Blog

  • Menghalau Radikalisme Agama di Sekolah

    Menghalau Radikalisme Agama di Sekolah
    Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
    Sumber : JIL, 12 Desember 2011
    “Kelompok Islam Wahabi berideologi puritan sekaligus radikal terus mendirikan sejumlah pesantren. Tak kurang dari belasan pesantren yang telah dirintis kelompok Wahabi di Indonesia. Sebagaimana sekolah Wahabi di Arab Saudi, sejumlah pesantren Wahabi di Indonesia mengkampanyekan doktrin yang sama. Mereka suka memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berbeda dengan ajaran Wahabi. Tak cukup hanya mengkafirkan dan memusyrikkan, jika suasana sosial-politik sudah pendukung, kelompok Wahabi tak ragu untuk menggunakan cara kekerasan di dalam mengubah pendirian orang Islam lain. Jalan kekerasan itu pernah dilakukan kelompok Wahabi Arab Saudi terhadap umat Islam lain yang dianggap menyimpang. Kelompok Wahabi tak hanya bengis kepada non-muslim, tapi juga keras kepada umat Islam sendiri yang non-Wahabi.”
    Sekolah adalah tempat anak-anak bertumbuh secara intelektual dan matang secara sosial. Di sekolah-sekolah publik, sekolah tak hanya dihuni satu kelompok; kelompok agama, kelompok etnik, dan kelompok sosial-ekonomi. Para siswa datang dari berbagai strata dan lapisan sosial-keagamaan. Di antara mereka, ada yang beragama Protestan, Katolik, Hindu, Budha, di samping Islam bahkan Konghucu dan berbagai jenis aliran kepercayaan lainnya. Dengan demikian, sekolah memiliki peranan penting dalam proses pengolahan pluralitas menjadi pluralisme. Sekiranya pluralitas adalah fakta, maka prluralisme adalah kesadaran untuk menghargai perbedaan-perbedaaan itu. Bahwa seseorang tak boleh di-ekskomunikasi dan diisolasi karena yang bersangkutan menganut agama tertentu. Setiap orang punya hak dan bebas memilih suatu agama. Hak itu dijamin dan dilindungi konstitusi: UUD 1945.
    Namun, belakangan muncul anomali dan deviasi. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya kecenderungan radikalisasi agama di sekolah. Kerap diberitakan sejumlah media, sejumlah siswa sekolah menghilang tanpa sepengetahuan guru dan orang tuanya. Setelah dilacak ternyata mereka menjadi bagian dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Kita tahu NII adalah salah satu gerakan yang terus memupuk dan mengkampanyekan berdirinya negara Islam seperti yang dikehendaki pendirinya, yaitu S.M Kartosoewirjo. Dalam ideologi NII lantang dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kafir, karena tak berdiri di atas fondasi al-Qur’an dan Hadits. Tak sedikit di antara mereka yang membolehkan pencurian karena harta warga negara Indonesia adalah harta fa’i atau ghanimah yang boleh diambil, dengan cara paksa seperti perampokan atau dengan cara penipuan. Bahkan, orang lain yang tak berbai’at dan tak mengakui NII dianggap kafir. Umat agama lain adalah ancaman.
    Itu di sekolah publik yang didirikan dan dibiayai oleh negara. Belum lagi kalau kita bicara pembelajaran di lembaga pendidikan yang dikelola swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak. Kelompok Islam Wahabi berideologi puritan sekaligus radikal terus mendirikan sejumlah pesantren. Tak kurang dari belasan pesantren yang telah dirintis kelompok Wahabi di Indonesia. Sebagaimana sekolah Wahabi di Arab Saudi, sejumlah pesantren Wahabi di Indonesia mengkampanyekan doktrin yang sama. Mereka suka memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berbeda dengan ajaran Wahabi. Tak cukup hanya mengkafirkan dan memusyrikkan, jika suasana sosial-politik sudah pendukung, kelompok Wahabi tak ragu untuk menggunakan cara kekerasan di dalam mengubah pendirian orang Islam lain. Jalan kekerasan itu pernah dilakukan kelompok Wahabi Arab Saudi terhadap umat Islam lain yang dianggap menyimpang. Kelompok Wahabi tak hanya bengis kepada non-muslim, tapi juga keras kepada umat Islam sendiri yang non-Wahabi.
    Bukan hanya kelompok Wahabi. Kita juga menyaksikan gelombang radikalisme itu dihentakkan kelompok-kelompok radikal Islam Indonesia asuhan Osama bin Laden, Abdullah Azzam, Ayman al-Zawahiri, dan lain-lain. Sebagaimana kaum Wahabi, mereka pun mendirikan sejumlah pesantren, para tokohnya banyak yang berperan sebagai muballigh/da’i di tengah masyarakat. Bukan hanya orang tua yang datang ke pengajian tokoh-tokoh radikal Islam itu, melainkan justru sebagian besarnya adalah anak-anak muda tanggung yang biasanya masih dalam proses pencarian jati diri. Otak mereka dicuci untuk menghancurkan negeri sendiri. Anak-anak muda itu diberi pemahaman bahwa Indonesia adalah negara thagut yang wajib dibasmi. Pencucian otak berlangsung secara sistematis dan terstruktur dalam kurikulum pendidikan mereka. Bahkan, pesantren mereka tak hanya berperan sebagai ruang ajar radikalisme melainkan tempat latihan merakit dan meledakkan bom. Masih segar dalam ingatan, meledaknya bom di Ma’had Umar ibn Khattab, Bima Nusa Tenggara Barat, pada Senin 11 Juli 2011. 
    Sekolah telah berubah fungsi; dari lumbung pertumbuhan intelektualisme menjadi tempat persemaian mudigah radikalisme. Menghadapi itu, saya mengusulkan dua langkah. Pertama, pemerintah jangan ragu untuk mengintervensi sekolah-sekolah anti Pancasila, UUD 1945, dan negara bangsa. Pemerintah perlu memasukkan mata pelajaran pendidikan kewarga-negaraan ke semua jenjang sekolah di Indonesia, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Sejak dini, anak-anak didik kita perlu mendapatkan asupan pengetahuan tentang, misalnya, (a) kenapa kita menempuh jalan demokrasi dan bukan teokrasi; (b) kenapa Indonesia tak menjadi negara agama melainkan negara yang bertumpu pada Pancasila; (c) kenapa seluruh warga negara berkedudukan sama; yang satu tak lebih unggul dari yang lain karena faktor agama yang dianutnya. 
    Kedua, kontrol wali murid terhadap sekolah sangat diperlukan. Orang tua tak boleh “pasrah-bongkokan” pada sekolah. Mereka perlu tahu tentang jenis-jenis mata pelajaran sang anak dan siapa pengajarnya. Bagaimana pandangan sekolah tersebut tentang negara Indonesia, umat berbeda agama-keyakinan, dan perempuan. Bahkan, secara lebih khusus, wali murid perlu mengetahui tentang siapa pengajar-dosen agamanya [menyangkut latar belakang pendidikan dan keluarga dari yang bersangkutan]. Dengan menjadi orang tua yang proaktif dan kritis, maka anak-anak kita tak akan salah asuhan. Sebab, tak sedikit anak-anak yang unggul di bidang fisika dan kimia, tapi di tangan guru agama fundamentalis bisa menjadi anak fundamentalis bahkan teroris. Na’udzu billah. 
    Dua langkah ini diajukan sebagai upaya untuk menghalau radikalisme agama yang tumbuh subur di sekolah-sekolah Indonesia belakangan ini.  
  • Agama dan Sikap terhadap Waria

