Blog

  • Mencari Komisioner OJK

    Mencari Komisioner OJK
    Sunarsip, EKONOM THE INDONESIA ECONOMIC INTELLIGENCE (IEI)
    Sumber : REPUBLIKA, 20 Februari 2012
    Minggu-minggu ini adalah waktu yang padat bagi Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK). Betapa tidak, saat ini terdapat 290 orang calon DK OJK yang lolos persyaratan administrasi. Sebagai informasi, Pansel DK OJK memiliki tugas untuk menetapkan sebanyak 21 orang calon DK OJK kepada Presiden RI. Dari ke-21 orang tersebut, Presiden akan memilih 14 orang untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga nantinya akan terpilih tujuh orang untuk menjadi DK OJK.
    Seperti kita ketahui, sejak 22 November 2011, kita telah memi liki Undang-Undang (UU) No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai Pasal 5, OJK ini nantinya berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Terlihat bahwa OJK ini nantinya akan menjadi lembaga yang strategis dalam mewujudkan industri keuangan yang sehat, stabil, dan tumbuh berkelanjutan sehingga tidak mengherankan bila OJK disebut sebagai superregulatory body. Sebab, selain cakupan industri yang dikelola begitu besar, fungsi yang dijalankannya juga lengkap.
    Pemerintah dan DPR telah menetapkan model pengawasan sektor keuangan secara terintegrasi (integrated approach) sebagai pilihan. Dan tentunya, pilihan ini telah didasarkan atas berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan realitas ekonomi. Oleh karenanya, tidak pada tempatnya lagi kita mempersoalkan keberadaan OJK. Diskusi telah selesai dan tugas selanjutnya adalah bagaimana agar OJK ini bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Dan, salah satu kuncinya adalah memilih figur-figur yang tepat untuk memimpin OJK. Seperti apakah figur-figur yang dibutuhkan oleh OJK ini?
    Secara umum, berbagai persyaratan yang harus dipenuhi bagi calon DK OJK telah memadai. Namun, secara teknis, banyak hal yang harus menjadi pertimbangan dalam menetapkan DK OJK ini. Terutama sekali, bila kita melihat OJK adalah lembaga baru (sekalipun merupakan peleburan dari berbagai lembaga yang ada) sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian (uncertainty). Beberapa hal berikut saya kira penting untuk menjadi pertimbangan dalam penentuan anggota DK OJK.
    Pertama, perlu dipahami bahwa industri keuangan bukanlah industri yang berdiri sendiri. Keberadaan industri keuangan sangat dipengaruhi dan juga ikut memengaruhi stabilitas makro, fiskal, dan moneter. Karena itu, calon anggota DK OJK tidak hanya paham dan berpengalaman dalam industri keuangan di level mikro, tetapi semestinya juga memiliki pemahaman makro terhadap keberadaan industri keuangan dan relasi nya. Dengan demikian, perimbangan anggota DK OJK antara yang memiliki kapabilitas pada level mikro dan makro perlu diperhatikan. Mengapa perimbangan komposisi DK OJK ini penting?
    Di satu sisi, figur anggota DK OJK yang berasal dari industri memang sangat diperlukan. Sebab, hal itu akan sangat menunjang dalam melaksanakan perannya sebagai DK OJK. Namun, terlalu industry oriented juga memiliki kekurangan. Dikhawatirkan, mereka nantinya hanya menjadi “kepanjangan tangan“ dari industri terkait. Akibatnya, bisa berpotensi menimbulkan bias kebijakan dan berat sebelah pada kepentingan industri.
    UU No 21/2011 sejatinya telah cukup baik dalam mengunci agar potensi situasi negatif tersebut tidak terjadi. Misalnya, dengan ditetapkannya pejabat BI dan Kementerian Keuangan sebagai ex-officio anggota DK OJK. Melalui pejabat ex-officio ini, nantinya dapat menjadi penyeimbang dan dalam pengambilan kebijakan, tidak hanya melihat dari sisi industri secara mikro, tetapi juga telah mempertimbangkan aspek makronya.
    Namun, keberadaan pejabat ex-officio ini masih belum cukup karena jumlahnya ha nya dua orang. Karena itu, tetap dibutuhkan anggota DK OJK yang berasal dari kalangan independen yang memiliki pemahaman industri yang komprehensif sekaligus memiliki visi makro (fiskal dan moneter) yang kuat. Kita percaya, ketika seseorang telah diangkat sebagai anggota DK OJK, seharusnya akan menanggalkan seluruh kepentingan noninstitusi. Namun, realitas sering berkata lain sehingga potensi penyimpangan sekecil apa pun perlu diantisipasi.
    Kedua, kesuksesan OJK dalam mewujudkan industri keuangan yang dapat mendukung terwujudnya stabilitas keuangan, makro, fiskal, dan moneter, juga ditentukan pada sejauh mana kemampuannya dalam menjalin kerja sama dengan para stakeholder, baik pemerintah, BI, maupun DPR. OJK adalah pemegang kebijakan yang lebih bersifat micro prudential, tetapi juga tetap harus berwawasan macro prudential. Sementara itu, kebijakan macro prudential berada di BI dan pemerintah, sedangkan DPR selaku pemberi payung hukumnya.
    Para anggota DK OJK semestinya merupakan figur yang secara politik dan profesional diyakini akan mampu menjalin kerja sama yang baik dengan stakeholder.  Fakta menunjukkan, banyak sekali orang yang pada industri memiliki kemampuan profesional mumpuni, tetapi ketika menjadi pejabat publik akhirnya terlihat tak berdaya. Penyebabnya, yang bersangkutan tidak mendapat dukungan yang cukup, baik secara politik maupun profesional dari stakeholder.
    Ketiga, hendaknya yang akan menjadi anggota DK OJK adalah figur-figur yang langsung dapat memunculkan kepercayaan (trust) terhadap OJK. Sebab itu, penetapan anggota DK OJK hendaknya memperhatikan track record profesionalnya dalam industri. Namun, tidak hanya didasarkan atas track record pengalamannya dalam industri, anggota DK OJK juga harus bersih dari berbagai catatan negatif, baik di mata industri, hukum, maupun moralitas.
    Keempat, menjaga kepercayaan terhadap OJK adalah hal mutlak. Hal sekecil apa pun yang berpotensi memunculkan ketidakpercayaan harus dicegah. Salah satunya, anggota DK OJK haruslah bebas dari berbagai kepentingan politik. Karena itu, seyogianya orang partai politik tidak menjadi anggota DK OJK. UU No 21/2011 memang telah memberikan rambu-rambu bagi calon anggota DK OJK yang berasal dari partai politik. Di mana, sebelum menjadi anggota DK OJK, yang bersangkutan harus mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik.
    Sebenarnya, ini merupakan ketentuan formal yang berlaku bagi pejabat lembaga negara. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak pejabat publik yang berasal dari partai politik akhirnya sulit menghindarkan diri dari kepentingan politik partainya.
     
    Pertanyaannya, apakah kita masih dapat menjamin bahwa aturan bagi praktisi partai politik terkait dengan calon anggota DK OJK tersebut cukup efektif mencegah terulangnya praktik yang terjadi di lembaga negara lainnya?
    Penentuan anggota DK OJK saat ini penuh pertaruhan. Bila gagal menetapkan figur-figur yang tepat, kredibilitas OJK bisa jatuh. Dan bila telah jatuh, upaya membangunnya kembali akan sulit. Belajar dari kegagalan OJK di negara lain (termasuk Inggris, Financial Services Autority), sesungguhnya tidak semata disebabkan oleh ketidakmampuan secara profesional. Ketidakpercayaan juga menjadi penyebabnya. Karena itu, jangan bermain api dengan masalah trust ini dengan menempatkan orang-orang yang tidak tepat di OJK.
  • Islam dan Kapitalisme

    Islam dan Kapitalisme
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 20Februari 2012
    Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level. Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional.
    Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level. Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional.
    Pada level kehidupan sehari-hari, ada banyak ragam model Islam juga. Ada Islam “tekstual” sebagaimana digeluti oleh para sarjana yang biasa bekerja dengan teks, ada juga Islam “populer” yang kerap bercampur dengan tradisi-tradisi setempat yang begitu beragam. Bagi kalangan Islam yang biasa bergelut dengan teks-teks standar, Islam populer itu biasanya dianggap menyimpang, karena bercampur dengan tradisi pra-Islam. Jika kalangan Islam tekstual cenderung memurnikan Islam dari pengaruh budaya-budaya populer, Islam populer justru mengembangkan cora keberagamaan yang menyerap budaya-budaya itu – apa yang sering disebut seabagai “inkulturasi”.
