Blog
-
Memperjuangkan Masyarakat Inklusif
Memperjuangkan Masyarakat InklusifNovri Susan, SOSIOLOG UNIVERSITAS AIRLANGGA;PHD STUDENT OF GLOBAL STUDIES DOSHISHA UNIVERSITY, KYOTO, JEPANGSumber : KOMPAS, 22 Februari 2012Violence is fomented by the imposition of singular and belligerent identities on gullible people. Amartya Sen, 2006Pasca-penolakan kehadiran FPI di Kalimantan Tengah, muncul gerakan ”Indonesia Tanpa FPI” dan ”Indonesia Tanpa Kekerasan” yang digagas oleh sebagian masyarakat sipil. Esensi gerakan ini adalah penolakan terhadap budaya kekerasan dalam sistem sosial Indonesia.Adegan penolakan kekerasan melalui kasus Front Pembela Islam (FPI) tersebut bisa menjadi energi transformatif bagi terbentuknya masyarakat inklusif Indonesia. Suatu masyarakat yang anti-kekerasan dan cinta keberagaman kebudayaan.Meski demikian, mewujudkan masyarakat inklusif masih menghadapi tantangan berat. Tantangan itu bersumber dari kekerasan yang telah menjadi identitas kelompok-kelompok sosial tertentu dan keroposnya kekuatan negara dalam melindungi keamanan warga.Identitas KekerasanPotret buram di negeri Pancasila ini disebabkan, antara lain, oleh kekerasan yang sering dimobilisasi secara semena-mena oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Akibatnya, setiap konflik sosial muncul, kekerasan pun sering tak terhindarkan.Dinamika konflik sosial di Indonesia sangat rentan kekerasan. Sebutlah seperti konflik antara pendatang dan penduduk asli di Lampung Selatan pada akhir Januari lalu yang menyebabkan puluhan rumah penduduk rusak. Pada minggu kedua Februari (8/2), konflik antarkelompok sosial di wilayah Desa Pelauw dan Desa Romohoni, Maluku Tengah, menyala oleh bara kekerasan. Kekerasan tersebut menyebabkan lima orang meninggal dunia, belasan terluka, dan sekitar 300 rumah hangus terbakar.Tingginya frekuensi kekerasan dalam banyak konflik sosial di Indonesia menandakan sebagian masyarakat Indonesia telah mengonstruksi kekerasan sebagai identitas. Kekerasan tak lagi sekadar luapan emosional tanpa nalar pengetahuan di dalamnya.Sebaliknya, kekerasan mendapatkan justifikasi dalam bentuk sosialisasi intensif sebagai kebenaran yang boleh atau harus dipraktikkan demi tujuan-tujuan tertentu. Tujuan itu sering terkait erat dengan harga diri, kehormatan, dan keberlangsungan posisi sosial ekonomi kelompok.Kekerasan pun tidak lagi dipandang sebagai kesalahan atau keburukan, tetapi sebagai manifestasi loyalitas anggota terhadap tujuan-tujuan kelompok tersebut. Pada proses konstruksi ini, kekerasan merupakan identitas yang dianggap benar dan suci.Efek selanjutnya, kekerasan sering kali diberdayakan ketika muncul situasi yang dipersepsi merugikan tujuan-tujuan kelompok. Misalnya, menjamurnya klub-klub malam bisa dipersepsi sebagai situasi yang mengancam tujuan FPI membangun masyarakat ”antimaksiat”. Mobilisasi kekerasan terhadap klub-klub malam dijustifikasi sebagai bentuk kebenaran untuk menyelamatkan ”masyarakat luas”.Tentu saja kekerasan sebagai identitas tidak terbatas pada FPI, tetapi juga tumbuh kuat pada kelompok-kelompok sosial lain, baik etnis, keagamaan, maupun golongan. Realitas ini terlihat dari menjamurnya kekerasan dalam berbagai konflik sosial di Tanah Air.Merata dan meningkatnya frekuensi kekerasan, sebagai identitas, dalam banyak kasus konflik sosial akhir-akhir ini merupakan kondisi memprihatinkan. Amartya Sen (Identity and Violence: The Illusion of Destiny, 2006) mengingatkan, menguatnya identitas kekerasan akan menciptakan situasi keterjebakan masyarakat dalam logika brutal anarkisme. Masyarakat dengan berbagai kelompok sosial di dalamnya kehilangan kemampuan memahami bahwa kekerasan adalah simpul-simpul kehancuran sendiri.Sen, seperti dikutip pada pembukaan di atas, dengan gaya ironi menyebut identitas kekerasan hanya dilakukan oleh mereka, anggota masyarakat, yang mudah dibohongi oleh doktrin-doktrin sempit. Adalah suatu kebohongan bahwa kekerasan merupakan kehormatan atau harga diri.Penguatan NegaraAdalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tengah terjebak dalam konstruksi identitas kekerasan. Alhasil, mobilisasi kekerasan direproduksi ketika di antara kelompok sosial mengalami benturan tujuan di dalam sistem sosial.Konsekuensinya adalah kerugian besar dalam bentuk korban jiwa, hancurnya harta benda, merapuhnya produktivitas sosial ekonomi, bahkan suramnya masa depan generasi muda. Pada situasi ini, negara harus memiliki kekuatan yang besar untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari jebakan identitas kekerasan dan mewujudkan masyarakat inklusif.Penguatan negara tak berarti adanya peningkatan represi negara terhadap eksistensi kelompok-kelompok identitas. Namun, negara harus memperkuat fungsi-fungsi kelembagaannya berdasarkan mandat demokrasi. Termasuk dalam penggunaan cara kekerasan, harus dipastikan bahwa praktik itu menjadi otoritas penuh lembaga negara.Penggunaan kekerasan sebagai otoritas negara dalam demokrasi, seperti dielaborasi oleh John Keane (Violence and Democracy, 2004), harus berprinsip pada perlindungan keamanan warga. Perlindungan dari agresi asing ataupun ancaman dari kelompok-kelompok kekerasan, seperti kelompok teroris, etnis, sampai radikalis-fundamentalis. Artinya, negara diperkenankan memobilisasi kekerasan negara untuk mencegah dan menangani kekerasan yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok sosial.Sayangnya, selama ini negara terkesan tidak memiliki kekuatan untuk mencegah dan menangani praktik kekerasan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Bahkan sebaliknya, lembaga negara yang memiliki otoritas dalam penggunaan kekerasan, seperti militer, polisi, dan satpol PP, ikut menjadi ”liar” dalam penggunaan kekerasan dengan keluar dari prinsip demokrasi.Dalam banyak kasus, negara hanya menggunakan kekerasan untuk melindungi para pemodal besar, seperti pada kasus konflik agraria di Bima dan Mesuji beberapa waktu lalu. Oknum-oknum dalam lembaga kepolisian atau militer sibuk menjadi tukang pukul yang melindungi operasi bisnis tertentu. Alhasil, negara mengalami pengeroposan fungsi dalam memberi perlindungan keamanan warga dari mobilisasi kelompok-kelompok yang menjadikan kekerasan sebagai identitasnya.Melalui tulisan ini bisa direfleksikan bahwa perjuangan membangun masyarakat inklusif masih menghadapi tantangan berat. Pertama, dari realitas masih kuatnya identitas kekerasan dalam masyarakat. Kedua, keroposnya fungsi negara dalam menempatkan otoritas penggunaan kekerasan untuk perlindungan keamanan warga.Oleh karena itu, bangsa Indonesia yang sebenarnya mayoritas cinta damai harus gigih mewujudkan masyarakat inklusif yang anti-kekerasan dan hormat kepada keberagaman budaya. ● -
Menyambut OJK
Menyambut OJKAnas Urbaningrum, KETUA UMUM DPP PARTAI DEMOKRATSumber : SINDO, 22 Februari 2012Babak awal proses seleksi anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah resmi dimulai. Sebanyak 87 nama calon yang lolos seleksi awal sudah diumumkan.Nama-nama ini akan diseleksi lagi oleh panitia yang dipimpin langsung oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo untuk diserahkan 21 nama kepada Presiden. Dari Kantor Presiden akan dipilih 14 nama untuk kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,yang akan memilih tujuh nama untuk diangkat dan ditetapkan sebagai anggota Dewan Komisioner. Proses seleksi ini merupakan satu milestones bagi lembaga independen OJK.Pembentukannya telah disahkan secara formal dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011. Proses perencanaan dan pematangan kelembagaan ini telah berjalan cukup lama,dari saat krisis 1997/98 dan kemudian dimandatkan secara formal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, hingga akhirnya terbentuk dan ditetapkan secara resmi pada Oktober tahun lalu. OJK didesain sebagai sebuah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Ia juga memiliki kewenangan sangat luas yang meliputi pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan keseluruhan sektor keuangan dan perbankan.
