Blog

  • Aku Cinta Papua

    Aku Cinta Papua
    Danny Tarigan, PENGAMAT MASALAH SOSIAL, LINGKUNGAN, DAN MARITIM
    Sumber : SINAR HARAPAN, 3 Desember 2011
    Penulis pertama kali menginjak bumi Papua pertengahan 1974, mendarat di Biak dalam perjalanan ke Pantai Karas antara Fakfak dan Kaimana.
    Semalam menginap di Hotel Biak lalu melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat kecil berpenumpang empat orang, charter-an Gulf Oil Company yang sedang mengeksplorasi wilayah itu. Pesawat mendarat di tepi pantai yang sebelumnya telah dibersihkan dari sampah dan kayu yang terdampar.
    Kesan pertama dari atas pesawat yang terbang rendah, kayu dan hutan yang terbentang terlihat tidak terlalu besar dan lebat.
    Sebagai supervisor yang mengatur dan mengawasi buruh di base camp, penulis secara kelompok mengatur mereka membongkar logistik yang dibawa kapal kecil dari Fakfak, untuk pasokan kebutuhan hidup karyawan dan staf ahli yang umumnya berasal dari Amerika Serikat dan Australia.
    Hari pertama bekerja, saya sempat tercengang saat sirene berbunyi pukul 12.00 tanda istirahat, buruh lokal yang sedang mengangkut perbekalan seketika meletakkan barang tersebut di mana pun mereka berada, dan melenggang ke barak untuk istirahat dan makan siang, tak peduli apakah gudang perbekalan yang dituju letaknya lebih dekat ketimbang dengan barak mereka.
    Mungkin disiplin itu yang dulu diajarkan Belanda. Namun penulis hanya beberapa bulan bertahan di Karas dan Fakfak, karena tidak tahan melihat sikap dan perlakuan para ekspatriat dan pegawai perusahaan terhadap buruh lokal.
    Sekolah Kedinasan
    Sebagai staf di Badan Diklat Perhubungan tahun 1976, penulis kembali ke Papua melaksanakan program Pembibitan Putra Irian Jaya (PPIJ), 1979-1980. Misinya adalah merekrut para siswa SMA kelas 2 se-Papua dan mengumpulkan mereka di Jayapura bekerja sama dengan Pemda dan Kanwil Perhubungan.
    Sejumlah 121 siswa terbaik itu kemudian disekolahkan di Bandung, Semarang, Purwokerto, Malang, dan Yogyakarta. Sebelumnya mereka mengikuti program matrikulasi atau bimbingan khusus agar dapat lulus SMA, lalu memasuki lembaga diklat di lingkungan Departemen Perhubungan.
    Keberhasilan Persipura menjuarai kompetisi yang digelar PSSI saat itu menggoda banyak pihak di kota tempat mereka sekolah untuk mengundang mereka, memeriahkan berbagai pertandingan sepak bola karena postur kekar dan tinggi. Kegiatan itu mengganggu studi mereka.
    Ada pula yang jatuh cinta dengan gadis setempat dan kawin sehingga putus sekolah. Namun, sebagian dari mereka berhasil dengan baik dan banyak yang kemudian menjadi pejabat di Papua di subsektor perhubungan darat, laut, maupun udara, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan BMG.
    Dalam pengamatan penulis, program matrikulasi sangat membantu mereka mengejar ketinggalan dari daerah lain, dan dalam proses seleksi terpadu pun mereka diberi kredit poin agar hasilnya dapat menyamai nilai daerah lain di seluruh Indonesia dan masuk pendidikan kedinasan.
    Sikap mereka yang terbuka, ceria, dan hormat kepada pembina sangat memudahkan mereka menjalin kerja sama dan persaudaraan yang erat. Sangat disayangkan program yang begitu baik menyiapkan SDM Papua dihentikan, padahal Papua butuh SDM yang andal.
    Proyek Terbengkalai
    Pada 2000-2003 penulis terlibat kembali di Papua melalui Yayasan Contpad (The Consultative Team for Papua Authonomy Development) yang dipimpin Laksdya TNI (Purn) Freddy Numberi.
    Selain mempersiapkan SDM Papua melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan, Contpad meneruskan proyek Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yakni pembangunan Mamberamo Hydro Electric Power (MHEP). Proyek yang tertunda sejak 1996 itu nantinya akan menghasilkan listrik hingga 30.000 megawatt (MW) memanfaatkan di Sungai Mamberamo.
    Bersamaan dengan itu sekaligus akan dikembangkan lahan 40.000 ha untuk delapan klaster industri berat di Waropen, serta pengembangan perkebunan 250.000 ha.
    Kapasitas awal bendungan pertama sekitar 4.500 MW memenuhi kebutuhan listrik untuk Freeport sebesar 1.800 MW dan pertambangan lainnya 1.500 MW, serta kebutuhan rumah tangga di Papua 1.000 watt per keluarga secara gratis.
    Konsep pembangunan SDM adalah mempersiapkan tenaga bawah dan menengah putra Papua di Balai Latihan Kerja selama tujuh tahun ke depan saat proyek industri mulai berjalan.
    Pembangunan perkebunan plasma diarahkan pada relokasi penduduk yang terpencar di hutan, memberikan lahan perkebunan 2 ha per keluarga dan anak mereka diasramakan sejak SD hingga SMA/SMK secara gratis.
    Hanya siswa berprestasilah yang diberi kesempatan ke perguruan tinggi untuk program S-1 hingga S-3 untuk menjadi tokoh masa depan Papua. Melalui program itu, diyakini dalam tempo 15 tahun Papua dapat diurus dengan baik oleh orang Papua yang juga akan menyejahterakan seluruh bumi Nusantara.
    Kondisi itu sangat berlainan dengan kondisi di Freeport, meski sudah 40 tahun tapi putra-putri Papua bekerja terbatas sebagai tukang kebun, kebersihan, sopir, dan sejenisnya, namun masih sangat langka yang menduduki tingkat staf apalagi manajer. Khusus untuk tenaga pelaut, Contpad memberikan beasiswa dan menjalin kerja sama dengan STIP Jakarta dan STIP Hangtuah, Surabaya.
    Namun program itu terhenti karena salah kelola, termasuk proyek MHEP, karena kurang dukungan dari pemerintah. Selain itu ada tudingan berbagai LSM bahwa lebih baik mempertahankan masyarakat ingenious/asli yang telanjang, hidup berkekurangan di atas bumi Papua yang kaya raya. Padahal, kawasan-kawasan lain di sekeliling Papua sudah sangat maju.
    Kenapa tidak ditiru pola pendidikan, pelatihan, perkebunan, serta kesehatan seperti yang dilakukan Belanda ketika mendidik orang Batak, Jawa, Manado, dan suku-suku lainnya hingga maju? Sekarang tugas anak bangsa memajukan anak Papua. Apa sihsusahnya memajukan kurang dari 3 juta orang, dengan alam yang luas dan kaya?
    Mari kita bangun Papua dengan cinta dan kasih. Jangan biarkan penduduk asli tergerus oleh penyakit HIV/AIDS, seolah Pemerintah Republik Indonesia merestui proses genosida, seperti yang dialami kaum Aborigin di Benua Australia tempo dulu. ●
  • Membangun “Mindset Problem Solver”

