Blog

  • Bangkitnya Pariwisata Indonesia

    Bangkitnya Pariwisata Indonesia
    Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo, PENGAMAT EKONOMI
    Sumber : SINDO, 12 Maret 2012
    Pesawat Garuda GA-088 yang menerbangkan saya ke Amsterdam dari Jakarta pekan lalu sungguh luar biasa. Pada penerbangan saya yang kedua ke Amsterdam ini, seluruh kursi pesawat terisi.

    Baik kelas ekonomi maupun bisnis benar-benar tidak ada yang kosong. Keadaan ini sungguh bertolak belakang dengan pemandangan setahun sebelumnya. Ketika itu untuk kelas bisnis, dari 36 kursi yang tersedia, hanya 12 kursi terisi. Bahkan berdasarkan informasi pramugari, sering terjadi jumlah penumpang bisnis demikian sedikitnya.Oleh karena itu, load factor yang sedemikian tinggi pada penerbangan kali ini sungguh membuat gembira pramugari tersebut karena sepanjang perjalanan banyak hal yang harus dia kerjakan demi melayani para penumpang.

    Suatu hal yang juga sangat luar biasa, mayoritas penumpang pesawat Garuda tersebut adalah orang-orang asing dengan sebagian besar orang Eropa. Bahkan pada saat di Imigrasi Belanda, saya semakin menyadari, beberapa wajah yang saya tandai tampaknya sebagai orang Indonesia, ternyata, juga warga negara Eropa karena paspornya adalah paspor negara yang termasuk dalam Uni Eropa. Dari beberapa orang yang sempat saya tanyai, mereka mengatakan, kunjungan mereka ke Indonesia untuk berlibur. Mungkin mereka mencoba untuk menghindar dari udara ekstrem yang melanda Eropa beberapa waktu lalu.

    Pilihan mereka untuk terbang bersama Garuda tentunya didorong harga tiket yang menurut mereka cukup menarik. Dengan pesawat baru, bahkan dengan fasilitas tempat duduk yang bisa diubah menjadi tempat tidur serta pelayanan yang tidak kalah dengan penerbangan lain, harga tiket kelas bisnis yang mereka bayar ternyata kurang dari setengah jika mereka harus terbang dengan KLM ataupun Singapore Airlines. Kombinasi ini jelas membuat Indonesia menjadi tujuan wisata yang murah dan sekaligus menarik.

    Dari perjalanan tersebut, saya teringat dengan perjalanan saya ke Amsterdam sebelumnya di mana saya bertemu satu keluarga Belanda dengan dua anak yang masih remaja. Dalam perjalanan ke Indonesia itu, ternyata mereka telah merencanakan tamasya perjalanan darat dari Medan ke Padang dengan memakan waktu sekitar 3 minggu melalui tempat yang saya sendiri, sebagai orang Indonesia, bahkan belum pernah mendengar namanya. Hal tersebut menggambarkan betapa banyak ragam tujuan wisata yang ternyata kita miliki tanpa kita sendiri menyadarinya.

    Dengan melihat gambaran penuhnya pesawat Garuda tersebut, data statistik yang menyatakan jumlah wisatawan mancanegara pada Januari 2012 lalu naik 18,93% dibandingkan dengan data periode yang sama 2011 ternyata tidaklah jauh berbeda dengan kenyataan yang ada.Kenaikan sebesar itu bukanlah peningkatan kecil. Oleh karena itu perkembangan tersebut perlu ditanggapi dengan perhatian lebih besar bagi bangkitnya industri pariwisata. Kebangkitan industri pariwisata telah mendorong bangkitnya industri perhotelan serta industri hospitality lainnya.

    Di berbagai tempat di Indonesia, kita melihat banyaknya hotel yang baru dibangun dengan kelas sangat beragam. Di Bali kita melihat ada hotel tanpa bintang hingga hotel berbintang enam. Hotel sangat mewah tersebut ternyata memiliki segmen konsumen sendiri sehingga pada akhirnya dari sisi komersial pembangunan hotel tersebut sungguh masuk akal, dalam arti perhitungan bisnisnya. Di Yogyakarta ada hotel baru yang termasuk dalam jaringan Accor yang dalam waktu singkat sudah mampu menarik pelanggan cukup besar.

    Hotel tersebut, yang tidak jauh dari pusat keramaian Malioboro,ternyata dapat memenuhi kebutuhan berbagai pihak karena dengan harga yang terjangkau, lokasinya sangat membantu para tamu untuk mendekatkan diri pada berbagai atraksi wisata di kota tersebut.Sementara itu hotel baru yang dibangun di Jalan Solo ternyata bahkan sempat membukukan tingkat hunian 100%.Saya yang mencoba untuk memesan kamar di hotel itu dalam kunjungan ke Yogya baru-baru ini ternyata melihat kenyataan,banyak tamu lain yang berpikiran sama dengan saya.

    Seorang teman, yang sebetulnya bukan berasal dari industri perhotelan, mencoba peruntungan dengan membangun kawasan vila di pantai barat Pulau Lombok. Sungguh di luar dugaan dia sendiri,bahkan pada saat low season sekalipun, tingkat hunian hotel yang dia bangun sudah melampaui tingkat break even point. Ini menunjukkan, ada pasar yang besar yang tidak kita duga yang telah berkembang sehingga jika kita mampu memanfaatkannya, kita akan memperoleh keuntungan komersial lebih dari yang kita harapkan.

    Jaringan vila teman tersebut, yang berharga dari Rp1,5 juta sampai Rp3 juta per malam, jelas bukan pasar bagi wisatawan backpack. Pada harga tersebut, pasar yang tercipta adalah pasar yang berupa wisatawan kelas menengah ke atas, baik dari mancanegara maupun domestik. Dengan telah laris dan populernya Bali, banyak turis yang akhirnya mencoba daerah-daerah baru di Indonesia. Pada kunjungan saya ke Yogya baru-baru ini, saya surprise bahwa seorang wisatawan dari Perth, Australia, bercerita dia sudah pernah bepergian ke Ubud, Sanur, Kuta, maupun Nusa Dua.

    Tapi pada kesempatan kali ini dia tinggal di Hyatt Regency Yogya dan menyatakan, dia sungguh menemukan Yogya yang sangat indah. Komentar yang tulus (genuine) semacam ini perlu ditangkap dan dimanfaatkan bagi pengembangan industri pariwisata lebih lanjut. Jika Yogya sudah dikenal sebagai tujuan wisata dengan Borobudur, Prambanan maupun kota Yogya sendiri, rasanya tidak lama lagi kita akan melihat pantai selatan Yogya, terutama daerah Gunungkidul, akan menjadi magnet baru bagi industri pariwisata di Indonesia.

    Saya pernah mendapatkan kesamaan antara jalan yang saya lalui dari Imogiri ke Panggang dengan Seventeen Mile Drivedi daerah Monterrey, California,yang sangat terkenal dengan lapangan golfnya, yaitu Pebble Beach. Gunungkidul, terutama yang berada di daerah pantai selatan, jelas memiliki karakteristik tersebut. Bahkan dengan keasliannya saat ini, daerah itu memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan.

    Barangkali pembentukan Badan Otorita Pantai Gunungkidul diperlukan agar bisa membangun pantai selatan Gunungkidul sehingga tidak kalah dengan yang telah berkembang di Nusa Dua.Semoga industri pariwisata kita semakin bangkit di masa-masa mendatang. Saya sendiri sungguh cinta dengan negara kita, Indonesia.

  • Horeee, Koruptor Bebas Bersyarat!

    Horeee, Koruptor Bebas Bersyarat!
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 12 Maret 2012
    Saya pernah menyamakan koruptor seperti zombie—makhluk hidup yang tidak Pancasilais, tidak memiliki hati nurani,tak bisa melangkah mundur—terutama karena ia tak akan berhenti memangsa kawan atau lawan.
    Sampai semua orang juga menjadi zombie atau menjadikan negeri ini negeri zombie. Tidak persis begitu, tetapi agaknya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta, yang menilai keputusan Menteri Hukum dan HAM soal bebas bersyarat bagi napi korupsi menyalahi undang-undang yang berlaku, seakan membenarkan kisah ngeri itu. Kini para napi korupsi yang kemarin tertahan pembebasan bersyaratnya bisa bebas. Bisa aktif seperti biasa dan atau terjun ke dunia politik kalau dimungkinkan.

