Blog

  • Mempertahankan Itu Sulit

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Mempertahankan Itu Sulit
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Siapa sangka tim perahu naga putra Indonesia mampu meraih tiga emas sekaligus di ajang Asian Games 2010? Siapa sangka tim Indonesia berbalik dikalahkan di ajang SEA Games XXVI/ 2011 oleh rival sengit di Asian Games 2010?
    Serba tidak terduga! Itulah games, olahraga. Hasil cemerlang Asian Games 2010 maunya dijadikan modal untuk menyapu bersih nomor-nomor perahu naga dalam SEA Games 2011. Namun, fakta berbicara lain.
    Tim perahu naga Indonesia, baik yang terdiri atas 12 pedayung maupun 22 pedayung, tidak sanggup membuktikan ketangguhan mereka di nomor-nomor yang amat mereka kuasai: 2.000 meter putra/putri, 1.000 meter putra/putri, dan 500 meter putra/putri. Di nomor jarak pendek 250 meter yang diincar sanggup diselesaikan oleh tim perahu naga Indonesia, hasilnya nihil juga.
    Alhasil, harapan di nomor-nomor unggulan kandas. Myanmar membalikkan keunggulan Indonesia. Myanmar meluluhlantakkan skuad Merah Putih.
    Myanmar akhirnya pulang dengan sembilan emas dan satu perak. Indonesia selesai dengan lima perak dan empat perunggu.
    Mental Pemain
    Itu cerita hampir satu bulan yang lalu. Akan tetapi, rasanya itu menjadi ganjalan bagi tim Merah Putih yang harus dicari tahu penyebabnya.
    ”Mereka sudah terus berusaha dan menyiapkan diri dengan keras. Namun, catatan waktu mereka tidak pernah bisa menyamai catatan waktu selama di Asian Games,” ujar Koordinator Cabang Terukur Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Prima) Utama, Sebastian Hadi Wihardja, Rabu (14/12).
    Di Asian Games 2010, catatan waktu sekitar tiga menit dibukukan untuk melahap habis jarak 1.000 meter. Di SEA Games, mereka membukukan empat menit hingga lima menit untuk menuntaskan jarak tersebut.
    Apa ada yang salah? ”Rasanya kesalahan itu ada pada mental pemain. Mereka belum siap menjadi juara. Padahal, manajer ataupun pelatih sudah selalu mengingatkan para atlet untuk berhati-hati. Myanmar adalah lawan yang belum ketahuan kekuatannya,” ujar manajer tim perahu naga Pengurus Besar Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PB PODSI), Young Mardinal Djamaludin.
    Selama persiapan menghadapi SEA Games, tim perahu naga Indonesia selalu mendominasi setiap uji coba yang diikuti, baik kejuaraan perahu naga di Malaysia maupun kejuaraan di Korea Selatan.
    Sayangnya, tiap kali mengikuti uji coba, Myanmar tak pernah turun. Tim Indonesia boleh merajai semua nomor. Namun, tim Indonesia belum berarti apabila belum bertemu tim Myanmar.
    Dari awal, seharusnya tim Indonesia terus mempertahankan kewaspadaan. Di Asian Games 2010, meski unggul, catatan waktu Indonesia berselisih tipis saja dari Myanmar.
    Di nomor 250 meter putra, Indonesia mencatatkan 48,681 detik, sementara Myanmar 49,401 detik. Di nomor 500 meter putra, tim Indonesia mencatat waktu 1 menit 44,506 detik, sedangkan Myanmar 1 menit 45,622 detik. Begitu juga di nomor 1.000 meter putra, catatan waktu Indonesia dengan Myanmar juga tidak begitu jauh. ”Catatan waktu ini seharusnya menjadi catatan penting tim Indonesia,” ujar Hadi.
    Apalagi, menurut Hadi, tak sekalipun dalam setiap uji coba di luar negeri tim Indonesia berjumpa dengan rival berat dari Asia Tenggara itu. ”Tim kita seperti lengah,” tuturnya.
    Hal lain yang kurang dicermati adalah jadwal perlombaan. Di Asian Games 2010, tim perahu naga turun lebih dahulu kemudian para pedayung Indonesia turun di nomor kano serta kayak.
    Di SEA Games XXVI/2011, dengan kekuatan tim yang sama dengan tim di Asian Games, para pedayung Indonesia rupanya sudah turun lebih dahulu di nomor kano dan kayak. Kemudian mereka tampil di nomor perahu naga.
    Baik di Asian Games maupun SEA Games, tim Indonesia diperkuat para pedayung terkuat kano dan kayak. Dari dua pembagian jadwal itu, saat di Asian Games, Indonesia diuntungkan dengan pedayung yang masih segar bugar. Energi mereka amat berguna saat menuntaskan nomor-nomor lomba. Sementara di SEA Games, para pedayung terlihat kelelahan.
    Padahal, secara teori iptek keolahragaan, seharusnya para pedayung Indonesia bisa pulih cepat setelah berlomba di nomor sebelumnya. Apalagi, dayung memiliki dukungan ilmu keolahragaan yang cukup.
    ”Saya juga kurang bisa memastikan mengapa para pedayung sepertinya tidak bisa pulih dengan cepat untuk turun di perahu naga,” ujar Mardinal.
    Justru ketika para pedayung kano/kayak turun ke perahu naga, mereka kesulitan untuk menyamakan irama dan kecepatan kayuhan. Semakin dipacu kayuhan, perahu makin tidak terpacu.
    ”Sepertinya saat tim kita tersusul lawan, para pedayung kita, kok, malah grogi dan panik. Saya kira masalah mental juga berpengaruh,” ujar Mardinal.
    Harus Spesialisasi
    Mencermati kandasnya tim Merah Putih di pesta negara-negara Asia Tenggara itu, tim dayung Indonesia rasanya harus mengubah strategi.
    Sudah saatnya tim manajer dan pelatih dayung memfokuskan para pedayung. Untuk disiplin kano dan kayak, para pedayung sebaiknya disiapkan khusus untuk tim kano dan kayak saja, juga untuk tim perahu naga. Dengan begitu, setiap pedayung mempunyai spesialisasi dan bisa difokuskan untuk kejuaraan single event atau multi-events seperti SEA Games.
    Mardinal mengatakan, saat ini cabang dayung tengah menggelar kualifikasi Pekan Olahraga Nasional. Ia berharap para pedayung terbaik bisa diambil dari hasil tersebut untuk diarahkan ke spesialisasi.
    Memang, mempertahankan hasil terbaik jauh lebih berat ketimbang saat berupaya meraihnya.
    (Helena F Nababan)
  • Sampai Kapan Jika Sendirian?

