Blog

  • Menuju Dekade Indonesia

    Menuju Dekade Indonesia
    Anis Bajrektarevic, PROFESSOR AND CHAIRPERSON INTERNATIONAL LAW AND GLOBAL POLITICAL STUDIES UNIVERSITY OF APPLIED SCIENCES IMC–KREMS, AUSTRIA
    Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
    Dalam salah satu analisis sebelumnya,saya menyatakan bahwa tidak ada Abad Asia tanpa institusi pan-Asia (no Asian century without the pan-Asian institution).

    Dengan cara yang sama, dengan menganalisis fakta-fakta saat ini, data dan tren Indonesia, serta membandingkannya baik secara horizontal (terhadap negara-negara lain) maupun secara vertikal (dengan Indonesia beberapa tahun dan dekade lalu),saya dapat menyatakan bahwa tahun 2012 mungkin saja menjadi Abad Indonesia.

    Untuk lebih memahami pernyataan saya dan menerima penilaian ini, mari kita melihat gambaran global pada akhir tahun 2011. Di tahun 2011 para agen berita global disesatkan meledaknya kesuksesan media sosial dan para reporter TV yang tidak mendalami persoalan sehingga kebingungan dengan dua istilah: pemberontakan dan revolusi (revolt and revolution). Mereka kemudian gagal menghubungkan bail-outing besar-besaran Uni Eropa dan looting-out Inggris Raya.

    Pesan umum apa yang bisa diambil dari Arab “Spring”, London “Summer”, dan Wall Street “Autumn” untuk Asia umumnya dan Indonesia khususnya? Ada beberapa pesan.Kontrak sosial lintas generasi tidak boleh diabaikan,tetapi juga tidak boleh dibangun berdasarkan cara hidup McFB yang konsumtif, antiintelektual, brutal, dan menyepelekan.

    Lalu, apakah Asia Tenggara mampu mencegah “Middle Eastern Spring”-nya, “London Summer”-nya, dan “Occupying Autumn”-nya dalam konteks kohesi sosial seperti Fukushima-Daiichi yang meleleh? Asia Tenggara sebagai salah satu wilayah kecil dunia dengan posisi Indonesia berada di tengah-tengahnya sejauh ini memegang apa yang hilang pada dua wilayah dunia lainnya (Arab dan Eropa)––pertumbuhan demografi yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.

    Namun, pertumbuhan demografi dan ekonomi tersebut menimbulkan tekanan pada lingkungan yang––jika tanpa pengawasan—mungkin mengakibatkan kebijakan dan praktik konfrontatif yang bertujuan memaksimalkan pengerukan sumber daya yang langka. Untuk mendapatkan pengakuan di masa mendatang, suatu keharusan bagi Indonesia dengan Asia Tenggara-nya melanggengkan hubungan dan mewujudnyatakan nya di tahun 2012 dan dekadedekade yang akan datang.

    Beberapa hal yang harus menjadi perhatian utama adalah kemakmuran, solidaritas, serta keamanan. Sejauh ini Indonesia sudah menjalankan demokrasi yang sebenarnya.Dengan ukuran dan tingkat kebebasan sipil yang nyata, kebebasan media, dan rentang partisipan dalam proses demokrasi, Indonesia tidak hanya berada pada peringkat atas negara ASEAN, tetapi juga berada di antara peringkat tertinggi di seluruh Asia.

    Bahkan untuk standar Eropa,Indonesia dapat berkompetisi dengan baik––berdasarkan krisis Euro sebagai pembanding,kami di Uni Eropa sejauh ini memiliki dua pemerintahan yang baru saja jatuh,yaitu Yunani dan Italia. Indonesia harus terus menggunakan keahlian dan reputasi dalam hubungan multilateralisme dengan menginspirasi dan menghidupkan proses integrasi ASEAN.

    Hingga saat ini Indonesia berhasil memajukan segala sesuatunya dengan sabar dan terampil tanpa dianggap menggurui atau ambisius oleh negara ASEAN. Indonesia dapat menawarkan banyak hal dalam menghadapi isu-isu global. Indonesia sangat dihormati dan dihargai oleh lembaga-lembaga internasional sebagai “jagoan” di bidang hubungan multilateralisme. Memasuki 2012 Indonesia harus merengkuh dekade miliknya.

    Untuk memperkuat usaha itu,masyarakat Indonesia harus melakukan dua hal: memberikan kepercayaan lebih kepada pemerintah (pemerintah yang bukan ditakuti,melainkan dihormati karena perbuatannya) serta memberikan kepercayaan kepada produk dan keahlian lokal.

    Krisis Uni Eropa dapat menjadi pelajaran: overfinancialization berarti lepas dari tenaga kerja (labor). Indonesia harus bergantung pada sumber dayanya, lebih percaya diri, dan tetap mengambil sikap laborcentered bukan capital dependent, serta mengambil langkah berjangka untuk mengakomodasi kedatangan kelas menegah dalam jumlah besar.

    Akomodasi yang dimaksud adalah akomodasi sosial, budaya, politik, dan ekonomi kelas menengah yang baru berurbanisasi dan terbentuk. Akhirnya, pertanyaan yang paling penting untuk Indonesia adalah bagaimana para elite saat ini menentukan arah sosial budaya,ekonomi,ideologi, dan politik untuk kedatangan besar-besaran kelas menengah dan budaya politik mana yang akan berkembang.  

  • Internasionalisasi Ancaman dan Kesiapan Pertahanan

    Internasionalisasi Ancaman dan Kesiapan Pertahanan
    Connie Rakahundini Bakrie, DOSEN FISIP UNIVERSITAS INDONESIA,
    DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE OF DEFENSE AND SECURITY STUDIES
    Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
    Sejarah manusia yang panjang telah membuktikan negara atau malah korporasi sekalipun bisa menjadi besar karena memiliki angkatan perang yang tangguh. Di sinilah letak penting ditetapkan grand strategy pertahanan akan bagaimana dan untuk tujuan apa negara menempatkan posisinya dalam sistem internasional.

    Jika strategi bagi kepentingan nasional yang dibangun lebih menekankan pada soft politics,maka konsekuensinya hanya akan menciptakan stabilitas nasional yang kondusif sebatas bagi investor asing.Akibatnya, pembangunan postur militer pada akhirnya akan mengikuti desain tersebut.Padahal, tekanan kapitalisme melalui organisasi ekonomi internasional dan berbagai MNCs (multi national cooperations) akan selalu memperlemah posisi negara.

    Maka,tidak mengherankan keterlibatan semakin jauh MNCs dalam kasus privatisasi perang maupun akumulasi modal dan jelas terdapat peluang bagi MNCs untuk menyewa tentara (seperti di Papua) untuk melindungi kepentingan ekonomi atau bahkan membiayai militer untuk ‘perang’ guna mencapai tujuannya. Persepsi ancaman terhadap kedaulatan negara abad ini harus semakin mencermati faktor ”globalisasi dan internasionalisasi”.

    Logika dasarnya mengarah pada intensitas, karakter,dan sifat dari ancaman yang dipersepsikan akan mempengaruhi strategi pembangunan pertahanan negara yang ujungnya terkait dengan kualitas dan kuantitas postur militer. Kendala utama pembangunan postur militer di negara berkembang terletak pada lemahnya perekonomian nasional.Untuk Indonesia, ironisnya UU mengamanatkan TNI memiliki tugas pertahanan negara yang bersifat eksternal.

    Artinya, tentara kita harus memiliki kapabilitas mumpuni untuk menghadapi ancaman yang datang dari luar negara – sejak di ujung batas 200 Nm hingga ke daratan wilayah kedaulatan. Dari sisi ancaman,Indonesia sesungguhnya ketat terkepung oleh Commonwealth Countriesyang jelas akan tergabung dalam kepentingan dan kekuatan yang hampir sama di FPDA (five power defensearrangement).