    Bahasa Teks

    Kemuakan masyarakat pada tindak pidana korupsi, juga pada para koruptor, sudah mencapai ubun-ubun. Dengan mudah bisa terbaca, terlihat, terdengar melalui media. Namun dalam bahasa hukum, ini tak mudah dipahami karena teks tertulis tak mewadahi kegeraman seperti ini. Bahasa hukum adalah bahasa yang terpahami ukurannya, perbandingannya.

    Tak berbeda dengan bahasa industri di mana sharing/rating menjadi terpenting, bukan mengukur apakah tayangan itu bagus atau membodohi masyarakat penontonnya, seperti juga mengukur kekuatan media cetak melalui tiras atau jumlah iklannya.Data bagus atau mendidik adalah data yang tak bisa dibandingkan satu orang dengan orang yang lain karena ukurannya bisa berbeda. Namun data jumlah audiens bisa dibandingkan kuantitasnya, bukan kualitasnya.

    Kalau itu bisa dipakai sebagai pendekatan, putusan PTUN bisa dilihat bukan memberi kesempatan berkorupsi atau memenangkan tindak korupsi, melainkan kemampuan dan kecerdasan merumuskan surat keputusan,termasuk penghentian pemberian remisi dan sejenisnya. Idiom hukum yang sama, apalagi terkait hak asasi manusia (HAM), yang harus dimainkan, agar tak ditarik atau dibatalkan. Saya ingin memahami secara begini, dibandingkan menerima sebagai perlawanan dengan siasat tinggi dari para koruptor yang pintar ini—kalau tak pintar, tak bisa korupsi.

    Bahasan Realitas

    Pada saat yang sama ini menggambarkan betapa kesenjangan realitas juga terjadi dalam pengelolaan dan penegakan hukum kita. Secara tertulis, secara teks, napi berhak mendapatkan remisi yang bersifat umum, setiap tanggal 17 Agustus, sebuah berkah indah dari Kemerdekaan.Atau juga remisi tambahan kalau ia menjabat sebagai voorman, pemuka, dalam bidang apa saja.

    Atau juga kalau ia menyumbang darah. Pada kenyataannya, untuk mendapatkan remisi khusus, napi abal-abal, napi tak berduit, tak bisa mengurus. Karena diperlukan fulus. Dalam tata krama yang lebih luas, itulah yang diperlukan untuk mengurus bisa mendapatkan asimilasi—bisa bekerja di luar penjara, tapi malam masuk lagi, setelah menjalani separuh masa hukuman, atau pembebasan bersyarat—bisa pulang ke rumah seperti orang bebas, setelah menjalani dua pertiga masa hukuman. Atau juga cuti sebelum bebas, atau sejenisnya.

    Semua ini tidak datang otomatis, melainkan harus diurus, harus “dikawal”—dalam bahasa penjara. Untuk sukses pengurusan ini bukan otoritas Lembaga Pemasyarakatan semata, melainkan ada birokrasi di atasnya, apakah namanya kanwil atau bahkan dirjen.Tak ada makan siang gratis karena semboyannya jer basuki mawa bea—kalau mau selamat ada beaya (biaya)-nya. Atau dalam bahasa yang lebih lugas adalah wani pira,berani bayar berapa? Varian dari aturan, tata krama, ini demikian banyaknya sejak berada dalam penjara baik sebagai orang tahanan atau napi.

    Kita mendengar bagaimana terjadinya besukan di luar jam semestinya, fasilitas di dalam kamar, kesempatan bisa berobat ke luar penjara, dan atau berintim dengan suami/istri. Kesenjangan yang terus terjadi inilah yang dibahasakan dengan adanya tindak diskriminatif para sipir. Akan selalu begitu. Para napi kasus korupsi, penyelundupan, penipuan bank, dan “bandar judi”, atau juga narkoba, adalah termasuk napi berdasi dan gendut. Mereka bisa tebar pesona bahkan sebelum masuk bui, dan membagi rezeki setiap saat.

    Keberadaan mereka menghidupkan kegersangan baik bagi sesama napi maupun sipir, sekaligus godaan menjerat dan berat— nyatanya tak bisa diangkat atau diselesaikan secara tuntas. Inilah kehidupan para napi yang jumlahnya sekitar 200.000 saja, namun menyimpan kekuatan yang akan selalu menarik perhatian. Gugatan para terpidana kasus korupsi yang diterima PTUN menegaskan bahwa untuk penegakan hukum diperlukan jurus cerdas dan bukan arogansi kuasa atau gaya.

    Diperlukan sikap tegas,sekaligus jelas, akan adanya realitas yang berbeda antara teks dan pelaksanaannya. Kalau ini diseriusi, teriakan “hore” para koruptor tak akan berkelanjutan. Zombie pun akhirnya selalu bisa dikalahkan.

  • Para Ksatria dan Bela Negara

    Para Ksatria dan Bela Negara
    M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 12 Maret 2012
    Dalam kisah kepahlawanan, kisah para ksatria yang rela mati demi negara, kita dapatkan nama Kombakarna.Dia ksatria Alengka, berwujud raksasa sebesar gunung anakan.

    Ini bahasa sastra lama yang lebih suka memilih ungkapan hiperbolik. Tapi kita tahu, tubuhnya memang sangat besar. Suaranya menggelegar tapi lembut, dan tak memancarkan rasa takut sedikit pun bagi yang mendengarnya. Tutur katanya pun halus. Apa yang diucapkannya mengandung kebenaran luhur setingkat sabda para brahmana. Boleh jadi dia bahkan mendekati sifat para dewa. Makannya memang sangat banyak.Namanya juga raksasa. Tapi, hidupnya diabdikan bagi kepentingan kemuliaan dan keutamaan budi. Pendeknya, Kombakarna mewakili jenis kemuliaan yang memesona.

    Kita merasa malu melihatnya karena meskipun raksasa, jiwanya agung.Dambaan hidupnya bukan kemewahan duniawi, melainkan kesempurnaan hidup. Sebaliknya, kita,yang manusia, justru banyak yang berwatak raksasa.Kita hidup tanpa pagar-pagar penyekat batin dan moralitas. Inilah ironi memalukan: Kombakarna raksasa yang haus keluhuran,kita mencabekcabik dan menghancurkan semua bentuk keluhuran itu. Dalam epos Ramayana yang mendebarkan, dia maju menjadi senapati.Tapi, patut kita catat dulu bahwa di medan laga dia tak bermaksud bertempur melawan para prajurit Batara Rama.

    Prajurit-prajurit kera itu simbol keluhuran karena mereka membantu Rama, titisan Dewa Wisnu,yang berada di garis kebenaran hampir mutlak, melawan Dasamuka, simbol kejahatan, yang juga hampir mutlak. Dengan busana serbaputih, tanda kesucian, sekaligus tanda kesiapan menerima kematiannya, dia maju ke medan laga tanpa senjata. “Dasamuka, kakakku, dan rajaku, salah. Aku tak membela orang yang salah.Tapi,aku maju ke medan pertempuran ini hanya mencegah agar musuh tak membuat kehancuran lebih jauh atas negeriku. Ini negeri tumpah darahku. Aku membela dan melindunginya.

    Musuh boleh menghancurkan siapa yang salah,tapi negeriku tak bersalah. Dosa Dasamuka bukan dosa Negeri Alengka karena negeriku tak berdosa.” katanya, sambil berjalan terhuyung- huyung. Sesaat musuh-musuhnya gemetar. Langkah kakinya membikin bumi terguncang. Ribuan prajurit kera, yang menganggap Kombakarna musuhnya, segera mengepungnya. Mereka mengeroyok raksasa sebesar gunung itu. Tapi, Kombakarna, yang sakti namun tak berniat melakukan kekerasan, hanya menangkap kera demi kera dan melemparkan mereka jauh-jauh.

