Blog
-
“Pak Taufik, We Salute You”
“Pak Taufik, We Salute You”Budiarto Shambazy, WARTAWAN SENIOR KOMPASSumber : KOMPAS, 25 Februari 2012Tokoh-tokoh nasional berkumpul di Jakarta, Rabu (22/2), dalam peluncuran buku Empat Pilar untuk Satu Indonesia. Buku ini kumpulan tulisan tokoh untuk mengabadikan jasa Ketua MPR Taufiq Kiemas selaku pemrakarsa empat pilar—Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Ini bukti empat pilar bukan slogan kosong belaka. Malahan relevansinya makin terasa di tengah karut-marut negeri ini yang berjalan seperti ”pesawat otopilot”.Akibat korupsi makin merajalela, Pancasila jadi olok-olok lagi. Sila pertama ”Keuangan yang Mahakuasa”, kedua ”Kemanusiaan Tak Adil dan Tak Beradab”, ketiga ”Perpecahan Indonesia”, keempat ”Kerakyatan yang Dipimpin dengan Diam-diam Tanpa Musyawarah”, dan kelima ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Keluarga dan Pendukungnya Saja”.UUD 1945 yang telah empat kali diamandemen nyaris tak membuahkan apa pun bagi kesejahteraan rakyat. Amandemen justru menimbulkan kekisruhan baru konstitusional, misalnya parlemen kita menjadi satu-satunya di dunia yang bersistem ”tiga kamar” karena ada MPR, DPR, dan DPD.Amandemen demi amandemen cuma menyiratkan sebuah hal: kita doyan menulis dan berdebat tentang hukum. Kertas undang-undang kalau ditumpuk sudah lebih tinggi daripada Monas. Pejabat dan ahli hukum pandai bersilat lidah, jika perlu 24 jam tanpa henti.Akan tetapi, semua merasa above the law. Mereka yang di pusaran kekuasaan setiap hari melanggar aturan—kalau perlu berbohong. Jangan salahkan jika orang-orang kecil pun ikut-ikut, mulai dari rakyat yang marah membakari rumah dinas bupati sampai buruh yang menutup jalan tol.Kebinekaan sudah dilecehkan sejak terjadi serbuan terhadap pawai damai 1 Juni 2008 di Monas. Belum lagi serangan terhadap kaum minoritas dan pengabaian hak konstitusional/hukum, seperti yang dialami jemaah GKI Yasmin di Bogor. Dan, anehnya, pemerintah tenang-tenang saja.Barangkali satu-satunya pilar yang masih utuh adalah NKRI meski sejak reformasi muncul gejala perpecahan akibat otonomi daerah yang melonggarkan kontrol pusat sekaligus melahirkan ”raja-raja kecil” di daerah. Namun, tak mustahil pula kita bisa saja kembali mengulang preseden sejarah Yugoslavia dan Uni Soviet.Apa yang dilakukan Taufiq dengan menggairahkan kembali empat pilar harus dipandang sebagai prakarsa kenegarawanan ketimbang sekadar manuver politisi. Sama seperti Megawati Soekarnoputri yang berjuang habis-habisan mempertahankan politik berprinsip, Taufiq memilih jalan yang relatif sepi.Mereka saat ini satu-satunya ”pasutri politik” di republik ini. Dari perspektif ideologis, apa yang dikerjakan mereka amat sinkron sekalipun mesti diakui dalam praktik politik justru kontroversial karena kerap berlawanan.Tidak heran mereka tetap akan menjadi sorotan sampai tahun pemilu-pilpres. Apalagi, sejumlah jajak pendapat belakangan ini menempatkan Megawati sebagai capres dengan elektabilitas tertinggi, hal yang kembali menempatkan Taufiq dalam posisi canggung karena mungkin kurang sesuai dengan agenda dia melanjutkan dinasti Soekarno.Taufiq dan Megawati dua politisi ulung yang memulai karier dari bawah. Malahan mereka memulainya dengan penderitaan: Taufiq dibui Orde Baru dan Megawati dipaksa keluar dari perguruan tinggi karena aktivitas politik mereka di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.Dan, seperti kita tahu, mereka dan PDI-P melawan Orde Baru sampai terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Namun, nasib mereka dan PDI-P berubah 180 derajat dari Pemilu-Pilpres 1999 ke 2004.Jujur saja, masa depan PDI-P termasuk cerah. Selain karena berperan sebagai partai oposisi terbesar yang bersikap relatif konsisten, posisi ”Moncong Putih”—seperti halnya Golkar—relatif stabil berkat kepemimpinan Megawati.Dengan elektabilitas tertinggi, Megawati minimal dapat berperan sebagai the king maker. Transisi kepemimpinan, apakah melalui cara ”anak biologis” atau ”anak ideologis”, relatif berjalan mulus.Faktor lain yang menguntungkan PDI-P adalah melorotnya legitimasi Partai Demokrat yang berkuasa akibat merajalelanya pragmatisme (baca: korupsi). Faktor lain adalah ketidakberpihakan sistem ekonomi yang makin menyengsarakan rakyat serta ketidaktegasan kepemimpinan nasional.Di atas segala-galanya, rakyat pada akhirnya membutuhkan politik yang berprinsip. Politik mesti menjunjung tinggi prinsip yang terkandung dalam ideologi, etika, dan juga praktik.Dan, politik yang berprinsip mustahil tanpa kehadiran ideologi. Singkat kata, kita semua rindu pada empat pilar yang kokoh yang menjadi landasan kita hidup sebagai bangsa besar.Itulah yang dilakukan Taufiq, yang menggairahkan lagi empat pilar. Ia mengisi kembali kekosongan kita akan ideologi Pancasila, keteraturan bernegara melalui UUD 1945, kebinekaan kita sebagai bangsa pluralistis, dan NKRI sebagai wilayah yang mewadahi persatuan kita.Sekali lagi, Taufiq telah—dan tetap akan—memainkan peranan sentral di PDI-P. Ada sebuah cerita menarik ketika saya menikmati makan siang bersama dia beberapa waktu silam.Ia mengatakan, ”Angka pelat nomor mobil dinas saya ’naik’ terus, dari Republik Indonesia atau RI-1 (dulu B-1) sampai ke RI-5. Saya ikut naik mobil B-1 karena Mbak Mega jadi presiden. Sebagai suami Mbak Mega, saya berhak atas pelat nomor B-2. Pelat nomor B-3 menjadi jatah Mbak Mega saat dia menjadi Wakil Presiden dan B-4 untuk satu-satunya first gentleman (bapak negara/suami presiden) di Indonesia.”Kini, mobil dinas Taufiq sebagai Ketua MPR berpelat nomor RI-5. Dan, ia tetap kurang nyaman dengan predikat ”RI 1,5” yang pernah menempel erat pada dirinya. ”Pak Taufiq, we salute you!” ● -
Atas Nama Agama (120)
Atas Nama AgamaAzyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA; ANGGOTA COUNCIL ON FAITH, WORLD ECONOMIC FORUM, DAVOSSumber : KOMPAS, 25 Februari 2012Anarkisme dan terorisme atas nama agama merupakan salah satu gejala sosio-religius paling menonjol sejak awal milenium 21. Gejala ini terus berlanjut di berbagai bagian dunia, khususnya di negeri semacam Afganistan, Irak, Pakistan, dan—sayangnya—juga di Indonesia.Di negara kita, ketika terorisme kelihatan kian berhasil diatasi aparat kepolisian, anarkisme atas nama agama cenderung terus bertahan, yang sewaktu-waktu menampilkan diri dalam skala mengkhawatirkan.Namun, gejala mengkhawatirkan itu kini terlihat berhadapan dengan gejala lain, yaitu bahwa masyarakat Indonesia yang cinta damai tampaknya tidak bisa lagi menerima aksi kekerasan. Hal ini terlihat, misalnya, dari penolakan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah atas kedatangan sejumlah petinggi Front Pembela Islam (FPI) di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, 11 Februari. FPI yang tidak menerima kejadian yang tidak menyenangkan bagi mereka segera melaporkan Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng serta dua pimpinan komunitas Dayak kepada pihak kepolisian.Peristiwa Palangkaraya itu kelihatan menjadi titik katalis penolakan terhadap anarkisme yang kerap dilakukan FPI. Ini terlihat dari aksi kalangan masyarakat bertema ”Indonesia Tanpa FPI” di Bundaran HI, Jakarta, 14 Februari, yang kemudian disusul pernyataan para pimpinan NU, Muhammadiyah, Ansor, dan Pemuda Muhammadiyah yang menolak anarkisme FPI. Mereka beserta pejabat tinggi—mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Menko Polhukam Djoko Suyanto—mengimbau agar FPI melakukan introspeksi.Hemat penulis, imbauan pimpinan ormas Islam dan pejabat tinggi yang juga Muslim, dari perspektif Islam, seyogianya dipandang pimpinan dan massa FPI sebagai taushiyyah bi al-haq, pesan kebenaran sesama Muslim. Sikap terbaik yang bisa diambil FPI adalah merenungkannya dengan kepala dingin sembari bermuhasabah atau introspeksi diri, yang juga sangat ditekankan Islam.Agama Terlihat JahatMengapa harus ada kekerasan atas nama