Blog

  • Negara Autopilot atau Negara Lemah?

    Negara Autopilot atau Negara Lemah?
    Thomas Koten, DIREKTUR SOCIAL DEVELOPMENT CENTER
    Sumber : SINAR HARAPAN, 27Januari 2012
    Kehidupan rakyat tanpa negara atau negara tanpa pemimpin belakangan ini menyembul dalam wacana publik di media massa. Wacana ini menyembul dan menyeruak pascakunjungan para tokoh lintas agama ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Tujuan kunjungan itu untuk menyampaikan seruan moral kepada KPK agar dapat melaksanakan tugas mulianya dalam memberantas korupsi di Republik ini.
    Seruan moral para tokoh lintas agama tersebut tidak lebih menyuarakan jeritan rakyat soal tidak berjalannya aksi pemberantasan korupsi selama ini. Padahal, korupsi di Republik ini sudah mewabah dengan sangat mengerikan.
    Seruan moral para tokoh lintas agama itu juga sebagai penyambung suara sebagian masyarakat yang berpesan lewat spanduk-spanduk  bertuliskan “Negeri Autopilot”, yang terpampang di sejumlah lokasi strategis di Jakarta, tulisan yang bermakna negeri ini berjalan nyaris tanpa pemimpin.
    Artinya, bunyi spanduk yang terpampang di sejumlah lokasi strategis di Jakarta tersebut menunjukkan ungkapan kekecewaan rakyat karena tidak merasakan kehadiran pemimpin. Rakyat merasakan negara ini berjalan sendiri karena pemimpin mereka jauh dari yang diharapkan.
    Fenomena seperti itu terjadi di semua sektor negara; hukum, politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Sejumlah contoh teranyar, terutama dari segi hukum sebagai indikasi “Negeri Autopilot” adalah banyaknya rakyat yang mati ditembak aparat sendiri, seperti kasus Mesuji dan Bima.
    Belum lagi kekerasan di bidang agama atau atas nama agama yang tidak jarang berujung pertumpahan darah. Dalam catatan Setara Institute, misalnya, sepanjang 2011, terjadi 135 kasus kekerasan atas nama atau berlatar belakang agama yang menumpuk karena tidak diusut aparat negara.
    Belum lagi konflik agraria atau konflik tanah/lahan dengan perusahaan, yang secara jelas memberi kesan negara meninggalkan rakyat dan berselingkuh dengan perusahaan.
    Di bidang ekonomi, setali tiga uang, rakyat terkesan dan merasakan berjalan sendiri, berjuang sendiri untuk mengatasi dan mengurangi kemiskinan dan kemelaratan.
    Negara hanya berbangga di balik usaha rakyat sendiri dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Seperti yang kerap dikritik para pengamat, pemerintah tidak berbuat hal yang signifikan menyangkut infrastruktur, tetapi toh negara ini mendapat apresiasi investment grade.
    Negara Lemah
    Yang jelas, bangsa dan negara ini sudah sangat lama dirundung atau dililit aneka macam kebobrokan yang membekap semua lini kehidupan masyarakat; di lini ekonomi, sosial, hukum, politik, dan lain-lain. Karena itu, rakyat melabelkan negara ini sebagai negara gagal, negara lemah, atau yang belakangan ini dikatakan sebagai “Negeri Autopilot”.
    Namun bagaimana persisnya memosisikan negara ini, apakah sebagai negara gagal, negara lemah, atau Negeri Autopilot? Ketiga predikat memiriskan itu tentu saja berpijak dan bermuara pada fenomena negara yang diwarnai berbagai problem yang menyangkut tak terurusnya rakyat.
    Padahal, negara ini, sebagaimana juga negara-negara lainnya, didirikan dan dibentuk berdasarkan sutu kontrak sosial, yang mengatakan negara memberi perlindungan kepada warga sebagai kewajiban utamanya, dan warga negara berkewajiban patuh kepada negara  dengan mengikuti peraturan-peraturan yang digariskan negara dalam kontrak sosial itu.
    Di Indonesia, fungsi, tugas, dan peran negara sebagai pelindung dan pemberi jaminan keamanan dan pencipta kesejahteraan dimaktubkan atau diamanatkan dalam UUD’45, maka segala ketidaknyamanan dan ketidaksejahteraan warga merupakan pengabaian tugas, fungsi, dan peran negara terhadap kontrak sosial bernegara.
    Pemerintah yang tidak menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya dikatakan juga sebagai negeri autopilot atau sebagai negara gagal itu. Mengapa? Sebab dalam teori kontrak sosial Thomas Hobbes, John Lock, dan Jean Jaeques Rousseau, yang kemudian dipadukan dalam UUD’45 mengatakan tujuan didirikan negara adalah to protect its people from violence and other kinds of harm (untuk melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan, ketidaknyamanan, atau lainnya).
    Bagaimana indikasi sesungguhnya yang memotretkan negara gagal itu? Menurut sebuah studi yang dilakukan World Economic Forum dan Universitas Harvard (2002) terhadap 59 negara (Indonesia termasuk di dalamnya), berhasil dicirikan apa itu negara gagal: tingginya angka kriminalitas dan kekerasan publik, suap dan korupsi merajalela, kemiskinan masyarakat yang merebak, dan ketidakpastian yang tinggi.
    Daniel Thurer, profesor hukum dari Universitas Zurich, mengartikan negara gagal sebagai kegagalan negara mengaktualisasikan kapasitas dan kewenangan yang dimilikinya di tengah rakyat. Dari perspektif internasional, negara gagal adalah negara yang tidak layak mengikatkan dirinya dalam satu kesepakatan internasional.
    Indonesia yang dipicu berbagai konflik, kekerasan negara, tingginya kriminalitas, merebaknya suap dan korupsi, kemiskinan dan lain-lain, oleh kebanyakan pengamat dalam dan luar negeri, lebih kepada cermin negara lemah, yang kalau tidak mampu mengatasinya akan menjurus ke negara gagal.
    Negara gagal itu selalu bermula dari negara yang hadir ibarat tanpa pemimpin, yang belakangan ini disebut negeri autopilot itu. 
    Tetapi, karena secara formal administratif, dan realitasnya juga para pemimpin kita masih ada dan terus bekerja, negara ini lebih cocok dikatakan sebagai negara sangat lemah, yang jika tidak hati-hati segera berubah menjadi negara gagal. 
    Perlu Tindakan Segera
    Negara ini seperti sudah terlalu lama ibarat pesawat yang dibiarkan beroperasi dengan autopilot sehingga bisa jatuh lantaran kehabisan bahan bakar, misalnya. Negara yang dibiarkan terlalu lama berjalan ibarat tanpa pemimpin atau tanpa pemerintahan, lama-kelamaan akan jatuh karena rakyat kehabisan kesabaran.
    Bukan tidak mungkin negara gagal yang dipuncaki dengan rontoknya negara, seperti Yugoslavia pada akhir 1980-an, terjadi di Indonesia, jika keadaan negara seperti ini bertambah buruk dan pemimpin tidak sanggup tampil lebih kredibel lagi untuk mengendalikannya.
    Dengan demikian, meskipun Indonesia saat ini belum benar-benar menunjukkan diri sebagai negara gagal, keadaan ini harus disikapi secara serius oleh para pemimpin negara, terutama presiden sebagi kepala negara dan kepala pemerintahan. Jangan menunggu hingga negara ini benar-benar gagal.
    Mari kita bersama-sama mengantarkan rakyat ke tujuan mendirikan Republik ini, yakni negara kesejahteraan dengan warga negara yang selalu terlindungi dan senantiasa merasa nyaman, yang menjalankan hidup dengan penuh kebersahajaan. Pekerjaan ini tentu tidak mudah, tetapi tidak mustahil.
  • Islam dan Krisis Lingkungan