    Tak ada yang disakiti. Dia tak merasa sakit hati diperlakukan begitu. “Aku tak memusuhimu. Aku hanya mencegah agar kalian tak membikin kerusakan di negeriku. Ini tanah leluhur, yang kujaga. Ini Bumi Pertiwi yang suci. Dasamukalah yang berdosa. Maka,menyingkirlah kamu semua.” Suara Kombakarna menggelegar seperti guntur.Sengaja dia memberi energi besar pada suaranya agar wibawanya membuat musuh-musuh takut. Ini disengaja karena dia hanya ingin mengusir mereka semua dengan suara itu. Benar,musuh-musuh gemetar. Tapi, mereka tidak takut. Kombakarna dikeroyok.

    Di sini lebih baik tak kita ceritakan senjata apa, milik siapa, yang mengalahkannya. Cukup diceritakan bahwa raksasa berwatak brahmana ini roboh di medan perang. Darah mengalir dan menyucikan tubuh dan jiwanya, menyegarkan tanah airnya. Kombakarna sirna.Dewa serta para bidadari turun ke bumi, menyiramkan wewengian pada jasadnya.Kemudian bungabunga surgawi, yang harum, berhamburan m e n u t u p t u b u h raksasa itu. Kombakarna gugur dalam keterhormatan. Sekali lagi dia hanya raksasa.Tapi,kemuliaannya begitu memesona.

    Karya sastra itu representasi dunia nilai dan etika.Kita,yang tak suka pada sastra macam ini, boleh melupakannya.Tapi,mustahil bahwa dalam hidup sehari-hari kita melupakan nilai dan etika. Kali ini dunia di sekitar kita memang sedang mendekati titik kehancuran. Maksudnya, tentu saja, kehancuran semua jenis nilai dan etika karena— terutama di dunia politik yang korup—etika tak berguna. Nilai diinjak-injak, ditaruh di bawah karpet pada anggota DPR, dan ketua-ketua partai. Atau di bawah karpet para ketua partai yang menjadi menteri.

    Di sana sini, di mana adik pejabat, keponakan pejabat, anak pejabat, saudara-saudara pejabat, nilai terinjak dan membusuk.Etika hanya bagian dari cerita lama yang tak relevan. Apa yang marah justru sebaliknya: keluarga,adik,kakak, paman,sahabat-sahabat,diajak ikut menjarah uang rakyat melalui proses penganggaran.Sisanya langsung lewat proyekproyek pemerintah. Mereka tahu—terutama para politisi dan fungsionaris parlemen—di mana proyek terbesar, di mana kelemahan paling menyolok.

    Dengan sikap raksasa liar—bukan seperti Kombakarna—semua dijarah rayah.Ada yang memakai peci, ada yang memakai sorban, ada yang memperlihatkan lambang partai, ada yang lembut dan gemulai, tapi simbolsimbol itu semua hanya sebuah omong kosong. Peci tak ada hubungan dengan kejujuran. Sorban bukan lambang kesalehan.Sorban, menurut pengamatan Nawal Sadawi di dalam kehidupan rohani Mesir, bukan lambang kesalehan, melainkan tanda kebusukan cara hidup para mullah.Tapi, apalah bedanya mullah di Mesir dengan anak, menantu, saudara, cucu para mullah kita.

    Ini memalukan karena semuanya tanda kehancuran rohani. Tapi, mau bilang apa bila hal memalukan ini sebuah kebenaran yang tak bisa didebat? Ke mana kita mencari alternatif solusi kebobrokan moral ini? Di kalangan ksatria di dalam birokrasi? Di sana tak ada ksatria. Di kalangan mereka yang memakai simbol rohani? Mereka bukan penjaga rohani, nilai, dan etika. Kita tak memiliki lagi ksatria. Apa lagi yang bicara tentang membela negara.

  • Politik Selembar Foto

    Politik Selembar Foto
    Muhidin M Dahlan, PENULIS TRILOGI LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU (2008),
    TINGGAL DI YOGYAKARTA
    SUMBER : KORAN TEMPO, 10 Maret 2012
    Foto hitam-putih yang sudah kabur dan berbintik itu ada di hampir semua halaman buku ketika cerita sejarah sampai ke babak Pemberontakan Madiun 1948. Enam mayat menggelimpang dalam galian besar yang dangkal. Tali-tali tambang putih masih melilit leher dan tangan di belakang. Saling mengait satu dengan lainnya. Dan sesosok algojo yang mirip penggali kubur sedang memegang “benda” dengan dua tangannya. Di bawah foto itu kemudian diberi keterangan: “Korban-korban keganasan PKI Madiun”. Foto itu terdapat di buku 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1960 (1995: 177)
    Selalu saja, untuk menunjukkan kekejaman PKI, foto inilah yang diajukan ke muka pembelajar sebagai satu-satunya saksi hidup yang mengutuk PKI dan gerombolannya. Foto ini nyaris suci dan terjaga dengan cara diproduksi dan reproduksi puluhan kali di puluhan buku ajar untuk mengukuhkan sejarah resmi penguasa. Selembar foto kutukan kepada kaum pembunuh yang amoral itu kini dipertanyakan. Bukan gugatan dengan deret ukur argumen, tapi menampilkan semua frame foto itu. Foto-foto itu terdapat di buku Madiun 1948: PKI Bergerak (2011: 275-282) karya Harry A. Poeze.
    Dalam buku itu ditampilkan 10 framefoto. Rupanya, foto yang tampil sendiri selama puluhan tahun itu adalah rangkaian peristiwa. Itu adalah frame kesepuluh. Frame pertama, bagaimana manusia-manusia bernasib buruk dalam kubur massal itu diinterogasi di bawah todongan senjata laras panjang. Frame berikutnya, para tahanan itu diarak dari satu tempat ke tempat lainnya, disuruh menggali sumur matinya, kemudian ditembaki satu per satu. Yang belum mati dicincang bayonet dan kemudian diakhiri foto yang terdapat di buku-buku sejarah.
    Di sinilah soalnya. Keterangan utama kesepuluh foto itu adalah bahwa korban-korban itu anggota PKI di Magetan, dan bukan korban kekejaman PKI. Lebih lanjut, tulis Harry Poeze, memang tak banyak foto yang menggambarkan kekejaman PKI dalam ofensi Madiun 1948. Selain 10 foto yang membatalkan ruang sadar kita yang diringkus selama puluhan tahun, ditampilkan juga lima foto pembantaian anggota PKI di alun-alun Magetan. Disaksikan ratusan warga, “algojo” PKI bernama Sipong itu dinaikkan di atas perancah tinggi. Tubuh bermandi darah itu kemudian dilempar, dan warga diberi hak mencincangnya sampai mati. Nyaris sama dengan frame kamera video adegan pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan petani Mesuji, Lampung.
    Dari foto-foto itu, tahulah kita foto bukan sekadar pelengkap dari teks pada sebuah buku. Foto memiliki peran penting, bahkan boleh dibilang kuat-otonom. Dan yang pasti, foto menjadi saksi paling menggetarkan ketika sejarah sedang berlangsung. Bukan hanya foto “kekejaman PKI” yang punya takdir seorang diri maju ke hadapan mahkamah sejarah memberi pendapat visual pada sebuah peristiwa penting. Contoh lain adalah foto pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran bendera Sang Saka di Pegangsaan Timur, Jakarta, dari Mendur Bersaudara. Dua lembar foto dan hanya dua-duanya di dunia yang menggambarkan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa sakral politik itu. Tentu yang mencengangkan adalah selembar foto saat Presiden Sukarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman berpelukan di serambi Gedung Agung Yogyakarta pada 10 Juli 1949.
    Foto itu ingin memperlihatkan kepada rakyat bagaimana mesra dan akurnya pemimpin politik dan militer yang sebelum-sebelumnya mengalami keretakan yang hebat karena perbedaan strategi: diplomasi atau perang. Peristiwa itu adalah “politik foto” karena tak terjadi begitu saja. Sukarno-lah yang menjadi sutradara mengatur pose berpelukan itu. Bahkan beberapa kali fotografer diminta Sukarno mengulang mengambil gambar ketika ia merasa kurang tepat.
    Foto pun menjadi drama politik. Ia tak netral. Bisa diatur untuk kepentingan apa pun. Ketika ada peristiwa penting, dan Saudara masuk dalam frame, pastilah Saudara bernasib mujur atau malah buntung. Mujur, jika foto itu seperti peristiwa pembacaan teks Proklamasi. Tapi nasib buntung dan menerbitkan waswas ketika peristiwa dalam foto itu adalah hal yang tak disukai penguasa (baca: tentara).
    Demikian itulah yang digambarkan Milan Kundera di halaman pertama bukunya yang terkenal: Kitab Lupa dan Gelak Tawa(terbit pertama kali 1978). Februari 1948, pemimpin Komunis Klement Gottwald melangkah keluar menuju balkon sebuah istana Barok di Praha untuk berpidato. Salah satu pengapit Gottwald, Clementis, menanggalkan topi bulunya buat Sang Ketua karena salju lebat turun. Foto terkenal itu disebarkan ribuan kopi karena dipakai sebagai patok sejarah: di atas balkon itulah Partai Komunis lahir.
    Empat tahun kemudian Clementis dituduh berkhianat dan digantung. Foto Clementis yang sudah kadung tercetak di foto bersejarah itu, oleh seksi propaganda partai, segera dihapus. Hasil croppingitu: Gottwald sendiri berdiri di balkon. Satu-satunya yang tersisa dari Clementis hanyalah topi yang terpacak di kepala Gottwald. Peristiwa “foto politik” itulah yang melatari munculnya kutipan paling terkenal dari Kundera: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.” ●
  • Supersemar dan Politik Machiavellian

