Blog

  • Kebijakan Mendorong Sektor Kelautan

    Kebijakan Mendorong Sektor Kelautan
    Herman Khairon, WAKIL KETUA KOMISI IV DPR
    Sumber : SUARA MERDEKA, 13Februari 2012
    Sebagai negara kepulauan atau negara bahari, Indonesia mempunyai potensi sangat besar yang belum tergali secara optimal di sektor kelautan dan perikanan. Kekayaan laut, dan keindahan pantainya merupakan potensi kekuatan ekonomi yang sangat signifikan baik melalui sektor pariwisata, ataupun hasil perikanannya.
    Untuk mendukung terciptanya pendapatan negara, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan beberapa kementerian terkait lainnya terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis untuk membangun dan menjadikan sektor ini sebagai sektor yang strategis untuk memaksimalkan potensi ekonomi itu.
    Namun demikian, lagi-lagi kebijakan baik yang dikeluarkan belum menjamin hasil yang diperoleh akan baik pula. Sampai sejauh ini, sejumlah kebijakan yang telah diberlakukan sudah tergolong baik tetapi tidak demikian dengan implementasinya. Bukan sebuah apologi jika persoalan demikian disebut bukan fenomena baru, karena ia sudah sejak lama menjadi persoalan krusial, bahkan sejak Indonesia merdeka.
    Justru pada era sekarang banyak upaya serius dan semakin kuat kecenderungannya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang sesungguhnya. Begitu juga pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang diyakini sebagai keniscayaan masa depan Indonesia. Entah berapa kali dikemukakan sejumlah ahli dan berbagai studi bahwa pembangunan kelautan dan perikanan merupakan bidang yang penting digarap terlebih karena Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang begitu besar.
    Sebagai gambaran umum, kondisi geografis Indonesia lebih dari 70 persen merupakan lautan. Di sisi lain ada sejumlah permasalahan yang belum bisa sepenuhnya diatasi, belum tersedianya teknologi kelautan secara memadai, terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi dan sebagainya.
    Bandingkan dengan sejumlah negara seperti Korea Selatan, Thailand, Islandia, dan Norwegia, yang relatif berhasil dalam membangun sektor perikanan dan kelautan sebagai sebuah industri yang berkontribusi besar bagi kemakmuran rakyatnya.
    Bayangkan jika Indonesia bisa melakukannya, betapa besar efek menyebar (multiplier effect) yang bisa diciptakan bagi kesejahteraan masyarakat. Mengingat potensi yang begitu besar Indonesia berpeluang menjadi eksportir perikanan terbesar di dunia. Bukan menjadi bukannya menjadi importir, tentunya jika se-mua stakeholder serius menggarap sektor tersebut. Sejak dari hulu potensi perikanan di sektor hulu sangat besar, yaitu perikanan tangkap, perikanan budi daya, dan industri bioteknologi perairan. Begitu juga di hilirnya. Tetapi fakta menunjukkan bahwa potensi itu belum memberikan nilai tambah yang besar karena masih lemahnya industri sektor pengolahan produk perikanan.
    Oleh berbagai sebab, seperti faktor distribusi, sebagian besar atau sekitar 60 persen dari seluruh hasil tangkapan di laut saat ini masih dipasarkan dalam keadaan mentah atau belum diolah, 22 persen diolah secara tradisional, dan 4 persen diolah secara modern. Secuil fakta itu cukup menunjukkan bahwa industrialisasi sektor perikanan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengaktualisasikan atau menjadikan fungsional sejumlah potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia.
    Dalam kaitan dengan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) dan industrialisasi sektor perikanan, KKP belum lama ini mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan sistem logistik ikan nasional. Itu, sebagai langkah membenahi distribusi ikan di tanah air. Pemerintah bersama stakeholders terkait menyiapkan SLIN untuk membangun mata rantai distribusi ikan dari daerah, sebagai langkah membenahi distribusi produk perikanan. Alasannya, penyebaran distribusi ikan dari sentra produksi belum optimal, sementara aspek kontuinitas pasokan sangat diperlukan sebagai kebutuhan konsumsi dan industri pengolahan perikanan. Kebijakan dengan kredo SLIN, merupakan bagian dari pengembangan Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS).
    Apapun sebutan dan namanya, konsep tersebut merupakan sesuatu yang tepat dan perlu mendapat dukungan karena faktanya persoalan logistik dan distribusi perikanan Indonesia masih menjadi masalah serius. Bukan sesuatu yang baru terjadi bahwa pada waktu tertentu di sejumlah tempat sering kekurangan pasokan ikan dan membuat harga ikan relatif mahal yang juga berakibat rendahnya konsumsi masyarakat terhadap ikan. Kondisi ini salah satu sebabnya karena persoalan sistem logistik dan distribusi perikanan yang belum berjalan baik.
    Lebih serius lagi persoalannya jika dikaitkan dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau sehingga persoalan infrastruktur (sarana dan prasarana) untuk distribusi perikanan menjadi isu yang krusial guna mengoptimalkan potensi perikanan. Logika ini sebangun dengan persoalan sektor lain yang juga menghadapi persoalan yang relatif sama. Tidak heran jika persoalan sistem logistik dan distribusi perikanan juga menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pemantapan industrialisasi perikanan nasional, sebagai suatu kebijakan mendorong sektor kelautan.
    Dengan pemetaan logistik dan alur distribusi yang baik, setidaknya secara tidak langsung bisa diharapkan tingkat konsumsi perikanan masyarakat Indonesia menjadi lebih tinggi kuantitas dan kualitasnya.
    Diakui, sampai saat ini aspek penyebaran atau distribusi ikan dari sentra produksi belum optimal untuk mendorong tumbuhnya usaha atau industri produk perikanan agar semakin efisien dan ekonomis. Ini tantangan yang harus dijawab agar pelaku kalangan usaha perikanan tidak mengambil jalan pintas, melakukan impor ikan atau bahkan transhipment.
  • Komitmen Pemimpin Membangun Bangsa

