bawah kasur Aisyah lalu dimakan kam bing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan kaum mulhid (ateis) dan Rafidhah (Syiah).
    Hal lain yang disinggung Hai dar adalah adanya kutukan Bani Umayyah terhadap Ali bin Abi Tha lib. Cerita ini ditulis Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat. Tapi, berita itu pun tidak benar dan sudah di teliti oleh Dr Ali Muhammad Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.
    Para pakar dan Imam Hadis Ahlusunnah menilai, Ali al-Madaini dan Luth ibn Yahya se bagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayat kan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul). Dr Shallabi juga menemu kan tidak adanya kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan Daulah Umayyah yang menceritakan ada nya kutukan terhadap Ali RA.
    Kisah itu baru ditulis di era Ba ni Abbasiyah dengan motif po litis untuk menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat.
    Dr Shallabi juga yakin bahwa ki sah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya Al-Mas’udi (Syi’i) dan penulis Syiah lainnya yang kemudian menyusup ke da lam kitab tarikh Ahlusunah yang ditulis belakangan, seperti Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh yang dikutip oleh Haidar. Namun, sekali lagi, tidak ada satu pun riwayat yang sahih dalam soal ini (Shallabi: 107).
    Kita tentu menyambut baik se tiap upaya untuk membangun hubungan damai. Tapi, seyogianya itu dilakukan dengan kejujuran dan tidak mengulang-ulang lagi tuduhan dan fitnah terhadap sahabat dan istri Nabi SAW serta mendistorsi sumber-sumber Ahlu Sunnah. Wallahu a’lam bish-shawab.
  • Tarik Ulur Subsidi BBM

    Tarik Ulur Subsidi BBM
    Razali Ritonga, DIREKTUR STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
    Sumber : REPUBLIKA, 26Januari 2012
    Dampak buruk naiknya harga BBM pada 2005 tampaknya terus membayangi  pemerintah maupun wakil rakyat. Diketahui, pemerintah pada saat itu menaikkan harga BBM dua kali dalam setahun, yaitu 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005. Secara faktual, dampak buruk yang diakibatkan naiknya harga BBM saat itu adalah merosotnya daya beli masyarakat sehingga meningkatkan angka kemiskinan. Tercatat, angka kemiskinan meningkat dari 15,42 persen menjadi 17,75 persen.
    Maka, atas dasar itu, menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak populer dan harus dihindari. Fenomena ini barangkali yang diperhitungkan wakil rakyat ketika menetapkan UU APBN 2012, terutama dalam Pasal 7 ayat 4 UU APBN 2012 yang menetapkan bahwa pemerintah perlu mengatur alokasi BBM bersubsidi dan Pasal 7 ayat 6 tidak menaikkan harga BBM bersubsidi.
    Subsidi BBM versus Infrastruktur
    Namun, di tengah meningkatnya permintaan BBM bersubsidi, ketentuan dalam Pasal 7 ayat 6 itu kembali menjadi sorotan sejumlah pihak. Pasalnya, jika BBM tidak dinaikkan, besarnya anggaran untuk subsidi BBM akan kian membengkak. Pada 2011, misalnya, dari Rp 129,7 triliun yang dialokasikan pemerintah untuk BBM bersubsidi ternyata realisasinya sebesar Rp165,2 triliun.
     
    Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa anggaran untuk subsidi BBM besarnya hampir dua kali lipat dari anggaran untuk program antikemiskinan pada 2011, yang besarnya Rp 86,1 triliun.
    Bahkan, meningkatnya anggar an subsidi BBM pada gilirannya akan melemahkan kemampuan untuk pembangunan sektor-sektor lainnya, terutama infrastruktur pe nunjang kegiatan ekonomi dan infrastruktur layanan publik.       Padahal, pembangunan infrastruktur saat ini tak kalah mendesaknya untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup penduduk.
    Diketahui, kurangnya infras truktur penunjang ekonomi meng akibatkan biaya tinggi (high cost economy) sehingga melemahkan daya saing produk barang dan jasa. Akibatnya, harga produk men jadi mahal dan kalah bersaing dengan produk impor. Pada tahap