    Islam dan Krisis Lingkungan
    Imam S Afrizal, KETUA UMUM PC PMII YOGYAKARTA PENELITI CTSD UIN SUNAN KALIJAGA Sumber : REPUBLIKA, 27 Januari 2012
    Isu krisis lingkungan hidup adalah masalah yang menyita perhatian ma syarakat dunia dalam kurun waktu 40 tahun ter akhir. Masyarakat global mulai menyadari bahwa industrialisasi dan pembangunan yang diorientasikan pada peningkatan ekonomi dan kemajuan teknologi telah mengancam masa depan planet Bumi ini. Kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dengan skala ekstensif menuntut masyarakat global untuk bersatu padu menghadapinya dengan beragam cara dan disiplin pengetahuan yang berbeda-beda.
    Philip Shabecoff, sebagaimana dikutip Mudhofir Abdullah (2010:2), mengemukakan bahwa sejak abad ke-19 akar-akar gerakan environmentalism modern telah muncul, namun gerakan tersebut berkembang secara masif pada abad ke-20. Pada 1960-an, beberapa ahli ekonomi mulai mengkaji dampak pertumbuhan ekonomi atas lingkungan, salah satunya Kenneth Boulding, seorang ahli ekonomi Amerika Serikat (AS).
    Pada 1960-an juga ditandai dengan kesadaran sekelompok teolog Kristen, ilmuan, dan pemimpin gereja untuk membentuk kelompok studi Iman-ManusiaAlam di bawah payung National Council of Churches. Menjelang 1970-an, sebuah gerakan eko-keadilan yang berupaya mengintegrasikan ekologi, keadilan, dan iman Kristen mulai mengungkapkan pemikiran mereka dalam beberapa telaah teologis, etis, histo ris, biblikal, dan kebijakan umum yang berlangsung di Amerika Utara (Charpman, 2007:32).
    Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pertama kali menyelenggarakan konferensi internasional tentang lingkungan pada 1972 di Stockholm, Swedia. Sejak saat itu, keterlibatan agama-agama besar dalam masalah konservasi lingkungan semakin intens dan mendapat perhatian khusus. Agamaagama besar ditempatkan sebagai pilar penting dalam menopang kesadaran konservasi lingkungan.
    Menurut Mudhofir Abdullah, ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas konservasi lingkungan yang mengalami degradasi akibat agresi manusia-manusia modern secara terus-menerus melalui watak penaklukannya.
    Peran serta pemuka agama sangat penting sebagai upaya penaggulangan krisis lingkungan dalam jangka panjang. Seyyed Mohsen Miri (2007:24-25) membagi dua pendekatan sebagai solusi untuk mengatasi krisis lingkungan, baik secara individual maupun sosial. Pertama, pemecahan krisis melalui pertimbangan atas segala sesuatu yang terlihat langsung, membuat perubahan jangka pendek, dan membuat suatu perencanaan ulang. Kedua, pemecahan krisis melalui penjabaran sebab dan faktor yang mendorong munculnya krisis (aspek ontologis), melalui dasar keilmuan (aspek epistimologis), kerangka rohani, dan intelektual, serta paradigma budaya yang menyebabkan krisis tersebut terjadi dengan mengacu kepada pendekatan pertama.
    Bagi Seyyed Mohsen Miri, pendekatan kedua dinilai lebih tepat karena mampu memberikan pengaruh lebih nyata. Menurutnya, jika hanya berpegang pada pendekatan pertama, maka masalah akan muncul kembali dan menjadi lebih serius karena krisis sebelumnya masih aktif. Meskipun beberapa percobaan penting telah dilakukan, semisal proyek penggantian kelengkapan transportasi, membuat bahan bakar nonfosil, merancang teknologi ramah lingkungan, pendekatan pertama tidaklah dapat menghapus krisis lingkungan dan tidak dapat menjadi solusi yang memadai bagi masalah tersebut.
    Krisis lingkungan memang butuh penyelesaian yang bersifat jangka panjang karena krisis ini tidak semata-mata disebabkan oleh persoalan sosial-ekonomi dan kependudukan semata. Krisis lingkungan adalah persoalan ultimasi, persoalan cara pandang manusia terhadap alam semesta. Tak ada yang tidak sepakat bahwa problem lingkungan saat ini terjadi karena perilaku manusia yang mengubah ekosistem bumi menjadi terancam keseimbangannya.
    Solusi Pada titik inilah peran agama untuk menjawab problem lingkungan yang krusial menjadi sangat dibutuhkan. Menurut Seyyed Hossein Nasr (2005), nilai-nilai agama dan kearifan-kearifan moral sangat diperlukan untuk merawat keseimbangan alam dari situasi chaos. Tanpa adanya penguatan terlebih dahulu basis keyakinan dan spiritual manusia, serta memurnikan dirinya dari intervensi sifat dan sikap arogansi, pragmatisme, rakus dan sifat nafsu lainnya, maka semua upaya yang dilakukannya untuk melindungi alam dari kerusakan tak lebih dari se kadar tabir untuk memenuhi ke, puasan dan keuntungan besar ba gi diri dan kelompoknya semata dan tidak akan memerhatikan i apakah sesuai hasil kerja yang diperolehnya dengan yang seha rusnya diperoleh.
    Kian berkembang sains dan teknologi modern berakibat pada , sekularisasi kosmos. Menurut , Nasr, sekularisasi kosmos telah memisahkan manusia dengan ling kungannya. Desakralisasi dan se kularisasi kosmos sepanjang be rabad-abad membuat manusia i mengembangkan watak penaklu kan atas alam sehingga menim bulkan krisis lingkungan sangat serius. Nasr menjelaskan bahwa i bumi kita sedang berdarah-darah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang sudah tidak ramah kepadanya. Pandang, an sekular dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang tercerabut dari akar-akar spiritual agama, membuat bumi kian mengalami krisis dan terus menghampiri titik kehancurannya.
    Di sinilah kemudian gagasan Nasr tentang sains yang suci (scientia sacra) menjadi relevan.
    Kita mesti mendukung untuk rekonstruksi pemikiran ilmiah Islam atas dasar pengetahuan wah yu (revealde knowledge), tidak menaklukkan alam, tetapi mei manfaatkannya sesuai dengan Perintah Allah (function within Divine Commands), dan kritis ter hadap sekularisasi sains dan penguasaan atas alam (critical of secularization of science and its domination nature). Masyarakat modern perlu mengondisikan kembali pemahamannya tentang eksistensi diri, alam dan Tuhan, serta bagaimana relasi yang se mestinya antara yang satu dengan yang lainnya.

  • Krisis Kewargaan dan Legitimasi Negara

    Krisis Kewargaan dan Legitimasi Negara
    Agus Sudibyo, WAKIL DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 27Januari 2012
    Sejauh ini, telanjur mapan pemahaman yang menempatkan masyarakat sipil (civil society) sebagai kekuatan yang lahir untuk mengontrol kekuasaan negara. Negara yang menindas, antidemokrasi, dan sewenang-wenang dianggap sebagai penyebab berkembangnya fenomena masyarakat sipil, yang dalam perkembangannya demikian identik dengan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.
    Pemahaman ini sebenarnya berbeda dengan pengertian awal masyarakat sipil yang justru menempatkan negara dan tatanan politis sebagai bagian integral dari fenomena masyarakat sipil. Kita misalnya dapat merunut karya klasik Aristoteles, Politics, dengan kata koinonia politike yang dipergunakan untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang beradab dan berdasarkan hukum bersama vis-a-viskondisi masyarakat yang tanpa tatanan, hidup dalam situasi barbar perang semua melawan semua. Dalam perkembangannya, kata koinonia politike ini bermetamorfosis menjadi kata politica communicatio, communitas politica, civilis communitas, societas civilis, hingga akhirnya menjadi civil society. Namun semuanya merujuk pada pengertian yang sama: pemerintahan negara republik, komunitas hidup bersama, dan tata sosial yang beradab.
    Tatanan beradab lahir karena kesadaran bahwa manusia tidak dapat seterusnya hidup berdasarkan naluri-naluri alamiah yang menempatkan individu bak serigala bagi sesamanya. Meminjam penjelasan Richard Hooker (1554-1600), masyarakat warga sesungguhnya terbentuk melalui logika negatif, dengan mekanisme leisure of evil: untuk mengatasi situasi saling melanggar dan menyakiti, tak ada cara lain kecuali bersama-sama mengembangkan pemerintahan yang otoritatif untuk mengatur kehidupan bersama.
    Dengan demikian, “musuh” masyarakat sipil sesungguhnya bukanlah negara an sich, melainkan kondisi tanpa tatanan dan hukum rimba. Sebagaimana kemudian juga dijelaskan John Locke (1632-1704), problem masyarakat sipil adalah naluri binatang (state of nature) manusia dan pamer individualitas tanpa batas. Negara yang otoritatif dan hukum yang berwibawa justru menjadi tujuan dari fenomena masyarakat sipil. Meskipun negara yang otoriter dan tidak semena-mena dalam perjalanannya juga menjadi bagian dari problem masyarakat sipil, antagonisme antara masyarakat sipil dan negara tidak semestinya dilihat sebagai sesuatu yang permanen.
    Dalam konteks Indonesia saat ini, koreksi pemahaman itu menjadi relevan. Yang kita hadapi sekarang notabene bukanlah sosok kekuasaan yang otoriter, despotik, dan menindas. Terkait dengan masalah kekerasan dan ketidakadilan sosial, yang kita hadapi justru fenomena negara yang terkesan rapuh dan mengalami disorientasi. Negara yang kelihatan ragu-ragu dalam menegakkan hukum dan keadilan terlambat mengambil tindakan-tindakan desisif guna melindungi hak hidup, hak beragama, dan hak politik rakyatnya serta sering sembrono dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional dan pengelolaan sumber daya alam yang adil.
    Insiden kekerasan yang marak belakangan merupakan cermin frustrasi masyarakat atas kondisi tersebut. Ketika otoritas resmi tak lagi dianggap mampu menegakkan keadilan, jalan kekerasan pun ditempuh sebagai ekspresi diri. Di Mesuji, si lemah tak segan-segan menggorok leher sesama si lemah yang kebetulan menjadi centeng si kuat. Di Bima, masyarakat tak segan-segan memblokade pelabuhan, meskipun mereka tahu tindakan ini membuat sengsara banyak orang. Tindakan anarkistis ditempuh karena rakyat kecil frustrasi atas sikap acuh tak acuh negara terhadap hak hidup warganya.
    Sikap acuh tak acuh negara terhadap hak hidup warganya ini kemudian dapat dijelaskan dari perspektif hegelian. Sebagai puncak perkembangan dari fenomena masyarakat sipil, negara mewajibkan setiap orang dalam teritori nasional melepaskan ikatan-ikatan tradisional untuk melebur ke dalam satu identitas: warga negara. Peraturan perundang-undangan kemudian mengatasi segala hukum keluarga, adat, dan agama. Konsekuensinya, semakin sempit peluang bagi warga untuk mengklaim kepemilikan tanah berdasarkan hukum adat atau hak pengelolaan alam berdasarkan ikatan-ikatan alamiah.
    Persoalannya, setelah mencabut warganya dari ikatan-ikatan tradisional, negara seakan-akan membiarkan mereka masuk ke dalam struktur sosial yang timpang. Kesamaan hak di depan hukum hanya fatamorgana. Bukan rahasia lagi bahwa pelayanan publik dan jaminan hukum di semua lini birokrasi menjadi privilese bagi mereka yang kaya atau dekat dengan kekuasaan. Kemudahan-kemudahan pelayanan pemerintahan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Alih-alih menciptakan kesetaraan, hukum dan pelayanan publik justru menciptakan segregasi antara yang miskin dan yang kaya, yang lemah dan yang kuat. Yang kaya semakin kaya karena dapat membeli semua jenis pelayanan pemerintah, yang miskin semakin miskin karena hampir selalu kalah dalam perlombaan nepotisme birokratis.
    Persoalan berikutnya, hukum nasional juga belum menjamin pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Tanah adat terus-menerus diserobot oleh industri besar perkebunan dan pertambangan. Sumber daya alam dieksploitasi tanpa signifikansi bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Dan hampir selalu terjadi, aparatus negara diam-diam berkongsi dengan pemodal besar. Sekadar gambaran, mungkinkah perusahaan perkebunan yang sedang bersengketa dengan warga sekitar membentuk pam swakarsa tanpa sepengetahuan aparat keamanan setempat? Mungkinkah perusahaan pertambangan yang merusak lingkungan beroperasi tanpa restu dari pemerintah setempat?
    Kekerasan yang terus terjadi, dan kelambanan menangani kompleksitas masalah pertanahan, sumber daya alam, serta kebebasan beragama pada akhirnya menunjukkan krisis kewargaan. Negara gamang dalam menjaga tatanan sosial yang beradab, sehingga banyak sengketa diselesaikan melalui pertunjukan state of nature: adu kuat antara yang kaya dan yang miskin, antara yang mayoritas dan yang minoritas. Krisis terjadi karena yang mengaitkan warga negara yang satu dengan yang lain bukan lagi komunikasi dan interaksi yang didasarkan pada empati atau solidaritas, tapi sikap sewenang-wenang, ambisi menguasai, dan perlombaan kepentingan partikular diri. Kalaupun terjadi komunikasi di antara mereka yang bertikai, pemerintah, aparat, dan para pemimpin politik, bukan dalam rangka mencari solusi bagi kebaikan bersama, tapi dalam rangka memobilisasi opini publik dan politik pencitraan.
    Dengan sendirinya krisis kewargaan ini juga menunjukkan krisis legitimasi negara, karena keberadaan negara tak lain dan tak bukan untuk menjaga tatanan sosial yang beradab itu. Ironisnya, dalam banyak kasus, negara sepertinya justru melegalkan sikap sewenang-wenang para pengusaha besar dan kelompok mayoritas agama pada kasus yang lain. Dan melawan “legalisasi” ini, dengan mudahnya akan dicap sebagai tindakan melawan hukum. Jika kehidupan publik kenyataannya masih dilandasi oleh self-interest, naluri menguasai dan kesewenang-wenangan, lalu apa fungsi pemerintahan dan hukum? Jika pemerintah belum mampu menjamin rasa aman dan hak hidup warganya, dan jika hukum kenyataannya justru memfasilitasi penindasan warga yang kuat terhadap warga yang lemah, apa kemudian yang melegitimasi keberadaan negara?
  • Watak Sipil Kepolisian