    Komitmen Pemimpin Membangun Bangsa
    Haryono Suyono, KETUA YAYASAN DAMANDIRI
    Sumber : SINDO, 13 Februari 2012
    Salah satu syarat keberhasilan suatu pembangunan adalah adanya perumusan sasaran dan upaya yang akan dijalankan dengan tepat, komitmen yang tinggi dari pimpinan pemerintahan, jaringan pelaksana yang ikhlas dan cekatan serta partisipasi seluruh rakyat yang berpikir positif dan ikhlas menyambut gagasan dan upaya yang dikembangkan tersebut. Apabila upaya yang dirumuskan itu tidak didukung komitmen politik yang tinggi, yang mendorong dukungan sumber daya manusia dan dana yang memadai, mustahil akan mencapai hasil yang diharapkan.
    Contoh nyata yang membawa hasil di masa lalu adalah pelaksanaan Program Keluarga Berencana (KB) yang pada awalnya dianggap menentang budaya yang subur di masyarakat luas bahwa banyak anak banyak rejeki. Tetapi, dengan sangat hati-hati masyarakat diajak berpikir positif dengan disertai komitmen yang tinggi dari Kepala Negara bahwa pembangunan yang bertujuan meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga haruslah dilakukan oleh keluarga yang ramping, dinamis dan tidak terlalu dibebani dengan tanggungan di luar kemampuan masing-masing.
    Dengan komitmen yang tinggi dari Kepala Negara, rakyat bukan dilarang mempunyai anak, tetapi diajak mengusahakan agar setiap keluarga mempunyai jumlah anak yang mudah dikembangkan masa depannya yang lebih sejahtera. Slogan dua anak cukup, laki perempuan sama saja, diikuti dengan makin melimpahnya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik bagi balita merupakan ajakan kepada setiap keluarga agar mempunyai anak yang sehat dan cerdas, agar masa depannya lebih bahagia dan sejahtera.
    Ajakan tersebut bukan merupakan sesuatu yang sulit dipenuhi, karena pada saat yang sama di mana-mana disediakan fasilitas sesuai ajakan tersebut. Disediakan juga sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas, yang dibangun dengan gegap gempita melalui sistem instruksi presiden (Inpres). Ini suatu kenyataan yang jelas dilihat oleh rakyat banyak.
    Ajakan indah itu didukung jaringan gotong royong masyarakat secara luas seakan seribu sahabat tidak cukup dan dihindari musuh, seakan seorang musuh yang anti kegiatan dianggap terlalu banyak. Sahabat yang banyak itu merupakan jaringan yang saling isi mengisi, saling memberi kepercayaan dan saling bisa memuaskan siapapun yang menjadi sasaran pembangunan yang berkelanjutan. Usaha yang berhubungan dengan keluarga bukan seperti membuat sebuah jembatan, begitu selesai dibangun segera siap dilalui kendaraan setiap hari. Pembangunan keluarga harus dilakukan dengan tekun, penuh kasih sayang dan berkelanjutan.
    Begitu halnya dengan masalah kemiskinan yang kita hadapi dewasa ini. Apabila kita ingin mengentaskan kemiskinan seharusnya upaya untuk mencapai tujuan itu dikembangkan sebagai gerakan masyarakat yang meluas dengan mengajak semua kalangan dengan sungguh-sungguh.
    Karena itu, berbagai syarat untuk gerakan masyarakat perlu dipertimbangkan dengan matang dan diterapkan dengan mantab. Penggarapan pengentasan kemiskinan dewasa ini belum seluruhnya mempertimbangkan persyaratan yang gegap gempita dengan komitmen yang tinggi. Perumusan masalahnya cukup tajam, lebih-lebih dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 3 tahun 2010 yang menggariskan pembangunan yang berkeadilan. Yakni, pembangunan yang mengacu pada pembangunan pro rakyat dengan titik sentral keluarga, anak dan perempuan.
    Sayangnya berbagai lembaga pemerintah yang diserahi tugas untuk mengembangkan sikap positif masyarakat kurang bergerak cepat. Karena, umumnya mengandalkan pada upaya yang cenderung dikontrakkan kepada suatu lembaga yang dianggap transparan dan akuntabel.
    Jiwa semangat gotong royongnya sering sengaja atau tidak, dibuat makin menipis karena sikap yang dibebani oleh banyak hal yang berhubungan dengan sistem administrasi yang kaku dan tidak fleksibel. Para pemimpinnya bukan mencari terobosan dengan tetap berjiwa positif tetapi menjadi takut melanggar aturan yang dibuat sendiri oleh rekan birokrasi, yang tanpa menyadari kekuatan maha dahsyat yang dimiliki rakyat banyak. 
    Penggerak pembangunan menjadi apatis atau melakukan tugas sekedarnya asal selamat dan tidak melakukan tindakan yang dianggap melanggar aturan. Praktek seperti ini sangat tidak cocok dengan gerakan yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan yang berat dan harus dilakukan secara bersama. Apalagi jaringan kemasyarakatan yang sangat kuat di lapangan seperti pos pemberdayaan keluarga (posdaya) yang sedang berkembang malah tidak mendapat pengakuan yang wajar. Gagasan Menko Kesra Agung Laksono untuk segera memadukan program-programnya dengan program PNPM Mandiri sungguh suatu kemajuan yang sangat baik. Lebih-lebih lagi langkah-langkah yang diambil oleh ibu-ibu pimpinan dan anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) memadukan programnya perlu disambut dengan rasa syukur yang luar biasa.
    Kalau pikiran-pikiran positif seperti ini dikembangkan dengan kesadaran yang tinggi dan diikuti oleh berbagai kalangan yang makin meluas, maka jaringan dengan dukungan komitmen yang tinggi akan mampu mengatasi rasa enggan dari masyarakat luas untuk berpartisipasi. Kebiasaan memberikan dukungan yang bersifat charity atau belas kasihan dengan memberikan bantuan secara tunai yang mendorong kemanjaan harus segera diakhiri dan diganti dengan proses pemberdayaan yang disertai kerja cerdas dan keras. Masyarakat diajak bergotong royong bekerja keras membangun kebersamaan dan kepedulian, sehingga anak bangsa ini kembali bersatu serta mandiri membangun bangsanya.
    Langkah-langkah positif disertai dengan komitmen yang tinggi itu akan mampu membangun jaringan dengan partisipasi yang ikhlas dan menghasilkan keluarga yang bebas dari kemiskinan secara lestari.
  • Mendidik Mental Pengemis

    Mendidik Mental Pengemis
    Benny Susetyo, PEMERHATI SOSIAL
    Sumber : SINAR HARAPAN, 11Februari 2012
    Cara-cara pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan sejauh ini masih harus mendapatkan sorotan tajam. Misalnya rencana mengalokasikan Rp 1,8 triliun untuk Program Keluarga Harapan (PKH) tahun ini dengan sasaran 1,5 juta rumah tangga sangat miskin (Media Indonesia, 21/1). Bahkan rencananya, program bantuan langsung tunai itu akan berlangsung hingga 2014 dengan target 3 juta keluarga miskin dengan dana Rp 4,2 triliun.
    Orientasi kebijakan tersebut menunjukkan pemerintah seolah tidak pernah belajar dari pengalaman. Suatu cara berpikir kebijakan yang tidak bervisi dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya. Apa yang dilakukan justru hanya akan mendidik rakyat bermental pengemis, dan jauh dari menciptakan kemandirian.
    Dapat ditebak dengan cepat bahwa kebijakan tersebut bersifat pragmatis hanya untuk mencari dukungan politik. Orientasi penguasa sekadar mencari dukungan politik sesaat. Kemerdekaan rakyat tidak menjadi perhatian utama, alih-alih justru menciptakan rakyat ke dalam jurang kesengsaraan.
    Sudah terbukti di masa lalu bahwa kebijakan seperti itu gagal mengatasi kemiskinan. Angka kemiskinan justru semakin meningkat. Dengan bantuan langsung rakyat tidak mampu menjadi manusia mandiri. Kebijakan tersebut hanya akan mendorong rakyat bermental pengemis.
    Tanpa disadari bahwa hal tersebut akan semakin membuat rakyat berada dalam posisi tergantung pada penguasa. Pada akhirnya penguasa dengan mudah merekayasa kepentingan demi kekuasaan. Rakyat pun potensial kehilangan posisi tawar dalam berbagai pengambilan keputusan politik. Rakyat mudah digiring dalam berbagai kemauan politik penguasa. Berbagai kecurigaan pun muncul bahwa ini semua dilakukan agar rakyat mudah dikendalikan menjadi alat kekuasaan.

    Negara Sinterklas
     

    Tak pelak kebijakan bantuan tunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH) menuai banyak kritik tajam. Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah lebih cenderung berusaha mengatasi rasa sakit jangka pendek. Rakyat akan terdidik bermental konsumtif.
    Pemerintah tidak serius dalam membongkar akar kemiskinan sesungguhnya selama ini. Padahal, dana besar yang disalurkan dalam bantuan tunai melalui PKH akan lebih efektif jika dimanfaatkan untuk program jangka panjang, misalnya dalam bentuk keterampilan dan modal.
    Kecuali dalam keadaan darurat, hampir tidak ada argumentasi apa pun yang secara rasional masuk di akal sehat kebijakan membagi-bagi uang kepada masyarakat. Justru kebijakan tersebut dicurigai sarat dengan berbagai kepentingan politik dan pencitraan kekuasaan. Kemiskinan Indonesia tidak akan bisa tuntas dengan model kebijakan seperti ini. Kita justru akan semakin sengsara bila mendasarkan kebijakan yang seolah-olah memihak rakyat, tapi nyatanya sama sekali tidak demikian.
    Negara bukanlah sosok sinterklas yang hanya datang pada momen-momen tertentu untuk menghibur anak-anak. Negara bukan untuk menghibur, melainkan melindungi warganya dari penderitaan. Hiburan itu sangat kecil maknanya dibandingkan dengan beban penderitaan yang akan ditanggung rakyat dari sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa visi yang sehat.
    Negara harus benar-benar menyadari bahwa problem kemiskinan di negeri ini benar-benar pelik. Kita bahkan terlalu sering meributkan mengenai berapa banyak jumlah orang miskin di negeri ini. Penguasa selalu bermulut manis melaporkan angka kemiskinan yang terus berkurang. Faktanya, kita semua merasakan, tidaklah seperti demikian.
    Tak bisa dipungkiri faktor politik merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia, di masa lalu dan sampai sekarang. Pengalaman di era Orde Baru pertumbuhan ekonomi yang semakin bagus bagi sebagian besar orang justru merupakan bencana. Tak lain karena antara yang bertumbuh dan merana semakin dalam jurang pemisahnya. Banyak orang yang dibuat bangga dalam kubangan kemiskinan.
    Membanggakan angka pertumbuhan yang tidak berurat nadi pada kenyataan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.