agama? Para pemimpin FPI biasanya menyatakan, aksi kekerasan adalah bagian dari dakwah nahi mungkar, mencegah masyarakat dari kemungkaran dan maksiat. Dalam pemahaman FPI, ormas-ormas Islam lain dalam menghadapi kemungkaran lebih terpaku pada amar makruf, menyeru kepada kebaikan yang sering tidak efektif. Bagi FPI, nahi mungkar paling efektif dilakukan dengan menggunakan yad, ”tangan” atau kekuatan.Lebih jauh FPI berargumen, mereka ”terpaksa” menggunakan ”tangan” karena menurut mereka aparat kepolisian tidak peduli dan gagal memberantas maksiat, semacam judi dan pelacuran, yang kian merajalela. Atau, bahwa pemerintah tidak tegas atau gagal membubarkan komunitas agama, semacam Ahmadiyah, yang dalam pandangan mereka menyimpang dari Islam. Oleh karena itu, bagi FPI tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan berbagai masalah tersebut dengan ”tangan” mereka sendiri.Tujuan yang ingin dicapai FPI boleh jadi sah dalam pemahaman Islam tertentu. Akan tetapi, jumhur (mayoritas) ulama menolak penggunaan yad yang dalam praktiknya sering terwujud dalam kekerasan.Bagi para ulama otoritatif, umumnya, dakwah sebagai upaya menyeru kepada kebajikan dan mencegah atau memberantas kemungkaran harus berdasarkan pada hikmah (kebijakan), maw’izah hasanah (pelajaran yang baik), dan mujadalah (diskusi dan perdebatan yang beradab), seperti digariskan Al Quran, Surat 16 al-Nahl, ayat 125.Jika tidak berdasarkan ketiga prinsip ini dan sebaliknya lebih menekankan kekuatan, meminjam kerangka Charles Kimball (When Religion Becomes Evil, 2003), Islam bisa terlihat ”jahat” dan menakutkan bagi banyak orang, termasuk mayoritas umat Islam sendiri. Kimball dengan mengangkat pengalaman Yudaisme, Kristianitas, dan Islam sepanjang sejarah mengingatkan, setiap agama ini dapat mengalami kerusakan dan menakutkan ketika di kalangan penganutnya ada lima gejala dan pertanda berikut.Pertama, klaim kebenaran absolut oleh individu dan kelompok bahwa pemahamannya sendiri paling benar dan mereka saja yang punya akses kepada kebenaran.Kedua, penetapan waktu sekarang sebagai paling pas bagi individu atau kelompok yang mengklaim memiliki restu Tuhan untuk mengakhiri segala kemungkaran.Ketiga, taklid buta pada pemahaman, ketentuan praktik keagamaan, dan komando tertentu.Keempat, menghalalkan cara apa pun untuk melakukan perubahan yang diyakini diperintahkan Tuhan.Kelima, pemakluman holy war (jihad) terhadap individu atau kelompok yang dianggap ”menyimpang” dari agamanya sendiri atau untuk menyucikan dunia dari kemungkaran.Adanya kelima gejala itu di lingkungan ketiga agama tadi pastilah tak representatif mewakili agama-agama tersebut. Namun, jelas gejala itu sedikit banyak memberikan kontribusi bagi adanya prisma citra negatif bagi agama bersangkutan.Penanganan KomprehensifAnarkisme atas nama agama tidak berdiri sendiri. Meski pemahaman keagamaan seperti di atas terbukti membawa ke dalam kekerasan, ada faktor-faktor lain yang membuat kekerasan atas nama agama menjadi lebih mudah terwujud dan bahkan meningkat dari waktu ke waktu.Salah satu faktor pokok adalah lemahnya penegakan hukum di Tanah Air dalam disorientasi kebebasan masyarakat, berbarengan dengan penerapan demokrasi. Eksplosi kebebasan terbukti tidak disertai peningkatan kapasitas aparat kepolisian untuk menjamin tegaknya penghormatan kepada hukum, ketertiban dan keadaban secara tegas, berkesinambungan, dan konsisten.Disorientasi, fragmentasi, dan kontestasi politik di kalangan para pejabat tinggi untuk mendapat simpati massa membuat mereka tidak jarang mengirim pesan keliru kepada publik. Ini terlihat, misalnya, kecenderungan kalangan pejabat tinggi untuk lebih bersikap akomodatif dan kompromistis terhadap ormas anarkistis. Sikap seperti ini pada gilirannya membuatnya merasa ”di atas angin” dan seolah memiliki kekebalan (impunity) di depan hukum.Mempertimbangkan berbagai faktor itu, perlu dilakukan penanganan komprehensif sejak dari reorientasi pemahaman keislaman dan praksis dakwah yang lebih dapat diterima publik secara keseluruhan, penguatan penegakan hukum, sampai pada peneguhan sikap para pejabat publik untuk tidak permisif terhadap anarkisme. Jika tidak, bukan tidak mungkin anarkisme atas nama agama terus berkelanjutan. ● -
Oh, Yunani…
Oh, Yunani…Jaya Suprana, BUDAYAWANSumber : KOMPAS, 25 Februari 2012Sebenarnya tujuan utama menelusuri Kepulauan Siklada, Kreta, Rhodos, Itaka, Peloponesa, Sterea Elada, Thesalia, sampai Meteora pada awal 2012 adalah tapak tilas perjalanan sejarah kebudayaan Yunani, mulai dari neolitikum sampai bizantium.Namun, kemelut yang di masa kini sedang terjadi di negara kelahiran demokrasi itu ternyata tak kalah menarik dipelajari.Sejak akhir 2009 mendadak ekonomi Yunani menghadapi kemelut krisis paling parah sejak restorasi demokrasi 1974. Pemerintah Yunani kalang kabut merevisi prediksi defisit 3,7 persen menjadi 12,7 persen dari GDP. Terbongkar rahasia: sebelumnya Pemerintah Yunani sengaja berdusta dengan konsisten merekayasa statistik ekonomi nasional agar tetap di dalam ambang batasan monetary union guidelines demi menyembunyikan fakta aktual defisit dari audit Uni Eropa.Mei 2010, sekali lagi defisit direvisi dengan prediksi 13,6 persen GDP, bahkan disertai data total public debt 120 persen GDP, yang berarti sudah termasuk rekor terburuk di dunia. Kepercayaan internasional terhadap kemampuan Yunani melunaskan utang luar negeri merosot, maka negara anggota Euro yang kaya raya bersama IMF merestui paket penyelamatan dengan suntikan dana 110 miliar euro. Tentu disertai syarat-syarat pengencangan ikat pinggang ekonomi yang diawasi dan dikendalikan oleh European Commission, European Central Bank, dan IMF.DemokrasiPermainan angka statistik sangat mudah direkayasa sesuai selera dan kepentingan pembuat atau pemanfaatnya. Maka, saya berusaha menimba informasi bukan dari para ekonom—apalagi politisi—melainkan langsung mendengar suara rakyat, seperti para pengemudi taksi, concierge hotel, pelayan rumah makan, dan pemandu wisata yang belum terkontaminasi kepentingan politis.Umumnya mereka sepakat: krisis ekonomi Yunani sangat memprihatinkan. Bahkan, memalukan rakyat Yunani yang begitu bangga terhadap bangsa dan negara mereka yang memang layak dibanggakan karena telah melahirkan karsa-karya kebudayaan adiluhung, mulai dari seni rupa, teater, arsitektur, sains, filsafat, sampai demokrasi. Namun, ternyata kini melahirkan kaum politisi yang pendusta, pengingkar janji, serakah, dan korup!Mengenaskan! Citra demokrasi Yunani masa kini dicoreng-moreng kaum politisi sedemikian korup sehingga berhasil membangkrutkan negara!Kaum politisi yang mengaku penjunjung tinggi paham demokrasi ternyata jauh lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang negara, bangsa, dan rakyat. Sampai ada yang tega menilai kondisi Yunani tempo doeloe di masa monarki, bahkan saat dijajah imperium Ottoman masih lebih baik ketimbang di alam demokrasi masa kini.Mereka tidak bicara jargon-jargon politik-ekonomi yang di luar jangkauan pemahaman awam, tetapi langsung menuding sikap, perilaku, dan akhlak kaum politisi sebagai biang keladi malapetaka nasional Yunani! Janji-janji menggiurkan para politisi yang diobral habis di masa kampanye pemilu segera dilupakan, bahkan diingkari, setelah rakyat memilih mereka untuk bertakhta di singgasana penguasa.Berlindung di balik kedok demokrasi, para politisi konsisten dan konsekuen mengeruk uang negara untuk kepentingan pribadi dengan semangat mumpungisme luar biasa menggelora. Masa jabatan tidak dianggap batasan masa untuk tulus berjuang demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, tetapi justru sebagai batasan masa untuk dimanfaatkan secepat dan sebanyak mungkin memindah uang dari kas negara ke kocek pribadi.Korupsi ditempuh melalui berbagai jalur dan jurus, mulai dari yang terang-terangan (maka mudah ketahuan) sampai jurus bersolek akuntantif sehingga sulit dideteksi oleh mereka yang bukan ahli akuntan. Semua seolah sepaham dalam persepsi bahwa korupsi bukan kriminal selama tidak ketahuan. Maka, para politisi itu asyik bersaing adu ketangkasan melakukan korupsi mumpung belum ketahuan.Pilar-pilar demokrasi di Yunani masa kini sudah runtuh menjadi puing-puing; berserakan seperti reruntuhan di akropolis Athena, Rhodos, Lindos dari masa lalu itu.PrihatinRatapan rakyat jelata Yunani yang saya dengar selama hanya beberapa hari di awal 2012 itu membuat saya prihatin atas nasib Yunani. Di samping itu, saya pun semakin yakin: pada hakikatnya yang terpenting bagi suatu negara-bangsa sebenarnya bukan sistem kepemerintahan, melainkan sikap, perilaku, dan akhlak para insan kepemerintahan.Sekembali di Tanah Air, saya tersadar bahwa meski berdasarkan data statistik resmi kondisi ekonomi kita terkesan masih jauh lebih baik ketimbang Yunani, pada hakikatnya perangai dan sepak terjang politisi di masa reformasi yang berhasil meruntuhkan rezim Orba di bumi Indonesia ini terkesan mirip alias tak jauh beda dari apa yang sedang meradang di Yunani. ● -
