Blog
-
Warisan Profesor Sajogyo untuk Studi Agraria Indonesia
Warisan Profesor Sajogyountuk Studi Agraria IndonesiaEndriatmo Soetarto, GURU BESAR TETAP PADA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB, BOGOR; KETUA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL, YOGYAKARTASumber : KORAN TEMPO, 19 Desember 2011Penghargaan Habibie Award 2011 untuk Profesor Sajogyo untuk kategori ilmu sosial pada 10 November 2011 adalah satu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya pribadi sebagai salah seorang yang sangat beruntung mendapatkan kemewahan berinteraksi cukup intens dengan Profesor Sajogyo untuk waktu yang relatif panjang.Dalam hal ini, saya pernah berkiprah dalam beragam posisi akademis yang berbeda-beda di hadapan beliau. Dalam sudut pandang subyektif, tampak terlihat perguliran pemikiran Profesor Sajogyo yang datang dari waktu ke waktu, dari yang semula beraksen sosiologi pedesaan Indonesia yang empiris-kritis berlanjut menjadi sosiologi pedesaan Indonesia kritis-aplikatif bagi kebijakan dan praktek pembangunan pedesaan.Profesor Sajogyo dikenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia atau Bapak Ekonomi-Sosiologi Indonesia sebagaimana disebut oleh Profesor Mubyarto, yang bukan hanya meletakkan fondasi bagi tersedianya pengetahuan, alat-alat konseptual, dan pendekatan yang memadai untuk memahami perubahan agraria di pedesaan Indonesia, lebih dari itu, menunjukkan bagaimana sosiologi pedesaan Indonesia dapat memberi sumbangan konkret yang layak dan bisa dikerjakan oleh para praktisi pembangunan pedesaan. Beliau telah menunjukkan cara bagaimana kelangkaan pengetahuan tentang masalah-masalah agraria di Indonesia, khususnya mengenai kehidupan lapisan terlemah di pedesaan, dapat diisi dengan penelitian dan keterlibatan langsung secara partisipatif bersama mereka yang lemah itu, sekaligus mengembangkan kemampuan berdialog dengan segenap pihak yang memberi pengaruh bukan hanya pada kalangan akademisi, tapi juga para praktisi lapangan dan pemegang kebijakan pemerintahan. Dengan demikian, mudah dimengerti jika sosiologi pedesaan Sajogyo dapat diterima dengan baik dalam proses-proses kebijakan di sejumlah badan pemerintahan.Ilustrasi mengenai hal ini adalah andilnya kebijakan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Pada 1972, ia memimpin survei UPGK selama dua tahun dengan melibatkan peneliti-peneliti berbagai perguruan tinggi, bekerja sama dengan Departemen Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UNICEF. Hasil kajiannya antara lain disajikan menjadi panduan para kader program Taman Gizi, yakni kumpulan orang yang berorganisasi meningkatkan gizi anak balita dan keluarga. Perhatiannya ini mengantarkannya menjadi Ketua Pergizi Pangan Indonesia pada 1978, yang berafiliasi dengan International Union of Nutrition Science. Dari riset UPGK ini pulalah pada 1977 ia merumuskan pengukuran garis kemiskinan: Garis Kemiskinan Sajogyo. Sumbangsih ini berhasil mengatasi kemacetan metodologis dalam menilai dan mengukur kemiskinan, satu konsep penting dalam kajian ekonomi dan sosial. Pengukuran berdasarkan kecukupan pangan ini kemudian berkembang dan diadopsi sebagai kebijakan pemerintah dalam rumusan lain sebagai food basket atau yang sering dikenal sebagai paket kebutuhan dasar pangan empat sehat lima sempurna.Fokus dan tema gagasan Sajogyo selalu memperkaya dan mempertajam kerangka pembangunan yang diagendakan pemerintah serta berusaha mempengaruhi arah dan keberpihakannya. Namun tentu saja ia juga mengkritiknya dengan mengemukakan nasib golongan paling lemah di pedesaan. Di sinilah kita menyaksikan Profesor Sajogyo sangatlah peduli dan prihatin terhadap apa yang ditengarai oleh gurunya, Profesor W.F. Wertheim, sebagai sociology of ignorance dari kebanyakan akademisi Indonesia dalam memahami dan memposisikan lapis termiskin masyarakat pedesaan Indonesia,yaitu mereka yang tidak bertanah.Karya klasiknya pada 1973 berjudul Modernization without Development in RuralJava melakukan evaluasi-kritik terhadap Revolusi Hijau. Telaah yang diajukan untuk acara badan dunia FAO di Bangkok ini menunjukkan Revolusi Hijau—di sisi lain kesuksesan dari swasembada beras waktu itu—ternyata hanya menguntungkan petani golongan atas dan mempercepat proses hilangnya akses terhadap tanah para petani gurem dan jatuhnya kebanyakan mereka menjadi lapis termiskin di pedesaan: petani tak bertanah. Karya ini menjadi rujukan utama dalam kajian Green Revolution yang terjadi di berbagai benua.Selanjutnya, pada 1976, tatkala isu Reforma Agraria atau land reform masih dianggap tabu, Sajogyo secara halus tapi teguh mengusulkan kembali perlunya pemerintah memberikan akses permanen buruh tani di desa-desa pada tanah melalui program penyediaan tanah kolektif. Profesor Sajogyo menulis, “… (J)ika pemerintah punya kebijaksanaan berpandangan jauh, potensi golongan buruh tani (kepala keluarga) sebanyak itu di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya? Dengan land reform!”Pada 1980, Sajogyo memberi kontribusi gagasan yang disebut dengan Ekologi Pedesaan. Melalui buku ini, beliau hendak menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa untuk memahami pedesaan di Indonesia, selain keniscayaan keragaman sejarah, karakteristik, serta lapisan dan dimensi sosial ekonomi dan budayanya, diperlukan pemahaman relasional yang baik antara “bentang alam”dan “bentang sosial”sebagai potret utuh pedesaan di Indonesia itu sendiri. Kedua, bahwa segala bentuk usaha untuk tujuan pembangunan ekonomi pedesaan mesti bertumpu pada swadaya dan “tenaga dalam” yang ada di pedesaan. Artinya, dengan pemahaman semacam ini, Profesor Sajogyo ingin mengingatkan pentingnya memastikan keberlanjutan “siklus reproduksi” (sosial, ekonomi, dan budaya) di pedesaan.Di akhir karier akademisnya sebagai intelektual paripurna, Sajogyo menuliskan suatu refleksi perjalanan hidupnya Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek Berteori.Dengan merujuk pemikiran Robert Chambers, beliau menunjukkan jalan hidupnya “mendahulukan yang terbelakang”, yang menurut saya ini uraian paling jelas mengenai kiprah Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia tersebut. Lebih dari itu, ia melintasinya dengan menganjurkan metode kerja praksis intelektual untuk perubahan nasib “golongan paling lemah”di pedesaan, yakni mengedepankan hubungan dialektika yang tak pernah henti antara teori dan praktek atau praktek dan teori.Dalam perspektif bidang keilmuan yang ditekuninya, sosiologi pedesaan, Sajogyo mengajak para ilmuwan dan intelektual memiliki wawasan yang utuh dan komprehensif memahami masyarakat di Indonesia. Ungkapannya yang sangat populer, mewakili watak metodologis lain dari Profesor Sajogyo, adlah,“If you want to understand the economy of my country… study my culture and our political system. If you want to understand our culture and political system…study our economy.”Warisan intelektual Sajogyo adalah untukmasa depan studi agraria Indonesia. Untuk mendukung cita-citanya itu, pada 2005, para murid, pengagum, kolega, dan keluarganya berprakarsa mendirikan Sajogyo Institute, yang berkedudukan di kediamannya, Bogor. Profesor Sajogyo mewakafkan harta benda melalui lembaga ini. Ia tak henti-hentinya menjaga imajinasi dan selalu menyadarkan bahwa dunia agraris adalah pelahir Indonesia, penghidup bagi sekian juta penduduk, baik di desa maupun kota. Menyelamatkan Indonesia adalah membangun desa dengan segenap kedaulatan manusia dan alat-alat produksinya.Cita-cita Sajogyo ini berkesinambungan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini.Cita-cita itu adalah cita-cita besar kita semua, membangun Keindonesiaan yang Cerdas dan Merdeka: “slamatkan tanahnya, slamatkan puteranya, pulaunya, lautnya semuanya. Indonesia Raya, merdeka merdeka, hiduplah Indonesia Raya”. ● -
Setelah Investment Grade, Lalu?
