Blog

  • Vaclav Havel: Hidup dalam Kepantasan

    Vaclav Havel: Hidup dalam Kepantasan
    Jiri Pehe, PENASIHAT POLITIK VACLAV HAVEL DARI SEPTEMBER 1997 SAMPAI MEI 1999, SEKARANG DIREKTUR NEW YORK UNIVERSITY DI PRAHA
    Sumber : KORAN TEMPO, 23 Desember 2011
    Lama sebelum rezim komunis Cekoslovakia runtuh pada 1989, Vaclav Havel merupakan salah satu tokoh paling menonjol dalam sejarah Cek–ia sudah merupakan seorang dramawan yang terkemuka ketika menjadi pemimpin tidak resmi gerakan oposisi di negeri itu. Walaupun ia berharap kembali ke bidang sastra, revolusi menempatkannya sebagai Presiden Cekoslovakia. Dan setelah negeri itu terpecah dua pada 1993, ia dipilih sebagai Presiden Republik Cek yang baru dibentuk ketika itu, jabatan yang dipegangnya sampai 2003.
    Karier politik yang berakar pada koinsidensi sejarah ini membuat Havel seorang politikus yang luar biasa. Tidak hanya ia memberikan kepada dunia politik pasca-1989 ketidakpercayaan tertentu kepada partai-partai politik, sebagai seorang pembangkang ia juga menganggap mutlak ditekankannya dimensi moral dalam politik–sikap yang membawanya bertabrakan dengan kaum pragmatis dan teknologis kekuasaan, yang tokoh utama mereka, Vaclav Klaus, akhirnya menggantikan Havel sebagai Presiden.
    Kehidupan publik Havel dapat dibagi dalam tiga periode yang berbeda: seniman (1956-1969), pembangkang (1969-1989), dan politikus (1989-2003)–kecuali bahwa ia selalu menggabungkan ketiga kepekaan ini dalam kegiatan publiknya. Sebagai seorang dramawan yang berbakat pada 1960-an, ia jelas sangat “politis”, berfokus pada absurditas rezim yang berkuasa saat itu. Ia juga salah seorang pengecam sensor dan pelanggaran hak asasi manusia paling vokal, seorang pembangkang bahkan selama berlangsungnya “Musim Semi (liberal) Praha” pada 1968.
    Havel masuk daftar hitam dan dianiaya secara terbuka setelah invasi Soviet di Cekoslovakia pada Agustus tahun itu; namun ia terus menulis naskah drama anti-totaliterianisme. Pada 1977, ia dan lebih dari 200 pembangkang lainnya mendirikan gerakan hak asasi manusia, Piagam 77, yang dengan cepat menempatkan dirinya sebagai kekuatan oposisi utama. Havel merupakan salah satu dari tiga juru bicara pertama gerakan tersebut.
    Tahun berikutnya, Havel menulis esai Power of the Powerless (Kekuatan Mereka yang Tidak Memiliki Kekuatan). Esai ini melukiskan rezim “normalisasi” Cekoslovakia pasca-1968 sebagai sistem yang bangkrut yang bertumpu pada kebohongan yang menyeluruh. Pada 1979, ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas kegiatannya dalam Komite Rakyat yang Diperlakukan Tidak Adil, suatu bagian dari Piagam 77 yang memantau pelanggaran hak asasi manusia dan penganiayaan di Cekoslovakia. Havel dibebaskan dekat pada akhir masa hukumannya setelah terjangkit radang paru-paru (sumber gangguan kesehatan yang serius selama sisa hidupnya). Letters for Olga (Surat-surat untuk Olga), serangkaian esai filosofis yang ditulisnya dari penjara dan dialamatkan kepada istrinya, dengan cepat menjadi karya klasik anti-totaliterianisme.
    Sebagai Presiden Cekoslovakia, Havel terus menggabungkan kepekaan politik, artistik, dan pembangkangan. Ia menulis sendiri pidato-pidatonya–banyak di antaranya sebagai karya filosofis dan sastra, yang tidak hanya mengecam teknologi politik modern yang merendahkan derajat manusia, tapi juga berulang kali meminta rakyat Cek untuk tidak menjadi korban konsumerisme dan politik partai yang kejam.
    Konsep yang diajukannya adalah konsep demokrasi berdasarkan masyarakat madani dan moralitas yang kokoh. Ini membedakannya dari Klaus, tokoh utama pasca transformasi komunis lainnya, yang menganjurkan transisi yang cepat, tanpa, bila mungkin, rintangan dan beban moral rule of law. Konflik di antara keduanya mencapai puncak benturannya pada 1997, ketika pemerintahan yang dipimpin Klaus jatuh setelah terjadi serangkaian skandal. Havel melukiskan sistem ekonomi pasca-komunis yang dianjurkan Klaus sebagai “kapitalisme mafioso”.
    Walaupun Klaus tidak pernah kembali sebagai perdana menteri, pendekatannya yang “pragmatis” unggul dalam bidang politik Cek, terutama setelah lengsernya Havel sebagai presiden pada 2003. Sebenarnya kekalahan terbesar yang diderita Havel mungkin adalah bahwa sebagian besar rakyat Cek sekarang memandang negeri mereka sebagai tempat di mana partai-partai politik berlaku sebagai agen kelompok-kelompok ekonomi yang kuat (banyak di antaranya tercipta dari proses penswastaan yang sering korup di bawah pengawasan Klaus).
    Pada tahun-tahun kepresidenannya, para penentang Havel mengejeknya sebagai seorang moralis yang naif. Banyak rakyat awam Cek, sebaliknya, mulai tidak menyukainya bukan hanya karena apa yang tampak di mata mereka sebagai seruan moral yang tidak henti-hentinya diucapkan Havel, tapi juga karena Havel merupakan cerminan balik dari ketidakberanian mereka melawan rezim komunis di masa lalu. Sementara Havel terus memperoleh respek dan kekaguman di luar negeri, karena perjuangan yang terus dilakukannya melawan pelanggaran hak asasi manusia di dunia, popularitasnya di dalam negeri justru terguncang.
    Tapi sekarang tidak lagi. Rakyat Cek, dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap korupsi dan kegagalan-kegagalan sistem politik yang ada sekarang, semakin menghargai pentingnya moralitas yang diserukan Havel. Sesungguhnya, setelah wafatnya, Havel bakal dihargai sebagai seseorang yang sudah meramalkan banyak persoalan yang dihadapi saat ini, dan bukan hanya di dalam negeri ketika ia menjabat presiden; ia berulang kali meminta perhatian terhadap kekuatan-kekuatan destruktif peradaban industri dan kapitalisme global yang akan menghancurkan dirinya sendiri.
    Banyak yang bakal bertanya apa yang membuat Havel istimewa. Jawabannya sederhana: decency(kepantasan). Havel seorang yang berprinsip dan menghargai kepantasan. Ia tidak melawan komunisme karena agenda pribadi yang tersembunyi, melainkan semata-mata karena komunis, dalam pandangannya, adalah suatu sistem yang amoral dan tidak menghargai kepantasan. Ketika, sebagai presiden, ia mendukung digempurnya Yugoslavia pada 1999 atau invasi yang bakal terjadi di Irak pada 2003, ia tidak berbicara mengenai tujuan-tujuan geopolitik atau strategis, tapi berbicara mengenai pentingnya menghentikan pelanggaran hak asasi manusia oleh diktator-diktator yang brutal.
    Apa yang dilakukannya selama karier politiknya membuat Havel seorang politikus yang jarang ditemukan lagi seperti dirinya di dunia saat ini. Mungkin karena itulah sebabnya, sementara dunia–dan Eropa terutama–menghadapi periode krisis yang serius, maka yang hilang adalah kejelasan dan keberanian berbahasa yang bisa membawa perubahan yang berarti.
    Karena itu, wafatnya Havel, seorang yang memiliki keyakinan yang kuat akan pentingnya integrasi Eropa, sangat simbolis: ia merupakan salah seorang dari jenis politikus yang sekarang jarang dijumpai lagi yang mampu memimpin dengan efektif di masa-masa yang luar bisa, karena komitmen mereka bertumpu pada kepantasan bersama dan kebaikan bersama, bukan pada mempertahankan kekuasaan. Jika dunia hendak berhasil mengatasi berbagai krisis yang dihadapinya saat itu, warisan yang ditinggalkan Havel harus terus dipertahankan.
  • Megalomania, Mesuji, dan Solidaritas

