Blog
-
Partai Politik dan Kedustaan
Partai Politik dan KedustaanYudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAANSumber : KOMPAS, 21 Februari 2012“Jika syarat masuk surga itu harus masuk partai politik, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota partai politik.” Pernyataan Thomas Jefferson itu mendekati sinisme yang berkembang di Indonesia saat ini, yang memandang partai politik dalam konotasi peyoratif.Sinisme itu meluas seiring dengan tendensi keserbahadiran partai merecoki segala bidang kehidupan dengan menampakkan diri dalam wajah ”kebebalan keburukan” (banality of evil). Politik sebagai arena pertukaran gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik diselewengkan oleh parpol menjadi arena penampakan kedangkalan berpikir, transaksi kepentingan pragmatis, korupsi, pengingkaran, dan pembohongan publik.Elite partai yang mestinya menjadi garda res publika (urusan publik) justru menjadi simpul terlemah dari kehidupan negeri. Meminjam ungkapan Sayidina Ali, ”Sesungguhnya golongan elite ini adalah yang paling memberatkan wali negeri dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan bantuan saat terjadi musibah, paling tidak menyukai keadilan, paling banyak permintaannya secara terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya jika diberi, paling tidak siap menerima alasan jika ditolak, dan paling lemah kesabarannya jika berhadapan dengan berbagai bencana.”Sebagai sumber pemasok kepemimpinan negara, perilaku politisi bahkan belum memiliki prasyarat mendasar untuk bisa mewakili masyarakat manusia. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan kebaikan dengan keburukan.Pangkalnya Adalah DustaPangkal dari semua keburukan itu adalah dusta. Sedemikian rupa sehingga, menurut resep pertobatan Nabi Muhammad, hal-hal negatif lain masih bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan ”dusta”. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.Dusta mendarahi republik ini dari hulu sampai hilir. Kesibukan para calon pemimpin politik bukanlah menawarkan isi, melainkan kemasan; bukanlah mendalami basis moral dan visi republik, melainkan sekadar memperhatikan hasil rekayasa survei. Partai tidak didirikan sebagai perwujudan dari aspirasi dan perjuangan kolektif, melainkan sebagai alat mobilisasi dukungan elite politik.Pemilu tidak menjadi sarana rakyat untuk menghukum para politisi khianat lewat jaminan penghitungan suara yang fair, melainkan jadi alat pengukuhan kembali para politisi pendulang ulang. Para kepala daerah lebih disibukkan untuk membayar utang-utang politik ketimbang memperhatikan pelayanan publik.Dalam masalah dusta politik itu, saat ini Partai Demokrat yang paling sering dituduh karena perilaku sejumlah kadernya. Sebagai pemenang pemilu legislatif dan presiden, Partai Demokrat paling bertanggung jawab menentukan hitam-putihnya Republik saat ini. Tanggung jawab itu setidaknya menyangkut pemenuhan janji kampanyenya.Partai inilah yang dalam janjinya paling lantang mengatakan ”tidak” pada korupsi. Nyatanya, orang lingkaran inti partai ini satu per satu terbongkar menjadi bagian dari sindikat korupsi. Tidak hanya berhenti pada korupsi, orang-orang ini juga secara dingin memperlihatkan ketegaannya untuk berdusta, membohongi nalar publik.Kian hari kian terungkap, barangsiapa menciptakan drama pantas mendapatkan karma. Bahwa, sesuatu kekuasaan yang dimulai dengan dusta bisa melahirkan efek peniruan di tingkat bawah, sehingga beranak pinak menjadi keluarga besar ”partai dusta”. Spiral dusta ini pada akhirnya akan berbalik arah merongrong wibawa kekuasaan, yang diindikasikan oleh merosotnya kepercayaan publik kepada Presiden.Negara ini tak bisa dipimpin dusta. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan, manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil akhir tindak kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan secara berkelanjutan.Kepercayaan publik itu merupakan pertaruhan Republik. Presiden Jerman Christian Wulff baru saja mundur dari jabatannya hanya karena menerima fasilitas saat meminjam dana dari bank untuk mencicil rumah sebelum menjadi presiden. Pengunduran diri itu ia pilih demi mempertahankan kepercayaan publik pada politik, khususnya kepada Kanselir Angela Merkel yang tengah bergelut agar Jerman bisa keluar dari krisis utang di zona euro.Di dalam politik, tidak ada yang lebih penting daripada keselamatan republik. Karena itu, setiap pemimpin politik harus berjiwa besar, siap mengorbankan apa pun demi kebaikan bangsa dan negara. Politisi kerdil, yang hanya memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya, dan untuk itu tega berkhianat dan membohongi publik, tak pantas berambisi memimpin republik ini.Rantai terlemah dari demokrasi Indonesia saat ini adalah mediokritas dan dekadensi golongan politik: miskin gagasan, miskin etika, miskin pelayanan. Situasi inilah yang melahirkan apatisme dan sinisme publik pada politik.Situasi demikian amat merisaukan. Seperti diingatkan Robert Maynard Hutchins, ”Kematian demokrasi bukanlah karena pembunuhan oleh penyergapan secara tiba-tiba, tetapi merupakan kepunahan secara perlahan yang disebabkan oleh apatis, ketakhirauan, dan kemelaratan.” ● -
Polemik Seputar Peraturan Dikti tentang Wajib Publikasi Ilmiah
Polemik Seputar Peraturan Diktitentang Wajib Publikasi IlmiahDjoko Santoso, PENGAJAR FK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA;STAF RSUD DR SOETOMOSumber : JAWA POS, 21 Februari 2012Dancing in all its forms cannot be excluded from the curriculum of all noble education; dancing with the feet, with ideas, with words, and, need I add that one must also be able to dance with the pen? Friedrich Nietzsche (1844-1900)
DUNIApendidikan tinggi sedang dihebohkan oleh surat edaran Dirjen Dikti yang isinya pada intinya mengharuskan karya akhir mahasiswa S1, S2, dan S3 dipublikasikan dalam jurnal ilmiah sesuai dengan tingkatannya. Termasuk untuk tingkat S3 harus di jurnal internasional. Keharusan publikasi itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas karya ilmiah dan mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain.Kegundahan dan kebingungan boleh jadi memang menghinggapi banyak kalangan di dunia kampus. Syarat memang sangat berat dilaksanakan. Tokoh-tokoh pendidikan pun menyebut itu dengan “tergesa-gesa” dan tidak mungkin terlaksana dengan baik. Salah satu tokoh yang paling lantang menyorot kebijakan itu adalah Franz Magnis Suseso, pensiunan guru besar filsafat yang ternama.
Penulis memandang, Dirjen Dikti jelas memiliki niat yang luhur, sementara para pengkritik juga tidak berniat buruk. Tetapi, alangkah membanggakannya kalau SE Dirjen Dikti itu dapat mendorong karya akademik lebih berkualitas hingga menembus level lebih tinggi. Di sisi lain, apa yang diharapkan Franz Magnis Suseno agar para akademisi/mahasiswa dapat memperoleh ketenangan untuk berkarya, tanpa beban, sehingga lebih produktif dan memperoleh gelar.
Tetapi, marilah kita bicara mengapa warga kampus menulis dan menerbitkan karyanya. Antara lain, terkait penghargaan dan akuntabilitas karena ini merupakan aktivitas yang berharga. Henson (1999) atau Thyer (1994) menunjukkan, menulis adalah sebuah jalan berinteraksi untuk mendapatkan kredibilitas, untuk memperoleh legitimasi profesi, memperkuat posisi/jabatan, untuk meningkatkan cara pandang, serta untuk mempromosikan profil diri.
Intinya, dengan menulis dan meneliti, seseorang dapat mengubah semuanya. Menulis yang merupakan proses untuk menyusun ide dapat membuat Anda berpikir dan berpikir, mendorong untuk selalu membaca dan membaca lebih kritis. Antara membaca dan menulis itu saling mendorong dan mengatur satu sama lain. Menulis adalah bagian dari pekerjaan, mendiskusikan ide-ide, dan dapat mengolahragakan pikiran hingga berpikir selalu hati-hati dan teliti.
