Blog

  • Memperhitungkan Kebangkitan Perekonomian Daerah

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Memperhitungkan Kebangkitan
    Perekonomian Daerah
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Jika menyusuri wilayah-wilayah Indonesia bagian timur, dengan cepat Anda akan menemukan kehausan sebagian besar orang untuk menjadi pegawai negeri sipil dan politisi. Hal itu amat mencolok.
    Jalur pegawai negeri sipil, partai politik, dan anggota DPRD sangat memukau publik karena dua jalur ”profesi” itu paling terlihat dominan di masyarakat. Mereka cepat kaya dan, karena itu, menimbulkan kelaparan jiwa di tengah dera kemiskinan.
    Ironisnya, muncul kecenderungan berlawanan yang serentak: birokrasi pemerintah dan politisi selalu absen, tidak hadir untuk membela dan menyejahterakan rakyat.
    Fakta negatif-kontradiktif inilah yang menggerogoti sendi-sendi berbangsa di wilayah-wilayah nun jauh di sana. Anda mungkin sependapat; gejala itu—absennya negara secara telak—sebenarnya mewabah di seluruh wilayah negeri ini.
    Pendek kata, masyarakat terus dibiarkan berjuang sendirian. Tidak ditemani, tidak dibina, dan tidak didukung, tetapi justru diperas. Cara melihatnya gampang. Lihat saja bagaimana kinerja para menteri secara umum dan dinas-dinas. Apa mereka turun ke lapangan dan konsisten mengawal pemberdayaan?
    Jangan-jangan rekaman ”sejarah suram” seperti itulah yang menggerakkan kesadaran publik kemudian membelokkan otonomi pemerintahan jadi kebablasan? Padahal, kalau kita saksama mengamati, aduhai… betapa dahsyat potensi alam, kreativitas dan kecerdasan sumber daya manusia kita, serta betapa unik warisan tradisi lokal dan filosofi entitas-entitas Indonesia Raya ini.
    Sebagai contoh, keinginan pemerintah mempunyai pabrik garam di sejumlah provinsi sejak beberapa tahun lalu sampai sekarang nol hasilnya. Deklarasi kemandirian pangan dan daging ternak karena potensi ternak kita yang besar di sejumlah daerah cuma wacana angin lalu. Belum lagi kekayaan tambang dari Papua sampai Aceh, hortikultura,
    dan industri kelautan tidak jelas ujung pangkalnya karena tak pernah ada grand design-nya. Ironis sekali. Negeri bahari dan negeri agraris ini saban tahun terus mengimpor garam, ikan asin, beras, dan ternak.
    Sebutlah Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Anda pasti tidak mengenalnya. Sumba adalah salah satu cermin lemahnya birokrasi kita. Dua bandara di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, dan Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya (yang sedang dibenahi), kondisinya sebenarnya di bawah standar. Jadwal penerbangan tidak tertib, padahal pasar pengguna jasa penerbangan begitu besar. Begitu juga dermaga feri di Sumba Barat Daya yang terbengkalai akibat lemahnya koordinasi dan tak adanya grand design transportasi negara kepulauan dengan banyak silang atribusi yang memang unik itu.
    Pulau Sumba dengan potensi ”ekspor” kuda, kerbau, dan sapi rata-rata total 800 ekor per bulan cuma tinggal tunggu waktu mengalami krisis ternak. Konsumsi daging kuda, kerbau, dan sapi di luar Sumba terus meningkat, tetapi pengembangan populasi ternak nyaris tidak digarap.
    Perihal tenun Sumba yang terkenal indah, kerajinan parangnya yang unik, serta warisan budaya Marapu yang mewarnai seluruh perilaku masyarakat Sumba bagaikan intan yang terkubur lumpur. Potensial dan menawan, tetapi secara umum tidak menolong menyejahterakan penduduknya dan tidak pula terakses oleh pasar. Apa penyebab utama semua kemandekan dan menciutnya seluruh energi masyarakat tadi? Seperti kami jelaskan di atas, yaitu tidak hadirnya birokrasi pemerintah yang memang seharusnya bertanggung jawab menyejahterakan rakyat. Lebih khusus lagi, tidak ada sama sekali gagasan membangun center point—pusat-pusat produksi dan reproduksi cara mempertahankan kehidupan—dan pada akhirnya menjadi jaringan ”hilir-hulu” (peradaban sekadar) agar masyarakat bisa bertahan. Ini semua tidak ada di daerah!
    ”Kami harus mulai dari mana, Bapak? Padahal, kami sebenarnya memilikinya,” kata Hendrik Pali (64), pengusaha dan pemimpin Sanggar Tari Ori Angu, di Waingapu, Sumba Timur. Istrinya, Yuli Emu Lindi Jawa (61), adalah perintis kerajinan tenun Sumba serta pengusaha pakaian khas Sumba dan material bangunan. Hendrik kesal terhadap perilaku birokrasi di daerah yang bukannya membina, melainkan justru memanipulasi nama sanggar Hendrik untuk mengirim misi kesenian ke luar negeri. ”Padahal, grup kami tidak diajak,” kata Hendrik.
    ”Mereka selalu menggunakan kami untuk kepentingan mereka,” ujar Umbu Angga (35), ahli waris dan aktivis komunitas budaya rumah adat Rindi, di Sumba Timur.
    Pengabaian terhadap hajat hidup rakyat banyak juga terlihat dalam kasus sawit di Kalimantan dan Sumatera yang kini booming. Di Kalimantan Barat (Kalbar), pada tahun 2011 tercatat luas perkebunan kelapa sawit mencapai 700.000 hektar dengan 400.000 hektar di antaranya berproduksi. Namun, dari produksi 1 juta ton minyak sawit per tahun dari Kalbar, 60 persen di antaranya diangkut ke Malaysia untuk diolah karena Kalbar tidak memiliki pabrik pengolah minyak sawit. Kalbar hanya menjadi basis perkebunan dengan nilai tambah sangat kecil. Sementara Malaysia memiliki pabrik itu. Kalbar juga kehilangan potensi pendapatan pajak ekspor Rp 200 miliar per tahun karena tidak memiliki pelabuhan internasional yang bisa memungut pajak ekspor.
    Menggembirakan jika potensi perekonomian rakyat bisa tumbuh besar tanpa campur tangan pemerintah. Saatnya wacana ketidaktergantungan pada bantuan pemerintah kita kibarkan. Meski demikian, pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas penderitaan dan kemiskinan rakyatnya. Di Kabupaten Sanggau, Kalbar, misalnya, muncul industri pakan ikan air tawar maggot berbahan baku larva lalat hutan. Di Desa Negeri Baru, Kabupaten Ketapang, juga muncul kerajinan tangan berbahan lupu (sejenis rotan kasar) beberapa tahun terakhir. Di Pontianak, korban kerusuhan etnis di Sambas dan mantan pekerja kayu kini belajar membuat kerajinan akar keladi.
    Kelompok Tani Anggur Amartha Nadi, Kabupaten Buleleng, Bali, mengolah buah anggur Buleleng menjadi kopi bubuk biji anggur, jus anggur, serta dodol anggur. Namun, Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya mengaku tak mudah mengajak masyarakat berwirausaha. Ia mencatat, dibutuhkan ketelatenan untuk itu. Ini persis catatan Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto. Telaten, setia, dan jujur.
    Sejumlah kota di Jawa Timur bisa jadi model ketelatenan itu. Kepala Dinas Koperasi Industri dan Perdagangan Lamongan Mubarok menjelaskan, Lamongan memiliki 12.337 unit usaha kecil dan menengah (UKM) serta menyerap tenaga kerja 22.145 orang. Di Gresik, ada Klinik Konsultasi Bisnis sejak tahun 2006, tetapi sayang kini terbengkalai. 
    Padahal, klinik tersebut telah mengembangkan UKM kluster dengan sentra industri camilan, rotan, kopiah, dan makanan khas Gresik. Lamongan juga memiliki Pusat Informasi UKM dan Pusat Komunikasi Kreatif.

