Blog

  • Selamatkan Rakyat Indonesia dari Kebangkrutan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Selamatkan Rakyat Indonesia dari Kebangkrutan
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Reni Aryanti (31) kehilangan ayahnya, Robinson, yang meninggal akibat diabetes dan gagal ginjal pada 2001. Buruh perusahaan itu mengisahkan, setelah ayahnya berhenti bekerja sebagai sopir di Serang, Banten, karena sakit, Reni dan keluarga habis-habisan membiayai pengobatan ayahnya. Bahkan, keluarga Reni membayar biaya rawat inap dengan televisi 20 inci, barang berharga yang tersisa.
    Nasib serupa dialami Norma (40), warga Medan. Penderita tumor payudara itu menuturkan, keluarganya terpaksa pinjam uang sana-sini dan menggadaikan barang untuk membiayai operasinya. Keluarganya berupaya mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat, tetapi ditolak.
    Reni dan Norma merupakan bagian dari jutaan penduduk Indonesia kelas menengah bawah. Mereka berpendapatan pas-pasan, hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Begitu ada anggota keluarga yang sakit cukup berat, sendi ekonomi rumah tangga mereka langsung hancur.
    Guru besar ekonomi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany menyatakan, banyak rumah tangga bangkrut ketika sakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 150 juta orang di dunia jatuh miskin ketika sakit. Jutaan di antaranya di Indonesia.
    Karena itu, mendesak kehadiran program jaminan sosial untuk melindungi rakyat dari kebangkrutan rumah tangga akibat sakit berat, kematian, atau kehilangan pekerjaan.
    Jika di perkotaan banyak orang tak mampu membayar biaya perawatan, di pelosok negeri ini fasilitas pelayanan dan tenaga kesehatan sering tak tersedia.
    Sebagai gambaran, dari liputan Kompas, sekitar 30 keluarga sejak dipindah pemerintah untuk tinggal di pinggir jalan lintas Buru, Desa Modanmohai, Kecamatan Waeapo, Pulau Buru, Maluku, delapan tahun lalu, mengaku belum pernah melihat petugas kesehatan datang.
    ”Kalau yang sakit masih bisa jalan, ya, jalan 12 jam ke puskesmas terdekat di Waeapo. Namun, kalau tidak bisa dan tak ada kendaraan melintas, warga pasrah saat yang sakit meninggal,” kata Kepala Desa Modanmohai Haris Latubual, Maret lalu.
    Sistem Kesehatan
    Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Asuransi Kesehatan Universitas Gadjah Mada Prof Ali Ghufron Mukti berpendapat, pemerintah perlu membangun sistem kesehatan, termasuk asuransi kesehatan, untuk menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk. ”Pemerintah tak cukup membayar rumah sakit seperti pada Jamkesmas. Namun, juga harus membangun sistem kesehatan mulai dari operator obat, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan sistem rujukan,” ungkapnya.
    Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengakui, program Jamkesmas baru mencakup 60 persen penduduk miskin. Fasilitas kesehatan di rumah sakit daerah dan tenaga dokter yang dibutuhkan untuk melayani 238 juta penduduk Indonesia juga masih sangat kurang.
    Terkait jaminan kesehatan, menurut Ali Ghufron, yang ideal adalah berbasis solidaritas, yaitu ada gotong royong di antara yang kaya, menengah, dan miskin. Penduduk yang mampu membayar iuran sendiri, sedangkan iuran penduduk miskin dibayar pemerintah. Dengan demikian, peserta bisa mendapatkan seluruh pengobatan yang dibutuhkan. Kalaupun harus membayar, tidak terlalu memberatkan.
    Sulastomo, Ketua Tim SJSN 2001-2004, menyatakan, model pembiayaan ini memotivasi nilai-nilai berupa rasa kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sosial, sesuai falsafah Pancasila.
    Sebenarnya sejak 2004 Indonesia memiliki Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Namun, UU itu tak kunjung diimplementasikan. Sampai tahun 2010, dari 10 peraturan pemerintah dan sembilan peraturan presiden untuk melaksanakan UU SJSN, hanya satu perpres yang diterbitkan, yaitu Perpres tentang Tata Kerja dan Organisasi Dewan Jaminan Sosial Nasional. Karena itu, tahun 2010 DPR berinisiatif mengajukan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
    Pembahasan RUU BPJS sampai tahun ini diwarnai tarik-menarik antara DPR dan pemerintah. Dari soal kekuatan UU hanya menetapkan atau mengatur, sampai bentuk badan penyelenggaranya apakah badan wali amanah di bawah presiden atau badan usaha milik negara khusus. Lewat kompromi, akhirnya 28 Oktober lalu RUU disetujui dan 25 November UU BPJS ditandatangani presiden.
    Namun, jalan untuk penerapan program jaminan sosial masih panjang. Pemerintah dan DPR sepakat, BPJS diterapkan dalam dua tahap. BPJS Kesehatan dilaksanakan 1 Januari 2014. Adapun BPJS Ketenagakerjaan, yang mengurus jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan pensiun, selambatnya 1 Juli 2015.
    Ini perlu komitmen kuat karena banyak pekerjaan rumah harus diselesaikan, antara lain menyusun pelbagai peraturan, melakukan sosialisasi ke masyarakat, dan mengawal transformasi BUMN jadi badan publik.
    Bagi bidang kesehatan, pelaksanaan UU itu setidaknya menyelesaikan dua masalah. Menjamin akses rakyat terhadap pelayanan kesehatan serta pemerataan tenaga dan fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan terdorong menyebar karena mendapat imbalan layak di mana pun bekerja. Adapun dana yang terkumpul bisa menjadi dana pinjaman untuk meningkatkan sarana dan melengkapi alat kesehatan rumah sakit mitra BPJS. 
    Dengan demikian, semua rumah sakit bisa memiliki sarana yang cukup lengkap dan layak.                (Atika Walujani Moedjiono)

      

  • Riset-riset Minus Penerapan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Riset-riset Minus Penerapan
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Riset menyuguhkan keunggulan, daya saing, dan kesejahteraan sosial. Sayangnya, riset di Indonesia masih miskin penerapan. Dari tahun ke tahun, perhatian pemerintah justru kian menyusut dengan indikasi dana riset yang kian minim.
    Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2010 Program Pembangunan PBB (UNDP) mendudukkan Indonesia pada peringkat ke-110. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, Indonesia kalah unggul. Singapura peringkat ke-27, Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (99).
    Survei Indeks Pertumbuhan Daya Saing Global (Global Growth Competitiveness Index) 2011 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-46, Singapura (2), Malaysia (21), dan Brunei (28). Survei mencakup inovasi, telematika, dan transfer teknologi.
    Kedua hasil itu mengindikasikan Indonesia kalah unggul, daya saing, dan kesejahteraan sosial. Penerapan hasil-hasil riset sangat rendah.
    Situasi Terkini
    Nani Grace Berliana, peneliti pada Pusat Penelitian dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menggambarkan situasi terkini seiring terus menyusutnya dana riset di Indonesia.
    Tahun 1969-1970, anggaran riset/penelitian dan pengembangan (litbang) sebesar 2,03 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
    Empat puluh tahun kemudian, pada 2009, anggaran litbang menyusut dari 2,03 persen menjadi 0,21 persen dari APBN.
    Secara absolut, angka nominalnya memang meningkat 420 kali. Namun, itu jauh lebih rendah dibanding peningkatan nominal APBN yang naik 4.000 kali.
    Peneliti Pappiptek lainnya, Erman Aminullah, menyertakan data intensitas riset nasional yang merosot. Pada 1990 sebesar 0,13 persen, tahun 2010 menjadi 0,08 persen. Pada periode sama produk domestik bruto (PDB) naik 30 kali lipat.
    Di sinilah yang menarik. Erman menyimpulkan, peningkatan ekonomi di Indonesia bukan bersumber pada inovasi dari kegiatan riset.
    ”Ekonomi tumbuh bersumber pengalaman informal, bukan kegiatan ilmiah formal,” katanya.
    Pembelajaran diperoleh dari pengalaman pemakaian peralatan pada sistem produksi. Interaksi dengan pengguna lain, pemasok, dan perusahaan induk menjadi pembelajaran, bukan riset formal.
    Berbagai produk yang diproduksi atau dirakit di dalam negeri, seperti sepeda motor, memang mengalami inovasi. Namun, inovasinya dari kegiatan riset perusahaan-perusahaan induk di luar negeri.
    Komposisi Pelaku
    Komposisi sumber daya manusia litbang tahun 2009 sebanyak 62.995 orang, meliputi 58 persen peneliti, 23 persen teknisi, dan 19 persen staf pendukung. Belanja litbang Rp 4,72 triliun, terbagi 42,8 persen untuk lembaga litbang pemerintah, 38,5 persen untuk perguruan tinggi negeri, dan 18,7 persen untuk industri.
    Ini mengindikasikan rendahnya peran swasta dalam hal belanja litbang yang hanya 18,7 persen. Dominasi belanja litbang oleh pemerintah ini berbanding terbalik dengan Malaysia.
    Pemerintah Malaysia hanya memegang 15 persen untuk belanja litbang, disusul Singapura 36,6 persen dan Thailand 55 persen. Itu pun swasta di Indonesia lebih memprioritaskan belanja litbang untuk promosi 46 persen dan belanja lisensi 50 persen. Hanya 4 persen untuk riset.
    Menurut Nani Grace, semua itu dapat dipahami karena manufaktur di Indonesia secara umum berteknologi rendah dengan urutan terbesar di bidang makanan dan minuman, pakaian jadi, tekstil, furnitur, karet, serta bahan galian.
    Selama ini, sektor swasta kerap dikejar agar meningkatkan kontribusi dana litbang. Kenyataannya, swasta tak butuh aktivitas litbang yang tinggi.
    Selama 10 tahun (2001-2011), riset kedokteran (clinical medicine) yang terbanyak dimuat jurnal ilmiah internasional, yaitu 1.020 jurnal.
    Ironisnya, menurut Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Iwan Dwiprahasto, meski jadi kajian terbanyak masuk jurnal ilmiah internasional, obat-obatan masih bergantung pada bahan baku impor 96 persen. Hasil riset obat-obatan dan kedokteran banyak.
    ”Hanya saja, penerapan risetnya masih kurang,” kata Iwan.
    Terbengkalai
    Kepala LIPI Lukman Hakim mengamini ketika riset disebut miskin penerapan. Bahkan, ia mengakui banyak produk riset ilmiah formal terbengkalai.
    Baru-baru ini LIPI mengekspos 130 produk riset yang umumnya tanpa sambutan dalam penerapannya. Hingga kini buntu cara optimalisasi penerapannya.
    Hasil riset LIPI dikelompokkan dalam 12 kluster. ”Yang dibutuhkan pemasaran hasil-hasil riset itu,” kata Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta.
    Gusti mencontohkan, hasil riset Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI berupa radar kelautan dengan jangkauan 30 kilometer yang disebut Indonesian Sea Radar (Isra). Lisensi komersialisasinya dibeli badan usaha milik negara, PT Inti. ”Belum ada yang menggunakan radar kelautan ini sebagai produk dalam negeri,” kata Lukman Hakim.
    Menristek Gusti sampai mengungkapkan, pemanfaatan hasil riset hingga menjadi produk dalam negeri perlu setengah dipaksa. Namun, itu baru wacana.