    Agama dan Sikap terhadap Waria
    Abdul Muiz Ghazali, ALUMNUS PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA, JOGJAKARTA
    Sumber : JIL, 12 Desember 2011
    “Kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.”
    Waria dianggap meresahkan. Mereka diusir, dianiaya, dan dibunuh. Tak jarang pemerintah melalui aparaturnya seperti polisi dan satpol PP melakukan sejumlah penggerebekan terhadap waria. Tindak kekerasan dan diskriminasi tak pernah sirna dari kehidupan waria. Peminggiran bahkan tak hanya terhadap waria, tapi juga terhadap siapa saja yang mendampingi dan mendiskusikan tentang waria. Dengan demikian, tak banyak orang yang berani turun tangan mengadvokasi waria. Sebab, waria telah dipandang sebagai penyimpangan. Waria dianggap sumber maksiat dan kejahatan. Menurut kelompok kontra waria, Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak waria.
    Tak satu pun ayat al-Qur’an yang menyinggung jenis kelamin (identitas seks) selain laki-laki (al-dzakar) dan perempuan (al-untsa). Tetapi, dalam hadits disebut jenis kelamin lain yang dinamakan khuntsa, yakni seseorang yang mempunyai alat kelamin ganda (hermaphrodit). Kitab-kitab fikih telah banyak menyinggung soal hukum khuntsa ini, bahkan fikih telah mengajukan satu kategori lebih lanjut, yaitu khuntsa musykil, berikut postulat-postulat hukumnya. Dengan demikian, khuntsa bukan waria karena waria hanya memiliki satu alat kelamin: penis. Waria lebih tepat dipahami sebagai seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan. Kondisi seperti ini dalam hadits dinamakan mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan.
    Dalam hadits riwayat ‘Aisyah dikatakan bahwa seorang mukhannats pernah masuk ke ruangan istri-istri Nabi. Lalu Nabi tak menginginkannya. Nabi bersabda, “Tidakkah kamu lihat, mukhannats ini mengerti apa saja yang ada di sini. Maka, jangan masukkan mereka ke rumah kalian”. Setelah itu, istri-istri Nabi menghalangi mukhannats tersebut jika yang bersangkutan hendak memasuki rumah. (HR. Muslim). Menghadapi hadits ini, al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim coba membuat kategorisasi. Yaitu, mukhannats min khalqin (given) dan mukhannats bi al-takalluf (constructed). Pada yang pertama, menurut al- Nawawi, mereka tidak tercela dan tidak berdosa. Bergaul dengan mereka tidak dilarang. Sementara terhadap yang kedua, hukumnya dosa dan terlaknat.
    Setarikan nafas dengan al-Nawawi adalah pendapat Ibn Hajar. Ia juga membagi mukhannats ke dalam dua bagian: min ashlil khilqah (tercipta sejak dalam janin) dan bil qashdi (lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya dan berperilaku seperti perempuan).  Menurut Ibn Hajar, jenis pertama tak terlaknat (ghair mal’un) tapi harus tetap diupayakan agar yang bersangkutan bisa mengubah diri menjadi lelaki sejati. Membiarkan dan merelakan diri dengan kondisi itu tanpa ada usaha, ia akan tetap mendapat celaan—celaan sosial juga teologis.
    Pandangan al-Nawawi dan Ibn Hajar “diinspirasikan” oleh firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 5. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa penciptaan manusia itu ada yang sempurna (mukhallaqah) dan ada yang tak sempurna (ghair mukhallaqah). Mayoritas mufassir memahami ghair mukhallaqah ini sebagai ketidaksempurnaan secara jasmaniah, baik berupa keguguran maupun cacat. Ini wajar karena para mufassir hanya melihat apa yang ada saat itu dan ilmu pengetahuan masih belum berkembang seperti sekarang ini.
    Namun, jika memperhatikan penjelasan kedokteran, kita akan menemukan penjelasan lain. Janin bermula dari zygote, penyatuan sperma dan ovum. Jika zygote mengandung satu kromosom X dari perempuan dan satu kromosom Y dari laki-laki, maka ia akan menjadi janin laki-laki. Sebaliknya, jika zygote terdiri dari kromosom X dari benih laki-laki dan satu kromosom X dari benih perempuan, maka ia akan menjadi janin perempuan. 
    Tapi, jika dalam zygote terjadi kombinasi tanpa mengalami pembelahan kromosom, maka si janin akan mengidap kelainan. Bukan hanya itu, ketika janin berusia delapan minggu akan tetapi kurang mendapat asupan testoteron ke otaknya, sekalipun berjenis kelamin laki-laki, maka secara kejiwaan, termasuk orientasi seksualnya, adalah perempuan.
    Itu mungkin yang dimaksud ghair mukhallaqah dalam ayat tersebut. Sebab, dalam al-Qur’an terdapat penjelasan bahwa ada sebagian lelaki yang tidak berhasrat secara seksual dan tidak menginginkan untuk hidup bersama perempuan. Al Qur’an menamakannya sebagai ghair uli al-irbat min al rijal (QS., 24:31). Waria secara kejiwaan memang tidak memiliki hasrat untuk membangun rumah tangga dengan perempuan. 
    Sebaliknya, sebagaimana perempuan, waria menghendaki membangun rumah tangga bersama laki-laki. Ini hanya sedikit ayat yang bisa dipakai untuk merespons waria, bahwa waria adalah seorang lelaki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa (ghair mukhallaqah) yang tidak memiliki hasrat seksual sedikitpun terhadap wanita (ghair uli al-irbat).
    Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan waria dalam hukum Islam? Bagaimana tentang perilaku seksualnya? Sama-sama “berkelainan”, waria berbeda dengan khuntsa (hermaphrodit). Waria tak pernah menjadi diskursus dalam fikih Islam. Misalnya, tentang shalatnya, zakatnya, hajinya, dan hukum warisnya. Diskursus tentang waria selalu mengarah pada perilaku seksualnya. Waria (di)identik(kan) dengan sodomi atau liwath. Tentang sodomi ini, nyaris semua ulama mengharamkannya. Sodomi dianggap sebagai perilaku seksual abnormal, menjijikkan dan karena itu harus diajuhi. 
    Dalil yang menjadi sandaran keharamannya adalah al-Qur’an yang mengisahkan tentang kisah Nabi Luth (misalnya, QS., 7:80-81; 26:165-166; 27:54-55). Sejumlah hadits yang mengutuk perilaku kaum Luth juga banyak.
    Namun sebagaimana zina, seluruh ulama memberi satu rambu bahwa tuduhan sodomi memerlukan empat saksi yang masing-masing saksi melihat dengan mata telanjang masing-masing, hubungan seksual itu dilakukan. Tanpa ada empat orang saksi, tuduhan itu tidak sah dan penuduhnya bisa mendapat hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Dengan perkataan lain, menuduh sodomi kepada waria tanpa menghadirkan empat orang saksi adalah qadzaf, sebuah tuduhan palsu yang notabene adalah tindak kriminal. Apalagi tak seluruh waria melakukan praktek sodomi. Tak sedikit di antara mereka, yang memandang bahwa sodomi adalah kejahatan. Karena itu, menghindari generalisasi terhadap perilaku seksual waria adalah jalan arif dan bijaksana.
    Dalam kasus sodomi banyak waria mempertanyakan, kenapa hanya waria yang dipersalahkan. Kenapa publik tak juga menghukum para pria yang datang menghampiri para waria. Di sini tampak adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Sebab, demikian waria beragumen, sodomi itu mengandaikan dua pihak: waria dan pria yang mendatangi. Para waria juga kerap bertanya, jika perilaku seksual waria dianggap menyimpang, mengapa orang ramai tak jua memandang perilaku pria yang menyodomi waria sebagai menyimpang.
    Dengan penjelasan-penjelasan ini, kita membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria. Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah, bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.  
  • Deklarasi Juanda 1957, Produk Geopolitik “Par Excellence”