    Sesat Pikir Kebijakan
     

    Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka. Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, mereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka.
    Sulit akal sehat bisa menerima fakta bahwa di negara yang terus-menerus melakukan pembangunan ekonomi dan memiliki konstitusi jelas meningkatkan kesejahteraan rakyat, jumlah kaum miskin dan mereka yang kelaparan justru meningkat. Diakui atau tidak, krisis ekonomi tidak selalu menjadi alasan yang baik untuk memberikan penjelasan soal ini. Ketidakjelasan orientasi kebijakan ekonomi serta kondisi politik bangsa inilah yang menyebabkan sulitnya Indonesia keluar dari krisis.
    Sumber bencana utama negeri ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan ekonomi tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai “batu injakan” saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.
    Layak disadari oleh semua pihak bahwa akar kemiskinan di Indonesia lebih banyak disebabkan masalah-masalah struktural. Rakyat Indonesia bukan bangsa pemalas dan dengan demikian miskin karena sikap malasnya. Umumnya kemiskinan Indonesia karena pemerintah dan kebijakannya abai dan sering menutup serta membatasi akses perekonomian rakyat.
    Banyak situasi yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan produktifnya secara penuh. Adanya kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran merupakan sebab struktural yang penyelesaiannya harus melalui tindakan struktural pula.
    Selain itu, selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kehidupan dalam jangka panjang dan hanya berorientasi memenuhi kebutuhan material.
    Pembangunan bukan saja telah gagal mensejahterakan manusia, melainkan juga merupakan biang dari masalah. Selama ini pembangunan tidak menciptakan kemerdekaan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Pembangunan sekadar alat bagi kapital untuk berkuasa.
    Pemerintah perlu belajar banyak dari pengalaman mengelola problem kemiskinan yang terjadi. Itu semua perlu dipertimbangkan agar pemerintah terhindar dari tuduhan hanya mempermainkan orang miskin untuk kepentingan kekuasaan. ●
  • Kebijakan Pengupahan dan Investasi

    Kebijakan Pengupahan dan Investasi
    Indrasari Tjandraningsih, PENELITI PERBURUHAN AKATIGA—
    PUSAT ANALISIS SOSIAL, BANDUNG
    Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012
    Tahun 2012 kita masuki dengan rangkaian gejolak rakyat kecil yang menuntut dan mempertahankan haknya: buruh menuntut kenaikan upah minimum, petani menuntut lahan, pedagang kaki lima mempertahankan lapaknya. Gejolak ini secara jelas memperlihatkan dua kecenderungan yang semakin tajam.
    Pertama, pengabaian negara terhadap kesejahteraan warga negara. Dan kedua, pemihakan pemerintah terhadap pemilik modal. Kedua kecenderungan ini paling jelas tampak dari rangkaian demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah minimum. Ironisnya, peristiwa ini terjadi di saat secara makro Indonesia dinyatakan sebagai negara yang amat diminati investor asing dan peringkat investasinya dinyatakan terus membaik. Bagaimana menjelaskan ironi ini? Jawabannya ada pada kebijakan investasi yang ketinggalan zaman dengan menjual upah murah, di tengah tuntutan investor yang sudah jauh bergeser dari aspek upah murah ditambah dengan ketidaktegasan pemerintah terhadap peraturan-peraturannya sendiri.
    Secara resmi pemerintah Indonesia, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengundang investor (asing) dengan mengunggulkan murahnya harga tenaga kerjanya dibandingkan dengan harga tenaga kerja di Filipina, Thailand, Malaysia, India, dan Cina, di samping kelimpahan sumber daya manusianya (http://www.bkpm.go.id). Harga tenaga kerja Indonesia secara mencolok dinyatakan paling murah di antara negara-negara tersebut, yakni US$ 0,6 per jam (=Rp 5.400). Bandingkan dengan upah di Filipina dan Thailand serta Malaysia, yang masing-masing US$ 1,04, US$ 1,63, dan US$ 2,88. Secara tegas dinyatakan dalam laman tersebut bahwa, dari aspek biaya tenaga kerja,“upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah di antara 10 negara ASEAN dan bahkan jika dibandingkan dengan pusat-pusat investasi di Cina dan India“.
    Menjual tenaga murah di tengah persaingan global yang semakin sengit dan masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 merupakan cara yang terlalu primitif dan melukai harga diri bangsa. Apalagi kedatangan investor asing ke Indonesia paling utama didasarkan pada pertimbangan letak geografis Indonesia yang amat strategis untuk menjangkau pasar regional Asia yang kini semakin kuat dan kekuatan pasar domestik Indonesia yang makin menjanjikan keuntungan.
     
    Dari titik ini, menjual murah tenaga kerja justru menjadi disinsentif bagi investasi, karena menurunkan daya beli buruh yang juga adalah sasaran pasar produk bagi investasi asing. Rendahnya upah yang menurunkan daya beli telah terbukti dari penelitian di tingkat mikro yang menunjukkan bahwa upah minimum hanya mampu membiayai 62 persen pengeluaran riil buruh, dan sebagian besar pengeluaran tersebut adalah untuk kebutuhan dasar pangan (Akatiga 2009).
    Upah yang rendah juga menurunkan produktivitas dan mutu tenaga kerja–satu hal yang justru diakui menjadi keunggulan dan daya tarik bagi investor asing untuk berkegiatan di Indonesia. Berbagai manajer perusahaan besar multinasional mengakui bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh Indonesia jauh di atas yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh di Cina, Kamboja, dan Vietnam. Itulah se babnya, ketika investor Indonesia atau perusahaan multinasional lain melebarkan sayapnya ke negara-negara tersebut, mereka membawa serta tenaga-tenaga Indonesia untuk melatih dan menularkan keunggulan mutu kerjanya kepada buruh-buruh di negara-negara itu. Upah yang rendah memaksa buruh bekerja lembur. Penelitian Akatiga bersama ILO akhir tahun lalu menemukan para buruh garmen di Kawasan Berikat Nusantara baru akan memperoleh Rp 2,5 juta per bulan apabila mereka bekerja 12-16 jam sehari. Jam kerja sepanjang itu akan berdampak negatif terhadap produktivitas, karena berkurangnya waktu untuk mereproduksi tenaganya untuk esok hari. Jika upah murah dipertahankan, hal itu justru akan menjadi disinsentif lain bagi investor.
    Bahwa upah buruh–pun dengan kenaikan upah minimum setiap tahun–bukan persoalan utama bagi investor dan bagi usaha menggairahkan iklim investasi sudah berkali-kali dan secara rutin dinyatakan oleh berbagai survei berskala internasional maupun dan mikro. Laporan AD, misalnya, menyebutkan bahwa hambatan utama yang dihadapi investor adalah birokrasi yang korup dan buruknya infrastruktur. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Chairul Tanjung juga menyebutkan bahwa tiga hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi, dan infrastruktur. Berbeda dengan arus utama pemberitaan di media massa yang acap kali menyebutkan bahwa investor resah karena upah buruh yang terlalu tinggi, sebagian kalangan pengusaha asing maupun dalam negeri mengakui bahwa upah buruh bukan masalah dan mereka akan membayar berapa pun yang ditetapkan pemerintah asalkan peraturannya jelas dan konsisten serta mereka tidak dibebani oleh berbagai pungutan yang justru menghambat jalannya usaha.
    Jelaslah hal tersebut menunjukkan bahwa masalah upah buruh hanya menempati urutan belakang dari deretan problem investasi. Maka, amat tidak adil dan tidak menjawab persoalan jika upah buruh terus ditekan dan dijadikan prioritas dalam pembenahan iklim investasi. Sebab, bukan di situ persoalannya.
    Menekan upah buruh juga tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan taraf industrialisasi ke tingkat yang lebih tinggi. Upah yang layak dan investasi untuk peningkatan sumber daya manusia menjadi penting, ketika Indonesia hendak menuju ke negara industri tahap ketiga yang mengandalkan sumber daya manusia berketerampilan dan pengetahuan yang tinggi.
    Dari sisi regulasi, inkonsistensi aparat pemerintah dalam penerapan peraturan amat mengganggu operasi investasi. Sudah jamak ditemukan di lapangan bahwa peraturan dapat diperjualbelikan dan berlaku “semua urusan musti memakai uang tunai“, yang amat membebani usaha dan menekan upah buruh. Berbagai pengalaman di tingkat mikro menunjukkan perilaku aparat pemerintah yang longgar terhadap peraturan menyebabkan terjadinya trade-off dengan pengusaha yang menyebabkan semakin tertekannya upah. Temuan survei Akatiga (2007) terhadap pengusaha tekstil dan garmen di Bandung, misalnya, menunjukkan ketidakberdayaan pengusaha menghadapi pungutan-pungutan daerah dan, sebagai akibatnya, mereka harus menekan upah buruh agar pembiayaan dan kegiatan usaha dapat tetap berjalan.
    Sudah semakin jelas dari fakta-fakta tersebut bahwa strategi untuk memenangi hati para investor bukanlah dengan menjual buruh dengan upah murah, melainkan dengan meningkatkan daya beli dan produktivitas buruh dengan memberikan upah yang layak. Pemberian upah layak akan berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas, karena buruh dapat bekerja dengan tenang.
     