    (HRD/AHA/ACI/AYS)

  • Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Selama 40 tahun hidup bersama ternyata tidak menjamin ikatan akan terjalin sedemikian intim. Tak hanya perkara konflik berkepanjangan, stigma separatis yang susah hilang—mirip cap PKI zaman Orde Baru—tetapi juga belenggu saling tak percaya antara Jakarta dan Papua terus memasung masing-masing dalam kecurigaan.
    Dalam ruang sosial-politik, kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi hingga pengujung 2011. Korbannya tak hanya warga sipil, tetapi juga aparat keamanan. Ruang tahanan dan penjara terus terisi oleh mereka yang dikenai pasal makar. ”Sesuatu yang aneh ini terjadi di negara demokratis seperti Indonesia,” kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Kondisi itu berbalut erat dengan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Papua yang tak berbanding lurus dengan alamnya yang kaya raya.
    Data PT Freeport Indonesia menunjukkan, total cadangan terbukti untuk tahun pelaporan sampai 31 Desember 2010 adalah 2,57 miliar ton batuan mineral dengan kadar rata-rata dari cadangan itu adalah 0,98 persen tembaga, lalu 0,83 gram per ton emas, dan 4,11 gram per ton perak. Dari kinerja perusahaan itu, pada semester pertama 2011, kewajiban berupa pajak yang dibayarkan perusahaan itu mencapai 1,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 11,7 triliun.
    Jika dihitung sejak kontrak karya 1992, hingga Juni 2011 perusahaan tambang itu telah membayar kewajiban mereka dalam bentuk pajak, royalti dan dividen masing-masing 12,8 miliar dollar AS, 1,3 miliar dollar AS, dan 1,2 miliar dollar AS. Kinerja perusahaan itu memberi kontribusi hingga 60 persen pada PDRB Provinsi Papua dan 96 persen pada PDRB Kabupaten Mimika.
    Papua juga memiliki hutan lebih dari 32 juta hektar. Pejabat Gubernur Papua Syamsul Arief Rivai mengatakan, hutan di Papua memiliki nilai ekonomis sekitar 74 miliar dollar AS dari kayu, karbon, dan jasa lingkungan, termasuk air serta makanan. Hutan produksi konversi yang luas seperti di Merauke berdaya tarik kuat. Saat ini Merauke dilirik 48 investor yang ingin menggarap perkebunan melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate. Di laut pun demikian. Produksi ikan tangkap tahun 2010 di Merauke, misalnya, tercatat 2 juta kilogram.
    Setiap tahun Papua mendapat dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 2,6 triliun atau sekitar Rp 3,8 triliun jika dihitung bersama-sama dengan Provinsi Papua Barat. Dana tersebut diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur Papua. Namun, hingga 10 tahun berjalan (total kurang lebih Rp 28 triliun), misi otsus, yaitu membangun keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang asli Papua, tidak terwujud optimal.
    Transformasi Mandek
    Saat ini angka kematian bayi di Papua adalah 362 per 100.000 kelahiran hidup atau di atas angka nasional, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Malaria juga terus jadi penyakit langganan warga. Di Boven Digoel, misalnya, pada 2010 tercatat 7.583 orang terserang malaria. Jumlah itu melonjak dibandingkan 2009, yaitu 5.988 orang. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Josef Rinta mengakui, meski jumlah puskesmas bertambah, tenaga medis belum mencukupi. Papua masih kekurangan 2.524 bidan, 212 tenaga gizi, 427 perawat, 241 analis kesehatan, 241 ahli kesehatan lingkungan, dan 280 ahli farmasi.
    Demikian pula dalam bidang pendidikan. Ketertinggalan itu tampak dari minimnya jumlah guru di pedalaman sehingga harus mengajar rangkap beberapa mata pelajaran ataupun beberapa kelas sekaligus. Selain itu, gedung sekolah yang rusak, alat belajar-mengajar yang minim, dan banyak anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Di Merauke, pada tahun 2010 sedikitnya 2.574 anak usia 7-12 tahun tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar. Angka melek huruf dan rata-rata sekolah sangat rendah. Di Kabupaten Intan Jaya, misalnya, angka melek huruf 27 persen dengan rata-rata lama sekolah hanya 1,8 tahun.
    Sekretaris Daerah Papua Constan Karma mengungkapkan, banyak tenaga guru dan tenaga kesehatan di daerah pemekaran terserap birokrasi. Dampaknya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah pemekaran rendah. Kabupaten Nduga salah satunya. IPM kabupaten pecahan dari Jayawijaya itu hanya 48,02 atau terbawah di Papua. Dapat dibayangkan bagaimana situasi di sana mengingat IPM Papua menduduki peringkat terbawah di Indonesia.
    Hal itu menyumbang pada tingginya jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua, yang mencapai 944.000 orang lebih atau sepertiga total penduduk Papua (2,8 juta jiwa). Jumlah itu meningkat dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 2010, yaitu lebih dari 761.000 orang. Meskipun persentase penduduk miskin berkurang dari 36,80 persen tahun 2010 jadi 31,98 persen tahun 2011, tetap saja angka itu memprihatinkan.
    Apalagi, penduduk yang masuk kategori itu umumnya orang asli Papua, terutama mereka yang tinggal di wilayah Pegunungan Tengah Papua dan pedalaman lainnya. Upaya pemerintah untuk mendekatkan pembangunan dengan membentuk kabupaten baru di Papua nyaris tidak berdampak.
    Di Papua Barat, jumlah penduduk miskin tahun 2010 tercatat 34,88 persen atau 356.350 jiwa dari 798.601 jiwa. Meski jumlahnya turun dibandingkan 2009, tingkat kemiskinan kian tinggi. Tahun 2008, tingkat keparahan miskin penduduk miskin adalah 9,18 poin dan jadi 10,47 poin pada tahun 2010. Penyebabnya, naiknya nilai pengeluaran yang tak diimbangi peningkatan daya beli masyarakat. Agustus 2010, tercatat 26.341 penduduk usia kerja menganggur, sedangkan Agustus 2011 bertambah jadi 33.031 orang. Tren pengangguran naik dari 7,68 persen jadi 8,94 persen. Penurunan jumlah tenaga kerja terbanyak terjadi di sektor pertanian, sampai 10.639 orang. Padahal lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan di bumi Papua ini terbentang luas.
    Ketua DPR Papua Barat Yosep Johan Auri mengatakan, dana otsus belum menyentuh masyarakat dan belum tepat sasaran. Banyak dugaan dana digunakan tanpa perencanaan dan pertanggungjawaban. Anggaran ganda, dari dana APBD dan dana otsus, untuk satu proyek kerap ditemukan. Masalahnya, hingga 10 tahun otsus berjalan, pemerintah provinsi belum punya peraturan daerah khusus yang mengatur perencanaan, peruntukan, dan pertanggungjawaban dana otsus.
    Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan untuk penggunaan dana otsus tahun 2010, masih ditemukan sejumlah dana tidak jelas atau tidak tepat digunakan. Beberapa terindikasi diselewengkan. Tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai pengelolaan dana otsus tidak efektif.
    Saat ini, pemerintah menawarkan kebijakan baru, yakni percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Akankah itu menjawab? Atau sebaliknya justru menambah luka baru?