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Sampai Kapan Jika Sendirian?
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Dalam lima-enam hari, Indonesia diguyur medali emas lewat atletik dan renang di SEA Games XXVI lalu. Untuk mewujudkan pesta yang temponya kurang dari sepekan itu, diperlukan bertahun-tahun latihan tak terputus dan dana besar. Namun, untuk kesinambungan prestasi jauh ke depan, induk organisasi atletik dan renang tak akan mampu berjalan sendirian.
    Dalam pesta olahraga Asia Tenggara di Jakabaring, Palembang, itu, atletik Indonesia kembali mengulang kejayaan yang pernah ditoreh 18 tahun lampau. Tahun inilah atletik bisa kembali menyumbang emas dalam jumlah dua digit, 13 (ditambah 12 perak dan 11 perunggu). Jumlah itu sama seperti yang dihasilkan dalam SEA Games 1993.
    Di kolam akuatik Jakabaring yang bersebelahan dengan stadion atletik, para perenang muda Indonesia meraup 6 emas, 8 perak, dan 10 perunggu. Dari segi jumlah, perolehan Indonesia memang masih kalah oleh Singapura yang raja renang Asia Tenggara (17 emas, 9 perak, dan 13 perunggu) dan dari Thailand yang mengumpulkan 8 emas, 7 perak, dan 5 perunggu.
    Namun, para perenang Indonesia memecahkan lima rekor SEA Games di Jakabaring. Itu nyaris separuh dari total pemecahan rekor (11) yang tercipta di cabang renang dalam SEA Games kali ini.
    Indonesia pun melakukan lompatan besar. Pasalnya, Indonesia hanya memegang rekor di satu nomor begitu SEA Games Laos 2009 usai, yaitu di estafet 4 x 100 meter gaya ganti putra. Padahal, renang memiliki 38 nomor lomba.
    ”Di SEA Games, empat perenang kita lolos limit B Olimpiade 2012,” ujar Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI) Tonny P Sastramihardja. Keempat perenang itu adalah I Gede Siman Sudartawa (17 tahun), Triady Fauzi Sidiq (19), Glen Victor Susanto (22), dan Indra Gunawan (23).
    Memang, para atlet tidak otomatis lolos ke London 2012 karena—dengan kuota 900 perenang (lebih sedikit dibandingkan dengan sebelumnya 1.000 perenang)— akan ada seleksi lagi berdasarkan catatan waktu para atlet. Namun, berdasarkan catatan waktu mereka, Tonny optimistis keempat perenang Indonesia tidak akan tergusur.
    Ditambahkan, perenang putri Yessy Yosaputra, Nicko Biondi, dan M Idham Dasuki juga punya peluang untuk tampil sebagai olimpian, atlet yang berlaga di panggung tertinggi pesta olahraga dunia.
    ”Catatan waktu Yessy (di SEA Games) sedikit lagi. Batas waktu kualifikasi 11 Juni tahun depan. Kami melihat ketiganya punya peluang,” kata Tonny.
    Tak Tercipta Dalam Sekejap
    Panen medali yang diraih oleh dua cabang induk olahraga itu tercipta lewat proses yang serupa, yaitu hasil dari ketekunan program latihan yang dilakukan, dimulai lama sebelum SEA Games XXVI dibuka, 11 November lalu. ”Ini adalah buah kesabaran. Kami memang selalu fokus pada jangka panjang. Di antara itu memang ada sasaran-sasaran jangka pendek, tetapi semua dalam rangka pelatnas jangka panjang,” kata Sekretaris Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) Tigor M Tanjung.
    Bertahun-tahun PB PASI telah menggelar pemusatan latihan nasional (pelatnas) yang tak terputus di Jakarta. Bahkan, pelatnas seperti itu dibentuk dalam empat jenjang, yaitu untuk atlet praremaja dengan usia atlet di bawah 16 tahun, remaja (16 tahun hingga sebelum 18 tahun), yunior (18-19 tahun), dan senior (atlet elite).
    PB PRSI pun sama. Pelatnas jangka panjang digelar untuk atlet utama dan pratama di Jakarta dan Bandung. ”Seusai SEA Games 2009, kami langsung memulai pelatnas lagi,” tutur Tonny.
    Bagi sebuah induk organisasi, keputusan itu tentu bukanlah pilihan yang murah. Misalnya, dana yang diperlukan PB PASI untuk menggelar pelatnas jangka panjang seperti itu mencapai Rp 12 juta per atlet (termasuk untuk biaya sekolah dan pemantauan psikologis atlet belia).
    Di renang, biaya akomodasi di hotel atlet di kawasan Senayan saja besarnya Rp 150.000 per malam. Itu pun hanya untuk para perenang dan peloncat indah pratama yang jumlahnya 20 atlet.
    PB PRSI memutuskan menyewa rumah bagi atlet utama mereka. Alasan Tonny, hotel atlet di Senayan tidak lagi cocok untuk pembinaan atlet utama dengan menjamurnya mal di kawasan itu. ”Terlalu banyak yang bisa mengganggu fokus atlet di usia mereka,” katanya.
    PB PRSI juga harus menyewa kolam renang di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, yang biayanya puluhan juta rupiah per bulan. Bagi Tonny, kolam renang Senayan juga tak lagi memenuhi syarat sebagai tempat berlatih tim nasional.
    ”Saat berlatih, atlet perlu seluruh lintasan,” ujar dia. Sementara di Senayan, kolam dipakai bersamaan dengan anggota masyarakat yang lain. Itu belum menghitung kualitas air kolam Senayan yang sering kurang bagus.
    Tigor dan Tonny sepakat, investasi pada pelatih juga berperan besar dalam mendongkrak prestasi atlet pelatnas mereka. Di kedua cabang itu, sebagian besar pelatih kerap dikirim dan didanai untuk mendapatkan sertifikasi internasional.
    Dengan pola seperti itu, PB PASI dan PB PRSI tak khawatir akan kesinambungan prestasi. Paling tidak untuk beberapa tahun ke depan. Kedua organisasi itu beruntung karena memiliki ketua umum Mohammad Bob Hasan dan Hilmy Panigoro, pengusaha mapan yang memang ”gila” olahraga.
    Tak Bisa Sendiri
    Kesinambungan prestasi yang merupakan puncak dari bangunan piramida olahraga juga tak lepas dari terus tersedianya potensi-potensi belia yang bisa dibentuk menjadi atlet elite. Kedua induk organisasi atletik dan renang pun sepakat akan hal itu.
    Oleh karena itu pula PASI rutin menggelar kejuaraan atletik anak-anak dan sekolah di sela-sela pelaksanaan kejuaraan nasional ataupun daerah. PRSI juga mengandalkan Kejuaraan Renang Antar-perkumpulan yang rutin digelar di tingkat nasional dan daerah.
    Namun, Tigor mengakui, bentuk pencarian bibit dan pembinaan (khususnya di luar pelatnas) yang ada belumlah ideal, misalnya belum semua pengurus daerah rutin menggelar kejuaraan dan pemantauan. Selain itu, banyak daerah (yang meski kaya-raya dengan adanya otonomi daerah) tidak memiliki sarana atletik cukup baik. Tak perlu trek sintetis, lapangan rumput yang terawat pun jarang.
    Memang, tidak ada rumus baku berapa persen talenta yang ada dari satu populasi. Namun, semakin besar populasi itu bisa dipantau, semakin besar pula peluang untuk menjaring atlet berbakat. Tigor menamsilkannya dengan, ”Saat ini masih banyak beras yang belum tertampung dalam tampah yang ada.”
    Di renang, hal tersebut kian berat setelah cabang itu tak lagi menjadi olahraga wajib di sekolah dasar dan menengah pertama. Yang jelas, PASI dan PRSI semata tak akan mampu memperbesar ”tampah” itu. ”PASI itu cuma LSM. Kami tak mungkin bisa sendirian,” ujar Tigor.
    (Yunas Santhani Aziz)
  • Mungkinkah Terjadi Koalisi Banteng-Beringin?

    Mungkinkah Terjadi Koalisi Banteng-Beringin?
    Iding R Hasan, DOSEN ILMU POLITIK FSH UIN JAKARTA DAN DEPUTI DIREKTUR BIDANG POLITIK
    THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE
    Sumber : SINDO, 17 Desember 2011
    Setelah penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bandung, baru-baru ini ada isu yang menarik tentang merapatnya partai kepala banteng tersebut ke Partai Golkar (PG).

    Pernyataan sejumlah elite politik dari kedua partai itu agaknya memberikan sinyal ke arah sana, seperti yang diungkapkan Taufik Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Lalu Mara,Wasekjen Golkar yang notabene orang dekat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Di antaranya menyebutkan bahwa telah terjalin komunikasi yang baik antar kedua ketua umum partai besar tersebut untuk mencoba menjajaki kemungkinan koalisi.

    Merapatnya partai kepala banteng ke partai beringin dapat diduga mengarah pada kepentingan Pemilu 2014, terutama terkait dengan calon presiden (capres) dan calon presiden (cawapres). Sebagaimana diketahui, Golkar telah resmi mencalonkan Ical sebagai capres, sedangkan PDIP––meskipun belum secara resmi menetapkan, telah memberikan sinyal untuk mempromosikan putri Megawati, Puan Maharani. Jika ini kemudian berakhir pada koalisi, kemungkinan besar Ical akan berduet dengan Puan sebagai pasangan capres-cawapres.

    Peluang

    Isu koalisi banteng dengan beringin dengan muara penduetan Ical-Puan sebagai capres- cawapres pada Pemilu 2014, secara politik tentu sesuatu yang mungkin. Bahkan, ada sejumlah faktor yang tampaknya bisa mendukung kemungkinan koalisi tersebut. Pertama, sekarang ini dengan banyaknya partai politik (parpol) yang ikut dalam pemilu, sulit bagi setiap parpol untuk melenggang sendirian dalam kontestasi pemilihan presiden, termasuk partai besar seperti Golkar dan PDIP.

    Kedua, duet Banteng-Beringin, kalau benar-benar terjadi agaknya relatif mudah,karena justru keduanya lebih banyak memiliki kesamaan ketimbang perbedaan,baik secara ideologis, platform politik dan sebagainya. Ketiga,peluang Puan Maharani untuk dicalonkan PDIP sangat besar dilihat dari hasil kongres. Sebagaimana diketahui, jika pada Kongres PDIP I dan II ditegaskan bahwa ketua umum partai otomatis menjadi capres, pada Kongres III tahun yang lalu tidaklah demikian.

    Ketua umum tidak dinyatakan otomatis sebagai capres,tetapi hanya diberikan hak prerogatif untuk menentukan siapa yang layak dicalonkan.Dengan kata lain,Megawati meskipun tidak secara otomatis menjadi capres, tetapi tetap merupakan decision maker di tubuh partai kepala banteng. Dalam konteks seperti ini, tentu saja peluang Puan Maharani sangat besar bahkan mungkin terbesar dibandingkan kader-kader PDIP yang lain.

