Blog

  • Tanggungjawab Kasus Mesuji

    Tanggungjawab Kasus Mesuji
    Rahayu, KETUA PUSAT STUDI HAM DAN HHI FAKULTAS HUKUM UNDIP
    Sumber : SUARA MERDEKA, 23 Desember 2011
    SATUlagi peristiwa memilukan terjadi di negeri ini: tragedi kemanusiaan Mesuji. Tindak kekerasan antara petugas keamanan (pamswakarsa) perusahaan perkebunan swasta (asing) dengan warga ini berawal dari sengketa kepemilikan lahan. Kekerasan yang terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung  itu merupakan akibat dari pengelolaan bisnis kelapa sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat sejak 1997. Kekerasan meningkat ketika pihak perusahaan menolak mengembalikan lahan kepada masyarakat sehingga tidak kurang 30 warga tewas. Mabes Polri mengoreksi dengan menyebutkan korban tewas 9 orang, termasuk dua petugas pamswakarsa yang dipenggal kepalanya. (SM, 22/12/11).

    Bila pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dipahami tidak hanya berupa tindakan (action) tetapi sekaligus juga pendiaman (omission), ketika pelanggaran dilakukan oleh individu atau kelompok individu yang bukan aparat negara –namun negara melalui aparatnya tidak melakukan tindakan apa pun, baik preventif maupun represif– maka indikasi terjadinya pelanggaran HAM jelas terlihat.

    Sikap pemda setempat melalui berbagai kebijakan dan tindakan yang tidak berpihak pada masyarakat, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, menjadi bukti cukup kuat. Begitu pula dengan jarak waktu yang cukup lama antara terjadinya peristiwa (April dan November 2011) dan pengungkapannya secara terbuka pada pertengahan Desember 2011 menjadi indikasi tidak tertanganinya kasus itu dengan baik, bila tidak mau dikatakan telah terjadi pembiaran. Apalagi rekomendasi Komnas HAM terhadap pemerintah pun tidak mendapatkan tanggapan semestinya. 

    Dampak Konglomerasi

    Sesungguhnya tragedi Mesuji bukanlah satu-satunya di negeri ini berkaitan dengan sengketa kepemilikan lahan dan pengelolaan sumber daya alam antara masyarakat dan pemilik modal. Menurut Kontras, di samping terjadi di Lampung dan Sumatra Selatan, setidak-tidaknya saat ini ada 6 kasus besar serupa, dari Papua, Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, hingga Sulawesi Tengah.

    Dari semua kasus itu, akhirnya selalu menempatkan rakyat sebagai korban yang tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan pemilik modal. Marginalisasi dan kriminalisasi merupakan stereotipe perlakuan yang menimpa mereka. Persinggungan kepentingan antara bisnis perusahaan (korporasi) dan warga setempat, berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM. Seperti hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pemenuhan  hak-hak lainnya.

    Persoalan ini sebenarnya merupakan salah satu akibat dari kecenderungan global yang menempatkan sektor privat (korporasi) sebagai pilar utama, di samping negara dan masyarakat sipil. Negara sebagai pemegang otoritas kedaulatan adalah pihak yang menentukan aktivitas bisnis macam apa yang mestinya boleh hidup dan berkembang di suatu negara. Orientasinya semata-mata untuk menyejahterakan rakyatnya. Idealnya, hubungan yang serasi di antara ketiganya akan melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Namun sebaliknya, tarik-menarik kepentingan di antara ketiga komponen tersebut menurut Eric Wilson justru menyebabkan pemerintah seringkali takluk pada kepentingan bisnis dan mengabaikan rakyatnya.

    Tanggung Jawab

    Dewasa ini perjuangan untuk menegakkan HAM menghadapi tantangan luar biasa sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme global yang menghendaki tata perekonomian dunia diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Hal ini mendorong munculnya korporasi sebagai pemilik modal dengan kekuatannya yang seringkali melebihi kekuatan negara.

    Kendati masih diterima prinsip bahwa negara adalah pemegang kewajiban utama di bidang HAM, fakta menunjukkan dalam pola relasi kekuasaan horizontal, peluang terjadinya pelanggaran HAM menjadi lebih luas. Pelakunya juga meliputi aktor-aktor nonnegara, baik individu maupun korporasi. Artinya, pelanggaran HAM berpotensi dilakukan oleh korporasi, khususnya terhadap masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan.

    Keberadaan korporasi dan bisnis di mana pun pasti berorientasi mencari keuntungan. Namun bukan berarti hal itu bisa dilakukan dengan melanggar HAM masyarakat karena pelaku bisnis juga memiliki kewajiban di bidang HAM. Sebagaimana ditegaskan dalam Konferensi Dunia tentang HAM di Vienna pada 1993, bahwa pelaku bisnis memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati dan melaksanakan HAM. Hal ini kembali ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 2003 Nomor  E/CN 4/ Sub 2/ 2003/ 12/ Rev 2 tentang Norms on the Responsibilities of Trans National Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Right. 

    Kewajiban dan tanggung jawab korporasi di bidang HAM lahir karena komitmen kemanusiaan dan kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, berisiko ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pengingkaran terhadap kewajiban tersebut melahirkan tanggung jawab bagi pelaku bisnis sebagai pelaku pelanggaran HAM. Konsekuensinya, negara melalui pemerintah harus berani lebih tegas mengambil tindakan yang berpihak membela kepentingan rakyat. Tidak sekadar melakukan tindakan hukum bagi pelaku dan pemilik korporasi, namun yang lebih penting adalah upaya pengembalian dan pemenuhan hak-hak masyarakat melalui rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban.

    Kewajiban dan tanggung jawab tersebut menjadi makin penting mengingat masalah utama yang dihadapi manusia bukan lagi sekadar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai salah satu dampak dari eksploitasi dan ketidakpedulian korporasi sebagai pemilik modal.  

  • Quo Vadis Indonesia (1)

    Quo Vadis Indonesia (1)
    Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RI
    Sumber : REPUBLIKA, 22 Desember 2011
    Baik Sutan Takdir Alisjahbana (STA) maupun Bacharuddin Jusuf Habibie (BJH) memiliki obsesi yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang sudah maju. Sutan Takdir Alisjahbana aktif dalam sastra dan kebudayaan sejak sebelum Sumpah Pemuda (1928) dan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945), sampai embusan napas terakhir di usia 86 tahun pada 17 Juli 1994.

    Bacharuddin Jusuf Habibie aktif dalam ilmu pengetahuan dan teknologi setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) dan sebelum era Reformasi (1998), hingga sampai saat ini. Baik generasi Sutan Takdir Alisjahbana maupun generasi Bacharuddin Jusuf Habibie memperjuangkan dan mengembangkan segala usaha untuk meningkatkan peran sumber daya manusia (SDM) dalam memajukan Indonesia.

    Jika Sutan Takdir Alisjahbana bersama generasinya menitikberatkan aktivitasnya pada peningkatan ‘nasionalisme’ dari suatu masyarakat plural dalam kebhinekaan Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie bersama generasi selanjutnya menitikberatkan aktivitas pada peningkatan ‘daya saing’ sumber daya manusia Indonesia di tengah proses globalisasi yang sedang berjalan.

    Sasaran Sutan Takdir Alisjahbana dan Bacharuddin Jusuf Habibie sama, yaitu kesejahteraan dan keadilan yang merata, tanpa membedakan suku, agama, dan ras bagi sumber daya manusia yang hidup di benua maritim Indonesia. Namun, cara untuk mencapai sasaran tersebut berbeda karena harus disesuaikan dengan keadaan, lingkungan, dan kondisi dunia masa mereka masing-masing saat berperan dan berkarya.

    Ironi Kesenjangan
    Wajah dunia pada masa generasi Sutan Takdir Alisjahbana (sebelum 1945) dan sekarang sangat berbeda. Dahulu tidak ada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sebagian besar dunia masih dijajah oleh beberapa negara adikuasa. Mereka menjadikan daerah jajahannya sebagai modal tempat mengeruk sumber daya alam (SDA) terbarukan dan tidak terbarukan, yang sekaligus menjadi pasar bagi hasil produk nilai-tambah mereka. Pendapatan dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hidup di negeri jajahannya, dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan dan pengembangan prasarana ekonomi dan iptek serta proses industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara, yang saat itu sedang berkembang.

    Sekarang wajah dunia telah berubah. Bangsa-bangsa yang pernah dijajah telah merdeka dan bebas, bahkan menjadi anggota PBB. Mereka berlomba-lomba meningkatkan daya saing dan produktivitas sumber daya manusia masing-masing.

    Ternyata batas negara dan jumlah penduduk suatu bangsa sangat dipengaruhi, direkayasa, bahkan ditentukan oleh penjajah; dan bukan berdasarkan pertimbangan ras, etnik, agama, budaya, bahasa, kerajaan, dan suatu dinasti yang pernah berkuasa. Nasionalisme yang baru berkembang di Timur Tengah, Afrika, Asia, dan di Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan lebih berorientasi pada pragmatisme, seperti halnya pada terbentuknya India, Pakistan, Banglades, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia, dan sebagainya. Apabila kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi seluruh sumber daya manusia Indonesia yang menjadi sasaran perjuangan Sutan Takdir Alisjahbana dan generasi Bacharuddin Jusuf Habibie, untuk menilai seberapa jauh sasaran tersebut telah dicapai, kita perlu melihat kemampuan berkarya (kualitas) dari sumber daya manusia Indonesia, yang antara lain tecermin dalam profil lapangan kerja mereka.

    Ternyata dari data yang kita peroleh menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup memprihatinkan. Usaha kecil dan usaha menengah menyediakan 99,46 persen lapangan kerja, sementara lapangan kerja yang disediakan oleh usaha besar hanya mencapai 0,54 persen. BPD dalam perekonomian nasional disumbang oleh hasil usaha besar (44,9 persen) hasil usaha kecil dan menengah (55,1 persen). Perbandingan nilai tambah yang dihasilkan setiap lapangan kerja oleh UK: UM: UB adalah 1: 3: 170. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan kualitas sumber daya manusia, pendidikan, produktivitas, dan penguasaan iptek.

    Kesenjangan tersebut harus dihindari karena akan mengakibatkan peningkatan kesenjangan antara miskin dan kaya dan menghambat daya saing ekonomi nasional. Gambaran tentang kesenjangan tersebut juga mengingatkan kita bahwa masalah kualitas sumber daya manusia merupakan persoalan utama bangsa, yang harus menjadi perhatian dan hendaknya menjadi ‘tema sentral’ dalam berbagai upaya kita untuk membangun masa depan secara konsisten dan berkesinambungan.

    Sejarah telah membuktikan bahwa hanya suatu masyarakat yang sumber daya manusianya merdeka dan bebas saja, yang dapat meningkatkan produktivitasnya dan akhirnya daya saing mereka. Perilaku sumber daya manusia dipengaruhi oleh budaya dan agama masyarakat bersangkutan, yang diperoleh dari kualitas proses pembudayaan. Keterampilan sumber daya manusia ditentukan oleh sistem pendidikan, penelitian, dan kesempatan bekerja masyarakat bersangkutan pula.

    Dalam proses ‘globalisasi’, perhatian utama diberikan sekitar mekanisme ‘jual-beli’ bilateral, multilateral, dan global. Pasar nasional, regional, dan global dengan mata uang yang relatif stabil dan relatif kuat akan mendapat perhatian utama. 

    Mekanisme pasar yang tadinya didominasi sumber daya alam dan produk karya nilai tambah dan biaya tambah sumber daya manusia, sekarang diwarnai dengan komoditas baru yang kita kenal sebagai mata uang. Arus informasi yang berlangsung cepat, tidak semua sempurna, dan rentan terhadap manipulasi sehingga akan sulit menghasilkan kebijakan yang tepat, cepat, dan berkualitas. Mekanisme pasar dan teori ekonomi yang berlaku perlu disempurnakan!

    Dalam proses globalisasi, dengan cadangan valuta asing yang diperoleh dari ekspor sebagai hasil karya proses nilai tambah sumber daya manusia, dapat dimanfaatkan untuk membeli modal perkebunan dan pertambangan sumber daya alam di negara pengimpor. Beberapa masyarakat atau negara telah berhasil mengekspor produk karya dan kerja sumber daya manusianya, kemudian memanfaatkan pendapatannya untuk membiayai pembangunan dan penyempurnaan pendidikan, penelitian, serta prasarana ekonomi dan industri nasionalnya. Akibatnya, proses peningkatan produktivitas dan daya saing negara tersebut meningkat dan demikian pula cadangan valuta asingnya. 

    Sebagai penanam modal, melalui proses globalisasi setiap perusahaan nasional atau multinasional dapat menjadi pemilik perkebunan dan pertambangan atau modal sumber daya alam di negara lain. Jaringan global para investor tersebut akan terus berkembang dan dimanfaatkan untuk menjadikan cadangan valuta dolar AS atau euro yang dimilikinya, berubah menjadi modal sumber daya alam di mancanegara.

    Jangan Cuma Konsumen
    Masyarakat akan menjadi konsumen produksi masyarakat lain, yang tanpa disadari telah menjual modal sumber daya alam perkebunan dan pertambangan yang dimiliki, yang dibayar dengan mengimpor produk yang tidak dibuat sendiri! Demikianlah, jaringan global penguasaan modal sumber daya alam oleh perusahaan nasional dan multinasional akan berkembang terus.

    Masyarakat indonesia secara tradisional tidak menghalangi investor nasional atau global membangun pusat keunggulan produksi untuk pasar domestik, regional, dan global. Namun, tetap saja tidak ada pembinaan dan perhatian terhadap produksi masyarakatnya sendiri. Yang diperhatikan adalah keuntungan yang cepat dan jangka pendek.

    Jika hanya neraca perdagangan dan pembayaran yang diperhatikan dan keduanya dalam keadaan seimbang bahkan menguntungkan, tanpa memberikan gambaran mengenai neraca jam kerja, dalam era globalisasi sekarang ini sulit menghindari terjadinya dilema seperti yang dilukiskan di depan. Neraca perdagangan dan pembayaran bisa seimbang, bahkan menguntungkan karena harga sumber daya alam meningkat! Namun, bagaimana nasib bangsa jika akhirnya pemilik kekayaan sumber daya alam Indonesia adalah perusahaan asing?  

  • Kembali ke Pasal 33 UUD 1945

    Kembali ke Pasal 33 UUD 1945
    Mochtar Naim, SOSIOLOG
    Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011
    Dengan mencontoh negara-negara tetangga yang mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi kerakyatan dari tingkat terbawah seperti Jepang, Korea, China, Singapura, dan Malaysia, Indonesia sudah sepatutnya melakukan hal yang sama sejak semula.
    Namun, kenyataannya tidak demikian. Sistem ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan, yang sudah 66 tahun umurnya, praktis sama saja dengan kita selama sekian abad berada di bawah penjajahan asing. Sistem ekonomi yang berkembang sampai saat ini masih bersifat liberal-kapitalistik-pasar bebas, sekaligus dualistik.
    Padahal, UUD 1945 menyatakan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4).
    Lalu disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1: ”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
    Ekonomi Dualistik
    Semua itu hanya angin surga yang diimpikan para penggagas dan pendiri republik ini. Sementara yang berjalan dan dipraktikkan selama ini justru sebaliknya. Selain karena terlalu lama dijajah, juga karena sistem sosial-budaya yang dimiliki oleh bangsa ini yang dominan adalah feodalistik, hierarkis-vertikal, sentripetal, etatik, nepotik, dan bahkan despotik.
    Alhasil, itulah yang berlanjut sampai hari ini, yaitu sistem ekonomi yang dualistik. Terbentuklah jurang menganga antara 95 persen penduduk yang merupakan rakyat asli, pribumi—yang sejak semula hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan terbelakang—dan penyertaan sekitar 5 persen dari ekonomi nasional yang ”bergedumpuk” di sektor nonformal. Sementara 5 persen lainnya—umumnya nonpribumi—menguasai 95 persen kekayaan ekonomi negeri ini: dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan bahkan udara di negara kepulauan terbesar di dunia ini.
    Antara harapan seperti dituangkan dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945 dan kenyataan yang dihadapi bagaikan siang dengan malam. Orang Jepang, Korea, China, Singapura, dan Malaysia bangga dengan negeri dan tanah airnya karena mereka sendiri yang punya dan menguasai bumi, air, dan segala isinya yang dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Kalaupun ada orang luar yang ikut serta, mereka adalah tamu dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Di kita, Indonesia, sebaliknya. Kita malah bagaikan tamu atau orang asing di rumah sendiri. Tanah, air, dan bahkan udara yang kita jawat secara turun-temurun dari nenek moyang kita hanya namanya kita yang punya, tetapi praktis seluruhnya mereka yang kuasai.
    Padahal, alangkah luas, kaya, dan indah negara ini sehingga menempati empat terbesar di dunia. Akan tetapi, kita hanya menguasai secara de jure di atas kertas, de facto dikuasai kapitalis mancanegara dan konglomerat nonpribumi yang sudah mencengkamkan kukunya sejak dulu. Lihatlah, hampir semua warga Indonesia terkaya ukuran dunia adalah mereka, diselingi satu-dua elite pribumi yang hidup sengaja mendekat dan/atau bagian dari api unggun kekuasaan itu.
    Untuk mengembangkan usaha makro di bidang perkebunan, kehutanan, galian alam, misalnya, pemerintah bahkan mengambil alih tanah ulayat milik rakyat yang dipusakai turun-temurun. Tanah itu lalu diserahkan berupa hak guna usaha, yang bisa diperpanjang setelah 30 tahun, ke kapitalis mancanegara dan konglomerat.
    Sekali tanah ulayat menjadi tanah negara, kendati sudah habis masa pakai ataupun tak lagi dipakai, tak juga bisa dikembalikan ke pemiliknya: rakyat! Hal itu hanya karena penafsiran Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang sangat negara-sentris, harfiah, bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
    Kata ”dikuasai” secara harfiah tentu saja tidak sama dengan ”dimiliki”. Pemiliknya tetap adalah rakyat yang mengulayati tanah itu secara turun-temurun.
    Jelas sekali bahwa negara sama sekali tak berpihak kepada rakyat, tetapi kepada para kapitalis multinasional dan konglomerat nonpribumi yang sekarang menguasai bagian terbesar dari tanah rakyat itu. Sekarang, yang namanya tanah ulayat di mana-mana habis. Tandas sudah!
    Alangkah tragis, mengingat semua ini terjadi justru di alam kemerdekaan. Ukuran keberhasilan pembangunan bagi penguasa negara jadinya bukan ”siapa” dan seberapa besar hasilnya dinikmati oleh rakyat, melainkan ”berapa” dari target yang diinginkan tercapai dalam angka-angka statistik. Pencapaian target itu, dalam kenyataannya, nyaris diborong habis oleh para kapitalis yang sesungguhnya menggerakkan roda ekonomi nasional.
    Penduduk asli-pribumi? Kelompok ini hidupnya masih seperti itu juga dari waktu ke waktu, rezim berganti rezim. Sementara rakyat pribumi rata-rata memiliki tanah kurang dari setengah hektar per keluarga, jutaan hektar tanah ulayat diserahkan oleh negara kepada para pengusaha kapitalis multinasional dan konglomerat.
    Kerja sama triumvirat kapitalis multinasional dan konglomerat nonpribumi di bawah lindungan elite penguasa negara yang pribumi inilah yang menggelindingkan ekonomi Indonesia selama ini. Sementara rakyat pribumi yang merupakan ahli waris sah republik ini tetap saja hidup melarat dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
    Walau janji-janji dilontarkan oleh penguasa Reformasi yang sudah jilid dua pula sekarang ini, masih ada saja yang tertulis di atas kertas yang tak segera terlihat ada implementasinya, seperti program kredit usaha rakyat dan entah apa lagi namanya itu. Jangan-jangan itu pun hanya janji gombal karena sebentar lagi pemilu akan datang pula.
    Akibat Salah Urus
    Bagaimana ke depan? Akan seperti ini juga tanpa perubahan struktural yang berarti, yang sifatnya harus fundamental, mendasar; atau seperti selama ini juga, sekadar tambal sulam di permukaan, yang esensinya itu ke itu juga.
    Kuncinya ada pada diri kita sendiri, terutama pada kelompok elite pribumi yang secara politis mengendalikan negeri dan negara ini. Seperti kita lihat, selama ini mereka (para elite pribumi) sekadar menumpang di biduk ke hilir. Mereka lebih suka menerima daripada memberi, lebih suka dilayani daripada melayani sesuai tugas mereka sebagai abdi negara.
    Tanpa bersusah-susah mereka menerima upeti berbagai macam, yang jumlahnya bisa tak termakan di akal sehat kita. Mereka datang dari semua lapisan birokrasi: dari eksekutif, legislatif, yudikatif, polisi maupun militer; dari orang pertama di tingkat atas sampai ke tingkat bawah; di pusat maupun di daerah.
    Dengan kebebasan pers yang kita nikmati sekarang, semua borok ini jadi terbuka. Tahulah kita betapa sakit negara ini sehingga dunia menjulukinya sebagai salah satu dari negara terkorup di dunia.
    Kita sesungguhnya sedang berada di tepi jurang kehancuran sebagai negara akibat salah urus dan akibat dari sistem sosial dan budaya politik yang kita anut selama ini, yang berbeda antara yang diucapkan dan yang dilakukan. Pilihannya tinggal satu: kembali ke pangkal jalan dengan mempraktikkan UUD 1945, khususnya Pasal 33 dan 34, secara jujur dan konsekuen; atau kaput, habis kita!  
  • Level Investasi Minus Intermediasi

    Level Investasi Minus Intermediasi
    A. Prasetyantoko, KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
    Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011
    Agak mengejutkan, Fitch Ratings memberikan predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia persis di akhir tahun. Sebelumnya diprediksi Indonesia akan menerima peringkat layak investasi tersebut sekitar paruh kedua 2012. Mengapa begitu cepat? Apa implikasinya bagi kita?
    Tentu kita hanya bisa menduga-duga. Akan tetapi, faktanya banyak negara maju yang berisiko mengalami penurunan peringkat. Fitch memberi proyeksi (outlook) negatif terhadap beberapa negara di Eropa, seperti Austria, Perancis, dan bahkan Jerman. Biasanya, proyeksi negatif lalu diikuti penurunan peringkat. Di belahan dunia lainnya proyeksi positif diberikan. Setelah Indonesia, kemungkinan Filipina juga mengalami peningkatan.
    Adakah kaitan prospek penurunan peringkat di negara maju dan di negara berkembang? Tentu tak dalam rangka berpikir konspiratif, tetapi sangat masuk akal jika semakin banyak negara yang turun peringkat, investor butuh panduan untuk menaruh modalnya di tempat yang berprospek bagus. Saat investor ”ketakutan” dan cenderung menahan investasinya, dalam kalkulasi bisnis dibutuhkan peningkatan peringkat negara-negara dengan proyeksi positif. Bagaimanapun, lembaga pemeringkat adalah institusi bisnis.
    Akhir-akhir ini, lembaga pemeringkat memang disorot tajam. Krisis 2007/2008 juga sering dianggap sebagai ”kegagalan lembaga pemeringkat” dalam memberi panduan investasi. Ternyata, instrumen investasi yang dianggap bagus oleh lembaga pemeringkat tak lebih dari pepesan kosong. Itu sebabnya pejabat Pemerintah AS berang ketika negaranya diturunkan peringkat utangnya. Lalu, mereka mulai memidanakan kesalahan lembaga pemeringkat terkait krisis 2007.
    Di Perancis, para pejabat juga berteriak keras menolak sinyal penurunan peringkat utang, dengan menuduh kondisi keuangan Inggris jauh lebih buruk. Perdana Menteri Perancis Francois Fillon mengatakan, Inggris lebih pantas diturunkan peringkat utangnya ketimbang Perancis.
    Menyelamatkan Dunia
    Tak bisa disangkal, prospek perekonomian Indonesia termasuk paling menjanjikan. Bank Dunia kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2012 menjadi 6,2 persen. Meski terus turun, tetap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi di atas 6 persen tahun depan. Sementara negara-negara di Eropa sedang bergulat mati-matian agar tak tumbuh negatif.
    Situasi ini hampir sama dengan krisis Asia 1997/1998, tetapi dengan kondisi sebaliknya. Waktu itu, Asia sangat bergantung pada negara-negara maju, seperti AS dan Eropa. Kini sebaliknya, mereka sangat memerlukan kita, bangsa Asia. Bagaimana Indonesia turut menyelamatkan dunia?
    Kesepakatan jual-beli 201 unit pesawat B-737MAX dan 29 unit Boeing-737-900ERs Next Generation senilai 21,7 miliar dollar AS oleh salah satu maskapai penerbangan domestik merupakan bagian dari penyelamatan ekonomi AS. Pembuatan 230 unit pesawat itu menampung sekitar 100.000 tenaga kerja. Sementara penambahan lapangan kerja menjadi isu besar, kontrak tersebut tentu sesuatu yang menjanjikan. Demikian pula dengan perbankan AS yang sulit menyalurkan kredit karena mandeknya sektor riil.
    Pasar domestik yang gemuk, dengan pertumbuhan kelas menengah yang pesat, juga jadi incaran pebisnis waralaba AS. Menurut riset Kontan, ada sederet merek baru yang segera masuk ke pasar domestik, di antaranya Round Table Pizza, Carvel, Moe’s Southwest Grill, Great American Cookies, dan Pollo Tropical. Sebelumnya, jaringan toko kelontong Jepang, 7-Eleven, sukses besar masuk ke pasar Indonesia.
    Bank Dunia membuat klasifikasi kelas menengah di Indonesia jadi empat kelompok. Kelompok penduduk berpenghasilan 2-4 dollar AS per hari (38 persen dari penduduk), 4-6 dollar AS (11,7 persen), 6-10 dollar AS (5 persen), dan 10-20 dollar AS (1,7 persen). Jika kita hanya menganggap kelas menengah dengan daya beli paling tinggi sekalipun, jumlahnya tetap ada lebih dari 30 juta penduduk. Mereka adalah pangsa pasar yang sangat besar, mulai dari kebutuhan sehari-hari, pakaian, hiburan, pendidikan, hingga keuangan.
    Negara maju tengah berupaya menjual barang sebanyak mungkin ke negara berkembang untuk menambah devisa guna menutup defisit dan utang publik yang begitu besar. Sebaliknya, kelas menengah di negara berkembang cenderung konsumtif. Dapat dibayangkan, Indonesia akan kebanjiran produk asing sehingga diperkirakan pada paruh kedua 2012 transaksi berjalan kita akan mengalami defisit. Salah satunya, lonjakan permintaan barang konsumsi atau barang modal industri yang berorientasi melayani pasar domestik.
    Intermediasi
    Dengan membuat rata-rata dari penilaian beberapa lembaga pemeringkat (S&P, Moody’s, Fitch), The Institute of International Finance melakukan skenario pemeringkatan global. Peringkat beberapa negara maju terancam turun, seperti Austria, Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, Jepang, dan AS. Sementara Australia, Denmark, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, dan Swiss diproyeksikan tetap.
    Negara-negara berkembang masuk dalam daftar peningkatan peringkat, di antaranya Ekuador, Kolombia, Indonesia, Lebanon, Malaysia, Thailand, dan Peru. Turki dan Indonesia ada di ambang batas, masuk ke level investasi berdasarkan rata-rata dari beberapa lembaga pemeringkat. Kini, keduanya sudah masuk. Lalu, apa agenda Indonesia?
    Masuknya Indonesia dalam radar investasi global hampir tak ada gunanya jika tak diikuti perbaikan fungsi intermediasi. Peningkatan modal asing akan terjadi secara drastis begitu situasi Eropa mulai tenang. Dengan begitu, biaya penerbitan obligasi jadi lebih murah. Secara umum, kita akan memperoleh biaya pendanaan lebih murah dalam jumlah besar. Persoalannya, apakah kita mampu menggunakannya untuk membangun sektor riil?
    Di sisi lain, kita menghadapi lonjakan permintaan akibat tumbuhnya kelas menengah. Tanpa perbaikan sistem produksi, kita hanya jadi bangsa konsumen yang kehilangan basis industri. Predikat investasi harus segera ditindaklanjuti strategi pengembangan industri. Jika perlu, langsung di bawah kendali Presiden. Sebuah kesempatan emas yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan menjadi bumerang. Begitu banyak likuiditas, tetapi sektor riil tidak bergerak.
    Dari sisi perbankan, Bank Indonesia sudah bekerja keras memperbaiki transmisi moneter, mulai dari sisi makro, industri perbankan, hingga individu-individu bank. Dari pemerintah, belum tampak ada upaya maksimal memperbaiki penyaluran anggaran. Kita beradu cepat dengan mengalirnya modal asing, yang jika tidak disalurkan akan menimbulkan gelembung-gelembung yang membahayakan.  
  • Siklus Korupsi dan Koruptor

    Siklus Korupsi dan Koruptor
    Romli Atmasasmita, GURU BESAR HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN,
    ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (NASDEM)
    Sumber : SINDO, 22 Desember 2011
    Korupsi dalam pandangan masyarakat internasional bukan kejahatan luar biasa, melainkan kejahatan transnasional.

    Ini berbeda dengan pengakuan masyarakat Indonesia bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan cara penanganan yang bersifat luar biasa pula, tetapi terbatas hanya sampai proses peradilan minus perlakuan di lembaga pemasyarakatan. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 hanya fokus pada masalah suap aktif dan pasif. Bahkan korupsi dalam lingkup aktivitas politik dipandang memiliki dampak signifikan dibandingkan dengan suap dalam lingkup aktivitas birokrasi sehingga muncul subjek hukum baru yang disebut political exposed persons (PEP’s).

    Merujuk pada UU RI No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001, PEP’s belum secara eksplisit termasuk subjek hukum khusus yang dapat dipidana karena tindak pidana korupsi, sedangkan ketentuan subjek hukum ini menjadi penting untuk mengantisipasi Pemilu 2014 yang akan datang. Korupsi tumbuh dan berkembang dalam aktivitas kehidupan masyarakat baik di negara maju maupun berkembang. Semula korupsi merupakan resultan sistem birokrasi semata-mata, tetapi saat ini merupakan kolaborasi sektor publik yang korup dan sektor swasta yang berplat hitam.

    Memutus mata rantai kolaborasi tersebut suatu keniscayaan, tetapi bukan suatu kemustahilan. Hanya diperlukan komitmen, keberanian, keteladanan, dan siap untuk menjadi martir dalam suatu sistem birokrasi khususnya di Indonesia yang terkenal korup. Kenaikan IPK Indonesia tahun 2001 dari 2,8 menjadi 3,00 membuktikan hal tersebut. Kenyataan korupsi di Indonesia sejak era Reformasi 1998 bagai pepatah “hilang satu tumbuh seribu” sehingga Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK, secara dini telah mengklaim ada kaderisasi koruptor di Indonesia walaupun masih perlu pembuktian.

    Klaim Busyro juga mengandung sisi kontraproduktif karena potensial menciptakan eksklusivisme dalam tatanan kehidupan bangsa ini, baik sekarang maupun di masa mendatang. Langkah pemberantasan korupsi sejak era 1950-an sampai saat ini bukanlah menciptakan eksklusivisme sekelompok koruptor, melainkan bercita-cita menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan bebas KKN.

    Sebaliknya Konvensi PBB Antikorupsi 2003 menegaskan bahwa negara wajib mewujudkan reintegration to society (Pasal 30 ayat 8), bukan membunuh dan memangsa habis sampai tujuh turunannya, apalagi dengan membangun kebun koruptor.

    Memberantas di Hulu

    Siapa yang harus disalahkan dalam perkembangan korupsi yang tidak terputus di Indonesia saat ini? Selama ini kita dan bahkan pejabat tinggi dan pimpinan lembaga penegak hukum masih suka beretorika daripada secara sungguh-sungguh dan bersikap korektif dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah diperintahkan undang-undang. Contoh penanganan sejak kasus BLBI, Century, Nazarudin, Nunun hingga Banggar DPR RI, semuanya mencerminkan retorika dalam pemberantasan korupsi.

    Secara makro, korupsi adalah by-product dan efek samping negatif dari pembangunan nasional sehingga seharusnya sejak perencanaan pembangunan nasional secara implisit diletakkan ketentuan-ketentuan ketat dalam pengajuan dan perencanaan anggaran kementerian/lembaga serta dalam pembahasannya. Mekanisme itu harus dilakukan baik pada level pemerintah di bawah koordinasi Bappenas maupun pada level pembahasan di DPR RI melalui Banggar. Sampai saat ini tampak belum ada kesepakatan bersama pemerintah dan DPR RI untuk membuat ketentuan bersama mengenai hal tersebut.

    Kasus Wa Ode seharusnya merupakan entry-point dan dipandang sebagai justice collaborator atas fakta bahwa celah korupsi telah terjadi sejak perencanaan dan pembahasan RAPBN/RAPBD. Kasus Wa Ode juga telah membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di hilir bukan lagi langkah efektif dan efisien untuk mencegah dan memberantas korupsi. Terbukti bahwa selama 13 tahun era Reformasi, strategi pemberantasan korupsi telah tidak tepat sasaran dan terkecoh oleh gegap gempita langkah KPK yang dianggap spektakuler dalam menangkap dan menahan koruptor, tetapi tidak menyentuh sumber permasalahan yang signifikan dan menentukan, yaitu perencanaan dan pembahasan RAPBN/ RAPBD.

    Fakta itu pun membuktikan bahwa korupsi di Indonesia merupakan siklus tahunan dan bahkan daur ulang sampah yang telah “ditelan” begitu saja baik oleh penegak hukum dan KPK maupun oleh masyarakat penggiat antikorupsi (LSM). Kita telah terkecoh! Suka atau tidak suka ternyata kita merupakan “bagian” dari siklus tahunan dan daur ulang korupsi karena kita lengah dan tanpa disadari telah ikut “meramaikan” tontonan koruptor yang tidak diperlukan untuk membangun tata pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN.

    Solusi tepat diperlukan untuk menghapuskan kita semua menjadi “bagian” dalam siklus tahunan dan daur ulang korupsi adalah, pertama, perombakan total sistem penyusunan, perencanaan, serta pembahasan RAPBN dan RAPBD dalam bentuk UU Perencanaan dan Pembahasan RAPBN dan RAPBD yang komprehensif tanpa celah hukum.

    Kedua, diperkuat oleh perubahan ketentuan UU Perpajakan yang signifikan sehingga tidak ada celah kebijakan impunitas terhadap pelanggaran serius perpajakan yang menjadi sumber utama pemasukan keuangan negara/daerah. Ketiga, perubahan UU Korupsi Tahun 1999/2001 harus memperkuat strategi pencegahan daripada penindakan semata-mata.  

  • Perempuan dalam Nalar Uang

    Perempuan dalam Nalar Uang
    Mohamad Fauzi Sukri, MAHASISWA SASTRA INGGRIS (AMERICAN STUDIES)
    UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Desember 2011
    Inilah konsensus umum di masyarakat kita: perempuan identik dengan uang. Kisah perempuan Indonesia terdapat dalam lembaran-lembaran uang. Tapi kisah
    perempuan dalam nalar uang tak sepenuhnya penuh kuasa dan wibawa, terkadang penuh luka dan stigma. Dan sekarang ada kecenderungan perempuan terjerat uang korupsi.
    Ibunda Ir Sukarno punya pengalaman getir dengan uang. “Dengan melakukan
    ini (menumbuk padi), aku menghemat uang satu sen,” kata Idayu Rai kepada
    Sukarno kecil pada suatu hari ketika sedang bekerja dalam teriknya panas matahari sampai telapak tangannya merah dan melepuh. Idayu Rai harus berjualan di pasar untuk membantu keuangan suaminya. “Dan dengan uang
    satu sen, kita dapat membeli sayuran, Nak.” Sukarno tersentak dan insaf perihal
    kemiskinan dan kegigihan ibunya. Maka, sejak hari itu dan seterusnya, selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah Sukarno kecil menumbuk padi untuk ibunya (Cindy Adams, 1966: 31).
    Pada masa kuliah dan menjalankan pergerakan kemerdekaan, Sukarno banyak berutang budi kepada istrinya yang kedua, Inggit Garnasih. Kemerdekaan Indonesia banyak berutang kepada Inggit. Dialah yang telah membiayai agenda pergerakan Sukarno, untuk suguhan makan pertemuan politik yang diadakan Sukarno di rumahnya. Dialah yang mengirimi bekal semasa Sukarno menjalani hukuman penjara di Sukamiskin, dan seterusnya, dengan uang dari hasil jerih payah keringat usaha Inggit sendiri. Dan kita bisa membuat daftar panjang tentang kegetiran, keuletan, keperkasaan, dan perjuangan perempuan dalam menghasilkan uang.
    Kuasa
    Di pasar-pasar di Indonesia, baik tradisional maupun modern, perempuan mendominasi roda perputaran uang. Pekerja perbankan banyak didominasi
    perempuan. Dan kita biasanya langsung berhadapan dengan teller perempuan.
    Bendahara, yang identik dengan uang, dalam berbagai kegiatan, acara, dan
    berbagai lembaga, banyak dipercayakan kepada dan dipegang oleh perempuan.
    Contoh yang fenomenal barangkali adalah mantan Menteri Keuangan Indonesia
    dan sekarang Direktur Pelaksana Bank Dunia untuk kawasan Asia, yang pernah
    terpilih sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia oleh Emerging Markets: Sri Mulyani.
    Karena itu, ada kesadaran bahwa pemberdayaan perempuan harus melibatkan
    pemberian modal bagi perempuan. Contoh yang masyhur adalah apa yang dilakukan oleh peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus. Yunus sejak awal sudah menyadari dan menargetkan pemberian kredit mikro kepada perempuan. Maka, sebanyak 50 persen lebih dana kredit diberikan kepada perempuan.
    “Makin banyak pinjaman yang kami berikan kepada perempuan miskin, semakin saya menyadari bahwa kredit yang disalurkan kepada perempuan lebih cepat membawa perubahan daripada yang disalurkan kepada laki-laki,” kata Yunus (2007: 70) dalam Bank Kaum Miskin (Grameen Bank). Maka, dalam pidato Nobel Perdamaian di Oslo pada 10 Desember, Yunus memberi apresiasi penuh untuk perempuan: “Berkat hadiah Anda, sembilan perempuan desa Bangladesh yang berbangga ini telah hadir di upacara hari ini sebagai penerima Nobel, memberikan makna yang sama sekali baru bagi Hadiah Nobel Perdamaian.” Kita banyak berutang budi kepada perempuan perihal keuangan.
    Di Jawa, kita ingat wejangan Ki Ageng Suryomentaram tentang kriteria untuk dumadi perempuan. Salah satunya adalah “wanita kedah gemi, nastiti, surti, ngati-ati” (wanita mesti hemat, tak berlebihan dalam belanja, hati-hati mengelola rezeki, dan pintar dalam administrasi rumah tangga)” (Bandung Mawardi, 2011). Ini adalah wejangan dan ajaran penting bagi perempuan dalam menghadapi, mengelola, dan memelihara keuangan rumah tangga. Wejangan ini juga sesuai dengan nalar pengelolaan keuangan modern saat ini. Perempuan dalam nalar uang menemukan kecocokan dan kekuasaan, bahkan pembebasan.
    Itulah salah satu alasan kaum feminis esensialis untuk memasukkan perempuan
    dalam penentuan hajat orang banyak dalam politik anggaran dan keuangan publik. Secara alami, perempuan tidak rentan terhadap korupsi, manipulasi, dan rekayasa keuangan rakyat. Naluri perempuan adalah mengayomi, memelihara, menjaga, dan mengarah pada kesejahteraan rakyat seperti saat mereka menghadapi keluarga sendiri.
    Dan memang banyak kasus korupsi dilakukan oleh laki-laki, tapi juga tidak bisa dimungkiri bahwa sekarang ada kecenderungan bahwa perempuan juga ada yang menjadi tersangka, seperti Artalyta Suryani dan Inong Malinda “Dee”, Mindo Rosalina Manulang, atau yang masih dalam proses hukum, seperti Nunun Nurbaetie, Angelina Sondakh, Miranda Goeltom, dan sebagainya. Kita berharap hal ini hanya sekadar jerat struktural korupsi dan jejaring korupsi yang tak bisa dihindari dalam wabah korupsi yang melanda Indonesia.
    Stigma
    Selain itu, uang sering menyudutkan perempuan dengan stigma perempuan mata duitan dan “matre” (materialistis). Pekerjaan perempuan hanya menghabiskan dan memboroskan uang terus, yang sebenarnya lebih banyak terjadi dalam masyarakat patriarkis yang tidak memberi kesempatan bagi perempuan untuk menghasilkan uang. Maka, untuk merendahkan perempuan yang tak memiliki kuasa dalam keuangan, mereka mencemooh dan memberi stigma kepada perempuan sebagai mata duitan.
    Uang juga sebagai pengesahan vonis ekonomis-seksis bahwa, jika seorang pekerja/buruh itu perempuan, mereka mendapatkan gaji yang lebih sedikit atau timpang dibanding pekerja lakilaki. Yang paling parah barangkali adalah apa yang dialami oleh pekerja migran perempuan (TKW), yang lebih mendominasi dibanding laki-laki. Mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa, tapi yang sering kita temukan dalam berita adalah derita, luka, penganiayaan, bahkan kematian mereka. Mereka menghasilkan uang, tapi mereka tidak mendapat perlindungan hukum, tidak mendapat apresiasi, tidak mendapat penghargaan yang layak.
    Ternyata, meski perempuan bisa mendapatkan kebebasan dan kekuasaan dalam nalar uang dan kuasa uang, perempuan juga masih sering mendapat
    stigma buruk sebagai perempuan matre, mata duitan. Ya, bangsa ini sering
    memanfaatkan uang perempuan dan meludahkan sepahnya kepada perempuan.
    Ironis!  
  • Membangun Perikanan Berkelanjutan

    Membangun Perikanan Berkelanjutan
    Rokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011
    Meskipun merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia baru memiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangani perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi perairan, pembangunan pulau-pulau kecil, produksi garam, pemanfaatan benda-benda berharga dari kapal tenggelam, serta pengembangan sumber daya alam nonkonvensional di wilayah pesisir dan samudra.
    Sejak kehadiran KKP tampak sejumlah kemajuan. Produksi perikanan, yang pada tahun 1999 baru 3,5 juta ton (peringkat ketujuh dunia), tahun 2010 mencapai 10,5 juta ton dan Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar ketiga setelah China (55 juta ton) dan India (14 juta ton).
    Pada 2010 sumbangan protein ikan dalam total asupan protein hewani rakyat Indonesia baru 50 persen, sekarang 62 persen. Nilai ekspor perikanan juga meningkat dari 1,5 miliar dollar AS (1999) menjadi 3 miliar dollar AS (2010). Demikian pula dengan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto, kini mencapai 3,2 persen dari 1,9 persen pada 1999.
    Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Sampai sekarang mayoritas nelayan, terutama nelayan buruh, masih hidup dalam kubangan kemiskinan. Ironisnya, stok ikan di beberapa wilayah perairan laut seperti Selat Malaka, Laut Jawa, pesisir selatan Sulawesi, Selat Bali, dan Arafura telah mengalami tangkap jenuh (fully-exploited) atau kelebihan tangkap (overfishing).
    Ekosistem pesisir seperti estuari, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun banyak yang rusak, baik akibat eksploitasi, konversi (reklamasi), maupun pencemaran. Padahal, ekosistem pesisir adalah tempat pemijahan, asuhan, mencari makan, atau membesarkan diri hampir semua jenis ikan dan biota laut.
    Yang memprihatinkan adalah gempuran impor ikan yang menggila dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya kita hanya mengimpor tepung ikan, salmon, dan beberapa produk perikanan yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan dengan nilai yang tidak signifikan (kurang dari 50 juta dollar AS) per tahun.
    Sekarang komoditas yang diimpor termasuk yang ada di Indonesia seperti kembung, layang, teri, tongkol, dan malalogis dengan nilai lebih dari 200 juta dollar AS per tahun. Padahal, potensi produksi perikanan Indonesia terbesar di dunia, 65 juta ton per tahun, dan baru dimanfaatkan 10,5 juta ton (16 persen).
    Perbaiki pengelolaan
    Untuk mewujudkan perikanan tangkap nasional berkelanjutan, harus dipastikan bahwa laju penangkapan sumber daya (stok) ikan tidak melebihi potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY). Total MSY sumber daya ikan laut Indonesia 6,5 juta ton per tahun. Tahun 2010 total produksi ikan laut 5,1 juta ton. Total MSY ikan perairan tawar 0,9 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 0,5 juta ton.
    Persoalannya distribusi nelayan dan kapal ikan tidak merata. Lebih dari 90 persen armada kapal ikan Indonesia terkonsentrasi di perairan pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka, pantura, Selat Bali, dan pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah mengalami kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut, tangkapan per kapal akan menurun, nelayan semakin miskin, dan sumber daya ikan pun punah seperti ikan terubuk di Selat Malaka dan ikan terbang di pesisir selatan Sulawesi.
    Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas, laut dalam, dan wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Laut Seram, Laut Banda, Samudra Pasifik, Laut Arafura, dan Samudra Hindia bisa dihitung dengan jari. Di sinilah kapal-kapal ikan asing merajalela dan merugikan negara minimal Rp 30 triliun per tahun.
    Maka laju penangkapan ikan di perairan yang telah kelebihan tangkap harus dikurangi dan secara bersamaan memperbanyak armada kapal ikan modern untuk beroperasi di wilayah perairan yang masih underfishing atau yang selama ini dijarah nelayan asing. Semua ini akan membantu pengembangan ekonomi daerah berbasis perikanan tangkap.
    Kedua, setiap kapal ikan harus dilengkapi dengan sarana penyimpanan ikan yang berpendingin untuk mempertahankan kualitas ikan sampai di tempat pendaratan ikan. Nelayan harus dilatih dan diberi penyuluhan untuk mempraktikkan cara-cara penanganan ikan yang baik selama di kapal.
    Nelayan di seluruh Nusantara harus dijamin dapat mendaratkan ikan tangkapannya di tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Selain memenuhi standar sanitasi dan higienis, pelabuhan perikanan juga harus dilengkapi dengan pabrik es, gudang pendingin, pabrik pengolahan ikan, mobil pengangkut ikan berpendingin, koperasi penjual alat tangkap, BBM, beras, dan perbekalan melaut, serta pembeli ikan bonafide.
    Ketiga, rehabilitasi ekosistem-ekosistem pesisir yang telah rusak serta mengendalikan pencemaran dan mengembangkan kawasan konservasi laut. Selain itu, pengayaan stok (stock enhancement) dan restocking dengan spesies-spesies yang cocok dapat dilakukan di wilayah perairan yang kelebihan tangkap.
    Perikanan Budidaya
    Potensi ekonomi perikanan yang jauh lebih besar sesungguhnya terdapat di perikanan budidaya (akuakultur). Namun, sampai saat ini pemanfaatan perikanan budidaya masih sangat rendah, hanya 4,88 juta ton pada 2010 atau 8,5 persen dari total potensi produksi 57,6 juta ton per tahun. Padahal, permintaan terhadap beragam produk akuakultur untuk memenuhi kebutuhan pangan, obat, dan bahan baku industri terus meningkat.
    Perairan laut Indonesia yang berpotensi untuk usaha budidaya laut (mariculture) 24 juta hektar dengan potensi produksi lestari 41,6 juta ton per tahun. Pada 2010 baru diproduksi 3,4 juta ton atau 3,4 persen. Komoditas budidaya laut yang bisa dikembangkan antara lain kerapu, kakap putih, baronang, bawal bintang, teripang, abalone, kerang hijau, gonggong, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut.
    Luas perairan payau yang cocok untuk budidaya tambak 1,25 juta ha. Dengan potensi produksi lestari sekitar 10 juta ton per tahun pada 2010, produksinya baru 1 juta ton atau 10 persen. Jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di tambak antara lain udang, bandeng, kerapu lumpur, nila, kepiting soka, dan rumput laut Gracilaria spp.
    Potensi produksi lestari perikanan budidaya air tawar (danau, waduk, sungai, kolam, saluran irigasi, dan sawah) 6 juta ton per tahun. Pada 2010 baru diproduksi sebesar 0,5 juta ton atau 8,3 persen. Beberapa komoditas unggulan yang bisa dibudidayakan di perairan tawar adalah ikan nila, patin, lele, emas, gurami, bawal air tawar, udang galah, dan lobster air tawar.
    Raksasa Tidur
    Potensi perikanan budidaya yang luar biasa itu ibarat ”raksasa tidur” yang bisa ditransformasikan menjadi sumber kesejahteraan bangsa melalui penerapan perikanan budidaya di setiap unit usaha. Ini meliputi penggunaan bibit unggul, pakan berkualitas, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, tata letak dan konstruksi perkolaman, serta keamanan hayati.
    Dahsyatnya potensi perikanan budidaya dapat dilihat pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma spp. Jika kita mampu mengembangkan 100.000 ha tambak (9 persen potensi) untuk budidaya udang vaname, dalam setahun dapat diproduksi 2 juta ton udang vaname dengan nilai 10 miliar dollar AS. Pendapatan petambak bisa Rp 8 juta per ha per bulan dengan tenaga kerja 400.000 orang.
    Dengan mengembangkan 200.000 ha tambak (18 persen potensi) untuk Gracilaria, setiap tahun dapat dihasilkan 4 juta ton rumput laut kering setara dengan 2 miliar dollar AS, pendapatan petambak Rp 3 juta per ha per bulan, dan lapangan kerja tercipta 1 juta orang.
    Jika 1 juta ha perairan laut (4 persen potensi) dikembangkan untuk budidaya Eucheuma spp, dalam setahun dapat diproduksi 20 juta rumput laut kering yang nilainya 20 miliar dollar AS. Pendapatan pembudidaya Rp 12 juta per ha per bulan dan tenaga kerja yang terserap 4 juta orang.
    Jika diproses lebih lanjut, rumput laut bisa menghasilkan sekitar 500 produk hilir (end products), termasuk berbagai produk farmasi dan kosmetik, yang nilai ekonominya bisa berlipat ganda.
    Sudah tentu resep teknikal pembangunan perikanan di atas hanya bisa mujarab jika kebijakan politik-ekonomi, terutama fiskal-moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek, iklim investasi, dan otonomi daerah, bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor kelautan dan perikanan. Peringatan Hari Nusantara dapat menjadi momentum untuk mengubah paradigma pembangunan berbasis daratan menjadi berbasis kelautan.  
  • “Allah Biyung”

    “Allah Biyung”
    M. Bambang Pranowo, GURU BESAR UIN CIPUTAT,
    DIREKTUR LEMBAGA KAJIAN ISLAM DAN PERDAMAIAN
    Sumber : SINDO, 22 Desember 2011
    Kiai Haji Mustofa Bisri, pemimpin Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, dalam acara Kick Andy di Metro TV Oktober lalu menyatakan bahwa dia tidak pernah melakukan salat istikharah untuk minta petunjuk Allah dalam memutuskan sebuah pilihan.

    Padahal bagi kaum santri, salat istikharah hampir-hampir menjadi kewajiban agar pilihannya benar seperti yang dikehendaki Allah. Lantas, kenapa kiai yang penyair ini tak mau melakukan salat istikharah? Jawabnya: karena ibu saya masih hidup. “Saya selalu bertanya kepada ibu untuk menentukan pilihan jika dihadapkan pada beberapa persoalan. ’Jawaban ibu itulah yang saya pegang’,” kata Kiai Mustofa Bisri. Apa yang dikatakan Kiai Bisri juga dilakukan Amien Rais. Pak Amien yang terkenal gagah berani melawan rezim Orde Baru ternyata akan patuh seratus persen dengan apa yang dikatakan ibunya.

    Bayangkan, ketika hampir semua partai politik, rakyat, TNI, dan para aktivis mendorong Amien Rais untuk jadi presiden RI keempat menggantikan Habibie, ternyata Pak Amien menolak. Semua orang kaget, kok Pak Amien menolak menjadi presiden, padahal suasana sangat kondusif untuk menjadikan Amien sebagai presiden. Kenapa? Ternyata, ibunya melarang Amien menjadi presiden. Dan Pak Amien pun manut. Pak Amien tak pernah bisa menolak permintaan ibunya. Itulah alasan sesungguhnya kenapa Pak Amien tak mau menjadi presiden menggantikan Habibie. (Hanum Salsabiela dalam Menapak Jejak Amien Rais,2010). Pak Amien dan Kiai Bisri sama-sama orang Jawa.

    Bagi orang Jawa, ibu adalah segalagalanya. Ibu seolah pengganti Tuhan. Itulah sebabnya, kenapa ketika Lebaran orang Jawa berdesak-desakan ingin mudik menemui ibunya. Karena ibu adalah pusaka. Orang Jawa sering menyebut ibu sebagai “Gusti Allah ndonya” atau “Tuhan yang mengejawantah di dunia”. Orang Jawa kalau sakit atau menanggung derita yang berat, mulutnya akan mengucapkan kata-kata Allah Biyung… Allah Biyung! Maksudnya,Ya Allah Ya Ibu..Ya Allah Ya Ibu! Di Tegalroso, Magelang, tempat penelitian saya untuk disertasi dalam bidang sosial antropologi di Monash University (“Creating Islamic Tradition in Rural Java”, 1991), da kisah menarik tentang orang yang tidak berbakti kepada orang tua.

    Pak Kardi,orang yang terkenal brangasan di kampungnya, suka menyiksa ibunya, Mbok Piyah. Suatu ketika, Pak Kardi bertengkar dengan ibunya. Dia tak bisa mengendalikan emosinya sehingga memukul simboknyadan mengejar Mbok Piyah untuk memukulnya. Untung Mbok Piyah selamat karena ditolong Pak Purwanto dan disembunyikan di rumahnya. Saking sakitnya, Mbok Piyah berkata, “Saya tidak akan melupakan dan memaafkan perangai buruk Kardi. Ia pun berujar marah: ‘Lihat siapa yang akan mati dulu.Aku atau Kardi’.” Ternyata dua minggu kemudian Pak Kardi sakit keras.

    Pak Kardi berobat ke manamana, tapi sakitnya tak sembuh-sembuh. Orang-orang kampung pun ngrasani, penyakit Pak Kardi tidak akan disembuhkan Allah jika tidak minta maaf kepada ibunya.Pak Kardi itu kuwalat karena melawan ibunya. Pak Kardi akan terus menderita, tidak mati tidak hidup karena durhaka kepada ibunya. Karena kasihan melihat penderitaan Pak Kardi, beberapa warga desa menghubungi ibunya agar memaafkan anaknya.Mula-mula Mbok Piyah enggan memaafkan Pak Kardi, tapi lama-lama sebagai seorang ibu, dia akhirnya memaafkan anaknya itu.

    Apalagi orang-orang dusun itu mengambil contoh kisah Alqomah, salah seorang sahabat Rasul, yang durhaka kepada ibunya dan akhirnya ibunya memaafkan dia. Begitu ibunya memaafkan, Alqomah wafat. Sama dengan kisah Pak Kardi. Setelah ibunya memaafkan, Pak Kardi pun wafat. Apa yang menarik dari kisah Pak Kardi yang durhaka kepada ibunya itu? Orang Tegalroso mengaitkannya dengan kisah Alqomah, salah seorang sahabat Nabi yang menderita menjelang kematiannya karena pernah durhaka kepada orang tuanya.

    Pak Lurah Tegalroso, Sudigdo, misalnya, dalam beberapa obrolannya tidak pernah merujuk kisah Malin Kundang atau Sangkuriang yang bermasalah dengan ibunya sehingga mereka dikutuk. Tapi Pak Lurah membandingkannya dengan Alqomah. Ini menggambarkan,dalam konsep penghormatan orang tua, transformasi nilai-nilai Islam telah merasuk ke dalam tradisi Jawa. Sungkem yang dulu hanya merupakan penghormatan kepada orang tua, khususnya ibu, kini mengalami transformasi makna yang lebih mendalam: sungkem bukan hanya merupakan penghormatan kepada ibu,tapi juga sebuah upaya “mencium bau surga”.

    Transformasi ini tampaknya muncul dari sebuah hadis Nabi bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Sebuah hadis menceritakan bahwa Nabi Muhammad pernah ditanya sahabatnya. Siapa orang harus kita hormat? Jawab Rasul: ibumu. Terus siapa lagi: ibumu. Siapa lagi: ibumu. Siapa lagi: bapakmu! Hadis ini pun menggambarkan betapa mulianya seorang ibu. Sampai-sampai orang Jawa, jika menghadapi masalah besar, akan berujar Allah Biyung…Allah Biyung.

    Dari gambaran itu, sebutan Allah Biyung merupakan simbol proses santrinisasi masyarakat Jawa secara menyeluruh yang luput dari pengamatan Geertz.Dan Allah Biyung inilah yang menggerakkan orang Jawa untuk mudik kapan pun punya kesempatan untuk sungkem kepada orang tuanya. Pinjam konsep peradabannya Redfield, Allah Biyung jelas merupakan ekspresi dari simbol tradisi besar Jawa. Jika kemudian tradisi besar Allah Biyung itu bertautan dengan ajaran Islam, persoalannya siapa yang membonceng atau diboncengi?

    Jika kita membaca kebudayaan besar di Benua Atlantik yang hilang karya Prof Arysio Nunes dos Santos dari Brasil (Atlantis the Lost Continents Finally Found, 2005), di mana Pulau Jawa menjadi pusat peradaban masa lalu yang mengubah sejarah dunia (30.000-11.000 tahun lalu), maka bukan tidak mungkin, konsep kebaktian kepada ibu yang luar biasa itu asal-muasalnya dari ajaran para leluhur Jawa yang kemudian memperoleh penguatan dari ajaran Islam. Who knows!  

  • Misteri Kekerasan di Puncak Jaya

    Misteri Kekerasan di Puncak Jaya
    A Makmur Makka, KOMISIONER KOMNAS HAM
    Sumber : SUARA KARYA, 22 Desember 2011
    Setiap kali ada pemberitaan tentang pasukan TNI atau pasukan Brimob yang gugur di Papua, khususnya di lintasan jalan menuju Pertambangan Freeport di kawasan Puncak Jaya, saya selalu bertanya dalam hati, kenapa kelompok bersenjata seperti ini, tidak pernah dibasmi dengan sebuah operasi yang tuntas? Apakah ini, sebuah ‘pembiaran’ yang menyebabkan satu per satu prajurit Brimob dan warga sipil kita gugur? Apakah benar yang terjadi di sana hanya sebuah ‘konflik internal’ antar-pasukan keamanan kita, seperti didesas-desuskan masyarakat? Ataukah, masih ada misteri lain yang belum terungkap ?
    Sebagai orang awam, saya selalu bertanya dalam hati, seberapa sulit medan yang dihadapi pasukan keamanan kita, sehingga tidak dapat membasmi kelompok bersenjata yang sering melakukan penghadangan dan penembakan terhadap aparat keamanan kita?
    Sebagai analogi, kondisi sekitar tahun l950-l960-an. Situasi keamanan di Sulawesi Selatan sangat rawan, karena pasukan Darul Islam – Tentara Islam Indonesia (TDI-TII) pimpinan Kahar Muzakkar masih berkeliaran di hutan-hutan.
    Silih berganti operasi militer dilakukan oleh Kodam Hasanuddin/Wirabuana untuk menumpas pasukan DI/TII yang nota bene sejumlah pemimpinnya juga eks pasukan pejuang kemerdekaan. Bahkan ketika operasi itu digalar, aktivitas mereka dianggap berlarut-larut untuk mengakhiri perlawanan Kahar Muzakkar dan kawan-kawan, karena diduga pasukan lokal yang beretnis Bugis-Makassar, mengalami ‘konflik batin’, memerangi kerabat sendiri atau bekas teman-teman mereka seperjuangan di masa revolusi kemerdekaan.
    Maka, didatangkanlah pasukan dari Kodam Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel Solichin GP, dengan perwira-perwira muda seperti Yogi S Memed. Mereka lantas bergerak memakai nama ‘Operasi Kilat’. Pasukan dari Kodam Siliwangi, juga diperkuat oleh sejumlah pasukan komando.
    Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh kegiatan gerombolan pengacau keamanan akhirnya dihabisi, termasuk menewaskan Letkol (TRI) Kahar Muzakkar, pimpinan tertinggi DI/TII, mantan Pimpinan Komando Group Seberang di Jogyakarta semasa revolusi phisik. Hal yang sama juga dilakukan TNI dengan operasi besar-besaran ke Manado dalam peristiwa Permesta, ke Padang dalam peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh. Kenapa pemerintah kita tidak sesensitif seperti dulu terhadap pengacau keamanan di Papua?
    Apa bedanya sekarang dengan gerombolan pengacau keamanan di Papua yang lokasi gerakannya sudah jelas dan terpantau. Jumlahnya pun dianggap ‘tidak berarti’. Betapa beratkah medan di Papua? Apakah lebih berat dibandingkan ketika TNI menumpas pasukan DI/TII sampai ke hutan di kaki Gunung Latimojong serta Bone Pute (sekarang, Sulawesi Tenggara)? Apalagi, saat itu, senjata tempur TNI belum secanggih yang dimilikinya sekarang serta infrastruktur jalan yang bobrok di Sulawesi Selatan. Untuk berbicara mengenai medan yang dihadapi Operasi Kilat ketika itu, hanya pensiunan anggota TNI eks pasukan Operasi Kilat yang bisa melukiskannya.
    Atau, apakah karena pemerintah sekarang ini khawatir dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM), karena itu setiap operasi militer yang dilancarkan akan membuat pemerintah pusing dengan echo teriakan pendekar HAM dari negara-negara maju? Tetapi, bagaimana dulu dengan Aceh dalam operasi menumpas GAM? Bukankah TNI juga melancarkan operasi militer, tidak peduli kemungkinan teriakan pendekar HAM yang memojokkan Indonesia di pergaulan internasional? GAM di Aceh bahkan punya perwakilan tetap di Swedia yang siap selalu bersuara jika terjadi operasi militer.
    Lantas, apa bedanya Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Barat dengan Papua? Bukankah semua daerah itu adalah provinsi di negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat?
    Betapa rawankah melakukan operasi penumpasan pengacau keamanan di Papua sekarang ini? Masih segar dalam ingatan kita di Papua berlangsung operasi penumpasan gerombolan bersenjata yang diduga menculik sejumlah peneliti Ekspedisi Laurenz di kawasan Mapenduma, bahkan melibatkan pasukan komando dan operasi itu berhasil. Tidak ada teriakan pelanggaran HAM ketika kita melakukan operasi militer saat itu?
    Saya hanya khawatir, pembiaran yang dilakukan TNI dan dalam hal ini pemerintah, untuk tidak menumpas tuntas pengacau keamanan di Papua adalah bagian dari politik ‘pencitraan’. Bahwa Indonesia adalah negara yang aman dan tenteram, tidak ada daerah konflik, tidak ada lagi pelanggaran HAM.
    Jika benar demikian, maka kita harus selalu siap-siap mendengar berita satu demi satu prajurit kita gugur di sana. Ini diperoleh melalui pengumuman Kabid Penerangan Polri di berbagai media elektronik dengan suara hati-hati dan rona wajah yang tidak berdaya. Sementara sebuah misteri tetap belum terjawab di Puncak Jaya.  
  • Subordinasi Hak Tradisional Masyarakat

