Blog

  • Menegur Sinetron Kita

    Menegur Sinetron Kita
    Iva Wulandari, ANALIS PUSAKA (PUSAT KAJIAN DAN ADVOKASI) PENDIDIKAN, JOGJAKARTA DAN PEGIAT PENDIDIKAN KARAKTER
    Sumber : JAWA POS, 24 Februari 2012
    DUNIApenyiaran Indonesia terus berapor merah. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima ribuan pengaduan tayangan televisi selama periode Januari hingga September 2011. Anggota KPI Muhammad Riyanto memerinci, total pengaduan masyarakat mengenai isi siaran 2.540 kasus, perizinan 112 kasus, dan kelembagaan 22 kasus.

    Seperti dilansir dari www.kpi.go.id, program televisi yang paling banyak mendapat pengaduan masyarakat dan telah ditegur KPI adalah sinetron P y D, sebanyak 156 laporan. Riyanto mengungkapkan bahwa masyarakat melaporkan sinetron ini karena menampilkan kekerasan fisik dan tidak mendidik.

    Ezki Suyanto, wakil ketua KPI Pusat menambahkan, RCTI paling banyak mendapat protes terkait dengan hal tersebut. Stasiun televisi itu memang paling banyak menayangkan program sinetron. Sedangkan TV lain adalah Trans TV300 aduan, SCTV (279), Trans 7 (233), Anteve (225), Indosiar(205), MNC TV (181), Global TV (125), TV One (98), Metro Tv (97), TVRI (14), dan O Channel (10).

    Seperti diketahui, ada beberapa kategori tayangan berbasis umur di dunia sensor dan pertelevisian di Indonesia. A (anak), R (remaja), D (dewasa), dan BO (bimbingan orang tua). Kita patut mempertanyakan akurasi lembaga sensor dan penyiaran dalam mengategorikan tayangan. Hampir seluruh sinetron yang tayang saat ini dikategorikan tayangan R/BO. Ini berarti tayangan tersebut dikhususkan bagi penonton kategori remaja dan label BO (bimbingan orang tua).

    Ambil saja contoh sinetron Anugerah yang menjadi salah satu program top rating di RCTI. Sinetron ini dikategorikan tayangan berlabel R-BO. Sementara, cerita Anugerah didominasi konflik orang dewasa, konflik rumah tangga, dan perebutan anak. Karakter Nugi (Anugerah) dan Adek yang dimainkan anak-anak prasekolah pun menihilkan sinetron ini layak ditonton anak. Meskipun ada karakter anak-anak di sana, dialog yang disajikan membuat karakter anak ini dipaksakan berpikir dan berdialog secara dewasa. Muatan pendidikan bagi remaja nyaris tidak ada. Pengategorian sinetron ini sebagai R/BO tentu sangat tidak pas. Hal ini sangat berimbas terhadap psikologi penikmat sasarannya, remaja dengan bimbingan orang tua.

    Kita juga perlu menyorot karakter yang dibangun dalam cerita-cerita sinetron di Indonesia. Sebagai orang awam, kita tentu dapat mengategorisasikan pemain, protagonis, antagonis, dan netral. Si jahat, si baik, dan si netral. Sangat menarik mengkaji soal ini. Manusia merupakan makhluk yang dinamis. Seseorang yang mempunyai sisi baik, tidak selamanya baik. Begitu pula sebaliknya.

    Pada kebanyakan sinetron di Indonesia, perkembangan/perubahan karakter mungkin terjadi dari karakter si jahat yang berubah menjadi baik. Jarang sekali ditemukan karakter utama yang notabene baik, diceritakan bak berkarakter malaikat, dimunculkan dengan sisi-sisi manusiawi yang kadangkala memiliki sisi buruk.

    Character development dalam suatu sinetron yang menjadi salah satu bentuk komunikasi kontemporer menjadi poin penting dalam sebuah cerita. Sinetron Indonesia sangat miskin dengan ini. Karakter yang nyaris tidak berubah sepanjang cerita tidak akan banyak memberikan pelajaran hidup bagi penontonnya. Hal ini sangat bertentangan dengan peran sinetron sebagai cermin/potret diri manusia yang dinamis, realitas sosial masyarakat, dan peradaban manusia yang dinamis pula. Tontonan berkembang menjadi “kemustahilan” dan utopia bagi kehidupan nyata sang penonton.

    Semakin memprihatinkan, jam tayang sinetron-sinetron tersebut, yakni pukul 18.00-21.00, membuat tayangan ini mudah diakses anak-anak. Komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo, saat berdiskusi di Semarang (22/11/2011) menyatakan, televisi menjadi tontonan yang menyita waktu belajar anak-anak. Sebanyak 1,4 juta anak menonton televisi pada pukul 18.00-21.00 WIB yang merupakan waktu belajar anak sekolah. Ironisnya, program yang banyak ditonton anak adalah sinetron dengan rata-rata 50 menit/hari. Jumlah ini lebih banyak daripada tayangan anak yang hanya ditonton 20 menit/hari.

    Sarah Gamble dalam The Routledge Companion to Feminism and Postfeminismmenyebut budaya mediasi kontemporer tidak lebih dari sekadar daur ulang konstan atas citra-citra yang semula diangkat media. Sinetron, sebagai bagian dari produk budaya populer, seperti dikatakan Gamble, akan mendominasi pengertian penontonnya tentang realitas dan cara penonton mendefinisikan diri mereka sendiri dan dunia sekitar. Sangat memiriskan bila tindak kriminalitas seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan “tren” hamil di luar nikah menjadi hal yang berkembang dari tidak biasa dan amoral, menjadi hal yang biasa dan lumrah bagi masyarakat.

    Dalam hal ini sinetron mengambil peran penting membentuk konstruk realitas masyarakat. Mencelakakan dan membunuh orang menjadi konflik dominan, terkesan mudah dan biasa untuk dilakukan. Kasus penusukan siswa SD, AMN, 13, kepada temannya yang ditanggapi pelaku dengan tanpa bersalah dan menyatakan lebih baik dia yang membunuh daripada dia yang terbunuh. Bahasanya sinetron banget. Anak mempunyai kecenderungan besar untuk meniru perilaku sosial di sekitarnya, termasuk dari tontonannya.

    Sementara tidak semua orang tua benar-benar mendampingi anak-anak mereka. Orang tua cenderung larut dalam tayangan sinetron dan membiarkan anak-anaknya turut larut ke dalam cerita dan menyerap apa yang dilihatnya tanpa filter dari orang tua. Padahal, anak-anak membutuhkan arahan orang tua soal kekerasan.

    Jelas sudah, sinetron Indonesia harus bersih-bersih dan berbenah. Sinetron mestinya bisa membangun karakter bangsa, tak sekadar mesin pencetak keuntungan, tapi menghancurkan moralitas. Sementara, KPI teruslah menindak stasiun televisi yang nakal. Jagalah frekuensi milik publik dari pencemaran budaya. 

  • Mendidik Melalui Berita Kecelakaan

    Mendidik Melalui Berita Kecelakaan
    Husnun N Djuraid, JURNALIS MALANG POST, PENGAJAR JURUSAN KOMUNIKASI FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA
    Sumber : JAWA POS, 24 Februari 2012
    SURVEISerikat Penerbit Surat Kabar (SPS) 2010 menempatkan berita bencana alam dan kecelakaan lalu lintas sebagai berita yang paling favorit pembaca. Meskipun frekuensi pemuatannya tidak terlalu banyak, berita bencana alam dan kecelakaan itu mengalahkan berita politik dan korupsi yang lebih sering diberitakan. Bisa jadi, berita yang terlalu sering dimuat justru membuat pembaca bosan dan muak, apalagi berita-berita politik dan korupsi.

    Tragedi jalan di jalan raya selalu menimbulkan penderitaan bagi para korbannya dan eksploitasi emosi pembacanya. Cerita-cerita kemanusiaan di balik kecelakaan yang tragis sangat menarik minat pembaca. Berita bencana alam dan kecelakaan menunjukkan tren meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum bus terjadi secara beruntun di beberapa daerah dengan korban banyak.