Setelah Investment Grade, Lalu?Anggito Abimanyu, DOSEN DI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UGMSumber : REPUBLIKA, 19 Desember 2011Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings menaikkan peringkat Indonesia ke level investment grade. Meski dianggap agak sedikit terlambat, status ini akan membuat Indonesia setara dengan sejumlah negara-negara berkembang lainnya.Fitch adalah salah satu dari tiga lembaga pemeringkat utang dunia terkemuka setelah Standard and Poor’s dan Moody’s. Meskipun tidak memiliki reputasi dan kredibilitas sehebat dua yang lain, pemeringkatan utang oleh Fitch tetap dapat dipercaya. Biasanya setelah penilaian oleh Fitch diikuti dengan S&P dan Moody’s.
Lembaga pemeringkat melakukan penilaian suatu negara berdasarkan prestasi di bidang makroekonomi, seperti ketahanan perekonomian dalam menghadapi external shock, rasio utang dan kekuatan fiskal, dan stabilitas kebijakan makro serta sektor keuangan.
Fitch dalam keterangannya menjelaskan telah menaikkan Long-Term Foreign-and Local-Currency Issuer Default Ratings (IDR) Indonesia menjadi BBB- dari BB+ dengan outlook atas kedua peringkat tersebut stabil. Country Ceiling dinaikkan menjadi BBB dan Short-Term Foreign-Currency IDR dinaikkan menjadi to F3.
Peringkat investment grade masih ada 10 peringkat lagi sebelum menuju “prime grade” (triple A) dan saat ini Indonesia sudah menapak ke peringkat terbawah dari zona investasi atau disebut sebagai medium grade. Dalam zona ini, Indonesia dianggap bebas risiko berinvestasi, tetapi masih memiliki risiko pembalikan kondisi.
Makna Investment Grade
“Kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan resilient, rasio utang publik yang rendah dan terus menurun, likuiditas eksternal yang menguat, dan kerangka kebijakan makro yang hati-hati,” kata Philip McNicholas, director Group Fitch’s Asia-Pacific Sovereign Ratings dalam siaran persnya, Kamis (15/12).Lembaga pemeringkat ini pun tetap menyoroti sejumlah masalah struktural, seperti pendapatan per kapita dan rasio penerimaan pajak yang rendah, pasar keuangan domestik yang dangkal, serta permasalahan-permasalahan di bidang kualitas infrastruktur dan pemberantasan korupsi yang masih perlu diatasi. Sekalipun demikian, Fitch memandang permasalahan itu tidak menghalangi kenaikan peringkat Indonesia. Apabila masalah-masalah struktural tersebut dapat ditangani, niscaya kenaikan peringkat bisa langsung melaju dua tingkat.
Fitch pun memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata lebih dari 6,0 persen per tahun selama periode proyeksi sampai 2013 di tengah kondisi ekonomi global yang kurang kondusif. Proyeksi Fitch ini sekaligus mengingatkan bahwa sasaran pertumbuhan ekonomi 6,7 persen sangat tidak realistis.
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyambut baik lembaga pemeringkat Fitch Ratings yang menaikkan peringkat Indonesia dari BB+ menjadi BBB- dengan gambaran stabil. Ini menandakan keberhasilan Indonesia menjaga stabilitas ekonomi makro. “Upgrade membuktikan keberhasilan Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi makro sekaligus mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih tinggi di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global,” ujar Darmin dalam rilisnya, Kamis (15/12) malam.
Darmin pun berharap, dengan memasuki level investment grade ini, penguatan fundamental ekonomi dan reformasi struktural terus berlanjut. Sambutan positif juga datang dari pemerintah. “Kita sambut gembira di tengah situasi perekonomian global justru tak begitu optimistis di Eropa banyak yang downgrade dan masih banyak terancam. Tapi, Indonesia mengalami investment grade,” kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa berbangga.
Kenaikan peringkat Indonesia oleh Fitch Ratings ini menunjukkan tidak hanya kondisi makroekonomi Indonesia saja yang baik, tapi pengelolaan fiskal juga demikian. “Ini sangat menguntungkan kita dan berakibat terhadap yield (imbal hasil surat utang) akan turun. Biaya-biaya kita akan drop. Ini kita capai di 2011 dan ini hadiah akhir tahun kita,” jelas Hatta.
Kenaikan peringkat ini juga bakal menjadi penarik minat investor asing untuk menanamkan uangnya di Indonesia. Dan, pemerintah berharap proyek infrastruktur bakal bergerak deras karena investment grade ini serta penguatan fundamental ekonomi dan reformasi struktural terus berlanjut.
Memanfaatkan Momentum
Reformasi struktural yang diperlukan saat ini adalah pada sektor energi dan infrastuktur. Dua sektor ini berprestasi jauh di bawah harapan pada 2011. Pengelolaan energi yang meliputi investasi, produksi dan konsumsi, serta subsidi sumber daya energi sepanjang 2011 dapat dikatakan buruk. Target-target yang telah ditetapkan jauh melenceng. Investasi hilir dan listrik tidak tercapai, produksi atau lifting di bawah target, dan volume konsumsi BBM serta listrik membengkak.Peningkatan penggunaan energi terbarukan, seperti gas dan panas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, belum terealisasi. Sementara, masalah Newmont dan Freeport mencuat dan menjadi barometer kemunduran iklim investasi asing di Indonesia. Sektor ini menjadi prioritas utama perbaikan struktural.
Sementara itu, infrastruktur, jalan, bandara, dan pelabuhan benar-benar masih menjadi momok bagi republik ini. Karena infrastruktur yang buruk pula, biaya transportasi Indonesia tergolong paling mahal sejagat. Alhasil, itu memengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi di Indonesia. Pembangunan listrik oleh PLN dan kerja sama swasta juga banyak yang mengalami kemunduran.
Mundurnya penyelesaian proyek 10 ribu mw berbahan bakar batu bara mengakibatkan pembengkakan subsidi listrik tahun ini sebesar Rp 20 triliun. Sektor ini sama pentingnya.
Satu lagi yang harus dipikirkan adalah dengan status investment grade, akan membuat banjirnya arus modal masuk (capital inflow). Adalah menjadi tugas pemerintah dan Bank Indonesia agar investor asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam jangka panjang. Ini adalah kesempatan kedua yang dimiliki setelah arus dana deras masuk pada 2010 tidak dimanfaatkan untuk pendanaan investasi jangka panjang.
“Investment grade membawa beberapa implikasi, pertama, persepsi pasar yang walau bukan sesuatu yang tahan lama, pengaruhnya membawa persepsi baik kepada perekonomian. Implikasi kedua, itu kalau negara sudah investment grade, pemilik dana jangka panjang menjadi lebih terbuka untuk ke sini (menanamkan modal),” ungkap Gubernur BI Darmin Nasution, Jumat (15/12).
Di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS), pemilik dana jangka panjang yang mengelola banyak uang, seperti dana pensiun, merasa sulit untuk menempatkan dananya di negara-negara yang belum masuk peringkat investment grade. Dengan kita investment grade, terbuka kemungkinan mengelola dana jangka panjang untuk menempatkan dana. Sifat capital inflow berubah, dari yang tadinya banyak jangka pendek dan spekulatif menjadi jangka panjang.
Jika dana yang ditempatkan di pasar modal lebih bersifat jangka panjang, gejolak pasar finansial terhadap situasi krisis di pasar global pun relatif akan lebih tenang. Investment grade akan berpengaruh terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Investment grade dari suatu negara berpengaruh pada grade berbagai perusahaan. Perusahaan terbaik kita ikut terangkat. Ketika menerbitkan obligasi, misalnya, mereka dapat lebih murah (membayar yield obligasi). Pada dasarnya, itu bentuk benefit yang bisa kita harapkan. Selamat kepada kita semua, saatnya memanfaatkan dan jangan lengah.
