Blog

  • Melogikakan ISI Menjadi ISBI

    Melogikakan ISI Menjadi ISBI
    Purnawan Andra, ALUMNUS JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN ISI SURAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 20Februari 2012
    GAGASAN mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) sebagaimana gagasan Mendikbud M Nuh adalah polemik yang tiba-tiba menggelinding tak keruan di antara karut-marut peristiwa sosial negara kita yang juga makin tak jelas juntrungnya. Gagasan itu seperti mendasarkan pada logika pertanyaan lelucon bagi anak kecil: dahulu mana antara telur dan ayam?

    Seni adalah bagian dari kebudayaan, berupa wujud cipta karya rasa manusia yang digunakan dalam masyarakatnya, dalam waktu cukup lama. Seni dan budaya bagai sisi mata uang, sama-sama membicarakan hasil rasa, cipta, dan karsa buah peradaban manusia. Budaya sebagai ilmu yang berdiri sendiri sesungguhnya telah terepresentasikan dalam berbagai jurusan humanologi, seperti seperti seni sastra, tari, musik, dan visual.

    Hal itu mengartikan institusi pendidikan seni tidak dapat lepaskan dari aspek atau unsur humanologi karena basis seni terletak pada kehidupan masyarakat. Artinya ketika kita membicarakan kebudayaan berarti membicarakan produk seni dan bukan seni. Begitu pun kemudian dikenal adanya produk benda (tangible) dan bukan benda (intangible). Dengannya, mempelajari seni budaya suatu bangsa berarti memahami nilai, perilaku, etika, dan mindset yang terwujud dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi, sosiologi, etnografi,  termasuk seni.

    Namun selama ini kebudayaan tereduksi maknanya, menyempit dan dipahami sebagai bentuk kesenian. Padahal, seturut Soediro Satoto (2003) seni merupakan lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun budaya yang amat kaya nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun oleh seni pertunjukan. Artinya, dalam mempelajari seni, maka juga harus memahami wawasan kebudayaan. Keduanya saling terkait dan menyusun satu sama lain.

    Mendikbud, yang notabene mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya rupanya menganggap ilmu kebudayaan sama dengan entrepreneurship ataupun leadership. Ilmu-ilmu tersebut memerlukan bakat, dan bakat membutuhkan instrumen untuk mencetak budayawan melalui proses eksplorasi yang sistemik.

    Inti Permasalahan

    Dalam pemikirannya, ISBI diharapkan melakukan fungsi konservasi budaya, dari menggali sampai merawat produk budaya dan seni. ISBI diharapkan dapat mempromosikan dan membangun warisan budaya. Terlebih dalam era industri kreatif saat ini, seni budaya pada akhirnya diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan bangsa.

    Pada titik ini seni budaya difungsionalisasikan secara mekanistik. Dalam analisis Purwasito (2012) fungsi budaya kemudian dianggap sejajar dengan fungsi politik dan ekonomi. Seni berada dalam wilayah pendidikan vokasi, yang dimaknai hanya sebagai keterampilan, sebuah aktivitas kreasi dan eksperimentasi. Akibatnya imaji diukur sebagai sebuah keberhasilan usaha (jasa), bukan peningkatan representasi dan refleksi nilai kemanusiaan.

    Memahami kesenian tak sekadar mencicipi kuliner, atau mengabadikan alam dalam potret yang indah. Kesenian adalah bagian dari kebudayaan, berupa cita rasa, keanggunan memahami kehidupan, dan titik kulminasi antara manusia dan lingkungannya.

    Paradigma pendidikan seni budaya ISI yang terkait dengan visi misi dan substansi kurikulumnya yang lebih kompetitif dan aplikatif, kiranya menjadi inti permasalahan yang patut segera disikapi secara riil. Pasalnya, di satu sisi hal itu akan membuktikan pembelajaran pemahaman kita atas budaya intelektual (kesenian).

    Terlebih dalam konteks saat ini, seni menegaskan dirinya sebagai bagian ilmu pengetahuan yang inter dan multidisiplin sehingga nantinya mampu mengambil bagian dalam dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat.

    Jadi, kalau hanya mengubah nama ISI menjadi ISBI tapi tak mampu mengurusi seni budaya bangsa dengan baik, ngapain?

  • Kesehatan dan Produktivitas Bangsa

    Kesehatan dan Produktivitas Bangsa
    Siti Nurhayati, PEKERJA SENI,
    ALUMNUS PASCASARJANA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB
    Sumber : SUARA KARYA, 20Februari 2012
    Kesehatan sangat erat kaitannya dengan produktivitas bangsa. Salah satu faktor penentu kesehatan adalah gizi. Dalam bukunya berjudul Fortifikasi: Program Gizi Masa Depan?, Prof Soekirman, Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) menggarisbawahi pernyataan Bank Dunia (2006). Pada waktu para pakar ekonomi terkenal dunia yang sedang berkonferensi di Copenhagen tahun 2004 ditanya oleh peserta, dari dana 50 miliar dolar AS yang disediakan untuk investasi pembangunan negara-negara berkembang, prioritas alokasi sebaiknya diberikan pada program apa?
    Mereka menjawab, prioritas pertama pada program penanggulangan HIV/AIDS. Dan, yang kedua, pada program gizi untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin dan mineral atau kekurangan gizi mikro.
    Uniknya, tiga di antara para pakar ekonomi di atas adalah pemenang nobel. Masalahnya, selama ini kita jarang sekali mendengar pakar ekonomi berbicara tentang masalah gizi, apalagi menjadikan masalah gizi sebagai salah satu prioritas pembangunan. Bagi banyak orang, masalah gizi dianggap sebagai masalah kesehatan semata, dan bukan masalah ekonomi ataupun masalah pembangunan.
    Banyak perencana dan pengambil kebijakan pembangunan, kurang menghargai pentingnya investasi di bidang gizi untuk pembangunan, khususnya pembangunan sumberdaya manusia (SDM). Mereka baru ramai-ramai bicara soal gizi ketika sedang terjadi bencana kelaparan dan munculnya banyak balita yang gizi buruk akibat kurang energi (kalori) dan protein yang dikenal dengan Kurang Energi Protein (KEP). Sehingga menurut Prof Soekirman, perlu adanya transformasi “bahasa gizi” ke dalam “bahasa ekonomi”.
    Secara ekonomis, membiarkan anggota keluarga atau masyarakat mempunyai masalah gizi berarti membiarkan potensi keluarga, masyarakat atau bahkan bangsa hilang begitu saja. Potensi itu dapat berupa pendapatan keluarga yang tidak dapat diwujudkan oleh karena anggota keluarga yang produktivitasnya rendah akibat kekurangan gizi waktu balita. Bagi suatu negara, potensi yang hilang itu dapat berupa pendapatan nasional atau PDB (Pendapatan Domestik Bruto) atau PDB. Menurut penelitian, PDB yang hilang akibat kekurangan energi protein, kurang zat besi dan kurang yodium pada anak dan dewasa di Pakistan dan Bangladesh berkisar 2-5% dari PDB.
    Keluarga dan masyarakat yang menyandang masalah gizi, maka bangsa ini akan kehilangan potensi SDM yang berkualitas. Masalah yang akan dihadapi, antara lain banyak anak tidak maju dalam pendidikan di sekolah, karena kecerdasannya berkurang. Banyak anggota masyarakat dewasa yang produktivitasnya rendah, karena pendidikan dan kecerdasannya kurang atau kemampuan kerja fisiknya juga kurang, keluarga dan pemerintah mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi, karena banyak warganya yang mudah jatuh sakit karena kurang gizi; serta meningkatnya angka kematian pada usia produktif sehingga merupakan penggerogotan SDM.
    Hal ini harusnya menyadarkan kita bahwa membangun masyarakat tidak cukup dengan membangun jalan, jembatan, gedung, pabrik, perkebunan dan prasarana ekonomi lainnya. Investasi di bidang prasarana ekonomi tidak akan dinikmati rakyat banyak tanpa disertai investasi yang sepadan untuk pembangunan sosial terutama di bidang pangan, gizi, kesehatan dan pendidikan.
    Terlepas dari kontroversi angka kemiskinan yang hingga kini belum usai, yang jelas kemiskinan ini hanya bisa diatasi manakala setiap individu yang masuk dalam kategori produktif, mempunyai akses ke dunia kerja. Dengan kata lain, mampu bekerja. Terungkap bahwa struktur pendidikan angkatan kerja kita sangatlah rendah. Yakni, lebih dari 63,2% angkatan kerja kita berlatar belakang pendidikan dasar, bukan pendidikan tinggi. Yang justru tertampung di dunia kerja adalah mereka yang hanya berlatar belakang pendidikan hingga tamat SD, atau tidak sekolah sama sekali.
    Berbicara kaitan gizi dan ekonomi, peraih hadiah Nobel Ekonomi, Armatya Sen, mengatakan, terjadinya gizi buruk dan kelaparan bukan semata-mata terkait kurangnya bahan pangan di suatu negara, tapi juga akibat akses pangan yang rendah serta lemahnya daya beli masyarakat. Artinya, ketersediaan pangan secara nasional tidak cukup untuk menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga.
    Oleh karena itu, seperti temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab, masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik. Sen, dalam bukunya Inequality Reexamined (1992) menandaskan tentang pentingnya akses dan aspek kebebasan. Sen memberi contoh, seorang yang berpuasa mungkin memiliki kemiripan dalam hal jumlah makanan dan gizi dibandingkan dengan mereka yang miskin dan terpaksa lapar. Namun, mereka yang berpuasa dan tidak miskin memiliki kapabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang miskin (yang pertama dapat memilih untuk makan enak, sedangkan yang kedua tidak).
    Itu sebabnya, kemiskinan harus dipandang dalam konsep ini. Orang miskin itu menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena akses yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.
    Bisa dibayangkan, jika untuk makan saja sulit, apalagi menyediakan kebutuhan kadar gizi yang baik bagi anak-anak? Persoalan keterbelakangan kualitas gizi menghantui banyak keluarga. Masyarakat miskin makin jauh dari kehidupan yang standar. Dengan demikian, akses kesehatan pun menjadi hal yang langka.
  • Bidadari Pun Lupa Diri