    Tanpa terobosan dan kemauan superkuat, potensi riset yang solutif tak akan berbuah apa-apa. Seperti tahun-tahun yang lewat.  (NAWA TUNGGAL)

  • Benang Kusust yang Belum Terurai

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Benang Kusust yang Belum Terurai
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Reformasi guru yang menyasar 2,9 juta guru TK hingga SMA/SMK sederajat bergulir sejak tahun 2006 dan akan berlangsung hingga tahun 2015. Pemerintah menginginkan guru yang profesional.
    Guru menjadi perhatian utama karena di situlah kunci jika ingin kualitas pendidikan secara nasional meningkat. Perbaikan pun dijalankan dengan mengharuskan guru memiliki sertifikat sebagai guru profesional. Guru yang ada saat ini sebagian besar menjalani uji sertifikasi.
    Guru yang lolos sertifikasi semestinya memenuhi syarat sebagai guru yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Selain berpendidikan minimal D-4/S-1 dan bersertifikat guru profesional, guru harus memiliki kompetensi profesional (keilmuan), kepribadian, pedagogik (pendidik), dan sosial.
    Namun, di tingkat pendidikan saja masih banyak guru yang terjegal. Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), hampir 50 persen atau sekitar 1,8 juta guru belum bergelar sarjana. Sebagian besar yang belum berpendidikan S-1 adalah guru SD (26 persen).
    Para guru yang lolos sertifikasi mendapat tunjangan profesi guru senilai satu kali gaji pokok. Pada tahun 2011 saja, alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk tunjangan profesi guru mencapai Rp 18,53 triliun untuk 731.002 guru. Tahun depan, seiring meningkatnya guru yang lolos sertifikasi, alokasi dana dari pemerintah naik menjadi Rp 30,53 triliun.
    Kualitas Dipertanyakan
    Lebih dari lima tahun sertifikasi guru berjalan, pemerintah menuding kinerja guru tak kunjung memuaskan. Dalam kacamata pemerintah dan masyarakat, profesionalisme yang diiming-imingi dengan peningkatan kesejahteraan tidak berbanding lurus dengan mutu guru yang diharapkan meningkat.
    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh memutuskan untuk lebih mengutamakan sertifikasi guru lewat jalur pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) dibandingkan dengan penilaian portofolio. Selain itu, guru mesti menjalani tes kompetensi untuk bisa diikutkan dalam sertifikasi.
    Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan, sertifikasi guru tidak otomatis meningkatkan kualitas guru. Sebab, sertifikasi bukanlah alat untuk meningkatkan mutu guru, melainkan proses penetapan seseorang untuk memperoleh sertifikat pendidikan.
    Tidak Sederhana
    Sertifikasi guru barulah langkah kecil. Jika buru-buru meminta peningkatan kualitas yang signifikan karena gaji guru melonjak, rasanya tidak pas.
    Persoalan guru Indonesia tidak sesederhana itu. Kekeliruan dimulai dari pendidikan calon guru. Rekrutmen mahasiswa calon guru tidak selektif. Bahkan, anak-anak cerdas di jenjang SMA/MA sangat sedikit yang berminat menjadi guru. Mereka memilih profesi lain.
    Saat menjadi guru, banyak pula yang tidak sesuai dengan bidang pendidikannya. Ketidaksesuaian guru dengan bidang yang diampunya untuk di jenjang SD sebanyak 34,8 persen, SMP 31,49 persen, SMA 49,24 persen, dan SMK 22,68 persen.
    Belum lagi persoalan guru honorer yang terus membengkak. Pada tahun 2009 tercatat 526.614 guru honorer di sekolah negeri dan swasta.
    Di satu sisi, keberadaan guru honorer yang digaji Rp 50.000-Rp 500.000 itu memang dibutuhkan sekolah karena kekurangan guru. Ada juga yang memang permainan ”politik” daerah sebagai janji saat pemilihan kepala daerah (pilkada).
    Padahal, sesuai hitungan Kemdikbud di atas kertas, mestinya tidak ada kekurangan guru. Rasio guru dan siswa secara nasional di jenjang TK hingga SMA/SMK saat ini masih ideal, yakni 1:15-23, sedangkan rasio maksimal 1:15-32.
    Akan tetapi, penataan tidak bisa dilakukan untuk mengatasi kekurangan guru yang umumnya terjadi di pedesaan atau pinggiran, sementara di perkotaan terjadi kelebihan guru. Sebab, desentralisasi pendidikan berimplikasi guru milik pemerintah kabupaten/kota sehingga tidak bisa sembarangan dipindahkan.
    Kondisi guru yang milik daerah ini juga rawan korban politik. Kesinambungan karier guru dan kepala sekolah sangat tergantung dinamika politik saat pemilihan kepala daerah. Desentralisasi guru pada akhirnya malah menimbulkan banyak masalah. Benang kusut yang masih membelit guru Indonesia ini menimbulkan dorongan untuk mengembalikan kewenangan guru pada pemerintah pusat. Sentralisasi guru ini semestinya dipertimbangkan demi menjaga mutu pendidikan bagi generasi masa depan.