    Perubahan watak ruang sosial juga punya pengaruh yang besar dalam pluralisasi atau proses pemeragaman Islam itu. Dalam ruang sosial yang otoriter di mana kebebasan dibatasi, sebagaimana kita lihat pada era Orde Baru dulu, corak keragaman Islam lebih “terkontrol”. Pada era itu, corak Islam yang “politis” selalu diawasi dan dibatasi geraknya, karena bisa mengganggu keamanan nasional. Dalam ruang demokratis yang terbuka seperti kita alami saat ini, corak Islam mengalami pluralisasi yang kian akut dan intensif.
    Buku yang disunting Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008), merekam dengan baik proses pluralisasi Islam pasca-reformasi itu. Baru-baru ini, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Komunias Bambu dengan judul yang lumayan “seksi”, Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online.
    Salah satu gejala menarik yang dipotret buku itu ialah komersialisasi agama. Istilah ini tak harus berkonotasi negatif. Gejala komersialisasi bukanlah khas Islam saja. Hampir dalam semua agama besar dunia, kita melihat gejala komersialisasi agama. Tetapi ada juga kalangan lain yang melihat gejala ini secara negatif, karena ia bisa menimbulkan pendangkalan agama.
    Apa yang disebut dengan komersialisasi, mengutip definisi Greg Fealy dalam buku itu, adalah usaha menjadikan ajaran agama atau simbol-simbolnya yang kasat mata sebagai komoditi yang bisa diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the turning of faith and its symbols into commodity capable of being bought and sold for profit). Gejala ini tentu saja bukan saja khas era saat ini. Sejak dulu, komersialisasi agama dalam pengertian mengkonsumsi simbol-simbol agama seperti pakaian dan asesori lain sudah ada. Tetapi ada yang khas pada gejala komersialiasi agama di zaman kapitalisme global sekarang ini.
    Salah satu yang khas pada komersialisasi saat ini adalah kemampuan simbol-simbol Islam untuk melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis dan menjadikan modus ekonomi tersebut sebagai wahana untuk memperjual-belikan simbol-simbol agama secara massif. Salah satu kasus yang menarik adalah jilbab. Semula, jilbab adalah simbol kesalehan agama. Tetapi saat ini, jilbab bukanlah sekedar simbol kesalehan, tetapi juga bagian dari “fashion” atau mode. Apakah salah menjadikan pakaian agama sebagai mode? Tentu saja tidak. Jika ada yang menjadikan batik sebagai mode, kenapa jilbab tak boleh menjadi mode?
    Sektor lain di mana Islam yang telah mengalami komoditisasi (komodifikasi?) itu melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis adalah perbankan. Saat ini, apa yang disebut sebagai bank Islam atau bank syariah bukan hal yang aneh lagi. Jasa pelayanan “Islamic finance” bukan saja disediakan oleh bank yang jelas-jelas menyebut dirinya sebagai bank syariah, tetapi juga oleh bank-bank konvensional. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tertinggi di negeri kita juga sudah menyediakan payung hukum bagi praktek bank Islami ini.
    Tak ada perbedaan mendasar antara praktek bank biasa dan bank syariah kecuali dalam satu hal, yaitu soal bunga. Jika bank konvensional mengutip bunga, maka bank syariah menolak praktek bunga, meskipun ada sejumlah “kiat” yang dilakukan untuk meraih fee (=bunga?) dengan cara yang tak bertentangan dengan ajaran Islam.
    Praktek bank syariah ini dengan cukup baik memperlihatkan bahwa tak ada kontradiksi antara Islam dan kapitalisme. Praktek-praktek ekonomi dan bisnis kapitalistik bisa dimodifikasi begitu rupa oleh aktivis dan sarjana Muslim untuk menampung sejumlah ajaran Islam. Ini berkebalikan dengan praktek yang ada pada dekade 50an dan 60an di mana ada upaya dari banyak kalangan saat itu untuk memodifikasi Islam agar cocok dengan corak ekonomi sosialistis yang etatistik (=melibatkan peran yang besar dari negara).
    Bahkan model pemasaran khas yang disebut dengan MLM (multi-level marketing) juga diadopsi oleh para praktisi bisnis Muslim. Kita selama ini mengenal jaringan MLM raksasa seperti Amway atau CNI. Tetapi, kita juga menjumpai praktek MLM yang memakai merek Islam, seperti Ahad-Net (dengan tokoh utamanya Ateng Kusnadi) dan MQ-Net yang didirikan oleh da’i kondang Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym.
    Yang menarik, di samping praktek ekonomi kapitalistik yang memakai merek Islam ini, kita, pada saat yang sama, juga menjumpai sekelompok aktivis Islam yang mengutuk kapitalisme (juga demokrasi) sebagai praktek yang mereka anggap berlawanan secara kategoris dengan Islam, seperti kelompok Hizbut Tahrir, misalnya. Kritik pada kapitalisme tentu bukan dimonopoli kelompok ini. Kita kerap menjumpai retorika yang anti-kapitalisme dari sejumlah penulis, da’i, atau penceramah Muslim. Lepas dari kritik-kritik ini, mulai dari yang keras sampai yang moderat, fakta memperlihatkan bahwa praktek ekonomi kapitalisme banyak diadopsi secara nyaris “harafiah” oleh praktisi bisnis Muslim, tentu dengan melakukan modifikasi seperlunya, plus simbol atau merek Islam (biasanya memakai istilah Arab).
    Apakah pelajaran yang patut diambil dari fenomena komersialisasi atau komditisasi Islam ini? Ialah berikut ini: bahwa baik modus ekonomi kapitalisme maupun Islam memperlihatkan kelenturan tertentu untuk saling menampung. Hubungan antara keduanya tidak sekontradiktoris seperti yang dikesankan oleh banyak retorika anti-kapitalisme sebagian kalangan Muslim selama ini. ●
  • Ketika Wanita Memimpin

    Ketika Wanita Memimpin
    Joseph S. Nye, MANTAN ASISTEN MENTERI LUAR NEGERI AS;
    GURU BESAR PADA HARVARD UNIVERSITY, PENGARANG BUKU THE FUTURE OF POWER
    Sumber : KORAN TEMPO, 20Februari 2012
    Akankah dunia lebih damai jika wanita yang memimpin? Sebuah buku yang baru saja diterbitkan karya psikolog Harvard University, Steven Pinker, mengatakan jawabannya adalah “ya”.
    Dalam bukunya yang berjudul The Better Angels of Our Nature, Pinker menyajikan data yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan manusia, walaupun masih mengancam kita saat ini, sudah berangsur-angsur menurun. Lagi pula, demikian katanya, ”dalam bentang sejarah yang panjang ini”, wanita selalu dan tetap akan merupakan kekuatan pendamai. Perang tradisional antar-suku merupakan kerjaan laki-laki. Wanita-wanita di antara mereka tidak pernah bergabung bersama dan beramai-beramai menyerang desa-desa tetangga. Sebagai ibu, wanita memiliki insentif evolusi untuk memelihara perdamaian guna mengasuh anak-anak mereka dan memastikan mereka bisa bertahan sampai generasi berikutnya.
    Mereka yang skeptis langsung menjawab bahwa wanita tidak pernah melancarkan perang karena mereka tidak memegang tampuk kekuasaan. Jika diberdayakan sebagai pemimpin, maka keadaan dunia yang anarkistis itu bakal memaksa mereka mengambil keputusan berperang, sama seperti yang dilakukan laki-laki. Margaret Thatcher, Golda Meir, dan Indira Gandhi adalah wanita-wanita yang berkuasa; semuanya telah membawa negeri mereka ke dalam kancah perang.
    Tapi juga benar bahwa wanita-wanita ini naik ke puncak kekuasaan mengikuti irama aturan politik dari “suatu dunia laki-laki”. Keberhasilan mereka dalam mengkonfrontasikan nilai-nilai yang dibawakan laki-laki itulah yang sebenarnya memungkinkan mereka naik ke jenjang kepemimpinan. Dalam suatu dunia di mana wanita diberi kekuasaan yang sebanding (separuh) dari yang dipegang laki-laki, maka mereka mungkin bakal menunjukkan perilaku yang berbeda setelah ikut memegang kekuasaan.
    Karena itu, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah gender itu memang penting dalam kepemimpinan? Menurut stereotipe, berbagai studi psikologi menunjukkan bahwa laki-laki cenderung menggunakan apa yang dinamakan hard power of command (kekuatan keras komando), sementara wanita secara naluriah lebih cenderung pada penggunaan soft power of persuasion (kekuatan lunak persuasi). Rakyat Amerika cenderung mengaitkan kepemimpinan dengan stereotipe laki-laki yang keras, namun studi yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan semakin berhasilnya apa yang dahulu dianggap sebagai kepemimpinan “gaya feminin”.