    Kebanyakan kecelakaan itu terjadi karena human error, kesalahan awak angkutan. Sebuah fakta menunjukkan, sebelum mengalami kecelakaan, sopir bus bergurau dengan kernetnya. Ulah sopir dan kernet membuat para penumpang gusar. Mereka pun memperingatkan sopir, tetapi peringatan itu diabaikan. Mereka terus saja bergurau sampai akhirnya terjadi kecelakaan yang mengerikan yang turut mengorbankan si pemberi peringatan tadi.

    Berita-berita tentang kecelakaan, baik straight news maupun behind the news, selalu menarik minta pembaca. Di balik peristiwa itu ada unsur human interest yang mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Tragedi kecelakaan melahirkan banyak penderitaan manusia. Penderitaan si korban langsung yang tewas atau luka, derita janda yang ditinggalkan, dan “lahirnya” anak yatim baru. Korban cacat juga bisa kehilangan pekerjaan. Atau juga dari sisi pihak yang “salah” digambarkan betapa ugal-ugalan, tidak peduli, mengantuk, narkoba, atau miras mengakibatkan pikiran pengemudi oleng dan mencelakakan orang baik-baik. Ini semua bisa memberikan pelajaran (edukasi) agar orang lain berpikir panjang sebelum ngawur di jalanan.

    Sebuah berita ditampilkan memang bukan semata-mata pertimbangan ekonomis meskipun kecenderungan itu semakin kuat. Tetapi, bisa jadi, ada pertimbangan jurnalisme yang lebih luhur. Mengutip Kovach dan Rosentiel, awak pers -mulai dari redaksi hinga dewan direksi- harus punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan mendorong yang lain melakukan hal yang serupa.

    Agar tidak keluar rel idealisme, pertimbangan-pertimbangan etis kerap digunakan dalam pemuatan berita kecelakaan. Terutama dalam penampilan foto korban kecelakaan. Berita kecelakaan juga punya misi untuk mengedukasi pembaca agar mereka menaati aturan lalu lintas.

    Dampak kecelakaan yang sangat mengerikan berupa kerugian materi dan nyawa bisa menjadi shock therapy, bahwa kecerobohan, ugal-ugalan, dan tidak taat aturan sangat mencelakakan. Pesan ini efektif disampaikan ketika masyarakat menaruh perhatian pada berita kecelakaan sejalan dengan peningkatan jumlah kecelakaan.

    Meski ingin membawa pesan yang tajam kepada khalayak media, sebagian besar koran mempunyai kebijakan tidak memuat foto korban kecelakaan. Baik yang luka-luka maupun meninggal dunia berdarah-darah. Tetapi, beberapa koran spesialis kriminal kadang menampilkannya agak menonjol.

    Bagaimanapun menampilkannya, misi menyiarkan berita itu harus dilandasi sikap jujur dan profesional dengan pertimbangan bahwa sebuah berita dibuat untuk kepentingan publik. Tidak layak mengejar sensasi dengan mengabaikan etika.

    Stasiun TV NBC pernah membuat sebuah berita rekayasa untuk menggambarkan bagaimana truk tangki bahan bakar buatan General Motor mudah terbakar. Untuk mendapatkan gambar yang dramatis -seolah-olah kamerawan berada di TKP pada saat truk meledak- dibuatlah tabrakan akal-akalan. Lengkap dengan ledakan dan kobaran api. Kasus rekayasa berita ini terbongkar dan berbuntut pada pengunduran diri kepala divisi berita dan mengakibatkan reputasi stasiun TV itu jatuh.

    Rekayasa dan kecurangan untuk jangka pendek bisa saja menjadi sesuatu yang menggiurkan, tetapi dalam jangka panjang bisa menghancurkan kepercayaan. Misal, emosi pembaca akan teraduk-aduk saat melihat gambar seorang korban banjir berjalan dalam genangan setinggi lehernya sambil mengangkut barang-barangnya di atas kepala. Pembaca tidak tahu bahwa sebenarnya banjir hanya sebatas pusar. Fotografer minta dia jongkok agar bisa mendapatkan gambar dramatis seolah-olah banjirnya sudah hampir menenggelamkannya. Apabila rekayasa ini ketahuan, tentu publik akan “menghukum” media itu dengan cara tidak membeli atau memberi stigma pembohong.

    Pers punya misi untuk mengedukasi masyarakat agar berperan dalam menekan jumlah kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan tren meningkat. Sama dengan “pendidik” yang lain, kejujuran menjadi hal yang sangat penting kalau ingin pendidikannya bisa berhasil dengan baik.  

  • Pendangkalan Wacana Publik

    Pendangkalan Wacana Publik
    Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
    Sumber : SINDO, 24 Februari 2012
    Beberapa teman berkomentar, wacana publik yang berkembang sekarang ini semakin tidak bermutu. Penuh kebohongan dan kedangkalan substansi.Untuk menguji hipotesis di atas, mari bertanya kepada diri sendiri.

    Seberapa aktif Anda membaca surat kabar, majalah,dan menonton acara dialog politik dan hukum di televisi? Lalu tanyakan kepada diri sendiri,berapa persen Anda percaya kebenaran isi berita dan siaran itu? Kalau tingkat kepercayaan Anda rendah,ada beberapa kemungkinan.Isi berita itu memang tidak bermutu dan layak tidak dipercaya.Atau Anda termasuk orang yang senang curiga dan sulit percaya,kecuali ada bukti yang cukup baru Anda percaya.Kemungkinan lain,Anda sudah bersikap apatis terhadap berbagai wacana publik, terlepas apakah sebuah berita dan wacana benar atau salah, jujur atau bohong.

    Yang agaknya sepakat, sekarang tengah berlangsung proses pendangkalan dan bahkan pembusukan wacana publik. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, hujan dan banjir informasi yang datang setiap saat dari berbagai penjuru membuat masyarakat dihadapkan banyak pilihan. Tidak hanya diperhadapkan, bahkan diserbu ledakan berita, sehingga masyarakat sulit merenung untuk memilih lalu mendalami sebuah topik agar menjadi informasi dan kemudian menjadi ilmu pengetahuan.

    Masyarakat juga semakin sulit membedakan mana berita benar dan mana palsu. Kedua,kondisi kota besar, khususnya Jakarta, yang semakin macet membuat warga secara fisik dan mental merasa lelah sehingga ketika menonton televisi atau membaca surat kabar yang dipilih yang ringanringan saja, yang dapat menghibur. Bahkan ketika menonton televisi tangannya selalu menggenggam remote control untuk ganti-ganti saluran.Artinya, kita semakin terbiasa mengikuti sajian acara itu hanya sekilas saja.

    Ketiga, begitu banyaknya berita seputar kecelakaan dan korupsi membuat masyarakat lelah, pesimistis, dan bingung.Kepercayaan masyarakat terhadap pidato pejabat pemerintah dan politisi kian turun. Keempat, berbagai kasus korupsi dan pelanggaran hukum yang tidak pernah tuntas penyelesaiannya dan terkesan pilih kasih dalam menjatuhkan sanksi hukum ikut merusak wibawa wacana publik. Kata-kata kehilangan makna dan wibawa.Kelima, mimbar agama juga ikutikutan bergaya pop sehingga simbol-simbol dan wacana keagamaan lebih dipandang sebagai hiburan, menggeser substansi yang memerlukan perenungan dan kedalaman makna.

    Acara keagamaan lalu tampil bagaikan religiotainment. Demikianlah,masih banyak faktor lain yang membuat wacana publik menjadi dangkal. Batas privasi dan publik semakin tipis. Agenda komunal, pribadi, dan publik tumpang tindih.Ketika seorang menteri berbicara, misalnya, kita kadang bingung, apakah itu agenda pribadi, partai atau negara? Ketika beberapa ormas mengusung simbol dan slogan keagamaan,rakyat ragu, mereka itu tengah memainkan agenda politik, mencari uang, atau benar-benar berdakwah? Orang bilang proses sosial mengarah pada individualisasi.