    (Ester Lince Napitupulu)

  • Beratnya Tingkatkan Kualitas Manusia Indonesia

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Beratnya Tingkatkan Kualitas Manusia Indonesia
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Di manakah posisi presiden, sebagian besar menteri, gubernur, dan sebagian kelas menengah Indonesia sekitar 30-40 tahun lalu? Jika melihat biografi tokoh-tokoh terkemuka negeri ini, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga kelas menengah bawah dan hidup di tengah suasana pedesaan.
    Mengapa mereka bisa menempati posisi yang sekarang? Ini terutama karena faktor pendidikan. Pendidikanlah yang menaikkan status sosial ekonomi mereka, terutama pendidikan tinggi. Meminjam istilah Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies Baswedan, pendidikan menjadi ”eskalator sosial”.
    Melalui pendidikan, wawasan mereka terbuka, pengetahuan bertambah, dan pergaulan semakin luas. Dampak ikutannya, kualitas manusia semakin meningkat dan status sosial ekonomi mereka naik.
    Namun, keluhan yang sering terdengar di masyarakat adalah sulitnya mendapatkan akses pendidikan bermutu. Semakin tinggi jenjang pendidikan, akses pendidikan semakin sulit, daya tampung terbatas, dan biaya semakin mahal.
    Memang, jika melihat paparan persentase pencapaian bidang pendidikan, kelihatannya sangat menakjubkan. Angka Partisipasi Murni (APM) SD sederajat mencapai 95,3 persen. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP sederajat 98,3 persen, APK SMA 70,3 persen, dan APK perguruan tinggi 23,9 persen.
    Karena jumlah penduduk Indonesia sedemikian besar, sekitar 240 juta jiwa, persentase yang kecil menjadi besar jika diwujudkan dalam angka. Jumlah siswa SD, misalnya, sangat bagus, mencapai sekitar 31,05 juta jiwa. Angka putus sekolah pun hanya sekitar 1,5 persen.
    ”Namun, karena jumlah penduduk yang besar, angka putus sekolah 1,5 persen ini sekitar 500.000 siswa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
    Angka-angka lainnya bisa membuat miris karena lulusan SMP hanya 12,9 juta orang serta lulusan SMA/MA dan SMK hanya sekitar 9,1 juta orang. Artinya, jika dibandingkan dengan lulusan SD yang mencapai 31,05 juta orang, sekitar 20 juta anak tidak melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA.
    ”Jumlah 20 juta jiwa ini sangat besar,” kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono.
    Bukan sekadar besar, tetapi jumlah 20 juta orang yang hanya bisa mengenyam bangku SD ini akan menjadi beban sosial pada masa depan. Rendahnya kualitas pendidikan juga akan sangat memengaruhi kualitas manusia Indonesia pada masa depan.
    Padahal, dari sisi Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2011 bidang pendidikan, manusia Indonesia tergolong rendah, berada di urutan ke-119 dari 187 negara. Di Asia Pasifik, Indonesia di urutan ke-12 dari 21 negara.
    Adapun IPM Indonesia 2011 sebesar 0,617 dan menempati peringkat ke-124 dari 189 negara. Artinya, IPM Indonesia selama 31 tahun naik meskipun tidak signifikan dan tetap berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, serta Filipina.
    ”Kesenjangan pembangunan antardaerah membuat rata-rata kualitas manusia Indonesia rendah” kata Kepala Perwakilan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia El Mostafa Benlamlih di Jakarta.
    ”Manipulasi Konstitusi”
    Untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan, sebenarnya sudah dialokasikan anggaran yang cukup memadai. Bahkan, anggaran pendidikan ”dikunci” dalam konstitusi, minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Otomatis, seiring dengan naiknya APBN, anggaran pendidikan juga meningkat setiap tahun.
    Jika tahun 2009 anggaran pendidikan Rp 208 triliun, tahun 2010 naik menjadi Rp 225,2 triliun, tahun 2011 menjadi Rp 248,9 triliun, dan tahun 2012 menjadi sekitar Rp 281,4 triliun.
    Kelihatannya anggaran ini besar. Namun, kenyataannya, terjadi semacam ”manipulasi konstitusi” karena anggaran ini harus dibagi dengan 16 kementerian lain yang mengemban ”fungsi pendidikan”. Akibatnya, anggaran yang diterima Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya sekitar Rp 78 triliun dan Kementerian Agama yang menaungi sejumlah madrasah hingga perguruan tinggi keagamaan sekitar Rp 30 triliun.
    Dengan anggaran yang terbatas, memang tidak mudah untuk menyelesaikan persoalan yang sangat beragam. Di bidang pendidikan, misalnya, masih terdapat persoalan banyaknya murid yang tidak mampu secara ekonomi, banyaknya sekolah rusak, serta kesenjangan kualitas pendidikan Jawa dan luar Jawa.
    Di bidang kesehatan, anggaran yang tersedia juga sangat terbatas, dalam APBN Perubahan 2011 hanya Rp 29,45 triliun atau 2,23 persen dari total APBN. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah pusat minimal 5 persen dari APBN di luar gaji.
    Anggaran yang terbatas menjadikan sangat berat menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, seperti angka kematian ibu melahirkan yang tahun 2010 masih 214 per 100.000 kelahiran hidup serta jumlah kematian anak usia balita yang pada 2007 tercatat 44 anak usia balita meninggal tiap 1.000 kelahiran hidup.
    Persoalan sosial pun masih menghadang. Sebagai contoh, prevalensi gizi buruk mencapai 4,9 persen dan gizi kurang mencapai 13 persen.
    Berbagai persoalan ini, mulai kondisi sosial ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan, menjadi tantangan berat untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. (LUK/THY)
  • Rakyat Tak Terlindungi

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Rakyat Tak Terlindungi
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Menjadi manusia Indonesia memang tidaklah mudah. Hingga menjelang 67 tahun Indonesia merdeka, hak seluruh rakyat untuk hidup sehat masih sulit diwujudkan.
    Proses pembangunan yang berfokus ekonomi dan abai dengan imbasnya bagi kesehatan masyarakat membuat penyakit serta persoalan kesehatan yang dihadapi rakyat makin kompleks.
    Kematian ibu saat melahirkan masih menjadi momok besar. Hingga 2010, jumlah kematian ibu melahirkan masih mencapai 214 per 100.000 kelahiran hidup. Ini menempatkan Indonesia dalam kelompok negara-negara Asia dengan angka kematian ibu tertinggi. Target menurunkan angka kematian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015—sesuai target Tujuan Pembangunan Milenium—sulit tercapai.
    Jumlah kematian anak usia balita lebih mudah ditekan. Pada 2007, terdapat 44 anak balita meninggal tiap 1.000 kelahiran hidup. Jumlah ini diharapkan bisa menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015.
    Meski demikian, lolos dari kematian bukan berarti masalah yang dihadapi bayi dan anak balita tuntas. Gizi buruk menghadang bayi-bayi tak berdosa akibat kemiskinan orangtua. Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebutkan, prevalensi gizi buruk mencapai 4,9 persen, sedangkan prevalensi gizi kurang mencapai 13 persen.
    Penderita kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) bisa saja bertahan hingga dewasa. Namun, jangan harapkan mereka akan bisa bersaing dalam Pasar Bebas ASEAN 2015. Pertumbuhan otak manusia mencapai 80 persen saat berusia 2 tahun dan mencapai 95 persen saat berumur 6 tahun.
    ”Gangguan kecerdasan akibat kurang gizi berdampak seumur hidup,” ucap Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, Ahmad Suryawan (Kompas, 10/11).
    Kemiskinan juga membuat anak-anak kurang pangan hewani hingga tubuh mereka pendek dan daya tahan mereka lemah. Pada saat bersamaan, mereka yang mampu membelikan bahan pangan ”bermutu” bagi anak lebih banyak memberikan lemak dan karbohidrat.
    Kegemukan pun mengancam. Kondisi itu diperparah dengan pola asuh yang salah, sempitnya ruang terbuka, hingga proses pendidikan yang lebih banyak menekankan pada kecerdasan intelektual sehingga membuat anak-anak kurang beraktivitas fisik.
    Infeksi Lama dan Baru
    Saat anak-anak tumbuh remaja dan menjadi manusia dewasa, mereka harus berhadapan dengan lingkungan yang tak ramah. Berbagai penyakit infeksi lama mengintai mereka, mulai malaria, tuberkulosis, hingga demam berdarah. Belum tuntas persoalan itu ditangani, bebagai penyakit infeksi baru yang lebih menyeramkan, seperti HIV/ AIDS, flu burung, flu babi, hingga sindrom pernapasan akut parah (SARS), menghadang.
    Walau penyakit infeksi masih menjadi ancaman, ternyata penyakit tidak menular kini justru menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Jantung, stroke, hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis, yang dahulu banyak menyerang kelompok lanjut usia, kini semakin banyak diderita orang muda yang masih produktif.
    Jika penyebaran penyakit infeksi sangat ditentukan oleh kondisi geografis, seperti perkotaan atau pedesaan, penyakit tidak menular tidak mengenal perbedaan wilayah. Masyarakat kota dan desa menghadapi ancaman yang sama.
    Selain banyak menyebabkan kematian, proses penyembuhan penyakit tak menular membutuhkan waktu lama. Biaya yang dibutuhkan untuk penyembuhan juga tidak murah. Ini belum lagi beban ekonomi yang harus ditanggung keluarga akibat hilangnya sumber pendapatan utama keluarga. Terlebih lagi, sejumlah penyakit tidak menular bisa menimbulkan cacat permanen bagi penderitanya.
    ”Penyakit tidak menular berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa,” kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.
    Jatuh Miskin
    Menjadi orang sakit juga bukan perkara mudah. Belum terwujudnya sistem jaminan menyeluruh dan mahalnya biaya pengobatan membuat banyak orang tiba-tiba jatuh miskin saat sakit. Adapun mereka yang miskin harus bergulat memperebutkan Jaminan Kesehatan Masyarakat yang terbatas. Hanya mereka yang berduit besarlah yang bisa mendapatkan layanan istimewa meskipun kualitas layanannya belum tentu istimewa.
    Terbatasnya jumlah dan rasio tenaga kesehatan terhadap pasien membuat kualitas layanan yang diberikan kurang optimal. Beban berat yang harus ditanggung tenaga kesehatan sering kali membuat diagnosis penyakit dan pengobatan yang dilakukan kurang sesuai.
    Masalah kesehatan memang tidak hanya dipicu oleh persoalan-persoalan dari bidang kesehatan semata. Kemiskinan, buruknya transportasi, pembangunan tidak merata, ketidakjelasan peta jalan penyiapan dan rekrutmen tenaga kesehatan, hingga pembangunan yang tidak berpihak pada kebijakan kesehatan membuat sektor kesehatan harus menanggung beban berat.
    Anggaran kesehatan masih terbatas. Anggaran Kementerian Kesehatan pada APBN Perubahan 2011 hanya mencapai Rp 29,45 triliun atau 2,23 persen dari nilai APBN total. Ini bertentangan dengan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah pusat minimal 5 persen dari APBN di luar gaji.
    Bandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang pada APBN Perubahan 2011 mencapai Rp 129,7 triliun atau 440 persen anggaran kesehatan. Padahal, imbas subsidi BBM akan sangat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, mulai meningkatnya polusi udara, tingginya angka kecelakaan lalu lintas, semakin banyaknya penyakit-penyakit degeneratif yang muncul, hingga berbagai persoalan kejiwaan.
    ”Anggaran kesehatan yang kecil hanya pantas untuk negara miskin,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany (Kompas, 16/11).
    Jika kesehatan masih dianggap sebagai investasi sumber daya manusia bangsa, sudah selayaknya pemerintah dan DPR memberi perhatian lebih pada sektor kesehatan. Investasi ini memang tidak akan tampak hasilnya dalam lima tahun mendatang, sesuai dengan periode kepemimpinan politik.
    Namun, investasi ini menjadi modal untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain.  (M Zaid Wahyudi)
  • Degradasi Hutan

