Blog

  • Ziarah Kebudayaan

    Ziarah Kebudayaan
    M. Sobary, Esais, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
    Sumber : SINDO, 27 Februari 2012
    Masjid Agung Demak, Minggu, 26 Februari, 2012.Salat zuhur tiba dan azan pun berkumandang, memanggil-manggil. Udara kota Demak panas.Lantai tegel di halaman masjid menyengat kaki yang tak bersendal.Tapi di tempat berwudu, udara sejuk, air wudu lebih meneguhkan kesejukan itu.

    Tak begitu mudah dikatakan, tapi kurang lebih keteduhan itu terasa hingga ke dalam hati, disertai kelegaan bahwa apa yang direncanakan terlaksana. Saya melangkah di antara baris-baris,“saf”, para jamaah yang sudah siap seutuhnya mengabaikan dunia yang fana ini, yang “tidak penting”, untuk memusatkan seluruh jiwa raga menunaikan kewajiban salat zuhur tersebut.

    Jamaah berjejal—mirip suasana Masjidil Haram—penuh dengan kaum muslimin dan muslimat, dari berbagai penjuru, untuk berziarah ke makam para wali, di tanah Jawa.Harus diakui, waliullah banyak jumlahnya, bukan hanya sembilan, tersebar di mana-mana,bukan hanya di Jawa. Di Jawa banyak wali tersembunyi,yang hampir tak pernah diketahui, kecuali oleh sesama para wali.

    Mereka disembunyikan Allah, untuk suatu tujuan rohaniah tertentu. Sebagian menyembunyikan diri mereka sendiri dengan nyaman agar kesalehan mereka tak diketahui. Mereka hidup hanya karena Allah, dan semata untuk Allah. Jadi apa gunanya manusia lain mengetahuinya? Tugas setiap wali berbeda. Alasan kewalian mereka pun berbeda. Maka, hanya wali-wali yang kita kenal yang kita ziarahi. Yang tak kita kenal, biarlah Allah sendiri yang mengatur, siapa yang harus menziarahi mereka.

    Dengan memohon rahmat dan berkah Gusti Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, ziarah kebudayaan dimulai. Sesudah salat zuhur itu saya melangkah di belakang Mas Imam,di depan Mas Rudy, di samping Mas Boni.Mas Rudy dan Mas Boni orang Katolik yang saleh, dan bergabung dalam kelompok empat orang ini. Mas Rudy mendorong sejak gagasan saya untuk melaksanakan ziarah ini.

    Pendeknya dia ikut terlibat sejak awal perencanaan. Bismillah,ziarah dimulai. Para peziarah lain, yang berbondong-bondong itu, motivasinya berbeda. Ada motif ekonomi, ada motif rohaniah, ada juga motif sejarah. Saya membawa motivasi kebudayaan. Maka, saya menyebutnya ziarah kebudayaan.Di belakang Masjid Demak tadi, terdapat makam Raden Patah, Sultan Demak pertama,makam Sultan Trenggono, pengganti Raden Patah, dan makam Pangeran Sabrang Lor.

    Tapi jelas bukan hanya itu. Di bagian lain ada makam Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolang. Juga makam Syech Maulana Magribi, yang terkesan khas, dengan gapura, simbol senjata besi kuning dan pahatan namanya di batu nisan. Ada yang mengatakan, makam Syech Siti Jenar terletak di dalam Masjid Agung Demak tersebut, tanpa tulisan, tanpa tanda, di bawah mihrab masjid.

    Saya termangumangu memandang mihrab masjid itu dari luar, di bagian belakang, yang tak memberi isyarat apa pun. Dari sana yang tampak hanya suasana hampa. Untuk roh-roh mereka semua, saya membacakan Al- Fatihah.Sambil menundukkan hati, mengingat sang Maha Pencita,yang pada suatu masa, niscaya akan memanggil semua peziarah itu. Sejenak timbul kegelisahan dalam hati saya, apakah kuburan saya akan diziarahi.

    Saya tak tahu jawabnya. Maka kegelisahan menjengkelkan ini tak saya biarkan merajalela. Segera saya melupakannya, dan tibatiba mobil yang dikendalikan Mas Imam sudah tiba di Kadilangu, di makam Kanjeng Sunan Kalijaga. Inilah makam seorang budayawan besar, yang memiliki strategi dakwah istimewa, yang berhasil “merebut” hati orang Jawa. Ziarah kebudayaan, bukan ziarah spiritual, bukan ziarah lain-lain,menemukan relevansinya.

    Di pusara orang suci ini saya mendoakannya agak lebih lama. Makin lama saya ragu, apakah saya berdoa atau mengenang perjuangan kebudayaan beliau. Masa itu sudah lama lewat. Beliau berjuang di abad lima belasan,menjelang abad enam belas. Sikap terbuka, toleran, serta dengan tenteram dan damai menerima perbedaan sebagai kekayaan budaya, beliau menata hidup.

    Rumusannya: hidup ini kerelaan yang tulus, untuk berbagi ruang budaya dengan orang lain,dan kelompok-kelompok lain,yang juga berhak atas ruang “sempit” yang harus dihuni bersama tanpa memilah bahwa ada yang disebut itu. Semangat berbagi dalam hidup, yang kini dibingkai menjadi renungan teoretik mengenai multikulturalisme, yang menjunjung tinggi kenyataan kebudayaan untuk diterima dengan damai—tanpa memilah posisi minoritas-mayhan hidup juga beruboritas—sebagai kenyataan politik yang ramah.

    Inilah tradisi kehidupan yang kita warisi dari generasi yang sudah lama lewat, yang kita butuhkan, tapi kita lupakan. Buat sebagian orang mungkin bahkan dianggap tak ada lagi gunanya. “Tak ada gunanya?” “Ya, karena tak relevan lagi.” Dalam zaman yang berubah, kebutuhan manusia memang berubah,tapi kebutuhan untuk hidup tenteram, rukun, dan damai di antara sesama warga negara mungkin abadi.

    Kebutuhan itu tetap relevan sampai hari ini. Jadi apa alasannya orang mengatakan tak relevan? Kaum minoritas yang sering ketakutan, mudah terancam dan mungkin karena memang ada saja yang mengancam, jelas butuh rasa damai dan ketenteraman. Kaum mayoritas butuh ketenteraman dan rasa damai, setidaknya ketika merasa gelisah,janganjangan kaum minoritas berkembang pesat dan kedudukan berganti: kini yang dulu minoritas berubah menjadi mayoritas.

    Kegelisahan “jubah”setiap manusia, tak peduli adakah ia golongan minoritas atau mayoritas. Maka untuk kedamaian bersama,orang atau kelompok tak boleh dilihat dari segi minoritas atau mayoritas. Orang wajib dilihat secara adil sejak pemetaan politik paling primordial: kita samasama warga negara, kita sama-sama orang Indonesia. Kita sama-sama dilahirkan di Bumi Pertiwi ini. Kedudukan kita sama.Kewajiban kita sama.

    Minoritas-mayoritas enak dipandang selama keduanya tak dimanipulasi demi suatu kepentingan politik yang tak adil. Tradisi yang diwariskan Kanjeng Sunan Kalijaga, yang jenazahnya dimakamkan di depanku ini, tak mewariskan kepicikan cara pandang khas hari ini.Maka saya pun belajar menghidupkan kembali tradisi luhur yang adil itu. Kanjeng Sunan, selamat beristirahat di sini.

    Saya akan meneruskan perjalanan ziarah kebudayaan ini ke tempattempat lain.Terima kasih,Kanjeng Sunan mewarisi kearifan hidup untuk menata keindonesiaan hari ini, dan hari-hari esok, yang saya tak tahu, sampai kapan.

  • “Kegembiraan Ilmiah” Guru Besar

    “Kegembiraan Ilmiah” Guru Besar
    Tri Marhaeni P.A., DOSEN JURUSAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
    FAKULTAS ILMU SOSIAL UNNES
    Sumber : SUARA MERDEKA, 27 Februari 2012
    “Esensinya adalah kemauan dan kebiasaan menulis. Bagi akademisi yang terbiasa meneliti dan menulis, tentulah bukan perkara sulit”

    MENULIS untuk jurnal ilmiah, haruskah menunggu teladan dari guru besar? Pertanyaan ini mengusik saya untuk menanggapi tulisan Laksmi Widajanti di halaman ’’Wacana’’ Suara Merdeka, Jumat, 24 Februari 2012. Membaca judulnya, ”Teladan Jurnal Guru Besar”, saya berpikir, ”Mau menulis di jurnal ilmiah saja, mengapa harus menunggu teladan guru besar?” Bukankah menulis publikasi karya ilmiah sudah menjadi kewajiban tiap insan akademik, dan apalagi dosen?