    Namun sesungguhnya dalam waktu bersamaan komunalisme juga tambah kuat.Ormas-ormas kesukuan dan keagamaan muncul di mana-mana. Setiap ada waktusenggangorang asyikberkomunikasi melalui telepon genggamnya, entah via Twitter, Facebook atau mengobrol lewat telepon. Model komunikasi ini serbasingkat,sesaat,danmudah terlupakan.Takadaperenungan dan kedalaman. Potensi besar bangsa tidak terakumulasi dan terarahkan untuk menggerakkan dan memajukan rakyat.

    Wacana publik diramaikan para politikus, ahli hukum,dan pengamat sosial yang difasilitasi televisi dengan dukungan iklan yang agresif dan menggoda. Wajah politisi,pengamat, dan ahli hukum serta tokoh-tokoh iklan tampil begitu kompak meramaikan panggung publik. Berita kecelakaan lalu lintas dan gosip selebritas juga ikut meramaikan wacana publik. Jadi, masyarakat ini bergerak maju,mundur, atau lari di tempat? Masyarakat kita ini menderita,bersukaria,berhurahura, ataukah hidup merana?

    Tentu saja semuanya ada. Dalam situasi demikian sulit terjadi perubahan drastis-revolusioner karena kelas menengah dan para politikus berada dalam posisi yang menikmati putaran uang hasil penjarahan kekayaan alam Indonesia. Kekayaan alam semakin habis,lingkungan sosialdanalamrusak,danrakyat hanya bisa melihat dan mengeluh. Kelahiran parpol dengan janji untuk menerapkan prinsip- prinsip demokrasi demi menyejahterakan rakyat tak jelas arah dan hasilnya.

    Yang mengemuka adalah kebebasan berwacana dan berserikat, tetapi mengabaikan penegakan hukum dan etika publik.Kita tidak mungkin kembali ke pemerintahan otoriter-represif, tetapi para politikus yang mengusung jargon-jargon demokrasi ternyata mengecewakan, bahkan banyak yang terlibat korupsi,baik yang ketahuan maupun yang tidak terungkap ke publik.

  • Menghamba pada Pasar

    Menghamba pada Pasar
    Makmur Keliat, PENGAJAR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FISIP)
    UNIVERSITAS INDONESIA (UI)
    Sumber : SINDO, 24 Februari 2012
     
    Dalam pandangan sekilas, gambaran besar ekonomi makro Indonesia tampak mengesankan. Indikator untuk itu misalnya dapat dilihat dari besaran APBN yang terus meningkat setiap tahun dengan tingkat defisit yang kecil.
    Dalam lima tahun terakhir rasio defisit APBN terhadap GDP tidak pernah melewati angka 3%. Rasio ini,menurut Kementerian Keuangan, jauh lebih baik dari negara-negara maju. Di Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat misalnya, rasio ini berada di sekitaran angka 10%. Rasio utang terhadap GDP juga membaik. Jika pada 2006 angkanya sekitar 40,4%, pada 2011 menurun menjadi 25,4. Rasio defisit APBN terhadap GDP ini, menurut Kementerian Keuangan, juga jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negaranegara berkembang lainnya seperti Argentina (40,7%), Brasil (65,7), dan India (68,2%).

    Rasio ini bahkan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Italia (120,3%), Jepang (229,1%), dan Amerika Serikat (99,5%).Indikator lainnya adalah pada besaran cadangan devisa. Data yang dikeluarkan Bank Indonesia memperlihatkan, angka cadangan devisa telah menyentuh angka USD112 miliar. Angka ini disebutkan setara dengan 6,4 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jika angka-angka di atas dijadikan rujukan, untuk jangka pendek hampir mustahil akan terdapat guncangan krisis keuangan yang berasal dari sisi eksternal seperti yang pernah dialami Indonesia pada 1998.

    Terlebih lagi terdapat kecenderungan umum yang menunjukkan nilai tukar rupiah yang terus menguat. Kepercayaan rupiah yang meningkat ini juga tampaknya telah didukung oleh peningkatan status sovereign credit rating Indonesia menjadi Baa3 (stabil) oleh lembaga pemeringkat Moody dan Fitch. Namun, jika dicermati dengan lebih jeli, tidak seluruh gambaran ekonomi makro Indonesia tampak membesarkan hati. Pertama-tama marilah kita melihat struktur ekspor dan impor kita.

    Walau secara umum nilai total ekspor lebih besar daripada impor, data-data yang dipublikasi oleh Kementerian Perdagangan juga menunjukkan kecenderungan rata-rata persentase pertumbuhan ekspor Indonesia itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan impor. Dari 2006 hingga 2010 misalnya, rata-rata peningkatan ekspor setiap tahun berada di kisaran angka 9,6%, sedangkan untuk impor berada pada angka 20,43%. Ratarata peningkatan impor terbesar terjadi pada komoditas nonminyak dan gas yaitu pada angka 25,63%.

    Pertumbuhan impor yang lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan impor ini, bahkan pada sektor nonminyak dan gas menjadi tiga kali lipat, menyampaikan pesan bahwa Indonesia menjadi pasar yang sangat menarik bagi para importir.Tidak hanya alat elektronik seperti handphone dan Blackberry, kini beberapa kebutuhan pokok produk pertanian seperti beras, bawang, gula, dan ikan juga memberikan kontribusi bagi peningkatan nilai impor ini. Kecenderungan menguatnya semangat konsumerisme untuk produk-produk luar negeri itu, dalam konsep akademis, sering dirumuskan dalam bahasa yang ”netral”.

    Disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekitar 6% itu lebih banyak digerakkan oleh permintaan pasar domestik yang besar dibandingkan oleh permintaan pasar internasional. Semangat konsumerisme yang besar ini juga ditunjukkan oleh fakta bahwa tingkat tabungan nasional Indonesia sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan China. Jika rasio tingkat tabungan nasional kotor China terhadap GDP-nya berada pada angka sekitar 54%, Indonesia berada pada angka 33,78%.

    Angka ini tidak sekadar menyatakan bahwa sebagian besar pendapatan masyarakat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi. Pada tataran kebijakan strategis, angka ini juga menyampaikan pesan bahwa kita belum bisa menyandarkan diri pada kapasitas tabungan nasional untuk mendanai kebutuhan investasi. Ini juga yang menjelaskan mengapa kebutuhan modal untuk investasi sebagian besar masih bersandar pada modal asing yang diperlihatkan oleh kecenderungan aliran modal dalam neraca pembayaran yang terus menerus positif.

    Ditengah-tengah situasi semangat konsumerisme dan kapasitas tabungan nasional yang terbatas itu,kita juga tidak bisa berharap banyak terhadap kemampuan keuangan negara. Walau APBN terus meningkat, peningkatan itu tidak disertai dengan kemampuan penerimaan pajak yang memadai. Seperti kita ketahui,salah satu sumber utama pendanaan APBN berasal dari pajak. Namun, jika kita melihat struktur penerimaan pajak Indonesia, kita belum bisa mengangkat kepala. Lihatlah misalnya laporan country paper tentang Indonesia yang dikeluarkan IMF pada September 2011.

    Lembaga yang merancang kebijakan ekonomi Indonesia pascakrisis 1998 ini bahkan mengakui bahwa rasio penerimaan pajak terhadap GDP untuk kurun waktu 2002 hingga 2010, yang berada pada angka kisaran 11,5%, termasuk yang terendah, tidak hanya di antara kelompok G-20, tetapi juga di antara negara-negara berkembang (emerging market). Laporan itu juga menyebutkan bahwa memang telah terdapat upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak ini. Misalnya pada 2008, rasio itu pernah mencapai angka 13,3%. Namun, kembali menurun menjadi 11,1% pada 2009.

    Penyebabnya adalah kebijakan pemotongan pajak perusahaan untuk menarik para investor.Data yang disampaikan IMF ini juga menyebutkan hanya terdapat 5 juta pembayar pajak individual yang terdaftar di Indonesia dan pembayar pajak perusahaan yang terdaftar hanya sekitar 500.000. Itu pula sebabnya APBN masih bersandar pada utang baik melalui penjualan obligasi maupun kepada negara luar dan lembaga internasional.