    Bidadari Pun Lupa Diri
    Budiyati Abiyoga, PRODUSER FILM
    Sumber : KORAN TEMPO, 18Februari 2012
    Iklan salah satu pewangi tubuh pria mengklaim bahwa wangi seksinya membuat bidadari jadi lupa diri. Hal itu merusak image(citra) standar tentang bidadari yang lembut, putih luar-dalam, yang andaikan jatuh cinta dia masih akan sangat memilih-milih. Tapi, seperti halnya humanisme sudah disikapi secara jungkir-balik sehingga hal-hal yang tidak humanis dapat dipandang sebaliknya, “bidadarisme” tampaknya juga senada. Jadi, mungkin bukan cuma dua bidadari yang lupa diri sampai turun ke bumi, yang setting di iklan itu bukan di Indonesia, tapi tidak terhitung lagi jumlahnya yang memilih bumi Nusantara karena banyaknya wangi seksi di sini. Keseksian bukan sekadar berasal dari pewangi tubuh pria, tapi juga dari banyaknya uang panas berseliweran melalui “skim” jalur eksekutif, legislatif, sampai yudikatif.
    Tidak ada hari tanpa berita tentang begitu mudahnya uang dalam jumlah superbesar, dengan sumber patut dipertanyakan, mengalir ke berbagai arah. Tokoh-tokoh di baliknya menduduki posisi yang pantasnya terhormat, karena mewakili rakyat atau dipercaya mengelola dan mengawasi anggaran yang dibiayai rakyat. Terkait dengan dugaan terhadap satu tokoh tersangka Nazaruddin saja, Koran Tempo edisi Selasa, 14 Februari 2012, menginformasikan aliran dana yang gila-gilaan. Sulit bagi saya mencerna bagaimana dana bermiliar-miliar bisa ditilep dalam waktu relatif singkat.
    Jadi, tindakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana memergoki pertemuan menjelang tengah malam antara Nazaruddin dan pengunjungnya semestinya diapresiasi karena memfokuskan perhatian pada kasus “tokoh super” itu, yang sudah ada indikasi dugaan bahwa keterkaitannya bukan semata pada kasus yang sedang disidangkan saja, namun akan menyusul kasus-kasus lainnya, termasuk yang sudah ditetapkan adalah sebagai tersangka pencucian uang.
    Ada banyak kritik bahwa tindakan Wakil Menteri semata untuk membangun citra, karena kemudian diinformasikan luas. Padahal kasus semacam sudah banyak terjadi sejak jauh sebelum era reformasi di semua lapas di Ibu Kota maupun di daerah-daerah. Sampai-sampai ada sindiran supaya Pak Wakil Menteri menjadi satpam lapas saja. Informasi terbuka dari Wamen mengenai hal itu, menurut hemat saya, tetap penting. Bukan soal citra, yang pasti sangat diketahuinya sudah tidak mempan lagi dalam situasi publik sekarang ini yang keburu trauma dengan hal-hal yang berhubungan dengan pencitraan. Melalui keterbukaan informasi itu, kontrol sosial bisa lebih terfokus pula, sehingga benang merah keterkaitan satu sama lain dapat lebih dicermati. Keterbukaan informasi mengenai Nazar juga penting dalam situasi gencarnya ulasan tentang peran tersangka sebagai whistle blower yang salah-salah bisa memposisikan dia menjadi “superhero”.
    Apakah penyimpangan yang sulit diterima akal sehat itu terjadi sebatas yang terkait dengan tokoh Nazar saja? Apakah aliran-aliran serupa, lebih kecil atau lebih besar jumlahnya, juga terjadi di mana saja, kapan saja, sesuka-suka? Kondisi ini membuat kita sulit mempercayai sistem pengelolaan negeri kita, sekalipun bisa saja kita berpendapat bahwa bukan sistemnya yang salah, melainkan perorangan atau kelompok orang di balik sistem itu. Mungkin juga sistem formalnya cukup baik, tapi pelaksanaannya memungkinkan celah untuk penyimpangan dan memungkinkan terbangunnya sistem-sistem bayangan yang justru menjadi acuan karena menggiurkan.
    Terkait dengan uang panas yang membara di banyak aliran, menjadi sangat penting hak publik untuk bisa mencermati alokasi dana-dana besar dalam APBN sampai pada proses realisasi penggunaannya. Publik pada umumnya kurang memahami detail APBN yang sumbernya adalah uang rakyat itu. Keputusan perencanaan dan pengawasannya sudah dipercayakan pada sistem kenegaraan yang ternyata realisasinya sering kali tidak bisa dipercaya. Dalam situasi seperti ini, hak publik dapat diakomodasi melalui keterlibatan konsultan strategis-independen, dengan pendekatan utama bottom-up. Perannya seperti “mata-Suleman”, Sang Nabi yang menggali informasi langsung dari warganya untuk menetapkan keputusan penting menyangkut kemaslahatan rakyat. Untuk kondisi sekarang, dengan berbagai masalah multidimensi yang menerpa negeri kita, perlu digabungkan Operation Research dan metode konvensional-tradisional yang dikerjakan Sang Nabi. Prioritas telaah pada burning issue yang saling terkait satu sama lain: dalam sistem sosial adalah korupsi, kemiskinan-kesehatan-pendidikan-ketenagakerjaan, sedangkan dalam sistem ekologis adalah perusakan biodiversity, sumber daya air, pertanahan.
    Keterlibatan “mata-Suleman” akan mendorong birokrasi melaksanakan kewajibannya yang utama dalam pelayanan publik. Hal ini akan sangat membantu pemerintah untuk benar-benar bersama rakyat mencermati penggunaan dana, sebagai upaya preventif atas penyimpangan dan upaya penghematan melalui review yang diperlukan. Jadi, bukan menunggu terjadinya kebobolan.
    Untuk APBN, kita memerlukan hourly supervision, pengawasan melekat, yang bukan sebatas dari unsur inspektorat pengawasan pengguna anggaran sendiri. Dalam hal ini saya teringat parodi film Hollywood berjudul Dave, yang menceritakan ihwal oknum-oknum di dekat Presiden yang merahasiakan sakitnya sang Presiden dengan menggantikan penampilannya oleh seorang komedian bernama Dave, yang wajahnya mirip dan memang sering menirukan sikap Presiden dalam pertunjukannya. Ternyata Dave tidak mau didikte para oknum. Dia membuat keputusan-keputusan keuangan yang “sederhana” menggunakan penasihat temannya yang ekonom dan pengusaha kecil saja, sehingga justru mampu melihat pemborosan besar dalam anggaran. Dave berhasil mengegolkan keputusannya yang di luar skenario para oknum karena melibatkan kehadiran media. Peran media sebagai pengontrol sosial dalam sistem demokrasi memang tidak dapat dimungkiri. Film ini memunculkan cameo(penampilan sebagai dirinya sendiri) beberapa Senator Amerika, termasuk hostTV terkenal Larry King.
    Nah, dengan mata-Suleman, kita bisa menggunakan mata panah sederhana dan kecil saja, tapi yang benar-benar mengenai sasaran yang tepat. Dengan kondisi ini, bidadari bisa tetap lupa diri, bukan karena uang berseliweran, melainkan karena indikasi nyata negeri kita menuju visi gemah ripah loh jinawi yang dimimpikan sejak zaman nenek moyang kita. ●
  • Selebritisasi dalam Kasus Korupsi

