Blog
-
Soal BBM: Tiada Jalan Lain
Soal BBM: Tiada Jalan LainA. Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PSEKP) UGM, YOGYAKARTASumber : KOMPAS, 27 Februari 2012Akhirnya ”perjuangan” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menahan harga bahan bakar minyak bersubsidi telah usai. Setelah sekian lama dikritik para pengamat dan disarankan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi demi kesehatan dan keberlanjutan fiskal, akhirnya Presiden pun memutuskan untuk menaikkan harga BBM (Kompas, 22/1/12). Kini, sedang dicarikan saat yang tepat untuk melakukannya.Di samping itu, masih diperlukan persetujuan DPR dan mengubah Undang-Undang (UU) APBN yang telanjur diputuskan untuk tidak menaikkan harga BBM tahun ini.Sayang sekali, pemerintah dan DPR telanjur membuat UU seperti itu, padahal mereka tahu kondisi perekonomian global tidak menentu. Jadi, mana mungkin berani memutuskan harga BBM tidak dinaikkan, padahal kita tidak tahu apa yang bakal terjadi di zona euro, Amerika Serikat, ataupun Iran. Bagaimana prospek ekonomi global? Semuanya serba abu-abu.Sebagai contoh, sampai hari ini kita senantiasa diliputi tanda tanya, bagaimana solusi krisis zona euro?Kegagalan EuroEkonom AS rata-rata skeptis terhadap mata uang tunggal euro. Martin Feldstein (Harvard) dengan tegas menyindir bahwa euro merupakan ”eksperimen yang gagal”. Kegagalan itu dinilainya bukan kebetulan. Artinya, sebenarnya sudah bisa diantisipasi sebelumnya (”The Failure of the Euro”, Foreign Affairs, Januari-Februari 2012).Sementara Paul Krugman (Princeton) menyarankan agar Yunani keluar dari zona euro dan membikin mata uang sendiri, yang selanjutnya bisa terdepresiasi, lalu pelan-pelan perekonomiannya pulih.Namun, ekonom lain banyak yang tak sependapat. Mantan Gubernur Bank Sentral Argentina (Mario Blejer) dan Meksiko (Guillermo Ortiz) menulis kolom di The Economist (18-24 Februari 2012) bahwa Yunani sebaiknya tidak keluar dari zona euro. Menerbitkan mata uang baru yang kemudian terdevaluasi bukan perkara gampang.Berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika Latin, khususnya Argentina pada 2002, langkah tersebut akan menyebabkan bank run. Masyarakat akan panik dan menimbulkan pelarian dana besar-besaran. Di Argentina bahkan timbul kerusuhan. Padahal, devaluasi mata uang dimaksudkan untuk mendorong daya saing. Namun, jalan menuju sana sangat tidak linier.Kedua ekonom tersebut menyarankan agar Yunani tetap menggunakan mata uang euro sambil terus menjalankan kebijakan disiplin fiskal yang ketat (austerity). Itu memang bakal menyakitkan dan menjadi perjalanan panjang, tetapi masih lebih dapat dikelola dengan baik dibandingkan dengan keluar dari zona euro.Lonjakan Harga MinyakBelum lagi krisis zona euro tertangani dengan baik—meski sudah ditolong dengan dana talangan 130 miliar euro yang bisa mengamankan utang jatuh tempo Yunani pada 20 Maret 2012—harga minyak dunia kembali naik dan mencapai puncak 106 dollar AS per barrel karena konflik Iran-AS.Ini meningkatkan kompleksitas krisis ekonomi global yang sama sekali di luar jangkauan kita untuk mengelak. Juga tidak ada jaminan, kapan konflik ini bakal berakhir sehingga kian sulit meramalkan kapan harga minyak turun.Paling-paling ekonom hanya bisa berspekulasi bahwa ”harga minyak bakal turun jika permintaan turun”. Itu sama saja berharap agar krisis ekonomi global kian memburuk. Jadi, mau tidak mau, menaikkan harga BBM memang telah menemukan urgensinya. Presiden Yudhoyono sudah tidak memiliki tabungan argumentasi untuk menundanya lagi. Sudah tidak ada jalan lain.Keputusan ini dapat mengakhiri spekulasi yang berkembang terhadap rencana pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM dan melakukan konversi energi ke bahan bakar gas (BBG) pada 1 April 2012. Rencana ini tidak realistis karena pembatasan BBM bersubsidi rawan kericuhan, sedangkan penggunaan BBG memerlukan masa transisi panjang, setidaknya tiga tahun.Upaya untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sepertinya sekadar mengulur-ulur waktu yang hanya populer secara politis, tetapi sama sekali tidak produktif secara ekonomis. Jika pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun, subsidi BBM akan mencapai Rp 150 triliun, ditambah Rp 90 triliun untuk subsidi listrik.Angka subsidi Rp 210 triliun jelas sangat tidak masuk akal dibandingkan dengan volume APBN 2012 sebesar Rp 1.418 triliun. Angka tersebut bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan dana pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur setahun. Tentu ini hal yang ironis dan tidak boleh dibiarkan berlanjut.Momentum KenaikanSekarang masalahnya adalah kapan dan berapakah harga BBM dinaikkan? Sebenarnya saat ini merupakan momentum yang tepat ketika inflasi year on year hanya 3,65 persen.Sayangnya, masih ada proses konstitusi yang harus dilalui sehingga paling cepat 2-3 pekan lagi dieksekusi. Pada saat itu, saya perkirakan inflasi juga masih cukup landai, antara 3,5 dan 4 persen. Ini masih cukup kondusif.Lalu, berapa besaran kenaikannya? Saya duga angkanya Rp 1.000 per liter karena pada angka ini kontribusi terhadap tambahan inflasi masih sekitar 1 persen. Jadi, sesudah kenaikan harga BBM, inflasi akan sekitar 5 persen. Secara ekonomi masih terjangkau (affordable), sedangkan secara politis belum memicu gejolak kerusuhan.Pemerintah juga akan memberikan kompensasi kepada masyarakat yang paling terkena dampak kenaikan harga ini melalui skema subsidi langsung. Saya usulkan agar skemanya sejauh mungkin menghindari bentuk uang tunai karena berisiko kericuhan—sebagaimana pengalaman masa lalu.Sistem kupon makanan seperti di Amerika Serikat rasanya bisa diadopsi. Di sana, setiap Jumat sore hingga malam masyarakat antre di kasir supermarket dengan membawa kupon yang bisa dibelikan bahan pokok. Ini bisa meminimalkan risiko kesalahan alokasi, misalnya dana bantuan langsung tunai (BLT) malah digunakan untuk membeli telepon seluler.Namun, bagi daerah-daerah terpencil yang infrastrukturnya buruk, skema ini barangkali sulit diterapkan. Karena itu, skema uang tunai masih relevan. Namun, di daerah yang padat penduduknya—biasanya infrastruktur perdagangan bahan pokok cukup baik—skema ini bisa diterapkan.Ke depannya, pemerintah perlu memikirkan skema lain yang memenuhi asas keadilan. Meski sudah ada skema kompensasi (misalnya BLT), tetap saja kenaikan harga BBM bersubsidi secara ”pukul rata” akan menimbulkan masalah ketidakadilan.Orang berkendaraan mobil yang sekali mengisi tangkinya 40 liter mendapatkan jatah subsidi 10 kali lipat pengendara sepeda motor yang mengisi tangkinya 4 liter. Karena itu, subsidi bagi pemilik mobil dan sepeda motor mestinya berbeda.Karena itu, saya usul agar pemerintah mulai mempersiapkan skema yang ”lebih maju” yang menyerap aspirasi keadilan. Harga BBM bersubsidi bagi sepeda motor seharusnya berbeda dengan mobil. Sama-sama bersubsidi, pemilik sepeda motor mestinya diberi ”proteksi” yang lebih besar.Memang tidak akan ada skema yang bebas komplikasi ketika diimplementasikan. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan risiko dampak kerusakan. Kenaikan harga minyak dunia, sebagaimana krisis ekonomi di zona euro, merupakan sebuah keniscayaan, di mana kita tidak bisa melarikan diri.Kenaikan harga BBM bersubsidi pasti menyakitkan. Namun, bukan hanya kita yang menderita karena ini praktis sudah menjadi ”musuh bersama” di seluruh dunia—kecuali negara eksportir minyak. Pemahaman ini harus terus dikampanyekan pemerintah agar dapat mengurangi beban psikologis masyarakat. ● -
Ekonomi Otopilot
Ekonomi OtopilotMukhaer Pakkanna, PENELITI CENTER FOR INFORMATION AND DEVELOPMENT STUDIES (CIDES); REKTOR STIE AHMAD DAHLAN, JAKARTASumber : KOMPAS, 27 Februari 2012Di beberapa lokasi strategis di DKI Jakarta dan kota-kota lain di Tanah Air, beberapa bulan terakhir terpampang spanduk: ”Negeri Auto Pilot”. Makna tersirat spanduk itu mengarah pada negeri kita yang berjalan sendiri dan arahnya tidak jelas.Negeri otopilot juga bisa dianalogikan sebagai negeri tanpa kepemimpinan yang jelas. Memang demikianlah faktanya. Bangsa Indonesia berjalan sendiri tanpa orientasi. Quo vadis?Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Chappy Hakim mengurai otopilot sebagai salah satu peralatan di pesawat terbang yang dapat membantu pilot menerbangkan pesawat.Otopilot lazimnya bekerja dengan tenaga mekanik atau elektrik atau hidrolik atau kombinasi dari ketiganya yang dapat menerbangkan pesawat tanpa dikemudikan sang pilot. Artinya, otopilot diasumsikan sebagai pilot yang menerbangkan pesawat secara otomatis. Pilot menjadi lebih relaks dan dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan lebih baik karena tinggal mengawasi dan mengecek silang pada instrumen kokpit.Minus IdeologiDengan asumsi itu, dua hal menarik ditelaah jika dikaitkan dengan gerak ekonomi nasional. Pertama, ekonomi otopilot berarti gerak ekonomi yang berjalan secara business as usual. Ekonomi yang tanpa sentuhan pemerintah pun bergerak secara otomatis.Kedua, ekonomi otopilot berarti gerak ekonomi yang tidak mementingkan makna ideologi. Yang penting, bagaimana ekonomi bergerak dan masyarakat bisa selamat. Bapak Pembangunan Ekonomi China, Deng Xiaoping, berujar, ”Tidak penting apakah kucing berwarna hitam atau abu-abu, yang penting dapat menangkap tikus.”Abainya ekonomi nasional pada makna ideologi meniscayakan hilangnya arah ekonomi Indonesia. Dengan ekonomi otopilot, kita tidak perlu lagi membangun arah ekonomi yang menjamin kemakmuran bersama. Kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-seorang.Tidak perlu lagi berorientasi menjamin hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan bersama. Maka, ideologi ekonomi konstitusi pun masuk kubur.Tidak mengherankan, persoalan perburuhan dilepas sesuai mekanisme pasar. Penentuan upah minimum regional (UMR) hanya bersifat politis dan formalistis. Politis, karena hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan politik. Formalistis, hanya karena untuk meredam gejolak buruh.Demikian juga pada soal sengketa tanah, pemerintah tidak pernah menuntaskan secara permanen, hanya eklektik. Pemerintah melakukan pembiaran untuk memperhadapkan antara pemodal kakap dan rakyat. Bahkan, dalam kondisi yang tidak simetris (asymmetric) meminjam uraian Joseph Stiglitz (2001), pemodal kerap diberi privilese oleh negara untuk melindas rakyat pemilik hak ulayat tanah.Dasar perekonomian nasional yang disusun berdasarkan usaha bersama (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood) menjadi dilupakan. Negara mengalami deteriorasi dan mandul inisiatif dalam membangun kebersamaan dan kerja sama antarpelaku ekonomi. Pemodal kakap semakin hidup eksklusif dan autis, sementara mayoritas rakyat menjerit karena kehilangan akses sumber daya ekonomi.Ekonomi TimpangMerujuk data Lembaga Penjaminan Simpanan (2011), yang dihimpun Perkumpulan Prakarsa, jumlah dana pihak ketiga di perbankan mencapai Rp 2.400 triliun pada 100 juta rekening nasabah pemodal kakap. Namun, 40 persen dari jumlah itu atau Rp 1.000 triliun dikuasai oleh 0,04 persen nasabah kakap atau 40.000 rekening. Hanya 1,3 persen rekening menguasai 75 persen dana pihak ketiga atau Rp 2.000 triliun.Sementara itu, pada paruh 2011, kekayaan 40 orang terkaya sebesar Rp 680 triliun atau setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu ekuivalen dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa paling miskin. Mengapa demikian?Hal itu terjadi karena kebijakan ekonomi tidak lagi ”disusun” sesuai makna konstitusi ekonomi nasional, tetapi dibiarkan ”tersusun” sendiri oleh mekanisme pasar. Secara imperatif negara menyusun, negara mendesain sistem kelembagaan.Kata Swasono (2010), wujud ”ketersusunan” merupakan usaha bersama berdasar mutualisme (kepentingan bersama). Di situlah sesungguhnya letak arah dan orientasi demokrasi ekonomi yang terkubur di negeri ekonomi otopilot.Negara TerlibatKerakusan ekonomi yang memangsa jiwa masyarakat miskin kian bergulir karena negara (pilot) abai. Gerak ekonomi yang rakus itu karena pilot bertindak business as usual. Tidak ada terobosan signifikan dan permanen untuk membangun serta membangkitkan spirit kebersamaan ekonomi. Nyaris semua kebijakan ekonomi hanya pemanis politik belaka.Di sisi lain, desakan ekonomi eksternal di mana Indonesia diposisikan dalam radar investasi portofolio global meniscayakan kekuatan pemodal global akan merasuk ke Indonesia. Lembaga Fitch Rating dan Moody’s Corporation telah menjustifikasi hal itu. Inilah sinyal bahwa Indonesia akan kebanjiran investasi. Hanya sayang, pergerakan investasi itu masih dipicu kekuatan korporasi berskala global.Demikian juga penguatan pasar domestik, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar dan pasar domestik potensial telah mampu menggerakkan kehidupan ekonomi. Bahkan, konsumsi domestik Indonesia lebih kokoh karena rasionya terhadap PDB mencapai 64 persen.Semua ini menandakan, ekonomi Indonesia bergerak karena dorongan kekuatan ekonomi eksternal dan konsumsi domestik. Lagi-lagi, ekonomi otopilot tampak cuek bergerak. Nyaris gerak ekonomi, semuanya diserahkan pada kekuatan pasar.Dalam kaitan itu, diperlukan re-ideologisasi ekonomi Pancasila di kalangan para pilot ekonomi (pusat dan daerah) sehingga mereka kembali ”siuman” atas kesalahan fatal kebijakan kerakusan ekonomi saat ini. Negara harus terlibat dalam membangkitkan prakarsa ekonomi dalam ruang kesederajatan dan keadilan antarpelaku ekonomi. ● -
Disagregasi Kebijakan Ekonomi Pangan
Disagregasi Kebijakan Ekonomi PanganBustanul Arifin, GURU BESAR ILMU EKONOMI PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG;EKONOM SENIOR INDEFSumber : KOMPAS, 27 Februari 2012Memasuki babak akhir bulan Februari, diskusi publik pelan-pelan bergeser pada anjloknya harga gabah petani. Sebelumnya, diskusi lebih pada melonjaknya harga pangan, terutama beras sebagai kontributor penting laju inflasi nasional.Kecenderungan pergeseran diskusi ini akan berlangsung sampai musim panen raya April-Mei karena musim hujan diperkirakan akan lebih panjang.Pemerintah sedang mempersiapkan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah yang baru sebagai perbaikan dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009 soal Kebijakan Perberasan. HPP untuk gabah kering panen diusulkan Rp 3.400 per kilogram dan HPP beras Rp 6.600 per kilogram dengan persyaratan teknis yang relatif tidak terlalu berbeda.Pada 2011, pemerintah urung merevisi angka HPP beras dan gabah walaupun telah dibahas maraton yang melibatkan akademisi, organisasi petani, dan masyarakat madani. Pertimbangan pemerintah adalah karena khawatir dampak inflatoir yang lebih buruk jika harga gabah dan beras dinaikkan. Menariknya, laju inflasi kumulatif tahun 2011 ternyata di bawah 4 persen. Laju inflasi kelompok makanan cukup rendah, yaitu 3,64 persen untuk bahan makanan dan 4,51 persen untuk makanan jadi.Dari sanalah, diskusi di tingkat akademik soal kebijakan pangan cukup krusial terhadap pandangan yang menghendaki harga pangan rendah dan yang mengadvokasi harga pangan tinggi. Perbedaan pandangan dan kepentingan merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Namun, jika perbedaan pandangan itu sampai menimbulkan perpecahan dan permusuhan, tentulah merupakan kewajiban negara menemukan titik konvergensi pada dunia nyata. HPP yang lebih rendah daripada harga pasar telah mewarnai kinerja pengadaan beras oleh Perum Bulog yang jauh dari memadai. Akibatnya, Indonesia kembali harus mengimpor beras untuk menjaga stok nasional pada kondisi ideal 1,5-2 juta ton.Impor beras yang masuk pada Februari ini, seperti yang terjadi di Lampung, tentu menimbulkan protes keras dari masyarakat serta bagi siapa pun yang bermaksud membela kepentingan dan menjaga tingkat kesejahteraan petani. Demikian sebaliknya, HPP yang ditetapkan tinggi dari harga pasar dapat menjadi salah satu pendorong melonjaknya harga kebutuhan pokok dan laju inflasi nasional, yang berdampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat.Analisis ekonometrika yang mengestimasi tingkat kasualitas antara HPP dan harga beras di pasar ternyata tidak terlalu konklusif. Pola pergerakan harga beras di pasar mengikuti kondisi penawaran dan permintaan di dalam negeri, fluktuasi harga beras di pasar global, plus dinamika psikologis masyarakat produsen dan konsumen yang juga dipengaruhi faktor non-ekonomi.Sementara itu, pola pergerakan kenaikan HPP cenderung tidak lancar, seperti tangga, tergantung pada kebijakan perberasan pemerintah. HPP bergeser secara vertikal saat Inpres Kebijakan Perberasan diumumkan, lalu melandai untuk waktu yang cukup lama, kemudian melonjak secara vertikal lagi ketika terdapat inpres baru, dan begitu seterusnya.Sementara itu, kebijakan ekonomi pangan ternyata belum mampu meningkatkan produksi dan produktivitas pangan pokok, terutama beras. Penurunan produksi beras 1,63 persen tahun 2011 seharusnya dijadikan catatan penting bagi pemerintah bahwa kebijakan ekonomi pangan cenderung bersifat agregat dan pukul rata.Pemerintah kesulitan menjelaskan secara memadai, kecuali alasan fenomena perubahan iklim ekstrem, musim hujan berkepanjangan dan musim kemarau menyengat, plus serangan hama wereng yang tidak terduga. Penjelasan tentang penurunan produksi jagung sampai 6 persen karena penurunan areal panen di sentra produksi jagung di Lampung, Jawa Timur, dan Jawa Tengah terkesan tidak profesional.Pasar komoditas pangan global sebenarnya tidak buruk dibandingkan dengan krisis pangan tahun 2008. Produksi biji-bijian dunia tahun ini diramalkan naik 3,7 persen, sedangkan cadangan pangan akhir (ending stock) juga naik 3,3 persen sehingga indeks harga menurun (FAO, November 2011).Pasar beras diramalkan naik 3,4 persen dan cadangan akhir naik 7,7 persen karena cukup banyak produsen menahan cadangan beras untuk konsumsi domestik. Akibatnya, tren harga beras naik.Dari uraian di atas, kini saatnya bagi Indonesia mulai melakukan disagregasi kebijakan ekonomi pangan agar lebih tepat sasaran. Di tingkat teori, kebijakan HPP dimaksudkan untuk menjaga kejatuhan harga gabah di tingkat petani dan menekan aneka risiko sosial-ekonomi petani.Kebijakan HPP seharusnya ditetapkan pada awal musim tanam karena akan bermanfaat sebagai sinyal penting bagi pengambilan keputusan ekonomi petani. Apalah gunanya menetapkan Inpres Kebijakan Perberasan jika musim tanam sudah selesai dan musim panen segera tiba.Kebijakan melindungi konsumen beras, terutama dari kelompok rumah tangga miskin, perlu dirumuskan khusus. Kebijakan ini perlu secara perlahan mengganti konsep kebijakan subsidi beras untuk keluarga miskin yang sudah berjalan 13 tahun. Amat tidak bijak jika pemerintah (dan Bulog) menaikkan jumlah rumah tangga sasaran sampai 18 juta atau 33 persen dari penduduk. Sementara di sisi lain, pemerintah melaporkan penurunan angka kemiskinan sampai 30 juta jiwa atau 12,5 persen dari penduduk. Di sinilah manfaatnya bahwa disagregasi kebijakan ekonomi pangan mampu meningkatkan pencapaian sasaran yang lebih spesifik, plus konsistensi kebijakan itu sendiri. ● -