    Membangun “Mindset Problem Solver”
    Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 3 Desember 2011
    Pernahkah Anda mendengar istilah superkeeper? Dalam terminologi Lance A Berger & Dorothy R Berger (Best Practices on Talent Management, PPM 2008), superkeeper adalah karyawan yang mampu menghasilkan kinerja unggul, yang memberi inspirasi kepada karyawan lainnya untuk menghasilkan kinerja unggul juga.
    Mereka adalah karyawan yang membentuk dan mewujudkan kompetensi inti organisasi/perusahaan. Mereka adalah para model peran keberhasilan. Biasanya jumlah mereka hanyalah 3-5 persen dari seluruh anggota organisasi.
    Tentu saja para profesional di organisasi/perusahaan yang termasuk dalam kategori superkeeper ini akan menjadi key person dalam organisasi. “Hilangnya” atau absennya mereka akan berpengaruh pada kinerja dan pertumbuhan organisasi, karena kapasitas mereka sangat berdampak pada kinerja organisasi saat ini ataupun di masa yang akan datang.
    Mengenai superkeeper di dalam perusahaan Microsoft, Bill Gates mengatakan, ”Take our 20 best people away from us and I can tell you that Microsoft would be an unimportant company.” Orang-orang yang tergabung dalam superkeeper adalah orang-orang yang selalu menjadi problem solvers, dapat mengatasi masalah dan mendapatkan solusi bagi kemajuan perusahaan.
    Orang-orang superkeeper yaitu yang menjadi key person di perusahaan, tentu saja tidak menjadi superkeeper dengan tiba-tiba, namun melalui sebuah proses yang tidak sebentar.
    Namun, “proses yang tidak sebentar juga” terjadi pada kelompok yang hasil kinerjanya jauh dari yang diharapkan, yang disebut kelompok misfit, yang jumlahnya dapat lebih dari 70 persen dari jumlah SDM yang ada di dalam perusahaan.
    Pernahkah kita berpikir apakah perbedaan antara kelompok superkeeper (orang-orang yang berhasil menjadi problem solvers dan mencapai kinerja unggul di atas yang diharapkan) dengan kelompok misfit (orang–orang menjadi problem bagi perusahaan, yang kinerjanya jauh di bawah yang diharapkan)? Perbedaannya sering hanya pada sebuah mindset.
    Mindset sebagai jumlah total dari keyakinan, nilai-nilai, identitas, ekspektasi, sikap, kebiasaan, opini, dan pola pikir, tentang diri kita, juga tentang orang lain, dan bagaimana kita memaknai hidup kita.
    Pengertian mindset yang lain dalam American Heritage Dictionary adalah: “a fixed mental attitude or disposition that predetermines a person’s responses to and interpretation of situation” (suatu sikap mental yang menentukan respons dan interpretasi seseorang terhadap situasi yang dihadapinya.
    Orang-orang yang termasuk dalam kelompok superkeeper memiliki mindset selalu ingin maju, selalu ingin tahu dan belajar sesuatu yang baru, selalu ingin menambah ilmu, memiliki rasa sense of belonging terhadap apa yang ditugaskan kepadanya, sangat bisa diandalkan, dan memiliki rasa tanggung jawab dan yang tidak kalah penting adalah mereka memiliki mindset menjadi problem solvers (selalu mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapi), sehingga menjadi key person dalam perusahaannya.
    Pada suatu pelatihan, Pak Anton curhat bahwa bosnya-yang usianya lebih muda dan pendidikan formalnya lebih tinggi, sebetulnya tidak menguasai lapangan. Menurut Pak Anton, bosnya hanyalah mengerti dan menguasai hal-hal yang bersifat office matters.
    Situasi ini kurang menggembirakan untuk Pak Anton, karena Pak Anton sudah bekerja sangat lama di perusahaan tersebut, sudah sangat menguasai lapangan, namun diperintah oleh seorang atasan yang lebih muda dan tentu saja lebih besar gajinya.
    Rasanya kok tidak fair ya… keluh Pak Anton selanjutnya. ”Kalau saya mengambil sekolah lagi, tentu saja saya tidak sanggup karena faktor usia,” Pak Anton meneruskan curahan hatinya.
    Sore itu pada saat coffee break, saya mendapat kesempatan bercerita kepada Pak Anton secara one on one. Saya teringat seorang peserta dalam sebuah pelatihan kami yang terdahulu, sebut saja Pak Imam. Pak Imam adalah seorang yang kira-kira usianya tidak jauh beda dengan Pak Anton, juga level pendidikan Pak Imam kira-kira juga sama dengan Pak Anton.
    Pak Imam adalah seorang yang tekun bekerja dan sangat menguasai lapangan. Pak Imam sangat mencintai pekerjaannya dan selalu menjadi motivator bagi timnya sehingga tim Pak Imam dapat mencapai kinerja yang bagus.
    Pak Imam selalu berusaha mencari solusi dalam setiap masalah yang timbul dalam pekerjaannya. Karena selalu menjadi problem solvers, bos Pak Imam malahan sering tidak ikut campur lagi dalam rutinitas kerja tim Pak Imam. Walau demikian, Pak Imam selalu melaporkan pekerjaannya sesuai prosedur yang ada.
    Cerita tentang Pak Imam berlanjut, pada suatu ketika, bos Pak Imam memanggil Pak Imam ke ruangannya dan menyampaikan suatu berita bahwa bos Pak Imam telah mempromosikan Pak Imam untuk mengambil kesempatan masuk dalam tim manajerial.
    Tentu saja hal ini sangat membuat Pak Imam terharu karena sebetulnya Pak Imam merasa bahwa pendidikannya tidak cukup tinggi untuk masuk dalam level manajerial.
    Namun, karena dukungan bos Pak Imam – yang juga lebih muda, lebih tinggi pendidikan formalnya, Pak Imam dengan penuh antusias menerima tawaran tersebut.
    Karena dukungan bosnya, Pak Imam pada akhirnya, beberapa tahun kemudian, berhasil masuk dalam kelompok superkeeper di dalam perusahaannya. Sekali lagi karena ada seseorang yang sangat mendukungnya, yaitu mantan bosnya sendiri.
    Situasi yang dihadapi Pak Anton dan Pak Imam sama. Mereka sama-sama ahli di lapangan. Mereka sama-sama mendapat bos yang lebih muda usianya, namun lebih tinggi level pendidikan formalnya.
    Namun, Pak Anton dan Pak Imam ternyata memiliki mindset yang berbeda dalam menghadapi situasi yang sama. Pak Imam tidak merasa malu belajar dari yang lebih muda dan bisa menjadi good team player dalam tim besar yang dipimpin seorang muda tersebut, namun hal ini tidak terjadi di Pak Anton.
    Perbedaan mindset membawa kita kepada hasil proses yang berbeda. Milikilah mindset problem solvers dalam setiap tantangan kehidupan kita. Persoalan hari ini mungkin akan berbeda dengan persoalan esok hari. If you only have a hammer, you tend to see every problem as a nail (Abraham Maslow).
    Jika kita hanya memiliki sebuah palu saja, kita akan selalu melihat persoalan sebagai sebuah paku saja, padahal tidak! Seseorang yang sukses adalah seorang problem solvers dalam setiap persoalan yang dihadapi. There’s no use talking about the problem unless you talk about the solution. (Betty Williams). ●
  • Tiga Pelajaran tentang Cinta