    Watak Sipil Kepolisian
    Asep Purnama Bahtiar, KEPALA PUSAT STUDI MUHAMMADIYAH DAN PERUBAHAN SOSIAL POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 27Januari 2012
    Akhir 2011 dan awal 2012 merupakan masa yang belum bisa lepas dari torehan warna buram bagi kepolisian di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kebijakan kepolisian dan tindakan di lapangan oleh aparatnya, seperti dalam menangani massa demonstrasi atau penanganan dugaan kasus kriminal, yang berekses pada tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Sesuatu yang tidak diharapkan banyak pihak ketika reformasi kepolisian menjadi agenda yang tak terelakkan dalam proses konsolidasi demokrasi yang sedang diperjuangkan bangsa ini.
    Banyak kasus yang bisa dideretkan terkait dengan masalah tersebut di atas. Sebagai contoh, kasus Mesuji (Lampung) yang memakan korban jiwa; bentrok antara masyarakat pendemo dan aparat kepolisian di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menewaskan dua orang dan belasan lainnya luka-luka; kasus pemidanaan Anjar Adreas Lagaronda (AAL), seorang remaja yang dituduh mencuri sandal seorang anggota kepolisian di Palu; tewasnya dua belia kakak-adik di tahanan Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat, merupakan sebagian kasus yang mencuatkan isu HAM dan sekaligus memojokkan aparat kepolisian dan institusi Kepolisian RI.
    Citra polisi dan cita-cita reformasi di kepolisian pun kembali dipertanyakan oleh berbagai kalangan, ketika berbagai kasus kekerasan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan melanggar HAM itu kian mencuat ke publik. Karena itu, tidak berlebihan jika seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional, Novel Ali, menilai reformasi internal Polri selama 10 tahun ini masih dinilai gagal. Soalnya, hingga kini masih marak kekerasan yang terjadi dan dilakukan oleh polisi. Kekerasan yang dilakukan polisi merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Kultur perilaku polisi masih sangat menyedihkan (Koran Tempo, 12 Januari 2012).
    Problema HAM
    Pada dasarnya, masalah HAM bukan hanya terkait dengan Polri, tapi menjadi problematik dan hiruk-pikuk bahkan bisa lepas konteks ketika kasus yang dianggap sebagai pelanggaran HAM itu melibatkan atau berkaitan dengan Polri. Pandangan seperti ini bisa dianggap wajar, karena asumsi masyarakat luas terbingkai dalam anggapan bahwa Polri adalah pelindung dan pengayom rakyat. Maka menjadi pertanyaan besar ketika terjadi tindakan yang merugikan rakyat atau melanggar hak asasi mereka.
    Tugas perlindungan HAM oleh Polri itu tidak tepat kalau dianggap sebagai sebuah dilema. Penggunaan istilah “dilema” paling tidak menyiratkan dan menimbulkan implikasi pada dua hal. Pertama, seolah Polri tidak mempunyai alternatif atau tidak mau berusaha optimal mencari pilihan lain yang lebih baik dalam menangani masalah. Bukankah dilema itu berarti situasi sulit yang hanya menyediakan dua pilihan, kalau tidak A, maka B.
    Kedua, bagi Polri, khususnya ketika “dilema” menjadi bagian dari mindset-nya, hal itu akan menggiring pada cara-cara penyelesaian masalah atau kasus, umpamanya yang melibatkan rakyat atau masyarakat luas, dengan cara-cara berpikir jangka pendek, proforma, manipulatif, dan bisa jadi melakukan tindakan kekerasan. Sudah barang tentu mindset dan modus penanganan masalah ini akan kontraproduktif dengan upaya reformasi di tubuh Polri.
    Menurut saya, perlindungan HAM oleh Polri itu merupakan problema. Penggunaan istilah “problema”, selain menunjukkan sikap dan pandangan optimistis, selalu memberi harapan bahwa hal yang perlu diselesaikan atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu masih bisa diikhtiarkan solusinya dengan berbagai cara dan beragam pendekatan yang lebih manusiawi dan pro-HAM.
    Kerangka berpikir tersebut akan membentuk cara bersikap dan bertindak aparat kepolisian yang penuh perhitungan dan memperhatikan betul hakikat masalah yang sedang ditanganinya. Penanganan masalah kemudian akan selalu menghindari atau meminimalkan risiko pelanggaran HAM, sehingga solusi yang diambil bukan semata legal-formal, tapi juga mempertimbangkan hakikat masalah dan nilai-nilai kemanusiaan individu ataupun masyarakat.
    Dengan mindset atau paradigma seperti itu, tidak perlu terjadi kasus seperti yang menimpa AAL atau pemerkaraan dan pemidanaan kasus-kasus sepele lainnya yang sesungguhnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Penegakan hukum yang menjadi salah satu fungsi Polri jangan sampai menafikan fungsi lainnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
    Berwatak Sipil
    Agenda besar pemerintah sebagai bagian dari amanat dan cita-cita reformasi dalam penegakan dan perlindungan HAM harus gayung bersambut dengan cara berpikir-bersikap-bertindak Polri. Dalam kondisi negara-bangsa yang sedang ranum dan sekaligus rawan proses demokratisasi dan penguatan masyarakat madaninya, mindset dan paradigma Polri seperti itu akan menjadi saham sejarah yang besar bagi penegakan HAM di Indonesia.
    Tidak disangsikan lagi bahwa perlindungan HAM menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakkan oleh Polri dalam menunaikan fungsi dan tugasnya. Keniscayaan ini bukan hanya menjadi obligasi moral Polri sesuai dengan amanat konstitusi dan undang-undang (lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Bab I Bab IV, dan Bab III Pasal 14 Ayat 1i), tapi juga merupakan pilihan jalan yang bisa sejalur dengan cita-cita reformasi dan demokratisasi serta segerak dengan visi masyarakat madani.
    Diakui memang tidak mudah melaksanakan perlindungan HAM dalam menjalankan fungsi dan tugas kepolisian. Namun di situlah arena untuk membuktikan komitmen reformasi Polri yang dapat memperbaiki citra buruk di mata masyarakat sebagai dampak dari ekses tindakan-tindakan para oknum yang tidak bertanggung jawab.
    Dengan demikian, fungsi dan tugas pokok Polri harus betul-betul diperankan dalam semangat pelayanan atau berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sebab, jika hal ini tidak dilakukan, persepsi masyarakat terhadap Polri akan selalu bernada sumbang dan penuh kecurigaan sebagai alat pemerintah atau agen negara yang tidak memihak serta mengayomi masyarakat. Di sinilah keterbukaan dan keadaban yang dikembangkan bersama dalam pola hubungan antara Polri dan masyarakat akan memperoleh dukungan positif juga dari semangat kehidupan masyarakat madani, setidaknya dalam menciptakan polisi yang berwatak sipil sebagai salah satu tujuan reformasi kepolisian.
    Menurut Satjipto Rahardjo (2002), polisi yang berwatak sipil bisa dikatakan sebagai suatu cara perpolisian yang menempatkan manusia atau masyarakat pada titik pusat perhatian. Cara-cara polisi melaksanakan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan manusia atau masyarakat menjadi kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Polisi yang berwatak sipil dapat dikatakan pula menjadi polisi yang menjalankan tugasnya tidak dengan menggunakan cara yang pendek dan gampang, seperti memaksa dan menggunakan kekerasan, tapi bersedia mendengarkan dan mencari tahu hakikat dari penderitaan manusia.
    Menurut penulis, watak polisi seperti ini akan menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam membangun kepolisian yang profesional sesuai dengan tuntutan reformasi dan harapan publik serta supportivebagi penegakan HAM. Hal ini semakin menunjukkan arah kebijakan reformasi kepolisian yang sudah dicanangkan pemerintah sejak 2000, dan Polri wajib bersikap proaktif serta committed dalam mengimplementasikannya.
  • Oh, Sara!