    Keempat, kecenderungan seiramanya kader-kader PDIP dan Golkar di DPR dalam sejumlah kasus setidaknya bisa memuluskan niatan koalisi. Meskipun PDIP memainkan peran oposisi, sementara Golkar tergabung dalam koalisi pendukung Pemerintahan SBY-Boediono, namun hal itu agaknya tidak menjadi penghalang. Pada kasus-kasus seperti dana talangan (bailout) Bank Century,pemilihan calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

    dan rencana pengajuan interpelasi atas kebijakan Kemenkumham terkait pengetatan pemberian remisi bagi nara pidana koruptor belum lama ini, kader kedua partai tersebut tampak satu suara. Kelima, peluang duet Ical- Puan juga cukup menjanjikan dalam peta persaingan pimpinan nasional pada Pemilu 2014 dilihat dari beberapa aspek.

    Dari aspek generasi, duet ini memperlihatkan kolaborasi antara generasi tua dan muda sehingga bisa menjawab aspirasi masyarakat yang menghendaki kalangan muda tampil di pentas nasional. Sementara itu kalau dilihat dari aspek etnis, duet ini juga menampilkan percampuran antara Sumatera dan Jawa sehingga bisa saling mengisi. Dan dari aspek gender, tentu kemunculan Puan Maharani cukup menjadikan magnet bagi para pemilih terutama dari kalangan perempuan.

    Melangkahi Tradisi

    Namun demikian, rencana koalisi Banteng dan Beringin bukan berarti tidak memiliki kendala sama sekali. Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi menghambat kemungkinan koalisi. Pertama, bagi PDIP, figur Ical agaknya akan menjadi catatan tersendiri terutama terkait dengan kasus lumpur Lapindo, yang notabene akan mengganggu pencitraan mereka sebagai partai pengusung kerakyatan.

    Demikian pula nama Ical kerap disebut dalam kaitannya dengan kasus mafia pajak yang telah menyeret Gayus Tambunan ke balik jeruji. Realitas ini tentu harus dikalkulasikan secara matang supaya tidak menjadi bumerang bagi PDIP. Kedua, secara historis PDIP dan Golkar tidak pernah berkoalisi dalam setiap pemilu. Meskipun antara kedua partai tersebut lebih banyak memperlihatkan persamaan dalam berbagai hal, ada barrier yang cukup kuat antara keduanya, antara lain egoisme sebagai partai besar.

    Sejak dulu,baik PDIP maupun Golkar tidak pernah mau mengajukan kadernya untuk menjadi cawapres bagi capres dari partai lain.Kasus Jusuf Kalla (JK), yang notabene kader Golkar,yang pernah menjadi cawapres SBY pada Pemilu 2004, merupakan kasus yang berbeda. Sebagaimana diketahui bahwa JK ketika itu maju sebagai cawapres tidak dicalonkan oleh Golkar.Golkar sendiri ketika itu mengusung Wiranto sebagai capresnya yang resmi.

    Ketiga, keputusan kedua partai tersebut yang akan menentukan koalisi secara resmi pascapemilihan legislatif (pileg), juga bisa menghambat. Tentu saja baik PDIP maupun Golkar sama-sama ingin mengukur kekuatan dulu. Kalau PDIP yang memenangi pileg, bukan tidak mungkin partai ini akan lebih memprioritaskan kadernya sebagai capres, bukan cawapres. Kalau ini yang terjadi, tentulah Golkar tidak akan bersedia karena sudah memutuskan Ical sebagai capres secara final.

    Peluang koalisi akan sangat besar kalau suara yang diperoleh Golkar melebihi perolehan suara PDIP. Jika ini yang terjadi,mau tidak mau PDIP harus bersedia melepaskan egonya, sekaligus melangkahi tradisi selama ini dengan hanya menjadikan kadernya sebagai cawapres. Bagaimanapun,koalisi merupakan langkah yang sah dalam politik.Hanya,PDIP harus cermat memperhitungkan berbagai konsekuensi politik yang mungkin akan timbul dari langkah tersebut. Jangan sampai hanya karena terdorong ambisi untuk menjadi pemenang, tetapi justru malah menjadi bumerang di kemudian hari.  

  • Jokowi untuk DKI-1?

    Jokowi untuk DKI-1?
    Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
    Sumber : SINDO, 17 Desember 2011
    Dalam seminggu ini, saya pulang ke Solo dua kali memenuhi undangan dua perguruan tinggi yang sedang demam dengan hal yang berkaitan dengan kata kreatif. Saya menggunakan kata “pulang”, dan bukan pergi, karena inilah bahasa percakapan masyarakat Solo untuk menyebutkan mereka yang dilahirkan di kota budaya yang bersemboyan “masa depan Solo adalah kejayaan masa lalu”.

    Bahwa kenyataannya saya sudah ber-KTP Jakarta, dan termasuk KTP seumur hidup, tidak menghalangi istilah pulang. Dua kali pula saya bertemu dengan kelompok warga yang melakukan “demo Jawa”— berpawai dengan tertib, sebagian mengenakan busana Jawa—yang bertujuan menahan Wali Kota Jokowi, agar tidak maju dalam pemilihan sebagai gubernur DKI Jakarta. Bagi mereka, posisi DKI-1 adalah godaan politik,bukan dinamika kepemimpinan.

    Perahu dan Uang Perahu

    Ini peristiwa menarik. Sebagian warga Solo yang nggondeli— melepas kepala tapi menahan ekor—merasakan selama ini kepemimpinan anak pinggiran yang insinyur kayu dan berjualan mebel ini memberi bukti keamanan dan kenyamanan kota, yang juga dijuluki “sumbe pendek”—mudah meledak dalam huru-hara. Bagi sebagian yang lain, yang bukan warga setempat, kehadiran Jokowi melintasi batas geografis kota yang hanya memiliki lima kecamatan.

    Prestasi memindahkan 957 pedagang kaki lima yang sudah bercokol sejak zaman Jepang di suatu tempat ke tempat lain dengan damai, bahkan dalam bentuk kirab—iringan pawai kemenangan,dianggap pendekatan yang memenangkan semua pihak.Baik para pedagang mempunyai izin resmi maupun pemda yang diuntungkan dengan pajak. Media massa masih mengulang keberhasilan ini, mana kala di tempat lain terjadi kerusuhan untuk hal yang sama.

    Juga ketika masalah kemewahan berlebihan menjadi sorotan, ingatan kepada Jokowi yang tak berganti mobil bekas menjadi perbandingan. Atau bagaimana wong cilik mendapat pelayanan kesehatan gratis, atau pendidikan, sampai pembagian sentra produksi kerajinan rakyat, dan atau juga menaikkan peringkat sebagai kota tujuan wisata. Dibuktikan dengan pengukuhan berbagai penghargaan resmi— termasuk pejabat yang antikorupsi.

    Ibarat kata,modal sosial Jokowi lumayan harum dan mendapat apresiasi tinggi. Dalam peta keseluruhan di mana wajah calon atau pemimpin yang mengerikan atau penuh polesan, Jokowi justru tampil sederhana, apa adanya. Ini menjadi pesona yang tak semua kandidat memiliki. Namun, realitas politik dalam alam demokrasi ini bukan hanya modal pesona dan prestasi belaka, melainkan harus ada “perahu”, atau kendaraan politik, yang diusung dan didukung partai politik.Maju sebagai calon perorangan, untuk DKI yang menggiurkan ini sangat riskan.

    Dan kandang Jokowi adalah PDIP,yang menemukan wujud keberpihakan pada wong cilik. Namun, agaknya PDIP masih bersikap gendulakgendulik, terbaring antara yes atau no,antara ya dan tidak. Padahal dalam kejaran waktu yang pendek ini,semboyan “lebih cepat lebih baik”— tanpa visual menggulung lengan baju yang memberi kesan menantang—adalah jawaban tegas yang ditunggu.

    Akan banyak merugikan kalau soal perahu dan “uang perahu” banyak menghabiskan waktu dan mempertebal sikap ragu, yang justru mengganggu. Kalau saya menggunakan istilah “uang perahu”, karena dalam kosakata Jawa, buruh prau, adalah buruh yang harus dibayar cash, kontan,ketika menyeberangkan penumpang. Ini berbeda dengan buruh batik misalnya, yang biasa dibayar mingguan atau bulanan.

    Banjir dan Macet

    Sejauh saya tahu—dan yang saya ketahui tidak jauh-jauh amat, atau menurut pendapat saya—dan pendapatan saya masih pas-pasan,atau juga menurut hemat saya—yang memang harus berhemat, modal kepemimpinan dan penampilannya selama ini membuktikan kata kunci: jujur,kerja keras, memihak kepada wong cilik tanpa memerangi orang gede, telah menyatu.

    Lebih dari itu,kemampuannya mengelola atau mengoordinasi potensi yang ada merupakan kelihaian yang selama ini jarang diperlihatkan. Kemampuan yang disejajarkan dengan kemauan dalam koordinasilah yang memungkinkan tempat baru bagi para pedagang kaki lima, memungkinkan berubahnya pasar tradisional tanpa menggusur, atau pengadaan KTP dalam satu hari.