    lanjut, banyak usaha dan perusahaan dalam negeri yang akan kalah bersaing dan berpotensi mengalami kebangkrutan sehingga akan meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa potensi meningkatnya kemiskinan juga akan terjadi baik dengan maupun tanpa kenaikan harga BBM.
    Sementara itu, kurangnya anggaran untuk pembangunan infrastruktur layanan publik akan menurunkan kualitas hidup penduduk. Ada dua aspek infrastruktur layanan publik yang saat ini masih sangat kurang, yaitu infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Kurang memadainya infrastruktur pada kedua aspek ini diperkirakan berkontribusi ter hadap tertinggalnya pembangun an manusia Indonesia. Laporan UNDP (2011) menyebutkan bahwa peringkat pembangunan ma nusia Indonesia berada di posisi 124 dari 187 negara atau meng alami penurunan dibandingkan keadaan tahun sebelumnya yang berada di peringkat 108 dari 169 negara (UNDP, 2010).
    Lebih jauh, kurangnya anggaran untuk pembangunan manusia, khususnya pendidikan dan kesehatan di Tanah Air dapat diketahui dengan membandingkan dengan sejumlah negara. Malaysia, misalnya, mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 4,5 persen dan kesehatan sebesar 1,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan Alokasi anggaran pendidikan kita sebesar 3,5 persen dan kesehatan sebesar 1,9 persen dari PDB 2010. Sekadar catatan Norwegia sebagai negara tertingg peringkat pembangunan manusianya di dunia mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 6,7 persen dan kesehatan sebesar 7,9 persen dari PDB.
    Bahkan, kurangnya anggaran pembangunan manusia di Tanah Air sudah terdeteksi sejak lama Cina, misalnya, telah menetapkan prioritas pembangunan manusia lebih dahulu dari Indonesia, terdeteksi dari besarnya anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan manusia. Pada 1988, misalnya anggaran yang dialokasikan Cina untuk pembangunan manusia sebesar tujuh dolar AS per kapita sementara Indonesia hanya meng alokasikan sebesar tiga dolar AS per kapita. Padahal, pendapatan per kapita Cina saat itu hanya sebesar 330 dolar AS, sedangkan Indonesia sebesar 440 dolar AS (UNDP, 1991).
    Revisi UU APBN
    Maka, atas dasar itu, pemerintah sepatutnya perlu mempertimbangkan untuk mengurangi subsidi BBM dan mengalihkan sebagian subsidi itu untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan sebagian lainnya untuk jaring pengaman sosial (social safety nets). Adapun perlunya jaring pengaman sosial terutama untuk mengantisipasi potensi meningkatnya penduduk miskin sebagai dampak kenaikan harga BBM.
    Namun, pemerintah tidak bisa menetapkan kenaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR. Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu mengusulkan kepada DPR untuk melakukan revisi UU APBN 2012, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 7 ayat 6 tentang ketetapan harga BBM. Sepatutnya, dalam usulan itu pemerintah perlu menetapkan kenaikan harga BBM secara wajar.
    Sebenarnya, jika pemerintah tidak menurunkan harga BBM pada 2008 lalu yang besarnya Rp 6.000, maka boleh jadi pemerintah saat ini tidak perlu dipusingkan untuk menaikkan harga BBM. Sementara, dana yang terhimpun dari selisih harga (wind fall profit) bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup penduduk.
    Pemerintah sepatutnya perlu berhitung secermat mungkin atas penggunaan anggaran belanja nasional sehingga bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Tarik ulur anggaran di DPR, khususnya untuk subsidi, pasti akan terjadi, tapi seyogianya penggunaan anggaran tetap diutamakan untuk masyarakat dan kemajuan bangsa.
  • Lembaga Pemeringkat, Dapatkah Dipercaya?