    Megalomania, Mesuji, dan Solidaritas
    Tom Saptaatmaja, ALUMNUS STFT WIDYA SASANA, 
    SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
    Sumber : KORAN TEMPO, 23 Desember 2011
    Sejak manusia pertama Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, manusia ternyata sangat sulit lepas dari beragam sifat buruk. Salah satu sifat buruk yang semula menyeret manusia jatuh dalam dosa adalah sikap megalomania. Bayangkan, hanya karena diiming-imingi ular yang merupakan jelmaan setan, Adam dan Hawa berani melanggar perintah Tuhan. Tuhan sudah berpesan agar buah terlarang di Taman Firdaus tidak dimakan. Namun iming-iming setan bahwa, jika buah itu dimakan, manusia bisa menjadi seperti Tuhan telah menjerumuskan Adam dan Hawa dalam dosa dan harus terusir dari surga, serta memulai hidup yang keras di dunia.
    Sayangnya, dalam pengembaraan di dunia, nafsu megalomania justru kian menjadi-jadi. Lebih tragisnya, watak buruk megalomania malah disertai dengan kegemaran merendahkan yang kecil. Dan negeri kita, hingga akhir 2011, masih ditandai dengan fenomena ini. Simak, dari Aceh hingga Papua, aparat keamanan khususnya polisi, yang seharusnya melindungi dan melayani rakyat atau warga, justru berpihak kepada pengusaha dan penguasa. Ini tampak, misalnya, dari kasus pembantaian 32 petani Mesuji, yang hari-hari ini di-blow-up media.
    Warga Mesuji yang sudah menempati tanah secara turun-temurun dari nenek moyang mereka diminta merelakan tanahnya untuk pengusaha karet atau kelapa sawit yang sudah berbekal izin usaha dari pemerintah. Dalam perjalanan waktu, warga semakin hari semakin terpojok posisinya. Sudah 9.000 hektare tanah mereka dipakai untuk perkebunan. Ada yang melapor ke polisi, malah dipenjara atau dikriminalkan. Lalu mereka yang diteror, kini memilih tinggal di pengungsian. Solusinya bukan dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atau Panitia Kerja, tapi hentikan izin usaha sawit atau karet sesegera mungkin. Warga Mesuji butuh ditolong secepatnya. Mereka tidak butuh retorika, slogan, atau talk show.
    Banyak Mesuji
    Dan cerita tentang Mesuji itu bukan hanya ada di Lampung atau Sumatera Selatan. Ada banyak “Mesuji” lain yang mempertontonkan megalomania aparat, pengusaha, dan penguasa kita terhadap kaum lemah atau wong cilik. Sikap mengecilkan kaum lemah, lalu hanya memberi tempat kepada yang besar, juga terjadi dalam masyarakat kita. Apalagi, secara sosiologis, masyarakat kita belum sepenuhnya bisa menjunjung semangat egaliter karena masih adanya iklim neofeodal yang masih cukup kental. Dalam iklim neofeodal, suburlah korupsi, kolusi, dan nepotisme.
    Akibatnya, yang kecil dan lemah tak mendapat tempat, bahkan kian teraniaya. Simak saja kasus penyiksaan pembantu rumah tangga di Darmo Permai, Surabaya, yang para pelakunya baru divonis 10 tahun. Benar-benar tidak menyangka, para pelakunya terdidik dan dari kelas menengah. Jelas ini potret megalomania karena orang hanya menghargai yang besar, sedangkan yang kecil pantas dianiaya. Manusia lain bukan menjadi sesama, melainkan neraka, sebagaimana diungkapkan filsuf eksistensialis Prancis, Jean Paul Sartre.
    Karena anggapan itu, martabat sesama pun bisa seenaknya diinjak-injak. Misalnya lagi, di Porong, Sidoarjo, kita masih bisa melihat martabat banyak korban lumpur dipermainkan pengusaha (Lapindo) dan penguasa (pemerintah SBY). Bayangkan, banyak korban lumpur kehilangan harta paling berharga berupa tanah dan rumah. Ganti rugi yang dijanjikan hingga kini pun kerap dilanggar.
    Apa yang dipaparkan di atas menjadi bukti bahwa negeri kita selama ini masih berada dalam kegelapan, akibat penghargaan dan pemujaan pada megalomania, sambil mengorbankan yang lemah. Nah, dalam situasi demikian, tema pesan Natal PGI-KWI pada 2011 terasa relevan. Adapun tema pesan Natal tahun ini adalah “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar”(Yesaya 9:1a).
    Terang yang besar itu ada dalam sosok Yesus. Dalam perspektif iman Kristiani, Natal memang merupakan perayaan iman kelahiran Sang Matahari Sejati (Sol Invictus) yang menang melawan kuasa kegelapan (dosa). Kegelapan dosa dienyahkan lewat solidaritas Yesus dengan manusia. Manusia yang jatuh dalam dosa, sejak Adam dan Hawa memakan buah terlarang, pada akhirnya dipedulikan lagi oleh Tuhan dan beroleh penebusan dosa, setelah Juru Selamat Yesus Kristus lahir di dunia. Arogansi manusia akibat megalomania justru direspons dengan solidaritas tanpa batas oleh Sang Pencipta.
    Tidak mengherankan, sejak Yesus lahir dan hidup di dunia ini, Yesus tak pernah lelah menunjukkan terang dan kebaikan Allah, khususnya kepada mereka yang dianggap kecil dan hina oleh dunia ini. Pengemis, pelacur, janda, orang-orang sakit, semua beroleh kasih-Nya. Yesus mencoba merombak watak buruk manusia yang suka megalomania agar diubah dengan kerendahan hati, sehingga yang kecil dan dipinggirkan kembali diperlakukan dengan sepantasnya sebagai manusia. Bukan harus dihajar atau disiksa tubuhnya. Bukan pula untuk diinjak-injak atau dilecehkan martabatnya.
    Bahkan Yesus menetapkan kriteria siapa yang bakal bisa masuk surga kelak, yakni siapa pun yang peduli pada sesama yang paling hina. Karena, apa yang kita lakukan untuk yang paling kecil atau paling hina, itu kita lakukan untuk Tuhan sendiri. Karena, Tuhan bahkan menyamakan diri dengan yang paling kecil dan hina (Matius 25:40). Mendiang Bunda Teresa dari Kalkuta, peraih Nobel Perdamaian, juga tidak lelah menyeru dunia agar mau peduli kepada yang miskin, kecil, hina, dan dibuang, karena di dalam diri merekalah Tuhan sedang menyamar dan mengundang kita semua, khususnya yang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menunjukkan terang dan kebaikan Tuhan.
    Semoga Natal kali ini menjadi momentum bagi setiap murid Yesus, khususnya yang menjadi pejabat atau penguasa serta pengusaha, untuk mau berubah dari sikap memuja ke sikap hidup yang mau peduli, solider, dan mengasihi yang lemah serta kecil. Para murid Yesus yang kebetulan dianugerahi posisi tinggi, rezeki berlimpah, dan banyak berkat tidak boleh hidup dalam megalomania dan egoisme serta membiarkan kegelapan terus merajalela. Natal menjadi saat yang tepat untuk berbagi, karena Yesus, Sang Terang Besar itu, juga sudah rela solider dan berbagi, bahkan termasuk hidupnya sendiri. Dan dengan cara ini, dunia bisa diselamatkan dari dosa dan kegelapan.
    Kita mungkin tidak bisa menjadi terang besar seperti Yesus. Tapi, jika kita rela menjadi lilin kecil yang mampu menerangi kegelapan yang ada di sekitar kita, ini sudah cukup. Lilin mengajarkan nilai spiritualitas yang tidak remeh bahwa, dengan berani membakar ego dan sifat buruk kita, terang akan terpancar ke sekeliling. Dan jika masing-masing umat Kristiani rela menjadi lilin, berani menyingkirkan egonya, dan tidak larut dalam arus megalomania, pasti Indonesia bisa menjadi lebih baik ke depan. Selamat Natal 2011.
  • Quo Vadis Indonesia? (2)

    Quo Vadis Indonesia? (2)
    Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RI
    Sumber : REPUBLIKA, 23 Desember 2011
    Bukan kebetulan dunia ekonomi makro hanya memperhatikan pengembangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran antarnegara (Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, ASEAN, dan sebagainya). Masalah lapangan kerja terbatas pada kepentingan nasional dan sudah tercermin tidak langsung pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran.

    Bukankah sebagian besar negara berkembang sebelumnya adalah wilayah yang dijajah dan dikuasai untuk mengeruk sumber daya alam sekaligus berfungsi sebagai ‘pasar domestik’ untuk mengonsumsi produk nilai tambah masyarakat penjajah? Bagaimana sekarang? Masyarakat yang dahulu dijajah sudah menjadi merdeka dan bebas. Mereka lebih sadar akan masalah ketenteraman yang erat kaitannya dengan pemerataan pendapatan dan pemerataan berkembang dan bekerja yang harus diselesaikan.