    Meningkatkan profesionalisme aparat pemerintah di daerah dan di pusat dan membenahi infrastruktur menjadi prioritas utama yang amat dinantikan oleh para investor. Menempuh ketiga langkah itu secara bersama-sama pasti akan semakin menggairahkan investasi, karena buruh akan semakin produktif, keuntungan pengusaha lebih pasti, dan gejolak hubungan industrial akan jauh berkurang. Ketiganya akan dapat dicapai dengan tampilnya para penyelenggara dan aparat negara yang konsisten dan memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam menjalankan tugasnya menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh warga negara.
  • Ketika Buruh Turun ke Jalan

    Ketika Buruh Turun ke Jalan
    Andi Irawan, PEMINAT TELAAH EKONOMI-POLITIK INDONESIA
    Sumber : KORAN TEMPO, 11 Februari 2012
    Para buruh melakukan demo yang memacetkan perjalanan pengguna jalan raya hampir 10 km di jalan tol Jakarta-Cikampek. Bukan hanya itu, demo buruh yang berdurasi satu hari tersebut menyebabkan setidaknya 5.000 perusahaan tutup sementara waktu sepanjang 27 Januari 2012 di kawasan industri Jababeka. Bekasi sebagai lokasi utama demo buruh merupakan kawasan utama ekspor. Adanya demonstrasi menghambat pengiriman barang-barang ekspor, yang akibatnya menimbulkan kerugian miliaran rupiah.
    Demonstrasi ini dipicu oleh dikabulkannya gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai upah minimum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Barat. Pengusaha menilai gubernur melanggar kesepakatan lantaran menetapkan upah sedikit di atas yang diputuskan dalam musyawarah antara wakil pengusaha dan buruh.
    Angka yang dipatok oleh Gubernur Jawa Barat itu terdiri atas tiga kelompok, sesuai dengan masa kerja, yakni Rp 1,5 juta per bulan untuk kelompok I, Rp 1,7 juta untuk kelompok II, dan Rp 1,8 juta untuk kelompok III. Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung mengabulkan keberatan kalangan pengusaha itu. Dengan kata lain, upah mesti diturunkan sekitar Rp 100-200 ribu (Editorial Koran Tempo 31 Januari).
    Secara substansi, penolakan kalangan pengusaha itu tidak selayaknya terjadi. Ada beberapa alasan mengapa kita tidak setuju terhadap gugatan pengusaha tersebut dan bisa memahami demonstrasi yang dilakukan para buruh.
    Pertama, struktur pasar tenaga kerja domestik adalah pasar yang monopsonistik.
    Struktur pasar yang demikian terutama ditandai oleh sedikitnya perusahaan yang meminta tenaga kerja dan sangat banyaknya pencari kerja.
    Dengan logika sederhana segera terlihat bahwa struktur pasar yang demikian ini akan menempatkan buruh dalam posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan perusahaan. Dalam struktur pasar monopsonistik ini, teori ekonomi mikro mengatakan upah keseimbangan yang terjadi di pasar pasti lebih rendah dibandingkan dengan nilai produk marginal tenaga kerja.
    Artinya, buruh dibayar di bawah nilai produktivitasnya. Dengan kata lain, buruh menerima imbalan yang lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan yang mereka berikan kepada perusahaan. Selisih antara produktivitas dan upah yang diterima buruh sering disebut sebagai eksploitasi. Dengan memahami perilaku pasar tenaga kerja yang monopsonistik ini, maka tuntutan kenaikan upah yang diminta para buruh itu adalah hal yang rasional.
    Kedua, upah minimum buruh yang digugat para pengusaha berkisar Rp 1,5-1,8 juta per bulan tersebut sesungguhnya masih jauh untuk bisa mencukupi kebutuhan primer mereka dalam satu bulan. Artinya, kita tidak selayaknya menggunakan asumsi kapitalisme primitif yang mengatakan bahwa upah buruh yang murah merupakan keunggulan kompetitif untuk menarik investasi, padahal tingkat upah buruh tersebut masih jauh dari hidup patut. Karena, sesungguhnya tingkat kesejahteraan berkorelasi erat dengan produktivitas.
    John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya, Principles of Political Economy, mengemukakan bahwa biaya tenaga kerja tidak sama dengan upah. “Biaya tenaga kerja kerap kali paling tinggi jika upah berada pada tingkat yang paling rendah…. Tenaga kerja, walaupun murah, boleh jadi tidak efisien.“Biaya tenaga kerja turun jika para buruh bekerja lebih efisien. Karena itu, laba perusahaan yang besar dan upah yang tinggi bisa terjadi secara bersamaan.
    Mankiw (1997) bahkan mengemukakan bahwa efficiency wages sangat penting diterapkan di negara-negara berkembang yang mengalami surplus tenaga kerja. Efficiency wages adalah tingkat upah yang lebih tinggi dari tingkat upah keseimbangan pasar guna menjaga keberlanjutan efisiensi produksi perusahaan. Dalam konteks kita, efficiency wages ini adalah tingkat upah yang mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan (kebutuhan primer) buruh secara memadai.
    Apa arti penting efficiency wages bagi perusahaan? Pertama, tingkat upah ini akan memberikan kebutuhan gizi yang cukup bagi buruh untuk mempertahankan produktivitasnya, dalam konteks kekinian kita sekitar 2.800-3.200 kalori per hari. Selain itu, buruh mendapatkan fasilitas kerja dan alat pelindung kesehatan yang cukup, tempat pemondokan yang layak, dan asuransi kesehatan bagi buruh dan keluarganya. Jika seluruh hak ini bisa terpenuhi, layak bagi pengusaha untuk menuntut produktivitas tinggi.
    Kedua, mencegah terjadinya moral hazard oleh buruh. Sebab, pada hakikatnya perusahaan akan sangat sulit untuk melakukan pengawasan dan kontrol secara perfeksionis sepanjang waktu terhadap buruhburuhnya. Seorang buruh dengan upah rendah akan mudah bersikap lalai dan tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya walaupun ia tahu dampaknya ia bisa dipecat. Tingkat upah yang tinggi akan memberinya motivasi untuk bertanggung jawab dan berproduktivitas tinggi dalam pekerjaannya.
    Ketiga, tingkat upah ini mencegah setiap buruh berkualitas prima meninggalkan perusahaan karena mencari pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya, yang tinggal di perusahaan adalah buruh baru dengan pengalaman kerja minim yang membutuhkan pelatihan dan adaptasi. Semua ini akan mengurangi efisiensi produksi perusahaan.
    Sebenarnya ada titik temu antara buruh dan pengusaha. Pengusaha sesungguhnya masih mampu memenuhi tuntutan para buruh untuk mendapatkan efficiency wages seandainya transaction cost berupa biaya siluman, biaya pelicin, dan lain-lain yang mencapai 30-40 persen dari biaya produksi dapat dihilangkan. Sebagaimana yang diketahui, komponen upah buruh besarnya sekitar 10-15 persen dari biaya produksi.
    Transaction cost yang besar tersebut merugikan baik pengusaha maupun buruh. Memerlukan upaya bersama untuk memangkas bahkan menghilangkan transaction cost tinggi tersebut. Dengan demikian, kesejahteraan buruh bisa ditingkatkan, meskipun upaya ini cukup berat karena harus berhadapan dengan mesin birokrasi negara yang ber-transaction cost tinggi.
    Sebaiknya aksi demo para buruh itu ditujukan kepada mesin birokrasi negara untuk segera membersihkan perilaku ekonomi biaya tinggi tersebut. Begitu juga para pengusaha melalui asosiasi-asosiasinya berani secara tegas mendeklarasikan penolakan terhadap semua bentuk biaya siluman yang membebani mereka selama ini. ●
  • Globalisasi dan Upah Minimum