SBY, Anas, dan Problem Demokrat
SBY, Anas, dan Problem DemokratSyamsuddin Haris, PROFESOR RISET LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)Sumber : KOMPAS, 27 Februari 2012Meski Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono telah bicara terkait dugaan suap dan korupsi yang melibatkan beberapa kader partai, status mutakhir partai segitiga biru itu tampaknya belum berubah. Simfoni ”hening” sejenak yang muncul ternyata tak mampu meredam gejolak internal. Mengapa?Pada mulanya para pengurus dan kader Partai Demokrat di pusat dan daerah agak tenang setelah akhirnya SBY bicara. Namun, pernyataan SBY bahwa tidak ada penonaktifan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Dewan Pemimpin Pusat Partai Demokrat masih terus terngiang-ngiang di telinga para pengurus dan kader. Pasalnya, jika harus menunggu proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi, yang bakal menggantung bukan hanya nasib sang ”Ketua Besar”, melainkan juga popularitas dan elektabilitas Demokrat pada Pemilu 2014.Apalagi, KPK tidak hanya menyidik kasus pembangunan wisma atlet yang telah mengantarkan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Cemokrat, menjadi terdakwa dan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Angelina Sondakh menjadi tersangka, tetapi juga perkara dugaan korupsi pembangunan sarana olahraga terpusat di Hambalang, Bogor.Itu artinya, jika Anas bisa lolos dari kasus wisma atlet, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam itu belum tentu lolos dalam perkara Hambalang. Karena itu, meski dari luar tampak tenang, para pengurus dan kader Demokrat sebenarnya semakin gelisah sesudah konferensi pers SBY.Tatkala soal status Anas masih diperdebatkan, kegelisahan baru muncul di jeroan Demokrat terkait status Angelina Sondakh dalam partai. Setelah dinyatakan sebagai tersangka, DPP Demokrat melalui fraksinya di DPR merotasi keanggotaan Angie dari Komisi X (bidang pendidikan, pariwisata, dan olahraga) ke Komisi VIII (agama, sosial, perempuan) kemudian ke Komisi III (hukum) DPR.Pemindahan itu ternyata menimbulkan kemarahan SBY sehingga Puteri Indonesia 2001 itu pun dikembalikan lagi ke Komisi X. Diakui atau tidak, tarik-menarik kursi Angie ini adalah refleksi adanya ”ketegangan” dalam relasi antara SBY selaku Ketua Dewan Pembina dan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.Di atas PartaiBeberapa hasil survei publik yang mengindikasikan merosotnya popularitas Demokrat di bawah Partai Golkar dan PDI Perjuangan ditengarai merupakan sumber kegelisahan internal Demokrat. Penyebab kemerosotan itu bisa jadi adalah dugaan keterlibatan sejumlah kader Demokrat dalam perkara suap dan korupsi yang didakwakan kepada Nazaruddin.Belakangan sejumlah kader partai di daerah membuka adanya indikasi politik uang di balik pemilihan ketua umum dalam Kongres Bandung. Realitas yang mencemaskan ini semestinya bisa menjadi dasar bagi SBY untuk meminta Anas mundur atau nonaktif sementara dari kepemimpinan Demokrat.Namun, harapan tak bersuara dari jajaran Demokrat itu tampaknya tak menggoyahkan SBY untuk tetap mempertahankan Anas. Ada beberapa kemungkinan mengapa sang pendiri menolak desakan bisu pelengseran Anas.Pertama, secara faktual Anas terpilih secara absah melalui Kongres Bandung (2010) dan terus merawat basis dukungannya di sejumlah daerah. Kedua, SBY mencoba konsisten dengan posisinya selama ini untuk tak mencampuradukkan perkara hukum dan persoalan politik sehingga apa boleh buat, nasib Anas harus menunggu proses hukum di KPK.Ketiga, Demokrat tampaknya belum memiliki mekanisme internal yang memungkinkan SBY, baik sebagai Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, maupun Ketua Dewan Kehormatan, menonaktifkan Anas.Di sisi lain, tak seorang pun yang berani terang-terangan menggugat keputusan SBY. Pasalnya, SBY bukan sekadar pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan juga Ketua Majelis Tinggi Partai, melainkan juga figur sen- tral yang berada ”di atas” partainya. Seperti diakui para deklarator dan pengurus, SBY adalah satu-satunya sosok pemersatu dan bahkan personifikasi partai yang diharapkan dapat menyelamatkan Demokrat dari kebangkrutan.Persaingan LegitimasiUpaya pemindahan kursi Angelina jelas bukanlah ”rotasi biasa” seperti pembelaan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah. Bagaimanapun fraksi politik di DPR, per definisi, adalah kepanjangan tangan (DPP) partai. Karena itu, rotasi Angie yang akhirnya gagal tidak hanya dapat ditafsirkan sebagai upaya Anas menyelamatkan sang ”Putri”, tetapi juga merupakan ”perlawanan” terhadap lembaga Dewan Kehormatan yang sebelumnya telah merekomendasikan pemecatan Angie sebagai Wakil Sekjen.Kemarahan SBY timbul karena DPP lebih sibuk mengurusi rotasi Angie ketimbang menindaklanjuti rekomendasi Dewan Kehormatan untuk memberhentikan Angie dari jabatan wakil sekjen.Persaingan legitimasi antara Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum Partai Demokrat ini jelas tidak menguntungkan Demokrat dalam upaya membangun kembali kepercayaan publik yang selama ini dijaga oleh SBY melalui sejumlah klaim prestasi pemerintah dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, menjaga stabilitas moneter, meningkatkan cadangan devisa, dan mengurangi proporsi utang terhadap total produk domestik bruto negara kita yang terus meningkat. Jika Demokrat terus terpenjara oleh ketidakjelasan status hukum Anas, sementara pada saat yang sama publik telanjur memvonisnya ”bersalah”, tak mustahil popularitas partai akan terus anjlok hingga menjelang saat-saat persiapan Pemilu 2014.Karena itu, satu-satunya pilihan bagi Anas untuk menyelamatkan Demokrat adalah mengembalikan mandat kongres dengan cara mundur sementara dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Demokrat memang belum mengatur soal ini. Namun, jika Demokrat menyelenggarakan kongres luar biasa seperti dimungkinkan oleh Pasal 100 AD/ART, antara lain, atas permintaan Majelis Tinggi Partai, bisa jadi lebih berisiko dibandingkan dengan jika Anas mundur sementara secara ksatria dari posisi ketua umum.Friksi internal partai yang saat ini relatif tak tampak di permukaan justru bisa ”meledak” dan jadi bumerang bagi upaya konsolidasi partai jika kongres luar biasa jadi pilihan Demokrat.Sebagai figur sentral partai yang juga menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai, institusi tertinggi partai di bawah kongres, SBY sebenarnya bisa mendesak Anas mundur sementara dari posisinya sebelum Demokrat benar-benar bangkrut secara politik akibat skandal korupsi wisma atlet. Hanya saja, pertanyaannya, apakah masih ada ruang komunikasi antara SBY dan Anas, jangan-jangan kalangan internal Demokrat pun tak bisa menjawabnya.Karena itu, pelajaran amat berharga yang bisa dipetik dari problem internal Partai Demokrat adalah betapa sulit mengelola dan menggunakan kekuasaan secara benar dan bertanggung jawab. Para politisi kita bisa berkoar tentang pemerintahan yang bersih ataupun pemberantasan korupsi. Para elite parpol juga bisa berdusta, membohongi diri sendiri, publik, ataupun pengadilan. Mereka acapkali alpa, di luar pengadilan Tuhan, rakyat yang terdustai sesungguhnya memiliki mekanisme ”peradilan” sendiri yang bisa lebih menyakitkan dibandingkan dengan lembaga peradilan formal. ● -
Terobosan Dua Penyandang Cacat
Terobosan Dua Penyandang CacatDahlan Iskan, MENTERI BUMNSumber : JAWA POS, 27 Februari 2012Bukan karena merasa sama-sama sebagai “penderita cacat organ” kalau saya dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto sering membuat kesepakatan. Berbagai terobosan memang harus kami buat berdua. Terutama untuk mengatasi banyak masalah infrastruktur. Saya memang sesekali bertanya soal operasi jantung kepadanya. Beliau juga sesekali bertanya mengenai operasi ganti hati kepada saya. Tapi, kami lebih sering berbicara mengenai bagaimana bisa mewujudkan jalan tol dengan cepat. Beliau adalah pemegang regulasi jalan tol, sedangkan BUMN memiliki perusahaan jalan tol seperti PT Jasa Marga (Persero) Tbk.Untuk mewujudkan jalan tol dari Semarang ke Solo, misalnya. Kami berdua membuat terobosan yang belum pernah terjadi. Ruas tol Semarang-Ungaran memang sudah selesai dikerjakan. Lalu Jasa Marga kini juga mengerjakan ruas Ungaran-Bawen yang akan selesai awal tahun depan.