    Deklarasi Juanda 1957,
    Produk Geopolitik “Par Excellence”
    Urip Santoso, PENASIHAT FORUM MASYARAKAT MARITIM INDONESIA, CHAIRMAN CENTRE FOR MARITIM STUDIES INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 13 Desember 2011
    Deklarasi Juanda tahun 1957 dalam era Soekarno bernilai sangat geopolitis dan geostrategis. Tetapi apakah hal itu dihayati para pemimpin di era reformasi?
    Padahal salah satu hasil penting deklarasi ini adalah UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang merupakan pengakuan Indonesia sebagai negara archipelago (maritim) terbesar di dunia.
    Bayangkan teritori Indonesia menjadi mekar hampir lima kali luas asalnya menjadi 5.193.250 km persegi, di mana 60 persennya atau 3.166.163 km persegi berupa laut (Prof Dr M Dimyati Hartono, SH). Artinya, kodrat dan sejarahnya adalah bahari atau maritim. Apakah identitas ini masih ada setelah 66 tahun Indonesia merdeka?
    Memang banyak masalah yang menyangkut eksistensi Indonesia sebagai negara bahari. Sayangnya, kita tidak mampu menyelesaikan secara tangkas dan terhormat berbagai persoalan kebaharian itu.
    Artinya, walaupun Indonesia oleh UNCLOS resmi diakui sebagai negara maritim terbesar di dunia, kenyataannya kita belum diperlakukan sebagai negara maritim yang tangguh. Moto TNI AL “Yalesveva Jayamahe” hanya menjadi semacam paradoks.
    Kita perlu menemukan kembali identitas kebaharian sebagai identitas bangsa. Jakob Oetama, salah satu sosok yang mempunyai komitmen tentang eksistensi kebaharian Indonesia, pernah menyatakan keprihatinannya 10 tahun lalu. Dia melemparkan gagasan menarik tentang pentingnya menemukan kembali (reinventing) Indonesia melalui kelautan.
    Kata reinventing secara implisit mengandung makna ada sesuatu yang hilang dan harus ditemukan kembali. Apakah yang sudah hilang itu? Yang hilang adalah kesadaran bahwa bangsa kita adalah bangsa bahari yang dulu pernah jaya. Oleh karena itu, menemukan kembali (reinventing) Indonesia berarti menemukan kembali identitas kebaharian sebagai identitas bangsa.
    Penemuan kembali identitas sebaiknya tidak terjebak pada sekadar romantisme sejarah Sriwijaya dan Majapahit dahulu yang memang jaya. Sekadar menyebut contoh; kasus-kasus Sipadan dan Ligitan di Pantai Timur Kalimantan, Ambalat di sebelah barat Kalimantan, dan belum lama ini seorang nelayan Indonesia meninggal di penjara Malaysia.
    Ahmad Zailani atau Eli (34) bersama 12 nelayan dari Deli Serdang, Sumatera Utara, ditahan di penjara Malaysia. Eli kemudian meninggal di penjara.
    Yang lebih parah lagi adalah kebijaksanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuka keran impor ikan untuk memenuhi permintaan industri pengalengan. Padahal dapat dipastikan ikan-ikan itu juga berasal dari perairan Indonesia.
    Pemerintah seharusnya mencari jalan keluar yang mendasar. Bukankah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari awal sudah bersemboyan pembangunan yang pro-job, pro-growth,dan pro-poor? Sangat mengenaskan, memang, nasib nelayan Indonesia.
    Ada olok-olok yang beredar di lingkungan para nelayan di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Mereka mengatakan nelayan itu “digdaya” (sakti), tetapi sebetulnya hanyalah akronim. Arti sebenarnya gudig sedaya; sangking miskinnya, seluruh badannya gudigan (kudisan).
    Tagih Janji SBY
    Ada masalah yang tidak kalah penting. Sesuai pesan UU RI No 17 Tahun 2008, seharusnya pada 2011 sudah terbentuk Coast Guard Indonesia yang sudah operasional. Tetapi yang kita saksikan saat ini barulah Bakorkamla yang sudah dapat diperhitungkan tidak mungkin dapat berfungsi secara efisien untuk menjaga dan mengatur lautan yang demikian luasnya.
    Institusi Bakorkamla terdiri dari tidak kurang tujuh instansi yang masing-masing per UU memiliki kewenangan (otoritas) wilayah hukumnya sendiri-sendiri. Tidak mengherankan kalau hingga sekarang masih sulit untuk Indonesia memiliki coast guard di bawah satu komando.
    Mengapa? Penyebab utamanya, kepentingan-kepentingan sempit masing-masing sektor. Lautan dari dulu tidak dapat dikapling seperti halnya di darat.
    UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 (UU RI No 17 Tahun 2007) telah disetujui dan ditandatangani Presiden SBY pada 5 Februari 2007.
    Di sana tersurat tentang Visi dan Misi Pembangunan Nasional tahun 2005–2025, yang antara lain mencantumkan kalimat ”Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”. Artinya, menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan.
    Selama ini ada dua Presiden RI yang memberikan perhatian serius pada masalah kebaharian/maritim. Pertama, Presiden Soekarno yang pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya menjelaskan Pancasila sebagai dasar negara berkata, our geopolitical destiny is maritim. Di kemudian hari secara konsekuen, Soekarno membuktikan apa yang dia katakan.
    Soekarno mendukung sepenuhnya ikhtiar dan usaha PM Juanda mengenai Deklarasi Juanda. Lantas, dalam usaha merebut kembali Irian Jaya (Nederlands Nieuw Guinea) di tahun 1962, dia mengembangkan Indonesia menjadi negara yang sangat disegani tidak saja di lingkungan ASEAN, tapi juga di Asia Selatan. Dalam rangka Trikora itu, hadir kapal tempur RI Irian dan kapal-kapal selam Indonesia kelas Whiskey.
    Di udara, Belanda digentarkan pesawat-pesawat bomber dan tempur MIG dan Ilyushin. Presiden kedua adalah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menghidupkan kembali tanggal 13 Desember resmi sebagai Hari Nusantara pada 1999.
    Bagi SBY yang masih mempunyai waktu 25 bulan ke depan diharapkan bisa memenuhi janjinya yang termaktub dalam UU RI tahun 2007. Dia perlu menunjukkan akankah dirinya dikenang rakyatnya sebagai Presiden RI ke-3 yang menemukan kembali identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari?
    Artinya, merealisasi Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember yang isinya menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki corak tersendiri. Kedua, bahwa sejak dahulu kala Kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan. Ketiga, ketentuan ordonansi 1939 dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
    Deklarasi itu mengandung satu tujuan, yakni mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat, untuk menentukan batas-batas NKRI sesudah dengan asas negara kepulauan, dan untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI. 
  • Makna Hari Nusantara

    Makna Hari Nusantara
    Rokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA
    Sumber : REPUBLIKA, 13 Desember 2011
    Kendati Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 secara geopolitik dan geoekonomi sangat penting bagi kejayaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, namun kita baru memperingatinnya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000. Kemudian, melalui Keppres No 126/2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember sebagai Hari Nasional, yang kemudian diperingati setiap tahun. Tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut Indonesia hanya sekitar 1/3 dari potensi yang kita miliki sekarang.

    Wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau kita. Sehingga, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional), yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita, dan ini berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
     
    Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djoeanda, perdana menteri pada waktu itu, dengan berani pada tanggal 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

    Deklarasi Djoeanda tidak langsung diterima oleh masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat dan Australia menentangnya. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi oleh para penerusnya, seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr Hasyim Djalal, deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) tersebut diterima oleh masyarakat dunia dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea, UNCLOS) 1982.  

    Peran Strategis Laut

    Kini, kita memiliki wilayah laut, termasuk ZEEI, seluas 5,8 juta kilometer persegi (km2) yang merupakan tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat lebih dari 17 ribu pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia.

    Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI, yaitu: Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djoeanda pada 13 Desember 1957.

    Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geokonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan; maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

    Lebih dari itu, laut Indonesia juga berperan sentral untuk pengendalian dinamika iklim global, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, penetralisasi limbah, dan sistem penunjang lainnya yang membuat sebagian besar permukaan bumi layak dan nyaman dihuni manusia. Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

    Potensi total ekonomi 11 sektor kelautan itu mencapai 800 miliar dolar AS (Rp 7.200 triliun) per tahun, lebih dari enam kali lipat APBN 2011 atau satu setengah kali PDB saat ini. Sedangkan kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan sekitar 40 juta orang. Karena itu, bila kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara produktif, maka masalah pengangguran dan kemiskinan otomatis akan terpecahkan.

    Pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan yang berlangsung di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan juga bakal menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang menyebar secara proporsional di seluruh wilayah nusantara. Hal ini tentu akan membantu penyelesaian permasalahan nasional lainnya berupa distribusi penduduk yang sangat tak seimbang, urbanisasi, dan brain drain dari luar Jawa ke Jawa dan dari desa ke kota. 

    Pembangunan ekonomi kelautan, utamanya sektor perhubungan laut dan industri galangan kapal, juga akan secara signifikan meningkatkan efisiensi dan daya saing perekonomian Indonesia. Betapa tidak, sekitar 70 persen dari total barang ekspor Indonesia harus melalui Singapura karena hingga kini kita belum memiliki hubport bertaraf internasional. Ongkos per kontainer untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Surabaya dua kali lebih mahal ketimbang dari Singapura ke Los Angles.

    Saat ini, biaya logistik di Indonesia mencapai 30 persen dari biaya produksi. Sedangkan, AS, Singapura, atau emerging economies lain, seperti Malaysia, Thailand, China, dan Vietnam mampu menekan hingga di bawah 10 persen. Yang lebih mengenaskan, sejak 1986 sampai sekarang kita menghamburkan devisa 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk membayar kapal-kapal asing yang mengangkut barang ekspor-impor dan antarpulau.

    Reorientasi Pembangunan

    Sayangnya, hingga kini kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB masih rendah, hanya 22 persen. Sementara, negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Korea Selatan, Jepang, Cina, Thailand, Norwegia, dan Islandia, sumbangan sektor kelautan bagi PDB-nya rata-rata lebih dari 35 persen.

    Oleh sebab itu, kini saatnya kita mereorientasi pembangunan nasional dari yang berbasis daratan ke kelautan. Pada tataran praktis, koridor-koridor ekonomi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hendaknya dibangun berbasis pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan wilayah pulau-pulau kecil. Artinya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi harus dibangkitkan dengan membangun kelompok-kelompok industri terpadu berbasis ekonomi kelautan yang ditopang oleh pelabuhan berkelas dunia.