● -
Demokrasi dan Kesejahteraan
Demokrasi dan KesejahteraanBestian Nainggolan, DIVISI LITBANG KOMPASSumber : KOMPAS, 19 Desember 2011Mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan tidak pernah putus dari beragam perdebatan. Persoalannya, apakah demokrasi memang menjadi faktor pemicu kesejahteraan masyarakat, ataukah sebaliknya justru kesejahteraanlah yang memampukan demokrasi berjalan dengan baik?Di luar pertanyaan itu sebenarnya terdapat pula beragam pertanyaan hipotetis lain yang tidak kurang menjadi perhatian. Misalnya, apakah benar demokrasi menjadi satu-satunya prasyarat bakal terciptanya kesejahteraan, ataupun sebaliknya kesejahteraan menjadi syarat penentu? Apabila memang kedua entitas tersebut berkaitan, apakah selinier itu hubungan yang terbentuk?Masih banyak lagi yang dapat diperdebatkan dari keduanya. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan ”mana yang lebih dahulu” di antara variabel demokrasi dan kesejahteraan belakangan ini menjadi semakin krusial dipersoalkan, terutama bagi negara-negara yang pada satu sisi kini berubah struktur politiknya, sementara di sisi lain negara tersebut tengah pula bergulat dalam pemakmuran masyarakatnya.Bagi Indonesia, pertanyaan semacam ini menjadi semakin relevan, terutama tatkala kedua persoalan itu dihadapkan pada realitas yang berkembang di masyarakat saat ini. Mencermati berbagai hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas sepanjang tahun ini, misalnya, terlihat benar adanya kecenderungan ketidakpuasan publik yang tinggi terhadap berbagai kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang mereka rasakan.Sebagian besar di antara mereka berpandangan bahwa reformasi politik yang 12 tahun terakhir mampu melembagakan demokrasi di negeri ini sayangnya dianggap belum juga mampu menjawab harapan mereka. Kinerja sejumlah institusi politik demokratik, baik partai politik, DPR, maupun pemerintahan, yang hadir selama kurun waktu tersebut, dinilai tidak memuaskan. Semakin mengecewakan tatkala kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan dari perubahan struktur politik tidak juga banyak dirasakan sebagaimana yang mereka harapkan.Bibit FrustrasiTidak heran dalam situasi semacam ini, bibit-bibit frustrasi sosial merekah. Terdapat kalangan yang memandang, ketika kesejahteraan yang diekspektasikan tidak juga kunjung dirasakan, jalan demokrasi yang sebelumnya telah dipilih diragukan manfaatnya. Bahkan, di antaranya tampak cukup fatal, adanya kerinduan mereka pada masa ”kegemilangan” Orde Baru. Terdapat pula sebagian kalangan lainnya yang mulai merasakan bahwa kesejahteraanlah yang sepatutnya terlebih dahulu dicapai. Dalam kondisi sejahtera, mewujudkan demokrasi tidak lagi menjadi masalah.Sebenarnya, potret hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan mulai dapat terbaca di negeri ini. Hasil pengujian kuantitatif terhadap kedua variabel tersebut menunjukkan adanya korelasi positif yang cukup signifikan.Artinya, keduanya dapat dipersandingkan dan saling terpaut satu sama lain. Dalam hal ini, semakin tinggi indeks demokrasi suatu wilayah, semakin tinggi pula indeks kesejahteraan ataupun kemakmurannya. Begitu pun sebaliknya, semakin tinggi indeks kesejahteraan suatu wilayah, kecenderungan indeks demokrasinya juga semakin tinggi.Selain itu, pola hubungan yang terbentuk menunjukkan pula kausalitas di antara keduanya. Yang tampak menonjol, kesejahteraan menjadi faktor determinan yang memungkinkan kualitas demokrasi yang terbentuk. Hanya, model kausalitas demikian tidak serta-merta menjadi suatu pijakan yang akurat lantaran terindikasi pula faktor-faktor lain yang seharusnya hadir dalam pembentukan kualitas demokrasi.Dalam kajian ini, indeks demokrasi yang dimaksud mengacu pada hasil rumusan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Setelah tidak kurang dari tiga tahun bereksperimen dalam peramuan indikator ini, tahun 2011 lembaga tersebut memublikasikan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Indeks ini dihasilkan dari berbagai indikator pengukuran aspek kebebasan sipil, pemenuhan hak-hak politik, dan kelembagaan politik pada 33 provinsi Indonesia. Hasilnya, skor nasional IDI mencapai 67,3.Dengan skor sebesar itu, tergolong tinggikah kualitas demokrasi di negeri ini? Masih serba relatif. Jika mengacu pada skor tertinggi indeks sebesar 100, yang kurang lebih menjadi acuan situasi demokrasi yang sempurna, perolehan nilai indeks nasional yang sebesar itu tergolong tidak buruk.Namun, skor sebesar itu tidak juga tersimpulkan tinggi. Sebenarnya, cukup banyak gugatan yang dapat dialamatkan kepada sistem pengukuran indeks demokrasi semacam ini. Akan tetapi, tidak dapat diingkari, sejauh ini indeks politik demikian yang paling layak digunakan dalam memenuhi kebutuhan analisis.Tiga dimensiBerbeda dengan IDI, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) menyarikan kinerja pembangunan suatu kawasan yang didasarkan pada tiga dimensi dasar. Ketiganya merupakan kapasitas dasar penduduk, yaitu berupa besar umur panjang dan kesehatan, pengetahuan, dan kehidupan masyarakat yang layak.Dalam perhitungannya, masing-masing dimensi tersebut diturunkan dalam berbagai indikator, seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, lama rata-rata sekolah, dan kemampuan daya beli. Berbagai indikator tersebut, sekalipun tidak sepenuhnya identik dengan segenap aspek kesejahteraan manusia, cukup memadai dijadikan rujukan.Berdasarkan pengukuran tahun 2009, skor IPM Indonesia sebesar 71,76. Dengan mengaitkan kedua indeks IDI dan IPM inilah, relasi antara demokrasi dan kesejahteraan terbentuk.Di sisi lain, berdasarkan pola hubungan yang terbentuk, dapat pula dipetakan antara demokrasi dan kesejahteraan pada setiap provinsi di negeri ini. Masih banyak celah gugatan memang. Namun, pengelompokan semacam ini sedikit banyak dapat menguak konfigurasi masing-masing provinsi dalam kehidupan demokrasi ataupun kesejahteraan masyarakatnya.Setidaknya terdapat tiga kelompok yang terbentuk. Pertama, kelompok dengan kedua indeks memiliki nilai yang sama-sama kuat di atas nilai indeks nasional. Dapat dikatakan, inilah kelompok yang terdiri atas provinsi-provinsi dengan indeks demokrasi yang relatif lebih tinggi dari indeks nasional. Demikian juga, kelompok ini memiliki nilai kesejahteraan yang lebih baik dari perolehan nasional.Tampaknya, bagaikan lahan yang subur, bibit demokrasi bertumbuh di wilayah ini. Atau sebaliknya, demokratisasi yang berjalan tampaknya mampu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakatnya. Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan beberapa provinsi lain ada dalam kelompok ini.Kedua, kelompok yang bertolak belakang dengan kelompok pertama. Pada kelompok ini, skor kedua indeks tergolong di bawah nilai skor nasional. Artinya, baik demokrasi maupun kesejahteraan masyarakatnya masih relatif kecil lantaran di bawah angka nasional.Bagaikan lahan yang tandus yang sulit tertanami, wilayah-wilayah demikian memiliki beban yang berat memperbaiki ketertinggalannya. Sejauh ini, pergulatan mereka dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat masih menjadi persoalan. Sementara di sisi lain, kebutuhan akan kebebasan sipil, hak-hak politik warga, ataupun berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi masih dipermasalahkan. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat, Kalimantan Selatan, dan beberapa provinsi lain masuk dalam kelompok ini.Ketiga, kelompok dengan masing-masing indeks yang berbeda kualitas perolehannya. Ada sekelompok provinsi yang memiliki indeks demokrasi melebihi indeks demokrasi nasional. Akan tetapi, skor IPM provinsi-provinsi tersebut masih berada di bawah skor nasional. Nusa Tenggara Timur, Banten, Kalimantan Barat, Lampung, di antaranya, menjadi contoh kelompok ini. Sebaliknya terdapat pula sekelompok provinsi yang memiliki IDI rendah, tetapi IPM masih di atas skor nasional. Beberapa provinsi di Sumatera, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Bangka Belitung, menjadi bagian dari kelompok.Pada kelompok inilah tampaknya pertaruhan demokrasi dan kesejahteraan terus berlangsung. Apakah geliat demokrasi yang terjadi memampukan peningkatan kesejahteraan warganya atau kondisi kesejahteraan mereka menjadi pendorong kehidupan yang lebih demokratis. Keduanya masih serba dilematis.Namun, lepas dari angka-angka itu, menjadi tugas negaralah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. ● -
Musim Semi di Arab, Musim Dingin di Israel