    Semua ini menunjukkan bagaimana mengoordinasikan kekuatan yang ada. Bahkan kalau DKI selalu diasosiasikan dengan hantu laten bernama macet dan banjir, rasa-rasanya juga soal tidak becusnya pengelolaan kemampuan yang ada.Karena permasalahannya jelas, ahliahlinya lebih dari cukup,dana bukan masalah. Tinggal bagaimana melakukan koordinasi, mempertanggung jawabkan secara transparan, dan memberi prioritas serta yang penting menekuninya secara profesional.

    Pendekatan yang sama dan bisa sekaligus dengan penanganan transportasi apakah namanya kereta api yang tiangnya kini mangkrak, atau gedung sekolah yang roboh. Kepemimpinan dan pembenahan DKI sangat menarik. Bukan hanya karena inilah ibu kota kita, bukan karena menjadi pusat segalanya, juga bukan karena anggarannya mencapai sekian triliun belaka, melainkan dan terutama adalah bagaimana mengelola dinamika masyarakatnya yang merupakan keindonesiaan kita.

    Kadang saya merasa bahwa ungkapan yang ditertawakan bahwa “Jakarta is my country”mengandung kebenaran dari sisi ini. Pada akhirnya, atau sebenarnya pada awalnya, inilah yang akan kita saksikan bersama. Apakah para elite politik lebih mementingkan kepentingan komunitas intern semata, atau mampu memandang lebih jauh dari batang hidungnya. Dan atau,agar tidak mempertajam dikotomi umum ini, apakah mampu mengelola dua atau tiga kepentingan ini.Dan bisa juga berpuas diri atas frustrasi yang masih memberikan rezeki. DKI menjadi taruhannya.  

  • Kebijakan Iklim di ASEAN

    Kebijakan Iklim di ASEAN
    Handa S. Abidin, PENELITI HUKUM PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL;
    KANDIDAT PH.D DARI EDINBURGH LAW SCHOOL
    Sumber : SINDO, 17 Desember 2011
    Negosiasi perubahan iklim skala internasional baru saja berakhir di Durban, Afrika Selatan (28 November– 11 Desember 2011). Dalam pertemuan Durban, ASEAN tidak memberikan suatu pernyataan khusus ketika pertemuan tingkat tinggi (high-level segment) berlangsung.

    Walaupun demikian, pemimpin ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap dengan menyepakati ASEAN Leader’s Statement on Climate Change to the COP-17 and CMP-7 pada pertemuan ASEAN di Bali pada November 2011 lalu, dengan tujuan untuk menyikapi pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) di Durban. Terdapat paling tidak dua hal penting dalam pernyataan ASEAN mengenai perubahan iklim tersebut.

    Pertama, ASEAN mendesak suatu perjanjian penurunan emisi oleh negara maju yang mengikat secara hukum setelah tahun 2012 berakhir. Namun demikian, desakan ini tidak berhasil diwujudkan.Negosiasi Durban berakhir dengan kekecewaan bagi sebagian pihak karena tidak adanya suatu kesepakatan mengikat secara hukum untuk melanjuti komitmen penurunan emisi periode kedua di bawah Protokol Kyoto. Kedua, ASEAN menekankan pentingnya kegiatan tukar pandangan dan peningkatan kerja sama antarnegara ASEAN untuk menangani masalah perubahan iklim.Poin kedua ini dirasa perlu untuk dikembangkan lebih lanjut.

    Kebijakan Negara ASEAN

    Walaupun ASEAN tidak mengeluarkan pernyataannya di COP-17, sebagian besar negara yang tergabung dalam ASEAN telah memberikan pernyataan mewakili negara masing-masing ketika pertemuan tingkat tinggi berlangsung di Durban. Pada umumnya, negara ASEAN mendukung kesepakatan pelaksanaan komitmen kedua dari Protokol Kyoto dan mendesak pemberian dana oleh negara maju untuk kepentingan penanganan masalah perubahan iklim di negara berkembang.

    Indonesia tidak begitu menjelaskan kebijakan perubahan iklim dalam negeri melalui pernyataan sikapnya. Indonesia lebih mendesak pelaksanaan komitmen kedua dari Protokol Kyoto, mendukung pelaksanaan Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs),mempertanyakan pendanaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD-plus), pengoperasian Adaptation Committee dan masalah transfer teknologi.

    Filipina dalam pernyataannya menekankan pentingnya bantuan finansial dari negara maju dan berharap Dana Iklim Hijau dapat mengakomodasi hal tersebut. Thailand dalam pernyataannya menjelaskan komitmen untuk secara nasional menggantikan 25% energi tidak terbarukan dengan energi terbarukan mulai dekade mendatang. Pernyataan sikap yang menjelaskan kebijakan dalam negeri secara lebih mendalam datang dari Malaysia dan Singapura.

    Malaysia dalam pernyataan sikapnya memberikan sejumlah inspirasi menarik. Pertama, Malaysia telah memberikan insentif secara finansial (cash rebate incentive) apabila konsumen membeli produk ramah lingkungan. Kedua, Malaysia juga telah menghapus pajak impor dari kendaraan hibrida ramah lingkungan dan mendukung penggunaan kendaraan hibrida tersebut.Ketiga,

    Malaysia kini memiliki suatu kebijakan yang dinamakan Green Building Index Certification Scheme, yang saat ini telah memberikan sertifikat ramah lingkungan kepada 44 gedung di Malaysia. Keempat, pemerintah Malaysia tidak memperbolehkan suhu udara di perkantoran lebih dingin dari 24 derajat Celsius.Adapun Singapura dalam pernyataan sikapnya juga menyatakan dukungannya terhadap kendaraan elektrik, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan gedung ramah lingkungan (green building).

    Contoh Malaysia dan Singapura

    Saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang- undangan untuk mengakomodasi upaya penanganan masalah perubahan iklim. Salah satu peraturan teranyar adalah Perpres Nomor 61/2011 yang mengatur target penurunan emisi per sektor secara nasional, dan menginstruksikan agar pemerintah daerah untuk mengerjakan hal serupa.Walaupun Indonesia sudah dipenuhi oleh berbagai instrumen hukum mengenai penanganan perubahan iklim, hal ini tidak menjadikan Indonesia sertamerta sebagai negara terdepan dalam melakukan terobosan baru dalam konteks pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim.

    Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama,Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertugas mengoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim di Indonesia masih terbilang lemah dalam melaksanakan fungsinya. Koordinasi terhadap para anggota yang sebagian besar terdiri atas sejumlah menteri dirasa masih sekadar formalitas.Kedua,DNPI dinilai masih kurang inovatif dalam menelusuri kegiatan penanganan perubahan iklim yang sebetulnya beraneka ragam bentuknya.

    Pelaksanaan dari Perpres 61/2011 harus dapat lebih banyak menangkap berbagai bentuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim dari skala kecil sampai dengan skala besar.Apa yang telah dilakukan di Malaysia dan Singapura seperti yang telah dijelaskan di atas,dapat dijadikan sebagai suatu referensi dalam penanganan masalah perubahan iklim di Indonesia.

    Kebijakan-kebijakan seperti ini bukan hanya akan membantu mengurangi tingkat emisi Indonesia secara nasional, namun juga akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di arena negosiasi perubahan iklim tingkat global sebagai negara berkembang penganut ekonomi ramah lingkungan. Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara ASEAN. Upaya apa pun baik skala kecil, menengah, maupun besar perlu dilakukan untuk mencegah dampak perubahan iklim menjalar semakin luas.Tukar pandangan dan kerja sama antarnegara ASEAN perlu ditingkatkan lebih jauh.  