    Globalisasi dan Upah Minimum
    Razali Ritonga, DIREKTUR STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
    Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012
    Era globalisasi yang kini tengah ber langsung ternyata membawa dampak besar dalam per ubahan sosial ekonomi. Di bidang ekonomi, misalnya, globalisasi menyebabkan perubahan dalam pasar tenaga kerja hampir di semua negara.
    Boleh jadi diskursus sistem pengupahan dengan upah minimum yang diterapkan saat ini semakin tidak relevan pada masa yang akan datang. Sebab, perubahan pengupahan akan mengikuti perubahan dalam pasar tenaga kerja.
    Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu melakukan kajian saksama atas dampak globalisasi terhadap perubahan pasar tenaga kerja dimaksud. Keterlambatan akan kajian itu akan memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air.
    Pasar Tenaga Kerja
    Deeringer dan Piore (1971) membagi pasar tenaga kerja atas empat sektor, yaitu primer, sekunder, informal, dan ilegal. Pembagian tersebut didasarkan pada status pekerjaan, regulasi, upah, dan pajak pendapatan.
    Sektor primer umumnya ditandai dengan tenaga kerja berstatus kerah putih (white collar), memiliki izin usaha, menerapkan sistem pengupahan dan kondisi ketenagakerjaan yang tertata baik, serta membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.
    Sektor sekunder diklasifikasikan pada tenaga kerja kerah jingga (pink collar), yakni kombinasi antara kerah putih dan kerah biru (blue collar), memiliki izin usaha, regulasi yang belum tertata baik, tapi membayar pajak perusahaan dan pajak pendapatan buruh.
    Sektor informal umumnya dikategorikan pada pasar tenaga kerja yang mayoritas tenaga kerjanya tidak dapat mengakses sektor primer dan sekunder. Sedangkan sektor ilegal ditandai pada pasar tenaga kerja yang pekerjanya pada kegiatan kriminal, seperti pelacuran, perjudian, penyelundupan, perdagangan narkotika, dan pembalakan liar hutan.
    Hampir dapat dipastikan setiap negara memiliki keempat sektor itu, namun dengan skala yang berbeda. Sebelum era globalisasi berlangsung, suatu negara dengan skala besar pasar tenaga kerja di sektor primer dapat dikategorikan sebagai negara maju. Sedangkan sektor sekunder sebagai negara transisi dari berkembang ke ne gara maju, dan sektor informal berkutat di negara-negara berkembang. Sementara pasar tenaga kerja sektor ilegal membiak di negara miskin dengan penegakan hukum yang lemah.
    Dari sisi pengupahan, tingkat upah umumnya mengikuti keempat sektor itu. Tingkat upah di sektor primer merupakan yang tertinggi berdasarkan regulasi yang menjadi acuan usaha dan perusahaan.
    Tingkat upah kemudian lebih rendah pada sektor sekunder. Meski tingkat upah sektor ini telah ditetapkan berdasarkan regulasi, namun penerapannya kerap tidak sesuai sehingga rawan konflik. Indonesia termasuk dalam kategori ini, termanifestasi dari unjuk rasa yang kerap dilakukan buruh.
    Selanjutnya, tingkat upah di sektor informal umumnya berada di bawah upah minimum dan ditentukan bukan dengan regulasi, melainkan dengan kesepakatan antara pengusaha dan buruh (bipartit). Kemudian, tingkat upah di sektor ilegal sulit diketahui mengingat aktivitasnya beraliansi tindakan kriminal.
    Efisiensi Versus Upah Minimum
    Namun, pada era globalisasi penggolongan upah menurut kategori itu diperkirakan mengalami perubahan. Perubahan terutama menimpa negara dengan penerapan regulasi yang lemah dalam pendirian perusahaan dan penetapan upah minimum.
    Era globalisasi juga bisa dimaknai dengan kompetisi antarnegara, khususnya kompetisi dalam kegiatan ekonomi. Untuk memenangkan persaingan ditentukan oleh tingkat daya saing.
     
    Semakin tinggi tingkat daya saing suatu negara akan semakin besar peluang untuk memenangkan kompetisi dalam pasar global.
    Aspek terpenting dalam bersaing di kegiatan ekonomi itu adalah efisiensi. Semakin besar efisiensi biaya ekonomi akan semakin besar potensi memenangkan persaingan karena biaya produksi barang dan jasa yang semakin murah.
    Salah satu faktor penting penentu efisiensi adalah upah buruh karena upah buruh yang semakin murah akan memberikan kontribusi yang semakin besar dalam menurunkan biaya produksi. Maka itu, dengan mencermati perubahan dengan basis efisiensi itu, diperkirakan struktur pasar tenaga kerja akan mengerucut ke sektor informal.
    Secara faktual, sektor informal akan memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan sektor formal. Tingginya daya saing sektor informal karena biaya produksi yang lebih murah, yang tidak hanya disebabkan upah buruh murah, tapi juga terbebasnya sektor ini dari biaya lain yang menjadi hak buruh, seperti uang pesangon serta absennya perusahaan dari kewajiban membayar pajak usaha.
    Terjadinya fenomena ini tentu sangat merugikan karena akan menyeret buruh ke dalam jurang kemiskinan akibat tingkat upah yang cenderung semakin rendah.
    Celakanya, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan upah buruh. Sebab, sektor informal belum dilibatkan dalam penetapan upah minimum. Diketahui, penentuan upah minimum masih dalam lingkup formal dengan melibatkan tripartit, yaitu pemerintah, serikat pekerja, dan dunia usaha.
    Meski demikian, untuk mencegah degradasi upah buruh dalam era globalisasi ini, pemerintah masih dapat melakukan dua hal.  Pertama, menerapkan sistem upah minimum tidak hanya untuk sektor formal, tapi juga sektor informal. Kedua, memudahkan persyaratan perizinan untuk mendirikan usaha formal, serta membantu pengembangan usaha formal berskala mikro dan kecil.
    Berbagai upaya kiranya diperlukan guna menyelamatkan nasib buruh dari keterpurukan akibat upah yang rendah. Kehadiran era globalisasi suka atau tidak suka memang harus diterima sebagai konsekuensi dari perubahan zaman. Sebab, menutup pintu dari arus globalisasi itu akan terkucilkan. Meski demikian, kita harus cerdas untuk menyiasatinya agar tidak menjadi korban arus globalisasi. ●
  • Myanmar dan San Suu Kyi