Ikhwanul Muslimin Pascarevolusi
Ikhwanul Muslimin PascarevolusiZuhairi Misrawi, SEDANG RISET TENTANG IKHWANUL MUSLIMIN DI KAIRO, MESIRSumber : KOMPAS, 25 Februari 2012Pemilu parlemen pascarevolusi telah menaikkan pamor Ikhwanul Muslimin sebagai salah satu kekuatan politik di Mesir. Jika tak ada aral melintang, hampir bisa dipastikan dalam pemilu presiden, Ikhwanul Muslimin mengendalikan politik pada tahun-tahun mendatang.Sejak didirikan pada 1928, Ikhwanul Muslimin (IM) telah menjadi kekuatan politik yang mengakar kuat. Carrie Rosefsky Wickham dalam Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political Change in Egypt secara gamblang menggambarkan keberhasilan IM dalam memobilisasi massa. Istimewanya, IM tidak hanya menarik perhatian petani dan buruh yang notabene kalangan bawah, tetapi juga menarik simpati kalangan profesional dan pelajar di beberapa universitas terkemuka. Bahkan, IM dapat menarik perhatian mahasiswa universitas Amerika di Kairo.Ada tiga hal yang jadi kekuatan IM sebagai gerakan keagamaan dan politik dari dulu hingga pascarevolusi. Pertama, IM memiliki ideologi yang dapat menyihir publik. Slogan ”Islam sebagai solusi” merupakan ideologi pemantik yang dengan mudah mendulang respons positif kalangan Muslim. Yang dimaksud Islam oleh IM bukanlah Ahlussunnah wal Jamaah, melainkan Islam seperti digariskan Hasan al-Banna dan Sayyed Qutb.Kedua, IM punya kelas menengah yang mapan dalam ekonomi. Bahkan, beberapa sektor perekonomian di Mesir sebenarnya dikuasai aktivis IM. Meski rezim Hosni Mubarak selama 30 tahun represif terhadap IM, mereka masih bisa bertahan dengan mengandalkan pendanaan dari kelas menengah yang berafiliasi langsung dengan mereka.Kekuatan kelas menengah di tubuh IM sebenarnya mirip dengan AKP di Turki. Partai yang diusung kalangan islamis ini juga punya kelas menengah yang mampu menggerakkan roda perekonomian. Karena itu, menurut Hakan Yavuz dalam Secularism and Muslim Democracy in Turkey, faktor kelas menengah menjadi determinan bagi keberhasilan kalangan islamis membangun soliditas gerakan mereka.Ketiga, IM punya jaringan dan massa militan. Sebagai organisasi dan pergerakan, IM dikelola secara modern dengan mengandalkan self financing dan manajemen modern. Mereka menggunakan pengaderan sebagai instrumen pembentuk kader yang militan dengan visi sebagaimana digariskan pendiri mereka, Hasan al-Banna dan Sayyed Qutb.Istimewanya, jaringan dan massa yang militan itu tidak hanya tersebar di Mesir sebagai basis pergerakan, tetapi juga berkembang di dunia Arab lain, bahkan di Eropa, Amerika Serikat, dan di Tanah Air. Mereka punya soliditas dan solidaritas yang sangat tinggi sebagaimana nama pergerakan mereka Jamaat al-Ikhwan al-Muslimin yang berarti Perkumpulan Persaudaraan Muslim.Rahasia KemenanganKetiga hal itu merupakan fakta yang dapat menjelaskan rahasia kemenangan telak IM dalam pemilu parlemen pascarevolusi hingga meraih 47 persen suara. Pertanyaannya, apakah IM akan bersikap keras sebagaimana para pendiri dan pendahulunya yang cenderung menolak demokrasi dan anti-Barat atau justru melakukan moderasi dan revitalisasi?Revolusi yang bergulir pada 25 Januari 2011 yang berhasil menggulingkan rezim Hosni Mubarak merupakan realitas sosial-politik yang harus dihadapi secara saksama oleh IM. Tuntutan kaum muda dan mayoritas publik Mesir: demokrasi. Maka, IM tak bisa mengabaikan realitas sosial politik yang menghendaki demokrasi sebagai sistem alternatif.Muhammad Badi, tokoh utama IM, dalam Mishr bayn al-Ams wa al-Yawm, menegaskan bahwa pihaknya berupaya membangun sungguh-sungguh negara modern yang demokratis, yang berlandaskan prinsip kewarganegaraan, supremasi hukum, kebebasan, keadilan, pluralisme, hak asasi manusia, dan pergantian kekuasaan secara damai melalui pemilihan umum yang bersih, jujur, dan transparan.Dalam perayaan Natal Kristen Koptik, pemimpin IM hadir sebagai komitmen mereka membangun demokrasi yang memastikan perlindungan, harmoni, dan kesetaraan bagi kelompok minoritas. Bahkan, Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyyah wa al-’Adalah) sebagai partai yang berafiliasi langsung dengan IM sejak pendiriannya telah melibatkan kalangan Kristen Koptik. Salah satu tokoh Kristen Koptik yang menjadi wakil ketua partai itu ialah Rafiq Habib.Pemandangan itu merupakan perubahan menarik yang sedang terjadi di dalam tubuh IM. Sayyed Yasin dalam al-’Aql al-Islami bayn al-Infitah wa al-Inghilaq menegaskan IM telah berubah signifikan karena telah meninggalkan kebijakan lama yang secara implisit menolak demokrasi.Pada 1994, IM mengeluarkan sebuah keputusan penting tentang pentingnya syura dan multipartai dalam Islam. Pada masa itu, IM masih alergi dengan istilah demokrasi karena identik dengan politik luar negeri AS yang diusung George W Bush. Mereka memilih istilah syura daripada demokrasi.Namun, angin revolusi yang sedang berembus kencang di ”Negeri Seribu Menara” itu telah menuntut demokrasi sebagai pilihan alternatif. IM mau tak mau harus berubah radikal dengan menerima dan menegaskan komitmen mereka terhadap demokratisasi.Apalagi, demokrasi sama sekali tak merugikan IM, bahkan justru menguntungkan mereka.Ganjalan SeriusTentu saja dalam rangka mewujudkan demokrasi yang kukuh, IM akan menghadapi ganjalan serius. Pertama, berkaitan dengan upaya memulihkan perekonomian Mesir yang dalam beberapa bulan terakhir turun signifikan akibat situasi keamanan yang makin karut-marut dan lumpuhnya pemasukan dari sektor pariwisata. IM harus berpikir keras menciptakan lapangan kerja, menaikkan upah buruh dan gaji pegawai, serta menciptakan rasa aman yang kian mahal dalam beberapa minggu terakhir.Kedua, membangun komunikasi yang baik dengan Barat, khususnya AS. Perdamaian Israel-Mesir yang ditandatangani Anwar Sadat di Camp David pada 1979 merupakan titik krusial yang akan menentukan keamanan di kawasan Timur Tengah. Di satu sisi, publik menghendaki agar perjanjian itu direvisi untuk meningkatkan daya tawar Mesir di hadapan Israel dan AS, tetapi realitas sosial-ekonomi menghendaki agar Mesir harus membangun sinergi dengan negara Barat, baik dalam investasi ekonomi maupun pertahanan militer.Ketiga, fragmentasi pemikiran di dalam tubuh IM, antara kalangan konservatif dan kalangan moderat. Kalangan konservatif masih cenderung dengan ideologi Hasan al-Banna dan Sayyed Qutb, sementara kalangan moderat menghendaki perubahan signifikan, terutama dalam rangka merespons tuntutan warga Mesir secara umum.Sebagai sebuah kekuatan politik, IM akan mengalami pergulatan dinamis. Tidak hanya antara mereka dan pihak lain, khususnya kalangan salafi, liberal, dan kiri, tetapi juga di lingkungan internal mereka. Bahkan, pergulatan internal di dalam IM merupakan faktor yang tak bisa diabaikan. ● -
Kemana Arah Revisi UU Penyiaran?