    Dalam masyarakat berbasis-informasi, jejaring sudah menggantikan hierarki. Dalam banyak organisasi, manajemen mulai beralih ke arah “kepemimpinan yang dibagi bersama” dan “kepemimpinan yang tersebar” di mana pemimpin berada di tengah-tengah suatu lingkaran, bukan di puncak suatu piramida. Mantan Direktur Utama Google, Eric Schmidt, mengatakan bahwa ia harus memperlakukan karyawannya “dengan hati-hati dan lemah lembut”.
    Bahkan militer pun menghadapi perubahan serupa. Di Amerika Serikat, Pentagon mengatakan para instruktur angkatan bersenjata sekarang “kurang melakukan bentakan- bentakan”, karena generasi sekarang ini merespons dengan lebih baik instruktur yang memainkan “peran yang sifatnya lebih menasihati”. Keberhasilan militer melawan teroris dan kelompok-kelompok perlawanan memerlukan prajurit-prajurit yang mampu memenangkan hati dan pikiran, bukan cuma yang mampu meruntuhkan bangunan atau meremuk-redamkan seseorang.
    Mantan Presiden AS George W. Bush melukiskan, peran yang dimainkannya adalah sebagai ”pengambil keputusan”, tapi untuk kepemimpinan saat ini diperlukan lebih dari sekadar itu. Para pemimpin saat ini harus mampu memanfaatkan jejaring, berkolaborasi, dan mendorong keikutsertaan. Gaya non-hierarkis dan keterampilan relasional yang dimiliki wanita cocok dengan kepemimpinan dalam dunia baru organisasi dan kelompok berbasis informasi saat ini yang, rata-rata, kurang siap dihadapi laki-laki.
    Pada masa lalu, ketika wanita berjuang dengan susah payah untuk mencapai puncak suatu organisasi, mereka sering harus mengadopsi “gaya maskulin” yang melanggar norma sosial ”kelembutan” wanita. Tapi sekarang, dengan ledakan revolusi informasi dan demokratisasi yang menuntut kepemimpinan yang lebih partisipatif, “gaya feminin” merupakan jalan menuju kepemimpinan yang efektif. Untuk menjadi pemimpin yang berhasil, laki-laki tidak hanya harus menghargai gaya yang ada pada kolega-kolega wanitanya, tapi juga harus menguasai keterampilan yang sama.
    Ini adalah kecenderungan, (belum) merupakan kenyataan. Wanita masih tertinggal dalam merebut posisi kepemimpinan. Mereka memegang hanya 5 persen posisi puncak dalam dunia usaha dan minoritas dalam posisi di dewan-dewan legislatif pilihan rakyat (cuma 16 persen di AS, misalnya, dibandingkan dengan 45 persen di Swedia). Satu studi mengenai 1.941 orang penguasa di negara-negara merdeka selama abad ke-20 menemukan hanya 27 wanita, sekitar separuh di antara mereka naik ke puncak kekuasaan sebagai anak dari seorang penguasa laki-laki. Kurang dari 1 persen penguasa di abad ke-20 adalah wanita yang memperoleh kedudukan itu atas usaha mereka sendiri.
    Karena itu, dengan kearifan konvensional baru dalam studi mengenai kepemimpinan yang mengatakan bahwa memasuki abad informasi berarti memasuki dunia wanita, mengapa wanita tidak juga mencapai kemajuan yang lebih berarti?
    Kurangnya pengalaman, tanggung jawab utama sebagai pengasuh, gaya tawar-menawar, dan diskriminasi yang sudah berlangsung lama, semuanya membantu menjelaskan kesenjangan gender ini. Jalur karier yang tradisional dan norma-norma budaya yang membentuk dan memperkokohnya jelas memungkinkan wanita memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk duduk di posisi puncak kepemimpinan dalam banyak konteks organisatoris.
    Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan dalam masyarakat yang demokratis, wanita menghadapi risiko sosial yang lebih besar daripada laki-laki ketika bernegosiasi untuk mendapatkan sumber daya berkaitan dengan karier, seperti dalam hal pengupahan. Wanita umumnya tidak terintegrasi dengan baik ke dalam jejaring laki-laki yang mendominasi organisasi, dan stereotipe gender masih menghambat upaya mengatasi rintangan-rintangan itu.
    Bias ini mulai runtuh dalam masyarakat berbasis informasi, tapi mereka keliru mengidentifikasi jenis baru kepemimpinan yang kita butuhkan dalam abad informasi ini semata-mata sebagai “suatu dunia wanita”. Bahkan stereotipe yang positif pun tidak baik untuk wanita, laki-laki, dan kepemimpinan yang efektif.
    Pemimpin harus dipandang tidak dalam arti komando yang heroik, melainkan sebagai pendorong partisipasi dalam suatu organisasi, kelompok, negara, atau jejaring. Persoalan mengenai gaya yang pantas–kapan mesti menggunakan keterampilan keras dan kapan keterampilan lunak–sama relevannya bagi laki-laki maupun wanita, dan tidak boleh dikaburkan oleh stereotipe gender tradisional. Dalam beberapa hal, laki-laki perlu bertindak lebih “seperti wanita”. Dan dalam hal-hal lainnya, wanita perlu bertindak lebih “seperti laki-laki”.
    Pilihan-pilihan utama yang harus dijatuhkan mengenai perang dan perdamaian di masa depan bakal bergantung bukan pada gender, melainkan pada bagaimana seorang pemimpin menggabungkan keterampilan kekuatan keras dan kekuatan lunak yang menghasilkan smart strategies(strategi-strategi yang cerdas). Baik laki-laki maupun wanita akan memutuskan semua itu. Tapi Pinker mungkin benar ketika ia mengatakan bahwa bagian-bagian dunia yang lamban mengurangi kekerasan adalah juga bagian-bagian dunia yang lamban memberdayakan wanita. ●
  • Pekerjaan Rumah Ketua Baru MA

    Pekerjaan Rumah Ketua Baru MA
    Hifdzil Alim, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI
    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
    Sumber : KORAN TEMPO, 20Februari 2012
    Mahkamah Agung punya ketua baru. Mantan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung Hatta Ali terpilih sebagai ketua baru lembaga yang menjadi puncak lembaga peradilan itu. Hatta Ali terpilih menjadi ketua setelah mengantongi 28 suara dari 54 suara Hakim Agung yang diperebutkan. Dia mengalahkan kandidat Ketua MA lainnya, seperti Ahmad Kamil yang memperoleh 15 suara, Abdul Kadir Mappong (4 suara), Mohammad Saleh (3 suara), dan Paulus Effendi Lotulung (1 suara). Ada tiga suara yang dinyatakan tidak sah (Tempo.co, 8 Februari 2012).
    Banyak kalangan berharap terpilihnya Hatta Ali sebagai Ketua MA mampu membawa lembaga hukum tersebut menjadi muara yang menampung proses peradilan bersih dan berwibawa. Hanya, sepertinya tak mudah bagi ketua baru MA asal Sulawesi Selatan itu mewujudkan MA sesuai dengan harapan banyak kalangan. Pasalnya, ada banyak “pekerjaan rumah” di MA yang belum kelar hingga sekarang.
    Pekerjaan Rumah
    Sebelum proses pilah-pilih ketua baru, MA bukanlah lembaga peradilan yang dianggap bersih 100 persen. Banyak dugaan masalah menerpa. Misalnya, soal tumpukan perkara hingga syak wasangka terjeratnya MA oleh kelompok mafia hukum. Bahkan, sesaat sebelum perhelatan pemilihan nakhoda baru, MA dihujani isu tak sedap. Kelompok mafia masuk dalam serangkaian kegiatan pemilihan. Selentingan adanya prasangka jual-beli suara untuk kursi Ketua MA dilontarkan oleh salah satu perkumpulan advokat. Duit sebesar Rp 1-5 miliar untuk satu suara yang diperuntukkan bagi hakim agung yang mau memilih kandidat tertentu disediakan oleh kelompok pemodal pendukung salah satu calon.
    Meski kebenaran sangkaan dari perkumpulan advokat tersebut harus dibuktikan terlebih dulu, paling tidak sangkaan itu menjadi catatan bahwa ada masalah serius yang sedang melanda MA. Kelompok mafia hukum dan pemodal sedang mengepung MA. Selanjutnya, catatan buruk MA dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi terekam di benak publik. Sebab, MA sudah berani membebaskan terdakwa korupsi dalam 40 perkara korupsi (www.mahkamahagung.go.id). Dari sudut pandang sebagian besar masyarakat, membebaskan terdakwa korupsi adalah dosa besar yang sulit diampuni.