    FPDA sesungguhnya harus menjadi ukuran kita dalam memandang ancaman terdekat. Karenanya,bukan saja kita harus segera mengantisipasi dampak pasukan marinir AS di Darwin yang hanya berjarak 2 jam terbang dari gerbang pulau terdepan kita di Tanimbar (Maluku Tanggara Barat) dengan Masala blok-nya.

    Tetapi,perlu juga dicermati mengapa kerja sama maritim India dan Australia semakin mendalam dan berpangkalan di Christmas Island,sementara Singapura juga menetapkan kenaikan anggaran pertahanan sebesar USD23 triliun di 2015. Bagaimanapun,jumlah, teknologi,dan dukungan logistik bagi alutsista merupakan faktor penentu dalam sebuah peperangan.

    Dengan itu, modernisasi alutsista berteknologi mutakhir didukung kemampuan peperangan elektronika sudah harus mulai menampakkan bentuk kekuatannya.Periode 2014 diharapkan paling tidak TNI sudah mampu menyeimbangi kekuatan negara-negara ASEAN dan di 2025 sewajarnya TNI telah menjadi kekuatan yang kembali diperhitungkan di kawasan.  

  • Bisnis Emas di Timika Membuka Peluang dan Konflik

    Bisnis Emas di Timika Membuka Peluang dan Konflik
    Jozep Ojong, DOKTER YANG BERTUGAS DI PAPUA SEJAK 1983
    Sumber : SINAR HARAPAN, 17 Desember 2011
    Siapa yang tidak kenal nama Freeport di Papua? Boleh dikata hampir semua orang di Papua sampai ke pelosok pedalaman kenal nama Freeport, perusahaan raksasa dari Amerika Serikat yang mengelola tambang emas dan tembaga tiga terbesar di dunia.
    Perusahaan yang hadir di bumi Papua sejak 1969 tersebut patut dikagumi dalam kiprahnya karena kontribusinya untuk PDB Kabupaten Mimika tahun 2010, tempat perusahaan ini beroperasi, mencapai 96 persen, dan untuk Provinsi Papua mencapai lebih dari 50 persen.
    Kehadiran perusahaan tersebut sangat tampak di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, dimulai saat kita mendarat di Bandar Udara International Mozes Kilangin (milik perusahaan itu).
    Di Papua banyak siswa yang memperoleh beasiswa untuk belajar dari perusahaan tersebut, baik yang sekolah di Jayapura maupun luar Papua melalui LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro).
    LPMAK mengelola dana untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, media massa, pengembangan ekonomi, dan sebagainya. Pembangunan di daerah pedalaman Papua yang berdekatan dengan tambang pun merupakan dampak kehadiran Freeport, melalui pembangunan lapangan terbang perintis, gereja, pengembangan ekonomi, dan sebagainya.
    Peningkatan pendapatan bagi para keluarga karyawan Papua pun terasa secara signifkan. Diperkirakan, sekitar 28 persen dari karyawannya adalah orang Papua.
    Dampak Migrasi
    Freeport telah menarik berbagai lapisan masyarakat dan perusahaan dari seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia, untuk datang mencari kerja dan peluang usaha.
    Karena itu tidak heran kalau Kota Timika mencatat pertumbuhan penduduk terbesar di Indonesia dan kini telah menjadi kota berpenduduk sekitar 200.000 orang, dari semula hanya ratusan orang di 1980-an. Pertumbuhan yang pesat akibat migrasi itu juga menimbulkan pengangguran di Timika setelah 2000-an.
    Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat juga menimbulkan konflik sosial sebagai buah kesenjangan sosial antara penduduk asli Papua yang termarginalisasi dengan para pendatang.
    Konflik makin tinggi menyusul perkembangan berbagai kegiatan ekonomi lain, seperti pendulangan emas, peredaran minuman beralkohol, perjudian, dan prostitusi. Pertumbuhan kasus HIV/AIDS di Timika yang tertinggi di Indonesia.
    Karena tingginya angka pengangguran, segala cara ditempuh untuk memperoleh nafkah.
    Semula usaha pendulangan emas tidak ada, namun dengan timbulnya ide mengolah tailing (limbah tambang) mulailah era pendulangan sejak 2002, yang diperkirakan menghasilkan perputaran uang sekitar US$ 100 juta per tahun. Jumlah orang di pendulangan pun tak kalah dengan jumlah karyawan Freeport.
    Dampak migrasi dan segala kaitannya akhirnya memudahkan timbulnya friksi dan konflik kepentingan antarberbagai kelompok maupun individu, karena pemainnya makin banyak sementara hasil tidak bertambah dan masuknya pemain yang lebih besar.
    Bisnis Emas
    Sebetulnya seluruh lokasi perusahaan dijaga aparat keamanan, sehingga seharusnya tidak sembarang orang dapat masuk wilayah tambang, apalagi para pendulang. Semasa Orde Baru, tanggung jawab keamanan di wilayah kerja perusahaan diserahkan kepada aparat TNI, namun di era reformasi secara bertahap dialihkan kepada Polri, terutama satuan Brimob.
    Sepanjang jalan dari pelabuhan, di sini konsentrat dimuat di Mile 1 sampai lokasi pabrik pengolahan di Mile 74 dan Gunung Grasberg. Penjaga keamanan adalah polisi dengan belasan pos penjagaan dan ratusan anggota.
    Namun hal itu tidak menjamin keamanan karena sejak Juli 2009 sampai kini terjadi berkali-kali kasus teror penembakan para karyawan dengan korban tewas 13 orang, yang sampai kini tidak pernah terungkap siapa dalang maupun pelakunya.
    Ketika pendulangan menjadi suatu bagian kehidupan yang mau tidak mau harus diterima perusahaan, lokasi pendulangan mulai terkonsentrasi di tempat yang memberi hasil terbaik, yaitu antara Mile 74 sampai 68 dan antara Mile 50 sampai 32.
    Pembagian wilayah pendulangan: penduduk asli pegunungan mendulang di Mile 74 sampai 68 atau lokasi Kota Tembagapura karena dianggap wilayah tersebut merupakan tanah hak ulayat suku Amungme; di Mile 50 sampai 32 para pendulang dari beragam suku yang sama-sama mengadu untung walau awalnya hanya orang Papua.
    Penghasilan para pendulang cukup bagus, khususnya di lokasi dekat muara pembuangan limbah tambang di pegunungan (Mile 74 sampai 68) dan sekitar Mile 50 sampai 32, di mana arus sungainya sudah melambat dan sudah terjadi sedimentasi tailing.
    Bersamaan dengan maraknya pendulangan, menjamurlah berbagai macam usaha di lokasi pendulangan, seperti tenda warung makan, aneka kelontong, sembako, miras, prostitusi, dan apa saja yang dibutuhkan para pendulang, mulai dari yang legal sampai ilegal.
    Dampak Pemogokan
    Pemogokan karyawan perusahaan yang berlangsung beberapa bulan dan baru berakhir pekan ini secara tidak langsung memberi peluang pada penjarahan pipa konsentrat perusahaan, karena sepotong pipa panjang sejengkal tangan masih mengandung emas yang bernilai Rp 30-40 juta.
    Pipa yang telah dipotong dan mengandung konsentrat dikerok agar diperoleh emasnya dengan memisahkannya dari campuran konsentrat. Kegiatan ini menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi para perajin di Timika.
    Sejak pemogokan 15 September lalu, telah terjadi penjarahan pipa secara berjemaah dari Mile 3 sampai Mile 21, karena di lokasi itu kadar emasnya paling tinggi, mengingat lokasinya sudah dekat pabrik penyimpanan di Mile 1. Akibatnya, banyak orang kaya mendadak.
    Akibat terputusnya pipa penyaluran konsentrat, praktis tambang telah berhenti produksi sejak Oktober lalu, dan berakibat terhentinya juga mata pencarian para pendulang dan penerimaan bagi Mimika, Papua, dan negara. Tiba-tiba saja roda perekonomian Timika tidak lagi secerah sebelumnya, perputaran uang seperti berhenti mendadak bersamaan dengan aksi pemogokan.
    Jadi, PT Freeport Indonesia bukan saja menjadi tempat pemberi kerja bagi karyawan yang berkualifikasi, namun kehadirannya juga memberi berkah bagi mereka yang tidak berkualifikasi. Kesemuanya telah menggerakkan roda kehidupan Kota Timika.  
  • “Time Management” dan “Self Management”