Dengan kata lain,OJK akan melingkupi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dus, OJK bertanggung jawab mengawasi pengelolaan keseluruhan asetaset di sektor keuangan di Indonesia. Landasan pemikiran utama dari pembentukan OJK adalah menciptakan pengawasan sektorkeuangan yang terintegrasi. Dewasa ini globalisasi sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antarsubsektor.
Pembentukkan OJK juga untuk menciptakan lembaga pengawas sektor keuangan yang independen dan kredibel dalam melaksanakan tugasnya. Independensi ini penting untuk mencegah benturan kepentingan antara berbagai aktor yang berinteraksi di pasar. Independensi kelembagaan OJK juga meminimalisasi potensi intervensi pihakpihak tertentu, termasuk pemerintah dalam pengawasan sektor keuangan. Satu hal lain yang menarik dari reformasi keuangan dan pembentukkan OJK adalah dimasukkannya pendidikan dan perlindungan konsumen sebagai nomenklatur pengawasan pada sektor finansial.
Satu langkah positif yang patut diapresiasi mengingat masih sedikit terabaikannya aspek ini dalam supervisi lembaga keuangan. Fokus pengawasan yang ada selama ini cenderung terpusat pada aspek prudential dari lembaga keuangan yang ada. Sementara kepentingan konsumen sebagai bagian terpenting dari keberadaan sektor keuangan belum begitu diperhatikan.
Langkah Awal
Keberadaan OJK merupakan mata rantai dari proses reformasi sektor keuangan Indonesia secara menyeluruh. Dengan paripurnanya kelembagaan OJK, reformasi kelembagaan lain di sektor keuangan juga dipastikan menyusul.Keberadaan OJK meniscayakan penataan ulang fungsi dan wewenang lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di sektor keuangan lainnya, melalui revisi berbagai peraturan dan perundang-undangan terkait. Salah satunya perubahan Undang-Undang tentang Perbankan dan Bank Indonesia.
Satu penjabaran lebih lanjut soal pembagian kewenangan dan bentuk koordinasi antara OJKdan BI diperlukan.Setelah pembentukan lembaga ini, OJK bertanggung jawab terhadap pengawasan mikro (microprudential) perbankan. Sementara BI memiliki otoritas dalam mengatur dan mengawasi aspek makro (macroprudential) perbankan seperti penetapan BI Rate,FasBI, Giro Wajib Minimum, dan kebijakan moneter lainnya. Persoalannya, kebijakan moneter dan macroprudential perbankan yang dilakukan BI membutuhkan informasi akurat tentang kondisi aktual individu bank. Ini merupakan ranah dari pengawasan microprudential yang dimiliki OJK.
Pada titik ini dibutuhkan formulasi secara detail bentuk koordinasi antara OJK dan BI melalui revisi Undang-Undang Perbankan untuk mencegah persoalan di kemudian hari. Begitu pula dengan beralihnya tanggung jawab pengawasan microprudential dari BI ke OJK,diperlukan satu redefinisi dari peran BI. Dalam hemat kami, dengan sumber daya yang dimiliki saat ini, peran dan misi BI perlu diperluas bukan hanya pada kewajiban mengawal tingkat inflasi nasional yang selama ini ditempuh melalui kebijakan inflation targeting framework (ITF).
Namun, BI juga perlu diberikan peran dan tanggung jawab terhadap misi lain seperti penciptaan lapangan kerja nasional dan percepatan tingkat pertumbuhan ekonomi. Revisi Undang-Undang BI hanya salah satu aspek reformasi sistem keuangan yang terkait dengan OJK.Beberapa revisi kelembagaan atau formulasi peraturan lain yang terkait di bidang keuangan, seperti revisi Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), juga perlu dilakukan. Demikian pula detail pengaturan hubungan antarlembaga dalam payung Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan perlu dijabarkan lebih lanjut.
Hal-hal mendasar terkait relasi kelembagaan ini memang sudah diatur dalam Undang- Undang OJK. Namun, detail aturan perlu ditetapkan lebih lanjut dengan mengantisipasi revisi terkait pada kelembagaan BI dan LPS. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan OJK merupakan awal dari penataan ulang sistem keuangan nasional yang lebih efisien, stabil dalam arti kebal terhadap guncangan, dan berkeadilan. Muara dari penataan ini adalah perbaikkan fungsi intermediasi dan peningkatan peran lembaga keuangan nasional pada pembangunan nasional.
Dengan OJK sebagai awal penataan, berbagai lembaga jasa keuangan diharapkan memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam penyediaan dana untuk pembangunan ekonomi nasional. Pada akhirnya percepatan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai secara lebih berkeadilan.
● -
“Mottainai” dan Pemborosan
“Mottainai” dan PemborosanRichard Susilo, KOORDINATOR FORUM EKONOMI JEPANG-INDONESIA;20 TAHUN TINGGAL DI TOKYO, JEPANGSumber : KOMPAS, 22 Februari 2012Di sebuah supermarket di Bali, seorang ibu meminta beberapa kantong plastik kosong di kasir. Entah buat apa, kantong plastik kosong itu dia masukkan ke dalam kantong plastik yang berisi belanjaan.Di luar supermarket, ibu itu memasukkan sampah di mobilnya ke dalam kantong plastik, lalu membuangnya asal saja di pinggir jalan. Ironis sekali, padahal ia mengendarai mobil mewah seri terbaru.Kelakuan ibu itu adalah suatu hal yang masih sering terlihat di Indonesia, tetapi sangat tak biasa di Jepang. Pertama, soal permintaan kantong plastik berlebih. Kedua, pembuangan sampah sembarangan. Supermarket-supermarket di Tokyo mencoba ikut mengatasi.Diskon khususSelesai proses penghitungan, biasanya kasir akan bertanya, pakai tas sendiri atau tidak? Kalau membawa tas sendiri, kita akan mendapat potongan 2 yen. Kalau dalam sebulan belanja 10 kali, menghemat 20 yen atau sekitar Rp 2.400.Konsumen pun punya kesadaran yang sama. Ketika penulis berbelanja ke satu supermarket di Tokyo, orang di depan penulis yang membeli satu USB kecil menolak kantong plastik. ”Tidak usah, mottainai,” katanya sambil memasukkan belanjaan ke saku bajunya.Itulah orang Jepang. Pemikiran mereka umumnya sama: mottainai yang artinya ”mubazir”, ”sayang ah!” Kalau bisa irit mengapa tak irit walaupun toko memberikan kepada kita.Kantong plastik hanya menambah timbunan sampah. Kantong plastik juga merusak lingkungan karena sulit hancur.Satu supermarket di Tokyo didatangi sekitar 500 pelanggan setiap hari. Menurut manajernya, 60 persen menggunakan kantong sendiri. Berarti menghemat 600 yen (300 orang x 2 yen) per hari. Itulah yang kita sebut biaya lingkungan hidup (eco-friendly fee).Maka, dalam sebulan satu supermarket saja bisa menghemat 18.000 yen. Kalau 10.000 supermarket melakukan hal yang sama, masyarakat Jepang menghemat biaya 180 juta yen per bulan atau Rp 21,6 miliar, hanya dengan cara menggunakan kantong belanja sendiri. Belum lagi pengurangan sampah plastik yang sangat signifikan.Cara sederhana untuk ikut menjaga lingkungan ini sebenarnya sudah biasa di Jepang. Pemerintah Jepang, misalnya, memberikan subsidi berupa pengurangan pajak bagi perusahaan mobil yang memproduksi mobil akrab lingkungan, seperti Toyota dengan mesin hibrida yang sangat bersih lingkungan, tidak berisik, tidak mencemari, dan mudah pemeliharaannya. Walaupun ke depan perlu dipertanyakan dampak pembuangan bakteri hibrida yang tidak mudah dan belum ada solusi, paling tidak saat ini mesin hibrida berdampak minimal ke lingkungan.Subsidi AntikarbonPemerintah Jepang juga menyubsidi perusahaan dalam perdagangan karbon dioksida (CO2) ke luar Jepang, misalnya ke Indonesia. Perusahaan akan mendapat subsidi dari pemerintah karena dianggap membantu program Pemerintah Jepang mengurangi emisi CO2. Pemerintah Jepang menjanjikan 20 persen atau lebih pengurangan CO2 tahun 2020.Semua aksi pasti ada reaksi. Itu hal biasa dalam kehidupan ini. Namun, dengan pola pikir menjaga lingkungan, hal yang kecil sekali pun bisa kita terapkan di Indonesia. Tidak seperti saat ini di Indonesia justru terjadi banyak pemborosan, termasuk kantong plastik belanjaan di atas.Pola lain yang bisa dilakukan adalah menempatkan kotak/alat otomatis untuk daur ulang botol plastik. Botol atau gelas plastik bekas harus dipisahkan dari sampah dapur. Botol itu dibawa ke supermarket, lalu dimasukkan ke kotak/alat yang tersedia dan untuk itu kita dapat poin tertentu. Jika jumlah poin sudah mencapai 100, kita dapat menghemat uang belanja dengan belanja menggunakan poin.Botol plastik yang terkumpul dengan baik dapat didaur ulang menjadi plastik baru. Kita pun tidak menyampah dan bahkan dapat uang karena telah berpartisipasi dalam proses daur ulang walaupun jumlahnya kecil.Tidak ada yang terbuang percuma, tidak ada yang mottainai karena semua win-win solution, sehingga kehidupan berkesinambungan dengan baik dan mewariskan lingkungan yang baik pula untuk generasi berikutnya.Hal-hal sangat sederhana ini meskipun masih banyak lagi contoh yang bisa ditulis dari Jepang bisa mendidik kita semua. Pendidikan ini sangat mendasari kehidupan. Masyarakat Jepang memiliki tingkat pendidikan 99 persen dengan level sama. Dengan demikian, pola pikir menjadi serupa dan datangnya motivasi dari mana pun—apalagi dari Pemerintah Jepang—akan diikuti dan dipatuhi dengan mudah oleh rakyat secara serentak, seragam, dan hasilnya pun cepat terlihat.Hal serupa tentu saja bisa dipraktikkan di Indonesia. Bukankah dengan demikian tidak perlu lagi ada pemborosan di Indonesia tercinta? ● -
Mahasiswa dan Dosen Kita (Tak) Bisa Menulis?