Suatu universitas, katakanlah, menargetkan minimal tiga publikasi tiap tahun untuk memacu dosen agar menulis karena hal ini merupakan pekerjaan akademik universitas. Kalau hal ini dihayati, menulis bukan merupakan sesuatu yang rumit. Apalagi didorong rasa tanggung jawab dan sadar kebutuhan profesinya.
Muncul pertanyaan, bagimana kalau karya ilmiah tidak diterbitkan? Alasannya banyak. Ada kemungkinan penulisnya kurang percaya diri, malu, takut akan ditolak, takut untuk dinilai, kurangnya kesempatan untuk diterbitkan karena ketatnya berkompetisi. Mungkin pula seseorang bingung bagaimana merespons kritik yang muncul. Belum lagi harus menunggu beberapa bulan untuk jawabannya ditolak atau diterima, takut akan kelemahan.
Sindroma Impostor
Brookfield (1995:229) menyebutkan bahwa seorang penulis tidak menerbitkan karyanya bisa karena “sindroma impostor”, suatu perasaan bimbang apakah benar-benar dia tahu apa yang sedang dianalisis? Sindroma ini lahir dari: kurangnya kepercayaan diri, ketakutan akan menjadi tidak sekompeten penulis yang lain, perasaan ketidakmampuan, rasa tidak berharga, takut ditemukan sebagai plagiat. Sindroma tersebut dapat menghambat dan menciptakan perasaan rasa rendah diri hingga dapat menghentikan niat seseorang untuk menulis. Namun, jika hal tersebut bisa dibuka, hal ini bisa berdampak positif. Dorongan dan bantuan kolega akan sangat membantu mereka yang menghadapi kekurangpercayaan diri tersebut.
Dalam kaitan ini, perlu pula diingat bahwa jurnal ilmiah sendiri bukanlah kumpulan karya tanpa cacat. Penelitian Tooley dan Darby (1998), misalnya, menunjukkan, banyak hasil riset dalam pendidikan tidak relevan dengan para praktisi dan para pembuat kebijakan, tidak dibangun di atas literatur atau pengetahuan yang telah ada. Artikel-artikel itu juga sukar diakses dan eksklusif; sukar dibaca dan penulisannya buruk sekali, atau sukar dipahami; bias dan sepihak saja (lihat Wellington, 2000).
Kritik mereka adalah bahwa penulis-penulis dalam jurnal pendidikan memiliki sebuah kecenderungan untuk memasukkan nama-nama orang besar tidak untuk alasan apa pun, namun hanya untuk membesarkan karya tulis mereka atau memberikan kesan bahwa karya mereka itu intelek.
Mengapa Dirjen Dikti meminta karya ilmiah harus diterbitkan? Ada ilustrasi yang menarik tentang tukang kayu yang akan dipecat saat membangun sebuah bangunan. Dia berkata, “Saya seorang tukang kayu. Jadi, saya tidak memasang pintu.” Demikian juga sama dengan dosen-dosen yang berkata, “Baik, saya suka menerbitkan karya ilmiah, namun saya tidak memiliki waktu karena saya harus mengajar dan mengatur tata kelola universitas.” Jawaban ini adalah sebanding dengan tukang kayu yang mengatakan bahwa dia tidak memasang pintu.
Memublikasikan karya tulis bagaimana pun beratnya akan menguntungkan. Aktivitas ini memang bisa menghabiskan biaya, energi, dan waktu di saat suatu tulisan menjalani proses reviewyang mungkin amat panjang, menyakitkan. Asal prosesnya fair, hasilnya membanggakan.
Walhasil, SK Dirjen Dikti tentang keharusan publikasi karya ilmiah warga kampus tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan. Memang, pemegang kebijakan perlu lebih mempertimbangkan seberapa besar peluang suatu kebijakan bisa dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya, para sivitas akademika tentu tidak ingin sekadar menggelinding, asal hidup, asal eksis. Bagaimana pun, dapat menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menghasilkan karya-karya terbaik adalah anugerah yang luar biasa. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia. ●
-
Momentum Tingkatkan Budaya Riset Kampus
Momentum Tingkatkan Budaya Riset KampusM Azhar, LITBANG SINDOSumber : SINDO, 21 Februari 2012IMBAUAN pemerintah agar mahasiswa menulis hasil penelitian di jurnal ilmiah tidak perlu diperdebatkan secara teknis. Yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan reputasi pendidikan tinggi Indonesia melalui riset dan budaya menulis ilmiah.
Surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Djoko Santoso berbuah polemik. Belum satu bulan diteken, surat yang berisi mengenai ketentuan yang mewajibkan setiap mahasiswa sarjana untuk membuat karya ilmiah di dalam jurnal, langsung ditolak. Adalah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (Aptisi) yang secara mentah-mentah menolak usulan tersebut.Kelompok ini mengklaim sebanyak 3.150 perguruan tinggi swasta (PTS) dari Sabang sampai Merauke menolak melaksanakan surat edaran tersebut. Ketua Aptisi Edy Suandi Hamid mengatakan, kebijakan itu secara filosofi bertujuan baik namun tidak logis.Rektor Universitas Islam Negeri Indonesia ini menilai jumlah jurnal ilmiah yang dapat menampung karya ilmiah para sarjana tidak cukup.
”Kami tetap menuntut kebijakan ini dikaji ulang,” kata dia. Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Suyatno mengatakan, aturan mewajibkan menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana bisa berujung pada penyusunan jurnal asal-asalan. Dia juga mengeluhkan masih belum meratanya kualitas infrastruktur pendidikan antara daerah satu dan daerah lain. ”Bagi kampus swasta di Papua, komputer itu masih sangat terbatas,” kata dia.
Apa pun itu, yang jelas Kemendikbud jalan terus dengan kebijakan ini. Dirjen Dikti Kemendikbud Djoko Santoso menegaskan bahwa pihaknya tidak akan membatalkan ketentuan tersebut. Mantan rektor ITB itu mengatakan, sejatinya ketentuan calon sarjana wajib menulis jurnal tidak perlu sampai diatur dalam sebuah surat edaran. ”Menulis karya ilmiah itu sudah kewajiban mahasiswa calon sarjana,” tegas dia.
Terlepas dari polemik tersebut, kita tidak bisa menutup mata bahwa kondisi kultur riset yang berujung pada budaya menulis di jurnal ilmiah sangat kompleks. Persoalan itu meliputi rendahnya kuantitas, tingkat rujukan publikasi ilmiah (citation),hingga masalah kualitas dan tidak meratanya infrastruktur pendidikan di daerah. Yang paling utama ialah masalah publikasi ilmiah.
Jika dibandingkan dengan universitas negara tetangga, jurnal dan publikasi ilmiah bereputasi internasional karya perguruan tinggi di Indonesia sangat tertinggal (lihat grafis). Total karya ilmiah dari gabungan empat perguruan tinggi negeri (PTN) top di Indonesia meliputi Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Pertanian Bogor tahun 2011 hanya sebanyak 4.784 judul.
Total judul karya ilmiah yang dihasilkan para center of excellences ini masih kalah jauh dari judul karya ilmiah yang dihasilkan Universiti Sains Malaysia sebanyak 9.649 judul. Apalagi jika dibandingkan dengan National University of Singapore, yang mencapai 59.290 judul pada tahun yang sama.
Padahal,publikasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan komunitas akademik internasional merupakan satu indikator utama dalam perumusan ranking perguruan tinggi di dunia versi THES-QS World University maupun Webometric. Setali tiga uang, pertumbuhan jurnal ilmiah yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi dan institusi riset di Indonesia selama kurun 2009–2011 tak kalah mandeknya.
Pertumbuhannya dari tahun ke tahun tidak sampai positif 10%, bahkan pertumbuhannya cenderung negatif. Belum sampai berbicara mutu, tren pertumbuhan jurnal dari tahun ke tahun ini sudah menunjukkan betapa lemahnya kultur riset di pendidikan tinggi.
Puncak Gunung Es
Rendahnya kuantitas karya ilmiah yang dihasilkan pendidikan tinggi, sejatinya merupakan puncak gunung es dari masih rendahnya kultur riset di pendidikan tinggi, bahkan di dunia pendidikan pada umumnya. Budaya menulis secara ilmiah seperti belum menyatu dengan sistem pendidikan kita.