    Tiga Pelajaran tentang Cinta
    Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITÉ PLURIDISCIPLINAIRES PANTHÉON-SORBONNE
    Sumber : KOMPAS, 3 Desember 2011
    Dua tokoh pemikir Barat, Plato dan Rousseau, yang buah pikirannya turut memengaruhi ”republik” sebagai bentuk negara dan ”demokrasi” selaku politik yang terkait dengan cara penataan dan penyelenggaraan republik, tidak lupa membahas cinta pribadi antara pria dan wanita.
    Berdasar tulisan para pujangga mengenai ”cinta”, dapat diketahui bahwa hanya ada satu jenis cinta, tetapi jutaan kopinya yang berbeda. Ada sejumlah cinta sejati sesuai penampilan sejumlah rasa: setiap orang membicarakannya, tetapi tak semua melihatnya.
    Cinta menyentuh semua bidang kesinambungan karena obyek cinta adalah keabadian. Aspirasi keabadian cinta ini tidak berasal dari spiritualisasi apriori, tetapi dari kenyataan bahwa orang yang bercinta berhasrat memiliki terus-menerus apa yang pener.
    Pelajaran Pertama dan Kedua
    Baik Plato maupun Rousseau sama- sama memberikan posisi sentral pada cinta dalam karya masing-masing, tetapi sulit menemukan dua erotika yang lebih berbeda kedua kesamaan itu. Hal pertama bersifat aristokratis dan sangat homoseksual, sedangkan yang kedua sangat terkait dengan ideal demokratis dan betul-betul heteroseksual.
    Bagi sang pemikir Yunani, cinta tidak harus timbal-balik dan perbedaan antara yang mencintai dan yang dicintai tetap bertahan seperti apa adanya. Cinta yang dipikirkan Rousseau justru bermakna hanya berkait ketimbalbalikan tadi, di mana pengalaman percintaan dari yang mencintai adalah serba majemuk, sedangkan ia sungguh unik bagi yang dicintai.
    Perbedaan juga melekat pada tujuan cinta yang ditetapkan oleh kedua sang pemikir. Dalam perspektif platonis, cinta menuntun ke kehidupan filosofis. Bagi Rousseau, cinta merupakan dasar keberahian yang tak terelakkan bagi kehidupan politik ke arah kebebasan.
    Keunikan pemikiran Plato tecermin pada julukan ”cinta platonis”, yaitu sejenis cinta yang diagungkan, menjauhi realitas jasmaniah guna dikaitkan pada suatu keindahan yang lebih esensial. Suatu pelajaran cinta yang pasti sulit diterima oleh manusia ”modern” sekarang.
    Plato bukan tidak mengakui daya tarik keindahan tubuh. Namun, bagi sang filosof, 
    pelaksanaan cinta yang terbaik adalah suatu gerakan pengagungan berupa meningkatkan cinta pada keindahan tubuh hingga ke titik perenungan terhadap keindahan. Dengan kata lain, cinta platonis berada bukan pada penikmatan fisik, tetapi dalam pencarian perfeksi.
    Keunikan pemikiran Rousseau adalah pengerahan ke sistem politik tiga hasrat: saling peduli, cinta, dan patriotisme. Percintaan suami istri menduduki posisi sentral, merupakan satu-satunya hasrat yang bisa mengaitkan kawula pada tanah airnya. Melalui perkawinan, dengan membangun sebuah keluarga, setiap orang tunduk pada kontrak sosial. Dalam formulasi dari kontrak ini, setiap pengontrak membawahkan kebebasannya pada kemauan umum yang dihasilkan oleh kontrak itu. Berkat formulasi ini terbentuk satu korps sosial tanpa menyinggung keberadaan sang pemimpin yang membawahinya.
    Inilah keorisinalan Rousseau dalam tradisi kontraktualis: di sini para anggotanya yang terpisah-pisah tak menyatu di bawah otoritas seorang raja atau seorang kepala selaku pemimpin. Mereka menyatu sendiri, bergabung pada apa yang mereka bentuk. Kontrak ini bukanlah ”kontrak penaklukan”, tetapi ”penyerahan pada kolektivitas” yang diciptakan oleh kontrak itu sendiri, yaitu rakyat yang berdaulat: dengan membentuk diri selaku rakyat, rakyat ini tetap berkeadaan bebas.
    Pelajaran Ketiga
    Maka, saya anggap perlu menyampaikan pelajaran yang ketiga tentang cinta mengingat kita, rakyat Indonesia, perlu pemimpin. Natur dari pemimpin ini seharusnya sesuai bentuk negara seperti dikehendaki diktum kontrak politik kita, UUD 1945, dan dengan prinsip demokrasi seperti ditegaskan oleh para reformis.
    Bentuk negara Indonesia adalah republik. Pemimpinnya dipilih rakyat, lalu ia dinobatkan jadi presiden. Demi pelaksanaan fungsi kepresidenan, dibentuk kabinet yang terdiri atas menteri-menteri selaku pembantunya. Pilihan menteri bisa berdasarkan kemampuan kerja dan/atau atas usulan parpol yang turut berkoalisi. Asas kekerabatan tentu tak pantas dipakai. 
    Pertimbangan terakhir ini harus dielakkan karena bisa jadi preseden buruk dalam membangun kekuatan politik, lebih-lebih di kabinet, pemerintahan tertinggi dari republik yang maunya demokratis.
    Namun, yang buruk dan tercela ini sudah terjadi di NKRI, walaupun secara tidak sengaja. Presiden dan Menko Perekonomian dari parpol yang berbeda menjadi berbesan sebagai akibat perkawinan anak-anak mereka. Akibat ini perlu secepat mungkin ditiadakan sebelum nasi telanjur jadi bubur, sebelum diam-diam terjadi koalisi parpol berdasar perbesanan. Pembenahan ”akibat” perlu karena ”sebabnya” tidak mungkin dibatalkan. Perkawinan Ibas-Aliya tak boleh diganggu gugat karena ia berdasarkan cinta murni.
    Presiden tidak bisa diminta mengundurkan diri karena dia adalah hasil pilihan rakyat. Maka, Menko Perekonomian sebaiknya keluar dari jajaran kabinet, dengan lapang dada, demi mencegah penodaan terhadap asas republik dan citra demokrasi. La noblesse oblige! Sikap kesatria ini pasti bisa menjadi nilai tambah apabila dia mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu mendatang.
    Bukan rahasia bahwa praktik parpol cenderung mengubah ”demokrasi” jadi ”aristokrasi”. Pengunduran diri Menko Perekonomian bisa menyetop pemelesetan ”republik” menjadi ”de facto monarki”. Bukankah bentuk-bentuk protokoler kenegaraan kita sudah menjurus ke arah ”republik feodal”?
    Sistem kerajaan sudah biasa membuat perkawinan agung menjadi dasar pembentukan kekuatan politik dari penguasa negara. Dalam dunia bisnis lazim dilakukan perkawinan anggota keluarga demi pengukuhan kekuatan berbisnis. Hal ini tidak boleh terjadi di NKRI yang bersistem pemerintahan demokratis. Sebab, perkerabatan melalui perkawinan bisa menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan yang reasonable, apalagi dengan berlakunya kebiasaan ”rikuh pakewuh”.
    Ajaran ketiga tentang cinta ini bukan dimaksudkan untuk menggurui, melainkan untuk mengingatkan agar politikus dan pejabat publik tidak bertindak semau gue. Sesekali bisikan nurani perlu didengar dan tidak terus-menerus menyalahgunakan ketidaktahuan rakyat. ●
  • Memperkuat Undang-Undang KPK

    Memperkuat Undang-Undang KPK
    Roby Arya Brata, ANALIS ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
    Sumber : KORAN TEMPO, 3 Desember 2011
    Bagian Kedua / Terakhir
    Bagian terakhir tulisan ini mengatasi kelemahan desain kebijakan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah dianalisis dalam tulisan sebelumnya. Revisi UU KPK haruslah memperkuat efektivitas dan akuntabilitas organisasi, serta fungsi pencegahan dan penindakan KPK. Sepuluh isu krusial yang menjadi agenda kebijakan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan revisi UU KPK (Koran Tempo, 26 Oktober 2011) juga akan dibahas dalam tulisan ini.
    Penguatan Organisasi
    Masalah krusial yang harus segera diatur dalam revisi UU KPK adalah memperkuat mekanisme akuntabilitas KPK, baik akuntabilitas internal maupun eksternal. KPK harus dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya. Mekanisme akuntabilitas harus didesain, sehingga KPK tidak menyalahgunakan atau bertindak di luar kewenangannya (ultra vires).
    Penguatan akuntabilitas demikian perlu segera dilakukan, lebih-lebih dengan sistem
    rekrutmen pemimpin, penyidik, dan penuntut KPK seperti sekarang ini. Pemimpin, penyidik, dan penuntut KPK yang ditentukan atau berasal dari institusi yang akan menjadi “korban”KPK tentu saja rawan terhadap bias dan konflik kepentingan. Dengan melakukan lima bentuk utama penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebutkan dalam tulisan pertama, pemimpin, penyidik, dan penuntut demikian dapat melemahkan KPK dari dalam.
    Inilah yang harus dicegah. Mekanisme checks and balances dengan menciptakan
    kekuatan penyeimbang (balancing forces) yang efektif haruslah dirancang untuk mengawasi penggunaan kekuasaan KPK yang besar itu.
    Di sinilah urgensi pembentukan pengawas eksternal yang independen. Sebenarnya pembentukan komisi pengawas atau inspektur eksternal independen untuk mengawasi penyalahgunaan wewenang atau pembusukan internal oleh oknum pemimpin dan pegawai KPK pernah saya usulkan (lihat Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008, dan Vivanews, 4 Januari 2010). Sekarang ini sudah ada Komite Pengawas KPK yang dibentuk oleh masyarakat antikorupsi dan Dewan Etik ad hoc, tapi itu tidaklah cukup.
    KPK akuntabel dalam setiap tindakan dan keputusannya terhadap komisi pengawas ini. Anggota komisi ini terdiri atas para tokoh masyarakat yang kompeten dan kredibel. Komisi pengawas dapat melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran etik dan penyalahgunaan kewenangan oleh pemimpin dan pegawai KPK. Komisi dapat memberikan sanksi dari yang ringan sampai pemecatan. Apabila ditemukan bukti pelanggaran pidana oleh pemimpin KPK, komisi ini dapat merekomendasikan dilakukan proses pidana terhadap mereka.Komisi ini juga dapat memberikan rekomendasi agar pemimpin KPK tertentu tidak dipilih lagi karena integritas dan kinerjanya yang buruk.
    Komisi atau inspektur pengawas independen semacam inilah yang telah berhasil memperbaiki dan menjaga reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan publik kepada Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong dan New South Wales
    (Australia). Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika, ICAC Hong Kong, misalnya, akuntabel dan diawasi oleh Chief Executive/Executive Council, Legislative Council, Independent Judiciary, Media,Advisory Committees, ICAC Complaints Committee, dan Internal Monitoring. ICAC Complaints Committee (independen dan eksternal) menangani pelanggaran nonpidana, sedangkan Internal
    Monitoring mengusut pelanggaran pidana oleh pemimpin dan staf ICAC.
    Pencegahan
    Strategi manakah yang lebih utama bagi KPK untuk memberantas korupsi: pencegahan
    (prevention) atau penindakan (law enforcement)? Strategi yang paling efektif adalah dengan penggunaan yang seimbang (balanced approach), sinergis, serta terintegrasi
    antara strategi pencegahan dan penindakan. Terlalu berfokus pada strategi penindakan adalah ibarat membersihkan lantai yang basah dan kotor tanpa menutup atau memperbaiki genting yang bocor. Sistem dan proses pemerintahan yang “bocor” atau memberi peluang terjadinya korupsi haruslah juga diperbaiki. Sebaliknya, dari modus-modus korupsi hasil proses investigasi akan diketahui (lessons learned) mengapa sistem dan proses pemerintahan itu bocor, dan kemudian diperbaiki.
    Karena itu, gagasan agar KPK hanya berfokus pada strategi pencegahan atau penindakan harus ditolak. Kedua pendekatan ini saling mengisi, sinergis, terintegrasi, dan hanya akan efektif bila dilakukan oleh satu institusi. Fungsi pencegahan dan penindakan dilakukan juga oleh ICAC Singapura, Hong Kong, dan Australia (NSW). Kunci keberhasilan ICAC Hong Kong, misalnya, adalah menggempur korupsi dari tiga sisi (three-pronged approach), yaitu mencegah, menindak, dan mendidik. Pencegahan, penindakan, atau perang terhadap korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat, juga  pejabat publik, dididik agar malu dan membenci perilaku korup. Karena itu, agar berfokus dan efektif, pemimpin KPK cukup tiga orang yang membidangi ketiga strategi ini.
    Bidang pencegahan inilah yang masih lemah atau belum optimal dilakukan oleh KPK. Dari hasil penelitian saya, terutama wawancara saya dengan Ketua KPK periode I, Taufiequrachman Ruki, banyak rekomendasi KPK terhadap perbaikan sistem manajemen pemerintahan diabaikan oleh pemimpin lembaga pemerintah.
    Hal ini ternyata di antaranya disebabkan oleh lemahnya kewenangan KPK dalam bidang pencegahan korupsi. Karena itu, penguatan kewenangan pencegahan ini harus
    didesain agar KPK memiliki kemampuan dan kewenangan yang kuat untuk mendeteksi serta mencegah korupsi secara dini, dan “memaksa” birokrasi pemerintahan memperbaiki sistem manajemennya. Misalnya, setiap birokrasi pemerintah diwajibkan
    miliki grand design strategi pencegahan korupsi dan wajib melaporkan pelaksanaannya
    kepada KPK. Apabila pemimpin birokrasi publik tidak melaksanakan rekomendasi KPK tanpa argumentasi yang dapat diterima atau gagal memperbaiki sistem administrasi yang korup, KPK dapat memberikan rekomendasi agar pemimpin tersebut dicopot dari jabatannya. Bentuk punishment lainnya adalah publikasi, pengurangan remunerasi, penundaan pangkat dan promosi, serta sanksi administratif lainnya.
    Penindakan
    Kelemahan mendasar pelaksanaan fungsi penindakan KPK tidak hanya terletak pada kelemahan UU KPK, tapi juga pada peraturan perundang-undangan terkait lainnya, terutama UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ibarat menjala ikan (koruptor) yang begitu banyak, peraturan perundang-undangan ini hanya memberi KPK jala yang kecil dan mudah sobek. Perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan antikorupsi harus terus dilakukan.
    Kekeliruan dalam penindakan tipikor adalah terlalu menekankan aspek kerugian negara. Hal ini tentunya tidak lepas dari penekanan unsur kerugian negara dalam
    definisi korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999. Akibatnya, banyak koruptor yang dibebaskan karena unsur kerugian negara tidak atau sulit dibuktikan. Padahal dampak korupsi bersifat multidimensi, bukan hanya kerugian negara. Karena itu, undang-undang antikorupsi di Australia, Hong Kong, dan Singapura lebih menekankan hal “abuse of office for personal gain”.
    Penguatan fungsi penindakan harus diarahkan agar KPK dapat dengan mudah dan efektif mendeteksi, mengungkap, dan membuktikan korupsi.Kecepatan adalah faktor kunci keberhasilan dalam membuktikan kejahatan, khususnya korupsi yang bersifat victimless crime dan konspiratif.  Karena itu, penyadapan, penyitaan, penggeledahan, dan penangkapan tersangka korupsi tidak perlu izin pengadilan terlebih dulu. Pasal 10C undang-undang antikorupsi Hong Kong tidak mensyaratkan search warrant untuk menyita, menggeledah, dan menangkap tersangka korupsi.
    Hanya, KPK hendaknya yang berwenang menangani kasus korupsi, baik petty maupun
    grand corruption. Hal ini karena kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut korupsi telah runtuh. Grand corruption tidak (hanya) dapat dilihat dari jumlah uang yang dikorup, tapi lebih pada dampaknya. Jual-beli pasal, korupsi kebijakan, state capture, korupsi (calo) anggaran, dan politik uang dalam pemilihan umum adalah bentuk grand corruption, meskipun dalam beberapa kasus jumlah uang dalam transaksi korup ini tidak besar.
    Selain itu, untuk menghindari konflik kepentingan dan efektivitas pemberantasan korupsi di institusi penegak hukum, KPK harus berwenang merekrut penyidik serta penuntut di luar kepolisian dan kejaksaan. Pembuktian terbalik harus diberlakukan dan pejabat publik yang tidak melaporkan harta kekayaannya dianggap melakukan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya. ●
  • Nurani Rakyat Papua