    Tak hanya di internal MA, sebagai muara dari lembaga peradilan yang berwenang mengoreksi lembaga peradilan di bawahnya, keberadaan beberapa jenjang lembaga peradilan di bawah koordinasi MA juga belum beres. Sebut saja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada 2011, reputasi Pengadilan Tipikor di beberapa daerah anjlok gara-gara menerbitkan putusan bebas bagi terdakwa korupsi.
    Berdasarkan catatan, Pengadilan Tipikor Surabaya membebaskan 21 terdakwa korupsi. Kemudian Pengadilan Tipikor Samarinda menjatuhkan vonis bebas bagi 14 terdakwa korupsi. Dua kepala daerah dan satu wakil kepala daerah diberi angin kebebasan oleh Pengadilan Tipikor Samarinda. Adapun Pengadilan Tipikor Semarang sudah membebaskan dua terdakwa korupsi.
    Aksi beberapa Pengadilan Tipikor yang membebaskan para terdakwa korupsi tersebut diakui atau tidak telah mengancam runtuhnya miniatur keberhasilan penegakan hukum antikorupsi yang sebelumnya didirikan oleh Pengadilan Tipikor sendiri (Koran Tempo, 12 November 2011). Sebenarnya, akibat yang lebih parah dari kerapnya Pengadilan Tipikor membebaskan terdakwa korupsi adalah potensi lahirnya ketidakpercayaan publik terhadap Pengadilan Tipikor.
    Ketidakpercayaan publik akan memberi masalah turunan berupa tindakan masyarakat yang akan main hakim sendiri. Berat rasanya membayangkan tindakan main hakim sendiri dari masyarakat akan menimbulkan keadaan yang chaos di mana-mana. Hukum negara tak lagi diakui. Rakyat memilih jalan sendiri dalam menciptakan rasa keadilan. Jika sudah begini, lalu apa artinya MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya? Beberapa hal buruk di atas menjadi pekerjaan rumah bagi ketua baru MA. Hatta Ali perlu merumuskan strategi yang jitu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah MA.
    Turun Tangan
    Ketua baru MA harus turun tangan menyelesaikan pekerjaan rumah MA. Setidaknya ada empat langkah yang mesti diambil. Pertama, membersihkan hakim nakal, baik hakim di lembaga peradilan di bawah MA–termasuk hakim Tipikor di semua jenjang peradilan–maupun di lingkungan hakim agung sendiri.
    Program pembersihan hakim nakal tak boleh hanya dijadikan pencitraan semata. Lagi pula, Hatta Ali, melalui pidato yang dia sampaikan setelah terpilih, menjanjikan adanya hakim yang bersih di semua lembaga peradilan. “Tak ingin lagi ada hakim yang melakukan penyimpangan,” begitu ujarnya (Tempo.co, 8 Februari 2012).
    Kedua, setelah menyapu bersih hakim agung di MA dan hakim di lembaga peradilan di bawahnya, harus dibentuk sebuah sistem integritas yang kuat bagi semua hakim dan diterapkan di semua jenjang lembaga peradilan. Contohnya, apabila ada oknum hakim yang diduga saja menerima bingkisan dari pihak beperkara ataupun penasihat hukumnya, atau dari pihak lainnya, si oknum hakim tersebut harus dinonaktifkan sementara. Setelah pemeriksaan dilakukan dan terbukti ada tindak pidana korupsi dari perilaku oknum hakim itu, langkah memberhentikan permanen tak usah ragu diambil.
    Pada konteks tersebut, membangun hubungan kelembagaan dengan Komisi Yudisial dan penegak hukum lainnya dalam melakukan pengawasan terhadap hakim mau tak mau harus diperkuat. Jangan lagi ada sentimen kelembagaan. Bukankah pengawasan akan lebih mudah dilaksanakan apabila ada banyak mata yang dilibatkan?
    Ketiga, khusus bagi hakim Tipikor, perlu diadakan rekrutmen hakim Tipikor dengan transparan dan akuntabel. Capaian yang ingin diraih adalah mendapatkan kualitas hakim Tipikor, bukan kuantitas. Simetris dengan langkah ini, pilihan moratorium pembentukan Pengadilan Tipikor di 458 kabupaten/kota menjadi pilihan yang rasional.
    Untuk sementara, kinerja Pengadilan Tipikor yang sudah dibentuk di 33 ibu kota provinsi hendaknya digenjot dengan serius. Jika sudah tampak keberhasilannya, tak ada salahnya mempercepat pembentukan Pengadilan Tipikor di semua daerah. Strategi ini akan membawa dua dampak secara bersamaan: menghemat anggaran dan menemukan hakim Tipikor yang berkualitas.
    Keempat, last but not least, membuat amar putusan yang adil dan menjunjung tinggi nurani masyarakat adalah langkah yang dapat mendekatkan MA ke publik. Sekaligus langkah ini akan menjadi bukti bahwa MA memang sudah mulai berhasil menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Semoga. ●
  • Pemimpin Miskin Solusi

    Pemimpin Miskin Solusi
    Victor Silaen, DOSEN FISIP, UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 20 Februari 2012
    Saya tak habis pikir ketika membaca berita di berbagai media nasional,               7 Februari lalu, tentang pernyataan Jubir Presiden Julian Aldrin Pasha bahwa Presiden SBY tidak bisa mengintervensi Wali Kota Bogor untuk menyelesaikan kasus GKI Yasmin. Alasannya, Presiden terhalang UU Pemerintahan Daerah.
    Terkait itu Julian juga mengatakan, sebenarnya Presiden SBY sudah mengimbau Wali Kota Bogor untuk menjalankan putusan MA yang berkekuatan hukum tetap. Hal itu terlihat dari instruksi kepada Menko Polhukam dan Mendagri sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menangani kasus GKI Yasmin.
    Menanggapi pernyataan Julian, saya ingin memberi beberapa catatan. Pertama, faktanya hingga kini Wali Kota Bogor tetap membangkang terhadap putusan MA, juga terhadap rekomendasi Ombudsman.
    Artinya, sampai sekarang Wali Kota Bogor tetap tidak mengindahkan hak asasi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di lahan dan gedung gereja mereka yang sah. Pertanyaannya, siapa yang harus menegur Wali Kota Bogor? Logikanya tentu Gubernur Jawa Barat.
    Tapi, kalau Gubernur Jawa Barat juga tak mampu “menertibkan” Wali Kota Bogor, lalu pihak mana lagi yang harus bertindak? Dalam konteks ini setidaknya ada dua pihak: Mendagri dan Menko Polhukam. Nah, kalau Wali Kota tetap tak mau taat hukum, lalu pihak mana yang harus bertindak? Jawabannya jelas: Presiden.
    Berdasarkan itu, lalu mengapa SBY membuat alasan yang “mengada-ada” bahwa ia terhalang UU Pemerintahan Daerah? Bukankah itu secara tak langsung menunjukkan sikapnya yang ingin “lepas tangan”? Kalau begitu, lalu pihak mana lagi yang dapat diharapkan untuk mengatasi masalah ini?
    Tidakkah presiden adalah juga kepala negara, dan karena itu SBY seharusnya bertanggung jawab jika ada daerah di dalam negara ini yang menyimpang secara hukum? Kalau dibiarkan saja, kemudian kelak ada lagi daerah-daerah lain yang berani melawan putusan MA, tidakkah negara ini berjalan menuju kehancuran?
    Hal yang patut dipertanyakan, mengapa untuk masalah sepenting ini SBY tak pernah sekali pun berbicara langsung dengan cara, misalnya, menggelar konferensi pers? Mengapa harus Jubir Presiden yang menyampaikannya? Ataukah sebenarnya SBY menganggap masalah ini sepele? Bandingkan, misalnya, dengan kesediaan SBY berkali-kali menggelar konferensi pers untuk bicara soal Partai Demokrat.
    Bandingkan juga dengan ketegasannya tampil di depan pers untuk menyampaikan pesan-pesan penting terkait tewasnya seorang praja IPDN, Cliff Muntu (2007), dan diculiknya bocah, Raisya (2007).
    Pertanyaan lain, lantas apa artinya janji SBY kepada pemimpin PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang diucapkannya di rumahnya sendiri, di Cikeas, dalam sebuah pertemuan khusus pada 16 Desember 2011?
    Saat itu, menurut Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom, SBY berjanji akan “turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah GKI Yasmin”. Sudah lebih sebulan berlalu, mana buktinya? Dapatkah, atas dasar itu, kita katakan SBY ingkar janji?
    Sekarang saya ingin mengaitkan soal “ketidakbisaan SBY mengintervensi Wali Kota Bogor” dengan keterangan pers yang pernah disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparringa, terkait reshuffle kabinet awal Oktober 2011.