    Bahkan, mengutip Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud Prof Djoko Santoso di Universitas Negeri Semarang beberapa waktu lalu, sarjana ”ora nulis, ora ilok…” Ungkapan itu diangkat sebagai ’’Tajuk Rencana’’ Suara Merdeka 17 Februari, yang kemudian menjadi bahasan interaktif tajuk harian itu di TVKU, 23 Februari petang.

    Apakah kalau para profesor tidak memberi teladan menulis di jurnal ilmiah, lalu dosen yunior dan mahasiswa tidak mau menulis? Menulis tentu tidak harus menunggu ”dipaksa”. Andai pikiran liar itu saya suburkan maka pertanyaan berikutnya, ”Bukankah menulis tidak harus di jurnal ilmiah? Bukankah berbagi ilmu dari para profesor tidak harus berupa artikel di jurnal, tetapi bisa melalui artikel ilmiah populer untuk koran atau majalah, karena yang penting adalah substansi tulisan itu?”

    Bukankah para profesor juga sudah memberikan keteladanan lewat berbagai forum, misalnya seminar, pelatihan, atau pengajaran? Semua itu tentu butuh tulisan. Ada beberapa profesor —yang juga guru saya— meskipun sudah emeritus, tetap aktif menulis, seperti Prof Retmono, Prof Abu Su’ud, Prof Eko Budihardjo, bahkan Prof Suhanjati Sukri yang berbagi ilmu di rubrik konsultasi ’’Suara Perempuan’’ di Suara Merdeka.

    Kebiasaan Menulis

    Esensinya adalah kemauan dan kebiasaan menulis. Bagi akademisi yang terbiasa meneliti dan menulis, tentulah bukan perkara sulit. Namun bagi yang hanya mengajar, dan melakukan kegiatan tri darma perguruan tingggi menunggu ”dibuatkan” oleh yuniornya, barang tentu menulis menjadi persoalan tersendiri. Bahkan menulis tidak di jurnal ilmiah pun bisa dianggap sebagai pekerjaan berat.

    Saya bukan tidak setuju dengan tulisan Laksmi Widajanti. Persoalannya, yang diklaim ”selama ini ada kecenderungan bila sudah meraih jabatan fungsional akademik, seorang profesor menganggap dirinya pensiun, tidak ada upaya meng-up date ilmu apalagi meneliti”, guru besar yang manakah itu?

    Sekarang terdapat kecenderungan gelar akademik tertinggi ini diraih oleh dosen berusia relatif lebih muda. Jangan-jangan kecenderungan ini juga diklaim lagi, ”Karena tunjangan fungsional profesor tinggi, maka dosen berlomba-lomba menjadi profesor”. Tentu sah-sah saja selama secara akademis memenuhi syarat. Dan, begitu seseorang menjadi profesor, menusiawi jika mereka ”berjeda sejenak untuk tidak menulis di jurnal ilmiah”, karena untuk menjadi profesor mereka sudah berjibaku menulis di jurnal nasional dan internasional.

    Juga tidak semua profesor merasa harus ”berjeda” mengambil napas refreshing. Banyak yang makin produktif, meskipun energi kreatif itu tidak selalu tercurah ke jurnal ilmiah. Tidak sedikit yang menjadi narasumber seminar, membimbing penelitian dosen muda, dan menulis ilmiah populer di media massa. Ketika mau naik pangkat atau golongan, dari IVD ke IVE juga harus membuat karya ilmiah, termasuk guru besar perpanjangan yang harus menulis di jurnal internasional, atau menulis buku ilmiah yang dipakai di tiga perguruan tinggi.

    Sekarang para guru besar juga menjadi editor ahli atau mitra bebestari jurnal ilmiah. Tidak cukupkah itu menjadi teladan?

    Saya setuju tidak semua guru besar meneliti terus, dan menulis di jurnal ilmiah terus, tetapi harus dikemukakan fakta masih jauh lebih banyak yang produktif ketimbang yang ”beristirahat”.

    Saya juga khawatir masyarakat masih memberikan standar ganda. Seolah-olah profesor adalah jabatan yang “harus selalu benar”, “tidak boleh sembarangan”, juga penilaian-penilaian yang bersifat image. Nanti ada profesor makan nasi kucing dibilang “profesor kok makan nasi kucing”, mencuci mobil dibilang “profesor kok nyuci mobil sendiri”. Padahal contoh-contoh itu, bagi sang profesor boleh jadi juga merupakan sebuah “kegembiraan ilmiah” karena ia menyikapi pilihan makanan yang tidak berkolesterol, dan mencuci mobil dianggap olahraga.

    “Kegembiraan ilmiah” bagi seorang guru besar antara lain ketika berbagi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Prof Satjipto Rahardjo (alm) pernah menulis tentang “amal ilmiah, ilmu amaliah”. Jadi jika seorang profesor tidak berbagi ilmu melalui medium apa pun, juga ’’ora ilok’’. Bukankah akademisi, dosen, dan mahasiswa, terlebih seorang profesor akan menjadi brand image perguruan tingginya? Disadari atau tidak, ketika seorang profesor publish melalui berbagai tulisan atau kegiatan ilmiahnya, akan menjadi public relations tersendiri bagi kampusnya.

    Memang masih ada anggapan, pendapat seorang profesor adalah “wahyu” yang tidak boleh dikritik, apalagi dibantah. Tetapi kecenderungan usia profesor yang makin muda menciptakan keegaliteran, dan terbuka terhadap kritik, Bergantung bagaimana membahasakannya.

    Seorang profesor mengamalkan ilmu di berbagai forum dan aneka kegiatan merupakan keniscayaan, tidak hanya menulis di jurnal ilmiah. Dan, itu merupakan “sanjungan ilmiah” tersendiri bagi para guru besar. ●

  • Bukan Lagi Rezim Preman

    Bukan Lagi Rezim Preman
    Ismatillah A Nu’ad, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN
    UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 27 Februari 2012
    BERMULA terbunuhnya bos PT Sanex, Ayung alias Tan Hari Tantono (50) di Swiss-Belhotel, Jakarta Pusat pada Kamis 26 Januari 2012, nama John Refra alias John Kei segera muncul sebagai sosok menakutkan. Keberadaan John Kei di Swiss-Belhotel saat kejadian dinyana kuat terlibat dalam pembunuhan itu, meski pengacaranya membantah keterlibatan kliennya.

    Kei ditangkap melalui penggerebekan yang konon melibatkan sedikitnya 80 polisi di Hotel C’One Pulomas Jakarta Timur. Tembakan di kakinya, membuatnya tak berkutik. Kei diduga kuat dibayar sebagai debt collector, menyusul Ayung terlibat kasus piutang. Saat Kei menjalani proses perawatan di RS Polri Kramat Jati, secara tak terduga Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Untung S Rajab menjenguknya, membuat banyak pihak bertanya-tanya apa kepentingan dan motif kunjungannya. Itu pula menimbulkan banyak stigma, publik menilai sebegitu besarkah pengaruh John Kei sehingga seorang kapolda harus membesuknya?  

    Saat kasus John Kei masih menghiasi berbagai media massa, satu peristiwa di luar dugaan terjadi, penyerangan terhadap Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta Pusat, dini hari Kamis 23 Februari 2012 oleh sekelompok orang. Publik bertanya, bagaimana mungkin, aset  ”berwibawa”, basis kesehatan militer, bisa kecolongan aksi premanisme?

    Menurut Humas Polda Metro Jaya, penyerangan di RSPAD terjadi antara dua kelompok Ambon. Kejadian berawal saat 6 orang (ada yang menyebut 8) sedang melayat rekannya Bob Stanley Sahusilawane yang disemayamkan di ruang A eksekutif. Tiba-tiba datang puluhan orang bersenjata tajam menyerang. Mereka yang diserang tanpa persiapan apa-apa.

    Dua kasus kekerasan dan aksi premanisme membuat resah masyarakat. Publik merasa takut jika sewaktu-waktu aksi premanisme menimpa mereka. Di Jakarta, premanisme dalam bentuk apa pun, mudah dijumpai, di jalanan, tempat hiburan hingga parkir kendaraan. Aparat kepolisian dituntut lebih tegas dan tak tebang pilih. Meski ada dugaan, bahwa ada elite dari aparat kepolisian atau militer terlibat dalam bisnis keamanan, terutama sebagai pengaman bisnis hiburan atau jasa penagihan (debt collector).

    Terlibat Bisnis

    Tengara itu sejatinya sudah lama, misalnya karya Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (1986) menyebutkan keterlibatan militer dalam berbagai bisnis di Tanah Air, terutama di Jakarta. Dalam kasus di dunia militer pada zaman Orde Baru, menurut Crouch bahkan bukan bisnis ecek-ecek seperti pengamanan tempat hiburan melainkan bisnis kakap.