    “Time Management” dan  “Self Management”
    Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
    Sumber : SINAR HARAPAN, 17 Desember 2011
    Dalam perjalanan profesi saya beberapa tahun ini, saya sering sekali bertemu dengan orang-orang baru dan terus berbeda-beda, baik berbeda dalam hal level pendidikan, level posisi di perusahaan, maupun level generasi usia.
    Melalui diskusi dengan mereka, baik diskusi secara formal maupun informal, saya mendapatkan banyak hal sebagai pembelajaran baru bagi saya. Tentu saja hal tersebut merupakan salah satu hal yang positif dan sangat menarik dari pekerjaan saya selama ini.
    Satu di antara pembelajaran yang saya dapatkan dan menjadi pembelajaran yang penting untuk saya bagikan kepada para pembaca adalah bahwa ada sebagian kita dapat menjadi pribadi yang efektif, karena dapat menghargai waktu yang mereka miliki dalam hidupnya dan dapat secara bertahap mencapai keberhasilan mereka.
    Namun, tidak semua orang mendapatkan hal tersebut karena mereka telah terperangkap dalam kecepatan waktu dan merasa tidak mendapatkan apa yang mereka dambakan di dalam hidup mereka.
    Kira-kira bulan lalu, saya bertemu dengan seseorang yang sudah senior di sebuah perusahaan yang merupakan salah satu perusahaan ternama di Indonesia, Pak Jason.
    Pak Jason menyampaikan perasaannya dan mengatakan kepada saya, “Wah… seharusnya pelajaran yang saya dapatkan hari ini sudah saya dapatkan 20 tahun lalu. Jika saya sudah mendapatkan hal–hal seperti ini, saya percaya bahwa saya akan lebih menghargai setiap kesempatan yang saya peroleh dalam hidup saya.”
    Pak Jason merasa waktu sudah terlambat untuk melaksanakan beberapa self improvement. Pak Jason selama ini merasa rutinitas sehari-hari telah menyita waktunya.
    Waktu yang dimiliki Pak Jason yaitu 24 jam sehari rasanya sangat tidak cukup untuk melaksanakan beberapa poin penting dalam rangka mengembangkan potensi dan kompetensi dirinya yang sangat diperlukan dalam menjalankan tugas tanggung jawabnya, tidak saja sebagai profesional di sebuah perusahaan, namun juga sebagai kepala keluarga.
    Dalam event yang berbeda, ketika saya berkesempatan memberikan sharing session di sebuah seminar mahasiswa, Andre – seorang peserta yang tentu saja seorang mahasiswa, bertanya kepada kami para narasumber dalam seminar tersebut, “Ibu dan Bapak narasumber, bagaimana saya mendapatkan me time saya ya, jika ternyata saya terus sibuk setiap hari mengerjakan banyak hal untuk mempersiapkan diri mencapai cita-cita saya?”
    Bukan saja seorang eksekutif senior seperti Pak Jason, Andre yang masih mahasiswa juga merasa “terjebak” dalam rutinitas sehari-hari sehingga tidak memiliki waktu untuk “me time”.
    Banyak di antara kita merasa terbelenggu oleh rutinitas pekerjaan dan beberapa aktivitas pendukung serta aktivitas lainnya dalam keseharian kita. Waktu terus berlari cepat, detik ke detik, tidak akan pernah menunggu apakah kita sudah siap atau belum.
    Siapa pun kita, memiliki persamaan, yaitu memiliki waktu 24 jam sehari atau 168 jam dalam satu minggu. Namun, yang sering berbeda antara pribadi yang efektif dan yang tidak efektif adalah dalam cara mengelola waktu.
    Kemampuan mengelola waktu (time management) sangatlah penting dalam manajemen hidup kita. Mengelola waktu kita berarti mengelola hidup kita. Time is life. To waste your time is to waste your life (Merrill Douglass).
    Mengapa waktu kita rasanya sangat sedikit? Karena semakin berjalannya waktu, semakin bertambahnya tanggung jawab, baik tanggung jawab kita di dalam keluarga, tanggung jawab kita di dalam pekerjaan, serta tanggung jawab kita di bidang–bidang yang lain, menjadikan waktu sangat terbatas.
    Belum lagi harus diperhitungkan waktu-waktu yang harus dilalui ketika kita menuju suatu tempat dengan perjalanan yang macet misalnya di Kota Jakarta. Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita semua.
    Time managementdimulai dengan suatu hal yang sangat sederhana, yaitu bagaimana kita menggunakan waktu untuk hal-hal yang kita hargai, sedemikian kita menyadari bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidup kita.
    Apakah setiap aktivitas kita adalah aktivitas yang berharga menuju pencapaian tujuan hidup atau goals hidup kita, bukan saja sebagai profesional di pekerjaan kita, namun juga goals kita sebagai bagian dari sebuah keluarga dan juga bagian dari masyarakat?
    Apakah kita sudah dapat merencanakan aktivitas-aktivitas yang mendukung agar potensi diri kita dapat kita gunakan secara efektif untuk mencapai tujuan hidup kita atau goals kita? Poin-poin inilah, yang sebenarnya merupakan poin yang sangat penting, namun sering terlupakan, karena kita sering hanya terfokus pada rutinitas hidup sehari–hari.
    Mengapa perlu tujuan hidup (goals)dalam mengelola waktu yang kita miliki? Karena dengan tujuan hidup, kita dapat mengarahkan segala sesuatunya lebih fokus. Bagaimana jika seseorang tidak memiliki goals dalam hidupnya? Seluruh aktivitasnya tidaklah efektif terfokus untuk mencapai sesuatu.
    Aktivitasnya akan bergerak seputar pekerjaan rutin yang pada suatu ketika akan menjadi kebosanan yang tidak berujung. Ketika kebosanan terjadi, sering kali akan diikuti dengan motivasi yang menurun dan motivasi yang menurun akan mengurangi produktivitas kita dalam menggunakan waktu yang terbatas. Sayang sekali, bukan?
    Dalam hal goals ini, tentu saja kita sering terinspirasi oleh orang-orang yang luar biasa dalam menjalankan pekerjaaannya, dengan memiliki statement: “Saya harus berhasil dalam pekerjaan saya karena saya ingin pekerjaan saya bermanfaat bagi orang lain… karena saya ingin menolong keluarga saya… atau karena saya ingin menolong banyak orang.”
    Waktu adalah aset yang terbatas, tidak bisa lagi untuk ditambah, yaitu 24 jam sehari selalu terjadi sepanjang waktu, namun tidak dengan self management yang tidak terbatas. Self managementadalah kemampuan kita dalam me-manage diri sendiri (manajemen diri) dalam menghadapi segala tantangan dalam hidup kita.
    Self managementmeliputi kemampuan kita menata prioritas dalam hidup kita, bagaimana kita mengembangkan kemampuan bekerja sama dengan orang lain dalam proses mencapai misi dan keberhasilan kita (tentu saja kita harus bekerja sama dengan orang lain dalam mencapai goals kita), kemampuan kita mengendalikan pola hidup sehingga kita selalu dalam kondisi kesehatan yang prima (healthy life), bagaimana kita terus-menerus mengembangkan skill (keterampilan) berkomunikasi efektif sehingga kita dapat berinteraksi dengan orang lain dengan optimal, bagaimana kita mengelola emosi menghadapi hal-hal yang tidak kita harapkan, bagaimana kita mendelegasikan pekerjaan-pekerjaan rutin dan masih banyak lagi poin penting yang termasuk dalam self management.
    Waktu akan terus berjalan, tidak akan pernah kembali lagi. Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan kita.
    Mari kita mengembangkan skill self management, agar dengan waktu yang terbatas kita terus-menerus bertahap dapat mencapai keberhasilan demi keberhasilan yang bermanfaat bagi keluarga, pekerjaan, masyarakat, dan bagi bangsa kita. Time flies. It’s up to you to be the navigator (Robert Orben).  
  • Tantangan dan Harapan Demokrasi (2)

    Tantangan dan Harapan Demokrasi (2)
    R William Liddle, PROFESOR EMERITUS ILMU POLITIK THE OHIO STATE UNIVERSITY
    Sumber : REPUBLIKA, 17 Desember 2011
    Yang terjadi pada zaman reformasi ini bukanlah penerusan oligarki kompleks, melainkan sebuah proses fragmentasi pemerintahan yang menciptakan ribuan penguasa sambil tidak mengubah dasar ekonomi kapitalis pasar. Bagaimana mengatasinya?