    Supersemar dan Politik Machiavellian
    Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM
    SUMBER : SINAR HARAPAN, 10 Maret 2012
    Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah surat sangat sakti penuh kontroversi, sekaligus berimplikasi luas.
    Bahkan, pada peringatan Supersemar tahun ini, publik tetap terwarisi kontroversi dan memikul beban sejarah atas terbitnya surat itu, baik surat versi asli yang hingga kini tak jelas rimbanya, maupun terbitnya berbagai versi aspalnya.
    Soal saktinya Supersemar, publik sudah tahu, karena dengan surat itu Soeharto merasa mendapat mandat atau transfer kekuasaan dari Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Soeharto bertindak layaknya Presiden.
    Padahal, presiden sah Bung Karno saat pelantikan Kabinet Ampera, pada 28 Juli 1966 mengatakan: ”Pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. Its not a transfer of authority to General Suharto. I repeat again, its not a transfer of authority.”
    Bung Karno boleh berkata seperti itu, tetapi kekuasaannya diam-diam telah dirampas Soeharto. Bahkan, agar Supersemar dinilai legitimate, Soeharto bisa bersekongkol dengan MPRS lewat Tap MPRS IX/MPRS/ 1966 sehingga membuat Bung Karno si pemberi mandat tidak bisa mencabut surat itu.
    Lalu pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik menjadi penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada 27 Maret 1968 oleh MPRS, kemudian dipilih kembali oleh MPR hingga 1998.
    Kudeta
    Tidak heran jika Supersemar dan segala sesuatu yang dilakukan Soeharto terkait surat itu disebut kudeta merangkak. Ini karena pemegang kekuasaan sah Presiden Soekarno perlahan tapi pasti bisa disingkirkan, lalu dikarantina dalam keadaan sakit, hingga akhirnya Bung Karno wafat dalam kesepian pada 20 Juni 1970.
    Terkait Supersemar, sejumlah sejarawan atau pakar hukum tata negara sepakat menyebut apa yang dilakukan Jenderal Soeharto dan pihak di luarnya seperti MPRS sebagai kudeta atau peralihan kekuasaan yang tidak konstitusional.
    Teman saya asal Talun, Kabupaten Blitar, mendiang Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo, juga sudah membahas hal ini secara lebih detail dalam disertasinya di Unair pada 1990, yang berjudul ”Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara”.
    Cara Pak Harto mengemas kudeta memang amat lihai. Seolah tercipta kesan tidak ada pertumpahan darah terhadap Bung Karno, tetapi para pendukung Bung Karno terlebih mereka yang diberi cap PKI, adalah pihak yang darahnya tertumpah.
    Ada yang menyebut angkanya jutaan. Jangan lupa sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto membubarkan PKI. Sebagian lain yang masih hidup hingga kini terpaksa jadi “eksil” di Eropa dan bagian lain dunia. Semua itu merupakan buntut dari Supersemar.
    Bahkan, semasa berkuasa (1966–1998), Soeharto dengan amat cerdik bisa mendikte publik, termasuk para sejarawan, dengan menciptakan kesan betapa misteriusnya keberadaan naskah Supersemar.
    Ada yang bilang naskah asli di tangan M Jusuf, tetapi mantan Pangab yang wafat pada 2004 itu mengatakan naskah asli ada di tangan Soeharto sendiri. Berbagai versi pun diciptakan, sementara naskah asalinya hingga kini tetap tidak diketahui.
    Praksis Politik Machiavellian
    Kelihaian Soeharto dalam mengemas kudetanya lewat Supersemar dan segala tindakannya sesudah memegang dan meraih kekuasaan, mengingatkan penulis pada pemikiran dasar Niccolo Machiavelli tentang politik.
    Seperti diketahui, filsuf berdarah Yahudi bernama Italia yang hidup pada 1469–1527 itu sangat diagungkan para diktator dan politikus yang doyan menghalalkan berbagai cara, seperti tampak dari karya abadinya, Il Principe.
    Sebenarnya, lewat karya-karyanya, Machiavelli layak disebut sebagai peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekulerisasi (desakralisasi) politik.
    Namun publik, termasuk para diktator atau politikus banal negeri ini, lebih menyukai tafsir Machiavelli sebagai penganjur politik menghalalkan semua cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, segala cara bisa ditempuh, mulai dengan berbohong hingga membunuh.
    Kalau kita menyimak 32 tahun kekuasaan Pak Harto, praksis (teori dan praktik) politik yang machiavellian dengan mengabaikan etika atau moral memang amat menonjol.
    Semua hal terpusat pada Soeharto dan bagaimana kekuasaannya bisa dilanggengkan di tangannya. Memang ada pemilu atau parpol, tetapi semua dibuat skenarionya demi menunjukkan pada publik dunia seolah dia demokrat. Padahal, nyatanya tak ada demokrasi.
    Media pun dibungkam, kalau macam-macam, diberedel. Penyingkiran lawan politik seperti pembuangan ke Buru, penembakan misterius, dan penculikan para mahasiswa, sungguh mengabaikan etika. Martabat manusia bisa dikorbankan demi kekuasaan. Tidak heran korupsi dan segala bentuk KKN lain mulai tumbuh subur di era Pak Harto.
    Harus kita akui, praksis politik di Tanah Air hingga kini masih bercorak machiavellian, karena anak didik Orde Baru atau mereka yang mengecap nilai-nilai Orde Baru masih “berjibun” di jajaran birokrasi yang tak tersentuh reformasi, kendati wacana reformasi birokrasi kerap didengungkan. Orientasi politik sebagian besar kalangan juga masih pada jabatan alias kekuasaan.
    Simak kasus Wisma Atlet yang menyeret para politikus muda kita. Ini adalah contoh bahwa corak machiavellian itu tidak sirna begitu saja setelah Soeharto tidak ada. Kesejahteraan atau kekayaan untuk diri sendiri lebih diutamakan. Kesejahteraan hanya dirasakan segelintir orang yang beruntung memegang kekuasaan.
    Aparat hukum pun suka memanipulasi hukum. Keadilan merupakan barang langka. Rakyat yang terkena busung lapar atau gizi buruk tak dipikirkan. Kemiskinan malah dijadikan jualan politik, termasuk data jumlah kaum miskin yang bisa dimanipulasi.
    Ke depan kita tidak bisa mengharapkan banyak perubahan signifikan, jika para politikus dan pemegang amanat rakyat masih melakukan praksis politik machiavellian, yang kini tersebar di segenap lini eksekutif, legislatif, dan yudikatif. ●
  • Penyakit Birokrasi