Musim Semi di Arab, Musim Dingin di IsraelUlil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)Sumber : JIL, 19 Desember 2011“Saat ini, sikap skeptis-konservatif dalam melihat fenomena demokratisasi di Timteng tampaknya sudah ditinggalkan oleh banyak pemerintahan di Barat. Dalam pandangan mereka, demokratisasi di Timteng untuk sesaat memang akan memfasilitasi serta menguntungkan partai-partai Islamis. Tetapi, arena demokrasi yang bebas, pada gilirannya, akan memaksa partai-partai itu bersikap pragmatis dan realistis, seperti ditunjukkan oleh, misalnya, partai AKP di Turki. Mengutip pendapat Dubes Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, dalam sebuah percakapan pribadi, pengalaman berkuasa dan menyelesaikan masalah-masalah kongkrit justru akan memaksa partai-partai Islamis meninggalkan retorika mereka yang radikal dan ekstrem.”Ada dua mazhab dalam melihat perubahan radikal di Timur Tengah saat ini – perubahan yang oleh pengamat dan media Barat disebut Musim Semi Arab (Arab Spring; al-Rabi’ al-‘Arabi). Yang pertama adalah mazhab optimis-liberal; yang kedua mazhab pesimis-konservatif. Mazhab pertama melihat perubahan-perubahan di Timteng saat ini sebagai kabar baik yang akan mengubah kawasan itu menjadi lebih demokratis di masa-masa mendatang, dan karena itu harus didukung.Kekuatan sipil yang demokratis dan liberal justru akan diuntungkan oleh perubahan tersebut. Kekuatan ini, dalam waktu yang sangat panjang, dihambat dan dimatikan oleh rejim-rejim otoriter di kawasan itu, begitu rupa sehingga akhirnya hanya ada satu kekuatan yang mampu membangun oposisi terhadap pemerintah yang otoriter di sana – yakni kekuatan oposisi yang memakai bahasa agama (religious opposition). Biasanya, mereka menjadikan masjid sebagai basis kekuatannya. Sementara kekuatan oposisi sekular sama sekali tak diberi kesempatan. Dengan tumbangnya rejim-rejim otoriter di Timteng sekarang, diharapkan kekuatan-kekuatan oposisi sekuler akan tumbuh dan berkembang guna mengimbangi kekuatan Islamis. Inilah tafsiran kubu optimis-liberal.Mazhab kedua (yakni mazhab pesimis-konservatif) memandang perubahan itu sebagai pintu gerbang dari mana Islamisme akan masuk dan menguasai negeri-negeri Arab. Menurut mazhab ini, runtuhnya rezim-rezim otoriter di Timteng akan membuka lebar kesempatan bagi kelompok Islamis-fundamentalis untuk naik ke permukaan dan memenangkan pemilu. Mazhab kedua ini mencoba menjustifikasi dirinya dengan menunjuk kepada kemenangan sejumlah partai Islamis di beberapa negara di kawasan itu: al-Nahdah di Tunisia, Partai Pembangunan dan Keadilan di Maroko, dan Partai Kebebasan dan Keadilan di Mesir.Di Barat, ada dua sosok yang mewakili kedua mazhab tersebut. Mazhab optimis-liberal disuarakan kolumnis koran The New York Times, Thomas L. Friedman (biasa dipanggil Tom, dan seorang keturunan Yahudi). Sementara itu mazhab pesimis-konservatif disuarakan oleh kaum Republikan-konservatif di AS dan diikuti oleh Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu.Dalam kolomnya yang disiarkan baru-baru ini di koran NYT (29/11/2011) , Tom Friedman melancarkan kritik keras terhadap sikap PM Netanyahu yang melihat dengan skeptis, bahkan sinis, perubahan-perubahan yang terjadi di Timteng saat ini. Netanyahu, dalam pidatonya di Knesset (parlemen Israel) pada 9/11/2011 yang lalu, antara lain, mengatakan bahwa “revolusi Arab” hanya akan membawa kawasan itu mundur ke belakang. Dengan revolusi itu, negeri-negeri Arab justru akan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan Islamis yang anti-Barat, anti-liberal, anti-Israel dan tidak demokratis.Netanyahu juga mengkritik sikap pemerintah Obama yang ia anggap mendukung gerakan sipil di Medan Tahrir (Tahrir Square, simbol perlawanan terhadap otoritarianisme Hosni Mobarak) di Kairo, Mesir. Mestinya, demikian menurut Netanyahu, pemerintah Obama harus membela rejim otoriter Mubarak agar tidak lengser. Sebab rejim inilah yang selama ini bisa diandalkan sebagai sahabat Israel. “Demokratisasi” Arab justru akan melambungkan kekuatan-kekuatan Islamis ke kursi kekuasaan dan sudah bisa dipastikan akan mempunyai sikap bermusuhan dengan Israel.Tom Friedman mengkritik pandangan Netanyahu ini. Menurut dia, pandangan “hawkish” ala Netanyahu dan kaum konservatif di Amerika itu justru akan menghalangi proses perdamaian yang langgeng di Timteng. Menurutnya, sikap keras-kepala Netanyahu ini akan menghambat terlaksananya solusi dua-negara (two states solution) yang selama ini dipandang sebagai satu-satunya opsi paling masuk akal untuk menyelesaikan masalah Palestina-Israel.Menurut Tom Friedman, sikap terbaik yang harus diambil oleh pemerintah Israel adalah persis seperti yang ditempuh Presiden Obama sekarang: berdiri bersama serta mendukung gerakan reformasi yang menghendaki demokratisasi di Timteng, bukan malah membenci serta menjauhi mereka. Negeri-negeri Timteng yang kian demokratis justru akan menguntungkan Israel. Bercokolnya rejim-rejim otoriter di sana, di atas permukaan, memang tampak seolah-olah menguntungkan Israel, sebab mereka selama ini bersahabat dengan negeri Yahudi itu. Tetapi, membiarkan rejim-rejim seperti itu bercokol terus di Timteng justru akan menyuburkan kekuatan-kekuatan Islamis yang anti-Israel. Otoritarianisme, tidak seperti disangkakan oleh Netanyahu, akan menguntungkan kelompok Islamis-radikal dan fundamentalis.Ringkasnya, menurut Tom Friedman, pemerintah Israel harus merangkul, bukan menjauhi, kekuatan-kekuatan reformis yang hendak menjadikan Timteng lebih demokratis.Dalam kolomnya yang lain (NYT, 13/12/2011), Tom Friedman mengkritik sikap “pro-Israel-kebablasan” yang diperlihatkan oleh para politisi Partai Republik yang saat ini sedang bertarung untuk memperebutkan tiket calon presiden dari GOP (Grand Old Party, julukan populer untuk Partai Republik) pada pemilu presiden 2012 mendatang. Baru-baru ini, Newt Gingrich, salah satu kandidat presiden dari Partai Republik, mengatakan bahwa bangsa Palestina adalah ciptaan belakangan. Mereka bukanlah bangsa yang secara historis ada sejak dahulu kala. Karena itu, menurut dia, mereka tak layak mendapatkan sebuah negara tersendiri.Kandidat lain, Mitt Romney, mantan gubernur negara bagian Massachusetts, mengatakan bahwa pemerintah Amerika tak seharusnya memainkan peran terdepan untuk mendorong proses perdamaian antara Israel dan Palestina. Menurutnya, proses semacam itu hanya akan memojokkan posisi Israel saja. Pemerintah AS, menurut Romney, harus melakukan apa saja yang dianggap baik oleh pemerintah Israel. Dengan kata lain, pemerintah AS seharusnya membebek saja pada segala kemauan negara Yahudi itu, tanpa sikap cadangan (reserve) apapun.Tentu saja, sikap pro-Israel-kebablasan semacam ini dikemukakan oleh Gingrich dan Romney sebagai taktik untuk memenangkan sokongan dari komunitas dan lobby Yahudi di AS—dua blok kekuatan yang memang memainkan peranan penting dalam politik domestik di Amerika selama ini. Sudah menjadi rahasia umum, dalam setiap pemilu presiden di AS, hampir semua kandidat berlomba-lomba untuk menarik simpati Israel dan komunitas Yahudi di sana – sebut saja semacam perlombaan “Israelier than thou politics”. Di kalangan Partai Republik, perlombaan ini berlangsung lebih vulgar dan “norak”.Sikap pesimis-konservatif yang dianut kalangan Republikan di AS dan PM Israel Netanyahu ini sebetulnya bukanlah sikap yang dominan. Sebagian besar masyarakat dan media Barat justru menyambut dengan baik dan antusias perubahan-perubahan di Timteng saat ini. Sikap inilah yang juga diadopsi oleh Pemerintah Obama. Meskipun pada awalnya ragu-ragu, pada akhirnya Pemerintah Obama memberikan sokongan penuh kepada gerakan pro-reformasi yang menghendaki lengsernya penguasa-penguasa otoriter di kawasan itu. Ini jelas kontras dengan keadaan pada dekade 90an. Pada 1991, kita ingat, kemenangan FIS, partai Islamis di Aljazair, digagalkan oleh kubu militer di negeri itu, dengan alasan bahwa kemenangan FIS akan mengubah corak negeri itu menjadi lebih “Islamis” dan anti-sekularisme. Intervensi itu didukung oleh negeri-negeri Barat, terutama Perancis. Kita tahu, saat itu, pandangan yang umum diikuti oleh pemerintah Barat adalah: Jangan biarkan kelompok Islamis memenangkan kursi kekuasaan, sebab kemenangan mereka, lewat jalur demokrasi, akan mematikan demokrasi sendiri. Kalangan Islamis, demikian pandangan mereka, menempuh jalur demokrasi hanya untuk kebutuhan sesaat saja. Setelah menang, partai-partai itu akan menghentikan demokrasi. Istilah yang populer saat itu: One man, one vote, one time.Saat ini, sikap skeptis semacam itu tampaknya sudah ditinggalkan oleh banyak pemerintahan di Barat. Dalam pandangan mereka, demokratisasi di Timteng untuk sesaat memang akan memfasilitasi serta menguntungkan partai-partai Islamis. Tetapi, arena demokrasi yang bebas, pada gilirannya, akan memaksa partai-partai itu bersikap pragmatis dan realistis, seperti ditunjukkan oleh, misalnya, partai AKP di Turki. Mengutip pendapat Dubes Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, dalam sebuah percakapan pribadi, pengalaman berkuasa dan menyelesaikan masalah-masalah kongkrit justru akan memaksa partai-partai Islamis meninggalkan retorika mereka yang radikal dan ekstrem.Dengan kata lain, angin Musim Semi Arab bukan saja bertiup di dunia Arab sendiri, tetapi juga melebar menerpa negeri-negeri Barat. Perubahan sikap pemerintah Barat ini, meskipun tidaklah segala-galanya, jelas penting untuk menjaga momentum demokratisasi di kawasan Arab. Akan lain keadaannya manakala negeri-negeri Barat, misalnya, masih kekeuh berpegang pada cara pandang konservatif ala Netanyahu yang menyokong otoritarianisme dan mencurigai segala bentuk relaksasi politik di sana.Dunia Arab berubah. Tetapi dunia Barat juga berubah. Tampaknya yang keras kepala menolak perubahan saat ini adalah Israel di bawah kepemimpinan PM Netanyahu. Jika Israel bersikap “hawkish” terus-terusan semacam ini, jelas dia akan kian terisolasi dan ditinggalkan oleh “kereta” sejarah yang melaju cepat. ● -
Mengapa Indonesia Tahan Krisis?