Kemana Arah Revisi UU Penyiaran?Arie F. Batubara, PEKERJA SENI; PENGAMAT DAN AKTIVIS POLITIK, MENETAP DI TANGERANGSumber : KOMPAS, 25 Februari 2012Ada kabar penting dari Komisi I DPR terkait dengan UU No 32/2002 tentang Penyiaran: mereka tengah menggodok perubahan UU tersebut.Tanggal 1 dan 8 Maret 2012, Komisi I berencana menyelenggarakan dengar pendapat umum. Apa yang melatarbelakangi perubahan itu sejauh ini tidak pernah jelas. Komisi I tidak atau belum pernah secara terbuka membeberkannya. Hanya satu hal yang sangat jelas: hingga kini undang-undang tersebut belum dilaksanakan sepenuhnya.Salah satunya adalah ketentuan dalam Pasal 20 yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran swasta ”…hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran”. Memang, baik UU maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta tak menyebutkan secara jelas apa ”cakupan wilayah siaran” itu.Namun, semua sebenarnya paham bahwa terminologi itu identik dengan siaran lokal. Merujuk pada draf awal yang dirumuskan oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), pengertian wilayah siaran adalah ”sama dengan wilayah administratif provinsi”.Kenyataannya, hingga kini lembaga penyiaran swasta yang bersiaran secara nasional tak kunjung bersiaran secara lokal. Oleh karena itu, perubahan ini harus dicermati agar hasil akhirnya kelak adalah undang-undang yang benar-benar relevan dengan realitas sosio-kultural Indonesia, tidak multitafsir, serta dipatuhi semua pihak.Nasional versus LokalIsu pertama yang perlu digarisbawahi menyangkut persoalan siaran nasional dan lokal. Ketika para praktisi dan aktivis penyiaran yang tergabung dalam MPPI merumuskannya lebih kurang 12 tahun lalu, sesungguhnya sempat ada perdebatan seru soal ini.Dari serangkaian diskusi, akhirnya dicapai kesepakatan, penyelenggaraan oleh lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum radio (teresterial) dengan sifat free to air (gratis) haruslah bersiaran lokal dengan rumusan seperti Pasal 20 UU tersebut. Selanjutnya dibuat batasan mengenai wilayah siaran, tetapi kemudian ”dibuang” oleh DPR.Aturan ini ”ditolak”, khususnya oleh sejumlah stasiun televisi swasta yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yang sudah bersiaran secara nasional ketika UU tersebut diundangkan. Alasannya, mereka telah mengeluarkan investasi yang tidak sedikit untuk membangun infrastruktur.Pemerintah sepertinya ”berkompromi” dengan kemauan anggota ATVSI ini. Setelah masa penyesuaian lima tahun yang jatuh tempo pada 27 Desember 2007, pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika) malah memperpanjang masa penyesuaian itu setahun lagi. Dan, ketika masa satu tahun itu juga usai, tak jelas lagi kabar beritanya sehingga siaran lokal itu tak pernah terwujud.MenyesatkanMuncul pula semacam kekhawatiran di kalangan publik bahwa kebijakan lembaga penyiaran swasta harus bersiaran lokal akan berakibat pada hilangnya kesempatan masyarakat, khususnya di daerah, memperoleh layanan informasi lebih luas. Anggapan ini muncul karena pemahaman yang keliru bahwa dengan bersiaran lokal, siaran stasiun televisi nasional yang saat ini semuanya berdomisili di Jakarta hanya bisa diterima di Jakarta. Isu ini sempat ”ditiupkan” ATVSI.Isu ini sangat keliru dan menyesatkan. Meski bersiaran secara lokal, tetap terbuka kemungkinan bersiaran secara nasional melalui pola siaran berjaringan. Bedanya, jika pada pola siaran nasional sekarang suatu stasiun televisi menyelenggarakan kegiatan penyiaran sendiri, dengan pola berjaringan stasiun tersebut harus melibatkan stasiun lokal.Maka, isu kedua yang penting pula digarisbawahi adalah siaran berjaringan. UU No 32/2002 memang menyinggung sedikit masalah ini, khususnya Pasal 31 Ayat 3 dan 4. Ini diurai dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) No 43/2009. Jika dicermati, ”semangat” peraturan ini tetap memosisikan lembaga penyiaran yang sudah bersiaran secara nasional tetap bersiaran nasional.Hal ini antara lain tecermin dari ketentuan yang menyebutkan bahwa anggota jaringan dalam suatu sistem siaran berjaringan lebih difungsikan sebagai stasiun relai dari stasiun induk. Padahal, semangat dasar dari kehadiran UU No 32/2002 adalah keragaman, baik kepemilikan (ownership) maupun isi (content), akibat keterbatasan sumber (limited resources) yang bernama frekuensi sehingga lembaga penyiaran semestinya otonom.Pengertian tentang siaran berjaringan kelihatannya juga ”diselewengkan” dengan memberi peluang relai siaran hingga 90 persen dari seluruh waktu siaran per hari. Artinya, pola siaran berjaringan yang diatur dalam peraturan menteri tersebut hakikatnya hanya melanggengkan praktik penyiaran yang ada selama ini, tidak berupaya memberdayakan lembaga penyiaran lokal.Jika kita periksa secara benar dan dengan mengacu kepada semangat keragaman, yang namanya siaran berjaringan semestinya dipilah berdasarkan isi, yaitu siaran berjaringan secara langsung (dilakukan secara bersama-sama untuk suatu mata acara yang sama, pada waktu yang sama) dan siaran berjaringan secara sindikasi (tidak langsung). Siaran langsung meliputi mata acara yang sifat siarannya langsung (live broadcasting), seperti berita, pertandingan olahraga, dan semacamnya.Sebaliknya, programa yang bersifat recording (on tape) cukup dalam bentuk sindikasi. Dengan demikian, penyiaran programa tersebut oleh anggota jaringan tidak harus berlangsung pada waktu yang sama dengan yang dilakukan dengan lembaga penyiaran yang menjadi induk. Lembaga penyiaran yang menjadi anggota dari suatu sistem jaringan bukan stasiun relai.Peran Negara dan KPIIsu ketiga yang penting dicermati benar adalah peran negara (eksekutif ataupun legislatif) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam penyelenggaraan penyiaran. UU No 32/2002 meletakkan negara dalam peran sentral sebagai penentu, mulai dari menguasai spektrum frekuensi, membuat aturan, hingga menentukan komisioner KPI.Ke depan, peran ini harus lebih dibatasi pada pihak yang menguasai spektrum frekuensi dan melakukan pengawasan secara umum. Hal-hal yang bersifat teknis, seperti membuat dan menetapkan aturan pelaksanaan kegiatan penyiaran, siapa yang berhak menggunakan spektrum frekuensi, bagaimana frekuensi digunakan, dan sanksi kepada lembaga penyiaran jika terjadi pelanggaran, sebaiknya diserahkan kepada KPI.Untuk itu, KPI harus diperkuat, baik secara kelembagaan maupun sumber daya manusia. Agar menjadi komisi yang independen dan berwibawa, KPI harus menjadi komisi negara tanpa intervensi