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Degradasi Hutan
    Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011
    Kebutuhan terhadap logam, bahan bakar, dan perkebunan menjadi penyebab mengapa hutan-hutan konservasi ataupun hutan lindung terus-menerus terdegradasi.
    Ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup dibongkar. Buntutnya, manusia menuai bumerang yang dilemparnya, mulai bencana tanah longsor, banjir, hingga kekeringan melanda sejumlah daerah di Indonesia. Sejatinya, hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, atau suaka margasatwa, didesain untuk melindungi kekayaan hayati bumi. Tak kalah penting, hutan terlindungi itu berfungsi sebagai daerah serapan air dan penyeimbang segala aktivitas manusia yang cenderung merusak lingkungan.
    Seiring dengan pertumbuhan manusia, aktivitas eksploitasi alam, kekayaan mineral, dan perkebunan di Indonesia beberapa waktu terakhir mulai melirik kawasan konservasi. Besar kemungkinan, area yang membutuhkan izin berlapis untuk diturunkan statusnya menjadi hutan lindung ini kini jadi daerah tersisa yang masih memiliki kandungan bahan tambang tinggi. Hal ini membuat seakan-akan semua perusahaan dan pemerintah daerah membabi-buta mengeksplorasi hutan konservasi.
    Indikasi seperti ini terjadi di berbagai daerah Indonesia. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan, sedikitnya 3 juta hektar hutan konservasi ataupun yang telah diturunkan statusnya menjadi hutan lindung sedang dan akan berubah fungsi menjadi areal pertambangan. Perusakan hutan masih bakal terus berlangsung dan kawasan konservasi akan semakin menyusut.
    Ini didasarkan pada masih ditempatkannya sektor pertambangan sebagai sumber utama dalam pembangunan ekonomi—bersama infrastruktur dan transportasi—yang bisa menggunakan areal hutan seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
    Diincar Pertambangan
    Eksploitasi bahan tambang memang dipastikan sebagai sumber mudah dalam meraih pendapatan negara. Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pun semakin mempermudah dan memuluskan langkah untuk mengesahkan penggunaan hutan untuk pertambangan.
    Pada tahun 2011 ini, pemerintah ditaksir mendapatkan pendapatan bukan pajak dari pertambangan sebesar Rp 15,2 triliun. Hanya yang perlu diingat, hal ini adalah pencapaian jangka pendek. Setelah bahan tambang habis dikeruk dari perut bumi, tidak ada sisa yang didapat generasi mendatang. Dengan beroperasinya pertambangan, kerugian terus terjadi dan dialami warga setempat. Hilangnya keanekaragaman hayati dan berkurangnya mata air yang membuat warga kesulitan air untuk kebutuhan sehari-hari jadi tak terhitung. Ini belum lagi kerugian akibat bencana tanah longsor dan banjir.
    Salah satu contoh nyata adalah alih fungsi kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone menjadi kawasan pertambangan yang membuat cemas warga Desa Sogitia, Bone Bolango, Gorontalo (Kompas, 7/12/2011).
    Dirambah Perkebunan
    Di sektor perkebunan, ancaman malah lebih besar. Meski penggunaan hutan untuk perkebunan membutuhkan izin pelepasan (tidak seperti pertambangan yang ”hanya” izin pinjam pakai), kerusakan yang disebabkan malah masif. Kementerian Kehutanan mencatat, lebih dari 460.000 hektar hutan konservasi berubah menjadi perkebunan sawit. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Kementerian Kehutanan 2011 mencontohkan, terdapat izin tak prosedural di Kalimantan Tengah yang mencapai 285 izin usaha perkebunan dengan luas sekitar 3,8 juta hektar.
    Perkebunan kelapa sawit, yang mulai dikembangkan di Indonesia tahun 1960-an, kini semakin luas. Tahun 2007 hingga 2010, luasan bertambah dari 6,7 juta hektar menjadi 8 juta hektar. Luasnya hampir 4 persen dari total daratan Indonesia.
    Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat, luasan sekitar 8 juta hektar ini menghasilkan 21,9 juta ton minyak sawit (hanya 5 juta ton yang dikonsumsi di dalam negeri dan sisanya ekspor) atau rata-rata 2,7 ton minyak sawit per hektar. Produktivitas ini masih kurang dibandingkan dengan kemampuan negara tetangga, Malaysia, yang mencapai 3,5 ton minyak sawit per hektar.
    Mengapa usaha perkebunan sawit di Indonesia terus berupaya mengekspansi hutan? Mengapa tidak meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya?
    Sejak Mei 2010 hingga 2012, melalui kebijakan moratorium, pemerintah berjanji tidak akan menerbitkan izin baru di kawasan hutan ataupun gambut. Ini dituangkan dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru.
    Akan tetapi, dalam revisinya yang baru diluncurkan pada 9 Desember 2011, areal hutan gambut berkurang 3,6 juta hektar dengan alasan itu hasil pengecekan lapangan, pengeplotan baru melalui citra satelit, dan penyesuaian dengan tata ruang daerah.
    Ini menunjukkan pemberian izin atau alih fungsi kawasan akan tetap terjadi. Daerah-daerah yang didorong meningkatkan pendapatan asli daerah serta mengejar biaya politiknya masih akan terus berlomba menurunkan status hutan konservasi dan hutan lindungnya. Namun, keputusan diizinkan atau tidak tetap berada di tangan Menteri Kehutanan.

    (ICHWAN SUSANTO)

  • Membongkar Lingkaran Setan

    Membongkar Lingkaran Setan
    Novri Susan, Sosiolog Unair; PHD Student of Global Studies Doshisha University, Kyoto, Jepang; Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia     
    Sumber : SINDO, 14 Desember 2011
     
    Berita utama harian SINDO (8/12/11) dengan judul Kasus Rekening PNS Muda Sistemik memaparkan kemungkinan praktik korupsi di kalangan PNS muda tidak lepas dari “arahan” para pemimpin mereka. Jadi,rekening miliaran rupiah para PNS muda golongan 3-b tersebut bukan hasil praktik korupsi yang mandiri. 
    Secara sosiologis, praktik sosial yang ingin meraih tujuan- tujuan tertentu cenderung diorganisasikan secara kolektif. Pengorganisasian yang sarat perencanaan, taktik, pembagian kerja, dan implementasi visi.Korupsi sebagai praktik pun tidak lepas dari realitas sosiologis tersebut.