Mahasiswa dan Dosen Kita (Tak) Bisa Menulis?Suyanto, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA;PLT DIRJEN PENDIDIKAN DASAR KEMENDIKBUDSumber : SINDO, 22 Februari 2012Mengapa kita bisa atau tak bisa menulis? Pertanyaan ini sengaja dibuat untuk menggambarkan bahwa menulis artikel (ilmiah) memang tidak mudah.Meski ada sedikit yang bisa, sebagian besar dari kita—siswa, mahasiswa, dan dosen sekalipun— berada pada kategori kurang bisa sampai pada tidak bisa sehingga takut untuk mencobanya. Mudah sekali untuk membuktikan itu. Ketika Dirjen Dikti Kemendikbud membuat surat edaran yang mewajibkan semua lulusan perguruan tinggi baik jenjang S-1,S-2,maupun S- 3 untuk memublikasikan karya ilmiah (skripsi, tesis, atau disertasinya) sebagai syarat kelulusan, di antara mereka banyak yang kaget,“termehek-mehek” dengan reaksi yang beraneka ragam.Semua reaksi itu merupakan gambaran bahwa kita semua, sebagian besar,tidak dan belum bisa menulis,kecuali mereka yang bisa,tetapi tidak mau. Dalam tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman mengapa sebagian besar kita tidak bisa dan sebagian kecil saja yang bisa menulis.Memang betul kemampuan menulis tidak bisa dikarbit.Kemampuan menulis untuk kepentingan sebuah publikasi merupakan proses yang panjang. Ada beberapa syarat penting yang harus dimiliki penulis untuk menciptakan sebuah tulisan yang baik yaitu knowledge, courage, experience,dan inspiration.
Karena perlu ada ketiga aspek penting itulah, seseorang tidak bisa serta-merta selalu siap sedia dengan stok tulisan ilmiah. Jangankan menulis karya ilmiah kalau tidak memiliki keempat aspek penting tersebut, saya yakin yang bersangkutan juga tidak akan bisa menulis di rubrik pikiran pembaca di koran mana pun. Masih sedikit di antara kita yang bisa menulis ilmiah baik berupa buku maupun penerbitan ilmiah di berbagai jurnal ilmiah. Itulah sebabnya Dirjen Dikti Kemendikbud prihatin terhadap begitu rendahnya publikasi ilmiah di perguruan tinggi kita. Publication indexkita saat ini ketinggalan jauh dibanding perguruan tinggi di Singapura atau bahkan dengan Malaysia sekalipun.
Ada yang Bisa
Di antara kita ada yang telah sukses melahirkan tulisan monumental. Mengapa begitu? Jawabnya, mereka memang memiliki cukup banyak repertoir pengetahuan (knowledge) yang diderivasikan dari penguasaan ilmu pengetahuan tertentu.Namun, untuk melahirkan sebuah tulisan ilmiah,tak cukup hanya ada persediaan atau stok pengetahuan dalam kepalanya. Dalam proposisi ilmiah kondisi ini bisa digambarkan secara lugas: “it is necessary but not sufficient”.
Masih ada syarat berikutnya yaitu keberanian (courage). Kalau seseorang tidak berani menghadapi bayangan dan perasaan yang menakut- nakuti akan penerbitan tulisannya di media mana pun, tentu tidak akan lahir sebuah tulisan yang baik. Faktor berikut yang bisa mendorong orang bisa atau tidak bisa menulis adalah pengalaman (experience). Pengalaman akan semakin memperkaya kosakata, metafora, substansi, serta artikulasi materi sehingga yang bersangkutan bisa menulis dengan gaya dan materi yang mengalir begitu saja bagaikan mata air yang tak pernah kering.
Pengalaman bisa terkait dengan “jam terbang”. Meskipun demikian,pengalaman dapat dipercepat tidak harus sesuai dengan usia kronologis seseorang. Hal ini terjadi karena sumber informasi di era digital, global, dan virtual ini terbuka lebar tanpa batas bagi siapa saja. Informasi apa saja saat ini bisa diperoleh di situs internet yang jumlahnya miliaran, dan setiap hari berkembang ratusan juta mengikuti prinsip deret ukur. Karena itu, supaya mahasiswa dan atau dosen bisa menulis dengan baik, rajinlah browsing di bidangnya masing-masing di banyak situs yang relevan dengan substansi ilmu yang dikembangkannya.
Komponen penting terakhir yang harus dimiliki agar mahasiswa atau dosen bisa menulis karya ilmiah ialah dimilikinya inspirasi (inspiration) yang kuat. Hanya dengan inspirasi, orang akan bisa melakukan kegiatan menulis secara produktif. Inspirasi bisa lahir kalau seseorang berada pada kondisi yang bebas tanpa tekanan sehingga ia memiliki imajinasi yang “liar” yang kemudian ditata menjadi sebuah inspirasi positif untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Ingat, imajinasi adalah dasar utama lahirnya semua teknologi penting di dunia ini.
Sebuah mobil amat sangat mahal, dan di Indonesia masih jarang ada yang punya kecuali para hartawan, juga lahir dari imajinasi chief executive officer-nya ketika membesuk koleganya yang dirawat rumah sakit.Pada saat menunggu, dia, sang CEO itu, melihat seorang anak larilari bermain di lingkungan rumah sakit. Salah satu dari anak itu meloncat ke atas meja yang agak tinggi, dan serta merta terjun kembali karena dikejar kawan-kawannya. Apa pentingnya anak terjun dari meja bagi CEO itu?
Dia melihat anak itu terjun dari meja dengan gaya jatuh yang anggun, tanpa ada gerakan menghentak, dan tetap stabil berdirinya kembali dari posisi: merunduk, jongkok, sampai berdiri tegak sebagai akibat high impact karena tergesa dikejar kawan-kawan sepermainannya. Sejak itu CEO itu berimajinasi akan membuat suspensi mobil dengan prinsip yang memberikan kenyamanan bak anak kecil yang jatuh dengan sangat anggun dan stabilnya tadi.Singkat cerita,lahirlah teknologi suspensi, yang mewah, nyaman, dan stabil bagi sebuah mobil mewah di dunia, dan sangat mahal harganya.
Itulah imajinasi yang kemudian diolah dan diproses secara kognitif menjadi inspirasi sebuahrekayasateknologiautomotif yang memiliki unggulan kompetitif. Prinsip menulis juga seperti itu. Manakala seorang dosen atau mahasiswa telah memiliki inspirasi yang kuat disertai dengan keberanian untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, berdasarkan pengalaman positif selama ini, tak satu pun kekuatan yang bisa mencegah mereka untuk selalu menulis, dan menulis lagi.