    Angka-angka ini menyampaikan pesan bahwa terdapat keterbatasan bagi negara untuk menjalankan fungsifungsi pelayanannya bagi publik baik itu menyangkut fungsi yang terkait dengan kesejahteraan seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur fisik maupun untuk melaksanakan fungsi keamanan. Kecenderungan apakah ini? Mengapa Indonesia dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan ledakan konsumerisme yang luar biasa,namun disertai dengan pajak yang rendah dan terbatasnya kapasitas negara untuk memberikan pelayanan untuk kesejahteraan dan keamanan publik?

    Meminjam istilah Paul Bobbit, penulis menyebut ini sebagai gejala dari kuatnya gagasan negara yang menghamba pada pasar (market-state). Ia menyampaikan pesan bahwa kita tengah meninggalkan konsep negara yang mengabdi pada bangsanya (nation-state). Jika landasan bagi bekerjanya negara-bangsa adalah konstitusi politik, dalam negarapasar, konstitusinya adalah modal yang tidak memiliki batasbatas nasional.

    Akibatnya untuk menghamba pada pasar itu, fungsi negara itu harus seminimal mungkin, pajak tidak boleh besar, dan biarkan konsumerisme tumbuh sesukanya demi pertumbuhan ekonomi walaupun itu berarti mencederai nilai-nilai dan identitas konstitusi politiknya. Ringkasnya, dalam negara yang mengabdi pada pasar, konstitusi modal telah mengalahkan konstitusi politik.

  • Masalah Dunia Penerbangan

    Masalah Dunia Penerbangan
    Priyatna Abdurrasyid, Anggota American Institute of Aeronautics and Astronautics (AIAA), New York, USA, (1989–sekarang); Anggota Panel Hukum International Civil Aviation Organization (ICAO), Montreal, Canada, (1973-sekarang)
    Sumber : SINDO, 24 Februari 2012
    Tertangkapnya beberapa pilot menyabu merupakan suatu kejadian yang sangat mengkhawatirkan masyarakat Indonesia yang kini begitu gandrung ruang udara.

    Padahal masyarakat kini merasa nyaman yang dengan biaya terjangkau dapat melakukan perjalanan menggunakan pesawat komersial. Biaya perjalanan penerbangan tersebut kadangkala jauh lebih kecil dibanding biaya transportasi darat biasa, bahkan perjalanan dengan pesawat dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Marilah kita tinjau keadaan ini melalui penilaian dengan tidak serta-merta membebankan serbakekurangan dan kelemahan yang terjadi beberapa waktu yang lalu menyangkut menyabunya beberapa pilot.

    Perlu pula diteliti dan dikaji pokok-pokok sebab-musabab di luar penilaian terhadap pilot yang melakukan hal-hal yang menurunkan rasa nyaman para penumpang. Pertama adalah apa yang disebut kelelahannya pilot (pilot fatigue). Misalnya, banyak terjadi bahwa para pilot/awak pesawat dibebani tugas-tugas yang melebihi jam kerja yang seharusnya dan yang diatur oleh undang-undang. Belum lagi bila kita lihat dengan kemacetan yang terjadi di kota besar di Indonesia, berakibat para pilot/awak pesawat yang berada dalam perjalanan dari tempat tinggal ke tempat di mana pesawat disiapkan di bandar udara melebihi waktu pencapaian dari jam terbangnya.

    Banyak pula terjadi para pilot merasakan kurang tidur karena hal-hal tertentu,terkait dengan tugasnya dan seringkali terjadi para pilot tertidur di kokpit. Padahal peraturan mengatakan bahwa pilot harus selalu berada dalam keadaan “fit for duty”. Secara ilmu kedokteran, kelelahan dan kurangnya tidur dapat menimbulkan halhal negatif, kurangnya perhatian, kurangnya kemampuan bereaksi yang dapat memengaruhi kemampuan awak melakukan tugasnya. Padahal dengan kemajuan ilmu teknologi di bidang penerbangan pesawat komersial, perhatian dan konsentrasi para pilot/ awak pesawat perlu ditingkatkan.

    Kecurangan

    Berikutnya, seringkali ada kebiasaan beberapa perusahaan penerbangan yang menggunakan apa yang disebut “bogus aircraft” atau juga biasa disebut “counterfeit aircraft”.Bogus aircraftadalah “aircraft is one in which the owner, maker, or seller of the aircraft intends to cause confusion or to cause mistake, or to deceive.” Bentuk penipuan semacam ini biasanya dilakukan melalui trademark,data plates, konfigurasi, atau tata cara dokumentasi. Pesawat palsu ini biasanya diaktifkan dari surplus pesawat- pesawat militer atau yang dapat diselamatkan (pernah terjadi pengaktifan 16 helikopter militer di masa lalu).

    Dalam kelompok ini juga termasuk penggunaan pesawat-pesawat pengangkut kargo militer atau menggunakan helikopter yang sudah tidak layak terbang untuk operasi militer. Berikutnya adalah perdagangan suku cadang bermerek palsu “bootleg aircraft parts”. Penggunaan suku cadang ini secara potensial menempatkan pesawat dalam kondisi tidak nyaman,dan biasanya para pilot/awak pesawat tidak pernah mengerti atau mengetahui sepenuhnya (ingat kejadian pesawatAdamAir yang jatuh di Majene).

    Dalam hal ini, turut bertanggung jawab pihak regulator, perusahaan penerbangan, dan organisasi seperti INACA. Masa jual beli peralatan palsu ini memang dapat berlangsung secara resmi maupun tidak resmi. Dapat saja merek suku cadang ini merupakan hasil sebuah pabrik yang resmi, yang diakui oleh misal FAA dari Amerika Serikat.Tindakan pemalsuan tersebut biasanya berlangsung melalui kerja sama sentra-sentra penjualan suku cadang internasional,dan di sinilah peran regulator sangat utama.

    Dalam dunia penerbangan komersial,ada dua istilah yang sedang tren di Indonesia,yaitu “low cost fare” dan “low cost carrier”. Yang menjadi masalah di sini, apakah biaya tersebut dapat menutup biaya pemeliharaan pesawatnya sendiri. Para pengusaha penerbangan banyak yang mengabaikan beban pemeliharaan pesawat yang seharusnya dilakukan secara berkesinambungan (ingat pesawat Adam Air di Majene).

    Hal yang juga sangat mengganggu pilot dan awak pesawat adalah peranan dari air traffic controller (ATC) yang mungkin saja seringkali berpihak pada perusahaan penerbangan yang lebih besar misalnya dalam masalah take off dan landing. Seringkali urutan take off dan landing ini diabaikan, pesawat yang seharusnya mendarat lebih akhir didahulukan.Atau dalam keadaan take off terjadi hal yang sama.

    Hal ini tentu sangat merugikan pesawat tersebut.Inilah pokok-pokok di mana seringkali terabaikan di luar kemampuan para pilot dan awak pesawat. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah “zoning” dari bandar udara yang melibatkan rakyat sekitarnya. Seringkali tanpa disadari, rakyat di sekitar bandar udara melepaskan ternaknya ke bandar udara.

    Masalah ini perlu ditinjau secara teliti karena masalah tanah ini sejak ratusan tahun bagi rakyat Indonesia memiliki fungsi kehidupan dan kelanjutan kesejahteraan. Prof Vollenhoven puluhan tahun meneliti masalah tanah ini dan berkesimpulan bahwa hidup mati rakyat Indonesia dapat dikatakan 100% bergantung pada tanah milik adatnya. Dengan demikian, semua membutuhkan pemecahan yang amat bijaksana dari kita bersama.

    Proporsional

    Demikianlah beberapa pokok yang dapat diketengahkan sehingga masalah pilot/awak pesawat menggunakan sabu dapat saja disebabkan oleh kekhawatiran yang mendalam. Kekhawatiran ini mungkin muncul karena beberapa pokok mungkin tidak pernah diketengahkan oleh mereka yang terkait dengan penerbangan komersial.