    Nurani Rakyat Papua
    Benny Susetyo, PASTOR DAN PEMERHATI MASALAH SOSIAL
    Sumber : KORAN TEMPO, 3 Desember 2011
    Para tokoh lintas agama Papua dalam pertemuan dengan tokoh lintas agama di Maarif Institute Jakarta beberapa waktu lalu menyerukan dukacita terdalam. Perasaan terluka akibat kekerasan yang terjadi di bumi Papua belakangan ini menunjukkan tiadanya perubahan dalam cara memperlakukan rakyat negeri ini. Amat mengherankan karena
    kekerasan selalu menjadi pilihan utama (sejak Orde Baru hingga kini), khususnya untuk menghadapi saudara-saudara kita di Bumi Cenderawasih.
    Tragedi demi tragedi terjadi tanpa ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. Aksi kerasan yang dilakukan aparat memperpanjang deretan luka yang dialami rakyat Papua. Watak represi negara dipraktekkan dengan mengabaikan segala pelanggaran
    hak asasi manusia yang terjadi. Negara begitu semena-mena dan mengabaikan seluruh pendekatan, kecuali kekerasan. Bahkan nyaris tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM yang sudah terjadi di sana.
    Dalam siaran pers yang dikeluarkan Komnas HAM, ada empat jenis pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa itu. Pertama, perampasan hak hidup (rights to life), karena ada tiga orang mengalami pembunuhan di luar putusan pengadilan (extra-judicial killing). Kedua, pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.Terdapat temuan yang menunjukkan adanya
    perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga yang ditangkap. Keempat, pelanggaran hak atas rasa aman. Jelas bahwa peristiwa ini menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami oleh semua pihak, baik masyarakat di sekitar tempat kejadian maupun di wilayah Jayapura dan Papua umumnya.Kelima, pelanggaran hak milik. Akibat peristiwa
    tersebut, sejumlah harta benda hancur.
    Akar Masalah
    Peristiwa seperti demikian mengingatkan kita pada rentetan peristiwa kekerasan lain sebelumnya di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru eksploitasi besar-besaran sumber alam dari tanah tumpah darah mereka. Di tengah isu kemiskinan dan ketidakadilan, mereka tersandera oleh isu nasionalisme.
    Bagaimana sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide serta pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa.Kedaulatan politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka lebih dari setengah abad lalu, tapi nation-building memerlukan dinamika baru secara dinamis.
    Mempertimbangkan segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus kekhususan Indonesia sebagai bangsa “yang belum selesai”justru lahir pertanyaan haruskah kita memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan sekaligus mengabaikan diri atas semua gejolak yang timbul di dalamnya serta melihatnya sebagai semata-mata ancaman. Dinamika politik kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak, tapi bila gejolak
    itu dilihat semata-mata ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan Orde Baru.
    Jauh lebih penting membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana seharusnya cara pandang kita melihatnya. Kita berpengalaman, saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme, memperlakukan paham kebangsaan ini layaknya agama. Yang terjadi adalah kekerasan dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan. Papua adalah wilayah yang teramat sering menjadi korban keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme ini.
    Nasionalisme yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap kebangsaan yang picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh. Bila memang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah konsep utama kebangsaan ini, yang perlu diperhatikan bagaimana cara menegakkannya dengan landasan keadilan.
    Nasionalisme yang telah mengubah dirinya menjadi “agama baru” akan melahirkan imajinasi kaum nasionalis hampir sama persis dengan bagaimana saat mereka membayangkan agama yang mereka peluk.Konsekuensinya, mereka harus menjaganya dari serangan musuh yang mencoba mengganggunya. Nasionalisme diperlakukan dengan segala macam cara, termasuk yang paling utama kekerasan,
    agar tak roboh.
    Upaya nation-building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut Indonesia dari penjajah. Tidak jarang mereka membunuhi rakyatnya sendiri karena dianggap melawan dan bertentangan dengan pandangan elite.
    Berikan Keadilan
    Kita harus membaca persoalan Papua ini dengan searif-arifnya. Kiranya kita perlu becermin pada diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini—yang tercipta dari waktu yang sama dan juga ikut berjuang menegakkan Bumi Pertiwi—belum sejahtera, padahal kekayaan alamnya sangat berlimpah.
    Kita memang harus bertanya sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi Papua.Kekayaan alam yang begitu berlimpah justru tidak membuat rakyatnya mendapatkan kesejahteraan. Realitas seperti ini akan mengajak kita  bersama berpikir ulang, di manakah tanggung jawab republik ini, agar kita bersama-sama merasakan penderitaan kemiskinan rakyat Papua. Harus diakui itu adalah bagian dari kesalahan kita sebagai bangsa yang selama ini tidak pernah memiliki perhatian serius terhadap mereka.
    Kebijakan elite politik Jakarta yang hanya berorientasi sekadar menguras kekayaan mereka adalah kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa.Keadilan belum
    pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Karena itu, saat ini yang lebih urgen adalah bagaimana pemerintah lebih proaktif mendekati warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat Papua adalah bagian terpenting Republik Indonesia. Rakyat Papua berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola sumber daya alamnya. Otonomi pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat besar bagi warga Papua, bila ada kemauan
    politik ke sana.
    Pemerintah harus mengoreksi kebijakan yang tidak memberi kesempatan kepada rakyat Papua memperoleh akses dalam ikut serta mengelola sumber daya alam. Rakyat Papua bisa menjadi “Indonesia”hanya bila politik Jakarta berorientasi memanusiakan warga Papua. Pendekatan kekerasan jelas harus ditanggalkan dan
    dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan harus digantikan dengan budaya dialog lewat usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat Papua.
    Perubahan orientasi inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua agar Jakarta memahami bahwa selama ini mereka kurang dimanusiakan. Dibutuhkan sebuah tata ekonomi baru dengan sumber alam yang harus digunakan untuk kemakmuran bagi penduduk pemiliknya.
  • Doa Bersama Antaragama