    Penyakit Birokrasi
    Dewi Aryani, KANDIDAT DOKTOR ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UI,
    ANGGOTA DPR RI FRAKSI PDI PERJUANGAN
    SUMBER : REPUBLIKA, 10 Maret 2012
    Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureau pathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be guilty of malpractices,” (Gerald E Caiden, 1991).
    Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika tiba-tiba saja mendadak menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia.
    Tidak semua birokrat seperti Gayus dan Dhana, tetapi kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden-seorang pakar ternama reformasi administrasi–telah membentuk citra menyeluruh tentang buruknya birokrasi Indonesia. Tulisan singkat ini akan menjelaskan bagaimana fenomena Gayusisme dan Dhanaisme sebagai salah bentuk penyakit birokrasi terparah di negeri ini.
    Maladministrasi Sistemis
    Apa yang terjadi dalam kasus Gayus dan Dhana sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus-kasus serupa yang belum atau tidak terungkap.
    Tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus dan Dhana juga kasus-kasus lainnya.
    Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme dan Dhanaisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, melainkan timbul karena kelemahan sistematis dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme dan Dhanaisme. Tetapi, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat dengan predikat Gayusisme dan Dhanaisme serta mengatakan hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.
    Caiden mendefinisikan maladministrasi sebagai administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or conduct. Pakar administrasi negara yang lain seperti Kenneth Wheare menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti illegality, corruption, neglect, perversity (ketidakwajaran), turpitude (kejahatan/kekejian), discourtesy, dan misconduct. Bahkan, Caiden sendiri menyebutkan ada 175 penyakit birokrasi yang sering kali terjadi dan dilakukan oleh birokrat.
    Didorong oleh rasa ingin tahu, penulis mencermati dan menganalisis seluruh penyakit yang disebutkan oleh Caiden tersebut terjadi di dalam konteks birokrasi di Indonesia pada saat ini. Coba kita bayangkan, menderita satu macam penyakit saja sering kali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Jumlah patologi birokrasi ini sebenarnya bisa lebih banyak di Indonesia, mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan birokrasi daerah subtropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden.
    Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematis, bukan individual. Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi, karena serangan penyakit yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.
    Fenomena Gayus, Dhana, dan namanama birokrat lainnya yang akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom Gayusisme atau Dhanaisme adalah patologi birokrasi yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua strata.
    Sebagai individu yang memiliki selfinterest, dalam sistem yang korup para birokrat akan memilih menjadi bagian dari sistem tersebut, daripada harus menjadi pesakitan yang dianggap memiliki perilaku menyimpang. Itu sebabnya, mayoritas birokrat sebenarnya sangat berpotensi mengidap penyakit sindrom Gayusisme dan Dhanaisme yang bersifat menular dan menahun.
    Terapi Radikal
    Sebenarnya, diagnosis terhadap patologi birokrasi di Indonesia sudah lama dilakukan. Bahkan, setiap masyarakat selalu merasakan dampak dari penyakit birokrasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Tetapi, tampaknya seperti orang yang sudah mengalami ketergantungan pada obat, tidak mudah mengatasi penyakit-penyakit birokrasi tersebut.
    Problem dasar yang kita hadapi adalah komitmen politik untuk melakukan terapi terhadap penyakit tersebut. Karena jenis penyakit yang diderita sangat kompleks dan melibatkan lebih dari 175 penyakit sehingga dibutuhkan tidak saja komitmen politik yang tidak terbatas, tetapi juga terapi yang tepat. Munculnya korupsi ala Gayus dan Dhana yang telah menjadi isu nasional harus bisa dijadikan momentum pengobatan penyakit birokrasi secara menyeluruh.
    Perintah Presiden untuk mengungkap tuntas kasus mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh hanya berhenti sebagai sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi semangat dan gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh.
    Karena pada dasarnya, korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, tetapi juga melibatkan penegak hukum dan politisi. Maka itu, terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal.
    Terapi ini dilakukan, antara lain, dengan memutus media pertukaran kewenangan yang melibatkan pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum, dan politisi. Reformasi birokrasi juga harus meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para pejabat birokrasi dan penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang dimilikinya.
    Pada sisi yang lain, promosi jabatan dalam birokrasi harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan catatan kompetensi dan kinerja. Berbagai perbaikan sistem yang radikal ini diharapkan dapat menjadi obat pamungkas untuk mengurangi patologi dalam birokrasi. ●
  • Manajemen Lapas

    Manajemen Lapas
    Ahmad Yani, WAKIL KETUA F-PPP DPR RI, ANGGOTA KOMISI III DPR RI
    SUMBER : REPUBLIKA, 10 Maret 2012
    Kerusuhan di Penjara Kerobokan adalah ekses dari perilaku menyederhanakan persoalan lama yang sengaja tak pernah diselesaikan. Kejadian ini menjadi preseden karena memberi pesan sangat jelas kepada semua penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia. Jika penyimpangan dan kesemrawutan di lapas tidak segera dibenahi, kerusuhan serupa bisa meledak setiap saat di penjara lainnya.
    Aneka cerita tentang perlakuan tidak manusiawi dan diskriminasi terhadap para narapidana (napi) bukan hanya terjadi di Lapas Kerobokan, Denpasar, Bali. Potret dan gambaran yang kurang lebih sama juga terjadi di hampir semua Lapas.
    Semua bentuk penyimpangan dalam manajemen penjara memang sudah menjadi cerita di ruang publik. Termasuk “perselingkuhan“ Napi dengan oknum sipir penjara untuk menjalankan kegiatan-kegiatan melanggar hukum. Contoh ekstremnya, kalau perdagangan dan peredaran narkoba bisa dijalankan dan dikendalikan dari dalam sel penjara, tentu karena oknum sipir penjara membuka akses bagi para bandar besar yang sudah dibui. Begitulah keistimewaan yang bisa dinikmati napi atau tersangka berduit.
    Segera Dibenahi
    Akar persoalan dari kerusuhan di Lapas Kerobokan adalah pemberontakan dari kelompok napi yang merasa manajemen lapas diskriminatif terhadap mereka. Sebelum kerusuhan, terjadi peristiwa antara seorang napi dan napi lainnya. Sekelompok napi mendesak manajemen lapas menyelesaikan kasus penusukan hingga tuntas, proporsional dengan seadil-adilnya. Namun, manajemen lapas tidak peduli dengan tuntutan tersebut.
    Penyelesaian kasus itu tidak tuntas. Akibatnya, kelompok napi yang ditusuk menganggap ada perlakuan tidak adil atau diskriminatif. Kerusuhan pun tak terhindarkan.
    Cerita tentang kesemrawutan dan penyimpangan di Lapas Kerobokan sudah go international. Kathryn Bonella, seorang penulis Australia, dalam bukunya berjudul Hotel K (Hotel Kerobokan, 2009), cukup detail mendeskripsikan suasana keseharian yang pengap di Lapas Kerobokan. Bonella menggambarkan, Lapas Kerobokan sebagai penjara di mana pembunuh berantai, psikopat, dan terpidana narkoba bercampur tanpa pemisahan. Hanya 17 sipir yang bertugas dalam satu periode jam kerja untuk mengawasi lebih dari 1.000 narapidana.
    Memang, kapasitas Lapas Kerobokan hanya 300 napi. Saat kerusuhan meledak, Kerobokan dihuni 1.015 orang napi. Kerusuhan jadi mudah menjalar dan sulit dikendalikan saat para napi yang berdesakkan itu tersulut emosinya.
    Dalam konteks ini, kerusuhan di Lapas Kerobokan harus dimaknai sebagai pesan yang sangat jelas dari para napi kepada regulator, khususnya Kementerian Hukum dan HAM. Pesan yang disampaikan adalah benahi manajemen lapas, pulihkan harkat kemanusiaan para napi, jangan pernah lagi mengeksploitasi kelemahan napi dan keluarganya, hilangkan diskriminasi, serta hapus pungutan liar di lapas.
    Diyakini bahwa kerusuhan di Lapas Kerobokan serta muatan pesan atau aspirasi para napi yang memicu kerusuhan itu sudah sampai ke telinga semua penghuni lapas lainnya di seluruh Indonesia. Saya mengingatkan, alasan yang memicu kerusuhan Lapas Kerobokan bisa menimbulkan preseden. Artinya, jika Kementerian Hukum dan HAM tidak segera membenahi manajemen di semua lapas, kerusuhan serupa bisa terjadi setiap saat di lapas mana pun.
    Karena itu, jumlah penghuni setiap lapas harus sesuai kapasitas yang ada.
    Lapas di mana pun tidak boleh lagi kelebihan kapasitas. Selain tidak manusiawi, bisa dipastikan bahwa kelebihan kapasitas akan menimbulkan banyak persoalan baru, serta menjadi peluang bagi oknum sipir melakukan penyimpangan dan diskriminasi.
    Mencegah lapas kelebihan penghuni tidak cukup hanya dengan membangun kompleks lapas baru atau melakukan perluasan lapas. Pembangunan lapas baru harus diikuti pula dengan melakukan pengurangan penghuni lapas. Cara paling efektif, memberikan remisi bagi para napi yang memang layak mendapatkan remisi. Kalau pembinaan napi di lapas selama ini berjalan efektif, mestinya tidak sedikit napi yang layak mendapat remisi.
    Pungutan liar di lapas sudah barang tentu harus diperangi. Keluarga para terpidana umumnya sudah sangat menderita dan lemah. Jangan lagi mengekspoitasi nestapa mereka dengan pungutan-pungutan ilegal di lapas. Cerita pungli di lapas itu bukannya mengada-ada. Karena itu, Kementerian Hukum dan HAM jangan tutup mata terhadap penyimpangan tersebut.
    Para napi pun harus dipisahkan sesuai dengan latar belakang pelanggaran hukumnya. Kalau terpidana perampok dan pembunuh dibaurkan dengan terpidana koruptor atau narkoba, itu adalah ruang yang sangat mungkin bagi oknum sipir menawarkan diskriminasi perlakuan. Diskriminasi terbuka secara berkelanjutan akan menimbulkan dendam dan amarah para napi.  
  • Perilaku Masyarakat terhadap Flu Burung