  • Satwa Indonesia dalam Stand-Up Comedy

    Satwa Indonesia dalam Stand-Up Comedy
    Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU SENI
    Sumber : KORAN TEMPO, 17 Desember 2011
    Seorang komedian dalam acara Stand-Up Comedy naik panggung. Di depan mikrofon, di hadapan 240 juta penonton, dengan berusaha melucu, komedian itu memulai monolognya.
    “Saudara-saudaraku, dahulu kita sering mendengar pidato yang meneriakkan: Jangan pupuskan semangat banteng ketaton! Kepakkan sayap elang, berkelebatlah di angkasa raya! Penyebutan satwa-satwa itu bisa kita pahami, lantaran satwa memang punya tempat yang penting dalam jagat politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Karena itu, satwa acap diangkat sebagai subyek yang menandai sebuah simbol. Yang menarik, saudara-saudara, munculnya karakter positif dan negatif simbol-simbol satwa ini sangat berkait dengan kurun waktu yang melingkupinya.
    Coba simak, pada masa Orde Lama yang sering dientak heroisme melawan neo-kolonialisme dan imperialisme Barat, kita melihat satwa yang diposisikan sebagai
    simbol kehebatan serta keberanian melawan. Dan semua itu ditempelkan kepada figur-figur istimewa yang layak diberi julukan. Bung Karno, yang cakap berpidato, disebut sebagai Singa Podium. Adam Malik, yang bertubuh kecil namun cekatan, dijuluki Si Kancil sejak diangkat sebagai Ketua Delegasi Perundingan Indonesia-Belanda 1962. Semangat olahraga Indonesia yang dominan di Asia menyebabkan Indonesia dijuluki Macan Asia.
    Pada zaman Orde Baru, penyair dan dramawan Rendra disebut sebagai Burung
    Merak. Sedangkan Soeharto, yang kuat bertahan jadi presiden selama tiga dekade, disebut Kuda Besi.Kuda dimaknai sebagai hewan yang amat panjang napasnya. Sedangkan besi dikonotasikan sebagai pemimpin yang memerintah dengan tangan besi. Namun, seperti saudara lihat, bagai tampak dalam karikatur karya Schot di majalah Asiaweek edisi 27 Februari 1998, Kuda Besi ini menjadi kuda pedati kurus yang dikusiri Tuan IMF. Schot memakai kiasan kuda karena tahu bahwa orang Indonesia suka bermain satwa.
    Saudara-saudaraku, ingat enggak, pada 1997 mahasiswa yang tergabung dalam
    Front Perlawanan Rakyat (Fropera) dan Serikat Masyarakat NU Anti-Militerisme
    (Sekat NU) berdemo di kebun binatang Gembira Loka,Yogyakarta. Di situ para
    mahasiswa mendiskusikan penghapusan dwifungsi ABRI dengan beberapa orang utan. Ketika mahasiswa membeber poster anti-Soeharto dan spanduk tak percaya terhadap Habibie, para orang utan itu melongo dan kemudian bertepuk tangan.Keesokan harinya para mahasiswa datang lagi ke Gembira Loka. Di atas punggung seekor gajah, mahasiswa membacakan teks “Proklamasi Republik Binatang”.
    O ya, sejarah Indonesia juga sulit melupakan peristiwa sekelompok masyarakat
    yang mempredikati Jaksa Agung Andi Ghalib sebagai chicken karena tak berani
    mengusut mantan presiden Soeharto. Andi Ghalib bahkan diberi hadiah ayam potong oleh sekelompok demonstran.”
    “Saudara-saudaraku di gedung yang pengap ini. Satwa memang penghuni kebun binatang dunia rasa dan pikir orang Indonesia. Itu sebabnya, lambang negara Indonesia adalah burung garuda, bukan ubi jalar, sapu ijuk, atau keong racun. Sementara dalam pergumulan budaya yang berkonteks dengan kehidupan sosial, satwa sering kali dipakai sebagai lambang perumpamaan, dengan makna yang kadang menyindir atau mengkritik.
    Dalam budaya Jawa, ada ungkapan ‘Kodhok mangongkang jroning leng’, yang
    artinya katak bernyanyi dalam liang. Ungkapan ini mengiaskan figur yang ingin terlihat berwibawa dengan menghadirkan kesan seram bagi masyarakat sekitarnya. Misalnya, pejabat yang selalu diiringi rombongan stafnya ke mana-mana.
    Ada pula ungkapan ‘Kebo ilang tombok kandhang’ atau kerbau hilang tambah kandang. Maknanya, sudah kehilangan masih harus mengeluarkan biaya lagi, sehingga kemalangan pun datang bertubitubi. Contohnya, ketidakpercayaan kepada kepolisian dan kejaksaan menyebabkan pemerintah membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Untuk mengawasi KPK, pemerintah membentuk Komite Etik KPK, dan seterusnya. Biaya akhirnya menumpuk bertimpa-timpa.
    Ah, saudara-saudara pasti sudah tahu, apabila ada kritik atas sikap dan sistem
    itu, para pejabat biasanya bersyak-wasangka sembari gusar dengan menghadirkan seribu argumentasi. Person-person Dewan Perwakilan Rakyat militan maju ke depan, dengan tidak menafikan perkelahian. Atas hal ini, budaya bahasa telah pula menyediakan ungkapan: ‘Asu gede menang kerahe’, yang artinya anjing besar hanya hebat dalam berkelahi (melawan yang kecil). Dan kita tahu, perkelahian itu tak akan menghasilkan buah positif apa-apa.
    Padahal Butir-butir Budaya Melayu Riau dengan baik-baik mengajarkan lewat pantun satwa berikut ini: ‘Kalau suka memelihara itik/Tentulah banyak dapat telurnya/Kalau suka bersangka baik/Hidup selamat banyak mujurnya.’
    Lalu, memasuki dekade kedua pascareformasi, keberadaan satwa tampak semakin kukuh. Namun, anehnya, satwa-satwa itu semakin hari semakin buruk sifatnya. Bila dulu kerbau disanjung sebagai hewan berharga, pada masa sekarang kerbau dinistakan, bahkan diolok-olok, di Bundaran Hotel Indonesia. Bila dulu kancil lambang kecekatan pikiran, kini jadi julukan untuk seorang Gayus Tambunan yang bisa ringan melompati tembok penjara.”
    “Saudara-saudara saya penggemar Stand-Up Comedy. Pada era sekarang koleksi satwa Indonesia bertambah. Cuma tambahannya adalah satwa yang rendah derajatnya. Catat, setelah garuda, macan, singa, kancil, merak, kuda, kerbau, orang utan, gajah, sampai itik, tiba-tiba muncul cicak, buaya, kucing garong, tokek, tikus, dan kecoa. Satwa-satwa lambang predikat ini lalu jadi inspirasi ratusan karikatur tentang politik satwa dan satwa berpolitik.
    Cicak dan buaya bergabung ketika kepolisian bertikai melawan KPK, dengan
    maskot jenderal polisi Susno Duadji. Cicak simbol dari KPK, dan buaya simbol dari kepolisian. Eksistensi satwa makin menonjol ketika kasus korupsi Badan Anggaran DPR terungkap, dan KPK mencoba membongkarnya. Cicak KPK kadang berubah jadi kucing, karena kucing suka mengendus-endus, dan kalau ada kesempatan, ya, mencuri barang sedikit. Sementara DPR punya satwa yang beragam.
    Ada karikatur lho yang menggambarkan oknum DPR sebagai tikus. Karikatur lain melukiskan DPR sebagai kucing garong yang tak lelah menakuti dua ekor cicak
    KPK. Ada pula karikatur yang menggambarkan DPR sebagai kecoa ijo. Kelahiran satwa ini diilhami oleh atap hijau gedung DPR yang bila dihayati memang mirip sayap kecoa.Tokek juga sering muncul untuk menggambarkan teka-teki politik dan ketidakpastian keputusan. Tak terasa, pada masa sekarang kita tiba-tiba kehilangan kegagahan banteng, kecekatan elang, dan keanggunan garuda. Untung kita masih punya….komodo.
    Untuk mengakhiri perjumpaan, bolehlah saya sebagai komedian mengusung ucapan Thomas Carlyle ini: manusia adalah satwa yang menggunakan alat. Adakah kata-kata sejarawan dan penulis Irlandia abad ke-19 itu merujuk ke taman margasatwa bangsa Indonesia?”
    Ratusan juta penonton Stand-Up Comedy yang berwajah merana itu terdiam. Mereka tidak tahu di mana lucunya. Karena yang mereka pikirkan: adakah satwa-satwa sontoloyo itu akan menyerbu rumahnya?  
  • Penyandang Disabilitas juga Memiliki Hak yang Sama