Mengapa Indonesia Tahan Krisis?A Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PSEKP) UGM;
KOMISARIS INDEPENDEN BANK PERMATASumber : SINDO, 19 Desember 2011Krisis ekonomi global benar-benar akan datang pada 2012. Kita semua sudah tahu hal itu, dan mustahil menghindarinya. Yang belum diketahui, seberapa besar krisis tersebut akan menyebabkan kerusakan perekonomian Indonesia?
Transmisi krisis ekonomi global ke Indonesia terutama terjadi melalui transaksi perdagangan internasional dan aliran modal.Ekspor kita cenderung melemah,karena pasar potensial seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa sedang “sakit”.Negara-negara pasar kita yang lain, meski sakitnya tidak separah kedua kawasan itu,juga kemungkinan besar akan sedikit menurunkan permintaannya terhadap produk-produk ekspor kita. Mereka adalah Jepang, China dan Asia Tenggara.Namun Indonesia beruntung. Kontribusi ekspor kita terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kini sekitar Rp7.000 triliun, tidaklah besar. Ekspor neto atau neraca perdagangan (selisih antara ekspor terhadap impor) dalam dua tahun terakhir sekitar USD20 miliar,atau ekuivalen 3% PDB. Ini persentase yang relatif kecil,sementara penyumbang terbesar PDB adalah konsumsi rumah tangga sebesar 60%. Sisanya disumbang oleh investasi (30%) dan belanja pemerintah (7%).
Struktur ini mirip dengan yang terjadi di AS,yang penduduknya sekitar 310 juta orang.Dengan kata lain,perekonomian yang memiliki pasar domestik kuat akan bisa bertahan dengan mengandalkan potensi lokal. Inilah alasan terbesar perekonomian Indonesia mampu tumbuh 4,5% saat terjadi krisis subprime mortgage di AS pada 2009. Sementara itu,negara yang ketergantungan ekonominya terhadap ekspor,terutama produk manufaktur,sangat terkena krisis.
Contoh terbaik adalah Singapura. Saat krisis memuncak pada semester I- 2009, perekonomian Singapura bahkan mengalami kontraksi hingga di atas 10%. Kejadian ini tampaknya bakal terulang pada 2012. Meski demikian,saya masih optimistis,situasi 2012 lebih baik daripada 2009.Artinya, perekonomian Singapura kendati bakal melemah, rasanya tidak bakal mengalaminya sedramatis 2009.
Pertumbuhan ekonomi memang akan melambat,tapi tidak akan sampai minus 13%. Lebih masuk akal jika Singapura bakal tetap tumbuh positif namun landai, misal pertumbuhan di bawah 3%. Kalaupun pertumbuhan negatif,katakanlah hanya minus 1 atau 2% saja. Mengapa? Pertama, timbulnya kesadaran bersama, bahwa terlalu riskan membiarkan Yunani dan Italia bangkrut, karena efek dominonya terlalu besar.Kebangkrutan mereka dipandang sebagai too big to fail.
Karena itu, banyak negara maju dan sebagian emerging markets terkemuka yang akan membantu menolong. Caranya adalah membeli obligasi negara-negara tersebut untuk menopang stabilitas. Pemerintah AS juga akan menempuh segala cara agar negaranya tidak bangkrut. Kedua, meski harga komoditas primer (pertambangan dan perkebunan) tetap tinggi, namun level harga kali ini belum setinggi saat krisis 2008-2009. Bahkan masih terbuka kemungkinan harga-harga tersebut akan tertekan turun, seiring dengan pelemahan permintaan akibat krisis. Ini akan membantu upaya pemulihan.
Karena itu, krisis memang akan memberi dampak negatif terhadap seluruh dunia, namun daya rusaknya belum sebesar krisis 2009. Perekonomian dunia masih tetap akan tumbuh, namun dengan level landai. Tidak seperti 2009, negara-negara emerging markets Asia masih akan mencapai pertumbuhan ekonomi positif, namun melemah. Pertahanan penting perekonomian Indonesia adalah sektor finansial.
Pada akhir 2011, pasar finansial memang cenderung panik karena aroma ketidakpastian penyelesaian krisis zona euro. Namun pada jangka menengah ke depan, saya yakin investor akan tetap memandang Indonesia sebagai negara penting untuk menerima investasi portofolio, sebagaimana China dan India. Krisis ekonomi tahun 2012 nanti tetap akan menyisakan China, India dan Indonesia sebagai tiga negara dengan kinerja pertumbuhan ekonomi tertinggi.
China tetap mampu tumbuh 9%; India 7 atau 7,5%; dan Indonesia antara 6 hingga 6,3%. Jadi, tidak ada alasan bagi investor untuk meninggalkan Indonesia. Kalaupun sekarang terjadi kepanikan, itu bersifat sementara. Yang membuat kita tetap optimistis adalah kondisi industri perbankan. Pada saat krisis 1998, industri ini merupakan “pintu masuk” terjadinya krisis yang kemudian menjalar ke mana-mana.
Kini industri perbankan jauh lebih sound. Aspek terpentingnya adalah posisi modal. Kini rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) adalah 16,7%, atau jauh melebihi persyaratan minimal 8%. Sedangkan kemampuan mengelola risiko tercermin pada non-performing loan(NPL) yang kini 3%, atau jauh di bawah batas aman 5%. Secara kualitatif, industri perbankan juga terus mendorong tata kelola (governance).Ini semua bermuara pada profil industri perbankan yang lebih tahan guncangan.
Namun itu semua belum cukup untuk menghadapi krisis 2012. Pemerintah harus lebih tangkas mengendalikan sisi fiskal. Jangan biarkan pembangunan infrastruktur berjalan lambat atau bahkan jalan di tempat, dan terjebak pada wacana “menunggu investor swasta yang tak kunjung datang”. Pemerintah harus berani “pasang badan” membiayai proyek infrastruktur. Belanja pemerintah yang sangat tidak disiplin,sehingga menyisakan begitu banyak anggaran tak terserap, tidak boleh terjadi lagi pada 2012.
Problem birokrasi dan kepemimpinan yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi bottleneck, harus diurai. Saya selalu ingat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak awal selalu mendengungkan istilah yang indah, yakni perlunya debottlenecking. Namun sayang, itu cuma sebatas wacana. Semoga tahun 2012 memberi semangat baru, agar istilah tersebut benar-benar diimplementasikan. Jika semua itu dilakukan, saya yakin perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh antara 6,0-6,3% pada 2012. Tetaplah optimistis, dan tetaplah bekerja keras untuk mencapainya.
● -
Belanja Pangkal Kaya?