    Saran saya ada dua. Pertama, dalam jangka pendek kita memerlukan sebuah teori tindakan yang mampu menerangkan peran aktor dalam konteksnya sambil menyadari bahwa distribusi sumber daya politik tidak merata. Untuk itu, kita bisa belajar banyak dari jalan yang dirintis hampir 500 tahun lalu oleh filsuf politik Niccolo Machiavelli dan diteruskan pada zaman kita oleh empat ilmuwan politik Amerika: Richard E Neustadt, James MacGregor Burns, John W Kingdon, serta Richard J Samuels. Kedua, dalam jangka panjang, kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik demi terciptanya pola distribusi yang lebih merata.

    Pada zaman kita, pendekatan Machiavelli kepada studi kekuasaan, khususnya peran sang penguasa, diteruskan oleh ilmuwan politik Richard E Neustadt dan James MacGregor Burns. Dalam Presidential Power (1960), Neustadt melanjutkan fokus empiris Machiavelli kepada peran penguasa dalam bentuk presiden-presiden AS zaman.

    Bagi Neustadt, kekuatan untuk meyakinkan (the power to persuade) merupakan sumber daya politik utama yang dimiliki atau bisa diciptakan seorang presiden. Keberhasilan program dan kebijakannya sangat bergantung pada kesediaan dan kesanggupannya meyakinkan tiga jenis orang: anggota pemerintahan, masyarakat, dan pemilih pada umumnya (termasuk pers dan lembaga-lembaga opini publik yang melaporkan dan ikut membentuk pendapat masyarakat pemilih).

    “Esensi tugas persuasif presiden adalah meyakinkan orang-orang itu bahwa yang diinginkan Gedung Putih dari mereka adalah sama dengan apa yang seharusnya mereka perbuat demi kepentingan mereka sendiri dan demi kekuasaan mereka.”

    Berdasarkan penelitiannya tentang tiga presiden-Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower-Neustadt menyimpulkan bahwa ada lima faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan atau program presiden. Presiden sendiri harus terlibat sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusannya. Kata-kata presiden harus unambiguous, tidak samar-samar. Pesan presiden harus disiarkan seluas-luasnya. Alat dan sumber daya yang tersedia untuk pelaksanaannya harus mencukupi. Dan, penerima pesan presiden harus mengakui kekuasaan dan keabsahannya sebagai pembuat kebijakan atau program bersangkutan.

    Kesimpulan

    Tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Setidaknya, kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan politik antara semua warganegara, sebagaimana definisi Robert Dahl, salah satu pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan pada ekonomi kapitalis pasar, baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.

    Masalahnya secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil menggerogoti terus dasar politik negara tersebut. Serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretikus sosial Karl Marx yang mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi.

    Contoh di Indonesia: tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi Hadiz. Selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas kapitalis.

    Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, lebih tepat selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. Pendekatan Machiavelli terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik.

    Ia menawarkan kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna, yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman kita. Virtu, keterampilan atau kejantanan, berarti luas semua sumber daya yang berguna bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya.

    Fortuna berarti kans atau keberuntungan, tetapi dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi sang aktor, tanpa implikasi keharusan atau nasib. Kita juga diingatkan Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa, antara moralitas pribadi dan moralitas politik.

    Teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasif oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruh kedua abad ke-20 dan dasawarsa pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower.

    Bagi Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan orang lain tentang kebijakan-kebijakannya. Neustadt menawarkan lima ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati; pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau berkepentingan.

    James MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam. Dalam bukunya yang terbaik, Leadership, ia menciptakan konsep-konsep followership, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemimpinan yang mengubah masyarakat secara mendasar. Perubahan yang mendasar bergantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut secara intensif, bersama, dan terus-menerus. Burns menegaskan bahwa kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong selaku transforming leader.

    Ilmuwan favorit saya selaku penerus tradisi pemikiran Machiavelli adalah John Kingdon, profesor ilmu politik kawakan di Universitas Michigan. Kingdon menerjemahkan konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan ilmu politik empiris, perhatian utama saya sendiri sejak masa mahasiswa.

    Kita diajak membayangkan proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan masalah, penciptaan usul-usul kebijakan, dan kejadian-kejadian politik. Tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka terhadap terbuka dan tertutupnya jendela keputusan. Alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat peningkatan mutu demokrasi.

    Tokoh terakhir saya, Richard Samuels, pakar Jepang di Massachusetts Institute of Technology, menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. Tiga unsur utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak, dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil mengubah sejarah.

    Selaku negara-negara terlambat dalam proses modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat Indonesia. Akhir kata, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu merupakan masalah tersendiri. Baik di Indonesia maupun di Amerika, jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu berpolitik.

    Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. Namun, kegiatan intelektual saja tak cukup. Selain itu, pemerataan sejati memerlukan tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan demokrasi bermutu.  

  • PNS Muda dan Godaan Korupsi

    PNS Muda dan Godaan Korupsi
    Lukman Santoso Az, PENELITI PADA STAIDA INSTITUTE;
    ALUMNUS PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UII YOGYAKARTA
    Sumber : REPUBLIKA, 17 Desember 2011
    Berbagai gemuruh skandal korupsi di negeri ini tampaknya tidak akan pernah surut dan bahkan semakin mengakar dan membudaya. Virus korupsi tersebut telah menyebar dari tingkat pusat hingga daerah, dari eksekutif, legislatif, sampai yudikatif. Belum tuntas kasus Nazaruddin dan kebenaran ‘nyanyiannya”, kasus cek pelawan Nunun Nurbaetie dengan kelihaiannya. Kini sudah ada lagi kasus rekening ‘Gendut’ PNS Muda.

    Semuanya bertema sama, korupsi pejabat pemerintah. Yang lebih mengerikan lagi dalam kasus terbaru ini adalah PNS yang diduga korupsi masih berusia muda. Memang, korupsi tak pernah mengenal usia, lantas bagaimana jadinya meraka ketika sudah tua, tentu akan lebih membahayakan lagi.

    Berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebutkan bahwa 50 persen PNS berusia muda di negeri ini terindikasi korupsi. Dari data tersebut, terdapat 10 PNS golongan IIIB usia muda yang memiliki rekening gendut, bernilai miliaran rupiah yang jauh dari nilai gaji dan pendapatan resmi mereka. Bahkan, PPATK juga menemukan transaksi dua PNS golongan IIIB berusia 28 tahun yang menilap uang negara dari proyek fiktif.

    Seandainya Bung Karno masih hidup saat ini, betapa prihatinnya ia melihat perilaku para pemuda. Padahal, bagi Bung Karno, pemuda adalah harapan bangsa dan mampu mengguncang dunia, dalam artian yang positif. Sekarang, sejumlah pemuda memang mampu mengguncang dunia, sayangnya itu dalam hal korupsi.