Kuantitas karya ilmiah tidak dapat dipisahkan dari budaya riset, suatu proses membuktikan suatu tesis dan antitesis untuk menemukan sintesis baru. Adapun untuk membuktikan suatu tesis tersebut tentu diperlukan daya nalar dan sikap kritis dari sivitas akademik. Banyak pengamat mengatakan bahwa budaya riset di Indonesia masih kurang dibandingkan dengan budaya riset di negara-negara lain.
Hal ini disebabkan sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang lebih berorientasi pada kegiatan pengajaran ketimbang riset. Model tersebut secara langsung membentuk budaya akademik yang cenderung pasif dan satu arah. Jika budaya ini terus menggerus budaya riset dan penulisan ilmiah, dunia pendidikan tinggi lama-kelamaan akan kehilangan daya nalarnya.
Karena itu, ketentuan yang dirumuskan Kemendikbud jangan dilihat sebagai upaya yang sifatnya membebani perguruan tinggi. Tidak hanya PTS, PTN pun akan kesulitan jika mewajibkan setiap mahasiswanya untuk menulis di jurnal ilmiah. Selain masalah dana, kualitas hasil tulisan juga diragukan apabila karya tersebut dibuat sebagai prasyarat kelulusan saja.
Hal ini sebaiknya dijadikan momentum bersama untuk bangkit dan membangun reputasi pendidikan tinggi Indonesia di mata dunia. Memang, untuk mendorong budaya riset dan tulisan ilmiah tidak semudah membalikkan telapak tangan.Kultur akademik yang semakin terkikis harus digiatkan kembali secara perlahan mulai dari sekarang, mengingat Indonesia sudah jauh tertinggal.
Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara (BHMN) sejak tahun 2003 sebenarnya membuka peluang bagi universitas-universitas untuk mendapatkan dana riset ilmiah.Perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN bisa mendapatkan dana melalui pembukaan unit-unit usaha ataupun kerja sama strategis dengan suatu badan usaha.
Kemudian, perlu ada upaya pancingan (trigger) baik dari pemerintah ataupun kerja sama di antara perguruan tinggi agar budaya ilmiah tetap tumbuh dan berkembang. Hal ini bisa dilakukan misalnya melalui kegiatan- kegiatan seperti seminar, lomba penelitian,ataupun call for paper, dan hasilnya diterbitkan dalam bentuk jurnal.
Pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya budaya riset tersebut dan tidak boleh menutup mata bahwa anggaran riset di dalam sektor pendidikan masih rendah. Selain itu, peran yang juga harus dijalankan pemerintah ialah memperluas akses terhadap sumber pengetahuan, misalnya memberikan akses gratis untuk koleksi jurnal online (e-jurnal) sebagai referensi, atau memberikan subsidi bagi jurnaljurnal ilmiah terakreditasi.
● -
Karya Ilmiah Kunci Sukses Sarjana
Karya Ilmiah Kunci Sukses Sarjana(Wawancara)Djoko Santoso, DIRJEN PENDIDIKAN TINGGI KEMENDIKBUDSumber : SINDO, 21 Februari 2012Imbauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tinggi (Kemendikbud) tentang keharusan mahasiswa sarjana dan pascasarjana menulis karya ilmiah di jurnal nasional atau internasional sebagai syarat kelulusan menimbulkan prokontra.
Mayoritas kalangan perguruan tinggi keberatan syarat tersebut. Nah, sebenarnya apa yang diinginkan pemerintah terkait imbauan tersebut. Berikut wawancara SINDO dengan Dirjen Dikti Djoko Santoso.Apa latar belakangnya adanya surat edaran yang Anda buat?
Budaya akademik di Indonesia itu harus diubah dari budaya tutur menjadi budaya menulis. Budaya tutur itu berdasarkan sejarah dimulai dari Socrates.Namun,dia tidak menulis karena yang menulis itu Plato dan Aristoteles.Tapi itu kan dulu, masa Indonesia sampai sekarang masih ingin mempertahankan budaya tutur.
Maka kita harus mulai dengan budaya menulis yang ada standarnya secara baku tidak boleh dilanggar. Itu namanya menulis karya ilmiah. Jadi, karya ilmiah itu harus bisa dibuktikan sumbernya berdasarkan dalil-dalil ilmiah. Nanti kalau ada yang tidak tepat akan diketahui mana yang salah.
Namun, sekarang menjadi polemik di kalangan kampus?
Sekarang ini menjadi tanggung jawab kami untuk memberikan pemahaman yang baik tentang karya ilmiah itu apa dan membuatnya seperti apa. Untuk para akademisi, itu tidak sulit dan pasti bisa melakukannya. Sarjana ini sebetulnya adalah suatu proses pengalaman akademik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi untuk bisa melakukan seperti itu. Kunci sukses sarjana, magister, dan doktor itu adalah di karya ilmiah.Tidak ada yang lain dan karya ilmiah itu bukti yang abadi.
Tapi mengapa sarjana ikut diwajibkan?
Untuk tingkat sarjana sebaiknya pernah menulis, satu saja juga sudah cukup. Yang ditulis itu yakni penelitian asli, meskipun levelnya masih sederhana, misalnya praktikum di laboratorium, kerja lapangan, mencari data sederhana, dan lainnya.
Kalau yang magister dan doktor?
Itu kan cukup jurnal nasional dan terakreditasi. Memang yang terakreditasi hingga saat ini baru ada 201. Tapi yang belum terakreditasi kan siapa saja bisa membuatnya di jurnal nasional, dan itu tidak sulit dibuat dan kriteria utama jurnal nasional itu reviewer- nya secara nasional.
Banyak kampus swasta yang terkesan seram dengan kewajiban membuat karya ilmiah ini?
Itu artinya saya harus mawas diri.Tanggung jawab yang harus saya kerjakan masih besar. Kalau kita mengacu pada pernyataan mendikbud di Lumajang, memang diketahui mereka belum paham.Menteri pun memerintahkan ke saya harus bisa membuat mereka paham karya ilmiah itu bukan dedemit. Arti lain ialah kita belum bisa memberikan pemahaman yang baik. Khususnya saya yang akan bertanggung jawab dalam hal ini.
Bagaimana peringkat Indonesia dengan negara lain?
Berdasarkan data Scimagojr, Journal and Country Rank 2011 Indonesia berada di rangking 65 dengan jumlah 12.871 publikasi.Posisi kita di bawah Kenya dengan 12.884 publikasi. Di peringkat pertama itu Amerika dengan 5.285.514,bahkan Singapura yang negerinya kecil saja ada di posisi 32 dengan 108.522 publikasi.
Apa kendalanya sehingga kita kalah dengan mereka?
Kita memang tidak terbiasa mengekspresikan inovasi, karya,dan budi daya kita di dalam bentuk tulisan ilmiah sehingga bisa diurut kebenarannya tadi. Buktinya sekarang kan saya keluarkan cuma edaran sepele, tapi kebanyakan banyak yang kontra. Padahal, menulis di kalangan akademik itu merupakan hal yang biasa.
Untuk menerbitkannya,banyak pihak bilang tidak mudah?
Mereka mungkin masih dalam era ’70-an kalau kita menulis perlu bergudang-gudang jurnal dan buku.Itu tidak perlu karena zaman sekarang itu kan era digital. Mengirim data bisa lewat online dan bisa juga ditautkan dengan portal Garuda yang ada di Kemendikbud.Kalau nanti ada perguruan tinggi punya server sendiri dapat dia simpan di situ,tapi bisa di link ke jurnal portal Garuda sehingga dapat diakses di mana-mana. Cara membuatnya sendiri sudah kami edarkan di website Dikti.
Supaya tidak ada kebohongan dalam pembuatannya?
Itu gampang saja. Nanti kan ada search engine. Ada software yang bisa memeriksa mana yang sama dengan karya lain, dan software itu akan bekerja mencari semua data yang ada di dalam web.
● -
Anarkisme dan Liberalisme
Anarkisme dan LiberalismeBambang Setiaji, REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTASumber : SINDO, 21 Februari 2012Apakah yang menghubungkan kemelut Front Pembela Islam (FPI), kekerasan di Freeport, Mesuji,dan Sape,money politic di Partai Demokrat—yang sebenarnya juga terjadi di setiap partai,serta korupsi yang tidak jera-jeranya?