Tapi, bagaimana dengan ruas Bawen-Solo?
Menurut perhitungan bisnis, ruas Bawen-Solo belum menguntungkan. Perlu subsidi negara sampai Rp 1,9 triliun. Tapi, sungguh sulit mendapatkan suntikan uang dari pemerintah sebesar itu. Bahkan, mendekati mustahil. Menteri Keuangan sangat keras dalam mendisiplinkan fiskal. Melihat gelagat itu saya memilih mencari jalan memutar. Saya minta Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik Kementerian BUMN Sumaryanto Widayatin menemukan jalan keluar, meski harus agak memutar.
Akhirnya jalan memutar itu ditemukan. Syaratnya, saya harus membicarakannya dengan Menteri PU. Intinya adalah: Jasa Marga bisa mengerjakan jalan tol Bawen-Solo kalau bisa mendapat izin dua jalan tol lainnya. Yakni, jalan tol sepanjang 3 km dari Daan Mogot ke Cengkareng dan jalan tol dari Kawasan Berikat Nusantara ke Pelabuhan Tanjung Priok. Kalau izin itu bisa diberikan, keuntungannya banyak sekali. Jalan tol Semarang-Solo langsung bisa dikerjakan dan kemacetan ruas Daan Mogot ke Cengkareng serta keruwetan kawasan industri sekitar Bekasi ke Tanjung Priok juga terurai.
Menteri PU langsung merespons dengan cepat. Bahkan, kini deputi saya yang dikejar-kejar untuk segera memproses persyaratannya. Di depan Presiden SBY saya mengemukakan (dan didengar oleh Menteri PU serta menteri lain) bahwa bottle neck pembangunan jalan tol Semarang-Solo bisa diselesaikan dengan pola “CD bajakan sepuluh ribu tiga”. Dua ruas yang “gemuk” dipaketkan dengan satu ruas yang “kurus”.
Pola “CD bajakan sepuluh ribu tiga” ini merupakan kesepakatan kedua saya dengan Menteri PU. Yang pertama adalah pembangunan jalan tol di Bali. Yakni, jalan tol yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai yang baru ke kawasan wisata Nusa Dua melalui atas laut. Jalan tol di Bali itu akan menjadi jalan tol di atas laut yang pertama di Indonesia. Di tengah laut nanti ada interchange-nya yang meliuk-liuk. Kini jalan tol Bali itu dikerjakan dengan kecepatan tinggi. Dua belas bulan lagi akan bisa dinikmati. Proyek ini tidak bisa berjalan kalau tidak ada terobosan yang kuat antara Menteri PU, Gubernur Bali, dan Kementerian BUMN.
Kemarin malam saya dan Pak Djoko Kirmanto membuat kesepakatan baru lagi. Kali ini untuk menerobos Sumatera. Sudah lebih 10 tahun para gubernur di Sumatera menuntut segera dimulainya pembangunan jalan tol sepanjang pulau itu. Sumatera akan menjadi pulau yang memberikan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa kalau listrik tercukupi dan jalan tol dibangun besar-besaran.
Minggu lalu saya bertemu gubernur seluruh Sumatera. Tuan rumahnya Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Kami kemukakan bahwa beberapa terobosan sedang dilakukan di Jateng dan Bali. Mestinya terobosan yang sama bisa dilakukan di Sumatera.
Para gubernur di Sumatera memang memiliki kemampuan keuangan lebih besar daripada provinsi lain. Mereka juga ngebet ingin membangun konektivitas di antara provinsi di Sumatera. Maka, kami tawarkan untuk bersama-sama mulai membangun jalan tol di seluruh Sumatera. Tentu banyak ruas di Sumatera yang secara bisnis masih kurang menguntungkan. Tapi, tidak boleh perhitungan bisnis tersebut menghambat pembangunan.
Yang kami tawarkan adalah membangun perusahaan patungan antara Jasa Marga dan setiap pemda di Sumatera. Akhirnya dalam rapat yang hanya tiga jam itu disepakati banyak hal. Misalnya, kesamaan pandangan bahwa pembangunan jalan tol belum bisa menguntungkan pihak Jasa Marga, tapi sangat menguntungkan wilayah provinsi yang dilewati. Karena itu, beban berat tersebut harus dipikul bersama antara Jasa Marga dan pemda. Caranya, pemda membebaskan tanah dan mencadangkan sejumlah kawasan di sepanjang jalan tol. Kawasan itulah yang kelak dikelola bersama untuk sebuah proyek bisnis di masa depan.
Hari itu juga kami sepakati pembentukan PT Jasa Marga Lampung, PT Jasa Marga Sumsel, PT Jasa Marga Jambi, PT Jasa Marga Riau, PT Jasa Marga Sumbar, PT Jasa Marga Sumut, dan PT Jasa Marga Bengkulu. Jasa Marga memegang saham mayoritas di setiap perusahaan itu. Sedangkan pemda memegang sejumlah saham yang besar kecilnya ditentukan oleh kemampuan daerah.
Terobosan ini segera saya komunikasikan kepada Menteri PU. Beliau pun segera mengamini. Tinggal urusan administrasi yang harus dipersiapkan. Dalam kesempatan menghadap Presiden SBY Jumat siang lalu, terobosan di Sumatera ini juga saya sampaikan. Tentu presiden sangat menghargai kerja sama antara BUMN dan Kementerian PU seperti ini. Secara bergurau presiden menambahkan: kapan dibangun PT Jasa Marga Pacitan?
Di bagian akhir kesepakatan Palembang itu dikonkretkan pula jalan tol mana saja yang akan dibangun. Di Lampung akan dibangun mulai Bakauheni sampai Bandar Lampung ditambah tol di dalam kota. Lalu tol yang menuju Sumsel. Di Sumsel sendiri ditentukan jalur dari Palembang ke Prabumulih, Palembang-Siapi-api, dan Palembang ke perbatasan Jambi.
Di Jambi dibangun jalan tol dari perbatasan Sumsel ke Kota Jambi. Juga dari Kota Jambi ke Tanjung Jabung. Di Riau jalan tol dibangun dari Pekanbaru ke Dumai dan Pekanbaru ke Palalawan. Di Sumbar dibangun jalan tol dari Padang ke Padang Panjang dan langsung ke Bukittinggi terus sambung ke perbatasan Riau. Di Sumut jalan tol dibangun dari Medan ke Tebing Tinggi dan terus ke Kuala Tanjung. Juga dari Medan ke Binjai.
Jumat sore lalu saya langsung ke Semarang. Di perkebunan kopi Banaran, kami mengumpulkan para manajer dari 10 pabrik gula yang paling sulit di Indonesia. Ini sebagai kelanjutan dari acara bahtsul masail kubro di Surabaya sebulan sebelumnya. Sampai menjelang tengah malam kami bahas bagaimana 10 pabrik tersulit itu bisa keluar dari ‘asfalas safilin’!
Problem pokok pabrik gula adalah di pertanyaan yang mendasar ini: di manakah gula itu dibuat?
Orang awam tentu menjawab: gula dibuat di pabrik gula!
Itu salah!
Yang benar, gula itu dibuat di sawah!
Tanaman tebu yang semula kecil tumbuh menjadi besar lalu berisi gula. Ada tebu yang gulanya sedikit, ada tebu yang gulanya banyak. Bergantung pada bibit, cara tanam, pemeliharaan, pemupukan, dan seterusnya. Di sinilah ditentukan banyak sedikitnya gula akan diproduksi. Walhasil, pabrik-pabrik gula harus kembali memperhatikan tata cara penanaman tebu yang benar.
Pabrik gula bukanlah pembuat gula. Pabrik gula justru hanya membuang gula. Kadar gula dari sebatang tebu yang, katakanlah 1 kg, setelah digiling hanya keluar gula 0,6 kg. Bukankah ini berarti tugas pabrik gula justru hanya mengurangi gula?