    Doa Bersama Antaragama
    Martin Lukito Sinaga, PENDETA GKPS; KINI BEKERJA PADA LEMBAGA OIKOUMENE DI GENEVA, SWISS
    Sumber : KOMPAS, 3 Desember 2011
    Pada 27 Oktober 1986 di Asisi, Italia, Paus Yohanes Paulus II mengundang pemimpin agama-agama memanjatkan doa perdamaian bersama.
    Dalam sambutannya Paus menegaskan bahwa ”kedatangan kita dari berbagai penjuru di muka bumi ini, dan kini bersama-sama hadir di Asisi, adalah sebuah tanda betapa kita memiliki panggilan yang sama demi perdamaian dan harmoni dunia”. Asisi dipilih karena dari situ Fransiskus Asisi (1182-1226) berasal, pemimpin rohani Katolik yang semasa Perang Salib menyeberang ke Mesir dan berdialog dengan pemimpin Islam, Sultan Malik al-Kamil.
    Setelah 25 tahun, Paus Bene- diktus XVI menghidupkan spirit Asisi itu dan mengundang tokoh- tokoh agama bertemu lagi di Asisi. Pertemuan kali ini bertema ”Pilgrims of Truth, Pilgrims of Peace”. Vatikan menegaskan pertemuan itu hendak mengaminkan bahwa setiap manusia pada akhirnya merupakan peziarah pencari kebenaran dan kebaikan dan, dalam terang peziarahan itu, bersama-sama kiranya mengukir dunia yang adil dan damai.
    Dalam hal itu sosok Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil dapat membantu kita kini dalam perziarahan rohani. Di tengah kecamuk Perang Salib, pada 1219, Fransiskus Asisi menyelinap masuk tenda Sultan Malik di Damietta, Mesir. Ia ingin agar perang berakhir, juga agar sang Sultan mau menjadi Kristen.
    Dalam kebesaran hati Sultan itu, ia dapat memahami dan menerima niat baik Fransiskus dan dalam terang pengalamannya berjumpa dengan orang Kristen Koptik di Mesir, ia meyakinkan Fransiskus bahwa bukannya beralih agama yang terutama, melainkan nyatanya keramahtamahan iman yang terbuka menerima pihak yang berbeda.
    Iman yang bisa terbuka, dalam sikap keramahtamahan itu, sungguh diperlukan kala itu. Kini kita pun butuh iman atau keberagamaan yang terbuka, dan doa bersama lintas agama akan jadi bukti utama adanya iman sedemikian.
    Sultan Malik pasti menemukan kedalaman dan kejernihan doa Fransiskus, seperti kerap ia rasakan dalam doa para sufi Muslim di Mesir. Apalagi diketahui bahwa kehidupan Fransiskus sedemikian sederhana, tak mencekau harta benda. Sang Sultan tahu bahwa sikap tak lekat akan yang material tadi datang dari sikap taat dan cinta kepada Allah, pemilik sekalian alam ini.
    Dalam berdoa kita sebetulnya sedang mengakui misteri yang mengelilingi hidup manusia; doa menjadi jalan agar manusia bisa tiba pada sang Misteri itu. Ada momen berkomunikasi kepada- Nya dalam doa dan seiring dengan itu kemurahan-Nya pun te- rasa berlimpah.
    Maka, sering dikatakan, doa adalah bahasa jiwa yang hendak membicarakan dan membuka hati terhadap mukjizat kehidupan yang tak habis-habisnya. Kalau demikianlah makna doa, maka keterbukaan hati dan iman pada Sang Ilahi yang murah hati tadi tak mungkin tanpa kehadiran sesama manusia. Yang melimpah dari-Nya pasti diberikan untuk semua manusia sehingga doa ”saya” selalu berdimensi syafaat: agar mereka, juga kita, diberi berkat dan sejahtera. Di sini ”saya dan engkau” bersama-sama dapat berdoa dan berharap akan kemurahan-Nya yang tak berbatas.
    Perlu dicatat, doa bersama tak berarti agama-agama perlu melanjutkannya dengan ibadah bersama. Di sini ada batas yang menyingsing sebab, bagaimanapun, identitas agama selaku satu komunitas perlu dipertahankan. Melalui ibadah, umat beriman tengah menata identitas iman dan integritas kehidupan umatnya ke satu modus yang khas.
    Ibadah adalah tindakan komunitas, sementara berdoa lebih sebagai sikap iman pribadi di hadapan Sang Misteri tadi. Dalam ibadah, agama sedang mendaku dan merayakan satu Nama yang khas, yang melaluinya mereka tiba pada Yang Ilahi tadi. Ibadah bersama dengan demikian akan membantu tiap agama mengorganisasi diri sebagai satu paguyuban yang utuh di tengah konteks kemajemukan masyarakatnya.
    Makna Berdoa Bersama
    Setelah peristiwa kekerasan sekitar Mei 1998, tokoh agama Indonesia yang dipimpin Gus Dur kumpul di Ciganjur berdoa bersama. Spirit dialog dan keterbukaan iman masing-masing terlihat dan hal itu dilakukan demi perdamaian di negeri kita ini.
    Dalam doa bersama, agama- agama hendak melihat peristiwa kehidupan sehari-hari itu dari mata kemurahan Sang Ilahi. Kalau kesatuan Ilahi (tauhid) disebutkan dalam doa, itu berarti kemahakuasaan-Nya mutlak sehingga tak ada kekuasaan apa pun di bumi yang boleh mendaku mutlak. Kalau kasih Ilahi (Trinitas) dipanggil dalam doa, itu berarti Tuhan tak pernah berhenti mendorong manusia memilih jalan rekonsiliasi dalam hidupnya.
    Dalam konteks keguncangan ekonomi global kini, doa agama- agama bisa bersama-sama mengaminkan berlimpahnya berkat- Nya, jauh dari sistem ekonomi global yang berasumsi dan beroperasi dengan prinsip kelangkaan. Pemberian Tuhan yang murah yang diaminkan agama-agama itu kiranya dilanjutkan dengan pengelolaan ekonomi yang bersifat kooperatif: semua dapat menikmati air, api (energi), dan tanah (sandang pangan).
    Ekonomi yang bergerak dengan prinsip langka akan bersifat membedakan dan memprivatisa- sikan, lalu dalam sikap loba akan menimbun demi rasa aman sendiri. Namun, iman akan kemurahan-Nya yang melimpah tadi akan memberi sikap baru hidup ekonomi: bukan mengamankan diri sendiri yang terutama, tetapi menyediakan livelihood yang memberi sejahtera dan mata pencaharian bagi semua. ●
  • Imigran Ilegal, Visa, dan Keamanan Dalam Negeri