    Selebritisasi dalam Kasus Korupsi
    Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
    Sumber : REPUBLIKA, 18Februari 2012
    Mencermati kasus korupsi yang semakin marak saat ini, masyarakat diperlihatkan sejumlah tersangka yang merupakan public figure(orang-orang terkenal), baik pejabat di instansi pemerintahan, pengusaha, maupun selebritas. Karena jabatan dan popularitasnya itu, mereka pun dengan mudah makin menjadi terkenal lagi.
    Dengan kondisi tersebut, ada sifat saling timbal balik antara selebritas dengan kasus korupsi pada saat ini. Siapa pun yang terlibat dalam kasus korupsi memiliki peluang besar untuk hadir sebagai selebritas. Demikian pula ketika seorang selebritas terjerat dalam kasus korupsi, pastilah popularitasnya sebagai pesohor semakin menjulang tinggi.
    Karakteristik resiprokal ini mampu terjadi karena peranan media massa dalam menyoroti kasus-kasus korupsi. Media sede mi kian masif dalam menyajikan aspek spektakularitas kasus korupsi. Kekuatan media yang menyajikan pemberitaan kasus-kasus korupsi sangat luar biasa sehingga menarik perhatian publik. Maka, hadir gejala yang disebut sebagai selebritasasi kasus korupsi. Tidak sekadar selebritas yang terlibat kasus korupsi. 
    Namun, kasus-kasus korupsi itu sendiri mampu me lahirkan sejumlah selebritasnya sendiri. Sorotan media terhadap penetapan Angelina Sondakh se ba gai tersangka dalam kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games berada dalam wilayah ini.
    Tiga Masalah
    Aspek spektakularitas dari kasus-kasus korupsi yang dihadirkan media, paling tidak mengungkapkan tiga masalah. Pertama, uang negara yang berhasil diambil dan dinikmati para tersangka, terdakwa, maupun terpidana korupsi jumlahnya miliran rupiah. Dalam situasi rakyat yang ditenggelamkan kemiskinan, nilai uang seba nyak itu terasa sangat fenomenal. Biasanya media membandingkan uang hasil korupsi itu dengan jumlah sekolah, rumah, atau fasilitas umum yang bisa dinikmati ribuan orang kecil. Di situ muncul perbincangan tentang hukuman terlalu ringan yang tidak mampu menimbulkan efek jera bagi kalangan pembobol uang negara tersebut.
    Kedua, menyangkut modus atau cara kalangan pelaku korupsi mengeruk uang negara. Dalam kaitan ini, media menyajikan fakta di persidangan, investigasi, mau pun pengakuan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada kasus korupsi yang dijalankan dengan tek nik menggelembungkan nilai proyek, penunjukan langsung re kanan, ataupun suap dalam pemi lih an pejabat publik dan ketua umum partai politik. Apa yang di sajikan media tentang hal ini ialah kelihaian, kelicinan, dan kepiawaian para pelaku korupsi da lam melakukan rekayasa dan permainan teater yang dramatis. Pada wilayah ini bisa dilihat ba gaimana para tersangka korupsi berupaya menghapuskan jejak-jejak perilaku mereka, entah dengan mengubah identitas atau kabur ke negara lain dengan dalih melakukan pemeriksaan kesehatan.
    Ketiga, berkenaan dengan siapa saja yang terlibat dalam kasus korupsi. Media menampilkan figur-figur yang biasanya mempunyai status sosial yang mapan. Pejabat dalam birokrasi negara, pengusaha berlimpah harta, para pengurus partai politik yang sedang berkuasa, dan sosialita yang dikenal glamour kehidupannya sering terlibat dalam kasus-kasus korupsi. Gejala ini membuktikan bahwa korupsi selalu melibatkan jaringan dari sosok-sosok yang memiliki modal ekonomi dan kekuasaan politik yang sangat kuat. Kehadiran para pengacara terkenal (yang tentu saja berharga mahal) yang mendampingi mereka saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun dalam persidangan adalah bukti selanjutnya tentang betapa tingginya kuasa finansial dan kuasa jabatan dari figur-figur yang tersangkut kasus-kasus korupsi.
    Tiga Sumber
    Mengapa kasus-kasus korupsi memiliki efek selebritasasi? Apa itu selebritas? Secara ringkas, selebritas dapat dimaknai sebagai orang yang terkenal, pesohor. Dalam kasus-kasus korupsi, selebritasasi bergulir karena mereka yang terlibat pencurian uang negara itu adalah sekian banyak profil yang telah dikenal masyarakat. Atau, jika tidak demikian, pemberitaan media yang begitu kolosal terhadap suatu kasus yang melibatkan peran sentral dari seseorang yang belum terkenal, menjadikan sosok itu perlahan-lahan makin populer. Hal ini disebabkan figur itu terlibat dalam pencurian uang negara bernilai miliaran rupiah dengan menggunakan modus yang begitu licik.
    Media pun punya fungsi sosial spesifik. Merujuk gagasan Richard T Schaefer (Sociology: Tenth Edition, 2007), media berfungsi menegakkan norma-norma sosial. Mekanismenya tidak dengan menunjuk langsung orang yang dinilai berperilaku baik, melainkan dengan menampilkan oknum-oknum tertentu yang melanggar harapan-harapan sosial. Serentak dengan itu, media memberikan status pada seseorang dan kejadian tertentu. Kasus korupsi yang menyita perhatian publik otomatis menjadikan sosok tersebut terekspos begitu luas. Di situlah sesosok selebritas lahir. Bukan dari dunia hiburan, melainkan dari wilayah kejahatan.
    Jadi, selebritas tidak cuma muncul dari dunia hiburan. Status selebritas, ungkap Chris Rojek (Celebrity, 2001), datang dari tiga sumber. Pertama, selebritas    terberikan (ascribed celebrity) yang la hir dari garis keturunan. Keluarga Kennedy di Amerika Serikat me raih status selebritas. Keluarga Soekarno, Soeharto, atau Susilo Bambang Yudhoyono niscaya menyandang status serupa. Kedua,          selebritas karena prestasi (achie ved celebrity) pada bidang tertentu yang digemari masyarakat. Misalnya saja, Chris John dalam tinju, Mike Mohede dalam Indonesian Idol, atau Angelina Sondakh dalam Putri Indonesia. Ketiga, selebritas yang diatribusikan (attributed celebrity) akibat daya eks pansi pemberitaan media. Siapa pun, terlebih lagi yang terlibat skandal korupsi, berpeluang dinobatkan sebagai selebritas. Mu hammad Nazaruddin, Miranda S Goeltom, dan Artalyta Suryani me rupakan beberapa figur yang bisa dirujuk.
    Status selebritas itu begitu lengkap pada kasus Angelina Sondakh. Pertama, Angelina pernah menyabet gelar Putri Indonesia 2001. Kedua, Angelina berposisi sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, sebuah partai politik yang tokoh sentralnya ialah Susilo Bambang Yudhoyono. Ketiga, Angelina adalah janda dari mendiang Adjie Massaid yang terkenal sebagai politikus dan selebritas. Dan, keempat, Angelina tersangkut kasus korupsi yang menempatkan Nazaruddin sebagai terdakwa yang namanya telah di kenal luas publik. Pada kasus ini, Angelina diduga mengetahui peran penting Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. 
  • Drama Penyangkalan Angie