    Tahun lalu, kita disuguhi aksi seorang Gayus Tambunan yang melakukan korupsi miliaran rupiah. Dengan harta hasil korupsi itu, meskipun sudah di tahanan, dia bisa menyuap ratusan juta untuk bisa bepergian ke luar negeri. Tahun ini, kita disuguhi oleh atraksi lain, yakni sepak terjang sang koruptor bernama Nazaruddin. Kedua orang itu boleh dibilang anak-anak muda yang masih memiliki kiprah panjang. Mereka yang mestinya menjadi tumpuan dan harapan bangsa, yang terjadi justru melakukan pengkhianatan terhadap bangsa.

    Dari realitas itu tampaknya birokrat muda saat ini telah terjerembab dalam kubangan korupsi. Korupsi bukan hanya membudaya, tetapi menjadi prasyarat bagi PNS muda untuk menyesuaikan dengan kehidupan yang hedonis. Fenomena gaya hidup tersebut telah menjerat mereka dalam sebuah struktur untuk mengotak-atik kemungkinan, memanfaatkan celah, dan mengelaborasi relasi-relasi untuk melakukan sesuatu yang mempertemukan kepentingan. Skandal korupsi pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan kasus anggaran dengan episentrum M Nazaruddin yang telah disinggung di atas merupakan sekelumit contoh dari realitas ini.

    Kecenderungan budaya korupsi di Indonesia memang begitu luas. Perilaku korup sudah melebar dan sangat mendalam (widespread and deep rooted). Tidak hanya di tingkat puncak kekuasaan seperti di level pemerintah pusat, tetapi hampir merata di semua jaringan birokrasi yang berjalan pada semua level. Hampir sulit mencari tatanan birokrasi yang steril dari jerat korupsi.

    Bobroknya moralitas elite politik yang korup tersebut semakin memperkuat tesis EF Schumacher dan Fritjof Capra, bahwa krisis ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan hidup pada sebuah bangsa sejatinya berakar dari krisis moralitas anak bangsa. Dampaknya adalah korupsi telah dianggap sebagai bagian integral dari struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia atau dalam bahasa lain sebagai cultural determinism (determinasi kultural).

    Sekarang tinggal apakah penegak hukum, pemerintah, juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berkomitmen nyata memberangus koruptor, membersihkan negeri ini dari para maling uang rakyat, termasuk terhadap koruptor dari kalangan PNS muda. Jika serius dan bukan hanya sebatas retorika, tentu harus dibuktikan dengan tindakan nyata, misalnya, dengan membuat Undang-Undang Pembuktian Terbalik untuk mengusut dari mana asal kekayaan para pejabat, para PNS, dan elemen lain yang dicurigai memiliki kekayaan tak wajar.

    Dengan realitas ini, tentu kita selalu terusik untuk menggugat apa sebenarnya hakikat pelaksanaan, pengawalan, dan pengaruh reformasi birokrasi yang saat ini berlangsung untuk membangun good governance. Apakah remunerasi di instansi-instansi tertentu berhenti sebatas penyesuaian dan kenaikan pendapatan, tanpa mampu menyentuh perubahan mentalitas PNS? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan dalam hal ini.

    Dalam pandangan Jamil Mubarok (2011), percepatan reformasi birokrasi untuk membersihkan para birokrat korup menjadi agenda yang sangat mendesak saat ini. Terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah agar bencana kemanusiaan ini tidak meluas. Pertama, adalah dengan mengkaji ulang proses rekrutmen PNS. Perlu dilengkapi dengan profile assessment dan kompetensi harus dibarengi dengan kualitas moral dan etika. Kedua, perlu mengkaji ulang materi diklat CPNS, dan diklat lainnya dengan memasukkan materi yang menekankan nilai-nilai kejujuran.

    Ketiga, pembenahan di dalam promosi, rotasi, dan mutasi jabatan PNS yang harus dijadikan pertimbangan kapabilitas dan rekam jejak perilaku atau etikanya. Keempat adalah dengan melakukan audit kinerja secara berkala, terutama pada penyimpangan perilaku. Adapun kelima, adalah dengan mengkaji ulang proses hukuman (punishment) yang panjang dan berbelit-belit bagi PNS yang melanggar. PNS harus bisa dikenai sanksi secara cepat dan tepat untuk memotong generasi PNS korup dan kinerja yang buruk.

    Langkah-langkah strategis tersebut tentu menjadi tidak berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama pemerintah, aparat penegak hukum, termasuk masyarakat dalam memberi pengawasan, untuk menjunjung hukum seadil-adilnya sekaligus melakukan pembenahan birokrasi di semua level pemerintahan. Maka, pemerintah-khususnya Presiden SBY-harus benar-benar membuktikan komitmennya dalam berjihad melawan korupsi sebagaimana pidatonya pada peringatan hari antikorupsi beberapa hari lalu. Termasuk mengawal penegakan hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Tindak tegas para koruptor tersebut, berikan hukuman yang berat dan sita semua aset mereka, buat mereka miskin agar memberi efek jera bagi siapa pun untuk melakukan korupsi. Kita tidak akan pernah bisa menggali akar untuk membangun atmosfer antikorupsi tanpa ketegasan hukum yang berdaya-efek penjeraan kuat.

    Sangat tidak layak jika seorang PNS yang telah bersumpah mengabdi pada negara dan rakyat (civil servant) hidup bak raja-raja kecil yang abai dan menelikung aliran dana negara yang dialokasikan untuk rakyat. Di sinilah komitmen, sistem, dan kultur sadar hukum untuk menopang upaya menciptakan good governance yang serius dan konsisten di semua lini sangat dibutuhkan, bukan sekadar konsep, jargon, dan retorika.  

  • Buktikan Indonesia Layak Investasi…!