    Imigran Ilegal, Visa, dan Keamanan Dalam Negeri
    Suhartono Ronggodirdjo, MANTAN DIPLOMAT; PEMERHATI HUBUNGAN INTERNASIONAL
    Sumber : KOMPAS, 3 Desember 2011
    Pada teks berjalan di salah satu stasiun televisi nasional, 23 Oktober 2011, tertulis ”Puluhan imigran gelap dari Asia Selatan dan Timur Tengah masih berada di Karanganyar, Jawa Tengah”. Bagaimana ini bisa terjadi dan mengapa terjadinya di Karanganyar?
    Sebetulnya berita ini tidak terlalu mengejutkan. Sudah sering diberitakan ada orang-orang asing yang tidak jelas statusnya berada di wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Ini fakta bahwa wilayah kita masih rawan kemasukan orang luar tanpa izin. Masih untung jika para imigran gelap itu tidak ada maksud jahat ke negara kita.
    Indonesia memang negara yang sangat longgar bagi orang asing untuk masuk, baik yang legal maupun ilegal. Dengan alasan untuk meningkatkan kunjungan turis asing, sejak Mei 2007 pemerintah membuat kebijakan pemberian visa on arrival (VOA) kepada pengunjung dari 63 negara.
    Sebelumnya VOA hanya diberikan kepada 52 negara, dengan biaya visa 10 dollar AS untuk kunjungan selama 7 hari dan 25 dollar AS untuk 30 hari. Selain itu, pemerintah juga memberikan kebebasan untuk masuk ke Indonesia tanpa visa kepada warga dari 11 negara.
    Namun, yang kiranya perlu diperhatikan, apakah dengan kebijakan kelonggaran visa bagi warga dari negara-negara itu akan serta-merta meningkatkan kedatangan turis ke negeri kita?
    Apakah jika tak ada kemudahan visa tersebut orang-orang dari negara-negara yang mendapat kemudahan itu enggan ke Indonesia karena harus mengurus visa? Atau apakah dengan adanya kemudahan visa tersebut hubungan kita dengan negara-negara itu menjadi lebih baik?
    Tentu hal ini perlu dikaji lebih lanjut. Terlepas dari itu semua, fakta yang ada di beberapa perwakilan kita di luar negeri, terutama di negara-negara maju, masih banyak warga setempat yang ingin mengurus visa ke kantor perwakilan kita ketika hendak bepergian ke Indonesia. Rupanya mereka merasa lebih nyaman jika ketika berangkat dari negaranya ke negara lain sudah mengantongi visa.
    Sering masuknya imigran ilegal ke wilayah kita menandakan lemahnya pengamanan wilayah. Ini bisa dimengerti mengingat luasnya wilayah dan panjangnya garis pantai yang kita miliki, yang sering tidak terjangkau oleh aparat keamanan.
    Di samping itu, tidak acuhnya penduduk dan ketidaktahuan mereka tentang keimigrasian menyebabkan orang-orang asing ilegal itu menjadi leluasa. Kondisi ini dimanfaatkan oleh warga negara asing yang ingin pergi ke negara lain tanpa melalui prosedur resmi.
    Visa Sebagai Alat Kontrol
    Pada masa Orde Baru tidak semua pemohon visa di perwakilan RI di luar negeri diberikan visa. Pemohon tidak perlu tahu alasannya karena masalah visa menyangkut wilayah kedaulatan suatu negara.
    Contohnya, Pemerintah Amerika Serikat sangat berhati-hati dalam memberikan visa, terutama setelah peristiwa 11 September 2001. Dalam memutuskan pemberian visa oleh bagian visa tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Tentu mereka tidak mau ”kecolongan” dengan masuknya orang-orang asing yang ingin mengganggu keamanan dan ketenangan negaranya.
    Perwakilan RI, khususnya bagian konsuler dan imigrasi, merupakan pintu pertama penyaring orang asing masuk. Setiap pemohon visa untuk setiap keperluan harus memenuhi syarat tertentu, yang sebenarnya cukup ketat. Namun, dengan adanya kebijakan VOA dan bebas visa, praktis penyaringan di perwakilan relatif tidak ada. Sementara itu, kita tidak tahu apakah kedatangan mereka ke Indonesia benar-benar tidak mempunyai agenda tersembunyi.
    Negara tentu mempunyai dan mengutamakan kepentingan nasional, tetapi apakah kita tahu bahwa ada negara lain yang berkepentingan dengan kondisi Indonesia? Mungkin saja ada negara yang berkepentingan dengan adanya korupsi besar-besaran di Indonesia, dengan kapitalisme liberal yang kita anut, serta berkepentingan dengan banyaknya generasi muda kita yang rusak karena narkotika.
    Tidak kalah penting adalah mereka yang berkepentingan dengan lepasnya sebagian wilayah kita dari NKRI. Apalagi jika wilayah itu sangat potensial dan strategis, baik dari segi ekonomi maupun keamanan. Kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan penduduk padat tentu menyulitkan polisi imigrasi—itu pun ”kalau ada”—untuk mengontrol keberadaan dan aktivitas orang-orang asing tersebut.
    Cukup menarik untuk disimak pernyataan Duta Besar Australia di Kampus Universitas Indonesia, Depok, belum lama ini. Ketika menjawab pertanyaan mahasiswa, ia antara lain mengatakan, ”Australia tidak akan mendukung setiap gerakan yang berniat mengganggu integritas teritorial RI, termasuk Papua dan Papua Barat.”
    Rasanya kita masih ingat bahwa Australia pernah berperan dalam proses lepasnya Timor Timur dari NKRI.
    Turisme memang merupakan salah satu penghasil devisa, tetapi tentu kita juga tak boleh melupakan kemungkinan efek-efek samping yang tidak diinginkan. Semoga kebijakan memajukan kepariwisataan di Indonesia tidak mengorbankan kepentingan nasional yang lebih luas. ●
  • Suriah dan Peta Baru Politik Arab

    Suriah dan Peta Baru Politik Arab
    Ibnu Burdah, PEMERHATI TIMUR TENGAH; DOSEN UIN SUNAN KALIJAGA
    Sumber : KOMPAS, 3 Desember 2011

    Sikap negara-negara Arab terhadap Suriah, terutama di forum Liga Arab yang sepakat menjatuhkan hukuman berat terhadap negara itu, mencerminkan beberapa realitas baru dalam peta pergaulan antarnegara-negara Arab.

    Secara umum peta konstelasi masih berporos pada dua kutub lama, yaitu kekuatan yang pro-Iran dan pro-Barat. Namun, perkembangan baru memperlihatkan pergeseran-pergeseran yang tidak bisa diremehkan.

    Qatar tampil jadi ”pemimpin” baru Arab yang cukup diperhitungkan. Kerajaan kecil itu mengambil peran terdepan dalam proses penghukuman terhadap Suriah, negara dengan wilayah dan penduduk jauh lebih besar daripada Qatar. Sejak awal, kerajaan kaya raya itu memelopori sikap keras terhadap Suriah dan memobilisasi dukungan— terutama dari negara-negara Teluk—untuk menjatuhkan sanksi kepada rezim Bashar al-Assad.

    Suara sinis dari pembela Suriah bahkan menyebut markas besar Liga Arab telah berpindah dari Kairo, Mesir, ke Doha, Qatar. Liga Arab dituding tak lebih dari kepanjangan tangan organisasi negara-negara Teluk, GCC (Majlis al-Taawun al-Khalijiy), yang juga dimotori Qatar.

    Qatar dan Arab Saudi

    Dalam sidang darurat para menteri luar negeri Liga Arab di Kairo yang ditindaklanjuti di Maroko, beberapa waktu lalu, Perdana Menteri Qatar Hamad bin Jasim—ia juga merangkap Menlu Qatar dan anggota inti keluarga Ali Tsani—jadi ketua komite dan memimpin sidang yang menghasilkan keputusan yang direspons secara sangat keras oleh pemerintah dan sebagian rakyat Suriah. Bin Jasim bersama Nabil Arabiy, Sekjen Liga Arab, juga memimpin konferensi pers yang cukup panjang untuk menjelaskan detail keputusan tersebut.
    Agresivitas Qatar memang terus menguat dalam pergaulan di kawasan ini sejak menjalarnya gerakan protes rakyat di negara-negara Arab. Peran Qatar juga sangat menonjol ketimbang negara Arab lain dalam proses penjatuhan rezim Khadafy di Libya. Peran Qatar saat ini bukan hanya mirip peran Mesir di bawah pimpinan Hosni Mubarak yang begitu kuat, juga berupaya menampilkan postur baru rezim Arab, yakni pembela rakyat melawan penindasan penguasa otoriter.

    Oleh karena itulah Suriah langsung menunjuk Qatar sebagai dalang lahirnya keputusan Liga Arab yang sangat keras itu. Respons pendukung rezim Assad juga tak kalah keras. Demonstrasi memprotes Qatar, di samping Turki, AS, dan Arab Saudi, berubah menjadi aksi yang diwarnai kerusuhan dan perusakan beberapa kantor kedutaan negara-negara tersebut di Damaskus.

    Negara lain yang ada di barisan depan tentu Arab Saudi, pemimpin tradisional negara-negara Arab di kawasan Teluk. Sebagaimana Qatar, Arab Saudi adalah negara dengan kemampuan finansial melimpah.
    Posisi Arab Saudi di Liga Arab sangat kuat. Bukan hanya karena statusnya sebagai negara pendiri, melainkan juga karena iuran negara itu bagi pendanaan Liga Arab juga paling tinggi. Sebaliknya, Suriah adalah negara dengan iuran rutin termasuk yang terendah bersama beberapa negara Arab-Afrika bagian selatan.