    Drama Penyangkalan Angie
    Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 18Februari 2012
    Laiknya pentas drama, sidang tindak pidana korupsi (tipikor) yang menghadirkan saksi Angie alias Angelina Sondakh berlangsung “memukau”. Angie mampu menampilkan “keaktorannya” secara profesional. Ekspresi wajahnya dingin, intonasinya datar, dan kata-katanya serba pasti dan tandas.
    Sebagai salah satu saksi kunci, ia menyangkal berbagai kesaksian dari para saksi lain dalam kasus dugaan korupsi wisma atlet, seperti Mindo Rosalina Manulang, soal percakapannya melalui BBM, seputar “Apel Malang”, “Apel Washington”, “Bos Besar”, “Ketua Besar”, “Semangka”; simbol-simbol yang memiliki makna uang suap dan nama-nama tokoh politik yang diduga terlibat.
    Ia juga menyangkal pernyataan terdakwa M Nazaruddin seputar pembagian uang dalam kongres Partai Demokrat untuk memuluskan jalan bagi Anas Urbaningrum menjadi ketua umum partai. Angie sangat sadar untuk “pasang badan”: melindungi sejumlah nama.
    Ia tak hirau ketika seluruh kesaksiannya diragukan Majelis Hakim atau dianggap berbohong oleh kubu Nazaruddin. Ia tetap konsisten menjawab setiap pernyataan dengan jawaban “tidak tahu”, “tidak ada”, dan “itu tak pernah terjadi”.
    Ia sangat tangguh menyangkal setiap fakta persidangan. Tak ayal ketangguhan penyangkalan Angie membuat sidang berjalan alot. Penasihat hukum Nazaruddin dan Jaksa Penutut Umum tampak kesal. KPK pun menilai: wajar Angelina berbohong.
    Kebenaran Semu
    Hukum yang mendasarkan keadilan pada kebenaran material membuka peluang bagi kebohongan. Data dan fakta, saksi dan bukti, dapat direkayasa demi menghadirkan kebenaran material. Di sini, hukum sering bertabrakan dengan rasa keadilan yang mencerminkan nilai keadilan. Kebenaran pun sering babak belur dalam peradilan sesat yang sarat dengan kebohongan.
    Kebohongan adalah suatu afirmasi yang tidak benar, yang dilakukan secara sadar. Lazimnya afirmasi tersebut mengakibatkan sesama tertipu. Pada prinsipnya semua bentuk kebohongan tidak dibiarkan, sebab merintangi kejujuran dan kesetiaan kepada komunitas (Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Gramedia, 1996).
    Kebohongan dapat juga dimaknai sebagai cara atau siasat untuk menyembunyikan kenyataan sejati dan autentik yang mengandung kebenaran demi menghindar dari risiko dalam suatu perkara.
    Modus kebohongan adalah penyangkalan, bantahan, atau kilah. Pelaku kebohongan bisa pribadi, masyarakat, dan lembaga-lembaga publik-politik-hukum. Kebohongan yang dilakukan secara intens, kontinu, konsisten, dan didukung power akan menjadi kebenaran semu.
    Namun kebenaran semu itu bersifat sementara. Begitu muncul data dan fakta, saksi dan bukti baru yang autentik dan masuk akal maka kebenaran semu itu pun longsor. Hal itu juga terjadi seiring dengan longsornya power yang semula mendukungnya.
    Kebohongan yang memunculkan kebenaran semu sekilas memang menguntungkan. Para pelaku kebohongan untuk sementara terhindar dari sanksi hukum dan moral.
    Namun, kebohongan bisa berubah menjadi bumerang yang menghancurkan ketika kebohongan itu tak lagi bertahan dibombardir fakta-fakta kebenaran. Inilah paradoks kebohongan: di dalamnya ada “keselamatan” sekaligus kehancuran.
    Ada tiga macam kebohongan, yakni (1) kebohongan yang diakibatkan tekanan psikologis dari dalam, (2) kebohongan sukarela, dan (3) kebohongan yang diakibatkan tekanan dunia eksternal.
    Kebohongan pertama mengacu pada tindakan yang terpaksa dilakukan untuk mengatasi rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, dan seluruh risiko pahit lain akibat suatu perbuatan atau sikap.
    Kebohongan kedua mengacu pada tindakan yang dilakukan tanpa tekanan internal-eksternal, melainkan didorong kesadaran tertentu, misalnya demi melindungi dan menyelamatkan orang lain atau hal-hal yang dipandang “mulia”.
    Adapun kebohongan ketiga mengacu pada kondisi intimidatif dari luar (orang, masyarakat, lembaga) yang memaksa seseorang untuk berbohong demi melindungi nama/citra baik, aset, atau berbagai kepentingan kekuasaan.
    Orang yang diduga terlibat dalam kasus korupsi, siapa pun mereka, cenderung melakukan kebohongan yang pertama dan ketiga. Kebohongan kedua jarang dipilih karena petimbangannya sangat personal-emosional atau tidak memiliki kepentingan pragmatis. “Keuntungan” kebohongan kedua tidak sebanding dengan kerugiannya.
    Kasus-kasus korupsi selalu dilakukan secara kolektif alias berjemaah. Entitas jemaah korupsi mengenal strata: kelompok elite, menengah, dan bawah. Kelompok elite selalu mengendalikan praktik-pratik korupsi yang dioperasikan kelompok menengah dan bawah. Jika terjadi pengusutan, kelompok elite sulit disentuh. Pihak yang dijadikan korban adalah lapis menengah dan bawah.
    Sebagai suatu konspirasi jahat, korupsi juga mengenal sistem sel, di mana masing-masing lapisan (elite, menengah, dan bawah) diupayakan untuk “tak saling mengenal”, demi menghindari pengusutan secara total.
    Pengusutan dan penuntasan pun hanya berlaku secara parsial (biasanya di lapis bawah atau menengah, jika apes). Anomali terjadi ketika berbagai kesepatan dalam konspirasi jahat itu dilanggar para aktornya sendiri. Salah satu aktor yang merasa dikorbankan pun “bernyanyi” soal konspirasi.
    Tantangan KPK
    Kasus dugaan korupsi wisma atlet di Palembang yang melibatkan Nazaruddin dkk telah memunculkan anomali, yakni pada sosok Nazaruddin itu sendiri. Nazaruddin bahkan telah “melapangkan” jalan bagi KPK untuk membongkar dan melibas kasus ini hingga ke akar atau kerak-keraknya.
    Publik berharap, dengan dihadirkannya Angie sebagai saksi maka “kotak hitam” akan terbuka, karena dia dianggap tahu jaringan/konstelasi dan aktor-aktor besar yang berada di balik kasus ini. Namun, untuk sementara, keinginan itu kandas.
    Angie justru meberikan kesaksian yang semakin menjauhkan kotak hitam itu terbuka. Ia tampil justru sebagai “orang yang tidak tahu menahu”. Jika benar dugaan KPK Angie berbohong, maka KPK dituntut untuk menemukan dan menyodorkan bukti-bukti lain yang memaksa Angie bersaksi dengan jujur.
    Pertarungan belum selesai, bahkan masih menyentuh babak awal. Pertarungan di pengadilan sangat ditentukan “pertarungan” politik di luar pengadilan. Publik menunggu janji kepemimpinan baru KPK bahwa KPK akan menuntaskan kasus-kasus korupsi besar di negeri ini.
    Sikap tidak pandang bulu untuk menindak siapa saja yang terlibat korupsi pun sudah diucapkan Abraham Samad. Kita berharap janji itu bukan sekadar ilusi.
    Rakyat telah “mengalami” kematian berkali-kali akibat korupsi: kematian sosial, kematian ekonomis, dan kematian kultural. Negara ini pun terancam menjadi negara gagal secara total, akibat korupsi dan kepemimpinan yang tidak tegas dalam memberantas korupsi. ●
  • Memperkuat Pendidikan Jurnalisme