    Gaya kepemimpinan Presiden SBY, menurut Sparringa, akan diubah. Dengan gaya kepemimpinan baru nanti, Presiden akan tidak segan-segan mengintervensi para pejabat di bawah menteri. Selain itu, Presiden juga akan meminta hal sama dilakukan seluruh pejabat pemerintah pusat dan daerah, yang pada intinya akan berjuang untuk rakyat.
    “Presiden sendiri mengatakan, gaya memimpinnya juga akan berubah, gaya memimpin menteri juga berubah, gaya birokrat di tingkat Dirjen juga berubah, dan seterusnya hingga gubernur, bupati, juga wali kota. Jadi, pesan Presiden sebenarnya sangat nasional, kita harus berubah,” ujar Sparringa.
    Sekarang, cobalah evaluasi: bukankah ada kontradiksi antara niat (dulu) dan kenyataan (sekarang)? Dulu SBY berjanji tak akan segan-segan melakukan intevensi, tetapi mengapa sekarang begitu mudah mengatakan tak bisa mengintervensi?
    Kalaulah SBY, seperti diterangkan Aldrin Pasha, sudah menginstruksikan kepada Mendagri dan Menko Polhukam sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menyelesaikan masalah ini, apakah SBY juga menindaklanjutinya secara serius dengan meminta laporan sesering mungkin terhadap kedua menteri tersebut?
    Yang memprihatinkan adalah fakta berikut ini. Sejak Desember 2011 sampai 15 Januari 2012, jemaat GKI Yasmin masih dapat beribadah di rumah anggota jemaat (berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah yang lain), karena ibadah yang mereka gelar sebelumnya di trotoar dekat gereja selalu diintimidasi pihak-pihak lain.
    Namun, sejak 29 Januari lalu, mereka terpaksa beribadah di depan Istana Merdeka, Jakarta, karena ibadah di dalam rumah anggota jemaat pun (22 Januari) tak luput dari gangguan pihak-pihak lain itu.
    Pertanyaannya, bagaimana SBY menyikapi kenyataan yang memprihatinkan ini? Ataukah masalah ini dipahaminya secara sempit sebagai masalah gereja saja, sehingga begitu mudahnya dibiarkan? Tidak, ini jelas bukan masalah gereja an sich. Pertama, ini masalah kebenaran dan kepastian hukum yang dipermainkan seorang kepala daerah.
    Kalau MA sebagai lembaga pengadilan tertinggi sudah memutuskan, bukankah itu harus dipandang sebagai kebenaran hukum yang mesti diterima semua pihak tanpa kecuali? Karena Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukankah demi terwujudnya kepastian hukum, putusan MA tersebut harus dilaksanakan?
    Kedua, ini juga masalah hak asasi warga negara Indonesia untuk bebas beribadah dan menggunakan rumah ibadahnya yang sudah berizin resmi. Bukankah pihak GKI Yasmin sudah pernah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) itu pada 2006?
    Tetapi ternyata Wali Kota Diani Budiarto kemudian membatalkannya dengan alasan sepihak dan “mengada-ada”: mulanya keberatan dari warga sekitar, lalu karena GKI Yasmin berdiri di Jalan Abdullah bin Nuh yang “bernuansa” Islam (sehingga tak etis gereja berada di sana), akhirnya kembali lagi ke alasan keberatan warga sekitar.
    Pertanyaannya, bukankah dengan alasan apa pun, IMB yang sudah dikeluarkan tak dapat dibatalkan? Sesuai Perber Dua Menteri Nomor 8 dan 9, bukankah kewenangan membatalkan itu tidak diatur untuk kepala daerah?
    Akhirnya, saya ingin mengingatkan bahwa pemimpin yang baik seharusnya tak miskin solusi. Jadi, alih-alih lepas tangan dengan dalih terhalang sebuah peraturan, SBY mestinya terus-menerus mengintervensi Mendagri dan Menko Polhukam demi tegaknya wibawa hukum di negara hukum ini.
    SBY juga dapat menggelar konferensi pers khusus untuk menyampaikan sebuah pesan penting: bahwa ia selaku kepala negara tak ingin Kota Bogor menjadi negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena pemimpinnya berani membangkang MA dan tak menghormati Ombudsman. ●
  • Kamar Gelap Korupsi

    Kamar Gelap Korupsi
    I Hery Firmansyah, DOSEN PIDANA FH UGM
    Sumber : REPUBLIKA, 20Februari 2012
    Badai kencang yang tengah menimpa partai penguasa sepertinya belum hendak surut. Misteri ketua besar dan sejumlah kata dengan penuh kode rahasia, seperti apel washington dan lain-lain, masih akan terus menjadi trending topic setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Walau merebaknya ketegangan hubungan antarpimpinan KPK sempat diendus media, tidak menjadikan langkah KPK surut. Suntikan motivasi untuk membuktikan bahwa para pimpinan KPK tetap solid harus dibuktikan dengan tindakan.
    Aktor baru dalam kasus Wisma Atlet SEA Games, Angelina Sondakh, semakin membuat dramatis kedudukan Demokrat sebagai sebuah mesin partai politik sang incumbent. Partai mencoba meyakinkan diri bahwa kader partai tetap berpegang satu komando kepada sang ketua umum. Namun, hal yang tidak disadari oleh mereka semua, apakah yang telah mereka lakukan merupakan keinginan rakyat banyak? Bukankah ketika menjadi wakil rakyat harusnya lebih peka terhadap jeritan suara rakyat? Pintar merasakan apa yang sedang dirasakan rakyat menjadi jauh lebih penting dan bernilai ketika menjalankan setiap amanah.
    Sudah menjadi rahasia umum dan dapat dengan mudah ditebak jika masing-masing pihak yang terseret kasus skandal korupsi ini menyatakan bahwa mereka berada di pihak yang benar. Sehingga, sulit bagi hakim yang menangani perkara ini untuk kemudian dapat benar-benar memberikan keputusan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus yang telah merampok uang rakyat itu. Mengakui kebenaran merupakan suatu hal yang sudah langka jika tidak ingin dikatakan telah punah.
    Konfusius dalam ajarannya menya ta kan bahwa semua orang dapat menga ta kan kebenaran, namun apakah se be nar nya kebenaran itu? Menurutnya, ke benaran yang hakiki adalah ke benaran itu sendiri sehingga perlu me lihat kasus korupsi yang terjadi di negara ini de ngan mata hati masing-masing pihak (polisi, jaksa, peng acara, dan hakim) agar usaha pencarian terhadap kebenaran materiil benar-benar terwujud.
    Sistem peradilan pidana atau yang biasa disebut sebagai criminal justice system dapat diibaratkan sebuah mata rantai yang saling mengkait, baik dari proses penanganan perkara pertama kali oleh pihak kepolisian maupun sam pai kepada putusan hakim. Proses ini harus terus dikawal. Karena, kepu tus an berkualitas yang dapat meme nuhi rasa keadilan masyarakat tidak mungkin dapat terwujud. Jika, dari hulu penanganan perkara sudah terjadi hal yang didesain oleh mereka yang memiliki kepentingan pribadi dalam kasus tersebut. Sehingga, moralitas aparatur penegak hukum menjadi spot light yang penting untuk dijaga.
    Prof Taverne pernah mengatakan, “Berikan aku sepuluh jaksa dan hakim yang baik maka dengan peraturan yang buruk sekalipun akan kuciptakan ke adilan.” Pesan ini menekankan akan pentingnya tingkah laku serta sikap para penegak hukum dibandingkan de ngan kerisauan akan pembuatan atur an, apalagi jika hanya fokus pada ba nyaknya (kuantitas) aturan yang di buat.
    Kasus hukum di negeri ini, terutama korupsi, selalu saja dikaitkan dengan politik. Padahal, penanganan hukum tidak boleh sedikit pun satu ranjang dengan politik karena hal ini akan menjadikan para koruptor tidak akan pernah merasa benar-benar bersalah di mata hukum. Mereka dapat membela diri dengan mengatakan, kasus yang melibatkan mereka tidak lebih dari skenario politik yang diarahkan untuk menjatuhkan mereka dari posisi politis mereka. Bahkan, dengan santainya me ngatakan, ini adalah konsekuensi dari pekerjaan mereka dalam menjalankan amanah. Dan, dapat ditebak, mereka ber ubah menjadi sosok yang seakan terzalimi. Hal ini terus menerus dilakukan.
    Mengutip dari tulisan Prof Jimly Asshiddiqie yang setidaknya dapat memberikan suatu pemahaman dan garis pemetaan yang jelas antara urusan hukum yang kemudian dipolitisasikan (politikus hukum). Dan, melihat dari kacamata urusan politik yang terbingkai dalam ranah hukum. Maka, tampilannya haruslah menjadi seorang ilmuwan hukum. Tergelincirnya dua paham tadi dapat kita lihat dari konteks sudut pandang politikus hukum dan ilmuwan hukum itu sendiri.