    Pada bisnis formal bisa dilihat ketika pada 1960-an Pertamina diambil alih pengelolaannya oleh militer (saat itu kepolisian masih di bawah militer) atas perintah KSAD. Lalu ketika Orde Baru berkuasa, militer meningkatkan ekspansi dengan mengelola Bulog yang didukung dana kredit BI.

    Tentu saja keterlibatan militer dan polisi dalam bisnis formal dan informal, tak diajarkan dalam pendidikan mereka. Selain bertentangan dengan profesionalisme dan mengurangi peranan militer dan polisi sebagai alat pertahanan dan keamanan, secara ekonomi mereka bukanlah pemodal yang berkecukupan dana untuk berinvestasi. Dihubungkan dengan keterampilan dalam mengelola bisnis, militer dan juga polisi tidak dididik untuk berdagang.

    Karena itulah, salah satu tuntutan reformasi pada 1998, ada istilah bahwa militer (dan juga polisi), harus kembali ke barak. Mengingat selama itu, profesionalisme mereka terbelah karena ada faktor kepentingan bisnis. Karena faktor kepentingan bisnis itu pulalah, premanisme pun ikut menyeruak, akhirnya publik yang menjadi sasaran dan korbannya. Publik mengira, pada zaman reformasi ini bisnis pengamanan oleh elite aparat keamanan negara secara sendirinya berakhir, tapi faktanya  tidak.

    Kasus kerusuhan di tempat hiburan Blowfish tahun 2010, John Kei, dan kekerasan di RSPAD memperlihatkan masih ada premanisme di republik ini, bahkan makin menyeruak. Aparat keamanan dituntut bekerja profesional, jangan ada lagi beking-membeking, kasihan rakyat yang kini ketakutan akibat teror premanisme. ●

  • Program Keluarga Harapan

    Program Keluarga Harapan
    Abraham Fanggidae, PEMBINA UTAMA MADYA, WIDYAISWARA UTAMA
    PUSDIKLAT KESEJAHTERAAN SOSIAL, KEMENTERIAN SOSIAL
    Sumber : SUARA KARYA, 27 Februari 2012
    Program Keluarga Harapan (PKH) adalah salah satu program perlindungan sosial untuk menanggulangi kemiskinan. PKH dikenal di negara lain dengan istilah Conditional Cash Transfers (CCT) atau bantuan tunai bersyarat. PKH bukan merupakan kelanjutan bantuan/subsidi langsung tunai (BLT) yang diberikan untuk membantu keluarga-keluarga miskin dalam mempertahankan daya beli mereka saat pe-merintah melakukan penyesuaian harga BBM.
    Tujuan umum PKH adalah mengurangi angka dan memutus mata rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta merubah perilaku keluarga atau rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya percepatan Millenium Development Goals (MDGs).
    Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas: 1) Meningkatkan status sosial ekonomi RTSM. 2) Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas, anak balita dan anak usia 5-7 tahun dari RTSM yang belum masuk sekolah dasar. 3) Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi anak-anak RTSM. Dan, 4) Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak.
    Karena PKH terkait erat dengan upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu hamil, ibu nifas, bayi, balita, anak sampai dengan pendidikan dasar (setingkat SLTP) maka PKH akan hadir di tengah masyarakat dengan memperhatikan ketersediaan fasilitas pendidikan (fasdik) dan fasilitas kesehatan (faskes) di suatu wilayah yang bisa mendukung program PKH. PKH juga memperhatikan faktor lainnya seperti tingginya jumlah RTSM di kabupaten/kota, angka kematian ibu, angka kematian balita, angka gizi buruk, angka putus sekolah SD/setara dan SMP/setara.
    Banyak orang memberikan komen dari sisi persepsi yang amat keliru. Pengamat atau komentator melihat PKH dengan kacamata politis, meneropong PKH dari dimensi politik praktis. Mereka menilai Kementerian Sosial membagi-bagikan uang kepada rakyat miskin, sebagai ‘sogok politik’ untuk kepentingan politik partai politik tertentu.
    Pemerintah tidak menyogok, tapi menolong rakyat, melindungi rakyat jika rakyat bermasalah. Apalagi, PKH bukan program Kementerian Sosial an sich, tetapi program pemerintah yang melibatkan berbagai instansi. PKH lebih dimaksudkan kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Pelaksanaan PKH diharapkan membantu penduduk termiskin, bagian masyarakat yang paling membutuhkan uluran tangan dari siapa pun.
    PKH memberikan bantuan uang tunai (conditional cash transfer/CCT) bersyarat kepada keluarga sangat miskin (KSM) dengan besar berkisar Rp 600 ribu hingga Rp 2,2 juta dalam satu tahun, dengan tahapan pembayaran setiap triwulan. Jumlah yang diterima fluktuatif tergantung dinamika dalam proses pendidikan dan kesehatan yang dipenuhi RTSM bersangkutan. Jumlah uang yang diterima setiap RTSM tidak sama pada setiap triwulan, tergantung hasil verifikasi dari kepatuhan anak mengikuti pendidikan, serta ibu hamil, ibu nifas, ibu yang melahirkan mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan yang dekat tempat tinggal mereka.
    Bantuan dalam skim PKH mengharuskan RTSM penerima bantuan melakukan dua hal. Pertama, menyekolahkan anak atau anak- anaknya ke SD/Madrasah Ibtidaiyah atau SMP dan memenuhi kehadiran di kelas minimal 85% pada setiap bulan. Kedua, memeriksa kesehatan kandungan ibu hamil, atau anak balita ke Puskesmas/ Pustu/Puskesdes/Posyandu terdekat. Pada kedua butir kewajiban ini memuat unsur disiplin dan perubahan perilaku (changes behaviour) dari peserta PKH, yaitu anak dan ibu rumah tangga.
    Sekolah Gratis
    Komparasi dengan skala dunia, sampai tahun 2007, sebagai tahun dimulainya PKH di Indonesia, PKH sudah diterapkan pada 28 negara berkembang. Hasil penelitian di negara-negara Amerika Latin (Kolumbia, Nikaragua, Jamaika, Meksico, Brasil, Honduras), juga penelitian di Turki, program seperti PKH ini terbukti bisa meningkatkan jumlah pengeluaran, konsumsi makanan, memperluas keanekaragaman diet dan mampu mengurangi stunting (kekurangan pertumbuhan anak). Program ini juga terbukti mampu meningkatkan angka partisipasi sekolah (school enrollment rates), dan meningkatkan tingkat kesehatan keluarga sangat miskin.
    Hal positif lain yang perlu diketahui, sejak 2007-2011 sasaran PKH hanya kepada RTSM yang mempunyai anak sekolah sampai dengan tingkat SD. Ini berarti, jika anak keluarga miskin tersebut sudah menamatkan SMP/pendidikan setara maka keluarga bersangkutan tidak lagi menerima bantuan pendidikan. Peserta RTSM merasakan hasil PKH, khususnya anak mereka bisa mengikuti pendidikan mulai dari SD hingga tamat SMP. Mereka berterus terang mengatakan tidak mampu menyekolahkan anak ke tingkat SMA/SMK setara karena ketiadaan biaya.
    Dengan alasan itu maka mulai tahun 2012, jangkauan bantuan PKH kepada RTSM meningkat dengan membiayai siswa dari RTSM bersangkutan hingga bisa lulus SMA/ SMK/pendidikan setara. Ini berarti PKH memberikan akses seluas mungkin kepada siswa miskin/siswa dari RTSM yang mampu secara akademik untuk melanjutkan pendidikan sekolah lanjutan atas.
    Ke depan semoga siswa miskin dari RTSM mampu meraih cita-cita masuk pendidikan tinggi yang menyediakan fasilitas beasiswa bahkan pendidikan gratis sehingga mereka mampu meraih cita-cita menjadi perwira TNI/Polri, bidan, perawat, dokter, guru, serta keahlian lain yang berguna bagi diri mereka dan masyarakat luas.
  • Keadilan, Teks, dan Waktu