    (B Josie Hardianto/ Erwin EdhiPrasetya/ Timbuktu Harthana)

  • Daerah Terbius Kepentingan Sesaat

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Daerah Terbius Kepentingan Sesaat
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Mendongkrak pendapatan daerah. Itulah ambisi semua pemerintah kota, kabupaten, dan provinsi selama beberapa tahun terakhir.
    Sikap ini positif, tetapi dalam banyak kasus selama 2011 upaya itu menyisakan persoalan serius bagi daerah, yakni kehancuran komoditas andalan rakyat dan makin meluasnya kerusakan lingkungan. Kasus yang cukup menonjol adalah maraknya penambangan pasir besi, seperti di Provinsi Bengkulu, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Di semua lokasi penambangan, masyarakat menolak kehadiran investor karena diyakini hanya memiskinan mereka. Namun, para pemodal pantang mundur karena telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan pemerintah daerah setempat.
    Kasus sejenis tampak pula di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Di sana, banyak bermunculan perusahaan swasta dengan mengantongi IUP batubara. Lokasi penambangan yang diperoleh bukan hanya hutan, melainkan juga dalam perkebunan karet rakyat dan rumah warga. Penambangan batubara pun kian marak dan kerusakan lingkungan makin tak terkendali. Lubang-lubang berdiameter belasan meter dengan kedalaman sekitar 10 meter tersebar di sejumlah lokasi.
    Bahkan, di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, muncul pula industri penimbunan batubara. Industri ini berkembang tanpa kendali hingga ke zona inti kompleks percandian Muaro Jambi. Jelas akan mengancam keberadaan situs peninggalan Melayu kuno tersebut.
    Sekitar 8.000 petani telah menjadi penggali batubara, tukang ojek, dan sopir truk pengangkut. Satu lokasi galian menghasilkan sekitar 1.500 karung batubara per hari. Bisa dibayangkan kerusakan lingkungan yang membayangi usaha rakyat tersebut.
    Lain lagi di Provinsi Bangka Belitung. Daerah tersebut sejak awal abad ke-19 memiliki lada putih yang telah mendunia. Hingga akhir 1990-an, lada dari Bangka paling disukai konsumen dunia, terbukti menguasai 80 persen dari total kebutuhan di pasar dunia. Akan tetapi, selama satu dekade terakhir, suplai lada dari bangka turun tajam. Tahun 2010, misalnya, volume ekspor hanya 4.334,5 ton dari total kebutuhan di pasar dunia sekitar 100.000 ton. Penurunan itu tidak lepas dari menyusutnya lahan budidaya lada akibat ekspansi penambangan timah dan perkebunan kelapa sawit.
    Berbagai Dalil
    Dengan berbagai dalil, pemerintah daerah selalu menyatakan, semua yang dilakukan sebagai upaya menyejahterakan masyarakat, menambah pendapatan asli daerah, dan lainnya. Jika demikian, mengapa kebijakan itu menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat?
    Dari kasus-kasus ini menunjukkan pemerintah daerah kurang mengenal secara baik kekuatan ekonomi lokal yang bisa digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka cenderung terbius tawaran-tawaran jangka pendek dari para pemodal yang ingin berinvestasi tanpa peduli dampak kehancuran lingkungan dan risiko lain yang bakal menimpa warga.
    Kasus tersebut juga membuktikan bahwa sejumlah pemerintah daerah tidak punya konsep jelas dan terarah dalam menggali dan menggerakkan ekonomi lokal. Ketika menyaksikan daerah lain berhasil membudidakan komoditas tertentu, mereka pun langsung ingin meraih sukses dengan komoditas sama.
    Itu terbukti di Bangka Belitung. Meski lada putih telah menjadi komoditas unggulan dan memakmurkan masyarakat setempat, pemerintah setempat kurang memedulikan. Mereka lebih tergiur kelapa sawit. Padahal, hingga kini belum ada komoditas asal Indonesia yang mampu menguasai 80 persen pasar dunia, kecuali lada putih dari Bangka.
    Pengabaian terhadap lada di Bangka Belitung sungguh nyata. Perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004, misalnya, hanya 2.507 hektar, tahun 2010 telah 42.657 ha. Sebaliknya, tanaman lada yang tahun 2004 seluas 45.797 ha, pada 2010 tersisa 36.372 ha. Krisis lada sulit terhentikan karena antusiasme pemilik modal untuk menanam sawit di Bangka begitu tinggi.
    Di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, atas nama perluasan lahan sawit, kawasan gambut seluas 600 ha di Rawa Pacing, Menggala, Tuba, yang menjadi habitat burung rawa dikorbankan. Aksi penolakan warga sama sekali tidak dipedulikan. Pemerintah setempat nyaris tidak bersuara.
    Kondisi ini membuat kita bertanya: untuk siapa pembangunan dilakukan? Benarkah demi kesejahteraan masyarakat atau ada motif keuntungan pribadi pihak tertentu di balik kebijakan itu?
    Bukan rahasia lagi pemilihan langsung kepala daerah selama ini memaksa calon mengeluarkan ongkos miliaran rupiah. Dana itu bukan semata dari modal pribadi, melainkan subsidi dari berbagai pihak, termasuk pemodal besar. Setelah berkuasa, pejabat bersangkutan mencari cara untuk membalas jasa para sponsor.
    Memasuki 2012, praktik semacam ini bakal terulang lagi. Maka, semua pihak yang terkait harus bangkit melawan praktik kebijakan ekonomi sesaat yang mengatasnamakan rakyat.

    (Jannes Eudes Wawa/ Irma Tambunan/Yulvianus Harjono/Kris Razianto Mada)