Belanja Pangkal Kaya?Muhammad Chatib Basri, Pendiri CReco Research Institute dan Dosen Fakultas Ekonomi UISumber : KOMPAS, 19 Desember 2011Ingat pepatah kuno: hemat pangkal kaya? Tak banyak yang menyadari, pepatah ini adalah salah satu sumber perdebatan antara Keynes dan neo-classical economics. Keynes punya preposisi menarik: jika semua orang menabung dalam masa resesi, konsumsi akan turun. Akibatnya, permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi menurun. Keynes seperti mengatakan: belanjalah pada saat resesi!Inilah paradox of thrift. Belanja pangkal kaya? Pertanyaan ini penting saat kita membahas ekonomi Indonesia yang bersinar karena munculnya kelas konsumen baru. Tak dapat dimungkiri, kinerja perekonomian Indonesia terus meningkat.Kemampuan menjaga stabilitas makroekonomi dan kesinambungan fiskal selama 10 tahun terakhir berbuah kembalinya Indonesia ke dalam investment grade. Prestasi yang luar biasa. Tak hanya itu, pengesahan RUU Pembebasan Lahan sedikit banyak akan membantu menyelesaikan masalah infrastruktur. Syaratnya: selesaikan peraturan pemerintahnya segera!Pendeknya, ekonomi Indonesia punya potensi luar biasa. Studi Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa individu yang pengeluaran per kapitanya lebih dari 4 dollar AS (sekitar Rp 36.000) per hari meningkat dari 5,7 persen (2003) menjadi 18,2 persen (2010) atau ada tambahan 30 juta orang. Tambahan ini hampir sama besar dengan populasi Singapura dan Malaysia digabung sekaligus!Apa implikasinya? Chennery dan Syrquin (1975) membenarkan hukum Engle: elastisitas pendapatan terhadap permintaan nonmakanan lebih besar dari 1. Kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1 persen akan meningkatkan permintaan konsumsi nonmakanan lebih dari 1 persen.Mengapa? Sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita, konsumsi akan bergeser dari ”kebutuhan” (seperti makanan) ke ”keinginan”. Ini yang menjelaskan mengapa penjualan mobil, sepeda motor, telepon seluler, dan rumah naik tajam. Ada hal yang penting lagi: elastisitas pendapatan untuk sektor jasa amat tinggi. Kenaikan pendapatan per kapita akan meningkatkan permintaan terhadap jasa jauh lebih cepat dibandingkan dengan sektor manufaktur.Jangan heran jika permintaan terhadap jasa pendidikan, kesehatan, rekreasi (leisure), dan industri kreatif akan luar biasa pada masa depan. Ekonom Sjamsu Rahardja mengingatkan saya bahwa semakin modern proses industri manufaktur, semakin tinggi kebutuhan akan sektor jasa yang andal (manajemen, procurement, logistik, dan sebagainya). Jasa adalah sektor masa depan.Ironisnya: di sini kita amat terbelakang. Lebih ironis lagi, Singapura begitu cepat membaca ini. Lihat saja: permintaan jasa dari Indonesia ke Singapura untuk kesehatan, rekreasi, dan pendidikan terus mengalir. Jika kita tak berubah, pasar domestik ini akan dibanjiri impor. Atau untuk memenuhi kebutuhan jasa, kelas konsumen baru Indonesia akan pergi ke luar negeri.Lalu dengan semangat berapi-api dan kecurigaan yang tinggi kita berteriak, ”Awas asing!” Saya ingin kita berhati-hati di sini. Proporsi impor konsumsi dalam total impor kita sebenarnya kurang dari 8 persen. Sebagian besar impor kita adalah bahan baku dan barang modal.Data statistik Indonesia menunjukkan impor turun tajam justru pada saat krisis karena investasi turun. Artinya, impor kita erat sekali kaitannya dengan investasi. Pembatasan impor justru akan memukul investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.Selain itu, hati-hati dengan seleksi dalam pemberian proteksi. Government is very bad in picking winner, but losers are very good in picking government. Proteksi dan kuota impor amat rawan ekonomi rente, baik untuk kepentingan pengusaha yang dekat dengan kekuasaan maupun yang ada hubungannya dengan partai politik. Lalu haruskah kita biarkan ekonomi kita tanpa proteksi? Saya kira tidak. Pemerintah dapat memberikan bantuan melalui kebijakan industrial.Jika sektor manufaktur dan jasa adalah sektor masa depan, kualitas sumber daya manusia dan kebutuhan inovasi amat penting. Jika pemerintah ingin membantu usaha domestik, berikan insentif kepada aktivitas dan bukan kepada sektor—seperti argumen ekonom Dani Rodrik dari Harvard University. Contoh, berikan potongan pajak untuk aktivitas pengembangan sumber daya manusia dan aktivitas penelitian dan pengembangan.Berikan insentif untuk adopsi teknologi dari luar untuk ”produk baru” atau kebutuhan domestik. ”Produk baru” bisa berarti produk lama yang melalui inovasi bisa diproduksi Indonesia dengan lebih efisien. Yang perlu diingat: insentif harus ada batas waktu. Dalam sekian tahun harus menghasilkan. Jika tidak, hentikan.Dalam kaitan penelitian dan pengembangan ini, saya justru melihat bahwa Indonesia harus membuka diri. Tanpa menjadi bagian dari jaring produksi, alih teknologi akan sulit terjadi. Indonesia bisa terperangkap dalam middle income trap. Ini tak boleh terjadi.Oleh karena itu, dalam jangka panjang, kita tak bisa hidup dengan pepatah ”belanja pangkal kaya”. Krisis di Eropa dan AS mengajarkan bahaya ”besar pasak daripada tiang”. Di sini argumen neo-classic tentang pentingnya tabungan menjadi benar.Tabungan berlimpah akan membuat biaya investasi turun, yang pada gilirannya akan mendorong investasi.Tampaknya kita memang masih perlu bekerja keras sebelum bersenang-senang. Oleh karena itu, pepatah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian mungkin masih relevan. ● -
Sentimen Penembakan Pesawat AS
Sentimen Penembakan Pesawat ASAndi Purnomo, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL,DEKAN FISIP UNIVERSITAS WAHID HASYIM (UNWAHAS) SEMARANGSumber : SUARA MERDEKA, 19 Desember 2011”Amerika tidak mau kecolongan Iran menjadi kekuatan militer dominan di Timur Tengah sehingga berupaya keras memata-matainya”PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Barack Obama secara terbuka meminta Iran mengembalikan pesawat mata-mata tanpa awak RQ 170 Sentinel yang ditembak jatuh Teheran awal Desember ini. Namun Iran sendiri tegas menolak permintaan Washington tersebut. Apa makna peristiwa ini bagi kedua negara di tengah hubungan yang terus memanas?Penembakan pesawat RQ 170 yang memasuki 250 kilometer wilayah Iran menjadi front baru konflik kedua negara. Peristiwa ini terjadi di tengah hubungan bilateral yang memburuk terutama terkait penjatuhan sanksi terbaru terhadap Iran dan perusahaannya terkait tuduhan program nuklirnya. Medan baru konflik ini tak terelakkan tidak hanya karena akibat latennya pertentangan kedua negara, tetapi juga karena secara hakiki kekuatan militer, termasuk pesawat siluman, memiliki empat fungsi vital.Pertama; kekuatan militer memerankan fungsi citra kekuatan sehingga memunculkan pengakuan dan rasa segan pihak lain. Selama ini AS sangat mengagungkan keunggulan teknologi militernya sebagai bukti posisinya sebagai hyperpower dunia. Ia menggelarnya dalam berbagai pameran persenjataan termasuk memamerkannya secara demonstratif dalam berbagai perang seperti Badai Gurun 1991 yang mengusir Irak dari Kuwait, konflik Balkan 1990-an, serangan ke Afghanistan sejak 2001, perang ke Irak sejak 2003, dan serangan ke Libia.Kedua; militer memiliki fungsi penangkalan sehingga pemilik persenjataan secara otomatis memiliki perisai efektif dari ambisi ofensif pihak lain. Berbagai pernyataan verbal ataupun gelar kekuatan AS secara nyata di Teluk Persia adalah juga aksi unjuk gigi agar Iran tidak ceroboh untuk menentang kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah. Di sisi lain Iran tidak kalah garang dengan terus memublikasikan capaian berbagai teknologi persenjataannya, baik rudal jelajah, antipesawat, maupun lainnya. Ini tentu agar AS tidak menganggap remeh kekuatan Iran.Iran secara tegas juga membuat pernyataan bahwa persenjataannya siap meladeni AS, Israel, atau sekutunya. Ketiga; fungsi kekuatan militer sebagai kekuatan menyerang. Militer sebagai bagian dari hard power sangat berguna sebagai alat pemaksa pencapaian kepentingan. Dalam konteks ini, AS sedang memaksa mengorek informasi sebanyak-banyaknya dari Iran. Menurut pejabat AS, pesawat Sentinel RQ-170 yang dirancang untuk menghindari radar untuk penerbangan pengintaian itu sedang dalam misi CIA.Mempelajari TeknologiAmerika tampaknya tidak mau kecolongan Iran menjadi kekuatan militer dominan Timur Tengah sehingga berupaya keras memata-matainya. Apalagi sejak Revolusi Islam 1969, Iran berada di luar orbit pengaruhnya dan menjadi axis of evil (poros setan) menurut George Bush yang sangat dikhawatirkan AS. Keempat; fungsi kekuatan militer sebagai pertahanan. Dalam pola interaksi internasional yang konfliktual maka keselamatan negara sangat ditentukan oleh kemampuan mempertahankan diri secara mandiri.Dalam konteks ini maka membangun kemampuan militer menjadi keniscayaan semua negara. Alih- alih meminta maaf permintaan pengembalian pesawat siluman oleh Obama adalah naif. Selain malu tercoreng citranya, AS tampaknya khawatir Iran meniru dan mengeksploitasi teknologi canggih pesawat. Di sisi lain, Iran justru mengampanyekan kutukan dan sanksi bagi Amerika atas pelanggaran wilayah kedaulatannya secara tidak sah.Iran bahkan berencana menggugat AS dan salah satu pejabat keamanan nasionalnya menyebut peristiwa ini sebagai upaya invasi. Dalam pandangan realisme politik internasional, keamanan nasional termasuk penjagaan wilayah memang menjadi sisi paling sensitif dari kepentingan nasional yang pasti akan selalu diupayakan negara.Dunia menanti perkembangan kasus ini, namun tampaknya mustahil Ahmadinejad akan tunduk dan mau menerima permintaan Obama. Iran justru bergeming dan Menteri Pertahanan Ahmad Vahidi, tegas menyebut pesawat itu sebagai propertinya. China malah telah menyatakan keinginannya mempelajari pesawat itu.Iran juga telah berkomunikasi dengan Rusia, dan hal itu tidak hanya menguatkan aliansi strategis mereka tetapi juga menunjukkan penentangan, kalau tidak mau menyebutnya pelecehan terhadap dominasi dan juga arogansi Amerika. Ini juga menegaskan penentangan nyata yang terus ditunjukkan rezim Ahmadinejad sehingga ia sering disebut Soekarno Kecil. ● -
Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati, Jangan Hanya Slogan
Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati,Jangan Hanya SloganAri Fahrial Syam, DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FKUI-RSCM PB PAPDISumber : SINDO, 19 Desember 2011Akhir tahun 2011 kita dikejutkan dengan berbagai wabah penyakit infeksi antara lain penyakit difteri, penyakit hepatitis A dan laporan bahwa kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan kasus tercepat di negara-negara Asia Tenggara.