    Keadilan, Teks, dan Waktu
    Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 26 Februari 2012
    Baik dalam masyarakat beragama dan masyarakat sekular, ada hal yang mempertemukan keduanya, yakni pentingnya kedudukan teks sebagai penjamin makna keadilan. Teks yang terbentuk melalui jalinan huruf yang membentuk kalimat dan ujaran yang bermakna, memberikan rasa kepastian kepada masyarakat. Suatu pengertian yang pra-teks (seperti pikiran yang ada di benak kita, atau percakapan longgar dalam sebuah diskusi) biasanya tak stabil. Agar suatu pengertian bersifat stabil, dibutuhkanlah teks sebagai “baju” yang memberikan bentuk yang kurang lebih pasti terhadap kekaburan makna pra-tekstual.”
    Hubungan antara teks, ruang dan waktu selalu menjadi perdebatan di antara para penafsir, terutama penafsir teks yang dianggap suci. Masalah ini, sebetulnya, bukan saja terjadi di lingkungan masyarakat beragama, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
    Kenapa “teks” punya kedudukan yang begitu penting seperti raja? Ada banyak penjelasan. Salah satunya yang menurut saya paling penting adalah karena masyarakat bisa disebut sebagai “masyarakat” manakala ada “tata” atau ketertiban dalam dirinya. 
    Orientasi semua masyarakat dalam lingkungan kebudayaan manapun adalah selalu mencari keteraturan, dan, jika itu sudah diperoleh, menjaganya sekuat mungkin, dengan harga apapun.
    Inilah sebabnya, semua masyarakat, pada dasarnya, berwatak konservatif. Semua masyarakat akan cenderung menjaga ketertiban dan “tata” (order) yang sudah berhasil ia tegakkan dengan susah payah. Perubahan terhadap tata dan keteraturan, misalnya karena tuntutan zaman, akan selalu membuat masyarakat khawatir dan cemas.
    Apa yang disebut tata dan keteraturan dalam masyarakat tentu harus didasarkan pada nilai lain yang sangat penting kedudukannya dalam tegaknya setiap sistem kemasyarakatan. Nilai itu ialah keadilan. Setiap tata atau keteraturan haruslah memenuhi satu syarat, yaitu, dia haruslah tata dan keteraturan yang adil. Tata yang tidak adil, cepat atau lambat, tentu akan rubuh, karena semua anggota dalam masyarakat itu akan melakukan perlawanan terhadapnya. Hingga waktu tertentu, perlawanan bisa dicegah. 
    Tetapi, perlawanan terhadap tata yang tak adil tak bisa dicegah untuk selama-lamanya.
    Yang menjadi soal, apa yang disebut “yang adil” bukanlah barang yang mudah didefinisikan. Konsep tentang yang adil juga tidak statis, tetapi bergerak terus. Tetapi, jika standar keadilan berubah terus, bagaimana masyarakat bisa ditegakkan? Bangunan masyarakat, pada akhirnya, toh membutuhkan fondasi yang tetap dan ajeg. Di sinilah, isu “teks” masuk. Teks dibutuhkan oleh masyarakat karena mereka membutuhkan kepastian tentang pengertian keadilan itu. Oleh karena Tuhan dianggap sebagai sumber keadilan yang mutlak, maka teks yang bersumber dari Tuhan (disebut Kitab Suci) dianggap sebagai penjamin konsep keadilan yang paling kokoh. Teks-teks sekular (misalnya konstitusi modern) dianggap tak bisa memenuhi cita-cita ini.
    Itulah sebabnya teks suci menempati kedudukan penting dalam masyarakat beragama. Dalam masyarakat sekular yang mempunyai hubungan yang kian longgar atau lebih pribadi dengan agama, kedudukan teks tetaplah penting sebagai penjamin makna keadilan. Hanya saja, teks yang menjadi fondasi masyarakat sekular tidak lagi bersifat “suci”. Dalam masyarakat sekular, kedudukan teks suci digantikan dengan teks konstitusi yang dihasilkan melalui proses kesepakatan sosial.
    Baik dalam masyarakat beragama dan masyarakat sekular, ada hal yang mempertemukan keduanya, yakni pentingnya kedudukan teks sebagai penjamin makna keadilan. Teks yang terbentuk melalui jalinan huruf yang membentuk kalimat dan ujaran yang bermakna, memberikan rasa kepastian kepada masyarakat. Suatu pengertian yang pra-teks (seperti pikiran yang ada di benak kita, atau percakapan longgar dalam sebuah diskusi) biasanya tak stabil. Agar suatu pengertian bersifat stabil, dibutuhkanlah teks sebagai “baju” yang memberikan bentuk yang kurang lebih pasti terhadap kekaburan makna pra-tekstual.
    Pertanyaannya adalah: apakah konsep keadilan yang begitu rumit bisa ditampung secara menyeluruh dalam sebuah teks, meskipun itu adalah teks yang suci sekalipun? Jika keadaan berubah, waktu terus maju, dan pengertian manusia tentang keadilan berubah secara mendasar, apakah pengertian tentang keadilan yang sudah tertuang dalam teks tertentu (misalnya Quran atau sunnah) harus dipertahankan apa adanya? Ataukah penafsiran ulang atas teks dimungkinkan?
    Pertanyaan-pertanyaan di atas sebetulnya tak terlalu rumit jawabannya sejauh menyangkut teks yang tak suci, misalnya konstitusi. Masalahnya menjadi rumit jika teks itu dianggap oleh masyarakat tertentu sebagai teks suci yang berasal dari Tuhan dan berlaku sebagai ketentuan yang universal kapanpun dan di manapun.
    Berhadapan dengan teks yang tak suci, seseorang dengan mudah akan menempuh jalur yang sederhana: jika teks itu sudah tak sesuai dengan semangat zaman, ya dibuang saja, atau pun jika dibaca, hanya sebagai sumber inspirasi umum saja. Tak ada keharusan untuk menaati makna harafiah dalam teks itu.
    Sikap “santai” semacam ini sulit kita berlakukan terhadap teks yang dianggap suci. Jika ada yang memakai sikap rileks seperti itu, dia akan menanggung resiko sosial dan keagamaan yang berat. Sejauh menyangkut teks suci, biasanya seseorang harus menempuh jalan berliku dan argumen yang bertakik-takik yang ujungnya sebetulnya sederhana: bahwa teks suci itu sudah tak relevan, sehingga harus ditafsir ulang, sebab tak mungkin dibuang sama sekali.
    Saya akan memberikan contoh sederhana. Sebuah hadis riwayat Ibn Majah menyebutkan, siapapun budak perempuan yang melahirkan anak (karena digauli oleh majikannya), maka ia akan dengan sendirinya menjadi merdeka setelah majikannya itu meninggal. Teks aslinya: ayyuma amatin waladat min sayyidiha fa hiya hurratun ‘an duburin minhu. Dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam), biasanya hadis ini menjadi landasan untuk pembahasan lebih jauh tentang apa yang disebut ummahat al-aulad (budak perempuan yang mempunyai anak dari majikannya).
    Dalam keyakinan umat Islam, hadis menempati kedudukan sebagai teks suci kedua setelah Quran. Ketentuan yang tertuang dalam hadis, oleh umat Islam dianggap sebagai norma yang mengikat, sebab ia adalah sumber keadilan yang berasal dari Tuhan. Jika demikian halnya, bagaimana kita berhadapan dengan teks pendek di atas yang berasal dari hadis Nabi itu?
    Hadis di atas mengandung norma penting tentang keadilan, yakni, hak budak perempuan untuk merdeka setelah majikannya meninggal, karena yang terakhir ini telah menggaulinya sebagai layaknya seorang isteri.
    Tetapi, pertanyaan berikutnya juga segera menyeruak ke permukaan: apakah hadis di atas juga mengandung norma lain—misalnya, apakah ia menyetujui lembaga perbudakan? Jawaban tentu jelas sekali: ya. Hadis itu, secara implisit (mafhum/makna tersirat), mengandung pengertian bahwa lembaga perbudakan disetujui oleh Islam. Tidak seperti gerakan abolisionis yang muncul pada abad ke-18 di negeri-negeri Barat yang menghendaki penghapusan perbudakan secara total, Islam datang ke masyarakat Arab pada abad ke-7 dengan ajaran yang non-abolisionistik. Islam bisa menerima lembaga perbudakan pada zaman itu, tetapi, secara pelan-pelan, melakukan reformasi atas lembaga itu. Islam mengenalkan sejumlah norma keadilan dalam memperlakukan budak, antara lain melalui ketentuan tentang hak kemerdekaan otomatis bagi seorang budak perempuan yang memiliki anak dari majikannya setelah yang terakhir ini meninggal, seperti termuat dalam teks hadis di atas.
    Pertanyaan berikutnya lagi: apakah lembaga perbudakan ini harus tetap dipertahankan saat ini, semata-mata karena teks hadis di atas mengandung makna implisit tentang pengakuan atas lembaga itu? Jika jawabannya ya, apakah mempertahankan lembaga itu memenuhi norma keadilan untuk konteks sekarang?
    Saya kira, jawaban untuk pertanyaan ini sangat mudah: jelas, lembaga perbudakan tak bisa lagi dipertahankan saat ini. Selain berlawanan dengan hukum internasional, ia juga berlawanan dengan norma keadilan yang diajarkan oleh Islam sendiri. Setahu saya, tak ada seorang ulama modern yang masih berpendapat bahwa lembaga perbudakan masih bisa dipertahankan saat ini, dengan alasan bahwa praktek itu tidak pernah dihapuskan secara mutlak baik melalui teks Quran atau hadis.
    Contoh kecil ini memperlihatkan beberapa hal. Pertama, baik ketentuan yang berasal dari teks suci (agama) atau teks “sekular” (seperti konstitusi modern), memiliki aspirasi yang sama, yaitu hendak menegakkan tatanan yang adil. Kedua, apa yang disebut sebagai tatanan yang adil sudah tentu berkembang terus, seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Pada suatu zaman, lembaga perbudakan dianggap tak menyalahi norma keadilan. Di zaman yang lain, lembaga itu dianggap tak adil lagi, dan karena itu harus dihapuskan sama sekali. Ketiga, karena pengertian tentang norma keadilan ini terus berubah, maka pemahaman kita terhadap teks juga harus berubah, terutama teks suci yang biasanya sama sekali tak bisa dihapuskan begitu saja. Jika pemahaman kita statis, maka kita akan berpendapat bahwa lembaga perbudakan harus tetap dipertahankan dengan landasan teks di atas. Pemahaman yang terakhir ini, jelas bertentangan dengan rasa keadilan manusia modern saat ini.
    Tetapi, yang lebih penting dari semuanya ialah kenyataan bahwa teks tak bisa bersifat “exhaustive”,  sempurna dan lengkap memuat makna keadilan secara menyeluruh. Contoh hadis tentang budak umm al-walad di atas adalah ilustrasi yang sangat bagus untuk memperlihatkan ketidaksempurnaan teks dalam memuat pengertian tentang keadilan. Sebab, memang setiap teks akan selalu terikat dengan konteks tertentu. Yang bisa membebaskan teks dari kungkungan konteks ini agar norma keadilan yang terkandung di dalamnya bisa terus relevan ialah pemahaman (baca: tafsir) kita. Manusialah yang bertugas untuk “membebaskan” teks dari kungkungan spasio-temporal yang membatasinya. ●
  • Anak Pasti Berayah