sedikit pun.KPI semacam ini hanya bisa terwujud apabila pertama, para anggotanya adalah mereka yang memiliki rekam jejak, kredibilitas, dan kompetensi di dunia penyiaran. Kedua, sebagai konsekuensi, perekrutan tidak lagi melalui proses politik di DPR, tetapi oleh panel yang dibentuk khusus untuk itu secara terbuka. Anggota panelis harus mumpuni dan mewakili semua pihak (seperti akademisi, ulama, komisi perlindungan anak dan perempuan, dan sebagainya).Negara dalam hal ini lebih mengambil posisi tut wuri handayani dalam konteks mengawasi karena yang menetapkan dan mengukuhkan keanggotaan KPI adalah presiden sehingga KPI bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara. Kepada DPR, KPI cukup memberi laporan dalam kaitan dengan pengawasan.Sepintas, gagasan ini cenderung menjadikan kegiatan penyiaran menjadi sangat liberal karena negara (eksekutif dan legislatif) seperti tidak memiliki kekuatan apa-apa. Namun, penting digarisbawahi, peran negara dalam hal ini sebenarnya sudah dipindahkan ke KPI.Saat ini, yang justru lebih terlihat menonjol adalah kepentingan eksekutif dan legislatif—cenderung bernuansa politis—yang ditumpangi kepentingan bisnis pragmatis. Akibatnya, sukar berharap bahwa kegiatan penyiaran benar-benar bermanfaat bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana yang menjadi amanat dasarnya, baik melalui konstitusi maupun UU penyiaran.Tentu saja kita semua juga tidak ingin kegiatan penyiaran menjadi tidak bermanfaat bagi bangsa dan negara ini bukan? ● -
Politikus Makin Autis
Politikus Makin AutisArif Afandi, PRESDIR WIRA JATIM GROUPSumber : JAWA POS, 25 Februari 2012PANGGUNGpara wakil rakyat di Senayan kini makin transparan. Perilaku mereka sangat gampang diketahui para pemilihnya. Perkembangan media membuat tingkah laku pimpinan politik di dewan bak ikan dalam akuarium besar. Mereka akan terlihat ketika berbuat baik. Saat berlaku menyimpang pun mudah ketahuan.Sayangnya, potret terekam mereka kurang menyenangkan. Mulai ribut-ribut penyimpangan anggaran, pembangunan ruang rapat mewah badan anggaran, terbongkarnya kasus korupsi cek perjalanan, tuntutan rumah dinas, sampai tudingan perilaku hedonisme para anggota dewan. Akhirnya, mereka tampak sibuk sendiri, tidak memikirkan nasib rakyat kebanyakan.
Mengapa isu-isu yang menyangkut diri dan lembaga kepemimpinan politik sangat menonjol dalam beberapa kurun waktu belakangan? Apakah kecenderungan ini hanya terjadi pada para anggota dewan atau kepemimpinan politik di dalam pemerintahan?
Perlu ada penelitian tentang notulensi sidang di parlemen: apakah dalam rapat para pemimpin politik kita lebih banyak mendiskusikan nasib bangsa atau nasib mereka sendiri. Tapi, dari perilaku yang dipotret media, mereka cenderung banyak memikirkan kebutuhan sendiri. Mereka tidak memberikan solusi problem rakyat. Tapi, mereka malah ramai-ramai menjadi problem. Itu bisa disebut gejala autisme politik. Autisme adalah istilah kedokteran, terutama kedokteran jiwa. Autisme disebut kondisi seseorang -terutama anak-anak- yang tidak mampu membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Dalam ilmu kejiwaan, autisme digolongkan sebagai kelainan: perkembangan anak secara tidak normal. Pengidapnya disebut anak berkebutuhan khusus. Karena penderitanya makin banyak, kini telah dikembangkan juga sekolah khusus untuk mereka. Seorang yang menderita autis biasanya sibuk dengan dirinya sendiri, cenderung obsesif, tidak peduli kepada orang lain, kurang bisa mengendalikan emosi, dan susah berkomunikasi.
Tentu, pemimpin politik kita tidak secara harfiah punya gejala-gejala seperti autisme dalam ilmu kejiwaan. Namun, kalau mereka terus-menerus punya kecenderungan untuk memikirkan diri sendiri, gagal berkomunikasi dengan rakyat atau konstituennya, serta kurang bisa mengendalikan emosi ketika menghadapi kritik dan masukan publik, bisa juga kita menyebut mereka sebagai autisme politik.
Dengan kata lain, autisme politik adalah kepemimpinan yang tidak peduli kepada orang lain, sibuk dengan urusan dan dunianya sendiri, terobsesi dengan angan-angan yang dimiliki, serta tak peduli dengan suara publik maupun kepentingan pemilihnya. Mereka lebih memikirkan keberhasilan obsesinya ketimbang keberhasilan bersama.
Gejala tersebut sebetulnya agak aneh. Sebab, terjadi saat berlangsungnya proses demokratisasi dalam rekrutmen kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik sekarang merupakan hasil pemilihan langsung. Semangat pemilihan langsung adalah untuk mendekatkan hubungan antara pemilih dan terpilih. Dulu, seseorang memilih partai, bukan wakilnya. Sekarang orang bisa memilih orang dari partai yang dia pilih. Demikian juga dengan pemilihan kepala daerah sampai presiden.
Seharusnya, pemilihan langsung menghasilkan pemimpin politik yang lebih terikat kepada pemilihnya. Pemilihan langsung juga bisa mendorong mereka untuk berlomba membuat track record agar tetap dipilih pada periode selanjutnya. Karena itu, sistem demokratis ini bisa mendorong pemimpin politik semakin berlomba-lomba berbuat baik terhadap para pemilihnya. Itu berarti mereka juga lebih peka, banyak mendengar, serta menampung keinginan masyarakat.
Dengan demikian, semua kebijakan dibuat atas dasar kepentingan masyarakat banyak. Kebijakan yang mengantarkan bangsa ini semakin maju dan kompetitif dengan bangsa lainnya. Menjadikan bangsa dengan peradaban tinggi, infrastruktur memadai, dan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Juga, sistem pemerintahan yang makin transparan serta bertanggung jawab.
Kepemimpinan yang tidak autis akan ditandai makin banyaknya agenda pembicaraan tentang kepentingan publik ketimbang kepentingan diri sendiri maupun partai atau kelompoknya. Mereka lebih banyak mengagendakan pembicaraan tentang sinkronisasi peraturan yang menguntungkan rakyat, membangun pemerintahan bersih dan bertanggung jawab, serta menciptakan kehidupan lebih baik dengan peradaban yang bisa dibanggakan. Wacana utamanya bukan soal jajanan, siapa memiliki mobil apa, kursi impor atau tidak, dan sebagainya.
Di pemerintahan juga demikian. Wacana yang sering muncul justru berupa kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat. Mereka lebih banyak melihat kepentingan sendiri ketimbang kepentingan masyarakat banyak. Di pemerintahan lokal tak kalah menariknya. Di Surabaya, misalnya, kita sering menyaksikan otot-ototanantara wali kota dan DPR, wali kota dan gubernur, dan sebagainya. Mereka sibuk dengan keyakinan masing-masing, bukan apa yang diinginkan konstituen atau pemilihnya.