    Buktikan Indonesia Layak Investasi…!
    Andi Suruji, WARTAWAN KOMPAS
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Pelaku pasar menyambut gembira, Indonesia memperoleh ”kembali” investment grade dari lembaga pemeringkat surat berharga untuk investasi, Fitch Ratings.
    Sambutan ”hangat” pasar itu, antara lain, terlihat dari kegairahan pelaku pasar di bursa efek untuk memburu dan mengoleksi saham-saham yang berpotensi mendatangkan capital gain. Indeks Harga Saham Gabungan melonjak walaupun nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, misalnya, tetap stabil, tidak menguat setajam harga saham.
    Mungkin ada yang mengatakan, ah itu kan hanya reaksi sesaat pelaku pasar di tengah kecenderungan window dressing, suatu tindakan mengatur kembali portofolio investasi, agar wajahnya terlihat cantik pada akhir periode tutup buku. Ada benarnya sebab, sebagaimana biasanya menjelang akhir tahun, para pengelola dana investasi dan investor institusi ataupun individual memanfaatkan momentum ”efek Desember” ini untuk mengatur ulang isi basket portofolio mereka.
    Meski demikian, perolehan kembali investment grade bagi Indonesia, di tengah gonjang-ganjing ketidakpastian dan panas-dinginnya suhu perekonomian Eropa serta masih belum stabilnya perekonomian Amerika Serikat, tetaplah sesuatu banget. Seharusnya ”hadiah” akhir tahun itu menjadi kabar yang benar-benar menggembirakan.
    Di awal tulisan ini, kata kembali diberi tanda petik sebagai penegasan ataupun pengingat bahwa peringkat itu pernah digenggam. Indonesia kehilangan investment grade pada tahun 1997. Peringkat itu merosot setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis parah multidimensi, yang berujung jatuhnya Presiden Soeharto.
    Gelembung ekonomi dengan pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun saat itu ternyata menyimpan pula bibit-bibit penyakit. Ibarat kolesterol, lemak, asam urat, dan gula darah yang tidak normal. Ketika terinfeksi suatu virus ekonomi dari negara lain, seketika pula fisik atau bangunan perekonomian Indonesia ikut limbung lalu ambruk. Pasalnya, bersamaan dengan pertumbuhan pesat perekonomian itu ternyata tersimpan pula bibit-bibit penyakit.
    Ada macam-macam alasan yang disebutkan sebagai faktor, tetapi intinya adalah perekonomian kurang sehat walafiat. Utang menumpuk dan ketika rupiah dijadikan ajang spekulasi, nilai tukarnya merosot. Jumlah uang yang harus disediakan untuk membayar utang atau mengimpor bahan baku menjadi berlipat-lipat kali dari sebelumnya. 
    Perusahaan kesulitan likuiditas. Ratusan triliun rupiah digelontorkan untuk menolong perbankan dari kebangkrutan total.
    Suatu pelajaran berharga bahwa sesuatu yang kita miliki bisa hilang seketika manakala tidak dikelola secara baik dan benar. Ini mengingatkan nasihat orang tua, pelihara dan rawatlah (tepatnya kelola dengan baik) apa yang dimiliki.
    ”Ketika kita memiliki sepeda baru, kadang-kadang sepeda tua diabaikan, dibiarkan tergeletak, tidak pernah dilap, tidak diberi gemuk, dan remnya tidak pernah diservis. Namun, ketika sepeda tua itu dicolong orang lain, barulah rasa penyesalan timbul bersama sejuta kenangan mengenai sepeda tua itu. Wah, sepeda tua saya itu hebat sekali dulu, bla… bla… blaaa…,” begitu nasihat para orang tua.
    Kini, permata Indonesia telah kembali setelah bertahun-tahun diperjuangkan. Ya, investment grade itu ibarat permata, yang dikejar semua negara. Ia memancarkan kemilau perekonomian, menjanjikan pertumbuhan investasi dan nilai aset di kemudian hari. Investment grade berarti Indonesia adalah negara dengan perekonomian sehat, terkelola baik, dan layak dijadikan ”lahan” penanaman modal. Baik investasi langsung, seperti membangun pabrik dan mendirikan usaha baru, maupun investasi tidak langsung berupa surat-surat berharga.
    Pemerintah mesti mengingat bahwa peringkat itu hanyalah indikator yang dianalisis dari berbagai faktor. Jika ada sesuatu yang tersembunyi, atau disembunyikan, tentu indikator itu bisa mengirimkan sinyal lain. Namun, tanpa investment grade itu pun Indonesia sebenarnya masih bisa berharap banyak soal aliran modal dari berbagai sumber investasi, sebagian berupa lungsuran dari negara lain yang lebih siap menerima investasi.
    Kini, kembalinya Indonesia ke dalam layar monitor dengan sinyal investment grade yang menyala terang seharusnya menyadarkan pemerintah untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas lagi agar aliran dana-dana investasi itu bisa bersemayam lebih lama, nyaman, dan aman di negeri ini.
    Dengan kondisi global dan regional yang sakit parah, Indonesia yang masih tergolong sehat mesti mempertahankan, bahkan meningkatkan, daya tahan dan daya tariknya. Caranya, memacu lebih cepat perbaikan daya saing perekonomian. Misalnya, memangkas biaya tinggi berbisnis, mempermudah birokrasi bagi pendatang baru di dunia bisnis, membangun infrastruktur andal, membenahi sistem logistik agar efisien, dan memberangus semua praktik korupsi.
    Tanpa semua itu, investment grade tidak berarti, tidak membumi, dan kurang bermakna bagi kaum miskin serta penganggur. Ia hanya akan memicu spekulasi berlebihan, meningkatkan aliran masuk uang panas untuk mencari imbal hasil sesaat. Jika terjadi guncangan, pemilik uang langsung menghamburkan kembali dananya keluar mencari tempat stabil, nyaman, dan menjanjikan keuntungan memadai. Buktikan Indonesia layak investasi dengan investment grade tersebut…!  
  • Pembinaan Olahraga Kita Jalan di Tempat

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Pembinaan Olahraga Kita Jalan di Tempat
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Kegembiraan masyarakat menyusul raihan gelar juara umum SEA Games XXVI/2011 belum pupus. Di dalam negeri, beberapa pemerintah daerah masih terus memberikan bonus kepada para atlet peraih medali.
    Nyaris tiada suara sumbang terkait keberhasilan atlet-atlet kita di Jakarta dan Palembang itu. Kalaupun ada sedikit suara sumbang, tertelan kegembiraan yang terus meluap. Itu tecermin dalam pergelaran Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas) KONI di Mataram, Nusa Tenggara Barat, awal bulan ini.
    Namun, ke mana arah prestasi olahraga kita akan melangkah? Tiada seorang pun dapat menjawab. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng hanya mengulang jawaban yang sama setiap kali ditanya soal ini. Dalam musornas pun pembahasan soal mempertahankan prestasi juara umum pada SEA Games XXVII/ 2013 di Myanmar bukan bahasan serius. Peserta lebih fokus pada pergantian ketua umum.
    Belum Terdengar
    Praktis, hingga kini belum pernah terdengar dan terlihat cetak biru pembinaan olahraga prestasi di Indonesia, baik dari KONI maupun Kantor Menpora. Rencana Strategis Kantor Menpora 2010-2014 hanya menyebutkan enam kegiatan prioritas untuk meningkatkan kualitas pembinaan olahraga prestasi. Hal itu mencakup, antara lain, mendukung peningkatan prestasi olahraga dan mengembangkan industri olahraga.
    Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Menpora berwenang mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan nasional. Namun, kewenangan itu belum dimanfaatkan secara maksimal mengingat Menpora tidak membuat detail sasaran prestasi yang harus diraih, walau bersama KONI Pusat, Menpora membentuk Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) pada 2010 untuk membina dan mengembangkan atlet elite.
    Pembinaan atlet elite sebenarnya dimulai dengan apa yang disebut Program Atlet Andalan (PAL) tahun 2008. Direktur PAL Achmad Sutjipto membuat penanganan atlet mulai bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap atlet memiliki jurnal atau log book untuk mencatat pola latihan dan pencapaian masing-masing. Jurnal itu secara periodik dievaluasi. Bahkan, mereka mengontrak ahli dari Australia.
    Meski belum lancar, upaya ini dapat mendongkrak prestasi atlet, seperti tecermin pada perolehan medali pada SEA Games 2009 dan pemecahan rekor Asia Tenggara lari 100 meter putra di tangan Suryo Agung Wibowo menjadi 10,17 detik. Namun, KONI belum mau mengakui secara terbuka keberhasilan upaya yang dilakukan PAL.
    Ketika PAL berganti nama menjadi Satlak Prima, penggunaan ilmu pengetahuan olahraga malah surut. Tak hanya itu, peran Satlak Prima menjelang dan selama pergelaran SEA Games juga belum optimal. Banyak persoalan di cabang tak segera diatasi atau terkesan dibiarkan Satlak Prima. Beberapa cabang tak dapat menggelar pelatnas dengan baik karena pengadaan peralatan latihan tersendat.
    Anehnya, dalam musornas di Mataram, awal Desember lalu, untuk pembinaan olahraga di Tanah Air empat tahun ke depan tidak dibuatkan program jangka pendek atau panjang yang jelas. Padahal, mestinya ajang empat tahunan itulah tempat paling tepat untuk merumuskan rencana tersebut.
    Sudah berulang kali dikatakan, arah prestasi olahraga Indonesia seharusnya sudah beranjak dari sekadar kawasan Asia Tenggara. Memegang gelar juara umum ini, pemangku olahraga dapat melirik prestasi lebih tinggi, semisal Asian Games.
    Memang, kita harus sadar tak semua cabang olahraga prestasi dapat digenjot hingga mencapai level Asian Games. Sekadar menyebut beberapa contoh, mungkin bulu tangkis, angkat besi, dan beberapa cabang bela diri dapat berkompetisi di tingkat Asia.
    Untuk renang, atletik, dan senam, kualitas atlet Indonesia di Asia masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Mereka bertaburkan atlet yang mampu berlaga pada olimpiade dan kejuaraan dunia. Rasanya, minimal untuk lima tahun ke depan, kita harus rela melepaskan cabang-cabang itu pada negara-negara tersebut.
    Di olimpiade, Indonesia mulai meraih medali pada Olimpiade Seoul 1988. Ketika itu, trio pemanah putri membawa pulang sekeping perak. Pada Olimpiade Barcelona 1992, tradisi meraih emas bermula melalui bulu tangkis. Dibandingkan dengan prestasi negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia paling berkilau di olimpiade dengan dua emas dari bulu tangkis.
    Namun, sejak Olimpiade Athena 2004, bukan Indonesia yang paling perkasa di antara negara-negara Asia Tenggara. Thailand mengambil alih dominasi tersebut dengan merebut tiga emas dari angkat besi dan tinju. Adapun Indonesia, sejak 2004, pada setiap olimpiade hanya merebut satu emas melalui bulu tangkis. Di Beijing 2008, Thailand juga meraih dua emas.
    Bahkan, pada Olimpiade London 2012, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam bakal mengejutkan. Mereka serius memasang target dan menempa diri demi ambisi tersebut.
    Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini memiliki sumber daya atlet relatif banyak. Apalagi, di setiap provinsi ada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) bagi pelajar yang berbakat di bidang olahraga. Dari data kontingen pada ajang PON dan SEA Games, bisa dibilang 60 persen atlet Indonesia adalah alumni PPLP, mulai atletik hingga sepak bola.
    Jika negara lain serius mengembangkan olahraga dengan rutin menggelar kompetisi dan berambisi mengukir prestasi tertinggi serta aktif menawarkan diri sebagai tuan rumah pesta olahraga apa pun, mengapa Indonesia tidak? (MBA/TIA/ADP)
  • Sepak Bola dan PSSI yang Terkoyak