    Arab Saudi sebenarnya sejak lama menginginkan Suriah mendekat ke barisan negara-negara Arab pro-Barat atau menjauh dari Iran yang dipandang sebagai sumber ancaman terbesar kerajaan itu. Faktanya, Suriah justru terus meningkatkan kedekatan strategisnya dengan Teheran.

    Oleh karena itu, jatuhnya rezim Assad merupakan keuntungan politik tersendiri bagi Arab Saudi. Apalagi Suriah juga dicurigai terlibat dalam upaya mengobarkan protes rakyat yang sempat muncul di beberapa kota di Arab Saudi.

    Kedua negara itu, Qatar dan Arab Saudi, jadi sangat agresif dalam politik luar negerinya di kawasan itu sejak kejatuhan Mubarak. Mereka tak lagi dapat memercayakan kepentingan dan jaminan kelangsungan kekuasaannya kepada AS. Tak adanya pembelaan AS secara tegas dan signifikan terhadap Mubarak dalam proses kejatuhannya, padahal Mubarak sangat loyal kepada AS selama berkuasa, membuat kedua negara itu berupaya bertumpu kepada dirinya sendiri, baik dalam pertahanan maupun pergaulan internasional.

    Lebanon-Irak

    Pemimpin negara Arab anti-Barat tampaknya tetap dipegang Suriah. Pemerintah Suriah menyebut Liga Arab telah jadi ”sebuah alat kecil” bagi kepentingan AS. Suriah memandang penggalangan dukungan negara-negara Arab untuk mengisolasi mereka tak terlepas dari upaya lanjutan AS menekan Suriah.

    Sikap Lebanon dan Irak yang tidak mendukung keputusan itu boleh jadi didasari kepentingan-kepentingan pragmatis. Lebanon adalah negara yang mirip sebuah halaman depan bagi Suriah. Sebagian besar wilayah negeri pinggiran Laut Mediterania itu berbatasan dengan Suriah. Hubungan kedua negara, sebelum pembunuhan Rafiq Hariri, ibarat dua daerah berdekatan dalam satu negara. Sangat dekat, sehingga kantor perwakilan Suriah di Lebanon atau sebaliknya pun tidak ada. Bukan karena bermusuhan, melainkan karena kedekatan yang hampir menyatu. Barangkali ini jadi bagian pertimbangan sikap Lebanon yang menentang keputusan sanksi berat atas Suriah.

    Namun, sikap Lebanon sepertinya juga tak lepas dari pergantian rezim di dalam negeri itu. ”Penguasa” pemerintahan baru Lebanon sangat dekat dengan Hezbollah yang merupakan sekutu dekat Iran dan Suriah. Retorika Hasan Nasrallah, Sekjen Hezbollah, menanggapi keputusan Liga Arab itu jauh lebih keras daripada respons Presiden Assad sendiri. Nasrallah dalam beberapa pidatonya sudah mengancam kemungkinan pecahnya perang kawasan.

    Pragmatisme Irak, selain faktor luasnya perbatasan, adalah kenyataan bahwa ribuan pengungsi Irak berada di Suriah, demikian pula sebaliknya. Mereka juga menghadapi ”persoalan” dalam negeri yang sama, yakni masalah Kurdi. Namun, faktor Nuri al-Maliki yang dikenal cukup menjaga ”hubungan baik” dengan Teheran disebut-sebut sebagai faktor penting bagi sikap Irak untuk abstain. Sementara penolakan Yaman terhadap keputusan itu diperkirakan terkait posisi rezim Yaman yang hampir sama dengan rezim Assad, bahkan sudah di ujung tanduk.

    ”Aktor Baru”

    Selain menguatnya pengaruh rakyat dan media sebagai hasil revolusi rakyat Arab, China dan Rusia menunjukkan gejala keterlibatan yang makin meningkat di kawasan ini. Rencana penarikan tentara AS dari Irak menjadi momentum penguatan pengaruh kedua negara itu.

    AS memang berupaya tetap menempatkan pasukan dalam jumlah besar di berbagai bagian di Timur Tengah, tetapi itu tidak mudah. Sejauh ini, China dan Rusia lebih condong kepada kekuatan poros Iran-Suriah dan gerakan-gerakan perlawanan. Sikap kedua negara itu terhadap ”proses” pengisolasian Suriah jelas menunjukkan keberpihakannya.

    Percaturan politik di dunia Arab untuk beberapa waktu ke depan tampaknya akan diwarnai oleh aktor-aktor di atas. Hubungan antar-aktor-aktor itulah yang akan membentuk konstelasi pergaulan antarnegara dan menciptakan realitas baru di kawasan.

  • Hasrat

    Hasrat
    Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 3 Desember 2011
    Sigmund Freud-lah yang berjasa menemukan bagian bawah sadar manusia sebagai penentu gerak hidupnya melalui “psikoanalisis”.

    Dia membalikkan pada zamannya apa yang dulu dipersepsikan sebagai penentu tindakan dan laku manusia yaitu “kesadaran”.Persepsi itu menjadi terbalik manakala dibaca bahwa “yang terpendam dalam bawah sadar manusia” itulah yang tanpa sadar menjadi motor gerak dan laku manusia. Di sana bersemayam secara menggelegak “hasrat” yang secara khusus dalam terminologi Freud ditunjuk sebagai “libido”. Karena itu pulalah Freud mampu menampilkan bagaimana orang-orang yang bawah sadarnya mengalami trauma, hasrat-hasrat yang direpresi melalui analisis psikologi “disehatkan” dengan metode asosiasi bebas.

    Pasien bebas mengeluarkan net-uneg dan pengalaman ketaksadarannya untuk diangkat ke kesadaran dan diakui adanya meski seluka sedalam apa pun. Intinya, kesadaran manusia dilatih menerimanya dan mengiyakannya untuk menyikapi dalam hidup nyata. Untuk Freud, susunan kepribadian orang memiliki trimatra yaitu “ego”, sebagai penentu dan pengontrol apakah “hasrat” dari ID (kawah libido dan hasrat naluri seksual manusia) akan dipenuhi atau tidak dengan prinsip realitas. Sedangkan introjeksi, pembatinan norma-norma atau apa yang dilarang dan yang diperbolehkan sebagai moral dihunjamkan ke anak sebelum akil balik terutama masa umur 1-5 tahun pertama tanpa bisa menolak.

    Ia mengintrojeksi semua larangan-larangan itu ke bawah sadarnya sampai dia nanti bisa mulai mengolahnya saat sudah berumur dewasa. Jadi tiga kata kunci dalam struktur pribadi manusia menurut Freud adalah ego; lalu super-ego,dan ID. Contoh paling menarik bagaimana hasrat ID muncul dalam keinginan untuk minum karena haus, ketika super-ego pendidikan sudah merasuk di kelas, meski ada minuman di meja guru, si anak tidak akan maju ke depan untuk mengambilnya, lalu serta merta meminumnya. Super-ego-lah yang melarangnya memenuhi hasrat minum itu.

    Dalam perkembangan psikoanalisis ini oleh muridmuridnya, CG Jung atau Erich Fromm, mencoba menerapkannya di ranah sosial politik semisal penamaan “trauma tiap bangsa dengan wajah kekerasannya karena dipendamnya hasrat” dalam istilah “shadow”. Di kita serupa dengan “amuk massal”yang sama sumber “shadow”-nya dengan “kekejaman Hitler dengan rezimnya” sampai tega membunuh sesamanya demi pemurnian ras.

    Kuasa

    Pengembangan psikoanalisis Freud menjadi bertambah menarik ketika hasrat diwajahkan tampilnya dalam hasrat untuk berkuasa atau untuk menguasai. Frederich Nietzsche-lah yang dengan dahsyat memaparnya dalam the Will to Power.Hasrat untuk terus berkuasa atau mau berkuasa itu dimiliki setiap orang, yang membedakannya adalah apakah ia punya kesempatan untuk menyatakan dan mewujudkannya serta timing.

    Di dekade kita,hasrat untuk berkuasa ini dipersepsikan bisa lebih cepat mewujud gelegaknya bila punya 3 M, yaitu money,media,dan mass. Karena itu, Niccolo Machiavelli dalam buku praksis kekuasaan berjudul Il Principe (The Prince) menyarankan begitu hasrat ada di tangan sang penguasa untuk menimbunnya dan mengawetkannya sang penguasa harus “kejam”,otoriter, berani menggunakan segala cara untuk mewujudkan tujuan.

    Cerminan buku Machiavelli ini adalah persaingan dan rebutan kuasa di Italia atau Eropa abad pertengahan. Namun, dengan buku itu serta nama besar Machiavelli, sampai hari ini ia menjadi cermin besar betapa di abad ini rebutan kekuasaan yang bersumber dari hasrat kekuasaan itu terus hidup, berebut, bersaing dengan sarana- sarana pengawetnya dan senjata pamungkasnya melalui media cetak, digital, maupun visual; lalu melalui uang serta massa rakyat yang tiap kali bisa kita lihat menjelang pemilu dalam upayaupaya mobilisasi dan politik jual beli suaranya.