    Apalagi, dengan meningkatnya kemampuan memanufaktur produk konsumsi-yang tadinya diproduksi di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Utara-oleh masyarakat Cina dan India, produk-produk mereka mulai dan bahkan telah membanjiri pasar global! Produk konsumsi yang dahulu dikuasai oleh industri manufaktur penjajah tak dapat bersaing dengan produksi negara berkembang, baik di pasar jajahannya dahulu dan Cina maupun di pasar domestik Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.

    Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran di beberapa masyarakat Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Ini tercermin pada perbandingan utang terhadap kemampuan prestasi ekonomi (GDP) negara tersebut yang sudah mendekati 100 persen. Bahkan, Amerika Serikat (AS) telah melampaui 100 persen dan Jepang 200 persen GDP.

    Jikalau utang Jepang diperoleh dari masyarakatnya sendiri dengan suku bunga yang rendah, maka utang di AS diperoleh dari  pasar global dengan suku bunga yang relatif tinggi. Mengapa demikian? Bagaimana dengan risiko dan jaminan pinjaman? Apa akibatnya? Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab!

    Mengapa demikian? Setelah Perang Dunia II pasar domestik AS berkembang menjadi pasar yang terbesar di dunia karena ekonomi Eropa, Jepang, dan Asia hampir hancur dan tidak berfungsi sesuai harapan. AS memberi bantuan pembangunan ekonomi dan mata uangnya menjadi andalan bagi hampir semua mata uang mancanegara.

    Cadangan emas tidak lagi menjadi satu-satunya andalan mata uang. Permintaan atas dolar AS meningkat dan melampaui kebutuhan pasar domestik AS. Anggaran untuk membiayai kehadiran AS sebagai adikuasa di dunia meningkat dan ekonomi Amerika Utara, Eropa, Jepang, dan negara berkembang lainnya mulai menyaingi produksi AS hampir dalam segala bidang dan sebagainya.

    Skenario yang telah diutarakan sebelumnya terjadi dan utang AS melampaui 100 persen kemampuan GDP-nya, bahkan Jepang lebih besar lagi. Namun, demikian nilai dolar AS-mata uang yang menjadi andalan mata uang mancanegara-tetap dicegah menurun. Karena jikalau nilainya menurun, maka nilai cadangan mancanegara-seperti Cina, Jepang, dan beberapa Negara di Eropa-akan menurun pula dan merugikan semua.

    Dua Ekstrem

    Lain halnya dengan Jepang. Pasar domestik Jepang cukup besar, namun mata uang yen Jepang tidak dimanfaatkan sebagai andalan perdagangan dan cadangan mancanegara. Dengan insentif perpajakan dan insentif lain yang diberikan oleh Pemerintah Jepang dan bank yang mencetak mata uang Jepang, suku bunga yen dapat ditekan serendah mungkin sehingga kurang menarik bagi investor global.

    Bagaimana dengan risiko dan jaminan pinjaman? Dengan undang-undang, regulasi pemerintah dan bank sentral Jepang, risiko dan jaminan direkayasa secara pragmatis. Dengan suku bunga yang rendah dan sistem perpajakan yang terarah pada peningkatan ‘jam kerja’ atau lapangan kerja secara ‘gotong royong’, pinjaman dari masyarakat sendiri dapat diperoleh dan diperhitungkan risikonya. Misalnya, pembiayaan proyek yang menciptakan lapangan kerja dengan pemberian suku bunga yang sangat rendah dan jenjang pelunasan yang panjang dimungkinkan karena suku bunga memang sangat rendah dan dapat mencegah pengangguran.

    Lain halnya dengan kebijakan Pemerintah dan Bank Central AS yang mencetak dan mengeluarkan mata uang dolar AS. Mereka sangat menyadari bahwa mancanegara yang berhasil mengekspor komoditas ke pasar AS sangat berkepentingan memelihara pasar AS tetap sehat dan befungsi sehingga lapangan kerja di mancanegara dapat dipertahankan.

    Mata uang dolar AS pun dipertahankan stabilitasnya melalui mekanisme pasar komoditas uang untuk mencegah menurunnya nilai cadangan dolar AS mereka. Semua pemikiran dan kebijakan diarahkan pada pertumbuhan GDP, pengendalian inflasi, dan akhirnya penyediaan lapangan kerja. Mancanegara lainnya bergerak di antara dua skenario model Jepang dan AS.

    Apa akibatnya? Bursa yang tadinya berfungsi sebagai ‘mekanisme pengumpulan dana’ yang cukup transparan dan dapat diandalkan berubah menjadi ‘pusat keunggulan berspekulasi dan berjudi’. Informasi diperluas dengan gosip akan sangat merugikan kreditibilitas bursa. Gosip adalah analisis yang belum tentu benar untuk diperhitungkan dan merupakan pemberitaan distortif yang cepat dan membingungkan.

    Kita dapat belajar dari tradisi masyarakat Jepang dan Jerman yang selalu memperkenalkan produk barunya di dalam negeri sampai teruji dulu sebelum diekspor. Produk industri pangan walaupun karena globalisasi lebih murah jika diimpor, masyarakatnya ternyata masih tetap memilih produksi dalam negeri.

    Sejak berdirinya EEC ada perubahan di Jerman terhadap impor dari masyarakat EEC lainnya. Masyarakat Jepang tetap memilih beras Jepang walaupun lebih mahal dari beras impor Thailand. Perilaku ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam tiap produk tersembunyi jam kerja yang terkait dengan proses pemerataan dan kesejahteraan. 

    VOC Baru?

    Bagaimana masa depan Anda jikalau pengeluaran Anda melampaui pendapatan? Bagaimana masa depan dunia jikalau pengeluaran melampaui pendapatan dunia?

    Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juni 2011 yang lalu,  pada kesempatan yang diberikan oleh Pimpinan MPR untuk menyampaikan pandangan mengenai Pancasila dalam forum Sidang Paripurna MPR, saya memperingatkan agar jangan sampai proses globalisasi berkembang menjadi jaringan baru seperti terjadi pada era jajahan masa lalu! Hindari jaringan globalisasi berkembang menjadi ‘jaringan neokolonialisme’ dengan adikuasa-adikuasa baru! (Jangan sampai terjadi ‘VOC-baru’ di Indonesia!)

    Perhatikan neraca jam kerja dan sadarlah bahwa membeli produk apa pun yang dibuat di dalam negeri sama dengan mempertahankan dan mengembangkan lapangan kerja atau jam kerja yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan pemerataan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat kita.

    Ketika nilai sumber daya alam dari benua maritim Indonesia di pasar dunia-khususnya di pasar Eropa-meningkat, maka terjadi pendekatan para pedagang secara sistematik dan kekerasan yang melahirkan kolonialisme yang dilawan bersama oleh masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, ketenteraman dan kedamaian masyarakat yang pluralistik ini tetap dipelihara karena sikap toleransi yang ada.

    Sejarah telah membuktikan bahwa hanya sumber daya manusia yang merdeka, bebas berpikir, dan bebas berkarya saja yang dapat meningkatkan produktivitas dan keunggulannya. Sejarah juga telah membuktikan bahwa semakin pluralistik masyarakat, semakin toleran perilakunya, semakin tinggi daya saing dan kreativitasnya.

    Rakyat Indonesia telah meletakkan jejak yang menentukan untuk menjadikan sumber daya manusia sebagai andalan masa depan, yaitu dengan adanya: Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), juga Kebangkitan Teknologi Nasional (1995). Ketiga kejadian tersebut telah berdampak pada proses-proses: Kemerdekaan pada 1945;   Kebebasan pada 1998; dari masyarakat madani di Indonesia.

    Dengan demikian prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk mengembangkan produktivitas dan keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang merdeka dan bebas telah dipenuhi. Yang masih harus diperhatikan dan dikembangkan adalah prasarana dan konsep teruji proses ‘pembudayaan’, prasarana dan konsep teruji proses ‘pendidikan dan penelitian’, prasarana dan konsep teruji penyediaan ‘lapangan kerja’.  