    Kekhawatiran ini secara psikologis lalu dicoba dihilangkan dengan mengonsumsi sabu, apalagi sempat terucap bahwa 60-70% awak pesawat nasional menggunakan sabu demi menghilangkan rasa khawatir tersebut.

  • Menanti Kejujuran Negara

    Menanti Kejujuran Negara
    Dudi Sabil Iskandar, PENELITI LEMBAGA JANGKA INDONESIA, MAHASISWA KOMUNIKASI POLITIK PASCASARJANA UNIVERSITAS MERCU BUANA, JAKARTA
    Sumber : SINDO, 24 Februari 2012
    Akhir-akhir ini fenomena kekerasan di masyarakat kembali mencuat. Belum tuntas penyelesaian kasus konflik vertikal (negara versus masyarakat) seperti di Bima,Nusa Tenggara Barat dan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, kekerasan horizontal (masyarakat versus masyarakat) beberapa muncul.

    Pembakaran pondok pesantren di Madura,kampanye damai “Indonesia Tanpa FPI” ditandai pemukulan demonstran— diduga dilakukan oleh anggota FPI—di Jakarta, danpengeroyokanseorangseniman di Yogyakarta oleh ormas yang berlabel agama tertentu adalah sederet peristiwa kekerasan yang terpotret media. Dalam konteks konflik horizontal, berdasarkan catatan kepolisian dalam dua tahun terakhir ini, pada 2010 ada 51 tindak kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan dan 2011 tercatat terjadi 20 kasus anarkistis.

    FPI menjadi ormas yang paling banyak melakukan kekerasan. Pada 2010 FPI melakukan 29 tindak kekerasan dan 2011 ada lima aksi anarkisme. Selain FPI, Forum Betawi Rembuk (FBR) juga dicatat kepolisian sebagai ormas yang banyak melakukan kekerasan. Dalam rentang 2007–2010 keduanya mendominasi ormas yang memiliki catatan keke-rasan terbesar.

    Spiral Kekerasan

    Pertanyaan mendasar dari berbagai konflik adalah di mana keberadaan negara? Penulis sepakat dengan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Dien Syamsuddin dan tokoh agama lainnya bahwa negara absen dalam berbagai konflik. Kekerasan silih berganti muncul akibat pembiaran dan pengabaian negara. Yang ironis dan menyesakkan adalah negara bagian dan pemicu dari konflik seperti yang terjadi di Mesuji dan Bima.Negara yang seharusnya menjadi regulator justru terjerembab ke dalam kubangan konflik.

    Dalam konflik negara ditengarai memiliki kepentingan tersembunyi (hidden agenda) dengan eksistensi ormas anarkistis. Maka itu, apa pun wajah ormas tersebut, negara akan memproteksinya. Inilah yang disebut sebagai negara kekerasan (state of violence).Realitas ini sesuai dengan spiral kebebasan ala Dom Helder Camara. Negara berkontribusi atas ma-raknya kekerasan.

    Menurutnya,kekerasan yang terjadi di masyarakat bersifat akumulatif. Kekerasan yang satu melahirkan kekerasan yang lain atau efek domino kekerasan. Sesungguhnya jika negara jujur, pembekuan atau pembubaran ormas anarkistis sangat mudah.Apalagi regulasi untuk melakukan tersebut sudah ada seperti yang tercantum dalam Pasal 13 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menyatakan pembekuan pengurus atau pembubaran. Pembubaran setelah ormas tersebut diberi peringatan (Pasal 14).

    Sedangkan tata cara pembubaran, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 menegaskan,pembekuan dilakukan bila ormas menyebarluaskan kekerasan mengenai agama, suku, ras, atau golongan; ormas terbukti memecah belah persatuan, merongrong wibawa pemerintah, dan mengganggu kegiatan stabilitas dan keamanan. Dengan catatan dan regulasi di atas, sesungguhnya jika negara jujur dan bertindak sesuai “fitrah”-nya—sebagai pengayom semua golongan dan pengatur kehidupan di ruang publik,tidak ada alasan negara untuk tidak membekukan atau membubarkan ormas anarkistis tersebut.

    Tekanan Media

    Di tengah ketidakberdayaandan kesulitan berkomunikasi dengan negara tentang perilaku ormas anarkistis, satusatunya harapan masyarakat disembatkan kepada media. Dalam dunia modern, media dengan segala perangkat dan kelengkapannya bukan lagi merupakan kebutuhan ma-syarakat. Ia adalah urat nadi dan kesadaran.

    Tidak ada ruang hampa yang lepas dari pengaruh media massa. Media massa bahkan merupakan sesuatu yang given. Harapan tentang pembekuan atau pembubaran ormas anarkistis melalui media sangat relevan dengan teori Akbar S Ahmed bahwa media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum meski pada perkembangannya, selain menyampaikan pesan, media juga––menurut Marshall McLuhan–– menjadi pesan tersendiri (the medium is the message).

    Dengan menekan negara untuk membubarkan ormas anarkistis,media menjalankan fungsi politiknya yakni fungsi pengagendaan isu dan membela kepentingan individuindividu untuk melawan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan eksekutif (Anwar Arifin, 2010).Tentu saja selain tekanan dari media massa, pressure masyarakat yang antikekerasan melalui media sosial (Facebook dan Twitter) juga berperan dalam membersihkan ormas anarkistis di negeri ini. Dengan demikian, pembubaran ormas anarkistis membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas individual dan kolektif.

    Sebagai catatan akhir, penulis ingin menegaskan bahwa selama negara,khususnya aparat keamanan, tidak jujur, selama itu kekerasan, baik vertikal maupun horizontal, akan terus berulang. Negara tidak akan sukses memutus spiral kekerasan jika tidak berangkat dari kejujuran para pengelolanya.

    Dalam negara yang serbamajemuk seperti Indonesia, aksi kekerasan mudah timbul karena banyaknya perbedaan. Namun, jika negara jujur, cerdas, dan memiliki political will, perbedaan adalah khasanah yang tak ternilai. Berbeda tidak senantiasa bertentangan. Justru perbedaan akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat jika negara jujur dan memiliki manajemen konflik yang cerdas, visioner, dan futuristik.

  • Teladan Jurnal Guru Besar

    Teladan Jurnal Guru Besar
    Laksmi Widajanti, DOSEN BAGIAN GIZI KESMAS FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO
    Sumber : SUARA MERDEKA, 24 Februari 2012
    SURAT Edaran (SE) Dirjen Dikti Nomor 152/ E/ T/ 2012 perihal kewajiban bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 yang ingin lulus harus memublikasikan karya ilmiah di jurnal seperti menghadirkan mimpi buruk bagi sebagian dari mereka. Menentukan judul skripsi, tesis, atau disertasi saja sulit apalagi jika wajib menulis artikel di jurnal sebagai syarat kelulusan.

    Transkrip edaran itu menyebutkan untuk program S-1 harus menerbitkan di jurnal ilmiah, S-2 di jurnal ilmiah nasional terutama yang terakreditasi Dikti, dan untuk S-3 di jurnal internasional. Faktor itulah tampaknya membuat banyak pihak terlihat resisten. Mestinya mahasiswa yang berpuas diri dengan diktat dan bahan fotokopian ’’pantas’’ keberatan, namun faktanya sejumlah dosen melontarkan sikap sama dengan mengatasnamakan mahasiswa.

    Adakah suara itu hanya mengatasnamakan mahasiswa mengingat faktanya banyak dosen tidak mampu menulis, termasuk yang sudah meraih jabatan fungsional profesor sekalipun. Atau mahasiswa kita tidak mampu menulis sehingga tidak bisa menyuarakan sikapnya sendiri?
    Pertanyaannya adalah ketika ada reaksi terhadap upaya baik agar dari kampus lahir tak hanya calon pekerja tapi juga intelektual kritis, sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi untuk melahirkan manusia cerdas dan bernalar, resistensi itu menjadi tanda tanya besar?