Lalu apakah benang merah antara kesemuanya itu dengan kepemimpinan transaksional yang tidak bertanggung jawab dan berorientasi pribadi, budaya hedonis yang ditampakkan generasi muda, dan kelompok yang berebut untuk menjadi keamanan swasta dan bisnis-bisnis sekitar ini? Yang menghubungkan daftar panjang tersebut adalah kehidupan liberal yang diperkenalkan sejak reformasi.Kebebasan kita melampaui guru-guru kita di Barat katakanlah Amerika sebagai guru liberalisme. Kegagalan para pengusung demokrasi sejak reformasi adalah membiarkan demokrasi tanpa batas dalam waktu yang lama—12 tahun—membuat rakyat tidak sabar. Demokrasi semacam ini tak ditemukan bahkan di negara asalnya. Lihatlah dalam bidang politik di mana ikatan koalisi diliputi saling tikam,oposisi yang tidak objektif, serta tidak terdapatnya kepemimpinan yang efektif.
Tujuan politik luhur untuk menyejahterakan rakyat yang sebetulnya bisa melanggengkan kekuasaan dikalahkan oleh tujuan melestarikan kekuasaan belaka sebagaimana dapat dikaitkannya kasus Nazaruddin,Angie,dan kaitankaitannya. Pola atau fenomena ini sebenarnya tidak khusus, tapi merupakan pola umum.
Kebebasan yang sangat hedonistis dalam bidang lifestyle yang umumnya terjadi di negara bebas meresahkan masyarakat yang ingin mempertahankan jati diri bangsa dan kelompok agama. Pengusung demokrasi tidak pernah menentang ini semua. Padahal masalah ini menakutkan mayoritas komunitas bangsa yang memandang anarkisme dan fundamentalis demokrasi sebagai dua ekstrem, pada satu titik anarkisme dan liberalisme tanpa batas adalah sama.
Arah demokrasi seperti ini sudah benar-benar menyimpang dari impian para founding fathers sebagaimana dibayangkan bentuknya dalam UUD 1945 sebelum amendemen. Para penyeru untuk kembali ke UUD 45 bukan tidak beralasan, kebebasan kita belum pernah ditemukan dalam sejarah negara bebas sampaisampai tanpa arah.
Para penyeru itu mungkin dapat dikaitkan dengan politisi PDIP dan sekelompok independen yang kini aktif di kampus-kampus. Menyebut salah satunya walaupun tidak saling berkaitan adalah Prof Sofyan Effendy,mantan rektor UGM, sebagai ilmuwan, Jenderal Saurip Kadi dari militer, sebarisan budayawan seperti Pong Harjatmo,sekelompok ekonom yang paling keras almarhum Mubyarto,serta murid pelanjutnya, Dr Revrisond Baswir.
Para ekonom oposan diwakili oleh yang paling konsisten mantan menteri keuangan Dr Rizal Ramli dan Dr Hendri Saparini. Para ekonom yang tergabung dalam Ikatan Ahli Ekonomi Syariah, di UI Prof Mustofa Edwin,di BI Muliaman Hadad, di Universitas Trisakti almarhum Prof Sofyan Safri Hararap, di UIN Jakarta Dr Agustianto, di UGM Prof Bambang Sudibyo dan Dr Anggito Abimanyu.
Kesemuanya secara pribadi dan intelektual mendukung ekonomi dan perbankan syariah. Hal tersebut merupakan titik-titik pencarian perbatasan dari negara superbebas khususnya yang terwujud dalam demokrasi politik dan ekonomi dewasa ini.
Kebablasan
Begitu banyak contoh bahwa liberalisme kita yang kebablasan. Dalam bidang keuangan negara misalnya, ciri dari penganut fundamentalisme pasar adalah terlihat dari pembagian kue APBN dengan diutamakannya sektor bisnis besar. Sektor yang terkait politisi dan sektor yang menguntungkan birokrasi itu sendiri serta tentu saja kebalikannya, diabaikannya kebutuhan rakyat.
Pada saat anggaran negara menyentuh Rp1.300 triliun, anggaran langsung untuk rakyat belum dapat diandalkan. Di negara-negara yang mapan demokrasinya bahkan anggaran pensiun, kesehatan, sekolah, dan program sosial justru sudah terlalu besar sehingga membuat persoalan tersendiri yaitu membengkaknya utang. Namun, utang mereka sangat legitimate karena bertujuan untuk kebaikan kepada rakyat.
UUD 1945 sebenarnya tidak didesain sebagai negara sangat bebas seperti ditemukan sekarang. Kebebasan ini juga disalahartikan oleh sekelompok orang, LSM yang mungkin dibantu asing.Karena demokrasi, kebebasan ekonomi, ratifikasi hukum perlindungan modal, dan hak cipta dari berbagai temuan negara maju disertai keterbukaan terhadap modal asing sangat menguntungkan pihak asing untuk menguasai bisnis-bisnis utama.
Melalui kolaborasi bisnis,budaya hedonis, dan politik kebebasan arah Indonesia menjadi bumper yang sangat penting untuk kemakmuran negara inti. Kebebasan dan aparat yang lemah juga ditunggangi kelompok bisnis bawah tanah yang bergerak di bidang bisnis hiburan dan yang menyerempet bisnis bawah tanah.
Sebabnya adalah negara menjadi terlalu bebas dan menjadi sangat dekat dengan anarkisme itu sendiri. Negara menjadi kehilangan legitimasi untuk menghalangi anarkisme yang lahir pada awal reformasi sebagai keseimbangan antarkelompok yaitu lahirnya berbagai laskar baik yang on ground maupun under ground.
Bagaimanapun biaya reformasi ini bagaimanapun lebih murah dibanding misalnya kemelut di Timur Tengah. Kendati demikian, tidak berarti bahwa pembelokan kepada negara super bebas legitimate, seperti anarkisme juga tidak legitimate, karena mengganggu proses pembentukan masyarakat sipil. Juga perlu dicatat bahwa jati diri sangat penting dari sekadar kemajuan tanpa identitas.
Anarkisme dalam arti luas adalah dilanggarnya konsensus. Untuk negara Indonesia konsensus pada awal kemerdekaan adalah dibentuknya negara bebas terbatas di mana Tuhan dan agama menjadi pengarah negara sebagaimana konsensus antara negara Islam dan negara nasional. Sementara itu terdapat konsensus ekonomi liberal dan program kesejahteraan, peran swasta dan negara, antara federalisme dan kekuasaan pusat, serta konsensuskonsensus lain.
Upaya menunggangi kebebasan dan demokrasi keluar dari konsensus sungguh tidak menguntungkan misalnya munculnya wacana kembali kepada UUD 45 sebelum amendemen karena kesalahan pengusung demokratisasi yang salah arah.
● -
PPP dan Masa Depan Politik Islam
PPP dan Masa Depan Politik IslamBahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK, DEKAN FISIP UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTASumber : SINDO, 21 Februari 2012Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyelenggarakan musyawarah kerja nasional pada 21– 23 Februari di Pesantren Lirboyo, Hidayatul Mubtadi’in, Kediri, Jawa Timur, pimpinan KH Idris Marzuki.
Lazimnya kegiatan sebuah organisasi, pertemuan seperti ini sebenarnya merupakan hal yang biasa—kerja rutin tahunan. Karena itu, kegiatan seperti itu biasanya kurang menarik perhatian media massa atau pengamat.Apalagi, acara ini diselenggarakan di tengah bergolaknya berbagai persoalan yang bisa memengaruhi peta politik kekuasaan di Tanah Air seperti kasus Bank Century, masalah korupsi yang merepotkan Partai Demokrat, dan sebagainya.Meski demikian,acara yang digelar PPP kali ini bisa bersifat lebih dari sekadar peristiwa biasa. Banyak yang berharap musyawarah nasional kali ini menjadi sesuatu yang melampaui rutinitas agenda tahunan partai. Harapan itu didorong oleh realitas tantangan yang dihadapi PPP, yang memerlukan perhatian ekstraserius dan segera.