Jelas hal ini cukup merisaukan kita semua karena penyakit-penyakit ini adalah penyakit yang bisa dicegah. Difteri dapat dicegah dengan imunisasi, hepatitis A dapat dicegah dengan budaya hidup bersih, sedangkan penyebaran penyakit HIV/AIDS dapat dicegah dengan tidak berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan jarum suntik.Selain itu kasus bencana alam terjadi di berbagai daerah di Indonesia berupa tanah longsor, banjir dan juga gunung meletus.Bencana alam akan membuat para penduduk yang terkena dampak langsung dari bencana ini akan bertambah miskin dan menderita.Belum lagi laporan selalu adanya kasus demam berdarah dan malaria yang terjadi sepanjang tahun.
Demam berdarah dengue (DHF) masih menjadi endemis dan kasusnya selalu ditemukan sepanjang tahun terutama di kota-kota besar. Sampai saat ini untuk penanganan kasus TBC dan HIV/AIDS kita masih belum optimal mengingat kasus yang ditemukan di tengah masyarakat makin hari makin banyak. Indonesia masih menjadi penyumbang terbesar kasus TBC dunia.
Hepatitis A, difteri, TBC paru, HIV AIDS, dengue, malaria dan kasus-kasus lain merupakan kasus penyakit menular (communicable disease). Di sisi lain, kasus penyakit tidak menular kita juga tinggi. Penyakit jantung koroner masih menjadi pembunuh utama di negara kita.Rokok tampaknya juga tidak terkendali di bumi yang tercinta ini. Data riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan tahun 2010 menunjukkan,lebih dari 30% masyarakat kita merokok.
Rokok menjadi penyebab utama terjadinya penyakit tidak menular ini. Karena itu kita akan seolah-olah terkaget-kaget dengan meninggalnya beberapa selebriti dan tokoh nasional yang meninggal mendadak dan berhubungan dengan serangan jantung atau mengalami stroke. Penyakit tidak menular jelas berhubungan dengan gaya hidup dari masyarakat kita yang berubah sehingga penyakit degeneratif lebih banyak ditemukan pada usia yang lebih muda.
Peningkatan penyakit degeneratif ini berhubungan dengan gaya hidup masyarakat perkotaan yang cenderung mengonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang melakukan aktivitas olahraga. Jika melihat permasalahan kesehatan yang muncul di permukaan sepanjang tahun 2011 dapat disimpulkan bahwa permasalahan kesehatan yang timbul didominasi penyakit-penyakit menular dan penyakit-penyakit tidak menular.
Peran Pemerintah
Melihat kondisi kesehatan masyarakat kita saat ini memang komitmen pemerintah harus tinggi. Pemerintahan harus fokus memperbaiki keterpurukan yang terjadi saat ini.Apalagi badan dunia telah menargetkan pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s) untuk waktu yang tidak terlalu lama. Masyarakat jangan dijejali pemahaman dengan Konsep pengobatan gratis yang menjadi tren di daerah-daerah.
Para penguasa di daerah di saat masa kampanye seharusnya bukan menyampaikan pengobatan gratis,tapi menyampaikan program kerja yang akan membuat masyarakat bisa hidup sehat dan tidak sakit. Untuk mengatasi masalah kesehatan ini komitmen pemerintah harus tinggi dan harus menjadikan penanganan masalah kesehatan sejajar dengan masalah lain seperti masalah politik, ekonomi, dan keamanan.
Di tingkat global saja masalah kesehatan sudah menjadi pilar diplomasi (global health diplomacy). Upaya-upaya yang telah dilakukan yang hanya bersifat reaktif seharusnya sudah ditinggalkan. Konsep pembangunan kesehatan adalah ”Masyarakat Hidup Sehat tanpa Sakit.”Di sisi lain masalah desentralisasi juga merupakan salah satu faktor yang menjadi alasan kenapa masalah penanganan kesehatan tidak optimal.
Pusat merasa bahwa masalah puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan rakyat adalah masalah daerah di sisi lain masyarakat juga berharap pusat dapat melaksanakan programnya langsung ke daerah. Saat ini sebagian besar puskesmas, terutama yang di kota-kota besar, lebih berperan sebagai rumah sakit kecil ketimbang sebagai ujung tombak pembangunan.
Pemerintah daerah termasuk jajaran kesehatan sepertinya lupa bahwa diadakannya puskesmas baik di tingkat kelurahan maupun kecamatan bukan saja sebagai pusat pelayanan kesehatan pertama,tetapi puskesmas juga bisa berperan sebagai ujung tombak pembangunan dan pusat pemberdayaan masyarakat untuk dapat hidup mandiri khususnya di bidang kesehatan.
● -
Hukum Belum Jadi Panglima
Hukum Belum Jadi PanglimaMuladi, MANTAN MENTERI KEHAKIMANSumber : SINDO, 19 Desember 2011Penegakan hukum di Tanah Air tak terelakan masih dikategorikan compangcamping. Hukum yang semestinya menjadi panglima terkalahkan berbagai kepentingan seperti politik dan akumulasi kapital individu penegak hukum.
Yang terjadi sekarang sistem hukum tidak berjalan baik dan sangat lemah. Kunci penegakan hukum, yakni perangkat perundangan dan penegak hukum,gampang bisa disalahgunakan.Kondisi ini semakin parah lantaran degradasi budaya hukum di tataran elite eksekutif, yudikatif, dan legislatif justru berjalan masif.Lemahnya penegakan hukum di Indonesia,selain dilihat dari ketidakjelasan penyelesaian kasus-kasus besar,juga bisa dilihat dari survei yang dilakukan sejumlah lembaga hukum. Survei Bribe Payer Index (BPI) 2011 yang dilakukan terhadap 28 negara misalnya menempatkan Indonesia menduduki negara keempat terkorup. Survei BPI dilakukan secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia,dengan total rasio foreign direct investment(FDI) dan ekspor global sebesar 78%.
Transparansi Internasional (TI) dalam rilis corruption perception index (CPI) yang diluncurkan baru-baru ini menunjukkan skor Indonesia naik 0,2 poin menjadi 3.0. Namun,kenaikan ini dianggap tidak berarti karena faktanya negeri ini masih berkutat di jajaran bawah negara paling koruptor, di posisi ke-100.