  • Peta Jalan Menuju Bebas Korupsi

    Peta Jalan Menuju Bebas Korupsi
    Masdar Hilmy, DOSEN IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
    Sumber : KOMPAS, 23 Desember 2011
    Kebenaran yang tidak sistemik akan terkalahkan oleh kebatilan yang sistemik
    (Ali, Sahabat Nabi Muhammad SAW)
    Pemberitaan korupsi di media kian memiriskan hati. Sekadar menyegarkan ingatan kita, terdapat 175 kepala daerah—terdiri atas 17 gubernur serta 158 bupati dan wali kota—yang tersangkut korupsi. Hampir setiap pekan seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Pendek kata, tiada hari tanpa berita dan analisis tentang korupsi di media.
    Yang menjadi pertanyaan klasik adalah, meski sudah banyak yang mendapatkan hukuman, mengapa korupsi yang melibatkan kepala daerah masih saja terjadi? Mengapa korupsi bisa bersanding dengan kesalehan? Ada apa dengan bangsa ini?
    Meski tak mudah dijawab, tak tersedianya peta jalan yang terukur dan terstruktur menuju Indonesia bebas korupsi merupakan salah satu faktor signifikan di balik lambannya pemberantasan korupsi. Mengakhiri 2011 dan menyongsong 2012, inilah refleksi paling relevan sekaligus tantangan paling nyata bagi negeri yang tengah bergelut dengan endemi korupsi.
    Tanpa Integritas
    Selama ini pemberantasan korupsi terkesan berjalan sporadis, fragmentatif, dan setengah-setengah. Upaya pemberantasan korupsi terkesan tebang pilih akibat kompromi politik tingkat tinggi. Sejumlah kasus megakorupsi yang menyeret nama-nama penting menguap begitu saja. Tidak berlebihan publik menyangsikan etos, komitmen, dan integritas penyelenggara negara dalam pemberantasan korupsi.
    Terapi Gagal
    Ibarat mengobati penyakit kanker, proses terapi tak kunjung memberikan harapan kesembuhan. Bertahan dari kematian saja sudah luar biasa. Barangkali analogi semacam inilah yang sedang dialami bangsa ini dalam hal pemberantasan korupsi. Perlu pengobatan komprehensif yang mencakup seluruh level; level moral-psikologis dan level fisik-biologis.
    Di tingkat moral-psikologis, bangsa ini tengah mengidap krisis kepercayaan terhadap para penyelenggara negara untuk memberantas praktik korupsi hingga ke akar-akarnya. Sementara itu, di tingkat fisik-biologis, persoalan korupsi di Indonesia memiliki anatomi yang hampir muskil disembuhkan dalam waktu singkat.
    Ini semua karena persoalan korupsi di negeri ini sangat kompleks, rumit, dan multifaset. Ia bukan saja sebagai kebiasaan buruk individu yang bereskalasi menjadi kebiasaan buruk kolektif, melainkan juga karena korupsi telah berjalan sistemik, bertali-temali dengan faktor-faktor ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.
    Pada tingkat ekstrem, kejahatan korupsi bahkan telah menyentuh kesadaran eksistensial bangsa. Seolah berlaku asumsi, tiada cara lain ”menjadi” Indonesia kecuali melalui korupsi. Kompleksitas semacam inilah yang membuat persoalan korupsi kian sulit diurai. Siapa pun presidennya, secanggih apa pun peraturan dan lembaga dibuat, siapa pun ketua KPK-nya, rasanya sulit menghentikan laju korupsi di negeri ini. Padahal, mengidentifikasi dan mengurai persoalan korupsi merupakan prasyarat guna merumuskan peta jalan menuju Indonesia bebas korupsi.
    Peta jalan ini berisi pemetaan terhadap anatomi persoalan korupsi, akar penyebab, langkah solusi, penentuan skala prioritas, hingga penentuan jangka waktu penanganan bertahap dan simultan; pendek, menengah, atau panjang. Dengan cara ini, kita dapat mengetahui secara obyektif di mana posisi kita dalam agenda pemberantasan korupsi dan kapan bangsa ini bisa terbebas dari endemi korupsi.
    Persoalannya, pernahkan bangsa ini memikirkan dan menyusun peta jalan komprehensif menuju Indonesia bebas korupsi? Inilah inti persoalan korupsi di negeri ini. Upaya pemberantasan korupsi tidak pernah menyentuh akar persoalan sesungguhnya karena dilakukan secara sporadis, fragmentatif, dan tidak berintegritas. Memenjarakan koruptor ternyata tidak menjerakan yang lain. Sebagai kejahatan luar biasa dan musuh bersama, semestinya agenda pemberantasan korupsi merepresentasikan upaya terkonsentrasi dari seluruh komponen bangsa.
    Kenyataannya, agenda pemberantasan korupsi selalu diasumsikan menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah terpilih. Padahal, pemerintah terpilih merupakan bagian dari sistem politik makro yang juga korup. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah mampu menjalankan agenda pemberantasan korupsi jika di dalam dirinya tidak bersih dari korupsi? Analoginya, bagaimana mungkin membersihkan lantai dengan sapu kotor?
    Struktur Budaya Politik
    Kompleksitas persoalan korupsi terletak pada kenyataan telah melembaganya perilaku korupsi di setiap lini kehidupan, dari individu hingga kolektif, dari privat hingga publik, dari swasta hingga negeri, dan seterusnya. Kultur kolektif semacam ini lama-kelamaan menciptakan jejaring kekuasaan yang bersifat quasi-koersif bagi setiap individu yang memasukinya. Jika di negara dengan indeks korupsi rendah korupsi dianggap penyimpangan, di negeri ini korupsi dianggap normal, memandu dan menginspirasi kejahatan politik secara lebih sistemik.
    Pada kenyataannya, realitas jagat politik di negeri ini digerakkan oleh dua dunia: ”dunia tampak” dan ”dunia tidak tampak”. Dunia yang tampak adalah seluruh norma dan mekanisme politik yang diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, dunia tidak tampak adalah realitas di balik layar yang berisi lobi, kontrak, dan kesepakatan politik tidak tertulis yang justru jauh lebih dominan ketimbang dunia yang tampak. Termasuk dalam konteks ini adalah dana politik yang peredarannya mudah terendus, tetapi sulit teridentifikasi.
    Pada tingkat struktur di permukaan, jagat politik kita—seolah-olah—digerakkan oleh dunia yang tampak. Ada banyak undang-undang politik dan lembaga yang didesain untuk menghentikan laju korupsi. Namun, itu semua tidak membuat ciut nyali para (calon) koruptor. Hal ini karena pada tingkat struktur yang lebih dalam jagat politik kita sebenarnya lebih banyak digerakkan oleh dunia yang tidak tampak itu. Akibatnya, siapa pun yang memimpin, secanggih apa pun jerat-jerat hukum dibuat, negeri ini sulit terbebas dari endemi korupsi. Pernyataan Ali sebagaimana dikutip di awal tulisan ini seharusnya menyadarkan dan menginspirasi seluruh komponen bangsa, terutama para penyelenggara dan pengambil kebijakan negara, guna merumuskan peta jalan yang terukur dan terstruktur menuju Indonesia bebas korupsi. Bisakah kita menjadi Indonesia tanpa korupsi?  
  • Lorong Gelap Berantas Korupsi