    Myanmar dan San Suu Kyi
    Ismatillah A Nu’ad, PENELITI HUKUM, BEKERJA DI KEMITRAAN/PARTNERSHIP, JAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 11 Februari 2012
    Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi menegaskan, akan mencalonkan diri untuk kursi parlemen dalam Pemilihan Umum Myanmar pada April. Banyak pengamat politik internasional mempertanyakan apakah ini sebagai efek domino dari peranan diplomatik AS yang dewasa ini sangat intens di Myanmar, sehingga seakan-akan Suu Kyi melunakkan diri dalam arus kekuasaan militer di Myanmar.
    Sebab, keputusan Suu Kyi untuk kembali terlibat dalam arus kekuasaan politik bukanlah kali pertama. Pada 1990, partainya, LND, pernah memenangi Pemilu Myanmar meskipun kemudian pemerintahan militer di sana tidak merestuinya.
    Peraih Nobel Perdamaian 1991 itu malah dikenai tahanan rumah karena kemenangannya. Pengaruh politiknya dianggap membahayakan kekuasaan militer. Sejak itulah, sejarah kelam politik dan demokrasi di Myanmar dan Asia Tenggara umumnya berada dalam titik nadir.
    Sepanjang masa penahanannya, putri pahlawan kemerdekaan Burma itu pernah menghirup udara bebas pada 2002. Tapi, itu tak lama karena pada 2003 ia kembali menjadi tahanan rumah. Anaknya yang menetap di London tak pernah bisa menemui dia selama 10 tahun terakhir karena junta militer selalu menolak visanya.
    Perjuangan Suu Kyi menegakkan demokrasi dan menentang rezim militeristik selalu menghadapi risiko yang berbahaya karena dianggap melawan arus.
    Saat dibebaskan, dia disambut ratusan pendukungnya di pintu rumahnya setelah tujuh tahun berada dalam status tahanan rumah. Suu Kyi telah menghabiskan 15 tahun dalam 21 tahun terakhir dalam tahanan rumah. Hukuman tahanan rumah terakhir dijatuhkan pada Agustus 2010 setelah pengadilan memvonisnya melanggar hukum karena membiarkan seorang diplomat Amerika John W Yettaw menginap di rumahnya selama dua malam.
    Kekuasaan militeristik di Myanmar masih eksis, maka demokrasi Myanmar mengalami apa yang diistilahkan Samuel Huntington dalam The Third Wave Democratization (1998) sebagai penurunan gelombang demokrasi. Jika demokrasi ibarat pendulum, demokrasi Myanmar yang kini di posisi bawah mengalami penurunan yang sangat drastis. Demokrasi haruslah diperjuangkan karena merupakan sebuah sistem yang lebih baik. Demokrasi memang bukanlah sebuah sistem yang final digagas manusia, melainkan lebih baik dibanding sistem-sistem lainnya, seperti sistem otokrasi, otoriterisme, monarki, dan sebagainya.
    Ciri-ciri negara demokratis, menurut Huntington, salah satunya adalah kekuatan militer harus kembali ke barak. Tugas militer ialah mengamankan negara dari kemungkinan “serangan musuh“, baik dari dalam maupun luar. Tugas kekuasaan diberikan kepada masyarakat sipil yang representatif dan memenuhi syarat sebagai pemimpin.
    Ciri negara demokratis lainnya adalah kebebasan untuk menyuarakan pendapat, pers dijamin dan diberi kebebasan oleh undang-undang, terjadinya pemilu secara jujur dan adil, serta adanya otonomi masing-masing kelembagaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif (trias politica).
    Masing-masing lembaga itu bekerja sesuai kinerja yang diatur oleh undang-undang dan satu dengan yang lainnya independen tanpa ada campur tangan yang akan melunturkan otonomi kelembagaan.
    Lewat rezim militer pimpinan Jenderal Than Swee, di satu sisi kehidupan politik Myanmar memang kuat, terutama soal keamanan. Tapi, di sisi lain, seperti mekanisme berkenegaraan jelas menjadi tak sehat, otoriterisme menyeruat, serta rakyat ditebar teror-teror penculikan, penahanan, bahkan pembunuhan.
    Hal itu memang menjadi pemandangan umum di negara-negara yang dikuasai militer. Hal tersebut juga pernah terjadi di Indonesia ketika masih dikuasai oleh rezim militer Orde Baru. Mekanisme berkenegaraan yang menakutkan itu pernah dirasakan oleh para mantan aktivis prodemokrasi.
    Pengalaman di Indonesia yang kini menjadi negara demokrasi termaju di Asia Tenggara semasa pemerintahan militer Orde Baru ialah pada setiap lini kehidupan tidak memungkinkan rakyat untuk mengaspirasikan suara dan pendapatnya. Semua kebijakan dikuasai oleh penguasa. Jelas, kebijakan itu tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita rakyat.
    Setiap ada perbedaan, pasti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, teror, dan penistaan terhadap HAM. Banyak kasus-kasus kekerasan dan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru ketika itu, terutama yang terjadi antara 19651966 hingga kini, belum terusut (Cribb: 2003).
    Selain itu, belum lagi kasuskasus kekerasan, seperti di Tanjung Priok, kasus Lampung, DOM di Aceh, serta kasus-kasus yang terjadi mengiringi masa-masa reformasi. Pendeknya, jika militer berkuasa maka negara yang dikuasainya akan dibungkam serapat mungkin.
    Pada era negara-bangsa modern ini, Myanmar masih dikuasai rezim militer. Tentunya akan banyak terjadi fenomena kekerasan yang terjadi di sana, paling tidak karena masyarakat sipil akan terus dibungkam hak-haknya atau setidaknya ada tiga konsekuensi logis yang akan dihadapi secara internal dalam negara Myanmar sendiri.
    Pertama, terjadi penutupan dan pemberangusan hak-hak pendapat dan suara masyarakat sipil. Kedua, sistem pemerintahan trias politica membeku dan diperkosa oleh keinginan-keinginan diktator-militeristik. Undang-undang demokratis jelas diubah oleh peraturan yang berdasar dan selaras dengan kepentingan rezim militer yang ada.
    Dan ketiga, ada pembatasan atau pelarangan serta pemberangusan media-media cetak dan elektronik, selanjutnya media massa akan dikuasai oleh satu gerbong yang dimiliki penguasa militer.
    Sedangkan, relasi antara negara Myanmar dan pergaulan internasional, terutama di kawasan ASEAN, dapat dipastikan mengalami kesenjangan. Dari titik itu pula, sesungguhnya komunitas internasional harus terus menekan Pemerintah Myanmar. Karena, bagaimanapun demokrasi di Myanmar sungguh mengalami ancaman serius dan harus segera dipulihkan. Jika terlambat menyelamatkannya maka proses kepemimpinan militer akan terus mengakar.
    Komunitas internasional harus segera menghentikan rezim militeristik. Bagaimanapun, proses demokratisasi di Myanmar tak boleh terus terpuruk. Negara-negara ASEAN mestinya sudah steril dari kekuasaan militeristik yang otoriter dan diktator, serta membangun kekuasaan demokratis, sehingga proses untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera bisa terwujud secara nyata di kawasan ini. ●
  • Musuh Besar KPK