Sekaranglah saatnya partai ini berbenah diri secara lebih bermakna, melakukan konsolidasi serius agar mampu menyongsong Pemilu 2014 dengan sedikit lebih percaya diri. Para pemimpin dan aktivis PPP hendaknya bisa lebih memahami dan bertanggung jawab atas jati diri dan identitas partai mereka beserta kenyataan sosial-politik yang melingkunginya.
Pertemuan nasional PPP kali ini menjadi lebih urgen ketika partai-partai politik dihadapkan pada kenyataan bahwa kepercayaan publik terhadap mereka menurun, popularitas melorot, dan secara keseluruhan kondisi politik memburuk. Dalam konteks ini, tidak mudah langkah yang harus diambil PPP. Untuk dapat bertahan, memperkuat,dan memperluas basis dukungan, para pengurusnya memerlukan kerja keras yang sungguhsungguh.
Dengan demikian, para pendukung dan masyarakat luas bakal (kembali) percaya bahwa memberikan dukungan kepada PPP merupakan langkah awal untuk mewujudkan agregasi dan artikulasi kepentingan sosial,ekonomi, dan politik mereka. Tantangan riil yang dihadapi PPP pada dasarnya bersifat klasik. Ini dalam artian bahwa tidak ada hal yang bisa dibilang baru yang menghalangi partai ini untuk memperoleh dukungan elektoral yang lebih luas.
Sejak partai ini didirikan pada Januari 1973, tantangan yang dihadapinya berkisar pada tiga hal utama: Islam sebagai asas partai; penerjemahan Islam dalam agenda dan program partai; dan kepemimpinan yang bersedia dan mampu membawa partai ke arus utama atau tengah politik Indonesia. Tiga tantangan pokok ini sampai kini belum terselesaikan dengan baik. Dalam perjalanannya yang hampir empat puluh tahun itu, PPP masih berkutat untuk menuntaskannya.
Representasi Islam
Bagaimanapun harus diakui bahwa Islam merupakan faktor yang teramat penting bagi PPP. Tanpa Islam,PPP tidak bakal ada. Berbeda dengan PKS, misalnya, yang juga menjadikan Islam sebagai asas gerakannya,PPP mewarisi Islam sebagai asas politik bukan hanya dalam konteks politik, melainkan juga dalam konteks sejarah panjang yang menyertai—atau bahkan menyebabkan—kelahirannya.
Secara historis, PPP merupakan representasi kekuatan politik Islam.Partai ini adalah gabungan dari kekuatankekuatan politik Islam Indonesia seperti Masyumi,NU, PSII, dan Perti. Inilah empat partai Islam yang di tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia bersatu dalam Masyumi.
Partai-partai inilah yang menorehkan garis dan warna politik Islam sampai mereka dibatasi geraknya oleh penguasa Orde Baru, dan dalam banyak hal menyisakan pengaruh dan inspirasi pada baik partai Islam (PKS, PBB, PBR) maupun partai berbasis massa Muslim (PKB, PAN) pascareformasi 1998.
Dengan warisan kesejarahan yang panjang itu, PPP-lah yang senantiasa dipersepsikan sebagai partai Islam sehingga paling dituntut untuk menjelaskan arti penting Islam sebagai asas atau ideologi partai. Di tengah rasa waswas yang naik-turun pada sebagian komunitas politik Indonesia mengenai hubungan antara Islam dan politik, partai berlambang Kakbah inilah yang paling disorot untuk memberikan kepastian bahwa keislaman pemimpin dan anggotanya tidak bersifat diskordan terhadap mainstream politik Nusantara.
Meskipun ada saja kekuatankekuatan yang ingin membawa politik Indonesia ke kanan atau ke kiri,garis utama politik kita berada di tengah. Hal ini pernah terwacanakan dengan amat baik dalam frase “Indonesia bukan negara agama, melainkan juga bukan negara sekuler.” Dalam perspektif seperti ini, secara ideologis asas Islam dalam politik yang dianut PPP semestinya diletakkan dalam konteks keterkaitan antara agama dan politik sebagaimana diutarakan di atas.
Sudah sewajarnya jika asas Islam PPP diorientasikan dalam kerangka politik tengah yang menjadi arus utama dinamika politik Indonesia. Dengan kata lain, ideologi Islam PPP, menurut istilah Don Emmerson, “tidak diarahkan ke Mekkah.” Jika pandangan ideologis ini telah terselesaikan, tantangan kedua partai dengan sendirinya juga akan teratasi. Dengan pemahaman ideologis seperti itu, agenda keislaman partai pastinya tidak bersifat diskordan dan/atau partisan.
Benar bahwa sebagai partai Islam,PPP mempunyai kewajiban untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan pendukungnya yang semuanya beragama Islam.Akan tetapi, perwujudan dan artikulasi tersebut sudah semestinya bersifat inklusif.
Kepemimpinan
Tinggallah sekarang soal kepemimpinan.Dalam sejarah politik Indonesia,kepemimpinan (politik) Islam senantiasa beberapa langkah di belakang kepemimpinan non-Islam. Soekarno dan Hatta,dibanding Mohammad Natsir dan Wahid Hasyim, lebih berhasil memenangkan hati dan jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kenyataan inilah yang antara lain menjelaskan mengapa kekuatan politik Islam pada Pemilu 1955 hanya mampu memperoleh dukungan 43,5%. Selebihnya, suara diberikan kepada kekuatan politik non- Islam. Pada masa Orde Baru,dapat dikatakan, tidak ada lagi pemimpin politik Islam. PPP sebagai satu-satu wakil politik Islam senantiasa mengalami intervensi dari pemerintah ketika menentukan siapa pemimpin yang akan mereka pilih.
Pasca 1998 kebebasan untuk menentukan pilihan tersedia. Akan tetapi, lagi-lagi, para pemimpin Islam tidak mampu berfungsi sebagai magnet kepemimpinan nasional. Ketika transisi demokrasi di Indonesia telah terkonsolidasikan, baik pada Pemilu Presiden 2004 maupun pada 2009,Susilo Bambang Yudhoyono-lah yang tampil sebagai magnet kepemimpinan nasional.
Bagaikan de javu, sejarah politik kepemimpinan Indonesia berulang lagi! Dalam konteks seperti ini, PPP membutuhkan kepemimpinan, baik pada tingkat pusat maupun daerah, yang mampu berfungsi sebagai magnet.Kepemimpinan yang ada hendaknya ditransformasikan sebagai institusi untuk mengisi kebutuhan yang diperlukan. Persoalannya, hal seperti ini tidak bisa diwujudkan seketika.
Berbeda dengan kekuatan politik lain yang tidak memiliki pengalaman ideologis dan politis sebanding, bagi PPP—atau PDI Perjuangan— outsourcing jelas bukan pilihan yang tepat untuk mewujudkan magnet kepemimpinan partai Islam. Jika soal magnet kepemimpinan politik Islam ini tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat, yang diperlukan adalah sebuah kepemimpinan yang bersifat tidak personal.
Dalam hal ini PPP dituntut untuk mengekspresikan kepemimpinan yang bersedia membawa partai pada garis politik yang menjadi arus utama atau tengah masyarakat. Intinya adalah kepemimpinan yang meletakkan Islam dalam konteks kebutuhan masyarakat Indonesia. Apakah tiga preskripsi di atas cukup untuk menjadikan PPP sebagai tenda besar bagi masyarakat (politik) Indonesia? Jawabannya barangkali tidak!
Akan tetapi, tiga hal di atas merupakan prasyarat yang diperlukan—meskipun tidak cukup. Faktor kecukupan hendaknya dicari dalam kerangka partai sebagai kekuatan politik. Dengan kata lain, ketiga persyaratan yang diperlukan di atas sewajarnya dilengkapi dengan langkah-langkah politik sesuai real politic yang dihadapi PPP.
Seringkali dunia politik memiliki logika tersendiri— yang sampai tingkat tertentu berbeda dengan nilainilai keagamaan yang dipahami PPP sendiri. Karena itu, kepemimpinan yang terampil menjadi sangat diperlukan.Terampil di dalam mengelola situasi politik yang dihadapi, tanpa harus mengganggu jati diri dan identitas partai sebagai kekuatan politik Islam. Dalam konteks inilah sebenarnya masa depan politik Islam diperlukan.