    Para PNS muda yang diduga korup tersebut jelas merupakan bagian dari pengorganisasian kolektif.Mereka mungkin anggota-anggota baru yang direkrut, dilatih, dan diserahi peran kerja oleh jejaring korupsi di mana mereka bekerja. Fenomena sosiologi korupsi ini adalah salah satu dimensi permasalahan yang harus dipecahkan oleh bangsa Indonesia.

    Reproduksi Koruptor

    Praktik korupsi di lingkungan kekuasaan tahun-tahun lalu belum terungkap bersih dan pemberantasannya saat ini pun masih terseok-seok. Anggota jejaring korupsi tidak berkurang, bahkan seolah makin bertambah. Hal ini menyajikan fenomena bahwa reproduksi jejaring korupsi berlangsung secara lancar dan aman. Proses sosial transmisi pengetahuan berlangsung secara intensif, bertahap, dan sehari-hari.

    Mereka, para PNS muda, yang menaati dan menyetujui kandungan pengetahuan tersebut akan diperlakukan istimewa dengan segala fasilitas yang disediakan. Sebaliknya PNS muda yang gagal direproduksi sebagai bayi koruptor, mungkin dikucilkan, dipojokkan, atau bahkan dimutasi ke daerah terpencil Indonesia.

    Proses reproduksi koruptor tersebut tidak terjadi di setiap bagian struktur kekuasaan negara, namun bisa dimungkinkan terjadi di sebagian besar struktur kekuasaan negara. Karena, menurut Michael Hartmann (The Sociology of Elites,2007),proses reproduksi generasi-generasi baru merupakan keniscayaan sosial, sebagai bagian dari mekanisme mempertahankan eksistensi kelompok atau kolektivisme.

    Elite atau pimpinan senior merupakan kelembagaan yang sangat esensial dalam proses reproduksi tersebut. Artinya, pada konteks reproduksi generasi-generasi muda korup cenderung berlangsung terus-menerus di tiap bagian struktur kekuasaan di mana terdapat elite senior yang korup. Reproduksi generasigenerasi muda korup pada kenyataannya terus berlangsung. Alhasil, kekuatan jejaring korupsi tetap atau bahkan makin kuat, kokoh, dan terus mengisap harta negara.

    KPK sebagai lembaga khusus di era transisi demokrasi Indonesia jelas menghadapi kekuatan jejaring koruptor yang tidak kecil.Pada kondisi inilah KPK, dan lembaga-lembaga hukum lain, tidak bisa lagi bekerja terlalu lembut dan ragu-ragu. Selama ini KPK dipandang tidak tegas dan ikut irama permainan elite-elite politik di pusat kekuasaan.

    Potong Generasi

    Gagasan yang sering menjadi wacana publik luas dalam isu penaklukan jejaring koruptor adalah gerakan potong generasi (cut off generation). Asumsi dasar gagasan ini, golongan senior (tua) merupakan produk budaya dan jejaring Orde Baru yang korup dan kolutif. Potong generasi mungkin mampu menghentikan atau mereduksi secara signifikan kekuatan jejaring koruptor.

    Memang pada kenyataannya posisi-posisi penting dalam struktur kekuasaan negara saat ini masih dipegang oleh elite-elite yang meniti karier sejak masa Orde Baru. Tentu tidak tepat seratus persen menunjuk hidung kalangan PNS senior pasti membawa budaya korup Orde Baru dan bagian dari jejaring koruptor. Ada sebagian pejabat PNS senior yang benar-benar mengabdi pada rakyat.

    Namun jumlah pejabat bersih itu tampaknya sangat sedikit. Gerakan potong generasi tentu mensyaratkan metode yang cerdas oleh kekuatan politik demokratis. Mungkin gerakan lustrasi (pembersihan) komunis pada masa Orde Baru merupakan salah satu bentuk metode potong generasi yang bisa dimanfaatkan. Siapa pun yang diindikasikan sebagai anggota dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) bisa diberi sanksi sesuai level posisi dan peranannya.

    Tokoh-tokoh yang diposisikan penting atas peran strategisnya menyebarkan ideologi komunisme diasingkan sebagai tahanan politik. Sama halnya gerakan potong generasi komunis di Eropa Timur pada gelombang demokratisasi awal pada akhir 1980-an dan awal 1990-an dengan pembuatan regulasiregulasi yang membatasi ruang gerak politik kaum komunis.

    Gerakan potong generasi koruptor sebenarnya bisa juga mengambil metode lustrasi yang digunakan memangkas kalangan komunis tersebut.Isu mendasar dari gagasan potong generasi ini adalah keseriusan kekuasaan demokratis melakukan formulasi metode yang akurat, efisien, dan tepat sasaran. Seperti menciptakan indikator generasi-generasi yang bisa dipangkas dari struktur pemerintahan.

    Salah satu wacana yang perlu dipertimbangkan tentang indikator adalah kualitas dan kuantitas praktik korupsi. Indikator ini menolak usia, seperti PNS tua dan PNS muda. Jika PNS muda secara kuantitas dan kualitas telah mempraktikkan kejahatan korupsi yang merugikan maka bisa dimasukkan kategori potong generasi. Perlu kesadaran dan visi politik yang kuat untuk melakukan gebrakan potong generasi di struktur kekuasaan negara.

    Laporan tentang PNS muda dengan rekening miliaran rupiah adalah peringatan yang kesekian kali tentang terus direproduksinya generasi korup dalam pemerintahan. Pada kenyataannya negara bangsa Indonesia saat ini tengah terjebak pada lingkaran setan praktik korupsi yang disebabkan oleh reproduksi generasi-generasi koruptor secara masif. Oleh karenanya kekuasaan demokratis harus mampu membongkar lingkaran setan tersebut dan membawa Indonesia keluar dari bayangan gelap kejahatan korupsi.  

  • Dilema : Simalakama

    Dilema : Simalakama
    Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 14 Desember 2011
    Pengertian “dilema” ada pada situasi ketika orang harus melakukan pilihan sikap atau putusan (utamanya moral: yang menyangkut baik buruknya seseorang dan menentukan kualitas pribadinya) di mana tindakan memilih yang satu sama sulitnya dengan pilihan tindakan keduanya.
    Dilema menaruh situasi “bingung memilih” lantaran akibat-akibat pilihannya sama parah atau sama bobot. Pepatah kita menyatakan dengan gemilang soal dilema ini,“buah simalakama: memilih yang satu bapak mati, memilih yang kedua si ibu mati.” Dilema ini mengisyaratkan keadaan pilihan putusan hidup yang tidak mudah lantaran ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama,orangnya mesti paham apa itu nilai.

    Dalam arti ini,nilai, adalah “apa yang dipandang berharga dalam hidup ini dan layak dihayati untuk kesejahteraannya dan sesamanya”. Nilai hanya akan tampil keluar dalam wujud nyata aksi atau tindakan. Maka diskusi mengenai nilai adalah wacana abstrak karena seharusnya tidak diwacanakan, tetapi dilakukan dan dihayati dalam hidup. Kedua,berada dalam situasi dilematis; simalakama, orang diandaikan menjalaninya dalam tahap-tahap menimbang cermat dengan budi dan hati (baca nurani) lalu mengambil putusannya dan kemudian mengevaluasi setelahnya.

    Di sinilah “dilema” mengandaikan penghayatan hidup ini sebagai sebuah “proses’. Situasi dilematis sebenarnya mengungkapkan bahwa pilihan moral hidup manusia itu secara nyata tidak bisa dikalkulasi secara hitunghitungan matematis.Timbangannya bukanlah hitam dan putih namun “abu-abu”. Apa artinya? Maksudnya, realitas hidup nyata kita sesungguhnya adalah “abu-abu”.

    Kenyataan ini mesti diterima dahulu untuk bisa menemukan jalan keluar dilematis.Ketika realitas itu abu-abu maka tugas setiap adalah setiap kali dalam aksinya berusaha semakin membuat lebih banyak putihnya dan semakin mengurangi hitamnya dalam keabu-abuan kenyataan moral nyata kita.

    Bila hitam menjadi metafora ‘yang jahat’ dan putih menjadi metafora ‘yang baik’ maka usaha tiap orang Indonesia dalam kenyataan keabu-abuan sehari-hari mestinya mengusahakan lebih banyak ‘yang putih’ agar abu-abunya hidup menjadi lebih putih. Di sini, personifikasi dan metafora yang jahat diungkapkan dalam setan atau si jahat.