    Lembaga Pemeringkat, Dapatkah Dipercaya?
    Thee Kian Wie, STAF AHLI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E) LIPI
    Sumber : KOMPAS, 26Januari 2012
    Harian Kompas (20/1/2012) melaporkan bahwa pada akhir Desember 2011 lembaga pemeringkat Fitch Rating Agency telah menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status yang ”layak investasi” (investment grade).
    Fitch menaikkan peringkat untuk utang jangka panjang Indonesia dalam valuta asing dari BB+ menjadi BBB- dengan prediksi stabil. Penetapan ”layak investasi” dari Fitch baru-baru ini diikuti oleh lembaga pemeringkat Moody’s Corporation yang menaikkan peringkat utang Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3 dengan prediksi stabil.
    Penetapan status layak investasi oleh lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s mencerminkan kepercayaan para investor mancanegara karena kemajuan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir yang dimungkinkan karena Pemerintah Indonesia telah bekerja keras untuk mempertahankan stabilitas makroekonomi, terutama dengan mengendalikan laju inflasi dan menekan defisit anggaran pemerintah, mengurangi nisbah utang pemerintah terhadap produk domestik bruto, serta memperbaiki iklim usaha Indonesia.
    Oleh karena itu, diharapkan Indonesia dalam waktu dekat mendapat status A tunggal (single A), yaitu Aaa oleh Moody’s Corporation, yang mencerminkan kepercayaan bahwa risiko utang adalah paling rendah atau AAA – AA yang mencerminkan risiko terendah dalam hal kegagalan dalam membayar utang.
    Dampak ke Arus Modal
    Menurut Kepala BKPM, dengan reformasi birokrasi yang sedang dan akan terus dilakukan, tren ke depan akan semakin positif. Hal ini jelas tecermin dari semakin derasnya arus modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) yang akhir-akir ini masuk ke Indonesia. Menurut BKPM, pada 2011 arus FDI yang masuk Indonesia meningkat 18,4 persen dibandingkan 2010 menjadi 19,3 miliar dollar AS.
    Perkembangan ini tentu sangat menggembirakan, akan tetapi pertanyaan juga timbul sampai seberapa jauh penilaian lembaga pemeringkat dapat dipercayai? Sewaktu pada 2008 krisis finansial global meletus, berbagai pihak melontarkan kritik terhadap lembaga pemeringkat. Kritik dilontarkan karena mereka telah memberikan penilaian yang baik, yaitu peringkat AAA, bagi pinjaman yang didasarkan atas analisis historis dari probabilitas kredit macet yang telah diberikan oleh bank-bank yang mengeluarkan sekuritas (saham) tanpa mereka menyediakan dana sendiri untuk mendukung pemeringkat mereka.
    Penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Penyelidikan Krisis Finansial (Financial Crisis Inquiry Commission) AS secara meyakinkan mengaitkan kegagalan lembaga pemeringkat dalam mengidentifikasikan sekuritas yang didasarkan atas hipotek (mortgage-based securities), yang sebelumnya mendapat peringkat tinggi, tetapi kemudian terpaksa diberikan peringkat rendah menyusul merosotnya pasar perumahan di AS 2006-2007.
    Probabilitas Kebangkrutan
    Mengukur ketelitian pemeringkat kredit memang sangat sulit. Menurut kajian tentang lembaga pemeringkat yang ditulis Nicolas Veron dan diterbitkan Peterson Institute of International Economics yang berkedudukan di Washington DC, AS, mengukur ketelitian pemeringkat memang sangat sulit karena didasarkan atas probabilitas. Suatu lembaga keuangan yang mengeluarkan sekuritas, yang dinilai buruk oleh lembaga pemeringkat, bisa menghindari diri dari kebangkrutan meskipun probabilitas kebangkrutan tinggi.
    Di sisi lain suatu lembaga keuangan yang mendapat penilaian baik oleh lembaga pemeringkat bisa mengalami kebangkrutan meskipun probabilitas untuk ini rendah. Mutu pemeringkat memang hanya bisa diukur atas dasar penilaian rata-rata dari berbagai pemeringkat yang didasarkan atas hukum angka-angka tinggi (law of large numbers).
    Lagi pula, menurut beberapa lembaga pemeringkat, pemeringkat mereka hanya mengukur probabilitas kebangkrutan relatif, bukan kebangkrutan absolut. Peringkat AA mencerminkan probabilitas kebangkrutan yang lebih rendah ketimbang BBB, tetapi lembaga pemeringkat tidak menyajikan perkiraan yang jelas dari berbagai probabilitas ini.
    Hal ini karena lembaga pemeringkat kurang mengalokasikan waktu dan sumber daya untuk menganalisis transaksi individual yang didasarkan atas analisis makroekonomi yang tajam. Jika lembaga pemeringkat telah melakukan ini, mereka akan mengetahui ada kemungkinan besar pasar properti di AS pada 2007-2008 akan mengalami kontraksi tajam.
    Sejak awal krisis finansial global, lembaga-lembaga pemeringkat dikecam karena sering memberikan peringkat yang rendah pada waktu yang tidak tepat sehingga mengakibatkan pergeseran yang tiba-tiba dalam pandangan para investor yang bisa memperparah keadaan. Lagipula, kegiatan lembaga pemeringkat tidak diatur oleh Pemerintah AS ataupun Pemerintah Indonesia. Karena alasan ini, Pemerintah AS, Jepang, Australia, dan Hongkong kini mengeluarkan kerangka regulasi yang ketat atas lembaga pemeringkat ini.
    Sistem finansial mancanegara, termasuk di Indonesia, memang memerlukan perkiraan risiko finansial yang lebih baik daripada yang akhir-akhir ini dilakukan oleh lembaga pemeringkat. Di sini pentingnya informasi publik yang lebih lengkap dan komprehensif tentang risiko finansial dari lembaga-lembaga yang mengeluarkan saham dan obligasi sehingga tak perlu lagi intermediasi dari lembaga pemeringkat.
  • Dilema Pembatasan BBM