    Musuh Besar KPK
    Henry MP Siahaan, PENELITI HUKUM, BEKERJA DI KEMITRAAN/PARTNERSHIP, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012
    Ancaman korupsi terbesar pada 2012 dan 2013 akan dilakukan oleh partai politik. Demikian sinyalemen yang disampaikan Indonesia Corruption Watch.
    Ada tiga alasan mengapa sinyalemen ini muncul. Pertama, dari perspektif historis pemilu pasca-Orde Baru, kasus besar selalu terkait parpol dan biasanya terungkap seusai pemilu. Selesai Pemilu 1999 muncul kasus Bank Bali, seusai Pemilu 2004 ada kasus suap cek perjalanan, pasca-Pemilu 2009 ada skandal Bank Century. Kedua, momentum pemilu. Menjelang Pemilu 2014 saat paling membahayakan aset negara, APBN, dan APBD. Parpol akan menyalahgunakan proyek pemerintah untuk kepentingannya (Kompas, 30/1/2012). Ketiga, komitmen pemerintah (pusat-daerah) yang manis dalam janji memberantas korupsi, tetapi lemah implementasi.
    Sinyalamen memosisikan parpol sebagai aktor paling berpotensi yang perlu diwaspadai tak sepenuhnya benar. Apakah parpol dapat bertanggung jawab secara institusional ketika korupsi? Siapa yang dapat menjerat parpol secara hukum dan menjebloskannya ke penjara atau bahkan membubarkannya? Parpol tak dapat dipenjara. Parpol juga tak dapat dibubarkan karena korupsi. Belum ada fakta empiris yang menunjukkan itu.
    Parpol adalah salah satu organ penting demokrasi, meminjam istilah Roberth A Dahl. Parpol tak pernah salah dan tak akan pernah melakukan korupsi. Parpol bukanlah pelaku korupsi, melainkan orang-orang di dalam parpol dapat melakukannya untuk menjalankan mesin parpol. Karena itu, yang perlu diwaspadai adalah setiap individu yang berafiliasi dengan parpol atau lainnya. Jadi, bukan semata-mata politisi.
    Karakter alamiah manusia yang tak pernah puas serta nafsu serakah menggapai kekuasaan dengan cara yang tidak halal akan selalu mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Robert Klitgaard menegaskan, semua aktor—tak terkecuali eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk LSM—dapat korupsi akibat peluang yang dimiliki.
    Menurut Klitgaard, rumus korupsi C>D+M-A. Artinya, korupsi (C) terjadi akibat diskresi (D) dan monopoli (M) yang tak terkontrol serta kurangnya akuntabilitas (-A). Situasi ini sangat tepat menggambarkan kondisi korupsi di Indonesia. Karena itu, yang perlu jadi kesadaran bersama: setiap aktor dapat memanfaatkan semua cara, dengan semua ruang, untuk mewujudkan hasratnya mencari keuntungan.
    Ruang yang dimaksudkan adalah seluruh prosedur, tahapan, mekanisme aturan yang memiliki celah, dan wilayah abu-abu (multitafsir). Namun, pertanyaan selanjutnya, di mana ruang untuk menemukan pelaku korupsi?
    Ruang Korupsi
    Dari data kasus yang ditangani KPK, 2004-2010, secara berurutan menunjukkan ruang pelaku sebagai berikut, pengadaan barang dan jasa (86 kasus), penyuapan (57), penyalahgunaan APBN/APBD (31), pungutan (12), serta perizinan (10). Kasus- kasus ini tali-temali dengan pengadaan barang dan jasa. Ruang ini dikerubuti multiaktor karena peluang dan sistem yang lemah. Karena itu, musuh besar yang harus diperangi KPK di level penindakan dan aksi pencegahan adalah buruknya mekanisme/sistem pengadaan barang dan jasa.
    Menurut pihak KPK, pengadaan barang dan jasa jadi kasus terbanyak karena pasar yang tak terbuka (kolusi panitia-rekanan, kolusi arisan antar-rekanan, monopoli dan premanisme, minimnya akses publik ke pasar pengadaan); kurangnya manajemen; buruknya governance (panitia tak transparan dan akuntabel, penyalahgunaan wewenang, pengawasan internal tidak berfungsi, tak efisien); serta banyaknya kasus tindak pidana korupsi (suap-menyuap, kick back, menyalahi prosedur, mark-up harga, pengaturan tender, kerugian negara).
    Berbagai hal ini terjadi di semua tahap kegiatan pengadaan barang dan jasa, mulai dari perencanaan sampai tahapan penyerahan barang dan jasa.
    Kita tak ingin wabah korupsi terus menggurita. Yang perlu dilakukan untuk membendung kejahatan para pelaku adalah mendorong seluruh instansi pemerintah menerapkan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement). E-procurement merupakan aksi pencegahan dan pendekatan yang baik untuk menghalangi korupsi. 
    Penerapan e-procurement memberi banyak keuntungan, baik dari sisi pengguna maupun penyedia barang/jasa. Dari sisi penyedia, banyak biaya dapat dihemat, seperti biaya transportasi, akomodasi, konsolidasi, dan biaya cetak dokumen. Dari sisi pengguna, layanan pengadaan secara elektronik mendukung iklim persaingan antar-penyedia yang lebih adil dan berkualitas. Pengguna punya lebih banyak pilihan dan mendapatkan penawaran lebih murah dengan kualitas lebih baik.
    Namun, sekali lagi, maukah pemerintah berhenti bermulut manis dan benar-benar beraksi untuk membersihkan negara ini dari korupsi? Saya yakin, negara ini tahu cara-cara strategis untuk membendung korupsi oleh banyak penjahat yang sedang dan mau menggerogoti uang negara. Haruskah negara kalah? ●
  • Etika (Pejabat) Politik

    Etika (Pejabat) Politik
    W Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA;
    DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012
    Ruang publik di Tanah Air kembali dihangatkan suhu politiknya setelah muncul nama Anas Urbaningrum. Beberapa nama politisi Senayan juga disebutkan berkali-kali dalam persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games. Kasus itu sebelumnya menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebagai terdakwa.
    Kali ini, nama Anas disebutkan dalam keterangan resmi dalam persidangan, baik oleh terdakwa maupun beberapa saksi di persidangan. Misalnya, keterangan Direktur Pemasaran Grup Permai Mindo Rosalina Manulang tentang korupsi bersama yang dilakukan beberapa anggota Partai Demokrat, diperkuat keterangan saksi kunci, Yulianis, tentang aliran uang ke Ketua Umum Partai Demokrat (PD).
    Dalam hukum acara pidana, keterangan-keterangan tersebut bisa jadi alat bukti yang kuat untuk membongkar semua konspirasi dugaan korupsi dalam pembangunan wisma atlet.
    Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya serius mendalami kasus dugaan korupsi proyek pembangunan gedung dan sarana olahraga senilai Rp 1,2 triliun di Hambalang, Bogor. Semua nama yang diduga terlibat dalam proyek tersebut dijadwalkan akan dipanggil untuk pemeriksaan lebih lanjut, termasuk Anas.
    Sebagaimana diketahui, nama Anas beberapa kali disebut Nazaruddin sebagai dalang dalam proyek Hambalang. Hal itu diperkuat pernyataan Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono yang mengaku pernah dimintai tolong oleh Anas untuk melobi Kepala Badan Pertanahan Nasional agar membebaskan lahan Hambalang.
    Bukti-bukti yang semakin mengarah ke petinggi Partai Demokrat itu telah menyampaikan pesan di ruang publik politis mengenai semakin kenyalnya persenyawaan antara politik dan konspirasi ekonomi, yang bersimbiosis mutualisme. Tak mungkin kuasa politik akan diraih tanpa dukungan politik uang, yang hanya bisa diperoleh melalui eksploitasi proyek-proyek, dan pada ujungnya telah membelokkan aliran uang negara dari APBN ke arena transaksi politik di kalangan elite.
    Kisah Century yang tak tuntas hingga kini seharusnya jadi cambuk untuk menuntaskan pengungkapan kasus-kasus korupsi politik, yang selama ini tak mudah dibongkar karena dominannya kepentingan politik. Akibatnya, ayunan pedang dewi keadilan tak jarang melemah.
    Ayunkan Pedang Keadilan
    Kini hanya pedang Damocles, seperti yang pernah diletakkan di atas takhta Raja Dionysius di Syracuse Sisilia (406-307 SM), yang membuat Damocles insaf akan bahayanya sebuah kekuasaan jika pedang dewi keadilan tersandera kepentingan politik.
    Agar pedang dewi keadilan bisa berayun menegakkan keadilan, harus diawali dengan hadirnya etika politik. Etika politik tak hanya berkutat pada perilaku para politisi, tetapi juga berkelindan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, serta struktur sosial, politik, dan ekonomi.
    Dari dalam diri sang pelaku/politisi harus lahir keutamaan yang merupakan faktor stabilisasi tindakan. Keutamaan itu akan berpengaruh terhadap efektivitas praktik penegakan hukum, peran institusi penegak hukum ataupun institusi politik.
    Institusi hukum, politik, ataupun ekonomi gagal melaksanakan peran sesuai mandat karena absennya etika (pejabat) politik. Kuasa selalu membutuhkan dana untuk menopangnya. Hal itulah yang telah menjadikan negeri ini melaksanakan demokrasi yang tengah mengalami defisit integritas dan akuntabilitas, menegakkan hukum minus keadilan, dan sejenisnya.
    Anthony Giddens menyatakan bahwa kejahatan struktural selalu dimulai dari kejahatan moral di ranah privat individu dan kolektif. Guna memutus mata rantai kejahatan struktural perlu dimulai dari kesadaran individual dan kolektif dari para pejabat politik untuk menegakkan etika (pejabat) politik. ●
  • Membangun Kedaulatan Pangan