  • Lirikan Investor Mengguncang Aset Daerah

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Lirikan Investor Mengguncang Aset Daerah
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Kebun Binatang Surabaya, satu dari banyak aset Pemerintah Kota Surabaya, tidak pernah sepi dari incaran pemilik modal. Lokasi strategis dengan luas sekitar 15 hektar itu cocok disulap untuk kawasan perdagangan, perkantoran, apartemen, dan hotel.
    Misi investor untuk bisa menguasai tempat wisata utama bagi warga Surabaya itu dilakukan dengan berbagai taktik, termasuk mengorbankan hewan koleksi Kebun Binatang Surabaya (KBS) hingga merana, bahkan mati. Tak tanggung-tanggung, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bahkan mencabut izin Lembaga Konservasi KBS mulai Agustus 2010.
    Pencabutan izin dilakukan karena berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pengelolaan, KBS tidak memenuhi standar pengelolaan sesuai peraturan perundang-undangan, baik dari segi etika maupun kesejahteraan satwa. Akibatnya, banyak satwa liar yang mati tidak dilaporkan dan tidak dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, pengelolaan KBS diserahkan kepada Tim Pengelola Sementara (TPS).
    Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memilih mengundurkan diri dari TPS sebagai penolakan atas turunnya SK Menteri Kehutanan Nomor SK.281/Menhut-IV/2001 pada 18 Agustus 2011 tentang TPS KBS. Padahal, tanah yang dimanfaatkan KBS adalah aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dengan bukti kepemilikan sertifikat hak pakai Nomor 2 dan 3 Tahun 2001 seluas masing-masing 55.700 dan 97.860 meter persegi. Dengan demikian, TPS tidak bisa mencari investor sendiri, tetapi harus melalui mekanisme lelang.
    Hingga kini, keinginan Pemkot Surabaya untuk mengelola asetnya masih terganjal izin dari Kementerian Kehutanan. Sementara itu, hingga awal Desember 2011 sudah 15 ekor satwa koleksi KBS mati, antara lain, akibat kandang yang tidak sehat.
    Pemkot Surabaya kini memperjuangkan kembalinya aset mereka yang dikuasai pengelola Yayasan Kas Pembangunan yang membangun kompleks perumahan di Surabaya.
    Hutan Kota Terancam
    Nasib serupa juga menimpa Babakan Siliwangi, hutan kota seluas 3,8 hektar di jantung Kota Bandung. Kawasan hijau ini diapit Kebun Binatang Bandung dan Sasana Budaya Ganesha.
    Dialiri Sungai Cikapundung, kawasan ini relatif masih terjaga di tengah maraknya alih fungsi kawasan. Namun, kondisi tersebut dikhawatirkan bakal terganti dengan penandatanganan kontrak pengelolaan antara Pemkot Bandung dan PT Esa Gemilang Indah (EGI) pada 2007 untuk pengelolaan selama 20 tahun alias hingga 2027.
    PT EGI dan Pemkot Bandung sepakat membangun kembali restoran masakan Sunda di lokasi bangunan lama yang pernah berdiri. Pihak ketiga ataupun pemkot berjanji lahan yang terpakai hanya 2.000 meter persegi untuk bangunan dan 5.000 meter untuk tempat parkir. Namun, dalam kontrak tersebut disebutkan bahwa PT EGI juga berwenang untuk mengelola sisa kawasan meski dikatakan oleh direkturnya, Iwan Soenaryo, tidak akan ada perubahan fungsi dari hutan.
    Masyarakat kini berkonsolidasi untuk memanfaatkan hutan kota itu sebagai ruang publik. Pasalnya, selama ini daerah tersebut cenderung ditelantarkan dan terkesan angker.
    Salah satu inisiatif datang dari Ridwan Kamil dari Bandung Creative City Forum. Mereka berupaya menata kembali kawasan itu dengan menggelar sayembara desain hutan kota secara nasional. Proyek awal adalah membangun jembatan kayu sepanjang 400 meter sehingga pengunjung bisa menikmati rimbunnya dedaunan di Babakan Siliwangi.
    Meski baru sebagian, jembatan kayu tersebut disambut positif masyarakat. Kini, bermunculan komunitas yang sering beraktivitas di Babakan Siliwangi, mulai dari fotografi hingga pencinta lingkungan.
    Puncaknya adalah penganugerahan predikat hutan kota dunia terhadap Babakan Siliwangi sewaktu berlangsungnya perhelatan Tunza Indonesia, September 2011, oleh Menteri Lingkungan Hidup (saat itu) Gusti Muhammad Hatta bersama Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Achim Steiner.
    Akan tetapi, Wali Kota Bandung Dada Rosada menegaskan, restoran tetap bakal dibangun di pinggiran Sungai Cikapundung.
    Di Solo, Jawa Tengah, keberadaan Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) di atas lahan 13,9 hektar yang dikelola Perusahaan Daerah TSTJ Surakarta kini dalam proses pengalihan pengelolaan kepada investor. Keuangan yang bersumber dari tiket masuk, parkir, dan wahana permainan belum memberi keuntungan bagi pengelola. Padahal, saat ini terdapat 60 ekor satwa dan 100 jenis pohon.
    Dengan menggandeng swasta, Pemerintah Kota Solo tidak perlu mengeluarkan dana untuk revitalisasi. Diperkirakan butuh dana Rp 150 miliar-Rp 200 miliar. Dari lahan 13,9 hektar akan diperluas menjadi 21 hektar. Namun, direksi PD TSTJ Surakarta mengakui sulit mencari investor untuk membangun TSTJ.
    Berubah Peruntukan
    Pengalihan pengelolaan aset pemerintah daerah kepada investor tidak menimbulkan persoalan jika peruntukannya tidak berubah. Karena itu, sikap Pemkot Surabaya yang menolak keputusan hukum tentang taman flora seluas 2,3 hektar di Surabaya yang diubah peruntukan dari hutan kota menjadi pusat perdagangan patut dipuji.
    Sudah menjadi rahasia umum, banyak aset milik pemerintah daerah lenyap dan ada pula yang sudah berubah status kepemilikannya. Jadi, pemerintah di daerah harus berani menolak intervensi banyak pihak untuk menguasai aset daerah.
    Memang butuh kiat yang jitu untuk menghadang keinginan investor, termasuk mengajak warga secara bersama-sama mengamankan aset pemerintah daerah agar tidak tinggal nama.

    (Agnes Swetta Pandia/Sri Rejeki/Putra Erlangga)

  • Salah Urus pada Hasil Bumi

    LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
    Salah Urus pada Hasil Bumi
    Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011
    Sepanjang 2011, karut-marut mewarnai tata niaga sejumlah komoditas hasil bumi. Perkaranya terkait kebijakan ekspor-impor yang berimbas pada kehidupan pelaku usaha dari hulu hingga hilir. Kasus yang menonjol di antaranya rotan, hasil perikanan, dan hortikultura.
    Rotan dan hasil perikanan contoh anomali kebijakan. Keran ekspor rotan mentah ditutup demi industri mebel dalam negeri. Sebaliknya, keran impor ikan dibuka untuk menghidupi industri perikanan dalam negeri. Kebijakan dan solusinya bersifat jalan pintas dan parsial.
    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 melarang ekspor rotan mentah, asalan, dan setengah jadi. Rotan hanya boleh diekspor dalam bentuk produk mebel. Aturan ini membidik nilai tambah rotan.
    Masalahnya, daya serap industri mebel dalam negeri selama ini hanya 15 persen dari 250.000 ton produksi rotan Indonesia per tahun. Dari sekitar 300 jenis spesies rotan yang tumbuh di hutan tropis Indonesa, hanya 7-8 jenis di antaranya yang bisa terpakai oleh industri mebel dalam negeri. Sisanya mau diapakan?
    Agar nilai tambah tercipta dan tidak membuat kalangan pemetik rotan dan pelaku industri ”berhadap-hadapan”, kebijakan itu sejatinya tidak hanya berhenti pada pelarangan ekspor rotan mentah. Harus ada kelanjutan berupa pembangunan industri rotan baru di daerah bahan baku, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Dengan begitu, industri tidak hanya terpusat di Jawa. Sebetulnya hal ini sudah pernah dijanjikan pemerintah enam tahun silam, tetapi belum terwujud.
    Mewujudkan janji memang tidak semudah membalik telapak tangan. Persoalannya tidak lepas dari soal infrastruktur. Juru bicara Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia, Badruddin Hambali, menyebutkan, untuk pabrik rotan skala besar dengan kapasitas produksi 100 kontainer per bulan dibutuhkan 1 hektar lahan, 500 tenaga kerja, dan 30.000 watt listrik. Adapun pabrik skala kecil berkapasitas di bawah 100 kontainer butuh minimal 15.000 watt listrik.
    Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh yang menyatakan siap membangun industri rotan di daerahnya perlu berhitung cermat. Potensi listrik di Sulbar masih jauh dari memadai. Tenaga listrik 1.800 megawatt yang digadang-gadang dari PLTA Karama masih sebatas wacana. Selain infrastruktur, juga perlu transformasi kecakapan pengrajin rotan dari sentra industri ke daerah penghasil rotan.
    Menembak Negeri Sendiri
    Mengekspor rotan ibarat memang memberi peluru kepada negara lain untuk menembak negeri sendiri. China yang agresif membeli rotan mentah dianggap pesaing karena produknya bisa dibuat lebih murah daripada produk Indonesia. Namun, apakah fair apabila negara lain yang lebih efisien dan berdaya saing di kancah global dijadikan momok tanpa mengintrospeksi negeri sendiri?
    Lisman Sumardjani, peneliti dari Yayasan Rotan Indonesia, mengungkapkan, di Indonesia biaya logistik mebel dari pabrik ke pelabuhan yang berjarak 60 kilometer mencapai 775 dollar AS. Di China, untuk jarak yang sama biayanya kurang dari 300 dollar AS. Biaya logistik di Indonesia menyedot 30 persen dari biaya produksi. Sementara di China, biayanya kurang dari 10 persen.
    Mahalnya biaya produksi di Indonesia terutama karena jauhnya jarak sumber bahan baku dengan industri. Rotan mentah harus dikapalkan dari luar Jawa ke Cirebon (Jabar) dan Surabaya (Jatim).
    Upaya memberi nilai tambah pada rotan hendaknya ditangani menyeluruh. Terapi kebijakan tutup ekspor jangan sampai seperti memberi obat penurun panas kepada anak yang demam, sementara penyakit sesungguhnya kanker kronis. Penutupan keran ekspor hendaknya mempertimbangkan secara arif kehidupan 5 juta pemetik rotan di hulu. Kebijakan parsial akan melesukan 1.600 usaha rotan skala rumahan yang menghidupi sekitar 600.000 pekerja di hilir.
    Jangan lupa, di tengah polemik buka-tutup keran impor, rotan plastik yang merupakan produk substitusi rotan alam kini terus merambah pasar dalam negeri. Di saat rotan alam yang menjadi sumber penghidupan jutaan rakyat Indonesia ”direcoki”, pengusaha rotan plastik malah bisa melenggang tenang. Indonesia selaku penghasil 85 persen rotan dunia sejatinya ”terlarang” untuk rotan plastik. Lagipula rotan plastik tidak sejalan dengan kampanye produk ramah lingkungan.
    Jalan Pintas
    Bagaimana sektor perikanan? Impor ikan dibiarkan mengalir terus demi memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri. Ironisnya, koperasi nelayan ikut jadi agen pengimpor. Pembiaran ini mengkhianati hakikat koperasi yang sejatinya melindungi ekonomi kerakyatan. Impor ikan mengimpit 2,6 juta nelayan.
    Dengan garis pantai sepanjang 95.000 kilometer, produksi ikan Indonesia baru 10,82 juta ton per tahun. Dari potensi itu yang diekspor baru 1,05 juta ton. Di tengah timpangnya angka produksi dan impor, justru impor perikanan mencapai 318.000 ton, mencakup ikan tongkol, lele, dan teri. Diduga, ikan impor itu berasal dari negeri sendiri yang distempel impor China, Malaysia, Vietnam, dan India.
    Impor sayuran juga mengalir. Impor bawang putih mencapai 400.000 ton atau 90 persen dari kebutuhan. Wortel juga harus diimpor 20.000 ton karena produksi hanya memenuhi 400.000 ton dari kebutuhan 450.000 ton. Impor buah tak perlu diurai dengan statistik. Sebab, jeruk, durian, dan pisang dari luar negeri terpajang di kedai kaki lima hingga restoran mewah.
    Perekonomian yang sehat hanya bisa dicapai dengan meningkatkan daya beli masyarakat melalui peningkatan produksi dan konsumsi domestik, bukan mengimpor. Ini mencerminkan betapa pihak terkait tak ingin memberdayakan sumber daya lokal, termasuk nelayan. Buka-tutup keran ekspor-impor adalah jalan pintas.