    Perilaku Masyarakat terhadap Flu Burung
    Agus Widjanarko, KETUA HIMPUNAN AHLI KESEHATAN LINGKUNGAN
    CABANG KOTA PASURUAN
    SUMBER : KORAN TEMPO, 10 Maret 2012
    Rilis Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, sepanjang dua bulan pertama 2012 ini tercatat sudah empat orang yang meninggal akibat flu burung. Dengan demikian, jumlah kumulatif kejadian flu burung di Indonesia sejak berjangkit pertama kali pada 2005 hingga akhir Februari 2012 adalah 186 kasus dengan kematian sebanyak 154 jiwa. Mengingat pada musim hujan virus penyakit ini lebih masif, segala upaya untuk mengendalikannya harus disiapkan sejak dini, termasuk memaksimalkan peran masyarakat.
    Bahwa penyakit flu burung (avian influenza) merupakan penyakit menular serta mengancam kesehatan masyarakat memang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1371/Menkes/SK/IX/2005. Dengan demikian, masyarakat berhak sekaligus berperan dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap penularan flu burung dari hewan unggas, babi, dan hewan lainnya.
    Disadari bahwa kematian akibat flu burung lebih banyak disebabkan oleh keterlambatan penanganan karena kedatangan pasien di rumah sakit biasanya telah dalam kondisi parah. Pada konteks ini, perilaku masyarakat menjadi sangat menentukan karena, meskipun telah disiapkan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang memadai dengan didukung oleh tenaga kesehatan yang andal, jatuhnya banyak korban sulit dihindari bila masyarakat kurang peka terhadap tanda-tanda dini penyakit ini.
    Perilaku masyarakat terhadap kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat dalam menghadapi suatu fenomena. Memperhatikan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang datanya diambil ketika puncak kejadian flu burung pada 2006 baru saja mereda, ditemukan bahwa proporsi masyarakat Indonesia usia 10 tahun atau lebih yang pernah mendengar tentang flu burung adalah sebesar 64,7 persen. Dari jumlah tersebut, proporsi yang mempunyai pengetahuan benar tentang flu burung adalah 78,7 persen, serta yang bersikap benar tentang flu burung sebanyak 87,7 persen.
    Kepada masyarakat yang menyatakan pernah mendengar istilah flu burung, langkah selanjutnya untuk mengukur tingkat pengetahuan mereka adalah dengan menanyakan soal penularan penyakit flu burung. Pengetahuan masyarakat dinyatakan memadai apabila menjawab cara penularan flu burung melalui kontak dengan unggas sakit atau kontak dengan kotoran unggas/pupuk kandang. Pengetahuan masyarakat dianggap tidak benar apabila mereka memberikan jawaban cara penularannya melalui udara, berdekatan dengan penderita, lalat, makanan, dan lainnya.
    Sikap masyarakat dinilai dengan pertanyaan tentang upaya yang dilakukan apabila menemukan unggas yang sakit atau mati mendadak. Sikap dinyatakan tepat jika menjawab salah satu dari: melaporkan kepada aparat, atau membersihkan kandang unggas, atau mengubur/membakar unggas sakit. Sebaliknya, sikap dipandang tidak benar jika jawabannya adalah unggas tersebut dimasak/dimakan atau dijual atau yang lainnya.
    Pengetahuan
    Walaupun pemberitaan oleh media cetak maupun elektronik perihal kejadian kasus flu burung pada masa puncak penularannya cukup meluas, pada kenyataannya masih terdapat 21,3 persen masyarakat Indonesia yang belum memahami flu burung. Menariknya, semakin tua usianya, semakin menurun tingkat pengetahuan masyarakat tentang flu burung. Sebaliknya, semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan masyarakat tentang flu burung. Demikian pula, tingkat pengeluaran masyarakat cenderung berbanding lurus dengan tingkat pengetahuannya. Hal ini menandakan bahwa penyerapan informasi tentang flu burung belum merata di kalangan masyarakat, terutama pada kelompok usia lanjut, berpendidikan rendah, dan berpenghasilan rendah.
    Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan saraf (neural setting) sebelum memberikan respons. Dengan kata lain, sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak. Mencermati sikap masyarakat Indonesia terkait dengan flu burung, tampak bahwa proporsinya di atas tingkat pengetahuan. Meskipun tingkat pengetahuan belum maksimal, ternyata mereka sedikit lebih tepat dalam mengambil sikap. Sedangkan bila dilihat dari karakteristik usia, jenjang pendidikan, dan tingkat pengeluaran masyarakat, ada fenomena yang tidak jauh berbeda dengan tingkat pengetahuan. Semakin tua, semakin rendah jenjang pendidikan, dan semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari, kian rendah pula ketepatan mereka dalam bersikap.
    Tindakan
    Tindakan memang tidak diukur dalam Riset Kesehatan Dasar 2007. Tindakan akan lebih mudah dievaluasi justru ketika kasus flu burung meningkat, terlebih jika telah menyerang manusia. Kendati sikap mengandung daya pendorong atau motivasi dalam melakukan suatu tindakan, tidak otomatis tindakan akan identik dengan sikap yang diutarakan.
    Keputusan mencari pengobatan ketika ditemukan penderita dengan gejala-gejala terserang penyakit flu burung merupakan tengara yang dapat menunjukkan tindakan masyarakat yang sebenarnya. Pada kenyataannya, tidak jarang terjadi keterlambatan untuk memperoleh pertolongan medis karena tingkat ketanggapan masyarakat yang masih rendah dalam kasus-kasus darurat seperti ini.
    Informasi tentang flu burung telah disebarkan dalam berbagai model media promosi kesehatan, mulai dari yang berwujud brosur, leaflet , siaran radio, tayangan televisi, bahkan sampai media lokal tradisional. Liputan media massa pun telah menjadi ajang promosi gratis bagi penguatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan flu burung yang pada gilirannya diharapkan dapat membentuk sikap positif dan tindakan nyata.
    Maka, untuk mendorong agar ketiga fungsi perilaku ini dapat ditingkatkan secara optimal dibutuhkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya. Masih adanya ketakacuhan masyarakat terhadap aliran informasi, sebagaimana tecermin pada angka-angka proporsi tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat Indonesia terhadap flu burung, harus segera dieliminasi. Apalagi saat ini kasus flu burung tidak begitu merebak, sehingga arus informasi juga tidak sederas dibandingkan ketika ia berjangkit lima tahun yang lalu.
    Sudah sepantasnya masyarakat, dengan dukungan dari pemangku kepentingan, tergerak untuk mulai mandiri dalam mencermati dan memecahkan masalah-masalah kesehatan yang timbul. Masyarakat harus menjadi pengamat atas kejadian penyakit yang ada kemungkinan dapat menyebar di lingkungannya. Dengan pengamatan yang tepat dan berkesinambungan, kemunculan penyakit flu burung dapat dideteksi sedini mungkin sehingga tindakan yang diambil pun bisa lebih mudah dan terkendali. ●
  • Negeri Ini Seolah Tanpa Pilot