    Oh, Sara!
    Mochtar Naim, SOSIOLOG
    Sumber : KOMPAS, 27Januari 2012
    Oh, Sara! Sejak namamu tak boleh disebut di awal Orde Baru 44 tahun lalu, jurang sosial-ekonomi dan sosial-budaya di antara kami sesama warga Negara Kesatuan RI ini bukan semakin mengatup, melainkan justru kian menganga.
    Rezim Orde Baru alias Orba di bawah komando Jenderal Besar Soeharto kebetulan memberi prioritas kepada kelompok kami yang dari nonpribumi keturunan China. Mereka bekerja sama dengan para kapitalis multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia dalam sektor industri galian berskala besar untuk membantu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kebangkrutan total yang ditinggalkan rezim Orde Lama.
    Proteksi dan Kerja Sama Triumvirat
    Demi itu, kami memang sengaja diproteksi dan dilindungi para penguasa negara birokrat politik yang rata-rata adalah pribumi bermental priayi, berbudaya feodal-nepotik-sentripetal-etatik sipil maupun militer yang rata-rata berpendidikan tinggi dalam dan luar negeri.
    Dengan kerja sama triumvirat ini (MNC, konglomerat, dan penguasa NKRI), kami berhasil menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kebangkrutan dan kehancuran peninggalan rezim Orde Lama (Orla). Warisan yang ditinggalkan Orla berupa 600 persen inflasi dan 60 dollar AS pendapatan per kepala rata-rata penduduk (negara-negara maju di atas 10.000 dollar AS waktu itu) kami selamatkan.
    Karena Orla yang langsung dipimpin proklamator kemerdekaan kami, Soekarno, mengabaikan pembangunan ekonomi dan memfokuskan perhatian pada arogansi berbangsa dan bernegara di forum internasional, begitulah jadinya. Untung saja, negara Abang Sam membuka pintu bagi mahasiswa Indonesia yang ingin memperdalam ilmunya, khususnya ekonomi, ke universitas ternama di pantai barat dan timur Amerika Serikat.
    Kelompok alumni seniornya yang kemudian suka digelari sebagai mafia Berkeley sudah banyak menempati posisi kunci ekonomi, perdagangan, dan industri di pemerintahan sesuai dengan motif dan garis arah yang mereka pelajari di negeri Abang Sam itu: ekonomi liberal kapitalistis pasar bebas.
    Merekalah yang menasihati Jenderal Besar Soeharto menyerahkan urusan ekonomi dan perdagangan kepada ”ahlinya”: kelompok konglomerat nonpribumi China bekerja sama dengan kelompok MNC di bawah lindungan para birokrat pribumi kami sebab merekalah yang punya pengalaman dan kiat bagaimana menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran.
    Kepada kelompok warga pribumi yang jumlahnya ”cuma” 90-an persen dan rata- rata masih hidup di bawah garis kemiskin- an, kebodohan, dan keterbelakangan dibe- ri peluang yang sama nanti kalau ekonomi Indonesia sudah membaik dalam jangka waktu 5-6 Repelita ke depan. Kalau langsung sekarang, mereka tak punya pengalaman dan latar memadai untuk langsung turut menyelamatkan ekonomi Indonesia yang sudah sempoyongan itu.
    Maka, pendapat kelompok pemimpin sosialis, seperti Hatta, Soedjatmoko, Sultan HB IX, dan TB Simatupang yang menginginkan warga pribumi langsung diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi dengan dasar koperasi dengan enteng ditolak penguasa Orba: Jenderal Besar Soeharto.
    Rezim berganti rezim. Orba keok setelah berkuasa 32 tahun dan digantikan Orde Reformasi. Masa kerja tiga presiden pertama sebelum Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang singkat. Soeharto digantikan wakilnya, Habibie. Habibie oleh Gus Dur. Gus Dur oleh Megawati. Ketiganya kurang dari enam tahun. SBY sebaliknya sekarang memangku jabatan untuk kedua kali.
    Karena aturan bahwa presiden cuma boleh menjabat dua kali, sekarang sedang kasak-kusuk mereka yang berminat mencari peluang mencalonkan diri jadi presiden berikutnya. Namun, itu tak mudah. Demokrasi sekarang bukan demokrasi dulu lagi. Dulu kerakyatan, sekarang do it, duit. Jangan coba-coba jadi calon apa pun di eksekutif atau legislatif kalau tak punya duit. Dan itu miliaran upiah. Secara berpartai triliunan rupiah dana diperlukan.
    Jadi, kerja sama triumvirat lagi-lagi diperlukan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme—bagaimanapun—diperlukan. Dan oleh itu saja Indonesia sekarang sudah berhasil dicap sebagai negara yang termasuk terkorup di dunia. Kita atau kami hanya pandai berkata manis di atas kertas, di pasal-pasal UUD 1945 yang telah kami edit dan sempurnakan sampai empat kali. Namun, yang kami lakukan jauh panggang dari api. Pandai berkata-kata, tetapi tak berbuat untuk kesejahteraan rakyat yang, untuk ukuran Asia Tenggara saja, adalah kelompok rakyat termiskin: 200-an juta.
    Apa yang menarik dengan pergantian rezim dari yang satu ke yang lain itu selama 66 tahun merdeka ini, khususnya sejak masa Orba ke Orde Reformasi sekarang ini? Yang berganti hanya rezim, orangnya, yang sistem dan struktur ekonomi dan sosial-budayanya tak berubah. Praktis, bagaimana dahulu di zaman kolonial, begitu juga sekarang. Ekonomi Indonesia dasarnya liberal, kapitalistis, pasar bebas, dikuasai seluruhnya oleh unsur eksternal, bukan rakyat pribumi asli Indonesia sendiri, yang sekarang membentuk kerja sama triumvirat itu.
    Satu, kelompok konglomerat nonpribumi China yang menguasai jalur ekonomi dari hulu sampai muara: di darat, laut, dan udara. Dua, kelompok MNC alias multinational corporations yang menanamkan modal di sektor industri galian, manufaktur, perbankan, dan perdagangan internasional. Tiga, dicagak kelompok penguasa politik priayi pribumi yang suka hidup berfoya-foya, ultra-materialistis, tanpa menghiraukan nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa sambil bernyanyi-bersenandung mengayuh biduk hilir.
    Sejarah Berulang
    Atas namamu, Sara, mulut kami ditutup. Kami tak dibolehkan saling mengkritik, apalagi mencerca. Untung, menjelang akhir masa kedua rezim reformasi jilid kedua SBY ini, karena tak tertahankan lagi, anak-anak kami, pemuda kami, mahasiswa kami, sudah berani buka mulut dan langsung bersuara lantang.
    Sama seperti di pengujung rezim Orla di pengujung rezim Orba. Petunjuk bahwa mereka sudah tak menyukai rezim re- formasi jilid kedua SBY sekarang ini yang bijak berteori dan berkata-kata, tetapi tak banyak berbuat menyelamatkan nasib rakyat pribumi yang cuma 90-an persen dari keseluruhan penduduk NKRI itu.
    Hari-hari menjelang pergantian rezim yang akan datang ini sukar ditebak, tetapi mudah dibayangkan bahwa selama sistem dan struktur yang ada sekarang dan selama ini tak berubah, sejarah tetap akan berulang kembali. Orang Perancis bilang: L’histoire c’est repete. Sejarah berulang!
    Bayangkan! Kesenjangan dikotomis- dualistis dan polaristis ini telah berjalan sejak Majapahit dan Mataram sekian abad lalu dan berlanjut ke zaman penjajahan Belanda sampai pula ke zaman kemerdekaan hingga sekarang ini. Esensinya sama dan tak pernah berubah: penguasa politik pribumi mengandalkan kekuasaan menjalankan ekonomi makro kenegaraan kepada kelompok eksternal yang masuk dan menguasai ekonomi Indonesia ini.
    Masalahnya, Sara, kapan sistem dan struktur ekonomi kenegaraan NKRI ini akan berubah, sekurang-kurangnya seperti yang diinginkan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang telah diperbaiki dan disempurnakan itu? Dengan itu, urat tunggang dari akar semua masalah—yaitu sistem dan struktur ekonomi dan politik bernegara yang berlaku dan dipraktikkan sekarang ini—harus dibabat habis dan dirombak total lalu dikembalikan ke pangkalnya: UUD 1945 yang telah diperbaiki dan khususnya Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Yang dibangun, keseluruhan isi Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang telah disempurnakan pada perubahan keempat.
    Tekanannya pada (1) membangun ekonomi kerakyatan atas asas kekeluargaan [Pasal 33 Ayat (1)]; (2) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [Pasal 33 Ayat (3)]; (3) perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga ke seimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional [Pasal 33 Ayat (4)]; (4) fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara negara [Pasal 34 Ayat (1)]; (5) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan [Pasal 34 Ayat (2)]; (6) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak [Pasal 34 Ayat (3)].
    Dikambinghitamkan
    Sara, jika struktur dan sistem ekonomi kenegaraan ini telah kita dudukkan sesuai dengan tuntutan Pasal 33 dan 34 itu, masalahmu yang suka dipergunjingkan di balik belakang situasi resmi di negara NKRI ini akan selesai dengan sendirinya. Namamu selama ini telah dikaitkan dalam hubungan tak baik ber-suku, ber-agama, ber-ras-antaretnik, dan ber-antargolongan. Sara—katanya—berarti itu. Makanya namamu dibenci, padahal yang berbuat itu adalah sistem ekonomi dan politik yang dikembangkan selama ini di Nusantara sejak nenek-moyang dahulu lagi.
    Kau, Sara, telah dikambinghitamkan. Padahal, yang berbuat adalah sistem yang dikembangkan kelompok triumvirat itu untuk kepentingan dan keuntungan mereka bertiga. Dengan pergantian rezim ke depan ini, kami mau yang jadi presiden nanti dan yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dari pusat hingga daerah adalah siapa pun yang mau mengubah sistem dan struktur ekonomi dan politik nasional itu. Kita bisa belajar banyak dari Jepang, Korea, bahkan China. Juga Malaysia yang berhasil menaikkan harkat bangsa bumiputra Melayu dengan menempatkan mereka di baris depan membangun negara dan tanah air.
    Sara, sekarang kau belum bisa menghapus muka dan air matamu. Semua akan ditentukan oleh perubahan mendasar pada pergantian rezim mendatang sekaligus juga pergantian sistem dan struktur berbangsa dan bernegara, khususnya dalam ekonomi dan politik, yang mengutamakan kepentingan rakyat terbanyak yang masih dirundung kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan ini. Itu pun kalau itu ter- jadi. Jika tidak, sejarah, ya, berulang lagi.
  • Pentingnya UU Keamanan Nasional (283)