    Memperkuat Pendidikan Jurnalisme
    Arya Gunawan Usis, PEMERHATI MEDIA, MANTAN WARTAWAN. KINI BEKERJA SEBAGAI PENANGGUNG JAWAB PROGRAM PEMBERDAYAAN MEDIA UNTUK UNESCO DI TEHRAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 18Februari 2012
    Pendidikan bagi wartawan merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan saat perayaan puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Jambi, 9 Februari 2012. Pendidikan jurnalisme selama ini memang seperti tak mendapatkan perhatian yang sepatutnya, kalah dibandingkan isu-isu lainnya yang lebih menarik, seperti kemerdekaan pers, sumbangsih pers dalam proses pembangunan bangsa, peran pers di tengah perkembangan pesat di bidang teknologi informasi, iklim persaingan dan kepemilikan perusahaan pers, serta persoalan-persoalan etika terbaru termasuk dalam konteks kehadiran berbagai media baru.
    Pendidikan jurnalisme dapat dianggap sebagai hulu dari proses pengembangan pers dan jurnalisme yang bermutu. Sebab, di sinilah titik-tolak berangkatnya proses penyiapan kader-kader yang kelak–sebagian darinya–akan terjun langsung ke kubangan profesi jurnalistik, mulai dari reporter di lapangan (juga tenaga kreatif lainnya seperti juru foto, tenaga perancang perwajahan, tenaga yang mengurusi manajemen media) hingga jenjang yang lebih tinggi, sampai ke tingkatan pengambil keputusan redaksional (redaktur pelaksana, hingga pemimpin redaksi).
    Jadi, apabila dilakukan pencegatan di tahap hulu ini, yakni memperkuat pendidikan jurnalisme, itu sama halnya dengan memperkuat fondasi pengembangan pers dan jurnalisme, yang pada gilirannya akan memperkokoh proses yang terjadi di tahap hilir, yakni mutu produk jurnalistik yang dihasilkan. Adapun muara alias tujuan tertingginya adalah pemberdayaan segenap lapisan masyarakat yang tercerahkan dan memiliki kesempatan setara untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi dan pembangunan; sesuatu yang dimungkinkan karena pers telah menyediakan ruang dan forum bagi proses interaksi dan dialog publik.
    Tentu saja tetap terbuka kemungkinan bahwa, meskipun pendidikan jurnalisme diperkuat, mutu pers dan jurnalisme masih jauh dari kondisi ideal. Sejumlah kendala tetap dapat muncul di tengah jalan. Misalnya saja, kenyataan bahwa tidak semua praktisi pers adalah mereka yang telah digembleng lewat pendidikan jurnalisme. Untuk kasus di Indonesia, banyak juga pekerja pers berasal dari latar belakang pendidikan non-jurnalisme. Selain itu, tidak semua praktisi pers yang berasal dari latar belakang pendidikan jurnalisme benar-benar mampu menerapkan secara ideal apa yang telah mereka peroleh semasa menjalani proses pendidikan. Situasi nyata yang mereka jumpai saat telah mencemplungkan diri ke tengah kubangan profesi jurnalistik sering kali berbeda dan lebih “garang” ketimbang berbagai idealisasi yang selama ini disampaikan kepada mereka oleh para dosen di ruang kuliah. Situasi nyata ini juga menghadirkan beragam godaan yang mudah membuat orang limbung dan melupakan idealisme.
    Kontra-argumen di atas memang absah untuk diajukan. Namun tetaplah upaya penguatan pendidikan jurnalisme merupakan satu kebutuhan yang mendesak. Dan jika upaya penguatan ini dilakukan dengan cermat dan saksama, akan terbuka peluang untuk berlangsungnya wacana menerus yang akan melibatkan juga para praktisi pers dari latar belakang pendidikan non-jurnalisme. Mereka ini kemudian akan ikut terpapar kepada konsep-konsep yang ditawarkan oleh pendidikan jurnalisme (ini tentu akan menambah wawasan mereka), dan pada saat yang sama juga memberikan berbagai masukan berharga (berdasarkan pengalaman langsung sehari-hari bergulat dengan berbagai proses jurnalistik di lapangan). Wacana semacam ini akan berkembang menjadi sintesis berkelanjutan dan simbiosis mutualisme yang akan memutakhirkan pendidikan jurnalisme, dan tentulah akan memberikan banyak manfaat ketimbang mudarat.
    Ihwal pentingnya memperkuat pendidikan jurnalisme ini bukan hanya terbatas pada urusan di satu negeri tertentu belaka; ia telah menjadi satu keprihatinan di tingkat global. Ini terbukti setidaknya dari apa yang disuarakan oleh sejumlah negara anggota UNESCO (lembaga internasional yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan komunikasi-informasi termasuk juga media dan jurnalisme) sejak beberapa tahun silam. 
    Negara-negara ini beranggapan bahwa perkembangan yang pesat di berbagai bidang membuat pendidikan jurnalisme megap-megap untuk menyejajarkan dirinya dengan perkembangan-perkembangan di luar bidang jurnalisme, apabila masih menggunakan berbagai rujukan lama dalam mengajarkan jurnalisme di perguruan tinggi (dan juga lembaga-lembaga pelatihan). Pemutakhiran pendidikan jurnalisme–khususnya pada aspek pembaruan kurikulumnya–lalu dianggap sebagai sesuatu yang mustahak.
    Berdasarkan masukan dari negara-negara anggotanya ini, menjelang akhir 2005 UNESCO mengambil prakarsa untuk melibatkan lebih dari 20 praktisi senior di bidang jurnalisme dan para pakar di bidang pendidikan jurnalisme dari berbagai penjuru dunia untuk merumuskan satu panduan penyusunan kurikulum pendidikan jurnalisme. Dalam berbagai diskusinya, para pakar ini mendapati kenyataan bahwa memang diperlukan upaya di tingkat global untuk penguatan pendidikan jurnalisme ini. Hampir dua tahun mereka berdiskusi, hingga berhasil merumuskan buku panduan penyusunan kurikulum, berjudul Model Curricula for Journalism Education (Kurikulum Model untuk Pendidikan Jurnalisme), yang diluncurkan secara resmi dalam acara Kongres I Persatuan Pendidikan Jurnalisme Sedunia, di Singapura, Juni 2007.
    Salah satu keistimewaan panduan UNESCO ini adalah bahwa buku ini merupakan hasil dari upaya pertama di tingkat global untuk merumuskan satu panduan yang memungkinkan pendidikan jurnalisme menjawab berbagai tantangan mutakhir seiring dengan kemajuan zaman. Perlu dicatat bahwa panduan UNESCO ini bukanlah kurikulum itu sendiri, melainkan semacam kisi-kisi yang lentur, sehingga memudahkan para pakar penyusun kurikulum di setiap negara untuk melakukan penyesuaian dengan konteks serta situasi dan kondisi negara yang bersangkutan.
    Keistimewaan lainnya adalah bahwa kurikulum pendidikan jurnalisme didorong agar mengacu pada tiga poros utama. Poros pertama adalah poros yang mengajarkan norma-norma, nilai-nilai, perangkat, standar, dan praktek jurnalisme. Poros kedua menekankan pada aspek-aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan etika dari praktek jurnalisme, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Adapun poros ketiga terdiri atas pengetahuan umum mengenai dunia dan tantangan-tantangan intelektual dalam dunia jurnalisme.
    Ketiga poros ini memang terbukti relevan dan sekaligus aktual dengan kondisi pendidikan jurnalisme di banyak negara, termasuk juga di Indonesia. Pengalaman penulis saat melakukan serangkaian kegiatan untuk memperkenalkan panduan UNESCO tadi kepada sejumlah perguruan tinggi yang memiliki program pendidikan jurnalisme di beberapa kota utama di Indonesia sepanjang tahun 2009-2010 menunjukkan kenyataan tersebut. 
    Berbagai kesulitan masih dialami oleh sebagian besar dari mereka, mulai kesulitan untuk mendapatkan buku rujukan yang mutakhir (terutama rujukan mengenai nilai dan standar universal di bidang jurnalisme, termasuk tentang etika), kesulitan hubungan birokratis dengan pihak pemerintah yang bertanggung jawab mengurusi proses pengembangan kurikulum, hingga ke kesulitan merumuskan kurikulum yang relevan yang berakibat kurang tepatnya materi yang diajarkan kepada para peserta didik dibandingkan dengan tantangan nyata yang ada. Bahkan banyak di antara perguruan tinggi ini yang sudah lebih dari satu dasawarsa tak melakukan tinjauan dan pembaruan terhadap kurikulum yang mereka terapkan.
    Ada juga contoh di mana penyusunan kurikulum seperti tidak disandarkan pada alasan yang kuat dan masuk akal. Di satu perguruan tinggi, misalnya, didapati bahwa jurnalisme investigatif hanya diajarkan kepada mahasiswa dari program pendidikan jurnalisme cetak (tanpa mengikutsertakan mahasiswa dari program pendidikan jurnalisme siaran). Padahal setiap mahasiswa jurnalisme tentu saja wajib mendapatkan mata kuliah jurnalisme investigatif.
    Masih banyak ruang yang tersaji di hadapan kita untuk memperkuat berbagai aspek kurikulum pendidikan jurnalisme di sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia, jika dikaitkan dengan ketiga poros yang termaktub dalam panduan kurikulum pendidikan jurnalisme versi UNESCO itu. Semua pihak yang merasa berkepentingan terhadap kemajuan pers Indonesia hendaknya turut mengupayakan sumbangsih yang berarti untuk mengisi ruang yang masih lebar tersebut. ●
  • Menggugat UU Zakat