    Lorong Gelap Berantas Korupsi
    Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI
    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
    Sumber : KOMPAS, 23 Desember 2011
    Ibarat lukisan besar, pemberantasan korupsi sepanjang 2011 dapat dikatakan gagal keluar dari potret buram berlatar suram. Limpahan megaskandal korupsi 2010 yang diharapkan tuntas tahun ini tak menunjukkan kemajuan signifikan.
    Bahkan, sejumlah peristiwa yang tersingkap sepanjang 2011 menegaskan satu hal: agenda pemberantasan sulit keluar dari lorong gelap. Langkah memberantas korupsi bak menuju titik nadir. Padahal, sejumlah peristiwa pada 2011 seharusnya mampu menghadirkan langkah besar dalam pemberantasan korupsi. Sebut saja, misalnya, skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan yang sepertinya bergerak memasuki jalur lambat.
    Padahal, banyak kalangan berpikir positif bahwa heboh yang terjadi awal 2011 akan jadi energi ekstra guna mendorong langkah besar pemberantasan korupsi. Faktanya jauh panggang dari api: penyelesaian skandal Gayus bukti agenda pemberantasan korupsi menuju titik nadir.
    Dalam konteks penegakan hukum, skandal mafia pajak yang menempatkan Gayus harus diselisik lebih dalam. Selain melibatkan sejumlah nama di kepolisian dan kejaksaan, skandal ini juga menunjukkan betapa bopeng wajah penegakan hukum. Yang membuat kita miris, penyelesaian skandal ini jadi pembenaran empiris perilaku tebang-pilih dalam penegakan hukum. Tebang-pilih tak hanya karena gagal menguak tuntas identitas polisi dan jaksa yang terlibat, tetapi juga gagal membongkar perusahaan-perusahaan besar yang menerima jasa Gayus.
    Tumpul
    Suatu ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengemukakan pernyataan ”sederhana” untuk menggambarkan penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Menurut dia, ”penegakan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Ilustrasi ini tak hanya dapat dilacak dari langkah penyelesaian yang telah diambil dalam skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus, tetapi juga dari penyelesaian skandal Bank Century.
    Sampai sejauh ini, skandal Century masih menyimpan misteri dalam jagat penegakan hukum. Sepanjang 2011, harapan agar ada kemajuan dalam penyelesaian skandal Century sama sekali tidak terjadi. Padahal, publik masih berpegang pada hasil voting panitia khusus DPR yang menerima opsi C bahwa ”patut diduga telah terjadi penyimpangan proses pengambilan kebijakan penalangan Bank Century oleh otoritas moneter”. Oleh karena itu, sangat mungkin tidak bergeraknya skandal Century membuktikan tumpulnya proses hukum bekerja bagi mereka yang memiliki posisi politik kuat.
    Tidak saja untuk peristiwa yang terjadi sebelum 2011, sejumlah skandal yang terjadi sepanjang tahun ini hanya mampu menyentuh mereka yang tak berada dalam posisi politik yang kuat. Sebut saja, misalnya, skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Proses penegakan hukum skandal suap yang terjadi, sepertinya, akan segera berhenti begitu (mantan) Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dinyatakan bersalah. Penumpulan itu dapat pula dijelaskan dengan skandal yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
    Selain itu, tindak lanjut bekerjanya proses hukum terhadap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin membuktikan pendapat Mahfud. Meski megaskandal ini mendapat perhatian amat luas dari publik, proses hukum sepertinya akan berhenti sampai di Nazaruddin. Padahal, jika mengikuti perjalanan skandal ini sejak awal, sulit diterima akal sehat Nazaruddin bermain sendiri. Sampai sejauh ini proses hukum dapat dikatakan kehilangan nyali menyentuh semua nama yang pernah disebut Nazaruddin. Bahkan, janji mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas untuk menetapkan tersangka baru hilang ditelan bumi.
    Banyak kalangan kian kehilangan harapan disebabkan oleh penegak hukum tak menunjukkan perubahan berarti dalam memberantas korupsi. Sepanjang 2011, sejumlah penegak hukum tertangkap tangan memperdagangkan otoritas penegakan hukum. Kejadian itu membuktikan, langkah reformasi internal penegak hukum masih sangat jauh untuk dituai demi memenuhi harapan pencapaian agenda pemberantasan korupsi.
    Harus dicatat, rangkaian kejadian sepanjang 2011 tak hanya meluluhlantakkan harapan memberantas korupsi, tetapi juga mencabik-cabik proses meraih keadilan. Semua itu terasa kian mengiris-iris nadi agenda pemberantasan korupsi ketika sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi di daerah membebaskan mereka yang tersangkut kasus korupsi. Boleh jadi, putusan bebas itu seperti hendak mempertautkan wilayah Indonesia dalam peta buram cengkeraman korupsi.
    Bagaimana 2012?
    Sekalipun potret buram lebih dominan, tak berarti semua yang dilakukan tanpa capaian sama sekali. Setidaknya di pengujung 2011 kita mendapat dua kabar baik. Selain naiknya indeks persepsi korupsi dari 2,8 (2010) menjadi 3,0 (2011), keberhasilan penegak hukum memulangkan Nunun Nurbaeti jadi prestasi tersendiri.
    Banyak pihak percaya, kedua capaian tersebut ditambah hadirnya pimpinan KPK yang baru akan menjadi modal besar memberantas korupsi tahun depan. Untuk itu, paling tidak, wajah pemberantasan korupsi 2012 dapat dilacak dari penyelesaian skandal bail out Bank Century, upaya mengurai jejaring di sekitar Nazaruddin, dan manfaat yang dapat diraih dari keberhasilan memulangkan Nunun. Bagaimanapun, upaya penyelesaian skandal tersebut akan mampu memulihkan citra penegakan hukum.
    Selain itu, tak kalah penting, publik juga tengah menunggu keberanian KPK mengurai jejaring mafia anggaran di DPR. Keberanian KPK mengurai secara tuntas mafia anggaran akan menunjukkan kepada publik bagaimana lembaga ini menghadapi tekanan politik dalam pemberantasan korupsi. Hal ini bermakna, penetapan Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka bukan menjadi ujung cerita penyelesaian skandal ini. Sekiranya penuntasan semua skandal ini tetap sulit menjamah mereka yang memiliki posisi politik kuat, agenda pemberantasan korupsi tak akan pernah keluar dari lorong gelap.  
  • KPK Baru dan Agenda Pemberantasan Korupsi

    KPK Baru dan Agenda Pemberantasan Korupsi
    Anu, PESERTA DISKUSI GOVERNANCE AND REFORM IN INDONESIA
    DI CHATHAM HOUSE, LONDON, PADA AWAL DESEMBER 2011
    Sumber : SINDO, 23 Desember 2011
    Dengan dilantiknya Abraham Samad dan rekan-rekan sebagai pimpinan KPK periode 2011–2015 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pekan lalu, maka mereka resmi memimpin institusi terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut.

    Ekspektasi masyarakat terhadap KPK tentu akan semakin tinggi, terlebih lagi terdapat kritikan yang cukup tajam terutama dari media serta aktivis antikorupsi mengenai kemungkinan kompromi politik dalam pemilihan pimpinan KPK. Disisilain, dengan pemilihan figur Abraham Samad sebagai ketua KPK yang masih relatif berusia muda—untuk standar umur pejabat tinggi di Indonesia— serta steril dari lingkungan elite Jakarta, setidaknya memberi harapan bahwa nantinya beliau akan lebihtegas, dinamis, dan independen.

    Dari aspek legalitas hukum, KPK mempunyai kedudukan hukum yang paling kuat, yakni dibentuk melalui Undangundang Nomor 30 Tahun 2002. Hal penting yang membedakan KPK dengan tim atau lembaga sejenis dalam sejarah Indonesia adalah mereka dapat merekrut sendiri sebagian besar stafnya tanpa terikat oleh keharusan menggunakan aparatur negara. Namun, untuk penyidik serta penyelidik, KPK tetap terikat aturan undang-undang untuk menggunakan tenaga polisi dan jaksa untuk menjalankan fungsi tersebut yang menjadi titik terlemah dari segi organisasinya.

    Kemudian, KPK juga diberi wewenang melakukan penyadapan: otoritas yang penting karena pekerjaan KPK mengandalkan bukti langsung bahwa tertuduh koruptor menerima suap. Contoh keberhasilan wewenang penyadapan adalah kasus jaksa Urip pada 2008 dan Jaksa Sistoyo pada 2011 yang tertangkap saat menerima dana suap sebesar hampir Rp6 miliar dan Rp100 juta. Kerja sama yang baik dengan Presiden SBY merupakan kunci keberhasilan KPK dalam menjalankan fungsinya selama ini.

    Menurut ketentuan hukum, untuk memeriksa pejabat tinggi aktif KPK harus memperoleh izin dari Presiden. Setidaknya hingga kini Presiden SBY memberikan kemudahan dalam pemberian izin tersebut seperti kepada para beberapa anggota DPR maupun kepala daerah yang masih aktif menjabat. Diperkirakan hampir 100 izin bagi pemeriksaan pejabat negara/ pemerintahan yang telah dikeluarkan oleh KPK. Kemudian dari segi sumber daya, baik dana maupun fasilitas, KPK memperoleh dana melalui APBN yang relatif cukup untuk menunjang operasinya.

    Selama 2010 KPK telah merealisasikan Rp264 miliar lebih anggarannya (KPK, 2010). Tentu kita masih ingat bagaimana ketidakoptimalan komisi atau lembaga bergerak pada isu antikorupsi di masa lalu yang sumber dananya tidak memadai. Misalnya Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional dan beberapa institusi lain. Karenanya hubungan kerja antara Presiden dan KPK merupakan suatu kemitraan yang sangat penting dalam konteks reformasi institusi di Indonesia.

    Mungkin tingkat kepentingannya bisa disamakan dengan hubungan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam usaha menjaga stabilitas politik nasional baik dalam lembaga legislatif maupun eksekutif. Tentu saja sebagai lembaga negara yang kiprahnya selalu disorot oleh media,maka KPK juga menuai berbagai macam kritikan. Yang paling sering digugat adalah masalah diskriminasi yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan kegiatan penindakan hukum.

    KPK dianggap tidak dapat menyelesaikan kasus yang melibatkan figur-figur dalam ling-karan kekuasaan. Kemudian juga dalam melakukan tindakan prosekusi terhadap para pejabat pemerintah membuat para pejabat pemerintah menjadi enggan membuat keputusan. Hal ini disebabkan mereka tidak ingin nantinya keputusannya berimplikasi pada tuntutan dirinya oleh KPK karena diduga terlibat korupsi di masa mendatang.

    Mendorong Reformasi Institusi

    Dengan jumlah staf kurang lebih 400 pegawai dan berdiri hanya lebih dari 7 tahun,KPK dianggap sebagai institusi antikorupsi yang cukup berhasil dalam sejarah Indonesia. Bahkan keberhasilannya diakui pada tingkat internasional dengan diberikannya integrity award oleh Bank Dunia pada 2010 kepada Chandra Hamzah. Setidaknya KPK bersama Presiden SBY,melalui kegiatan penuntutan hukum, sudah dapat menurunkan efek imunitas bagi para pejabat dan mantan pejabat yang diduga melakukan korupsi.