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Sepak Bola dan PSSI yang Terkoyak
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Cerita sepak bola Indonesia 2011 di lapangan tidaklah buruk. Di tengah konflik PSSI, pemain Indonesia lolos ke putaran ketiga Pra-Piala Dunia 2014 bersama 19 negara Asia dan lolos ke final SEA Games. Namun, ceritanya lain di balik dinding kantor PSSI, klub-klub, ruang-ruang rapat, dan kongres.
    Pencapaian timnas Pra-Piala Dunia 2014 yang selalu kalah di putaran kedua dan medali perak SEA Games 2011 memang tidak memenuhi harapan publik. Namun, mengingat hadir saat krisis sepak bola mendera negeri ini, dua pencapaian itu tidak buruk.
    Di level yunior, prestasi itu tidak menggembirakan. Diwakili tim SAD yang tampil di kompetisi Uruguay, Indonesia kembali gagal lolos ke Piala Asia U-19 2012. ”Merah Putih Junior” juga gagal tampil di Piala Asia U-16 2012. Negeri ini memang tidak punya fondasi pembinaan usia muda.
    Di tengah perkembangan sepak bola negara-negara Asia lain yang berlari kencang, sepak bola negeri ini jalan di tempat dan kian tertinggal. Di level klub, pada Liga Champions Asia (LCA), ceritanya setali tiga uang. Arema Indonesia mengikuti jejak Persipura Jayapura musim sebelumnya, yang jadi lumbung gol.
    Persipura kebobolan 29 gol dari enam laga, sedangkan Arema kemasukan 22 gol! Keduanya mencatat rekor kebobolan gol terbesar di penyisihan grup yang diikuti 32 klub top Asia.
    LCA jauh di atas level klub-klub kita. Mereka baru mampu bersaing di level bawahnya, Piala AFC. Di ajang ini, Persipura lolos ke perempat final dan Sriwijaya ke babak 16 besar.
    Di level usia muda, cerita manis ditorehkan pemain Indonesia usia di bawah 15 tahun (U-15) yang menjuarai Piala Pelajar Asia 2011. Pemain muda bibit-bibit sepak bola negeri ini juga ambil bagian pada ajang lain.
    SSB Hasanuddin mewakili Indonesia tampil dan menempati peringkat ke-33 dari 40 negara di Piala Danone 2011. Lalu, tim Indonesia ASIOP-Apacinti bertahan hingga 16 besar Gothia Cup, yang sering disebut Piala Dunia mini karena selalu diikuti lebih dari 80 negara, di Swedia.
    Begitulah, apa pun hasilnya, cerita sepak bola di lapangan tetap mengasyikkan. Permainan kulit bundar selalu menjadi daya tarik dan hiburan, terlebih lagi jika kemenangan bisa diraih. Namun, tidak demikian jika berbicara sepak bola di luar lapangan dengan pengurus PSSI, klub, atau pengurus daerah (provinsi dan cabang) sebagai ”pemainnya”.
    Cerita Memilukan
    Mengikuti sepak terjang pengurus sepak bola itu sangat memilukan dan, di tahap tertentu, menjijikkan. Sepak bola negeri ini tidak diurus lewat pendekatan dan prinsip-prinsip keolahragaan (sportsmanship), tetapi dikelola seperti mengurus partai politik.
    Kita mulai cerita menjijikkan ini dari awal tahun 2011, Januari akhir, saat PSSI menggelar kongres di Bali. Kongres berlangsung sekitar dua pekan setelah kick-off Liga Primer Indonesia (LPI), kompetisi yang bergulir sebagai ketidakpuasan atas liga resmi PSSI pimpinan Nurdin Halid selama hampir delapan tahun.
    Seperti kongres-kongres sebelumnya, forum itu ”bersahabat”. Tak satu pun anggota PSSI bersuara kritis. Bahkan, sekadar abstain pun tidak. Diakui terbuka, forum itu ditunggangi untuk melanggengkan rezim Nurdin.
    Seperti sulap, sikap anggota PSSI berubah total bulan-bulan berikutnya, yang—singkat cerita—berujung lengsernya Nurdin dan lahirnya pengurus baru dipimpin Djohar Arifin Husin.
    Transisi kepemimpinan PSSI itu, seperti kita catat, berjalan tak mulus dan tak normal. FIFA turun tangan, membekukan Komite Eksekutif PSSI dan menunjuk Komite Normalisasi. Empat kongres telah berlalu: di Bali, Pekanbaru, Jakarta, dan Solo.
    Satu hal yang dilupakan, termasuk oleh FIFA, dan tak pernah tersentuh, yakni pertanggungjawaban pengurus PSSI era Nurdin Halid. Ibarat sebuah lagu, PSSI seperti di-restart, berakibat komplikasi persoalan sana-sini dengan segala eksesnya hari ini.
    PSSI melakukan blunder pertama, mencopot Alfred Riedl dengan alasan kontraknya dengan pengurus PSSI lama bermasalah (tiga versi). Mencopot pelatih hal biasa dalam sepak bola. Namun, pada kasus Riedl, itu tak dilakukan memadai dan bijak. Andai berpikir jernih, PSSI bisa saja menegosiasi ulang kontraknya dan, jika tak ada titik temu, apa boleh buat mungkin harus stop.
    Blunder serupa terulang saat PSSI akan me-restart kompetisi dari titik nol, mengacu lima kriteria yang ditetap Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), yakni legal, finansial, infrastruktur, personel, dan sporting. Akan tetapi, proses penilaian (assessment) itu tidak dijalankan memadai dan tahu-tahu muncul nama-nama klub pada divisi teratas.
    Andai saja, sekali lagi andai saja, proses penilaian itu berlangsung fair, transparan, profesional, dan bukan hanya verifikasi dokumen, tetapi juga verifikasi lapangan—berapa pun jumlah klub yang diperoleh atau jika tak ada yang memenuhi syarat, klub dengan skor tertinggi yang lolos—boleh jadi tak sekisruh kini.
    Walhasil, publik sepak bola kini disuguhi dua kompetisi: Liga Prima Indonesia yang diakui PSSI dan Liga Super Indonesia peninggalan pengurus PSSI lama. Polemik seputar kasus tercoretnya Persipura dari Piala AFC adalah ekses persoalan itu.
    Klub-klub anggota PSSI dan para pengurus daerah (provinsi dan cabang) juga setali tiga uang. Keputusan AFC yang merilis tak satu pun klub Indonesia memenuhi syarat tampil di Liga Champions Asia adalah bukti pengurus klub tidak berbuat apa-apa untuk memajukan klub mereka. Pengurus daerah juga berpangku tangan tidak memutar kompetisi usia muda yang idealnya harus mereka gelar di level regional.
    Akumulasi semua persoalan itu berujung pada tidak kunjung majunya sepak bola negeri ini. Sekadar pengingat, awal tahun ini, Indonesia di posisi ke-126 peringkat FIFA. November lalu, peringkat itu anjlok ke-144.
    ”Quo Vadis”?
    Ya, quo vadis (ke mana hendak melangkah) sepak bola Indonesia? Tahun 2012 terbentang di depan mata. Sejumlah agenda telah terpampang nyata, bahkan hingga 2014. Untuk 2012 saja, mulai September bergulir kualifikasi Piala Asia 2015 Australia.
    Pada Desember juga berlangsung Piala AFF di Malaysia dan Thailand. Di level antarklub Asia, pertengahan Maret, Arema berlaga di Piala AFC. Belum lagi kalender laga internasional timnas senior yang tidak kurang 11 kali setahun ke depan meski Indonesia telah tersingkir saat dijamu Bahrain, 29 Februari.
    Untuk keluar dari karut-marut, jika mau mencontoh Nelson Mandela di Afrika Selatan saat negeri itu ganti rezim, seharusnya ada ruang rekonsiliasi bagi pengurus sepak bola yang kini bertikai bak pengurus parpol.
    Tanpa rekonsiliasi, kapan lagi kita benar-benar membangun sepak bola? Ataukah memang ingin semua tenggelam bersama dalam keterpurukan tanpa ujung?