    Pelabuhan-pelabuhan laut itu dapat digunakan juga untuk mengapalkan komoditas dan produk yang berasal dari wilayah daratan, seperti perkebunan, tanaman pangan, ternak, industri manufaktur, dan pertambangan. Sarana transportasi laut juga harus diperkuat dan dikembangkan agar mampu memecahkan masalah konektivitas antarwilayah pulau yang selama ini membuat ekonomi nasional kurang efisien. Pada saat yang sama, kita tingkatkan pendayagunaan sumber daya laut dalam, perikanan, migas, dan mineral lainnya di wilayah ZEEI bagian Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik. 

    Selanjutnya, tata ruang wilayah darat, baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota hendaknya disusun (ulang) berdasarkan pada peruntukan wilayah pesisir dan laut. Industri berat dan pertambangan sebaiknya ditempatkan di wilayah-wilayah darat yang wilayah pesisir dan lautnya memiliki kapasitas mengasimilasi limbah yang tinggi atau bukan untuk sektor-sektor pembangunan yang mensyaratkan kualitas lingkungan prima.

    Apabila seluruh kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal-moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek, dan otonomi daerah) mendukung pembangunan ekonomi kelautan, insya Allah cita-cita kita bersama untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan mandiri pada 2025 sebagaimana tersurat dalam dokumen MP3EI akan terwujud. Semoga puncak peringatan Hari Nusantara ke-11 yang bakal digelar di Kota Dumai, Riau, pada 13 Desember tahun ini diberkahi Allah SWT.  

  • Mendorong Industri Hilir Komoditas Pertanian

    Mendorong Industri Hilir Komoditas Pertanian
    Khudori, ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT
    Sumber : REPUBLIKA, 13 Desember 2011
    Berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk mendorong dan mengembangkan industri hilir, khususnya industri berbasis bahan baku komoditas pertanian. Berbagai usaha sudah dilakukan. Namun, industri hilir berbasis komoditas pertanian belum begitu berkembang. Berbagai komoditas unggulan, seperti minyak sawit, karet, kopi, kakao, teh, rempah-rempah, dan produk biji-bijian, dijual dalam bentuk mentah dengan nilai tambah rendah.

    Ironisnya, setelah diolah, produk jadi itu membanjiri pasar kita. Yang meraih keuntungan tentu importir yang mengolah bahan mentah itu. Industri (hilir) pertanian sebagai pertanda keberhasilan transformasi ekonomi nasional jauh panggang dari api.

    Untuk mendorong industri hilir, komoditas pertanian diusulkan menerapkan bea ekspor atau menutup ekspor bahan mentah (baku). Pemberlakuan bea ekspor diusulkan untuk kelapa, kelapa sawit (CPO), dan kakao. Sedangkan, penutupan ekspor bahan mentah diusulkan untuk rotan. Alasan klasik selalu mengiringi usulan ini: bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah akan menjamin pasokan bahan baku bagi industri domestik. Hal ini akan mendorong perkembangan industri hilir. Pertanyaannya, benarkah bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah langkah tepat mendorong industri hilir?

    Beban Bagi Petani
    Bahan baku merupakan unsur penting bagi berkembang-tidaknya industri hilir. Ketika bahan baku tersedia berkesinambungan, industri hilir akan mendapatkan kepastian pasokan berproduksi sepanjang tahun dengan harga rendah. Masalahnya, bahan baku bukan satu-satunya penentu berkembang-tidaknya industri hilir.

    Di luar bahan baku ada lembaga keuangan (perbankan), ketersediaan infrastruktur pendukung, ekonomi biaya tinggi akibat pelbagai pungutan, beban pajak yang memberatkan, dan berbagai insentif yang tidak mendukung. Tanpa dukungan memadai dari semua faktor itu, ketersediaan bahan baku tidak akan menjamin industri hilir berkembang. Bahan baku pun sia-sia.

    Salah satu contohnya adalah bea ekspor minyak sawit mentah (CPO). Berbagai kajian menunjukkan, bea ekspor bukan instrumen yang tepat untuk mendorong industri hilir. Karena, kenaikan rata-rata satu persen bea keluar hanya menurunkan ekspor rata-rata 0,36 persen (Susila, 2008). Artinya, ekspor tidak elastis terhadap perubahan bea keluar. Kenaikan bea keluar tak akan efektif mendorong industri hilir sawit karena tidak otomatis membendung ekspor CPO, terutama saat harga produk primer perkebunan amat tinggi seperti saat ini.

    Selain itu, karena posisinya kuat, pengusaha akan mencari kompensasi kenaikan bea keluar, baik ke hilir maupun hulu. Sebagai pihak yang paling lemah, petani akan menjadi korban. Eksportir akan mentransfer beban bea keluar itu kepada petani. Ini ditunjukkan oleh elastisitas ekspor terhadap perubahan harga ekspor umumnya yang inelastis (elastisitas antara 0,10-0,66).

    Menurut hitungan Susila (2008), dengan bea keluar hanya lima persen, gross margin petani turun Rp 540 ribu/hektare/tahun. Dengan penguasaan lahan 3,6 juta hektare dari 8,36 juta hektare sawit oleh petani, pendapatan petani yang ditransfer kepada eksportir atau pemilik industri refinery senilai Rp 1,94 triliun. Ini perampasan legal dengan kedok bea ekspor. Sungguh tidak adil bahwa petani harus menyubsidi industri hilir dan eksportir yang kaya.

    Dengan struktur perdagangan produk kelapa sawit yang masih dibelit masalah struktural, seperti di Indonesia, dampak distorsi dari bea ekspor CPO amat nyata. Selain menurunkan pendapatan petani, kenaikan bea keluar berdampak negatif pada industri hulu sawit yang dicerminkan oleh penurunan harga di tingkat produsen (petani), areal, produktivitas, dan produksi. Bahkan, menurut kalkulasi Oktaviani (2007), bea keluar 6,5 persen dan 15 persen akan menekan variabel makroekonomi (inflasi, product domestic brutto/PDB, dan upah riil). Bea keluar 6,5 persen dan 15 persen justru mendorong peningkatan ekspor CPO Malaysia, saingan utama Indonesia, masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen.

    Dampak yang tidak diinginkan semacam ini juga ditemukan pada komoditas pertanian lainnya. Menurut Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), setelah 1,5 tahun penerapan bea ekspor, industri pengolahan kakao hingga kini tidak berkembang. Bea ekspor justru mempersulit industri dan menurunkan daya saing industri pengolahan kakao domestik. Bea keluar hanya cocok untuk industri yang mempunyai modal besar, jaringan pemasaran, dan produk bervariasi. Artinya, masalah industri hilir kakao bukan persoalan bahan baku.

    Oleh karena itu, harus ditelisik terlebih dahulu secara saksama apakah benar biaya bahan baku adalah penyebab tidak berkembangnya industri pengolahan komoditas pertanian dalam negeri. Hal ini penting karena yang memikul beban bea ekspor adalah petani. Kita dapat belajar dari kasus perkebunan, kehutanan, dan perikanan laut. Data serial waktu yang cukup panjang, 1960-2000, menunjukkan bahwa pada periode tersebut harga-harga di pasar dunia untuk minyak sawit turun dari 1.102 dolar AS ke 307 dolar AS per ton; minyak kelapa turun dari 1.507 dolar AS ke 446 dolar AS per ton; kakao turun dari 285 sen menjadi 90 sen per kg; karet turun dari 377 sen menjadi 68 sen per kg.

    Secara agregat perkembangan sama, yaitu harga riil produk pertanian turun dari indeks 208 pada 1960 menjadi 87 pada 2000 dan indeks harga bahan baku pertanian turun dari indeks 220 pada 1960 menjadi 91 pada 2000 (pada 1990=100) (Pakpahan, 2004). Potret terbaik bisa dilihat pada industri berbasis kehutanan. Setelah jutaan hektare hutan dieksploitasi dan Indonesia berubah menjadi penghembus gas-gas rumah kaca, industri berbasis kehutanan tidak berkembang. Di bidang perikanan laut kurang-lebih sama: setelah laut dieksploitasi berlebih, industri berbasis perikanan laut juga tidak berkembang. Di tengah melimpahnya sumber daya perikanan, kini kita justru mengimpor ikan.

    Untuk mendorong industri hilir komoditas pertanian, solusinya tidak bisa dipukul rata. Masing-masing komoditas memiliki karakteristik persoalan berbeda. Untuk mendorong industri hilir, kebijakan mestinya diarahkan untuk mengatasi masalah riil yang menjadi penyebab lambatnya industri hilir pertanian.

    Pertama, memudahkan industri hilir menembus pasar yang didominasi perusahaan multinasional, seperti kebijakan tarif, promosi, dan kerja sama bilateral/multilateral. Kedua, menurunkan tarif bea masuk untuk mesin dan bahan penolong industri hilir perkebunan. Ketiga, melakukan harmonisasi tarif yang belum harmonis. Keempat, memberikan insentif investasi dalam bentuk keringanan pajak (tax holiday), kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur yang memadai.  