    Menggugat UU Zakat
    Yusuf Wibisono, WAKIL KEPALA PEBS FE-UI
    Sumber : REPUBLIKA, 18Februari 2012
    Pada Senin (31/10/ 2011), di Harian Republika ini, penulis telah menguraikan kelemahan-kelemahan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, atau tiga hari setelah UU ini disahkan pada Jumat (28/10/2011). Beberapa diskusi dan temuan lapangan dalam tiga bulan terakhir semakin menguatkan penulis bahwa UU ini sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan yang saat ini sangat ditopang oleh lembaga amil zakat (LAZ) yang dikelola masyarakat sipil.
    Sebagai misal, antisipasi keten tuan “paling mematikan” dalam UU tersebut, yaitu keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam. Berbagai LAZ telah merencanakan dan bahkan telah melakukan exit stra tegy, seperti memperoleh status kelembagaan non-LAZ dari lembaga pemerintahan non-Kemenag, bahkan dari lembaga internasio nal. LAZ di daerah juga telah ba nyak yang mulai “tiarap” menyi kapi ketentuan “kriminalisasi” dalam UU ini, yaitu amil yang ti dak memiliki izin diancam pidana penjara dan/atau denda. Bahkan, sebagian amil di daerah  telah mulai beralih profesi karena me lihat tidak ada masa depan di LAZ.
    Karena itu, penting untuk segera melakukan upaya-upaya perbaikan sebelum dampak destruktif UU ini meluas. Penulis melihat uji materiil atas UU ini sangat layak dilakukan untuk mendapatkan tabayyun konstitusi.
    Hak Membangun Masyarakat
    Pasal 5, 6, dan 7 UU No 23/2011 ini telah menyentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Dan, di saat yang sama, Pasal 17, 18, dan 19 UU ini telah menyubordinasikan kedudukan lembaga amil zakat bentukan masyarakat sipil, yaitu LAZ yang berada dibawah Baznas dengan menyatakan bahwa eksistensi LAZ hanya sekadar membantu Baznas. Dengan logika sentralisasi dan subordinasi di atas maka UU secara sistematis memarginalkan, bahkan berpotensi mematikan LAZ. Pasal 18 ayat (2) huruf (a) mempersyarakatkan bahwa LAZ harus didirikan oleh organisasi ke masyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.
    Ketentuan di atas secara jelas adalah ahistoris dan mengingkari peran masyarakat sipil yang sejak tiga dekade terakhir secara gemilang telah membangkitkan zakat nasional dari ranah amal-sosial ke ranah pemberdayaan-pembangunan, yang antara lain dipelopori oleh Yayasan Dana Sosial al-Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan Peduli Ummat (1999). Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini tidak didirikan oleh ormas Islam.
    Walau UU No 23/2011 ini tetap mengakui LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan berdasarkan UU No 38/1999 (Pasal 43 ayat 3), di saat yang sama mereka tetap diharuskan menyesuaikan diri dengan UU Zakat tersebut, maksimal dalam lima tahun ke depan (Pasal 43 ayat 4). Dengan demikian, dalam lima tahun ke depan, LAZ harus mengikuti persyaratan pen di ri an LAZ baru jika ingin pengu kuhan dan izin operasionalnya ti dak dicabut oleh Menteri Agama.
    Ketentuan in sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan ‘mematikan’ LAZ karena sebagian besar LAZ, tidak ada yang didirikan atau berafiliasi dengan ormas Islam. Demikian pula dengan LAZ-LAZ yang sangat potensial, namun hingga kini belum mendapat izin dan belum dikukuhkan oleh Menteri Agama, seperti Al-Azhar Peduli Ummat dan PPPA Daarul Qur’an yang juga terancam.
    U U No 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapatkan rekomendasi dari Baznas (Pasal 18 ayat 2 huruf c). Padahal, berdasarkan UU ini, Baznas menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama sebagaimana halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of interest; Baznas memiliki motif, insentif, dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaingnya.
    Lebih jauh lagi, bagi LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, akan terancam dikriminalisasikan oleh UU ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 38). Dan, memberi ancaman pidana penjara maksimal satu tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 juta bagi LAZ ilegal (Pasal 40) walaupun sejumlah amil zakat memiliki kredibilitas tinggi dan berkinerja baik.
    Semua tersebut secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional di Indonesia terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel.
    Karena itu, UU No 23/2011 ini secara jelas berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ sebagai badan hukum publik yang memiliki hak untuk membangun masyarakat, yang dijamin konstitusi dalam Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945, yaitu: Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
    Perlakuan Sama
    Pasal 5 dan 15 UU No 23/2011 telah membuat pendirian Baznas di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menjadi amanat UU, tanpa memberi persyaratan pendirian. Di saat yang sama, pendirian LAZ yang sama-sama operator zakat nasional sebagaimana halnya Baznas, mendapat restriksi yang sangat ketat (Pasal 18).
    Restriksi, dan karenanya konsolidasi, organisasi pengelola zakat (OPZ) memiliki rasionalitas yang kuat. Karena, kini jumlah operator zakat nasional memang sudah terlalu banyak sehingga menimbulkan inefisiensi karena mayoritas OPZ beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Hal ini juga me nyulitkan pengaturan dan pengawasan OPZ yang efektif, terlebih dengan ketiadaan regulator zakat yang kuat.
    Namun, restriksi terhadap OPZ ini menjadi tidak valid ketika hanya diterapkan ke LAZ dan tidak diterapkan juga ke Baznas meski sama-sama menyandang status sebagai operator zakat nasional. Restriksi ini semakin kehilangan kredibilitas ketika restriksi LAZ dikaitkan dengan keharusan didirikan oleh ormas Islam. Meski pun UU menyatakan bahwa Baznas adalah lembaga pemerintah nonstruktural (Pasal 5 ayat 3), pendiriannya secara jelas mengikuti struktur pemerintahan.
    Alih-alih melakukan reformasi dan konsolidasi, UU ini justru memperkuat status quo di mana ke depan akan terdapat satu Baznas pusat, 33 Baznas provinsi, dan 502 Baznas kabupaten/kota.
    UU juga memberi keistimewaan kepada Baznas, yaitu selain tetap dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun (hak amil), Baznas juga berhak mendapat pembiayaan dari APBN (Pasal 30). Sedangkan, Baznas pro vinsi dan kabupaten/kota, selain hak amil juga berhak menda pat pembiayaan dari APBD dan APBN (Pasal 31). Di sisi lain, LAZ dihadapkan pada disiplin pasar yang tinggi karena tidak mendapat pembiayaan dari APBN atau APBD dan hanya berhak mendapat pembiayaan dari hak amil (Pasal 32).
    Berbagai ketentuan tersebut secara jelas bersifat diskriminatif di mana tidak terdapat kesetaraan perlakuan di antara sesama warga negara di hadapan hukum. Secara teknis-ekonomis, diskriminasi yang dilakukan UU No 23 Tahun 2011 kepada LAZ dengan memberi berbagai privilege kepada Baz nas sebagai operator zakat bentukan pemerintah, telah menciptakan level of playing field yang tidak sama antar sesama ope rator zakat nasional.
    Karena itulah, maka UU No 23/2011 ini juga berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ yang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945. ●
  • Nakalnya Birokrasi