    Kontrol

    Dari paparan di atas nyata bahwa hasrat itu irasional; ia sesaudara dengan nafsu(desire). Maka dari itu, hasrat kuasa hanya akan dikontrol oleh kesadaran ego di individu dengan kesadaran budi dan nuraninya. Maka dari itu pula, pertarungan hasrat berkuasa yang sudah membunuh sesama manusia dalam kekejaman perang dunia dua kali PD I dan PD II, akhirnya oleh bangsa-bangsa yang ego budi sehatnya dan nuraninya belajar dari sejarah kelam hancurnya kemanusiaan dirumuskanlah counter culture kesadarannya.

    Bentuknya dengan kesepakatan deklarasi bangsa-bangsa untuk melindungi yang paling berharga dari manusia yaitu “harkatnya” dengan Deklarasi HAM Universal pada 10 Desember 1948. Bayangkan baru setelah seribu sembilan ratus empat puluh delapan tahun orang sampai ke kesadaran matang untuk mengontrol hasrat berkuasa yang bisa saling membunuh sesama. Perkembangan berikutnya, kontrol terhadap hasrat kuasa ini harus dibuat sistem dengan membagi kuasa ini dalam tiga besar untuk bisa saling mengontrol agar tidak absolut,yaitu kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

    Inilah kemenangan peradaban, sebuah perjuangan membuat umat manusia beradab dengan mengontrol hasrat kuasanya agar tidak biadab dengan membaginya sebagai sistem. Lihatlah, makna sistem memang merupakan pengaturan rasional untuk hasrat-hasrat naluriah. Sistemadalah arationalordering of something. Ketika Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya oleh para pendiri bangsa ia dirancang dengan jelas dan jernih untuk mengatur gelegak hasrat kuasa ini dalam sebuah sistem bernegara hukum. Semua warga sama derajat dan harkat kedudukannya di depan hukum.

    Saat berkonflik hukumlah penyelesainya dan sistem demokrasi dengan tiga lembaga saling mengontrol praksis kekuasaan yaitu legislatif, yudikatif,dan eksekutif. Kini terhampar di depan mata telanjang kita dan terbentang di panggung negara Indonesia gaduh riuh politik persaingan hasrat-hasrat kuasa dan rebutan kuasa yang tega mengorbankan cita-cita bernegara yaitu sejahteranya rakyat banyak. Sebenarnya di renung nurani dan budi bangsa ini harus muncul gugatan “sudah hilangkah akal sehat atau rasionalitas bangsa ini?” Justru dalam suasana sukar saling mempercayai sesama warga, pertanyaan ini mesti muncul: sejak kapankah hilang trustdan kepedulian hati?

    Padahal di zaman perjuangan merdeka dalam kemiskinan total dan menyatunya kesukarelaan berkorban apa saja termasuk nyawa gelegak hasrat untuk merdeka dari penjajahan menjadi sumbu gerak perjuangan bahkan setelah terwujud disyukuri bahwa “kemerdekaan adalah berkat rahmat-Nya, rahmat Tuhan, dan adalah hak setiap bangsa”. Jadi, sudah semakin jelas inti soalnya,yaitu ketika kita meninggalkan jalan peradab-an dengan cara melampiaskan hasrat naluri kuasa kita yang tidak akan pernah terpuasi (lantaran itu adalah libido ID) dan tidak berani lagi untuk mengontrolnya dengan “kesadaran akal sehat dan nurani jernih” maka kita berada di lampu kuning jalan sejarah beradab kita.

    Sebab,visi“mencerdaskan kehidupan bangsa”rangkuman dahsyat cita-cita membangsa dan menegara RI para pendiri bangsa sejak awal memuat tugas pendidikan budi cerdas dan nurani jernihnya manusiamanusia Indonesia untuk jalan panjang menapaki kehidupan berbangsa. Dan hanya bila manusia Indonesia cerdas budinya dan jernih nuraninya, mereka akan mampu membuat sistem-sistem hidup bersama yang lebih beradab dan lebih sejahtera dalam bernegara.  

  • Gaya Hidup Konsumtif

    Gaya Hidup Konsumtif
    Benny Susetyo, PEMERHATI SOSIAL, SEKRETARIS EKSEKUTIF KOMISI HAK PGI
    Sumber : SINDO, 3 Desember 2011
    Puluhan orang terjepit dan pingsan akibat saling berdesakan saat antre mendapatkan BlackBerry murah di pusat perbelanjaan Pacific Place, Jakarta (25/11).

    Ribuan orang rela antre sejak malam hari. Orang rela mendapatkan barang mewah dengan harga murah. Mereka berebut memiliki BlackBerry, sebuah barang yang kini bukan saja merupakan alat memperlancar komunikasi, melainkan juga merupakan simbol kemewahan kelas.

    Masyarakat Konsumtif

    Fenomena ini merupakan gambaran gaya hidup masyarakat urban. “Saya membeli maka saya ada.” Status sosial seseorang ditandai dari kemampuannya memiliki produk- produk baru dan mewah. Seseorang akan merasa diri bukan bagian dari ‘modern’ bila melewatkan hiruk-pikuk kepemilikan teknologi modern sebab status sosial itulah yang penting dan harus dikejar. Eksistensi manusia diukur sejauh mana ia mampu membeli.

    Kehidupan dikendalikan oleh mereka yang mampu mendikte atas apa saja yang harus dibeli. Kapitalisme tidak akan berhenti mengajari mode.Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan produk-produk yang membuat kehidupan lebih instan, mudah, dan menyenangkan.Iklan produk-produk terbaru begitu piawai membujuk konsumen untuk menjadi bagian terpenting dalam kehidupan.Semua menawarkan janji surga kenikmatan yang tidak akan didapatkan tanpa memiliki apa yang mereka tawarkan.

    Inilah yang membuat orang akan melakukan cara apa saja tanpa memedulikan etika untuk memperoleh apa yang diinginkan.Semua dilakukan demi mewujudkan janji muluk kapitalisme dengan produkproduk yang mempermudah kehidupan. Masyarakat semakin dikendalikan oleh budaya konsumerisme. Tiada hari tanpa berbelanja dan membeli. Masyarakat pun semakin sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Konsumerisme mengajarkan agar semua ‘keinginan’ dipandang sebagai ‘kebutuhan’ yang harus dipenuhi. Kenyataan hidup seharihari dipenuhi dengan iklan yang penuh bujuk rayu.

    Iklan datang bukan saja di ruang publik, melainkan juga masuk ke ruang-ruang privat individu. Tidak peduli siang dan malam. Berbagai barang baru siap ditawarkan dan didesakkan sedemikian rupa agar dimiliki dan dinikmati. Nilai-nilai yang ditawarkan kerapkali membuat pertahanan hidup kita tak berdaya akibat rayuan serta jebakan hedonisme. Materialisme membuat manusia terasing dari realitas. Tak jarang karena kesibukan mengejar materi belaka, kita kehilangan solidaritas dan memudarnya aspek kemanusiaan.

    Di tengah dunia yang sibuk dengan segala urusan komersialisme dan memberikan penekanan yang sangat berat pada materialisme, kita digugah agar menyadari bahwa manusia bukan semata-mata sebagai alat produksi. Manusia hidup bukan hanya untuk kepentingan materi,yang kerap menjadikan manusia bermusuhan satu sama lain.Manusia hidup juga tidak hanya untuk dirinya sendiri dan memupuk keserakahan individualnya.

    Budaya Instan

    Kompetisi ekonomi yang semakin sengit memacu orang untuk melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan. Meningkatnya kriminalitas merupakan pertanda dari semakin permisifnya perilaku yang membolehkan segala cara. Orang terpancing dan terjebak untuk melakukan tindakantindakan di luar batas kemanusiaan, demi mengejar pemenuhan ‘keinginan’ yang sudah menjadi ‘kebutuhan’.

    Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas. Ini menciptakan mentalitas konsumtif. Fenomena ini sekarang membudaya pada bangsa ini. Semua serbainstan. Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Di tengah karut-marut persoalan sosial bangsa, kita justru tidak memperoleh teladan dari elite.

    Mereka yang ada di Senayan berlomba-lomba menjadi pemimpin sikap hidup individualis. Bukan teladan hidup sederhana, melainkan kemewahan. Begitu pula para pejabatnya. Seolah hilang keabsahan mereka sebagai elite bila tidak hidup dalam kemewahan. Hal ini menciptakan masyarakat tidak produktif karena gaya hidup menjadi bagian status sosial sehingga masyarakat berbudaya konsumtif. Gaya hidup seperti membuat biaya hidup menjadi tinggi karena masyarakat tidak tahu lagi mana yang penting dan urgen dalam hidup.

    Dibutuhkan sebuah kesadaran baru akan pentingnya pendidikan nilai-nilai mengedepankan solidaritas dan kesetiakawanan agar pola hidup konsumerisme tidak menjadi gaya hidup masyarakat.