    Pentingnya UU Keamanan Nasional
    Kiki Syahnakri, KETUA DEWAN PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN
    TNI ANGKATAN DARAT
    Sumber : KOMPAS, 27Januari 2012
    Keamanan nasional yang terdiri dari aspek keamanan (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan aspek pertahanan merupakan fungsi pemerintahan negara. Kedua aspek keamanan nasional itu memiliki kedekatan fungsi yang sangat erat sehingga penanganannya di banyak negara dikoordinasikan oleh satu badan yang merupakan pembantu presiden. Koordinasi di Amerika Serikat, India, Turki, dan lain-lain dilakukan oleh Badan Keamanan Nasional.
    Ketetapan MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 serta Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen telah memisahkan fungsi pertahanan dan keamanan secara mutlak-diametral. Fungsi keamanan dalam negeri, termasuk keamanan negara dan keselamatan bangsa, diemban oleh Polri sendirian dengan spektrum peran yang amat luas.
    Sesungguhnya kedua fungsi tersebut selalu bersifat tumpang tindih karena di negara mana pun masalah keamanan dapat berkembang secara eskalatif. Dengan cepat, bahkan tanpa diduga, ia dapat memasuki ranah pertahanan seraya mengancam keselamatan bangsa dan kedaulatan negara. Maka, dibutuhkan pengerahan militer.
    Dalam peristiwa rasial di California, AS, pada 1981, misalnya, sejak dini militer AS dilibatkan sebab insiden itu berpotensi berkembang dengan cepat ke banyak negara bagian serta mengancam keamanan nasional dan keutuhan bangsa.
    Keadaan semacam itu sering terjadi di Indonesia, khususnya setelah reformasi, yang membuka keran kebebasan luas dan nyaris tanpa batas. Akibatnya, spektrum masalah keamanan nasional pun kian berkembang secara kualitatif dan kuantitatif.
    Kondisi ini diperparah lagi dengan belum berhasilnya penyelenggara fungsi pemerintahan menghadirkan kesejahteraan: kemiskinan dan pengangguran masih membebani rakyat dan eksesnya selalu bermuara pada gangguan keamanan.
    Berbagai kasus keamanan aktual, seperti penembakan misterius di Papua dan Aceh, konflik tanah di Mesuji dan Bima, aksi teror, serta bentrokan horizontal di banyak daerah menunjukkan bahwa masalah keamanan di Indonesia sedang bergerak secara eskalatif dan tak mungkin dapat ditangani hanya oleh Polri. Perlu penanganan terpadu dan terarah.
    Dalam menangani masalah keamanan nasional saat ini, selain belum ada keterpaduan, setiap instansi cenderung berjalan sendiri-sendiri. Hasilnya jauh dari mangkus. Konsep penanganannya pun kerap justru bertentangan dengan undang-undang yang ada. Itu sebabnya sangat urgen bagi kita sesegera mungkin menata kembali peran, fungsi, dan tugas semua aktor yang berkaitan dengan penanganan masalah keamanan nasional.
    UU Keamanan Nasional sebagai penjabaran alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dimaksudkan untuk mengatasi masalah kemasyarakatan dan kenegaraan yang amat fundamental, bukan sekadar dilatari rivalitas TNI-Polri seperti wacana yang turut beredar—atau sengaja ditebar—belakangan ini.
    Untuk keterpaduan dan kemangkusan penanganan keamanan nasional tersebut diperlukan kehadiran Dewan Keamanan Nasional (DKN). Tugas DKN secara umum adalah merumuskan (konsep) ketetapan kebijakan dan strategi keamanan nasional sebagai konsep jangka panjang: menyangkut keamanan perorangan, masyarakat, dan negara, termasuk penyelesaian konflik perbatasan.
    DKN juga bertugas merancang konsep cara bertindak presiden dalam mengatasi keadaan darurat atau masalah keamanan yang muncul tanpa diperkirakan sebelumnya, baik dalam skala nasional maupun global. Jadi, keberadaan DKN justru dapat mencegah kesewenang-wenangan aparat di bawah serta menghindari kebijakan dan tindakan pemerintah yang bertentangan dengan perundang-undangan, eksesif, ataupun jadi pengekor kebijakan negara adikuasa.
    RUU Keamanan Nasional
    RUU Keamanan Nasional dibuat pada 2005 dan telah beberapa kali direvisi. Hingga kini masih tetap mengundang kontroversi. Draf versi terakhir, Maret 2011, kini sudah di tangan DPR. Namun, DPR masih menunggu masukan kontributif- substantif dari masyarakat luas.
    Draf versi 2010 dan draf versi 2011 berbeda secara substansial. Versi 2010 mengatakan, DKN berstatus sebagai fasilitas staf atau pembantu presiden di bidang keamanan nasional dan diketuai oleh pejabat negara setingkat menteri yang ditunjuk oleh presiden. Namun, dalam versi 2011, status DKN berubah menjadi badan eksekutor, dipimpin langsung oleh presiden dan berwewenang memutuskan, menetapkan, dan mengendalikan.
    Dengan begitu, kewenangan presiden menjadi amat luas. Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI, membawahkan langsung Polri dan memimpin langsung DKN yang menangani masalah keamanan multiaspek (militer, politik, ekonomi, dan sebagainya) sehingga rawan diselewengkan.
    Dalam konteks potensi atau peluang penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan inilah, UU Keamanan Nasional secara fundamental kenegaraan seyogianya memicu dan mempercepat proses pembuatan UU Kepresidenan yang sampai saat ini belum kita punyai. Jangan lupa, presiden selain sebagai personal juga merupakan lembaga tinggi negara yang perlu diatur sesuai dengan kehendak UUD 1945.
    UU Keamanan Nasional memang sangat diperlukan mengingat ancaman terhadap keamanan nasional cenderung meningkat secara multiaspek. Namun, formulasi UU harus sesuai dengan keadaan lingkungan strategis yang dihadapi, termasuk iklim demokrasi. Tanggapan minor dan tendensius seperti pernyataan bahwa UU Keamanan Nasional belum diperlukan atau dikhawatirkan akan memberi jalan bagi pemeranan TNI seperti dalam masa Kopkamtib juga tidak tepat dan terlalu berlebihan.
    TNI sudah kian solid dan profesional dalam proses reformasi internal yang terus menggelinding disertai kontrol publik yang sangat kuat sehingga tak ada titik untuk kembali ke ranah politik praktis. Kini dalam membahas kepentingan yang lebih besar, kita mesti lebih mengedepankan rasionalitas tanpa prasangka berlebihan yang disertai pula dengan kewaspadaan akan kepentingan asing yang mungkin mendompleng atau kepentingan kelompok tertentu yang akan dirugikan dengan kehadiran UU itu.
  • Menggugat Kebijakan Impor Sapi