    Memilih

    Mengapa kejahatan terus ada di dunia ini kendati tidak kurang-kurang agama dan kata bijak diajarkan? Jawab lugasnya, karena adanya si jahat yang merusak tatanan cipta yang oleh Tuhan atau Allah dalam keyakinan agama dimaksud untuk membahagiakan ciptaan-Nya, manusia, asal ia menuruti jalan dan petunjuk benar dari Allah.

    Bila ia menuruti si jahat maka ia akan tersesat. Barangkali inilah sebabnya, teks suci mau menjelaskan dengan bahasa narasi sumber dan asal kejahatan yaitu masuknya “setan atau si jahat” yang sudah merusak sejak awal di taman penciptaan. Barangkali itu pula Freud yang menemukan psikoanalisa atau analisa ketidaksadaran manusia merangkumkan dua gerak kebudayaan yang satu sama lain bertentangan.

    Yang satu adalah budaya cinta kehidupan dengan motor sumbernya yaitu eros. Sedang yang kedua adalah death culture: budaya thanatos yang destruktif merusak kehidupan. Inikah personifikasi sang perawat hidup dalam Wisnu? Dan sang perusak hidup dan ciptaan dalam Syiwa? Lalu, ketika dua energi eros dan thanatos yang menggerakkan kebudayaan yang satu menumbuhkannya dan yang kedua mematikannya, kita dalam membahas situasi dilema di atas menjadi lebih mudah dicerahkan dan menemukan pemahaman mendalamnya.

    Apa itu? Yaitu memilih adalah sebuah proses. Ia bukan jalan pintas atau instan.Memilih adalah juga bukan lompatan mendadak apalagi dalam proses berkeputusan dalam berbangsa dan bernegara yang majemuk suku, agama, identitas unik masingmasing. Karena itu, dalam pilihan dengan pertaruhan hidup-matinya sebuah bangsa, terletak persoalan penting untuk pilihan-pilihan dilematis yaitu “tanggung jawab”.

    Bila belum lama ini, sebuah proses pemilihan seleksi dan pemilihan ketua KPK atau sederet panitia seleksi untuk anggota- anggota yang mestinya penuh tanggung jawab mengemban amanah bangsa dan suara rakyat yang merupakan suara Tuhan, pertanyaan kritis gugatan kita adalah: atas nama siapakahAnda, wakil-wakil rakyat, melakukan proses pemilihan? Atas nama “nilai” sebagai yang baik untuk bangsa ataukah kepentingan Anda sendiri berikut agenda-agenda yang dipolitisasi yang ujung-ujungnya pasti akan cepat tertemukan dan tercium?

    Apakah Anda pembawa budaya mati atau pembawa budaya hidup untuk sejahteranya bangsa ini? Ketika simalakama berada di depan Anda antara memakan buahnya Anda ditendang dari partai dan tidak memakan buahnya Anda akan kalah dan tak mampu memenuhi hasrat kekuasaan untuk menang,maka di situ pulalah, saat-saat ini kita jadi belajar.Dua pelajaran pentingnya yaitu yang kesatu, bahwa proses memilih dalam situasi dilematis mengandaikan kematangan pertimbangan budi dan nurani para wakil ini.

    Dan kedua pengandaian kemampuan menanggungjawabi pilihannya sebagai “proses kultural”: menimbang apa yang baik, apa yang benar, dan apa yang indah dalam kehidupan berbangsa ini lalu tidak memberi celah sekecil apa pun untuk si jahat masuk dan merusaknya. Oleh karena itu deskripsi nyata saat pemilihan ketua KPK mutakhir manakala dalam pemilihan untuk calon pemimpin KPK suara 55 samasama ditempati oleh Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.

    Namun ketika proses pemilihan dilakukan untuk memilih ketua KPK, angka suara Abraham Samad mutlak 55 beda jauh separuh dengan Bambang Widjojanto. Sebuah contoh nyata di depan kita antara proses politik. Pertanyaannya: dilematiskah? Kemudian nomor urutan kategorisasi dari yang diunggulkan oleh Panitia Seleksi Calon Pemimpin KPK (yang sama sekali tidak diambil pertimbangannya oleh para wakil rakyat ini) hanya menandai saja dan menegaskan “garis merah tebal”

    bahwa pada ujungnya proses pemilihan direduksi hanya jadi proses politis dengan kepentingan politis alias kekuasaan. Kita buktikan dengan edar waktu ke depan gaduh riuh politik kuasa yang menang kalah untuk kepentingan partai.Lalu di mana pertanggungan jawab amanah pemilu titipan suara rakyat yang diwakilkan pada pundak Anda-Anda? ●  

  • Kapitalisme Picu Krisis

    Kapitalisme Picu Krisis
    Galih Prasetyo, ALUMNUS UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
    Sumber : SUARA KARYA, 12 Desember 2011
    Belakangan ini, di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan drama demonstrasi menentang ‘modal’. Menyeruaknya kerumunan demonstran itu berlangsung dalam bahasa ‘resistensi’ terhadap Wall Street lantaran dianggap sebagai jantung kapitalisme global.
    Di saat sistem kapitalisme kian menghegemoni, di sisi lain, kapitalisme kerap menemui krisis. Terlalu banyak contoh tragedi krisis, semisal, krisis Asia yang berujung menyeret Indonesia ke jurang krisis 1997-1998. Bahkan, krisis ekonomi terjadi di Amerika tahun 2008 dan yang terbaru, Yunani juga dilanda krisis serius yang selanjutnya menular ke sejumlah negara eropa lainnya.
    Sistem kapitalisme sering dikaitkan dengan rumah besar bernama globalisasi. Kapitalisme dan globalisasi seolah tak bisa dipisahkan. Sehingga, segalanya seolah makin terintegrasi. Termasuk korporasi dan negara-bangsa.
    Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan terkait penyebab terjadinya krisis yang merupakan bukti ‘kegagalan pasar’ (market failure). Sebagaimana diyakini Joseph E Stiglitz dalam Whither Socialism? (1994), kegagalan pasar terjadi lantaran munculnya kenyataan incomplete markets di mana terdapat imperfect information sehingga membuat pasar tidak efisien.
    Meskipun tercipta complete market bisa dipastikan tidak akan kompetitif karena akan selalu ada pembeli potensial dalam setiap pasar. Imperfect information menciptakan ketimpangan informasi (asymmetric information) yang membuka celah para pelaku pasar bertindak sesuai kepentingan dirinya, mengejar keuntungan seluas-luasnya.
    Tak terkecuali, pasar modal pun berpeluang dijadikan sarang pasar spekulatif yang digelembungkan. Itu sebabnya, persaingan yang tidak sehat mudah ditemukan. Faktor eksternalitas semacam itu yang menghadirkan sederetan konsekuensi dari aktivitas suatu pihak yang cenderung merugikan sebagian besar pihak.
    Adam Przeworski dalam karyanya, States and Markets: A Primer in Political Economy (2003) berpendapat, An externality is an effect of actions of an individual that affects the welfare (utility) of others. Faktor eksternalitas memiliki sisi positif dan negatif. Eksternalitas menjadi positif apabila tindakan satu individu berpengaruh memberikan kesejahteraan terhadap individu yang lain. Sedangkan eksternalitas dinilai negatif ketika mengurangi kesejahteraan yang lain.
    Contoh, soal fasilitas busway di Jakarta. Terlepas dari masalah yang kemudian muncul. Nasmun, pemerintah telah berusaha membawa eksternalitas yang positif bagi orang banyak. Contoh sebaliknya, Rajaratnam, pendiri hedge fund terbesar dunia, Galleon, disinyalir melakukan kecurangan di bursa saham sehingga memperoleh keuntungan haram dari pasar modal senilai 63,8 juta dolar dalam jangka waktu tujuh tahun. Dalam hal ini, yang dirugikan para nasabahnya.
    Dia memiliki kemampuan memprediksikan lalu lintas pergerakan saham. Sebab, banyak menerima bocoran informasi dari orang dalam (insider trading).
    Perdagangan berbasis informasi orang dalam di lantai bursa jelas menabrak aturan. Peristiwa semacam itu adalah bukti bahwa hampir selalu terjadi ketimpangan informasi dalam pasar.
    Ternyata, bukan hanya pasar, negara pun bisa mengalami kegagalan (government failure). Tentu kita ingat saat kompromi Keynesian diterapkan di Amerika pada 1970-an. Dalam model ekonomi Keynesian, perekonomian diarahkan berdasarkan ketatnya campur tangan negara. Namun, yang terjadi adalah ledakan inflasi akibat ekspansi uang dan meningkatnya belanja publik. Dari situ ketegangan antara pasar dan negara mesti dicarikan jalan keluar. Setidaknya, untuk menemukan kebaikan di antara keduanya sekaligus.
    Kaum liberal juga marak membicarakan sejauh mana peran negara dan pasar di era globalisasi. Jagdish Bhagwati dalam In Defense of Globalization (2004) menegaskan bahwa dalam pengadaan proyek liberalisasi ekonomi atas pasar bebas harus juga dibarengi dengan pengadaan jaring pengaman sosial. Karena itu, negara memerlukan seperangkat mekanisme institusional untuk mengatasi guncangan yang terkadang muncul. Jagdish Bhagwati menyebutnya dengan globalization that requires management.
    Jagdish Bhagwati mencatat keberhasilan pembangunan di negara-negara Asia Timur lantaran adanya kombinasi antara pertumbuhan ekonomi pasar dengan proteksi. Dengan kata lain, terjadi campuran atas resep liberal dengan resep nasionalisme ekonomi.
    Negara dan pasar harus berimbang dan saling melengkapi agar keberhasilan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Maka, negara bertindak sebagai pengawal dari mekanisme pasar yang tak jarang dinodai oleh ketamakan para pelaku pasar. Negara memiliki kewajiban melakukan suatu rekonstruksi tertentu terkait perkara-perkara proteksi, seperti mengatur kebijakan industri, menyediakan perlindungan sosial, dan sekaligus menciptakan kesejahteraan.
    Menyangkut wacana pasar bebas, perdagangan masih lebih baik ketimbang tidak adanya proses perdagangan. Menurut Bhagwati, diperlukan manajemen transisi menuju liberalisasi. Serta pentingnya well-timing dan well-phased liberalisasi agar terhindar dari semacam krisis finansial Asia yang terjadi akhir 1990-an.
    Banyak kalangan menyebut krisis yang terus berulang lebih dari soal kegagalan pasar atau negara, melainkan akibat krisis kapitalisme di dalam tubuhnya sendiri. Muncul dugaan kapitalisme memang melekat cacat bawaan. Apa mungkin kita dituntut meretas jalan lain di luar kapitalisme? Sementara kita tak bisa mengelak bahwa kapitalisme kian merasuk kenyataan kita.
    Sebagai sebuah sistem, kapitalisme pun tidak menjamin stabil dan mapan. Selalu ada lubang yang terbuka untuk kemungkinan dilengkapi. Sekurangnya, krisis dalam kapitalisme bisa dipahami sebagai ‘koreksi diri’. Layaknya manusia ada kalanya mengalami sakit.  
  • Indonesia sebagai Kiblat Pemikiran Islam Dunia