Malam itu, di Banaran, para manajer 10 pabrik gula ‘asfalas safilin’menyepakati untuk back to basic. Tanaman tebu diperhatikan dan efisiensi pabrik ditingkatkan.
Paginya, setelah ke Universitas Negeri 11 Maret Solo dan Universitas Muhammadiyah Solo, saya menuju Bantul dan Gunung Kidul. Saya diajak melihat program peningkatan produksi beras yang dilakukan dengan model korporasi. Pelaksananya PT Sang Hyang Seri, salah satu BUMN pangan kita.
Di sawah di Bantul inilah untuk kali pertama saya mengemudikan mesin panen padi. Begitu cepat panen padi dengan menggunakan mesin. Rasanya seperti di Amerika Serikat saja. Sore itu kami berdiskusi dengan para petani. Ternyata sudah begitu berubah cara berpikir petani kita. Mereka serba menginginkan modernisasi. Mereka minta traktor, mesin panen, mesin perontok gabah, mesin bloweruntuk menghilangkan gabuk, dan mesin pengering gabah.
Berbeda sekali dengan ketika saya sering kerja di sawah saat masih remaja dulu. Saya biasa ndaud benih, mencangkul di sawah, nggaruk, dan memegang ani-ani untuk panen. Kembali ke sawah di Bantul kali ini saya melihat kita semua, para pelayan petani, harus berubah pikiran secara total: petani kita sudah menghendaki modernisasi yang paripurna.
Kini BUMN memang memiliki tiga program besar di bidang pangan: Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K), Proberas, dan Food Estate. GP3K adalah program bantuan untuk petani agar bisa mendapatkan benih unggul, pupuk yang cukup, dan obat hama yang diperlukan. Bantuan itu dikembalikan pada saat panen. Istilahnya yarnen (bayar saat panen).
Proberas adalah program untuk menampung sawah-sawah petani yang kurang produktif. Kini banyak petani yang hanya mengusahakan sawahnya dengan hasil 5,1 ton/ha. Daripada seperti itu lebih baik sawahnya diserahkan ke BUMN. Targetnya, BUMN akan mengerjakannya secara intensif dan akan menghasilkan sekitar 6,7 ton/ha. Petaninya untung, negara pun memiliki produksi beras yang cukup. Sedang program Food Estate adalah pembukaan sawah baru 100.000 ha di Kaltim, yang kini dalam tahap persiapan pengadaan lahan.
Terobosan memang harus banyak dibuat. Di jalan tol maupun di sawah-sawah. ●
-
BBM dan Perampokan SDA
BBM dan Perampokan SDAAhmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS BRAWIJAYA SERTA DIREKTUR EKSEKUTIF INDEFSumber : JAWA POS, 27 Februari 2012JIKA kita menoleh ke belakang, sejarah kenaikan harga minyak (BBM) di Indonesia adalah kisah rendahnya kredibilitas hitungan statistik berhadapan dengan realitas di lapangan. Ambil saja kasus kenaikan harga BBM pada 2005, kala pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak dua kali, yaitu Maret dan Oktober 2005 (rata-rata naik sekitar 110 persen).Untuk menghindari lonjakan jumlah orang miskin, disiapkan skema dana kompensasi (BLT) yang diberikan kepada sekitar 36 juta rakyat miskin dengan total dana Rp 17,9 triliun. Lembaga kajian ekonomi dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia diminta membuat simulasi atas skema kebijakan tersebut dan menghasilkan kesimpulan: Penduduk miskin akan berkurang dari 16,7 persen menjadi tinggal 13 persen. Pemerintah yakin betul dengan kajian (yang sumir) tersebut sehingga abai terhadap kritik atas akurasi simulasi itu.
Sejarah menyimpan warta: Pada awal 2006 jumlah orang miskin melonjak menjadi 39,05 juta (17,75 persen) gara-gara inflasi yang meroket hingga mencapai 17,11 persen.
Legitimasi Etis
Dalam kasus kenaikan harga BBM tersebut, mengapa simulasi statistik atau model ekonometrik tidak sanggup memprediksi secara akurat? Jawabannya sederhana: Pemerintah tidak dapat mengisolasi secara meyakinkan perembetan kenaikan harga BBM terhadap komoditas-komoditas lain, entah makanan, transportasi, pendidikan, pakaian, dan lain-lain.
Apakah penjalaran semacam itu tidak dapat diestimasi? Sebetulnya bisa selama struktur pasar (distribusi) sehat, faktor spekulasi dianggap absen, dan infrastruktur bagus. Tapi, tiga asumsi tersebut tidak ada di sini, di mana struktur pasar sangat oligopolis (khususnya komoditas pertanian), spekulasi menjadi tradisi, dan ketersediaan infrastruktur sangat parah.
Implikasinya, model ekonometrik secanggih apa pun dipastikan meleset karena tidak mampu menginternalisasikan kejadian-kejadian di luar asumsi. Pada kasus 2005 tersebut APBNP II memprediksi inflasi hanya 8,6 persen, tapi dalam realitasnya melesat menjadi 17,11 persen (inflasi 2004 sendiri sebesar 6,4 persen).
Berikutnya, kenaikan harga BBM selalu dikaitkan dengan keselamatan fiskal, seolah-olah jika subsidi dipangkas secara otomatis anggaran fiskal akan sehat. Sepintas, logika itu mungkin benar. Sebab, bila subsidi BBM dikurangi (yang dianggap selama ini hanya dinikmati golongan berpendapatan menengah ke atas), ruang fiskal terbuka lebar untuk pembangunan lain, misalnya belanja modal dan sosial.
Mari kita lihat lagi dari kasus 2005 itu. Akibat kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi 2005 mengalami kontraksi menjadi 5,6 persen. Padahal, seandainya kenaikan BBM tidak terjadi, pertumbuhan ekonomi minimal bisa 6,5 persen. Saat itu tercatat sektor pertanian; industri pengolahan; listrik, gas, dan air bersih; perdagangan; hotel dan restoran; keuangan; persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa peranannya menurun terhadap PDB (BPS, 2006). Kesimpulan generik: Jika dibuat neraca, penghematan fiskal yang diperoleh jauh lebih kecil ketimbang penurunan pergerakan ekonomi secara keseluruhan.
Terakhir, setiap kebijakan publik harus mendapatkan dua pasokan legitimasi sekaligus: etis dan pragmatis. Legitimasi etis berkaitan dengan ketiadaan konflik kepentingan dan noda masalah di sekitar objek kebijakan publik. Sementara itu, legitimasi pragmatis bersinggungan dengan argumentasi praktis untuk memecahkan masalah sedini mungkin.
Dalam soal kenaikan harga BBM, itu secara pragmatis mungkin bisa dibenarkan. Sebab, harga minyak internasional melambung dan subsidi membengkak jika tidak ditempuh opsi kenaikan harga BBM. Tapi, di balik itu sebetulnya ada perkara etis yang menumpuk. Antara lain, perampokan sumber daya alam (SDA) dan mafia minyak yang tidak terjamah selama ini.
Bayangkan, kita meributkan duit Rp 120 triliun untuk subsidi minyak padahal pemerintah tiap tahun mengeluarkan uang dalam jumlah yang sama cuma untuk membayar cost recovery perusahaan eksplorator minyak (yang didominasi asing). Pertanyaannya, apakah etis seluruh lapisan rakyat diminta menanggung beban atas kekhilafan/dosa pemerintah dan pesta pora para cukong/bandar/mafia minyak?
Perburuan Rente SDA
Dengan mendeskripsikan pokok soal tersebut, saya sebetulnya hanya ingin menyampaikan dua pesan. Pertama, jika benar nanti kebijakan kenaikan BBM dilakukan, pemerintah jangan naif memercayai bahwa kenaikan inflasi hanya akan di bawah 1,5 persen (bila premium naik sekitar Rp 1.500 per liter). Pemerintah mesti menyadari bahwa struktur pasar distribusi, situasi para spekulan, dan keadaan infrastruktur hari ini persis sama dengan kondisi 2005. Kapasitas birokrasi untuk mengatasi soal-soal itu dalam jangka pendek (apalagi dalam waktu sebulan jika memang kenaikan harga BBM dilakukan awal April 2012) nyaris nol persen.
Pemerintah harus jujur mengatakan berapa inflasi yang realistis bakal terjadi dan kemungkinan lonjakan kemiskinan gara-gara kebijakan tersebut. Bukan masanya lagi rakyat dibuai dengan ramalan statistik yang tidak masuk akal sambil tentu saja pemerintah menyiapkan skema kompensasi yang lebih cerdas, beradab, implementatif, dan tidak memunculkan perburuan rente baru.
Kedua, seandainya kebijakan kenaikan harga BBM jadi dieksekusi, pemerintah memanggul tugas mahapenting: menyelesaikan persoalan yang terkait dengan legitimasi etis itu. Pada saatnya rakyat pasti akan paham bahwa harga minyak murah tidak lagi bisa dipertahankan karena cadangan SDA yang menipis dan harga minyak internasional yang melambung (sementara Indonesia menjadi net importer). Tapi, meminta rakyat mafhum atas situasi itu tanpa mengatasi praktik mafia minyak dan perampokan masif SDA (oleh asing maupun predator domestik) serta membiarkan perburuan rente di sektor pertambangan sama halnya dengan menggencet hak hidup rakyat.