Meski dengan tulisan itu mereka bisa saja menghadapi berbagai konsekuensi psikologis, sosiologis, maupun politis kalau saja tulisan itu akhirnya mengundang pro-kontra dan polemik yang berkepanjangan. Akhirnya, bisa disimpulkan bahwa kemampuan menulis bukan persoalan apakah seseorang itu pintar atau tidak secara kognitif semata, tetapi juga menyangkutmasalahkebe-ranian, pengalaman, dan inspirasi kuat yang bisa muncul di benak para calon penulis karya ilmiah itu sendiri.
Di era global seperti saat ini memang kemampuan menulis ilmiah sangat vital bagi para mahasiswa dan dosen kita. Itulah sebabnya di kampus di mana saya pernah belajar di Amerika Serikat pada 1980-an, di semua sudut-sudut kampus itu digelorakan semangat dan visi: Publish or Perish. Semoga kita juga bisa begitu.
● -
Jati Diri Kultural
Jati Diri KulturalRadhar Panca Dahana, BUDAYAWANSumber : KOMPAS, 22 Februari 2012Diterimanya ahli genetik dan pediatrisian Inggris, Stephen Oppenheimer—penulis buku Eden in the East—oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, beberapa waktu lalu, mengindikasikan pemerintah puncak negeri ini mulai memberi perhatian pada diskursus tentang eksistensi sebuah peradaban. Sebuah diskursus yang cukup agung dalam ukuran masa kini dan tempo lalu di kawasan Nusantara, yang pada kemudian hari menjadi negara dan bangsa bernama Indonesia.Diskursus ini tidak hanya melahirkan kelompok, komunitas, klub diskusi, buku, artikel, seminar, serta mungkin puluhan ribu komentar dan tulisan di berbagai blog atau media sosial, tetapi juga memunculkan semacam kepercayaan diri di berbagai kalangan, terutama yang bertaut dengan (identitas) lokal tertentu. Hal ini sebenarnya bisa dianggap cukup fenomenal mengingat sebaran diskursus ini sudah merentang mulai dari ujung timur hingga barat, utara, dan selatan negeri ini.Sinisme IlmuwanSemua itu menjadi wajar jika pada akhirnya mengundang reaksi, sebagian sinis, dari mereka yang selama ini kita anggap sebagai ilmuwan. Mereka yang lebih memercayai data material, dalam bentuk artefak, sebagai dasar utama untuk menafsir dan menyimpulkan sesuatu. Dan, data material itu netral, bersih dari hal-hal yang mistis, khayali, atau dibumbui oleh spekulasi spiritual.Sebuah posisi yang memang sangat memungkinkan mereka, para ilmuwan ”sejati”—setidaknya yang terlatih dan terdidik dalam logosentrisme european—melihat semua hal yang berkait dengan ”fenomen” di atas sebagai salah satu ekspresi dari pribadi yang mitikal dan mistikal. Konon, pribadi sejati bangsa Indonesia.Tak ada yang keliru dengan pandangan itu. Jika kita bersetuju atau sekurangnya memahami wilayah intelektual, dalam hal ini rasionalitas yang dibangun para sarjana Eropa, lengkap dengan metodologi, epistemologi, juga ontologinya masing-masing. Tafsir, kesimpulan, dan data arkelogis, juga palentologis, kita hormati sebagai dasar obyektif untuk menilai zaman, masa lalu, hingga konstitusi dari kebudayaan/peradaban serta manusia yang mengisi dan membentuknya.Namun, hanya sebagai diskusi kecil, betapapun ilmu memberi pengaruh besar pada kehidupan manusia, termasuk perkembangan adab dan kebudayaannya, siapa pun mestinya memahami adab dan kebudayaan itu ternyata berlangsung, berproses, hidup dan mati, jauh lebih luas semestanya ketimbang runtutan kata-kata dan proposisi yang disebut ilmiah. Sebagian besar hidup ada di luar jutaan teori dan asumsi. Kata (tertulis)—sebagai bagian dari artefak—hanyalah sebagian, jika tidak dibilang kecil, dari perangkat atau medium yang digunakan sebuah bangsa mengembangkan dirinya.Di titik ini mungkin hipotesis—jika istilah ini mau digunakan—bisa diajukan bahwa sebagian (suku) bangsa di dunia, terutama di negeri ini, tidak memandang tulisan sebagai medium utama dalam ia beradab dan berbudaya. Bangsa-bangsa di Nusantara mengembangkan dan memproduksi karya kebudayaannya yang kini kian banyak terkuak dahsyatnya (ingat I La Galigo) tidak melalui proses literasi semacam itu. Pengembangan dan pewarisan melalui lisan, perilaku, dan kesepakatan sosial adalah cara-cara utama itu. Kita dapat menemukannya dengan mudah di berbagai tradisi hingga karya-karya artistik di pelbagai suku bangsa negeri ini.Model pemberadaban semacam ini tentu menciptakan kesulitan tersendiri bagi ilmu-ilmu sosial modern. Setidaknya bagi ilmu sejarah, antropologi, arkeologi, atau paleontologi untuk menegaskan realitas masa lalu suku bangsa-suku bangsa itu.Sebagai contoh, sebagaimana dituturkan Zoetmoelder dalam kita babonnya, Kalangwan, sastra Jawa kuno sebenarnya adalah usaha melakukan transliterasi dari bahasa Jawa purba ke bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa. Namun, ternyata usaha itu tidak seluruhnya berhasil. Cukup banyak kosakata Jawa purba yang tidak sukses ditransliterasi. Sekurangnya, Zoetmoelder mencatat lebih dari 1.500 kata Jawa purba yang tak dapat dialihteraskani menjadi Sanskrit dan Pallawa.Keberanian PolitikPaparan di atas tak lain hanya semacam praasumsi yang menyatakan sebuah realitas pada masa lalu, bahkan pada masa kini, tidaklah sesederhana bukti-bukti kebudayaan yang ditinggalkannya. Peradaban Nusantara, dengan seluruh karakteristiknya yang khas, yang maritim itu (oh… betapa kata ini adalah gadis paling seksi untuk kita telusuri tubuhnya), tidaklah dapat direduksi hanya oleh data materi, teori, atau sembarang epistemologi. Begitu pun jati diri manusia yang dihasilkan peradaban itu tentu bukanlah jati diri arkeologis atau paleontologis.Pertimbangan yang lebih komprehensif, setidaknya multidipliner, harus dilakukan dengan kerja keras untuk kita bisa mendekati atau lebih mengenali jati diri itu. Saya ingin menyebut pertimbangan itu sebagai ”kultural”. Pertimbangan yang melihat manusia dan adab yang diproduksinya tidak hanya bebas dari prasangka-prasangka rasional (European), tetapi juga mengikutsertakan peralatan-peralatan budaya yang mereka gunakan sendiri, yang kebanyakan justru tidak material.Seperti budaya lisan, yang tidak bisa dimaterialisasi menjadi sekadar kata, kemudian menjadi buku. Sebab, di dalamnya terdapat dimensi metalingual atau paralingual, yang turut menentukan makna dan sukses tidaknya transmisi sebuah kebudayaan.Jati diri kultural yang terbentuk dalam proses pemberadaban bangsa Nusantara inilah sesungguhnya yang ada di balik gairah besar kebangkitan ”nasionalisme” baru Indonesia saat ini. Nasionalisme yang tidak diinisiasi atau diformulasi oleh teori atau gagasan-gagasan abad XIX dan XX dalam politik ini. Nasionalisme yang jauh lebih lokal, berakar, sebutlah: genuine!Dalam tatar kebangsaan, Indonesia yang kini given, arus keras diskursus di bagian awal tulisan—tidak peduli dengan isu-isu murahan tentang ”Atlantis” atau celotehan fiksional Plato itu—memang sudah sepantasnya menjadi perhatian para petinggi republik ini. Bukan sekadar sebagai kegenitan atau romantisme, melainkan sebagai usaha politik. Lebih tepatnya usaha peradaban (saya kerap menggunakan kata ini karena Nusantara dalam perhitungan saya bukan hanya melahirkan kebudayaan, juga sebuah peradaban, dalam perhitungan apa pun) menegakkan bangsa dan negara ini.Dan, saya tidak akan pernah berhenti mengatakan hal ini. Sebab, semua itu tidak bisa tidak membutuhkan bukan sekadar political will, tetapi lebih utama political courageous. Sebuah modal mental dari negarawan kita untuk berhadapan dengan dunia lewat klaim kebudayaan.Kita tahu, pada masa ini, kata terakhir itu (baca: kebudayaan) kini berkembang menjadi mantra paling ampuh. Bukan hanya untuk survive, berjaya, bahkan berkuasa, hingga tingkat dunia. ● -
Momentum Sinergi Indonesia
Momentum Sinergi IndonesiaRadhar Panca Dahana, BUDAYAWANSumber : SINDO, 22 Februari 2012Apa yang penting dari pernyataan bersama para pemimpin lembaga tinggi negara beberapa hari lalu.Bukan saja munculnya kesadaran “baru” di kalangan penentu kebijakan tentang paradoks demokrasi yang terjadi pada tingkat implementasinya, melainkan juga kesadaran “umum”yang dapat muncul di kalangan publik luas: demokrasi adalah ideal yang ternyata memiliki kemustahilannya sendiri secara internal. Betul, paradoks demokrasi sebenarnya hanyalah contoh— salah satu yang terbaik—dari paradoks apa pun yang bersifat ideal (idealisme, ideologi, dan sebagainya), saat idea tersebut menyentuh ranah praktis; mendapatkan wujudnya dalam (perilaku/diri) manusia.Karena manusia sendiri juga adalah sebuah paradoks. Sebagai makhluk, manusia adalah sebuah idea(l) yang luar biasa— terlebih jika mengimaninya sebagai “the creature of God”— tapi pada saat yang bersamaan manusia juga pengkhianat dan perusak idea(l) itu karena ada tabiat kodratinya yang jaiz. Tabiat itu adalah produk dari kapasitas dasar manusia dalam berpikir dan berkehendak, yang memungkinkannya menimbang, memilih, bahkan ragu sehingga membuat manusia, satu kepastian natural,menjadi selalu relatif secara nurtural. Apalagi sebuah ideal macam demokrasi.