    Menggugat Kebijakan Impor Sapi
    Muladno, GURU BESAR PEMULIAAN DAN GENETIKA TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN IPB
    Sumber : KOMPAS, 27Januari 2012
    Dari beberapa daerah di Jawa Timur dilaporkan bahwa kebijakan pemerintah mengurangi impor sapi bakalan dan impor daging sapi telah meningkatkan gairah peternak untuk beternak lagi. Harga membaik dan peternak beruntung. Ini berita menggembirakan bagi peternak.
    Memang ada korelasi kuat antara importasi sapi/daging sapi dan harga sapi lokal di Indonesia. Pemerintah harus tetap konsisten mempertahankan kebijakan menurunkan impor sapi/daging sapi sampai hanya 10 persen mulai 2014 dan selanjutnya.
    Namun, berita menggembirakan ini tentu menjadi ”petaka” bagi para importir sapi bakalan dan importir daging sapi. Jumlah ternak ataupun daging yang diimpor sudah pasti turun dan keuntungan yang diperoleh juga akan menurun. Ini wajar dan sangat manusiawi siapa pun itu importirnya. Akibatnya, ada adu kekuatan antara peternak sapi lokal yang umumnya berskala kecil dan importir yang didukung oleh peternak negara eksportir. Pemerintah Indonesia berada di antara peternak dan importir.
    Dari Importir ke Eksportir
    Hasil sensus Badan Pusat Statistik yang dirilis akhir 2011 menunjukkan, jumlah sapi potong 14,8 juta ekor. Jumlah betina dewasa 6,7 juta ekor. Hasil simulasi dengan mengawinkan 2.250 juta ekor sapi betina melalui inseminasi buatan—dengan asumsi bobot badan siap potong 400 kilogram—menunjukkan, dalam lima tahun akan dapat dihasilkan lebih dari 324.000 ton daging; 1,1 juta jantan muda; 1,1 juta betina muda; dan 2,3 juta betina produktif.
    Simulasi itu menggunakan sapi betina yang saat ini ada di Indonesia. Apalagi, kalau ditambah sapi betina produktif dari luar negeri untuk dikembangbiakkan di Indonesia, penambahan jumlah sapi akan semakin signifikan. Bukan omong kosong jika semua berkomitmen, Indonesia bisa lagi menjadi pengekspor sapi dan daging sapi.
    Artinya, lewat pendekatan usaha pengembangbiakan (breeding) ternak, peningkatan jumlah ternak sapi pasti terjadi. Yang perlu dicermati adalah para importir, politisi, dan para pengambil kebijakan. Mereka ini berwatak nasionalis dan bernurani untuk memberdayakan masyarakat bangsa Indonesia atau sebaliknya? Jika pengusaha importir mau membantu pembangunan di bidang peternakan di Indonesia dan berjiwa patriot dalam memberdayakan masyarakat, mereka seharusnya mendukung kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor menjadi hanya 10 persen dari total kebutuhan nasional. Mereka hendaknya mau menanam modal di usaha pengembangbiakan.
    Demikian juga politisi, sudah seharusnya ikut menjaga konsistensi kebijakan pemerintah dan bukan malah mendorong pemerintah membuka keran impor lagi. Aparat pemerintah juga harus tetap tegas kepada importir agar tak terus ”merengek” untuk membuka keran impor lagi.
    Saatnya pemerintah mendorong para investor (dalam dan luar negeri) untuk menanamkan modal ke usaha pengembangbiakan setelah mereka menikmati usaha perdagangan (trading) yang hanya menguntungkan sedikit orang. Memang diperlukan modal besar di awal pengembangan, tetapi akan menguntungkan dalam jangka panjang. Yang menikmati keuntungan juga banyak orang. Peran pemerintah untuk membuat suasana kondusif bagi pemodal usaha pengembangbiakan adalah keniscayaan. Tidak harus sapi lokal saja yang diusahakan, tetapi semua bangsa sapi yang diinginkan pengusaha sepanjang ternak tersebut tidak membawa penyakit menular seharusnya diizinkan.
    Jika perlu, pemerintah mengundang breeder asal Australia untuk mau beternak di Indonesia dengan berbagai kemudahan. Ini jauh lebih baik daripada mereka tetap beternak di Australia, sementara kita hanya mengimpor. Nilai tambah yang kita peroleh akan jauh lebih banyak. Peluang tersedianya lapangan pekerjaan kian terbuka. Pertumbuhan ekonomi di bidang peternakan akan dirasakan dalam jangka panjang.
    Pemerintah juga harus menjamin keberlangsungan kawasan usaha peternakan dari tindak penggusuran. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga mengamanatkan hal ini. Jika perlu, pemerintah menyediakan lahan tak terpakai di kawasan marjinal bagi pelaku usaha pengembangbiakan dengan harga sewa yang menarik untuk jangka panjang. Pajak dan berbagai perizinan harus dipermudah walaupun pemerintah tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menerbitkan izin usaha.
    Bagaimanapun usaha pengembangbiakan perlu sumber daya manusia yang lebih andal, investasi yang lebih banyak, serta dukungan teknologi agar lebih produktif dan lebih efisien. Hanya dengan menggenjot usaha pengembangbiakan dan menekan usaha trading, bangsa Indonesia dapat mandiri, berdaulat, dan bisa mengekspor. Jika tidak memacu berkembangnya usaha pembibitan, yang akan terjadi adalah sebaliknya. Selamanya kita akan menjadi negara importir dan ketergantungan tinggi terhadap bahan pangan akan membahayakan negara kita.
    Apakah peternak berskala kecil tidak tergusur dengan adanya usaha pengembangbiakan ini nanti? Menjadi tugas pemerintah untuk membina dan mendampingi peternak berskala kecil, yang dalam hal ini telah disiapkan perangkat hukumnya, yakni Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan Peternak. Yang dimaksud peternak di sini adalah pelaku usaha peternakan yang tidak memerlukan izin usaha dari pemerintah. Dalam hal ini, justru pemerintah berkewajiban mendata dan memberikan berbagai kemudahan. Peraturan pemerintah tersebut masih berupa draf, tetapi menurut informasi sudah masuk ke Sekretariat Negara.
    Sinergi Pembibit-Peternak
    Selama pemerintah dapat menjadi wasit yang baik dan pro-pemberdayaan peternak dengan segala konsekuensinya, peternak akan terus bergairah beternak. Pemerintah harus membuat sinergi yang baik antara pengusaha breeder (penyedia bibit dan/atau indukan bagi peternak) dan peternak berskala kecil. Sepanjang pemerintah berlaku adil, sinergi pasti terwujud. Hubungan baik antara pengusaha breeder dan peternak berskala kecil yang dimediasi pemerintah menjadi modal kuat untuk membuat Indonesia berswasembada sapi sepanjang masa.
    Kekayaan alam dan kesuburan tanah di Indonesia diakui banyak negara. Perhatian pemerintah di bidang pembibitan cukup besar. Berbagai peraturan pemerintah memberi peluang yang sangat baik untuk mengembangkan usaha pembibitan. Bukan hanya ternak sapi, melainkan juga semua komoditas ternak. Kambing/domba, di mana kita sebenarnya telah swasembada, harus diupayakan untuk dapat diekspor. Pasar di luar negeri cukup menjanjikan dengan harga jual yang lebih menarik.
    Kekhawatiran akan terkurasnya sumber daya genetik lokal jika ternak lokal diekspor ke luar negeri merupakan pemikiran usang yang harus dibuang jauh-jauh. Sepanjang ternak lokal diusahakan melalui usaha pembibitan dan pengembangbiakan yang baik, peternak sudah sangat cerdas untuk menentukan ternak mana yang diekspor dan ternak mana yang harus dipertahankan demi kelangsungan usaha. Saatnya importir berpindah haluan mengembangkan usaha pengembangbiakan dan meninggalkan usaha trading.
  • Pembuktian Awal KPK Baru

    Pembuktian Awal KPK Baru
    Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN
    DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
    Sumber : SINDO, 27Januari 2012
    Akhirnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka kasus dugaan suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

    Penetapan tersebut seperti menjadi babak baru rentetan perjalanan yang telah begitu lama menyandera wajah penegakan hukum negeri ini.Sebelum penetapan ini,proses hukum bergerak dalam logika timpang karena hukum baru berjalan bagi mereka yang menerima cek perjalanan. Perubahan status hukum ini disampaikan langsung oleh Ketua KPK Abraham Samad karena telah terdapat dua alat bukti yang cukup untuk melekatkan status hukum baru kepada Miranda.