    Bagaimana mau bernalar jika menulis sesuatu yang sebenarnya sudah banyak diajarkan di bangku kuliah saja tidak bisa? Seharusnya, terkait edaran itu, pengelola perguruan tinggi cepat menyosialisasikannya supaya mahasiswa lebih siap. Termasuk mengingatkan mereka bahwa kebijakan itu konsekuensi, artinya mereka yang masuk ranah akademik harus membuktikan diri melalui tulisan di jurnal atau media lain. Lewat cara itu, kita bisa menilai bahwa yang bersangkutan memang pantas menyandang gelar akademik.

    Logika seturutnya, dosen memberi contoh dan mendampingi mahasiswa agar mereka tergerak untuk menulis, melalui keteladanan dosen itu dalam menulis. Semasa saya kuliah, ada profesor sering memberi contoh konkret bagaimana cara menggali ide dan menulis dengan baik. Saya kemudian sangat termotivasi menulis karena menemukan contoh keteladanan dari profesor itu.

    Beri Contoh

    Surat edaran Dirjen Dikti jangan dimaknai sebagai kewajiban hanya untuk mahasiswa (termasuk dosen yang menempuh S-2 atau S-3) tapi juga bagi tenaga pengajar dan institusi, sekaligus untuk introspeksi sudah melakukan hal itu atau belum. Selama ini ada kecenderungan sebagian dosen memilih numpang nampang pada publikasi mahasiswa bimbingannya, misalnya sebagai penulis II dan seterusnya.

    Artinya banyak dosen merasa puas hanya dengan menjadi ’’benalu’’ mahasiswanya, sementara dia tidak berusaha menulis mendasarkan pada hasil kajian dan penelitiannya. Ini sungguh menyedihkan karena hal itu berarti dia tidak mengembangkan ilmunya selain terus menjadi ’’penumpang’’ pada karya ilmiah mahasiswanya. Semestinya dosenlah yang menjadi ’’sopir’’, minimal sesekali.

    Dalam konteks itu, ketika ada kewajiban membuat karya ilmiah maka dosenlah yang harus kali pertama merasa terpanggil untuk memberi contoh, terutama yang punya jabatan fungsional profesor. Selama ini ada kecenderungan bila sudah meraih jabatan fungsional akademik itu, seorang profesor  menganggap dirinya ’’pensiun’’, tidak ada upaya meng-up date ilmu, apalagi meneliti.
    Lebih parah lagi, ada sejumlah dosen meyakini bahwa pendapat seorang profesor adalah ’’wahyu’’, tidak boleh dikritik, apalagi dibantah. Sikap itu tentu jauh dari nilai-nilai akademik yang terbuka, kritis, dan egaliter mengingat dengan cara itulah sebuah ilmu bisa berkembang. ●

  • Dilematika Diskresi Polisi

    Dilematika Diskresi Polisi
    Novel Ali, ANGGOTA KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL (KOMPOLNAS), DOSEN FISIP UNDIP
    Sumber : SUARA MERDEKA, 24 Februari 2012
    PEKERJAAN kepolisian selalu berkaitan dengan kegiatan pencarian, penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pemrosesan pelanggaran hukum. Risikonya adalah  dibenci seseorang/ sejumlah orang (pelaku kejahatan) tetapi disukai pihak lain (korban kejahatan).

    Sejauh pekerjaan kepolisian tidak melanggar norma hukum, rasa keadilan masyarakat, kode etik profesi, kode perilaku, dan mampu memilah-milah kepentingan penegakan hukum dari aneka intervensi kekuasaan dan politik, baik oleh pemerintah maupun kekuatan politik formal lainnya, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak menyukai pekerjaan kepolisian.

    Di tengah kuatnya desakan penegakan hukum (law enforcement), pekerjaan kepolisian dimungkinkan dilaksanakan tanpa melalui proses hukum formal. Dalam kaitan dengan keberadaan organisasi kepolisian sebagai aparatur negara, maka organisasi bukanlah entitas yang mampu menjamin keberlangsungan eksistensinya sendiri.

    Organisasi kepolisian di Indonesia (Polri) pun demikian halnya. Polri tak bisa bekerja sendiri, tanpa bantuan pihak lain. Model pengorganisasian Polri, merupakan bagian dari seluruh tatanan distribusi kekuasaan yang lekat kaitannya dengan bureaucratic policy atau authoritarian corporatism. Konsentrasi kekuatan pemaksa Polri, berkaitan langsung dengan memori kolektif negara di satu sisi dan memori kolektif publik di sisi lain terhadap pembenaran tindakan represifnya.

    Di tengah kewenangan penggunaan tindakan represif, polisi memiliki peluang melakukan tindakan diskresi. Salah satu wujud nyatanya adalah pengambilan keputusan personal terkait dengan  tindakan hukum terhadap seorang/ sejumlah orang yang dicurigai melanggar hukum, demi alasan profesional, kepentingan umum, dan berbagai alasan subjektif pribadi, termasuk yang tidak formal diatur dalam hukum.

    Arogansi Kewenangan

    Sekalipun demikian, penggunaan diskresi tetap harus berbasis standar operasional prosedur (SOP). Dalam praktik, tindakan diskresi polisi senantiasa bermuka dua. Pertama; membuka peluang dan memperkuat dinamika. Artinya, polisi dapat mengambil tindakan sesuai dengan sifat darurat kejadian yang harus cepat dan tepat ditangani, tanpa harus menunggu perintah atasan, yang bukan mustahil memakan waktu sehingga menimbulkan korban manusia, atau membuat makin panasnya situasi.

    Namun, penggunaan diskresi ini dilematis bagi pekerjaan individual polisi yang biasanya bermuara dari penyalahgunaan kewenangan. Terutama akibat tiadanya basis kepentingan umum, yaitu diubahnya nilai kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi. Kasus penerapan secara keliru diskresi adalah yang terbanyak dilaporkan masyarakat ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

    Untuk memperkuat dinamika diskresi, tiap individu polisi perlu mendasarkan pada pertimbangan kejujuran: apakah betul-betul digunakan demi alasan kemanusiaan, profesionalisme, dan pertimbangan moral lain, ataukah karena arogansi kewenangan legal yang melekat pada kekuasaannya sebagai aparatur pemaksa negara.
    Di sinilah perlunya diskresi polisi diarahkan secara dinamik untuk memberi landasan kuat bagi perwujudan polisi berbasis hak asasi manusia (toward human rights based police).
    Diskresi polisi yang tidak mengisyaratkan peluang terjadinya kontrak sosial antara subjek (polisi) dengan objek pelayanannya bukan mustahil mengkooptasi diskresi itu sendiri.

    Mengingat dampak positif atau negatifnya, pelaksanaan diskresi perlu pengendalian. Pertama; lebih bersifat pada pengarahan diskresi yang lebih tepat metoda, sasaran, waktu, dan tujuan. Model pengarahan ini akan memperkuat dinamika diskresi sesuai dengan harapan publik dan tatanan profesionalisme.
    Kedua; untuk mencegah penggunaan ke arah yang tidak sesuai dengan tugas pokok, tanpa pertimbangan kearifan lokal, serta pengabaian atas nilai-nilai moralitas, kode etik profesi, dan code of conduct Polri. ●