    (Nasrullah Nara/ Harry Susilo/Dwi Bayu Radius/Rini Kustiasih)

  • Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street

    Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street
    Khudori, ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT,
    PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI) 
    Sumber : SINDO, 16 Desember 2011
    Dua abad lalu, saat penduduk belum semiliar jiwa, Thomas Malthus tahun 1798 mengingatkan bahwa bumi tidak akan mampu memberi makan. Per 31 Oktober lalu, bumi telah dihuni 7 miliar jiwa, tapi mereka masih bisa makan.

    Sepertinya dugaan Malthus meleset sehingga pendeta dan matematikawan itu jadi olok-olok.Apakah ”batas Malthus” dibuang ke tempat sampah? Sudut pandang Malthus tidak berbeda dari pandangan Adam Smith di jilid pertama The Wealth of Nations. “Tidak seorang pun yang berakal sehat meragukan jumlah penduduk harus berada dalam batasansumberdaya.

    Kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari batas itu juga sangat terbatas,”kata Tim Dyson,profesor kependudukan di London School of Economics, Inggris. Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup membaik.Pada 1914,penduduk dunia 1,6 miliar dan pada 2025 diperkirakan jadi 8 miliar. Tahun 1900, bayi lelaki dan perempuan bisa hidup hingga usia 46–48 tahun.

    Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun.Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit, terdesak keperluan nonpertanian. Bagaimana meningkatkan produksi pangan saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air? Bisakah produksi digenjot saat terjadi erosi genetika intensif, salinitas mencemari sawah,lahan rusak, dan hanya tersedia sedikit air irigasi?

    Bisakah mendongkrak produksi pangan saat perubahan iklim dan cuaca semakin sulit diprediksi sehingga pola tanam kacau-balau? Untuk bisa memberi makan 9,5 juta miliar pada 2050,dunia harus meningkatkan produksi pangan sebesar 70% (FAO, 2011). Jika tidak, akan terjadi kelaparan massal. Bukankah saat ini ada sekitar semiliar manusia dengan perut lapar saat pergi ke tempat tidur?

    Kelaparan masif ini sering kali dimanipulasi secara sesat dengan mengatakan terjadi kelangkaan pangan di planet bernama bumi. Dunia saat ini telah menghasilkan makanan yang bisa memberi makan 1,5 kali jumlah penduduk bumi. Sejumlah studi menunjukkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar jiwa, populasi puncak planet ini (http://www.foodfirst.org/en/n ode/1778).

    Suplai pangan yang melimpah itu tidak mengalir pada yang memerlukan, tapi menuju kepada mereka yang berduit. Kemiskinan membuat warga di negara-negara miskin tak bisa mengakses pangan, terutama ketika harga pangan melambung tinggi. Argumen harga pangan melambung karena lonjakan permintaan dari China dan India,

    dua negara berpenduduk besar, telah misleading alias tidak benar. Sementara argumen lain mengenai tekanan pasar dari sisi pasokan tidak mampu menjelaskan volatilitas ekstrem dan lonjakan harga di pasar pangan global dalam beberapa tahun terakhir, terutama tahun 2007–2008.

    Bahan Spekulasi

    Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan adalah hasil dari fenomena baru: penimbunan besar-besaran produk derivatif komoditas pangan. Menurut Executive Director Food First Eric Holt Gimenez (2011), ini produk keuangan khusus yang dikreasi lembaga keuangan kuat. Dimotori Wall Street, para investor institusional, baik bank investasi, hedge fund, reksa dana, dana pensiun maupun hibah universitas, berebut menimbun.

    Cara kerjanya, pertama, investor institusional mengubah komoditas pangan jadi aset spekulatif. Keuntungan spekulatif, bukan permintaan riil, jadi pembimbing harga pangan. Kedua, investor kuat melobi dan menyuap anggota parlemen guna menderegulasi pasar keuangan dengan membebaskan mereka dari tanggung jawab publik. Ketiga, investor institusional menimbun produk derivatif dengan memperjualbelikan secara berulang-ulang sehingga menciptakan kelangkaan pangan (semu) di pasar berjangka.

    Hasil dari serangkaian ini adalah harga meroket karena investor institusional telah menciptakan kejutan permintaan sehingga terjadi kelangkaanbuatan( semu) yangsangat besar di pasar pangan global. Hal itu terjadi pada rentang 2007–2008 saat krisis pangan mencapai puncak dan berulang pada 2010.Pada periode itu harga sejumlah pangan pokok seperti beras,gandum,dan jagung naik dua-tiga kali lipat.Kejutan permintaan itu menciptakan ratusan juta barisan warga miskin baru.