    Saat ini para pejabat dan mantan pejabat akan berpikir lebih panjang apabila ingin melakukan korupsi. Pekerjaan yang paling mendesak di masa mendatang adalah bagaimana KPK dan Presiden SBY membantu mendorong reformasi institusi di lembaga penegak hukum lain seperti Kepolisian RI, Jaksa Agung,serta Mahkamah Agung. Saat ini terlihat ketiga lembaga tersebut merasa dipermalukan dengan tindakan KPK menangkap aparatur mereka yang terlibat korupsi.

    Karenanya merupakan tantangan besar bagi Abraham Samad serta Presiden SBY, selain terus meningkatkan prosekusi terhadap koruptor tapi juga dilakukan pendekatan institusi serta komunikasi yang terpadu terhadap ketiga lembaga tersebut akan pentingnya reformasiinstitusidiinstansimasingmasing. Apabila dilihat pada kasus di negara Korea Selatan,Singapura dan Hong Kong: inisiatif antikorupsi yang berhasil adalah bila institusi penegak hukumnya berhasil direformasi sehingga aparatnya dapat melaksanakan tugas dengan baik, dihormati, serta mempunyai integritas tinggi.

    Akibatnya, lembaga antikorupsi seperti KPK peranannya akan menjadi jauh lebih berkurang dengan kondisi institusi penegak hukum yang relatif bersih dan independen. Tentu ini pekerjaan rumah besar bagi pimpinan KPK saat ini dan Presiden SBY untuk mewujudkan tugas yang mahaberat ini.   

  • Dilema Imigran Gelap

    Dilema Imigran Gelap
    Hikmahanto Juwana, GURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL UI
    Sumber : KOMPAS, 23 Desember 2011
    Peristiwa mengenaskan terjadi terhadap para imigran gelap di lepas Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur.
    Mereka hendak menuju Australia dengan kapal yang tak layak untuk mengarungi bentangan laut yang sangat luas. Bagi Indonesia, keberadaan imigran gelap jadi persoalan tersendiri. Sebagian lain berada di Indonesia karena terdampar saat menuju Australia, seperti warga Rohingya asal Myanmar. Sebagian lagi sengaja masuk dan menjadikan Indonesia sebagai tempat transit. Imigran kategori ini umumnya dari kelas menengah di negaranya yang kebanyakan Timur Tengah.
    Imigran Timteng yang hendak mencari kehidupan lebih baik di negara maju, seperti Australia, melihat posisi Indonesia yang strategis. Indonesia jadi surga transit untuk masuk Australia secara ilegal. Paling tidak ada empat daya tarik bagi imigran gelap untuk berada di Indonesia sebelum sampai tujuan akhir, Australia. Pertama, Indonesia negara ”terdekat” untuk dapat masuk secara ilegal ke Australia. Laut yang membentang di antara kedua negara menjadi ”jalur tikus” bagi kapal asal Indonesia yang disewa imigran gelap.
    Kedua, Indonesia jadi tempat transit karena masih banyak wilayah laut yang tak terjaga dan tak memiliki tempat pemeriksaan imigrasi. Di jalur resmi masuk ke Indonesia, lemahnya pemantauan aparat keimigrasian ikut menyumbang masuknya imigran gelap secara tak sah. Ketiga, keberadaan badan PBB yang mengurusi soal pengungsi (UNHCR) menjadi daya tarik bagi imigran gelap berduit. Setiba di Indonesia dengan memanfaatkan visa turis, mereka akan segera ke kantor UNHCR dan meminta status sebagai pengungsi. Jika diberi status pengungsi, imigran gelap dapat berada di Indonesia sementara sebelum UNHCR mendapatkan negara ketiga yang bersedia menerima mereka.
    Terakhir, harus diakui di Indonesia ada orang-orang tertentu, baik WNI maupun warga asing, bahkan oknum aparat, yang menjadikan imigran gelap ladang bisnis. Cara kerja terorganisasi menjadikan mereka yang terlibat patut diberi label mafia.
    Dilematis
    Bagi pemerintah, keberadaan imigran gelap memunculkan dilema. Di satu sisi, pemerintah harus memfasilitasi keberadaan mereka, bahkan tak dapat membiarkan imigran gelap telantar atau tak terurus ketika mereka mengalami musibah. Ini karena, dari sisi kemanusiaan, pemerintah akan disalahkan secara internasional jika mereka abai.
    Di sisi lain, jika bantuan diberikan untuk mengurus imigran gelap, akan berdampak pada anggaran negara. Bahkan, perlakuan pemerintah jadi sumber kecemburuan bagi warga. Pemerintah seolah memberikan perhatian lebih kepada imigran gelap karena khawatir mendapat kritik internasional daripada warganya sendiri. Padahal, masih banyak warga miskin di Indonesia atau TKI yang bermasalah di luar negeri yang harus diurus.
    Ini masih ditambah lagi beban yang diakibatkan oleh kebijakan Australia, yang menjadikan Indonesia ”benteng” pencegahan bagi banjirnya imigran gelap. Dari berbagai bantuan Australia ke Indonesia, salah satunya ditujukan agar Indonesia dapat memastikan imigran gelap tertahan di Indonesia. Salah satunya dijerat dengan ketentuan keimigrasian. Dengan demikian, imigran gelap akan tetap berada di Indonesia dan pada gilirannya dideportasi ke negara asalnya.
    Australia punya kepentingan saat UU Keimigrasian Indonesia dipersiapkan. Mereka perlu pasal yang mengkriminalkan perbuatan penyelundupan manusia. Pasal ini penting agar Indonesia dapat memberikan sanksi pidana bagi mereka yang terlibat dalam mafia penyelundupan manusia. Pasal ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat jera nelayan Indonesia yang kapalnya digunakan imigran gelap.
    Tambahan beban juga dikontribusikan Malaysia yang memiliki perjanjian untuk membebaskan permohonan visa bagi warga sejumlah negara Timteng. Atas dasar ini, imigran gelap masuk lebih dahulu lewat Malaysia sebelum masuk Indonesia lewat jalur tikus, darat maupun laut, dan akhirnya ke Australia.
    Menghadapi fenomena ini, pemerintah harus memiliki kebijakan komprehensif. Selain memperketat masuknya warga negara asing secara ilegal, patroli di wilayah laut juga harus diintensifkan dengan menambah kapal patroli. Pemerintah, melalui perwakilannya, juga harus menyosialisasikan ke masyarakat dari negara asal imigran gelap bahwa Indonesia akan memberikan sanksi berat bagi imigran gelap. Pemerintah juga bisa meminta perwakilan negara asal imigran untuk turut bertanggung jawab ketika terjadi musibah.
    Pemerintah perlu pula meninjau ulang kehadiran UNHCR di Indonesia. Jika dirasa hanya jadi beban, kehadiran UNHCR perlu diakhiri. Hal lain, meminta perhatian Pemerintah Australia dan Malaysia agar turut membantu Indonesia menghadapi masalah imigran gelap. Australia yang mendapat manfaat dari Indonesia perlu ikut berkontribusi secara finansial terhadap biaya pengurusan imigran gelap. Kita juga dapat meminta Malaysia meninjau kebijakannya memberikan bebas visa bagi warga dari negara asal imigran gelap.
    Selain agar Indonesia tak dijadikan surga transit imigran gelap, kebijakan komprehensif juga dimaksudkan untuk memastikan Indonesia tidak dijadikan tujuan akhir imigran gelap. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mendatang bukan tak mungkin menjadi daya tarik imigran gelap.  
  • Setelah UU BPJS DIsahkan