    Norma hukum, bagi jurist dan ilmuwan hukum, adalah apa adanya (das sein) sedangkan bagi para politikus hukum, norma hukum adalah norma yang seharusnya (das sollen). Para jurist lebih mengutamakan norma hukum yang mengikat (ius constitutum) se dang kan para politikus hukum lebih me nekankan (ius constituendum) atau hukum yang dicita-citakan. Hal ini pa da akhirnya akan menimbulkan gangguan terhadap tertib hukum nasional kita.
    Sejatinya kecintaan terhadap tanah air serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Hal ini sering disuarakan oleh mereka para pemimpin bangsa ini, teriakan lantang penuh semangat selalu dihadirkan demi menciptakan pencitraan akan nasionalisme mereka. Namun, sangat disayangkan, banyak dari mereka yang jatuh terjerembab ke dalam fanatisme sempit ber le bihan kepada bendera kepartaian mereka, mereka tidak lagi loyal terhadap konstituen, namun lebih men de ngar kan amant partai walau kadang ber ten tangan dengan hati nurani mereka.
    Entah masih berapa lama lagi kita semua akan keluar dari kamar gelap yang menyimpan rapi sejumlah kasus korupsi. Korupsi dapat terjadi bukan hanya oleh syahwat ekonomi yang dikedepankan, namun juga oleh syahwat politik demi menikmati potonganpotongan kue kekuasaan. Korupsi da pat semakin berkembang biak de ngan baik dalam kondisi kehidupan berbangsa di mana khususnya kaum muda dengan seiring perjalanan waktu dan tuntutan hidup, menjadikan kemudian pemuda yang memiliki sikap pragmatis dan apolitis.
    Sikap pragmatis sebagian pemuda yang nantinya lebih mengedepankan kepentingan pribadi, yakni seperti ke inginan untuk kaya, terkenal, dan sukses dalam karier, hanya akan semakin menutup rapat-rapat pintu yang dapat membuka tabir kasus korupsi di negeri ini. ●
  • Upaya Dongkrak Budaya Ilmiah

    Upaya Dongkrak Budaya Ilmiah
    I Sukron Ma’mun, DOSEN SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
    Sumber : REPUBLIKA, 20Februari 2012
    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) mengeluarkan kebijakan yang cukup mengejutkan bagi dunia akademik perguruan tinggi, yaitu adanya Surat Edaran Nomor 152/E/T/2012 tentang Syarat Kelulusan Menulis Karya Ilmiah pada Jurnal Bagi Program Sarjana, Magister, dan Doktoral. Surat edaran tersebut menyatakan kewajiban memublikasi karya pada jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan sarjana, jurnal nasional terakreditasi bagi mahasiswa program magister, dan jurnal internasional bagi program doktoral.
    Kemendikbud memastikan bahwa surat edaran tersebut akan berlaku mulai Agustus tahun ini. Sontak beragam tanggapan mencuat sebagai protes atas kebijakan tersebut. Berbagai kalangan menilai, kebijakan tersebut terlalu dipaksakan dan perlu ditinjau ulang. Kebijakan ini juga dinilai akan menimbulkan problem, terutama terkait dengan semakin lambatnya mahasiswa menyelesaikan studi sebagai akibat sulitnya memublikasikan karyanya.
    Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI) yang juga rektor UII Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid menyatakan keberatan atas kebijakan tersebut. Meskipun kebijakan tersebut memiliki tujuan yang baik untuk peningkatan mutu indeks akademik di Indonesia, tapi perlu pengaturan yang tepat untuk mewujudkannya (Republika, 14/2). Senada dengan itu, beberapa akademisi juga menyatakan kekurangsepahamannya dengan Kemendikbud.
    Terlecut Indeks Publikasi
    Keluarnya kebijakan tersebut disinyalir merupakan keprihatinan Kemendikbud atas prestasi ilmiah dunia akademik perguruan tinggi di Indonesia. Ribuan perguruan tinggi dari universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi yang ada sejauh ini tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai dalam publikasi karya ilmiah atau riset. Kenyataannya, ratusan ribu lulusan perguruan tinggi tersebut sa ngat minim mendapatkan publikasi ilmiah.
    Menurut data yang dilansir oleh Pusat Dokumentasi Ilmiah IndonesiaLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) hingga Mei 2011, tidak kurang 7000 jurnal ilmiah terdaftar, tapi hanya 4.000 yang aktif terbit. Dari sekian ribu jurnal, hanya 406 jurnal ilmiah yang terakreditasi dan 250 jurnal PT yang terakreditasi. Sementara, yang terakreditasi oleh Ditjen Pendidikan Tinggi hanya berjumlah 121 buah jurnal.
    Jumlah tersebut bagi Kemendikbud tentu sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara lain memiliki jumlah yang lebih tinggi. Data yang dirilis oleh Scomagojr, Journal, and Country Rank pada 2011 menunjukkan fakta dalam hal ini. Indonesia menempati posisi ke-64 dari 236 negara yang di-rang king. Sepanjang 1996-2010, Indo nesia memiliki 13.037 buah jurnal ilmiah, jauh tertinggal dari Malaysia yang me miliki 55.211 jurnal dan Thailand sebanyak 58.931 jurnal.
    Kewajiban menulis karya pada jurnal ilmiah tentu akan memberatkan bagi mahasiswa, terutama yang ada di perguruan tinggi (PT) “pinggiran”. Bahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa perguruan tinggi ternama sekalipun sejauh ini belum memiliki budaya aka demik yang memadai, terutama dalam penerbitan karya ilmiah mahasiswa, khususnya S1. Jika ada, jumlahnya sangat sedikit.
    PT kecil dan juga PT yang ada di beberapa pelosok daerah sejauh ini paling sedikit memiliki budaya ilmiah yang mapan. Kendala teknis dan juga minimnya sumber daya manusia menjadi kendala terbesar. Perpustakaan dengan minimnya koleksi referensi, jarangnya diskusi yang didatangi oleh pakar atau ahli, dan berbagai persoalan yang lain menghadang.
    Hanya internet sebagai sumber yang paling bisa diandalkan untuk menunjang informasi dan menggali pengetahuan. Dengan demikian, dari mana akan muncul tulisan atau hasil riset yang bisa diandalkan?
    Kemungkinan, cara yang akan di tempuh oleh civitas academica hampir di seluruh Indonesia adalah cara instan. Dengan cara menulis karya yang “asal-asalan”, comot kanan-kiri, copy-paste, plagiat, atau bahkan memunculkan “mafia penulis”. Hal ini sangat memungkinkan karena mustahil membentuk budaya tulis di kalangan mahasiswa da lam jangka waktu yang sangat sing kat, terlebih dengan berbagai macam keterbatasan tersebut.
    Tentu masih segar dalam ingatan kita, kasus plagiatisme yang menimpa dunia akademik perguruan tinggi beberapa saat lalu. Demikian halnya de ngan kasus mafia karya ilmiah di se jumlah daerah, terkait dengan sertifikasi guru. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Karena, tuntutan adminsitratif dan tidak mungkinnya dilakukan oleh yang bersangkutan.
    Kewajiban menulis karya pada jurnal ilmiah yang segera diberlakukan jangan-jangan juga akan mendorong hal yang sama. Sudah menjadi rahasia umum berapa banyak mafia-mafia penulisan skripsi dan bahkan tesis yang ada di kota-kota besar. Inilah budaya instan akademik yang paling menakut kan karena telah mematikan kejujuran akademik dan proses pembelajaran itu sendiri.  

  • Demokrasi dan Pembangunan

    Demokrasi dan Pembangunan
    Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Penyembuhan demokrasi tak langsung dari neurosis yang dideritanya jelas memerlukan pendidikan formal.
    Sebab, penyakit ini kian parah, ditandai dengan semakin banyak jumlah orang yang tidak terdidik di kalangan penduduk dari negara-bangsa yang menerapkannya sebagai sistem politik dan ketatanegaraan. Pendidikan formal ini sendiri harus yang mencerahkan, di mana penggunaan nalar (akal, reason) dibiasakan di kalangan anak-anak didik sedini mungkin.
    Nalar dan Konsensus
    Pendidikan seperti itu diniscayakan karena, pertama, guna menyadarkan rakyat bahwa yang mereka delegasikan kepada para wakilnya adalah ”kewenangan”, bukan ”tanggung jawab”. Mereka tetap bertanggung jawab untuk mengawasi semua kekeliruan yang secara efektif diselubungi oleh built-in mechanism institusional dan motivasional yang dimiliki oleh demokrasi tidak langsung.