  • Perjuangan Harus Pro-Kehidupan, Titik!

    Perjuangan Harus Pro-Kehidupan, Titik!
    Reza Indragiri Amriel, MANTAN KETUA DELEGASI INDONESIA PROGRAM PERTUKARAN PEMUDA, PSIKOLOG
    Sumber : KORAN TEMPO, 13 Desember 2011
    Aksi bakar diri di depan Istana Negara beberapa hari lalu menyisakan pertanyaan. Apakah pelaku melakukan aksi bunuh diri (suicide) namun keburu digagalkan oleh orangorang di lokasi kejadian? Ataukah pelaku pada dasarnya tidak menginginkan kematian kendati aksinya mendekati kematian (parasuicide)?
    Apa pun jawabannya, tindakan mencederai diri sendiri yang ditujukan sebagai
    bentuk protes terhadap ketidakadilan tampak kian berat bobotnya. Dari cap jempol darah, mogok makan, jahit mulut, menyayat kening, hingga bakar diri. Walau tidak berdarah-darah, penghilangan bagian tubuh sebagai cara menyampaikan aspirasi juga terlihat pada aksi pangkas rambut hingga gundul.
    Karena dilakukan di depan Istana Negara, di tengah kondisi kehidupan bangsa yang morat-marit, mudah bagi siapa pun untuk langsung berspekulasi bahwa aksi bakar diri pekan lalu itu bermuatan politik. Memang tidak keliru kalau menduga demikian,walau juga tidak bisa digeneralisasi bahwa aksi-aksi ekstrem dalam setting yang serupa niscaya selalu mengusung misi yang sama.
    Sebagai perbandingan, meski berbeda dalam modusnya, ketika John Hinckley Jr menembak Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, publik juga spontan mengaitkan aksi Hinckley dengan kampanye politik tertentu. Setelah kajian dilakukan lebih mendalam, barulah khalayak tercengang karena aksi Hinckley itu sama sekali tidak berlatar politik.
    Kembali ke peristiwa bakar diri di depan Istana Negara, deskripsi ringkas Usman Hamid di Apa Kabar Indonesia Petang (TV One, 9 Desember 2011) tentang pelaku sebagai mahasiswa yang—antara lain—cerdas, gemar berdiskusi, altruistis, dan kerap ke perpustakaan Kontras, mengindikasikan bahwa pelaku tergolong melek politik. Pelaku berarti bukan tipe individu yang mudah dihasut dan diperalat pihak lain.
    Artikulasi Politik
    Sebagai akademisi, saya bisa membayangkan rasa kehilangan ketika mahasiswa yang dianggap potensial tidak pernah lagi terlihat di kampus. Demikian pula sebagai ayah dari tiga anak, saya tahu persis kepedihan yang merajalela akibat sang buah hati pergi tak kembali.
    Tidak semata pilu, saya salut melihat anak muda yang hirau kepada nasib bangsanya. Ketika lembaga-lembaga pendidikan tinggi berlomba menyiapkan para mahasiswa mereka agar unggul di aspek akademis dan laris di dunia kerja, keberadaan kaum cendekia muda yang juga bersemangat menyalurkan energi mereka untuk memahami kehidupan bangsanya sungguh pantas diapresiasi.
    Satu persoalan muncul; pendidikan politik, termasuk yang digencarkan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, ternyata belum sempurna apabila sebatas mengisi dimensi kognitif para partisipan. Laiknya pendidikan holistik, pengayaan muatan kognitif harus disertai dengan penguatan dimensi afektif. “Kurikulum” yang lebih utuh ini menjadi sangat relevan karena artikulasi atas isi kognisi (pengetahuan politik) pada kenyataannya menuntut kematangan psikologis berupa kesediaan untuk menyelami batin orang lain dan menyuarakannya lewat langgam nirkekerasan.
    Pertanyaannya, sudah seberapa jauhkah program-program pemberdayaan masyarakat melalui semacam pendidikan politik juga memasukkan nilai penting afeksi itu ke dalam bahasannya? Kognisi yang tajam, namun afeksi yang majal, akan membentuk individu (tak terkecuali partisipan pendidikan politik) yang kuat pada aspek moral thought, namun belum tentu mengejawantah ke moral behavior yang baik pula. Keterputusan antara moral thought dan moral behavior itu, menurut Tangney, Stuewig, dan Mashek (2007), diakibatkan oleh tipisnya moral emotion. Padahal moral emotion inilah yang berfungsi sebagai jembatan agar—dalam konteks aksi bakar diri—pengetahuan politik juga bisa mewujud ke perilaku politik yang terbebas dari warna kekerasan. Baik kekerasan terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.
    Pencederaan lewat bakar diri, jika berisikan muatan politik, memang akan melipatgandakan daya dentum dari pesan yang ingin disampaikan pelaku. Dan tampaknya efek seperti itulah yang mengemuka setelah insiden bakar diri di depan Istana Negara. Efektivitas aksi bakar diri itu sendiri masih belum terlihat.
    Setidaknya, itu karena pelaku tidak mengirim satu pun pesan spesifik tentang isu politik yang sesungguhnya tengah ia usung.
    Yang menonjol justru fakta bahwa, akibat aksi bakar diri, kita kehilangan satu anak muda yang sejatinya bisa diandalkan. Aksi bakar diri dan berbagai metode parasuicide lainnya menjadi momen yang mengalihkan sosok potensial-produktif ke sosok yang kehilangan keberdayaannya.
    Pada saat yang sama, yang paling merisaukan adalah kemungkinan adanya duplikasi perilaku atas bakar diri tersebut.Kekhawatiran ini beralasan, karena Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) beberapa tahun lalu pernah menyimpulkan bahwa aksi bunuh diri di kawasan Asia lebih merupakan hasil peniruan (copycat suicide). Sekian banyak tindak kriminal yang menghebohkan juga produk dari pencontohan perilaku.
    Duplikasi perilaku itu dipandang oleh banyak pihak sebagai efek pemberitaan media. Media terhenti pada pendeskripsian, bahkan acap sangat terperinci, dan tidak berlanjut secara kontinu dengan pesan gamblang tentang bagaimana seharusnya perilaku-perilaku ekstrem tersebut disikapi masyarakat. “Netralitas” macam itulah yang berekses pada tidak terkuncinya persepsi publik bahwa pro-kehidupan merupakan satu-satunya kampanye yang semestinya dilestarikan.
    Karena itulah, meski aksi bakar diri di depan Istana Negara bukan merupakan kejahatan, saya risau membayangkan tindakan tersebut mengilhami anak-anak muda lainnya tatkala ingin mengartikulasikan pandangan politik mereka. Sekali lagi, saya respek kepada kaum muda yang melek mata terhadap politik. Tapi, karena kita butuh banyak anak muda yang punya ghirah (semangat) kebangsaan, dan karena kita semua (semestinya) sepakat bahwa politik yang ingin kita bangun adalah politik kebangsaan yang steril dari kekerasan—baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri—maka kalangan muda harus sungguh-sungguh berketetapan hati dan berkekuatan langkah pada budi perangai yang nirkekerasan pula.
    Terkenang saya akan tamsil Bung Karno, “Seribu orang tua hanya sanggup bermimpi. Satu pemuda mampu mengubah dunia.” Pasti yang dimaksud oleh Bung Karno adalah pemuda yang jiwa-raganya hidup. Di situlah pemberitaan tentang aksi bakar diri dan kelakuan-kelakuan serupa lainnya harus dibubuhi tanda titik.  
  • Rawagede: Menguak Cara Den Haag Berhitung