    Dilema Pembatasan BBM
    Anggito Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
    Sumber : KOMPAS, 26Januari 2012
    Subsidi BBM di tahun 2011 telah melampaui batas kewajaran. Kenaikan anggaran subsidi BBM terjadi karena kenaikan harga minyak mentah dunia dan lonjakan volume konsumsi BBM, terutama premium.
    Karena kompleksnya masalah, rencana pembatasan subsidi telah menimbulkan dilema bagi pemerintah, apakah akan tetap dijalankan atau ditunda, bahkan dibatalkan. Wacana kenaikan harga kembali mencuat sebagai kebijakan yang lebih tepat ketimbang pembatasan konsumsi.
    Pemerintah akan menjalankan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dimulai dari premium per 1 April 2012 sesuai amanat UU No 22/2011 tentang APBN 2012. Pasal 7 Ayat 4 UU APBN 2012 menyebutkan, pengendalian anggaran subsidi BBM 2012 akan dilakukan lewat pengalokasian yang lebih tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi. Penjelasan Ayat 4 menyebutkan, pengalokasian BBM bersubsidi secara tepat sasaran dilakukan lewat pembatasan konsumsi premium kendaraan roda empat pribadi di Jawa-Bali sejak 1 April 2012.
    Sayangnya, UU APBN 2012, tak seperti UU APBN sebelum-sebelumnya, telah menutup kemungkinan penyesuaian kebijakan harga BBM, bahkan termasuk jika harga minyak dunia naik. UU APBN mengamanatkan pemerintah untuk membatasi volume konsumsi, sedangkan untuk harga BBM bersubsidi tidak boleh diubah. Padahal, kecenderungan kenaikan harga minyak dunia sudah pasti akan memengaruhi harga keekonomian BBM dan jika tidak disesuaikan, akan menambah anggaran subsidi BBM.
    Meskipun jelas-jelas merupakan perintah UU APBN 2012, pembatasan BBM menghadapi dua masalah pelik, yakni dampak beban biaya sosial-ekonomi dan masalah ketidaksiapan teknis BBG (bahan bakar gas). Masalah-masalah ini justru mengemuka dari hasil pembahasan Komisi VII DPR dengan para pihak, yakni pakar, Pertamina, Hiswana Migas, pelaku UMKM, Gaikindo, dan Kadin, beberapa hari lalu. Semua pihak terkait menyatakan ketidaksiapannya apabila kebijakan tersebut dilaksanakan pada April 2012.
    Dampak Sosial-Ekonomi
    Masalah sosial-ekonomi timbul karena pemilik mobil pribadi yang tak memiliki akses ke BBG akan mengeluarkan biaya BBM hampir dua kali lipat (dari harga premium Rp 4.500 per liter ke pertamax Rp 8.800 per liter). Kenaikan beban biaya BBM akan memberatkan pemakai premium dan ini terutama akan dirasakan jutaan pengusaha usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang sebagian besar menggunakan mobil pelat hitam berbahan bakar premium untuk mendukung kegiatan usaha.
    Dari jumlah UMKM yang mencapai 50 juta, lebih dari separuh adalah sektor informal dan tidak memiliki surat izin usaha perdagangan (SIUP). Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, pengusaha tanpa SIUP tak bisa mendapatkan pelat kuning dan dilarang membeli BBM bersubsidi. Pengalihan dari pelat hitam ke pelat kuning saja belum dipersiapkan, apalagi jika dipersyaratkan harus ada SIUP, bisa terbayang proses akan memakan waktu dan kompleks.
    Menurut Sensus Ekonomi 2006, pengeluaran UMKM untuk bahan bakar terhadap total biaya produksi mencapai 21 persen. Studi Sinaga (2006) mengenai dampak kenaikan harga BBM menunjukkan, kenaikan harga BBM menyebabkan biaya produksi bulanan UMKM meningkat 28 persen. Studi ini juga menjelaskan bahwa sebanyak 77 persen UMKM terkena dampak kenaikan harga. Sebanyak 66 persen dari UMKM memutuskan untuk mengurangi keuntungan usaha jika ingin mempertahankan harga saat harga BBM naik.
    Studi Suarja dan Syarif (2008) menjelaskan dampak kenaikan harga BBM 100 persen menyebabkan laba UMKM per bulan turun 18 persen, sedangkan penyerapan tenaga kerja oleh UMKM turun 2,5 persen. Pengalihan dari premium ke pertamax ini juga berpotensi menimbulkan migrasi pengguna mobil premium ke solar atau ke sepeda motor. Artinya, subsidi tetap saja membengkak. Pelaksanaan pengalihan ini juga harus dilakukan serentak di Jawa-Bali untuk mengurangi kemungkinan penyelewengan.
    Dari sisi penyediaan infrastruktur SPBU pertamax diyakini dapat dipersiapkan 100 persen dalam dua bulan ke depan meskipun harus diciptakan kebijakan khusus, misalnya dalam insentif pembiayaan dan investasi. Pemerintah perlu menciptakan sistem dan pengawasan yang dapat mengurangi konflik di SPBU apabila mobil pelat hitam pribadi memaksa membeli premium. Ini pun belum dipersiapkan.
    Kesiapan BBG Masih Minim
    Kebijakan energi alternatif BBG merupakan langkah yang tepat karena produksi gas dalam negeri memadai, bahkan separuhnya telah diekspor, sedangkan produksi BBM tidak mencukupi sehingga harus impor. Bahan bakar gas relatif aman serta lebih murah dan ramah lingkungan. Namun, tetap saja dipastikan bahwa tersedia gas untuk keperluan dalam negeri, khususnya untuk BBG, seperti yang dibutuhkan untuk PLN dan pabrik pupuk ataupun untuk LPG rumah tangga.