    Penyandang Disabilitas juga Memiliki Hak yang Sama
    Ramadhani Ray, PENYANDANG DISABILITAS, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG; AKTIF DI YAYASAN MITRA NETRA JAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 17 Desember 2011
    Peringatan Hari Penyandang Cacat pada 3 Desember telah berlalu. Gemanya kurang terasa. Padahal momentum itu dapat mengingatkan kita mengenai hak-hak penyandang disabilitas di negeri ini yang masih terabaikan. Bagaimanapun, penyandang disabilitas juga ciptaan Tuhan serta bagian dari warga negara.
    Penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam berbagai hal. Mereka berhak menikmati fasilitas umum, memperoleh pendidikan, serta memiliki pekerjaan.Tetapi, apakah semua itu sudah benar-benar dapat dinikmati oleh para penyandang disabilitas?
    Kita tengok saja sarana transportasi di negeri ini. Jembatan penyeberangan yang
    berundak-undak, atau terlalu curam, tentu sangat sulit dilewati oleh para  pengguna kursi roda.Tombol navigasi lift di gedung-gedung bertingkat pun masih jarang yang dilengkapi dengan huruf Braille, sehingga menyulitkan tunanetra untuk menggunakan fasilitas tersebut secara mandiri.Walhasil, mereka harus bergantung pada orang-orang normal yang ada di sekeliling mereka. Namun agaknya sebagian besar dari orang-orang tersebut tak terlalu peduli kepada kesulitan yang dialami penyandang disabilitas. Kalaupun di dalam hati ingin membantu, terkadang mereka segan, malu, atau tidak tahu bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas.
    Dari segi pendidikan, masih banyak penyandang disabilitas yang masih sulit memperoleh pendidikan. Minimnya jumlah sekolah luar biasa (SLB) dan tidak siapnya infrastruktur sekolah umum untuk menerima murid penyandang disabilitas menjadi kendala. Padahal pada dasarnya siswa-siswi penyandang disabilitas pun dapat mengikuti pelajaran di sekolah regular bersama siswa normal, serta mengenyam pendidikan hingga jenjang sarjana.
    Sebagai contoh, saat ini penyandang tunanetra telah dapat mengoperasikan komputer secara mandiri dengan bantuan perangkat lunak pembaca layar. Dengan demikian, siswa tunanetra tersebut dapat mencatat materi pelajaran serta menyerahkan tugas kepada guru mereka dalam bentuk print out. Siswa tunanetra juga menggunakan tape recorder untuk merekam penjelasan guru atau dosen untuk kemudian disalin kembali ke dalam catatan, baik dalam bentuk tulisan Braille maupun dokumen di komputer. Sejauh pengetahuan penulis, SMAN 66 Jakarta, yang telah banyak menerima siswa tunanetra, memberi pinjaman fasilitas laptop dan tape recorder kepada siswa tunanetra yang kurang mampu agar dapat mengikuti pelajaran. Fasilitas tersebut harus dikembalikan kepada sekolah jika mereka lulus, agar dapat dimanfaatkan kembali oleh adik-adik kelas mereka. 
    Agaknya, tindakan semacam ini perlu ditiru oleh sekolah-sekolah lain. Di samping siswa penyandang disabilitas dapat memperoleh pengetahuan dan pergaulan yang lebih luas, hal ini dapat mendidik siswa-siswa normal agar dapat berinteraksi dengan teman-teman mereka yang memiliki  keterbatasan, sehingga tumbuh kepedulian dan pengertian dalam diri mereka sejak dini terhadap penyandang disabilitas.
    Setelah menempuh pendidikan, penyandang disabilitas pun membutuhkan pekerjaan untuk menafkahi diri dan keluarga. Tetapi masih sangat banyak perusahaan yang enggan menerima karyawan penyandang disabilitas. Hal ini mungkin karena paradigma masyarakat yang masih menganggap penyandang disabilitas adalah orang cacat. Kata cacat tentu mengacu kepada sesuatu yang rusak dan layak untuk dibuang. Padahal penyandang disabilitas hanya memerlukan sarana pendukung. Misalnya, dengan menyediakan komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar, tunanetra akan dapat bekerja layaknya orang normal.Tetapi sepertinya masih sangat banyak perusahaan yang enggan mengeluarkan dana untuk memberikan fasilitas tambahan tersebut.
    Stasiun televisi Indosiar memiliki karyawan penyandang disabilitas yang cukup banyak. Mereka menerima berbagai jenis disabilitas yang ditempatkan di berbagai divisi, sesuai dengan kemampuan dan kondisi disabilitas mereka. Beberapa perusahaan lain juga turut berpartisipasi meski dengan jumlah karyawan disabilitas yang tidak terlalu banyak. Tetapi, sejauh pengamatan penulis, kesempatan-kesempatan kerja semacam ini justru lebih banyak dibuka oleh pihak swasta. Lantas, ke mana pemerintah kita? Penyandang disabilitas tak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial. Alangkah baiknya jika departemen-departemen lain juga turut berpartisipasi dengan membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Dengan demikian, karyawan-karyawan di lembaga pemerintah pun akan terbiasa berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
    Masyarakat inklusif yang mampu menerima segala bentuk perbedaan tidak akan terwujud tanpa peran masyarakat itu sendiri. Percuma saja jika pemerintah hanya berceloteh tanpa melakukan tindakan apa pun. Mulailah dengan melakukan penyuluhan kepada anggota masyarakat, seperti pendidik dan pemilik perusahaan, untuk memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas. Berikan pengetahuan kepada mereka mengenai apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh setiap penyandang disabilitas. Perbaikan fasilitas umum yang accessible juga sangat diperlukan. Para pejabat negara yang telah sering bepergian ke luar negeri tentu cukup mengetahui seperti apa fasilitas umum di mancanegara, yang amat memperhatikan penyandang disabilitas. Selain itu, pemerintah perlu memberi pendidikan kepada masyarakat umum mengenai bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas. Jika telah ada iklan layanan masyarakat yang berkaitan dengan program KB,wajib sekolah, atau pun HIV/AIDS, mengapa iklan serupa tak dibuat untuk penyandang disabilitas? Sampaikan kepada masyarakat bagaimana cara membantu warga tunanetra menyeberang jalan, bagaimana cara berinteraksi jika bertemu dengan  penyandang tunarungu, dan sebagainya.
    Jika pejabat negara mampu mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk berpesta-pora sekadar menikahkan anak-anak mereka, tentu seharusnya negara ini memiliki cukup dana untuk melakukan perbaikan demi mensejahterakan rakyatnya. Pemimpin yang baik tentu akan menjadi contoh untuk rakyatnya. Karena itu, masyarakat inklusif akan terbentuk jika pemerintah menjadi lokomotif. Pembukaan UUD ’45 menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tentu mengacu kepada seluruh warga negara, tak terkecuali para penyandang disabilitas. Semoga Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh pemerintah pada 18 Oktober lalu tak hanya menjadi janji hitam di atas putih, namun juga dapat direalisasi secepatnya dan sebaik-baiknya.  
  • Telisik Brutalisme Mesuji

    Telisik Brutalisme Mesuji
    Herie Purwanto, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEKALONGAN (UNIKAL)
    Sumber : SUARA MERDEKA, 17 Desember 2011
    APA yang harus segera diperbuat pemerintah bila benar ada pembunuhan 30 petani di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung oleh personel pamswakarsa PT Silva Inhutani yang dibekingi polisi? Pengaduan warga Mesuji dan keluarga korban tidak main-main mengingat mereka membawa rekaman video kekerasan itu sebagai bukti di hadapan anggota Komisi III DPR. Mereka juga didampingi mantan Aster KSAD Mayjen (Purn) Saurip Kadi dan aktor-politikus Pong Harjatmo

    Pembantaian di Mesuji bermula dari keinginan PT Silva membuka lahan perkebunan kepala sawit dan karet pada 2003. Namun penduduk menetangnya. Perusahaan kemudian membentuk pamswakarsa dan dengan beking polisi, mengusir penduduk dari lahan yang akan dijadikan perkebunan. Konflik pun pecah, hingga menewaskan 30 petani dan melukai sejumlah warga (SM, 15/12/11)

    Dalam tayangan di televisi, termasuk di Youtube, terlihat petugas keamanan (ada yang berseragam polisi) bertindak arogan. Yang menjadi pertanyaan, apakah tindakan polisi itu sudah sepengetahuan atasan? Apakah pelaksanaan tugas perbantuan mengamankan sebuah kegiatan atau objek itu sudah melalui tahapan sebagaimana standard operating procedure(SOP)? Secara khusus di internal kepolisian, apakah sudah menyusun rencana pengamanannya lebih dulu?

    Rangkaian pertanyaan itu perlu dikemukakan mengingat muncul tuduhan dari beberapa pihak, seakan-akan ada pembiaran dalam kasus tersebut. Setiap muncul tindakan anarkis oleh polisi di lapangan sebagai bentuk reaksi atas aksi dari masyarakat, memunculkan pertanyaan tadi. Padahal, pembiaran merupakan bentuk kesengajaan atau mengetahui konspirasi atau tindakan inkonstitusional namun tidak berusaha mencegah.

    Bagaimana menakar sebuah perbuatan bisa dikategorikan pembiaran? Pertama; perbuatan yang dilakukan di lapangan dan berbenturan dengan massa hingga menimbulkan korban dilakukan bukan oleh perorangan melainkan dalam ikatan pasukan, walaupun setingkat regu. Mereka ada yang memimpin dan memegang kendali perintah di lapangan. Pemimpin lapangan ini, punya jalur kendali dengan pimpinan di atasnya. Jadi logikanya, ada rentang kendali tanggung jawab antara pemberi perintah dan operator di lapangan.

    Seandaianya terjadi eskalasi di luar perkiraan pemberi perintah, pemimpin atau operator di lapangan, tidak bisa keluar dari SOP atau rencana pengamanan yang sudah disusun. Pasalnya SOP sudah menguraikan beberapa alternatif solusi bila terjadi kontijensi atau kejadian luar biasa. Semua ini masuk ranah HAM. Seandainyapun harus dilakukan tindakan polisional yang mengarah pada kekerasan fisik maka harus dilakukan secara terukur dan sesuai dengan keadaan (asas nesesitas).

    Kebenaran Sejati

    Kedua; sekecil apa pun tindakan kepolisian harus dipertanggungjawabkan kepada komandan yang berwenang menilai apakah tindakan tadi sesuai prosedur atau tidak. Bila terbukti tindakan itu di luar ketentuan maka polisi bisa diajukan ke sidang disiplin, bahkan sidang kode etik profesi sampai sidang umum yang digelar pengadilan negeri. Sebuah pembiaran membawa konsekuensi tanggung jawab berjenjang dari pelaksana di lapangan hingga dua tingkat atasannya.