    Sebaliknya,korporasi multinasional menangguk keuntungan besar lewat spekulasi. Misal, pada 2008 spekulasi berkontribusi pada sepertiga (USD1,5 miliar) laba Goldman Sachs (The Wall Street Journal, 19/11/2008). Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan akibat spekulasi memiliki ramifikasi rumit karena spekulan bukan perusahaan guram, tapi korporasi transnasional (TNCs) yang kekuatan kapitalnya jauh melampaui entitas sebuah negara.

    Misalnya, per Maret 2008, dua korporasi (Morgan Stanley dan Goldman Sachs) di pasar komoditas menguasai 1,5 dari 11 miliar bushelkontrak berjangka jagung di Chicago Board of Trade (The Brock Report, 2008). Kedua perusahaan mendominasi pasar melalui penguasaan commodity index funds––gabungan dari 24 komoditas pertanian dan nonpertanian dalam satu instrumen investasi yang sering disebut “perjudian” harga (Suppan, 2009).

    Pada 2006–2008, perusahaan-perusahaan yang tidak diatur (unregulated funds) ini mengontrol 33% dari seluruh kontrak berjangka komoditas pertanian (Christopher,2008). Ketika tenang,spekulan nyaman membiakkan investasi di pasar finansial: uang, modal, dan utang. Saat bergejolak, mereka berhamburan dari sarang membawa portofolio investasi.Mereka mencari tempat yang lebih aman untuk mengeramkan investasi, salah satunya di pasar komoditas.

    Menurut Bank of International Settlements,investasi di pasar komoditas (di luar emas dan logam mulia) pada 2002 baru USD770 miliar, naik USD7 triliun pada Juni 2007, dan meledak jadi USD12,6 triliun pada Juni 2008. Sampai saat ini belum ada aturan ketat yang membatasi gerak perusahaan untuk berspekulasi di pasar komoditas.Tanpa aturan ketat, spekulasi di pasar komoditas akan membuat harga pangan tidak stabil karena kelangkaan semu. Para pemrotes Occupy Wall Street tidak salah menduduki Wall Street karena penggerak pasar keuangan itu menciptakan malapetaka.  

  • Mempermalukan Koruptor

    Mempermalukan Koruptor
    Victor Silaen, DOSEN FISIP UNIVERSITAS PELITA HARAPAN (UPH)     
    Sumber : SINDO, 16 Desember 2011
    Korupsi di negeri ini begitu centang-perenang. Bayangkan, hampir semua urusan yang memerlukan pelayanan dari pemerintah bisa dipercepat asalkan ada uang “pelicin”.

    Tak aneh jika dikarenakan “tradisi” itu muncul pelesetan “SUMUT” yang artinya “semua urusan mesti uang tunai”. Jika tersandung perkara,“kasih uang habis perkara”(KUHP). Di kalangan elite politik (wakil rakyat) dan pemerintah juga berlaku praktik “kasih uang dapat uang”. Artinya, kalau (pemerintah) ingin agar anggaran untuk sebuah proyek segera cair, setorlah uang (kepada wakil rakyat) terlebih dulu.

    Dijamin, kalau setorannya pas,dana pun mengucur.Itu sebabnya banyak wakil rakyat yang berkeberatan dengan wacana pembubaran Badan Anggaran di lembaga legislatif. Alasannya jelas: itu “proyek” mereka. Inilah Indonesia. Benar, hampir dalam semua urusan mesti ada uang tunainya. Untuk memarkir kendaraan, misalnya, hampir-hampir tak ada lahan publik yang bebas dari petugas parkir, baik yang berseragam resmi maupun tidak.

    Tapi keduanya sama saja: sama-sama tidak memberikan karcis parkir meski kita sudah membayar ongkos parkir. Berikut ini saya kutipkan beberapa berita aktual. Pertama, 17 Oktober lalu, Bupati (nonaktif) Lampung Timur Satono divonis bebas dari dakwaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp119 miliar.

    Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang,Bandar Lampung, menilai jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan seluruh pasal yang didakwakan secara berlapis. Padahal,jaksa menuntut 12 tahun penjara.Hanya selisih dua hari, 19 Oktober, giliran mantan Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya divonis bebas dari tuntutan 10 tahun penjara dalam perkara korupsi APBD senilai Rp28 miliar.

    Beberapa hari sebelum itu, ada juga terdakwa korupsi yang dibebaskan. Mochtar Muhammad,Wali Kota Bekasi (nonaktif), dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Mochtar dituntut 12 tahun penjara dan denda subsider enam bulan oleh jaksa KPK karena didakwa melakukan empat perkara. Bayangkan, ketiga pejabat yang didakwa korup dan dituntut hukuman minimal 10 tahun penjara itu bebas.

    Tidakkah ini merupakan indikator bahwa pemberantasan korupsi di Tanah Air menapaki jalan terjal? Sudah sanksi hukum bagi para koruptor lemah, komisi antikorupsi (KPK) pun terusmenerus dilemahkan oleh berbagai pihak. Tak pelak, bersoraklah para pelaku kejahatan luar biasa itu karena Indonesia masih merupakan surga bagi mereka.

    Maka, jangan heran kalau hasil survei KPK barubaru ini menyebutkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Ironis! Para birokrat yang pekerjaan sehariharinya mengurusi agama justru paling rakus mencuri uang negara.

    Mempermalukan

    Atas dasar itulah upayaupaya memerangi korupsi dari segala sisi patut didukung pelbagai pihak dan kalangan.Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk menghapus pemberian remisi bagi para koruptor, misalnya, jelas harus didukung.Tak penting benar apakah kebijakan itu disebut “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”. Sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan itu: demi semakin menggentarkan para koruptor (maupun calon koruptor) agar tak mudah melaksanakan niat busuknya.

    Kita harus menyadari bahwa korupsi adalah sebentuk kejahatan luar biasa. Karena itulah kita harus memeranginya dengan cara-cara yang luar biasa pula. Maka ide yang dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD baru-baru ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan antikorupsi berikutnya. Menurut Mahfud, para koruptor layak ditempatkan di kebun khusus yang didirikan di sebelah kebun binatang.”Saya putus asa (menghadapi koruptor).

    Saya punya ide gila. Buat saja kebun koruptor di samping kebun binatang. Kalau Bambang Widjojanto terpilih (sebagai ketua KPK),saya mau mengusulkan itu,” ujar Mahfud beberapa waktu lalu. Kini Bambang Widjojanto telah terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK.Meskipun Bambang tidak menjadi ketua komisi antikorupsi itu, kiranya Mahfud tetap bersemangat memperjuangkan ide gilanya itu menjadi kenyataan.

    Meski ide tersebut,menurut Mahfud, terkesan main-main, kita berharap kelak dapat menjadi terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sungguh kita tak dapat membayangkan apa jadinya bangsa ini ke depan jika tumor korupsi bukannya menjinak, tetapi justru mengganas. Mungkin selama ini negara memang salah bersikap terhadap koruptor.

    Bayangkan,selain memberi “hadiah”berupa diskon masa tahanan setiap tahunnya, negara pun pernah memberi “anugerah” berupa pengampunan kepada seorang koruptor karena alasan sakit parah. Setelah bebas, si koruptor langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Seterusnya ia beristirahat di sana, di rumah asri seluas 30 hektare yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit.

    Ternyata ia masih kaya-raya.Tidakkah ini melukai rasa keadilan kita? Inilah yang membuat kita miris dan bertanya: kalau begitu mampukah praktik korupsi diperangi secara signifikan? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu, pernah berkata, “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tak layak dihormati.

    Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect.” (Tempo, 16/9/2007).  