    Masalah teknis pengadaan alternatif BBG adalah di samping belum adanya jaminan kepastian pasokan gas dalam negeri—masih sedikitnya SPBG—juga belum adanya sosialisasi keamanan BBG dan belum adanya kepastian mengenai garansi mobil. Pengadaan konverter juga memakan waktu lama dan membutuhkan standardisasi, seperti Standar Nasional Industri (SNI) atau ISO. Saat ini, jumlah SPBG masih sangat minim dan terkonsentrasi di Jakarta. Penyediaan compressed natural gas (CNG) juga menghadapi kendala karena infrastruktur pipa belum tersalurkan, sedangkan harga liquefied gas for vehicles (LGV) lebih mahal daripada CNG. Sosialisasi keamanan BBG masih minim dan belum ada kajian kelayakan (atau kerusakan) mesin akibat pemakaian BBG.
    Rencananya CNG akan ditetapkan pada harga Rp 4.100 per liter dan LGV Rp 5.500 per liter dengan subsidi Rp 1.000. Perbedaan harga tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumen LGV, khususnya di luar Jakarta. Perlu dipikirkan mengenai penyetaraan harga BBG jenis CNG dan LGV sehingga tidak merugikan konsumen.
    Pemerintah juga perlu mengembangkan produksi converter kit dalam negeri dengan prototipe converter kit yang telah dikaji di dalam negeri dengan standar internasional. Saat ini, ITB, UGM, dan beberapa universitas lain telah mengembangkan prototipe konverter. UGM telah mengembangkannya selama tiga tahun dan masih membutuhkan tiga pengujian lagi sebelum layak produksi. Produksi konverter ”jalur cepat” oleh PT Dirgantara Indonesia dan beberapa BUMN lain perlu mendapatkan konfirmasi kelayakan.
    Masalah garansi mobil terkuak dalam diskusi dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) di Komisi VII DPR. Gaikindo mengingatkan, pemilik kendaraan yang mobilnya masih dalam masa garansi dilarang memasang converter kit di luar dealer resmi. Pemasangan alat konversi BBM ke BBG ini dipastikan akan ”menghanguskan” garansi mesin atau garansi tak berlaku.
    Kenaikan Harga BBM Lebih Baik
    Di sisi positifnya, rencana pembatasan ini akan melepaskan tekanan berat di anggaran pemerintah. Jumlah mobil pribadi di Jawa-Bali mencapai 8 juta unit. Konsumsi premium Jawa-Bali mencapai 20 juta kiloliter, 80 persen dari konsumsi premium nasional. Sebesar 53 persen terdiri atas mobil pribadi yang menggunakan premium.
    Dengan asumsi jumlah mobil tak tumbuh besar pada 2012 dan konsumsi premium kendaraan pribadi 10,6 juta kiloliter, jika dilaksanakan sesuai rencana dan tepat waktu, penghematan yang dapat dicapai pemerintah dengan harga keekonomian premium Rp 8.200 per liter adalah lebih dari Rp 20 triliun. Penghematan ini sekitar 20 persen dari anggaran pemerintah untuk subsidi BBM pada 2012. Pada 2012 pemerintah realistis dengan menargetkan penghematan 6,21 juta kiloliter karena dilakukan secara bertahap dengan tingkat kepatuhan yang masih rendah.
    Namun, melihat kompleksitas masalah sosial-ekonomis dan teknis, tampaknya pembatasan BBM dengan pengalihan premium ke pertamax dan penyediaan alternatif BBG belum siap untuk dilaksanakan sekaligus pada April 2012. Studi tiga universitas (UI, UGM, dan ITB) tahun 2011 juga menyimpulkan pengalihan premium ke pertamax adalah opsi ketiga setelah dilaksanakannya kenaikan harga premium Rp 500 per liter dan penerapan sistem pendataan konsumsi bagi kendaraan umum. Penyediaan alternatif BBG bukan merupakan opsi, melainkan justru wajib dikembangkan segera, tetapi dilakukan secara bertahap.
    Pemakaian BBG terkendala karena harga premium terlalu murah. Harga CNG Rp 4.100 per liter dan LGV Rp 5.500 per liter masih di bawah harga premium bersubsidi Rp 4.500 per liter. Maka, jika harga premium dinaikkan Rp 1.000 per liter dalam waktu setahun, dipastikan akan terjadi pengalihan pengguna premium ke BBG secara otomatis tanpa paksaan. Dengan catatan, pengadaan konverter BBG harus disubsidi APBN. Harga konverter masih bisa diturunkan di bawah Rp 10 juta seperti perkiraan tim UGM. Kebijakan yang tepat dan penting ini sayangnya tak didahului kajian dan perencanaan matang dan analisis dampak yang diakibatkan oleh pembatasan. Pemerintah, melalui komentar di media massa, sejak awal cenderung ragu mengenai kesiapan pemberlakuan pengalihan premium ke pertamax di Jawa-Bali serta persiapan infrastruktur untuk BBG, baik CNG maupun LGV, sebagai alternatif.
    Karena sudah tercantum dalam UU APBN 2012, pemerintah perlu persetujuan DPR untuk meninjau ulang kebijakan pembatasan BBM, termasuk mempertimbangkan opsi menaikkan harga premium minimal Rp 500 per liter untuk menghemat anggaran dan memberikan insentif bagi BBG. Prinsipnya pembatasan konsumsi premium tidak dapat dipaksakan tanpa memberikan alternatif BBG yang lebih murah, terjangkau, aman, dan layak di seluruh Indonesia.
  • Pelajaran dari Krisis Euro