Mukernas kali ini tidak cukup hanya diselenggarakan dengan agenda yang biasa. Diberitakan, forum ini juga akan membicarakan soal yang berkaitan sirkulasi elite nasional 2014. Mukernas juga bakal menuntaskan masalah pembentukan kader partai yang jutaan jumlahnya. Saya tidak tahu apakah halhal di atas menjawab persoalan esensial yang dihadapi PPP— dan partai-partai lain.
Satu hal yang jelas adalah bahwa peneguhan kembali akan jati diri dan watak partai mulai menguat. Demikian juga keinginan untuk menarik kembali pendukung dan simpatisan partai yang sejak 1998 bernaung di tenda (politik) yang lain. Dengan memilih pesantren sebagai tempat penyelenggaraan mukernas, PPP ingin membawa kembali pendukung lama dan utamanya.
Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sudah melakukan hal ini untuk beberapa lama. Kita tinggal menunggu apakah langkah-langkah ini dapat dipelihara dengan baik sehingga membuahkan dukungan yang nyata bagi PPP pada 2014.
● -
Simpang Siur RUU Keamanan Nasional
Simpang Siur RUU Keamanan NasionalMuhamad Haripin, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK –LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)Sumber : SINDO, 21 Februari 2012Simpang siur RUU Keamanan Nasional bukan hanya berkutat pada aspek substantif, khususnya definisi, poin-poin bentuk ancaman tak bersenjata,dan mekanisme koordinasi antar aktor keamanan.Perkembangan terbaru, seperti diberitakan oleh beberapa harian nasional (10/2), menunjukkan problem pada aspek perumusan kebijakan. Komisi I akan mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah agar segera diperbaiki. Setelah berkonsultasi dengan 12 pihak,diantaranya organisasi nonpemerintah berbasis isu HAM,Komisi I mengamini kekhawatiran masyarakat sipil bahwa RUU Kamnas mengandung banyak persoalan.Perkembangan lain yang terjadi adalah perubahan mekanisme pembahasan RUU Kamnas di DPR. Selama ini RUU Kamnas dibahas di Komisi I yang membawahi bidang pertahanan, intelijen, luar negeri, dan komunikasi-informatika. Selanjutnya Badan Musyawarah DPR memutuskan bahwa RUU akan dibahas oleh panitia khusus (pansus) lintas fraksi dari tiga komisi yaitu Komisi I,II, serta III.
Perubahan ini didasari oleh substansi Kamnas yang multisektoral, di dalamnya tidak hanya menyangkut sektor (pertahanan) keamanan nasional, tapi juga ruang lingkup pemerintahan dalam negeri (pusat dan daerah) serta penegakan hukum (kepolisian), yang notabene wilayah kerja Komisi II serta III.
Konsekuensi
Dua perkembangan tersebut memiliki dua konsekuensi.Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, mesti ‘menulis ulang’ RUU Kamnas.Penolakan dari parlemen dan organisasi nonpemerintah (ornop) merupakan sinyal kuat atas pertanyaan yang lebih mendasar tentang urgensi RUU Kamnas: apakah pemerintah dan aktor keamanan benar-benar membutuhkan keamanan nasional.
Bagaimanapun pemerintah pada dasarnya tengah ditantang agar berpikir lebih terbuka. Dalam satu kesempatan lokakarya tentang Kamnas yang pernah diikuti penulis, seorang petinggi Kemhan yang menjadi narasumber menyatakan bahwa semangat RUU Kamnas adalah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN).
Padahal jika dicermati, pemerintah justru telah melalaikan amanat UU 3/2002 (Pertahanan Negara) mengenai pembentukan Dewan Pertahanan Nasional. Dari sisi komposisi personel dan tugas, kedua lembaga tersebut tidak jauh berbeda.Kalaupun wewenang DPN dirasa kurang,pemerintah bisa menambahkannya melalui keputusan presiden.
Konsekuensi selanjutnya adalah parlemen mesti membahas RUU Kamnas sedari awal. Pertama, asumsinya, anggota pansus dari Komisi II serta III tidak terlalu mafhum. Kedua, sambil menunggu rancangan terbaru dari pemerintah, Komisi II dan III mengejar ketertinggalannya dari Komisi I dalam memahami isu penting yang dibahas RUU Kamnas.
Jika yang terjadi adalah kondisi pertama, pihak yang akan lebih dominan adalah anggota pansus dari Komisi I. Pansus akan didominasi pendapat atau kritik yang lebih menyoroti aspek pertahanan. Alhasil, polemik ‘dikebirinya kewenangan Polri’ serta konsolidasi ‘aktor keamanan daerah’ tidak akan terlalu banyak disoroti.
Namun jika anggota pansus dari Komnas II serta III bisa mengejar ketertinggalannya, situasi yang mungkin terjadi adalah pertarungan kepentingan di antara anggota pansus, yang berhubungan dengan ruang lingkup kerja mereka di level komisi.
Pertarungan
Bagaimanapun simpangsiur RUU Kamnas ini muncul karena ketidakmulusan proses perumusan kebijakan.Pada satu sisi hal tersebut merupakan konsekuensi demokratisasi yang sedang terjadi di Indonesia. Keamanan nasional tidak lagi menjadi urusan aktor keamanan negara per se, tapi masyarakat sipil pun menuntut kesempatan mengemukakan pandangan.
Usaha itu telah tampak sejak reformasi sektor keamanan pertama kali dilakukan misalnya dalam keterlibatan kelompok kerja Propatria dalam pembahasan RUU Pertahanan Negara pada era Menteri Pertahanan Mahfud MD. Namun pada sisi lain,demokratisasi pun tidak dapat menafikan pertarungan kekuasaan antar elite politik.Terlebih, pengelolaan sektor keamanan nasional (tentara, polisi, intelijen, dan aktor terkait) merupakan permainan besar dengan banyak pertaruhan kepentingan.
Problem yang dihadapi pemerintah adalah pencarian titik ekuilibrium yang menempatkan setiap aktor dalam posisi yang tepat serta proporsional. Dengan dilibatkannya Komisi II dan III,aktor yang terlibat bertambah dan semakin kompleks permainan yang akan berlangsung. Sebelum peluit pembahasan draf baru dimulai pun,gejala ketatnya persaingan telah terasa.
Seperti diungkapkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung, pelibatan Komisi II dan III merupakan buah dari aspirasi Kapolri. Polemik ‘pemeretelan wewenang Polri’ mencuat karena Dewan Keamanan Nasional dinilai akan mengambil alih wewenang Polri dalam menilai situasi strategik keamanan dalam negeri (strategic assessment).
Menanggapi permintaan tersebut, anggota Komisi I menyarankan Kapolri untuk mengungkap kegelisahannya langsung kepada Presiden.Namun, dibanding menyarankan hal demikian, Komisi I semestinya mempertanyakan kenapa dalam forum di parlemen,Polri berani menyampaikan keinginan agar Komisi III terlibat dalam pembahasan RUU Kamnas.
Bagaimana sebetulnya proses perumusan RUU Kamnas di tubuh Kemhan, apakah telah mengikutsertakan para pemangku kepentingan di sektor keamanan atau sekadar ajang ‘perebutan kembali kendali teritori serta operasi’ yang dahulu didominasi Angkatan Darat? Pembentukan pansus RUU Kamnas—jika nanti berhasil— merupakan preseden penting dalam pengelolaan sektor keamanan Indonesia.
Publik, khususnya, dapat melihat konstelasi kepentingan yang eksis di sektor keamanan. Namun, hal yang patut digarisbawahi adalah publik membutuhkan diskusi keamanan nasional yang sehat.Dengan dikembalikannya RUU, pemerintah mesti berusaha lebih keras lagi menyaring berbagai aspirasi masyarakat.
Selain itu, parlemen pun memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengikuti dinamika opini yang berkembang di tengah masyarakat. Bagaimanapun tersendat-sendatnya pembahasan RUU Kamnas tak terlepas dari peran parlemen itu sendiri (Komisi I) yang sejauh ini hanya berhasil sebagai ‘wadah penampungan aspirasi,’ namun masih sangat lemah dalam hal ‘motor terciptanya solusi.’