    Rawagede: Menguak Cara Den Haag Berhitung
    Joss Wibisono, REDAKTUR SENIOR SIARAN INDONESIA RADIO NEDERLAND DI HILVERSUM
    Sumber : KORAN TEMPO, 13 Desember 2011
    Setelah permintaan maaf dan santunan ganti rugi kasus Rawagede, tibalah saatnya kita bertanya: mengapa Belanda baru melakukannya sekarang, 64 tahun setelah kejadian? Mengapa tidak dulu-dulu? Di sini ucapan Liesbesth Zegveld, pengacara sembilan orang yang menggugat negara Belanda, bermakna penting karena menyiratkan jawabannya.
    Kepada pers Belanda, Zegveld dengan jitu menguraikan hitung-hitungan politis dan ekonomis Den Haag. Pertama-tama dia menganggap pemerintah Belanda sebenarnya senang atas keputusan pengadilan yang memenangkan para penggugat. Jumlah mereka sembilan, tetapi dua meninggal sebelum vonis, dan satu lagi (anak korban) ditolak. Tinggallah enam orang ahli waris, dan itu adalah jumlah yang mudah diatasi. Makanya, vonis pengadilan cepat-cepat diterima, Den Haag tidak naik banding dan juga cepat mencapai schikking alias berdamai dengannya sebagai wakil para penggugat.
    Liesbeth tidak mau menggunakan kata “murah” karena, baginya, hal itu “tidak  cocok” untuk konteks ini. Tapi sebenarnya itulah yang terjadi, Den Haag tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam tapi tetap bisa memohon maaf. Dan karena permintaan maaf itu, pamor serta gengsi Belanda naik di pentas internasional. Terkikislah noda-noda masa lampau yang mencorengi ambisi Belanda menjadi markas besar pelbagai badan arbitrase internasional.
    Kita tahu, selain Mahkamah Internasional yang antara lain memutuskan Sipadan-Ligitan sebagai wilayah Malaysia, di Den Haag masih ada pelbagai lembaga peradilan internasional lain. Mahkamah Pidana Internasional ICC, Tribunal Yugoslavia, dan Tribunal Sierra Leone, misalnya. Tentunya Den Haag lebih pantas menjadi tuan rumah pelbagai lembaga internasional itu kalau bersih dari noda masa lampau.
    Situs Tempo.co memberitakan, masih ada 76 kasus kejahatan perang Belanda yang potensial bisa dibawa ke pengadilan. Salah satunya adalah kasus Raymond Westerling, kapten keturunan Belanda-Turki yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Tapi pada situs yang sama juga ada berita betapa sulit mengumpulkan korban yang berhasil selamat. Sampai sekarang baru delapan orang yang berhasil didata.
    Di sinilah duduk masalahnya.Kelak, dalam kasus Westerling, Belanda bisa saja
    kembali kalah di pengadilan. Lagi-lagi Den Haag akan harus meminta maaf dan
    membayar santunan ganti rugi. Tapi berapa orang yang benar-benar akan menerima santunan ganti rugi? Dari hari ke hari jumlah mereka makin sedikit, sehingga bisa-bisa Den Haag kelak akan harus meminta maaf saja, tanpa perlu membayar santunan, karena memang sudah tidak ada lagi korbannya. Permintaan maaf yang gratis, betapa ini sebuah prospek yang sangat menarik bagi Belanda.
    Cara berhitung seperti ini baru diterapkan dalam masa jabatan Uri Rosenthal,
    menteri luar negeri sekarang yang berasal dari partai konservatif VVD. Sebelumnya, di bawah Maxime Verhagen, seorang tokoh partai Kristen Demokrat CDA, yang terjadi justru teguran kepada Koos van Dam. Sebagai duta besar di Jakarta,Van Dam, yang hadir pada peringatan di Balongsari, Desember 2008, sebenarnya sudah menyampaikan permohonan maaf. Mungkin ketakutan ditagih santunan (yang lazimnya memang menindaklanjuti ucapan maaf), Menlu Verhagen memarahi Van Dam. Tentu bisa kita pertanyakan kualitas iman Verhagen sebagai seorang politikus partai agama.
    Soal jumlah saksi dan korban yang makin sedikit ini juga berlaku di Belanda. Sebab, di Belanda, kita tentunya bicara tentang para pelaku, yaitu para veteran yang juga makin sedikit jumlahnya. Salah satunya, secara anonim dan lewat seorang dokter, sempat muncul di televisi Belanda, dalam acara Altijd Wat (Ada-ada Saja) disiarkan akhir Oktober lalu oleh televisi NCRV.Kepada dokter yang juga veteran dan pernah bertugas di Indonesia, dia mengaku melakukan penembakan di Rawagede seminggu sebelum 9 Desember 1947, dan menurut dia korban tewas mencapai 120 orang.Konon kabarnya, veteran ini sekarang sakit keras.
    Bisa jadi dia adalah pelaku terakhir pembantaian Rawagede yang masih hidup. Yang lain sudah meninggal, termasuk pemimpin tertinggi para veteran Belanda:
    Pangeran Bernhard, ayahanda Ratu Beatrix. Ketika Bernhard masih hidup, sulit dibayangkan pemerintah Belanda akan bertindak seperti sekarang. Pengungkapan kejahatan perang di Indonesia sebenarnya sudah terjadi pada 1969 ketika dalam acara Achter het Nieuws (Di Balik Berita) disiarkan oleh televisi VARA.
    Empat puluh tahun lebih tidak diambil tindakan apa-apa terhadap para veteran
    ini. Lobi mereka memang sangat kuat. Dan aksi mereka juga tak kenal lelah. Salah satunya, pada awal 1990-an, mereka berhasil memaksa sejarawan Loe de Jong yang menulis sejarah Belanda selama Perang Dunia Kedua supaya tidak menggunakan istilah oorlog misdaden (kejahatan perang) bagi tindakan tentara Belanda di Indonesia dalam buku sejarah Belanda.
    Tapi para veteran ini pun lekang oleh masa. Sejak Pangeran Bernhard tutup usia
    pada Desember 2004, mereka pun kehilangan pengaruh.Keperkasaan mereka patah, lobi mereka mereda. Tidaklah mengherankan kalau pada 2005 Menteri Luar Negeri Ben Bot berani menyatakan Belanda secara moral mengakui 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan Indonesia. Ben Bot adalah Menlu Belanda pertama yang hadir pada peringatan detik-detik proklamasi dan peringatan banjir darah di Balongsari.
    Sekarang kita berharap Belanda akan benar-benar mengakui 17 Agustus 1945.
    Yang mungkin tak kita ketahui adalah bahwa keputusan pengadilan Den Haag
    pada 14 September itu didasarkan pada dalil bahwa banjir darah Rawagede berlangsung ketika Indonesia masih merupakan wilayah Belanda. Bagi pengadilan, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949. Tidaklah mengherankan kalau pengadilan berpendapat negara tidak boleh tidak sewenang-wenang terhadap warganya. Dan walaupun warga itu adalah penduduk Rawagede, negara mereka bukanlah Indonesia, melainkan Belanda.  
  • “Permata” Ekonomi yang Bisa Lebih Berkilau