    Logikanya, mungkinkah pejabat setingkat kepala satuan kerja (kapolres atau komandan batalyon) membiarkan anak buahnya yang notebenenya pangkatnya dua tingkat di bawahnya sebagai pelaksana di lapangan, demi sejumlah kompensasi dari pihak pengguna jasa pengamanan polisi?

    Dalam konteks kasus Mesuji, sangkaan kepada polisi yang menjadi beking PT itu pasti terkait dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak yang dilibatkan dalam proses pengamanan tersebut. Terlebih perusahaan itu membentuk pamswakarsa, yang belakangan dipertanyakan dari mana sumber perekrutannya, apakah murni dari lingkungan warga sekitar atau merekrut preman jalanan?

    Tindakan brutal ala premanisme di Mesuji harus diusut tuntas. Dua fakta yang berbeda, yaitu versi Polri dan temuan Komnas HAM, harus ditarik ke ranah kesepahaman untuk menemukan kebenaran sejati. Jangan mencari pembenaran sendiri-sendiri karena akhirnya kembali masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan.  

  • Ada “DOM” di Mesuji

    Ada “DOM” di Mesuji
    Teuku Kemal Pasya, DOSEN DI UNIVERSITAS SYAH KUALA, BANDA ACEH;
    INISIATOR SUKARELAWAN INDONESIA UNTUK PERUBAHAN (SI PERUBAHAN)
    Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Desember 2011
    Penggusuran, teror, dan pembantaian yang terjadi di Mesuji betul-betul menampar wajah kemanusiaan kita.
    Kasus yang merebak setelah terjadi pertemuan para korban dengan Komisi III DPR, Rabu (14/12), dan rekaman video sadisme yang menimpa para petani di Mesuji, telah menunjukkan ada fakta kejahatan luar luar biasa (extraordinary crimes) yang tidak bisa ditoleransi.
    Kasus ini membuka mata, bahwa di tengah alam reformasi masih ada tradisi kekerasan di luar batas-batas kemanusiaan hanya karena protes warga.
    Dari kasus ini kita melihat resolusi konflik (aparat) negara tidak memihak kepada warga, tapi lebih menyandarkan bahu pembelaannya pada korporasi. Penjelasan singkat ini akan melihat tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Mesuji.
    Mesuji adalah nama untuk dua daerah yang berbeda. Satu adalah Kabupaten Mesuji, Lampung, dan yang lainnya adalah Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kasus yang terjadi di Mesuji Lampung adalah endapan kasus lama yang dibiarkan terkait sengketa atas tanah ulayat warga yang telah berdiam di daerah itu sejak puluhan tahun.
    Namun sejak 1997, sebagian lahan telah dikuasai PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Lampung Inter Pertiwi (LIP) melalui izin Hak Guna Usaha (HGU).
    Sejak itu hak-hak sipil masyarakat diabaikan pemerintah daerah, dan aparat keamanan akhirnya lebih berpihak kepada perusahaan. Dari hasil investigasi Komnas HAM, sejak 2009, ratusan warga mengalami kekerasan, 30 orang terbunuh, rumah-rumah mereka dirubuhkan, dan ada juga kasus perkosaan.
    Kasus di Mesuji OKI Sumatera Selatan juga berhubungan dengan perusahaan, yaitu Silva Inhutani, perusahaan sawit yang dikuasai pemodal Malaysia. Dengan motif serupa, hak tanah ulayat warga tergusur konsesi bisnis perusahaan asing.
    Dari publikasi video yang diperkirakan terjadi April 2011 itu, tujuh warga dibantai dengan sadis, termasuk mayat tanpa kepala yang digantung di atas tiang, serta mayat yang dicacah dan dibiarkan menjadi tontonan publik.
    Perilaku barbar ini juga melibatkan aparat keamanan (TNI, polisi, dan Brimob), meskipun tindakan kekerasan langsung dilakukan para preman yang dibiayai perusahaan (Pam Swakarsa). Namun militiapartikelir itu dibina aparat keamanan resmi negara. Bahkan perusahaan itu telah memperluas izin usahanya hingga ke Lampung dan ikut meneror masyarakat Mesuji Lampung.
    Rakyat Tumpah Darah
    Kasus yang terjadi di Mesuji memang bukan sesuatu yang sederhana. Pertama, problem yang muncul di permukaan ini juga endapan masalah yang disumbangkan undang-undang pokok agraria masih menempatkan “negara” di atas “rakyat” terkait penguasaan atas tanah.
    Bahkan bunyi konstitusi yang menyatakan “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945) sangat bisa dimanipulasi menjadi kepentingan bisnis negara.
    Bagi pengelola negara, cukup berkonsentrasi pada frasa pertama, “dikuasai oleh negara”. Cukup sering negara dalam situasi ini abai dan tidak menjalankan amanat spirit of a nation, yang mencakup tumpah darah seluruh rakyat Indonesia, sebaliknya malah menjadi regulator yang menguntungkan asing dan perusahaan swasta.
    Secara praksis, frasa kedua hilang dalam tindakan negara, “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Salah satu bentuk penghinaan konstitusi adalah Perpu No 1/2004 yang membolehkan penambangan di hutan lindung. Demi kepentingan eksploitasi dan devisa nasional, hak asasi lingkungan dan masyarakat dipinggirkan.
    Kedua, orientasi neoliberalisme Kementerian Kehutanan, dengan mengubah status hutan lindung dan hutan rakyat menjadi hutan industri atau kawasan non-hutan.
    Kebijakan ini makin menyudutkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan mudah dikriminalisasi karena memanfaatkan hutan yang telah dikuasai swasta itu. Kinerja Kementerian Kehutanan di dua periode pemerintahan SBY ini cukup gencar merevisi status hutan di Indonesia.
    Kasus terakhir adalah revisi SK Menteri Kehutanan yang hingga November 2011 masih memberikan izin pakai kawasan hutan di daerah yang terjadi pembantaian, baik di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera Selatan, padahal konflik itu telah menumbalkan nyawa, dan berbilang tahun.
    Ketiga, postur kinerja aparat keamanan yang belum banyak berubah, terutama yang bertugas di pelosok dan jauh dari pusat.
    Peran TNI dan Polri, terutama terkait pengamanan perusahaan transnasional, masih seperti “anjing penjaga” yang mengamankan aset-aset perusahaan yang membayarnya, dan bukan mengedepankan pendekatan hukum yang profesional, berbasis pada penghargaan HAM, dan lain-lain.
    Reformasi telah memisahkan Polri dari angkatan militer, tapi tidak membantu kultur polisi semakin dekat dengan kultur sipil.
    Dalam banyak kasus, terutama di daerah konflik, seperti Aceh, Papua, Ambon, dan Poso, Polri dan TNI membagi wilayah kekuasaan dalam menjalankan bisnis keamanan. Kejadian di Mesuji seperti membuka kembali memori darurat operasi militer (DOM), di mana yang berkuasa bukan hukum, tapi yang memiliki senjata.
    Terapi Khusus
    Dengan terbukanya kasus Mesuji ke publik, kiranya perlu tindakan khusus dari pemerintah pusat dalam menanganinya. Kasus ini tidak boleh dilokalisasi dan diserahkan penanganannya pada kepolisian daerah masing-masing.
    Mungkin dapat belajar dari pendekatan “sentralistik” di masa kepemimpinan Kapolri Sutanto yang mengambil komando langsung pemberantasan illegal logging dan premanisme di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Tengah, termasuk mencopot kapolda yang terlibat dalam kejahatan sistemik itu.
    Dengan implikasi pelanggaran HAM berat dan adanya konflik kepentingan aparat negara, baik sipil maupun militer, presiden perlu mengeluarkan peraturan presiden agar menjamin aspek legalitas untuk penyelesaian komprehensif, baik berhubungan sengketa tanah, status usaha perusahaan asing yang mengabaikan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), pelanggaran HAM, dan keterlibatan aparat keamanan.
    Mungkin kasus ini bukan yang terakhir. Seperti pernyataan tim advokat masyarakat Mesuji, Mayjen (purn) Saurip Kadi, masih banyak kasus yang serupa yang terjadi di seluruh pelosok Nusantara yang melibatkan aparat keamanan.
    Kita tak tahu, seperti membuka kotak pandora, akan ada “Mesuji-Mesuji” lain. Namun Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan ini harus diselesaikan secara tuntas. Prahara kemanusiaan ini tidak lebih kecil aspek politisnya dibandingkan gonjang-ganjing politik di seputar Senayan, Merdeka Barat, Teuku Umar, dan Cikeas. ● 
  • Tantangan dan Harapan Demokrasi (1)

    Tantangan dan Harapan Demokrasi (1)
    R William Liddle, PROFESOR EMERITUS ILMU POLITIK THE OHIO STATE UNIVERSITY
    Sumber : REPUBLIKA, 16 Desember 2011
    Di mana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak orang. Tiga tahun lalu, Presiden Barack Obama menjanjikan sebuah permulaan baru buat Amerika, negara demokratis tertua di dunia, namun dia belum berhasil mengabulkan semua tuntutan masyarakatnya. Usaha presiden langsung direspons pemberontakan Tea Party (“Partai Teh”). Partai Teh terdiri atas aktivis kanan yang ingin menciutkan peran pemerintah, membebaskan pebisnis dari apa yang mereka anggap belenggu peraturan negara, serta menjatuhkan Obama.