    Anak Pasti Berayah
    Moh Mahfud M.D., GURU BESAR HUKUM KONSTITUSI  
    Sumber : SINDO, 25 Februari 2012
    Salmah, sebutlah namanya begitu agar agak tersamar dari eks teman-temannya, adalah teman saya semasa kuliah di Yogyakarta pada awal 1980-an. Saat itu, sebagai mahasiswi yang cantik dia kecantol atau di-cantol oleh seorang mahasiswa ganteng, Salman, yang berasal daerah yang sama dengannya.
    Karena cintanya sudah begitu mendalam dan hasratnya tak tertahankan untuk hidup bersama, menikahlah Salmah dan Salman. Tapi karena keduanya masih mahasiswa/i, mereka melakukan nikah siri (nikah diam-diam), tidak diumumkan, tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama,dan hanya orang-orang terbatas yang tahu peristiwa itu. Syahdan, dari pernikahan siri itu lahirlah anak lelaki bernama Chasib.

    Pada 1984 Salman lulus sebagai sarjana, sedangkan Salmah tak bisa melanjutkan kuliahnya karena harus mengasuh Chasib. Celakanya, begitu selesai kuliah, Salman langsung pulang ke daerah asalnya dan oleh keluarganya dikawinkan secara resmi dengan gadis lain,Santi, yang konon sudah dipesan oleh orang tua Salman sejak gadis itu masih kecil.

    Pada 1994, saya mendapati Salmah sudah sangat menderita, sekolahnya tak selesai, mau pulang tak berani dan malu pada keluarganya, pakaiannya kusut, wajahnya sudah kusam sama sekali tak meninggalkan bekas kecantikan, bahkan tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Salman yang sudah bekerja di kantor pemerintah tak mau lagi dihubungi oleh Salmah, tak peduli juga pada Chasib, anak kandungnya sendiri.

    Salmah tak bisa bekerja karena tak punya ijazah sarjana, sedangkan ijazah SMA yang dimilikinya tak mampu menemukan formasi. Sekarang ini dia sering bekerja sebagai pencuci pakaian dari rumah ke rumah, terutama rumah beberapa eks teman kuliahnya, dan kadang kala menjadi tukang pijit amatiran untuk sekadar mendapat upah. Yang lebih memilukan adalah Chasib, anak hasil kawin siri yang kemudian diingkari itu.

    Anak tersebut sulit mendapat sekolah karena selain tak punya biaya, dia hanya hidup dengan ibunya yang tidak punya pekerjaan tetap. Setiap mau bersekolah dia selalu ditanyai “akta kelahiran”. Dia tidak mempunyai akta kelahiran karena ayahnya tak mau melakukan itsbat (pengakuan) sebagaimana dipersyaratkan bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang resmi jika ingin memiliki akta kelahiran dan mempunyai hubungan dan hak-hak keperdataan dengan ayahnya.

    Akta kenal lahir yang kemudian dimilikinya hanya menyebutkan dia adalah anak dari seorang ibu bernama Salmah, tidak ada nama ayahnya. Kasihan Salmah, kasihan Chasib. Keduanya telah menjadi korban dari seorang lelaki egois yang lari dari tanggung jawab secara kejam dengan berlindung di bawah ketentuan administrasi sahnya perkawinan.

    Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, anak yang lahir di luar pernikahan yang resmi (dicatatkan) hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Chasib, oleh UU, dinyatakan tak mempunyai hubungan perdata dengan Salman,ayah biologisnya. Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 43 (1) UU No 1/1974 yang diajukan Machicha Mochtar.

    Machicha dan anaknya M Ikbal mengaku tertimpa nasib yang sama dengan Salmah dan Chasib. Diyakini bahwa banyak di Indonesia kaum hawa dan anak-anak yang bernasib seperti itu tertimpa kemalangan karena ketidakadilan dalam pengaturan hukum. Mungkin pembentuk UU No 1/1974 bermaksud baik, yakni mencegah lelaki kawin secara diam-diam dengan cara mengibuli masyarakat, juga bermaksud mencegah perempuan agar tidak mau dinikahi secara siri.

    Tapi dalam faktanya masih sangat banyak orang yang melakukan kawin siri dengan mengorbankan banyak wanita dan anak-anak dengan alasan kawin siri itu sah menurut agama. Padahal yang sah menurut agama tak boleh berakibat mengorbankan anak yang dilahirkan darinya. Menurut MK, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena tidak adil dan melanggar moralitas hukum.

    Anak yang lahir dari nikah siri tidak boleh diperlakukan tidak adil dan ditelantarkan dengan seenaknya, sebab dia sendiri tak pernah minta dilahirkan oleh siapa pun dan dengan prosedur apa pun. Dia dilahirkan sebagai akibat alamiah dari hubungan badan antara ayah dan ibunya.Kalau dalam agama Islam, Nabi Muhammad mengatakan,“Setiap bayi itu lahir dalam keadaan suci,” sehingga tak boleh dilanggar hak-hak dan martabatnya, tak ada anak haram atau anak kotor.

    Dengan vonis MK itu,setiap anak yang dilahirkan dari seorang ibu dinyatakan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta berdasar alat bukti lain yang sah menurut hukum. Ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina.

    Pokoknya, siapa pun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya. Maka menjadi tidak benar kalau dikatakan bahwa vonis MK itu melegalkan perzinaan. Justru vonis tersebut dimaksudkan untuk mencegah perzinaan, terutama mencegah kaum lelaki agar tak sembarang main tembak.