    Pelajaran dari Krisis Euro
    Sjamsul Arifin, STAF AHLI BANK INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 26Januari 2012
    Peluncuran euro sebagai mata uang resmi zona Eropa, 1 Januari 1999, merupakan peristiwa fenomenal yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia.
    Maka, seluruh dunia memusatkan perhatian pada mata uang yang digunakan 14 negara dan dianggap sebagai model mata uang tunggal bagi kawasan ekonomi lain, termasuk ASEAN atau Asia Timur, itu. Berbagai kalangan melakukan studi untuk mengkaji kelayakan penerapannya di kawasan ini. Keinginan melakukan studi juga didorong adanya pengalaman krisis Asia 1997/1998 yang mengakibatkan terpuruknya mata uang beberapa negara Asia.
    Hampir satu dasawarsa sejak peluncurannya, ternyata kawasan euro tak kebal krisis, bahkan terkena dengan skala luar biasa. Krisis melibatkan multisektor di beberapa negara sekaligus sehingga memperumit permasalahan dan memerlukan dana penyelamatan yang mencapai rekor 1,33 triliun euro. Krisis bahkan melengserkan Perdana Menteri Yunani dan Italia. Krisis juga mengungkit kembali kelayakan mata uang tunggal yang sebelumnya dianggap model ideal.
    Penyatuan mata uang bertujuan mengatasi trilema karena suatu negara hanya dapat mencapai dua dari tiga pilihan sekaligus: lalu lintas modal bebas, stabilitas nilai tukar, dan independensi kebijakan moneter.
    Penyatuan mata uang didasari teori optimum currency area (OCA) Mundell (1961), McKinnon (1963), dan Kennen (1969). Menurut teori OCA, apabila kesejahteraan suatu kawasan meningkat melalui penyatuan mata uang, sebaiknya mata uang disatukan dan mata uang setiap negara ditinggalkan.
    Beberapa prasyarat harus dipenuhi untuk mencapai konvergensi ekonomi, seperti tingkat inflasi, defisit fiskal, utang pemerintah, dan suku bunga jangka panjang. Di Eropa, kesepakatan ini dituangkan dalam Maastricht Treaty 1992. Tujuan memelihara stabilitas nilai tukar dengan menerapkan aliran modal bebas cukup berhasil karena sejak peluncurannya euro cukup stabil. Bahkan, di tengah krisis, euro hanya sedikit melemah. Euro bahkan menjadi mata uang utama dunia selain dollar AS.
    Kelemahan Desain
    Sejak awal pembentukannya, euro memiliki kekurangan dalam desain dan kelemahan implementasi peraturan dan kebijakan. Kekurangan desain tecermin pada penyatuan moneter tanpa disertai penyatuan fiskal.
    Di kawasan euro dibentuk European Central Bank (ECB) dengan otoritas penuh, tetapi otoritas fiskal tetap berada di masing-masing negara. Italia merupakan contoh negara yang tidak memenuhi prasyarat menjadi anggota, tetapi sebagai negara besar ketiga dan sekaligus pendiri zona euro tidak mungkin ditolak untuk bergabung. Berdasarkan pertimbangan politik, Yunani diterima sebagai anggota walau prasyarat tidak terpenuhi.
    Tanpa kebijakan fiskal tunggal, kawasan euro mengalami kesulitan menerapkan kebijakan fiskal yang mengikat. Akibatnya, krisis fiskal tidak hanya terjadi di Yunani, tetapi juga di wilayah Eropa selatan dan Irlandia. Krisis diperparah oleh timbulnya spiral kebangkrutan yang dipicu oleh lonjakan suku bunga pinjaman (self-fulfilling interest-rate-solvency spiral) akibat besarnya beban utang dan cepatnya dampak tular serta faktor reprising oleh investor swasta.
    Penyelesaian krisis keuangan pemerintah ternyata dilematis. Penghematan pengeluaran akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan pendapatan pemerintah sehingga mengurangi kemampuan membayar utang.
    Restrukturisasi utang dengan pemberian pemotongan utang menimbulkan efek tular berupa kenaikan imbal hasil utang pemerintah. Rencana penyelenggaraan referendum atas penyelamatan utang Yunani juga memicu peningkatan imbal hasil credit default swap (CDS) di negara tersebut dan kemudian menular ke negara lain.
    Defisit Transaksi Berjalan
    Daya saing Yunani terus memburuk sehingga defisit transaksi berjalan membengkak menjadi 32 miliar euro tahun 2010 setelah mencapai puncaknya 51,2 miliar euro tahun 2008 (14,7 persen dari PDB). Daya saing merosot karena rendahnya produktivitas dan tingginya laju inflasi. Melalui penyatuan mata uang diharapkan akan terjadi konvergensi inflasi (teori the law of one price), tetapi kenyataannya tidak terealisasi.
    Penyatuan mata uang justru mengakibatkan negara anggota kehilangan diskresi kebijakan sebagai mekanisme penyesuaian otomatis (depresiasi atau devaluasi). Peningkatan daya saing hanya dapat dilakukan melalui penyesuaian struktural, tetapi tidak akan membuahkan hasil dalam jangka pendek. Keluar dari euro juga bukan opsi yang tepat karena akan memancing spekulan sehingga nilai tukar akan terpuruk dan berdampak tular.
    Perbankan Eropa umumnya memiliki skala usaha besar, tetapi tanpa dukungan modal yang memadai. Krisis perbankan terjadi akibat interaksi antara bisnis bank dan keuangan pemerintah serta efek tular dari negara lain yang memperdalam krisis. Perbankan Eropa banyak memegang surat utang pemerintah tanpa penyediaan cadangan kerugian karena utang pemerintah dalam denominasi euro berstatus tanpa risiko (risk free). Restrukturisasi utang Pemerintah Yunani dengan pemberian pemotongan utang menimbulkan kerugian perbankan. Efek tular cepat menjalar ke negara yang dianggap rawan oleh pasar karena tingginya tingkat integrasi ekonomi kawasan euro.
    Pelajaran bagi ASEAN
    Apabila semua persyaratan terpenuhi, penyatuan mata uang akan memberi manfaat 
    besar. Sebaliknya, kegagalan akan menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks. Bagi ASEAN—dilihat dari berbagai aspek persyaratan—penyatuan mata uang masih sulit dipenuhi.
    Bagi Indonesia, dari sisi fiskal kemungkinan tidak menghadapi masalah berarti karena cenderung konservatif. Tantangan terutama dari sisi moneter, khususnya inflasi yang tinggi (7,9 persen) dibandingkan dengan tiga negara ASEAN dengan inflasi terendah (2,3 persen) dalam 10 tahun terakhir. Ini menyiratkan permasalahan struktural dalam pembentukan harga sehingga apabila bergabung dalam mata uang tunggal, kemungkinan Indonesia akan mengalami hal serupa dengan Yunani.
    Untuk memelihara stabilitas nilai tukar mata uang, penyatuan mata uang bukan jalan yang tepat bagi Indonesia. Lakukan kebijakan yang didukung faktor fundamental disertai kehati-hatian dari sisi makro seperti yang telah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir, yang sudah terbukti cukup efektif. Kerja sama regional ASEAN+3 dapat menunjang stabilitas perekonomian domestik melalui peningkatan pemantauan di kawasan (regional surveillance) dan penyediaan bantuan yang bersifat menolong diri sendiri (regional self-help) seperti Chiang Mai Initiative (CMI) dengan syarat jumlah dan penarikannya perlu diefektifkan.
  • Ketidakadilan RSBI/SBI