    Setelah UU BPJS Disahkan
    Kartono Mohamad, MANTAN KETUA UMUM PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
    Sumber : KOMPAS, 23 Desember 2011
    Setelah tarik ulur cukup ramai antara parlemen dan pemerintah, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disahkan menjadi undang-undang.
    Dapat dikatakan bahwa UU BPJS memperbaiki atau bahkan merevisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam UU BPJS ditegaskan bahwa setiap penduduk Indonesia (termasuk orang asing) wajib menjadi peserta sistem jaminan sosial, akan hadir dua BPJS (dari tarik-menarik antara empat dan satu), menetapkan badan pengawas, dan menekankan sifat BPJS yang nirlaba.
    Meskipun demikian, masih perlu waktu cukup lama sebelum rakyat benar-benar dapat menikmati jaminan sosial, seperti tidak lagi harus membayar sendiri ketika berobat jalan maupun menginap di rumah sakit. Masih banyak hal yang harus disiapkan dan ditata sebelum sistem jaminan sosial berjalan penuh.
    Hal pokok yang harus dilakukan pemerintah adalah membentuk BPJS dengan segala kelengkapannya, menetapkan besaran iuran yang harus dibayar oleh peserta, hingga memikirkan mekanisme penarikan iuran. Untuk pegawai negeri dan pekerja formal, penarikan akan lebih mudah karena ada pemberi kerja yang dapat diminta memotong gaji. Namun, untuk pekerja nonformal, perusahaan kecil dengan karyawan di bawah 10 orang, dan pekerja mandiri, perlu dicarikan mekanisme lain.
    Penarikan Iuran
    Cara pertama adalah menggunakan uang pajak. Dari pajak yang diterima negara, sebagian dialokasikan untuk membiayai jaminan sosial. Ingmar Bergman, sutradara film Swedia tahun 1960-an, mengkritik cara ini. Ia mengatakan bahwa mereka yang bekerja keras harus membiayai kesejahteraan kaum hippies yang malas bekerja.
    Cara lain adalah menambahkan sejumlah persentase tertentu di atas pajak perorangan (penghasilan) seperti di Australia. Cara ini secara sosial mempunyai makna positif, yaitu yang berpenghasilan besar membantu yang berpenghasilan kecil.
    Untuk negara yang sebagian besar penduduknya sudah rajin membayar pajak dan tidak banyak dikorupsi, cara pembiayaan melalui pajak akan lebih praktis. Namun, untuk negara yang jumlah pembayar pajaknya masih kecil, seperti Indonesia, ditambah tingginya angka korupsi, pembiayaan melalui pajak akan sangat memberatkan negara. Banyaknya penduduk dan meningkatnya biaya pengobatan membuat pajak yang terkumpul nantinya tidak cukup lagi untuk biaya jaminan sosial.
    Cara lain adalah memotong gaji setiap peserta. Sekarang sudah ada dua jalur untuk itu, yaitu melalui Askes untuk pegawai negeri dan melalui Jamsostek untuk karyawan perusahaan swasta. Setelah ada BPJS, seharusnya hanya ada satu pintu untuk penarikan iuran melalui pemotongan gaji dan besarannya pun harus disamakan.
    Hal yang sulit adalah menjangkau perusahaan kecil yang sering tak terdaftar, seperti toko, bengkel, dan salon. Untuk pekerja mandiri, seperti pedagang kios, pasar, dan sopir, perlu dipikirkan beberapa cara. Salah satunya adalah mewajibkan penyisihan sekian persen dari tabungan mereka di bank (sekarang banyak pedagang kecil mempunyai tabungan di bank), seperti dilakukan Singapura. Bisa juga dengan mengorganisasikan mereka ke dalam kelompok-kelompok kerja (guild) atau koperasi. Yugoslavia (dulu) menggunakan mekanisme koperasi buat petani, pekerja informal, atau pekerja mandiri.
    Bagaimana untuk anggota TNI dan Polri? Mereka yang menjadi anggota TNI/Polri aktif selayaknya ditanggung negara seluruh biaya perawatan kesehatannya karena risiko tugas mereka. Akan tetapi, mereka tetap harus membayar iuran untuk jaminan kesehatan keluarganya.
    Untuk yang miskin, sesuai dengan UU BPJS, iuran dibayar oleh pemerintah. Namun, apa pun cara yang dipilih, pelaksanaannya memang harus bertahap, termasuk bagaimana mengintegrasikan jaminan kesehatan daerah (jamkesda) ke dalam sistem jaminan nasional ini.
    Pengawasan
    Dengan menguasai dana pembiayaan pengobatan seluruh rakyat Indonesia, BPJS mempunyai kekuatan besar untuk memaksa penyedia layanan (rumah sakit, klinik, dokter, sarana diagnostik) menjaga mutu, efisiensi, ketepatan waktu, dan efektivitas layanan, sekaligus menghapus sistem fee for service yang mudah disalahgunakan dan mahal.
    BPJS juga mempunyai posisi tawar kuat untuk menekan harga obat. Tugas pengawasan mutu ini dapat diserahkan kepada sebuah badan khusus yang dibentuk BPJS atau badan pengawas yang diamanatkan undang-undang. Artinya, selain mengawasi BPJS juga sekaligus mengawasi penyedia pelayanan.
    Keuntungan lain dari adanya satu BPJS adalah efisiensi karena biaya birokrasi BPJS hanya ada di satu BPJS. Alokasi untuk pemasaran dapat digunakan untuk sosialisasi BPJS dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar tetap sehat. Dana yang tersedia dapat dihemat kalau rakyat tetap sehat. Idealnya, kalau BPJS berjalan dengan baik, beban Kementerian Kesehatan akan banyak terkurangi.  
  • Generasi Muda, Presiden, dan Masa Depan Indonesia

    Generasi Muda, Presiden, dan Masa Depan Indonesia
    Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK
    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
    Sumber : SINDO, 23 Desember 2011
    Beberapa hari terakhir ini muncul wacana agar pada 2014 nanti tokohtokoh senior tidak lagi mencalonkan diri sebagai kandidat presiden.

    Hal ini dimunculkan, secara tidak bersamaan, oleh Taufik Kiemas, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais.Dalam pandangan Amien Rais, yang dimaksud sebagai tokoh senior adalah mereka yang sudah berumur di atas 60 tahun. Dalam konteks kandidat presiden, pernyataan ini mengena ke tokoh-tokoh seperti Wiranto,Megawati, Prabowo Subiyanto,dan Akbar Tanjung. Meski ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie juga sudah berumur 60 tahun lebih, tampaknya dia bukan termasuk tokoh yang dibidik.

    Jika demikian halnya, sebetulnya yang dituju Amien Rais, mungkin juga Taufik Kiemas dan Susilo Bambang Yudhoyono, adalah para tokoh politik yang pada 1999, 2004, dan 2009 pernah bersangkutan dengan pencalonan presiden—baik sebagai kandidat presiden atau mereka yang terlibat dalam konvensi partai untuk menentukan figur calon presiden. Sebenarnya soal batasan umur ini bukan persoalan substansial. Di atas atau di bawah usia 60 tahun, tercatat sebagai generasi senior atau yang lebih muda, bukanlah hal yang penting dalam dunia politik di Tanah Air.

    Tidak seperti Uni Soviet (dulu) dan China, gerontokrasi adalah sesuatu yang tidak pernah menjadi masalah dalam kepemimpinan nasional kita. Baik Soekarno maupun Soeharto muncul sebagai pemimpin nasional dalam usia yang relatif muda.Meski demikian, karena hal itu disuarakan oleh pelaku-pelaku terkemuka politik di negeri ini,yang tentu saja didasarkan atas pertimbangan- pertimbangan politik tertentu, serta-merta kita tergoda untuk terlibat membicarakannya. Kita tidak tahu persis mengapa para tokoh itu menggulirkan masalah regenerasi dalam kepemimpinan nasional.

    Jika kita harus menebak dengan penuh prasangka baik, barangkali niat politik mereka didasarkan atas kenyataan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia demikian berat, dan cenderung bertambah dari hari ke hari.Karena itu diperlukan pemimpin yang lebih muda.Perkiraannya adalah bahwa generasi muda lebih energik,penuh vitalitas, dan mungkin tanpa beban.

    Kekosongan

    Akan tetapi,penting diketahui bahwa persoalan kepemimpinan yang telah menggurita di Indonesia, terutama sejak satu dasawarsa terakhir, tidak ada kaitannya dengan soal kurangnya energi atau vitalitas di dalam memimpin. Jika boleh menyimpulkan dari perjalanan kepemimpinan sepuluh tahun terakhir,tentu dari sudut pandang orang-orang yang dipimpin, masalah pokok yang membelenggu para pemimpinan kita adalah tidak adanya apa yang oleh Max Weber disebut beruf atau panggilan kepemimpinan.

    Karenanya yang tampak adalah tiadanya kesungguhan, keseriusan,dan keikhlasan untuk memimpin.Jika kompetensi ditambahkan di dalam susunan persyaratan ini,maka hal itu sebanding dengan yang pernah diajarkan Nabi Muhammad bahwa syarat untuk menjadi pemimpin itu shidiq, amanah, tabligh,dan fathanah. Kekosongan panggilan ini mungkin merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Sebab, ketika kita berusaha untuk memutus hubungan dengan orde pemerintahan sebelum reformasi, semangat kuat yang muncul adalah menghentikan kepemimpinan Soeharto.

    Rasa bebas dari rezim Orde Baru ini kemudian ditafsirkan sebagai kebolehan untuk berkuasa. Gegap gempitanya masyarakat politik di Tanah Air untuk membikin partai politik, menjadi anggota legislatif, yang kemudian diteruskan dengan semangat untuk menjadi presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan sebagainya mengaburkan prasyarat moral yang disebut callingatau panggilan itu. Karenanya, politik dianggap semata-mata sebagai komoditas yang diperebutkan; menjadi pemimpinan nasional— baik di tingkat pusat maupun daerah—dianggap dan diperlakukan sebagai pekerjaan.