    Indonesia sebagai Kiblat Pemikiran Islam Dunia
    Evi Rahmawati, MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH;
    AKTIF DI LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT (LSAF)
    Sumber : JIL, 12 Desember 2011
    “Ulil menegaskan optimismenya bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kiblat pemikiran Islam di kancah internasional. Ia mengajukan keberatannya terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh dua sarjana dari Washington mengenai sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu dilihat dari berbagai kriteria, seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas, toleransi, pluralisme, transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset tersebut posisi Indonesia berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia jauh lebih pantas menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau melihat berbagai perkembangan yang kita miliki hingga saat ini. Bahkan, Ulil mempertegas keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.”
    Islam adalah agama yang membawa kemajuan. Sebagaimana manusia, melalui akalnya yang secara pasti diberkahi kemampuan untuk terus bergerak dan berkembang secara dinamis. Pun Islam bukanlah agama statis yang senantiasa memberi tempat pada kejumudan.
    Demikian Neng Dara Affiah menjelaskan spirit yang ingin disampaikan buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia. Neng Dara menyampaikan hal itu dalam acara peluncuran buku Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia tersebut pada 28 November 2011 lalu di Aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang. Buku ini memuat 19 tulisan dari beberapa intelektual muslim Indonesia, di antaranya tulisan Neng Dara Affiah dan Ulil Abshar Abdalla yang menjadi narasumber dalam acara tersebut, juga Syamsul Arifin yang pada kesempatan yang sama bertindak sebagai moderator.
    Peluncuran buku di UIN Malang ini merupakan bagian dari roadshow yang diselenggarakan Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) –sebuah kelompok intelektual Muslim yang berikhtiar memproduksi para pemikir sekaligus pemikiran-pemikiran keislamannya. Roadshow yang dilakukan di empat kota di Indonesia (Padang, Malang, Makassar, dan Jakarta) tersebut diharapkan bisa memperkenalkan pemikiran keislaman yang tertuang dalam buku ini. Dengan begitu, acara ini dapat membuka ruang diskusi yang lebih hidup dan produktif.
    Masih menurut Neng Dara, dengan cara pandang optimis ia memberikan keyakinan bahwa Islam sangat mungkin membawa kemajuan seiring dengan dinamika manusia. Dalam kesempatan ini Neng Dara mencoba melacak beberapa prasyarat bagi kemajuan Islam dalam menghadapi tantangan-tantangan mutakhir. Pertama, Islam sangat mengutamakan potensi kemajuan yang dimiliki manusia. Jika diibaratkan, manusia seperti pohon yang akarnya kuat, batangnya kokoh dan daunnya rimbun. Manusia akan selalu mengalami perkembangan pemikiran sepanjang perjalanannya. Kedua, Islam percaya akan penegakan hak-hak perempuan. Sebab, isu perempuan bukan isu marjinal, melainkan isu sentral yang sama pentingnya dengan isu kemanusiaan lainnya. Ketiga, Islam kompatibel dengan demokrasi sebagai sistem negara yang baik. Meski demokrasi di negara kita terkesan compang-camping, namun itu tidak harus menjadi alasan untuk putus asa terhadapnya, karena nila-nilai yang dikandung demokrasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan sebuah sistem masyarakat yang adil. Keempat,  Islam sangat ramah terhadap hak-hak minoritas. Kaum minoritas di sini bisa siapa saja, apakah itu kaum agama atau kepercayaan minoritas, atau kaum minoritas lain yang berpotensi mengalami diskriminasi. Kelima, Islam percaya akan kebebasan berpikir. Ketika imajinasi intelektual tidak diintervensi, maka akan melahirkan produk pemikiran yang tak terbatas pula.
    Dalam diskusi yang disambut sangat baik oleh sebagian besar elemen kampus tersebut, Neng Dara, sebagaimana kiprahnya selama ini banyak berkecimpung dalam isu-isu perempuan, meyakini bahwa Islam sesungguhnya adalah agama yang percaya akan penegakan hak-hak perempuan. Adalah salah kaprah jika agama justru dijadikan sebagai legitimasi untuk meminggirkan hak-hak perempuan. Dalam kesempatan tersebut, Neng Dara juga menyatakan keresahannya akan Perda-Perda yang kian menjamur, bahkan angkanya mencapai 207 Perda bernuansa syari’ah—menurut catatan pemantauan Komnas Perempuan—yang kesemuanya memiliki kecenderungan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan.
    “Kecenderungan tersebut bisa dikatakan semacam syndrome, yang menganggap aurat perempuan sebagai “momok” menakutkan. Sehingga, kaum perempuan mesti diatur sedemikian rupa agar tidak mengancam stabilitas masyarakat. Padahal, dalam catatan sejarah, tidak ada preseden atau contoh di masa lalu negara mengatur cara-cara perempuan berpakaian. Tentu saja, kita mesti sepakat, karena tubuh perempuan adalah miliknya sendiri, yang tidak harus menjadi bagian dari urusan Negara,” demikian Neng Dara memberikan penekanan.
    Neng Dara Affiah yang selama dua periode didapuk sebagai Komisioner Komnas Perempuan dan juga aktif di Fatayat NU tersebut mengajak peserta diskusi untuk kembali mengingat sejarah, bilamana pergerakan perempuan bersemi di awal tahun 1920-an yang dipelopori oleh gerakan Poetri Mardika di tahun 1912. Pada masa itu, menurutnya, pergerakan perempuan sama halnya dengan gerakan-gerakan lainnya: lantang melakukan kontrol terhadap kolonialisme. Bahkan Sukarno telah lebih dulu memperlihatkan penghargaannya terhadap hak-hak perempuan melalui bukunya Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Repoeblik Indonesia, racikan dari bahan-bahan diskusi pada “Kursus Wanita” yang digerakkannya setiap dua pekan sekali di Yogyakarta. “Dengan demikian,” tegas Neng Dara—hendak memerikan sebuah ironi—, “jika Sukarno saja di masa itu sudah sadar bahwa persoalan hak-hak perempuan adalah persoalan bersama (masyarakat), alangkah lucunya bila di masa kini masih ada yang menganggap isu-isu perempuan sebagai isu pinggiran, yang tidak terlalu seksi bahkan untuk sekedar diperbincangkan.”
    Sementara, Ulil Abshar Abdalla yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, membuka perbincangannya dengan memuji UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai cerminan kampus pembaharu yang sejak semula sudah dicita-citakan oleh para pembaharu muslim, semisal Kiai Haji Ahmad Dahlan. Menurut salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) tersebut, core atau inti dari pembaruan yang ingin dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam semisal Muhammad Abduh adalah bagaimana agar masyarakat muslim tetap mempertahankan otentisitasnya sebagai muslim, tanpa menutup diri terhadap modernitas. “We are moslem, and yet in the same time, we are modern,” jelas Ulil.  Dalam tradisi NU sendiri kita bisa menjumpai istilah al-muhâfadhah ‘ala al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (mempertahankan tradisi yang baik dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik).