    Ketidakadilan RSBI/SBI
    Elin Driana, DOSEN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA; SALAH SATU KOORDINATOR EDUCATION FORUM
    Sumber : KOMPAS, 26Januari 2012
    Tanggapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh terhadap uji materi Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 terkait rintisan sekolah berstandar internasional yang diajukan oleh Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan patut dicermati.
    Ia menyatakan bahwa rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) merupakan wadah atau layanan khusus bagi anak-anak pintar (Kompas, 30/12/2011).
    Selanjutnya, ”Jika semua anak-anak pintar harus bersekolah di sekolah yang reguler, dikhawatirkan tidak ada kesempatan untuk berkembang,” kata Mendikbud.
    Pendidikan Khusus
    Ada kerancuan yang berpotensi menimbulkan multitafsir dalam pernyataan Mendikbud. Ia mencampuradukkan antara RSBI/sekolah berstandar internasional (SBI) yang diatur dalam Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003 dengan pendidikan khusus yang diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) UU yang sama.
    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ataupun Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah juga tidak menyebutkan peran RSBI/SBI sebagai pendidikan khusus bagi anak-anak dengan kemampuan akademik lebih tinggi daripada siswa-siswa pada umumnya.
    Jadi, apakah dalam pandangan Mendikbud RSBI/SBI juga merupakan realisasi Pasal 32 Ayat (1) UU No 20/2003? Jika RSBI/SBI adalah pendidikan khusus, mengapa perlu ada pasal terpisah dari pasal pendidikan khusus?
    Dalam pandangan penulis, pendidikan khusus yang dimaksudkan dalam Pasal 32 tentunya berbeda dari RSBI/SBI. Pendidikan khusus tersebut ditujukan, antara lain, untuk anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang hingga kini belum jelas pula konsep pembinaan dan pelaksanaannya pada tataran praktis.
    Persyaratan-persyaratan khusus dalam penerimaan peserta didik di RSBI/SBI yang tercantum pada Pasal 16 Ayat (1) Permendiknas Nomor 78 Tahun 2008 berlawanan dengan semangat Pasal 5 Ayat (1) UU No 20/2003. Bunyinya, ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
    Selanjutnya Pasal 11 Ayat (1) menegaskan pula bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”
    Sekolah untuk Siapa?
    Kenyataannya, peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku mensyaratkan, antara lain, prestasi akademik untuk dapat mengakses pendidikan bermutu melalui mekanisme penerimaan siswa ke jenjang yang lebih tinggi di pendidikan dasar dan menengah. Konsekuensinya, yang memiliki peluang mendapatkan pendidikan lebih bermutu adalah siswa dengan prestasi akademik yang lebih tinggi.
    Ketidakadilan ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah negeri dengan label RSBI/SBI—yang telah memenuhi Delapan Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan kurikulum negara-negara OECD ataupun negara maju lainnya—tetapi juga di sekolah-sekolah yang berada pada level di bawah RSBI/SBI berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh pemerintah.
    Nilai UN, misalnya, digunakan sebagai dasar seleksi dari SD ke SMP/setingkat dan dari SMP ke SMA/setingkat sebagaimana tercantum pada Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005. Siswa dengan nilai UN lebih tinggi berpeluang lebih besar untuk diterima di sekolah-sekolah yang masuk dalam kategori sekolah standar nasional (SSN). Siswa yang memiliki nilai UN lebih rendah harus menerima kenyataan bersekolah di sekolah-sekolah dengan mutu lebih rendah.
    Setiap anak memang memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, anak-anak dengan kemampuan akademik yang kurang sekalipun memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai potensi tertinggi yang dimiliki apabila mereka berada di lingkungan belajar yang lebih kondusif. Lingkungan belajar dengan guru-guru yang memiliki kecintaan tinggi pada profesi yang ditekuninya dan berbagai sarana-prasarana penunjang yang diidealkan bagi RSBI/SBI.
    Sangat disayangkan jika anak-anak dengan kemampuan akademik kurang tereliminasi oleh peraturan-peraturan yang sebenarnya bertentangan dengan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan bermutu.
    Di lain pihak, keterkaitan antara prestasi akademik dan status sosial ekonomi orangtua telah mendapatkan dukungan bukti-bukti empiris yang meyakinkan (Dee & Jacob, 2006).
    Diane Ravich, seorang profesor sejarah pendidikan dari New York University, yang awalnya mendukung ”No Child Left Behind” (tidak seorang anak pun boleh ditinggalkan) dengan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada standardisasi dan akuntabilitas pendidikan yang didasarkan pada hasil-hasil tes, kini berbalik menentang.
    Faktor Kemiskinan
    Ravich menegaskan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap rendahnya prestasi akademik siswa adalah kemiskinan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila siswa dari kalangan lebih mampu secara ekonomi yang mendominasi sekolah-sekolah berlabel RSBI.
    Kuota minimal 20 persen yang diberikan bagi anak-anak berkemampuan akademik tinggi, tetapi berasal dari keluarga tidak mampu, jelas tidak memadai dan tidak adil. Anak-anak dengan kemampuan akademik lebih tinggi dari keluarga yang tidak mampu harus bersaing lebih ketat dibanding anak-anak dari keluarga yang lebih mampu.
    Mempertahankan RSBI/SBI dan sistem penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah negeri pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang ada saat ini berpotensi memperlebar kesenjangan prestasi akademik berdasarkan status ekonomi siswa.
    Dengan demikian, evaluasi terhadap RSBI/SBI dan sistem penerimaan siswa baru menjadi mendesak. Ini sesuai perintah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait gugatan 58 warga negara terhadap ujian negara, Presiden, Wakil Presiden, Mendikbud, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional.
  • Mengurai Kekusutan Keberagamaan