    Kosong dari persyaratan moral seperti ini bisa mengena semua pemimpin.Penyakit ini bersifat lintas umur. Karenanya, alih generasi dalam konteks kepemimpinan nasional 2014 tidak akan menyelesaikan masalah Indonesia.

    Prasyarat Moral

    Untuk itu sebenarnya yang harus diinjeksikan dalam ranah kepemimpinan nasional bukan keharusan mereka yang di bawah umur 60 tahun untuk memimpin. Akan tetapi prasyarat moral yang bernama keikhlasan, kesungguh-sungguhan,atau keseriusan. Dengan bantuan persyaratan moral itu diharapkan mereka yang (bakal) memimpin republik ini tidak memperlakukan posisi atau jabatan sebagai pekerjaan, melainkan amanah atau panggilan tadi. Regenerasi adalah hal yang bagus.

    Akan tetapi yang kita perlukan sekarang ini bukan regenerasi dalam konteks bilangan umur kronologis, melainkan regenerasi dalam konteks sirkulasi elite dari yang memperlakukan jabatan sebagai pekerjaan ke mereka yang bersedia melihat posisi sebagai amanah dan panggilan. Sepuluh tahun terakhir ini telah cukup mengajarkan kepada kita bahwa tidak sedikit dari mereka yang berumur di bawah 60 tahun berlaku sama dan sebanding dengan senior mereka.

    Baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak banyak yang dapat dijadikan contoh sebagai pemimpin yang sungguhsungguh, ikhlas,dan serius. Kecuali kita bisa memproses alih generasi dalam konteks yang kita bicarakan, pemilu pada 2014 nanti tidak akan mendatangkanperubahanyang substansial.Pemilu 2014 hanya akan mendatangkan penilaian bahwa kepemimpinan nasional Indonesia (hanya) “berbeda”, tetapi tidak “berubah”. Sekali lagi, letak persoalannya tidak ada pada perbedaan umur.

    Tanpa panggilan, beruf, calling, dan sebagainya itu, pemilu Indonesia hanya akan menghasilkan sederet orang yang—meminjam istilah Samuel Huntington—ingin berkuasa (to rule), tetapi tidak bersedia untuk memerintah (to govern).  

  • Mengembangkan Akuakultur

    Mengembangkan Akuakultur
    Rokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA,
    GURU BESAR KELAUTAN DAN PERIKANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
    Sumber : SINDO, 23 Desember 2011
    Tahun ini penduduk dunia tepat menyentuh angka 7 miliar jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 8 miliar pada 2025—kemudian 10 miliar orang pada 2100 (PBB, 2011).
    Dengan jumlah penduduk seperti sekarang saja, dunia selama dekade terakhir sering mengalami krisis pangan,energi,dan air.Naiknya suhu udara, cuaca ekstrem, banjir,musim kemarau panjang serta tidak menentu akibat perubahan iklim global juga telah menyebabkan penurunan produksi pangan dunia. Hal yang lebih mencemaskan, demi mengamankan ketahanan pangan di negaranya masing-masing, negara-negara pengekspor pangan utama seperti Amerika Serikat (AS), Kanada,Rusia,Australia,Thailand, dan Vietnam akhir-akhir ini mulai membatasi, bahkan memberhentikan ekspor bahan pangan.

    Tak pelak, fenomena global ini telah mengakibatkan indeks harga pangan dunia mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah pada akhir 2010 (FAO,2011). Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan, maritim, dan agraris terbesar di dunia yang memiliki potensi produksi pangan, energi,dan SDA lain yang masih melimpah, perkembangan kondisi global seperti itu sebenarnya merupakan tantangan sekaligus peluang.Salah satu cara menangkap peluangnya adalah dengan mengembangkan akuakultur (aquaculture).

    Produksi Pangan dan Nonpangan

    Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur terbesar di dunia sekitar 57,7 juta ton/ tahun.Pada 2010 baru dihasilkan 5,48 juta ton atau 9,6% dari total potensi produksinya.Total potensi produksi sebesar itu berasal dari budi daya di laut seluas 24 juta ha (potensi 42 juta ton/tahun),budi daya di tambak seluas 1,22 juta ha (potensi 10 jutaton/tahun),danbudidaya di perairan tawar 13,7 juta ha (potensi 5,7 juta ton/tahun). Adapun total produksi 5,48 juta ton terdiri atas rumput laut 3 juta ton (56%), sisanya 44% berupa ikan kerapu 1%,kakap 1%,bandeng 6%,nila 8%,emas 5%,lele 4%, patin 3%, gurame 1%,udang 7%, dan jenis-jenis lainnya 8% (KKP,2011).

    Sebelum berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 1999 Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar keenam di dunia. Pada 2004 Indonesia menjadi produsen terbesar keempat di dunia, dan pada 2010 terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 10,86 juta ton yang berasal dari perikanan tangkap 5,38 juta ton (49%) dan perikanan budi daya 5,48 juta ton (51%). Pada 2010 sekitar 1 juta ton produk perikanan diekspor ke mancanegara dengan perolehan devisa USD3 miliar.

    Selain itu,sekitar 70% dari total protein hewani yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari produk perikanan. Hanya 30% berasal dari daging,telur,dan susu. Karena harganya mahal dan permintaannya cukup besar, komoditas-komoditas tertentu dapat kita jadikan sebagai andalan ekspor, seperti mutiara, udang windu, udang vaname, kerapu bebek, kerapu macan, lobster, kepiting, kakap, teripang, dan rumput laut.Komoditas akuakultur lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik dan ketahanan pangan nasional.

    Selain pangan, akuakultur juga merupakan sumber bahan baku yang potensinya luar biasa besar untuk industri farmasi, kosmetik, energi terbarukan (biofuel), dan beragam jenis industri lain.Contohnya senyawa organik karagenan, agar-agar dan alginat yang terdapat dalam rumput laut Eucheuma spp, Sargassum spp, Gracillaria sp., dan lainnya selama ini digunakan sebagai bahan campuran utama dalam industri farmasi, kosmetik, pupuk, tekstil, dan beragam jenis industri lain.

    Salah satu yang menarik adalah potensi algae sebagai penghasil biofuel yang sangat menjanjikan di masa mendatang. Negara-negara maju seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Kanada menargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) bisa diproduksi dari budi daya mikro algae di laut maupun perairan tawar. Bahkan sejak 2007 Pemerintah Korea Selatan telah mewajibkan penggunaan biofuel sebanyak 5–25% dari total kebutuhan energi di sana. Salah satu jenis algae laut yang berpotensi sebagai sumber biofuel adalah Botryococcus braunii.

    Keunggulan algae sebagai sumber energi selain waktu tanamnya sangat singkat (seminggu),juga dalam pemanenannya tidak butuh alat berat seperti di darat. Teknologinya pun sangat mudah dan murah, produktivitasnya sangat tinggi, dan mampu menyerap CO2 sehingga dapat menghambat global warming.

    Potensi Ekonomi

    Sekadar sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi ekonomi akuakultur,ibarat ‘raksasa yangmasihtidur’,dapatdisimak pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma sp. Jika kita mampu mengembangkan 300.000 ha tambak (25% potensi) untuk budi daya udang vaname,maka dalam setahun rata-rata dapat diproduksi 6 juta ton udang vaname dengan nilai USD30 miliar.

    Pendapatan petambak rata-rata Rp8 juta/ha/bulan,dan tenaga kerja yang terserap 1,2 juta orang. Dengan mengembangkan 200.000 ha tambak (18% potensi) untuk Gracilaria, maka tiap tahun dapat dihasilkan 4 jutatonrumputlautkeringyang setara dengan USD2 miliar,pendapatan petambak Rp3 juta/ha/ bulan, dan lapangan kerja tercipta sejuta orang.Bila 1 juta ha perairan laut (4% potensi) dikembangkan untuk budi daya Eucheuma spp, maka dalam setahun dapat diproduksi 20 juta rumput laut kering yang nilainya USD20 miliar, pendapatan pembudi daya Rp12 juta/ha/ bulan, dan tenaga kerja yang terserap 4 juta orang.

    Kita harus mampu mengelola pembangunan akuakultur secara profesional dengan menerapkan teknologi best aquaculturepractices, economyofscale, supply chain management secara terpadu, pengendalian pencemaran secara saksama, tata ruang wilayah dan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif.

    Jika itu semua mampu dilakukan, niscaya kita tidak hanya akan mampu mengatasi sejumlah permasalahan kekinian (impor pangan,pengangguran, kemiskinan, dan global warming), tetapi juga mampu menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen utama dunia di bidang pangan,biofuel, farmasi, kosmetik, dan bioproducts lain yangkompetitif,maju,adil-makmur, dan mandiri pada 2025.