    (MH SAMSUL HADI)

  • Jalan Terjal Menuju London 2012

    LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
    Jalan Terjal Menuju London 2012
    Sumber : KOMPAS, 17 Desember 2011
    Bagaimana proyeksi prestasi pebulu tangkis kita di Olimpiade London 2012? Becermin dari raihan prestasi sepanjang musim ini, peluang menjaga tradisi medali emas sejak di Barcelona 1992 agak sulit. Harapan selalu ada, tetapi jalannya akan terjal dan berliku.
    Perjalanan menuju London 2012 sebenarnya sudah dimulai sejak 2 Mei lalu dan akan berakhir pada 29 April 2012. Pada rentang waktu itu, pemain harus berlomba meraih poin kemenangan setinggi-tingginya. Maksimal hanya hasil terbaik dari 10 turnamen yang akan diperhitungkan.
    Aturan dalam sistem kualifikasi Olimpiade 2012 menyebutkan, negara yang memiliki empat pemain di empat besar dunia sektor tunggal dapat mengirimkan tiga wakil ke London. Jika para pemain itu ada di rentang 16 besar, jatah yang diberikan adalah dua tiket.
    Sementara di sektor ganda, dua pasangan dapat melenggang ke olimpiade jika ada setidaknya dua tandem yang mengisi peringkat delapan besar dunia. Menempatkan dua wakil di satu nomor bulu tangkis olimpiade jelas menjadi keuntungan. Ini membuat peluang meraih medali emas menjadi kian besar.
    Di luar zona itu, satu tiket olimpiade bagi setiap negara akan diurut berdasarkan peringkat dunia pemain setiap negara. Merujuk aturan itu, posisi pemain Indonesia bisa dibilang jauh dari aman. Di tunggal putra, hanya Simon Santoso dan Taufik Hidayat yang masuk posisi 16 besar (peringkat ke-8 dan ke-10).
    Posisi tunggal putri jauh lebih memprihatinkan. Peringkat tertinggi ditempati Fransiska Ratnasari, di posisi ke-32. Sementara pemain pelatnas Lindaweni Fanetri, Adriyanti Firdasari, dan Aprilia Yuswandari masing-masing berada di peringkat ke-38, ke-40, dan ke-47.
    Di ganda putra, Indonesia berpeluang meloloskan dua pasangan. Namun, peringkat pemain masih belum nyaman dan butuh upaya keras untuk menaikkan peringkat di sisa waktu dan turnamen yang ada. Peringkat tertinggi dipegang Bona Septano/Muhammad Ahsan di urutan keenam. Berikutnya adalah Alvent/Hendra Gunawan di peringkat kesembilan. Juara Olimpiade 2008, Markis Kido/Hendra Setiawan, berada di posisi ke-10.
    Di ganda putri, hanya pasangan Greysia Polii/Meiliana Jauhari yang masuk posisi delapan besar. Pasangan lain, Vita Marissa/Nadya Melati, berada di peringkat ke-12, sedangkan Anneke Feinya/Nitya Krishinda di posisi ke-19. Posisi paling mantap cuma pemain ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang bertengger di empat besar. Secara realistis pasangan ini menjadi harapan terbaik untuk olimpiade mendatang.
    Meski baru dipasangkan, Tontowi/Liliyana sudah mendapat hasil lumayan bagus dengan menjadi juara di Super Series India dan di Singapura serta runner-up di Premier Super Series Indonesia Terbuka. Hal lain yang juga melegakan, pasangan ini cukup kompetitif untuk menghadapi pemain papan atas China, Korea, Taiwan, ataupun Denmark.
    Kalah Bersaing
    Bagaimana dengan pemain lain? Becermin dari hasil turnamen sepanjang tahun 2011, hampir semua pemain kita kalah bersaing dengan pemain negara lain di turnamen besar, seperti Super Series dan Premier Super Series. Taufik Hidayat dan Simon Santoso bahkan tak mampu menjuarai turnamen level Grand Prix Gold sekalipun.
    Di sektor ganda putra, pasangan Bona Septano/Muhammad Ahsan hanya mengoleksi satu gelar di GP Gold Indonesia Terbuka. Sementara Alvent/Hendra AG prestasi tertingginya menjadi runner-up di turnamen Singapura Terbuka. Markis Kido/Hendra Setiawan lebih apes. Hasil terbaik mereka cuma sampai babak semifinal Premier Super Series di Denmark.
    Hasil serupa terjadi di ganda putri. Pasangan Greysia Polii/Meiliana Jauhari mengalami paceklik gelar. Greysia bahkan mengalami cedera otot tangan yang memaksanya absen di beberapa turnamen, termasuk SEA Games.
    Lebih memprihatinkan lagi di sektor tunggal putri. Pemain-pemain kita bukan cuma tak mampu meraih gelar, melainkan juga tak mampu bersaing dengan pemain-pemain papan tengah.
    Kehadiran pelatih asal China, Li Mao, belum bisa mengangkat prestasi pemain-pemain tunggal. Li Mao, yang masuk pelatnas Cipayung sejak awal 2011, datang dengan membawa konsep yang sederhana, yakni perbaikan teknik dan strategi dalam pertandingan.
    Dengan mengesampingkan faktor stamina dan fisik, Li Mao begitu percaya diri dengan metodenya. Namun, faktanya pemain tunggal kita juga tetap tidak bisa banyak bicara di setiap turnamen. Teknik dan strategi permainan mereka tak berjalan sempurna karena stamina selalu kedodoran. Sayangnya, Li Mao juga terkesan tidak mengevaluasi masalah ini karena dia juga sangat jarang mendampingi pemain saat bertanding.
    Dengan sisa waktu lima bulan dan masih sekitar 32 turnamen yang bisa diikuti, sebenarnya peluang memenuhi kuota maksimal masih terbuka. Strateginya, PBSI harus memaksimalkan prestasi pemain di kelas kejuaraan yang memungkinkan perolehan poin setinggi mungkin.
    (GATOT WIDAKDO)