Argumen kenaikan harga BBM demi anggaran fiskal yang sehat dan mengurangi subsidi kepada orang kaya menjadi patah dan sebatas dongeng pengantar tidur bila pasokan legitimasi etis tidak cepat didapat. Kontrak seperti itu yang harus disodorkan kepada pemerintah untuk ditandatangani. Jika tidak bersedia, kenaikan harga BBM sudah sepantasnya ditolak! ●
-
Membangkitkan Manisnya Industri Gula
Membangkitkan Manisnya Industri GulaFerry Is Mirza, PEGIAT TRI 1980-1987 DI JEMBERSumber : JAWA POS, 27 Februari 2012PADA 1975-an, meski termasuk negara yang baru membangun, Indonesia mampu menjadi produsen gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Namun, kini Indonesia justru menjadi bangsa penerima (pengonsumsi) gula impor dan rafinasi. Ironis. Kenapa dan mengapa bisa demikian?Pada masa Orba, kurun waktu 1975-1987, negara kita bisa swasembada gula. Bahkan, Indonesia menjadi pengekspor gula ke beberapa negara kawasan ASEAN dan Asia. Petani tebu yang menjadi pemasok utama bahan baku gula mengalami peningkatan pendapatan/kesejahteraan. Itulah masa keemasan tebu rakyat intensifikasi (TRI).
Hal itu bisa terjadi karena pemerintahan Orba punya perhatian serius dan konsep yang jelas tentang industri gula. Untuk merealisasikannya, Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan Inpres 9/1975 tentang TRI. Tegas dan jelas dua tujuan yang ingin dicapai dalam program Inpres 9/1975. Yaitu meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani dan swasembada gula nasional.
Dalam pelaksanaan Inpres 9/1975, tingkat pusat sampai daerah berjalan sinkron. Maping luas lahan dan kategori tanaman di setiap provinsi, kota/kabupaten, hingga per wilayah pabrik gula (PG) terukur. Untuk Jawa Timur yang memiliki banyak PG ditetapkan sebagai lumbung gula nasional.
Garis komando dan koordinasi tertata rapi. Sistem dan administrasi manajemennya berjalan efektif. Menteri bertugas membuat pakta integritas dan koordinasi melalui SKB (surat keputusan bersama). Yaitu menteri koperasi/kepala bulog (saat itu), menteri keuangan, menteri pertanian, serta menteri perindustrian dan perdagangan.
Di kota/kabupaten dibentuk satuan pelaksana bimbingan masyarakat yang disingkat satpel bimas TRI. Di tingkat provinsi, satpel diketuai gubernur. Wali kota/bupati jadi ketua di kota/kabupaten. Pelaksana teknis dan pengawas di lapangan ditangani satuan tugas satu atap (satgas satap) yang terdiri atas unsur puskud (pusat koperasi unit desa), bulog/dolog, BRI, pabrik gula (PG), serta PPL pertanian.
Petani TRI yang kala itu terhimpun dalam koperasi unit desa (KUD) mendapatkan fasilitas kredit dari BRI sesuai dengan lahan yang dimiliki. Misalnya, lahan sawah disebut TRI-S, lahan tegalan TRI-T, lahan bebas TRI-B, serta lahan PG TRI-P.
Kredit yang didapat petani TRI bisa digunakan untuk sekali musim tanam, yang mencakup biaya saprotan (bibit dan pupuk), tebang-angkut, serta ongkos kerja. Selain itu, petani diberi biaya hidup atau COL (cost of living) selama menunggu panen. Besarannya bergantung luas dan jenis lahannya, sawah atau tegalan. Untuk petani TRI (B), yang membiayai pengusaha atau penyewa lahan. Nah, TRI (P) dibiayai PG.
Karena sistem dan administrasi manajemen berjalan, koordinasi dari pusat sampai daerah sinkron. Tidak banyak kredit macet atas TRI. Pengembalian kredit langsung dipotong melalui perhitungan dari DO gula masing-masing petani. Perhitungan dilakukan satgas satap. Setelah itu, petani bisa mencairkan pendapatan di BRI.
Pendapatan petani TRI kala itu berada di atas rata-rata. Karena petani mendapatkan hasil gula yang sangat memadai, yakni 70 persen, sisanya menjadi bagian PG sebagai ongkos giling.
Kenapa bisa pendapatan/kesejahteraan petani meningkat? Sebab, kuantitas tebu yang dihasilkan per hektare cukup besar dengan rendemen paling rendah 8 persen. Artinya, setiap 100 kilogram tebu menghasilkan 8 kilogram gula. Kini, menurut anggota DPRD Jatim Anna Luthfie, rendemen berkisar 5,5-6 persen.
Faktor rendemen adalah hal penting dalam industri gula. Makin rendah rendemen, makin tak produktif.
Menyimak keberhasilan program Inpres 9/1975 di atas, tidak ada salahnya bila pemerintah mau kembali ke khitah untuk membangun industri gula nasional demi kemakmuran bangsa. Wajib dilakukan revitalisasi PG yang kebanyakan bangunan dan mesin produksinya peninggalan zaman Belanda.
PG sebagai perusahaan BUMN harus dikelola secara profesional. Perusahaan tidak lagi berkultur kolonial, mesti berorientasi bisnis dan adaptif. Penyediaan luas lahan harus setara dengan serapan produksi setiap PG di setiap wilayah/daerah.
Untuk mewujudkan itu, perlu sinergi antar kementerian terkait dan sosialisasi program TRI kepada petani. Tentu, dengan semangat kerja, kerja, kerja dan mengedepankan integritas, serta daya antusias, bukanlah mustahil pada 2014 kita mampu swasembada gula. Malu rasanya bila gula impor dan rafinasi masih kita konsumsi. Padahal, negara kita (tetap) negara agraris! ●
-
Rantai Korupsi Politik, ke Mana Ujungnya?
Rantai Korupsi Politik, ke Mana Ujungnya?Dewi Aryani, KANDIDAT DOKTOR UNIVERSITAS INDONESIA,ANGGOTA DPR RI FRAKSI PDI PERJUANGANSumber : SINDO, 27 Februari 2012Terungkapnya berbagai kasus korupsi yang dilakukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini semakin membuktikan bahwa korupsi sudah menjadi budaya yang terlegitimasi di Indonesia.
Menyedihkan. Betapa tidak,DPR adalah lembaga negara yang memegang kedaulatan rakyat, tempat harapan setiap warga negara untuk mewujudkan tujuan bernegara.Tentu saja tidak semua anggota Dewan berperilaku korup, tetapi berbagai kasus tersebut akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya keberadaan negara.Politik, Birokrasi, dan Hukum
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa korupsi di Indonesia terjadi dalam tiga locus utama yaitu politik, birokrasi, danhukum.Diketiga locus tersebut korupsi tidak bersifat mandiri,sendirian,tetapi saling berkelindan satu dengan lainnya. Tidak mengherankan jika kasus dugaan korupsi yang dituduhkan kepada sejumlah anggota Dewan juga melibatkan pejabat birokrasi dan pejabat penegak hukum.
Kondisi ini bukan hanya mempersulit proses pemberantasan korupsi, tetapi benar-benar telah membentuk kejahatan korupsi yang terlembaga melalui organorgan negara. Korupsi yang terjadi di DPR dilakukan dalam produk peraturan perundang-undangan yang sah sebagai kebijakan negara (corruption by policy).
Korupsi yang seperti ini jelas akan membunuh cita-cita dan tujuan bernegara. Korupsi tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran etika individual, tapi hanya sebuah pelanggaran etika sosial sebagai kesepakatan umum. Para pejabat negara (anggota Dewan, birokrat, penegak hukum) tidak merasa bahwa korupsi merupakan pelanggaran etika individual yang harus dihindari.
Berkembangnya sikap semacam ini semakin berbahaya jika terjadi di kalangan anggota Dewan dan berkait dengan pejabat birokrasi dan penegak hukum. Korupsi yang terjadi di DPR bukanlah faktor individual semata. Korupsi terjadi secara sistemik dan berada dalam relasi sistem yang kompleks sehingga upaya memutus mata rantai korupsi di DPR tidak dapat dilakukan secara parsial dan mungkin juga tidak dalam waktu yang singkat.
Ada empat faktor yang saling berkorelasi dan bisa menjelaskan terjadi korupsi di DPR. Pertama adalah faktor mental politik yang membentuk sikap mental,pola pikir, etika, dan perilaku anggota Dewan. Faktor ini sangat fundamental karena akan memengaruhi penilaian seorang anggota Dewan mengenai korupsi sebagai pelanggaran individual dan sosial.
Mental Politik
Sikap mental politik anggota Dewan yang baik hanya bisa dilahirkan oleh sebuah sistem partai politik yang memiliki meritokrasi politik. Selama partai politik di Indonesia tidak memiliki ideologi yang kuat—yang menentukan boleh tidaknya suatu keputusan dan perbuatan dilakukan— dan tidak memiliki sistem proses kaderisasi yang memadai,selama itu pula pola pikir, etika, dan perilaku anggota sulit untuk dikontrol.
Pada sisi lainnya,sikap mental anggota Dewan yang menjadikan DPR sebagai tempat untuk mencari nafkah jelas tidak harmoni dengan tujuan dan tuntutan etika demokrasi. Sikap mental mencari nafkah ini bergelayut dengan ideologi parpol yang kedodoran, yang senantiasa menjadikan anggota Dewan sebagai mesin ATM partai politik.
Seruan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri bahwa kader PDIP harus menjadi pelopor pemberantasan korupsi harus diacungi jempol. Upaya DPP PDI Perjuangan menyelenggarakan pendidikan politik patut diapresiasi dan seharusnya menjadi cambuk bagi partai politik lainnya.