  • Railvolution

    Railvolution
    Bambang Susantono, WAKIL MENTERI PERHUBUNGAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Februari 2012
    Banyak pihak berpendapat bahwa perkeretaapian Indonesia beberapa tahun terakhir telah berada di titik nadir. Statistik yang sering digunakan adalah panjang kilometer jalan rel yang lebih pendek saat ini bila dibandingkan dengan panjang jalan pada zaman Belanda dulu. Belum adanya keberpihakan terhadap KA sering dijadikan sebagai salah satu alasan mengapa moda transportasi ini tak kunjung naik kinerjanya. Bila dibandingkan dengan anggaran pemerintah untuk jalan raya sebesar sekitar Rp 31 triliun per tahun, anggaran KA hanya berkisar Rp 6-7 triliun. Tidak salah bila banyak pihak skeptis dan memandang Program Revitalisasi Perkeretaapian terkesan hanya terhenti pada tatanan wacana.
    ahun Naga 2012 ini diharapkan menjadi tonggak bangkitnya perkeretaapian Indonesia. Dimulai dengan program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), identifikasi besaran investasi untuk sektor transportasi membutuhkan paling tidak Rp 814 triliun dalam 5-10 tahun ke depan. Jumlah ini terdiri atas investasi untuk jalan Rp 339 triliun, pelabuhan Rp 117 triliun, bandara Rp 32 triliun, dan kereta api Rp 326 triliun. Yang menarik dari komposisi angka-angka ini adalah, untuk pertama kalinya identifikasi investasi di perkeretaapian di Indonesia hampir menyamai rencana investasi di jalan raya.
    “Railvolution” sedang berlangsung! Hal ini ditandai dengan paling tidak lima kegiatan utama, yaitu, pertama, penuntasan jalur rel ganda KA di Pantura Jawa pada akhir 2013 nanti yang menelan biaya konstruksi sekitar Rp 9,8 triliun. Saat ini sudah mulai dikerjakan pembangunan jalur rel di ruas Cirebon-Brebes dan Pekalongan-Surabaya.
    Kedua, dimulainya pembangunan KA komuter Bandara Soekarno-Hatta yang melalui Tangerang dengan rute jalur ganda Manggarai-Tangerang (via Duri) 28 km, dan pembangunan jalur baru Tangerang-Bandara sepanjang kurang-lebih 7 km dengan estimasi biaya Rp 2,3 triliun. Melalui Perpres Nomor 83/2011, PT KAI diberi tugas oleh pemerintah untuk membangun jalur baru Tangerang-Bandara, yang sebagian akan melalui tanah PT Angkasa Pura 2. Adapun rute Duri-Tangerang tahun ini dan tahun depan sedang dikerjakan jalur gandanya. Dengan keberadaan KA komuter bandara ini, akses menuju Bandara CGK diperkirakan akan dapat ditempuh dalam 60 menit pada awal 2014.
    Sementara itu, rute KA bandara lainnya via Pluit dan menyusuri tol bandara saat ini sedang diteliti kelayakannya oleh PT Sarana Multi Infrastruktur. Konsep awal jalur ekspres sepanjang 33 km ini dirancang sebagai jalur yang dedicated (hanya untuk KA ekspres bandara), elevated(melayang sehingga tidak terpengaruh oleh perlintasan sebidang dengan jalan), dan double track (dua jalur agar kapasitas dan jeda waktu antar-KA dapat optimal). Estimasi biaya konstruksi terdahulu sebesar Rp 10 triliun dan proyek ini akan ditawarkan dengan pola kerja sama pemerintah-swasta atau public-private partnership (PPP). Di samping KA bandara di Jakarta, akan dikembangkan KA bandara di Medan yang menghubungkan pusat kota Medan ke bandara baru Kualanamu, yang rencananya akan mulai dioperasikan pada awal 2013.
    Ketiga, KA barang swasta pertama di Kabupaten Kutai Timur, yang merupakan investasi dari Middle East Company (MEC) Coal, sebuah perusahaan investasi yang berasal dari Uni Emirat Arab. Panjang jalur yang saat ini sedang disiapkan 130 km dan menghubungkan pertambangan batu bara dan alumina di Muarawahau dengan pelabuhan khusus di Bengalon. Prakiraan besaran investasi sebesar US$ 1,5 miliar untuk jaringan KA dan pelabuhan khusus. Sedangkan pengolahan alumunium dan batu bara sebesar US$ 3,5 miliar. Ground breaking proyek swasta murni ini diharapkan dilakukan pada awal semester II tahun ini. Apabila nanti beroperasi, KA barang ini merupakan yang pertama dengan formasi rangkaian tiga lokomotif dan 120 gerbong yang panjangnya dapat mencapai sekitar 2 km. Secara keseluruhan operasi KA swasta ini akan membutuhkan paling tidak 16 lokomotif dan 630 gerbong.
    Keempat, dimulainya konstruksi mass rapid transit (MRT) Jakarta tahap I yang memang sudah cukup lama diwacanakan. Keberadaan MRT dari Lebak Bulus ke Bundaran HI sepanjang 15,7 km ini diharapkan mengurangi kepadatan lalu lintas Jabodetabek yang menggunakan koridor utara-selatan. Tahap II dari proyek ini, yang meneruskan rute Bundaran HI hingga Kota, diharapkan dapat dibangun sebelum 2015. Total biaya untuk tahap I MRT ini akan menelan biaya sekitar Rp 10,7 triliun atau setara dengan sekitar Rp 680 miliar per km. Pada saat ini juga sedang dilakukan kajian untuk membangun MRT jalur timur-barat Jakarta dengan beberapa opsi rute dengan panjang sekitar 45-87 km. Nantinya, melalui penataan ulang angkutan umum di Jakarta secara terintegrasi, diharapkan pergerakan penumpang di Jakarta dapat terfasilitasi dengan keberadaan dua jalur MRT (utara-selatan dan timur-barat) yang dikombinasikan dengan jejaring BRT Transjakarta, KA komuter Jabodetabek, dan jalur lingkar KA loop line di tengah kota Jakarta.
    Kelima, dari sisi penyediaan sarana, mulai tahun ini PT KAI akan mendatangkan secara bertahap lokomotif, gerbong barang, dan gerbong penumpang. Untuk menambah armada KA Jabodetabek, telah didatangkan 100 unit KRL pada 2011 yang sedang dalam tahap sertifikasi operasi. Sedangkan pada 2012 ini akan datang 160 unit KRL, dengan kemungkinan penambahan hingga 300 unit. Penambahan armada ini tentunya harus dibarengi dengan ketersediaan listrik, sterilisasi stasiun, pengoperasian tiket elektronik, dan ketersediaan workshopKRL di Balai Yasa KA Manggarai. Rencananya, PT KAI akan mencoba mengoperasikan KA Jabodetabek dengan jeda waktu antar-rangkaian 8-10 menit pada jam sibuk. Kesemua program ini telah berupa rencana aksi yang terukur dalam kerangka penugasan PT KAI melalui Perpres No. 83/2011.
    Untuk keperluan angkutan batu bara Sumatera Selatan, PT KAI membutuhkan 50 lokomotif dan 1.400 gerbong PPCW (flat) yang rencananya akan didatangkan secara bertahap. Sedangkan untuk angkutan barang di Jawa, dibutuhkan paling tidak 1.600 gerbong PPCW dan 120 lokomotif. Penghela rangkaian KA buatan GE ini sebagian akan dirakit di Indonesia, dan secara bertahap akan didatangkan dari Pennsylvania, Amerika Serikat. Karena jenis lokomotif ini menggunakan teknologi state-of-the art mutakhir dengan panel instrumen yang baru pula, bersamaan dengan kedatangannya juga akan diadakan simulator yang digunakan untuk melatih para awak perkeretaapian Indonesia. 
    Penguasaan teknologi juga akan meliputi pengembangan workshopPT KAI di Yogyakarta, yang direncanakan akan menjadi pusat workshoplokomotif traksi motor AC-AC (utamanya produksi GE) di Asia Tenggara. Ambisi yang dicanangkan adalah ekspor lokomotif GE yang memiliki certificate of origin (COO) Indonesia pada 2014 ke negara-negara lain di Asia Tenggara. Hal ini merupakan bagian dari strategi peningkatan daya saing Indonesia dalam menghadapi ASEAN Free-Trade Agreement 2015. Pemberlakuan AFTA 2015 akan memungkinkan produk ini lebih murah 20 persen dibandingkan dengan produk sejenis yang dijual dari AS.
    Dengan berbagai program pengembangan sarana dan prasarana ini, “Railvolution” juga harus menyentuh sisi sumber daya manusia sebagai bagian terpenting dalam pengembangan teknologi perkeretaapian di Indonesia. Akademi Perkeretaapian di Madiun, yang saat ini sedang dibangun, diharapkan dapat mulai menerima taruna dan taruni pada 2013. PT KAI bersama ITB juga mengembangkan program pendidikan dan latihan perkeretaapian dan non-gelar. Pendek kata, berbagai program pengembangan SDM dirancang sebagai pengembangan brainwareyang menjadi bagian tak terpisahkan dari pengembangan software dan hardwareperkeretaapian Indonesia.
    Berbagai perkembangan yang menjanjikan ini seyogianya harus dibarengi dengan optimisme dan kerja keras yang terkoordinasi dari berbagai pemangku kepentingan. Sudah saatnya kita benar-benar membangun untuk menjadikan angkutan berbasis rel sebagai tulang punggung konektivitas dan logistik di Indonesia. Tidak mengherankan bila beberapa pihak mulai mengkaji kemungkinan pembangunan kereta api supercepat Argo Cahaya, yang menghubungkan dua pusat ekonomi Indonesia, Jakarta dan Surabaya, dalam waktu kurang dari 3 jam. Tren yang sama juga berkembang di dunia, seperti Tokyo-Osaka, Taipei-Kaohsiung, New York-Washington, ataupun Beijing-Shanghai. Maka, bagi mereka yang pesimistis dan menganggap hal ini masih mimpi, bukankah Laskar Pelangi memberi kita pelajaran bahwa “mimpi adalah kunci bagi kita untuk menaklukkan dunia?” ●
  • Maka Nikah Resmilah