Masih banyak isu yang bisa menjadi contoh akan kecenderungan autisme kepemimpinan politik di sekitar kita. Yang pasti, kecenderungan pemimpin politik untuk menjadi autis ini perlu segera mendapat perhatian. Jangan sampai ”penyakit” yang menggejala ini menjadi berketerusan.
Yang pasti, autisme politik akan menciptakan masing-masing elemen bangsa ini berjalan sendiri-sendiri. Mereka sibuk dengan diri masing-masing. Kecenderungan seperti itu akan memengaruhi kebudayaan politik. Komitmen pada etika untuk saling menghargai menjadi akan berkurang. Tentu, hal tersebut tidak baik untuk masa depan bangsa kita. ●
-
Duh, LP Rusuh (Terus)
Duh, LP Rusuh (Terus)Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWANSumber : SINDO, 25 Februari 2012Lembaga pemasyarakatan, nama pendeknya Lapas, nama lebih pendek lagi LP, adalah kata resmi, sopan, untuk penjara atau bui. Penghuninya juga disebut dengan istilah masih sebagai warga binaan, meskipun masyarakat lebih mengenal napi, narapidana, atau OT, orang tahanan, atau residivis.Sipir juga menjadi istilah umum penjaga penjara, termasuk pegawai sipil yang bekerja di bagian administrasi. Ada dua realitas yang berbeda. Yang mengandung pencitraan— mempersiapkan kembalinya napi ke masyarakat dengan mendidik, dan yang memperlihatkan keadaan.Sterilisasi Napi
Kerusuhan di LP Kerobokan Bali, yang berlangsung Selasa– Rabu (21–22 Februari) yang menimbulkan kebakaran luas, menunjukkan bahwa kemungkinan rusuh masih akan terus terjadi. Dalam peristiwa di LP yang berpenghuni 1.015— 33 di antaranya warga negara asing––tak bisa diatasi oleh sipir yang jumlahnya 20 orang kalau semuanya bertugas. Alasan kerusuhan yang mengemuka adalah sipir bersikap diskriminatif.
Ada korban penusukan yang tidak diproses, bahkan pisau yang digunakan tidak dijelaskan ada di mana. Itu alasan yang membuat para napi mengeroyok dan kemudian memberontak, dengan cara melempari batu dan membakar. Memang hanya itu senjata yang dimiliki, dan tersimpan di dalam.Kalau ada bom,mungkin itu juga yang diledakkan. Alasan diskriminatif itu bisa benar, tapi jenisnya banyak.
Siapa yang berhak mendapatkan puntung rokok, atau mandi lebih sore dari jam yang ditentukan, atau saat magrib masih di luar sel juga alasan diskriminasi. Saya pernah mengusulkan, jalan keluar yang sangat sederhana, dan tak memerlukan APBN.Cobalah didata,stock opname, dari semua penghuni. Ada catatan resmi siapa namanya, apa kasusnya,berapa lama ancaman hukumannya.
Sekaligus diberi tahu apa yang boleh dan bisa dilakukan,dan apa yang tidak boleh. Demikian juga bagi para sipir—termasuk Kalapas, atau bagian keamanan sampai ke regu,mempunyai tata krama dan tata nilai yang sama untuk menilai ada pelanggaran. Semua permasalahan mendasar bisa didekati dan diamati dan dicari pemecahannya dari sini.Apakah over capacity, kelebihan penghuni, atau kapan dipindahkan—berlayar dalam bahasa napi untuk yang dipindahkan ke LP lain, dan sejenisnya.
Termasuk barang kali laporan keberadaan LP itu sendiri, di mana sel yang lampunya mati—terjadi diskriminasi kalau napi kaya memodali hanya bloknya, atau kamar mandi—yang menyatu sebagai toilet, bisa dipergunakan atau tidak, sampai dengan jam besuk yang adil dan merata. Ini ketimpangan yang terus dibiarkan—dengan alasan yang mungkin bisa dibenarkan, yang menjadi pembeda nasib napi berdasi—artinya punya uang,dan napi abal-abal, yang tak ada pembesuk yang berarti tak ada rezeki.
Pembenahan yang sama pada bagian sederhana yang dianggap bukan kesalahan: berapa persen yang diberi seragam? Apa secukupnya saja kalau disorot kamera televisi, atau juga apa semua mau mengenakan? Kalau ini ditertibkan, kemungkinan kerusuhan bisa dikurangi, atau bahkan dieliminasi. Ini disertai langkah keras untuk menjadikan LP sebagai wilayah steril.
Artinya dibersihkan dari semua senjata yang disimpan napi terdahulu atau sekarang baik be-rupa belati, pisau, sendok yang diruncingkan, paku yang dipipihkan.Termasuk steril dari jenis narkoba— yang bisa disimpan dalam anus untuk dikeluarkan pada saatnya, ditempel di paha sang kekasih yang membesuk atau bahkan di celana dalam. Bayangkan targetnya seolah Presiden akan berkunjung. Sterilisasi habis untuk yang bisa menimbulkan kecurigaan.
Sterilisasi Sipir
Secara khusus LP di Bali— atau Jakarta,atau Medan,atau Surabaya—berpenghuni berbagai dakwaan beragam. Penghuninya bisa mantan pejabat kelewat tinggi—di era saya dulu ada mantan presiden Papua Nugini, ada mantan Waperdam, KSAU, menteri, dan berpendidikan tinggi dan atau mempunyai dana besar—penipuan, penyelundupan, kasus penggelapan bank.
Artinya terjadi melting pot, tumpuan segala perkara dan kasus besar, “yang menarik perhatian masyarakat”. Tanpa bermaksud membedakan, masalahnya pasti berbeda dengan LP yang penghuninya didominasi pencuri, penjambret, maling kerbau, dan membunuh karena cemburu. Dengan demikian, perlakuan dan pengawasan juga bisa berbeda. Serentak dengan itu, nasib para sipir harus dibenahi menyeluruh.
Bukan hanya kesejahteraan semata, melainkan juga akses untuk menambah ilmunya. Dalam soal kesejahteraan, terasa janggal dan sungguh menggoda. Para sipir— termasuk kelas Kalapas, memberi kemudahan sederhana seperti pergi malam hari, menerima gaji sebanyak tiga tahun secara sekaligus. Godaan— dan bukan cobaan iman— berlangsung setiap hari, setiap detik dalam tugasnya.
Satu dua kali bisa menolak, lama-lama malah mengajukan penawaran. Dan secara birokratis pun, apa yang terjadi di dalam LP bukan hanya otoritas setempat. Sebagai contoh, keberadaan Mohamad Nasir, yang wakil rakyat yang bersaudara dan yang mirip Nazaruddin, pada malam hari di LP Cipinang secara leluasa,tak bisa dilepaskan dari birokrat di atasnya.Apakah namanya direktur, kakanwil, atau bahkan dirjen.
Sekurangnya kalau bukan kasus itu, sudah ada mekanisme yang bahkan tersistematisasi kemungkinan dan kemudahan itu.Dan ini yang pada akhirnya terus terjadi, terus meledak sana-sini, tak berkesudahan.Yang pada akhirnya merugikan baik para napi maupun sipir, dan ketidakpercayaan pada institusi penegakan hukum.
Sterilisasi napi, sekaligus sterilisasi sipir, merupakan langkah mendasar kalau kita ingin mengembalikan penghuni ke masyarakat secara baik dan benar dan tidak diskriminatif. Kecuali kalau merasa semua itu dinilai tak ada gunanya dan mengurangi pendapatan tak resmi, dan pembiaran para sipir pun harus menjadi jahat karenanya. Duh, ngeri.
● -
Paradigma Baru Pembangunan
Paradigma Baru PembangunanVishnu Juwono, KANDIDAT DOKTOR UNTUK BIDANG SEJARAH INTERNASIONAL
DI LONDON SCHOOL OF ECONOMICS AND POLITCAL SCIENCE (LSE), LONDON, INGGRISSumber : SINDO, 25 Februari 2012Ada dua peristiwa menarik pada awal Februari 2012 di London, Inggris yang membuat penulis merasa beruntung karena dapat menimba pengetahuan dari dua tokoh nasional yang dikenal dengan kepakarannya di bidang ekonomi dan tentu saja kiprahnya dalam forum internasional serta organisasi internasional.Pertama adalah kuliah umum oleh Sri Mulyani Indrawati di London School of Economics (LSE), Inggris dalam kapasitasnya sebagai direktur pelaksana Bank Dunia pada 7 Februari 2012. Sedangkan kesempatan lain, penulis dengan bantuan KBRI London mendapatkan waktu berdiskusi dengan Prof Emil Salim,Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).Beliau hadir dengan kapasitasnya sebagai pemenang Blue Planet Awards yang diberikan oleh The Asahi Glass Foundation pada 8 Februari 2012. Dari kuliah umum Sri Mulyani dan diskusi dengan Prof Emil Salim, keduanya beranggapan bahwa terjadi pergeseran paradigma baru dalam pembangunan ekonomi.