  • Dampak Putusan MK

    Dampak Putusan MK
    Irsyad Dhahri S Suhaeb, DOSEN HUKUM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
    Sumber : REPUBLIKA, 25 Februari 2012
    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pekan lalu menyangkut Pasal 43 (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang memberikan pengakuan hubungan antara anak di luar nikah dan ayah biologisnya sempat menimbulkan polemik. Sebab, putusan itu mengindikasikan anak yang lahir di luar nikah bukan lagi anak haram sesuai aturan hukum Islam positif di Indonesia.
    Orientasi Masa Depan
    Harus diakui bahwa putusan MK di atas adalah terobosan baru. Selain itu, putusan ini cenderung akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana pada masa mendatang, sebab putusan ini akan memengaruhi ketentuan-ketentuan hukum lain yang terdapat pada sistem hukum nasional, seperti UU perkawinan, warisan, perwalian, atau hubungan perdata lainnya dalam hukum keluarga.
    Harus disadari bahwa putusan ini telah membuka peluang timbulnya per masalahan sosial lain dalam ketentuan undang-undang nasional, khususnya UU Perkawinan. Sebab, dengan putusan ini, minat masyarakat untuk melangsungkan seremoni formal pernikahan sesuai UU perkawinan akan berkurang, sebab tanpa pernikahan resmi pun, status anak yang akan lahir dari suatu hubungan laki-wanita akan diakui oleh negara.
    Dengan kata lain, kebiasaan yang selama ini berlaku dalam masyarakat bahwa salah satu tujuan untuk melakukan ikatan pernikahan karena adanya keinginan agar anak yang akan lahir dari hubungan seorang lelaki dan seorang wanita, baik melaui pernikahan ataupun tidak, tidak akan mendapatkan kesulitan untuk diakui hak keperdataannya dengan ayah ibunya secara hukum, tidak perlu lagi dilakukan.
    Dalam aspek hukum agama, putusan MK terhadap UU No 1/1974 ini akan berdampak luas dalam rangka kelanjutan pelaksanaan syiar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu dasar pembentukan UU Perkawinan selain sebagai lembaga sosial adalah agar berfungsi sebagai lembaga agama.
    Ini berarti melalui UU perkawinan, ajaran Islam yang mayoritas dipeluk oleh penduduk Indonesia dapat diterapkan secara lengkap. Salah satu contoh ajaran Islam yang melarang seorang wanita untuk mempunyai lebih dari seorang suami, bertujuan untuk menghindari kebingungan dan kesalahan dalam mengidentifikasi siapa ayah dari anak yang akan lahir dari rahim ibunya, diaplikasikan dalam Pasal 3 UU Perkawinan. Sebagai konsekuensinya, anak yang lahir di luar pernikahan dianggap tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya sebab hubungan ayah ibunya dianggap tidak pernah ada.
    Dengan putusan MK tersebut, anak yang lahir di luar penikahan, secara hukum nasional tidak akan dianggap haram lagi oleh agama Islam, agama yang masih diharapkan untuk diterap kan nilai-nilainya oleh masyarakat pada institusi perkawinan.
    Selanjutnya, putusan MK yang membatalkan Pasal 43 UU ini akan berdampak pula pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa seorang wanita hanya boleh menikah dengan seorang pria, sebab berapa pun pria yang berhubungan dengan seorang wanita, tidak akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi siapa nantinya ayah biologisnya melalui pembuktian ilmu pengetahuan. Gambaran konflik ini, yakni dengan adanya putusan MK itu tidak mustahil akan menimbulkan kegaduhan hukum dan politik, bila diarahkan pada diskursus pemilihan antara ketaatan masyarakat pada hukum nasional atau hukum agama.
    Keadilan Restoratif
    Terlepas dari penilaian aspek hukum nasional dan agama di atas, putusan MK ini secara kemanusiaan dan hak asasi manusia menjadi acuan yang signifikan bagi terciptanya konsep sistem yang bertujuan keadilan restoratif. Keadilan ini berupaya mengembalikan situasi dan kondisi korban yang telah dirusak oleh adanya serangan atau aturan hukum yang dianggap dan telah merugikan seseorang serta mengganggu perlindungan hak asasi manusianya.
    Menurut J Braithwaite (2009) “human rights must be protected by restorative justice processes”, perlindungan hak asasi sebaiknya dilakukan dengan berorientasi pada keadilan retoratif ini. Dengan adanya pengakuan hak anak yag berhubungan dengan ayah biologisnya maka salah satu hak asasi manusia anak telah dipulihkan sesuai konsep keadilan restoratif. Ini berarti pula bahwa seorang anak yang lahir sebagai akibat interaksi seorang wanita dan seorang lelaki, untuk mendapatkan pengakuan secara lengkap dari ibu dan ayahnya meski interaksi mereka tersebut tidak melalui pernikahan.
    Sebagai penutup, tentu masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab dari implikasi putusan MK ini, termasuk apakah dengan memberikan pengakuan hak anak-ayah biologis pada seorang anak yang lahir di luar nikah masih bernilai manusiawi bila mana justru pengetahuan ini akan berkibat buruk pada masa depan anak itu sendiri. Ini terlihat ketika ia mengetahui bahwa ayah biologis yang sebenarnya dimilikinya adalah seorang narapidana, atau mereka yang terbukti mempunyai perilaku negatif. ●
  • Dramatika Perupa, Inspirasi Sinema

    Dramatika Perupa, Inspirasi Sinema
    Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI,
    PENULIS BUKU RIWAYAT YANG TERLEWAT – 111 CERITA AJAIB DUNIA SENI
    Sumber : KORAN TEMPO, 25 Februari 2012
    Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang mengeluh ihwal film Indonesia yang semakin klise, lantaran berpuluh kali mengangkat horor pocong. Tentu ada film-film serius non-pocong yang lahir di tengah kelindan para hantu itu. Namun jumlahnya yang sedikit menyebabkan industri ini tertumbur pada anggapan: dunia film Indonesia tidak memiliki perbendaharaan tema.
    Tulisan ini ingin menyentuhkan kenyataan bahwa, dari dunia seni rupa Indonesia, banyak inspirasi cerita bisa digali, untuk kemudian dielaborasi menjadi kisah besar sebuah karya sinema. Pengunjukan ini diilhami oleh Hollywood, yang pernah mengangkat pelukis Jan Vermeer dalam film The Girl with a Pearl Earing, Pablo Picasso dalam Surviving Picasso, Frida Kahlo dalam Frida, Jackson Pollock dalam Pollock. Tentu juga Vincent van Gogh, pelukis Belanda yang sudah digubah dalam 70 film.
    Saleh, Henk, Basoeki
    Kisah hidup perupa terkenal pada umumnya memiliki banyak nuansa human interest, dengan di dalamnya melibatkan kompleksitas persoalan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di tengah kesenyapan desa dan kompleksitas kota atau negara. Sebab, seorang seniman utama adalah ex speciali gratia, “orang langka”, yang selalu tertempatkan pada posisi “ada di mana-mana”. Mereka seperti siluman yang tak henti melahirkan cerita.
    Berikut ini adalah petikan permukaan kisah-kisah besar dengan latar peristiwa (sangat) sinematografis, sehingga layak diangkat ke layar lebar.
    Raden Saleh (1807-1880) adalah pelukis bumiputra pertama yang belajar seni di Belanda. Di Eropa, ia senantiasa mengenakan busana kebesaran Jawa, sehingga disambut sebagai “Pangeran dari Timur”. Ketika kembali ke Indonesia, ia hidup di Bogor dan menikahi Constancia Winkelhagen, janda pemilik pabrik gula. Di kurun berikutnya, ia ingin menikah lagi dengan wanita Jawa, Raden Ajeng Danurejo. Hasrat menggebu ini menimbulkan keributan besar dalam keluarga, sehingga Winkelhagen meminta cerai.
    Raden Saleh meninggal diduga lantaran diracun dengan zat arsenik. Si pembunuh konon adalah pembantu yang dendam lantaran dituduh mencuri lukisannya. Ia meninggal pada Jumat, 23 April 1880, dengan mewariskan kebesaran serta kekayaan yang menggetarkan bumiputra abad ke-19. Rumah Raden Saleh, yang seperti istana, kini jadi Rumah Sakit Cikini, Jakarta. Kebon binatangnya yang luas jadi Taman Ismail Marzuki. Makamnya di kawasan Bondongan, Bogor, dikeramatkan dan acap dikunjungi para pemburu wangsit!
    Kehidupan Basoeki Abdullah (1915-1993) tak kalah menarik dan filmis. Pelukis paling populer di Indonesia ini menjalani hidup dengan petunjuk Tuhan lewat Nyi Loro Kidul. Namun di sebalik yang mistik itu ia hidup sangat modern dan glamor. Ia dikelilingi wanita cantik. Ia keliling dunia dan jadi pelukis istana Belanda, Muangthai, Filipina, Kamboja, dan Brunei. Kawin empat kali dengan wanita asing. Namun ia wafat dengan “sederhana” di Jakarta: dibunuh maling yang akan mencuri arlojinya.
    Kisah hidup Henk Ngantung (1921-1991) menyimpan gelora untuk menghidupkan layar sinema. Henk adalah seniman yang punya karier monumental. Pada umur 13 tahun, ia telah menyelenggarakan pameran tunggal di Manado. Ia pernah bekerja sebagai wartawan tulis dan lukis. Kisah perundingan Linggarjati pun ia liput dengan laporan visual berbentuk sketsa coretannya. Kemampuannya yang berganda membawa ia menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur DKI Jakarta pada 1964.
    Henk disayangi Sukarno, dan ia Sukarnois. Karena itu, ketika G30S (Gerakan 30 September) 1965 meletus dan para Sukarnois ditangkap, Henk ikut dibekuk. Indonesia merehabilitasi namanya menjelang 1980-an. Momentum ini membakar semangatnya untuk melukis lagi. Tapi matanya mendadak buram, dan bahkan cenderung buta. Namun, dalam keburaman, ia terus berkarya dan berpameran tunggal di Ancol pada akhir November 1991. Anehnya, pemerintah kembali mempersulitnya dan mengerahkan banyak intel dalam pergelarannya. Bahkan pameran ditutup sebelum waktunya. Henk, yang buta, bisa melihat kenyataan pedih itu. Hatinya merana, sampai kemudian ia meninggal sepekan setelah pamerannya dibongkar.
    Riwayat pelukis S. Sudjojono (1913-1986), sang “bapak seni lukis Indonesia modern”, punya peluang menjadi dongeng besar di layar lebar. Sudjojono adalah anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, institusi budaya milik PKI) yang berpengaruh. Namun ia dipecat dari Lekra karena memadu Mia Bustam, dan mengawini Rose Pandanwangi, penyanyi seriosa keturunan Belanda. Ketika penangkapan kader Lekra-PKI dilakukan pasca-G30S, Sudjojono lolos. Sedangkan Mia Bustam justru masuk penjara tahanan politik selama berbilang tahun. Tragedi Mia, komedi Rose, dan sikap Sudjojono di tengah kegaduhan gendang politik adalah cerita gila.
    Lempad dan Spies
    Bali adalah lokasi yang luar biasa seksi untuk dunia sinematografi. Kisah hidup I Gusti Nyoman Lempad bisa dipakai untuk jalan menuju ke sana. Lempad lahir pada 1847 dan meninggal pada 1978. Usia 131 tahun menjadikan dia sebagai saksi mata jagat Bali tiada duanya. Ia mengembuskan napas terakhir setelah mendengar kabar bahwa sahabatnya, Rudolf Bonnet, baru saja tutup usia di Belanda. “Saya dan Tuan Bonnet sudah janji untuk jalan bareng ke nirwana,” kata Lempad kala masih sehat.
    Yang ajaib, ketika Lempad dinyatakan meninggal, masyarakat Ubud tenang-tenang saja. Masalahnya, pada saat itu di Pura Besakih sedang berlangsung upacara Panca Wali Krama. Dalam upacara sebulan penuh itu ada ketentuan: tidak boleh ada orang mati. Dengan begitu, tak ada orang yang melayat Lempad. Tak ada kentongan berbunyi. Masyarakat bekerja seperti biasanya.
    Ketika jenazahnya diaben, puluhan stasiun televisi internasional meliput, belasan ribu orang Bali mengantar, tokoh seni dari seluruh dunia datang. Di antaranya adalah Paloma Picasso, putri pelukis terbesar dunia abad ke-20 Pablo Picasso. Pada saat itu Paloma mengatakan, “Upacara kematian Lempad lebih besar dari upacara kematian ayah saya….”
    Yang paling menggetarkan bagi dunia sinema mungkin historiografi dramatik Walter Spies (1895-1942). Ia adalah pelukis Jerman yang hidup di Bali. Pertama ke Indonesia, ia menginjak Batavia, kemudian ke Bandung dengan bekerja di bioskop sebagai pengisi musik film bisu. Kemudian ke Yogyakarta untuk mengajar musik Barat atas undangan petinggi keraton. Spies pernah dipenjara oleh Belanda lantaran homoseks. Ketika Jerman menistakan Belanda di kancah Perang Dunia II, pemerintah Belanda di Indonesia ngamukdan memenjarakan Spies. Beberapa bulan sekeluar dari penjara, Spies diungsikan dengan kapal laut Van Imhoff. Oleh Jepang, kapal ini dibom di sekitar laut Makassar. Spies tewas.
    Ooo, film mungkin akan menayangkan realitas ini pada menit-menit terakhir: gemuruhnya lelang lukisan kecil Walter Spies yang harganya terus mendaki mencapai bilangan rupiah Rp 15 miliar! ●
  • Mengawal Demokrasi, Menggantang Korupsi