Lantaran ia sendiri adalah produk dari manusia secara nurtural,ia bukan hanya paradoksal dalam praksisnya, melainkan juga dalam epistemologinya, dalam idea-idea di dalamnya sendiri.Realitas yang membuat demokrasi justru memproduksi kemus-tahilan justru bagi idealnya sendiri. Karena itu, saya menyebut kesadaran awal di atas sebagai “baru”disebabkan pengetahuan kita tentang para petinggi atau pengambil kebijakan negeri ini yang tak lain adalah para “pemeluk teguh” dari jargon-jargon keadaban global— yang notabene oksidental— di mana demokrasi adalah anak kandung kesayangannya.
Mereka, para elite dan petinggi itu, seolah menjadi pandir karena buta pada praktik-praktik demokrasi yang bias bahkan deviatif yang justru dilakukan oleh negara-negara oksidental dalam sejarah modernnya. Beberapa dekade belakangan memperlihatkan bagaimana elite lokal itu terus mempertebal keimanan “demokratis”- nya dengan terus memproduksi lembaga-lembaga penunjangnya, termasuk lembaga yang hampir nol fungsinya.
Kini mereka mulai menyadari betapa sebenarnya demokrasi tidak bekerja—sebagaimana di atas kertas teoritiknya— di dalam kehidupan dan kepentingan rakyat jelata,konstituen yang justru menjadi arah idealisasinya. Demokrasi menciptakan kekecewaan yang berulang dan kian represif di kalangan rakyat. Demokrasi tak lain telah menjadi alat kekuasaan, alat bagi kepentingan kaum elite untuk mempertahankan dominasinya, bukan hanya secara politis, melainkan juga ekonomis,bahkan akademis, agamais, hingga sosial dan kultural.
Korupsi, manipulasi,hingga kekerasan secara fisikal, sosial, dan kultural yang belakangan seperti menjadi identitas dalam hidup kita berbangsa dan bernegara, sebenarnya tidak lain dari praktik-praktik deviatif dari perilaku sistemik kita. Perilaku yang diproduksi oleh sistem-sistem bernegara dan berbangsa yang kita pilih sendiri melalui kekuasaan yang kita delegasikan secara serampangan pada segerombolan elite itu.Gerombolan yang telah dengan kasar membajak semua idea kebangsaan para pendiri kita hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan dominasi mereka.
Betapapun terlalu lambatnya kesadaran itu datang,hingga praktik-praktik deviatif itu bukan lagi bersifat temporer dan kasuistik, namun telah menjadi laten bahkan meresap menjadi semacam nilai dan norma, kita harus menyambutnya secara positif. Memperlakukannya sebagai sebuah momentum untuk mendapatkan konsensus tentang perhitungan kembali secara komprehensif dan holistik tentang pilihan-pilihan sistemik kita dalam mengatur hidup berbangsa dan bernegara. Sebuah “kampanye” yang secara personal lebih dua dekade belakangan saya kerahkan semua energi untuknya.
Dalam “kampanye” itu saya pun termasuk menolak etos “demokratis” yang senantiasa bermain posisi untuk meneguhkan eksistensi, menetapkan orientasi, hingga menjalankan aksi. Dalam logika posisional ini,lawan dan kawan menjadi hasil yang tak terelakkan karena kita sebuah posisi ditetapkan maka oposisi pun dengan segera terumuskan. Konflik pun bukan hanya menjadi konsekuensi (logis), melainkan juga prakondisi.Maka siklus pun terbentuk dan berputar,berisi konflik. Konflik harus ada untuk terjadi kesepakatan.
Kesepakatan diproduksi sebagai sebuah hasil negosiasi yang keras, di mana teorinya setengah dari ide dan kepentingan kita dibagi pada pihak lain.Atau lebih parah, kelebihan satu persen, dianggap sebagai kemenangan dalam siklus konflik di atas yang memberi hak pada kita untuk mendominasi seluruh sisa persennya. The winner takes all. Salah satu jargon utama dari praktik siklik di atas, yang tidak lain adalah sebuah norma barbar dan primitif dalam sejarah adab manusia. Kini kita memahami juga mengalami bagaimana pahitnya praktik demokrasi dengan siklus konflik itu.
Korban berjatuhan dengan cara yang menyedihkan. Apa yang lebih menggiriskan, kini bukan hanya elite, melainkan juga rakyat jelata tergiring untuk menginternalisasi nilai, norma, hingga watak-watak kasar, jahat, kriminal, individual, yang melawan hampir semua ide-ide kemanusiaan luhur yang pernah dihasilkan bangsa ini. Kita sebagai manusia dan bangsa, digiring untuk menjadi biadab dan barbar.
Momentum
Ini bukan lagi sebuah fallacy atau kekeliruan peradaban, melainkan ini sudah tragedi (civilization tragedy). Sebuah azab yang membutuhkan satu milenium mungkin untuk memperbaikinya, sebagaimana sejarah abad kegelapan (Dark Age) atau tragedi Sodom dan Gomora. Sebuah keadaan yang membuat semua pencapaian menakjubkan dari akal dan kebudayaan kita bukan hanya sia-sia, mencoreng, dan menghina kita di hadapan anak cucu kita,dan lebih parahnya, menciptakan masa depan yang menggiriskan alih-alih masa nanti yang penuh janji.
Karena itulah,kita harus memanfaatkan situasi ini menjadi momentum perubahan, ketika realitas sosial dan kultural—yang walaupun kritis—masih memungkinkan, akal sehat masih ada, dan potensi-potensi luar biasa justru menampakkan kualitas dahsyatnya. Bila saya melakukan ajakan ini, bukan hanya karena perhitungan akali dan intuisi belaka,bukan hanya karena ideal sederhana tentang kejayaan negeri ini, melainkan juga karena berangkat dari pengalaman betapa negeri ini sebenarnya dibangun dan dipertahankan selama beberapa milenia justru kekuatan dan kapasitas-kapasitas internalnya.
Peduli dengan bayangan— yang ilusif, romantik, mitik, atau isapan jempol menurut sebagian ilmuwan—tentang kejayaan bangsa ini di masa ribuan tahun sebelum masehi,yang jelas fakta ribuan menunjukkan bahwa kita memiliki kejayaan itu juga di kurun masehi, yang sejarah global (oksidental sebenarnya) sejak 1.500 tahun lalu tidak mau mencatatnya. Katakanlah Sriwijaya, kerajaan besar dari abad lima hingga delapan yang membuktikan dunia telah membangun universitas pertama di muka bumi ini dengan reputasi intelektual menembus (bahkan menjadi acuan bagi) pusatpusat peradaban dunia.