    Atas dasar tersebut, Ulil juga bermaksud menularkan kepada para peserta diskusi perihal optimismenya bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi kiblat pemikiran Islam di kancah internasional. Ia mengajukan keberatannya terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh dua sarjana dari Washington mengenai sebarapa Islamkah negara-negara Islam itu dilihat dari berbagai kriteria, seperti pengakuan terhadap hak-hak minoritas, toleransi, pluralisme, transparansi sistem pemerintahan, dsb. Dalam riset tersebut posisi Indonesia berada di bawah peringkat Malaysia. Menurut Ulil, Indonesia jauh lebih pantas menuai peringkat di atas Malaysia, sekurang-kurangnya kalau melihat berbagai perkembangan yang kita miliki hingga saat ini, termasuk keberadaan kampus Islam modern semisal UIN Malang, yang merupakan perkawinan sempurna antara tradisionalisme dan modernisme. Bahkan, Ulil mempertegas keyakinannya dengan menyertakan nubuat dari Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa masa depan dunia Islam justru ada di Indonesia, bukan di Arab Saudi.
    Lebih jauh, Ulil—yang merupakan salah satu peneliti pada Freedom Institute tersebut—menyatakan optimismenya terhadap potensi kemajuan dunia Islam di tangan Indonesia. Karena sampai sejauh ini Indonesia berhasil menaklukkan tantangan-tantangan berat yang mungkin saja tidak bisa dihadapi negara lain manakala mengalami masa transisi politik. Menurut pengamatannya, ketika sebuah negara mengalami transisi politik, ia akan berhadapan dengan fase-fase berbahaya yang bisa mengancam stabilitas pemerintahan. Akibatnya, negara yang dalam masa transisi rentan mengalami balkanisasi, sebuah gejala disintegrasi yang diakibatkan oleh menjamurnya separatisme. Contoh paling representatif adalah pengalaman Uni Soviet dan negara-negara di Timur Tengah.
    “Sementara Indonesia,” sambung Ulil, “berhasil melalui masa transisi tanpa harus kehilangan banyak. Mungkin seketika kita teringat akan Timor Leste. Tetapi itu hanya sebuah pengecualian. Pada kenyataannya, Indonesia tetap menjadi negara kesatuan yang utuh hingga sekarang.” Ulil meyakini bahwa gerakan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peranan penting dalam hal ini. Di mana masyarakat NU telah lebih dulu mengamini ijtihad politik pendahulunya, KH Ahmad Shiddiq, yang mendeklarasikan Indonesia sebagai negara final. Sehingga, umat Islam Indonesia tidak perlu lagi mencontoh bentuk pemerintahan di negara Islam lainnya. “Deklarasi yang diprakarsai Ahmad Shiddiq, Rais Am NU pada masa itu (1984), merupakan sebuah strategi efektif dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme masyarakat melalui legitimasi agama,” demikian Ulil menyatakan kebanggaannya atas tradisi luhur yang telah dibangun oleh NU sejak Muktamarnya yang ke-27, tahun 1984 itu.
    Di samping itu, Indonesia berhasil melalui masa transisi tanpa kudeta militer. Kita bisa melihat kondisi memprihatinkan yang dialami Mesir manakala negara ini mengalami masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju demokrasi. Ketika pemerintahan Husni Mubarak berhasil ditumbangkan, Mesir masih terus mengalami pergolakan hebat yang diakibatkan oleh perlawanan masyarakat terhadap kepemimpinan baru yang diusung oleh kalangan militer. Indonesia sedikit lebih beruntung karena transisi di masa reformasi dipimpin oleh kalangan sipil, yaitu B.J. Habibie. Kepemimpinan Habibie sebagai tokoh sipil, tidak bisa kita lupakan begitu saja jasanya. Adalah kontribusi Habibie yang berhasil meloloskan undang-undang penting semisal UU tentang Otonomi Daerah, pemisahan antara TNI dan POLRI, dsb.
    Kemajuan lain yang diperlihatkan Indonesia adalah dukungan serta partisipasi masyarakat yang begitu besar terhadap demokrasi. Beberapa inisiatif terus dilakukan masyarakat demi mendukung wacana demokrasi melalui berbagai elemen, apakah itu melalui tokoh masyarakat, partai politik, NGO (LSM), Perguruan Tinggi Islam semisal IAIN yang sumbangannya cukup besar dalam mewacanakan demokrasi. Sebagaimana pernah dilakukan UIN Syarif Hidayatullah yang pernah membuat semacam buku panduan tentang HAM. Atau misalnya NU yang pernah membuat halaqah yang khusus menyoroti fikih korupsi.
    Sebagai penutup, Ulil menambahkan bahwa perlu ada upaya untuk terus meningkatkan capaian-capaian yang telah Indonesia miliki. Salah satunya adalah dengan terus mengembangkan tradisi keilmuan di kalangan sarjana, sehingga nubuat Fazlur Rahman di atas bukan sekadar pujian atau harapan kosong. Dalam kesempatan itu, Ulil mengungkapkan kerinduannya terhadap iklim intelektualisme yang pernah begitu subur di tahun 1970-an, masa di mana gerbong pemikiran Islam tengah mengalami kejayaan saat Cak Nur dan Gus Dur menjadi masinisnya. Sementara sekarang, Ulil melihat bahwa tradisi seperti di masa itu (dekade 70-an) sudah mulai luntur. Karena itulah, Ulil yang juga salah satu pengarah KEMI, ingin mengoptimalkan peran komunitas epistemik ini sebagai mediator yang diharapkan bisa menghidupkan kembali kejayaan pemikiran Islam yang pernah berkibar beberapa dekade lalu.
    Ulil pun menambahkan, bahwa upaya lain yang harus dilakukan oleh para sarjana adalah memperbanyak karya dalam bahasa Inggris. Karena bahasa ini adalah satu-satunya mediator yang paling efektif untuk melebarkan sayap pemikiran kita di dunia Internasional. Selain itu, lanjut Ulil, kita juga harus berupaya mengembangkan dan memperbanyak jurna-jurnal ilmiah yang bisa dijadikan rujukan orang lain manakala ingin belajar tentang Islam Indonesia. Upaya terakhir yang perlu dilakukan adalah dengan membuka diri terhadap segala pendekatan keilmuan, apakah itu pendekatan yang tradisional atau yang liberal. Dengan terbuka terhadap beragam pendekatan itu, maka diharapkan bisa merangsang dialog-dialog yang sehat demi perkembangan keilmuan kita di masa mendatang. Maka dengan memenuhi upaya-upaya tersebut, Ulil menegaskan keyakinannya bahwa Indonesia bisa memenuhi nubuat Prof Fazlur Rahman sebagai negara model keislaman internasional, laiknya mercusuar yang bisa menerangi dunia Islam lainnya.
    Sementara itu, Dr. Lutfi Mustofa, dosen Filsafat di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang juga menjadi narasumber pada diskusi tersebut menguraikan sejarah pembaruan serta fase yang dilewatinya. Menurutnya, pembaruan dalam Islam melewati fase pertamanya di abad 17-18, yang dipicu oleh kesadaran akan kondisi internal Islam yang mengalami penurunan, bahkan jauh tertinggal dari masyarakat Barat. Sementara fase selanjutnya, pembaruan kemudian dimotivasi oleh kolonialisme. Menjalarnya penjajahan di berbagai dunia Islam itulah yang kembali membangunkan gairah masyarakat di dunia Islam untuk melakukan pembaruan.
    Pada titik inilah Lutfi Mustofa hendak menggiring peserta pada harapan yang sama: pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tidak lain mimpi bersama bangsa ini dalam membangun masyarakat yang lebih dewasa dalam mengantarkan pola hubungan yang lebih harmonis antara negara dan agama. Yakni, menampilkan wajah agama yang mendorong nilai-nilai universal untuk mendorong sekularisme di Indonesia.