  • RUU Konflik yang Mendatangkan Konflik

    RUU Konflik yang Mendatangkan Konflik
    Yesmil Anwar, DOSEN HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD) DAN
    UNIVERSITAS PASUNDAN (UNPAS), BANDUNG
    Sumber : SINDO, 16 Desember 2011
    Konflik merupakan hal yang lumrah dalam hidup bermasyarakat karena konflik merupakan bagian dari keberadaan individu yang berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

    Hal tersebut disebabkan heterogenitas eksistensi individu yang melahirkan berbagai kepentingan yang tidak jarang bertabrakan satu sama lain.Bahkan kadang konflik dibutuhkan dalam suatu masyarakat sebagai upaya untuk melakukan perubahan. Yang terpenting adalah memahami konflik dan memanajemeninya dengan tata kelola yang baik, dari hulu sampai ke hilir anatomi konflik.

    Atas dasar latar belakang pemikiran di atas, pertamatama penulis ingin mengkritik bakal aturan yang sedang dibahas mengenai konflik ini,yaitu RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Judul RUU ini terkesan kurang memberikan kejelasan substansi yang diaturnya dan tampak sempitnya pemahaman perancang RUU terhadap permasalahan konflik sosial. Dalam RUU ini terlihat bahwa dari segi makna, kata “penanganan” konflik sosial lebih berorientasi pada tindakan yang dilakukan saat konflik terjadi.

    Keterbelahan Konsep

    Dalam RUU ini pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah pencegahan konflik sosial kurang jelas dan kabur. Selain itu definisi konflik sosial hanya bersifat fisikal. Contohnya sebagaimana tertulis bahwa benturan konflik sosial adalah benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan atau jatuhnya korban jiwa,kerugian harta benda berdampak luas,

    dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Padahal konflik sosial dapat bersifat nonkekerasan atau bersifat laten seperti dalam persaingan perdagangan, ekonomi, diskriminasi pendidikan. Itu semua juga bisa berujung pada kekerasan fisik.

    Fungsi pengamanan dalam RUU ini akan menimbulkan masalah karena tidak adanya kepastian hukum yang disebabkan konsep pendekatan adat yang sangat dominan.Padahal keberadaan aparat kepolisian sangatlah penting dalam penangan konflik sosial,terutama pada saat terjadinya konflik. Dan di dalam UU kepolisian maupun dalam peraturan pelaksanaannya di lapangan, langkah-langkah pengamanan sudah diatur secara jelas.

    Penangan secara adat yang dominan akan menyebabkan tergerusnya kepastian hukum.Mestinya kedua penangan tersebut dapat bersinergi satu sama lain dengan Polri sebagai koordinator di lapangan. Seharusnya sistem peringatan dini yang merupakan tulang punggung dari pengelolaan konflik diatur secara terperinci dan terintegrasi dalam sistem hukum positif.

    Banyak UU yang sudah mengatur peringatan dini,di antaranya dalam UU Penanganan Bencana, UU Kepolisian maupun UU Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Namun dalam RUU ini pasal-pasalnya belum mengatur secara jelas substansi sistem peringatan dini.Untuk itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).

    Revisi

    Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan dalam merevisi RUU ini, di antaranya sebagai berikut. Pertama,RUU ini juga kurang menyentuh masalah ekonomi yang sering menjadi akar masalah konflik sosial dan kecemburuan sosial.Termasuk eksploitasi habis-habisan sumber daya alam suatu wilayah seperti yang terjadi sekarang di Papua (Freeport). Kedua, dalam pengaturan pengamanan, mekanisme resolusi konflik belum diatur secara jelas. Ketiga, pelimpahan penanganan konflik sosial dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah harus diatur secara hati-hati agar tidak ada benturan kepentingan di daerah.

    Keempat,RUU ini akan melahirkan suatu bentuk ketidakpastian hukum karena ada kewenangan ganda, yaitu penyelesaian konflik melalui pranata adat dan versi penegak hukum.Kelima,dalam RUU ini tidak diatur dengan jelas mengenai kesebandingan antara besar kecilnya konflik dengan upaya pengamanan yang dilakukan Polri sehingga sulit untuk memprediksi seberapa besar kekuatan Polri boleh digunakan dalam mengendalikan suatu konflik sosial.

    RUU penanganan konflik ini hanya berorientasi pada penanganan konflik (conflict manifest), tetapi belum memuat proses pengelolaan konflik (conflict management) secara utuh menyeluruh. Untuk itu revisi benar-benar harus menukik pada beberapa substansi tahap awal terjadinya konflik sosial, yaitu, pertama, di mana mulai tersemai benih-benih masalah. Kedua, semakin sering dan semakin banyak benih-benih tersebut.

    Ketiga, tahap pematangan, adanya kelompok yang terorganisasi dalam konflik. Keempat, tahap pemanasan,yaitu coba-coba (testing the water). Kelima, tahap letupan dengan korban-korban fisik dan manusia. RUU Penangan Konflik Sosial ini berkecenderungan hanya mengatur tahap kelima. Oleh sebab itu RUU Penanganan Konflik ini harus dirombak atau ditolak oleh DPR karena jangan sampai nantinya menjadi sebuah UU tentang PenangananKonflikSosialyangmendatangkan konflik sosial.

    Kedaulatan Bangsa dan Negara

    Dalam RUU ini dicantumkan pula Pasal 53 ayat 3 dan ayat 4 yang melibatkan pihak internasional dalam penanganan konflik di dalam negara RI. Namun, naskah akademiknya justru mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa pihak internasional adalah salah satu faktor yang sering menjadi penyebab konflik sosial di berbagai negara.

    Tentunya dalam hal ini harus dianalisis secara mendalam sehingga kedaulatan negara tidak terlukai meskipun tidaklah dapat dimungkiri segi-segi positif dari keberadaan masyarakat internasional dalam penanganan konflik di suatu negara. Kita punya pengalaman tentang hal ini, contohnya di Aceh.  

  • Arah Politik Islam Timur Tengah

    Arah Politik Islam Timur Tengah
    Ibnu Burdah, PEMERHATI MASALAH TIMTENG DAN DUNIA ISLAM;
    DOSEN FAKULTAS ADAB UIN SUNAN KALIJAGA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 16 Desember 2011
    DI tengah proses pemilu yang sedang dan akan berlangsung di beberapa negara Arab, gerakan politik dan partai Islam di Timur Tengah (Timteng) perlu mempertimbangkan dan merespons tiga situasi baru yang melingkupi jika ingin memperoleh penerimaan luas dari masyarakat di negara masing-masing. Tiga lingkungan baru itu adalah peningkatan interaksi global, kondisi umat Islam yang masih diliputi keterbelakangan, keterpurukan, dan keterpecahan, serta revolusi rakyat Arab yang berupaya menggariskan dan mengimajinasikan masyarakat yang lebih baik. Tanpa kemampuan dan sensitivitas tinggi dalam merespons, tak akan mudah memperoleh popularitas dan diterima secara luas, bahkan untuk sekadar bertahan.

    Revolusi Arab memberikan arah baru bagi kehidupan politik, sosial, dan ekonomi di negara-negara tersebut. Mereka setidaknya sepakat menolak otoritarianisme, diskriminasi, dan ketertutupan sosial, serta penumpukan kapital dan alat-alat produksi di tangan segelintir orang. Dengan berbagai penyederhanaan, masyarakat Timur Tengah secara umum menginginkan demokrasi, kesetaraan sosial, dan keadilan ekonomi.

    Tiga situasi baru itu menuntut gerakan dan partai politik Islam untuk memiliki spirit kuat guna  mendorong peningkatan kemampuan dan kebangkitan masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan, dan memiliki komitmen kuat terhadap nilai keterbukaan dan humanitarian. Komitmen itu bukan hanya memandang nilai itu sebatas instrumen untuk merebut kekuasaan atau kepentingan sempit kelompok melainkan juga sebagai ajaran substansial dan dipraktikkan dalam sebagian episode sejarah Islam.