    Membangun Kedaulatan Pangan
    Dwi Andreas Santosa, KETUA PS S-2 BIOTEKNOLOGI TANAH DAN LINGKUNGAN;
    AKTIF DI GERAKAN PETANI
    Sumber : KOMPAS, 11 Februari 2012
    Di suatu siang yang terik pada 18 Januari 2012 lalu, penulis berkesempatan berbincang dengan seorang petani (wanita) di suatu desa di Distrik Medak, Andhra Pradesh, India. Di hadapan kami terbentang luas ladang yang ditanami sekitar 20 jenis tanaman.
    Tanaman-tanaman tersebut tumbuh subur di tengah cuaca kering tanpa hujan selama enam bulan terakhir. Tanah seluas hampir 10 hektar tersebut semula adalah tanah kering tidak produktif yang dibeli bersama-sama oleh kelompok petani wanita (sanghams) dari seorang tuan tanah sekitar 20 tahun silam. Sistem pengelolaan berbasis agroekologi yang mereka lakukan ternyata mampu membalikkan kondisi tanah: dari yang semula tidak produktif menjadi produktif.
    Gerakan ”kedaulatan pangan” tersebut perlahan-lahan membesar dan sejak tahun 2000-an mulai diadopsi menjadi gerakan massal petani kecil di India. Mereka mengembangkan benih, membuat pupuk organik, pestisida nabati, menanam berbagai varietas tanaman lokal di ladang-ladang mereka, dan mengembangkan lumbung pangan sendiri. Melalui gerakan semacam itu, terjadi peningkatan produksi pangan yang tinggi di wilayah-wilayah tersebut, yang mampu menopang kebutuhan pangan setempat dan komunitas di luar mereka.
    Krisis Ketahanan Pangan
    Kondisi yang bertolak belakang kita alami saat ini di Indonesia. Presiden dalam pembukaan ”Jakarta Food Security Summit, Feed Indonesia Feed The World 2012” menyatakan tidak mudah meningkatkan produksi pangan dunia di masa depan (Kompas, 8 Februari 2012). Alih-alih akan memberi makan dunia (feed the world), perkembangan produksi pangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini justru mengarah yang sebaliknya.
    Apabila kita bandingkan data perdagangan pangan periode 2009/2010 dengan periode 2010/2011, terjadi peningkatan luar biasa impor pangan. Impor beras meningkat 141 persen, jagung 89 persen, dan kedelai 19 persen (USDA, Desember 2011). Impor gandum yang tahun sebelumnya sudah menembus angka di atas 5 juta ton, pada periode sekarang masih meningkat lagi dan mencapai 6,6 juta ton atau peningkatan sebesar 23 persen. Total impor biji-bijian, termasuk tepung, untuk periode 2010/2011 mencapai 17,2 juta ton, suatu angka impor yang fantastis.
    Ironisnya, bukan hanya berbagai ”pangan pokok” tersebut, rak-rak supermarket di Indonesia 60-80 persen diisi buah-buahan impor. Impor apel, anggur, pir, dan jeruk pada 2010/2011 meningkat masing-masing sebesar 37, 39, 44, dan 19 persen dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.
    Terdapat berbagai permasalahan besar yang menyebabkan produksi pertanian kita stagnan, bahkan cenderung menurun. Iklim selalu menjadi ”kambing hitam” jika terjadi penurunan produksi pertanian di Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa pada kondisi musim kering berkepanjangan produksi pertanian biasanya menurun. Akan tetapi, dalam kondisi yang relatif normal, terlalu naif menyalahkan iklim sebagai biang keladi penurunan produksi.
    Salah satu penyebab terkait hal tersebut adalah ketidakmampuan kita mengelola air. Hanya 10 persen air irigasi yang bisa dikendalikan, 50 persen jaringan irigasi strategis nasional di Pulau Jawa rusak, dan 27 persen seluruh jaringan irigasi nasional perlu rehabilitasi ringan hingga berat (DA Santosa, ”Waspadai Pangan 2012”, Kompas, 11 November 2011).
    Lahan pertanian merupakan persoalan besar lainnya. Dengan luas lahan pertanian pangan yang hanya 358 meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan juga dengan lahan kering, upaya dan terobosan apa pun untuk peningkatan produksi akan mengalami jalan buntu. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Angkanya 100.000 hingga 110.000 per hektar per tahun. Padahal, lahan-lahan pertanian itu sebetulnya sudah ”dilindungi” oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
    Teknologi peningkatan produksi juga memiliki keterbatasan. Stagnasi peningkatan produksi melalui asupan teknologi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang merupakan salah satu eksportir pangan dunia, produktivitas tiga jenis tanaman utama mereka (gandum, jagung, dan kedelai) tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tahun 1980-an. Upaya melalui teknologi transgenik yang sudah diterapkan sejak tahun 1996 untuk empat jenis tanaman, yaitu jagung, kedelai, kanola, dan kapas, juga tidak membawa dampak positif terhadap produktivitas tanaman tersebut.
    Membangun Kedaulatan Pangan
    Lalu, bagaimana upaya-upaya yang dapat kita kerjakan pada masa depan? Gerakan petani kecil di India yang diulas sebagai pengantar tulisan ini dapat dijadikan contoh nyata bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya dikembalikan ke ranah petani kecil.
    Konsep yang mereka kembangkan sangat berbeda dibandingkan dengan konsep ketahanan pangan yang menempatkan pangan sebagai komoditas perdagangan serta pemisahan tegas antara produsen, pedagang, dan konsumen. Petani kecil di India memahami kedaulatan pangan dengan bahasa yang sangat sederhana, yaitu pangan lokal, produksi lokal, penyimpanan lokal, dan distribusi lokal.
    Melalui gerakan kedaulatan pangan yang dirintis lembaga nirlaba Deccan Development Society (DDS), yang melibatkan para petani di 77 desa, mereka berhasil memproduksi pangan (biji-bijian) ekstra sebesar 2.000.000 kilogram per tahun. Melalui program ini pula mereka menciptakan 250.000 lapangan kerja harian dan mampu menyumbang pangan bagi 50.000 penduduk miskin (DDS, 2008).
    Sebagaimana di Indonesia, Pemerintah India dalam upaya penanggulangan kemiskinan juga melakukan program bantuan pangan untuk masyarakat miskin, yang dikenal dengan Public Distribution System. Dibandingkan dengan program pemerintah tersebut, program yang mereka kerjakan jauh lebih efisien. Hanya Rp 1 per Rp 7 rupiah pengeluaran pemerintah yang benar-benar diterima oleh masyarakat sasaran.
    Pengeluaran terbesar adalah untuk administrasi, transportasi, dan distribusi pangan. Sebaliknya, melalui gerakan kedaulatan pangan, setiap Rp 1,6 dana yang dikeluarkan, sebesar Rp 1 akan diterima langsung oleh masyarakat sasaran.
    Pemerintah India mendukung dan mendanai gerakan kedaulatan pangan yang dimotori oleh lebih dari 500 organisasi akar rumput. Gerakan tersebut menjadi salah satu pilar yang berhasil membantu Pemerintah India menyediakan pangan bagi 1,21 miliar penduduknya. Ketika Indonesia dengan jumlah penduduk 241 juta jiwa harus mengimpor belasan juta ton bahan pangan, sebaliknya India pada tahun 2011 mampu mengekspor beras sebesar 4,5 juta ton, jagung 2,2 juta ton, dan tepung kedelai sebesar 4,2 juta ton.
    Indonesia masih memiliki 23,24 juta lahan kering yang bisa digunakan untuk memproduksi pangan, yaitu seluas 8.136.646 hektar di dalam kawasan hutan dan 15.106.234 hektar di luar kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2002). Lahan seluas itu potensial untuk menghasilkan 25 juta ton hingga 50 juta ton biji-bijian atau 75 juta ton hingga 150 juta ton umbi-umbian per tahun.
    Petani kecil memiliki potensi besar untuk mengubah hitungan tersebut menjadi kenyataan, bukan korporasi atau para pemburu rente ekonomi. ●