Kedua tokoh ini beranggapan bahwa pembangunan ekonomi sudah tidak bisa lagi hanya berorientasi terhadap indikator makroekonomi dan keuangan seperti pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), tingkat inflasi,dan stabilitas kurs mata uang. Pendekatan pembangunan saat ini lebih bersifat multidimensional: pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan distribusi pendapatan yang lebih merata; pengendalian tingkat inflasi dibarengi dengan pengurangan tingkat kemiskinan;
penerapan kebijakan anggaran yang sehat— misalnya dengan pengurangan subsidi bahan bakar—diikuti dengan penyaluran bantuan darurat terhadap golongan masyarakat miskin yang terkena dampak besar dari kebijakan ini. Kedua tokoh tersebut juga menekankan bahwa dinamika global politik yang berubah juga membuat pemerintah tidak bisa menjadi aktor tunggal dalam formulasi serta eksekusi dari kebijakan pembangunan ekonomi.
Fenomena Arab Spring menunjukkan bahwa masyarakat sipil dengan memanfaatkan teknologi komunikasi terbaru di antaranya social media lebih terberdayakan sehingga dapat secara terorganisasi dan berkala menuntut pertanggungjawaban dari rejim pemerintah dalam suatu negara.Pemerintah harus memosisikan diri sebagai mitra dengan kelompok masyarakat sipil, parlemen, serta badan audit negara untuk menjalankan program pembangunan ekonomi.
Seperti yang disampaikan Prof Emil Salim, masalah paling utama dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan dalam skala global adalah ada ego sektoral pada organisasiorganisasi internasional.Padahal seharusnya mereka berperan besar untuk mengoordinasi serta mengimplementasikan sumber daya baik finansial maupun nonfinansial terutama dari negara-negara maju.
Dana Moneter Internasional (IMF) terlalu fokus pada stabilitas moneter dan finansial, Bank Dunia sibuk dengan usaha mengakselerasi pertumbuhan ekonomi,Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengalami kesulitan memobilisasi badan-badan terkait dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang berada di bawah koordinasinya. Akibat pengotakan pekerjaan ini,perwujudan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global masih menghadapi tantangan yang berat.
Konteks Indonesia
Sudah menjadi rahasia umum bahwa koordinasi pada unit-unit kerja pemerintah merupakan tantangan yang teramat besar bagi pemerintah kita. Selain itu, permasalahan ego sektoral juga mempersulit terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang maksimal. Prof Emil Salim memberikan contoh bagaimana ego sektoral pada tingkat global juga membawa implikasi pada tingkat nasional.
Contohnya, Kementerian Keuangan serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional yang sering terlibat dalam pertemuan dengan Bank Dunia sulit berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) sehubungan keterlibatan BI dalam pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada level pemerintahan daerah kita dapat melihat bagaimana kebijakan transportasi terintegrasi di Jakarta yang sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya tidak dapat terwujud pada era dua periode lima tahun Gubernur Sutiyoso dan menjelang berakhirnya lima tahun periode gubernur saat ini yaitu Fauzi Bowo.
Masalah utamanya adalah sulitnya koordinasi serta ego sektoral antara Pemerintah Daerah DKI,Kementerian Pekerjaan Umum,Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, serta beberapa unit kerja pemerintah lainnya. Jika mengacu pada statistik indikator makroekonomi dari Bank Dunia dalam laporan triwulanan perekonomian Indonesia pada Desember 2011, akan ditemukan indikator yang cukup positif dari segi aspek makroekonomi.
Pada 2011 pertumbuhan domestik bruto (PDB) kita sebesar 6,1% dengan tingkat inflasi mendekati 4%, serta tingkat kurs mata uang cenderung stabil di kisaran sekitar Rp9.000 per USD. Namun,walaupun terjadi tren penurunan, laporan Bank Dunia tersebut juga menginformasikan bahwa tingkat kemiskinan masih di atas 10% serta tingkat pengangguran masih lebih dari 6% angkatan kerja.
Guna merespons kondisi perekonomian tersebut,dalam tataran konsep pemerintah saat ini sadar akan pentingnya perwujudan dari visi pembangunan berkelanjutan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menekankan bahwa pemerintah saat ini menerapkan kebijakan pembangunan tiga arah yakni progrowth, projobs,dan propoor.Selain itu dalam menciptakan lapangan pekerjaan, formulasi kebijakan dan strateginya harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan hidup (proenvironment).
Dalam menindaklanjuti kebijakan pembangunan ekonomi tiga arah ini, pemerintah telah mengambil langkah penting dengan mengeluarkan kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah juga sedang menggodok Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) dan nanti diharapkan pula ada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pemeliharaan Lingkungan.
Namun, yang lebih krusial adalah eksekusi berbagai masterplan ini dengan menggerakkan birokrasi secara efektif dan bersih dari korupsi, juga mengajak berbagai macam pemangku kepentingan dan membebaskan unit-unit kerja pemerintah dari ego sektoral untuk dapat bekerja sama sebagai satu tim.
● -
Hubungan Mesra Jejaring Sosial dengan Jurnalisme
Hubungan MesraJejaring Sosial dengan JurnalismeJuni Soehardjo, PENGAMAT REGULASI MEDIA DIGITALSumber : SINDO, 25 Februari 2012Setiap hari dalam 24 jam pengguna jejaring sosial melakukan interaksi dengan pemberitaan media massa. Interaksi bisa dilakukan dengan memberikan komentar, kritik, dukungan, bahkan memberikan sudut pandang baru.Tidak sedikit jurnalis dan media yang memanfaatkan input untuk pengembangan berita. Ini fenomena global,tidak terkecuali di Indonesia. Pekan lalu Dewan Pers menggelar diskusi dengan tajuk Penggunaan Konten Media Sosial oleh Jurnalis. Di antara hasil yang menarik, sebanyak 32% jurnalis responden menggunakan akun jejaring sosial untuk menulis informasi personal, 40% untuk menulis informasi mengenai berita menarik di media masing-masing, 41% tentang kegiatan kerja yang tengah dilakukan.Selain itu, sebanyak 58% responden memanfaatkan Facebook sebagai sumber berita, sedangkan 46% memanfaatkan konten percakapan di Twitter dalam peliputannya. Kemesraan antara jejaring sosial dan jurnalisme di Indonesia memiliki beberapa faktor kuat yang mendukung hubungan tersebut. Pertama, Indonesia adalah negara pengguna jejaring sosial dengan peringkat yang tinggi di dunia— baik melalui Twitter maupun Facebook maupun brand jejaring sosial lainnya.
Data dari www.socialbakers.commenunjukkan pada Januari 2012 ini, pemilik akun Facebook di Indonesia sebanyak 43,1 juta,di atas Brasil, tetapi di bawah India yang secara mengejutkan melampaui Indonesia. Kedua, larisnya penjualan gadget seperti smartphoneyang memungkinkan orang Indonesia untuk masuk ke dalam jejaring sosial yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa.
Smartphoneyang berada pada tingkat harga mahal seperti Blackberry maupun pada harga murah seperti Nexian terjual semakin banyak.Kondisi ini diperkuat dengan telendesitas telekomunikasi Indonesia yang hampir mencapai 90% dari populasi di Indonesia apabila dilihat dari kartu SIM yang beredar. Kadin Indonesia memperkirakan pada 2014 penetrasi sebuah smartphone yang sangat terkenal akan mencapai 30% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 252 juta orang.
Menurut Jeffrey I Cole, Direktur Centre for Digital Future, dalam lima tahun ke depan penggunaan komputer meja (desktopPC) serta laptop akan digunakan hanya sekitar 4-6% dari keseluruhan pengguna komputer. Hal ini karena tablet merupakan suatu alat yang lebih nyaman dan mudah dibawa daripada komputer meja dan laptop.