    Dalam keterangan Abraham, Miranda diduga turut serta membantu Nunun Nurbaeti melakukan tindak pidana korupsi, memberikan sejumlah cek perjalanan kepada anggota DPR 1999–2004.Karena itu,Miranda disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU No 31/1999 joUUNo20/2002tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Bagi banyak pihak yang intens memperhatikan perkembangan skandal ini, penetapan Miranda tidak hanya sebatas memulihkan ketimpangan yang terjadi dalam penegakan hukum, tetapi juga sedikit menjawab keraguan yang mulai muncul terhadap KPK periode 2011–2015. Sebagaimana diketahui, sejak dilantik 17 Desember 2011, pimpinan KPK baru seperti hanyut dalam suasana senyap.Padahal ketika dalam proses pemilihan di DPR,mereka berjanji untuk menuntaskan tumpukan skandal yang masih menggantung di KPK.

    Pembuktian Awal

    Langkah KPK menetapkan Miranda sebagai tersangka dapat dibaca sebagai pembuktian awal dari perjalanan panjang yang harus dilalui. Setidaknya, status tersangka bagi mantan Deputi Senior Bank Indonesia ini menunjukkan bahwa pimpinan KPK memiliki nyali yang cukup untuk mengambil peran di tengah panggung besar penegakan hukum. Bagaimanapun, pembuktian awal ini diperlukan untuk menjaga posisi KPK sebagai lembaga yang diberi status extra-ordinary dalam pemberantasan korupsi.

    Banyak pihak menilai, ketika Nunun Nurbaeti dipulangkan ke Indonesia,di satu sisi keberhasilan ini dinilai sebagai semacam kado perpisahan yang manis dari pimpinan KPK periode 2007–2011. Namun di sisi lain, kehadiran Nunun sekaligus memberikan beban luar biasa berat bagi pimpinan KPK yang baru.Beban berat itu muncul karena KPK dituntut untuk mampu menguak dan menuntaskan misteri di balik skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

    Dengan segala catatan yang ada, penetapan Miranda menjadi tersangka dapat dibaca sebagai babak baru keberanian KPK menyentuh sebuah kasus yang terkategori megaskandal. Keberanian ini sangat diperlukan karena status tersangka bagi Miranda belum tentu mampu menguak semua rangkaian misteri yang ada.

    Misalnya, kalaupun hampir semua penerima cek perjalanan telah menjalani proses hukum, proses itu belum sampai menyentuh partai politik yang mungkin saja menerima manfaat dari cek perjalanan tersebut. Bahkan,Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis mengatakan, KPK harus bisa membuktikan sumber aliran dana dalam kasus dugaan suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

    Bagi Harry Azhar, apakah dana tersebut hanya berasal dari Miranda atau ada pihak lain (Kompas.com, 26/1).Pendapat Harry Azhar tersebut menjadi penting terutama untuk menelusuri kemungkinan kepentingan sesungguhnya yang ikut bermain di balik pemilihan Miranda. Tidak hanya dalam skandal pemilihan Miranda, pembuktian awal KPK juga penting untuk menjadi modal awal dalam membongkar dan menelusuri lebih lanjut sejumlah skandal yang sampai saat ini masih menggantung.

    Berdasarkan catatan yang ada,keberanian ekstraKPK diperlukan, misalnya, untuk membongkar secara tuntas megaskandal yang melibatkan Nazarudin.Kebe-ranian serupa diperlukan pula dalam mengurai skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jika pembuktian awal ini diikuti dengan pembuktian- pembuktian berikutnya, KPK akan kembali menghidupkan asa penegakan hukum, terutama dalam agenda pemberantasan korupsi.

    Setengah Hati?

    Sebagai sebuah skandal, status tersangka bagi Miranda patut diberi apresiasi khusus. Namun apabila diletakkan dalam konteks desain besar pemberantasan korupsi, penetapan tersangka Miranda yang tidak diikuti dengan penahanan menjadi catatan tersendiri. Sekalipun kejadian ini bukan yang pertama dilakukan KPK, sebagai bagian dari tindakan pencegahan, seharusnya pilihan tidak menahan tersangka harus ditinggalkan.

    Selama ini, di antara kritik yang dialamatkan bagi penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi,adalah ketidakberanian penyidik menahan seseorang yang dijadikan tersangka. Bahkan, sebagian penggiat antikorupsi menilai ketidakberanian menahan tersebut menjadi semacam “kemewahan” lain yang dinikmati oleh mereka yang tersangkut kasus korupsi. Anehnya, cara yang dilakukan sebagian penyidik di lembaga penegak hukum konvensional ini justru dengan cepat menular ke KPK.

    Dalam konteks itu, penetapan Miranda sebagai tersangka masih dapat dinilai sebagai sebuah langkah yang belum sepenuh hati. Sebagai sebuah kasus yang terbilang sudah sangat lama ditangani KPK,sulit menerima penetapan status tersangka tidak diikuti dengan langkah penahanan. Adalah benar, Miranda tidak akan mengulangi tindak pidana yang disangkakan.

    Namun,bagaimana dengan kemungkinan melarikan diri dan/atau menghilangkan barang bukti? Karena itu, dalam desain besar pemberantasan korupsi, pembuktian awal KPK tersebut sedikit terlemahkan dengan mengabaikan makna efek jera dari penahanan tersangka.

  • Mengedepankan Merk Pribadi

    Mengedepankan Merk Pribadi
    Susidarto, PEMERHATI MASALAH MANAJEMEN
    Sumber : SUARA MERDEKA, 27Januari 2012
    JOKOWI, panggilan akrab Joko Widodo, Wali Kota Solo sejak 2005 beberapa kali membuat gebrakan populis demi kemajuan daerah yang dipimpinnya, dan terkini ia membuat kejutan dengan memilih Esemka, mobil rakitan siswa SMK, sebagai mobil dinas. Langkah itu tidak biasa dilakukan oleh para pemimpin negeri ini.

    Dalam raker dengan Komisi VI DPR (SM, 26/01/12), sikap itu menuai pujian. Sejumlah wakil rakyat menyatakan langkahnya perlu didukung tanpa harus mempermasalahkan apakah produk itu nantinya bernama mobnas atau mobil rakyat. Yang terpenting kendaraan itu mengandung minimal 40% komponen lokal.

    Dalam konteks Esemka, langkah Jokowi bukan sekadar pencitraan diri melainkan personal branding yang memang perlu dibangunnya. Personal branding adalah proses atau cara yang dilakukan seseorang (dalam karier atau pekerjaannya) untuk dimerekkan atau disimbolkan sehingga menjadi brand.

    Ibarat sebuah produk, Jokowi memandang perlu memperkenalkan ’’mereknya’’ secara luas, dalam konteks membanggakan. Publik pun bisa melihat dari contoh kesederhanaan memakai mobil dinas yang usianya sudah 11 tahun, tidak korupsi, tidak menikmati gajinya untuk keperluan pribadi, prolingkungan dengan mencanangkan car free day tiap Minggu, dan serangkaian langkah berkarakter lainnya.

    Personal branding lebih dari sekadar upaya pencitraan yang hanya bersifat pendek, sesaat, dan memiliki agenda tertentu. Hal itu berbeda dari personal branding yang lebih bersifat jangka panjang, abadi, dan tidak selalu terkait dengan agenda tertentu, baik ekonomi, politik maupun agenda lainnya.

    Produk Lain

    Penulis melihat fenomena itu dalam konteks membangun personal branding sebagai  pemimpin prorakyat, prolingkungan, dan pro heritage lewat moto ’’Solo Masa Kini adalah Solo Masa Lalu’’,  pemimpin yang bersih dan sebagainya, seiring dengan berbagai prestasi yang diraihnya. Bahkan yang terkini dia menunjukkan sebagai pemimpin yang cinta produk Indonesia.