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    “Permata” Ekonomi yang Bisa Lebih Berkilau
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Sebuah bank internasional di Jakarta memberikan judul ”Indonesia, the Economic Jewel of Asia” untuk acara Global Economic Outlook 2012. Sebuah ungkapan yang bukan tanpa alasan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 bakal tetap tinggi.
    Sejumlah pimpinan perusahaan berskala dunia dan pengamat internasional mengungkapkan hal senada. Paul Polman, Chief Executive Officer (CEO) Unilever Global, akhir September lalu, menegaskan, ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh sekalipun ada krisis di Eropa dan Amerika Serikat. Rick Goings, CEO Tupperware Worldwide, pekan lalu, di Jakarta menegaskan, saat ini merupakan era emas bagi Indonesia.
    Penulis buku laris Asia Hemisfer Baru Dunia, Kishore Mahbubani, menegaskan, saat ini merupakan era Asia, dan Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang akan tampil. ”Indonesia punya keindahan fisik dan budaya. Tidak ada tempat lain di dunia seperti ini. Hilangkan sedikit ’kesopanan’ yang Anda miliki untuk merebut peluang investasi,” ujar Kishore Mahbubani.
    Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif menggembirakan. Pemerintah dan DPR menetapkan pertumbuhan ekonomi 6,7 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Bank Indonesia lebih berhati-hati dengan menetapkan pertumbuhan 2012 sebesar 6,3-6,7 persen.
    Lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) juga relatif optimistis. Ekonomi Indonesia masih akan bergerak pada kisaran 6,3-6,7 persen. Skenario terburuk, jika krisis ekonomi global berlanjut serta memengaruhi China dan India, ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 4 persen.
    Ekonomi yang terus tumbuh di tengah krisis global jelas membuat Indonesia bagai ”permata”, baik bagi pemerintah, swasta nasional, maupun investor asing. Apalagi dengan jumlah kelas menengah Indonesia yang kini mencapai 56,5 juta orang. Kelas menengah versi Bank Dunia adalah mereka yang belanja per kapitanya 2 dollar AS (sekitar Rp 19.000) hingga 20 dollar AS (sekitar Rp 180.000) per hari.
    Bagi pemerintah, pertumbuhan ekonomi 6,7 persen dengan asumsi pertumbuhan 1 persen menyerap 450.000 tenaga kerja, maka bisa terserap sekitar 3 juta tenaga kerja. Bisa menekan jumlah penganggur yang sekitar 16,5 juta orang (sekitar 6,8 persen) belakangan ini.
    Namun, kalau pemerintah mau serius mengatasi pengangguran sekaligus angka kemiskinan negeri ini yang mencapai 29,7 juta orang (12,5 persen), sebenarnya angka pertumbuhan ini bisa lebih tinggi lagi. ”Permata” ekonomi yang ada bisa lebih berkilau lagi.
    Nouriel Roubini, Guru Besar New York University, di Jakarta mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa 8 persen sampai 9 persen. Semua ini bisa terjadi apabila Indonesia serius menangani pembangunan infrastruktur.
    Sebenarnya soal pembangunan infrastruktur, banyak pihak, terutama pengusaha, mengeluhkannya. Biaya angkutan truk di Indonesia mencapai Rp 3.300 per kilogram, sementara di negara tetangga hanya Rp 2.200 per kilogram. Bagaimana bisa bersaing?
    Tidak mengherankan, harga jeruk china di Jawa lebih murah daripada harga jeruk pontianak atau jeruk medan. Lebih murah membawa barang dari Jakarta ke Singapura dibandingkan dengan Jakarta ke Surabaya.
    Itu sebabnya, Indonesia, yang merupakan negeri agraris, mengimpor buah-buahan dan sayur-sayuran senilai Rp 17,6 triliun. Bahkan juga mengimpor ikan dan garam, padahal laut di negeri ini luas dan kaya.
    Pemerintah Tidur?
    Muncul tuduhan bahwa pemerintah tidak banyak berbuat. Bahkan ada tuduhan, pemerintah hanya tidur. Jika pemerintah sigap, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi, bahkan mencapai angka dua digit.
    Pemerintah sebenarnya punya sejumlah program berkaitan dengan percepatan pembangunan ekonomi. Mei lalu, muncul Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Penentuan enam koridor pembangunan ekonomi yang dipuji berbagai pihak.
    Namun, dalam kenyataannya, MP3EI sampai kini belum banyak beranjak dari rencana. Padahal, kalau segera diimplementasikan, ada peluang investasi yang hebat. Sebuah daya dorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak luas.
    Dalam kenyataan, pemahaman soal MP3EI saja tidak sampai ke pemerintahan di daerah. Banyak kepala daerah tidak paham MP3EI, apalagi sampai menerapkannya. Alhasil, semuanya mandek, apalagi jika tak ada upaya terobosan, inovasi.
    Di sisi lain, pemerintah juga tak punya dana yang cukup untuk bermanuver membangun infrastruktur. Dari APBN 2012 sekitar Rp 1.400 triliun, sekitar 80 persen untuk belanja rutin. Pemerintah hanya berharap dari swasta, termasuk swasta asing, untuk membangun infrastruktur.
    Sementara swasta malas bergerak jika kondisinya tak menggairahkan. Semisal, banyak dari mereka keberatan dengan UU Ketenagakerjaan yang tidak kondusif. Korupsi dan ekonomi biaya tinggi membuat investor harus kehilangan sejumlah besar uang pada awal berusaha.
    Belum lagi ketidakpastian hukum seperti berkaitan dengan upaya pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, ada tumpang tindih dan peraturan yang saling tidak mendukung antara daerah dan pusat, semangat otonomi yang tak mendukung iklim berusaha.
    Tak heran investor lebih suka membuka sektor jasa perdagangan. Pusat pembelanjaan paling mudah. Perbankan juga lebih suka memberikan pinjaman ke arah ini.
    Munculnya kelas menengah yang demikian besar dengan potensi beli yang tinggi dipermarak munculnya sektor jasa. Padahal, dari sisi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pertumbuhan ekonomi akibat sektor jasa dan sektor konsumsi tidak signifikan dalam menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan sektor manufaktur dan pertanian.
    Maka terlihat Indonesia lebih suka mengimpor garam, ikan, sapi, beras, gula, jagung, buah-buahan, dan sayuran. Tak ada upaya mendorong sektor pertanian yang intinya lebih memberdayakan kehidupan masyarakat desa, juga lebih menciptakan lapangan pekerjaan.
    Namun, masih ada asa bagi Indonesia untuk berbenah diri. Dengan produksi dan ekspor seperti minyak sawit mentah, batubara, karet, timah, dan kakao, Indonesia masih bisa bermanuver menjadi target investasi. Apalagi, pertumbuhan ekonomi yang positif di tengah krisis global saat ini membuat Indonesia tetap menarik.
    Infrastruktur yang pas-pasan, korupsi yang masih mewabah, ekonomi biaya tinggi, dan peraturan yang tidak mendukung sudah membuat pertumbuhan ekonomi bisa 6,7 persen. Sebuah permata ekonomi yang sudah menarik. Permata ini akan kian berkilau jika hal-hal itu diatasi. Perlu segera bertindak.

    (ppg) 

  • Hambatan Pengembangan Industri

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Hambatan Pengembangan Industri
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Mengembangkan industri dalam negeri membutuhkan upaya yang tidak sederhana. Upaya tersebut harus dimulai dengan memetakan persoalan yang dihadapi setiap sektor industri terlebih dahulu. Memetakan persoalan dengan tepat dan diikuti solusi yang sesuai akan memandu Indonesia menahan fase deindustrialisasi yang tengah berlangsung.
    Meski sudah menapaki sektor industri lebih dari 30 tahun, Organisasi Pengembangan Industri PBB menyatakan Indonesia tidak pernah menjadi negara industri. Indonesia baru menjadi negara semi-industri karena tidak memenuhi beberapa kriteria sebagai syarat sebuah negara industri.
    Bank Dunia pun pada 2008 pernah melansir berita bahwa sejak 2003 daya saing Indonesia dalam kancah industri antarbangsa memperlihatkan adanya paradoks. Di satu sisi, terjadi peningkatan daya saing komoditas hasil industri Indonesia di pasar dunia. Namun, di sisi lain, industri dalam negeri banyak yang gulung tikar.
    Sementara ekonom di dalam negeri banyak yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang masuk dalam proses deindustrialisasi. Data menunjukkan, pada 2009 terdapat 2.635 perusahaan industri yang tutup. Pada saat yang sama hanya 2.018 perusahaan yang baru tumbuh. Selisih angka-angka tersebut menunjukkan pertumbuhan perusahaan industri yang minus, yaitu sebesar 2 persen dari total industri yang ada.
    Peran sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto pun kian menurun dalam lima tahun terakhir. Porsinya tinggal sekitar 26 persen terhadap PDB. Porsi paling besar berada di sektor-sektor tersier (48 persen).
    Secara makro, ciri-ciri deindustrialisasi dapat dilihat dari melambatnya pertumbuhan sektor industri, menurunnya kontribusi sektor industri terhadap PDB, melemahnya sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja, tingginya ekspor primer tanpa nilai tambah, dan lonjakan produk impor yang dijual dengan harga murah.
    Adapun secara mikro, ciri-ciri deindustrialisasi dapat dilihat dari meningkatnya sektor informal akibat pemutusan hubungan kerja sektor manufaktur dan menurunnya kapasitas produksi. Hasil studi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 2010 bahkan menunjukkan banyaknya produsen beralih menjadi pedagang karena tingkat risiko bisnis yang rendah.
    Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Mulai dari tidak dikuasainya rantai pasokan untuk meningkatkan daya saing, ekonomi biaya tinggi, lemahnya dukungan perbankan dan infrastruktur, hingga keterbatasan inovasi teknologi. Tidak dikuasainya rantai pasokan (supply chain) untuk meningkatkan daya saing industri menunjukkan adanya pemetaan masalah yang tidak sempurna dalam rantai nilai dari hulu hingga hilir. Akibatnya, langkah penanganannya pun menjadi tak tepat sasaran.
    Litbang Kompas mencoba memetakan persoalan daya saing industri di tiga sektor, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT), kerajinan ukiran, serta kerajinan perak dari sisi rantai nilai dengan keterkaitan ke belakang (backward) dan ke depan (forward). Secara sederhana, rantai nilai dengan keterkaitan ke belakang bermakna hubungan industri dengan input-input atau proses penyediaan bahan baku (praproduksi hingga produksi). Sementara rantai nilai dengan keterkaitan ke depan terkait dengan kegiatan pascaproduksi ketika produk dilempar ke pasar.
    ”Backward” dan ”Forward”
    Hasil survei terhadap pelaku UKM di tiga sektor industri ini menunjukkan pola persoalan yang berbeda. Industri TPT memiliki persoalan keterkaitan ke belakang yang lebih banyak dibandingkan dengan dua industri lain. Dari 15 variabel yang diukur, industri TPT memiliki hambatan praproduksi di 10 variabel.
    Dalam berproduksi, industri TPT menghadapi persoalan utama terkait ketersediaan bahan baku. Untuk tahun ini saja, Asosiasi Pertekstilan Indonesia di Jawa Barat menyebutkan industri tekstil pada awal tahun mengalami kekurangan bahan baku kapas. Penghasil kapas, seperti Amerika Serikat, China, Pakistan, dan Australia, mengalami kegagalan panen. Juga terjadi perubahan fungsi lahan dari ladang kapas menjadi ladang jagung. Hal ini menyebabkan suplai berkurang yang akibatnya tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.
    Namun, bukan soal bahan baku itu saja. Masih ada kendala terkait permesinan yang berumur tua, jenis dan biaya transportasi, retribusi dan pungutan liar terhadap bahan baku yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, pemanfaatan teknologi, peran perbankan, ketersediaan energi listrik, serta regulasi di daerah yang membebani. Hambatan sebelum dan selama berproduksi inilah yang lebih dirasakan industri TPT ketimbang saat produk sudah dilempar ke pasar. Setelah proses produksi, relatif perusahaan TPT tidak menemui hambatan karena produksinya masih mudah diserap pasar, baik pasar domestik maupun ekspor.
    Para pelaku UKM TPT mengakui, perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China dapat dan telah membuat rantai produksi terganggu. Impor pakaian jadi meniadakan proses pengolahan. Namun, produksi lokal masih tertolong karena sejumlah inovasi yang dilakukan dan adanya momen musiman seperti awal tahun ajaran baru atau hari-hari raya agama yang membuat permintaan produk masih cukup tinggi.
    Persoalan di industri kerajinan, seperti perak dan ukiran, lain lagi. Meskipun tidak memiliki hambatan keterkaitan ke belakang sebanyak industri TPT, ia juga mengalami kesulitan utama dalam penyediaan bahan baku. Namun, kesulitan ini bisa diatasi dengan diversifikasi bahan baku.
    Persoalan di kedua jenis industri kerajinan ini lebih banyak terkait dengan kegiatan pascaproduksi. Dari 14 variabel yang diukur, industri kerajinan perak dan ukiran memiliki hambatan pascaproduksi di 10 variabel. Hambatan tersebut menyangkut strategi memasarkan produk, pemenuhan selera konsumen, pungli dan retribusi saat pemasaran, jumlah konsumen yang menyusut, serta ketiadaan asosiasi yang bisa memperjuangkan nasib mereka.
    Persoalan berbeda yang dihadapi ketiga industri ini pada dasarnya terletak pada karakteristik produk. Untuk industri yang produknya termasuk barang tidak tahan lama (seperti tekstil dan produknya), permintaan pasar cenderung lebih dinamis (elastis). 
    Dengan demikian, persoalan pascaproduksi relatif minim. Sementara industri yang produknya tergolong barang tahan lama, permintaan pasarnya lebih kaku (inelastis) sehingga persoalan cenderung terletak pada pascaproduksi. Penyerapan produk sangat ditentukan oleh kondisi daya beli masyarakat.
    Pemetaan persoalan seperti ini perlu dilakukan di seluruh sektor industri untuk mendapatkan solusi yang tepat dan terarah. Dengan menguraikan persoalan satu demi satu, kebijakan yang diambil akan lebih tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan daya saing industri.