● -
Citra Partai dan Kepentingan Pribadi
Citra Partai dan Kepentingan PribadiKaryudi Sutarjah P., TENAGA AHLI DPRSumber : SUARA MERDEKA, 21 Februari 2012“Angie harus bertanggung jawab. Termasuk semua kader partai, mengingat kini dukungan untuk Demokrat anjlok ke angka 13,7% “SUDAH menjadi tersangka, dimusuhi kawan-kawan pula. Begitulah nasib Angelina Sondakh, tersangka korupsi proyek wisma atlet SEA Games 2011. Seperti halnya M Nazaruddin, sebelum KPK menetapkan Angie sebagai tersangka, banyak elite Partai Demokrat (PD) membelanya. Namun begitu KPK menetapkannya sebagai tersangka, elite partai balik badan, menyerang Putri Indonesia 2001 itu. Sebut saja Ruhut Sitompul dan Sutan Bhatoegana. Sebelum Nazar menjadi tersangka pun, Ruhut dan Sutan mati-matian membelanya.
Nasib yang menimpa Angie dan Nazar merupakan pembenaran atas premis Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain, homo homini lupus. Juga membuktikan di dunia politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.
Ruhut, Sutan, dan elite Demokrat lainnya barangkali berkepentingan menjaga citra partai yang diklaim sebagai partai bersih. Dengan menyerang Angie, seakan mereka menunaikan misi suci membela partai, karena Angie dianggap nila setitik yang merusakkan susu sebelanga. Maka, sebagaimana Nazar, wanita itu pun harus disingkirkan.
Atau barangkali ada kawan Angie punya vested interest dan hidden agenda, dalam arti bila wanita itu tersingkir dari Badan Anggaran DPR, mereka bisa menggantikannya duduk di lahan basah?
Angie pun seakan dipingpong. Semula anggota Komisi X DPR itu dipindahkan ke Komisi III. Namun dengan dalih Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono marah, menilai pemindahan itu tidak cerdas, dan banyak anggota komisi yang membidangi hukum itu resisten, termasuk Ketua KPK Abraham Samad, partai pun memindahkannya ke Komisi VIII.
Belum juga masuk ke komisi itu, bahkan ada wacana dipindahkan lagi ke Komisi VI, ia sudah dikembalikan ke Komisi X. Seakan-akan merasa lebih suci, anggota Komisi III ramai-ramai menolak kehadiran Angie. Wakil Ketua Komisi III Nasir Djamil bahkan mengaku malu bila Angie duduk di komisinya. Lagi-lagi premis Hobbes dan adagium tak ada kawan atau lawan abadi di dunia politik menemukan kebenarannya.
Kekayaan Melonjak
Sikap resisten kawan Angie di DPR juga mengingatkan kita kisah pezina pada zaman Nabi Isa. Alkisah, warga yang marah mengadu kepada Isa dan memintanya merajamnya. Setelah pezina itu dipendam hingga sebatas leher, Isa yang lembut hati itu bertanya kepada warga yang hadir. Bagi yang merasa dosanya paling sedikit, dimintanya pertama melempar batu. Namun semua diam, tak seorang pun berani melempari wanita itu dengan batu yang disiapkan.
Dalam hal Angie, seandainya anggota DPR itu dibekali batu, jangan-jangan tak ada seorang pun mau melemparinya karena merasa pernah korupsi, sekecil apa pun. Banyaknya anggota DPR yang melonjak kekayaannya membuktikan hal itu. Bahwa kemudian KPK belum mencokok mereka, itu hanya soal peruntungan atau masalah waktu saja.
Bila riwayat Angie ini ditulis, bukan dimaksudkan pembelaan. Dia tak pantas dibela, dan siapa pun yang membelanya dianggap melawan arus, bahkan melawan akal sehat. Apalagi sejak menjadi anggota DPR tahun 2004, kini kekayaan Angie melonjak 1.000%. Ditambah berita ia bisa menghabiskan miliaran rupiah dalam sekejap belanja online. Tapi proporsionalitas harus ditegakkan. Sebagai manusia, martabatnya perlu dijaga.
Dunia selalu berputar ibarat roda pedati, kadang kita di atas kadang di bawah. Kemarin Angie disanjung para sahabat sehingga membuatnya lupa daratan. Kini giliran terpuruk, satu per satu sahabat menjauhinya. Ingatlah kata Hobbes, dan ingatlah adagium tak ada kawan atau lawan abadi. Angie harus bertanggung jawab. Termasuk semua kader partai, mengingat kini dukungan untuk Demokrat anjlok ke angka 13,7%, paling rendah sejak Pemilu 2009 (SM, 20/02/12). Dukungan tertinggi diberikan kepada Partai Golkar dengan 15,5% suara, dan PDIP menempati urutan ke-3 dengan 13,6%.
● -
Investment Grade bagi Si Miskin
Investment Grade bagi Si MiskinFalik Rusdayanto, DIREKTUR THE GOLDEN INSTITUTE JAKARTA,
ALUMNUS CHULALONGKORN UNIVERSITY THAILANDSumber : SUARA KARYA, 21 Februari 2012Raihan Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade) oleh lembaga peringkat internasional Fitch Ratings membuat pemerintah yakin bahwa prospek ekonomi Indonesia akan cerah. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pun menandaskan pentingnya mendorong perusahaan swasta maupun BUMN untuk segera menggelar penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Menurutnya, investment grade harus dianggap opportunity untuk menarik arus modal asing.Dengan raihan peringkat itu, diyakini ekonomi RI akan semakin “seksi” bagi para investor. Bahkan, proyeksi analis bahwa pada kuartal I dan II 2012 merupakan momen yang kurang cocok untuk go public mengingat krisis Eropa yang belum jelas pemulihannya, akan bisa dipecahkan.Di tengah euphoria perolehan investment grade, ada kelompok masyarakat miskin yang bisa jadi terbengong-bengong. Mereka tidak paham apa arti investment grade, apakah sebagai tawaran kesejahteraan buat si miskin?Bisa jadi betul bahwa investment grade memungkinkan membajirnya modal. Namun, belum tentu modal itu akan mengalir ke sektor riil yang menawarkan peningkatan kesejahteraan bagi si miskin. Modal yang masuk bisa jadi hanya berputar-putar lagi di investasi jangka pendek. Kalau ini yang terjadi, kenaikan peringkat itu tidak akan banyak manfaatnya bagi perekonomian Indonesia. Akhirnya euphoria investment grade hanya akan dinikmati segelintir para pemburu rente jangka pendek, dan tidak memberi apa pun buat si miskin.Penurunan penduduk miskin dari tahun ke tahun, tidak terlalu signifikan. Tahun 2004, jumlah penduduk miskin turun 16,7%, tahun 2005 (16,0%), tahun 2006 (17,8%), tahun 2007 (16,6%), tahun 2008 (15,4%), tahun 2009 (14,2%), tahun 2009 (14,2%), tahun 2010 (13,3%), tahun 2011 (12,5%).Angka ini hanya menghitung mereka yang masuk kategori miskin absolut diukur dari pendapatan, itu pun pada standar yang paling minim. Angka ini belum mengungkap wajah kemiskinan Indonesia yang sebenarnya, dari berbagai dimensi. Angka tersebut juga belum memasukkan mereka yang tergolong tidak miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan, yang angkanya bahkan jauh lebih besar dari kemiskinan absolut.Sulitnya mengurangi angka kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan sangat terkait dengan politik anggaran yang tak memihak masyarakat miskin atau tidak kompatibel dengan tujuan kesejahteraan. Sebagian besar APBN terkuras untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi yang ternyata tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga justru lebih banyak jadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat. Anggaran rutin menyedot 40% lebih APBN.Anggaran untuk belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan biaya perjalanan serta membayar utang terus meningkat, sementara pada saat yang sama anggaran untuk subsidi dan belanja sosial justru turun. Untuk belanja pegawai dan membayar cicilan utang saja tidak kurang Rp 162,6 triliun dan Rp 153,6 triliun. Sementara, anggaran untuk pengurangan kemiskinan hanya Rp 80 triliun. Anggaran untuk belanja kesehatan hanya sekitar 2,2% dari total APBN dan kurang dari 1% dari PDB. Data Bappenas, dalam enam tahun terakhir pemerintahan SBY, belanja modal nyaris stagnan, bahkan tumbuh negatif.Artinya, untuk membangun atau menyejahterakan rakyat, kita harus puas hanya dengan remah-remah yang tersisa. Persoalannya tidak sekedar anggaran habis untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi dan membayar utang, namun juga banyak yang dikorupsi atau bocor. Celakanya, bahkan remah-remah itu pun belum tentu seluruhnya menetes ke kelompok miskin yang dituju. Tidak sedikit