    Selain ini, ketika parpol menyodorkan kepada mereka calon-calon wakil untuk dipilih, nalar pasti mereka perlukan untuk menilai calon-calon itu. Bukan berdasar opini yang dipidatokan oleh para calon, tetapi berdasar apa yang telah dibuat oleh opini tersebut pada diri calon-calon itu sendiri. Opini yang serba muluk itu bisa saja rekayasa speech writer, bukan keyakinan hidup sebenarnya dari sang calon.
    Penggunaan nalar diperlukan pula, kedua, untuk mengoreksi pola pikir masyarakat karena cara berpikir individu terpengaruh oleh pola pikir tersebut. Di mana pun, pola pikir masyarakat dibentuk oleh empat unsur: (i) fakta empiris, (ii) pengertian mitologis dan religius, (iii) ide politik dan etik, dan (iv) generalisasi penalaran ilmiah.
    Tiga dari unsur-unsur ini (i-iii) berpembawaan divergen. Demokrasi per se bahkan tambah memperkuat daya divergensi unsur (ii) dan (iii). Unsur yang punya efek konvergen hanya satu: unsur ke-(iv).
    Sejarah keintelektualan setiap kelompok human merupakan cerita konflik dari aspek-aspek yang konvergen dan divergen tadi. Berarti, tak ada satu pun masyarakat yang mau berdemokrasi mampu survive kecuali apabila pola pikirnya mengandung banyak unsur ilmiah, yang memungkinkan semua pikiran individual warganya cenderung konvergen. Dan hal ini terjadi secara reasonable, bukan karena paksaan dari luar diri, walaupun dalam berdiskusi tentang mitos, agama dan ide politik. Namun yang dimaksud dengan ”unsur ilmiah” itu bukanlah ilmu pengetahuan per se, melainkan kebiasaan bernalar seperti yang lazim berlaku di komunitas ilmiah.
    Rasionalisasi ketiga dari signifikansi kebiasaan bernalar adalah demi efektivitas Pancasila, terutama sila keempat. ”Musyawarah” tidak identik dengan ”negosiasi”, bahkan bukan proses take and give ke arah kompromi. Dalam kompromi, yang esensial justru disisihkan karena perbedaan prinsipiil justru ada di situ.
    Musyawarah, sejatinya, dialog interaktif: saling menginformasikan apa yang dipikir dan dirasakan tentang hal-hal yang esensial. Konsensus yang jadi tujuannya adalah ekspresi dari suatu keinginan bersetuju secara bebas, suatu kemauan bebas untuk mengatasi semua perbedaan, yang lahir dari ”kehendak hidup bersama” dalam komunitas. Dengan begitu. konsensus dapat dikatakan sebagaimana Descartes mengatakan tentang common sense, bahwa ”it is the best shared thing in the world”.
    Nalar dan Kecerdasan
    Kalau konsensus merupakan perkara common sense, ia adalah—karenanya— urusan nalar dan kecerdasan. Kecerdasan ada karena hati turut bernalar hingga gairah ditransformasikan menjadi rasa yang nalariah. Inilah yang kiranya disebut ”emotional intelligence”.
    Berkat perpaduan nalar dan kecerdasan, berupa kearifan, konsensus bisa diperoleh bila saja common sense bahkan tidak siap mengatur perilaku individual atau kolektif semata-mata berdasar nalar. Filosof-matematikawan Pascal di abad XVII telah berujar, ”Le coeur a ses raisons que la raison ne peut pas expliquer” – the heart has its reason when rasion cannot explain (hati punya penalarannya sendiri jika nalar tidak bisa menjelaskan).
    Berarti konsensus dapat dilihat sebagai dialog di suatu persimpangan jalan, antara nalar dan hati, bersendikan konsesi timbal balik, respek dan kasih, kebebasan, kemauan dan identitas diri sendiri dan orang lain, yang berbeda dengan diri sendiri.
    Penglihatan ini berlaku pula apabila kita membicarakan pembangunan nasional, yang merupakan konsekuensi logis dari revolusi nasional kita. Sama dengan revolusi, pembangunan pada asasnya suatu konsensus karena berurusan terutama dengan manusia; semua rakyat Indonesia, mengakui ciri-ciri khas historis, kultural dan spiritual bawaan suku/daerah masing-masing di satu pihak, dan solidaritas human serta kebangsaan di lain pihak.
    Pembangunan manusia, sebagai ide dasar pembangunan nasional, berarti memajukan kekayaan hidup human ketimbang kekayaan ekonomi di mana manusia hidup. Kekayaan ini hanya sebagian dari kekayaan hidup human karena ia meliputi nilai-nilai yang tidak berbentuk.
    Nalar dan Keluhuran
    Sewaktu revolusi dahulu, Bung Hatta selalu mengatakan bahwa kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia. Menurut hemat saya, ”kebahagiaan” ini identik dengan ”kekayaan human” tersebut, yang ukurannya adalah ”memiliki lebih banyak” dan sekaligus ”menjadi lebih luhur”.
    Konsensus mengenai pembangunan, lebih-lebih kalau urusan utamanya manusia, tentu saja bisa bersosok beda menurut waktu dan tempat. Menurut waktu, dalam makna historis dan filosofis dari istilah ”waktu”, menurut tempat, dalam makna teritorial dan kultural dari istilah ”tempat”. Maka kita jangan sekali-kali melibatkan teknologi melulu dalam pembangunan, tetapi juga filosofi. Bukankah Pancasila kita akui sebagai filosofi dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lagi pula, di setiap sila dari Pancasila tersirat keberadaan manusia.
    Berfilosofi secara esensial, menurut Derrida, adalah mencari suatu kriteriologi baru untuk membedakan antara memahami dan menjustifikasi. Berarti, pembangunan—terutama di tahap perencanaannya—tidak bisa lagi dipercayakan kepada teknokrat saja, tetapi kepada teknosof, teknokrat yang berfilosofi. Pembangunan nasional berurusan bukan dengan benda dan hewan, tetapi dengan manusia, yaitu makhluk yang punya nalar dan hati, berpikiran dan berperasaan. Akuilah, hal yang esensial ini yang selama ini justru kita abaikan dalam pembangunan nasional, baik dalam teori maupun praksisnya. ●
  • Demokrasi dan Kepentingan Rakyat

    Demokrasi dan Kepentingan Rakyat
    Paulinus Yan Olla, ROHANIWAN, LULUSAN UNIVERSITAS PONTIFICIO ISTITUTO
    DI SPIRITUALITÀ TERESIANUM, ROMA
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Wacana publik di negeri ini telah agak lama disandera oleh kepentingan para elite politik.
    Pemimpin tertinggi negeri ini dan partai berkuasa sibuk membersihkan diri dari tuduhan kebobrokan korupsi dan salah urus negara. Kepentingan rakyat yang sesungguhnya terabaikan dalam wacana. Demokrasi yang dijalankan di negeri ini mungkin saja sungguh telah mengidap neurosis politis seperti disinyalir Daoed Joesoef. Ada kegagalan institusional, motivasional, dan mekanistis yang menghalangi terwujudnya kesejahteraan rakyat, padahal rakyat secara teoretis jadi pemilik negara berdemokrasi.
    Anomali
    Gagalnya parpol menyuarakan kepentingan rakyat bukan hanya di Indonesia. Italia setelah Perang Dunia II sekurang-kurangnya dua kali mengalami anomali dalam penerapan demokrasinya. Anomali pertama terkait sistem pemerintahan yang korup. Hal itu dihadapi dengan gebrakan penyelidikan ”tangan bersih”. Inti gebrakan itu adalah tekad politik membersihkan tangan mereka yang terlibat dalam politik dari praktik korupsi, pemerasan atau penyelewengan uang rakyat untuk parpol. Penyelidikan yang dimulai 1991 dan berlangsung dua tahun itu membidik banyak menteri, anggota parlemen, pengusaha, dan mantan PM Italia. Mereka yang terlibat penyelewengan uang rakyat dihukum.
    Anomali kedua dalam demokrasi Italia ditandai kejatuhan Berlusconi, 2011 lalu, digantikan sebuah pemerintahan teknis di bawah pemerintahan Mario Monti. Berlusconi dan koalisi partainya gagal menggerakkan pemerintahan menghadapi krisis utang dan krisis finansial yang membelit Italia. Pemerintahan yang gagal digantikan sebuah pemerintahan teknis yang dibentuk tidak melalui pemilu sebagai saluran demokrasi yang normal.
    Demokrasi Indonesia tampak belum membuahkan kesejahteraan rakyat. Seperti dilaporkan harian ini, SBY sendiri mengakui penurunan dukungan terhadap pemerintah dan partainya. Hasil survei memperlihatkan, Januari 2011 Partai Demokrat masih dapat dukungan 20,5 persen responden, di akhir Januari dan awal Februari 2012 tinggal 13 persen (Kompas, 6/2).