    (GIANIE/RATNA SRI WIDYASTUTI/BIMA BASKARA, Litbang Kompas)

  • Akses Mudah dan Suku Bunga Rendah, Harus!

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Akses Mudah dan Suku Bunga Rendah, Harus!
    Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011
    Jangan beri masyarakat kita pilihan: akses mudah atau suku bunga pinjaman rendah? Berikan dua hal tersebut sekaligus. Otoritas kebijakan dan industri perbankan bisa bersama mewujudkan.
    Selama ini, akses masyarakat terhadap perbankan terganjal kendala, di antaranya ketiadaan kolateral atau agunan, minimnya pemenuhan syarat oleh usaha mikro, kecil, dan menengah, serta tidak ada pengetahuan tentang perbankan.
    Keterbatasan akses bukan hanya terhadap 121 bank umum, melainkan juga sekitar 1.680 bank perkreditan rakyat di Indonesia. Secara umum, sekitar 60 persen dari 237,5 juta penduduk Indonesia masih belum tersentuh lembaga keuangan. Jadi, untuk 142,5 juta jiwa tersebut, mengakses kredit perbankan juga masih di awang-awang.
    Soal suku bunga kredit perbankan juga tak kalah pelik. Selama ini, bank di Indonesia menerapkan suku bunga yang cukup tinggi dengan berbagai dalih. Alasan umumnya, suku bunga simpanan masih tinggi. Apalagi, masih banyak bank yang mengandalkan dana mahal alias deposito—yang suku bunganya jelas lebih tinggi dibandingkan tabungan dan giro—untuk menghimpun dana pihak ketiga.
    Bahkan, ada bankir yang terus terang mengakui harus menawarkan suku bunga simpanan tinggi agar nasabah tidak kabur ke bank lain. Akibatnya, selisih suku bunga deposito satu bulan dengan suku bunga pinjaman cukup tinggi.
    Namun, kondisi perbankan yang tidak efisien patut diselisik. Ketidakefisienan berdampak besar terhadap tingginya suku bunga kredit yang ditanggung nasabah. Sederhananya, suku bunga kredit terdiri dari suku bunga dasar kredit (SBDK) ditambah premi risiko. SBDK terdiri dari biaya operasional, biaya dana, dan margin.
    Biaya operasional bank yang tidak efisien cenderung tinggi. Rasio biaya operasional dibandingkan pendapatan operasional (BOPO) sebagai ukuran efisiensi bisa menunjukkan hal itu.
    Di Indonesia, BOPO perbankan pada Oktober 2011 sebesar 86,4 persen. Pada tahun 2008, BOPO mencapai 88,6 persen, yang turun bertahap menjadi 86,6 persen pada tahun 2009 dan 86,1 persen pada tahun 2010.
    Namun, jika dibandingkan BOPO perbankan di wilayah ASEAN yang berada pada kisaran 40-60 persen, perbankan Indonesia masih jauh dari efisien.
    Lalu biaya yang ditanggung bank untuk mengumpulkan dana. Alasan tawaran suku bunga simpanan tinggi mestinya sudah tak digunakan lagi.
    Jika dicermati, cukup banyak usaha untuk menurunkan suku bunga pinjaman bank. Misalnya, per 31 Maret 2011, Bank Indonesia mewajibkan bank memublikasikan SBDK untuk kredit korporasi, ritel, dan konsumer.
    Tahap awal, aturan itu hanya berlaku bagi bank beraset Rp 10 triliun atau lebih, yang saat itu jumlahnya 42 bank. Harapannya, bank-bank itu akan menjadi acuan bagi bank lain dalam menerapkan SBDK.
    Publikasi tersebut dilakukan melalui situs web bank yang bersangkutan, di kantor bank, ataupun laporan keuangan per triwulan melalui surat kabar. Tujuannya, SBDK lebih terbuka sehingga masyarakat bisa memilih.
    Pengusaha menyambut baik kebijakan tersebut. Transparansi pada akhirnya akan membuat suku bunga turun. Jika suku bunga kredit turun, pengusaha akan banyak mengambil kredit modal kerja dan investasi. Perekonomian terdongkrak.
    Rasio Kredit
    Sebagai gambaran, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) di Indonesia masih rendah, yakni 29,1 persen pada tahun 2010. Angka itu naik tipis dari 27,7 persen pada tahun 2009 dan 26,6 persen pada tahun 2008.
    Bandingkan dengan rasio kredit terhadap PDB di China yang sebesar 131,1 persen. Atau dengan Thailand yang mencapai 116,7 persen, Malaysia sekitar 114,9 persen, Singapura sebesar 102,1 persen, dan Korea Selatan sekitar 100,8 persen.
    Survei Bank Indonesia menunjukkan, dana internal perusahaan masih mendominasi pembiayaan modal kerja dan investasi, yakni 48 persen dan 61 persen. Adapun kredit bank hanya mencakup 25 persen modal kerja dan 21 persen investasi.
    Padahal, dengan asumsi perekonomian Indonesia akan tumbuh 6,3-6,7 persen pada tahun 2012, diperlukan pembiayaan setidaknya Rp 598 triliun. Jumlah itu setara dengan laju pertumbuhan kredit 26,9 persen.
    Sayangnya, masyarakat umum belum banyak menyadari haknya untuk memilah dan memilih SBDK yang sesuai dengan kemampuannya. Alasannya, pilihan bank sudah cocok atau kemudahan transaksi. BI perlu mencari cara untuk mengajak masyarakat sadar memilah lebih dahulu SBDK yang paling sesuai.
    Sepanjang tahun 2011, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan 75 basis poin. Salah satu alasannya, mendorong pertumbuhan perekonomian. Dengan turunnya suku bunga acuan, suku bunga kredit akan mengikuti turun sehingga kredit lebih banyak mengucur. Peran bank-bank besar menjadi motor penurunan suku bunga sangat diharapkan. Dengan jaringan teknologi informasi yang canggih, logikanya, bank-bank besar itu lebih efisien. Dengan kata lain, tak ada lagi tekanan beban operasional yang besar jika bantuan TI sudah sangat canggih.

    (Dewi Indriastuti)