    Negeri Ini Seolah Tanpa Pilot
    (Wawancara)
    Rizal Ramli, PENDIRI RUMAH PERUBAHAN
    SUMBER : SUARA KARYA, 10 Maret 2012
    Indonesia kini bukan cuma negeri autopilot, melainkan negeri tanpa pilot. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai bukanlah pilot yang sebenarnya. Pasalnya, selama tujuh tahun memerintah, dia sama sekali tidak menunjukkan kualitas seorang pemimpin yang mampu membawa Indonesia menjadi negara besar dan rakyatnya sejahtera sesuai amanat konstitusi.
    Bahkan, pemimpin bangsa ini dinilai tidak mempunyai terhadap rakyat. Istilah negara autopilot mencuat sejak beberapa pekan silam. Ini untuk menggambarkan negara bak berjalan sendiri tanpa kontribusi pemerintah. Indikasinya rakyat dibiarkan memecahkan berbagai persoalan yang membelit mereka tanpa bantuan pemerintah. Negara juga sering absen pada saat terjadi berbagai kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan aparat keamanan maupun sesama warga negara.
    Tokoh gerakan perubahan nasional yang juga pendiri Rumah Perubahan, Rizal Ramli mengibaratkan Negara Indonesia seperti orang yang kena kanker stadium 4. Pada tahap ini, penyakit tidak bisa lagi diobati dengan cara-cara biasa. Kanker seganas ini harus dihilangkan dengan operasi, kalau perlu dengan cara mengamputasi bagian yang terserang kanker. Setelah itu masih harus menjalani kemoterapi agar sel-sel kankernya benar-benar mati.
    “Perbaikan Indonesia tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara biasa. Harus ada perubahan total dan mendasar. Kemarin saya di Universitas Lampung bersama teman-teman mahasiswa. Mereka sudah ikut komit ikut dalam gerakan perubahan. Komitmen serupa juga datang dari teman-teman buruh, aktivis, nelayan, aparat desa, seniman, budayawan dan lain-lain. Kita harus menghentikan kerusakan ini sekarang juga,” ujar Rizal Ramli.
    Rizal Ramli juga dikenal berani mengambil keputusan yang bersifat terobosan, tidak konvensional tapi juga rasional dan implementatif. Dalam waktu yang sangat singkat, hanya 15 bulan, di era pemerintahan Presiden Gus Dur, Rizal Ramli berhasil melakukan sejumlah terobosan yang efektif untuk mendorong reformasi institusional, restrukturisasi sektoral maupun korporat, serta melakukan percepatan pemulihan ekonomi.
    Berikut ini sejumlah pemikiran lainnya yang disampaikan Rizal Ramli saat diwawancarai wartawan Harian Umum Suara Karya Rully Ariefandi dan fotografer Annisa Maya di kediamannya, beberapa waktu lalu.
    Menurut Anda bagaimana kondisi bangsa ini?
    Kondisi bangsa ini sudah sangat parah. Pemerintah sudah tidak lagi berpihak kepada rakyat. Banyak anggota masyarakat menderita, sementara keberpihakan pemerintah hanya dirasakan oleh kelompok yang berada di zona nyaman. Dalam hal ini adalah asing dan para anteknya. Dan, kelompok masyarakat yang lain yang berada di zona menderita harus terus menanggung beban.
    Dengan kondisi tanpa pilot yang terjadi saat ini, maka jelas pesawat bisa salah arah dan jatuh membahayakan penumpangnya. Dan, jelas saat ini, pemerintahan meskipun ada namanya tetapi tidak dirasakan oleh masyarakat, karena tidak ada keberpihakan. Masyarakat tetap susah dalam memperoleh pendidikan, memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga memperoleh lapangan pekerjaan.
    Anda sering berbicara dengan rakyat?
    Saya suka berpergian ke mana-mana. Jadi, suka terharu karena dibebani. Saya sering berpergian ke Sumatera. Kita lihat jalanan umum sangat tidak layak untuk bisa dilalui. Saya juga sering berbicara dengan rakyat biasa, seperti sopir taksi, tukang ojek di warung-warung dan lain-lainnya. Kesemuanya mengeluhkan susahnya beban hidup mulai dari biaya pendidikan anak hingga kebutuhan hidup.
    Bahkan saya bertemu dengan pekerja lokal di perusahaan asing migas, yang meskipun hidupnya jauh lebih mapan, tetapi tidak terima jika Indonesia diperlakukan seperti ini. Sudah rusak, semua dirampok. Rakyat gak dapat apa-apa. Dia minta tolong, rakyat sangat ingin perubahan secepatnya.
    Apa alasan Anda terus mengusung perubahan?
    Pemimpin saat ini kita juluki PKK (pendusta, korup, dan kekerasan). Dia membangun istana kertas yang direkatkan dengan politik pencitraan. Namun, begitu para tokoh lintas agama sudah menjuluki dia sebagai pembohong, maka istana itu hancur berantakan. Belakangan, rezim ini juga terbukti korup, membunuh rakyat, dan melakukan pembiaran terjadinya kekerasan terhadap rakyat, baik yang dilakukan aparat maupun secara horizontal.
    Mengapa perubahan itu perlu dilakukan?
    Pertama, rezim ini sangat koruptif yang dilakukan secara massif dan sistematis. Kedua, kerusakan moral dan hukum terus terjadi dan meluas. Ketiga, terkuras dan rusaknya SDA yang sangat merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Keempat, ancaman terjadinya disintegrasi bangsa seperti di Papua,Aceh, dan lainnya. Kelima, makin meningkatnya ketidakpercayaan rakyat, termasuk di daerah-daerah, terhadap rezim SBY. Jadi, negeri ini tidak hanya terancam rusak dari sisi finansial, tapi juga dari sisi moral, hukum, sumber daya alam (SDA), dan terancam disintegrasi dalam kehidupan berbangsa.
    Anda punya hitung-hitungannya?
    Bukan rahasia lagi sekitar 20 persen anggaran pembangunan sudah dikorupsi sejak di tingkat pusat. Sedangkan dalam realisasinya di lapangan, anggaran yang sudah dikorup itu masih dikorupsi lagi hingga 30 persen. Pada Data Pokok APBN 2011 yang diterbitkan Kementerian Keuangan, disebutkan belanja pemerintah pusat mencapai Rp 908 triliun. Dipotong untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang yang sekitar Rp 300 triliun, maka masih ada Rp 600 triliun. Jika sejak disusun anggarannya sudah dikorupsi, maka sedikitnya Rp 120 triliun dana yang raib. Ditambah dengan korupsi di tingkat pelaksanaan yang mencapai 30 persen, maka jumlah itu masih harus ditambah lagi dengan Rp 144 triliun. Dengan demikian, jumlah uang rakyat yang dikorupsi rezim ini sekitar adalah Rp 264 triliun setiap tahun.
    Itu baru tahun. Kalau Presiden SBY menjabat hingga 2014, maka angkanya harus dikali 3 lagi. Silakan hitung sendiri. Wajar saja jika anggaran pembangunan selama tujuh tahun SBY memerintah, tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal, nilai anggaran itu telah naik sekitar tiga kali lipat. Belum lagi, sebab lain, yaitu tidak tepat dan efektifnya program yang digulirkan pemerintah. Seharusnya kita bisa melakukan banyak hal. Membangun ribuan kilometer jalan tol, jembatan, sekolah, irigasi, dan bermacam infrastruktur untuk meningkatkan perekonomian rakyat.
  • Jebakan Demokrasi