    Mengurai Kekusutan Keberagamaan
    Said Aqil Siradj, KETUA UMUM PB NU
    Sumber : JAWA POS, 26Januari 2012
    KITAmasih kerap disuguhi adegan penggerebekan dan penggusuran. Kisruh pembangunan gereja dan juga konflik internal agama masih bergejolak dengan saling menyesatkan. Agaknya, ada sesuatu yang ”tidak beres”.

    Kita tahu bahwa negara kita adalah negara hukum. Konstitusi menjamin setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Pemerintah sudah semestinya bersungguh-sungguh menjamin kebebasan keyakinan dan melakukan ibadah bagi umat beragama.

    Keberagaman agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di bumi. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan mampu berkembang. Alquran Surat Al-Hajj ayat 40 menyatakan bahwa gereja, sinagog, dan masjid merupakan tempat banyak orang mengagungkan dan membesarkan nama Tuhan.

    Untuk menjaga keseimbangan, ini bertemali dengan keadilan. Penegakan keadilan dan penghapusan segala bentuk ketidakadilan sesungguhnya telah ditekankan Islam dalam Alquran sebagai misi utama para nabi (Al-Hadid:25). Madjid Khaduri dalam The Islamic Conception of Justice (1984) mengungkapkan, tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda redaksinya dalam Alquran mengandung makna keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan ‘adl, qisth, mizan, atau dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara implisit. Terdapat pula lebih dari dua ratus peringatan dalam Alquran yang menentang ketidakadilan, seperti dzulm, itsm, dan dhaal.

    Tak heran, Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam (1967) berani menyatakan bahwa negara yang adil -meskipun kafir- lebih disukai Allah daripada negara yang tidak adil -meskipun beriman. Dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam tidak bisa bersenyawa, tanpa salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.

    Rasulullah Muhammad SAW sudah terlalu sering menyajikan teladan. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, beliau segera memobilisasi dana masyarakat untuk kemudian diberikan kepada keluarganya. Sabda Rasul, ”Barang siapa yang membunuh nonmuslim, dia akan berhadapan dengan saya.” Ketika melaksanakan haji, Rasulullah berkhotbah di hadapan sekitar 15.000 orang Islam di Makkah. Yang menarik, dalam khotbah itu, seruan beliau ditujukan kepada seluruh umat manusia (ya ayyuhan naas), bukan muslim saja.

    Dalam khotbah tersebut, beliau menandaskan kesatuan semua manusia, tanpa memandang agama, suku, dan atribut primordial lain. Semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap penciptaan mereka.

    Tandasnya, membunuh orang karena alasan beda keyakinan berarti sama dengan membunuh muslim karena pencipta mereka adalah sama. Membakar gereja sama dengan membakar masjid karena semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia.

    Rekonstruksi

    Bila kita telusuri, konsep hubungan muslim dan nonmuslim pada masa klasik lebih didasarkan kepada hukum perjanjian perlindungan. Di sini, lalu lahirlah istilah ahl al-dzhimma. Dalam perjanjian tersebut, ahl al-dzhimma wajib membayar pajak (jizyah) sebagai substitusi untuk melindungi mereka. Di satu sisi, perjanjian itu tidak dibatasi waktu dan berbeda dengan, misalnya, perjanjian gencatan senjata yang mensyaratkan waktu tertentu. Tetapi, di sisi lain, perjanjian tersebut tidak memberikan akses kepada nonmuslim untuk menjadi kepala negara.

    Al-Shaybani dalam al-Siyar al-Kabir menjelaskan bahwa larangan membangun gereja baru hanya berlaku apabila kaum muslimin merupakan mayoritas di wilayah tersebut. Alasannya, di daerah itu, kaum muslimin melakukan ibadah salat Jumat dan Idul Fitri serta hukum hudud diberlakukan. Mengizinkan mereka membangun gereja berarti memperlemah dan melawan kaum muslimin secara formal. Namun, bila mereka mayoritas, sehingga shalat Jumat dan hukum hudud tidak diberlakukan, maka mereka tidak dilarang membangun gereja baru.

    Menurut Al-Sarakhsi dalam al-Mabsuth , para ahli fikih klasik ada yang berpendapat bahwa ahl al-dzhimma tidak dilarang sama sekali membangun gereja baru di desa. Sebab, adanya larangan didasarkan kepada alasan (illat) bahwa kota merupakan tempat munculnya simbol-simbol Islam seperti salat Jumat, Idul Fitri, dan hukum hudud.

    Menarik dicatat, pandangan fikih klasik tersebut menunjukkan, betapapun para ahli fikih klasik mengakui keberadaan agama lain. Mereka cenderung menempatkan agama lain dalam kedudukan inferior dan dalam konteks kondisi perang. Kecuali, bagi ahl al-dzhimma yang berkewajiban membayar pajak sebagai pengganti perang.

    Pandangan fikih klasik tersebut terasa masih menyemayami ”episteme” umat Islam hingga sekarang. Itu bisa menjadi ganjalan dalam merajut harmoni antaragama karena lebih mempertontonkan tirani mayoritas.

    Kita perlu kembali kepada prinsip umum ajaran Islam (maqhashid al-syari’ah) tentang eksistensi agama lain, yakni pengakuan terhadap kesejatian kemanusiaan mereka serta keabsahan de facto dan de jure sebagai bagian integral suatu komunitas tunggal. Hubungan muslim dengan pemeluk agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab terhadap keutuhan komunitas.

    Nah, kini saatnya melakukan rekonstruksi dan kontekstualisasi terhadap pandangan fikih klasik, terutama mengenai pembangunan tempat ibadah di daerah mayoritas muslim. Kita memang menyadari, dulu para ahli fikih klasik membangun produk hukumnya di tengah situasi antagonistik Islam dan agama lain. Kini dunia sudah berubah menuju kebersamaan.

    Alquran jelas-jelas mewartakan bahwa ”tidak ada paksaan dalam agama”. Artinya, tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan. Perbedaan aliran dan keyakinan tidak boleh dijadikan alasan pembenaran bagi tindakan kekerasan terhadap pihak lain sesama warga negara.