    Nakalnya Birokrasi
    Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR ICW
    Sumber : KOMPAS, 18Februari 2012
    Gelontoran dana negara Rp 13,4 triliun pada 2010 untuk mendongkrak pendapatan pegawai negeri lewat program remunerasi ternyata belum cukup efektif untuk membenahi mentalitas koruptif birokrasi.
    Berdasarkan data analisis tren penegakan hukum korupsi Indonesia Corruption Watch(ICW) 2011, pegawai negeri justru merupakan aktor yang paling banyak korupsi dibandingkan lainnya. Dari 1.053 tersangka korupsi yang datanya berhasil dikumpulkan selama 2011, sebanyak 239 berstatus pegawai negeri (ICW, Tren Korupsi 2011).
    Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I-2011 lebih kurang seragam. Menurut BPK, meskipun terdapat perbaikan signifikan dalam kualitas penyajian laporan keuangan pemerintah di pusat dan di daerah, dugaan penyimpangan di birokrasi tetap tidak bisa dianggap remeh. BPK menemukan minimal ada 2.281 kasus ketidakpatuhan dengan berbagai variasi modus penyimpangan yang dapat menimbulkan kerugian negara Rp 5,5 triliun.
    Modus penyimpangan yang diidentifikasi BPK merupakan ciri khas korupsi birokrasi, yakni berhubungan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa di lembaga pemerintah, seperti praktik penggelembungan harga, proyek pengadaan barang/jasa fiktif, pembiaran terhadap wanprestasi kontrak kerja rekanan, baik karena rekanan tidak menyelesaikan proyek atau kekurangan volume pekerjaan maupun kelebihan pembayaran pekerjaan.
    Penyimpangan lain yang ditemukan BPK adalah laporan perjalanan dinas (SPPD) fiktif dan melebihi pagu, pembayaran honorarium ganda, dan penggunaan uang negara untuk keperluan pribadi (BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I, 2011).
    Beberapa penjelasan di atas telah menepis asumsi dominan bahwa penyebab terbesar penyakit korupsi di lembaga birokrasi adalah sistem penggajian yang buruk. Corruption by need tampaknya telah bertransformasi menjadi corruption by want. Jika kebutuhan memiliki batas dan kecukupan, keinginan merupakan sesuatu yang terus muncul dan didorong oleh nafsu ketamakan dan ”mimpi jorok” tentang kehidupan glamor.
    Langkah Konvensional
    Meskipun korupsi birokrasi sudah sangat mengkhawatirkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara konvensional untuk menyelesaikannya. Program remunerasi, sebagai misal, telah dibajak oleh para predator berbaju dinas sehingga tak banyak meningkatkan integritas para pegawai birokrasi. Selain itu, birokrasi yang mudah sekali dikooptasi oleh elite politik, baik di pusat maupun daerah, turut mendorong kegagalan reformasi birokrasi secara lebih efektif.
    Bagaimana mungkin mekanisme insentif bagi pegawai birokrasi yang cakap, jujur, dan berprestasi dapat dipraktikkan jika pengaruh politik terhadap birokrasi masih sangat kental. Keinginan partai politik mendapatkan akses sumber daya publik melalui lembaga birokrasi—dengan menempatkan kader mereka di pucuk pimpinan departemen atau sebagai kepala daerah—telah mengacaukan agenda reformasi birokrasi yang bertumpu pada peningkatan kesejahteraan pegawai.
    Akibatnya, agenda reformasi birokrasi ibarat membuang garam di lautan. Meski ada sedikit perbaikan kualitas pelayanan publik, penyalahgunaan anggaran dan penerimaan negara terus berlangsung.
    Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS juga tak berwibawa. Ringannya sanksi terhadap pegawai negeri yang melakukan penyimpangan, termasuk korupsi, tak banyak menimbulkan efek takut. Pertanyaannya, mengapa jenis pelanggaran yang sama (misalnya penyalahgunaan kekuasaan) memiliki jenjang hukuman berbeda dilihat dari dampaknya: terhadap lingkungan kerja, lembaga tempat bekerja, atau negara?
    Pemerintah agaknya alpa bahwa dampak terburuk dari sikap yang sangat permisif terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan birokrasi adalah terbentuknya nilai-nilai yang salah: bahwa melanggar itu dapat ditoleransi. Bandingkan dengan Pemerintah Meksiko yang telah memecat dengan tidak hormat 900-an aparat kepolisian dalam kampanye antikorupsi terkait perang besar terhadap narkotika.
    Reformasi Mendasar
    Reformasi birokrasi memang membutuhkan beberapa prasyarat. Pertama, birokrasi harus benar-benar steril dari kepentingan politik di berbagai jenjang pemerintahan. Kehadiran partai politik dan elitenya yang gemar mengeksploitasi sumber daya publik melalui berbagai praktik korupsi telah berdampak buruk pada birokrasi yang dikendalikannya. Tanpa sterilisasi, sulit mendorong perubahan di lembaga birokrasi dalam sistem politik yang amat koruptif ini.
    Kedua, pembiayaan atas birokrasi akan terus meningkat jika postur dan ukurannya tidak dipangkas. Negara bisa kebobolan anggaran jika pertumbuhan lembaga birokrasi tidak dihentikan. Menurut data Seknas Fitra, 124 pemda di Indonesia terancam bangkrut karena belanja pegawainya di atas 60 persen dari total APBD (Seknas Fitra, 2011).
    Jeff Hutter dan Anwar Shah menyarankan, satu-satunya cara melapangkan jalan reformasi birokrasi adalah dengan pemangkasan postur birokrasi dan jumlah pegawai. Dengan pengerucutan ukuran dan jumlah pegawai birokrasi, negara akan lebih efisien dan fokus pada tugas utama melayani warga (Jeff Hutter dan Anwar Shah, 2000).
    Ketiga, birokrasi tidak boleh lagi dianakemaskan oleh negara dengan berbagai macam fasilitas. Modernisasi birokrasi harus dilakukan dengan cara menghargai pegawai yang berprestasi sehingga akhirnya dapat menyingkirkan dengan cepat siapa saja yang tidak kompetitif, buruk kinerja, dan tidak profesional.
    Tidak seperti hari ini: memecat yang sudah terbukti korupsi pun negara enggan. ●
  • Balada Politikus Muda

    Balada Politikus Muda
    Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
    Sumber : KOMPAS, 18Februari 2012
    Betapa ”eloknya” perjalanan (sebagian) politikus muda di negeri ini. Begitu cepat melesat dan berkuasa meski akhirnya terpelanting dan tumbang akibat korupsi. Penjara pun siap menampung mereka.
    Seperti balada, kisah mereka pun ”mengharu-haru biru” publik. Maklum, selama ini mereka sering tampil di panggung media cetak dan elektronik, baik sebagai politikus maupun pesohor (selebritas). Tubuh mereka licin bagai lilin. Wajah bersih. Senyum selalu mengembang setiap memberikan pernyataan. Persoalan-persoalan yang bagi rakyat dirasakan sangat berat, bagi mereka tak lebih dari intermezo.
    Begitu pula ketika nama mereka disebut dalam perkara korupsi miliaran rupiah. Mereka membantah dengan enteng, bahkan sambil cengengesan. Kasus korupsi yang gawat, baginya tak lebih dari drama yang diyakini selalu berakhir dengan bahagia. Mereka seolah menganggap jagat politik dan seluruh lendir kebusukannya sekadar dongeng yang mengasyikkan. Padahal, bagi rakyat, seluruh kebusukan politik merupakan horor riil.
    Penikmat Reformasi
    Para politisi muda (berusia 30-40 tahun) bisa disebut para penikmat buah reformasi 1998; sebuah momentum yang menjebol otoritarianisme dan memberi jalan bagi liberalisme politik dan ekonomi. Partai-partai politik menjamur bagai gerai (warung). Ada yang berkelas kelontong yang serba subsisten. Ada pula yang berkelas ritel modern atau mal yang memiliki modal menggumpal. Baik gerai kecil maupun raksasa sama-sama menjual dagangan bermerek perubahan demi meraih dukungan besar dan dapat merebut kekuasaan.
    Ke dalam gerai-gerai itulah para politikus muda bernaung. Tentu dibutuhkan banyak syarat, antara lain modal uang, popularitas, modal sosial, dan modal (baca: lobi) politik. Dengan cara instan itulah mereka nangkring di lembaga-lembaga negara.
    Jangan bertanya soal ideologi, perubahan, dan komitmen sosial kepada mereka. Tanyalah yang praktis-praktis saja. Misalnya, mobil mewah merek apa yang mereka sukai atau alasan membeli rumah yang harganya ”cuma” Rp 1,5 miliar. Anda akan dianggap ”jadul” (kuno) jika bertanya soal pentingnya memperjuangkan jaminan sosial bagi rakyat, pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan/pendidikan, upaya mengatasi pengangguran/kemiskinan, dan pemberantasan korupsi.
    Sebagian (besar) memahami peran sosial-politik sebagai karier profesional, bukan panggilan kemanusiaan/kebangsaan. Seluruh perolehan material dianggap lebih penting daripada ideologi (etika-etos) dan pengabdian yang memberikan output bermakna bagi publik. Ketersesatan pemahaman itu menimbulkan blunder, yakni korupsi, yang akhirnya membunuh karakter para politikus muda itu.
    Impian untuk menjadi kaya menggoda mereka untuk bermain sulap dalam soal anggaran yang bersumber dari APBN. Jalan lain yang ditempuh adalah melakukan praktik-praktik makelar dalam permainan tender yang bernilai miliaran, bahkan triliunan rupiah.
    Mati Sebelum Berarti
    Politisi muda yang terjangkit korupsi itu gagal membangun nilai dan makna atas peran sosialnya; kalimat kunci yang oleh Chairil Anwar dielaborasi menjadi frase puitis ”sekali berarti sesudah itu mati”. Mereka pun telanjur ”mati” sebelum berarti.
    Materialisme dan pragmatisme yang menguasai jagat politik sekarang ini terlalu tangguh hanya dihadapi dengan kemampuan teknis, kecakapan intelektual, dan lobi politik. Mahatma Gandhi mengajarkan, politik butuh komitmen moral agar tidak kotor. Moralitas berbicara tentang nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan/diwujudkan: kemanusiaan, keadilan, kebangsaan, dan solidaritas sosial. Moralitas melekat pada martabat. Politik yang bermartabat mampu mengubah chaos menjadi cosmos.
    Sangat mungkin para politisi yang kini ”mati muda” itu lebih terpukau pada silau jagat politik yang menjanjikan kemapanan, limpahan uang, dan popularitas. Seolah-olah martabat ditentukan dari gebyar duniawi itu sehingga mereka giat membangun proyek pencitraan diri. Mereka lupa, martabat ditentukan karakter personal (jujur, bersih, mampu, dan bertanggung jawab) yang membias/mewujud dalam praksis sosial bermakna. 
    Politikus yang berkarakter selalu menggugat diri terkait kehidupan rakyat yang tidak sejahtera, bukan malah sibuk menuntut kenaikan gaji dan fasilitas mewah.
    Betapa sederhananya perjalanan para politikus muda, sesederhana kisah-kisah dalam balada. Mereka melesat bak meteor, sekejap ”bercahaya”, tetapi akhirnya lenyap diringkus gelap.
    Pada akhirnya, setiap orang akan menemukan ”kodrat” dirinya. Politisi bermental instan, rapuh, dan bermoral keruh tak akan mampu menyentuh lapisan langit pencapaian tinggi dan jauh. Sejarah pun memasukkan nama mereka dalam catatan yang buram dan lusuh.
    Dalam jagat politik yang oleng dan galau, bangsa ini membutuhkan politikus-politikus berkapasitas pendekar sekaligus kesatria-kesatria iman yang tangguh. Kepada mereka bangsa ini selalu menaruh hormat dan tak akan pernah mengucapkan ”selamat tinggal”. ●
  • Bupati-bupati Inlander