    Jebakan Demokrasi
    Azyumardi Azra, GURU BESAR SEJARAH; DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN JAKARTA; ANGGOTA DEWAN PENASIHAT INTERNATIONAL INSTITUTE FOR DEMOCRACY AND ELECTORAL ASSISTANCE, STOCKHOLM
    SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012
    Transisi Musim Semi Arab menuju demokrasi di Timteng jauh dari selesai. Sebaliknya, bakal berlangsung lama dan pedih.
    Masa depan transisi pun jauh dari selesai di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Lebih tak pasti lagi di Suriah yang terus bergejolak dengan terus bertambahnya korban tewas di kalangan warga sipil. Asumsi tak menyenangkan ini kian menguat setelah saya, awal Maret 2012, menghadiri konferensi tentang Musim Semi Arab yang diselenggarakan Menteri Luar Negeri Jepang.
    Berbicara dalam berbagai konferensi tentang Musim Semi Arab, sejak April tahun lalu—mulai dari Stockholm, Amman, Kota Meksiko, Den Haag, Madrid, hingga Tokyo—yang sering juga melibatkan kalangan pemimpin, politisi, dan akademisi dari Mesir, Libya, Tunisia, dan Jordania, saya juga sekaligus menyimak kerumitan dan komplikasi politik, sosial, dan budaya transisi menuju demokrasi di Dunia Arab.
    Meski pemilu parlemen telah berlangsung di Tunisia dan Mesir pasca-era otoritarianisme, pergumulan politik ke depan masih tetap intens. Pemilu legislatif di Tunisia, 23 Oktober 2011, dan di Mesir, 28 November 2011 sampai 11 Januari 2012, gagal menghasilkan pemenang absolut dari partai Islam moderat. Partai moderat Islam Al-Nahda di Tunisia menang dengan 37,04 persen suara serta Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wa al-’Adalah) yang dibentuk al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir memperoleh 37,5 persen total suara.
    Keduanya mendapat tantangan dari partai sekuler-liberal, semacam Partai Kongres untuk Republik (8,47 persen), Partai Forum Demokratis untuk Buruh dan Kebebasan (7,03 persen) di Tunisia; serta Partai Al-Wafd (9,2 persen) dan koalisi partai Sosial-Liberal (8,9 persen) di Mesir. Tantangan juga datang dari partai ”Islamis” Salafi, seperti Partai Al-Aridha (6,74 persen) di Tunisia dan Partai Al-Nour (27,8 persen) di Mesir.
    Partai ”Islamis”
    Hasil pemilu parlemen di Tunisia dan Mesir memperlihatkan, seperti sudah diprediksi banyak kalangan, partai-partai berbasis Islam secara kumulatif memenangi kontestasi suara. Kenapa partai-partai berbasis Islam bisa menang? Ini terkait banyak dengan kegagalan rezim otoriter, yaitu Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir, dalam modernisasi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Represi rezim-rezim terhadap gerakan Islam sepanjang masa kekuasaan mereka hanya menambah insentif ekstra bagi banyak kalangan warga untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya alternatif ideologi pengganti.
    Para pengamat Barat umumnya memasukkan partai Islam di Tunisia, Mesir, dan negara-negara Arab lain ke dalam satu kotak tunggal ”Islamis”. Persepsi ini dapat menyesatkan karena kekuatan politik Islam di Dunia Arab dan juga di negara-negara mayoritas Muslim lain—termasuk Indonesia—terpecah ke dalam berbagai partai yang sangat tidak mudah bersatu. Terdapat perbedaan-perbedaan ideologis dan metodologis di antara partai-partai Islam tersebut dalam usaha mewujudkan agenda dan program politik masing-masing.
    Untuk mengambil Mesir sebagai kasus, meski sama-sama berorientasi Islam, Partai Kebebasan dan Keadilan tidak selalu mudah sepaham dengan Partai Al-Nour. Kedua partai ini pernah menjalin koalisi pada Juni 2011 dan segera ”bercerai” pada September 2011. Partai Kebebasan dan Keadilan yang berusaha tampil inklusif dengan menyertakan tokoh Protestan dalam kepemimpinan puncaknya dipandang Partai Al-Nour sebagai terlalu kompromistis dan akomodatif; tidak tegas dan lugas dalam memperjuangkan Islam.
    Meski demikian, bukan tidak mungkin partai Islam moderat dengan Salafi menjalin kesepakatan tertentu untuk mencapai agenda tertentu, khususnya penerapan syariah Islam oleh negara. Sikap moderat Partai Al-Nahda di Tunisia atau Partai Kebebasan dan Keadilan sangat boleh jadi bersifat sementara—untuk kepentingan taktis. Ketika perbedaan dan tekanan partai-partai sekuler-liberal meningkat, partai-partai berorientasi Islam kelihatan cenderung mengesampingkan perbedaan-perbedaan di antara mereka.
    Jebakan Demokrasi
    Kemenangan partai-partai Islam moderat dan Salafi menunjukkan kebenaran teori ”jebakan demokrasi” yang sering dikontekskan dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Inti teori ini adalah penerapan sistem politik demokrasi di negara-negara Muslim hanya memberikan peluang bagi partai-partai Islam (moderat dan Salafi) untuk merebut kekuasaan melalui pemilu demokratis. Dalam kerangka demokrasi, dengan memenangi pemilu—seperti terlihat di Tunisia dan Mesir—partai-partai Islam dapat menerapkan agenda dan program ideologis mereka sendiri, khususnya adopsi pemberlakuan syariah dalam dustur (konstitusi).
    Kelompok minoritas, khususnya Gereja Koptik Orthodok Alexandria, Gereja Orthodoks Timur, dan beberapa denominasi Protestan yang 10 sampai 15 persen dari jumlah total penduduk Mesir—sekitar 80 juta orang—agaknya tidak bisa lain kecuali menyerah pada mayoritas anggota parlemen yang berasal dari partai-partai Islam.
    Tendensi ini terlihat terus menguat dalam wacana politik di Mesir pasca-pemilu. Partai Salafi al-Nour yang pernah berulang kali menolak demokrasi akhirnya turut serta dalam pemilu kompetitif dan menggunakan demokrasi untuk turut berkuasa.
    Menjadi kekuatan politik kedua terbesar di parlemen setelah Partai Kebebasan dan Keadilan, Partai Al-Nour segera mengampanyekan adopsi syariah dalam rancangan konstitusi dan seluruh legislasi Mesir. Meski pendukung penerapan syariah ini adalah Partai Salafi al-Nour, banyak kalangan percaya kebanyakan—jika tidak semua—anggota Partai Kebebasan dan Keadilan juga mendukung agenda ini.
    Saya yang sering diminta memberikan perspektif perbandingan berargumen bahwa teori ”jebakan demokrasi” tidak berlaku di Indonesia. Setelah tiga kali pemilu sejak masa pasca-Soeharto (1999, 2004, dan 2009), partai-partai Islam gagal secara kombinasi sekalipun mendapatkan suara yang memungkinkan untuk memasukkan penerapan syariah ke dalam UUD 1945.
    Sebaliknya, pemenang pemilu adalah partai-partai tak berbasis Islam, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Sosiologi politik masyarakat Indonesia tidak mendukung ke arah terjerembabnya Indonesia ke dalam ”jebakan demokrasi”. ●