    Mengawal Demokrasi, Menggantang Korupsi
    Nur Kholis Anwar, DIREKTUR CENTER FOR STUDY OF ISLAMIC AND POLITIC
    UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 25 Februari 2012
    Perilaku buruk anggota DPR seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang tidak terkendali bisa mengakibatkan institusi tersebut kehilangan legitimasi sebagai wakil rakyat yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.
    Terlebih baru-baru ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan ada 2.000 transaksi mencurigakan di kalangan DPR, terutama pada bagian Badan Anggaran.
    Meskipun belum terbukti benar atau tidak laporan PPATK tersebut, isu ini menjadi penting ketika sudah dipublikasikan dan diketahui masyarakat umum. DPR sebagai wakil rakyat tentunya mampu mengawal dan mengontrol jalannya pemerintah.
    Realitasnya yang terjadi, DPR justru enggan dengan tugas-tugasnya tersebut. Hal yang terjadi malah konspirasi antara kroni-kroninya di lembaga legislatif untuk menggerogoti uang negara.  
    Hannah Arend menyebut negara sebagai tempat ekspresi (action) dan komunikasi (communication) ruang publik yang menyimpan rapat-rapat kepentingan individu. Ruang publik, lanjut Arend, hanya bisa terjadi ketika orang-orang mempunyai tujuan dan misi yang sama.
    Namun, sebuah ruang tidak lagi dikatakan sebagai ruang publik ketika di antara orang-orang tersebut saling memikirkan kepentingan individu masing-masing. Dengan kata lain, kepentingan individu (ruang privat) mampu meruntuhkan kepentingan publik.
    Bagi Arend, jika kepentingan individu itu terus diekspresikan dalam ruang publik, praktik ketidakwarasan atau hal-hal yang merugikan kepentingan umum akan terjadi. Ini karena dominasi kepentingan individu hasilnya tidak lain adalah praktik otoritarianisme. Di Indonesia, praktik semacam ini sangat kentara pada masa kepemimpinan Soeharto hingga sekarang ini.
    Para anggota DPR yang merupakan representasi dari misi rakyat, ditutup rapat dengan kepentingan individu masing-masing anggota.  Dalam hal ini, lembaga legislatif merupakan ruang publik yang diciptakan oleh rakyat dan atas kepentingan rakyat.
    Sebagai ruang publik, seharusnya legislatif mempunyai fungsi yang sama atas kehendak rakyat, yaitu mengontrol, mengawasi dan mengawal jalannya pemerintahan. Namun, karena dominasi interest kelompok atau individu, lembaga legislatif hanya sebatas formalitas, sedangkan peran nyata untuk menyuarakan hak-hak rakyat tidak tampak sama sekali.
    Justru yang tampak malah kepentingan individu yang diwujudkan dalam praktik korupsi secara berjemaah. Dengan kata lain, secara tidak langsung lembaga legislatif tidak bisa lagi dikatakan sebagai lembaga yang mewakili hak-hak rakyat. 
    Demokrasi dan Korupsi Demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat agaknya perlu ditinjau kembali. Ini karena demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini tidak sepenuhnya mengekspresikan kehendak publik. 
    Demokrasi justru menjadi batu loncatan para politikus untuk mengeruk uang negara.
    Demokrasi membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam brankas negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi.  Peran politikus yang kian dominan tampaknya menjadi problem krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
    Terlebih banyak politikus yang kongkalikong dengan perusahaan sehingga memunculkan konspirasi pembunuhan Indonesia melalui mafia-mafia korupsi. Munculnya pemilihan umum dan multipartai sebagai penanda adanya demokrasi, ternyata tidak seindah yang kita bayangkan.
    Justru yang terjadi malah sebaliknya, partai menjadi kendaraan kaum pemodal untuk melancarkan tender proyek-proyek gelap. Demokrasi yang pada kelahirannya di Indonesia menginginkan adanya demokratisasi, semuanya nonsense.
     Laode Ida (2008) mengatakan, umumnya parpol dan politikus kita boleh dikatakan nir-ideologi, lebih berorientasi pragmatis ke arah dua subjek yang saling terkait: jabatan atau kekuasaan dan materi.
    Saat menjabat sungguh-sungguh dinikmati dengan memanfaatkan segala peluang dan sumber yang tersedia untuk mengakumulasi harta, termasuk mengembalikan berbagai biaya yang telah dihabiskan dalam proses-proses konsentrasi untuk memperoleh jabatan.  
    Kecenderungan dan sikap itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara yang merupakan bagian dari rakyat, dikuras habis tanpa ada batas. Wakil rakyat yang merupakan representasi dari rakyat, ramai-ramai ikut merampok uang negara hingga triliunan rupiah.
    Inilah yang kemudian penulis sebut bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk “kapitalis”. Terbukti, dalam hal ini rakyat tidak lebih sebagai tumbal para kapitalis tersebut.  
    Jika kita lihat dengan menggunakan kacamata sosiologis, kecenderungan seperti itu sebenarnya membenarkan teori Karl Marx bahwa sesungguhnya negara hanyalah instrumen dari kalangan pemilik modal. Dengan demikian, sulit diharapkan untuk benar-benar peduli pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.
    Terlebih praktik korupsi sudah menjadi sistem yang melembaga sehingga sulit dibersihkan. Sebaik apa pun KPK bekerja untuk memberantas koruptor di negeri ini, tapi generasi koruptor baru akan terus bermunculan. Inilah saat-saatnya Indonesia mengalami darurat korupsi.
    Hampir semua elite birokrasi terjangkit virus korupsi yang secara tidak langsung telah membunuh rakyat dengan perlahan. Namun, para elite itu tidak sadar bahwa ada jutaan rakyat yang mati karena ulah mereka.
    Logika kotornya, rakyat tidak lebih sebagai tumbal untuk mengeruk kekuasaan negara. Tidak heran kalau rakyat diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Logika semacam ini yang kemudian akan membunuh tidak saja rakyat, tetapi juga negara.
    Jika sudah demikian, rakyat Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan wakil-wakilnya di DPR yang juga tersandera kasus korupsi. ●