dari dana tersebut justru tersedot untuk seminar, perjalanan dinas, dan lain-lain. Subsidi untuk rakyat miskin juga tidak sepenuhnya dinikmati orang miskin. Contohnya, subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati orang kaya.Selama ini upaya penanggulangan kemiskinan semata dipahami sebagai program pemberantasan kemiskinan, bukan ‘strategi dan kebijakan’ penanggulangan kemiskinan. Akibatnya, upaya mengatasi kemiskinan cenderung dijawab hanya dengan ‘program untuk orang miskin’ yang dibiayai dengan APBN dan/atau dana-dana swasta. Demikian pula, kebijakan pro-poor budget juga secara sempit dimaknai sekadar sebagai budget for the poor. Akibat pemahaman yang kurang tepat ini, kinerja pemberantasan kemiskinan lebih banyak diukur dari besaran dana APBN yang dialokasikan untuk program penanggulangan kemiskinan. Tetapi, sudahkah dana tersebut dikelola secara efisien dan tidak dikorupsi? Dan, seberapa jauh upaya tersebut berhasil mengangkat orang miskin, tidak sekadar keluar dari kubangan kemiskinan, namun juga menciptakan kelas menengah baru dan tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru dari kelompok miskin di berbagai sektor?Kita perlu belajar dari China yang berhasil mengurangi kemiskinan setelah menggunakan resep-resep yang logis, yaitu membangun pedesaan, tempat orang miskin terbanyak berada. China memerangi kemiskinan di basis kemiskinan. China, yang berada di level korupsi sama dengan Indonesia tahun 1995, mampu melakukan terobosan tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan absolut 1 dolar AS per hari di China tahun 1990 lebih parah dari Indonesia, yakni 31,5% di China dan 26% di Indonesia. Sekarang, kemiskinan absolut kedua negara tidak lagi jauh berbeda, yakni di China kini 6,1% dan Indonesia (5,9%).China fokus membangun industri manufaktur yang sekitar 50%-nya didedikasikan untuk rakyat. Sementara di Indonesia, kondisinya terbalik. Kunci keberhasilan China adalah pembangunan yang dimulai dari desa dan pertanian. Sementara kita, lebih bias ke kota. Jadi, investment grade belum akan memberi kesejahteraan buat si miskin. ● -
Ekonomi Rente dan Beban Anggaran
Ekonomi Rente dan Beban AnggaranMakmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENKEUSumber : SUARA KARYA, 21 Februari 2012Ekonomi rente adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan antara oknum pengusaha yang menyediakan modal dengan oknum pejabat yang menyediakan fasilitas, insentif, dan proteksi. (Thamren Ananda 2010) Pengusaha memperoleh keuntungan kemudahan sumber daya murah, mudahnya akses atas informasi dan peluang yang diperoleh melalui kebijakan yang dikeluarkan. Sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap dan peluang untuk melakukan kolusi dan korupsi.Perburuan ekonomi rente tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, bahkan di menjangkiti negara-negara maju. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparancy International tahun 2010 dan baru dirilis pada awal November 2011 menyebutkan bahwa perburuan ekonomi rente di Rusia dan China adalah yang terburuk. Perusahaan-perusahaan di kedua negara ini dipandang sebagai pelanggar terburuk dengan melakukan praktik suap dalam menjalankan bisnis di luar negeri. Sementara pengusaha-pengusaha Swiss dan Belanda menempati urusan teratas pengusaha yang dipandang jujur.Berdasarkan daftar Bribery Payers Index yang dibuat Transparancy International terhadap 28 negara, Indonesia menduduki peringkat ke-4 daftar pengusaha yang gemar memberi suap untuk memuluskan urusan bisnisnya. Survei ini tidak menjelaskan di negara mana saja pengusaha Indonesia ditengarai kerap memberi suap. Namun, setidaknya survei ini bisa menjelaskan kebiasaan membayar suap para pengusaha Indonesia. Kecenderungan membayar suap juga merupakan perpaduan antara kebiasaan yang dilakukan di Indonesia dan lemahnya hukum di negara tujuan berbisnis.Menurut Gordon Tullock dalam bukunya Theory of Economic Rent-seeking, perilaku ekonomi cenderung terjadi pada mereka yang memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi, para pengusaha memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar, sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan maupun legislatif. Para pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau memengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai yang tidak dikompensasi. Praktik ekonomi-rente juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen.Dalam praktiknya, bisnis ekonomi rente tidak saja dilakukan oleh oknum pengusaha dengan pejabat negara baik di pusat maupun daerah, namun jauh telah menyusup ke badan legislatif. Alih-alih menjalankan fungsinya mengawasi jalannya roda pemerintahan, mereka justru terus mengembangkan sayap kekuasaannya demi mengejar ekonomi rente. Sejumlah kasus belakangan ini seperti kasus korupsi Wisma Atlet, dan dugaan korupsi dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) di kementerian tertentu merupakan bukti perburuan ekonomi rente oleh para politikus.Fenomena semakin suburnya perburuan rente di Indonesia seolah membuktikan sinyalemen Prof Yoshihara Kunio dalam bukunya The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Menurut Yoshihara, praktik kapitalisme semu di Asia Tenggara terutama Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat pemerintah, tentunya juga legislatif, sehingga pelaku usaha yang sesungguhnya tidak bisa berkembang. Munculnya kapitalis Asia Tenggara itu dikarenakan adanya orang-orang yang punya kedekatan dengan penguasa (personal contact) serta cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga, ketimbang membangun industri berdasarkan pada profesionalisme industrialis.Perburuan ekonomi rente akan membebani anggaran negara, dengan kerugian dapat dilihat dari dua sisi.Pertama, penggunaan anggaran menjadi tidak optimal. Penyisihan APBN untuk investasi yang seharusnya berpotensi menjadi sumber penerimaan negara hilang begitu saja karena adanya perburuan rente. Siapa pun tahu siapa yang berburu rente dalam kasus kepemilikan saham pemerintah pada PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Sesuai keputusan Badan Arbitrase Internasional, 31 Maret 2009, pemerintah yang seharusnya mayoritas menjadi minoritas. Anehnya lagi, legislatif yang seharusnya mendukung kebijakan pemerintah, justru menghalang-halangi.Kedua, meningkatnya beban utang negara akibat tidak efisiennya penggunaan anggaran. Anggaran pendapatan negara setiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan, tapi anehnya peningkatan ini sepertinya tidak pernah cukup untuk membiayai pengeluaran. Tentunya ini tak dapat dipisahkan postur belanja pemerintah selalu dinilai masyarakat sarat dengan pemborosan akibat perburuan ekonomi rente.Menurut catatan KPK tahun 2008, kebocoran atas APBN mencapai 30-40% dengan persentase dari tahun ke tahun meningkat. Meski temuan KPK ini perlu pembuktian kebenarannya, setidaknya temuan KPK ini menunjukkan bahwa efektivitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara masih lemah. Tingginya kebocoran dan pemborosan APBN bukan saja berakibat tidak tercapainya efektivitas APBN, namun juga berakibat utang negara terus meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun pemerintah mampu mengendalikan ratio utang negara terhadap PDB, namun secara kuantitas utang negara dari tahun ke tahun meningkat.Sungguh, begitu dahsyatnya dampak perburuan ekonomi rente terhadap anggaran negara. Seolah tak satu pun para pemangku kekuasaan mempunyai perhatian terhadap negeri ini. Yang ada, mereka berlomba-lomba menjadi mafia ekonomi rente, hanya mementingkan diri sendiri guna mendapatkan keuntungan sesaat. Penegakaan hukum (law enforcement) yang selalu didengung-dengungkan seakan tak efektif dalam memberantas perburuan rente. Bahkan sebaliknya beberapa survey menunjukkan para penegak hukum sangat rentan dengan perburuan rente. ●