    Banyak perubahan yang dibuatnya sepanjang kariernya sebagai kepala daerah. Dia membuktikan dicintai rakyat, terbukti ’’tanpa kampanye’’ ia dan pasangannya kembali terpilih memimpin Kota Solo, dengan perolehan suara 90%. Fakta yang tidak bisa dimungkiri.
    Bahkan saat warganya mendengar ia melangkah ke jenjang politik berikutnya sebagai calon gubernur DKI Jakarta, mereka nggondeli (tidak merelakan-Red). Inilah penjabaran personal branding yang menunjukkan ia juga memiliki karakter kepemimpinan yang kuat.

    Publik meyakini, di mana pun dia menjabat dan ditempatkan, akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, seiring dengan personal branding yang disandangnya.
    Ke depan, negeri ini, termasuk dalam lingkup daerah, amat membutuhkan sosok dan figur pemimpin sekelas dan sekualitas dia, supaya bisa membawa biduk besar Indonesia ke arah yang lebih baik dan sejahtera.  Karena itu, keputusannya menggunakan Esemka sebagai mobil dinas selayaknya mendapatkan apresiasi.

    Pejabat negara di pusat seyogianya mengikuti jejak Jokowi, tidak sebatas mobil tapi untuk produk lain semisal pakaian, tas, sepatu, kursi dan sebagainya, yang sejatinya tak kalah desain dan kualitasnya dari produk luar negeri. Kursi buatan perajin Jepara tak kalah dari produk luar negeri, sebagaimana kursi impor untuk ruang Banggar DPR yang harganya jauh lebih mahal. 

    Kita harus bangga terhadap produk nasional, tidak sekadar mewacanakan tapi dalam tindakan nyata. Langkah itu bisa dimulai dari para pemimpin sebagai anutan, dengan membuktikan bahwa ia memakai dan membanggakan produk anak bangsa. 

    Bukan hal yang sulit untuk mewujudkan kecintaan terhadap produk nasional yang berkualitas karena persoalannya hanya pada kemauan untuk memulai.
  • Konstitusionalitas Jabatan Wakil Menteri

    Konstitusionalitas Jabatan Wakil Menteri
    Margarito Kamis, DOKTOR HUKUM TATA NEGARA,
    DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
    Sumber : SINDO, 27Januari 2012
    Berbeda dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1, pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 diadakan jabatan wakil menteri. Jabatan ini diadakan berdasarkan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

    Tapi Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) mempersoalkan konstitusionali tasnya dengan cara mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah beberapa kali diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, soal yang tampaknya sangat sederhana ini berubah menjadi seolah-olah berat. Bagaimana sesungguhnya konstitusionalitas Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 itu? Bila pasal ini dikualifikasikan konstitusional, jabatan wakil menteri dengan sendirinya harus dikualifikasikan konstitusional, begitu sebaliknya.Menarik.

    Perubahan Pasal 17 UUD 1945

    Tak satu pun ayat dari 4 ayat dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur jabatan wakil menteri. Inilah kenyataan konstitusionalnya dan inilah yang memicu munculnya pertanyaan tentang dasar konstitusional pembentuk undang-undang yang menciptakan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu. Bahkan secara konstitusional kenyataan itu juga memicu pertanyaan tentang ketepatan penamaan UU No 39 Tahun 2008.

    Ayat (1) Pasal 17 dibuat dan diperdebatkan oleh BPUPKI secara luas pada tanggal 15 dan 16 Juli 1945,begitu juga ayat (2) dan ayat (3).Tapi ayat (2) ayat (3) ini telah diubah oleh MPR ketika mereka mengubah UUD 1945 untuk pertama kalinya pada tahun 1999.Frase “diperhentikan” pada ayat (2) diubah oleh MPR menjadi “diberhentikan”. Sementara ayat (3) diubah seluruhnya sehingga ketentuan ayat (3) yang lama berubah menjadi setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

    Ayat (4) diubah pada perubahan UUD 1945 yang ketiga kalinya oleh MPR pada 2012. Tapi itu tidak berarti bahwa MPR tidak memperdebatkannya secara detail pada 1999. Dalam perdebatannya, MPR menghendaki agar kewenangan Presiden mengangkat menteri dibagi dengan DPR. Kenyataannya, pelibatan DPR dalam hal pengangkatan menteri tidak disepakati MPR pada 1999.

    Hal ini disebabkan semata-mata oleh konsistensi mereka mempertahankan sistem pemerintahan presidensial walau mereka tahu betul bahwa di Amerika Serikat, nenek moyangnya sistem presidensial, Presiden diharuskan memperoleh konfirmasi dari Senat dalam hal pengangkatan menteri pertanahan, menteri luar negeri, dan jaksa agung.

    Tidak Bernalar Konstitusional

    Dari prosesnya di PAH III MPR,diketahui bahwa Dr Haryono, SH, MCL (Fraksi PDIP), yang saat ini menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, yang pada saat rapat tersebut menjadi pembicara terakhir, harus dinyatakan sebagai pencipta ayat ini.Ketika berargumen mengenai ayat (3) Pasal 17, Haryono merujuk pada kenyataan adanya “menteri negara”. Oleh Haryono kenyataan ini dinilai sebagai akibat adanya kebutuhan Presiden mengangkat seseorang menjadi menteri, tetapi tidak tertampung dalam departemen.

    Haryono juga menilai Pasal 17 ayat (3) sebelum diubah menggunakan pendekatan struktural. Seharusnya digunakan pendekatan fungsional. Nalarnya adalah tidak ada satu pun menteri yang tidak mengurus urusan tertentu dalam pemerintahan. Bagaimana dengan ayat (4) Pasal 17, yang baru disepakati pada tahun 2001? Profesor Jimly Asshiddiqie, salah satu anggota Tim Ahli PAH I BP MPR bidang hukum dan politik,harus dikualifikasikan sebagai penciptanya.

    Profesor inilah yang mengusulkan redaksi ayat (4) Pasal 17 itu.Argumen Profesor Jimly adalah agar Presiden, siapa pun orangnya kelak,tidak seenaknya membentuk, mengubah, dan membubarkan departemen. Usulan Profesor Jimly ini menjadi panduan perdebatan PAH I BP MPR pada 2001. Setelah merujuk penumpukan kekuasaan di tangan Presiden, Affandi (Fraksi TNI/Polri) mengusulkan pengubahan frase “diatur dengan UU” yang digunakan Prof Jimly menjadi diatur “dalam”undang-undang.

    Ketika menanggapi pertanyaan anggota- anggota PAH, Dr Bachtiar Effendy dan Prof Dr Affan Gaffar,keduanya juga menjadi anggota tim ahli bidang hukum dan politik, memperluas perspektif ekspektasi Prof Jimly. Dr Bactiar Effendy nyatanyata menyatakan bahwa pelibatan DPR dalam pengangkatan menteri tidak mengurangi arti presidensialisme. Bahkan Dr Bachtiar secara tegas menyinggung adanya menteri yang tidak cukup kapasitas, tanpa menyebut namanya.

    Sementara Profesor Affan tegas menyatakan bahwa good government mengharuskan adanya akuntabilitas. Cara menghadirkannya adalah membagi kekuasaan itu dengan DPR. Argumen-argumen yang terus muncul sesudah itu mengaitkan pengaturan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian dengan Kabinet 100 Menteri pada masa Bung Karno. Rujukan ini semakin memperkaya rujukan sebelumnya, yakni pemisahan Departemen Industri dan Departemen Perdagangan, begitu juga penggabungan kedua departemen ini.

    Bahkan muncul juga rujukan tentang pembentukan kementerian negara urusan khusus serta pembubaran Kementerian Sosial dan Kementerian Penerangan pada masa Gus Dur. Itulah konteks sekaligus jiwa dari Pasal 17 ayat (3) dan (4). Nalar dan konteksnya adalah tidak boleh diciptakan lagi menteri negara atau menteri tanpa portofolio.Juga mencegah pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian sesuka- sukanya oleh Presiden.

    Jadi yang diperintahkan oleh ayat (4) Pasal 17 itu adalah membuat UU tentang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian. Yang diatur dalam UU itu adalah syarat-syarat pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian.Tujuannya adalah selain mencegah terulangnya praktik peng-gabungan, pengubahan, dan pembubaran kementerian sekehendak Presiden, juga menjamin jumlah minimal kementerian.

    Nalarnya jelas,Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tak ada bernalar konstitusional. Apakah karena tak bernalar konstitusional itulah yang mengakibatkan pembentuk UU tidak mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi wakil menteri? Tidak jelas. Lucunya UU ini mengatur syarat-syarat menjadi menteri dan diberhentikan dari jabatan itu. Ini konyol. Ini pembatasan secara inkonstitusional terhadap kewenangan Presiden.

    Pasal 17 UUD 1945 jelas, meletakkan sepenuhnya kewenangan ini kepada Presiden. Kewenangan tidak dibagi kepada siapa pun, dengan alasan apa pun,dan dalam keadaan apa pun. Akhirnya,Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 pantas dikualifikasikan sebagai pasal yang inkonstitusional. Jabatan wakil menteri pun pantas dikualifikasikan sebagai jabatan yang inkonstitusional.

    Alangkah baiknya pemerintah memprakarsai pembentukan UU yang baru menggantikan UU No 39 Tahun 2008. UU baru nanti hanya mengatur pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian.Tiadakan ketentuan mengenai jabatan wakil menteri dan tiadakan pula ketentuan yang membatasi kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri.