Blog

  • Investasi dan Waralaba

    Investasi dan Waralaba
    Ahmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
    UNIVERSITAS BRAWIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
    Sumber : SINDO, 21 Desember 2011
    Perekonomian Indonesia sejak sekitar seminggu lalu hiruk-pikuk oleh dua berita penting. Pertama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyambut dengan tangan terbuka 16 waralaba asing (AS) yang akan masuk ke Indonesia.

    Waralaba AS tersebut kebanyakan akan masuk ke sektor makanan dan minuman sehingga jika kesepakatan itu direalisasikan, dipastikan akan makin menambah pelaku ekonomi asing yang masuk ke Indonesia lewat mekanisme waralaba. Kedua, Indonesia baru saja mendapatkan posisi “investment grade” dari lembaga pemeringkat Fitch, dari semula BB+ menjadi BBB-.

    Pemerintah gembira sekali dengan kenaikan posisi tersebut sebab merasa investasi asing akan segera membanjiri pasar Indonesia, termasuk daya jual surat berharga negara yang makin meningkat. Dari dua berita tersebut sebetulnya hal apa yang mesti dicermati pengaruhnya terhadap perekonomian nasional ke depan?

    Liberalisasi dan Kedaulatan Ekonomi

    Pada zaman ini hampir tidak bisa ditemui negara yang perekonomiannya hidup hanya dengan mengandalkan investasi domestik,kecuali negara tertentu yang sangat tertutup, misalnya Korea Utara. Investasi dari negara lain (asing) diperlukan karena dua alasan pokok: mengatasi kelangkaan dana domestik dan merangsang munculnya wirausaha domestik (lewat persaingan dengan usaha asing).

    Negara berkembang tentu berkepentingan dalam soal ini karena karakteristik ekonominya yang ditandai dengan tingkat tabungan yang lebih kecil dari kebutuhan investasi (saving-investment gap). Demikian pula, dengan investasi asing diharapkan transfer teknologi dan persaingan ekonomi bisa mendorong kemampuan dan kemajuan ekonomi di dalam negeri. Lalu lintas investasi antarnegara tersebut menjadi lebih pesat berjalan sejak dekade 1980-an ketika proyek liberalisasi (perdagangan, keuangan, dan investasi) dilakukan secara sistematis.

    Indonesia bahkan memfasilitasi investasi asing itu sejak 1967 via UU No 1/ 1967, yang kemudian terus disempurnakan lewat PP No 20/1994 dan UU Penanaman Modal No 25/2007. Hasilnya memang luar biasa, sejak 2000-2010 terdapat peningkatan peran penanaman modal asing (PMA) terhadap total investasi nasional. Pada 2000, peran PMA masih sekitar 65% terhadap total investasi. Tetapi, pada 2010 peran PMA tersebut sudah melonjak menjadi lebih dari 70%. Dengan kata lain, sumbangan investasi domestik (PMDN) kurang dari 30%.

    Dengan begitu, konsep PMA sebagai pelengkap (komplementer) investasi sudah tidak berlaku lagi karena saat ini justru PMA menjadi sumber utama investasi nasional. Deskripsi itu menjelaskan dengan baik betapa liberalisasi secara perlahan menggerogoti kedaulatan dan kemandirian perekonomian nasional. Jika pada awalnya investasi asing diharapkan berperan sebagai pendorong munculnya jiwa kewirausahaan lokal, ternyata dalam realitasnya malah mendesak dan mematikan pelaku ekonomi domestik.

    Operasi investasi asing itu bisa berupa langsung membuat pabrik atau eksplorasi seperti kasus industri pertambangan, perbankan, komunikasi, dan lain-lain; atau merangsek lewat model franchise/ waralaba.

    Penetrasi Waralaba Asing

    Metode waralaba sebetulnya bukan barang baru karena sudah ada sejak abad 19.Pada 1851 perusahaan mesin jahit AS, Singer, mengadopsi sistem waralaba untuk memperluas jaringan dan penjualan produknya. Setelah itu,di penghujung abad 19, tepatnya 1898, General Motor juga melakukan langkah serupa dengan memakai istilah “independent business”.

    Setelah itu berturutturut perusahaan obat Rexall dan megakorporasi minuman, Coca Cola dan Pepsi, mengikutinya hingga saat ini (Hidayat, 2011).Sementara itu,bisnis waralaba tersebut masuk pertama kali ke Indonesia pada 1970- an, yang ditandai dengan masuknya KFC, Swensen, Shakey Pisa, dan akhir-akhir ini diteruskan oleh Burger King dan Seven Eleven.Pada 1992 sudah tercatat ada 29 waralaba asing dan enam lokal (dengan outlet sejumlah 300) yang beroperasi di Indonesia.

    Perkembangan waralaba itu begitu pesat sebab lima tahun setelah itu (1997) jumlahnya melesat menjadi 265,di mana 235 milik asing dan 30 lokal, dengan outlet sebanyak 2.000. Namun, akibat krisis ekonomi 1997/1998, bisnis waralaba ini juga turut terhempas sehingga tinggal 170-an waralaba asing yang beroperasi dan sekitar 500 outlet yang ditutup. Situasi ini benar-benar dimanfaatkan waralaba domestik untuk merebut pasar sehingga tercatat pada periode 2000-2004 pertumbuhan waralaba domestik lokal mencapai 60%, sedangkan asing sekitar 27%.

    Sampai 2010, diperkirakan omzet bisnis waralaba tersebut mencapai Rp100 triliun.Umumnya waralaba ini masuk ke lima sektor yakni food and beverages, educational products and services, retail sector, real estate services, serta laundry and dry cleaning (www.Franshising_Indonesia.c om). Celakanya, sekarang ketika waralaba lokal berkembang pesat muncul kebijakan pemerintah yang tidak bersahabat tersebut. Kebijakan longgar yang dibuka Menteri Mari Pangestu itu sekurangnya bermasalah dalam tiga hal.

    Pertama, sektor usaha makanan dan minuman merupakan kegiatan ekonomi yang banyak dilakukan usaha kelas menengah ke bawah sehingga pembukaan ini menggerus ruang operasi pelaku ekonomi pada kelas tersebut. Kedua, sampai saat ini pemerintah tidak pernah menerapkan asas resiprokal dalam kerja sama ekonomi dengan luar negeri. Pelaku ekonomi asing dibiarkan melenggang bebas masuk ke Indonesia, tapi pelaku ekonomi domestik sangat sulit membuka operasi usaha di negara asing.

    Ketiga, pembukaan pasar domestik secara besar-besaran dilakukan pada saat pemerintah nyaris tidak berbuat sama sekali untuk memperkuat ekonomi domestik. Ketiga hal itu tentu saja membuat luka dan menyakiti perasaan rakyat Indonesia.  

  • N y a w a

    N y a w a
    Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
    Sumber : SINAR HARAPAN, 20 Desember 2011
    PADA minggu pertama Desember ini, merebak kabar di berbagai media, seorang remaja pandai dan pernah meraih medali perak olimpiade sains, tewas ditikam ketika hendak pulang seusai main futsal.
    Remaja bernama Christopher Melky Tanujaya itu dibunuh oleh seorang pemuda pengangguran, Ayub, yang mengincar handphone Blackberry warna putih yang tengah dimainkan korban, seturun dari bus Transjakarta, di daerah Pluit.
    Setelah kejadian itu, foto korban dengan lehernya yang berlubang karena ditembus pisau beredar di berbagai media sosial. Foto tersebut cukup menggetarkan, karena demi sebuah handphone pelaku menikam korbannya di posisi-posisi tubuh yang mematikan.
    Hampir bersamaan dengan penangkapan tersangka pembunuh Christopher, jajaran Polda Metro Jaya juga menangkap pembunuh seorang remaja, siswa SMA Pangudi Luhur, dalam sebuah insiden di klub malam. Keterangan dari polisi menyebutkan dalam kasus ini, baik korban maupun pelaku sama-sama dalam pengaruh alkohol, dan penusukan dimulai dari senggolan di lantai dansa.
    Di Depok, seorang ibu pedagang sayur yang hendak belanja ke pasar pada dini hari diperkosa oleh empat pria dalam sebuah mikrolet M-26. Ibu itu menyerah tak berdaya karena dia ditodong golok oleh para pelaku. Sampai kini para pelaku masih diburu polisi. Mungkin, kalau ibu itu melawan, nyawanya juga melayang.
    Dalam acara sarasehan “Harapan Masyarakat terhadap Polri” menyambut HUT ke-62 Polda Metro Jaya, saya berbincang dengan Wakapolda Metrojaya, Brigjen (Pol) Suhardi Alius mengenai berbagai aksi kriminalitas yang mengerikan itu. Dia mengakui, nyawa di Jakarta sangat “murah”.
    Hanya karena urusan uang Rp 50 ribu saja nyawa bisa melayang. Saya mencoba menganalisis dengan mengatakan mungkin faktor kesenjangan sosial yang semakin lebar ikut memicu tindak-tindak kriminalitas seperti itu, dan dia tidak menampik analisis tersebut.
    Apakah Jakarta semakin tidak aman? Ataukah kualitas kejahatan jalanan (street crime) meningkat? Praktikus psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengingatkan agar tidak terlalu percaya pada statistik kriminalitas, karena hal itu bukan cerminan situasi yang nyata.
    Dia mengingatkan tugas polisi 70 persen adalah pembinaan keamanan, dan hanya 30 persen yang merupakan penegakan hukum. Dalam pandangan saya perasaan Jakarta semakin aman atau tidak ditentukan oleh persepsi masyarakat. Sementara yang ikut membentuk persepsi itu adalah media massa.
    Mengapa Memenggal?
    Namun, di Sungai Sodong, di Kecamatan Mesuji, di Kabupaten Ogan Komering Ilir, ada kejadian mengerikan bentrok antar penduduk dan centeng perkebunan (yang dibeking aparat keamanan) pada 21 April 2011 lalu, berlanjut pada pemenggalan kepala beberapa penduduk yang tewas.
    Kebiadaban itu dapat dilihat di rekaman video yang beredar di media sosial, termasuk adegan seorang anggota polisi (karena mengenakan seragam hitam dan menyandang senapan serbu) memegang kepala yang telah dipenggal, sementara seseorang menyampaikan semacam ancaman dalam dialek lokal.
    Anggota Komisi III DPR yang mengunjungi lokasi kejadian pada Minggu (18/12) kemarin baru menyadari kejadian itu ada dan sama sekali bukan rekayasa karena mendengar langsung dari Kapolres OKI, Ajun Komisaris Besar Agus F, kemungkinan besar pada aksi pemenggalan itu terjadi saat pecah bentrokan antara warga Sungai Sodong dan karyawan perkebunan kelapa sawit PT Sumber Wangi Alam.
    Saya hanya bertanya, mengapa kebiadaban seperti itu dibiarkan, bahkan di depan mata polisi? Apakah orang-orang yang dibunuh lalu dipenggal kepalanya itu bukan sesama rakyat Indonesia? Apakah mereka musuh negara? Apakah patut perlakuan seperti itu?
    Kepala saya rasanya berat melihat kenyataan ini bahwa bangsa kita banyak yang masih biadab, ketika mengungkapkan dendam dan amarah. Mereka masih hidup dengan nilai-nilai di abad pertengahan. Saya sendiri tidak ingin masuk dan mencampuri persengketaan mana yang benar dan salah dalam perebutan lahan kelapa sawit di Mesuji tersebut.
    Yang pasti, pembantaian dan pemenggalan seperti yang terjadi di Sungai Sodong itu, apalagi ada rekamannya, akan menimbulkan trauma, dan collective memory yang panjang serta sulit dilupakan, khususnya bagi anak-anak dari kelompok mana pun yang menjadi korban. Benih dendam demi dendam telah ditabur.
    Sudah sepatutnya Pemerintah membentuk tim untuk memulihkan trauma-trauma tersebut, selain mengirim Tim Gabungan Pencari Fakta. Bahkan, secara permanen harus ada orang-orang yang khusus dilatih untuk memulihkan trauma karena tindak-tindak kekerasan dan kebiadaban seperti itu.
    Dari kasus di Sungai Sodong itu, yang juga pernah terjadi dalam konflik di Sampit, Maluku, Poso, Cikeusik, Jakarta, Lampung, pembantaian PKI dll harus menyadarkan kita bahwa sebagian bangsa ini masih primitif.
    Kalau sudah begini tentulah bukan lagi soal efek media, karena nyawa dan rasa kemanusiaan pada akhirnya sangat rendah harganya di negeri kita.  
  • Kelangkaan Sumber Daya Lahan Indonesia

    Kelangkaan Sumber Daya Lahan Indonesia
    Agus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMIST
    Sumber : KORAN TEMPO, 20 Desember 2011
    ”Bapak-ibu sekalian, kita baru mendengar kali ini bahwa baru sekali ini ada orang yang menyampaikan bahwa lahan di Indonesia ini merupakan sumber daya alam yang sangat langka,” kata seorang ketua pada suatu rapat baru-baru ini, setelah
    saya menyampaikan uraian berikut ini. Saya sendiri menjadi lebih terkejut, mengapa begitu!
    Alasan keheranan saya sangatlah sederhana. Menurut data Badan Pusat Statistik, hasil Sensus Pertanian selalu menunjukkan bahwa lahan petani makin menggurem, padahal Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960, yang kemudian menjadi UU Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 1961), menyatakan: ”Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2 hektare.”
    Dalam undang-undang yang sama juga ditetapkan luas kepemilikan tanah maksimum. Yaitu untuk daerah yang tidak padat, luas maksimum kepemilikan lahan sawah atau lahan kering masing-masing 15 ha dan 20 ha. Dan untuk wilayah yang sangat padat, luas maksimum kepemilikan sawah atau lahan kering masing-masing 5 ha dan 6 ha.
    Jadi, keadilan dalam kepemilikan tanah itu oleh undang-undang dinyatakan dalam bentuk batas minimum yang layak bagi kehidupan petani dan keluarganya dan batas maksimum sebagai upaya menjaga keadilan. Induknya adalah UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang telah mencabut peninggalan dan sifat-sifat pemerintahan kolonial yang tidak sesuai dengan jiwa dan kerohanian semangat kemerdekaan Indonesia.
    Semua itu tentu merupakan hasil dari para perumus undang-undang mengenai agraria tersebut, yang melihat lahan di Indonesia itu sangat langka, karena itu perlu negara mengaturnya. Mari kita lihat data. Ekonom biasanya mendefinisikan kelangkaan itu dengan harga. Harga mahal, barang langka. Harga meningkat, artinya kelangkaan meningkat.
    Berdasarkan definisi, nilai lahan adalah nilai yang mencakup seluruh lahan dan bangunan untuk memproduksi komoditas pertanian apabila dijual ke pasar. Maka, nilai lahan di Amerika Serikat pada Agustus 2011 adalah US$ 5.806 per ha. Pada kurs US$ 1.0 = Rp 9.059, nilai lahan per hektare di AS adalah Rp 52,6 juta. Kisaran harga lahan di AS adalah US$ 2.280 per ha di daerah pegunungan dan US$ 11.588 untuk wilayah Timur Laut.
    Di Indonesia, nilai sewa lahan untuk tebu berkisar US$ 1.650-2.200 per ha per tahun, atau hampir setengah harga lahan rata-rata di AS. Harga lahan per hektare di Jawa sangat tinggi. Dengan mengasumsikan nilai tanah per meter persegi Rp 20 ribu saja, maka nilai per hektare sudah mencapai US$ 22 ribu, hampir dua kali harga tanah di Negara Bagian New York.
    Di luar Jawa, nilai lahan dapat diperkirakan, (apabila kebun sawit) maka nilainya berkisar sekitar US$ 4.400 per ha. Membeli ladang kosong di Sumatera Utara harganya sekitar US$ 2.200 per ha, hampir sama dengan harga rata-rata lahan termasuk bangunannya di AS sekarang. Jadi, menurut indikator harga, lahan pertanian di Indonesia lebih langka dibanding lahan pertanian di AS.
    Sekarang, apa yang akan kita dapat apabila membandingkan luas lahan daratan menurut jumlahnya antara Indonesia dan AS? Luas daratan Indonesia itu setara dengan jumlah daratan Negara Bagian Texas dan Alaska. Luas Sumatera setara dengan luas California, dan luas New York setara dengan luas Jawa. Luas Kalimantan setara dengan Dakota. Jumlah Penduduk Jawa Timur (37 juta jiwa) ternyata setara dengan penduduk California, yang lebih rendah jumlahnya daripada jumlah penduduk di Jawa Barat.
    Jadi, dengan pertimbangan jumlah penduduk, maka luas lahan per kapita Indonesia adalah 0,8 hektare. Jadi, tidak mengherankan apabila luas lahan per petani di AS adalah 200 hektare, sedangkan di Indonesia 0,5 hektare. Selain luas daratan AS sangat besar, industrinya maju sehingga telah menurunkan jumlah petaninya hingga 2 persen saja dari populasi.
    Yang sangat mengherankan dan tentunya tidak adil dan berpotensi melanggar Pasal 33 UUD 1945 adalah apabila Negara memberikan lahan-lahan baru (lahan negara yang dikonversi menjadi lahan privat baik dalam bentuk hak milik maupun HGU atau hak lainnya) kepada pengusaha besar.
    Perlu diingat bahwa ketimpangan kepemilikan lahan yang meningkat akan menjadi pemicu berbagai jenis konflik, karena konflik itu sendiri pada hakikatnya adalah berupa penyampaian pesan telah terjadi meningkatnya kelangkaan yang tak dapat diselesaikan oleh tatanan institusi yang mengatur interdependensi di antara manusia, masyarakat, atau golongan (termasuk konflik antara manusia dan gajah, misalnya) terhadap sumber daya lahan pada masyarakat yang mengalaminya. Adalah tugas Negara menyelesaikannya.  
  • Dari Sondang hingga Tragedi Mesuji

    Dari Sondang hingga Tragedi Mesuji
    Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM, BELANDA
    Sumber : KORAN TEMPO, 20 Desember 2011
    Aktivis hak asasi manusia Sondang Hutagalung, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, yang telah melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara pada 7 Desember, akhirnya meninggal pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.
    Jika menilik aksi bakar yang dilakukan di depan Istana Negara, jelas almarhum
    punya pesan untuk rezim ini. Berdasar cerita dari teman-teman dekatnya, Sondang mulai kecewa berat sejak Presiden SBY tidak merespons puluhan amplop berisi surat para korban pelanggaran hak asasi manusia dari Aceh hingga Papua yang disampaikan ke Istana pada Agustus silam. Padahal, ketika Nazaruddin kirim surat saja, Presiden membalas. Sondang kecewa Presiden tidak segera merespons surat para korban pelanggaran HAM. Padahal Presiden atau pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penegakan hak asasi. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa penegakan HAM merupakan salah satu kewajiban konstitusional pemerintah.
    Tapi apa yang bisa dilakukan pemerintah SBY? Hanya melakukan pembiaran.
    Seperti diketahui, hingga kini banyak kasus pelanggaran HAM berat masa silam dibiarkan menggantung. Simak misalnya janji Presiden SBY yang akan mengungkap kasus pembunuhan pejuang HAM, Munir, yang terbunuh pada 7 September 2004. Dalam kasus Munir, yang juga amat dikenal masyarakat Belanda, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya pandai membuat retorika, tapi mengecewakan istri Munir, para sahabat Munir seperti Sondang, dan para aktivis HAM di mana pun. Sebab, ternyata dalang pembunuhan Munir hingga kini tidak diadili.
    Impunitas
    Sementara pada awal 2011 para tokoh lintas agama kita menuding Presiden SBY melakukan pembohongan, kebohongan ini paling tampak jelas terjadi di ranah HAM, karena ternyata pemerintah SBY membiarkan banyak kebohongan
    terus dilanggengkan. Ini bukan hanya kasus Munir, tetapi juga melibatkan puluhan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, mulai peristiwa 1965 yang korbannya mencapai jutaan hingga kasus orang hilang menjelang reformasi 1998 atau Tragedi Mei 1998 yang hingga saat ini masih menyisakan kepiluan
    bagi para korban atau keluarga korban.
    Padahal sebenarnya pemerintah SBY bisa membuat gebrakan baru dengan menyingkap siapa dalang sesungguhnya dari pelanggaran HAM berat masa silam. Sayang, pemerintah saat ini tampaknya lebih suka meneruskan tradisi melestarikan impunitas, yang tetap dinikmati orang-orang kuat yang ditengarai
    sebagai pelanggar HAM. Sedangkan harapan untuk mendapatkan keadilan tak dirasakan para korban dan keluarganya. Pemerintah SBY seharusnya bisa mengadili orang-orang kuat. Tapi hanya pembiaran yang dilakukan. (Baca penelitian berjudul Shadows and Clouds: Human Rights in Indonesia, Shady Legacy, Uncertain Future, 2010.)
    Akibatnya, negeri kita tidak bisa menjadi negeri yang kuat, karena ternyata pemerintah tidak berani mengadili orang-orang kuat, khususnya para pelaku pelanggaran HAM berat. Indonesia kalah dibanding Filipina, Korea Selatan, atau Taiwan yang berani mengadili para mantan presiden yang notabene adalah orang-orang kuat. Karena tidak berani mengadili orang kuat dan para kroninya, akibatnya hukum kita tetap penuh dengan rekayasa dan sandiwara, sementara aparat hukum kita seperti jaksa, hakim, dan polisi lebih suka memihak kepentingan orang-orang kuat, seperti penguasa atau pengusaha dan siapa pun yang bisa menyuap.
    Tiap minggu para anggota keluarga korban pelanggaran HAM berunjuk rasa
    di depan Istana Negara. Tapi pernahkah Presiden memberi perhatian atau
    sekadar membuka kaca mobilnya? Presiden agaknya sudah jatuh dalam pragmatisme bahwa isu HAM tidak memberi keuntungan politis apa pun bagi pemerintahnya. Akibatnya, dengan mudah Presiden SBY menulikan telinga terhadap teriakan keluarga para korban HAM.
    Padahal payung hukum untuk penegakan HAM sudah disediakan, seperti Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan
    HAM, UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik, serta UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Komnas HAM juga sudah ada, tapi Komnas ini tak lebih daripada macan kertas karena sudah keder ketika harus menghadapi orang-orang kuat yang kebetulan jadi pelanggar HAM.
    Instrumen hukum tentang HAM itu tampaknya hanya menjadi pemanis bagi bangsa ini dalam pergaulan masyarakat internasional yang kian menghargai
    HAM. Kita hanya ingin dinilai Indonesia sudah beradab, meskipun dalam kenyataannya masih terjadi cukup banyak pelanggaran hak asasi, dari kebebasan beragama, beribadat atau mendirikan tempat ibadah, hingga konflik tanah warga dengan aparat.
    Tragedi Mesuji
    Memprihatinkan bahwa masalah hak asasi atau yang menyangkut martabat
    manusia di negeri ini tidak pernah menjadi prioritas utama. Nyawa warga sipil
    biasa dikorbankan oleh aparat entah di Sidoarjo, Aceh, atau Papua hingga detik
    ini. Repetisi pelanggaran HAM masih terus berlangsung hingga sekarang. Akibatnya, negeri kita seolah-olah kian terseok-seok menanggung beban sejarah
    pelanggaran HAM. Menurut filsuf Amerika berdarah Spanyol, George Santayana (1863-1952), negeri yang tak mau belajar dari sejarah memang akan terus dikutuk mengulangi kesalahan yang sama.
    Simak saja, kita baru dikejutkan oleh laporan pembantaian 30-an petani di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, yang berlangsung sejak 2008 hingga 11 November 2011. Bayangkan, sekitar 20 ribu warga sudah lama menempati tanah warisan para leluhur. Tiba-tiba mereka dipaksa memberikan tanahnya kepada perusahaan kelapa sawit atau karet. Kini sudah 9.000 hektare tanah warisan leluhur (adat) dicaplok, 100 orang lebih masih dipenjara, dan ribuan orang mengungsi serta terusir dari rumah dan tanahnya. Ini mirip Israel yang mengusir warga Palestina sebelum 1948.
    Aparat keamanan, yang seharusnya berpihak pada warga, malah lebih suka menjadi “centeng” perusahaan. Sebagaimana polisi dan TNI AD yang lebih suka
    menjadi “satpam” bagi Freeport di Papua. Presiden SBY harus turun tangan menangani kasus di Mesuji. Jangan ada birokrasi lagi dalam penuntasan kasus
    pelanggaran hak asasi di Mesuji. Tak perlu dibentuk tim ini-tim itu. Segera cabut izin perusahaan sawit. Izin itu dikeluarkan pemerintah. Ini solusi yang mendesak untuk diambil. Nyawa manusia atau HAM harus didahulukan. Para korban sudah lelah dan capek.
    Teman saya, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi, yang mendampingi para korban Mesuji di DPR, sudah mengancam akan membawa kasus Mesuji ke Mahkamah Internasional di Den Haag jika tidak ada solusi yang berpihak kepada HAM warga Mesuji. Begitulah negeri ini akan terus terjebak dalam kesalahan yang sama, karena tidak mau belajar dari sejarah, dari kesalahan masa silam.   
  • Negara Centeng

    Negara Centeng
    Tamrin Amal Tomagola, SOSIOLOG
    Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
    Mendadak senyap mencengkeram dan mata menatap tak percaya ketika di layar kaca muncul tayangan mengerikan, awal minggu lalu. Inikah Indonesia?
    Lidah kelu dan banjir air mata ini akhirnya menjadi kemarahan luar biasa melihat bentrokan vertikal yang sungguh tidak pantas: kelompok bersenjata membantai rakyat di Mesuji, Lampung.
    Di manakah empat pilar negara yang dibangga-banggakan itu? Ke mana Pancasila dicampakkan? Masih ingatkah prajurit TNI/Polri akan Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Tri-Brata Polri?
    Di manakah Anda, Panglima Tertinggi TNI, Kapolri, dan jajarannya, yang sudah mendapat perintah dari Mukadimah UUD 1945 untuk melindungi seluruh Tanah Air dan segenap rakyat Indonesia? Apakah Anda semua tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau memilih tidak mengintervensi proses hukum walau ketidakberadaban berlangsung sistematis dan sistemis?
    Tampak jelas bahwa konstitusi sudah diabaikan, bahkan dilanggar (constitutional violation by omission) oleh penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Negara, khususnya aparat bersenjata, justru berperan sebagai centeng modal (Wibowo, Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, 2010:106). Mereka sudah kehilangan rasa malu dan martabat sebagai pelindung negeri dan rakyat.
    Menjual Indonesia?
    Sejak wilayah Nusantara dibagi-bagi pada awal Orde Baru kepada para kapitalis dunia, tiada hari tanpa konflik horizontal dan vertikal. Perebutan areal pertanahan, baik di kota maupun di pedesaan, menjamur di mana-mana. Di perkotaan, suatu persekongkolan sistemis antara otoritas perkotaan dan para pengusaha pusat-pusat perbelanjaan modern (mal) menggusur kelompok miskin-kota dari lahan yang telah ditempati puluhan tahun. Prosesnya bisa dengan halus ataupun dengan kekerasan menggunakan satuan polisi pamong praja.
    Pembuatan jaringan jalan tol antarkota pusat perdagangan pun banyak memakan korban rakyat kecil. Hampir dalam semua kasus kekerasan pertanahan di perkotaan, pemerintah kota selalu berpihak kepada pemilik modal, sampai rumah ibadah dan sekolah pun dialihfungsikan.
    Di wilayah pedesaan setali tiga uang. Pemerintah Indonesia di berbagai jenjang, dengan segenap aparat negara bersenjata, memihak kepada kepentingan modal. Konflik penuh kekerasan berkecamuk di antara segitiga kelompok kepentingan: pengusaha perkebunan yang berselingkuh dengan perangkat pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—melawan rakyat komunitas adat yang mempertahankan hidup-mati hak ulayat atas tanah leluhur mereka.
    Kawasan konflik
    Andiko (dalam Myrna A Safitri, Untuk Apa Pluralisme Hukum, 2011:57) menyajikan peta persebaran konflik antara perkebunan kelapa sawit dan komunitas adat lokal. Jelas terlihat bahwa wilayah bagian selatan Sumatera yang meliputi Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan adalah wilayah yang paling pekat ditaburi titik-titik hitam konflik pertanahan dengan kekerasan sejak Orde Baru. Elizabeth Fuller Collins (Indonesia Betrayed, 2007) menguraikan lebih rinci komposisi anatomi konflik-konflik di wilayah ini, terkait sebab-musabab makro-struktural, meso-institusional, dan mikro-interaktif.
    Inti pokok persoalan adalah pengkhianatan negara terhadap Indonesia, baik sebagai Tanah dan Air maupun sebagai rakyat. Pengkhianatan berlangsung bertahap dan berjenjang. Pertama, amandemen UUD 1945 yang jika ditilik secara cermat adalah upaya memfasilitasi keleluasaan gerak investasi dan operasional modal. Hasil empat kali amandemen UUD 1945 sangat telak bersikap pro-modal.
    Kedua, DPR merancang ulang seperangkat perundang-undangan yang berhubungan dengan penguasaan hutan, tanah, serta usaha perkebunan dan pertambangan. Negara mendaku bahwa ia adalah pemilik sah satu-satunya semua hutan, tanah, air, dan lautan Nusantara.
    Hak ulayat tanah, kegiatan pertanian, dan penangkapan ikan di seluruh wilayah Indonesia harus mendapat izin dari otoritas yang mendapat mandat undang-undang. Hukum adat dengan segala perangkat dan kekayaan komunitas adat dirampas atas nama hukum. Terjadi penyeragaman hukum secara nasional, bahkan mahkamah adat di Mahkamah Agung pun dihapus.
    Para pembuat undang-undang tidak mau menyadari bahwa sebelum negara ini lahir, telah bersemayam dengan damai komunitas-komunitas adat dengan semua perangkat kelembagaan mereka. Adalah tidak pantas, yang datang belakangan melenyapkan yang sudah ada berabad-abad.
    Ketiga, aparat negara bersenjata kemudian dikerahkan atau dalam beberapa kasus di Sulawesi Tengah dan Tenggara serta di Pulau Seram mengerahkan diri untuk ”mengemban tugas nasional mengamankan instalasi strategis negara”. Maka aparat pun menjadi centeng-centeng tebal muka yang menghamba kepada pemilik modal. Inilah inti akar permasalahan kekerasan di Mesuji, Lampung.
    Solusi
    Rakyat yang putus asa karena terus dikerasi tanpa hati—khususnya generasi muda seperti almarhum Sondang Hutagalung—terpuruk dalam kekecewaan terhadap pengkhianatan negara dengan seluruh perangkatnya. Maka bakar diri adalah solusi untuk membangunkan elite pengkhianat ini. Bagi rakyat Mesuji dan rakyat Kulawi di Sulteng, lawan adalah mantra sakti yang mereka tekadkan.
    Jelas, jalan kekerasan tidak ditoleransi dalam masyarakat beradab hukum ataupun beradat Nusantara. Solusi ke akar masalah harus segera diupayakan.
    Pertama, bentuk Tim Independen Pencari Fakta dengan tidak mengikutkan pihak Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kehutanan, ataupun TNI dan Polri. Semua instansi ini adalah bagian dari masalah, bukan solusi.
    Kedua, mengakui komunitas adat dan mengakomodasi ketentuan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Ketiga, memberlakukan moratorium pembukaan perkebunan kelapa sawit baru dan pertambangan.
    Hal serupa juga diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu mengkritik bahasan dan usulan Lemhannas. Semoga menciptakan damai di Bumi Pertiwi.  
  • Krisis Korea Pasca-Kim Jong-il

    Spekulasi tentang perjalanan krisis Semenanjung Korea setelah meninggalnya Kim Jong-il tampaknya sangat dipengaruhi oleh kuatnya arus pemikiran liberal di tataran internasional.

    Dari perspektif kalangan liberal, krisis Semenanjung Korea merupakan contoh dari konflik identitas antara dua negara dan sistem politik yang berbeda. Krisis Semenanjung Korea dirumuskan kalangan liberal sebagai konflik antara rezim politik yang tidak demokratis yang terwakili oleh Korea Utara versus rezim politik demokratis yang diwakili Korea Selatan. Bagi kalangan liberal, terdapat keyakinan yang kuat bahwa krisis menuju perang terbuka dapat dicegah jika kedua Korea sama-sama menganut sistem politik yang liberaldemokratis, dikenal dengan tesis democratic peace.

    Dalam produk kebijakan,turunan dari pemikiran seperti ini adalah adanya penekanan yang terlalu besar pada faktor personal, khususnya pada aspek kepemimpinan nasional. Kematian seorang pemimpin politik puncak di negara otoriter, seperti dalam kasus Korea Utara,dipandangpenuhdengan ketidakpastian.Ketidakpastian ini dapat berarti memperburuk situasi krisis yang tengah berlangsung atau sebaliknya dapat dipandang membawa dampak positif untuk mewujudkan perdamaian.Situasi apa yang muncul akan sebagian besar ditentukan oleh watak dan karakter kepemimpinan yang menggantikan KimJong-il.

    Itulah sebabnya spekulasi krisis Korea kembali merebak setelah meninggalnya Kim Jong-il. Analisis seperti ini juga digunakan oleh kalangan liberal untuk menyatakan mengapa pergantian kepemimpinan di Korea Selatan yang demokratik itu tidak dipandang memberikan kontribusi bagi krisis Semenanjung Korea. Diasumsikan oleh kalangan liberal bahwa negara demokratik seperti Korea Selatan memiliki pelembagaan politik yang lebih baik. Sirkulasi elite kepemimpinan nasionalnya diyakini tidak memberikan guncangan politik karena faktor personal kepemimpinan nasional berperan minor atau tidak memainkan peran vital dalam mengendalikan krisis.

    Ringkasnya, jika pergantian presiden di Korea Selatan memiliki prediktabilitas politik yang tinggi, pergantian di Korea Utara dianggap sangat rawan dengan risiko politik. Tesis pemikiran liberal ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, tesis democratic peacecenderung untuk menyudutkan Korea Utara dalam opini media internasional.

    Kedua, tesis ini membatasi pembahasan krisis semenanjung Korea pada dua identitas politik nasional yang berbeda yaitu sebatas antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang demokratik.Ketiga, konsekuensi lainnya dari tesis ini adalah ia juga cenderung untuk mengabaikan faktor objektif dari dimensi regional dan internasional yang sangat mewarnai konflik di Semenanjung Korea.

    Kepentingan di Semenanjung Korea

    Adalah merupakan fakta yang sukar dibantah bahwa sebagai akibat dari kuatnya tesis democratic peace ini,komunitas internasional memiliki kecenderungan untuk terjebak dalam strategi soft balancing.Strategi ini pada intinya adalah mengasingkan Korea Utara dari kerja sama regional dan internasional. ASEAN tampaknya secara tidak “sadar” juga telah terjebak dalam strategi soft balancing yang dipopulerkan oleh kalangan liberal.Walau Korea Utara merupakan bagian dari wilayah Asia Timur dan juga telah menandatangani Treaty of Amity and Cooperationjauh sebelum AS,Australia dan Rusia,namun hingga kini negara itu tidak menjadi bagian dari forum kerja sama East Asia Summit.

    Di samping itu, ada dua negara yang sangat berkepentingan terhadap krisis di Semenanjung Korea. Kedua negara itu adalah China dan Amerika Serikat (AS). Kepentingan strategisChinaterhadapKoreaUtara pertama-tama adalah sebagai strategic buffer zone. Bagi China,Korea Utara dapat berfungsi sebagai guard post untuk mengamati pergerakan tentara Amerika Serikat di wilayah perbatasan antara Korea dan China yang sepanjang 1.400 km itu. Bagi China, fungsi Korea Utara sebagai guard post ini memberikan manfaat karena negeri itu dapat lebih memfokuskan diri pada isu Taiwan.

    Dengan kata lain,terdapat persepsi ancaman yang sama antara Korea Utara dan China terhadap Amerika Serikat. Itu pula sebabnya,China tidak merasa terancam ketika Korea Utara disebutkan memiliki kemampuan untuk pengembangan senjata nuklir. Ini kembali menegaskan tesis bahwa persepsi ancaman yang menentukan daripada perbedaan struktur kapabilitas militer antar negara. Sejauh menyangkut isu nuklir, China menyatakan ia tidak berada dalam posisi untuk melakukan tekanan terhadap Korea Utara untuk menghilangkan pengembangan senjata nuklirnya yang telah dilakukan selama 20 tahun.

    Bagi China, pertimbangan strategis Korea Utara untuk memiliki senjata nuklir dapat dipahami mengingat kehadiran Amerika Serikat yang berstatus sebagai negara nuklir (nuclear power) di Korea Selatan. Namun, China juga menyatakan bahwa negeri itu tidak menyetujui program pengembangan nuklir Korea Utara. Sikap China yang “mendua” ini yang menyebabkan China mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB 1718 yang hanya memberikan “sanksi terbatas” (sebatas material yang terkait dengan WMD) kepada Korea Utara dan sekaligus menolak memberikan “sanksi komprehensif” (sanksi ekonomi dan keuangan).

    Karena kepentingan strategisnya terutama terletak pada fungsi buffer zone, terdapat insentif strategis yang sangat minimal bagi China untuk mendukung Korea Utara untuk mewujudkan perang terbuka.China harus berpikir sangat serius jika ingin mendukung Korea Utara dalam perang terbuka. Dari sisi insentif ekonomi, perang Korea akan dapat mengancam kesinambungan pertumbuhan ekonomi China. Mustahil bagi China untuk mewujudkan ambisinya sebagai suatu trading nationterbesar di dunia,jika jalur lalu lintas laut (sea lanes of communication) di kawasan menjadi tidak aman karena perang Korea.

    Kepentingan strategis AS di Korea adalah untuk melakukan “pembendungan” (containment) terhadap kebangkitan China di masa depan.Kehadiran tentara AS di Korea Selatan merupakan bagian dari strategi “hard balancing” yang riil,yang diterapkan oleh negeri itu langsung berbatasan dengan wilayah perimeter keamanan China.

    Ringkasnya, krisis Semenanjung Korea dalam derajat tertentu juga merupakan turunan dari perhitungan strategis objektif dan rasional antara Amerika Serikat dan China.Krisis Semenanjung Korea tidak bisa sematamata diprediksi dari meninggalnya Kim Jong-il. ●

    Krisis Korea Pasca-Kim Jong-il
    Makmur Keliat, PENGAJAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, FISIP, UNIVERSITAS INDONESIA
    Sumber : SINDO, 20 Desember 2011

  • Loyalitas TNI dan Faktor Geopolitik

    Loyalitas TNI dan Faktor Geopolitik
    Sayidiman Suryohadiprojo, MANTAN GUBERNUR LEMHANNAS
    Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
    Dalam tulisan berjudul ”Modal Geopolitik Kita” di Kompas (2/12/2011), Christianto Wibisono menyatakan bahwa TNI terbukti tidak loyal melaksanakan politik konfrontasi yang ditetapkan Presiden Soekarno.
    Dikatakan tak loyal terhadap politik pemerintahnya merupakan tuduhan amat berat bagi setiap tentara, khususnya bagi TNI yang berpedoman pada Sapta Marga. Benarkah tuduhan yang ditujukan kepada TNI ini? TNI dapat dikatakan tak loyal menjalankan politik konfrontasi pemerintah jika TNI tak menjalankan usaha yang mendukungnya secara konkret.
    Kenyataannya, TNI telah menempatkan banyak pasukan di Sumatera dan Kalimantan untuk memberikan tekanan fisik kepada Malaysia dan Singapura yang waktu itu masih menjadi bagian dari Malaysia. Bahkan, sudah dimulai dengan penyusupan ke wilayah Malaysia oleh satuan-satuan tertentu. Akibat dari usaha itu, di Pulau Jawa hampir tak ada lagi satuan tempur TNI AD.
    Gerakan satuan keluar daerah pangkalan dilakukan dengan tertib dan bersemangat tinggi sekalipun banyak yang harus meninggalkan keluarga dalam kondisi ekonomi serba berat. Sama sekali tak ada tanda dan bukti TNI tak melakukan tugas-tugasnya secara setengah hati.
    Memang setelah masalah Irian Barat selesai, banyak yang mengharapkan TNI, khususnya TNI AD, melakukan konsolidasi. Sebab, sejak 1945 hingga masalah Irian Barat selesai tahun 1962, TNI AD tak pernah bebas menjalankan operasi militer. Maka secara fisik dan organisasi TNI perlu melakukan konsolidasi. Apalagi kondisi ekonomi bangsa makin buruk yang membuat kehidupan para anggota TNI cukup berat.
    Akan tetapi, perasaan itu sama sekali tak mengurangi semangat menjalankan tugas ketika harus berangkat lagi dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia. Maka salah sekali pernyataan Christianto Wibisono (CW) dan sepatutnya ia minta maaf kepada para anggota TNI yang telah ia tuduh tak bersikap loyal kepada pemerintah. Kedua, CW menyatakan dalam tulisannya bahwa korban pembantaian PKI 1965 lebih besar daripada korban rakyat pribumi oleh penjajahan kolonial Belanda. Pernyataan ini dibuat CW tanpa ada data statistik yang dapat dipercaya. Pendapat ini sangat meremehkan korban rakyat Indonesia di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Indonesia timur sejak Belanda menancapkan kuku kolonialnya di bumi Indonesia. Apakah CW memang sadar apa yang dialami bangsa Indonesia selama dijajah Belanda selama 300 tahun?
    Bahwa telah jatuh korban banyak tahun 1965 tak dapat disangkal, tetapi mengatakan bahwa korban selama penjajahan Belanda tak seberapa dibandingkan jumlah korban tahun 1965 benar-benar menunjukkan kurangnya kesadaran atas penjajahan yang telah terjadi Indonesia. Jelas sikap demikian menghasilkan pendapat menyesatkan serta dapat memengaruhi rakyat generasi sekarang dan mendatang.
    Menguntungkan Asing
    Hal ketiga yang perlu disanggah dalam tulisan itu adalah pendapat bahwa elite Indonesia gagal mengaplikasikan dan mengoptimalkan faktor geopolitik Indonesia. Atau mereka paham, tetapi tak rela mengakui terobosan kapitalisasi dan maksimalisasi modal geopolitik oleh pemerintahan SBY. Pertama, jauh dari jelas siapa yang CW maksud sebagai elite Indonesia. Sebab, cukup banyak kaum terpelajar di Indonesia yang paham sekali akan geopolitik dan menerapkan pemahaman itu dalam pengabdiannya kepada negara.
    Kedua, CW mengabaikan banyak aspek dalam geopolitik Indonesia dan yang diutamakan aspek yang bersifat antarnegara atau internasional. Padahal, Wawasan Nusantara merupakan aspek yang amat penting dalam geopolitik Indonesia. Dan politik pemerintah kurang sekali mengoptimalkan Wawasan Nusantara bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia.
    Cabotage, yaitu politik yang mengharuskan komunikasi dan angkutan dalam negeri hanya menggunakan produk buatan Indonesia, mempekerjakan orang yang dididik di Indonesia, dan lain-lain, tak dilakukan pemerintah. Beda sekali dengan politik negara lain, khususnya AS yang secara keras melakukannya. Dan berbagai hal lain yang belum pernah dioptimalkan pemerintah.
    Bahwa sekarang banyak pihak luar negeri memuji-muji Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya justru disebabkan kondisi Indonesia amat menguntungkan bagi pihak luar negeri. Politik RI sekarang menguntungkan AS, China, dan lainnya, tetapi justru kurang menguntungkan bangsa Indonesia sendiri.
    Seperti politik ketahanan pangan yang sama sekali tak memihak bangsa sendiri. Sembarang produk diimpor dan tak diusahakan diproduksi di dalam negeri. Ketergantungan Indonesia terhadap impor produk luar negeri menjadi bahan tertawaan orang asing yang mendapat keuntungan dari politik demikian.
    Padahal, politik luar negeri yang tidak didukung oleh kondisi dalam negeri yang kuat mantap adalah semacam show business tak bermakna dan justru merugikan bangsa Indonesia. Politik luar negeri RI sekarang tak lepas dari politik pencitraan yang memang menjadi kesukaan Presiden SBY. Mungkin masih ada hal lain dalam tulisan itu yang merupakan pendapat menyesatkan, tetapi tiga hal ini yang paling menonjol dan menyesatkan.  
  • Jinakkan Bom (Waktu) di Cengkareng

    Jinakkan Bom (Waktu) di Cengkareng
    Chappy Hakim, CHAIRMAN, CSE AVIATION
    Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
    Tahun 1962 dikenal suatu badan yang bernama Depanri, kependekan dari Dewan Penerbangan Republik Indonesia. Ketuanya Menteri Pertama Indonesia Ir H Djuanda dan sekretarisnya dari Angkatan Udara, RJ Salatun.
    Salah satu lingkup dari kegiatan Depanri adalah ”Pengembangan Kebijakan Kedirgantaraan Nasional”. Pada era itulah, sampai lebih kurang tahun 1980-an, arah perkembangan industri penerbangan nasional tampak dalam konsep dan konteks yang jelas.
    Tanggung jawab untuk mengembangkan penerbangan domestik rute utama dan penerbangan internasional diserahkan kepada Garuda Indonesian Airways. Di tangan Garuda inilah kehormatan, kebanggaan, serta promosi angkutan udara bangsa Indonesia dipertaruhkan.
    Dipimpin Ahlinya
    Garuda dipimpin oleh pilot kawakan bernama Wiweko, penerbang Asia pertama yang pernah seorang diri menembus Samudra Pasifik (dari Auckland, Amerika Serikat ke Jakarta) dengan pesawat terbang. Maka, Wiweko mampu menangani penerbangan secara total.
    Sebagai pilot, dia tahu kapan saatnya membeli banyak pesawat sekaligus mempersiapkan sumber daya manusianya. Wiweko tidak hanya mendiskusikan pilihan pesawat terbang yang cocok untuk negara kepulauan kita dengan pabrik pesawat terkemuka, tetapi juga merancang desain kokpit pesawat yang spektakuler sepanjang sejarah.
    Wiweko mengubah jumlah awak kokpit jadi hanya dua orang (two men forward facing crew cockpits). Desain ini semula ditentang habis-habisan oleh otoritas penerbangan Amerika Serikat (Federal Aviation Administration/FAA), tetapi kini justru jadi standar baku desain kokpit pesawat angkut internasional. Saat itu, Garuda sang pembawa bendera melesat maju di angkasa Asia, Eropa, dan bahkan pernah sampai Amerika Serikat.
    Di dalam negeri, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, moda angkutan udara menjadi sarana sangat penting dalam pengelolaan negara dalam konteks pembangunan dan pemerataan pembangunan.
    Pemerintah mulai menembus isolasi pada daerah-daerah terpencil dengan memanfaatkan penerbangan Angkatan Udara yang saat itu menyelenggarakan Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM). Ini yang dilanjutkan maskapai penerbangan Merpati yang melayani rute-rute domestik selaku penerbangan perintis.
    Di bawah kepemimpinan antara lain Marsda TNI Santoso, Merpati Nusantara sukses mengelola penerbangan perintis di kawasan Indonesia timur terutama Papua dan Maluku dengan pesawat kecil Twin Otter buatan Kanada. Berkembang pula berbagai maskapai penerbangan lain, menopang kebutuhan angkutan udara Indonesia yang memang tidak mungkin ditangani Garuda dan Merpati saja.
    Paralel dengan itu, Kementerian Perhubungan dengan Akademi Penerbangan Indonesia (API) secara reguler menghasilkan para penerbang, teknisi, dan juga tenaga air traffic control (ATC) sesuai kebutuhan.
    Pembangunan pelabuhan-pelabuhan udara juga terus berlangsung di berbagai daerah, termasuk rencana pembangunan Soekarno-Hatta International Airport di Cengkareng. Itulah semua gambaran masa lalu dari dunia penerbangan kita yang sangat berorientasi pada pengembangan bidang aviasi secara profesional, tidak semata-mata pertimbangan komersial.
    Berubah Arah
    Lima belas tahun sampai dua puluh tahun terakhir terjadi perubahan sangat signifikan dalam penyelenggaraan angkutan udara nasional. Hal tersebut bukan saja akibat pesatnya kemajuan teknologi penerbangan, melainkan juga pertumbuhan arus pergerakan orang dan barang di dunia, termasuk Indonesia.
    Sayang, fenomena ini hanya dihayati sebagai gejala pertumbuhan ekonomi dan atau finansial sehingga orang berlomba-lomba mendirikan maskapai penerbangan. Tanpa latar belakang pengetahuan penerbangan, orang mengelola maskapai penerbangan seperti usaha di bidang niaga semata, terutama dalam menghadapi persaingan usaha yang ketat. Maka, kemungkinan terjadinya pelanggaran aturan dan ketentuan yang berlaku menjadi sangat besar.
    Pada kondisi yang terkonsentrasi hanya pada upaya mencari keuntungan belaka ini—ditambah dengan adanya berbagai pelanggaran—yang terjadi adalah hal-hal yang sangat merugikan khalayak konsumen pengguna jasa angkutan udara.
    Masalah dimulai dari meningkatnya maskapai penerbangan yang berkorelasi dengan pengadaan pesawat dalam jumlah besar dan waktu relatif singkat. Dampaknya adalah kedodorannya sarana pendukung penerbangan. Pilot, teknisi, tenaga ATC, inspektur penerbangan, dan tenaga kerja bidang aviasi menjadi defisit. Demikian pula sarana infrastruktur penerbangan seperti bandara, alat bantu navigasi, radar pengawas lalu lintas udara, pesawat kalibrasi, dan alat komunikasi yang menjadi jauh dari memadai.
    Itulah yang kita saksikan sekarang. Penambahan luar biasa dari maskapai penerbangan dan pengadaan besar-besaran pesawat terbang tidak seirama dengan rencana pengadaan sumber daya manusia serta pengembangan infrastruktur penerbangan. Saat ini dapat dikatakan bahwa hampir semua bandara mengalami kelebihan kapasitas dan hampir semua maskapai ”kekurangan” pilot dan teknisi. Ini masih ditambah dengan Kementerian Perhubungan yang kekurangan inspektur penerbangan.
    Pembinaan penerbangan di Indonesia telah berubah orientasi dari industri aviasi sebagai bagian dari pembangunan nasional menjadi sekadar ”cari untung”. Tentu saja arah ini membahayakan karena unsur keamanan terbang terabaikan. Konsekuensinya adalah meningkatnya peluang terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
    Mencari Solusi
    Dari uraian di atas, sudah waktunya untuk mengkaji ulang kondisi ini dan melihat apakah peran suatu institusi sejenis Depanri pada zaman dulu dikembalikan lagi ke kancah penataan penerbangan nasional di Indonesia. Dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang tersedia, apakah tidak sebaiknya kita hanya memiliki 4-5 maskapai penerbangan yang jelas visi dan misinya bagi rakyat banyak di negara kepulauan ini.
    Perlu pengaturan ulang mana maskapai yang ditugaskan untuk rute domestik terbatas dan internasional dan mana yang harus mengembangkan penerbangan perintis. Jenis pesawat apa dan dalam jumlah berapa yang memang sangat diperlukan untuk rute internasional, domestik, dan perintis. Tidak sekadar mendorong maskapai mengadakan pesawat besar dalam jumlah ratusan tetapi tanpa tujuan jelas.
    Demikian pula pertimbangan yang menyeluruh dari antisipasi penyiapan infrastruktur dan sumber daya manusia, termasuk petugas ATC, tidak boleh luput dari perhatian. Penerbangan nasional memang butuh penataan ulang secara komprehensif, yang tidak hanya berorientasi pada pola mencari keuntungan semata. Hanya dengan cara itu kita semua bisa kembali berharap: bom waktu yang kini tengah bergulir di Bandar Udara Soekarno-Hatta dapat segera dijinakkan. Mudah-mudahan.  
  • Sondang, Mati yang Hidup dan Hidup yang Mati

    Sondang, Mati yang Hidup dan Hidup yang Mati
    Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
    Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
    Sondang Hutagalung memilih kematian untuk memuliakan kehidupan. Ia percaya, dengan segenap hati, jiwa, dan raganya, ada sesuatu yang bernama kebenaran dan keadilan. Kepercayaan itu telah ia perjuangkan sebatas kemampuannya dengan ambil bagian dalam serangkaian aksi.
    Setelah aksi demi aksi bak percik bunyi yang mudah lenyap ditelan kegaduhan politik pencitraan, ia pun bertanya kepada sejawat seniornya, apa lagi yang bisa diperbuat untuk membuka mata, telinga, dan sukma pemimpin negara. Ia pun tiba pada titik simpul, tak banyak pilihan yang bisa dikerjakan orang biasa. Satu-satunya pilihan yang diharapkan bisa menyadarkan elite politik akan pentingnya memuliakan kehidupan adalah memilih kematian secara dramatis.
    Berbeda dengan politik opera sabun yang obsesif dengan popularitas, Sondang mengakhiri hidupnya secara sunyi, tanpa gembar-gembor publikasi. Berbeda pula dengan aksi teroris, yang membunuh manusia lain yang tak berdosa, ia memilih mati sendirian. Ia seorang altruis sejati. Jiwa-raganya dijelmakan menjadi jiwa-raga ”politik”—wujud manusia secara keseluruhan—yang dibakar demi menerangi kegelapan hidup bersama. Dalam hal ini, meminjam ungkapan Thomas Jefferson, ”Politics, like religion, hold up the torches of martyrdom to the reformers of error”.
    Perjuangan melalui bakar diri memang pilihan yang tragis. Namun, lebih getir lagi membayangkan respons mereka yang hidup dalam menyikapi pengorbanannya. Aksi ini memang berhasil mengangkat nama Sondang dari seseorang yang tak dikenal menjadi sontak terkenal, bahkan sempat menjadi trending topic di sejumlah media sosial, sebelum dibunuh oleh ekspos penangkapan Nunun Nurbaeti. Selebihnya, situasi yang lebih mengerikan membayang di hadapan kita. Sumbu jiwa bangsa ini seperti telah kering, tak memiliki sensitivitas untuk mudah tersentuh oleh kemartiran.
    Sementara Sondang memilih mati demi kehidupan, yang memilih hidup justru mengalami kematian. Dalam kehidupan yang mati rasa, bahkan simpati pun menjadi barang mahal, elite negara malah mengembangkan mekanisme blaming the victim (menyalahkan korban), seperti dilontarkan pejabat dari lingkaran dalam istana: ”Pemuda berjuang harus berani hidup, bukan berani mati.”
    Solidaritas sosial di kalangan aktivis pun terasa renggang; masing-masing sibuk dengan rutinitas agenda-agenda sektoral yang mudah dipecah belah oleh insentif recehan dari kuasa politik dan modal. Dalam ketiadaan agenda bersama, sulit diperjuangkan perubahan sosial. Seperti diingatkan Alimin, ”Mengapa keadaan kita tidak membaik? Karena kita selalu berjuang sendiri-sendiri. Masing-masing berjuang dengan gerombolan pengikut yang kecil.”
    Dunia kampus tidak lagi menjadi jantung kritisisme yang dapat memompakan darah segar ke seluruh arteri pergerakan. Kampus-kampus yang mewarisi tradisi perjuangan mengalami perubahan mental, dampak kapitalisasi pendidikan. Dengan didominasi mahasiswa dari kalangan menengah-atas, kepekaan kampus terhadap isu-isu ketidakadilan dan kesengsaraan rakyat menipis.
    Dunia kehidupan yang mengalami atomisasi dan fragmentasi sosial tidak menjanjikan kehidupan politik yang sehat. Kebaikan publik bukanlah total penjumlahan dari kebaikan individu-individu. Kebaikan publik hanya bisa ditegakkan oleh kehadiran luas manusia publik (public persons), yakni warga negara yang memiliki kepekaan, kebertautan, dan komitmen terhadap nilai-nilai kebajikan hidup bersama.
    Dalam kelemahan komitmen publik, menegakkan kebaikan publik seperti menegakkan benang basah. Ketika aksi keprihatinan seorang atau sekelompok warga tak lagi bergema di hati yang lain, mereka yang memperjuangkan nilai terpaksa menempuh cara ekstrem untuk mendapatkan perhatian.
    Aksi bakar diri sebagai cara berjuang tidak memiliki akar antropologi yang kuat dalam sejarah Indonesia. Hal ini menyiratkan berkembangnya situasi anomali (kekacauan) dalam dunia kehidupan kita. Sarana-sarana tradisional tidak lagi efektif dalam menggerakkan perubahan sosial, yang melahirkan frustrasi sosial.
    Salah satu pemicunya adalah ketercerabutan kesadaran elite dari suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elite lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami pengabaian. Penyelenggara negara sibuk menimbun kekayaan lewat aneka tunjangan, rente, dan korupsi, melupakan kewajiban memajukan kesejahteraan serta keadilan sosial. Elite politik melupakan kehidupan rakyat kecil yang terempas dan terputus.
    Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir di alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya. Bung Karno mengatakan, ”Mereka seharusnya belajar bahwa seseorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka…. Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.”
    Kemartiran Sondang harus menjadi wahana pembedahan dunia politik kita secara mendasar: menggusur sistem dan pemimpin yang korup dengan menghadirkan sistem serta pemimpin yang lebih cocok dengan karakter bangsa dan alam kebatinan rakyatnya.  
  • Bakar Diri dalam Demokrasi SBY

    Bakar Diri dalam Demokrasi SBY
    Fajar Riza Ul Haq, DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE FOR CULTURE AND HUMANITY
    Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
    Sondang Hutagalung telah pergi meninggalkan kita selamanya, Sabtu (10/12) sore. Meski kepolisian belum menyampaikan pernyataan resmi terkait motif, aksi bakar diri Sondang di depan Istana Negara (7/12) merefleksikan anomali akut dalam pemerintahan SBY-Boediono.
    Sahabat Munir, komunitas tempat mahasiswa Universitas Bung Karno ini aktif memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan, meyakini bahwa aksi bakar diri Sondang adalah sikap politik dan pilihan strateginya. Aksi bakar dirinya merupakan protes terhadap kondisi bangsa dan negara yang jauh dari keadilan dan kesejahteraan. Di sisi lain, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menilai ekspresi protes melalui aksi membakar diri merendahkan martabat kemanusiaan (Kompas, 8/12).
    Dalam konteks perjuangan politik di Indonesia, paling tidak sejak era reformasi, aksi bakar diri Sondang merupakan yang pertama terjadi. Peristiwa ini sangat menyengat nurani karena terjadi dalam kondisi politik yang demokratis. Dalam sejarah perjuangan politik modern, Josh Sanburn mencatat bahwa aksi membakar diri pertama kali dilakukan oleh seorang biksu, Thich Quang Duc, 11 Juni 1963, di Vietnam selatan (Time, 20/1/11). Quang Duc memprotes keras kebijakan diskriminatif rezim Ngo Dinh Diem terhadap para biksu dengan cara membakar diri di jalanan kota Saigon.
    Aksi Quang Duc telah ditiru banyak gerakan perlawanan politik di pelbagai belahan dunia. Seperti dicatat Sanburn, membakar diri juga dipilih Czechoslavaks untuk memprotes invasi Soviet (1968), lima mahasiswa Indian memprotes kuota pekerjaan (1990), warga Kurdi saat memprotes Turki (1999), dan pengikut Falun Gong memprotes kebijakan China di Lapangan Tiananmen (2009).
    Awal tahun ini dunia pun dikejutkan oleh kejatuhan Presiden Tunisia Ben Ali. Pemicunya adalah aksi bakar diri Mohamed Bouazizi. Tindakan tukang sayur Tunisia ini mulai dijiplak para pendemo di negara-negara Afrika yang merasa frustrasi dan buntu dengan mekanisme perjuangan politik formal.
    Sejumlah biksu dan biksuni mengikuti aksi Quang Duc dalam menentang kebijakan represif Pemerintah China terhadap gerakan pembebasan Tibet. Pertengahan Oktober lalu, seorang biksu Tibet di Kathmandu, Nepal, membiarkan jasadnya dilahap api (Huffington Post, 11/10).
    Anomali dalam Demokrasi
    Mengapa aksi membakar diri menjadi pilihan perjuangan para biksu Tibet? Jawaban Kyabje Kirti Rinpoche sangat jelas, sebagaimana dilaporkan Jonathan Watts. ”Mereka tak lagi memiliki pilihan untuk mengekspresikan penentangannya terhadap Pemerintah China kecuali melalui bentuk ekstrem aksi tanpa kekerasan. Aksi mereka tidak menyakiti satu pun warga China” (the Guardian, 16/11).
    Menariknya, Rinpoche menyebut aksi bakar diri sebagai tindakan ekstrem dari perlawanan tanpa kekerasan. Kontras dengan model perjuangan nirkekerasan Mahatma Gandhi.
    Sistem politik China dan pendekatan represif Beijing terhadap persoalan Tibet membuat kita bisa memahami munculnya fenomena perlawanan dengan membakar diri. Membakar diri adalah bentuk perlawanan politik radikal.
    Namun, dalam konteks Indonesia, posisinya menjadi unik. Pemerintah getol mempromosikan Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Reformasi politik dan hukum diklaim mengalami peningkatan pesat. Laporan Freedom House 2010 menempatkan Indonesia dalam koridor negara bebas.
    Hemat saya, kehadiran aksi bakar diri dalam ruang publik kita merupakan dampak ekstrem dari sejumlah kebijakan negara yang mengingkari substansi demokrasi politik dan negara hukum yang berkeadilan. Para pencari keadilan dipenjarakan oleh kekumuhan budaya aparat hukum. Suara rakyat dibungkam oleh kebebalan mentalitas elite dan politisi. Demokrasi didikte hanya oleh segelintir kepala. Inilah anomali akut dalam demokrasi kita.
    Tentu kita berharap pilihan radikal yang ditempuh Sondang Hutagalung menjadi yang terakhir sekaligus menjadi titik mula. Terakhir untuk pengorbanan jiwa seorang anak bangsa demi keadilan dan kebenaran. Dan, ia menjadi titik mula bagi terbukanya kesadaran pemerintah untuk segera mengakhiri produksi kebijakan yang telah melahirkan banyak korban kekerasan struktural. Jangan biarkan para pencari keadilan mencari jalan selain politik demokrasi yang memanusiakan.
    Izinkan penulis mengakhiri tulisan ini dengan puisi Cesaire yang dikutip Frantz Fanon (2000:65), ”Namaku sakit hati/nama baptisku penghinaan/statusku pemberontak/usiaku seusia batu.// Rasku ras manusia, agamaku persaudaraan”.