Pendidikan politik bisa menjadi salah satu pintu masuk perbaikan (juga transformasi) mental model para politisi dan pemantapan ideologi, serta mengembalikan empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI) menjadi nafas berbangsa dan bernegara. Faktor berikutnya yang memengaruhi korupsi di DPR adalah faktor struktural. Bekerjanya korupsi di DPR adalah fungsi ketidaksetaraan relasi antara sistem birokrasi dan sistem politik.
Proses pembentukan undangundang dan persetujuan politik lainnya selalu menempatkan posisi tawar DPR yang lebih kuat dibandingkan posisi pemerintah yang diwakili oleh para menteri dan pejabat birokrasi. Meskipun harus diakui, jika proses pembentukan undangundang dianalogikan berada dalam sebuah “pasar’,DPR adalah pasar yang besar (gigantic market) tempat bertemunya transaksi ekonomi politik antara anggota-anggota Dewan dengan para menteri, pejabat-pejabat eselon I dan II di kementerian.
Karena kedudukan dan posisi tawar pemerintah biasanya lebih lemah, membayar mahal harga sebuah undangundang dan keputusan politik kepada anggota Dewan adalah hal lazim -dan mungkin harus dilakukan. Pertanyaan yang harus diajukan lebih lanjut, mengapa kedudukan dan posisi tawar pemerintah lebih rendah dibandingkan DPR.Tidak sulit untuk mencari jawaban terhadap hal tersebut.
Pertama, reformasi birokrasi yang tidak pernah berjalan secara optimal menyebabkan paradigma “proyek” dalam pembentukan undangundang masih mendominasi cetak pikir dan perilaku para pejabat birokrasi. Kedua, persetujuan anggaran untuk birokrasi tidak bisa tidak harus dilakukan oleh DPR. Gigantic market DPR adalah pasar yang tidak sempurna dan menyebabkan korupsi dalam pembentukan undang-undang, persetujuan anggaran,dan berbagai persetujuan lainnya.
Dalam banyak kasus dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan seringkali persetujuan DPR berada dalam relasi kompleks yang berpotensi menyebabkan korupsi. Ketiga, faktor instrumental. Proses pembentukan undang-undang seringkali tidak memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Setiap kementerian berlomba- lomba untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Demikian pula DPR tidak kalah lajunya melakukan hal ini. Grand design penyusunan undang-undang tidak memiliki visi, arah pertumbuhan, dan keterkaitan satu sama lainnya. Jadi ke manakah rantai ujung korupsi?
● -
Penyakit dan Kesejahteraan
Penyakit dan KesejahteraanZaenal Abidin, KETUA UMUM TERPILIH PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI)Sumber : SINDO, 27 Februari 2012Negara yang mempunyai status kesehatan rendah akan mengeluarkan biaya sangat besar untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit rakyatnya.Demikian halnya, negara yang memiliki status kesehatan rendah, policy pemerintahnya dalam mengalokasikan anggaran kesehatan cenderung melihat biaya dan belanja kesehatan sebagai konsumsi,bukan investasi.
Negara tersebut akan cenderung berkutat di “hilir” dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakatnya.Mereka sibuk membangun rumah sakit, melengkapi dengan peralatan sangat mahal,lalu menganggap upayanya dalam menanggulangi masalah kesehatan rakyat sudah benar. Badan kesehatan dunia WHO pada 2004 melaporkan bahwa Indonesia memiliki status kesehatan yang lebih rendah dibandingkan negaranegara Asia Tenggara lainnya, bahkan lebih buruk dibandingkan Vietnam.Pada 2000,WHO juga mengemukakan bahwa kinerja sistem kesehatan Indonesia berada pada urutan ke- 92. Hal ini berarti Indonesia berada pada posisi yang jauh lebih rendah dari Malaysia (49),Thailand (47),dan Filipina (60).Rendahnya kinerja sistem kesehatan Indonesia sangat berkorelasi dengan rendahnya belanja kesehatannya. Secara nominal alokasi anggaran Kementerian Kesehatan Indonesia memang meningkat setiap tahun.
Dalam UU tentang APBN 2011, anggaran kesehatan di luar komponen gaji sebesar Rp25,75 triliun atau 1,94 % dari total APBN 2011. Sedangkan pada 2012,Kementerian Kesehatan mendapatkan anggaran sebesar Rp29,9 triliun.Walau demikian, anggaran ini masih di bawah 5% dari APBN di luar gaji,sebagaimana yang diamanatkan Pasal 171 (1) UU Nomor 36 tentang Kesehatan Tahun 2009 dan sesuai standar WHO tentang pembiayaan kesehatan suatu negara.
Rendahnya pembiayaan kesehatan suatu negara merupakan salah satu petunjuk rendahnya komitmen pemerintah dan lemahnya kebijakan sosial bidang kesehatan.Berarti pula bahwa tidak ada yang gratis untuk pemenuhan kesehatan rakyat. Para penggiat sektor kesehatan masih harus berjuang keras agar pembiayaan kesehatan rakyat banyak dapat terpenuhi sebagaimana janji peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesalahan Berpikir
Persoalan semakin menjadi- jadi ketika kesehatan hanya dipahami secara statis, terbatas pada keadaan “sehat dalam arti tidak sakit” dan “sakit dalam arti tidak sehat”. Tingkatan keadaan sehat atau sakit kurang dimengerti. Upaya peningkatan kualitas kesehatan yang mestinya dilakukan pada waktu sehat kurang diperhatikan. Sisi sehat dari pembangunan kesehatan kurang mendapat tempat.
Padahal pemeliharaan kesehatan , mencegah penyakit, nilainya jauh lebih mulia dan lebih baik dibanding mengobati orang sakit. Di Indonesia, orang sakit tidak sampai 15% dari populasi. Sisanya orang sehat, yang bila tidak mendapat perhatian, sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit. Mayoritas orang yang sehat inilah yang mestinya secara seimbang menjadi fokus pembangunan kesehatan agar mereka tetap sehat dan produktif.
Di sinilah letak kesalahan berpikir saat ini. Kesehatan melulu dilihat sebagai soal pengobatan, bukan mempertahankan agar rakyat tetap sehat atau mencegah penyakit. Akibat itu, kesehatan belum dihitung sebagai investasi dan pembangunan kesehatan tidak dipandang sebagai tabungan. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pemerintah pusat menyerahkan urusan kesehatan kepada pemerintah daerah.
Ternyata tidak banyak daerah yang sudah menganggarkan hingga 10% dari APBD di luar gaji, sesuai Pasal 171 (2) UU Nomor 36 tentang Kesehatan, 2009. Tantangan lain ada pada implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Universal sebagaimana diatur UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 tentang BPJS yang baru saja disahkan. Layanan kesehatan cuma-cuma lewat jaminan kesehatan selama ini belum menyelesaikan masalah biaya pelayanan kesehatan.
Sementara penduduk yang bisa mengakses pelayanan kesehatan dengan menggunakan jaminan sosial hanyalah yang bermukim di dekat fasilitas pelayanan kesehatan, yakni mereka yang berada di wilayah perkotaan. Persoalan lain adalah kurang berfungsinya layanan kesehatan dan kedokteran primer sebagai penyangga (buffer) di masyarakat.
Karena itu,strategi jitu untuk mengejar tenggat waktu adalah melakukan revolusi pada sistem kesehatan yang sementara berjalan, dengan menuntaskan agenda revitalisasi layanan kesehatan dan kedokteran di garda terdepan. Di sinilah letak kunci keberhasilan penguasaan dan pengendalian penyakit di sektor hulu. Harus ada gatekeeper yang kuat dan gatekeeper itu adalah dokter umum bersama tim, yang bekerja di sektor layanan primer.
Di dalamnya terdapat perawat, bidan, ahli kesehatan masyarakat, ahli gizi, ahli farmasi, dan sebagainya lain, bekerja bahumembahu, melakukan program pendampingan dan pemberdayaan kesehatan masyarakat. Saat ini tugas dokter ke pelosok atau daerah terpencil bukanlah kewajiban, melainkan menjadi pilihan. Wajar bila laporan dari Pusrengun (Anna Kurniati, 2007) menyebutkan, 30% dari 7.500 puskesmas di daerah terpencil tidak memiliki dokter.
Padahal pemerintah sudah mengimingimingi dengan insentif yang besar. Karena itu, sering timbul pertanyaan, apakah dokter dan bidan telah luntur atau kehilangan kepedulian sosialnya untuk mewakafkan diri bertugas di pelosok terpencil? Ternyata masalahnya mungkin saja bukan soal insentif yang kurang menarik, melainkan lebih pada infrastruktur dasar di daerah sangat terpencil, tak ada listrik, sulit saluran komunikasi, sulit air bersih, dan sebagainya. Karena itu, persolan ini tidak cukup untuk sekadar diratapi, tapi harus diupayakan maksimal secara kreatif dan inovatif oleh pengambil kebijakan.
Health Centre
Kadangkala terjadi keteledoran dalam kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia. Pemerintah berlomba mengambil jalan pintas dengan membangun begitu banyak rumah sakit dan alat canggih yang melimpah ruah di dalamnya. Pembangunan kesehatan kian bersifat fisik,mekanistik, kapitalistik, dan sekaligus kuratif.
Memang benar bahwa tidak ada yang salah pada kuratif dan sesungguhnya kuratif itu bukan hal yang negatif, pelayanan kuratif tetap penting, tapi harus berimbang dengan upaya kesehatan yang lain. Tentu juga kurang tepat bila menempatkan kuratif sebagai lawan dari preventif karena mengobati orang sakit adalah bagian dari upaya memutus mata rantai penyakit.