Dia memperhitungkan bahwa tablet sebagai alat penggunaan komputer akan menjadi pilihan utama sejak pertengahan dasawarsa 2010-an ini. Mengapa topik ini penting untuk diperhitungkan dalam perhitungan jurnalistik masa depan,alasannya adalah tak lain karena dominasi tablet akan menciptakan perubahan besarbesaran dalam bagaimana, kapan, dan mengapa orang (Amerika Serikat) masuk ke internet.
Walaupun dia menggunakan Amerika Serikat sebagai contoh, pola yang sama juga berlaku di Asia dan Eropa. Masih menurut perhitungan Kadin Indonesia, penjualan komputer di Indonesia hingga 2015 diperkirakan akan mencapai 43,9 juta yang berarti penetrasi nasional komputer akan mencapai 18.3%. Angka tersebut baru merupakan perkiraan penjualan komputer, belum gadget lainnya.
Dengan menggunakan perhitungan Cole, secara sederhana dapat dibayangkan kemungkinan meledaknya penggunaan tablet dan smartphone di Indonesia dalam tiga tahun ke depan. Mengingat Indonesia sudah mencanangkan masterplan percepatan perluasan pembangunan ekonomi, penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang merupakan platform internet di mana gadgetini beroperasi akan segera dibangun dalam waktu dekat ke daerah-daerah terpencil dan merambah ke Indonesia sebelah timur.
Pada saat yang sama, Cole juga memperhitungkan bahwa dalam lima tahun media massa dalam bentuk cetak akan mengalami penyusutan besarbesaran. Yang bertahan dari penyusutan besar-besaran ini adalah media massa cetak yang saat ini memiliki sirkulasi terbesar atau terbit mingguan. Kaum jurnalis memahami kondisi genting tersebut dan segera mencari jalan keluar antara lain dengan menjangkau komunitas yang mereka layani.
Dahulu persebaran berita berpola satu arah yakni dari jurnalis kepada masyarakat dalam bentuk tercetak maupun elektronik. Namun, dengan berkembangnya teknologi yang memungkinkan warga biasa melaporkan apa yang terjadi di sekitarnya atau setidaknya meneruskan berita yang didapatnya dari orang lain dengan shared-link dan video, pola persebaran berita berubah menjadi interaktif atau dua arah.
Jurnalis mengendus kesempatan ini dan sekarang mencari serta menerima feedback dari komunitas yang menggunakan jejaring sosial dan mempelajari apa yang menjadi kecenderungan masyarakat melalui jejaring sosial sehingga berita yang ia turunkan menjadi lebih update dan relevan dengan komunitasnya.
Dalam kapasitas pelaporan suatu peliputan bersifat realtime, jejaring sosial mempertajam gerakan protes seperti Occupy Wall Street ataupun Arab Springsehingga menjamin setiap perkembangan dari protes ini tetap dapat diliput. Pada waktu polisi atau aparat keamanan memblokir akses dan menahan para jurnalis profesional,para pemrotes bersama- sama dengan para mahasiswa mengawal gerakan ini melalui sosial.
Di sini terlihat kecenderungan masa depan di mana jurnalisme atau pers akan lebih terdesentralisasi, bersifat real-time,berkarakteristik kerja sama,serta di bawah pengampuan (curate) warga. Hubungan mesra antara jejaring sosial dan jurnalisme ini juga menimbulkan pertanyaan baru: di manakah posisi jurnalis sebagai penyedia informasi di dalam masyarakat yang sudah pandai menggunakan gadget dan karenanya melek informasi ini?
Bagaimana dengan penerapan prinsip jurnalistik yang bersifat imparsial, tepat, dan akurat dalam menggunakan jejaring sosial sebagai sumber informasi? Bagaimana cara baru persebaran konten ini akan memengaruhi kualitas dan kedalaman dari kualitas jurnalisme? Apakah jejaring sosial dapat dikategorikan sebagai perusahaan media massa? Semoga kemesraan antara jurnalisme dan jejaring sosial ini dikawal oleh para pemangku kepentingan sehingga memberikan nilai tambah bagi dunia. ●
-
Revitalisasi Pertambangan
Revitalisasi PertambanganPurbayu Budi Santosa, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNISUNIVERSITAS DIPONEGOROSumber : SUARA MERDEKA, 25 Februari 2012MENTERI ESDM Jero Wacik menyatakan perusahaan tambang kelas kakap, antara lain Freeport dan Newmont, keduanya dari Amerika Serikat, bersedia melakukan negoisasi untuk mengubah kontrak. Dia berharap perusahaan pertambangan lainnya melakukan langkah serupa (SM, 21/ 02/ 12). Pernyataan itu terlihat cukup memberikan harapan dalam pengelolaan hasil tambang supaya lebih menguntungkan negara dan rakyat Indonesia.Selama ini, posisi Indonesia dalam pengelolaan tambang atau sumber daya alam lain terlihat lemah dalam negoisasinya dengan pihak asing. Padahal bahan tambang itu milik kita sehingga Indonesia seharusnya lebih berhak mengatur untuk kondisi yang lebih menguntungkan, bukannya dipermainkan oleh pengusaha asing.
Sektor pertambangan banyak memberikan tambahan pendapatan yang nantinya menjadi anggaran belanja untuk berbagai daerah. Angka pengembalian dana ke daerah cukup besar, antara 15 dan 30% meski realisasinya kadang dikeluhkan karena kekurangtransparan perhitungannya.
Masyarakat mungkin mengira pemasukan negara terkait usaha pertambangan yang melibatkan perusahaan asing, sangat besar, padahal faktanya tidak. Misalnya, pemasukan dari Freeport untuk negara kita hanya sekitar Rp 20 triliun (Abhisam DM, 2011), kalah jauh dari cukai rokok yang berdasarkan data BI (2011) untuk penerimaan tahun 2002 saja bisa Rp 22,469 triliun, dan terus naik karena tahun 2011 mencapai Rp 62,759 triliun. Tahun ini penerimaan cukai rokok diplot sekitar Rp 72 triliun.
Melihat realitas pengelolaan aneka sumber daya tambang, kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia ditipu pihak asing. Kenapa para pemimpin kita bisa ditipu. Ada apa sampai mereka menyetujui bagi hasil dalam kontrak itu? Padahal pemasukan dari Freeport tidak hanya dari emas, tetapi juga aneka tambang lainnya, termasuk uranium yang harganya sangat mahal.
Banyak Masalah
Usaha pertambangan di Indonesia sampai saat ini memicu beragam masalah, dari pelanggaran hukum, konflik sosial, kerusakan lingkungan, hingga tindak kekerasan. Usaha pertambangan itu pun belum banyak memberi kesejahteraan nyata bagi masyarakat (Kompas, 20/02/12). Kasus berdarah di Pelabuhan Sape Bima NTB merupakan ekses sosial terkait usaha pertambangan.Di Papua, masyarakat sekitar areal pertambangan justru disuguhi ketimpangan soal kemewahan. Bila mereka memprotes soal ketidakadilan, aparat kita yang membantu pengamanan di Freeport, menghadapinya dengan kekerasan. Dalam kasus itu, aparat mendapat dana khusus dari perusahaan Amerika tersebut.
Kasus kerusakan lingkungan pun hampir sebagian besar mengait usaha pertambangan. Sebuah stasiun televisi nasional pernah menayangkan liputan kota Samarinda yang kini makin sering dilanda banjir. Penambangan batu bara di Kalimantan Timur secara masif, yang meninggalkan lubang-lubang besar, tanpa perbaikan lingkungan yang memadai, memicu banjir di kota itu, terutama saat musim hujan.
Mungkin kita berpikir fungsi corporate social responsibility bagi masyarakat sekitar area pertambangan, tetapi praktiknya sering tidak dilakukan. Dana CSR diberikan kepada pihak lain dengan ekspose mencolok, supaya memberi kesan perusahaan pertambangan itu menjalankan fungsi sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, melakukan upaya pencitraan tetapi masyarakat sekitar pertambangan yang mestinya memperoleh manfaat sosial ekonomi, justru terlupakan.
Belum lagi, biaya pengelolaan usaha pertambangan terlalu sering tidak transparan. Unsur-unsur dalam cost recovery penuh aneka biaya siluman sehingga mengurangi pendapatan bersih. Pengaruh selanjutnya karena pendapatan bersih yang relatif kecil itu maka sumbangan ke negara kita pun menjadi kecil.
●