    Subordinasi Hak Tradisional Masyarakat
    Saharuddin Daming, KOMISIONER KOMNAS HAM
    Sumber : KORAN TEMPO, 22 Desember 2011
    Terkuaknya kasus pembantaian warga sipil di Mesuji, yang menggemparkan dunia akhir-akhir ini, semakin memperlihatkan betapa kisruh dan biasnya mekanisme pengelolaan lahan akibat kebijakan negara di sektor agraria, terdistorsi oleh kepentingan investasi. Dalam statistik penanganan kasus di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kasus sengketa lahan sebagaimana yang terjadi di Mesuji tercatat sebagai kasus terbanyak ditangani Komnas HAM setiap tahun. Selama Januari-Oktober 2011 tercatat 603 kasus, meningkat 20,56 persen dari periode yang sama tahun 2010 sebanyak 479 kasus.
    Tingginya kasus sengketa lahan (land tenurial conflict), sebagaimana yang tertera pada komposisi data tersebut di atas, dipicu oleh makin meningkatnya
    ekspansi investasi di sektor agraria untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara, di samping tumpang-tindihnya kebijakan bidang pertanahan dan lain-lain. Demi terwujudnya pertumbuhan iklim investasi yang semakin tinggi, pemerintah di masa lalu pernah mengeluarkan kebijakan yang sangat memanjakan investor asing dalam bentuk pemberian kemudahan dengan membebaskan investor dari pembayaran pajak selama 5 sampai 15 tahun. Tidak
    mengherankan jika kedudukan investor dalam setiap persengketaan lahan selalu
    mensubordinasi hak masyarakat.
    Celakanya, karena ketika rakyat melakukan pembelaan hak tradisional masyarakat, mereka justru dikriminalkan sebagai pelaku penyerobotan lahan oleh investor. Tak ayal lagi, konflik pun tidak dapat dihindari dengan melibatkan aktor, baik antara warga dan korporasi maupun warga dengan lembaga pemerintah. Modus kriminalisasi yang dilakukan oleh korporasi terhadap masyarakat, dengan latar konflik kepemilikan lahan, kerap melibatkan aparat
    keamanan (Polri dan TNI) atau pengamanan swakarsa. Akibatnya, tidak sedikit
    warga sipil mengalami penggusuran, teror, pembakaran rumah atau lahan, perusakan harta benda (ternak dan tanaman), hingga penganiayaan dan pembunuhan. Ironisnya, tindakan yang mengarah kepada kejahatan kemanusiaan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sering melibatkan aparat keamanan atau pam swakarsa, yang membekingi penuh kepentingan investor agraria.
    Tragisnya, karena upaya investor dalam mengamankan kepentingannya tersebut
    justru diproteksi oleh serangkaian peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, serta UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Rangkaian peraturan hukum tersebut menghalalkan para investor untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam agraria untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi mereka dengan mengatasnamakan kepentingan pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya, hak keamanan bagi masyarakat menjadi semakin terancam karena dihantui peraturan negara yang lebih memihak kepentingan investor.
    Jika dikaji secara mendalam, sebenarnya materi perundang-undangan yang menjustifikasi pengelolaan sumber daya agraria sebagaimana tersebut di atas mengandung kelemahan fatal, antara lain sebagai berikut: 1) Tidak memberi referensi khusus tentang adanya kegawatan lingkungan hidup, sehingga perlu suatu langkah segera untuk menanggulangi kerusakan lingkungan; 2) memberikan diskresi yang sangat besar kepada pihak eksekutif dan korporasi untuk menafsirkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada sesuai dengan kepentingan eksploitasi tanpa memberikan akses yang memadai kepada masyarakat luas untuk menyikapinya dengan kritis dan mengawasi pelaksanaannya; 3) Terlalu berpihak kepada investor, sedangkan hak masyarakat adat yang bermukim di sekitar hak konsesi kurang terlindungi; 4) Sanksi-sanksi atau hukuman yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu kurang menggigit kepada kaum kapitalis, tetapi sangat keras kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat.
    Semua ini menyiratkan kesimpulan bahwa kebijakan negara tentang sumber daya agraria cenderung memposisikan hak tradisional masyarakat sebagai hal yang tidak penting. Hal ini bisa kita lihat pada UU Nomor 41 Tahun 1999, yang mengatur hak masyarakat dalam sektor kehutanan, hanya tertuang dalam satu bab, yaitu BAB IX, itu pun pada satu pasal, yaitu Pasal 67. Sedangkan ketentuan yang mengakomodasi hak pengelolaan dari investor tersebar di hampir seluruh materi muatan undangundang tersebut.
    Subordinasi hak tradisional masyarakat di hadapan investor seperti ini tidak mengacu pada konteks sosio filosofis masyarakat tradisional Indonesia, tetapi terbangun dari konsep pemikiran Barat yang diintroduksi oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar, yang cenderung memahami lembaga hak tradisional masyarakat dalam perspektif kepentingan kolonialisme dan imperialisme. Pandangan ini kontras dengan hasil pemikiran dari pakar hukum kita sendiri, yaitu Soepomo, Djojo Diguno, dan Anwar Haryono, yang memahami keberadaan hak tradisional masyarakat dengan karakteristik yang cenderung kembang-kempis sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Tidak mengherankan jika pelembagaan hak
    tradisional masyarakat dalam kebijakan negara relatif jomplang dan tidak berpihak kepada perlindungan secara riil keberadaan hak tradisional masyarakat.
    Doktrin yang menempatkan keberadaan masyarakat adat seperti itu memberi ruang bagi otoritas negara yang berkolaborasi dengan investor menjadi instrumen pemusnah lembaga hak tradisional masyarakat, yang dari waktu ke waktu akan terus berkurang dan hilang dengan sendirinya. Parahnya lagi, karena wilayah yang disebut sebagai hak tradisional masyarakat menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak lain adalah bagian dari tanah negara dan ini berarti masyarakat yang tinggal di kawasan itu dapat sewaktu-waktu digusur oleh otoritas negara.
    Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 5 ayat (2) juncto Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
    UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu
    hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
    (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, ia berpotensi meniadakan hak tradisional masyarakat sepanjang kenyataannya masih ada. Sampai di sini, kedudukan hak tradisional masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 sangat rentan dan hanya sebagai memakai dari negara.
    Pada bagian lain, hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan juga dibatasi
    pada keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999, yaitu masyarakat adat di sekitar hutan hanya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat adat sekalipun memiliki kemampuan teknis manajerial dan engineering tentang hutan, tidak boleh melakukan pengelolaan selain hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Kalaupun ada upaya untuk pengusahaan hutan oleh masyarakat adat, maka Pasal 67 ayat (1) huruf b UU Nomor 41 Tahun 1999 memberi rambu bahwa kegiatan pengelolaan hutan seperti itu harus didasari hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
    Hal ini sungguh-sungguh merupakan peragaan diskriminasi dan ketidakadilan antara masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan dan korporasi. Tidak
    mengherankan jika kondisi kehidupan masyarakat hukum adat dari generasi ke
    generasi tidak menampakkan dinamika kesejahteraan yang signifikan. Hal ini berbeda dengan investor yang telah mengeruk kekayaan hutan sebesar-besarnya, sehingga mampu menciptakan sejumlah konglomerat yang semakin kaya berikut dengan oknum pejabat terkait yang semakin jaya, akibat tetesan kekayaan hutan yang dialirkan dengan berbagai modus oleh para Taipan Kehutanan.