    Bupati-bupati Inlander
    Sri-Edi Swasono, GURU BESAR UI; KETUA UMUM MAJELIS LUHUR TAMANSISWA
    Sumber : KOMPAS, 18Februari 2012
    Seorang pejabat tinggi pemerintah menyampaikan kepada saya niatnya menerbitkan buku berdasarkan data yang dimiliki kantornya berjudul ”Tukang Becak dan Kemiskinan Massal”. Saya bilang, judul semacam itu tidak akan menarik selera baca.
    John Kenneth Galbraith yang menulis buku Why The Poor Are Poor, 55 tahun lalu, tak direspons pembaca. Istrinya mengusulkan judul buku diganti The Affluent Society. Buku itu pun terkenal sebagai buku superlaris, menyajikan pencerahan tentang ekonomi dan humanisme.
    Kepada pejabat tinggi itu saya sarankan agar judul bukunya diganti ”Bupati-bupati Inlander” atau ”Bupati-bupati Keblinger”, pasti bukunya akan jadi tersohor.
    Tugas Kerakyatan
    Ketika saya berkunjung ke satu kabupaten, yang sesuai kriteria Bappenas termasuk kabupaten tertinggal, sang bupati memamerkan pemasukan anggaran Rp 1 miliar per tahun berupa royalti dari restoran cepat saji makanan asing yang diizinkannya berdiri di pinggir alun-alun kabupaten. Alun-alun turun pangkat, bukan lagi sebagai kemegahan lokal yang dikelilingi kantor kabupaten, masjid agung, kantor pos, penjara, dan kawedanan. Sang bupati yang bangga dengan hadirnya restoran waralaba asing itu masih inlander, mudah terkagum-kagum.
    Berapa omzet restoran cepat saji ini jika berani membayar royalti Rp 1 miliar per tahun: Rp 10 miliar-kah, Rp 15 miliar-kah? Maka, akan sebesar omzet itu pula uang rakyat tersedot ke situ, tidak lagi dibelanjakan jajanan pasar dan makanan lokal lain buatan rakyat. Proses pemiskinan ini tidak menguak kesadaran sang bupati. Baginya modernisasi adalah pembaratan, mengagumi investor asing, lengah akan tugas kerakyatan.
    Membangun mal atau supermal tentu tak harus dilarang, tetapi semestinya dikenai syarat-syarat. Sebagai pemberi izin, seharusnya kekuasaan pemerintah daerah ini disertai aturan menata kehidupan ekonomi demi menyejahterakan rakyat. Misalnya, 70 persen produk yang dijual di mal harus produk lokal dan produk dalam negeri. Lalu, 30 persen tempat disediakan untuk usaha-usaha kecil—termasuk pedagang kaki lima bisa masuk ke dalam mal— dengan biaya kios yang terjangkau.
    Pelanggaran terhadap aturan ini tidak boleh ditoleransi dengan denda. Barangkali ada baiknya pula jika konsumen-konsumen dapat diatur oleh perbankan memperoleh saham kesertaan dari minimarket-minimarket di RT/RW. Bukankah rakyat harus senantiasa terbawa serta dalam kemajuan pembangunan?
    Pemodal dan Pedagang Politik
    Globalisasi dengan selera hidup konsumtif affluency-nya mendapat tempat di Indonesia. Kesan kuat terasakan, banyak penguasa daerah mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal, supermarket, dan semacamnya. Ibaratnya, pembangunan ada jika muncul restoran hamburger, piza, dan semacamnya, serba absurd dengan papan-papan nama serba berbahasa asing. Ternyata sebagian teman kampus menyukai pula model dan selera ekonomi macam ini, tetapi bagi sebagian yang lain menyebutnya sebagai kemiskinan akademis.
    Akibatnya nyata: demi mal, supermarket—dan tentu demi hotel mewah dan permukiman supermewah—pembangunan telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Transfer pemilikan—terutama tanah—dari si lemah ke si kuat makin intensif dan masif, sekaligus merupakan proses minderisasi (inferiorization) rakyat.
    Tidak ada orang yang tergusur dengan pesangon menjadi kaya, sebaliknya pemilik baru akan terus memperoleh rente ekonomi. Pemilikan bersama (co-ownership) adalah kata kunci penyelesaian. Pemiskinan rakyat ini terjadi karena berlakunya pakem-pakem zaman edan, mumpungisme alias carpediemism dan cita rasa murah penguasa-penguasa daerah, maka pembangunan berubah menjadi proses dehumanisasi.
    Terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara rakyat suara uang receh. Tokoh lokal yang terbaik tidak terpilih jadi pemimpin akibat takhta bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal dan pedagang politik. Kata Mendagri, ada 160 bupati jadi tersangka atau masuk bui. Indeks korupsi APBD diberitakan tetap tinggi. Mereka bupati-bupati keblinger, jabatannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk diri sendiri.
    Siapa salah jika sang bupati tak mengenal potensi rakyat, potensi daerah, dan nilai oportunitasnya? Siapa salah kalau sang bupati tak berwawasan pembangunan humanistis sebagaimana dikehendaki konstitusi kita: bahwa pembangunan harus menghasilkan nilai tambah ekonomi sekaligus nilai tambah sosial-kultural?
    Pembangunan semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat. Brutalitas neoliberalisme ekonomi menambah kesewenang-wenangan dan kesengsaraan rakyat. Otonomi daerah telah membawa kegamangan bagi para bupati. Ibaratnya, sumber daya alam boleh diobral: Indonesia is for sale!
    Barangkali Mendagri lengah budaya di sini, ia ”menyekolahkan” bupati-bupati baru ke Harvard School of Government, bukan ke kampus-kampus kita sendiri yang memahami pembangunan partisipatori-emansipatif. Barangkali itulah hasilnya ke Harvard, asingisasi.
    Bukan Sekadar Bagi-bagi Kue
    Pembangunan bukan lagi sekadar memperbesar ”kue pembangunan”, bukan memperbesar produk domestik bruto (PDB). Bahkan, tak lagi sekadar bagaimana membagi kue pembangunan secara adil.
    Hakikat pembangunan justru menyangkut jenis kue pembangunan itu sendiri, menyangkut pola produksi yang mendikte pola konsumsi. Apakah kita membuat ”kue tar” dengan bahan-bahan impor yang tak diproduksi di dalam negeri? Apakah kita membuat ”tumpeng” sebagai kue pembangunan yang penuh bahan lokal produksi rakyat kita sendiri, yang berarti partisipasi dan emansipasi rakyat lebih luas, yang tentu akan lebih memakmurkan dan memanusiakan rakyat.
    Pembangunan juga dituntut menjadi upaya peningkatan dan perluasan kemampuan rakyat sehingga proses pembangunan dapat diartikan sebagai proses keberlanjutan peningkatan produktivitas rakyat. Di sinilah peran ilmu ekonomi institusional sekaligus ekonomi konstitusi yang diabaikan dalam pembelajaran otonomi daerah. Tentu tidak semua bupati merusak otonomi daerah. ●