Kriteria yang menunjukkan indikasi perubahan persepsi korupsi antara 2010 dan 2011 adalah perubahan skor minimal 0,3 didukung dengan perubahan yang konsisten dari minimal setengah dari sumber data penyusun indeks. Mantan Menteri Kehakiman Muladi menyebutkan, pertimbangan politis menjadi faktor utama penegak hukum,khususnya kepolisian dan kejaksaan, hingga gamang dalam melaksanakan tugasnya secara maksimal.
Sumber daya manusia yang masih bermental korup menjadikan integritas penegakan hukum di Tanah Air semakin anjlok. Selain itu, sistem perundangan juga masih perlu diperbaiki. Misalnya aturan yang menyebutkan bahwa pemeriksaan kepala daerah mesti atas izin presiden harus diubah. Hal itulah yang menghambat pengungkapan kasus korupsi.“Pada intinya, perundang-undangan kita ketinggalan zaman.UU kita warisan kolonial. Padahal banyak negara sudah mengubah aturan dalam penegakan hukumnya, ”lanjut dia.
Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Fajrul Falaakh membenarkan bobroknya aparat penegak hukum kita.Dia menyebutkan, 70% aparat penegak hukum terindikasi korupsi.Satusatunya institusi penegakan hukum yang masih lebih baik hanyalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Realitas itu pula yang menjadikan aparat penegak hukum di Indonesia belum berpihak pada masyarakat kecil.
“Keadilan di Indonesia seperti dua sisi mata pedang, tajam buat masyarakat kecil dan tumpul bagi orang-orang besar yang memiliki dukungan finansial dan politik.Jika kondisi ini terus dipertahankan, hukum dan keadilan hanya milik mereka yang kaya,bertahta,dan dukungan politik kuat,” tandasnya. Kebobrokan aparat penegak hukum kian diperparah dengan merajalelanya mafia hukum yang mudah mengintervensi penegakan hukum pada lembaga peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga hukum lainnya.
Para mafioso ini juga masuk pada ranah legislatif dan eksekutif. “Sehingga harus saya katakan bahwa hukum dan penegakan hukum tidak bertaring menghadapi kejahatan kerah putih. Sebaliknya, penegakan hukum sangat nyata dalam kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin.Penegakan hukum seperti mata tombak yang tajam ke bawah,tetapi tumpul ke atas,”ungkapnya. Muladi melihat hukum bisa menjadi panglima di negeri ini jika hadir sosok pemberani dan tidak takut dengan intervensi penguasa.
Tidak pandang bulu dalam menumpas para penjahat negara. “Dulu kita punya sosok Baharuddin Loppa, kenapa sekarang tidak bisa. Saya percaya dengan sosok pemberani seperti beliau. Sekarang ada sosok Bambang Widjojanto,mungkin dia bisa memperbaiki semuanya,” harapnya. Dia menunjukkan contoh beberapa negara yang sukses menegakkan hukum setelah mengalami masa suram.
Hong Kong misalnya.Pada medio 1974, negara jajahan Inggris ini memecat seluruh polisinya dan menggantinya dengan polisi Inggris,India, dan Australia dalam masa peralihan. Pada akhirnya Hong Kong menjadi negara maju dan terkenal dengan kedisiplinan hukum yang tinggi. Indonesia juga bisa mencontoh Peru dalam kemauan untuk menegakkan hukum.
Baru-baru ini Presiden Peru Ollanta Humala memecat 30 dari 55 jenderal polisi yang terindikasi melakukan korupsi. Sebelumnya negara yang terletak di Amerika Selatan ini memiliki 55 jenderal, 900 kolonel, dan lebih dari 2.000 komandan.Humala bahkan memecat kepala kepolisian nasionalnya. Korea Selatan juga patut ditiru.
Di negara itu mantan presiden yang terindikasi korupsi dan melakukan tindak pidana lainnya,Chun Doo Hwan, ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Meski pada akhirnya mantan penguasa itu mendapat amnesti, itu menjadi bukti keseriusan negara dalam penegakan hukum dan memberi efek jera bagi siapa pun yang akan melakukan korupsi.
● (krisiandi sacawisasra/fefy dwi haryanto/m purwadi) -
Jakarta: Skenario 2050
Jakarta: Skenario 2050Nirwono Joga, KETUA KELOMPOK STUDI ARSITEKTUR LANSEKAP INDONESIASumber : SINDO, 19 Desember 2011Fenomena pemanasan global telah membawa dampak perubahan iklim ekstrem. Perubahan iklim yang tidak menentu memberi akibat nyata berbagai bencana lingkungan dan menurunkan kualitas lingkungan hidup.
Seperti apa kondisi Jakarta pada tahun-tahun 2020, 2030, atau 2050? Bagaimana keadaan Jakarta dalam pusaran fenomena pemanasan global dan perubahan iklim ekstrem? Anomali cuaca yang semakin sulit diduga dan fakta-fakta dampak perubahan iklim kini semakin nyata dalam kehidupan kita. Ironisnya, pembangunan kota yang tak berkelanjutan telah membawa Jakarta ke upaya bunuh diri ekologis (ecological suicide) kota.Bunuh Diri Perkotaan
Berita bencana lingkungan terus hadir di tengah-tengah kita. Kawasan utara Jakarta telah merasakan dampak kenaikan paras muka laut (2-4 sentimeter per tahun),sementara penurunan muka tanah berkisar 4-26 sentimeter per tahun—tergantung beban lingkungan.Rob (limpasan air laut) menggenangi kawasan utara setinggi 10–100 sentimeter hampir tiap pekan, yang menjorok hingga dua kilometer ke daratan.
Penurunan muka tanah juga terjadi di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, seiring penyedotan air tanah yang tak terkendali. Intrusi air laut mengisi rongga-rongga air tanah yang kosong,terdeteksi sudah menyusup hingga 14 kilometer atau sepertiga wilayah Jakarta, sekitar Bundaran Hotel Indonesia. Pembangunan yang memangsa ruang terbuka hijau (RTH) membuat luas genangan banjir meluas,50% (2002) menjadi 60% (2007).
Melihat kecenderungan di lapangan, di mana daerah resapan air masih kurang,sungai-sungai masih penuh lumpur dan sampah, serta kondisi saluran drainase yang belum terhubung maksimal bisa diperkirakan ancaman pada tahun 2012 menjadi lebih luas lagi daerah yang akan terkena banjir. Perkembangan kota yang mengarah ke timur,barat,dan semakin masif ke selatan secara cepat telah mengurangi luasan daerah RTH dan daerah resapan air terutama di Selatan Jakarta.
Terkini, bencana banjir di Kampung Pulo,Pondok Labu, Jakarta Selatan.Di musim kemarau,Jakarta seperti biasa akan dipenuhi berita kebakaran dan kesulitan air bersih di kawasan padat penduduk.Jadi sebenarnya tidak ada yang baru soal Jakarta,lebih dari 50 tahun kita masih berkutat kepada halhal itu saja: banjir,macet,kemiskinan, dan gusur (BMKG). Lalu apa yang dapat dilakukan?
Kota Hijau
Kota dan kita harus segera melakukan tindakan nyata dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Salah satunya dengan membangun kota hijau. Untuk mewujudkan kota hijau, Jakarta dituntut untuk menerapkan secara bertahap standar lingkungan kota hijau (8 atribut kota hijau). Pertama, perencanaan dan perancangan kota (green planning and design) Jakarta harus meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau,upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Kedua, pembangunan RTH (green open space) bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik Kota Jakarta, dengan target RTH 30% yang terbagi atas RTH Publik 20%,dan RTH Privat 10% (UU No 26/2007: Penataan Ruang). Ketiga, peningkatan kualitas air (dan udara) (green water and air) dengan menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoffserta penanaman pohon besar secara massal (UU No 7/2004: Sumber Daya Air dan Perda No 2/2005: Pengendalian Pencemaran Udara).
Keempat, pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah (green waste) dengan menerapkan konsep zero waste (reduce,reuse,recycle) secara konsisten (UU No 18/2008: Pengelolaan Sampah). Kelima, pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan (green energy) mulai dari bangunan hingga transportasi (UU No 30/2009: Ketenagalistrikan).Keenam, pengembangan sistem transportasi massal yang berkelanjutan (green transportation) dan mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan (busTransJakarta,kereta api), serta berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak pendek. Ketujuh, seluruh bangunan publik harus menerapkan prinsip-prinsip bangunan hijau (green building) (UU No 28/2002:
Bangunan Gedung, Perda No 7/2010: Bangunan).Kedelapan, pengembangan jaringan kerja sama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat, di mana pertumbuhan komunitas hijau harus lebih dioptimalkan dalam pembangunan kota (green community). ●