Sebagaimana kerajaankerajaan Nusantara lainnya, Sriwijaya adalah negara besar, maju, dan sejahtera yang dibangun tidak berdasar permainan posisional yang menyesatkan di atas. Kecuali setelah kolonialisme hadir,termasuk menghadirkan konflik karena permainan di atas, negeri dan kerajaan di bangun beratus-ratus di kepulauan ini dalam sistem dan mekanisme hubungan yang komplementaristis, yang mutualistis, lengkap dengan norma-norma hidup kosmpolit, egaliter, arasialis, akulturatif, dan seterusnya; norma-norma yang justru mendahului dan mengilhami idea-idea terbaik dalam demokrasi awal di Yunani.
Dalam semangat itulah, siapa pun pihak, seluruh pemangku kepentingan di negeri sebaiknya memanfaatkan momentum ini untuk bekerja seoptimal mungkin untuk memberikan kontribusi terbaiknya dalam menemukan jati diri peradaban Indonesia kita itu. Enyah dan matilah semua kemungkinan dan kecenderungan deviatif,kriminal,atau jahat dalam diri kita. Kerahkan semua energi untuk menciptakan sinergi, Sinergi Indonesia, yang–percayalah—ia akan memberi kita kekuatan dan solusi terbaik dan terhebat yang bisa dihasilkan bangsa ini, bahkan dunia. Sejarah telah membuktikannya.
● -
HAM bagi Negara Muslim
HAM bagi Negara MuslimDinna Wisnu, DIREKTUR PASCASARJANA BIDANG DIPLOMASI, UNIVERSITAS PARAMADINASumber : SINDO, 22 Februari 2012Pekan ini Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertemuan 18 komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Independen dan Permanen dari negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).Di Jakarta, dengan fasilitas dari Kementerian Luar Negeri RI, mereka berdialog dengan para diplomat dan masyarakat sipil Indonesia. Keaktifan Pemerintah Indonesia dalam menjembatani pengembangan advokasi hak asasi manusia (HAM) di OKI untuk dekat dengan masyarakat sipil di Indonesia patut diacungi jempol. Indonesia bahkan memilih seorang perempuan dan aktivis masyarakat sipil untuk menjadi komisioner di OKI,yakni Dr Siti Ruhaini. Berdasarkan dialog pihakpihak yang memantau perkembangan OKI dan perlindungan HAM, termasuk Human Rights Watch Group, Komisi HAM OKI ini memang masih perlu dikawal dan didukung.Meskipun mereka punya rencana aksi untuk 10 tahun ke depan,lembaga ini belum bisa menerima pelaporan pelanggaran HAM.Mandat komisi ini terbatas sebagai lembaga konsultasi dan pelaksana penelitian kebijakan. Karena itu kesigapan Pemerintah Indonesia dalam menanggapi kebutuhan Komisi HAM OKI dapat memberi nilai tambah lebih bagi daya tawar Indonesia dalam pergaulan internasional. Pertama, di antara negaranegara Islam ini belum ada instrumen pendukung kerja Komisi HAM. Meskipun posisi sekretariat sedang diperebutkan Arab Saudi dan Iran, kita tahu, tugas para komisioner tidak bisa hanya didukung kantor yang memadai.
Dukungan masyarakat sipil, pusat informasi, dan suasana kondusif bagi pertukaran pikiran yang nyaman sangatlah menentukan kinerja komisi ini. Citra Indonesia sebagai negara demokratis dalam pergaulan negara-negara berpenduduk muslim merupakan aset berharga untuk mendukung kerja Komisi HAM OKI. Akan sangat baik bila Indonesia dapat mengawal agar korupsi informasi itu tidak sampai menghambat kerja Komisi HAM OKI.Posisi sekretariat di negara yang relatif terbuka terhadap peranan masyarakat sipil akan sangat membantu. Langkah ini akan menambah kepercayaan dunia terhadap peranan positif Indonesia di dalam OKI.
Kedua, sebagaimana tertuang dalam 10 Program Aksi OKI, negara-negara OKI sebenarnya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang toleran, moderat, dan ingin menjauhkan warga muslim dari kegiatan berbasis sudut pandang yang sempit dan ekstrem.Fanatisme jelas-jelas ditolak dalam kesepakatan antarnegara OKI.Yang ingin dikedepankan adalah nilai-nilai luhur tentang Islam serta dialog antarperadaban yang berbeda sudut pandang. Kalaupun ada perbedaan,mereka menggarisbawahi upaya mencari persamaan yang mendukung rasa saling hormat dan percaya.
Kesepakatan antarnegara OKI tersebut sesungguhnya sejalan dengan sudut pandang Indonesia selama ini.Ketika profil Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia justru mengedepankan kesejukan, dialog,dan diplomasi. Kenyataan bahwa negaranegara OKI menekankan pada hal yang sama, setidaknya dalam dokumen resmi mereka, menunjukkan perjuangan Indonesia di antara mereka sesungguhnya membuahkan hasil juga.Bila Indonesia dapat terus menularkan sudut pandang yang sejuk ini,bukan mustahil posisi tawar Indonesia di antara negara OKI dan negaranegara lain di dunia akan meningkat pula.
Ketiga, dorongan untuk menekankan wajah Islam yang cinta damai dan dialog sangat perlu ditopang oleh Komisi HAM. Terbentuknya Komisi HAM di Astana, Kazakstan, pada akhir Juni 2011,yang anggotanya terdiri atas 60% diplomat dan 40% akademisi serta aktivis masyarakat sipil,masih memerlukan dukungan terusmenerus dari negara yang lebih berpengalaman. Kritik bahwa Indonesia pun masihperluberbenahdiridalam hal perlindungan HAM tidak perlumenyurutkanlangkahkita untuk membantu negara lain yang sedang bergulat akan pemahaman pelaksanaan perlindungan HAM.
Sampai saat ini, Komnas HAM,Komnas Perempuan, dan Komnas Anak di Indonesiasudahberadadalamtahapan yang lebih maju karena sudah melayani pengaduan masya-rakat dan melakukan advokasi aktif yang relatif sistematis.Pengalaman membangun mekanisme kerja,berjejaring sosial,dan jatuh bangun demi meyakinkan pemerintah sangatlah berharga untuk dibagikan. Fakta bahwa OKI membuka diri untuk mendorong perempuan dan masyarakat sipil ikut serta dalam Komisi HAM perlu dihargai sebagai modal dialog yang lebih intens dengan pejabat pemerintahan negara-negara OKI dan dengan anggota masyarakat.
Mandat riset dan konsultasi dapat dioptimalkan bila ada terobosan berani untuk mengajak masyarakat sipil memperkuat Komisi HAM OKI. Tercatat ada 4 negara yang punya komisioner perempuan di OKI,yakni Indonesia,Malaysia, Sudan,dan Afghanistan.Ada setidaknya 7 negara yang menempatkan penggiat masyarakat sipil dan akademisi dalam Komisi HAM OKI,yakni Indonesia, Malaysia,Turki,Arab Saudi, Maroko,Palestina,dan Uganda. Keempat,perjuangan masyarakat sipil di Indonesia perlu diinformasikan juga kepada masyarakat di negara-negara OKI.
Perlindungan terhadap HAM tidak akan terjadi secara instan. Ia membutuhkan penjiwaan terhadap solidaritas terhadap masyarakat yang kebetulan berada dalam posisi minoritas, miskin, tidak berpendidikan ataupun berada di jalur sesat. Jika ditangani dengan baik, pembahasan soal HAM di OKI berpotensi mempererat hubungan dan meningkatkan daya tawar Indonesia di mata negara OKI.
Kebuntuan yang bersumber dari tafsir ajaran agama dan kesulitan mencari cara untuk meyakinkan kelompok agama yang ekstrem untuk mau bekerja sama demi HAM dapat dicarikan solusinya bila para komisioner HAM OKI ditarik dalam kerangka dialog yang menyegarkan dan merangsang intelektualitas. Artinya, di mata kelompok-kelompok ekstrem di Indonesia, justru tak ada alasan untuk bermain lagi di tafsir agama.Kenyataannya komisioner di negara- negara Islam lain pun sepakat dengan satu tafsir.
Selain itu, jejaring yang baik dengan para diplomat dan aktivis HAM OKI dapat menjadi pintu masuk bagi perbaikan kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara- negara Timur Tengah.Tentu kita tidak pernah tahu kapan titik balik dukungan bagi isu HAM akan terwujud. Ini bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam satu malam. Dalam hal ini konsistensi dalam memberikan perhatian pada HAM perlu terus didorong. Semoga komitmen internasional melalui OKI ini akan mendorong pula penegakan dan perlindungan HAM yang lebih baik di Tanah Air.