  • Menunggu Menteri Koperasi Non-Partai

    Menunggu Menteri Koperasi Non-Partai
    Djabaruddin Djohan, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PERKOPERASIAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 25 Februari 2012
    Sebetulnya peran dominan pemerintah dalam pengembangan koperasi, terutama pada awal pertumbuhannya, sudah menjadi hal yang jamak di negara-negara sedang berkembang. Inilah yang disebut dalam terminologi perkoperasian sebagai the classical British-Indian pattern. Dalam pola pembinaan koperasi yang diterapkan pada koperasi-koperasi di negara bekas jajahan Inggris ini, pemerintah secara sadar mengambil prakarsa, khususnya dalam persiapan pendirian koperasi, yang meliputi: pendidikan/pelatihan, informasi, konsultasi, hingga ke awal pendirian koperasi. Begitu koperasi sudah berfungsi secara mandiri, pemerintah segera menarik diri.
    Pola pengembangan koperasi model Inggris-India seperti di atas telah berhasil menghantarkan beberapa koperasi di negara bekas jajahan Inggris ke tingkat koperasi kelas dunia. India, misalnya, memiliki tiga jenis koperasi, yaitu Koperasi Susu, Koperasi Pupuk, dan Koperasi Pemasaran Produk Pertanian, yang masuk dalam daftar ICA 300 Global List (2007). Sedangkan Singapura, yang hanya berpenduduk 4,5 juta orang, “menyumbangkan” dua jenis koperasi kelas dunia, yaitu Koperasi Retail/Konsumen dan Koperasi Asuransi. Meskipun tidak termasuk dalam daftar koperasi kelas dunia, Malaysia mempunyai lima koperasi yang termasuk dalam 300 daftar koperasi berprestasi di negara-negara sedang berkembang (ICA Developing 300 Project, 2007).
    Bagaimana dengan koperasi-koperasi di Indonesia, yang tidak satu pun masuk daftar Developing 300 Project, apalagi dalam daftar 300 Global List? Pengembangan koperasi di Indonesia pada hakikatnya juga mengikuti pola Inggris-India, yang menempatkan prakarsa pemerintah pada awal perkembangannya. Tetapi, berbeda dengan perkembangan koperasi di negara bekas jajahan Inggris, kebanyakan koperasi di Indonesia cenderung merasa lebih nyaman untuk terus berada di bawah perlindungan pemerintah. Sementara itu, di lain pihak, pemerintah terkesan kuat juga ingin tetap mempertahankan status quo, yang menjadikan gerakan koperasi terus bergantung padanya. Dewasa ini, obsesi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah (UKM) adalah memiliki koperasi-koperasi yang besar yang dapat masuk ke kelompok Global 300 List, yakni daftar 300 koperasi-koperasi konglomerat versi ICA (International Co-operative Alliance) yang beraset dari US$ 467 juta dan turnover US$ 654 juta (Associated Press, Amerika Serikat) hingga yang beraset US$ 18.357 juta dan turnover US$ 63.449 juta (Zen Noh, Jepang).
    Tentu keinginan Pak Menteri ini harus kita apresiasi. Tetapi kita harus juga realistis tentang kondisi perkoperasian yang kebanyakan masih amburadul, di samping banyak yang menyimpang dari jatidiri koperasi. Meskipun demikian, juga harus diingat bahwa keinginan untuk menjadikan koperasi-koperasi kita bisa masuk Global 300 List versi ICA seharusnya datang dari Dekopin sebagai anggota ICA, bukan dari pemerintah (Kementerian Koperasi dan UKM).
    Dalam rangka pembinaan koperasi ini, peran pemerintah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, yang untuk penetapan menterinya merupakan hak prerogatif Presiden, yang dasar pertimbangannya lebih banyak bernuansa politis. Pada dua periode pemerintahan sebelumnya, kursi Kementerian Koperasi dan UKM diduduki oleh tiga orang politikus (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan pada periode 2009-2014, menterinya adalah politikus dari Partai Demokrat.
    Tidak berlebihan jika kondisi seperti ini memberi kesan kuat bahwa koperasi adalah komoditas politik. Sebagai pejabat politik, tentu tidak perlu memahami seluk-beluk perkoperasian yang bersifat teknis administratif, namun sangat diperlukan pemahamannya mengenai filosofi, ideologi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, yang menunjukkan koperasi bukanlah semata sebagai perusahaan yang tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan materi/finansial. Sama pentingnya dengan fungsi ekonominya, koperasi juga mempunyai fungsi sosial yang melekat pada organisasi koperasi, seperti keadilan, tolong-menolong (gotong-royong, kepedulian pada masyarakat dan lingkungannya).
    Hal inilah yang terkesan kurang dipahami oleh menteri-menteri dari partai politik ini, sehingga pembinaan yang ditempuhnya banyak melenceng dari koridor koperasi. Sebut saja, misalnya, pembinaan koperasi yang dicampur-aduk dengan UKM (yang dalam kenyataannya lebih berat ke UKM-nya), pengembangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang berpraktek bak bank gelap, tanpa ada peringatan dari otoritas koperasi. Bisa dimengerti jika perkembangan koperasi seperti jalan di tempat, tanpa arah yang jelas, meskipun, berdasarkan data resmi, perkembangan koperasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan secara kualitatif bisa dikatakan semakin mundur.
    Dengan latar belakang kondisi pengembangan koperasi seperti diuraikan di atas, tidak berlebihan jika di kalangan Gerakan Koperasi muncul harapan agar kursi Menteri Koperasi dipercayakan kepada seorang profesional yang nonpartisan. Di bawah menteri yang profesional dan nonpartisan ini, diharapkan pembinaan/pengembangan koperasi dapat terfokus pada pembangunan koperasi yang sehat, yang sekaligus juga tetap berada dalam koridornya.
    Idealnya, profesionalisme Kementerian Koperasi dan UKM juga harus diimbangi dengan profesionalisme Dekopin, organisasi tunggal Gerakan Koperasi, yang salah satu fungsi utamanya adalah sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan koperasi. Tetapi bagaimana mungkin bisa profesional jika kegiatannya saja sepenuhnya masih bergantung pada APBN, yang pelaksanaannya tentu harus mengikuti mekanisme proyek pemerintah, yang tidak selalu seirama dan sejalan dengan kepentingan/kebutuhan Gerakan Koperasi. 
    Sebagai mitra pemerintah yang profesional, yang keberadaannya didukung oleh para anggotanya dari Gerakan Koperasi (termasuk dukungan dananya), Dekopin dengan bebas akan dapat meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam setiap kebijakan pemerintah dalam pembangunan koperasi, tanpa khawatir akan dicabut alokasi dana APBN-nya.
    Hanya, apabila kedua instansi/lembaga (Dekopin serta Kementerian Koperasi dan UKM) bisa bersinergi, berkoordinasi, dan bekerja sama berbasis profesionalisme dalam satu platform yang sama, dengan pembagian tugas yang jelas apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah (cq Kementerian Koperasi dan UKM, maupun instansi pemerintah terkait dengan pembangunan koperasi lainnya) dan apa yang seharusnya dilakukan oleh Gerakan Koperasi/Dekopin, yang berarti tidak jalan sendiri-sendiri seperti saat ini, barulah ada harapan koperasi bisa berkembang dengan baik dan normal.
    Dan siapa tahu, suatu ketika nanti mimpi Menteri Koperasi dan UKM untuk dapat memiliki koperasi besar yang masuk dalam daftar Global 300 ICA dapat terwujud. Tetapi juga harus diingat bahwa konglomerat-konglomerat koperasi yang masuk Global 300 List ICA tersebut juga dimulai dari koperasi-koperasi kecil, yang dikembangkan dengan tekun, konsisten dan berkesinambungan dalam jangka waktu puluhan tahun, bahkan beberapa di antaranya lebih dari satu abad. Bukan dengan simsalabim dalam satu malam. ●