    Jauhnya jarak antara klaim keberhasilan pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan publik. Begitu pula jatuhnya kredibilitas wakil-wakil rakyat di mata publik telah lama diketahui. Rakyat kebanyakan merasa tidak diwakili. Keputusan legislatif tak memihak rakyat dan penerapan hukum telah lama mengabaikan rasa keadilan rakyat. Terjadi anomali dalam demokrasi karena rakyat tidak berkuasa dan kepentingannya diabaikan.
    Dalam dua kali anomali demokrasinya, Italia menjawabnya secara berbeda. Dalam kasus pertama, setelah operasi ”tangan bersih”, rakyat akhirnya merebut kembali kedaulatan yang dibajak partai-partai politik. Rakyat di negeri itu menunjukkan kegeramannya dengan menjatuhkan partai-partai besar yang selama beberapa dekade jadi mayoritas tetapi korup. Partai Demokrasi Kristiani (La Democrazia Cristiana) dan Partai Sosialis Italia (Il Partito Socialista Italiano) ditinggalkan. Berlusconi tampil berkuasa tahun 1994 dengan partai baru (Forza Italia) karena rakyat bosan melihat praktik korupsi partai-partai berkuasa saat itu.
    Dalam kasus kedua, rasionalitas dan tanggung jawab kenegarawanan politisi kembali menyelamatkan Italia dari kejatuhan. Pemerintahan teknis Mario Monti lahir dari rasa tanggung jawab etis Berlusconi dan partai berkuasa maupun oposisi untuk menempatkan kepentingan umum di atas kekuasaan jangka pendek partai. Pertikaian para politisi di semua kubu dihentikan dan perpecahan bangsa dihindari demi kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
    Rakyat Diabadikan
    Indonesia kini ditantang mencari jalan keluar dari sakit demokratis yang dialaminya. Sayangnya, pilihan-pilihan dalam khazanah sejarah demokrasinya sangat terbatas dan tak inspiratif. Presiden Soekarno digantikan Soeharto melalui ”kudeta merangkak”. Soeharto pun digusur melalui kegeraman massa, dan Gus Dur dilengser parlemen di tengah jalan pemerintahannya.
    Kini kekhawatiran adanya Sidang Istimewa MPR jadi wacana yang membayangi. Dapatkah bangsa ini belajar jadi lebih cerdas berdemokrasi tanpa kegeraman dan kebencian? Dapatkah daulat rakyat dibela dengan rasionalitas dan sikap kenegarawanan elite politik untuk menempatkan kepentingan politik di atas partai dan kekuasaan? Demokrasi mengandaikan kecerdasan dan tanggung jawab. Ketika peralihan kekuasaan terjadi hanya melalui bahasa kekerasan dan nafsu berkuasa, bangsa itu makin jauh dari kecerdasan dan demokrasi.
    Dalam situasi seperti itu, tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat terabaikan. Daulat rakyat berubah jadi amuk massa. Pilihan ke mana arah demokrasi Indonesia berjalan akhirnya diserahkan pada kecerdasan bangsa ini memilih jalan bijak, mengembalikan kedaulatan rakyat dan mengabdi kesejahteraannya. ●
  • Mentalitas Dendam pada Kemiskinan

    Mentalitas Dendam pada Kemiskinan
    Kurnia JR, SASTRAWAN
    Sumber : KOMPAS, 20Februari 2012
    Pasca-1998 lumrah beredar ”kisah sukses” orang-orang yang mendadak jadi politikus dan masuk komunitas elite Senayan, lalu kaya dalam semalam.
    Segelintir anggota partai yang menang pemilihan umum juga menikmati keberuntungan mengisi pos-pos dalam struktur pemerintahan. Beberapa di antaranya mengalami kemujuran finansial yang serupa dengan rekan-rekan mereka di parlemen.
    Tak begitu lama setelah deru dan debu gerakan reformasi mahasiswa lindap, media massa menerbitkan kisah orang-orang yang sebelumnya hidup pas-pasan—bahkan tak memiliki alamat tetap, tanpa akses ke pusaran kekuasaan—tiba-tiba harus belajar etiket berbusana formal: jas plus dasi. Juga mulai kenal perangkat komunikasi canggih yang menyuguhkan kenyamanan, sekaligus membuka pintu ke dunia hedonistis.
    Kegiatan sidang parlemen dan keharusan tampil formal di muka umum membuat mereka selalu necis. Fasilitas dan berbagai tunjangan jabatan menciptakan kondisi serba ada bagi mereka. Kehadiran staf, asisten, sekretaris, ajudan—apa pun istilahnya—melengkapkan rasa dilayani dalam segala hal. Daftar relasi bertambah dengan nama-nama pebisnis besar yang acap kali murah hati menawarkan aneka kesenangan pribadi. Imbalannya hanya suara dalam pembahasan RUU atau tender proyek negara.
    Kini mata pena mereka sangat sakti. Tanda tangan maupun perkongsian gelap yang lazim dibentuk di hotel-hotel mendatangkan keuntungan yang lebih besar lagi. Makin komplet kenikmatan yang bisa direguk, terbuka jalan tol untuk melupakan kemelaratan pada masa lalu.
    Kewajiban menyerahkan laporan harta kekayaan kepada pejabat publik dan wakil rakyat tak efektif untuk menginspirasikan kejujuran. Rakyat pun lantas menyaksikan perilaku norak kelas sosial baru yang gemar pamer mobil dan retorika sembari korupsi gila-gilaan.
    Padahal, angin segar sempat kita rasakan setelah 21 Mei 1998. Satu-dua tahun pertama, para pegawai di berbagai instansi pemerintah tampak sungkan menarik pungutan liar di loket-loket pelayanan publik. Heroisme mahasiswa selama 1997–1998 membuat banyak PNS tiarap. Ada kecenderungan jajaran bawah birokrasi siap berubah jadi efisien dan bersih.
    Kala itu, yang ditunggu hanyalah kehadiran pemimpin yang teguh menunaikan amanat reformasi dan membawa bahtera negara ke kondisi yang lebih baik. Untuk tahap pertama, pada dasarnya, rakyat tak menuntut banyak kecuali terselenggaranya pelayanan administratif yang bersih dari pungli agar biaya hidup dan usaha tak jadi mahal.
    Api Reformasi Meredup
    Tak dinyana, kobaran api reformasi meredup, bahkan arang kayunya mendingin dengan lekas. Para tokoh gerakan reformasi yang sukses menyokong mahasiswa menumbangkan Soeharto tak mampu melawan pembusukan di lembaga legislatif. Juga di eksekutif dan yudikatif.
    Tak lama kemudian, halaman muka surat kabar dipenuhi wajah para pejabat dan wakil rakyat yang tertangkap basah menyelewengkan amanat. Ada yang menerima uang suap, ada pula yang jadi aktor video porno dalam format telepon seluler. Berita tentang ijazah dan gelar palsu menambah fakta memalukan.
    Sejak dibentuk, Komisi Pemberantasan Korupsi menggelandang banyak petinggi negeri dan selebritas politik sebagai koruptor. Hampir 14 tahun berlalu sejak robohnya Orde Baru, KPK justru bertambah sibuk.
    Tempaan hidup prihatin tak membuat para pejabat negara dan politikus tangguh melawan godaan saat kunci kas negara tergenggam di tangan. Kolega mereka yang lebih dulu kaya berkat jabatan publik maupun politis sebelumnya justru makin giat memperbesar kapital. Akibatnya, kesiapan PNS level menengah ke bawah untuk bekerja jujur serta menjunjung hukum dan etika ditelantarkan. Maka, lewatlah momentum emas bagi pemerintahan yang bersih.
    Sekarang kita memikul akibat dari pemberangusan budaya yang dilakukan secara sistematis oleh rezim Orde Baru. Budaya malu tak menghiasi jati diri kita. Budaya kerja tak disertai watak jujur dan penghargaan pada proses. Hipokrisi dan aji mumpung mewarnai segala urusan. Premanisme dalam bisnis dan politik jadi borok yang justru dinikmati para penyandangnya. Borok itu menginfeksi budaya luhur yang seharusnya kita usung.
    Mereka yang mestinya memperbaiki sistem malah ditelan pusaran. Tiada inspirasi yang terbetik dari pengorbanan para martir dalam gerakan mahasiswa 1998. Kian hari kian mencolok pemanjaan diri yang mengarah ke hedonisme amoral. Mereka tahu pahitnya kemiskinan, tetapi tiada kemauan untuk menyejahterakan rakyat jelata selagi otoritas ada di tangan.
    Ubi societas, ibi justicia. Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Sewajarnya, para penyelenggara negara mewaspadai ungkapan ini, tetapi mereka terlalu sibuk memuaskan dendam pribadi terhadap kondisi marjinal yang pernah mereka alami secara membabi buta. ●