● -
Motif Israel ke Iran
Motif Israel ke IranIbnu Burdah, PEMERHATI MASALAH TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM,DOSEN FAKULTAS ADAB UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTASumber : SUARA MERDEKA, 22 Februari 2012KETEGANGAN Iran dan Israel-negara Barat terus mengalami eskalasi. Setelah saling serang kata antara Iran dan Israel mereda, rentetan aksi teror yang menimpa kedua pihak yang diikuti saling tuding kembali membuka kekhawatiran dilaksanakannya serangan Israel terhadap Iran. Adapun Iran terus memantapkan kapasitas dan kemampuan pertahanannya untuk menghadapi kemungkinan serangan cepat angkatan udara Israel.Seriuskah ancaman ofensif terhadap fasilitas nuklir Iran, hanya gertak sambal, atau pengalihan isu dari tumpukan persoalan yang membelitnya? Sejak beberapa tahun lalu para pemimpin Israel berulangkali melontarkan ancaman serupa terhadap Iran. Setelah Ariel Sharon, Tzipi Livni, dan Shimon Peres, salah satu ancaman sangat keras dilontarkan oleh Ehud Olmert, PM Israel yang biasanya cukup tenang. Faktanya, ancaman itu kembali tidak terbukti hingga akhir pemerintahannya.
Apakah hal itu berulang pada masa pemerintahan kedua Benjamin Netanyahu? Beberapa waktu lalu media dunia memberitakan rencana Israel menyerang Iran. Faktanya isu itu kembali tidak terbukti. Kendati dari kualitas dan intensitasnya, ketegangan saat ini tampak lebih keras dan menjurus aksi nyata. Namun yang jelas pemerintahan Israel belakangan ini menghadapi persoalan berat, tak hanya di dalam negeri dan kawasan, tapi juga di forum internasional.
Di dalam negeri, pemerintahan Netanyahu mendapat tekanan luar biasa dari gerakan rakyat yang menuntut keadilan ekonomi, terutama isu perumahan. Protes rakyat merata di seluruh negeri melibatkan lebih dari 0,5 juta orang, padahal jumlah rakyat hanya sekitar 6 juta jiwa. Jumlah pemrotes seperti itu belum pernah terjadi, termasuk protes dalam isu perdamaian dan keamanan yang biasanya menyita perhatian besar rakyat.Pembangunan permukiman di wilayah konflik juga menjadi sorotan pengunjuk rasa. Selain terus memicu ketegangan dengan Palestina dan negara Arab, proyek itu menelan biaya sangat besar, baik untuk pemeliharaan, fasilitas khusus yang harus tersedia, maupun pengamanan ekstraketat dalam waktu lama.
Perubahan Sikap
Protes itu telah memberi tekanan luar biasa terhadap survival pemerintahan Netanyahu. Karena itu, pemerintah segera menyatakan ada kesalahan fundamental dalam kebijakan ekonominya yang terlalu liberal dan mulai mengabaikan prinsip sosialisme yang sesungguhnya merupakan pilar awal masyarakat.
Dalam pergaulan di kawasan pun Israel mengalami tekanan hebat. Jatuhnya rezim Mubarak merupakan pukulan terberat. Israel bukan hanya kehilangan aliansi Arab yang kuat dan berpengaruh. Aspirasi dan sentimen negatif rakyat Mesir terhadap Israel ternyata sangat tinggi. Perubahan sikap resmi Mesir, jika benar-benar terwujud, adalah bencana bagi Israel. Pergantian rezim hasil pemilu konstitusi di Tunisia menggambarkan arah perubahan negara-negara Arab hasil revolusi.Secara umum, rakyat di negara-negara Arab menolak kerja sama pemerintahnya dengan Israel selama Palestina belum merdeka. Pemerintahan negara Arab juga berupaya, setidaknya dalam pernyataan verbalnya, tidak mendekat ke Israel sebab akan membuat mereka makin tidak populis di mata rakyatnya, apalagi di tengah kuatnya gelombang gerakan rakyat.
Keberhasilan Palestina memperoleh keanggotaan di UNESCO cukup membuat Israel kelabakan. Kesediaan Israel mengalah dalam deal pertukaran tawanan dengan Hamas beberapa waktu lalu diperkirakan terkait dengan keinginan Netanyahu mengurangi tekanan internasional dan mengalihkan perhatian dari isu keanggotaan Palestina di PBB.
● -
Antara Bulog dan BUMN Pangan
Antara Bulog dan BUMN PanganDarwis SN, ALUMNUS UNIVERSITY OF ADELAIDE AUSTRALIASumber : SUARA KARYA, 22 Februari 2012Selain Otoritas Jasa Keuangan (OJK), wacana lain yang sedang mengemuka saat ini adalah rencana pembentukan Badan Otoritas Pangan (BOP). Pertanyaannya, apakah BOP ini nantinya merupakan metamorfosis dari Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagaimana disinyalir banyak pengamat, bisa jadi akan menemui kenyataan. Jika ini benar, maka menjadi sangat penting untuk belajar dari sejarah bagaimana sepak terjang Bulog sejak kelahirannya hingga kini.Di era Orde Baru, Bulog boleh dibilang sangat powerfull dalam mengatur stabilitas pasok dan harga pangan pokok di dalam negeri. Tidak hanya beras yang sangat sensitif, tapi juga gula, terigu, daging, minyak goreng sampai kedelai. Namun, kekuatan yang positif itu musnah dalam sekejap ketika Dana Moneter Internasional (IMF) masuk seiring pecahnya krisis moneter 1997-1998. Dengan tudingan maut tak boleh ada monopoli, kekuasaan Bulog pun dipreteli dan hanya tersisa untuk komoditas beras.Sejak absennya Bulog, yang kemudian berstatus dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perum, sejumlah komoditas pangan selalu berubah. Setiap tahun, kalau tidak gula ya kedelai yang membuat pusing. Pemerintah pun seolah tak berdaya dan kesulitan mengendalikan kenaikan harga. Yang menyakitkan, untuk minyak goreng, negeri ini juga sering dibuat pusing. Padahal, Indonesia adalah negara produsen CPO terbesar di dunia.Takhluknya Pemerintah Indonesia dan selalu mengikuti resep IMF justru menjadi bumerang. Sejak saat itu, pemerintah tak lagi punya ‘tangan kanan’ untuk menjaga stabilisasi pangan, selain beras. Contoh yang paling terasa adalah ketika harga berbagai komoditas pangan melambung pada awal 2008. Dengan adanya krisis pangan yang dipicu krisis harga minyak dunia, harga komoditas kedelai, minyak goreng, beras, gula dan jagung di pasar dunia terbang mengikuti spekulasi. Guncangan ini pun sampai ke negeri ini. Kebijakan pemerintah meredam gejolak harga pun kandas. Di luar beras, seluruh komoditas pangan melambung dan menguras anggaran pemerintah untuk memberikan subsidi.Kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) untuk meredam harga minyak goreng, misalnya. Tuntutan agar pengusaha tetap memasok minyak sawit (CPO) ke industri dalam negeri ketimbang mengekspor tidak direspon utuh. Buntutnya harga minyak goreng di dalam negeri tetap bergerak liar hingga di atas Rp 10 ribu/ kg. Pemerintah pun akhirnya meluncurkan pasar murah minyak goreng serta menanggung PPn agar harga bisa terjangkau.Kondisi yang sama terjadi dengan kedelai. Kebijakan pemerintah menurunkan bea masuk impor juga tidak menolong industri tahu dan tempe yang kesulitan bahan baku. Ketergantungan terhadap produk impor membuat banyak industri gulung tikar. Ini karena tidak ada lembaga yang bisa secara kontinyu memasok kedelai ke industri tahu dan tempe.Gejolak yang terasa berikutnya adalah harga gula. Akibat pasokan gula di pasar internasional defisit, harga gula melonjak cukup tinggi. Kondisi ini ikut mengerek harga gula di dalam negeri. Pelan tapi pasti, harga gula yang pada tahun 2008 pernah berada di level di bawah Rp 5.000/kg, pada pertengahan 2009 justru berbalik. Harga lelang gula di pabrik milik PTPN sempat mencapai Rp 8.000/kg. Kondisi ini pun tak mampu diredam pemerintah.Kebijakan impor gula mentah (raw sugar) yang diberikan kepada beberapa produsen gula menjelang akhir 2010 tidak direspon positif sehingga tak cukup berarti dalam menahan laju harga gula. Harga hingga di kuartal pertama tahun 2010 masih tetap tinggi hingga di atas Rp 10.000/kg. Buntutnya pemerintah terpaksa mengeluarkan kebijakan boros devisa dengan membuka impor gula putih (white sugar) kepada PTPN, RNI, Perum Bulog dan PPI. Total kuota impor sebanyak 500 ribu ton. Anehnya, meski sudah ada