    Baru-baru ini, Obama dipukul lagi oleh Occupy Wall Street (“Menduduki Wall Street”), pemrotes kiri yang justru ingin mengencangkan peraturan tersebut dan mengutuk Obama selaku kaki-tangan pebisnis dan bankir besar.

    Di Indonesia, dua tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipilih kembali dengan mayoritas mutlak suara pemilih, suatu prestasi yang luar biasa. Namun, setelah itu, dukungan rakyat merosot terus menurut hasil survei pendapat umum. Di Jakarta, Yudhoyono kini diserang dari segala penjuru angin. Para aktivis kiri menganggapnya antek kapitalis Barat atau “neo-liberal”, sementara aktivis propasar mengeluh atas keengganannya menurunkan subsidi bahan bakar minyak. Begitu juga lainnya yang menuntut pemerintahan SBY-Boediono untuk mundur.

    Mengingat keadaan ini, apa yang harus kita perbuat untuk memperbaiki mutu demokrasi? Bagi saya dan banyak pengamat lain, hambatan utama terhadap perbaikan demokrasi di negara modern adalah kapitalisme pasar, suatu sistem ekonomi yang cenderung menciptakan ketidaksetaraan dalam pembagian hasil pertumbuhan.

    Tentu saya memaklumi bahwa serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan oleh teoretikus sosial Karl Marx pada pertengahan abad ke-19. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita untuk mengerti apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. Justru sebaliknya, mereka cenderung menyuruh kita untuk membuang sang bayi, demokrasi, bersama bak mandinya, kapitalisme, sekalian (throw out the baby with the bathwater).

    Padahal, kedua-duanya perlu diselamatkan. Dalam usaha penyelamatan itu, ide-ide Niccolo Machiavelli, filsuf politik abad ke-16, sangat bermanfaat. Machiavelli terkenal selaku teoretikus kejahatan politik-dan reputasi buruk itu wajar belaka. Namun, yang lebih pokok dan penting, pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya pada pergolakan dan perbenturan kelas yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.

    Lepas dari kontribusi Machiavelli beserta penerus modernnya, kita perlu pula membicarakan langsung masalah penciptaan, distribusi, dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi yang bermutu tinggi di masa depan. Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah itu sedang dilakukan atas nama “pendekatan kemampuan” (capabilities approach) oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf. Perintisnya adalah Amartya Sen dan Martha Nussbaum.

    Cak Nur
    Perhatian saya kepada perlunya teori tindakan diilhami pengalaman saya selaku pengamat up close, dari dekat, politik Indonesia. Ketika saya masih pengamat muda, Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur oleh semua orang, sangat memengaruhi pemikiran saya (Liddle 1996, khususnya Bab 5; Mujani dan Liddle 2009).

    Pada 1960-an, teori-teori mapan mengenai negara-negara sedang berkembang yang saya pelajari di Amerika terasa sulit diterapkan di Indonesia. Misalnya, ramalan teori modernisasi tentang susutnya peran agama dalam politik modern tidak dibenarkan penelitian saya di Sumatra Utara. Teori dependencia, ketergantungan, yang popular di Amerika Latin pada dasawarsa 1960-an hingga 1980-an, juga kurang tajam sebagai pisau analitis untuk menguraikan keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia waktu itu.

    Terdorong rasa kecewa saya dengan teori-teori mapan, saya mencoba membuka mata dan otak saya kepada ide dan wawasan baru setiap kali saya kunjungi Indonesia. Akhirnya, saya temukan beberapa aktor penting, individu-individu di dunia politik, yang secara sadar memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat. Dalam sejumlah tulisan, saya berusaha menguraikan pilihan dan tindakan Presiden Soeharto (Liddle 1996).

    Menurut analisis saya, dampak pilihan dan tindakan tersebut pada masyarakat Indonesia jauh berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Burma di bawah Jendral Ne Win atau masyarakat Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos.

    Dari hampir awal Orde Baru, Cak Nur termasuk aktor penting yang memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat Indonesia. Berikut ringkasan analisis saya: “Bagi banyak orang Muslim Indonesia, dunia berubah pada 2 Januari 1970 … Nurcholish secara kreatif mendefinisikan kembali hubungan antara akidah dan ibadah dalam Islam demi memenuhi keperluan duniawi dan ukhrawi sebagian masyarakat yang berpotensi luar biasa besar.” (Mujani dan Liddle 2009:586).

    Kemudian, lama-kelamaan, di Columbus, pendekatan baru saya dibentuk oleh lima penulis yang saya anggap sekaligus ilmuwan, aktivis politik, serta panutan: Niccolo Machiavelli (2008 [1527]); Richard E Neustadt (1990 [1960]); James MacGregor Burns (2010 [1978]); John W Kingdon (1995 [1984]); dan Richard J Samuels (2003). Kecuali Machiavelli, mereka adalah ilmuwan politik masa kini-setelah Perang Dunia Kedua-di Amerika.

    Sumbangan Dahl
    Menurut Robert Dahl, tantangan terbesar terhadap demokrasi yang bermutu tinggi di masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Secara ideal, setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negaranya.

    Setidaknya, demokrasi dimaknai sebagai political equality, kesetaraan politik antara semua warga negara. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan di masyarakat ekonomi bersistem kapitalisme pasar (capitalist market economies), baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.

    Menjelang akhir kariernya, dalam On Democracy (1998), Dahl meringkaskan lima kesimpulan tentang hubungan antara kapitalisme pasar dan demokrasi. Ringkasan itu merupakan sekaligus penjelasan paling canggih mengenai hubungan ini dan titik berangkat yang penting bagi semua usaha serius untuk memperbaiki mutu demokrasi pada zaman kita.

    Pertama, sepanjang sejarah modern, demokrasi hanya bertahan di negara-negara dengan ekonomi kapitalis pasar serta belum pernah bertahan di negara-negara dengan ekonomi nonpasar. Kedua, akrabnya hubungan empiris itu beralasan. Dalam ekonomi pasar, aktor-aktor utama sebagian besar terdiri atas individu-individu dan perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak sendiri, didorong oleh insentif untung-rugi, tanpa arahan sebuah pusat.

    Ketiga, demokrasi dan kapitalisme pasar berseteru terus sambil saling mengubah sifatnya masing-masing. Di Inggris menjelang pertengahan abad ke-19, kapitalisme dalam bentuk ideologi laissez faire (propasar bebas murni) berhasil menaklukkan semua pesaingnya.

    Keempat, kesimpulan Dahl bahwa potensi demokrasi bermutu tinggi di sebuah negara dibatasi kapitalisme pasar yang menciptakan beberapa ketidaksamaan penting dalam distribusi sumber daya politik. Sumber daya politik didefinisikan sebagai “semua hal yang bisa digunakan untuk memengaruhi, langsung atau tidak langsung, perilaku orang lain.”

    Kesimpulan kelima dan terakhir Dahl mengemukakan tensi tak terelakkan di masa kini dan depan yang juga merupakan ironi besar. Pada satu segi, terciptanya lembaga-lembaga demokrasi sangat dimungkinkan dan dibantu oleh kapitalisme pasar.

    Di mana-mana selama berabad-abad, negara-negara otoriter diruntuhkan ketika kelas-kelas tuan tanah (yang menguasai hampir semua sumber daya politik dalam masyarakat pramodern) dan petani (yang kurang sekali sumber daya politiknya) digantikan dengan struktur kelas yang lebih rumit.

    Tugas Kita
    Menurut saya, Dahl telah menunjukkan secara implisit namun jelas dua tugas pokok kita, baik di Amerika maupun di Indonesia sebagai anggota bangsa modern. Pertama, kita dianjurkan untuk bertindak selaku full citizens, warga negara penuh, sambil menyadari bahwa sementara ini sumber daya politik di tangan kita bersifat amat terbatas. Kita harus ikut main di lapangan politik meskipun kita tahu bahwa lapangan itu tidak datar melainkan curam. Segelintir pemain mengungguli pemain lain dalam jumlah dan bobot sumber daya politik yang dikuasainya.

    Kedua, kita dianjurkan secara implisit oleh Dahl untuk mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik menuju distribusi yang lebih merata dan demokratis. Hal ini tidak sederhana sebab kita belum punya kerangka konseptual yang memadai tentang makna dan perincian konsep sumber daya politik. Jadi, tugas ini bersifat lebih menyeluruh atau jangka panjang.