    Beberapa hal itulah yang kini diupayakan oleh partai dan gerakan politik Islam di negara-negara hasil Arab Springs, misalnya Tunisia, Mesir, Libia, Maroko, dan negara lain yang dilanda gerakan rakyat. Mereka tidak hanya berupaya menampilkan diri sebagai partai dan gerakan yang mampu menemukan kembali vitalitas masyarakatnya namun juga berupaya melakukan bedah ideologi yang membawa mereka ke spektrum ideologi Tengah.

    Fakta Baru

    Partai Hurriyah wa al-Adalah di Mesir, al-Nahdhah al-Islamiy di Tunisia, Partai al-Adalah wa Tanmiyah di  Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki, dan partai-partai Islam di negara-negara Arab lainnya, sudah tak lagi mewacanakan khilafah dan negara Islam. Tentu merupakan kekeliruan besar jika kita mengatakan bahwa keinginan membangun negara atau khilafah Islam itu dengan serta merta hilang dari pengikut partai-partai itu.

    Faktanya pernyataan resmi dan tokoh-tokoh mereka jelas sekali menunjukkan adanya perubahan diskursus secara signifikan.
    Sebagai yang paling populer dan terbesar di negara masing-masing, partai dan gerakan itu sudah menyatakan dan menunjukkan sebagian komitmennya bahwa mereka memperjuangkan terwujudnya negara yang demokratis, masyarakat madani yang kuat dan terbuka, dan menjunjung nilai-nilai humanitarian.

    Partai al-Hurriyah wa al-Adalah sebagai contoh kecil, menjelang pendiriannya menyatakan bahwa inti dari demokrasi sesungguhnya adalah syura yakni pertukaran pikiran, pendapat, dan kepentingan untuk mencari yang terbaik bagi kepentingan bersama. Itulah satu-satunya jalan yang bisa menghindarkan kelompok-kelompok yang bisa jadi saling bertentangan untuk tidak menggunakan cara kekerasan dalam mencapai tujuan.

    Namun partai-partai Jihadi dan Salafi, seperti Hizb al-Tanmiyah wa al-Adalah (Jamaah Islamiyah), Hiz al-Nur (Salafi), Hiz al-Fadhila, dan kelompok lain yang berorientasi sama tetap ada dan tumbuh di hampir semua negara di Timur Tengah, terutama negara-negara Arab hasil revolusi rakyat sekarang ini.

    Kendati mereka terus berupaya menjatuhkan legitimasi partai Islam yang ke Tengah itu dengan jargon-jargon Islam yang murni dan kewajiban melaksanakan jihad, partai-partai tersebut sepertinya tidak bisa memperoleh popularitas dan penerimaan yang melampaui partai-partai moderat. Salah satu sebabnya karena mereka mengingkari begitu saja kenyataan-kenyataan baru yang melingkupi.  

  • Mesuji: Potret Penindasan

    Mesuji: Potret Penindasan
    Mahmudi Asyari, DOKTOR DARI UIN JAKARTA
    Sumber : SUARA MERDEKA, 16 Desember 2011
    MANTAN Wakil KSAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu mengeluhkan mengapa karakter bangsa ini tidak berubah ke arah yang lebih baik meskipun segalanya, termasuk UUD, sudah mengalami perubahan (amendemen). Menurut purnawirawan perwira tinggi itu, ketika UUD sudah diamendemen mengingat kedudukannya sebagai hukum dasar negara seharusnya watak, karakter, dan perilaku warga negara, terutama para pengelola negara, juga berubah.

    Perubahan itu mengingat bangsa kita pada era reformasi berkomitmen terhadap demokrasi, yang bukan hanya memuja hukum melainkan juga memegang teguh dan menaatinya sebagai aturan main. Bila hanya memuja kebebasan tanpa supremasi hukum maka yang ada hanya segerombolan orang yang cenderung bertindak destruktif.

    Keluhan Kiki selain wajar, menurut saya pantas disampaikan kepada generasi seprofesinya dengan mendalilkan meskipun TNI mengklaim sudah mereformasi diri, kenyataannya tidak banyak berubah. Meskipun UU tentang TNI, dan juga regulasi mengenai Polri, mengamanatkan bahwa anggota korps itu tidak boleh berhadapan dengan rakyat sipil, faktanya banyak rakyat menjadi korban keperkasaan salah tempat.

    Hal itu terlihat sebagaimana kesaksian korban kekerasan di Mesuji yang mengatakan bahwa ada anggota Polri terlibat dalam kekerasan itu, yang mengakibatkan sejumlah orang tewas. Ini membuktikan bahwa perilaku buram pada masa lalu, sebagaimana dikatakan mantan Aster KSAD Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, yang mendampingi warga Mesuji mengadu ke Komisi III DPR, masih berlanjut sampai saat ini.

    Bedanya pada masa lalu, didahului dengan pelabelan stigma pengikut komunisme, ekstrem dan sebagainya. Bisa jadi rekan sekorpsnya yang kini masih aktif menilai pernyataan Saurip hipokrit karena pada masa lalu juga terjadi praktik serupa. Bisa jadi karena dia sudah di luar kekuasaan.

    Melindungi Warga

    Tapi saya menilai pengakuannya itu justru lebih baik ketimbang banyak melakukan tindakan antikemanusiaan, bahkan menghilangkan nyawa orang, tapi merasa tidak bersalah. Bahkan mengidam-idamkan praktik represif itu masih boleh diterapkan pada masa kini.

    Alangkah indahnya jika semua lapisan masyarakat di Indonesia hirau terhadap kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, tidak harus menunggu setelah keluar dari sistem, karena hal itu tidak ubahnya orang sekarat.
    Artinya, sudah tidak ada faedahnya selain hanya menambah wacana. Malah lebih baik meniru Dicky Chandra yang ketika merasa tidak bisa memperbaiki sebuah keadaan ia memilih keluar dari sistem apa pun risikonya, sembari kemudian menyuarakan keadilan dan kebenaran.

    Praktik seperti terjadi di Mesuji, sebagai sebuah bentuk penindasan, sudah lama terjadi, terutama semasa Orba. Negara yang seharusnya melindungi warganya malah sering tampil menjadi penindas. Bedanya zaman dulu tidak banyak orang meributkan karena penguasa lebih dahulu menguncinya dengan melabeli dengan sebutan kelompok ekstrem, pengikut PKI, dan sebagainya.

    Dengan ada stigma buruk yang disematkan itu, negara seperti sah membinatangkan warganya,  bahkan jika perlu menghilangkan hak hidupnya. Anehnya, rezim itu mengklaim sebagai pengamal sejati Pancasila dan UUD 1945. Perilaku penguasa seperti itulah yang kini dipertontonkan di Mesuji. Saya kira banyak ”Mesuji” lain di negara kita, yang membuat rakyat harus kalah meskipun secara hukum mereka benar. Hal itu tentu menjadi tantangan bagi MPR yang kini giat mengampanyekan UUD 1945, yang salah satu teksnya yang sering muncul di ruang publik adalah ”guna melindungi warga negara”.

    Pertanyaan, kapan UUD 1945 bisa menjadi pelindung warga jika sampai saat ini, sudah sekian lama, hal itu tidak bisa juga dilakukan. Jawabannya, tentu –mengingat saat ini masih tahap sosialisasi– ”akan”, bukan ”sedang”. Mengingat UUD 1945 sudah kali keempat diamendemen dan di dalamnya ada penegasan masalah HAM,  seharusnya tidak boleh ada lagi praktik otoritarian negara kepada rakyatnya.