Karena itu, sejatinya upaya kuratif juga upaya preventif. Selain usaha kesehatan preventif, dikenal pula istilah pengobatan preventif. Pengobatan preventif dilakukan pada waktu permulaan penyakit agar tidak bertambah parah dan lebih sukar menyembuhkannya. Berkaitan dengan aktivitas preventif dan promotif,mungkin tidak ada salahnya kembali mencontoh sesuatu yang baik dari pengelolaan puskesmas di masa lalu, pada periode-periode awal berdirinya.
Puskesmas bermula dari program kesehatan masyarakat desa yang membutuhkan sarana untuk ditempatkan di kecamatan, yang disebut “health centre” atau puskesmas.Aktivitas utama kesehatan masyarakat desa adalah promotif dan preventif. Mulai dari program kesehatan sekolah, pengajaran sanitasi dan higienis, kebun sekolah, perbaikan gizi, kebun keluarga, peternakan keluarga, pemberantasan penyakit endemik, pencegahan wabah,balai pengobatan, serta pendidikan kesehatan rakyat.
Semuanya diselenggarakan dengan melibatkan partisipasi aktif anggota masyarakat. Untuk menyehatkan rakyat, pelayanan kesehatan harus difasilitasi pemerintah dan dirasakan manfaatnya, setidaknya mulai dari hulu, yaitu layanan primer seperti puskesmas. Puskesmas harus fungsional dan beroperasi secara optimal agar penyakit bisa dikendalikan dan dikuasai dari hulu, bukan ditanggulangi di hilir.
Puskesmas hendaknya lebih mengutamakan program yang bernilai promotifpreventif agar mampu mengendalikan dan menguasai penyakit masyarakat. Kala Winisesa Batara Sri: “Menguasai penyakit akan mendatangkan kesejahteraan”.
● -
Sri Mulyani dan Presiden Bank Dunia
Sri Mulyani dan Presiden Bank DuniaCyrillus Harinowo Hadiwerdoyo, PENGAMAT EKONOMISumber : SINDO, 27 Februari 2012Perkembangan menarik terjadi di salah satu lembaga keuangan internasional terpenting di dunia yaitu Bank Dunia. Bank Dunia merupakan produk Perang Dunia II.Sebelum berakhirnya perang tersebut,berbagai ekonom dari seluruh dunia berkumpul di sebuah desa di BrettonWoods, negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat.
Konferensi internasional yang diselenggarakan pada Juni 1945 itu akhirnya memutuskan dibentuknya tiga lembaga internasional yaitu International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau yang lebih dikenal sebagai Bank Dunia,dan lembaga perdagangan internasional yang semula dibayangkan akan berupa International Trade Organization ITO. ITO akhirnya berubah menjadi General Agreement on Tariffs and Trades (GATT),yang kemudian berubah rupa menjadi World Trade Organization,yang lebih mendekati ide awalnya.Keanggotaan lembaga internasional tersebut terwakili dalam ”saham” mereka. Negara- negara Eropa memiliki saham secara keseluruhan sekitar 40%, sementara Amerika Serikat memiliki saham sekitar 17%. Dengan demikian, kepemilikan saham di dua lembaga, yaitu IMF dan Bank Dunia, pada hakikatnya dikuasai secara mayoritas oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Meskipun kepemilikan ini telah berevolusi sedemikian rupa, pada hakikatnya pengaruh mayoritas masih tetap dimiliki kelompok negara Eropa dan Amerika Serikat.
Itulah sebabnya, ada semacam tradisi pada kelompok negara Barat tersebut: IMF selalu di bawah pimpinan wakil dari Eropa, sementara Bank Dunia secara turun-temurun berasal dari Amerika Serikat. Karena itu,kita bisa memaklumi pada saat pimpinan IMF Dominique Staruss Kahn mengundurkan diri karena skandal seks,kepemimpinan IMF pada akhirnya kembali dipegang penggantinya dari Prancis yaitu Christine Lagarde.
Adapun Augustin Carstens, yang merupakan Gubernur Bank Sentral Meksiko, tidaklah mendapatkan dukungan untuk menempatkan diri pada pimpinan puncak lembaga tersebut. Dari negara-negara berkembang, dukungan bahkan bisa dikatakan sangat minim. Perkembangan terakhir ini kembali terjadi pada pimpinan puncak Bank Dunia. Robert Zoellick, yang merupakan Presiden lembaga tersebut saat ini,menyatakan tidak akan melanjutkan kepemimpinannya lagi untuk masa jabatan yang kedua kalinya.
Dia memastikan diri akan mundur pada Juni mendatang. Keputusan tersebut terjadi saat kredibilitas negara-negara Barat sedang berada pada titik nadir. Setelah Amerika Serikat mengalami krisis yang terutama dipicu oleh jatuhnya Lehman Brothers, dewasa ini kita melihat negara-negara Eropa didera krisis perekonomian, terutama karena beban utang pemerintah yang sedemikian berat.
Sebagai akibatnya, rating negara-negara tersebut juga berjatuhan.Amerika Serikat bahkan mengalami penurunan rating mereka yang pertama kali dalam sejarah negara tersebut yang dilakukan oleh lembaga rating yang notabene juga berasal dari negara adidaya tersebut. Dengan catatan kredibilitas semacam ini, tidak pelak lagi ada semacam suara untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada negara-negara berkembang untuk mulai tampil memegang tampuk pimpinan lembaga keuangan internasional tersebut.
Karena itulah, kita melihat memanasnya media oleh munculnya nama-nama baru dalam percaturan calon pimpinan Bank Dunia. Berbagai nama muncul dari negara berkembang, baik yang berasal dari Turki, Afrika Selatan, negaranegara Amerika Latin, dan Indonesia. Kita juga mengetahui terjadi percaturan serupa di Amerika Serikat. Nama-nama seperti Hillary Clinton, Lawrence Summer, dan Timothy Geithner muncul sebagai nama yang akan ditampilkan dalam ajang pemilihan tersebut.
Dengan latar belakang itu, merupakan hal menarik melihat kemunculan mantan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati dalam percaturan tersebut. Sri Mulyani bahkan memperoleh suara tertinggi dalam polling yang dilakukan oleh Bank Dunia dengan jumlah suara sampai 80%, mengalahkan Kemal Devis yang berasal dari Turki yang hanya memperoleh 13%. Ini berarti seorang warga Indonesia secara serius mulai diperhitungkan dalam percaturan pimpinan lembaga keuangan global.
Kita tentu akan melihat berbagai manuver baru bermunculan dalam bulan-bulan mendatang sehingga perkembangan ini tentu akan menarik perhatian banyak pihak. Dengan melihat perkembangan ini, kita tentu melihat semakin besarnya pengaruh Indonesia dalam percaturan perekonomian global. Sri Mulyani mulai ramai dibicarakan bukan hanya karena kepintaran mantan menteri keuangan tersebut.
Sri Mulyani dalam hal ini membawa bobot yang kian besar bagi Indonesia. Pengaruh yang sedemikian ini tentu perlu dimanfaatkan secara sungguh-sungguh dalam percaturan diplomasi internasional di masa-masa mendatang. Jika selama ini terdapat kesan perasaan inferior kita dalam percaturan diplomasi internasional, perkembangan terakhir ini menggambarkan perkembangan yang sebaliknya.
Secara kebetulan kita juga memiliki banyak pribadi yang memiliki kapasitas seperti itu misalnya Mari Elka Pangestu, Gita Wirjawan, dan beberapa nama lagi. Karena itu, kita seharusnya mampu memanfaatkan bobot yang semakin banyak kita miliki tersebut untuk semakin aktif dalam percaturan diplomasi internasional,termasuk dalam pencalonan orang-orang Indonesia pada puncak pimpinan lembaga dunia.
Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir, kita melihat munculnya wakil dari Thailand sebagai pimpinan WTO.Demikian juga kita melihat Ban Ki-moon sebagai pimpinan Perserikatan Bangsa- Bangsa. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan sejumlah champions yang bisa tampil semacam itu dan dapat menyumbangkan nama bagi keharuman bangsa. Dalam konteks yang lebih mikro, ternyata orang-orang Indonesia sudah pula mampu untuk mengisi jabatan-jabatan penting dalam perusahaan multinasional.
Unilever misalnya hanya memiliki beberapa ekspatriat dalam manajemen mereka di Unilever Indonesia. Kendati demikian, dewasa ini terdapat hampir 50 orang Indonesia dalam posisi manajer ke atas di perusahaan Unilever di seluruh dunia. CEO dari Unilever Malaysia Singapura, dewasa ini diduduki oleh orang Indonesia yaitu Andre Rompies. Unilever bahkan menyiapkan training bagi orangorang Indonesia bukan hanya untuk menyiapkan mereka menjadi pimpinan Unilever Indonesia,melainkan Unilever global.
Dengan melihat perkembangan yang terakhir ini seberapa besar kans Sri Mulyani Indrawati untuk berhasil menduduki posisi puncak Bank Dunia? Jika dalam perkembangan ini terdapat proses transformasi yang besar di tubuh lembaga keuangan tersebut, kans Sri Mulyani akan besar.
Tetapi jika tidak ada perubahan yang signifikan, calon dari Amerika Serikatlah yang tetap akan menempati posisi puncak. Kendati demikian, yang penting nama Sri Mulyani sudah berkibar bukan hanya dalam percaturan politik di Indonesia, melainkan juga dalam kancah global.
●