gula impor yang masuk, namun harga gula di pasaran juga masih cukup tinggi.Gejolak harga pangan yang tak pernah usai ini sudah disadari Presiden SBY. Pada pertengahan tahun 2008, Presiden telah memberi sinyal agar Bulog kembali memegang stabilisasi komoditas pangan di luar beras. Sinyal dari Presiden SBY ini tak lepas dari keberhasilan Bulog mengatasi gejolak harga beras ketika krisis pangan melanda dunia.Sebagai uji coba, pada akhir 2008, Bulog mendapat tugas mengatasi anjlognya harga gula yang berada di bawah harga penyangga pemerintah Rp 5.000/kg. Melalui sinergi antar-perusahaan plat merah, Bulog mendapat peran sebagai agen untuk mendistribusikan gula milik PTPN dan PT RNI sebanyak 260 ribu ton. Bahkan pada tahun 2009, peran mendistribusikan gula berlanjut dengan menyalurkan sebanyak 870 ribu ton.Tampaknya kembalinya Bulog memegang kendali stabilisasi pangan pokok di luar beras diyakini hanya tinggal menunggu waktu. Sebuah Inpres telah disiapkan sebagai payung hukum. Jika ini terealisasi, maka Bulog kembali akan memperlihatkan kekuatan dirinya. Perusahaan plat merah ini memiliki 1.575 unit gudang dengan kapasitas penyimpanan komoditas pangan sekitar 4 juta ton setara beras. Jumlah ini tersebar di 511 lokasi di 33 provinsi.Untuk mendapatkan kembali peran tersebut, Bulog paling tidak bisa menguasai stok sebanyak 5% dari total produksi nasional. Contohnya, pada komoditi beras, dengan membeli beras dalam negeri antara 5-7% ternyata harga komoditas beras cukup stabil, ketika di pasar dunia terjadi gejolak harga. Dengan jaringan dan infrastruktur yang cukup besar, kita yakin Bulog akan mampu menjadi lembaga penjaga stabilisasi harga dan ketersediaan pangan nasional. Daripada pemerintah pusing-pusing memikirkan kelembagaannya, maka akan lebih baik mengoptimalkan fungsi Bulog sebagai operator pangan. ● -
BUMN Pangan Harus Bersih
BUMN Pangan Harus BersihRahmat Pramulya, DOSEN DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,MEULABOH, ACEH BARATSumber : SUARA KARYA, 22 Februari 2012Wacana pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan oleh Kementerian BUMN terus mendapat dukungan. Wacana ini mengemuka setelah Badan Ketahanan Pangan (BKP) bakal digantikan oleh Badan Otoritas Pangan (BOP). Semula, BOP bakal berperan ganda, yakni sebagai regulator sekaligus operator. Tetapi, konsep tersebut dikritisi oleh banyak pihak, termasuk para pakar dari perguruan tinggi.Mengadopsi usulan para pakar, tim perumus versi pemerintah kemudian memisahkan fungsi regulator dan operator. Dengan pembentukan BUMN Pangan, maka tugas badan otoritas pangan murni sebagai regulator, sementara operator menjadi kewenangan BUMN Pangan. BUMN sebagai operator pangan ini nantinya bertanggung jawab dalam tugas-tugas distribusi dan keamanan pangan untuk melakukan fungsi stabilisasi harga bahan pangan utama di level nasional. Dengan demikian, ketersediaan pangan bisa terjamin.Menilik tanggung jawab dan tugas-tugas yang diamanatkan kepada operator pangan, bisa jadi ini mengarah ke Badan Urusan Logistik (Bulog). Kalaupun BUMN Pangan ini nantinya dibentuk lembaga operator yang terdiri dari beberapa BUMN, maka Bulog yang berpeluang besar dijadikan leader. Hal ini bisa dipahami karena Bulog telah memiliki pengalaman puluhan tahun dalam urusan semacam ini.Pertanyaannya, mampukah Bulog? Tentu kita ingat bagaimana Bulog sering tampak kedodoran dengan tugas-tugasnya selama ini dalam menstabilkan harga pangan pokok. Surat Menko Perekonomian, 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula dan Minyak Goreng telah memberi wewenang penuh kepada Bulog untuk menstabilkan harga beras.Bahkan, dengan keluarnya Permendag No. 1109/ 2007 pemerintah menetapkan mulai 1 September 2007, Bulog sebagai satu-satunya institusi yang diamanatkan dalam menjaga stabilitas harga beras secara nasional. Kewenangan meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP) demi mengejar target pengadaan dan menjaga stok beras minimal satu juta ton. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini tampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan public service obligation (PSO) dari Bulog.Sayangnya, apa yang terjadi di lapangan sungguh mengejutkan. Hingga kini, kabar bahwa para petani padi masih banyak yang menerima harga pembelian gabah kering giling jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) masih terdengar nyaring dari berbagai daerah. Padahal, dengan peran itu mestinya Bulog akan lebih leluasa memupuk stok dari pengadaan dalam negeri maupun impor sehingga akan bertindak lebih fleksibel untuk menstabilkan harga beras. Jika target stok belum tercukupi, sedangkan harga beras/gabah di atas HPP, Bulog boleh membelinya. Bulog pun di-setting bisa menjadi pemimpin pasar dan pembentuk harga beras di tingkat petani dan konsumen.Melihat perkembangan di lapangan, asumsi tersebut rasanya perlu ditinjau ulang. Pengembalian sebagian fungsi Bulog yang sejak awal diramalkan berpotensi membangun kembali citra Bulog yang sudah telanjur jatuh lantaran berbagai kasus seperti korupsi, sarang pemburu rente dan sumber KKN akhirnya tak jua menemukan hasil. Jika tidak dilakukan penguatan kelembagaan dan juga infrastruktur, seperti penguatan sistem logistik dan distribusi pangan yang mendukung, kinerja BUMN Pangan nantinya akan sama saja. Belum lagi, ketika BUMN ini nantinya berbentuk perum, di mana akan terjadi tarik-menarik, antara meraih profit dan tugas sosial.Bisa-bisa BUMN Pangan nantinya akan sama kedodoran-nya. Belajar dari Bulog, dengan tugas sebagai stabilisator pangan selama ini diakui banyak ganjalan yang ditemui. Beberapa hal terbukti belum dimiliki Bulog, di antaranya jiwa kewirausahaan. Selama ini Bulog hanya mengandalkan hidup dari keuntungan mengelola beras untuk rakyat miskin dan program PSO lain. Itu pun kenyataannya di daerah banyak penyimpangan. Bulog masih dihadapkan pada tantangan ketidakefisienan dan berbagai potensi penyimpangan.Dengan peran sebelumnya saja keinginan Bulog untuk impor beras tidak terbendung, apalagi dengan peran barunya belakangan yang demikian luas. Gelimangan uang rent seeking yang sangat menggiurkan dari bisnis impor beras, terlebih ketika impor itu dikuasai sepenuhnya oleh pemain tunggal adalah contoh terdekat. Betapa tidak, dengan hanya memberi lisensi kepada para eksportir mitra di luar negeri untuk memasukkan beras ke dalam negeri, tanpa memerlukan energi dan biaya ekonomi yang berarti, seseorang akan mendapat rente ratusan miliar rupiah dalam sekejap.Sudah menjadi rahasia umum bahwa keputusan-keputusan ekonomi dengan tingkat korupsi yang tinggi seperti negara kita ini, cenderung didomplengi para kepentingan pemburu rente. Dengan kondisi semacam itu, Bulog tidak saja belum bisa menggeser citranya sebagai lembaga korup, tetapi juga bisa terjerembab ke level death. Konsekuensinya, siapa saja yang menduduki posisi puncak di Bulog identik dengan duduk di ‘kursi panas’. Jika kurang lentur mengikuti permainan politik, duduk di kursi panas akan bisa berakhir di jeruji besi. Kursi panas itu telah menelan korban Widjanarko Puspojo dan lima pejabat Bulog lainnya.Perjalanan Bulog yang penuh warna ini patut dijadikan pelajaran serius bagi kinerja BUMN Pangan yang akan dibentuk nanti, terutama dari sisi potensi konflik tugas sosial dan komersial. Satu hal mendasar untuk dipahami dalam wacana BUMN Pangan ini adalah bahwa pangan pokok itu harus dilindungi oleh negara melalui lembaga negara yang mengurusi pangan. Lembaga tersebut harus didukung oleh operator yang memiliki wewenang penuh, mulai dari menyediakan sarana produksi pertanian semisal lahan, pupuk, irigasi, hingga distribusi. ●