    Maka Nikah Resmilah
    Nur Lailah Ahmad, HAKIM PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Februari 2012
    Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada Jumat, 17 Februari, ini telah membuat putusan yang cukup mempunyai implikasi yang luas bagi penerapan hukum di Indonesia, khususnya hukum perkawinan. Dalam amarnya, MK menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ayat ini harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
    Putusan ini memang memberi harapan yang besar bagi anak-anak di luar pernikahan untuk mendapatkan hak-hak keperdataannya sebagai anak, misalnya hak waris dan hak untuk mendapatkan akta. Tapi, apakah ini merupakan jawaban dari segala masalah anak di luar perkawinan yang selama ini ada dalam masyarakat, atau justru akan menimbulkan masalah baru yang disebabkan oleh adanya putusan MK ini?
    Dalam dua hari ini, semenjak putusan MK ini muncul, masyarakat yang kontra terhadap putusan ini umumnya menyatakan hal itu sebagai pelegalan terhadap perzinaan. Bahkan beberapa komentar menyatakan Mahfud Md. sebagai gerombolan pemakmur zina. Mahfud Md. selaku Ketua MK sudah menyampaikan bantahan, dan menyatakan bahwa putusan ini justru dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perzinaan (Detiknews, Senin 20 Februari 2012).
    Adapun yang pro menyatakan putusan ini sebagai perlindungan hukum dan ekonomi bagi anak-anak di luar perkawinan. Hal ini didukung oleh pendapat sosiolog dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, yang mengatakan putusan MK ini berperspektif hak anak (www.mahkamahkonstitusi.go.id). Bukan kapasitas saya untuk menilai apakah polemik ini benar atau salah. Sebab, tentu semua mempunyai argumen masing-masing. Saya hanya ingin berbagi catatan, bagaimana implikasi dari dibacakannya putusan ini.
    Poligami Liar
    Selama ini, kekhawatiran pelaku-pelaku poligami liar adalah pengakuan terhadap anak yang akan dilahirkan dari poligami tersebut. Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana Bambang Trihatmodjo begitu berkeras untuk menceraikan istrinya, Halimah. Perceraian itu oleh sementara orang disebabkan oleh desakan Mayangsari, yang dipicu kekhawatiran Mayangsari tentang keabsahan anak mereka, Kirani. Sementara itu, di sisi lain, Halimah sebagai istri yang sah begitu mempertahankan mahligai perkawinan mereka. Semua upaya hukum dilakukan agar perceraian tidak terjadi. Tapi akhirnya Bambang harus mengucapkan ikrar talak baginya.
    Andai putusan MK ini dijatuhkan beberapa waktu lalu, mungkin Mayangsari tak perlu ngotot membujuk Bambang Tri menceraikan istrinya. Sebab, mungkin, bagi Mayang, pengakuan dari Bambang dan bukti bahwa Kirana anak mereka sudah cukup kuat. Kirana akan tenang mendapatkan warisan dari harta Bambang. Dan poligami liar Bambang dengan Mayang akan tetap langgeng.
    Bukan tidak mungkin, seorang laki-laki akan melakukan poligami liar dengan janji kepada istrinya bahwa kelak anaknya akan diakui sebagai anak biologisnya. Dan tentu, dengan meyakinkan, laki-laki tersebut akan mendalilkan putusan MK ini sebagai penguat bujuk rayunya. Dengan demikian, istri yang dipoligami tidak resmi tersebut akan merasa tenang karena, walau dirinya bukan istri yang sah di mata hukum, anaknya akan mendapat perlindungan hukum dan hak-hak yang sama dengan anak-anak dalam perkawinan yang sah.
    Saat ini saja, ketika syarat poligami sudah diperketat, poligami liar begitu menjalar. Bagaimana jika para perempuan yang mau dipoligami liar cukup merasa tenang, karena anak yang akan dilahirkan sudah ada perlindungan hukumnya. Dapat dipastikan poligami liar semakin merebak.
    Tuntutan Warisan
    Umumnya seorang anak di luar nikah (yang diwakili oleh ibunya) pertama-tama hanya meminta keabsahan statusnya. Tetapi, setelah status didapat, tentu akan diikuti dengan tuntutan-tuntutan lain, terutama tentang warisan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika bapak biologisnya sudah meninggal dan harta warisan telah dibagi?
    Selama ini stigma yang ada di masyarakat adalah bahwa anak-anak yang lahir di luar pernikahan telantar. Bapak biologis lari dari tanggung jawab. Lalu, bagaimana jika terjadi sebaliknya? Seorang laki-laki akan bertanggung jawab, tapi perempuan dengan berbagai alasan tidak mau menikah, sehingga kemudian anak lahir di luar perkawinan. Setelah itu pun, laki-laki dan keluarganya masih ingin bertanggung jawab, tapi yang terjadi justru perseteruan antara ibu dan bapak biologisnya. Perseteruan berujung pada perebutan anak, di mana bapak biologis meminta hak asuh anak tersebut.
    Jika memahami keputusan MK di atas, ada kesamaan hak antara bapak dan ibu biologis terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Hal demikian sejalan dengan yang dikembangkan John Rawls tentang teori keadilan, yang salah satunya adalah prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle). Dengan demikian, tidak mustahil seorang bapak biologis juga dapat menuntut hak asuh atas anak mereka.
    Jika ini terjadi, tentu akan menjadi masalah baru bagi pengadilan dalam memutuskan. Mungkinkah hakim akan memakai pertimbangan sebagaimana pertimbangan ketika memutuskan hak asuh anak dalam perkawinan yang sah? Atau, hakim menjadikan perkara hak asuh anak di luar perkawinan sebagai perkara yang spesial, sehingga akan cenderung memakai pertimbangan sosiologis daripada yuridis? Wallahualam. Yang pasti, bersiaplah ibu-ibu yang mempunyai anak di luar perkawinan, kelak bapak biologisnya akan menuntut hak yang sama bagi anaknya.
    Masih banyak perkara yang pasti akan muncul dengan lahirnya putusan ini. Tapi, sebagai sebuah terobosan dalam perlindungan hukum kepada anak di luar nikah, putusan ini wajib kita beri apresiasi. Semoga harapan Ketua MK atas putusan ini untuk mencegah perzinaan bisa dicapai. Tapi, betul kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik menikah resmi daripada melahirkan anak di luar perkawinan. 
    Maka, menikah resmilah…!
    Tapi, sebagai sebuah terobosan dalam perlindungan hukum kepada anak di luar nikah, putusan ini wajib kita beri apresiasi. Semoga harapan Ketua MK atas putusan ini untuk mencegah perzinaan bisa dicapai. ●